PROFIL
KL UB GURU INDONESIA KLUB
EDISI 01/TAHUN 2009
Adi W Gunawan memberi wawasan baru bagi anggota Klub Guru Indonesia, dalam sebuah workshop pembelajaran di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Bupati Gresik, Dr. Robbach Maksum meresmikan launching Klub Guru Gresik.
Meningkatkan Kualitas Pendidikan lewat Komunitas
K Klub Guru Indonesia tidak akan pernah mengurusi masalah kesejahteraan guru. Mereka fokus pada peningkatan kompetensi dan profesionalitas.
Berawal dari Mailing List
EMANDIRIAN guru perlu dibangun. Caranya ialah melalui peningkatan kompetensi dan profesionalitas melalui sejumlah pelatihan. Jika pemerintah tidak ambil pusing mengenai masalah ini, individuindividulah yang bergerak melalui kekuatan komunitas. Pemikiran itu kemudian menjadi dasar kelahiran Klub Guru Indonesia (KGI) KGI memang masih terbilang baru, sekitar dua tahun. Namun, sudah memiliki anggota komunitas lebih dari 5.000 guru. Satria Darma, salah satu pendiri klub yang berjargon Sharing and Growing Together itu mengakui motivasi pembentukan KGI ialah keprihatinan dengan hasil statistik Departemen Pendidikan Nasional. ”Hasil statistik itu menunjukkan hampir 50% guru Indonesia tidak kompeten di bidangnya. Jadi, saya ingin mengajak para guru untuk melatih diri mereka sendiri dan nantinya bisa saling berbagi,” ungkap Satria yang sudah mengajar sejak 1978 itu di Jakarta, beberapa waktu lalu.
AWAL tahun 2000, Ahmad Rizali dan Satria Dharma bertemu di dunia maya. Mereka samasama aktif di mailing list (milis) Center for Betterment of Education (CBE) buatan Ahmad. Milis ini berkonsentrasi pada bidang pendidikan. Anggotanya lumayan. Ada yang berasal dari negara-negara Eropa, seperti Jerman, Italia, Belanda, juga dari Amerika Serikat dan Indonesia. Anggota milis CBE yang tinggal di Indonesia sering melakukan pertemuan—istilahnya kopi darat (kopdar)—beberapa kali. Setiap pertemuan, sekitar 15 orang bertemu untuk membicarakan isu-isu pendidikan. ”Dulu awalnya kami lebih banyak bergerak di CBE seperti jaringan aktivis dan kampanye pendidikan untuk semua (education fol all),” ungkap Ahmad. Dalam milis itu tidak semua anggota berasal dari praktisi pendidikan. Beberapa di antaranya merupakan eksekutif perusahaan teknologi informasi hingga dosen perguruan tinggi. Namun, acara kopdar itu pun terseleksi alam.
08
BERBAGI Konsep pergerakan klub ini pun bersifat swadaya. Artinya, anggota yang tergabung dipersilakan untuk mengajukan materi apa saja yang dibutuhkan. Mereka pun berkomunikasi melalui milis dan situs klubguru.com ”Mereka bisa menyampaikan materi apa saja yang dibutuhkan. Lalu dengan jaringan yang kami miliki, kami bisa menyediakan narasumber, tempat, hingga konsumsi,” ujar pendiri KGI lainnya, Ahmad Rizali. Klub yang awalnya bernama Indonesia Teacher Club ini memang terbuka bukan hanya untuk guru, kepala sekolah, atau pemerhati pendidikan saja. Semua kalangan masyarakat yang benar-benar peduli untuk memajukan dunia pendidikan bisa bergabung sambil berbagi pengalaman dan wawasannya di klub ini. Lagi pula, lanjut Ahmad, tujuan KGI memang fokus pada peningkatan kompetensi guru. ”Klub Guru Indonesia fokus pada peningkatan kompetensi guru, bukan organisasi yang mengurusi
Setelah beberapa kali pertemuan, semakin sedikit yang datang karena berbagai kesibukan. Akhirnya yang paling konsisten bertahan untuk berdiskusi tinggal beberapa saja, di antaranya Ahmad dan Satria. Dari kegiatan ini Ahmad dan Satria mengambil kesimpulan bahwa kunci kemajuan pendidikan Indonesia ada di guru. ”Kami merasa guru Indonesia memiliki mutu yang buruk. Karena memang pemerintah kita dari dulu tidak terlalu mengurusi guru,” ujar Ahmad. Akhirnya mereka berdua membuat sebuah klub, di mana guru-guru yang menjadi anggotanya saling bekerj sama untuk mengembangkan diri masing-masing. ”Ya esensinya memang sederhana itu,” tambah Ahmad. Setelah tiga generasi kepengurusan, CBE berhenti. Kedia sahabat ini bekerja sebagai konsultan pendidikan di Sampoerna Foundation. ”Nah dari sini kita mengusulkan gimana kalau kita bikin pelatihan untuk guru,” lanjut Ahmad. Satria Dharma lalu mengajak teman-teman
kesejahteraannya. Nah, justru yang bukan guru itu bisa membantu mereka,” tambah Ahmad yang juga akrab dipanggil Nanang itu. Pria kelahiran Malang 49 tahun lalu ini pun menyebut nama Muzi Marpaung. ”Muzi bukan guru, tapi dia pengasuh klub sains ILMA yang berbasis di Pemulang, Bekasi.” Muzi memang terobsesi mematahkan persepsi bahwa sians itu mahal. Maka dia pun diajak menjadi narasumber bagi KGI wilayah Jakarta untuk berbicara tentang pembelajaran sains yang menyenangkan. ”Selama ini kan para guru itu kebanyakan mengajarkan sains hanya lewat teori saja. Padahal sains lebih mudah dipahami dengan mengerjakan praktik atau eksperimen dengan menggunakan bahan-bahan yang sebenarnya sering dipakai sehari-hari,” ujar Muzi. Bahkan, Muzi kembali diminta menjadi narasumber untuk kali kedua pada Mei kemarin untuk melatih KGI wilayah Jawa Barat. RAGAM PELATIHAN KGI memang memiliki jenis pelatihan beragam. Antara lain pelatihan teknologi komunikasi dan informasi (TIK). Divisi itu dibina langsung oleh Indra Djati Sidi, Gatot Hari Priowirjanto, dan Bagiono DS ini menyelenggarakan pelatihan dengan metode yang diaplikasi langsung oleh para guru. Bersama Donny BU yang berprofesi sebagai dosen perkembangan teknologi dan jurnalisme internet di Universitas
alumni IKIP Negeri Surabaya untuk membantu menyelenggarakan program pertama. Saat iyu masih di bawah bendera CBE. ”Program pertamanya di awal 2007. waktu itu CBE mengundang guru-guru di Surabaya untuk mendengarkan ceramah dari Prof Dr Mochtar Buchori, seorang pakar perencanaan pendidikan, yang terbilang langka di Indonesia,” kata Ahmad. Seusai kegiatan itu, mereka sepakat membuat Klub Guru Indonesia (KGI). Jakarta dipilih sebagai pusat kegiatan karena dinilai lebih strategis. Lalu mereka patungan untuk menyewa sebuah rumah di Jl. Jatipadang No. 23 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, untuk kantor sekretariat. Sampai sekarang KGI yang dimulai di Jakarta telah menyebar ke sejumlah daerah. Mulai dari Bogor, Bandung, Subang,Tangerang, Surabaya, Malang, Bojonegoro, Jombang, Kediri, Pasuruan, Jember, Gresik, Mojokerto, Bondowoso, Semarang, dan Solo, hingga yang terbaru ialah di Nusa Tenggara Timur. (mi)
PROFIL
KL UB GURU INDONESIA KLUB
EDISI 01/TAHUN 2009
09
Kata Mereka MAMPUONO (Guru Bahasa Inggris SMP 18 Semarang, Jateng) SAYA bergabung dengan KGI sejak November 2008. saat itu saya sedang ikut Lomba Guru Inovatif Tingkat Dunia yang diadakan Microsoft di Hong Kong. Kebetulan bertemu Bapak Bakrowi yang kemudian mengajak saya bergabung di milis KGI. Akhirnya pada 7 Februari 2009, KGI wilayah Semarang diresmikan. Saat iyu kami mengadakan seminar Pengintegrasian TI dalam Pembelajaran untuk meningkatkan pola pikir siswa di era global. Saat itu kami bisa berkomonikasi dengan pembicara luar negeri yaitu guru dan siswa di sekolah Saltash, Inggris, dan sekolah Manitoba, Kanada, melalui konferensi video (video conference). Penyerahan sepeda untuk sekolah dilakukan secara simbolik oleh Ketua Klub Guru Indonesia, Satria Dharma.
Pelita Harapan, Klub Guru Indonesia mengenalkan budaya menulis di blog kepada guru. ”Dengan mengajak para guru menulis sebagai bagian dari proses berbagi, kompetensi guru bisa lebih efektif karena kemampuan mereka ikut terasah,” ujar pengamat dan praktisi media baru ini. Donny juga mengungkapkan dengan berkomitmen untuk menulis di blog, para guru memiliki wadah sebagai pembicara sehingga tercipta kepuasan personal yang bisa berpengaruh pada peningkatan karier. Guru yang bergabung dalam KGI dapat memiliki dan mengembangkan tiga kompetensi wajib dalam TIK. Yaitu mempunyai dan aktif menggunakan e-mail dan milis, mampu membuat presentasi multimedia, dan memiliki blog. ”Kita juga sedang merealisasikan program Sagusala, alias Satu Guru Satu Laptop. Saat ini ada sekitar enam vendor laptop merek dalam
negeri sedang melakukan penyesuaian kebijakan harga bagi para guru yang tergabung dalam KGI,” ungkap Ahmad lalu tersenyum. Dia mengenang, pada waktu awal pelatihan, masih ada guru yang belum bisa menggunakan tetikus. Program lainnya ialah Sepeda Untuk Sekolah (SuS). Klub Guru Indonesia membentuk konsorsium dengan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), Bike to Work, dan CBE (Center for the Betterment of Education) untuk memberikan sepeda kepada siswa yang kesulitan untuk berangkat ke sekolah karena tidak memiliki ongkos transportasi. Proyek SuS yang pertama berhasil mengumpulkan 100 sepeda untuk murid sekolah dasar di wilayah Jawa Timur. Kini sebuah BUMN berkomitmen menyediakan 5.000 sepeda bernilai lebih dari Rp. 750 juta untuk program yang kedua. (
[email protected])
Teknologi Pembelajaran
Sekolah tanpa Kertas Satu laptop untuk satu siswa. Proses belajar-mengajar menjadi lebih hidup di sekolah berteknologi digital. BAYANGKAN, bersekolah tanpa membawa buku tulis, pensil, pulpen, dan bahkan buku pelajaran.Yang ada di dalam tas setiap anak hanya sebuah laptop. Di Sekolah Internasional Sinarmas World Academy, Bumi Serpong Damai, Tangerang, ini bukanlah mimpi. Sekolah di atas lahan 5,2 hektare ini memadukan teknologi informasi digital paling mutakhir dengan dunia pendidikan sejak tahun lalu. Memang, setelah sembilan bulan mencoba, hingga kini buku dan pensil masih tetap digunakan.Tapi laptop telah menjadi bagian yang tak terpisahkan di sekolah itu.“Laptop dan Internet di sini seperti pulpen, pensil, atau buku. Bagi kami semua itu adalah alat pendukung proses belajar-mengajar,” kata John Mc- Bryde, Chief Executive Officer Sinarmas World Academy, dua pekan lalu. Tren menjadikan komputer sebagai alat belajar dan mengajar muncul mulai awal 2000-an. Gejala ini meningkat empat tahun lalu. Direktur pemasaran produsen peranti lunak pendidikan Pesona Edukasi, Hary Sudiyono Candra, mengatakan bahwa dalam empat tahun terakhir permintaan terhadap peranti lunak pendidikan terus meningkat. “Sepertinya masyarakat mulai sadar bahwa alat bantu teknologi semacam ini dibutuhkan,”ujarnya.“Dunia memang sedang demam e-learning.” Sekitar 3.000 sekolah di seluruh Indonesia kini memakai produk Pesona Edukasi. Sekolah itu tidak cuma yang berada di Jakarta, tapi hingga Situbondo, Jawa Timur. Peranti lunak perusahaan itu juga sudah dipakai di sekolah di 23 negara, termasuk Singapura, Amerika Serikat, dan Australia. Buku sekolah yang bisa dibaca di komputer juga sudah bertebaran. Departemen Pendidikan Nasional, misalnya,
sudah sejak Agustus 2008 melun-curkan buku sekolah elektronik yang bisa diunduh di situs Internet departemen ini. Tampilan buku elektronik ini sengaja dibuat persis seperti versi cetak, sehingga rasa membaca buku masih ada. Banyak manfaat teknologi digital sebagai alat bantu belajar dan mengajar. Misalnya, dengan bantuan komputer banyak percobaan yang tak mungkin dilakukan di kelas bisa disimulasikan. Lihatlah percobaan mengenai pengaruh gravitasi. Komputer bisa mensimulasikan aneka gaya gravitasi tak hanya di bumi, tapi di bulan hingga Mars. Ini sesuai dengan peran software edukasi, yakni “alat bantu mengajar yang digunakan guru untuk menerangkan pelajaran,”kata Hary. Di Sinarmas, komputer bahkan mengambil peran lebih besar. Maklum, konsepnya satu laptop satu murid. Hasilnya, tak ada lagi kelas khusus pelajaran komputer di sekolah itu.“Komputer memang seharusnya bukan menjadi mata pelajaran yang terpisah, tetapi sebagai sesuatu yang menunjang kreativitas dan aktivitas dalam sekolah,” kata Jane Ross, guru spesialis teknologi digital di sekolah itu. Sekolah yang mengacu pada program pendidikan International Baccalaureate ini membekali setiap murid dan guru dengan laptop Apple MacBook. Peranti itu disediakan oleh sekolah.“Bisa dibawa pulang, tapi hanya untuk murid kelas 5 sekolah dasar ke atas,”kata Ross.“Tujuannya agar murid bisa memperlihatkan hasil belajar di kelas kepada orang tua masing-masing.” Agar tak disalahgunakan, setiap laptop dibekali program khusus. Misalnya, notebook ini akan “bunuh diri” secara otomatis pada pukul 8 malam. ”Ini agar laptop tidak dipakai untuk hal-hal negatif,” kata Ross. Untuk mencegah siswa berselancar ke situs khusus dewasa atau bermain game online yang tidak produktif, sekolah memblokir akses ke situs-situs tersebut. “Termasuk Facebook dan You Tube,” ujarnya. (*/Tempo)
Dede Kurniasih (Guru TK Islam Cipete, Jakarta Selatan) BANYAK sekali manfaat yang saya rasakan semenjak bergabung di sini. Dulu saya hanya tahu informasi sekitar lingkup pendidikan TK. Sekarang selain menambah teman dan wawan, saya jadi memiliki kemampuan memanajemen diri dan bisa membagi waktu untuk tugas sehari-hari. Selain itu, lewat milis, kami juga melatih kemampuan berbagi informasi. Misalnya teknik-teknik permainan, cara berkomunikasi yang sehat dengan murid, dan lain-lain. Lewat KGI, kami juga bisa tahu ternyata banyak guru yang berprofesi sebagai trainer. Dari ini kan kita bisa mengajak mereka untuk melatih kami. Karena mereka sudah pasti jauh lebih menguasai trik-trik bagaimana mengajar yang efektif atau hal lain yang lebih praktis.
Iwan Ridwan (Guru Bahasa Indonesia SMP Islam Al-Ikhlas Cipete, Jaksel) SETAHUN yang lalu saya ikut seminar yang diadakan KGI tentang sertifikasi guru dan pemanfaatan TI dalam sistem pendidikan. Kami jadi punya pengalaman berkomunitas dan mendapat wacana baru dari seminar yang mereka lakukan. Bahkan bisa menonton bareng film Laskar Pelangi. Saya pernah ikut pelatihan tentang motivasi dan kreativitas. Itu sangat memengaruhi pola pikir karena saya jadi mengetahui metode baru untuk mengembangkan kreativitas. Hasilnya, saya bisa membuar variasi baru mengajar di kelas. Sebetulnya, banyak teman guru yang masih harus dikembangkan. Dengan makin banyaknya pelatihan gratis, profesionalitas dan kompetensi meningkat. Jadi, kesejahteraan guru pun bisa diangkat.
Hotben Situmorang (Kepala Seksi Pengembangan Yayasan BPK Penabur) AWAL keterlibatan saya di Klub Guru Inbdonesia bermula ketika menerika ajakan seorang teman untuk bergabung di mailing list (milis) Center for Betterment of Education (CBE) sejak 2004. Melalui milis itu kami banyak berdiskusi tentang sistem pengembangan pendidikan di Indonesia. Karena banyak di anatara kami yang memang sudah berteman dari dulu, akhirnya kami sering bertemu langsung. Dari hasil pertemuan-pertemuan itu kami sepakar harus ada satu wadah resmi yang mengakomodasi. KGI juga menjadi mitra sejumlah perusahaan besat untuk progra company social responsibility (CSR) mereka. Keuntungannya, materi pembelajaran bisa didiskusikan dengan guru-guru lintas negara.
Rohmadi Hidayat (Guru TI SMK Negeri 2 Yogyakarta SEBETULNYA, kami di Yogyakarta telah memiliki komunitas Jaringan Informasi Sekolah (JIS) DIY. Anggotanya para guru SD, SMP, SMA, dan SMK Yogyakarta. Kebetulan pada Februari lalu, Bapak Gatot Hari Priowirjanto hadir dalam acara kami. Beliau memberikan ide bagaimana kalau JIS bergabung dengan Klub Guru Indonesia menjadi KGI DIY. Toh, tujuan organisasi kami sama, yaitu meningkatkan kompetensi guru. Ya sudah, KGI Yogyakarta, rencananya akan diresmikan pada Juni 2009. Kami berharap bisa melibatkan banyak unsur, di antaranya dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.Ya, semoga melalui KGI Yogyakarta ini kami bisa dilatih untuk bisa membuat bahan ajar yang manarik, serta mampu mencari materi lewat internet.
BAHASA & SASTRA
B
ANYAK anggapan bahwa sastra tidak bisa memberikan jaminan masa depan secara intelektual, emosional, dan finansial. Karena itu, tidak banyak orang, terutama pelajar, tertarik dengan sastra. Apalagi, sastra masih dianggap sulit karena bahasanya yang terkadang sulit dipahami dan harus dibaca berkali-kali untuk menangkap maknanya. Ditambah, minat baca atau daya beli masyarakat kita terhadap buku masih masih rendah. Tak bisa dimungkiri, pelajaran bahasa dan sastra di tanah air kita masih dianggap sebagai pelajaran yang kurang begitu penting, yang manfaatnya masih diragukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan anggapan tersebut, tugas mengajar untuk mata pelajaran bahasa dan sastra ini tidak jarang diserahkan kepada guru yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat secara kualititatif. Dalam hal ini, guru yang bersangkutan tidak mempunyai kapasitas atau latar belakang pendidikan bahasa dan sastra (sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia). Menurut Effendi Ahmad (1982: 2), apresiasi sastra merupakan kegiatan ”menggauli” karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran dan perasaan dapat tumbuh lebih baik serta lebih kritis terhadap karya sastra. Berdasar pernyataan tersebut, apresiasi sastra di sekolah sebenarnya dapat dilaksanakan secara maksimal karena didukung oleh kurikulum berbasis kompetensi. Meski demikian, apresiasi sastra di sekolah tetap dirasakan masih jauh dari harapan. Para murid kadang enggan mempelajari bahasa dan sastra secara serius. Sebab, mereka tidak melihat adanya manfaat tertentu yang bisa diraihnya dengan menekuni pelajaran dimaksud secara khusus dan serius. Yang memprihatinkan, tidak jarang pula guru cenderung mengejar target ”semu”dalam mengajarkan sastra.Yakni, mengajarkan sastra untuk keperluan ujian agar siswa memperoleh nilai yang baik. Di sini, tidak penting apakah siswa benar-benar menikmati dan memahami karya sastra atau tidak.Yang penting, siswa menguasai dengan baik materi sastra yang akan
EDISI 01/TAHUN 2009
Jangan Bikin Sastra (Jadi) Membosankan mereka dapatkan dari karya sastra. Langkah itu tentu tidak mudah. Apalagi, karya sastra masih terasa asing bagi kebanyakan siswa. Bahasanya kadang tidak mudah dimengerti, tak cukup dibaca sekali. Untuk memahami karya sastra, karya sastra seringkali harus dibaca berkali-kali. terlebih, bagi siswa yang tingkat apresiasi sastranya masih rendah.Tetapi, rendahnya apresiasi siswa Oleh: terhadap sastra tentu saja EKO PRASETYO menuntut guru agar sabar (Jurnalis dan Editor) mengajak siswa menyelam ke kedalaman karya sastra. Lalu, guru merangsang mereka menemukan sendiri makna dan manfaat dari karya sastra itu sendiri. SASTRA SEBAGAI PROSES Baharuddin Iskandar (2007: 24) PEMBELAJARAN YANG MENARIK mengemukakan, bila siswa bisa menemukan Sastra itu sulit dan membosankan? Tidak! makna dan manfaat itu, hasilnya adalah mereka Anggapan seperti ini sering kita dapati di tampak lebih puas dibandingkan makna itu masyarakat, khususnya siswa. Karena itu, guru diberikan oleh guru. Hal tersebut wajar karena memegang peran penting –sebagai garda mereka merasa berusaha, membaca dan depan– dalam mengondisikan agar stigma menghayati karya sastra dengan sungguhbahwa sastra itu membosankan adalah keliru. sungguh, lalu menemukan sesuatu dari karya Maka, guru pun bisa mengolah dan membuat sastra itu. Bagi mereka, itulah hasil jerih payah pelajaran sastra menjadi pelajaran yang mereka sendiri. Mereka merasa mandiri, tidak menarik. Menurut Baharuddin Iskandar (2007: melulu disuguhi oleh guru. 24), pengajaran sastra perlu dibangun dengan Mau tidak mau, metode mengajarkan sastra komunikasi dua arah, antara guru dan siswa. secara konvensional harus ditinggalkan. Guru Tujuannya, agar sastra yang diajarkan terasa tidak melulu mengajarkan sastra dan siswa bermakna dan bermanfaat bagi siswa sendiri. hanya mendengarkan dan menerima secara Dengan cara tersebut, maka siswa mau tidak pasif apa yang diajarkan guru.Tak perlu lagi ada mau ambil bagian dalam proses pembelajaran, kensenjangan atau jarak antara guru dan murid. mencari sendiri makna dan manfaat yang bisa diujikan kelak, terlepas dari apakah siswa membaca dengan baik sejumlah karya sastra. Hal itulah yang menyebabkan proses pembelajaran sastra tidak menarik dan cenderung membosankan. Siswa seringkali merasa terpaksa belajar sastra, tidak bersemangat, bahkan kalau bisa ingin meninggalkannya. Memang, jika guru hanya mengajarkan apa yang diperlukan siswa saat menghadapi ujian, mereka akan kesulitan mengajarkan sastra secara menarik.
10
Hubungan guru dan murid dalam proses pembelajaran sastra haruslah komunikatif, menarik, dan menyenangkan. Keterlibatan siswa dalam memahami dan menikmati karya sastra adalah aspek yang sangat penting dalam proses pembelajaran tersebut. Sekarang ini, sastra Indonesia sedang bergeliat. Banyak penulis muda yang menghasilkan karya-karya sastra yang enak dibaca dan mudah dipahami, sekaligus memberikan inspirasi. Contohnya, Habiburrahman El Shirazy yang terkenal lewat novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lain-lain. Kemudian, ada Andrea Hirata dengan karya inspiratifnya, Laskar Pelangi, Edensor, Sang Pemimpi, dan Maryamah Karpov. Lewat perkembangan karya-karya sastra tersebut, guru hendaknya mampu mengajak siswa Nah, melihat perkembangan karya sastra sekarang ini, hal pertama yang perlu ditekankan adalah membesarkan hati murid. Tidak hanya dengan membaca karya-karya sastra yang enak dibaca dan mudah dipahami, tapi siswa juga bisa kreatif dalam pengaplikasian secara langsung lewat menulis. Karena itu, dalam mengajarkan menulis karya sastra, puisi, atau cerpen, misalnya, guru perlu tahu kemampuan siswa berimajinasi. Jangan sampai guru memaksa siswa berimajinasi di luar batas kemampuan mereka. Biarlah mereka berimajinasi dalam kemampuan mereka. Dengan terus-menerus berlatih, kemampuan mereka berimajinasi pastilah berkembang. Demikian juga guru perlu menimbang masak-masak mengajarkan sastra yang mungkin di luar batas daya tangkap siswa. Dalam hal ini, guru harus benar-benar bekerja keras membuat mereka bisa memahami dan menikmati karya sastra tersebut. Menyampaikan karya sastra yang tidak mampu dipahami siswa, tanpa usaha yang memadai untuk membuat mereka memahaminya, akan membuat siswa menjauhi sastra. Jika ini terjadi, proses pembelajaran sastra tak mampu menarik minat dan bersemi di hati siswa. (*)
Tradisi Menulis Guru yang Dilematis Seru
Oleh: DRS. HARI SUBAGYO, M.M (Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Menganti, Gresik)
G
URU pandai bicara itu biasa. Guru pandai menulis itu luar biasa. Celakanya, yang terakhir ini sangat sedikit jumlahnya. Tidak mengherankan kalau akhirnya kondisi pendidikan kita kurang baik. Karena itu, agar kualitas pendidikan kita makin baik, para guru yang sudah terlihat luar biasa itu harus kita beri penghargaan yang luar biasa pula agar kinerja mereka makin optimal dan yang belum luar biasa terangsang untuk berbuat serupa, segera menjadi guru yang luar biasa kualitasnya. Kemampuan menulis para guru sangat diragukan oleh banyak pihak. Kepiawaian mereka hanya dalam tradisi lisan saja di kelas bukan untuk tradisi tulis. Untuk kebiasaan tulis menulis minat dan produktivitas mereka sangat rendah baik lokal maupun nasional. Produktivitas karya tulis guru yang rendah itu terlihat antara lain dari sedikitnya peminat berbagai lomba karya tulis yang digelar berbagai lembaga maupun media massa. Alasan mereka banyak. Dari awal mereka tidak tertarik membaca dan menulis bahkan tidak tertarik pula mereka menjadi guru. Gaji mereka kecil. Sertifikasi juga masih sedikit yag menikmati. Tugas administrartif terutama
menyangkut tupoksi-nya banyak. Anak-anak di rumah perlu dirawat. Suami/ istri perlu digauli. Nonton televisi tak boleh terlewati. Pola hidup hedonis dan snobis ingin diikuti. Mereka lebih memilih yang tidak berat, termasuk tidak membaca dan tidak menulis. Naudzubillah! Di sisi lain tuntutan wajib menulis bagi guru golongan III tak pernah ada. Kalaupun ada itu pun sekadar menulis perangkat mengajar dan membuat kisi-kisi serta soal yang isinya ya itu-itu saja. Kewajiban membuat karya tulis baru ada pada saat mereka golongan IV.. Itu pun faktanya juga banyak yang “dijahitkan”.Guru yang pernah jadi Juara Pertama LKTI Tingkat Jatim pun tak ada pengharagaan berbeda dengan guru lain. Jangankan penghargaan atau pemberian fasilitas, ucapan selamat pun tak sempat keluar dari mulut atasan yang setiap hari bertemu di sekolah maupun telepon dari pejabat Dinas P dan K baik kecamatan maupun kabupaten. Padahal bukankah guru itu telah mengibar-harumkan nama sekolah dan wilayah binaan mereka? Fakta ini adalah suatu preseden buruk bagi perkembangan tradisi menulis di kalangan guru. Betapa tidak berharganya Sang Juara LKTI itu? Betapa kontradiktifnya fenomena itu? Begitukah cara para pejabat mengapresiasi karya prestatif potensi akademik guru? Secara pribadi mungkin yang bersangkutan tak terlalu risau atas sikap pejabat itu karena nawaitu dia menulis bukan hanya minta dipuji atasan. Dia menulis karena ada yang ingin disampaikan, mengemban perintah Allah, memanjakan proses kreatif dan petualangan intelektual liar-lateral-nya yang setiap saat meronta ingin hadir di hadapan pembaca. Dia juga ingin memuaskan jiwa kembara pikiran-nya yang selalu ingin mendobrak kebekuan sekaligus memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi pencerahan dan penyelamatan anak muda bangsa ini. Namun, sekali lagi demi penghargaan terhadap profesi dan prestasi guru, demi pemberian kesempatan dan peningkatan gairah menulis, preseden itu jangan terjadi lagi. Tidak semua guru punya tradisi dan
motivasi kuat dalam hal menulis. Logika yang mereka kembangkan adalah buat apa susah payah menulis kalau penghargaan tidak ada. Beda bila kita menulis untuk harian besar sekaliber Jawa Pos. Selain dapat nama kita so pasti dapat fulus. Karena itu, terima kasih Jawa Pos dan Depdiknas Jatim yang telah berkenan memfasilitasi para guru dalam beropini lewat media ini termasuk penyelenggaraan berbagai semiloka itu. Semoga Allah SWT memberkahi keluarga besar Jawa Pos.Tetapi, untuk sampai ke sana bagi para guru juga tidak mudah. Selain kemampuan harus prima, kompetitor pun berjibun. Karena untuk itu sulit, mendingan kita ngurusi keluarga dan bisnis kita di rumah. Kondisi yang tidak kompetitif ini yang membuat para guru mengambil jalan pintas yang aman. Nyantai saja, nurut saja dan selaksa sikap apatis lain. Toh akhirnya, tak ada penghargaan. Masyaallah! Dilema itulah yang jadi argumentasi kuat mereka bahwa guru itu tidak perlu menulis dan punya kemampuan menulis. Tidak pernah menulis juga tidak pernah badan jadi meriang. Gaji juga lancar tiap bulan. Kalaupun ada yang bisa menulis toh tak ada nilai plusnya. Tugas guru sudah terlalu banyak. Apologi seperti itu tentu saja tidak sepenuhnya benar. Kita harus ingat bahwa kalau kita menanam, kita akan menuai. Kapan kita menuai, itu urusan Allah. Urusan kita adalah menanam dan menanam, menulis dan menulis. Selama jantung masih berdetak, kita wajib menulis selain tetap mengajar dan berbagai kemasan ibadah lainnya. Menulis memang bukan pekerjaan mudah bagi pemula apalagi pemula manula. Namun, bukan berarti itu adalah sesuatu yang sangat sulit dan mustahil kita lakukan kalau kita berkehendak. Jangan bersimpulan tak punya bakat, tak ada keturunan, tak ada waktu dll. Menulis tak butuh bakat.Yang dibutuhkan adakah tekad.Tekad menulis setiap saat dengan “trial and error endless”. Meski sulit awalnya kalau tantangan itu bisa kita atasi jadilah dia peluang. Peluang itu adalah uang. Selain itu dengan menulis kita dapat bersilaturahim dengan banyak pembaca golongan apapun, di manapun dan kapan pun.
Kita bisa mengartikulasikan terompet jati diri dan ide-ide segar cemerlang kita . Kita bisa jadi kebanggaan anak cucu kita dengan karya tulis itu. Karena itu, wahai Saudaraku, Bapak/Ibu Guru yang dimuliakan Allah, sungguh belum terlambat untuk bangun dan bangkit dari tidur panjang tanpa kreasi dan prestasi ini. Mari kita buktikan kata-kata kita. Bukankah Quran sudah mengingatkan,“Sungguh besar kemurkaan Allah apabila kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat!” (QS Ash Shaff:3). Mari kita sadari betapa anak-anak sangat merindukan tulisan para gurunya. Betapa bangganya mereka melihat tulisan Bapak/Ibunya yang bertebaran di berbagai harian dan majalah. Betapa dahsyatnya dampak nasihat Bapak/Ibu nanti dalam meningkatkan minat baca tulis mereka karena kredibilitas Bapak/ibu yang telah meningkat pesat. Wahai Rekan seprofesi, mari kita bulatkan lagi tekad kita untuk jadi guru, ustadz/ ustadzah hingga benar-benar jadi uswah khasanah bagi anak-anak kita. Mari kita bentengi ideologi anak zaman ini dari gelontoran hiburan, info dan virus idelogi setan kapitalis sekuler yang telah meracuni mereka selama ini dengan meningkatkan mentalitas mereka lewat pembiasaan baca tulis yang baik dan benar. Wahai pejabat, yang katanya terhormat, buka mata dan mata hati kalian! Tunjukkan tanggung jawab kalian terhadap perbaikan masa depan bangsa ini! Segeralah lakukan aksi dan terobosan efektif, cerdas dan bermanfaat serta maslahat bagi banyak umat. Wahai Rekan Media, sambutlah para guru kini dan guru kita dulu! Perluas dan perbanyak kesempatan mereka untuk bereksplorasi sesuai dengan kemampuan dan karateristik mereka! Jangan biarkan Bapak/ Ibu Guru kita hanya sekadar jadi pahlawan tanpa tanda jasa, kelinci coba-coba penguasa, kambing hitam pejabat, komoditas pemuas nafsu politisi dan berbagai predikat tak sedap lainnya. Naudzubillah! Mari kita saling bersinergi untuk kesuksesan dan keselamatan kita mulai hari ini sampai akhir hayat kita masing-masing nanti. Amin. (*)
SOSIAL
EDISI 01/TAHUN 2009
11
Upaya Menanamkan Kejujuran dan Komunikasi yang Sehat Oleh: Setyo Purnomo (teknisi/laboran SMK Muhammadiyah 1 Weleri)
Kejujuran merupakan salah satu aspek dari sekian banyak aspek pendidikan yang harus dimiliki dan dijalani oleh guru dan siswa. Memiliki dan menjalankan kejujuran secara nyata menjadi suatu keharusan. Sebab, di sinilah letak kontrol (kendali) atas segala kebaikan pada diri guru, siswa, dan sekolah secara keseluruhan. Inilah ujung dari segala macam urusan. Bahkan, menurut riwayat, Nabi Muhammad memulai “kepakarannya” dengan satu sikap, yakni jujur, al-amin, yang dapat dipercaya atau jujur.
S
EKOLAH sebagai salah satu kawah candradimuka putra-putri ibu pertiwi menanggung beban amat berat dalam rangka menanam, merawat, dan menjaga nilai kejujuran. Dengan desakan dan impitan pola pikir materialistik yang mengancam dari segala penjuru, tak heran jika kejujuran menjadi komoditas yang semakin langka dan makin jauh dari jangkauan. Saya pernah mengajar di suatu sekolah (SMK) swasta yang jauh dari disebut mampu. Saat itu saya melihat bahwa sistem nilai, di mana segala penilaian diwujudkan dengan nilai, entah angka atau huruf, menjadi salah satu penyebab atau alasan ketidakjujuran atau kebohongan, utamanya pada siswa. Ketakutan mendapatkan nilai jelek menjadi pendorong paling kuat untuk melakukan kecurangan pada saat ulangan atau ujian. Dan hal ini ternyata juga dialami (baca: dilakukan) oleh siswa-siswa yang cukup pintar karena ketakutan kalah nilai. Nilai-nilai kejujuran yang tiap saat disampaikan oleh guru-guru tak ubahnya suara-suara normatif yang semestinya didengarkan, namun tak harus dilaksanakan. Yang lebih menyedihkan bagi saya adalah hal ini sepertinya tidak pernah disikapi secara serius oleh guru-guru lain. Tidak terbayang dalam benak saya, bahwa sekolah ternyata justru melembagakan kebohongan dan kecurangan. Walaupun sering diangkat di dalam rapat, masalah ini tak pernah dibahas secara tuntas, terutama pada aspek pencegahan. Penerapan hukuman yang dilakukan nyaris sama sekali tidak memberikan efek apa pun. Siswa hanya sadar sesaat, setelah itu mereka kembali ke sikap semula. Hal ini kadang diperburuk dengan sikap guru yang pura-pura tidak tahu atas apa yang terjadi. MENGHILANGKAN SISTEM NILAI DI KELAS Dengan mengucap bismillah, saya beranikan diri melawan arus, mencoba mengembalikan nilai kejujuran ini. Dengan mengacu pada asumsi bahwa siswa-siswa selalu mengejar nilai bagus, sebagai pendorong untuk belajar atau mencontek saat ulangan, saya menerapkan mapel tanpa nilai. Saya sampaikan di kelas bahwa mapel saya tidak lagi menghargai nilai. Saya mengobral nilai di mapel saya, bahkan saya gratiskan. Saya masih tetap mengadakan ulangan dan kuis, namun tidak lagi saya nilai sendiri. Nilai tetap ada di buku nilai, namun tak ubahnya hiasan semata. Saya berikan pilihan, yakni mereka boleh meminta nilai berapa pun, asal dalam rentang yang wajar. Karena rentang yang umum dipakai adalah 0 sampai 10, saya tawarkan kepada mereka untuk memilih salah satu dari rentang nilai tersebut. Dalam hati, saya benar-benar berdoa agar siswa-siswa dikembalikan lagi rasa percaya diri dan keingintahuan mereka pada ilmu (kompetensi), yang mampu menganggap bahwa nilai itu tidak mencerminkan sepenuhnya kemampuan yang mereka mampu. Mulanya, siswa-siswa saya kaget dan tidak percaya pada penawaran saya.Walaupun saya mengizinkan meminta nilai, saya mensyaratkan agar mereka ini memohon nilainya secara terang-terangan di depan kelas (di depan teman-teman mereka) lengkap dengan alasan yang logis dan realistis. Misalnya, ada salah satu siswa perempuan yang menyatakan meminta nilai maksimal 7,5 atau 8 saja, tidak mau 8,5 atau 9, apalagi 10. Alasan yang dikemukakan pun logis, walaupun mengagetkan saya. Yakni, kalau dia mendapat nilai dibawah 5, dia malu pada pacarnya. Hehe...mengagetkan, namun juga menyenangkan membuat seseorang berani mengemukakan pendapatnya. Pacarnya tersebut rupanya cukup perhatian pada pencapaian sang kekasih. Ada juga yang menyampaikan bahwa orang tuanya sering menanyakan pencapaiannya sehingga rasanya malu kalau nilainya jelek. Sampai di sini saya justru menemukan efek samping lain yang tidak saya duga, yakni keberanian siswa-siswa saya untuk menyampaikan sebagian masalahnya. Ini bisa dijadikan salah satu petunjuk jika terjadi “sesuatu”. Saya pun menyampaikan pada mereka segala hal yang mendasari tindakan saya ini. Saya sampaikan bahwa bagi saya, menurut penilaian saya, kejujuran adalah modal dasar untuk hidup bermasyarakat, hidup sukses, dalam pencapaian apa pun. Kalau kejujuran
secara sadar sudah dirusak sendiri oleh yang bersangkutan, kepada siapa dia akan meminta? Tidak ada tempat untuk membeli, tidak ada yang menjual, tidak kasat mata, tidak berwujud, namun jika kehilangan yang satu ini, hidup ini tidaklah akan berarti apa-apa. Hidup ini akan hampa, tidak berarti. Sebab, yang dijadikan landasan hidup hanyalah omong kosong, hanyalah “abab”. Yang lebih celaka, tidak ada orang yang tahu selain orang lain. Jadi, pada dasarnya yang dilakukan adalah membohongi diri sendiri secara terus-menerus, sampai pada satu titik, di mana dia tidak tahu lagi siapa jati dirinya. Apakah yang “ini” ataukah yang “itu”. Namun, yang lebih celaka adalah Tuhan
tahu dengan ketidakjujuran. Meski berusaha bersembunyi dari “tatapan mata Tuhan”, itu jelas sia-sia. Jika si pelaku ngotot dalam ketidakjujurannya, dia bisa terancam penyakit jiwa yang teramat berat, yakni tidak percaya akan adanya Tuhan. Ini adalah bencana besar, di mana hidup dan matinya sama sekali tidak berarti. Sebab, kemanusiaannya terenggut sempurna akibat ketidakjujurannya. Itulah yang saya sampaikan kepada mereka. Saya sampaikan ini dengan pelan, tidak berteriak-teriak, namun kelas begitu sunyi, sepi. Ada satu orang siswa perempuan yang terisak pelan. Sampai kemudian saya sampaikan bahwa saya lebih peduli pada pemeliharaan kejujuran kalian dibandingkan nilai kalian. Sebab, kalau sekedar menilai, saya bisa menilai kalian dengan tepat, karena saya kenal betul kemampuan kalian. Dan saya pikir memang demikian adanya, seorang guru yang care pada siswa-siswanya pasti akan tahu batas kemampuan para siswanya. Di antara sekitar 30-an siswa dalam satu kelas, yang benar-benar meminta nilai ternyata tak lebih dari 10 orang. Mereka ini pun saya hargai dalam pilihannya. Hanya, selalu saya sampaikan bahwa bagi mereka yang meminta nilai akan lebih sulit memahamkan kepada orang lain secara jujur bahwa dirinya tidaklah jujur pada pencapaian itu. Di kertas ulangan dan di buku nilai saya yang tertera adalah nilai yang diminta siswa, namun selalu saya sampaikan kalimat, ingat ini adalah nilai tidak jujur. Saya sampaikan berkali-kali juga saat di depan kelas. Satu hal yang saya minta dari mereka, karena nilai sudah bukan masalah lagi, kerjakan dengan jujur tanpa bantuan teman, tanpa mencontek, atau apa pun. Saya sampaikan, mulailah untuk percaya diri, toh nilai bisa diminta berapa pun yang kamu inginkan. Setiap kali ulangan dengan kertas (tertulis), saya selalu mewajibkan siswa-siswa saya untuk menuliskan kalimat pernyataan, setelah jawaban terakhir. Yakni “saya kerjakan ulangan ini dengan jujur, Allah menjadi saksi” atau “Saya kerjakan ulangan ini bekerja sama dengan ..... (nama teman yang diajak kerja sama).” Siswa harus menuliskan hal ini dengan penuh kesadaran akan keadaan dirinya. Saya sampaikan bahwa ini adalah cara saya menolong dan menjaga kejujuran mereka. Saya pun mendatangi beberapa orang tua siswa yang meminta nilai. Saya sampaikan tentang pilihan anaknya dan dampak yang akan dihadapi jika ketidakjujuran ini dipelihara. Bisa diduga bahwa orang tua lebih suka anakanaknya jujur. Jadi, si anak tadi tak mau diberi nilai gratisan lagi. Kurang dari satu bulan, siswa-siswa saya ini sudah tidak mau lagi diberi nilai. Mereka
mengatakan malu pada diri mereka sendiri, bahkan ada beberapa yang tidak bisa berkaca karena malu melihat dirinya sendiri. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur. Pada akhirnya, di mapel saya, tidak pernah lagi ada ulangan yang perlu ditunggui. Mereka mengerjakan setiap ulangan dengan penuh semangat dan tampak sekali berusaha keras untuk mengerjakan sendiri. Beberapa anak yang over confident bahkan pernah menyatakan ketidaksukaannya saat ulangan dan ditunggui. Dia mengatakan, apakah dirinya dianggap anak kecil yang tidak bisa membedakan baik dan buruk, kejujuran dan kecurangan, sampai perlu ditunggui. Sebagai pribadi, saya sangat bersyukur atas pencapaian ini. Apa yang ditunjukkan siswa-siswa saya saat itu jelas menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sangat mengharapkan bisa berbuat jujur. Namun, kadang sistem tidak memandang aspek-aspek lain. Apakah guru lain tertarik ? Hanya sebagian kecil. Apalagi, guru-guru senior yang sudah punya teaching style sendiri. Mereka menganggap ketidakjujuran murni berasal dari jiwa anak atau siswa sendiri, tidak berhubungan dengan sistem di sekolah. Anjuran dan himbauan adalah usaha maksimal yang bisa diusahakan guru. KRITIKLAH AKU, GURUMU Selama ini guru sering dipandang sebagai profesi suci yang tidak tersentuh oleh siswa. Dalam budaya Indonesia, posisi guru menempati tempat yang sangat terhormat. Saking terhormatnya sampai kadang lupa, kalau guru juga manusia. Yang tak luput dari kesalahan dan ketidaksempurnaan. Namun berhubung profesinya menuntut kesempurnaan sebagai sang pendidik, sudah menjadi kewajiban baginya untuk selalu meningkatkan kemampuan dirinya. Sangatlah beruntung bahwa seorang guru setiap hari berhadapan dengan para siswa yang senantiasa haus dengan siraman pengetahuan dari sang guru. Berangkat dari kesadaran “kesempurnaan guru” ini, saya mengajak siswa-siswa saya, setiap dua minggu untuk melakukan evaluasi cara pengajaran saya selama rentang waktu tersebut. Mula-mula saya mulai dengan bahasa tulis, artinya siswa harus menuliskan kritik dan harapan atas diri saya. Tidak boleh hanya memuji semata. Yang memuji semata, akan mendapatkan hukuman yang cukup berat. Masukan dari mereka ini kemudian saya diskusikan di kelas. Saya coba gali penilaian mereka dengan lebih jelas. Saat ada permintaan atau permohonan yang sulit dilaksanakan, kita akan berdiskusi mencari jalan keluar terbaik. Bagaimana jika nilai sang guru jelek. Semestinya guru mampu bersikap dewasa dengan menyatakan permohonan maaf terlebih dahulu. Saya yakin bahwa para siswa sesungguhnya sadar dan mengerti akan tugas belajar mereka bersama guru. Yang kadang menjadi permasalahan adalah siswa berada pada posisi yang tidak bisa memilih, harus menerima apa pun keadaan gurunya. Inilah yang sebenarnya harus dikomunikasikan siswa dan guru. Nilai jelek yang diberikan siswa adalah sebuah bentuk perhatian siswa kepada gurunya dengan harapan sang guru bersedia berubah untuk makin baik. Saat sang guru dengan legawa menerima penilaian ini dan berani berdiskusi dengan siswa, yang akan terjadi adalah titik temu, simpul-simpul komunikasi yang sehat antara siswa dan guru. Saat ini sudah terjadi dan terbiasa, pemberian materi pelajaran tak lebih dari sekadar ngobrolngobrol belaka namun bertema dan bertujuan jelas. Saat gerbang pengetahuan siswa sudah terbuka, guru akan kewalahan untuk memberikan materi. Saat diskusi sehat tercapai, bisa dipastikan guru akan sibuk belajar untuk menjawab pertanyaan siswa-siswanya. Tidak ada lagi kompetensi yang dipaksakan. Sebab, semuanya berada dalam kerangka kesadaran untuk meningkatkan mutu pribadi masing-
masing yang ujung-ujungnya adalah peningkatan mutu sekolah secara makro. Apakah gambaran ideal ini sulit dicapai? Sama sekali tidak. Sebab, ruang dan waktu untuk komunikasi tidak hanya dari ruang kelas saja, namun bisa saja meluas melewati batas wilayah “kenyataan”. Apakah tidak mungkin siswa mengirimkan e-mail ke gurunya? Mengirimkan pesan lewat facebook? Mengirim SMS? Semuanya serba mungkin. Saat komunikasi sudah sedemikian sehat dan cair, tidak ada lagi kata “tetapi”. Apakah tidak takut siswa akan terpeleset menjadi kurang hormat pada guru? Jelas tidak. Sebab, rambu kesantunan dan kesopanan wajib dijaga oleh guru yang bersangkutan. Guru tetap dituntut mampu mengendalikan siswa, apapun kondisinya. Di manapun adanya guru adalah sang begawan dan siswa adalah cantrik-cantriknya. Saat sang begawan sedemikian bijaksana membuka dirinya untuk dikoreksi demi kemajuan bersama, kehormatan beliau tak akan pernah luntur, yang ada justru kemuliaannya akan semakin bersinar. Siswa-siswa akan melihat gurunya sebagai sosok yang egaliter. Kewibawaan sudah pasti akan mengikuti di kanan kiri beliau sang guru sejati ini. Yang kadang kita lupa adalah di sekeliling kita, guru dengan sadar membangun bentengbenteng yang tebal dan superkokoh, yang nyaris tak terjangkau oleh para siswanya. Ketemu hampir tiap hari, tapi sepertinya jauh sekali, nyaris tak terjangkau. Mau ketemu saja, takut. Kalau kesan takut ini kemudian diperjelas dengan sikap yang kasar, atau bahkan terlalu ringan tangan tanpa alasan, maka adalah sebuah keajaiban jika siswa beliau ini menikmati materi pelajaran dengan baik, tanpa tekanan. Jika sudah demikian, maka kesuksesan pembelajaran menjadi optimal. Saat kritik siswa ini bisa diterima dan menjadi masukan yang konstruktif bagi guru yang bersangkutan, maka sosok teladan itu telah muncul dengan sendirinya. Karena siswasiswanya begitu dekat dan mengagumi sang guru yang dicintai, mereka punya contoh nyata untuk memainkan peran di kehidupan ini. Sosok guru yang digugu dan ditiru. KOMUNIKASI YANG KOMPREHENSIF Peran guru sebagai sumber belajar utama, jelas belum terbantah hingga saat ini. Peran guru di sekolah sangat penting. Guru adalah jantung sekolah. Keberadaan dan kebaikannya menjadi penentu hidup matinya sekolah.
Seiring dengan tuntutan menyampaikan pelajaran sehari-hari, guru juga punya tugas berat namun kadang terlupakan, yakni guru sebagai guru kehidupan bagi para siswanya. Pada umumnya, guru cenderung materi pelajaran semata, hingga terkadang suasana di kelas menjadi begitu membosankan dan waktu satu menit seakan satu tahun saja. Belum lagi guru yang mengandalkan lembar kegiatan siswa (LKS) semata. Kalaupun masuk kelas, jobnya tak lebih hanya mendiktekan tugas atau bahkan mencatat, tanpa pernah mengajak siswa bersama-sama melakukan telaah pelajaran yang sedang diajarkan. Guru berada pada posisi paling strategis dalam membentuk karakter siswa. Intensitas pertemuan yang tinggi dan kualitas pembicaraan yang terjaga akan memberikan kesempatan kepada guru untuk mampu memberikan warna kebaikan pada diri siswa. Sepenting-pentingnya materi pelajaran tidaklah lebih penting daripada materi kecakapan hidup. (*)
EKSAK
EDISI 01/TAHUN 2009
KILAS EKSAK
Menjadikan Pembelajaran
Matematika Menyenangkan Mendengar kata ”Matematika”, kebanyakan orang akan merasakan sesuatu yang tak menyenangkan. Mereka akan membayangkan angkaangka yang rumit dan susah dipecahkan, terbayang rumus-rumus yang sulit dihapal dan dimengerti.
M
ATEMATIKA juga sering dipahami sebagai sesuatu yang mutlak sehingga seolah tidak ada kemungkinan cara menjawab yang berbeda terhadap suatu masalah. Matematika dipahami sebagai yang serbapasti. Siswa yang belajar di sekolah pun menerima pelajaran matematika sebagai sesuatu yang mesti tepat dan sedikit pun tak boleh salah. Sehingga matematika menjadi beban dan bahkan menakutkan. Banyak mitos menyesatkan mengenai matematika. Mitos-mitos salah ini memberi andil besar dalam membuat sebagian masyarakat merasa alergi bahkan tidak menyukai matematika. Akibatnya, mayoritas siswa kita mendapat nilai buruk untuk bidang studi ini, bukan lantaran tidak mampu, melainkan karena sejak awal sudah merasa alergi dan takut sehingga tidak pernah atau malas untuk mempelajari matematika. Mitos-mitos sesat yang sudah mengakar dan menciptakan persepsi negatif terhadap matematika, di antaranya: 1. Matematika adalah ilmu hafalan dari sekian banyak rumus. Mitos ini membuat siswa malas mempelajari matematika dan akhirnya tidak mengerti apa-apa tentang matematika. Padahal, sejatinya matematika bukanlah ilmu menghafal rumus, karena tanpa memahami konsep, rumus yang sudah dihafal tidak akan bermanfaat. Sebagai contoh, ada soal berikut,“Basri merakit sebuah mesin 6 jam lebih lama daripada Abrar. Jika bersama-sama mereka dapat merakit sebuah mesin dalam waktu 4 jam, berapa lama waktu yang diperlukan oleh Abrar untuk merakit sebuah mesin sendirian?” Seorang yang hafal rumus persamaan kuadrat tidak akan mampu menjawab soal tersebut apabila tidak mampu memodelkan soal tersebut ke dalam bentuk persamaan kuadrat. Sesungguhnya, hanya
sedikit rumus matematika yang perlu (tapi tidak harus) dihafal, sedangkan sebagian besar rumus lain tidak perlu dihafal, melainkan cukup dimengerti konsepnya. Salah satu contoh, jika siswa mengerti konsep anatomi bentuk irisan kerucut, maka lebih dari 90 persen rumusrumus irisan kerucut tidak perlu dihafal. 2. Matematika adalah ilmu abstrak dan tidak berhubungan dengan realita. Mitos ini jelas-jelas salah kaprah, sebab fakta menunjukkan bahwa matematika sangat realistis. Dalam arti, matematika merupakan bentuk analogi dari realita sehari-hari. Contoh paling sederhana adalah solusi dari Leonhard Euler, matematikawan Prancis, terhadap masalah Jembatan Konisberg. Selain itu, hampir di semua sektor, teknologi, ekonomi dan bahkan sosial, matematika berperan secara signifikan. Robot cerdas yang mampu berpikir berisikan program yang disebut sistem pakar (expert system) yang didasarkan kepada konsep Fuzzy Matematika. Hitungan aerodinamis pesawat terbang dan konsep GPS juga dilandaskan kepada konsep model matematika, geometri, dan kalkulus. Hampir semua teoriteori ekonomi dan perbankan modern diciptakan melalui matematika. 3. Matematika adalah ilmu yang membosankan, kaku, dan tidak rekreatif. Anggapan ini jelas keliru. Meski jawaban (solusi) matematika terasa eksak lantaran solusinya tunggal, tidak berarti matematika kaku dan membosankan. Walau jawaban (solusi) hanya satu (tunggal), cara atau metode menyelesaikan soal matematika sebenarnya boleh bermacam-macam. BEMBELAJARAN YANG BERTUJUAN Sehubungan dengan apriori berlebihan terhadap matematika, terdapat beberapa penyebab di antaranya adalah adanya penekanan yang berlebihan pada penghafalan rumus, kecepatan menghitung, metode pengajaran yang otoriter (kurang bervariasi) dalam proses belajar dan mengajar matematika, maka guru matematika memiliki peran penting untuk mengatasinya. Guru matematiklah yang harus mengubah metode pengajarannya tanpa mengenyampingkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari pembelajaran matematika adalah siswa diharapkan dapat memahami materi matematika yang dipelajarinya dan dapat menggunakannnya pada pelajaran lain atau kehidupan nyata dan bekal untuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Tujuan jangka panjangnya adalah siswa dapat mengambil ”nilai-nilai matematika” dan
12
MATEMATKA Masih Jadi Momok
mengaplikasikannya untuk kehidupan. Nilainilai yang dimaksud adalah penalaran, kedisiplinan, kejujuran, kebertanggungjawaban, kesetiakawanan dan lain-lain. Matematika tidak lagi hanya terfokus pada hitungan aritmatika semata tetapi matematika tetapi lebih kepada penalaran yang menggunakan logika. Matematika bukan sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian. Belajar matematika pada zaman sekarang harus aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan hidup. Matematika hendaknya harus akrab dengan topik dan persoalan kehidupan sehari-hari (bagaimana anak memaknai matematika). Salah satu cara agar anak cinta pada matematika adalah membiasakan anak menemukan konsep matematika melalui permainan dan suasana yang santai. Siswa mempelajari matematika melalui pengalaman pengajaran yang disediakan oleh gurunya. Sehingga guru harus tahu dan benar-benar memahami matematika yang mereka ajarkan serta memahami bagaimana cara siswanya mempelajari matematika sehingga dapat memotivasi mereka dalam membentuk kebiasaan belajar yang efektif dan efisien. Memang tidak ada suatu standar baku dalam mengajar matematika, tetapi guru perlu mengukur apakah cara mereka mengajar sudah benar-benar efektif sesuai dengan siswa yang dihadapinya pada saat tertentu. Jenjang profesionalitas juga berfungsi sebagai alat untuk membimbing guru-guru yang belum berpengalaman dengan nantinya harus berada di bawah pengawasan oleh mereka yang sudah berpengalaman. Selain itu jenjang profesionalitas juga mengatur seberapa jauh hak seorang guru dalam memodifikasi cara mengajar, bereksperimen dengan alat bantu pengajar yang baru atau juga dalam memperluas kurikulum yang ada. Selain mengajar, guru juga bertanggung jawab dalam membangun atmosfer akademik di dalam kelas. Atmosfer ini sebenarnya bertujuan untuk membentuk karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap Ilmiah dan Kreatif. Guru perlu menekankan nilai-nilai inti yang berhubungan dengan pengembangan sikap ilmiah dan kreatif dalam setiap tugas yang diberikan kepada siswanya, dalam membimbing siswa memecahkan suatu persoalan atau juga dalam menjawab pertanyaan siswa. Untuk menetapkan model pembelajaran yang menyenangkan agar tujuan pembelajaran matematika tercapai dengan maksimal, maka harus diupayakan agar siswa lebih mengeti dan memahami materi yang diajarkan dibandingkan harus mengejar target kurikulum tanpa dibarengi pemahaman materi. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa ini di antaranya dapat dilakukan dengan cara pendampingan siswa satu per satu atau perkelompok. Penjelasan materi dan contoh penyelesaian soal diberikan di depan kelas secara klasikal, kemudian pada saat siswa mengerjakan latihan guru berkeliling untuk memperhatikan siswa secara personal. Dengan cara seperti ini, siswa yang memiliki kemampuan yang kurang akan mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan siswa yang pintar. Matematika yang menyenangkan dapat pula disuguhkan dalam bentuk permainan, lagu-lagu yang diciptakan sendiri atau gambargambar yang memadukan angka dengan hewan atau bunga dan buah-buahan. Jika anak salah menjawab jangan pernah memarahi, menghukum atau mencela, tetap berikan pujian dan kemudian mengulangi pertanyaan sambil menjelaskan jawaban yang tepat. Dengan pola pembelajaran seperti itu, tentu matematika bukan lagi momok, melainkan sebuah hiburan yang menyenangkan di dalam maupun di luar kelas. (*)
BANDUNG - Mata pelajaran Matematika masih menjadi momok bagi siswa. Di dalam ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN), hampir tiap sekolah memasang batas standar kelulusan minimal (SKM) sangat rendah. Jauh lebih rendah dari dua mata pelajaran lainnya, yaitu Bahasa Indonesia dan IPA. Matematika diujikan di dalam UASBN pada Selasa (12/5). Banyak guru khawatir, pelajaran ini bisa menjatuhkan siswa. ”Kami khawatir kalau tentukan batas tinggi, siswa bisa tidak lulus. Apalagi, kan ada beberapa siswa yang rawan, tidak teliti mengerjakan,” ujar Teti Hartiwi, guru kelas VI SDN Tikukur II, Bandung. Di sekolah yang sarana prasarananya masih di bawah Sekolah Standar Nasional (SSN) ini, nilai SKM Matematika ditentukan hanya 3,3. Jauh lebih rendah dari dua mata pelajaran lainnya yaitu IPA dengan nilai 4 dan Bahasa Indonesia sebesar 6. Dari hasil pra-UASBN 15 persen dari 38 siswa di sekolah ini capaian nilainya masih mengkhawatirkan, dekat batas kelulusan minimal ini. Berdasarkan ketentuan Pedoman Operasional Standar (POS) UASBN 2009, nilai kelulusan UASBN ditentukan dari masing-masing sekolah. Kelulusan ditetapkan melalui rapat dewan guru yang mencakup nilai minimum tiap mata pelajaran dan nilai rata-rata ketiga mata pelajaran. Kelulusan UASBN ini digunakan sebagai salah satu pertimbangan penentuan kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Di SDN Ciujung 3 Kota Bandung, hanya Matematika yang ditetapkan tidak naik batas SKM di tahun ini. Nilainya 4,0. Sementara Bahasa Indonesia dan IPA diputus kan naik masing-masing sebesar 0,5 poin dari tahun lalu.” Nilai ini (Matematika) tidak bisa dinaikkan karena masih ada siswa yang dapat nilai sebesar ini dari hasil pra-UN,” ucap Sumarya, Kepala SDN Ciujung 3. Sekolah dasar unggulan macam SDN Merdeka V-IV pun tidak berani mengambil SKM tinggi. Di sekolah ini, ancang-ancang SKM untuk pelajaran Matematika sebesar 3,75. Tidak jauh berbeda dari tahun lalu. ”Kita juga harus tetap realistis meski dituntut nilai tinggi,” ujar Kepala SDN Banjarsari II Indrawati dari sekolah unggulan lainnya. Di dalam skema Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Matematika dipatok sebesar 66,46 di SDN terfavorit di Kota Bandung ini. Di saat mayoritas sekolah masih mematok nilai kelulusan rendah, SLB A Negeri Kota Bandung justru berani menyamakan standar kelulusan dengan UN. Nilai rata-rata kelulusan 5,5 dengan tidak boleh ada nilai di bawah 4,0. Jadi, kalau ada siswa punya nilai 9 dan 10 pada Bahasa (Indonesia) dan IPA tapi nilainya 3,9, ia tidak lulus UASBN, ucap Amuda, Wakil Kepala SLBA Negeri Kota Bandung. LEBIH BAIK Tahun ini, pembuatan soal Matematika di UASBN juga melibatkan Asosiasi Guru Matematika Indonesia (AGMI). Menurut Presiden AGMI, Firmansyah Noor, ini adalah sebuah langkah terobosan. Kami dilibatkan dalam proses validasi untuk mencek bahasa, struktur, dan konsep soal. ”Tapi, tanpa mengubah materinya. Pemerintah daerah lebih berani mengakomodasi pihak yang punya kompeten,” ucapnya. Ia meyakini, kualitas soal Matematika UASBN lebih baik dari ujian nasional, baik di tingkat SMP maupun SMA sederajat. Keterlibatan daerah pun lebih banyak, yaitu 75 porsi pembuatan materi soal berada di provinsi sedangkan sisanya di pusat. Berdasarkan hasil pemantauan, kualitas soal Matematika UASBN lebih variatif dengan ragam tingkat kesulitan. (kom)