MENGUKUR KINERJA PEMERINTAH DAERAH MELALUI TRANSPARANSI, AKUNTABILITAS DAN PARTISIPASI (TAP) Fenomena globalisasi telah memberikan kesadaran dan pemahaman akan hak-hak rakyat secara sosial sebagai warga masyarakat, maupun secara politis sebagai pemegang kedaulatan. Hal ini dipahami sejauh kita memandang atas konsekuensi-konsekuensi sosial terhadap tumbuhnya kapasitas global civil society. Model masyarakat ini muncul di dalam situasi pasar global (global market) yang telah memproduksi masalah-masalah penting tentang rendahnya kualitas hasil pelayanan pemerintahan dalam sumber daya air, makanan dan lain semacamnya. Kemunculan global society bermakna pula mendorong suatu kebutuhan untuk sebuah sistem global governance.1 Tantangan-tantangan dari pasar global pada bangsa Indonesia dan komunitas lokal di seluruh kabupaten/kota adalah nyata dan jalan keluar pada problem-problem dunia tersebut dijalani melalui pembentukan sistem baru tentang akuntabilitas. Secara kontekstual, sistem baru akuntabilitas di Indonesia merupakan bagian dari Good Governance ⎯atau tata pemerintahan yang baik⎯ yang telah memberikan landasan bagi perubahan pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini sentralistik menjadi desentralistik, dari instruksi menjadi pemberdayaan, dari seragam menjadi beragam, dari melaksanakan menjadi mengarahkan, dan lain-lain dengan nuansa yang lebih mengutamakan proses dari bawah. Harapan untuk mewujudkan Good Governance berkembang bersama-sama dengan semangat desentralisasi dan Otonomi Daerah yang berimplikasi pada perubahan paradigma pembangunan yang menuntut pemerintah atau birokrasi untuk berubah peran secara fundamental. Peran fundamental tersebut dapat ditunjukkan dengan mendorong penafsiran atas good governance di seluruh daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara evolutif, gradual dan sistematik. Agar penafsiran tersebut tidak mengembang pada disintegrasi dan kontradiksi antara masyarakat dan pemerintah, maka patut dipertimbangkan perihal sistem baru tentang akuntabilitas (the new system of accountability). Sistem baru yang dirintis tersebut terkait dengan gerak-sistemik ekonomi global (global economy) yang membutuhkan antara lain: civil contracts, civil partnerships, civil monitors, civil transparency serta civil arbiters for settling disputes. Desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan peluang untuk menafsirkan good governance dengan kebutuhankebutuhan dari ekonomi global tersebut. Efek-efeknya adalah terjadinya perubahan terhadap model pembangunan di Indonesia yang tidak kedap terhadap kritik dari masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Keputusan-keputusan strategis yang dahulu cukup dikendalikan oleh Pusat (baca: Jakarta), sekarang harus diberikan kewenangan daerah untuk memutuskannya. Kebijakan Desentralisasi dan otonomi daerah telah mendorong pemerintah daerah untuk bertanggung jawab secara penuh dalam menyediakan pelayanan (service delivery) Severyn T. Bruyn, A Civil Economy: Transforming the Market in the Twenty-First Century (Michigan: The University of Michigan Press, 2000), hlm. 200. Tulisan Bruyn ini berguna untuk memberikan konteks good governance yang tidak mudah ditafsirkan bila dihadapkan dengan pengawasan program dan aspek keuangan daerah. Tantangan yang dihadapi oleh berbagai bangsa dan pemerintahan saat ini adalah sistem baru akuntabilitas yang berupaya mengatasi kelemahan sektor pembangunan hukum terhadap perimbangan keuangan, pengendalian pasar dan tumbuhnya sektor swasta. 1
1
kepada masyarakat secara lebih baik, mendorong kegiatan ekonomi lokal (economic promotion) secara intensif, sesuai dengan karakteristik dan tradisi lokal. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat pewujudan kesejahteraan masyarakat di daerah. Secara hukum positif, kebijakan tersebut diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang tersebut berlaku sejak 1 Januari 2001. Tantangannya adalah bagaimana pemerintah daerah, khususnya pada tingkat kabupaten/kota dapat menjalankan fungsinya secara lebih transparan, akuntabel dan partisipatif sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di ruang publik. Dalam perjalanannya perubahan-perubahan akibat kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah tersebut masih menemukan banyak kendala terutama kesiapan daerah untuk memaksimalkan kewenangan yang dimiliki dengan kemampuan dan kapasitas daerah yang dimiliki serta masih banyak mengalami kesenjangan. Kesenjangan tersebut merupakan peluang untuk tumbuhnya hal-hal yang selama ini ingin kita hindari melalui semangat pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau spirit of good governance. Dengan demikian perubahan paradigma pembangunan tersebut membutuhkan satu mekanisme pendamping agar proses transisi tersebut sampai pada tujuan yang tepat. Proses transisi 2 untuk mencapai maksimalisasi nilai dari Desentralisasi dan Otonomi daerah, menuntut adanya desain transisi yang lebih efektif, efisien, dan akuntabel. Dengan demikian sistem pendampingnya ataupun sistem pengawalnya hendaknya memiliki karakteristik tersebut yaitu satu sistem pengamanan yang mampu menumbuhkan semangat transparansi, akuntabilitas pada publik dan mampu memperkuat partisipasi masyarakat yang baru muncul. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi perlu didampingi sistem pengamanan dan pengawasan yang mampu menumbuhkembangkan atau memaksimalkan nilai pembangunan daerah bukan justru menjadikan pembangunan daerah “invalid”. Adapun nilai-nilai yang dimaksudkan dalam sistem pengamanan dan pengawasan tersebut adalah nilai-nilai yang dapat dipahami dengan mudah di ruang publik, seperti halnya didesain dalam safeguarding. Safeguarding melalui tiga pilar (transparansi, akutabilitas dan partisipasi) menjadi satu tawaran yang sangat sesuai dengan tuntutan pembangunan Indonesia kedepan. Sehingga dalam konteks desentraliasi dan otonomi daerah, safeguarding justru mulai menemukan peran strategisnya. Karena dengan ketiga pilar tesebut proses pengawalan tidak hanya sesuai dengan tuntutan isu pembangunan Indonesia kedepan namun juga memiliki muatan nilai yang mampu menumbuhkembangkan spirit of the best good governance. Isu-isu perubahan dalam paradigma pembangunan dan tuntutan terhadap maksimalisasi nilai (value) dari desentralisasi serta otonomi daerah semakin menempatkan spirit of good governance sebagai satu semangat yang tidak bisa ditunda Sebagai perbandingan, lihat tentang makna “transisi” dari Dr. Kusnanto Anggoro, dalam hal Hukum, Undang-undang dan Masa Transisi. Derajat demokrasi dapat dilihat dari kemampuan hukum dan perundangan memberi tempat aturan demokratik ―khususnya bagi disain/konsistensi desentralisasi. Baik dari segi keterlibatan semua unsur politik dalam penyusunan aturan-aturan itu dan/atau dari segi konsistensi pelaksanaannya. Kesemua faktor tersebut mungkin harus dilihat sebagai sesuatu yang akumulatif dan komprehensif. Simak pengantar Dr. Kusnanto Anggoro pada buku Anom Surya Putra, Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Ideologi (Bandung: Nuansa Cendekia, 2003). 2
2
(bahkan mendesak untuk direvitalisasi) agar pembangunan daerah berjalan efektif dan efisien (terbebas dari segala persoalan KKN) dan berpihak pada masyarakat (community based). Dibutuhkan satu mekanisme yang mampu menerjemahan spirit of good governance yang lebih kultural, lebih terukur dari sisi waktu dan energi, dan lebih mempertimbangkan kepentingan publik maupun pemerintah. Safeguarding terbukti merupakan satu mekanisme yang efektif didalam mengebumikan (down to the earth) spirit of Good Governance melalui semua pihak (pemerintah dan masyarakat). Pemahaman safeguarding secara kultural berarti menempatkan spirit “kebebasan memperoleh informasi” sebagai fokusnya. Selama ini pemahaman safeguarding telah diupayakan untuk bergeser dari sekedar “jaring pengaman sosial” menuju pengamanan yang jauh lebih sistemik. Konsekuensinya, safeguarding yang statis dalam program terdahulu (JPS) berupaya dikritisi sesuai international agreements dalam ASEM-Trust Fund, guna membangun civil governance secara cepat. Dari pengalaman yang dijalankan safeguarding terlihat bahwa kenyataan “unservice delivery” dapat terbuka dengan sendirinya melalui Temu Publik. Dengan demikian, safeguarding terlihat sebagai salah upaya dari sekian banyak program pemerintah, untuk menafsirkan good governance dalam ruang lingkup yang lokal dan spesifik namun berdampak luas. Dampak luas tersebut dapat kita lihat dalam pergeseran-pergeseran paradigma pembangunan (desentralistik), sosial-ekonomi (partisipasi masyarakat) serta teknologi informasi (media publik). Pergeseran paradigmatik tersebut pada gilirannya diharapkan dapat bertemu dengan kenyataankenyataan “desentralistik” di seluruh kabupaten/kota yang senantiasa berkembang secara cepat. Perubahan lingkungan telah meningkatkan tuntutan masyarakat terhadap hasil kinerja instansi pemerintah, dimana perubahan yang perlu dipertimbangkan adalah: 1. Kemajuan tehnologi yang melebihi dari yang diimajinasikan manusia 2. Sumberdaya yang menjadi semakin langka 3. Tuntutan publik terhadap efficiensi dan effectivitas operasi instansi pemerintah 4. Dominasi sikap kritis masyarakat ketimbang patuh terhadap peraturan 5. Tumbuh berkembangnya orientasi pada hasil Perubahan dan tuntutan lingkungan diatas mengarahkan pada instansi pemerintah untuk mampu mengkreasikan: (1) Keseimbangan antara sedikitnya regulasi dengan efektifitas Manajemen resiko, (2) mencapai visi dan misi instansi dengan kondisi semakin langkanya sumberdaya yang ada, (3) Adanya alat yang mampu merespon tantangan kedepan pada saat membangun budaya yang semakit positif, untuk itu dibutuhkan institusi yang: a. sehat, seimbang, efisien dan efektif; b. memberikan playanan pada publik sekaligus aparat c. menempatkan nilai tambah pada setiap hasil (result) sehingga mampu menjadikan institusi pemerintah/publik sebagai lembaga yang mampu merespon tantangan masa depan dengan baik, dan mampu menstimuli masyarakat untuk meraih kemakmuran dan keadilan sosial. Agenda reformasi telah mengintrodusir adanya kebutuhan good governance sebagai salah satu jawaban atas persoalan tata pemerintahan saat ini (baik pada tingkat
3
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah). Dengan ditetapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai keleluasaan pemerintah daerah untuk memaksimalkan nilai (value) pembangunan, maka tuntutan terhadap tata pemerintahan yang baik menjadi satu kebutuhan yang tidak dapat dihindari. Dalam konteks fiskal, desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola dan mengalokasikan dana yang ada sesuai dengan aspirasi daerah, dalam upaya lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dengan desentralisasi fiskal ini diharapkan akan tercipta perencanaan dan pengelolaan anggaran yang transparan, akuntabel, dan partisipatif sehingga tercapai pengelolaan dana yang terbaik sesuai dengan kebutuhan daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan untuk : 1. memantapkan kesinambungan kebijaksanaan fiskal dalam konteks kebijakan ekonomi makro; 2. mengkoreksi vertical imbalance atau ketimpangan antara keuangan Pusat dan keuangan Daerah yang dilakukan dengan memperkuat taxing power Daerah; 3. mengkoreksi horizonial imbalance yaitu ketimpangan antar daerah; 4. meningkatkan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat, 5. meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan effisiensi keuangan daerah dalam peningkatan kinerja pemerintah daerah, dan 6. mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik. Dengan demikian dibutuhkan satu sistem atau mekanisme yang mampu mengawal desentralisasi fiskal (termasuk Dana Alokasi Khusus) melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, agar alokasi dan pemanfaat dana digunakan sesuai dengan kepentingan daerah dan masyarakat. Berdasarkan hasil uji coba di 5 (lima) kabupaten/kota dalam pelaksanaan Penguatan Pengamanan (safeguarding) Program Pembangunan Daerah Fokus pada Dana Alokasi Khusus Tahun 2003 diperoleh masukan bahwa penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengelolaan DAK perlu dikembangkan lebih lanjut. Dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 548/KMK.07/2003 tanggal 19 Desember 2003 tentang Penetapan Alokasi dan Pedoman Umum Pengelolaan DAK Non Dana Reboisasi 2004, diamanatkan bahwa DAK sebagai salah satu komponen dana perimbangan harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini merupakan respon terhadap komitmen bersama didalam mewujudkan good governance sekaligus sebagai salah satu tindak lanjut atas evaluasi DAK sebelumnya yang membutuhkan perbaikan didalam pengelolaannya. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam penyelenggaraan program pembangunan sesungguhnya mulai diterapkan secara programatis pada tahun 1999 dalam rangka Pengamanan (safeguarding) program Jaring Pengaman Sosial (JPS) di daerah-daerah. Tujuannya adalah agar bantuan yang disalurkan melalui program JPS itu sampai ke penerima manfaat secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat lokasi. Namun penerapannya ketika itu dinilai belum mencapai hasil yang maksimal. Padahal, jika dilaksanakan secara sistematis, terprogram dan konsisten, penerapan ketiga prinsip tersebut memilik potensi yang amat besar dalam meningkatkan keberhasilan program pembangunan.
4
Wacana tentang Pengamanan (safeguarding) program pembangunan daerah saat ini sudah cukup menyebar sampai ke daerah-daerah, baik di kalangan pelaku pembangunan maupun pemilik kepentingan. Kesepakatan bahwa prinsip-prinsip penyelengaraan pemerintahan yang baik - khususnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi - perlu diterapkan dalam penyelenggaraan program pembangunan juga sudah terbentuk. Namun demikian, substansi gagasan dan konsepnya yang masih diperdebatkan. Akibatnya, penerapan prinsip-prinsip tersebut tidak jarang menemui hambatan yang bersifat mendasar karena adanya perbedaan pandangan serta sikap di antara para pelaku dan pemilik kepentingan, termasuk dalam hal bentuk operasionalisasi penerapannya. ALOKASI SUMBERDAYA Sumberdaya yang dimiliki sektor publik termasuk sumberdaya tangible seperti uang (sering kali dialokasikan melalui proses anggaran institusi), dan sumberdaya intangible seperti public power diantaranya law infrocment, system perpajakan, proteksi lingkungan dan lain sebagainya. Alford (2000) melihat hal ini sebagai salah satu faktor pembeda antara sektor publik dan bisnis, dan implikasi dari penggunaan public power sebagai sumberdaya terlihat pada tingkat biaya atau tingkat tabungan potensial yang diperoleh akibat penggunaan yang sesuai atau tidak sesuai (pemborosan) sumberdaya tersebut (Moore, 1995), dan oleh karenanya hal tersebut menambah komplek Manajemen Strategi pada sektor publik. Ketepatan penggunaan public power merupakan factor penting didalam membangun efektifitas alokasi sumberdaya yang ada. Namun demikian organisasi sektor bisnis pun pada posisi monopoli atau oligopoli juga membutuhkan kehati-hatian didalam penggunakan dan kemungkingan kesalahan dalam penggunaan power/kekuatan posisi mereka yang akan berakibat pada eksistensi strategi. Perlunya penggunaan public power secara efektif karena organisasi sector publik (bahkan sector bisnis) dihadapkan pada kondisi semakin langka dan mahalnya sumberdaya. Guna menompang skenario strategi, menempatkan sumberdaya sebagai salah satu persoalan strategis bagi organisasi sector publik. Perlunya mencari sumber daya yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan sama pentingnya dengan bagaimana mengalokasikan sumberdaya tersebut secara effisien, effektif, dan memiliki daya guna. Tujuan dasar dari sistem manajemen sumberdaya, dimana anggaran sebagai satu-satunya komponen, adalah: 1. Aggregate fiscal diciplin .Untuk mendesain dan menjaga disiplin fiscal keseluruhan (aggregate fiscal diciplin), diantaranya untuk memastikan pemerintah tidak membelanjakan, secara keseluruhan, melebihi dari ketentuan, adalah merupakan satu kontrol terhadap anggaran. Efektifitas keseluruhan anggaran merupakan kedisiplinan keseluruhan system. Kontrol secara total merupakan tujuan dari semua sistem anggaran. 2. Allocation Efficiency. Untuk mengalokasikan sumberdaya sesuai dengan prioritas pemerintah (diantarnya membelanjakan atas pertimbangan paling penting secara politik – effisiensi alokasi/allocation efficiency). Alokasi secara efficiensi merupakan kapasitas dalam mewujudkan prioritas melalui anggaran, yaitu (1) mendistribusikan sumberdaya atas dasar prioritas pemerintah dan afektifitas program, (2) mengalihkan
5
sumberdaya dari prioritas lama ke prioritas baru atau dari yang wilayah tidak produktif ke wilayah lebih produktif sesuai dengan tujuan pemerintah. 3. Mendorong effisiensi didalam penggunaan sumberdaya anggaran didalam menjalankan program dan pemberian pelayanan (efisiensi operasional/operational efficiency) (OECD, 1999)
Basic Objcrtive Aggregate Fiscal Discipline
Level of Budget Management
Overall Expenditure Control
Macro Economic
Resources Allocation Allocation Efficiency
Strategic Areas (intersektoral)
Policy
Within Strategic Areas Programmes–actions prioritization Technical Efficiency
Operational – Service Delivery
Human Resources Management Systems
Operational Objective
Codes of Conduct. Ethics and Informal Rules
Gambar: Basic Objective of PEM and Budget Management Sebagaimana diagram Basic Objective of PEM and Budget Management tergambarkan posisi strategi Alokasi Sumberdaya (Resources Allocation) dalam konteks public expenditure management dan buget mnagement . Alokasi sumberdaya merupakan determinasi dari tujuan kebijakan , dimana platfon politik pemerintah akan tercermin pada dinamika pergerakan sumberdaya ini. Ketepatan alokasi sumber daya akan memberikan kekuatan kepada organisasi sector publik, namun sebalikknya ketidak tepatan alokasi sumberdaya akan berakibat menjadi bumerang didalam mempertahankan eksistensi strategi. Proses anggaran sendiri merupakan wilayah dimana sektor publik dan bisnis memiliki perbedaan yang sidnifikan. Ketika belum semua negara beralih dari pendekatan akutansi publik tradisional (pendekatan kotrol input anggaran) ke model baru yang didasarkan pada kontrol output seperti akutansi akrual yang didasarkan pada kerangka kerja output outcome (MAP 1997). Pendekatan sistem anggaran baru membutuhkan optimalisasi penggunaan sumberdaya untuk mencapai target output yang disetting oleh
6
kepentingan publik (Pollitt & Bouckaert, 1999). Sistem penganggaran baru harus mampu mendukung performance management dalam hal: • Melakukan setting sasaran dan target kinerja untuk setiap program; • Memberikan manager, yang bertanggungjawab atas program tersebut, kebebasan untuk proses implementasi untuk mencapai sasaran dan target; • Mengukur dan melaporkan kinerja nyata dibanding dengan sasaran dan target; • Memberikan informasi balik tentang penentuan pencapaian kinerja untuk program masa datang, perubahan atas konten dan atau desain program, memberikan imbalan dan pinalti secara organisasi maupun secara individu; • Memberikan informasi ex post review kepada komite legeslatif dan external auditor. (OECD, 1999) Hal ini merupakan indikasi dibutuhkan suatu mekanisme kontrol strategi yang efektif pada sektor publik dalam rangka “ untuk menyakinkan apakah strategi telah diimplementasikan sebagaimana direncanakan dan hasil strategi tersebut sesuai dengan yang diharapkan” (Schendel & Hofer, 1979). Hal tersebut juga menandakan akan adanya kebutuhan atas Manager Publik untuk melihat aspek-aspek jangka pendek diluar fokus keuangan pada sirkulusi anggaran tahunan (Johnson & Kaplan, 1987), dimana hal tersebut merupakan aspek utama dari kewenagan lingkungan “Authorising Environment” dalam mengontrol atas penggunaan sumber daya di sektor publik (Stewart, 1996). Hal mengarahkan pada rasionalitas atas asumsi bahwa manajer publik, sebagaimana manager sektor bisnis, harus mengelola dengan baik lingkungan operasional yang rentan perubahan (volatile operating environments), perlu mengadopsi pedekatan Manajemen yang lebih fleksibel kedepan dalam rangka peningkatan Strategic Control 3 (Muralidharan, 1997; Goold & Quinn, 1990). AKUNTABILITAS DAN KEPERCAYAAN Banyak perdebatan tentang akuntabilitas pada literature Manajemen publik berfokus pada proses peralihan akuntabilitas dari politikus - hasil pemilihan - kepada para manager publik, hal ini merupakan hasil atas reformasi managemen publik baru, dan akibat negatif dari peralihan ini membuka peluang positif maupun negatif terhadap proses politik dan konstitusi (Denhardt and Denhardt, 2000; Pollitt and Bouckaert, 1999; Pierre 1995). Sebelum mengkaitkan dengan efektifitas Manajemen Strategi, paper ini akan berkonsentrasi pada dua aspek akuntabilitas di organisasi sektor publik. Pertama, potensial dampak negatif perubahan (improvement) radikal atas kinerja disebabkan “kemubajiran” akuntabilitas publik secara politik akibat dari perubahan struktur yang terpisah dari “steering from rowing” atau kebutuhan lini depan (Osborne and Agebler, 1992); kedua, pentingnya akuntabilitas internal antara semua lapisan manajemen pada organsiasi sektor publik. Keduanya hal tesebut diatas dipengaruhi oleh ketiadaan budaya kinerja yang umumnya terdapat pada organisasi sektor publik dan ketiadaan kepercayaan antara kepemimpinan politik dan kepemimpinan eksekutif ( Pollitt and Bouckaert, 1999; Stewart 1996) Ada Dua aspek dalam strategic control. Pertama untuk mengontrol implementsi strategi dijalankan sebagaimana direncanakan. Kedua mengontrol konten strategi atas asumsi-asumsi perencanaan yang tidak valid dan ancaman atau peluang yang mendesak. Strategic Control berbeda dengan Managemen Control, dimana Management Control merupakan proses untuk meyakinkan bahea setiap aktifitas operasional telah dijalankan sesuai dengan ketentuan untuk pencapaian kinerja
3
7
Organisasi yang dimiliki publik pada sektor bisnis merupakan pelaku utama didalam melakukan uji pasar sebagai target kinerja masa depan, sama halnya dengan kinerja masa lalu yang pada umunya merupakan ujian dan perbandingan dengan kinerja kopetitor atau pesaing yang terkait. Meskipun uji pasar telah menjadi bagian prinsipprinsip Manajemen publik baru, sebagaimana didiskusikan didepan, hal tersebut masih memiliki keterbatasan bukti bahwa hal tersebut telah tercapai dengan sukses (Pollitt & Bouckaert, 1999). Diantara alasannya adalah kurangnya perhatian khusus terhadap Manajemen publik baru, juga adanya kelangkaan atas kepercayaan dan kadang adanya perilaku salah yang berkelanjutan, seperti ketika: • “Tiadanya titik akhir atas arus regulasi dan leglisasi baru, memorandum, instruksi, juklah, dan penjelasan yang “membanjiri” pada institusi sekor publik”. Hal ini tidak cukup untuk mewujudkan akuntabilitas kepada publik kedepan, sebagai mana untuk meyakinkan bahwa program tersebut dikontrol dengan ketat dengan memberikan informasi yang memudahkan untuk diukur, ketimbang memberikan gambaran yang meyakinkan akan kualitas kinerja (O’neil, 2002) • Target yang kontradiktif dan subjektif (baca: tidak rasional) merupakan landasan para manager publik sebagai ukuran kontrol, tapi hal tersebut tidak akan dapat tercapai tanpa adanya suatu penyimpangan (O’Neil,2001) • Organisasi yang telah memiliki dan mempublikasikan target yang jelas masih mendapat kritik keras atas kegagalannya untuk mencapai target, walaupun kinerja mereka telah terjadi peningkatan yang dramatis. Dan ketika organisasi yang sama mencapi target mereka, mereka masih beresiko tidak didukung oleh sumberdaya yang cukup bahkan bisa berkurang (Stewart 1996). Hal tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi kemampuan organisasi sector publik untuk membangun akuntabilitas internal dan kepercayaan guna mengartikulasikan dan membangun komitmen atas tujuan yang telah digariskan secara jelas. Sebelum terbangunnya akuntabilitas ekternal dibutuhkan satu hukum atau aturan serta akutabilitas internal untuk menjalankan organisasi secara efektif dalam lingkungan yang dinamis, dimana “jalan lama” mesin birokrasi tidak dipakai lagi (Simon 1995). Oleh karenanya organisasi sektor publik tidak memiliki pilihan lagi, tetapi dengan mencoba dan mengimplementasikan sebuah pendekatan untuk Manajemen Strategi dapat membantu mengurangi konsekuensi potensi negatif dari situasi diatas. Bagaimanapun juga , hal ini relatif tidak memiliki perbedaan dengan organisasi sektor bisnis yang juga membutuhkan bangunan kepercayaan dan kejelasan akutabilitas. Walaupun secara tehnis diklasifikasinya sebagai isu internal, perusahaan swasta masih menghadapi tantangan yang mirip sebagaimana ilustrasi diatas dalam format tiadanya kepercayaan yang memicu inisiatif kontrol yang kontraproduktif antara lain dalam hubungan antara perusahaan induk dan unit bisnis dalam portfolio mereka (Campbell, 1995). MENGUKUR PELAKSANAAN TAP DAERAH Instansi pemerintah sebagai institusi menyandang misi pemerintah, negara dan stakeholder akan terlibat minimal pada 3 (tiga) kegiatan utama yaitu: (1) mendesain jasa yang sesuai dengan amanat konstitusi, (2) memproduksi jasa tesebut secara cost effective, (3) memasarkan, menyampaikan atau men-delivery jasa tersebut secara efektif kepada customer atau user.
8
Agar efektif ketiga kegiatan tersebut perlu direncanakan dengan baik, diperlukan system perencanaan menyeluruh tentang tiga kegiatan tersebut dan pengendalian pelaksanaan rencana. Pengendalian pelaksanaan rencana merupakan serangkaian kegiatan yang tidak sekedar ditekankan pada aspek evaluasi pasca kegiatan, namun lebih dari itu dibutuhkan satu mekanisme dimana pengendalian berlangsung secara simultan dan terus menerus didalam proses pelaksanaan sampai pada proses perencanaan berikutnya. Untuk itu proses perencanaan, implementasi dan pengendalian merupakan satu rangkain utama yang tidak dapat dipisahkan, tiga kegiatan tersebut merupakan satu system yang menyeluruh, terpadu, efisien dan effektif. Dengan demikian dibutuhkan seperangkat teknologi atau alat mendukung satu proses pengendalian yang sistemik dan terintergrasi dengan system perencanaan tersebut. Keterpaduan antara strategy system perencanaan, pengendalian dan pengukuran dapatlah digambarkan secara sederhana sebagai mana Gambar 2. Gambar 2 TYPICAL PUBLIC SECTOR
O
C
G
S S
Customer & Other Requirements
Mission Strategy EVALUATE
Goals
Outcomes
Plans Resources
Outputs
P R O C E S S
Inputs
EXECUTE Performance Measures Diagram pada Gambar 2 tersebut menempatkan penilian kinerja (peformence measure) tidak sebagai bagian kecil kegiatan evaluasi tetapi merupakan aktifitas khusus yang mampu mendinamisir seluruh bagian kegiatan penting mulai dari penyusunan perencanaan strategi, implementasi sampai evaluasi. Sistem tersebut memerlukan perangkat pengukuran yang mampu menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh setiap kegiatan penting dan strategis. Terlebih salah satu kandungan utama setiap desain strategis adalah memiliki dimensi waktu kedepan, artinya strategi tersebut harus mampu mengeksploitasi peluang dimasa mendatang. Untuk itu perangkat pengukurannya pun haru memiliki kapasitas untuk menjawab persoalan waktu dan pemanfaatan peluang dimasa mendatang, tidak sekedar mengukur kinerja masa lalu saja.
9
Kemampuan memberikan informasi atas hasil pengukuran terhadap perubahan positif budaya organisasi, system dan proses melalui kesepakatan bersama terhadap penentuan kinerja tujuan, skala prioritas dan alokasi sumberdaya, lintas informasi antar maneger dalam konfirmasi dan perubahan arah kebijakan dan program untuk mencapai tujuan. Sefagurading atau TAP sebagai suatu sistem yang akan diposisikan dalam bagian sisitem yang lain dan relatif barunya, program ini sehingga belum banyak dipahami oleh semua stakeholder pembangunan maka persoalan startegis yang banyak muncul adalah sebagai berikut: a. Sosialisasi Safeguarding Pemahaman yang rendah berakibat pada rendahnya komitmen aparat maupun masyarakat terhadap pengamanan dan penguatan program-program pembangunan daerah, maka diperlukan satu bentuk kegiatan yang mengkampanyekan safeguarding sebagai satu "gerakan" yang harus mewarnai setiap program pembangunan di daerah melalui media massa yang dapat menjangkau setiap lapisan masyarakat. b. Regulasi Safeguarding Karena lemahnya komitmen aparat dan masyarakat terhadap safeguarding maka diperlukan satu perangkat regulasi, seperti Perda, SK kepala Daerah, dan lain sebagainya. Hal ini untuk memberikan kekuatan pada seluruh stakeholder agar komit terhadap pelaksanaan safeguarding. Beberapa daerah memang telah memiliki perda transparansi dan partisipasi tetapi yang harus diperhatikan, adalah proses penyusunannya haruslah melibatkan selurul stakeholder mulal dari tingkat RT/RV Desa, dan Kecamatan sampai Kabupaten/Kota. c. Institusionalisasi Safeguarding Safeguarding perlu dikawal oleh satu institusi yang bersifat fungsional. Hal ini bisa dilakukan dengan merevitalisasi institusi yang ada (misalnya pada program JPS). Institusionalisasi ini diharapkan lintas program dan melibatkan semua stakeholder yang bertugas mulai proses sosialisasi safeguarding sampai pemantauan dan evaluasi. d. Peningkatan Sumberdaya Manusia Berbagai kegiatan pelatihan mengenai akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dalam program pembangunan daerah perlu diupayakan terus. Peningkatan sumber daya manusia juga bisa dilakukan dengan mengupayakan berbagai macam bahan-bahan bacaan agar stakeholder di daerah memiliki pemahaman dan acuan dalam menerapkan safeguarding e. Dukungan Pendanaan Agar safeguarding dapat tersosialisasi dan terimplementasi maka dibutuhkan dukungan pendanaan yang memadai, pendanaan tersebut harus secara jelas memisahkan pendanaan untuk kegiatan utama program dengan pendanaan kegiatan pendukung safeguarding. Pengukuran kinerja pembangunan daerah akan amat terkait dengan keseluruhan desain dan skenario strategi dan perencanaan daerah, karena hal ini menjadi satu paket kepentingan didalam perencanaan pembangunan daerah. Namun demikian apabila dikaji dari aspek sumberdaya pembangunan daerah, maka sumberdaya daerah akan berasal dari: 1. Sumberdaya daerah itu sendiri melalui PAD, sumberdaya alam, partisiapssi masyarakat, informasi lokal dan sebagainya,
10
2. Sumebrdaya Pemerintah Pusat berupa kewenangan-kewenangan pusat yang dilimpahkan ke daerah, dan sumberdaya keuangan melalui Desentralisasi Fiskal Dengan demikian maka minimal daerah memiliki dua kutub pertanggungjawaban yaitu kutub pertanggungjawaban untuk daerah itu sendiri, pertanggungjawaban kepada Pemerintah Pusat atas pemanfaatan sumberdaya yang berasal dari pusat. Dan apabila memasuki wilayah pengukuran kinerja, maka pemerintah daeah tidak cukup hanya menyertakan pengukuran yang terkait kepentingan lokal semata namun lebih jauh daerah dan pemerintah pusat hendaknya menyepakati ukuran bersama atas pemanfaatan sumberdaya dari Pusat dimana hal tersebut yang menjadi titik tolak kinerja nasional. Pengukuran nasional ini kedepan menjadi semakin penting, karena menyangkut: 1. efektifitas sistem delivery dari sumberdaya dan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah 2. efektifitas pengelolaan sumber daya di daerah 3. menjadi standart bahasan atau pijakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam evaluasi desentralisasi fiskal. Namun demikian adlah menjadi fakta di daerah bahwa tidak setiap daerah memiliki kecukupan atas infrastuktur, kebijakan dan pergerakan didalam membangun TAP sebagai “atmosfir” pembangunan daerah, dimana hal ini justru seharusnya menjadi kepentingan strategis nasional dalam hal memetakan: 1. Daerah-daerah yang memiliki peringakt Good Governance atau TAP untuk dipakai sebagai dasar layak atau tidaknya untuk mendapatkan kewenangan yg lebih besar dalam otonomi daerah. 2. Daerah-daerah mana yang memiliki atmosfir Good Governance yang kondusif untuk mendatangkan investor. 3. Sebagai titik tolak didalam ”memproduksi” kebijakan daerah khususnya berkaitan dengan Good Governance. Hal yang paling memungkinkan dalam mengukur kinerja pemerintah daerah melalui pelaksaan TAP adalah: 1. Perspektif Regulasi. Perspektif regulasi untuk melihat sejauhmana pemerintah daerah telah memiliki komitmen menciptakan ”mesin-mesin” penggerak untuk terimplmentasikannya TAP. Hal ini dapat dikaji melalui seberapa banyak dan lengkap regulasi, kelembagaan dalam kaitan pelaksanan TAP. 2. Perspektif Institusionalisasi Dengan dimasukkannya pelaksanaan TAP dengan pendekatan safeguarding di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 548/KMK.07/2003 merupakan momentum untuk mengkaji sampai sejauhmana Pemerintah Daerah memiliki komitmen melibatkan masyarakat sebagai satu bagian didalam desain kebijakan pemanfaatan DAK Non DR di daerah. Hal ini dapat dikaji sampai sejauhmana pemerintah daerah memiliki ”Standart Operasi dan Prosedur (SOP)” pelibatan masyarakat didalam pemanfaatan sumberdaya DAK Non DR di masing-masing sektor. 3. Perspektif Pendanaan Konsekuensi logis untuk menggerakkan ”mesin-mesin” TAP didaerah maka kesediaan sumberdana merupakan hal yang tidak terelakkan. Ketersediaan
11
sumberdana didalam membangun TAP merupakan wujud komitmen Pemerintah Daerah didalam membangun Good Governance. Evaluasi sementara pada pemerintah daerah, perspektif ini merupakan hal yang langka didaearah didalam membangun TAP kalupun ada tidaklah dalam konteks membangun Good Governance yang melekat dalam setiap nadi dinamika pembangunan sektor di daerah. Oleh karenanya merupakan langkah startegi apabila Pemerintah Pusat memberikan stimuli, dorongan, dan desakan kepada Pemerintan Daerah untuk menyikapi hal diatas sebagai persyaratan didalam mendapatkan densentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal seharusnya mewajibkan setiap daerah untuk melakukan minimal 3 perpektif didalam membangun TAP dalam manajemen DAK Non DR.
12