g yang mati karena penasaran? Siapa yang peduli apa yang bakal terjadi?" "Menurutku semua orang yang sudah pergi sejauh ini bakal terus bertanyatanya sampai membuatnya tidak waras. Itulah Sihir yang menguasai tempat ini. Aku bahkan bisa merasakannya mulai bekerja pada diriku." 78 "Yah, kalau aku tidak," kata Polly ketus. "Dan aku tidak percaya kau merasakannya. Kau hanya mengarang." "Karena memang hanya itu yang kauketahui," kata Digory. "Soalnya kau perempuan. Perempuan tidak pernah mau tahu apa pun kecuali gosip dan meributkan orangorang yang bertunangan." "Kau benarbenar mirip pamanmu waktu berkata begitu, tahu," kata Polly. "Kenapa kau mengubah topik pembicaraan?" kata Digory. "Kita kan sedang membicarakan—" "Benarbenar seperti pria dewasa!" kata Polly dengan suara yang begitu dewasa, tapi dia buruburu menambahkan, dengan suara biasanya, "Dan jangan bilang aku juga bersikap seperti wanita, karena dengan begitu kau hanya peniru yang payah." "Aku bahkan tidak pernah bermimpi raemanggil anak kecil sepertimu wanita," kata Digory angkuh. "Oh, jadi aku anak kecil, ya?" tanya Polly, yang kini benarbenar marah. "Yah, kalau begitu kau tidak perlu direpotkan dengan kehadiran anak kecil lagi. Aku akan pergi. Aku sudah muak dengan tempat ini. Dan aku juga 79 sudah muak padamu—dasar payah, sombong, keras kepala!" "Jangan lakukan itu!" kata Digory dengan suara yang lebih galak daripada yang dimaksudkannya, karena dia melihat tangan Polly bergerak ke saku untuk mengambil cincin kuningnya. Aku tidak bisa memaklumi apa yang selanjutnya dia lakukan kecuali dengan mengatakan Digory sangat menyesalinya di kemudian hari (begitu juga begitu banyak orang baik
lainnya). Sebelum tangan Polly sampai di sakunya, Digory mencengkeram pergelangan tangan Polly, menahan tubuh Polly dengan punggungnya. Lalu, sambil menghalangi lengan Polly yang satu lagi dengan siku lainnya, Digory membungkuk ke depan, meraih palu, dan membunyikan bel emas itu dengan pukulan pelan tapi pasti. Kemudian dia melepaskan Polly dan mereka berdua terjatuh sambil saling menatap dan terengahengah keras. Polly mulai menangis, bukan karena ketakutan, dan bahkan bukan karena Digory telah menyakiti pergelangan tangannya, tapi karena marah luar biasa. Namun dua detik kemudian, ada sesuatu yang menyita pikiran mereka sehingga pertengkaran itu pun terlupakan. Begitu dipukul bel itu mengeluarkan nada, 80 nada indah seperti yang mungkin sudah kauduga, tidak terlalu keras pula. Tapi bukannya menghilang ditelan angin, nada itu terus terdengar, dan ketika itu terjadi bunyinya kian mengeras. Sebelum semenit berlalu, bunyinya kini telah menjadi dua kali lebih keras daripada ketika kali pertama bersuara. Tak lama kemudian suaranya kian mengeras sehingga jika kedua anak itu berusaha berbicara (tapi mereka tidak berniat berbicara saat ini—mereka hanya berdiri di sana dengan mulut ternganga) mereka tidak bakal bisa mendengar satu pun ucapan mereka. Beberapa saat kemudian bunyinya sudah menjadi begitu keras sehingga mereka tidak bakal bisa mendengar satu sama lain bahkan kalaupun mereka berteriak. Dan suaranya terus saja mengeras: semua dalam satu nada, suara indah yang tak berakhir, walaupun ada sesesuatu yang mengerikan dalam keindahan itu, hingga semua udara dalam ruangan besar itu seolah berdenyut karenanya dan mereka bisa merasakan lantai batu di kaki mereka bergetar. Kemudian akhirnya suara bel itu mulai bercampur dengan bunyi lain, suara samar mengerikan yang awalnya terdengar seperti geraman kereta yang datang dari kejauhan, kemudian seperti gebrakan pohon tumbang. Mereka 81 mendengar sesuatu seperti bendabenda berat berjatuhan. Akhirnya, bersamaan dengan gemuruh yang mendadak, dan guncangan yang nyaris membuat mereka terbang di udara, sekitar seperempat langitlangit di salah satu ujung
ruangan mulai runtuh, bongkahanbongkahan batu besar berjatuhan di sekitar mereka, dan dindingdinding rontok. Suara bel berhenti. Awan debu menipis dan akhirnya menghilang. Segalanya menjadi sunyi kembali. Tidak pernah diketahui apakah runtuhnya langitlangit itu disebabkan Sihir, ataukah karena suara keras tak tertahankan dari bel itu kebetulan mencapai not yang memecah pertahanan dindingdinding rapuh itu. "Nah! Kuharap kau puas sekarang," bentak Polly. "Yah, toh sekarang sudah berakhir," kata Digory. Keduanya punya pikiran yang sama, namun belum pernah dalam seumur hidup mereka, mereka begitu keliru. 82
BAB 5 Kata Kemalangan KEDUA anak itu berdiri berhadapan di seberang pilar tempat bel tadi tergantung. Benda itu masih bergetar walau tidak lagi mengeluarkan suara apa pun. Mendadak mereka mendengar suara pelan dari ujung ruangan yang masih tidak rusak. Mereka menoleh secepat kilat untuk melihat suara apakah itu. Salah satu sosok berjubah—sosok yang duduk paling jauh, wanita yang menurut Digory cantik sekali—berdiri dari kursinya. Ketika dia berdiri, mereka menyadari wanita itu lebih tinggi daripada dugaan mereka. Dan kau bakal bisa langsung melihat, bukan hanya dari mahkota dan jubahnya, tapi dari kilatan mata juga lekuk bibirnya, wanita ini ratu agung. Dia melihat ke sekeliling ruangan dan kerusakan
yang terjadi di sana, lalu memandang kedua 83
anak itu, tapi kau tidak bakal bisa menebak dari ekspresi wajahnya apa yang sedang dia pikirkan, apakah dia sedang terkejut atau tidak. Dia berjalan ke depan dengan langkahlangkah panjang dan cepat. "Siapa yang telah membangunkanku? Siapa yang telah mematahkan mantra?" "Kurasa akulah orangnya," kata Digory. "Kau!" kata sang ratu, meletakkan tangannya di bahu Digory—tangannya putih dan indah, tapi Digory bisa merasakan tangan itu juga sekuat penjepit besi. "Kau? Tapi kau hanyalah anakanak, anak biasa. Hanya dengan pan84 dangan sekilas, siapa pun bisa langsung tahu kau tidak memiliki setetes pun darah bangsawan atau kemuliaan di nadimu. Kenapa anak sepertimu berani memasuki rumah ini?" "Kami datang dari dunia lain, dengan Sihir," kata Polly, yang berpikir sudah saatnya sang ratu menyadari kehadirannya seperti dia menyadari keberadaan Digory. "Apakah ini benar?" tanya sang ratu, masih memandangi Digory dan tidak melihat bahkan sekilas pun ke Polly. "Ya, itu benar," jawab Digory. Sang ratu meletakkan tangannya yang lain di bawah dagu Digory dan mengangkatnya supaya bisa lebih jelas melihat wajah anak lelaki itu. Digory berusaha balas menatap, tapi tak lama kemudian dia harus menurunkan pandangannya. Ada sesuatu dalam mata sang
ratu yang menguasainya. Setelah sang ratu memerhatikan wajah Digory selama lebih dari semenit, dia melepaskan dagu Digory dan berkata: "Kau bukan penyihir. Tiada tanda penyihir pada dirimu. Kau pasti hanya pelayan penyihir. Karena Sihir lainlah kau bisa sampai di sini." "Aku ada di sini karena pamanku, Paman Andrew," kata Digory. 85 Tepat pada saat itu—bukan di ruangan tempat mereka berada, tapi di suatu tempat yang sangat dekat dari sana—terdengarlah suara runtuh pertama, kemudian suara sesuatu retak, lalu gemuruh bebatuan rubuh, dan lantai pun bergetar. "Terlalu berbahaya berada di sini," kata sang ratu. "Seluruh tempat ini akan hancur. Kalau kita tidak keluar dari sini sekarang, dalam hitungan menit kita akan terkubur di dalam reruntuhannya." Dia berbicara dengan tenang seolah hanya sedang memberitahu jam berapa sekarang. "Ayo," dia menambahkan kemudian menjulurkan kedua tangannya ke Digory dan Polly. Polly, yang tidak menyukai sang ratu dan merasa agak merajuk, tidak akan membiarkan tangannya diraih kalau saja dia punya pilihan lain. Tapi walaupun sang ratu berbicara dengan nada yang tenang, gerakannya secepat pikiran. Sebelum Polly menyadari apa yang sedang terjadi, tangan kirinya telah ditangkap tangan yang jauh lebih besar dan kuat daripada miliknya sehingga dia tidak bisa melakukan apaapa. Wanita ini mengerikan sekali, pikir Polly. Dia cukup kuat untuk mematahkan lenganku hanya dengan satu puntiran. Dan sekarang 86
karena dia mencengkeram tangan kiriku, aku tidak bisa mengambil cincin kuning. Kalau aku berusaha menjulurkan tangan kananku ke saku kiriku, aku mungkin bakal bisa meraihnya sebelum dia menanyakan apa yang sedang kulakukan. Apa pun yang terjadi kami tidak boleh membiarkan dia tahu soal cincincincin ini. Kuharap Digory masih berakal sehat dan mampu menutup mulut. Kalau saja aku bisa berbicara hanya berdua dengannya. Sang ratu membimbing mereka keluar dari Aula Sosok menuju koridor panjang kemudian melalui labirin aulaaula lain, tanggatangga, dan lapangan. Lagilagi mereka mendengar suatu bagian istana besar itu runtuh, terkadang cukup dekat dengan mereka. Pernah sekali, area besar roboh bersamaan bunyi keras hanya beberapa saat setelah mereka berjalan melaluinya. Sang ratu berjalan cepat—kedua anak itu harus berlari kecil supaya bisa menyamai langkahnya—tapi dia tidak menunjukkan tandatanda ketakutan. Digory berpikir, dia berani sekali. Juga kuat. Ini dia yang namanya ratu! Mudahmudahan dia mau menceritakan kisah rempat ini. Sang ratu memang memberitahu mereka beberapa hal saat mereka berjalan: 87
88 "Itu pintu menuju penjara bawah tanah," dia akan berkata, atau "Jalan itu menuju ruangruang utama penyiksaan", atau "Di sini dulu aula jamuan pesta tempat kakek buyutku menjamu tujuh ratus bangsawan untuk berpesta pora kemudian membunuh mereka semua sebelum mereka menghabiskan minuman mereka. Mereka memiliki pikiranpikiran memberontak." Akhirnya mereka sampai ke suatu aula yang lebih besar dan lengang daripada yang pernah
mereka lihat sebelumnya. Dari ukuran dan bentuk pintupintu besar di ujung jauhnya, Digory berpikir akhirnya mereka telah sampai di pintu masuk utama. Dalam kasus ini dia benar. Pintupintu itu berwarna hitam kelam, mungkin terbuat dari kayu ebony atau semacam logam hitam yang tidak ditemukan di dunia kita. Pintupintu tersebut dipasung dengan palangpalang besar, yang sebagian besarnya terlalu tinggi untuk diraih dan terlalu berat untuk diangkat. Digory bertanyatanya bagaimana caranya mereka akan keluar. Sang ratu melepaskan pegangannya dan mengangkat lengan. Dia menegakkan badan dan berdiri bergeming. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti kedua anak itu (yang pasti kedengarannya mengerikan) 89
dan bergerak seolah melemparkan sesuatu ke pintupintu itu. Lalu kedua daun pintu yang tinggi dan berat itu bergetar beberapa detik seolah keduanya terbuat dari sutra, kemudian luluh lantak hingga tidak tersisa apa pun kecuali tumpukan debu di ambang pintu. "Fiuh!" siul Digory. "Apakah majikan penyihirmu, pamanmu, punya kekuatan sepertiku?" tanya sang ratu, dia mencengkeram keras tangan Digory lagi. "Tapi 90 aku akan tahu sendiri nanti. Sementara itu, ingatlah apa yang telah kaulihat. Inilah yang terjadi pada bendabenda, juga orangorang, yang menghalangi kehendakku." Cahaya yang jauh lebih terang daripada yang telah kedua anak itu lihat di negeri ini kini meruah melalui lubang pintu yang terbuka
lebar, lalu ketika sang ratu membimbing mereka melewatinya mereka tidak terkejut ketika mendapati diri mereka berada di udara terbuka. Angin yang menerpa wajah mereka terasa dingin, tapi entah kenapa lembap dan tidak segar. Mereka kini berada di teras tinggi, di bawah mereka terbentang daratan luas. Rendah di bawah dan di dekat horison, bergantung matahari merah besar, lebih besar daripada matahari kita. Digory langsung merasa matahari itu juga berusia lebih tua daripada matahari kita: matahari yang mendekati ajal, lelah menatap dunia di bawahnya. Di sebelah kiri matahari itu, lebih tinggi di atas, tampak sebuah bintang, besar dan bersinar terang. Hanya dua benda itu yang terlihat di langit kelam, keduanya membentuk kelompok muram. Dan di bumi, di setiap arah, sejauh mata bisa memandang, terbentang kota luas tempat tidak terlihat satu pun makhluk hidup di dalamnya. 91 Dan semua kuil, menara, istana, piramid, juga jembatan menciptakan bayanganbayangan panjang yang tampak mengancam di bawah sinar matahari yang melemah itu. Sebuah sungai besar pernah mengalir menembus kota tersebut, tapi airnya telah lama mengering, dan kini yang tersisa tinggal selokan lebar abuabu berdebu. "Pandanglah baikbaik pemandangan yang tidak akan pernah dilihat mata mana pun lagi," kata sang ratu. "Begitulah Charn, kota menakjubkan, kota Raja di antara para Raja, keajaiban dunia, mungkin keajaiban semua dunia. Apakah pamanmu memerintah kota sehebat ini, Nak?" "Tidak," kata Digory. Dia baru berniat menjelaskan Paman Andrew tidaklah memerintah kota apa pun, tapi sang ratu sudah melanjutkan: "Kota ini sunyi sekarang. Tapi aku telah
berdiri di sini ketika seluruh udara dipenuhi suara Charn. Entakan langkah kaki, derak roda, lecutan pecut, dan erangan para budak, gemuruh kereta kuda, dan gendanggendang pengorbanan ditabuh di kuilkuil. Aku telah berdiri di sini (tapi saat itu akhir sudah begitu dekat) ketika pekikan perang terdengar dari setiap jalan dan air yang mengalir di Sungai 92 Charn berwarna merah." Dia berhenti sejenak lalu menambahkan, "Dalam satu detik, semua itu telah dihapus oleh seorang wanita untuk selamalamanya." "Siapa?" tanya Digory dengan suara pelan, tapi dia telah menebak jawabannya. "Aku," jawab sang ratu. "Aku, Jadis si ratu terakhir, juga ratu seluruh dunia." Kedua anak itu berdiri dalam diam, tubuh mereka gemetar dalam angin dingin. "Semua karena salah saudariku," kata sang ratu. "Dia yang membuatku melakukan itu. Semoga kutukan segala Kekuatan mengikatnya selamanya! Aku sudah siap berdamai kapan saja—ya, juga untuk mengampuni jiwanya, kalau saja dia membiarkan takhta menjadi milikku. Tapi tidak. Keangkuhannya telah menghancurkan seluruh dunia. Bahkan setelah perang dimulai, ada perjanjian sah bahwa tidak ada pihak yang boleh menggunakan Sihir. Tapi ketika dia melanggar janjinya itu, apa lagi yang bisa kulakukan? Bodoh! Seolah dia tidak tahu aku punya lebih banyak Sihir daripada dirinya! Dia bahkan tahu aku memiliki rahasia Kata Kemalangan. Apakah dia pikir—tapi dia memang selalu jadi yang terlemah di antara
kami—aku tidak akan menggunakannya?" 93 "Apa itu?" tanya Digory. "Rahasia di antara semua rahasia," kata Ratu Jadis. "Telah lama menjadi pengetahuan semua raja besar ras kami bahwa ada kata yang, kalau diucapkan dengan upacara layak, bisa menghancurkan seluruh makhluk hidup kecuali orang yang mengucapkannya. Tapi para raja zaman dahulu lemah dan berhati lembek. Mereka mengikat diri mereka sendiri dan semua orang yang mendatangi mereka, dengan sumpah besar untuk tidak akan pernah bahkan berusaha mencari pengetahuan tentang kata itu. Tapi aku telah mempelajarinya di tempat rahasia dan membayar harga mahal untuk mempelajarinya. Aku tidak menggunakannya hingga saudaraiku memaksaku. Aku bertempur untuk mengatasinya dengan berbagai cara lain. Aku menumpahkan darah pasukanku seperti air—" "Monster!" gumam Polly. "Pertempuran besar terakhir," kata sang ratu, "pecah selama tiga hari di Charn ini. Selama tiga hari aku memandang ke bawah, mengawasinya dari tempat ini. Aku tidak menggunakan kekuatanku hingga prajurit terakhirku terjatuh, lalu wanita terkutuk itu, saudariku, berjalan di depan para pemberontaknya dan sudah 94 setengah jalan menaiki tanggatangga besar yang menghubungkan kota dengan teras ini. Kemudian aku menunggu hingga kami begitu dekat supaya kami bisa menatap wajah satu sama lain. Dia membinarkan mata kejamnya yang mengerikan saat memandangku dan berkata, 'Kemenangan.' 'Ya,' aku berkata, 'Kemenangan, tapi bukan kemenanganmu.' Kemudian aku mengucapkan Kata Kemalangan. Sedetik kemudian aku adalah makhluk hidup terakhir di bawah matahari."
"Tapi bagaimana dengan orangorang lain?" Digory terperangah. "Orangorang lain apa, Nak?" tanya sang ratu. "Semua rakyat biasa," kata Polly, "orangorang yang tidak pernah melukaimu. Dan semua wanita, anakanak, juga hewanhewan." "Tidakkah kau mengerti?" tanya sang ratu (masih berbicara pada Digory). "Aku adalah ratu. Mereka semua rakyat ku. Untuk apa lagi mereka ada kalau bukan untuk melaksanakan kemauanku?" "Tetap saja malang benar nasib mereka," kata Digory. "Aku lupa kau hanyalah anak biasa. Bagaimana mungkin kau mengerti logika sebuah 95 Negeri? Kau harus belajar, Nak, bahwa apa yang mungkin salah bagimu dan rakyat biasa lainnya tidaklah salah bagi ratu besar seperti diriku. Beban dunia berada di bahu kami. Kami harus dibebaskan dari segala peraturan. Jalan nasib kami tinggi dan sepi." Digory mendadak teringat Paman Andrew pernah menggunakan katakata yang persis sama. Tapi katakata itu terdengar lebih anggun ketika Ratu Jadis yang mengucapkannya, mungkin karena Paman Andrew tidaklah setinggi 210 sentimeter dan cantik memesona. "Kemudian apa yang kaulakukan setelahnya?" kata Digory. "Aku telah memasang mantramantra kuat di aula tempat patungpatung leluhurku duduk. Dan kekuatan mantramantra itu akan membuatku tertidur bersama mereka, juga seperti patung dan tidak membutuhkan makanan maupun api, walaupun untuk ribuan tahun lamanya, sampai seseorang datang, memukul bel, dan membangunkanku." "Apakah Kata Kemalangan yang menjadikan matahari begitu?" tanya Digory. "Seperti apa?" kata Jadis.
"Begitu besar, begitu merah, dan begitu dingin." 96 "Sejak dulu selalu begitu," kata Jadis. "Setidaknya, selama ratusan ribu tahun. Apakah duniamu memiliki jenis matahari yang berbeda?" "Ya, matahari kami lebih kecil dan kuning. Juga memberi lebih banyak panas." Sang ratu mengeluarkan suara panjang. "Aaah!" Dan di wajahnya Digory melihat ekspresi lapar dan serakah yang sama dengan yang pernah dilihatnya pada wajah Paman Andrew. "Jadi," katanya, "duniamu dunia yang lebih muda." Dia berhenti sejenak untuk melihat sekali lagi kota terlantar itu—kalaupun dia merasakan penyesalan atas segala kejahatan yang telah dilakukannya di sana, dia tidak menunjukkannya sama sekali—kemudian berkata: "Nah, ayo kita berangkat. Dingin di sini di akhir segala zaman." "Berangkat ke mana?" tanya kedua anak itu. "Ke mana?" ulang Jadis terkejut. "Tentu saja ke duniamu." Polly dan Digory bersitatap, terpaku ketakutan. Sejak awal Polly sudah tidak menyukai sang ratu, dan bahkan Digory, kini setelah dia mendengar ceritanya, merasa telah cukup men97 dengar tentang wanita itu. Jelas sekali, dia bukanlah sejenis orang yang ingin kita ajak pulang. Dan kalaupun mereka menyukainya, mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka sendiri ingin pergi dari sana, tapi Polly tidak bisa meraih cincinnya dan tentu saja Digory tidak bisa pergi tanpanya. Wajah Digory menjadi merah sekali dan dia berkata dengan terbatabata. "Oh—oh—dunia kami. Aku titidak raenyangka kau mau pergi ke sana." "Untuk apa lagi kau dikirim ke sini kalau
bukan untuk menjemputku?" tanya Jadis. "Aku yakin kau tidak akan menyukai dunia kami sama sekali," kata Digory. "Bukan tempat yang pantas untukmu, ya kan, Polly? Membosankan sekali di sana, benarbenar tidak pantas untuk dilihat." "Tak lama lagi pasti akan jadi pantas dilihat begitu aku memerintahnya," jawab sang ratu. "Oh, tapi kau tidak bisa melakukan itu," kata Digory. "Keadaannya berbeda. Mereka tidak akan membiarkanmu." Di wajah sang ratu terkembang senyum meremehkan. "Banyak raja hebat," katanya, "berpikir mereka bisa bertahan melawan Kerajaan Charn. Tapi mereka semua terjatuh dan nama 98 mereka dilupakan. Bocah bodoh! Apakah kaupikir aku, dengan kecantikan dan Sihirku, tidak akan memiliki seluruh duniamu di bawah kakiku sebelum satu tahun berlalu? Siapkan mantramu dan segera bawa aku ke sana." "Ini mengerikan sekali," kata Digory ke Polly. "Mungkin kau mengkhawatirkan pamanmu," kata Jadis. "Tapi kalau dia menghormatiku dengan tulus, dia diperkenankan menyimpan nyawa dan takhtanya. Aku tidak datang untuk berperang melawannya. Dia pasti penyihir besar karena telah menemukan cara mengirimmu ke sini. Apakah dia raja seluruh duniamu atau hanya sebagian?" "Dia bukan raja daerah mana pun," jawab Digory. "Kau berbohong," kata sang ratu. "Bukankah Sihir selalu diturunkan lewat darah bangsawan? Siapa yang pernah mendengar rakyat biasa menjadi penyihir? Aku bisa melihat kebenaran biarpun tidak kauucapkan. Pamanmu adalah raja besar dan ahli sihir terhebat di duniamu. Dan dengan kemampuannya dia telah
melihat bayangan wajahku, pada semacam cermin ajaib atau mata air bertuah. Lalu karena kekagumannya akan kecantikanku dia telah 99 membuat mantra kuat yang mengguncang duniamu hingga ke akarnya, mengirimmu melewati padang pasir luas di antara dunia dan dunia untuk meminangku, membawaku ke hadapannya. Jawablah: bukankah begitu kejadiannya?" "Yah, tidak juga sih," jawab Digory. "Tidak juga?" teriak Polly. "Semua itu benarbenar omong kosong sejak awal sampai akhir." "Makhluk rendah!" teriak sang ratu, menoleh penuh kemarahan ke arah Polly dan menjambak rambutnya, di bagian paling atas kepalanya, di tempat yang paling menyakitkan. Tapi dengan melakukan itu dia melepaskan kedua tangan Digory dan Polly. "Sekarang," teriak Digory, dan "Cepat!" teriak Polly. Mereka membenamkan tangan kiri mereka ke saku. Mereka bahkan tidak perlu mengenakan cincincincin itu. Di detik mereka menyentuh cincin, keseluruhan dunia suram itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka kini bergerak naik dengan cepat dan cahaya hijau hangat semakin mendekat di atas mereka. 100
BAB 6 Awal Segala Kesusahan Paman Andrew LEPASKAN! Lepaskan!" pekik Polly. "Aku bahkan tidak menyentuhmu!" kata Digory. Kemudian kepala mereka keluar dari mata air dan sekali lagi kesunyian terang Hutan di Antara Duniadunia menyelimuti mereka. Hutan itu terasa lebih kaya, hangat, dan damai daripada sebelumnya setelah mereka mengalami sesak kematian dan reruntuhan di tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Kurasa, bila diberi kesempatan, mereka bakal sekali lagi lupa akan
siapa diri mereka dan dari mana mereka darang, lalu berbaring menikmati ketenangan, setengah tertidur, mendengarkan pepohonan tumbuh. Tapi kali ini ada sesuatu yang membuat mata mereka terbuka selebar mungkin. Segera setelah mereka menapakkan kaki ke rerum101 putan, mereka mendapati bukan hanya mereka berdua yang ada di sana. Sang ratu atau sang penyihir (terserah kalian mau memanggilnya siapa) telah muncul bersama mereka, mencengkeram keras rambut Polly. Itulah sebabnya Polly berteriakteriak, "Lepaskan!" Ini membuktikan, secara tidak sengaja, satu hal lagi tentang cincin yang belum diberitahukan Paman Andrew kepada Digory karena pria itu sendiri belum mengetahuinya. Untuk melompat dari dunia ke dunia dengan salah satu cincin itu, kau tidak perlu mengenakan atau menyentuhnya sendiri, cukup menyentuh seseorang yang sedang menyentuh cincin itu. Dengan begitu cincincincin tersebut bekerja seperti magnet, dan semua orang tahu kalau kau mengangkat jarum dengan magnet, jarum lain yang menyentuh jarum pertama juga akan ikut terangkat. Sekarang setelah kau melihatnya di hutan, Ratu Jadis tampak berbeda. Dia kelihatan lebih pucat daripada sebelumnya, begitu pucat sehingga nyaris tidak tersisa kecantikan pada dirinya. Dia juga membungkuk dan tampak kesulitan bernapas, seolah udara di tempat itu mencekiknya. Kedua anak itu tidak sedikit pun merasakan takut padanya sekarang. 102 "Lepaskan! Lepaskan rambutku," kata Polly. "Mau apa kau sebenarnya?" "Hei! Lepaskan rambutnya. Sekarang juga," kata Digory. Mereka berdua berbalik dan bergulat dengan
Jadis. Mereka lebih kuat daripada ratu itu dan hanya dalam hitungan detik telah memaksanya melepaskan cengkeraman. Sang ratu mundur dengan langkah terhuyunghuyung, terengahengah, ada ketakutan dalam matanya. "Cepat, Digory!" kata Polly. "Ganti cincin dan pergi ke mata air dunia kita." "Tolong! Tolong! Kasihanilah aku!" jerit sang penyihir dengan suara lemah, tergopohgopoh mengejar mereka. "Bawalah aku bersama kalian. Kalian tidak bisa meninggalkanku di tempat mengerikan ini. Tempat ini akan membunuhku." "Tapi ini sesuai logika negerimu," kata Polly penuh kebencian. "Seperti ketika kau membunuh semua orang di duniamu sendiri. Ayo cepat, Digory." Mereka telah mengenakan cincin hijau mereka, tapi Digory berkata: "Ah, sial! Apa yang harus kita lakukan?" Dia tidak bisa mencegah dirinya merasa agak kasihan pada sang ratu. "Aduh, jangan begitu bodoh," kata Polly. 103 Aku berani bertaruh sepuluh lawan satu dia hanya bersandiwara. Ayolah." Kemudian kedua anak itu melompat ke dalam mata air menuju dunia mereka. Untung kami membuat tanda, pikir Polly. Namun ketika mereka melompat Digory merasakan jari telunjuk dan ibu jari besar yang dingin menangkap telinganya. Dan ketika mereka tenggelam dan sosoksosok samar dunia kita mulai muncul, cengkeraman jari telunjuk dan ibu jari itu kian kuat. Tampaknya kekuatan sang penyihir mulai pulih. Digory meronta dan menendangnendang, tapi sama sekali tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian mereka mendapati diri mereka berada di ruang kerja Paman Andrew. Dan di sana berdirilah Paman Andrew sendiri, memandangi makhluk menakjubkan yang telah dibawa Digory dari dunia lain.
Paman Andrew punya alasan kuat untuk terus menatap lekat. Digory dan Polly juga melakukan hal yang sama. Tidak perlu diragukan sang penyihir telah mengatasi rasa lemahnya, dan kini kalau ada orang yang melihatnya di dunia kita, dengan berbagai benda lazim di sekelilingnya, dia benarbenar bisa membuat orang itu menahan napas. Di Charn dia tampak cukup mengancam, di London, dia mengerikan. 104 Dalam satu hal, mereka belumlah menyadari hingga kini betapa besar tubuhnya. "Nyaris bukan manusia" adalah yang dipikirkan Digory ketika dia menatapnya, dan dia mungkin benar, karena beberapa orang bilang ada darah raksasa dalam keluarga kerajaan Charn. Tapi bahkan tinggi tubuhnya pun bukanlah apaapa bila dibandingkan kecantikan, keganasan, dan keliarannya. Dia kelihatan sepuluh kali lebih hidup daripada sebagian besar orang yang bisa ditemui di London. Paman Andrew menunduknunduk dan menggosokgosok tangannya dan tampak, kalau mau jujur, amat sangat ketakutan. Dia tampak seperti makhluk kecil yang mengerut di samping sang penyihir. Walaupun begitu, seperti yang dikatakan Polly nanti, ada semacam kemiripan di antara wajah sang penyihir dan Paman Andrew, sesuatu pada ekspresi mereka. Itulah ekspresi yang dimiliki semua penyihir jahat, "Tanda" yang Jadis pernah katakan tidak bisa dia temukan pada wajah Digory. Satu hal baik tentang melihat mereka berdua bersamasama adalah kau tidak akan pernah lagi takut pada Paman Andrew, seperti kau tidak akan takut pada ulat setelah kau bertemu ular, atau takut pada sapi kalau sudah bertemu banteng gila. 105
Huh! sergah Digory dalam hati. Dia penyihir? Mendekati saja tidak. Ratu inilah penyihir sesungguhnya.
Paman Andrew terusmenerus menggosok tangan dan menunduk. Dia berusaha mengatakan sesuatu yang sangat sopan, tapi mulutnya mengering sehingga tak bisa bicara. "Percobaannya" dengan cincincincin itu, begitu dia menyebutnya, ternyata berbuah kesuksesan yang lebih besar daripada harapannya; karena walaupun dia telah berkutat dengan Sihir selama 106 bertahuntahun, dia selalu meninggalkan bahaya yang datang (sejauh yang bisa dilakukan seseorang) pada orang lain. Kejadian seperti ini tidak pernah dia alami sebelumnya. Kemudian Jadis berkata, tidak terlalu keras, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat seluruh ruangan bergetar. "Di mana sang penyihir yang telah memanggilku ke dunia ini?" "Ah—ah—Madam," Paman Andrew terperangah, "saya merasa begitu bangga—sangat bahagia—kehormatan yang begitu tak terduga— kalau saja saya punya kesempatan untuk membuat persiapan—saya—saya—" "Di mana penyihir itu, bodoh?" tanya Jadis. "Sasayalah orangnya, Madam. Saya harap Anda mau memaafkan segala—ngng—kelancangan yang mungkin dilakukan anakanak nakal ini. Saya pastikan tidak ada niatan untuk—" "Kau?" kata sang ratu dengan suara yang lebih mengerikan. Lalu dengan satu langkah lebar, dia menyeberangi ruangan, meraih segenggam rambut beruban Paman Andrew dan menarik ke belakang kepalanya sehingga wajah pria itu mendongak ke wajahnya. Kemudian dia memerhatikan wajahnya seperti yang dia 107
lakukan sebelumnya pada Digory di istana Charn. Paman Andrew terus mengejapngejapkan mata dan menjilati bibirnya dengan gugup. Akhirnya Jadis melepaskan pria itu, begitu mendadak sehingga dia terempas ke dinding. "Ternyata begitu," katanya penuh penghinaan, "kau memang penyihir—atau semacamnya. Berdirilah, budak, dan jangan duduk seolah sedang berbicara dengan orang yang sejajar denganmu. Bagaimana kau bisa mengenal Sihir? Kau bukanlah bangsawan, aku berani bersumpah." "Yah—ah—mungkin memang bukan bila di108
pikir secara kaku," Paman Andrew terbatabata. "Tidak benarbenar bangsawan, Ma'am. Tapi keluarga Ketterley adalah keluarga tua. Keluarga tua Dorsetshire, Ma'am." "Diam," kata sang penyihir. "Aku sudah lihat siapa dirimu. Kau penyihir kecil murahan yang berpraktik dengan peraturan dan bukubuku. Tidak ada Sihir sejati dalam darah dan hatimu. Khalayakmu telah dimusnahkan di duniaku seribu tahun lalu. Tapi di sini aku akan membiarkanmu menjadi pelayanku." "Saya akan sangat bahagia—gembira bisa memberikan bantuan apa pun—mendapat kekehormatan, saya bersungguhsungguh." "Diam! Kau terlalu banyak bicara. Dengarkan tugas pertamamu. Aku sudah melihat kita berada di kota besar. Siapkan segera untukku kereta kuda, permadani terbang, naga yang telah terlatih, atau apa pun yang biasa digunakan bangsawan di daratanmu. Lalu bawa aku ke tempattempat aku bisa memperoleh pakaian, perhiasan, dan budak yang cocok untuk posisiku. Besok aku akan memulai penjajahan terhadap dunia." "Sasasaya akan memanggil kereta sewaan segera," Paman Andrew tergagap. "Stop," kata si penyihir, tepat pada saat 109
Paman Andrew tiba di depan pintu. "Jangan pernah bermimpi berkhianat. Mataku bisa melihat menembus tembok dan masuk ke pikiran manusia. Mataku akan menyertaimu ke mana pun kau pergi. Pada tanda pertama ketidakpatuhan, aku akan memasang mantra padamu supaya apa pun yang kaududuki akan terasa seperti besi merah panas, dan setiap kali kau berbaring di tempat tidur akan ada balokbalok es tak kasat mata di kakimu. Sekarang pergi." Pria tua itu pergi, tampak seperti anjing dengan buntut di antara dua kaki belakangnya.
Digory dan Polly kini ketakutan, Jadis mungkin punya rencana untuk membalas apa yang terjadi di hutan itu. Tapi ternyata dia tidak pernah mengungkitungkitnya, baik pada waktu itu maupun nanti. Kurasa (dan Digory juga berpikir begitu) benaknya sejenis yang sama sekali tidak bisa mengingat tempat sunyi itu. Betapapun seringnya kau 110 mengajaknya ke sana dan betapapun lamanya kautinggalkan dia di sana, dia tetap tidak akan tahu apaapa. Kini ketika hanya bertiga dengan anakanak itu, dia tidak memedulikan keduanya. Dan ini memang sifatnya. Di Charn dia tidak mengacuhkan Polly (hingga akhir) karena Digorylah yang ingin digunakannya. Sekarang setelah dia memiliki Paman Andrew, dia tidak memedulikan Digory. Dugaanku sebagian besar penyihir seperti itu. Mereka tidak tertarik pada benda atau orang kecuali mereka bisa menggunakannya, mereka sangat praktis. Jadi ada kesunyian selama semenit atau dua menit di ruangan itu. Tapi kau bisa menebak dari cara Jadis mengentakentakkan kaki di lantai bahwa dia mulai tidak sabar. Akhirnya dia berkata, seolah pada dirinya sendiri, "Apa yang dilakukan si tua bodoh itu? Seharusnya aku membawa pecut." Dia berjalan keluar dari ruangan untuk mencari Paman Andrew tanpa sekali pun melihat pada kedua anak itu, bahkan untuk sekilas. "Fiuh!" kata Polly, menyuarakan napas panjang lega. "Dan sekarang aku harus
pulang. Sudah larut sekali. Aku bisa pilek." "Kalau begitu pulanglah, pulanglah secepat mungkin," kata Digory. "Benarbenar mengeri111 kan sang ratu ada di sini. Kita harus membuat semacam rencana." "Sekarang semua terserah pamanmu," kata Polly. "Dialah yang memulai segala kekacauan dengan Sihir ini." "Tetap saja, kau akan kembali, kan? Jangan lepas tangan, kau tidak bisa meninggalkanku dalam kesulitan seperti ini." "Aku akan pulang lewat terowongan," kata Polly agak dingin. "Itu jalan tercepat. Dan kalau kau mau aku kembali, bukankah sebaiknya kau meminta maaf?" "Minta maaf?" seru Digory. "Wah wah, dasar anak perempuan! Memangnya apa yang telah ku lakukan?" "Oh, tidak ada yang penting tentu saja," kata Polly menyindir. "Hanya nyaris membuat pergelangan tanganku terkilir di ruang patung lilin, seperti anak berandal yang pengecut. Hanya memukul bel dengan palu, seperti orang bodoh yang konyol. Hanya berbalik di hutan sehingga dia punya kesempatan menangkap telingamu sebelum kita melompat ke mata air dunia kita. Hanya itu." "Oh," kata Digory, sangat terkejut. "Yah, baiklah, aku minta maaf. Dan aku memang sangat menyesali kejadian di ruang patung 112 lilin. Nah, aku sudah minta maaf, kan? Dan sekarang, berbaik hatilah dan kembali lagi nanti. Kalau kau tidak kembali, aku akan
terjerumus dalam lubang gelap yang mengerikan." "Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu. Justru Mr Ketterleylah yang akan duduk di kursi merah panas dan diganggu es di tempat tidur, ya kan?" "Bukan itu maksudku," kata Digory. "Aku benarbenar mengkhawatirkan Ibu. Bagaimana kalau makhluk itu masuk ke kamarnya? Ibu bisa mati ketakutan." "Oh, begitu ya," kata Polly, dengan nada suara yang agak berbeda. "Baiklah. Anggap ini kesepakatan kita. Aku akan kembali—kalau aku bisa. Tapi aku harus pergi sekarang." Kemudian dia merangkak melewati pintu kecil menuju terowongan. Tempat gelap di antara kasaukasau yang tampak begitu menarik dan menggugah jiwa petualangan beberapa jam lalu kini tampak sangat jinak dan membuat betah. Kita kini harus kembali pada Paman Andrew. Jantung tua malangnya berdebar kencang saat dia tergopohgopoh menuruni tangga loteng dan dia terusmenerus mengelap dahi dengan saputangan. Saat dia mencapai kamar tidurnya, 113 yang ada tepat di bawah loteng, dia mengunci diri di dalamnya. Lalu tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengacakacak lemari, mencari botol dan gelas anggur yang selalu disembunyikan di sana supaya tidak bisa ditemukan Bibi Letty. Dia mengisi gelas hingga penuh dengan minuman orang dewasa yang memuakkan, lalu meminumnya dalam satu tegukan. Kemudian dia menarik napas dalamdalam. "Astaga," dia berkata pada dirinya sendiri.
"Aku benarbenar terguncang. Ini sangat mengejutkan! Di usiaku yang seperti ini!" Dia mengisi gelas kedua dan meminumnya juga, kemudian dia mulai berganti pakaian. Kau mungkin belum pernah melihat pakaian seperti itu, tapi aku bisa mengingatnya. Dia mengenakan kerah yang sangat tinggi, mengilap, dan kaku, sejenis yang membuat dagumu terangkat setiap saat. Dia memakai rompi berpola dan memasang jam emasnya menyilang di depan. Dia memakai jas berekor terbaiknya, yang disimpannya untuk pernikahan dan pemakaman. Dia mengeluarkan topi tinggi terbaiknya dan menggosoknya hingga mengilap. Ada vas penuh bunga di meja rias (diletakkan di sana oleh Bibi Letty). Dia mengambil setangkai bu114 nga dan memasukkannya ke lubang kancing. Dia mengambil saputangan bersih (saputangan indah yang kini sudah tidak bisa kaubeli) dari laci kiri dan membubuhinya dengan beberapa tetes wewangian. Dia mengeluarkan kacamata tunggal, yang berpita hitam tebal, dan memasangnya ke mata. Kemudian dia mematut diri di cermin. Anakanak memiliki satu jenis kekonyolan, seperti yang sudah kauketahui, dan orang dewasa punya jenis yang lain. Pada saat ini Paman Andrew mulai bertingkah konyol dengan cara yang sangat orang dewasa. Kini karena sang penyihir tidak lagi berada di ruangan yang sama dengannya, dengan cepat dia lupa betapa wanita itu telah membuatnya takut. Dia malah terusmenerus berpikir tentang kecantikan luar biasa wanita itu. Dia berkalikali berucap pada dirinya sendiri, "Wanita yang cantik sekali, Sir, cantik sekali. Makhluk luar biasa." Entah bagaimana Paman Andrew juga lupa bahwa anakanak itulah yang membawa sang "makhluk luar biasa". Dia merasa seolah dia dengan Sihirnya sendirilah yang memanggilnya dari dunia tak dikenal. "Andrew, sobat," katanya pada dirinya sendiri saat bercermin, "kau pria yang ketam115
panannya masih cukup terjaga untuk seseorang seusiamu. Pria berpenampilan terhormat, Sir." Jadi begini, si pria tua konyol itu benarbenar mulai membayangkan si penyihir bakal jatuh cinta kepadanya. Dua gelas minuman tadi mungkin yang menjadi penyebabnya, begitu juga pakaian terbaiknya. Tapi dia, dilihat dari sisi mana pun, secongkak dan sekosong burung merak, itulah sebabnya dia menjadi penyihir. Dia membuka kunci kamarnya, turun ke lantai bawah, mengirimkan pelayan wanita untuk mencari kereta sewaan (pada masamasa itu semua orang memiliki banyak pelayan) dan memeriksa ruang duduk. Di sana, seperti dugaannya, dia mendapati Bibi Letty. Wanita itu sedang sibuk memperbaiki kasur. Kasur diletakkan di lantai di dekat jendela dan Bibi Letty berlutut di atasnya. "Ah, Letitia sayangku," kata Paman Andrew, "aku—ah—harus pergi keluar. Bisakah kau meminjamiku sekitar lima pound? Ada gadis cantik yang ingin kutemani." "Tidak, Andrew sayang," kata Bibi Letty dengan nada suaranya yang pelan namun tegas, bahkan tanpa mendongak dari pekerjaannya. "Aku sudah sering kali mengatakan padamu aku tidak akan meminjamimu uang." 116
"Janganlah jadi begitu menyusahkan, sayangku," kata Paman Andrew. "Ini penting sekali. Kau akan menempatkanku pada posisi yang amat canggung bila kau tidak melakukannya." "Andrew," kata Bibi Letty sambil menatap lekat wajahnya, "aku heran kenapa kau tidak malu meminta uang dariku." Ada cerita panjang membosankan ala orang
dewasa di balik katakata itu. Yang perlu kauketahui adalah Paman Andrew, dengan segala "mengatasi masalah bisnis Letty tersayang demi dirinya", tidak pernah melakukan pe117 kerjaan apa pun, dan menciptakan tagihan besar untuk brendi dan cerutu (yang harus berkalikali dibayar Bibi Letty). Semua ini telah membuat Bibi Letty jauh lebih miskin daripada keadaannya tiga puluh tahun lalu. "Gadis tersayangku," kata Paman Andrew, "kau tidak mengerti. Aku harus melakukan beberapa pengeluaran tak terduga hari ini. Aku harus menjamu seseorang. Ayolah, jangan menyulitkan begini." "Dan kau, demi Tuhan, memangnya siapa yang akan kaujamu, Andrew?" tanya Bibi Letty. "Seorang—seorang tamu terhormat baru saja tiba." "Terhormat omong kosong!" kata Bibi Letty. "Tidak terdengar deringan bel pintu dalam satu jam terakhir ini." Tepat pada saat itu pintu mendadak terbuka lebar. Bibi Letty menoleh dan terkejut melihat wanita bertubuh besar, berpakaian indah, berlengan telanjang, dan bermata berkilat, berdiri di mulut pintu. Dia sang penyihir. 118
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
[email protected] BAB 7 Yang Terjadi di Pintu Depan HEI, budak, berapa lama aku harus menunggu kereta kudaku?" bentak sang penyihir. Paman Andrew berjalan menjauhinya. Sekarang ketika wanita itu benarbenar hadir,
segala pikiran konyol yang dimiliki Paman Andrew saat bercermin langsung mengalir keluar dari benaknya. Tapi Bibi Letty langsung berdiri dari berlututnya dan berjalan menuju bagian tengah ruangan. "Dan siapa wanita muda ini, Andrew, kalau boleh aku bertanya?" tanya Bibi Letty dengan nada dingin. "Orang asing terhormat—ororang yang sangat penting," jawab Paman Andrew terbatabata. "Omong kosong!" kata Bibi Letty, kemudian dia menoleh ke si penyihir, "Keluar dari rumah119 ku sekarang juga, wanita tak tahu malu, atau aku akan memanggil polisi." Dia pikir si penyihir pasti seseorang yang keluar dari sirkus, lagi pula dia tidak berkenan dengan wanita bertelanjang lengan. "Siapa wanita ini?" tanya Jadis. "Berlututlah, makhluk rendah, sebelum aku menghancurkanmu." "Tidak boleh ada bahasa kasar di rumah ini kalau kau tidak keberatan, wanita muda," kata Bibi Letty. Dalam sekejap, begitu yang dirasakan Paman Andrew, sang ratu meninggi hingga menjulang sekali. Api berkobar dari matanya. Dia mengangkat tangannya dan melakukan gerakan juga menyuarakan katakata sama yang sebelumnya telah mengubah gerbang istana menjadi debu. Tapi tidak ada yang terjadi kecuali Bibi Letty, yang mengira katakata mengerikan itu dimaksudkan sebagai bahasa Inggris biasa, berkata: "Sudah kuduga. Wanita ini mabuk! Mabuk! Dia bahkan tidak bisa bicara dengan jelas." Saat itu pasti momen yang buruk bagi si penyihir, ketika dia mendadak menyadari kekuatannya menjadikan orang debu, yang benarbenar nyata di dunianya, tidak akan berguna 120 di dunia kita. Tapi dia bahkan tidak kehilangan
nyali barang sedetik pun. Tanpa membuangbuang waktu untuk memikirkan kekecewaannya, dia membungkuk, menangkap Bibi Letty di leher dan mata kakinya, mengangkatnya tinggi di atas kepala seolah Bibi Letty tidak lebih berat daripada boneka, lalu melemparnya ke seberang ruangan. Sementara Bibi Letty sedang berputarputar di udara, si pelayan wanita (yang sedang mengalami pagi indah nan seru) melongokkan kepalanya ke pintu dan berkata, "Kalau Anda sudah siap, Sir, keretanya sudah datang." "Pimpin jalan, budak," kata si penyihir ke Paman Andrew. Pria itu mulai menggumamkan sesuatu tentang "kekerasan yang tidak perlu— harus benarbenar protes", tapi hanya dengan tatapan sekilas Jadis, dia menjadi tak mampu berkatakata. Jadis memaksanya keluar ruangan dan rumah. Digory berlari menuruni tangga tepat untuk melihat pintu depan tertutup di belakang mereka. "Ya ampun!" katanya. "Dia lepas di London. Dan dengan Paman Andrew. Kirakira apa yang akan terjadi sekarang." "Oh, Master Digory," kata si pelayan wanita (yang benarbenar sedang mengalami hari yang 121 indah), "entah bagaimana, saya rasa Miss Ketterley telah melukai dirinya sendiri." Jadi mereka bergegas ke ruang duduk untuk mencari tahu apa yang telah terjadi. Kalau Bibi Letty telah terjatuh pada lantai papan atau bahkan pada karpet, kurasa tulangtulangnya bakal patah, tapi dengan keberuntungan besar dia telah jatuh ke atas kasur. Bibi Letty adalah wanita tua yang sangat kuat, para bibi sering kali begitu di masamasa itu.
Setelah mencium bau keras sal volatile dan duduk bergeming selama beberapa menit, dia berkata dia tidak apaapa kecuali menderita beberapa memar. Tak lama kemudian dia mulai mengambil alih situasi. "Sarah," katanya pada si pelayan wanita (yang belum pernah mengalami hari seperti ini), "pergilah segera ke kantor polisi dan beritahu mereka ada orang gila berbahaya yang berkeliaran. Aku yang akan membawakan sendiri makan siang Mrs Kirke." Mrs Kirke adalah, tentu saja, ibu Digory. Ketika makan siang ibunya telah diurus, Digory dan Bibi Letty menyantap makan siang mereka. Setelah itu mereka berpikir keras. Masalahnya adalah bagaimana cara mengembalikan si penyihir ke dunianya sendiri, atau 122 setidaknya keluar dari dunia kita, sesegera mungkin. Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh dibiarkan mengacau di rumah. Ibu Digory tidak boleh melihatnya. Dan jika mungkin, dia juga tidak boleh dibiarkan mengacau di London. Digory memang tidak sedang berada di ruang duduk ketika si penyihir berusaha "meledakkan" Bibi Letty, tapi dia telah melihatnya "meledakkan" gerbang Charn. Jadi dia tahu kekuatannya yang mengerikan tapi belum tahu wanita itu telah kehilangan kekuatan itu dengan datang ke dunia kita. Pada saat ini, sejauh yang bisa dibayangkannya, si penyihir mungkin sedang meledakkan Istana Buckingham atau Gedung Parlemen, hampir pasti mengubah sejumlah besar anggota kepolisian menjadi tumpukan kecil debu. Dan tampaknya tidak ada apa pun yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya. Tapi cincincincin itu sepertinya bekerja seperti magnet, pikir Digory. Kalau saja aku bisa menyentuhnya kemudian mengenakan cincin kuningku, kami berdua bakal pergi ke Hutan di Antara Duniadunia. Kirakira dia bakal melemah lagi di sana, tidak ya? Apakah tempat itu memberikan pengaruh tertentu padanya atau kejadian itu sekadar akibat
shock 123 karena dia ditarik keluar dari dunianya? Tapi kurasa aku harus mengambil risiko. Sekarang bagaimana caranya aku menemukan monster itu? Kurasa Bibi Letty tidak akan mengizinkanku keluar sebelum aku memberitahunya ke mana aku akan pergi. Lagi pula uangku tidak lebih dari dua pence. Aku akan membutuhkan lebih banyak uang untuk naik bus dan trem kalau berniat mencarinya ke sekeliling London. Tapi lagilagi aku sama sekali tidak punya bayangan ke mana dia pergi. Kirakira Paman Andrew masih bersamanya, tidak ya? Tampaknya akhirnya hanya ada satu tindakan yang bisa dia lakukan, yaitu menunggu dan berharap Paman Andrew dan si penyihir akan kembali. Kalau mereka kembali, dia harus bergegas dan memegang si penyihir lalu mengenakan cincin kuningnya sebelum si penyihir sempat masuk ke rumah. Ini berarti dia harus mengawasi pintu depan seperti kucing mengawasi lubang tikus, dia tidak berani meninggalkan posisinya bahkan untuk sesaat. Jadi dia pergi ke ruang makan dan "menempelkan wajahnya"—begitu biasanya istilah yang dipakai orang—ke jendela. Jendelanya sejenis jendela busur yang dibangun melengkung keluar bersama tembok hingga membentuk ceruk ba124 ngunan sendiri dari dalam, melaluinya kau bisa melihat tangga menuju pintu depan juga jalanan. Tidak akan ada orang yang mencapai pintu depan tanpa sepengetahuanmu. Kirakira Polly sedang apa ya sekarang? pikir Digory. Dia terus bertanyatanya tentang ini dalam setengah jam pertama yang berlalu sangat lambat. Tapi kau tidak perlu ikut bertanyatanya karena aku akan memberitahumu. Polly datang terlambat untuk makan malam dengan sepatu dan stoking basah kuyup. Dan ketika mereka bertanya kepadanya habis ke mana saja dan apa saja yang telah dilakukannya, Polly menjawab dia habis keluar bersama Digory Kirke. Setelah ditanya lebih lanjut, Polly berkata dia
membasahi kakinya di mata air, dan bahwa mata air itu ada di hutan. Waktu ditanya di mana letak hutan itu, dia menjawab tidak tahu. Ketika ditanya apakah hutan itu berada di salah satu taman, Polly menjawab dengan cukup jujur bahwa mungkin saja hutan itu ada di semacam taman. Dari jawabanjawaban itu, ibu Polly berkesimpulan anaknya telah pergi, tanpa memberitahu siapasiapa, ke suatu bagian London yang tidak dikenalinya dan bermain di taman asing juga bersenangsenang dengan melompatlompat ke dalam genangan 125 air. Akibatnya Polly dimarahi karena telah sangat nakal dan dia tidak akan diperbolehkan bermain dengan "anak Kirke" lagi kalau kejadian seperti ini kembali terjadi. Kemudian dia diberi makan malam tanpa bagian santapan yang menyenangkan dan disuruh tidur selama dua jam penuh. Perlakuan seperti ini sering dialami seseorang pada masamasa itu. Jadi sementara Digory menatap ke luar jendela ruang makan, Polly terbaring di tempat tidur, tapi keduanya berpikir betapa lambatnya waktu berjalan. Kalau menurutku pribadi, aku akan lebih suka berada pada posisi Polly. Dia hanya perlu menunggu dua jamnya berakhir, sedangkan Digory akan mendengar kereta kuda sewaan, gerobak tukang roti, atau anak penjual daging di setiap beberapa menit dan berpikir, si penyihir datang, kemudian mendapati dugaannya salah. Lagi pula di antara beberapa peringatan keliru ini, yang rasanya berjamjam, jam berdetak terus dan lalat besar— terbang tinggi dan jauh sehingga tak bisa diraih—berdengung membentur jendela. Rumah Digory sejenis rumah yang bakal menjadi sangat sunyi dan membosankan di sore hari dan selalu berbau daging domba. Selama pengawasan dan penantian panjang126
nya sesuatu yang harus kusebutkan terjadi, karena hal lain yang penting datang setelahnya. Seorang wanita datang membawa buah anggur untuk ibu Digory, dan karena pintu ruang makan terbuka, Digory tidak sengaja mendengarkan pembicaraan Bibi Letty dan wanita itu di ruang depan. "Anggurnya kelihatan lezat sekali!" terdengar suara Bibi Letty. "Aku yakin kalau ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik, buah inilah jawabannya. Tapi Mabel cilik tersayangku yang malang! Aku khawatir akan dibutuhkan buah dari tanah kebeliaan untuk membantunya sekarang. Tidak ada apa pun dari dunia ini yang akan banyak membantunya." Kemudian mereka berdua mengecilkan volume suara mereka dan mengatakan lebih banyak hal tanpa bisa didengar Digory. Kalau saja dia sudah mendengar bagian tentang tanah kebeliaan itu beberapa hari lalu dia akan berpikir Bibi Letty hanya bicara tanpa merujuk pada apa pun secara khusus, seperti yang biasa dilakukan orang dewasa, dan ini tidak akan menarik minat Digory. Barusan ini pun dia hampir berpikir begitu. Tapi tibatiba berkelebat di benaknya bahwa dia kini tahu (bahkan jika Bibi Letty tidak), memang ada 127 duniadunia lain dan dia sendiri telah berada di dalam salah satunya. Bagaimanapun ada kemungkinan Tanah Kebeliaan memang ada di suatu tempat. Apa pun mungkin saja ada. Mungkin ada buah di suatu dunia lain yang bisa benarbenar menyembuhkan ibunya! Dan oh, oh—yah, kau tahulah bagaimana rasanya kalau mulai mengharapkan sesuatu yang sangat kauinginkan. Kau akan nyaris bertarung dengan harapan itu karena terlalu indah untuk menjadi
kenyataan, karena kau telah begitu sering kecewa sebelumnya. Itulah yang Digory rasakan. Tapi tidak ada gunanya berusaha bergumul dengan harapan ini. Karena mungkin—mungkin saja benarbenar bisa jadi kenyataan. Telah begitu banyak hal aneh yang terjadi. Dan dia punya cincincincin ajaib. Pasti ada duniadunia yang bisa dia datangi lewat setiap mata air di hutan itu. Dia bisa menjelajahi dan berburu obat di sana. Kemudian— lbu akan sehat lagi. Segalanya akan benar kembali. Digory sama sekali lupa mengawasi sang penyihir. Tangannya sudah mulai bergerak ke saku tempat dia menyimpan cincin kuning, ketika mendadak terdengar suara derap langkah kuda. Wah! Apa itu? pikir Digory. Pasukan pemadam kebakaran? Kirakira rumah mana yang 128 terbakar ya? Astaga, suaranya menuju ke arah sini. Ya ampun, itu kan dia. Aku tidak perlu memberitahumu siapa yang Digory maksudkan dengan dia. Pertama tampaklah kereta sewaan. Tidak ada siapasiapa di kursi sais. Di atapnya— tidak duduk, tapi berdiri di atasnya—berayun dengan keseimbangan tubuh luar biasa, ketika kereta melaju dengan kecepatan penuh di sudut jalan dengan satu roda di udara—tampak sosok Jadis sang ratunya ratu dan Teror Charn. Giginya penuh terlihat, matanya bersinar layaknya api, dan rambut panjangnya melambai di belakangnya seperti ekor komet. Dia memecut kuda tanpa belas kasihan. Lubang hidung hewan itu lebar dan merah, sisisisinya dikotori buih putih. Kuda itu berlari kencang menuju pintu depan, melewati lampu tiang dengan jarak hanya seinci, kemudian berdiri dengan kaki belakangnya. Kereta yang ditariknya menabrak lampu tiang dan hancur menjadi beberapa bagian. Sang penyihir, dengan lompatan menakjubkan, telah menghindar
tepat pada waktunya dan mendarat di punggung kuda. Dia memperbaiki posisi menunggangnya dan mencondongkan tubuh ke depan, membisikkan sesuatu pada telinga kuda itu. 129
130 Bisikan itu pastinya tidak dimaksudkan untuk menenangkan tapi untuk membuatnya makin gila. Kuda itu berdiri dengan kaki belakang lagi dan ringkikannya seperti jeritan. Kuda itu meronta, meringkik, mengibasngibaskan kepala. Hanya pengendara luar biasa yang bisa tetap berada di punggungnya. Sebelum Digory menenangkan napas, cukup banyak hal lain mulai terjadi. Kereta kedua bergerak cepat, dekat di belakang kereta yang pertama. Keluar dari dalamnya pria gemuk bermantel panjang dan seorang polisi. Kemudian datang kereta ketiga dengan dua polisi lagi di dalamnya. Setelah itu datang sekitar dua puluh orang (sebagian besar anak lakilaki petugas penyampai pesan) bersepeda, semuanya membunyikan bel sepeda dan menyuarakan sorakan juga siulan. Terakhir datang rombongan orang berjalan kaki: semua tampak terengahengah karena habis berlari, tapi tampak jelas sangat menikmati kejadian ini. Jendelajendela menjeblak terbuka di semua rumah di jalan itu dan pelayan wanita maupun pria muncul di setiap pintu depan. Mereka ingin melihat keramaian ini. Sementara itu seorang pria tua berusaha keluar dari kereta kuda yang pertama dengan 131
tubuh masih gemetar. Beberapa orang bergegas menghampiri untuk menolongnya, tapi karena satu orang menariknya ke satu arah dan orang yang lain menariknya ke arah lain, mungkin dia bakal bisa keluar dari kereta itu jauh lebih cepat bila tanpa bantuan. Digory menebak pria tua itu mungkin Paman Andrew tapi wajahnya tidak terlihat. Topi tinggi yang dikenakan orang itu melesak menutupi wajahnya. Digory berlari keluar dan bergabung dengan kerumunan orang. "Itu wanitanya, itu dia wanitanya," teriak sang pria gemuk sambil menunjuk Jadis. "Lakukan tugasmu, Pak Polisi. Perhiasan seharga ratusan dan ribuan pound telah diambilnya dari tokoku. Lihatlah rantai mutiara di lehernya. Itu milikku. Dia bahkan juga meninju mataku." 132
"Itu dia, Pak," kata salah satu orang dalam kerumunan. "Memar di mata yang paling bagus yang pernah saya lihat. Pasti diperlukan keahlian yang luar biasa untuk melakukannya. Wah! Berarti dia kuat sekali!" "Sebaiknya Anda mengompres memar itu dengan daging steak mentah, Mister, itu pengobatan paling manjur," kata bocah tukang daging. "Tenang tenang," kata petugas polisi yang berpangkat paling tinggi, "ada kekacauan apa ini?" "Sudan kubilang dia—" mulai si pria gemuk, ketika seseorang berteriak: "Jangan biarkan pria tua di kereta itu melarikan diri. Dia yang menyuruh si wanita melakukan semua ini." Si pria tua, yang kini sudah pasti Paman 133
Andrew, baru saja selesai berhasil berdiri dan sedang rnenggosokgosok memarnya. "Kalau begitu," kata si petugas polisi sambil menoleh ke arahnya, "apa maksud semua ini?" "Hmph—pomi—shomf," terdengar suara Paman Andrew dari balik topi. "Hentikan sekarang juga," kata si polisi tegas. "Ini bukan saatnya bergurau. Segera lepaskan topi itu!" Permintaan ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tapi setelah Paman Andrew bergulat siasia dengan topinya selama beberapa saat, dua polisi lain menahan pinggirannya dan menarik paksa topi itu. "Terima kasih, terima kasih," kata Paman Andrew dengan suara lemas. "Terima kasih. Astaga, aku benarbenar terguncang. Kalau saja seseorang bisa memberiku segelas brendi—" "Saya harap sekarang Anda bersedia berbicara pada saya," kata sang petugas polisi, sambil mengeluarkan buku notes yang sangat besar dan pensil yang sangat kecil. "Apakah Anda bertanggung jawab atas wanita muda itu?" "Awas!" teriak beberapa suara, dan si polisi melompat ke belakang tepat pada waktunya. Kuda tadi telah menendang ke arahnya, ten134 dangan yang mungkin bisa membunuhnya. Kemudian sang penyihir mengarahkan kuda itu supaya berputar sehingga dia bisa menghadap ke kerumunan orang. Kaki belakang kuda berada di trotoar. Wanita itu membawa pisau panjang berkilap di tangannya dan sibuk membebaskan kuda dari puingpuing kereta. Sepanjang waktu ini Digory berusaha mencari posisi supaya dia bisa menyentuh sang penyihir.
Ini tidak mudah karena, di sisi yang paling dekat dengannya, ada terlalu banyak orang. Dan untuk memutar menuju sisi yang lain, dia harus melewati jarak tendangan kuda dan pagar suatu "area" yang mengelilingi rumahnya. Rumah keluarga Ketterley punya ruang bawah tanah. Kalau kau tahu apa pun tentang kuda, terutama bila kau bisa melihat keadaan kuda itu pada saat tersebut, kau akan menyadari ini tindakan yang menggelikan. Digory tahu banyak tentang kuda, tapi dia merapatkan gigi dan bersiap berlari cepat segera setelah melihat kesempatan yang terbuka. Seorang pria berwajah merah dan mengenakan topi bulat kini telah berhasil menepis orangorang hingga ke bagian depan kerumunan. "Hei! Pak Polisi," panggilnya, "itu kudaku 135 yang dikendarainya, begitu juga kereta yang dia buat jadi serpihan kayu." "Satusatu, Bapakbapak, saya mohon satusatu," kata si polisi. "Tapi tidak ada waktu lagi," ucap si kusir kereta. "Aku lebih mengenal kuda itu dibanding dirimu. Kuda itu bukan kuda biasa. Ayahnya kuda pemimpin pasukan di kaveleri. Dan kalau wanita muda itu terusmenerus membuatnya kesal, bakal terjadi pembunuhan di sini. Biarkan aku mendekatinya." Si petugas polisi jelasjelas merasa lega karena punya alasan kuat untuk menjauhi si kuda. Sang kusir kereta melangkah mendekat, menatap Jadis, dan berkata tidak dengan nada yang tidak ramah: "Sekarang, Missie, biarkan aku memegang kepalanya, segeralah kau turun. Kau kan seorang lady, dan kau tidak mau segala kekasaran ini sampai melukaimu, kan? Kau pastinya mau pulang, minum segelas teh hangat, dan berbaring
tenang. Kau akan merasa lebih baik setelah itu." Di saat yang sama dia mengulurkan tangannya ke kepala si kuda sambil mengucapkan, "Tenang, Strawberry, teman lama. Tenang ya." Lalu untuk pertama kalinya sang penyihir berbicara. 136 "Budak!" terdengar suara dingin dan lantangnya, berdering keras di atas semua suara lain. "Budak, jangan sentuh kuda perang kami yang mulia. Kami Maharani Jadis." 137
BAB 8 Pertarungan di Lampu Tiang HO! Jadi kau Maharani, ya? Kita lihat saja nanti," kata sebuah suara. Kemudian suara lain berkata, "Tiga sorakan untuk Maharatu kota Colney Heath" dan sejumlah suara lain bergabung. Wajah sang penyihir menjadi cerah dan dia membungkuk sedikit. Tapi sorakan itu kemudian mereda dan berganti menjadi ledakan tawa. Sang penyihir pun menyadari orangorang itu hanyalah meledeknya. Ekspresinya mulai berubah dan dia mengganti pegangan pisaunya ke tangan kiri. Kemudian, tanpa didugaduga, dia melakukan sesuatu yang begitu mengerikan untuk dilihat. Dengan ringan dan mudah, seolah tindakan itu tindakan paling biasa di dunia, dia meluruskan lengan kanannya dan memutuskan salah satu lengan besi tiang lampu itu. Kalaupun mungkin dia telah ke138 hilangan sebagian kemampuan sihirnya di dunia kita, dia belum kehilangan kekuatannya. Dia
bisa mematahkan batang besi seolah benda itu hanyalah sebatang gulagula. Dia melemparkan senjata barunya di udara, menangkapnya lagi, mengayunayunkannya, dan menyuruh kudanya maju. "Sekarang kesempatanku," pikir Digory. Dia buruburu berjalan ke antara kuda dan pagar lalu mulai melangkah maju. Kalau saja hewan itu mau bergeming sebentar saja, dia mungkin bakal bisa menangkap mata kaki sang penyihir. Saat bergegas, dia mendengar suara runtuh yang mengancam dan entakan. Sang penyihir telah menghantamkan batang besi itu ke helm kepala polisi, pria itu terjatuh seperti pin bola boling. "Cepat, Digory. Ini harus dihentikan," kata sebuah suara di sampingnya. Ternyata Polly yang berkata begitu. Gadis kecil itu segera datang begitu diperbolehkan bangun dari tempat tidur. "Kau memang setia," kata Digory. "Berpegang eratlah padaku. Kau harus menyentuh cincinmu. Yang kuning, ingat. Dan jangan kaupakai sebelum aku berteriak." Terdengar suara hantaman kedua dan satu 139 ■ lagi polisi tergeletak. Terdengar teriakan marah dari kerumunan, "Hentikan dia. Ambil batu dari trotoar. Panggil pasukan bersenjata." Tapi sebagian besar dari mereka berusaha sebisa mungkin menjauh. Tapi si kusir kereta yang pastinya orang paling berani dan baik hati di sana, tetap berada di dekat kudanya, sambil berkalikali menunduk menghindari ayunan batang besi. Dia masih berusaha menangkap kepala Strawberry.
Kerumunan orang mencemooh dan berteriak lagi. Sebuah batu berdesing melewati kepala Digory. Kemudian terdengar suara sang penyihir, keras dan jelas seperti bel besar, dan kedengarannya seolah dia hampir bahagia untuk pertama kalinya. "Sampah! Kalian akan membayar besar untuk ini kalau aku sudah menguasai dunia kalian. Tidak satu pun batu di kota kalian yang akan tersisa. Aku akan membuat kota ini seperti Charn, Felinda, Solis, seperti Bramandin." Digory akhirnya menangkap mata kakinya. Dia menendang berusaha melepaskan diri dan memukul mulut Digory. Karena kesakitan, anak itu melepaskan pegangannya. Bibirnya terluka dan mulutnya penuh darah. Dari suatu tempat 140 yang sangat dekat, terdengar suara Paman Andrew dalam semacam teriakan yang bergetar. "Madam—nona muda—demi Tuhan—kendalikan dirimu." Digory kembali berusaha mencengkeram mata kakinya, dan sekali lagi pegangannya dilepaskan. Semakin banyak orang yang tergeletak karena ayunan batang besi. Digory mencoba untuk ketiga kalinya, menangkap mata kaki sang penyihir, memegangnya eraterat, berteriak ke Polly, "Sekarang!" kemudian—ah, syukurlah. Wajahwajah marah dan ketakutan menghilang. Suarasuara marah dan ketakutan lenyap. Semua kecuali Paman Andrew. Dekat di samping Digory dalam kegelapan, suaranya terus melengking, "Oh, oh, apakah ini halusinasi? Apakah ini akhir zaman? Aku tidak tahan. Ini tidak adil. Aku tidak pernah berniat menjadi penyihir. Semua ini kesalahpahaman. Semua ini salah ibu angkatku, aku harus protes. Dalam kondisi kesehatanku yang seperti ini pula. Aku anggota keluarga Dorsetshire yang terhormat." Sial! pikir Digory. "Kita tidak bermaksud membawa nya. Bagus, hebat sekali. Kau di sana, Polly?" "Ya, aku di sini. Berhentilah berontak."
"Aku tidak berontak," Digory mulai berkata, 141 tapi sebelum bisa berbicara lebih lanjut, kepala mereka bersentuhan dengan sinar matahari hijau yang hangat di hutan. Dan ketika mereka keluar dari mata air, Polly berteriak: "Oh, lihat! Kita membawa serta kuda tua itu. Juga Mr Ketterley. Juga si kusir kereta. Ini kacau sekali!" Segera setelah menyadari dia sekali lagi berada di hutan itu, sang penyihir memucat dan membungkuk hingga wajahnya menyentuh surai kuda yang dinaikinya. Kau bisa melihat dia merasa sakit luar biasa. Paman menggelenggeleng, mengeluarkan Hewan itu menjadi tenang untuk yang tadinya terbaring rata di
Andrew gemetaran. Tapi Strawberry, si kuda, ringkikan ceria, dan tampak merasa lebih baik. kali pertama sejak Digory melihatnya. Telinganya kepala, kini telah berada di posisi biasa dan
di matanya terlihat semangat. "Bagus, teman tua," kata si kusir kereta sambil menepuknepuk leher Strawberry. "Begitu lebih baik. Tenanglah." Strawberry melakukan tindakan yang sangat alami di dunia. Karena haus (tidak heran juga bila dia merasa begitu) dia berjalan perlahan menuju mata air terdekat dan masuk ke dalamnya untuk minum. Digory masih memegangi 142 mata kaki sang penyihir dan Polly memegang tangan Digory. Salah satu tangan kusir kereta ada pada Strawberry. Dan Paman Andrew, masih gemetaran, baru saja memegang tangan kusir kereta yang satu lagi. "Cepat," kata Polly, dengan wajah penuh arti ke Digory. "Hijau!" Jadi si kuda tidak pernah mendapatkan minumannya. Seluruh rombongan itu malah mendapati diri mereka tenggelam ke kegelapan. Strawberry meringkik, Paman Andrew merintih. Digory berkata, "Tadi kebetulan sekali."
Ada keheningan sesaat. Kemudian Polly berkata, "Bukankah seharusnya kita sudah sampai sekarang?" "Kita memang tampaknya berada di suatu tempat," kata Digory. "Setidaknya aku berdiri di atas sesuatu yang padat." "Wah, setelah dipikirpikir, aku juga begitu," kata Polly. "Tapi kenapa begitu gelap di sini? Ah, menurutmu kita masuk ke mata air yang salah?" "Mungkin ini memang Charn," kata Digory. "Hanya saja kita kembali saat tengah malam." "Ini bukan Charn," terdengar suara sang penyihir. "Ini dunia yang kosong. Ini Tiada." Dan memang keadaannya seperti Tiada. Ti143 dak ada bintang. Suasana begitu gelap sehingga mereka sama sekali tidak bisa saling melihat dan tidak ada bedanya apakah kau memejamkan atau membuka mata. Di bawah kaki mereka ada sesuatu yang dingin dan datar yang mungkin saja tanah, tapi jelas tidak ada rumput atau pohon. Udaranya dingin dan kering, juga tidak ada angin. "Kehancuran telah datang ke atasku," kata sang penyihir dengan suara tenang yang namun mengerikan. "Ah, jangan berkata begitu," Paman Andrew merepet. "Nona muda, kumohon jangan mengatakan halhal seperti itu. Tidak mungkin seburuk itu keadaannya. Ah—kusir kereta— pria baik—apakah kebetulan kau membawa botol berisi minuman keras? Tetesan semangat itulah yang kita butuhkan." "Sudahlah, sudahlah," terdengar suara si kusir. Suaranya tegas dan keras. "Tetaplah tenang, semua, itulah yang selalu kukatakan. Tidak ada yang tulangnya patah, kan? Bagus. Yah, kalau begitu ada sesuatu yang bisa langsung
disyukuri, dan itu lebih daripada yang bisa diperkirakan siapa pun setelah terjatuh sedalam ini. Nah, kalau kita terjatuh ke dalam pekerjaan penggalian atau semacamnya— seseorang 144 akan datang dan segera mengeluarkan kita, lihat saja! Dan kalau kita sudah mati—yang tidak kumungkiri bisa saja terjadi—yah, kita harus mengingat bahwa lebih banyak hal buruk bisa terjadi di lautan dan seseorang memang harus mati suatu saat. Tidak ada yang perlu ditakutkan kalau orang itu telah menjalani hidup dengan semestinya. Kalau kau bertanya padaku, kurasa tindakan terbaik yang bisa kita lakukan untuk melewatkan waktu adalah menyanyikan himne." Dan dia benarbenar melakukannya. Dia langsung menyanyikan himne panen Thanksgiving, segala syair tentang hasil tanam telah "dipanen dengan baik". Lagu itu sangat tidak cocok dengan tempat yang rasanya tidak pernah ditumbuhi apa pun sejak permulaan waktu, tapi lagu itulah yang paling bisa diingatnya. Kusir itu punya suara bagus dan Digory juga Polly ikut bernyanyi, suasana jadi sangat ceria. Paman Andrew dan sang penyihir tidak bergabung. Ketika mendekati akhir himne, Digory merasa seseorang menarik sikunya. Dan dari bau brendi juga cerutu yang keras, serta pakaian mewah yang dikenakan, Digory memutuskan orang itu pasti Paman Andrew. Paman Andrew 145 menariknya menjauhi yang lain dengan hatihati. Saat mereka sudah agak jauh, pria tua itu memajukan bibirnya begitu dekat ke telinga Digory sehingga terasa menggelitik, lalu dia berbisik:
"Sekarang, bocah. Pakai cincinmu. Ayo pergi dari sini." Tapi sang penyihir punya telinga yang bagus. "Bodoh!" terdengar suaranya dan dia melompat turun dari kuda. "Apakah kau lupa aku bisa mendengar pikiran manusia? Lepaskan anak itu. Kalau kau berniat berkhianat, aku akan melakukan balas dendam yang begitu kejam kepadamu dengan cara yang belum pernah kaudengar ada di semua dunia sejak awal zaman." "Dan," Digory menambahkan, "kalau kau berpikir aku orang yang jahat sehingga tega meninggalkan Polly—juga kusir kereta—serta kudanya—di tempat seperti ini, kau salah besar." "Kau benarbenar anak kecil yang nakal dan tidak sopan," kata Paman Andrew. "Sstt!" kata si kusir kereta. Mereka semua mendengarkan. Dalam kegelapan, akhirnya sesuatu terjadi. Sebuah suara mulai bernyanyi. Suaranya ter146 dengar jauh sekali dan Digory mendapati sulit menentukan dari arah mana datangnya. Terkadang suara itu seperti datang dari segala arah sekaligus. Terkadang dia hampir mengira suara itu keluar dari tanah di bawah mereka. Nadanada rendahnya cukup dalam untuk menjadi suara bumi itu sendiri. Tidak ada katakata. Bahkan nyaris tidak ada nada. Tapi suara itu, tak ada bandingannya, suara terindah yang pernah dia dengar. Begitu indah sehingga dia nyaris tidak tahan mendengarnya. Si kuda tampaknya juga menyukai suara itu, hewan tersebut mengeluarkan semacam ringkikan yang bakal disuarakan semua kuda jika setelah bertahuntahun menjadi kuda kereta sewaan, dia mendapati dirinya kembali berada di lapangan
luas tempatnya bermain semasa menjadi anak kuda dulu, melihat seseorang yang diingat dan dicintainya datang menyeberangi lapangan untuk membawakan sebongkah gula. "Wow!" kata si kusir kereta. "Indah sekali, ya?" Kemudian dua keajaiban terjadi di saat yang bersamaan. Salah satunya adalah suara itu tibatiba diikuti suarasuara lain, lebih banyak suara daripada yang bisa kauhitung. Semua suara baru itu berpadu harmonis dengan suara 147 pertama, tapi nadanadanya lebih tinggi: suarasuara dingin, menggelitik, keperakan. Keajaiban kedua adalah kekelaman di atas, secara sekaligus, diterangi bintangbintang. Bintangbintang itu tidak keluar perlahan dan satu per satu, seperti yang biasa terjadi pada suatu malam di musim panas. Pada suatu detik tidak ada apa pun di sana kecuali kegelapan, di detik berikutnya ribuan, ribuan titik cahaya muncul keluar—bintangbintang tunggal, konstelasi, dan planetplanet, lebih terang dan besar daripada yang ada di dunia kita. Tidak ada awan. Bintangbintang baru dan suarasuara baru itu dimulai pada saat yang bersamaan. Kalau kau ikut melihat dan mendengarnya, seperti yang dialami Digory, kau akan merasa sangat yakin bintangbintang itulah yang bernyanyi, dan suara pertamalah, suara yang dalam tadi, yang membuat bintangbintang itu muncul dan bernyanyi. "Luar biasa!" kata si kusir kereta. "Aku akan jadi pria yang lebih baik sepanjang hidupku kalau aku tahu ada yang seperti ini." Suara di bumi kini semakin keras dan lantang, tapi suarasuara di langit, setelah bernyanyi keras bersamanya, mulai melemah. Dan kini sesuatu yang lain sedang terjadi. 148
Jauh sekali, di bawah kaki langit, langit mulai berubah warna menjadi abuabu. Angin
kecil, sangat segar, mulai bertiup. Langit, di satu tempat itu, perlahan tapi pasti memucat. Kau bisa melihat sosoksosok bukit berdiri hitam membelakanginya. Sepanjang waktu itu suara terus bernyanyi. Tak lama kemudian ada cukup cahaya bagi mereka untuk melihat wajah satu sama lain. Mulut si kusir dan kedua anak itu terbuka dan mata mereka bersinar, mereka menyerap suara luar biasa itu, sepertinya suara tersebut mengingatkan mereka akan sesuatu. Mulut Paman Andrew juga terbuka, tapi bukan karena kagum. Dia tampak seolah dagunya sekadar terjatuh dari sisa wajahnya yang lain, bahunya membungkuk dan lututnya gemetaran. Dia 149 tidak menyukai suara itu. Kalau dia bisa menghindarinya dengan merangkak masuk ke lubang tikus, dia pasti akan melakukan itu. Tapi sang penyihir tampak, entah bagaimana, paling memahami musik itu daripada siapa pun di sana. Mulutnya tertutup, bibirnya rapat, dan jemarinya erat tergenggam. Sejak lagu itu dimulai dia telah merasa seluruh dunia ini dipenuhi Sihir yang berbeda dengan miliknya dan lebih kuat. Dia membenci ini. Dia akan menghancurkan seluruh dunia ini, atau semua dunia yang ada, menjadi serpihanserpihan, kalau tindakan itu akan bisa menghentikan nyanyian tersebut. Si kuda berdiri dengan kedua telinga tegak dan berkedutkedut. Sesekali hewan itu mendengus dan mengentakkan kaki ke tanah. Dia tidak lagi kelihatan seperti kuda kereta sewaan yang tua dan lelah, sekarang kau bisa amat percaya ayahnya pernah memimpin pertempuran. Langit timur berubah dari putih ke merah muda, dan dari merah muda ke emas. Suara itu
naik dan naik, sampai seluruh udara bergetar bersamanya. Dan ketika suara itu berkembang menjadi suara paling kuat dan mulia yang pernah diperdengarkan, sang mentari terbit. 150 Digory belum pernah melihat matahari seperti itu. Matahari di atas reruntuhan Charn tampak lebih tua daripada matahari dunia kita, yang ini tampak lebih muda. Kau bisa membayangkan matahar