Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Eka Nada Shofa Alkhajar Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Abstract Nowdays, culture industry is one of very interesting subject. The exploration and elaboration about it has been the subject of intense debate over last few decades. We can say that culture industry now become a phenomena. The culture industry concept is a thesis proposed by Adorno and Horkheimer of the Frankfurt school. It contends that culture industries exist to enforce (and reinforce) the capitalist ethos. Of course, we can’t separate this studies from several terms like commodity, capitalism and pop culture because its related each other. This paper try to describe how culture industry influence many aspects in our life especially in both of myths and legends. There is a great formula in capitalism that everything in our world can be exchanged into various of commodities which can sell to the market. Keywords: culture industry, commodity, myth, legend, capitalism, market Pendahuluan Dewasa ini industri budaya (culture industry) kian menyeruak sebagai fenomena. Berbagai sisi kehidupan manusia sepertinya tidak dapat lepas dari infiltrasi fenomena tersebut. Termasuk di dalamnya adalah mengenai mitos atau legenda yang masih merupakan enigma pun tak luput darinya. Secara jujur kalau kita ingin menilik lebih ke dalam nampaknya industri budaya telah merasuk jauh ke segenap relung serta sendi dunia realitas kita baik dalam makna sesungguhnya atau sekedar metafisika. Makna dari mitos (myth) itu sendiri adalah suatu cerita, pendapat atau anggapan dalam konteks sebuah kebudayaan yang dianggap memiliki kebenaran mengenai suatu ihwal yang pernah ada pada masa dahulu namun “kebenaran” itu sendiri masih diragukan atau belum tentu benarnya. Mitos berasal dari kata mutos (Yunani) yang berarti cerita atau sejarah berisi dongeng yang dibentuk serta diriwayatkan mengenai masa lalu. Dalam hal ini dapat berupa cerita dewa, pahlawan di masa lalu, kejayaan orang masa lampau, mengenai asal usul alam semesta dan sebagainya (Alkatiri, 1998: 2-6). Senada dengan Alkatiri, J.A. Coleman dalam The Dictionary of Mythology (2007) mengungkapkan bahwa mitos dapat berarti suatu kata, cerita, pembicaraan dan sebagainya. Biasanya cerita yang dimaksud bergulir secara lisan dari satu orang ke orang lain, dari generasi ke generasi, berkisah mengenai pahlawan, tentang dewa-dewa atau pun berkaitan dengan ide
Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
1
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
penciptaan. Beberapa dari mitos terekam dalam catatan tertulis sehingga dapat diketahui hingga saat ini (Coleman, 2007: 7). Chusmeru pernah mengungkapkan bahwa proses bergulirnya suatu pesan melalui lisan atau dari mulut ke mulut yang dikenal sebagai komunikasi lisan/gethok tular/word of mouth dalam terminologi komunikasi termasuk dalam bentuk komunikasi non media (Alkhajar, 2010). Sementara itu, W.J.S. Poerwadarminta merinci bahwa legenda (legend) merupakan cerita dari zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah (Poerwadarminta, 1995: 578). Beberapa kalangan tertentu menganggap bahwa legenda lebih dari sekedar cerita sejarah masa lampau karena hal tersebut dinilai mempunyai suatu kesakralan berkaitan dengan suatu pantangan, larangan, kewajiban dan sebagainya. Sebagian besar legenda memang menceritakan sejarah. Dimana dapat berubah asal muasal suatu hal, tempat, peristiwa atau mengenai kejayaan seseorang yang hidup di masa lalu. Proses penyebaran secara lisan atau word of mouth ini memungkinkan adanya suatu distorsi berupa penambahan dalam cerita yang ada bahkan dapat berbeda sama sekali dengan cerita pada awalnya karena adanya penambahan unsur ataupun karakter dalam jalan cerita seriring dengan perubahan zaman yang bergulir baik dalam mitos ataupun legenda. Namun walau bagaimana pun, mitos dan legenda tersebut tetap dapat tersampaikan dari generasi ke generasi karena adanya suatu alat yakni bahasa. Oleh karena itu, mitos dan legenda dapat dikatakan sama tuanya dengan bahasa. Tercatat manusia mulai mengenal bahasa kira-kira sejak 300.000 sampai 200.000 tahun Sebelum Masehi (SM). Sementara bahasa secara lengkap mulai digunakan kira-kira 35.000 tahun SM (Nurudin, 2007: 45). Beberapa mitos maupun legenda senantiasa dipertahankan karena mampu memberikan suatu pelajaran atau pesan teladan yang baik bagi kehidupan sehari-hari. Beberapa pandangan menjelaskan bahwa antara mitos dan legenda harus dibedakan. Akan tetapi dalam konteks budaya yang senantiasa dinamis, kedua hal tersebut sering bersilang sengkarut satu dengan lainnya dalam artian dalam mitos terdapat legenda demikian pula sebaliknya. Sehingga fokus dari tulisan ini adalah dalam konteks menguak infiltrasi dari industri budaya kepada berbagai mitos dan legenda yang sudah jelas ataupun masih samar-samar kebenarannya. Namun, satu hal yang pasti dalam industri budaya bukanlah suatu perkara penting apakah itu mitos dan legenda itu benar atau tidak. Hal yang utama dalam industri budaya adalah apakah hal-hal tersebut dapat dijual dan laku di pasar atau tidak (Garnham, 1990; Sussman, 1997; Mosco, 2009). Menyelami Industri Budaya
Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
2
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Nicholas Garnham dalam tulisannya “On the Cultural Industries” (1997), menjelaskan bahwa industri budaya merujuk pada institusi-institusi dalam masyarakat yang mengolah moda khusus produks dan organisasi korporasi guna memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk benda-benda dan jasa budaya sebagai suatu komoditas (Garnham, 1997). Senada dengan Garnham, Fiske mengurai bahwa industri budaya memproduksi “repetoir” barang-barang ataupun jasa dengan harapan menarik khalayak dan menyertakan khalayak sebagai konsumen komoditas tersebut (Storey, 2007: 32). Dengan kata lain, ada suatu komodifikasi terhadap berbagai mitos atau legenda dari manusia-manusia yang dapat dikatakan misterius tersebut. Bentuk komodifikasi itu dapat berupa film, game, novel, buku, serial televisi sampai pada berbagai pertunjukkan hiburan bahkan pariwisata. Merujuk pada pendapatnya Gerald Sussman (1997), hal ini merupakan sebuah industri baru yang melakukan komodifikasi terhadap segala sesuatu (Sussman, 1997: 34-35). Dalam Webster’s New World Encyclopedia (1992), komodifikasi sendiri berasal dari bahasa Inggris “comodification” dimana akar kata tersebut adalah “comodity” yakni “something produced for sale”. Komoditas merupakan suatu objek. Sementara, komodifikasi itu sendiri adalah proses— meminjam uraian dari Mosco (2009) adalah suatu cara dimana kapitalisme berupaya mengakumulasi modal (capital). Singkat kata, adalah suatu transformasi atau perubahan dari nilai fungsi atau guna menjadi nilai tukar. Kapitalisme sendiri menurut Karl Marx merupakan suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya produksi vital yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal (Sanderson, 1993: 169; Bungin, 2001: 29). Akan tetapi tidak hanya itu, kapitalisme sebagai mode of production kini telah masuk ke berbagai ranah kehidupan baik politik, sosial, budaya dan sebagainya. Bahkan Francis Fukuyama dalam tesisnya mengatakan bahwa setelah kapitalisme dan demokrasi liberal muncul serta berkembang maka hal ini merupakan tahap akhir dari proses penciptaan ide dalam sejarah. Dengan kata lain, ke depan tidak akan ada ide baru. Tidak ada lagi peristiwa-peristiwa dan kemajuan-kemajuan besar lain di dunia ini yang dipandang penting untuk dicatat dalam majalah, surat kabar, radio, televisi dan media massa atau elektronik lainnya. Kapitalisme maupun demokrasi liberal Amerika Serikat sebagaimana diurai Fukuyama akan menjadi panutan di dunia dan dengan demikian berakhirlah sejarah dunia. Akan tetapi tesis ini sebenarnya sudah patut dimuseumkan apalagi dalam memahami peradaban kontemporer karena sejarah sejatinya merupakan siklus yang terus berputar (Fukuyama, 1992; Fukuyama dan Huntington, 2005: 7-8). Tentu kita bersama mengetahui bahwa Amerika Serikat kini sedang
Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
3
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
mengalami permasalahan dalam ekonominya dimana China kini merupakan kreditor terbesar bagi negara adidaya tersebut. Kritik terhadap Industri Budaya Salah satu tulisan Theodor Adorno dan Max Hokheimer berjudul “The Culture Industry– Enlightenment as Mass Deception” dalam Dialectic of Enlightenment (1972) mengungkapkan kritiknya mengenai industri budaya. Sebagai penganut aliran kritis mazhab Frankfurt, mereka menilai bahwa kini kebudayaan didominasi berbagai komoditas yang diproduksi oleh industri budaya dimana komoditas-komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya diarahkan oleh kebutuhan untuk menyadari nilainya di pasaran dimana motif keuntungan menentukan berbagai bentuk budaya yang akan dijual (Adorno dan Hokheimer, 1972; Adorno, 1991: 86-87). Adorno dan Hokheimer menilai bahwa kapitalisme dalam era modern menyediakan dan mengadakan industrialisasi terhadap semua hal termasuk waktu luang dan area budaya kehidupan yang tidak pernah diperhatikan produk kapitalis sebelumnya dimana kapitalisme didorong oleh logika mencari dan kemudian memenuhi pasar-pasar baru (Inglis, 1990: 114). Dari sini akan dihasilkan suatu budaya massa atau budaya populer yang merupakan produk nyata dari pencerahan semu kapitalisme. Pencerahan semu adalah pencerahan melalui komoditas dan komodifikasi seluruh aspek kehidupan (Piliang, 1999: 32-33). Budaya Populer (Pop Culture) Komoditas-komoditas yang diproduksi dan dilemparkan kepada khalayak perlahan tapi pasti akan menjadi budaya massa atau budaya populer yang sangat menjanjikan peluang pelipat gandaan kapital dari budaya populer itu sendiri. Apalagi budaya populer itu sudah merasuk dan hidup di tengah-tengah khalayak. Hal yang diperlukan kapitalisme hanyalah memproduksi ulang dengan berbagai variasi yang berbeda untuk kemudian dijual kembali kepada khalayak. Dalam arti diproduksi dan direproduksi untuk mencari nilai lebih dari nilai tukar (exchange-value) (Piliang, 1999: 33). Salah satu alat ampuh dalam upaya penyebaran budaya populer ini adalah media massa. Merujuk pada pandangan Stuart Hall, media massa merupakan instrumen yang penting dari kapitalisme abad ke-20 bahkan hingga saat ini (Lury, 1998: 62-63). Ini tidak lepas bahwa media massa dengan berbagai bentuknya, meminjam istilah Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983)—media mempunyai logika sendiri dalam menangkap “realitas”. Realitas disini tentunya adalah berbagai mitos ataupun legenda ada maupun berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena realitas tersebut telah masuk ke dalam sebuah industri budaya (culture industry) (Alkhajar, 2010). Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
4
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Dominic Strinati mengingatkan bahwa budaya populer harus dipandang sebagai sekumpulan genre, teks, citraan dan representasi yang bermacam-macam dan bervariasi yang dapat dijumpai dalam berbagai media (Strinati, 2009: 77). Secara lebih mudah mitos dan legenda yang ada dapat dikatakan merupakan suatu teks sehingga kalaupun harus membaca setidaknya kita tengah membaca suatu teks populer. Dan tidak dapat ditutupi, para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak teks dan praktik budaya populer (Storey, 2007: 157). Sementara itu, Henry Jenkins mengatakan salah satu ciri utama yang menandai moda pemberian (makna) budaya penggemar dalam teks-teks media adalah dengan melihat cara penggemar menarik teks mendekati ranah pengalaman hidup mereka, peran yang dimainkan melalui pembacaan kembali dalam budaya penggemar dan proses yang dengannya informasi program dimasukkan ke dalam interaksi sosial yang terus menerus (Jenkins, 1992: 53; Storey, 2007: 162-163). Sebagaimana diuraikan Jenkins: Teks ditarik mendekat bukan agar penggemar bisa dimiliki olehnya melainkan sebaliknya agar penggemar bisa lebih penuh memilikinya. Hanya dengan mengintegrasikan isi media kembali dalam kehidupan sehari-hari, hanya dengan keterlibatan yang karib dengan makna dan materinya, para penggemar bisa mengonsumsi fiksi dan menjadikannya sebagai sumber daya yang aktif (Jenkins, 1992: 62). Dalam Bond and Beyond (1987), Tony Bennett dan Janet Woollacott mengurai bagaimana cara-cara budaya industri memproduksi dan mereproduksi suatu figur melalui teks dan praktik budaya secara beragam. Bennett dan Woollacott secara lebih jauh hendak mengeksplorasi mengapa dan bagaimana teks-teks tersebut mampu menciptakan daya tarik. Melalui cara-cara yang berbeda dengan alasan-alasan yang berbeda serta memastikan popularitasnya akan terus berlangsung (Bennett dan Woollacott, 1987: 20). Sehingga tidak heran apabila kerap diciptakan semisal festival tahunan yang berkaitan dengan suatu mitos atau legenda tertentu di berbagai belahan dunia ini. Dalam konteks contoh di sini adalah Festival Robin Hood, Peringatan Kematian Man In the Iron Mask dan sebagainya. Kaitan Khalayak dan Teks Populer Sebagaimana dikutip dari Storey (2007: 8), Lawrence Grossberg (1992) menyimpulkan secara apik mengenai kaitan khalayak dan teks popular. Ia menuliskan bahwa: Kita harus mengakui bahwa sebagian besar hubungan antara khalayak dan teks popular adalah hubungan yang aktif dan produktif. Makna teks tidak diberikan pada beberapa rangkaian kode yang tersedia secara terpisah dimana kita bisa mengonsultasikannya kapan saja kita sempat. Sebuah teks tidak menyandang politik atau maknanya sendiri yang telah Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
5
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
ada di dalam dirinya sendiri; tak ada teks yang mampu menjamin efek apa yang akan terjadi. Orang-orang terus-menerus bersusah payah, bukan semata-mata menyimak dengan apa makna sebuah teks, tetapi untuk membuat sesuatu yang terkait dengan kehidupan, pengalaman, kebutuhan serta hasrat mereka sendiri menjadi bermakna. Teks yang sama bermakna berbeda bagi orang yang berbeda tergantung pada bagaimana teks itu diinterpretasikan. Dan orang yang berbeda punya sumber daya interpretatif yang berbeda sebagaimana mereka punya kebutuhan yang berbeda. Sebuah teks hanya dapat bermakna sesuatu dalam konteks pengalaman dan situasi khalayaknya. Yang tak kalah penting, teks tidak mendefinisikan bagaimana teks-teks itu digunakan atau fungsi-fungsi apa yang bisa dijalankan sebelumnya. Teks-teks dapat mempunyai kegunaan yang berbeda bagi orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda… Bagaimana sebuah teks yang spesifik digunakan, bagaimana teks itu diinterpretasikan, bagaimana ia berfungsi bagi khalayaknya—semua ini terkait erat lewat pergumulan khalayak yang terus-menerus guna memahami dirinya sendiri dan dunianya, bahkan lebih dari itu, mewujudkan tempat yang lebih baik bagi dirinya sendiri di dunia (Grossberg, 1992: 52-53). Akan tetapi media massa sebagai agen utama penyebaran budaya populer berupa teks populer tidak lepas dari kritik Noam Chomsky. Salah satu pemikir kenamaan ini mengatakan bahwa fakta berupa “teks populer” yang disajikan media massa dapat berarti hanyalah hasil rekonstruksi dan tidak sepenuhnya merupakan fakta yang sebenarnya. Karena itu sebagaimana diungkapkan Denis McQuail, harus disadari bahwa media massa merupakan alat ampuh dalam perebutan makna sekaligus memiliki kekuatan maha dahsyat dalam mempengaruhi masyarakat (McQuail, 2002; Chomsky, 2005). Namun proses penyebaran berbagai teks tersebut tentunya kian dipermudah dengan adanya globalisasi yang menurut Anthony Giddens mempunyai berbagai dimensi pengaruh apalagi globalisasi telah menyebabkan dunia berada di luar kendali kita (runaway world) serta merombak cara hidup kita secara besar-besaran (Giddens, 2004: xiv-xvi). Dalam industri budaya, tidak peduli apakah mitos dan legenda itu adalah “realitas” yang berasal dari yang nyata atau bahkan hanya fiksi dan fantasi dalam pijakan dasar teksnya. Yang paling utama adalah teks tersebut laku dijual dan mampu menjadi sumber kesenangan. Hal ini senada sebagaimana pernah diungkapkan Ien Ang bahwa fiksi dan fantasi adalah sumber kesenangan sebab ia menempatkan “realitas” dalam selingan karena ia membangun solusi imajiner bagi kontradiksi-kontradiksi nyata (Ang, 1985; Bennett, et.al, 1986; Ashley (ed), 1989; Bennett, (ed), 1990). Sementara itu, John Fiske (1987) berpendapat bahwa komoditas budaya yang memunculkan budaya massa setidaknya tersebar dalam dua ekonomi sekaligus yakni ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar, sedangkan ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna—makna, kesenangan dan identitas sosial. Dimana interaksi antara dua ekonomi ini senantiasa berlangsung secara kontinu. Komoditas budaya yang berupa teks-teks tadi dapat dijual sekaligus menjadi sebentuk makna dan kesenangan bagi khalayak setelah terlebih dahulu tentunya melalui proses logika ekonomi. Fiske Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
6
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
menegaskan bahwa semua itu terletak pada khalayak yang melakukan konsumsi (Storey, 2007: 31-32). Membaca budaya popular berkaitan dengan konsumsi. Ideologi konsumerisme seakan menjadi pencarian yang tiada akhir dan tak mengenal habisnya. Setidaknya janji yang dibuatnya adalah bahwa konsumsi merupakan jawaban dari semua masalah kita, konsumsi akan membuat kita utuh kembali, konsumsi akan membuat kita penuh kembali, konsumsi akan membuat kita lengkap lagi, konsumsi akan mengembalikan kita pada kondisi “imajiner” yang diliputi kebahagiaan (Fiske, 1989). Mitos dan Legenda Sebagai Komoditas Berikut ini akan disajikan suatu lacakan yang akan memberikan gambaran betapa industri budaya telah merubah berbagai hal menjadi semacam komoditas budaya populer yang tentu saja berkaitan dalam rangka menceburkan diri dalam rimba ataupun lautan kapitalisme. Beberapa mitos dan legenda ini dapat dikatakan hingga saat ini senantiasa diawetkan, diproduksi ulang, dikemas, hingga dapat menjadi sebentuk komoditas yang laris dan laku untuk dijual. Semisal menjadi sebuah potensi wisata, festival ataupun produk-produk industri budaya seperti serial televisi, film, lagu, komik, kartun, game, dan sebagainya (Garnham, 1990; O’Connor, 2000; Hesmondhalgh, 2002: 12). Jack the Ripper Anda tentu pernah mendengar nama Jack the Ripper. Mendengar sosok ini pikiran kita tentu akan melayang pada kisah misteri pembunuhan sadis di London yang belum pernah terungkap hingga saat ini. Deskripsi kesadisan dari peristiwa itu dapat dilihat dari kondisi korban yang mengenaskan seperti sayatan pada rahang, isi perut dan organ-organ yang terburai, tusukan di tubuh, leher bahkan kemaluan merupakan bukti betapa kejamnya pelaku dalam menghabisi para korbannya (Kelly, 1973; Saputra, 2010). Akibatnya berbagai spekulasi pun menyelimuti kasus ini. Ada yang menyebut hal itu dilakukan oleh kelompok agama tertentu sampai tudingan kepada orang Yahudi. Aroma magis dan mistik pun tidak jauh dari misteri ini karena korban dibunuh tanpa meninggalkan jejak yang berarti. Seolah menghilang dalam kabut malam kelam ketika itu. Namun, apabila ditinjau dari sisi kriminologi, kasus ini merupakan fakta perubahan masyarakat sosial yakni perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri yang selalu memunculkan tipe kejahatan baru. Tidak dapat dipungkiri, Jack the Ripper pun kini telah menjadi legenda. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari situs resmi polisi metropolitan London, www.met.police.uk (2011). Pembunuhan dilakukan secara beruntun dalam rentang waktu 3 April Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
7
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
1888 hingga 13 Februari 1891. Sementara, jumlah korban sebanyak 11 orang. Pembunuhan secara acak tanpa pola ditambah tidak ada jejak berarti membuat kasus ini tak terungkap. Bahkan tidak ada yang mengetahui identitas sejati dari pelaku pembunuhan spesialis wanita tuna susila tersebut hingga saat ini. Teka-teki siapa Jack The Ripper masih senantiasa segar dalam memori kolektif segenap warga di berbagai belahan dunia ini. Kisah Jack The Ripper memang demikian menarik perhatian sejak dahulu bahkan hingga masa kini. Sutradara terkenal sekaliber Alfred Hitchcock pun pernah mengangkat perihal tokoh misterius ini dalam filmnya dimana terbukti mendatangkan sukses pertama baginya. Film tersebut berjudul The Lodger yang dirilis pada tahun 1926. Sebuah film misteri yang berkisah tentang Jack the Ripper (Anom, 2003). Demikian pula dengan Albert Hughes dan Allen Hughes yang menyutradai film From Hell (2001). Film ini merupakan versi terbaru dari Hollywood tentang Jack The Ripper, yang jati dirinya masih mengundang kontroversi hingga saat ini. Jack the Ripper, pembunuh serial pertama yang dikenal dunia yang menjadikan pelacur-pelacur London sebagai mangsanya seakan menjadi ruang eksplorasi dalam membentuk komoditas karena memang tersedia demikian luas (Inglis, 1990). Satu hal yang pasti jualan utama dari film ini adalah sosok Jack The Ripper. Eksplorasi semacam ini ditenggarai tidak akan berhenti bahkan hingga masa yang akan datang karena memang Jack The Ripper sudah termasuk apa yang dinamakan industri budaya yang memang mencoba mencari hal-hal baru untuk diangkat, diproduksi atau direproduksi ulang untuk mencari nilai lebih dari nilai tukar (exchange-value) (Piliang, 1999: 33). Pernyataan Jack the Ripper mungkin benar bahwa “Satu hari orang-orang akan menengok ke belakang dan berkata, akulah yang melahirkan abad ke-20.” Tidak dapat dipungkiri kisah enigma mengenai Jack The Ripper ini pun telah menjadi sebuah budaya populer di kalangan masyarakat yang bertahan dari masa ke masa. Lalu bagaimana perihal Jack The Ripper masa kontemporer ini. Menilik realitas kekinian, akan sangat menarik untuk kita mengikuti liputan wartawan Kompas, Sarie Febriane yang dimuat Kompas, Minggu, 30 Mei 2010 pada rubrik Tren Perjalanan. Liputan perjalanan Febriane, mengungkapkan bahwa setelah dua abad kisah pembunuhan berantai yang sadis tersebut legenda Jack The Ripper yang mendunia masih membius dan hal ini kemudian dikemas dengan baik menjadi obyek wisata. Nampaknya pemerintah Kota London demikian melek terhadap potensi emas yang ada pada kawasan ataupun cerita Jack The Ripper ini. Wisata mengerikan bermodal kisah suram di masa lampau menjadi salah satu komoditas pariwisata London. Promosi wisata jenis itu juga terpampang di bus-bus. Sebagai contoh, kekejian dan kengerian menjadi atraksi turis di The London Dungeon, yang dibuka sejak 1976. Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
8
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Di museum kekejian di The London Dungeon di Tooley Street ini fantasi kengerian telah dikomodifikasi. Sadisme, kekejian, kengerian, betul-betul dieksplorasi menjadi komoditas pariwisata. Museum ini menyajikan atraksi kisah-kisah berdarah di London dari masa lampau dengan efek khusus. Hanya dengan uang 22,5 pounds (Rp. 309.100) khalayak dapat menyelami berbagai kisah sadis, seperti Jack The Ripper, Sweeney Tod, hingga Bloody Mary. Kisah suram dan mengerikan di masa lampau menjadi komoditas pariwisata yang dikelola serius. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Adorno (1991: 86-87) bahwa komoditaskomoditas yang dihasilkan oleh industri budaya diarahkan oleh kebutuhan untuk menyadari nilainya di pasaran dimana motif keuntungan menentukan berbagai bentuk budaya yang akan dijual. Man in The Iron Mask Demikian halnya dengan Man in The Iron Mask. Identitas sesungguhnya dari sosok misterius bertopeng besi dari Perancis ini hingga kini masih menjadi pertanyaan. Kisah mengenai sosok manusia misterius ini berasal dari masa rezim pemerintahan Louis XIV (1643-1715). Pada masa itu kekuasaan raja bersifat mutlak (absolute and unquestioned). Sebagaimana terekam dalam ungkapan Louis XIV begitu terkenal: “L’etat, c’est moi!” (negara adalah saya). Raja dapat memenjarakan siapapun sekehendak hatinya dan pada masanya banyak orang yang dipenjarakan baik karena intrik politik, kritik yang dirasa tidak pantas ataupun alasan-alasan lain (Yanne, 1993; The Straight Dope, 2011). Perihal informasi mengenai pria penuh misteri tersebut pertama kali ditemukan dalam buku catatan Lieutenant Etienne du Junca, seorang pejabat Penjara Bastille (Oktober 1690September 1706). Menurut Theodore M.R. von Keler, catatan du Junca merupakan sumber yang paling penting dan utama berkaitan dengan informasi pengelolaan Penjara Bastille pada masa Louis XIV (von Keler, 1923). Berbagai kemungkinan telah ditemukan akan tetapi tidak jarang cerita mengenainya merupakan gabungan dari berbagai cerita lain yang saling bertautan dan dapat dikatakan berasal lebih dari satu cerita atau tokoh. Salah satu karya yang sering dijadikan pijakan adalah Alexandre Dumas, Man In The Iron Mask (2002). Sebuah novel yang dijadikan acuan bagi berbagai film di Eropa dan Amerika mengenai sosok misterius ini. Namun, sayangnya banyak hal dalam novelnya yang merupakan fiktif dan rekaan Dumas semata. Sebagai contoh, film Man In The Iron Mask (1998). Film ini sutradarai oleh Randall Wallace, dengan aktor utama Leonardo DiCaprio. Film ini meraih total pendapatan di seluruh dunia sebesar 182.968.902 dollar AS merupakan film yang terinspirasi dari sosok misterius tersebut. Kini mitos seputar tahanan bertopeng hidup hari ini dalam film, buku, drama, dan puisi. Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011
9
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Oleh karena itu, ketenarannya melampaui fakta-fakta sejarah. Meminjam istilah, Jean Baudrillard—kisah tahanan bertopeng telah berubah menjadi hiperrealitas (realitas semu) dan merupakan sebuah lahan subur untuk menggerakkan industri budaya karena mitos tersebut hingga saat ini masih merupakan enigma dan yang paling utama adalah senantiasa memancing rasa penasaran publik sehingga laku untuk dijual (Alkhajar, 2007). Tidak hanya itu, mitos mengenai topeng besi telah merasuk dalam imajinasi populer publik. Di akhir tahun 1700, saat revolusi meletus, ketidakpuasan terhadap berbagai hak istimewa para bangsawan dan berbagai tirani menemukan simbol perlawanan pada tahanan bertopeng yang tidak pernah diketahui identitasnya hingga akhir hayatnya. Penjaranya, Bastille, telah menjadi simbol utama dari tirani dan penindasan. Revolusi Perancis terjadi tahun 1789 dimana rakyat menjebol penjara Bastille yang merupakan lambang monarki absolut pemimpin pemerintahan para raja (Louis) berlanjut dengan putusnya kepada raja sekeluarga di alat pemenggal kepala (guillotine), yang sesungguhnya dipersiapkan untuk lawan-lawan politik raja Perancis. Seluruh keluarga raja dieksekusi pada musim dingin tahun 1972-1973 (Syafiie dan Azikin, 2007: 45; Wilde, 2011). Mitos manusia bertopeng besi ini juga menjadi alat legitimasi pemerintah Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte. Dimana ada teori yang berkembang bahwa saat dipenjara pria bertopeng tersebut sempat menikah dan menjadi seorang ayah dari seorang bayi. Dalam kondisi mengandung istrinya berpindah ke Corsica dan melahirkan seorang anak laki-laki di sana. Perempuan tersebut memberikan nama: Napoleon Bonaparte. Oleh karena itu, Napoleon Bonaparte merupakan keturunan langsung yang sah dari Raja Perancis karenanya ia memiliki hak ilahi untuk menggulingkan monarki. Banyak pihak yang mengatakan bahwa teori ini cenderung mengada-ada dan sekedar sebagai alat legitimasi penguasa Perancis ketika itu (The Straight Dope, 2011). Raja Arthur Kisah mengenai Raja Arthur yang dapat dikatakan penuh dengan mitologi pun tidak luput dari pandangan industri budaya dimana berbagai kisah yang sesungguhnya belum jelas ini pun tetap merupakan komoditas yang potensial untuk digarap yang tentunya akan menghasilkan keuntungan. Apalagi banyak orang yang tertarik dan penasaran terhadap Raja Arthur yang misterius dan legendaris ini. Hal terlihat jelas dari berbagai studi yang berkaitan dengannya (Castleden, 2000; Higham, 2002). Dengan adanya peluang besar tersebut, industri budaya pun segera melakukan pekerjaannya. Hasil komodifikasi pun dilakukan semisal dalam bentuk novel, buku, film, film Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 10
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
animasi ataupun program siaran radio tentunya dengan pijakan yang berkisar pada mitologi Raja Arthur. Sebut saja T.H. White, seorang penulis hebat yang mencoba mengangkat kembali kisah klasik Raja Arthur dalam novelnya The Sword in the Stone (1938). Kisah mengenai masa kecil Raja Arthur ini disajikannya demikian memikat yang mana telah mengkombinasikan antara elemen legenda, sejarah, fantasi dan humor. White berhasil menghidupkan kembali mengenai Raja Arthur dalam novelnya menjadi demikian hidup, fantastis dan terlihat nyata. Ia berhasil menggiring pembaca untuk menyelami ke zaman pertengahan dan mengungkapkan cerita lama ini melalui pendekatan yang baru dan menyenangkan bahkan banyak pengamat yang memberikan apresiasi atas karya White ini. Selanjutnya Walt Disney mengadopsi cerita White untuk membuat film animasi dengan judul yang sama yang dirilis pada tanggal 25 Desember 1963. Film ini merupakan film animasi ke-18 dari rangkaian film animasi klasik Walt Disney, yang juga merupakan film animasi terakhir yang dirilis di saat Walt Disney masih hidup. Selain itu, BBC pun mengadopsinya ke dalam program radio (http://arthurianadventure.com/sword_in_the_stone.htm, diakses 20 Mei 2011; http://www.bbc.co.uk/programmes/b00gd7mk, diakses 21 Mei 2011). Tidak berhenti di sini, Marion Zimmer Bradley menulis novel yang berkaitan dengan mitologi seputar Raja Arthur berjudul The Mists of Avalon (1982). Novel fantasi ini pun menjadi bestseller dan diadopsi ke dalam sebuah mini seri di Turner Network Television (TNT) yang merupakan American TV Channel pada tahun 2001 dengan sutradara berkebangsaan Jerman, Uli Edel. Dimana sang sutradara pernah memenangi Bavarian Film Award (1989) dan Golden Globes dalam kategori Best Mini-Series or Motion Picture Made for TV (1997) (Bianco, 2011). Sementara itu, film animasi yang relatif baru berjudul Quest for Camelot (1998) juga telah diproduksi Warner Bros Animations yang menceritakan kisah seorang wanita muda bernama Kayley yang ingin menjadi seorang ksatria dari Meja Bundar di Camelot seperti ayahnya Sir Lionel. Ceritanya lagi-lagi mengangkat kaitan kisah Raja Arthur yakni Ksatria dan Meja Bundar. Pada layar lebar, pesona Raja Arthur pun seakan tidak memudar setidaknya beberapa judul film dengan berbagai angle, setting dan cerita berbeda bahkan dapat terbilang tidak ada yang konsisten. Namun sekali lagi tentunya logika industri budaya tidak memandang penting arti konsistensi ataupun kebenaran suatu kisah klasik (mitologi) dimana yang ada hanyalah mengakumulasi modal dan membuat komoditas yang dapat diterima oleh pasar. Di antara film-film tersebut adalah: Film Excalibur (1981), karya John Boorman, yang mengangkat kembali legenda Raja Arthur dan Ksatria Meja Bundar merupakan hasil adopsi kisah yang ditulis Thomas Malory, Le Morte d'Arthur pada abad ke-15. Produksi film ini menghabiskan dana sebesar $ 11.000.000 akan tetapi menjadi
Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 11
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
box
office
dan
meraup
keuntungan
sebesar
$
34.967.437
(http://boxofficemojo.com/movies/?page=main&id=excalibur.htm, 20 Juni 2011). Tidak berhenti sampai di situ, tepatnya 14 tahun kemudian muncul film First Knight (1995). Film yang disutradarai Jerry Zucker ini pun diilhami legenda Raja Arthur. Tercatat beberapa pemain bintang yang bermain dalam film tersebut antara lain: Richard Gere sebagai Lancelot, Julia Ormond sebagai Guinevere, dan Sean Connery sebagai Raja Arthur. Film ini berhasil mendapatkan domestik bruto $ 37.600.435 dan $ 90.000.000 di pasar luar negeri, secara keseluruhan,
film
ini
mendapatkan
$
127.600.435
di
seluruh
dunia
(http://boxofficemojo.com/movies/?id=firstknight.htm, diakses 20 Juni 2011). Kemudian film King Arthur (2004). Film dengan durasi 140 menit ini cukup menarik untuk membangkitkan rasa penasaran mengenai sejarah mengenai kekaisaran Inggris. Walaupun dalam beberapa tokoh semisal Lancelot dan Guinevere dalam film ini ditampilkan dengan karakter yang berbeda dengan berbagai legenda yang ada. Terobosan sang produser Jerry Bruckheimer, sekali lagi mengangkat film yang berkisah mengenai Raja Arthur dan Ksatria Meja Bundar. Film ini dibintangi antara lain oleh Clive Owen, Keira Knightley, Hugh Dancy dan Ioan Gruffudd. Apabila di film-film mengenai Raja Arthur dan Ksatria Meja Bundar senantiasa beraroma sihir dan mistis. Dalam film ini angle yang diambil dapat dikatakan berbeda karena merujuk pada salah satu sejarah asal mula legenda Arthurian yakni Artorius Castus, pemimpin pasukan Sarmatian Romawi yang ditugaskan di Inggris. Lalu bagaimana dengan pendapatan yang didapat dari film ini? Dapat ditebak hasilnya luar biasa. Pendapatan secara domestik mencapai $ 51.882.244 dan $ 151.685.613 di pasar luar negeri, secara keseluruhan film ini mendapatkan $ 203.567.857 (http://boxofficemojo.com/movies/?id=kingarthur.htm, diakses 20 Juni 2011). Gelimang potensi kapital dari legenda Raja Arthur ini dapat dikatakan senantiasa siap untuk diproduksi dan reproduksi ulang dalam balutan industri budaya. Reinkarnasinya nampaknya tidak akan berhenti sampai di sini. Dan faktanya benar, sebagaimana diungkapkan Stuart Heritage dalam The Guardian, bahkan baru-baru ini reinkarnasi dari kisah Raja Arthur ini kembali bangkit. Tepatnya pada program televisi “Camelot” (Heritage, 2011). Sepertinya logika industri budaya untuk senantiasa mengemas kisah Raja Arthur menjadi komoditas tidak akan pernah ada habisnya. Sepertinya, jawaban apakah Raja Arthur merupakan legenda atau rekaman sejarah yang nyata akan tetap tersimpan dan menjadi milik masa lalu, hingga dunia dengan segenap pengetahuan mampu untuk menyingkap kabut yang menyelubungi sekaligus membuktikannya. Namun, tidak berhenti pada ranah industri budaya an sich, sosok legendaris Arthur pun kerap digunakan sebagai alat yang bersinggungan dengan politik atau menjadi alat legitimasi. Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 12
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Sebagai contoh adalah perihal penemuan makam Arthur oleh para biarawan setidaknya memiliki daya tarik sendiri walaupun banyak disanggah oleh berbagai pihak yang meyakini bahwa Arthur masih hidup dan akan kembali suatu saat nanti. Hal yang paling jelas adalah bahwa ada kemungkinan para biarawan melakukan hal tersebut dengan motif untuk mengumpulkan dana untuk membangun kembali Glastonbury. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, sebuah kebakaran hebat pada 1184 di Glastonbury menghancurkan bangunan-bangunan biara. Sehingga penemuan makam tersebut diharapkan dapat menarik uang dari para donatur kaya dan para peziarah. Terbukti hingga kini para peziarah terus berdatangan secara berbondong-bondong (Greene, 1992; Michelsson, 2008: 3; Koerner, 2011). Selain itu, bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa Henry II menginginkan penguatan total keyakinan mengenai kembalinya Arthur, yang mungkin telah diinisiasi oleh “penemuan” makam Arthur dalam rangka merayakan kelahiran cucunya, Arthur of Brittany. Menilik hal ini, Leslie Alcock mengatakan kemungkinan adanya latar belakang politik dari ditemukannya makam Arthur tersebut (Alcock, 1971). Studi Elisabeth Michelsson (2008), setidaknya membuktikan bahwa legenda Arthur dan segala yang berkaitan dengannya kerap digunakan sebagai alat legitimasi politik bahkan belum berakhir ketika Inggris memasuki masa reformasi. Beberapa raja Inggris yang menggunakannya sebagai legitimasi politik antara lain Edward I, Edward III, Henry II, Henry VIII dan Henry Tudor (Michelsson, 2008: 1-11). Michelsson juga mengurai bahwa konteks historis dari penemuan makam Arthur dapat dikaitkan dengan fakta bahwa pada abad ke-12, seabad setelah Norman Conquest of England, generasi dari raja-raja Inggris membutuhkan legitimasi untuk menjalankan pemerintahan mereka. Apalagi di daerah seperti para pemimpin lokal Wales dan Cornwall tetap menentang adanya hegemoni baru (Michelsson, 2008: 3). Nostradamus Michel Nostradamus (lahir sebagai Michel de Nostredame), merupakan peramal Perancis abad ke-16. Julukan “Sang Pelihat” melekat padanya karena dirinya dianggap mampu melihat ke masa depan. Berbagai ramalannya yang dituangkan dalam karyanya The Centuries menjadi rujukan bagi para pengikut yang percaya kepadanya dalam hal untuk membaca masa depan (Smoley, 2006). Nostradamus dipercaya telah meramalkan kematian Raja Henry II dari Perancis, Ratu Elizabeth I naik tahta, wabah pes di London, kejayaan serta keruntuhan Napoleon Bonaparte, lahirnya ahli ilmu kedokteran yang sangat terkenal Louis Pasteur, meramalkan kelahiran Adolf Hitler hingga Perang Dunia II. Bahkan masih banyak lagi ramalan-ramalan yang diyakini oleh Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 13
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
orang-orang yang antusias kepada karyanya serta para pengikut yang percaya kepadanya benarbenar terjadi (Smoley, 2006). Benar atau ramalan tidaknya Nostradamus itu semua kembali kepada keyakinan personal masing-masing. Namun yang pasti manusia misterius Nostradamus ini tidak luput dari apa yang dinamakan industri budaya (culture industry) yang melahirkan budaya populer (popular culture) (Strinati, 2009). Betapa tidak, ramalan Nostradamus penulis abad ke-16 kini telah menjadi bagian dari budaya populer abad ke-20 dan 21. Bahkan mungkin sampai untuk masa-masa yang akan datang. Setidaknya ratusan buku baik itu fiksi maupun non fiksi berkaitan dengan dirinya telah beredar di pasaran, begitu pun dengan kehidupan serta nubuatnya telah diangkat kedalam beberapa film sebut saja diantaranya: Prophecies of Nostradamus: Catastrophe 1999 (1974); Nostradamus: The Man Who Saw Tomorrow (1981) serta End of Days (1999) yang diilhami ramalannya yakni
konsep
“from
the
sky
will
come
a
great
King
of
Terror”
(http://en.wikipedia.org/wiki/Nostradamus_in_popular_culture, diakses 15 April 2011). Tidak berhenti sampai di situ, karakter ataupun perihal yang berkaitan dengan Nostradamus pun senantiasa mendapat sorotan berbagai media sehingga tak heran apabila banyak ditemukan dalam berbagai tayangan serial televisi, musik, komik hingga game. Sehingga dapat dikatakan perihal Nostradamus terus mengalami komodifikasi seiring dengan perjalanan waktu dan tentunya berkaitan dalam rangka mengakumulasi kepentingan modal (Mosco, 2009). Sebagaimana diungkapkan Berger, media kerap memanipulasi berbagai hal dengan pandangan-pandangan tertentu dimana dalam budaya populer media cenderung menampilkan seolah-olah apa yang menjadi keinginan massa. Hal utama yang menjadi perhatian adalah bagaimana menjadikan segala sesuatu dapat dijual dan mendatangkan exchange-value yang lebih banyak. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengagetkan karena media merupakan instrumen penting dari kapitalisme (Berger, 1982: 63; Lury, 1998: 62-63). Halnya yang paling terlihat dari bentuk komodifikasi tokoh Nostradamus yakni meningkatnya jumlah penjualan buku dan menjadi pencarian paling populer di internet. Hal ini menyusul adanya serangan 11 September serta klaim yang beredar bahwa Nostradamus telah meramalkan segala sesuatu yang terjadi. Khusus untuk buku, amazon.com menayangkan rilis daftar buku terlaris (bestseller) yang diperbaharui setiap jam, deretan teratas dapat ditebak adalah berkaitan dengan ramalan Nostradamus. Berbagai propaganda yang ada seakan menggiring orang untuk mendadak demam dan bersemangat untuk kembali melihat ke abad 16 mengenai apa yang dikatakan Sang Pelihat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa data menunjukkan bahwa ramalan Nostradamus kian masuk dalam penjualan terbaik mereka dimana hampir semua judul terjual Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 14
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
habis sehingga dapat dikatakan bahwa ramalan Nostradamus merupakan budaya pop terbaik dari masa ke masa (Lawson, 2001; Lemesurier, 2011). Robin Hood Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Inggris yang satu ini demikian popular hingga saat ini. Catatan yang dianggap paling komprehensif menceritakan mengenai dirinya ada dalam buku A Lytell Geste of Robin Hode yang diterbitkan pada tahun 1489 (Gale Cengage Learning, 2009: xxix). Akan tetapi, riwayat mengenai kehidupan sejati dari Robin Hood sebenarnya masih menjadi pertanyaan. Seorang peneliti sejarah, David Baldwin mengatakan bahwa ia telah berhasil menemukan Robin Hood yang sesungguhnya. Pandangan serta bukti lengkap mengenai siapa Robin Hood menurut Baldwin terekam dalam bukunya ROBIN HOOD: The English Outlaw Unmasked (2010). Baldwin mengatakan bahwa kisah Robin Hood adalah sebuah misteri yang telah merasuk ke dalam pikiran dan imajinasi orang. Beberapa individu yang telah diidentifikasi sebagai Robin di masa lalu memang memiliki sesuatu untuk dibicarakan akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya meyakinkan. Robin Hood merupakan karakter gabungan yang berasal dari berbagai sumber lain yang dipinjam dan ditambahkan ke dalam legendanya. Ia melanjutkan bahwa ada kemungkinan beberapa perbuatan penjahat yang lain yang turut berkontribusi pada perjalanan kisah modern Robin Hood (Baldwin, 2010). Akan tetapi ia percaya ada satu orang mendasari banyaknya cerita-cerita yang beredar di kemudian hari. Namanya Roger Godberd dan dia adalah seorang penjahat yang aktif di akhir 1260-an. Banyak cerita-cerita mengenai Robin Hood di masa awal yang diambil dari berbagai aktivitas atau kisah Godberd seperti berburu rusa di hutan Sherwood, ditangkap oleh Sheriff of Nottingham, dipenjarakan di Nottingham Castle dan memiliki bantuan dari seorang ksatria yang ramah yang selalu membantunya lolos dari jeratan hukum. Dan yang jelas ia merampok gerejawan sama seperti Robin Hood yang legendaris itu. Baldwin mengungkap bahwa kesamaan dalam kisah-kisah hidup mengenai mereka menunjukkan bahwa salah satu karakter dapat didasarkan pada yang lain (Baldwin, 2010; Parsons, 2011). Untuk lebih dapat memperoleh gambaran lengkap mengenai kisah dari tokoh ini tentu banyak literatur maupun film yang harus ditinjau yang mana telah mengekalkan legenda Inggris ini tentu saja dalam balutan industri budaya (culture industry). Ini senada sebagaimana diungkapkan Chris Parsons bahwa legenda Robin Hood telah hinggap dalam imajinasi produser film, penulis TV dan berbagai penulis selama beberapa dekade. Terbukti berbagai film, serial televisi atau buku telah diproduksi berkali-kali dan dikemas dengan berbagai kemasan komoditas banyak beredar dalam upaya menggumpalkan modal mengambil inspirasi dari tokoh legendaris tersebut. Bahkan Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 15
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
adapula versi animasi Disney sebelum baru-baru ini muncul reinkarnasi sang legenda yang dibintangi Russell Crowe dalam peran utama film Robin Hood (2010) (Parsons, 2011). Sulitnya mengidentifikasi kisah sebenarnya dari Robin Hood juga disampaikan Professor Sir James Clarke Holt. Sejarawan Inggris Abad Pertengahan secara sederhana pernah melontarkan suatu pernyataan sebagai berikut: “Coba tanya kepada audiens yang menghadiri perkuliahan pertanyaan-pertanyaan mengenai Robin Hood tentu jawabannya akan mudah ditebak seperti ini. Siapa yang belum pernah membaca, mendengar atau melihat kisah tentang Robin Hood? Jawabannya: Tidak ada. Siapa yang pernah membaca cerita aslinya? Jawabannya: Tidak ada. Holt menyimpulkan bahwa selama ini bahkan hingga kini kisah mengenai Robin Hood telah mengalami proses transmisi maupun transmutasi dari generasi ke generasi. Namun Holt menyakini bahwa jawaban dari siapakah Robin Hood? Sudah tentu jawabannya lebih dari satu (Holt, 1989; Wright, 2010). Apapun kisahnya dan bagaimanapun sejatinya yang utama dalam industri budaya adalah sesuatu itu menarik untuk disajikan dan dijual guna menghadirkan dan mengakumulasi kapital. Sebagai contoh, sekarang Hutan Sherwood yang—notabenenya merupakan lokasi dimana Robin Hood berpetualang—mencakup sekitar 450 hektar sudah sulap menjadi kompleks taman menawan serta berhasil menarik sekitar 3/4 juta pengunjung dalam setahun dimana mereka berbondong-bondong untuk menyaksikan pohon Mayor Oak. Di tempat ini pula, setiap tahunnya pada bulan Agustus diadakan Festival Robin Hood dalam rangka mengenang kembali semangat dari sang legenda tersebut. Kesimpulan Industri budaya (culture industry) tidak dapat dipungkiri telah merasuk ke dalam setiap sendi dan relung kehidupan manusia tidak hanya yang bersifat realitas tetapi juga menyusup ke ranah ruang metafisika. Industri budaya senantiasa berkaitan erat dengan budaya populer yang muaranya berujung pada pengakumulasian modal (capital). Dari hasil lacakan ini setidaknya diperoleh hasil bahwa industri budaya senantiasa mengolah apapun dalam dimensi kehidupan manusia termasuk mitos dan legenda menjadi suatu komoditas yang laku dijual dan disukai pasar. Selain itu, berkaitan dengan mitos dan legenda ada beberapa aspek yang dapat digali secara lebih jauh ke depannya. Salah satunya adalah berkaitan dengan pengaruh mitos dan legenda tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam konteks historis ataupun kontemporer seperti masa kini. Betapa mitos dan legenda pun tidak lepas dari ranah politik dimana hal-hal semacam itu kerap sekali digunakan sebagai alat legitimasi penguasa atau atas nama kekuasaan.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 16
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Begitu pun, pada sisi sosial sebagai ranah yang menginspirasi berkaitan dengan pelajaran dan pesan yang disampaikan atau dikonstruksikan di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA Adorno, Theodor W. and Max Horkheimer. 1972. Dialectic of Enlightenment. New York: Herder and Herder. Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry. London: Routledge. Alcock, Leslie. 1971. Arthur's Britain, History and Archeology. London: Penguin Press. Alkatiri, Zeffry J. 1998. Manusia, Mitos dan Mitologi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Alkhajar, Eka Nada Shofa, “Hiperealitas dalam Kehidupan Nyata”, Kompas, 31 Desember 2007. Alkhajar, Eka Nada Shofa, “Gethok Tular dan Pariwisata”, Pelita, 21 Januari 2010. Alkhajar, Eka Nada Shofa, “Sinetron dalam Jeratan Industri Budaya”, Pelita, 29 April 2010. Alkhajar, Eka Nada Shofa, “Tanggung Jawab Sosial Media”. Joglosemar, 8 Maret 2011. Ang, Ien. 1985. Watching Dallas. London: Methuen. Anom, Andari Karina. (2003, 27 Januari). “Hitchcock Si Penabur Ketegangan”. Dipetik 20 Maret 2011 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/27/FL/mbm.20030127.FL84520 .id.html. Ashley, B. (ed.). 1989. The Study of Popular Fiction. London: Pinter. Baldwin, David. 2010. ROBIN HOOD: The English Outlaw Unmasked. UK: Amberley.
Bennett, Tony, et.al (ed). 1986. Popular Culture and Social Relations. Milton Keynes: Open University Press. Bennett, Tony and Janet Woollacott. 1987. Bond and Beyond. London: Mcmillan. Bennett, Tony (ed.). 1990. Popular Fiction. London: Routledge. Berger, Arthur Asa. 1982. Media Analysis Techniques. California: Sage Publications. Bianco, Robert. (2001, 13 Juli), “Mists Features Strong Women, Acting”, USATODAY, diakses 21 Juni 2011 dari http://www.usatoday.com/life/television/2001-07-13-mists-of-avalon review.htm. Bungin, Burhan. 2001. Imaji Media Massa. Yogyakarta: Jendela. Castleden, Rodney. 2000. King Arthur: The Truth Behind the Legend. London and New York: Routledge. Chomsky, Noam. 2005. Kuasa Media, Terj. Nurhady Sirimorok. Yogyakarta: Pinus. Coleman, J.A. 2007. The Dictionary of Mythology. London: Arcturus Publishing Limited. Dumas, Alexandre. 2002. Man In The Iron Mask. McLean, VA: IndyPublish.com. Febriane, Sarie. “Menyusuri Jejak "Jack The Ripper", Kompas, 30 Mei 2010. Fiske, John. 1989. Reading Popular Culture. Boston, MA: Unwin Hyman. Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. New York: Free Press. Fukuyama, Francis dan Samuel P. Huntington. 2005. The Future of The World Order: Masa Depan Peradaban dalam Cengkraman Demokrasi Liberal Versus Pluralisme, Cet. 2. Terj. Ahmad Faridl Ma’ruf. Yogyakarta: IRCiSoD. Gale Cengage Learning. 2009. U.X.L Encyclopedia of World Mythology. Detroit: Gale Cengage Learning Garnham, Nicholas. 1990. Capitalism and Communication: Global Culture and the Economics of Information. London: Sage. Garnham, Nicholas. 1997. “On The Cultural Industries”, dalam Paul Marris and Soe Torham (ed.), Media Studies: A Reader. Edinburg: Edinburg University Press. Giddens, Anthony. 2004. RUNAWAY WORLD: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 17
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Cet. 2, Terj. Andry Kristiawan S. dan Yustina Koen S. Jakarta: Gramedia. Grossberg, Lawrence. 1992. “Is There a Fan in The House?: The Affective Sensibility of Fandom” In L. Lewis (ed.), The Adoring Audience: Fan Culture and Popular Media. London: Routledge. Heritage, Stuart. (2011, 11 Juni). “King Arthur is back on TV in Camelot but which is the best version?”, The Guardian, diakses 20 Juni 2011 dari http://www.guardian.co.uk/culture/2011/jun/11/king-arthur-is-back-on-tv-in-camelot. Hesmondhalgh, David. 2002. The Cultural Industries. London: Sage. Higham, N.J. 2002. King Arthur: Myth-Making and History. London and New York: Routledge. Holt, James Clarke. 1989. Robin Hood. Revised edition. London: Thames and Hudson. http://en.wikipedia.org/wiki/Nostradamus_in_popular_culture, diakses 15 April 2011. http://www.allaboutpopularissues.org/nostradamus-prophecy.htm, diakses 14 Juni 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Norman_conquest_of_England, diakses 15 Juni 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Uli_Edel, diakses 21 Juni 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/The_Mists_of_Avalon, diakses 21 Juni 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/The_Mists_of_Avalon_%28TV_miniseries%29, diakses 21 Juni 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Turner_Network_Television, diakses 21 Juni 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/Excalibur_%28film%29, diakses 20 Juni 2011. http://boxofficemojo.com/movies/?page=main&id=excalibur.htm, diakses 20 Juni 2011. http://filmireland.net/2011/01/27/boorman-honoured-as-excalibur-hits-30/, diakses 20 Juni 2011. http://boxofficemojo.com/movies/?id=firstknight.htm, diakses 20 Juni 2011. http://boxofficemojo.com/movies/?id=kingarthur.htm, diakses 20 Juni 2011. http://www.allaboutpopularissues.org/nostradamus-prophecy.htm, diakses 20 April 2011. http://arthurianadventure.com/sword_in_the_stone.htm, diakses 20 Mei 2011. http://www.bbc.co.uk/programmes/b00gd7mk, diakses 21 Mei 2011. Inglis, Fred. 1990. Theory Media An Introduction. Massachusetts: Basil Blackwell Inc. Jenkins, Henry. 1992. Textual Poachers. New York: Routledge. Kellner, Douglas. 1995. Media Culture. London: Routlegde. Kelly, Alexander Garfield. 1973. Jack the Ripper; A Bibliography and Review of the Literature. London: Association of Assistant Librarians. Koerner, Brendan I. 2011. “Arthur, Arthur!: The once and future king is lost in the past”, diakses 15 Juni 2011 dari http://www.usnews.com/usnews/doubleissue/mysteries/king.htm. Lawson, Mark. (2001, 15 September). “Nostradamus Tops the Best Sellers”, diakses 14 Juni 2011 dari http://www.guardian.co.uk/books/2001/sep/15/september11.usa. Lemesurier, Peter. (2011, 2 Maret). “Nostradamus Facts”, diakses 15 Juni 2011 dari http://nostradamusthefacts.blogspot.com/ Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. McQuail, Denis. 2002. Mass Communication Theory. London: Sage Publication. met.police.uk. 2011. “The Enduring Mystery of Jack the Ripper”. Dipetik 25 April 2011 dari http://www.met.police.uk/history/ripper.htm. Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. Second edition. London: Sage. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: RajaGrafindo Persada. O’Connor, Justin. 2000. “The Definitions of ‘Cultural Industries’. The European Journal of Arts Education Vol. 2 No. 3, February, hal. 15-27. Diakses 12 Juni 2011. Tersedia dalam versi online,
. Parsons, Chris. (2011, 2 April). “Is this the grave of Robin Hood? Historian claims farmer buried in an unmarked tomb is the outlaw behind the legend”, diakses 16 Mei 2011 dari http://www.dailymail.co.uk/news/article-1372334/Has-mystery-Robin-Hoods-identity -finallysolved-Historians-claim-farmer-led-band-highwaymen.html. Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 18
Eka Nada Shofa Alkhajar : Menguak Mitos dan Legenda dalam Balutan Industri Budaya
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiperrealitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS. Poerwadarminta, W.J.S. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. ke-14. Jakarta: Balai Pustaka. Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Jakarta: Rajawali. Saputra, Andi. (2010, 24 Februari). “122 Tahun Jack The Ripper, Mutilasi yang Tak Pernah Terungkap”. Dipetik 18 April 2011 dari http://www.detiknews.com/read/2010/02/24/050723/1305501/10/122-tahun-jacktheripper-mutilasi-yang-tak-pernah-terungkap. Smoley, Richard. 2006. The Essential Nostradamus: Literal Translation, Historical Commentary, and Biography. New York: Penguin Group Inc. Storey, John. 2007. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Terj. Laily Rahmawati. Bandung: Jalasutra. Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terj. Abdul Muchid. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Sussman, Gerald. 1997. Communication, Technology, and Politics in The Information Age. Thousand Oaks, California: Sage Publications, Inc. Syafiie, Inu Kencana dan Andi Azikin. 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama. The Straight Dope. 2011. “Who was the ‘Man in the Iron Mask”?, diakses 18 Juni 2011 dari http://www.straightdope.com/columns/read/2047/who-was-the-man-in-the-iron-mask. Von Keler, Theodore M.R. 1923. The Mystery of The Iron Mask. Kansas: Haldeman-Julius Company. Webster’s New World Encyclopedia. 1992. New York: Prentice Hall. Wilde, Robert. 2011. “The Guillotine”, diakses 25 Juni 2011 dari http://europeanhistory.about.com/cs/frenchrevolution/a/Guillotine.htm. Wright, Allen W. 2010. “Search for a Real Robin Hood”, diakses 17 Mei 2011 dari http://www.boldoutlaw.com/realrob/realrob2.html#other. Yenne, Bill. 1993. 100 Events That Shaped World History. San Marino, CA: Bluewood Books.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 4 No 2 Juli 2011 19