MENGRITISI PEMIKIRAN DR. M. YAHYA WALONI (Mantan Rektor UKI Papua & Pendeta Gereja Kristen Indonesia di Papua) DALAM BUKUNYA, THE LOGICAL OF SIMPLE KEBENARAN ISLAM MENURUT PENDETA PENERBIT AS SHIDDIQ 2008
Oleh: Teguh Hindarto, MTh.
PENDAHULUAN Telah beredar buku dengan judul, THE LOGICAL OF SIMPLE KEBENARAN ISLAM MENURUT PENDETA, karya DR. Yahya Waloni, seorang mantan pendeta dan rektor salah satu sekolah Teologi beredar dan meramaikan diskusi yang tidak pernah usai mengenai keimanan Kekristenan yang selalu digoncang para kritikus. Sayangnya, buku yang menyuarakan isi hati dan penelitian sejenis ini (kesaksian kepindahan seorang Islam ke Kristen) di kalangan Kekristenan belum tentu dapat bebas beredar dikarenakan berbagai tekanan-tekanan baik politis maupun religius. Anehnya, buku karya seorang Doktor ini ternyata sangat minim referensi. Tercatat hanya 15 referensi lokal ditambah berbagai kutipan ayat dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dimasukkan sebagai referensi. Bahkan daftar referensi yang didaftarkan hanya buku-buku yang bercorak polemis dan apologetis bukan buku-buku yang kaya akan studi teks, tafsir dan sejarah. Buku ini mendapat legitimasi Majelis Ulama Indonesia Kotamadya Jakarta Utara dan Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI. Sangat disayangkan, buku yang lebih mengesankan “menyudutkan iman Kristen” dengan bahasa-bahasa yang provokatif dan menggebu-gebu ini tidak seharusnya mendapatkan legitimasi kedua lembaga di atas yang seharusnya menjadi lembaga pengayom dan pengendali kerukunan antar umat beragama. Tidak berpanjang lebar, penulis akan memfokuskan mengritisi pemikiran DR. Yahya Waloni dalam beberapa topik yang dibahas dalam buku tersebut. Tanggapan ini merupakan wujud pertanggungjawaban iman Kristiani sebagaimana diamanatkan oleh Rasul Paul dan Rasul Kefa (Petrus) dalam ayat-ayat berikut: “Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak (Tuhan) itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan PEMBELAAN DIRI (APOLOGIAN), kejengkelan, ketakutan, kerinduan, kegiatan, penghukuman! Di dalam semuanya itu kamu telah membuktikan, bahwa kamu tidak bersalah di dalam perkara itu” (2 Kor 7:11) “Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku MEMBELA (APOLOGIAN) dan meneguhkan Berita Injil” (Fil 1:7) “Mereka ini memberitakan (Mesias) karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk MEMBELA INJIL (APOLOGIAN)” (Fil 1:16) “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi PERTANGGUNGAN JAWAB (APOLOGIA) kepada tiap-tiap orang yang memintanya dari kamu tentang 1
pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat” (2 Ptr 3:15)
MENGENAI TERMINOLOGI Dalam tanggapan ini, penulis tidak menggunakan sebutan atau nama Allah namun Tuhan sebagai terjemahan yang tepat untuk kata Ibrani Elohim dan kata Yunani Theos. Istilah Tuhan dinisbatkan pada YHWH (Yahweh) yaitu Tuhan Avraham, Yitskhaq dan Ya’aqov dan Tuhan yang menyatakan pada Moshe di Sinay (Keluaran 3:15). Dialah Bapa Surgawi (Yesaya 64:8, Matius 6:9). Sementara istilah Junjungan Agung atau Tuan dinisbatkan pada Yahshua Sang Mesias (Yesus Kristus). Istilah Junjungan Agung atau Junjungan Agung Yang Ilahi serta Tuan bagi Yahshua Sang Mesias adalah konsekwensi sapaan Ibrani Adon dan sapaan Yunani Kurios bagi Yahshua Sang Mesias. Kutipan ayat-ayat diambil dari terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia namun dengan disesuaikan dengan teks sumber baik Ibrani maupun Yunani, sehingga terkadang saat mengutip, penulis akan memberikan tanda kurung sebagai tafsir dan perspektif penulis mengenai terjemahan yang mendekati bahasa sumber. Beberapa pemikiran DR. Yahya Waloni yang akan penulis kaji sbb: YAHYA WALONI: TRINITAS DAN BAPTISAN, SUMBER KEBINASAAN MANUSIA. Keyakinan umat Kristen kepada Tuhan Yang Maha Esa terkesan tidak jelas. Hal ini terlihat dari kitab suci mereka menurut Perjanjian Baru. Yohanes 14:6 yang berbunyi: “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku”. Perkataan ayat ini adalah perkataan Yesus Kristus yang ditujukan tidak hanya kepada murid-murid-Nya, tetapi juga pada umat manusia di muka bumi, seakan tanpa melalui Yesus tidak ada keselamatan, karena Yesus dianalisa sebagai Allah yang digambarkan dengan sebutan “Bapa”. Menurut pemahaman Kristen kata “Anak” menunjukkan pada pribadi Yesus, sedangkan kata Bapa, Anak dan Roh Kudus sangat diimani oleh seluruh umat Kristen sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mendapatkan rumus Ilmu pengetahuan keesaan Allah tersebut berdasarkan dogma Tritunggal. Tritunggal/Trinitas (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) bagi umat Kristen merupakan sebuah eksistensi Allah yang melebur menjadi Bapa (berkedudukan di Surga), Anak (berkedudukan di dunia) dan Roh Kudus (berkedudukan di dalam Bapa, Anak/Yesus dan pengikut Yesus) – hal 49 TANGGAPAN: Saya sepakat dengan pernyataan Anda bahwa “Keyakinan umat Kristen kepada Tuhan Yang Maha Esa terkesan tidak jelas”. Namun bukan berarti konsep Ketuhanan dalam Kekristenan yang bersumber pada TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) dan Kitab Perjanjian Baru tidak jelas. Seharusnya Anda mencari tahu akar ketidakjelasan dan menemukan jawaban atas ketidakjelasan tersebut sehingga menjadi sebuah pengajaran yang membawa pencerahan. Sayangnya Anda sudah terlanjur murtad sehingga tidak sempat memeriksa apa yang menjadi akar ketidakjelasan konsep Ketuhanan Kristen ini. Pemahaman Anda pun keliru jika mengganggap bahwa Tritunggal adalah “peleburan” Bapa, Putra dan Roh Kudus. Kekristenan sebagai anak kandung yang dilahirkan dalam bingkai Yudaisme mewarisi monoteisme yang berpusat pada YHWH atau YAHWEH sebagaimana dikatakan oleh Yahshua Sang Mesias dalam Markus 12:28-30 sbb: “Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?" Jawab (Yahshua): "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, (YHWH) Tuhan kita, (YHWH) itu esa. Kasihilah (YHWH), Tuhanmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. Pernyataan Yahshua menegaskan pemahaman keesaan dalam Ulangan 6:4-5 yang berbunyi, “Shema Yishrael, YHWH Eloheinu YHWH Ekhad. Weahavta et YHWH Eloheika bekol levaveka uvekol nafsheka uvekol meodeka”.
2
Konsep Keesaan dalam Kekristenan yang berakar pada monoteisme Yudaisme cukup unik. Pengakuan keesaan pada YHWH serentak meletakkan pengakuan bahwa Yahshua Sang Mesias adalah Putra Tuhan yang kekal sebagai perwujudan Sang Firman YHWH yang menjadi manusia (Yohanes 1:1,14), sehingga pengakuan iman Kekristenan sebagaimana diungkapkan Rasul Paul sbb: “Namun bagi kita hanya ada satu (Tuhan), yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu (Junjungan Agung Yang Ilahi), yaitu (Yahshua Sang Mesias), yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1 Kor 8:6). Rasul-rasul Perjanjian Baru tidak menjelaskan “kebagaimanaan” relasi ontologis antara Bapa dan Putra atau YHWH dan Firman-Nya yang menjadi manusia yaitu Yahshua. Mereka cukup mengikrarkan dengan formula teologis yang sederhana sebagaimana diungkapkan di atas. Baru kemudian ketika Kekristenan yang semula berakar pada tradisi Yudaisme dan Semitik tercerabut dari akarnya pada Abad III Ms ketika Kekristenan diadopsi menjadi agama pemerintah dan agama orang Romawi dimulailah berbagai pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai relasi ontologis antara YHWH dan Yahshua. Pemikiran-pemikiran kritis dan filosofis ini dikarenakan orang-orang Romawi mewarisi pemikiran filsafat yang tidak puas dengan sekedar adanya Tuhan yang memiliki Putra. Dibutuhkan alasan-alasan logis dan filsafati untuk menjelaskan realita tersebut. Oleh karenanya muncullah Bapa-bapa Gereja (the Church Father) sebagai pembela iman yang mempertanggungjawabkan iman Kristen dalam formulasi bahasa filsafat. Para “Bapa Gereja” (Church Fathers) yaitu istilah untuk pendiri dan pelopor serta pemikir-pemikir awal bertumbuhnya komunitas Kristen di luar Yerusalem, baik yang ada di Yunani, Alexandria, Syria, Anthiokia, dll telah berhadapan dengan berbagai pemikiran filsafat Yunani yang tidak puas dengan sebutan-sebutan khas Kristiani yaitu “Putra Tuhan”, “Bapa, Putra, Roh Kudus”. Mereka menyerang dan meminta penjelasan logis dan filosofis mengenai keimanan terhadap Yahshua Sang Mesias. Tidak mengherankan kita mengenal sejumlah nama para bapak pembela iman seperti Klemen, Ignatius, Polikarpus,Yustinus Martir, Tetulianus, Origenes. James P. Eckman memberikan komentar mengenai istilah “Bapa Gereja” (Church Fathers) sbb: “Pada akhir Abad Pertama, kematian para rasul menghasilkan kevakuman kepemimpinan di dalam gereja. Siapa yang berhak memimpin orang-orang beriman? Siapa yang akan memimpin dan menuntun berkembangnya iman Kristen? Kelompok yang mengisi kekosongan ini kemudian dikenal dengan sebutan “Para Bapa Gereja”. Sebagai sebuah istilah yang menggambarkan rasa sayang dan kepercayaan, yaitu “bapak” secara umum diberikan pada sejumlah pemimpin rohani yang dikenal dengan sebutan para bishop atau para diaken. Bapa Gereja dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu, Bapa Rasuli (95-100 Ms), Para Apologet atau Pembela Iman (150-300 Ms) serta Para Teolog (300-600 Ms). Kelompok Bapa Rasuli banyak menulis dan memfokuskan pada persoalan diseputar tata ibadah dan hirarki kepemimpinan gereja. Kelompok Para Apologet lebih memfokuskan mempertahankan iman dari serangan tulisan-tulisan kaum kafir dan penyembah berhala. Sementara kelompok Para Teolog mulai menyusun berbagai sistematika pemikiran-pemikiran teologi1 Banyak kritikus yang menyerang Iman Kristen beranggapan bahwa penisbatan Ketuhanan atau Keilahian terhadap diri Yahshua Sang Mesias didasarkan pada rumusan yang disusun, disepakati dan diciptakan oleh Gereja Kristen disekitar tahun 300-an, saat terjadi berbagai sidang-sidang gerejawi atau konsili-konsili. Namun pandangan ini tidak benar. Ada tujuh konsili yang sudah berlangsung disekira Abad II-VIII Ms dan tiga diantaranya yang terkenal adalah Konsili Nicea, Konsili Konstantinopel dan Konsili Efesus. Secara ringkas hasil dari tujuh konsili tersebut al., Konsili pertama diadakan oleh Kaisar Romawi, Konstantin di Nicea pada tahun 325 dengan hasil, mengutuk pandangan Arius yang menyatakan bahwa Sang Putra Elohim, adalah ciptaan yang lebih rendah dari Bapa. Konsili kedua dilaksanakan di Konstantinopel pada tahun 381 yang menetapkan tabiat Roh Kudus terhadap mereka yang menentang kesetaraan Roh dengan pribadi Bapa maupun Putra. Konsili ketiga dilaksanakan di Efesus pada tahun 431 yang menetapkan bahwa Maria benar-benar “Yang melahirkan” atau “Bunda” Elohim (Theotokos), yang menentang ajaran Nestorius. Konsili keempat diadakan di Kalsedon pada tahun 451 yang menetapkan bahwa Yahshua sesungguhnya Tuhan sekaligus manusia seutuhnya, tanpa percampuran dua tabiat-Nya, untuk menentang pengajaran Monophisit (ajaran 1
Exploring Church History, Illinois: Evanggelical Training Association, 2002, p.17
3
satu tabiat Yahshua). Konsili kelima merupakan Konstantinopel kedua yang dilaksanakan pada tahun 553 dengan menafsirkan ketetapan Khalsedon serta penjelasan mengenai dua tabiat Yahshua; juga mengutuk pengajaran Origen mengenai pra ada jiwa sebelum diciptakan, dll. Konsili keenam dilaksanakan di Konstantinopel pada tahun 681 yang menyatakan bahwa Mesias memiliki dua kehendak dari dua tabiat, kemanusiaan dan Keelohiman, untuk melawan ajaran Monothelit. Konsili ketujuh dilaksanakan pada tahun 787 dibawah perintah Kaisar wanita bernama Irene. Konsili ini dikenal sebagai Nicea kedua. Konsili ini menegaskan penggunaan dan pemuliaan ikon-ikon (lukisan, patung) namun juga melarang penyembahan kepada ikon-ikon serta membuat patung-patung tiga dimensi. Konsili ini sebaliknya menyatakan mengenai konsili yang paling awal yang menyatakan dirinya sebagai konsili ekumenis ketujuh dan menghapus statusnya. Konsili yang paling awal memelihara iconoclast adalah Kaisar Konstantin V. Konsili ini dihadiri lebih dari 340 bishop di Konstantinopel dan Hieria pada tahun 754 yang menyatakan bahwa pembuatan ikon mengenai Yahshua atau orang-orang suci merupakan suatu pelanggaran terutama bagi alasan Kristologis. Apakah ketujuh konsili dan terutama ketiga konsili (Nicea, Konstantinoel dan Efesus) yang menetapkan mengenai “Ketuhanan” dari Yahshua? Sebenarnya ketujuh konsili ini, terutama ketiga konsili yang menetapkan status mengenai hakikat Yahshua hanyalah RESPON terhadap persoalan yang dimunculkan kaum bidat yang merendahkan hakikat Yahshua dengan menganggap manusia ciptaan belaka. Selain itu, konsili-konsili ini MENEGASKAN ulang mengenai sikap mereka terhadap hakikat Yahshua sebagai Sang Firman yang tidak diciptakan yang berdiam bersama Bapa Yang Kekal yang dalam kurun waktu tertentu menjadi manusia oleh Kuasa Roh Kudus (Yoh 1:1,14, Mat 1:18). Mesipun patut diakui bahwa dalam berbagai perumusan dalam konsili ini terkontaminasi dengan berbagai pendekatan dan istilah-istilah filsafat platonik Yunani, yang melahirkan pernyataan-pernyataan teologis yang abstrak, namun konsili-konsili ini bukan bermaksud menaikkan derajat Yahshua dari manusia belaka menjadi Tuhan atau menuhankan manusia Yahshua. Penisbatan diri Yahshua sebagai Yang Ilahi serentak dengan Yang Manusiawi, bukan didasarkan pengultusan atau mempertuhankan diri-Nya melainkan memiliki rujukan baik dalam TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) maupun Kitab Injil dan tulisan rasuli. Dalam Kitab YeshaYah dinubuatkan sbb: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, (Tuhan) yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes 9:5). Kemudian dalam Kitab Mikha dikatakan, “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mik 5:1). Dalam Besorah atau Injil pun bertebaran pernyataan-pernyataan Yahshua secara langsung dan tidak langsung mengenai hakikat diri-Nya. Simak pernyataan Yahshua berikut, “Jawab orang-orang Yahudi itu: "Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat (Tuhan) dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan (Tuhan)." Kata (Yahshua) kepada mereka: "Tidakkah ada tertulis dalam (Torahmu): Aku telah berfirman: Kamu adalah (tuhan)? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut (tuhan) -sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan --,masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat (Tuhan)! Karena Aku telah berkata: Aku Anak (Tuhan)?” (Yoh 10;33-36). Demikian pula dikatakan, “Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kita Abraham, yang telah mati! Nabi-nabi pun telah mati; dengan siapakah Engkau samakan diri-Mu?" Jawab (Yahshua): "Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikit pun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah (Tuhan) kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya. Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita." Maka kata orang-orang Yahudi itu kepada-Nya: "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?" Kata (Yahshua) kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada." Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait (Tuhan) (Yoh 8:53-59). 4
Berkaca dari sejarah, ketidakjelasan konsep Ketuhanan Kekristenan lebih banyak dipengaruhi oleh faktorfaktor eksternal yaitu terminologi yang menggunakan konsep filsafat sebagaimana Tertulianus mendefinisikan relasi ontologis Bapa, Putra dan Roh Kudus dengan istilah Latin “Una substantia tres personae” atau dalam ungkapan Yunani, “Mono ousia tres hypostasis” atau “Satu Keberadaan dengan Tiga Pribadi”. Istilah ini lazim disebut dengan “Tritunggal”, suatu istilah dan pendefinisian yang jauh dari apa yang dimaksudkan oleh para rasul Perjanjian Baru bahkan oleh Yahshua sendiri. Kami percaya dan menyembah satu-satunya Tuhan yang benar, yang bernama YHWH atau YAHWEH (Yer 10:10, Yoh 17:3). Dialah Tuhan yang satu-satunya patut disembah dan dikasihi (Ul 6:4-5, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20, Yoh 5:45). Makna keesaan pada Tuhan, bukan bersifat aritmetis, melainkan bersifat metafisik. Artinya, keesaan yang dipercayai bukan didasarkan pada pemahaman bahwa Tuhan berjumlah satu secara numerik melainkan Dia ada dan berada dimana-mana, memenuhi segala sesuatu. Keesaan yang dihubungkan dengan Tuhan, berbeda kualitas dengan keesaan yang dihubungkan dengan manusia. Tuhan yang Esa (Ekhad) yang dalam zaman hidup para nabi Israel dikenal dengan nama YAHWEH (Kel 3:15). Orang Yahudi paska pembuangan Babilon menyapa dengan sapaan euphemisme (penghormatan) ADONAI, HA SHEM atau menuliskan dengan empat huruf (tetragrammaton) YHWH. Adapun YHWH dizaman Mesias telah menyatakan diri-Nya kepada manusia (Ibr 1:3) melalui Firman-Nya yang menjadi manusia (Yoh 1:1,14) serta mengambil rupa manusia (Fil 2:7) yang bernama Yahshua (Mat 1:21) serta mengajar manusia melalui Roh-Nya yang berdiam dalam diri orang beriman (maaminim, Yoh 14:16-17). Yahweh disebut sebagai Bapa Sorgawi (Yes 64:8, Mat 6:9) dan Pencipta langit dan bumi (Yes 40:28, Mzm 121:1-2). Yahshua disebut sebagai Putra Tuhan (Mat 16:16), Roh YHWH disebut Roh Kudus atau Roh Kebenaran (Yoh 14:26; Yoh 15:26). YHWH, Firman dan Roh-Nya bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman dan Roh berdiam bersama dalam kekekalan bersama YHWH (Kej 1:1-3, Yoh 1:1). Bukan tiga melainkan satu, karena Firman keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42) demikianpula Roh Kudus keluar dari hakikat Bapa (Yoh 15:26). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman tidak diciptakan melainkan menyebabkan terciptanya segala sesuatu (Mzm 33:6, Yoh 1:3, Kol 1:16), demikianpula Roh Kudus menyebabkan setiap ciptaan menjadi hidup dan bernafas (Ayb 34:14). Bukan pula tiga pribadi melainkan satu pribadi dengan tiga karya dan manifestasi kuasa. Istilah tiga pribadi, mengandaikan ada tiga realitas Eloah yang berdiri sendiri dalam kekekalan dan memiliki pribadi yang berbeda. Pemahaman ini akan menimbulkan konsep yang triteistik yang bertentangan dengan monoteisme Yudaik (Ul 6:4-5). Keesaan Bapa, Putra Roh Kudus dijabarkan sebagai : Elohim yang Esa dengan Tiga Karya Ketuhanan, yaitu Mencipta langit dan bumi, yang lazim disebut Bapa. Menebus ciptaan dari kutuk dosa dan mengaruniakan kehidupan kekal yang lazim disebut Sang Putra. Membimbing, menyertai dengan sarana Roh-Nya dalam diri orang beriman, yang lazim disebut Roh Kudus. • • • • • •
YHWH, Firman YHWH dan Roh YHWH adalah hakikat Tuhan (Kej 1:1-3) Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah predikat/sebutan bagi Tuhan yang berkarya (Mat 28:19-20) Mencipta, Menebus, Menyertai dalam diri orang beriman adalah karya Tuhan atas dunia (1 Kor 8:56) YHWH, adalah nama Tuhan yang wujud-Nya Roh (Kel 3:15, Yoh 4:24) Yahshua adalah nama Sang Firman YHWH yang menjadi manusia (Yoh 1:1,1,14, 1 Tim 3:16, Kol 1:16) Roh Kudus adalah nama Roh YHWH yang dicurahkan dan diam dalam diri orang beriman pada Yahshua (Yoh 14:17) YHWH (YAHWEH) 1. Dia adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi [Yes 40:28] 2. Dia adalah Tuhan diatas segala elohim [Ul 10:17] 3. Dia adalah Tuhan yang benar [Yer 10:10] 4. Dia adalah Tuhan yang Esa [Ul 6:4] 5. Dia adalah Bapa Surgawi [Yes 64:8] 5
6. Dia adalah Tuhan Yang Kudus [Im 19:2] 7. Dia adalah Juruslamat [Yes 45:21] 8. Dia adalah Tuhan Abraham, Ishak dan Yakub serta nenek moyang Israel [Kel 3:15] 9. Tidak ada yang serupa dengan-Nya [Yes 44:6] 10. Bapa dari Yahshua Ha Mashiah [Mat 3:17]
YAHSHUA 1. Dia adalah Sang Firman YHWH yang datang dalam rupa manusia [Yoh 1:1,14, 1Tim 3:16] 2. Dia datang untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa [Mat 1:21] 3. Dia adalah Putra Tuhan YHWH [Mat 3:17] 4. Dia adalah Mesias yang dijanjikan [Mat 16:16] 5. Dia adalah Guru dan Tuan [Yoh 13:13] 6. Dia adalah Juruslamat dunia [1 Tim 2:5] 7. Dia adalah Alpha dan Omega [Why 1:18] 8. Dia akan datang sebagai Hakim Yang Adil [Why 1:7, Why 20:1-6] 9. Dia adalah satu-satunya jalan keselamatan dan beroleh hidup kekal [Yoh 14:6, Kis 4:12, Yoh 3:16, Yoh 5:24] 10. Dia tidak diciptakan karena pra ada Dia adalah Sang Firman yang menciptakan [Yoh 1:3] 11. Dia ada sebelum Abraham ada [Yoh 8:58]
RUAKH HA QODESH 1. Yang Menghidupkan ciptaan [Kej 1:2, Kej 2:7] 2. Mengurapi para nabi untuk menyampaikan Nubuat dan Firman YHWH [Yes 42:1] 3. Roh yang menuntun dalam melaksanakan kehendak YHWH [Mzm 143:10] 4. Roh Kebenaran yang dicurahkan YHWH pada saat Pentakosta (Hag Shavuot) dan berdiam dalam diri orang beriman [maaminim, Yoh 14:26; 15:26]
Darimanakah istilah Tritunggal? Perlukah kita menggunakan istilah Tritunggal? Kekristenan mengungkapkan misteri relasi ontologis (hakikat) antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, dengan istilah Tritunggal atau trinitas. Terminologi ini tidak tertulis dalam Kitab Suci. Istilah ini secara historis merupakan perspektif orang beriman Abad 2 Ms. Abad 2 Ms merupakan perpindahan titik berat pola berteologia, dari teologia Palestina yang kontemplatif, menjadi Teologia Hellenis yang rasionalistik dan metafisik11 Akibatnya, dibutuhkan suatu penjelasan yang rasional kepada kaum pagan Yunani, mengenai realitas Tuhan. Lohse memberikan komentar, “Karena itu, sedikitpun tidak mengherankan bahwa gereja terkadang merabaraba dalam upayanya memformulasikan imannya secara intelrktual dan konseptual kepada (Tuhan) Bapa, ([Yahshua ha Mashiah) dan Roh Kudus”2. Sejumlah teolog dan Bapa Gereja (Church Fathers) yang telah lebih dahulu menggumuli persoalan relasi ontologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah Yustinus martyr, Theophilus dari Anthiokhia, Adamatinus , Origenes, Arius, Athanisius, Agustinus serta Tertulianus. Dari sekian teolog yang merumuskan formula relasi intologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah tertulianus. Beliau merumuskan dalam bentuk ungkapan Yunani, “Mono Ousia Tress Hypostasis” atau dalam ungkapan Latin, “Una Substantiae Tress Persona”, yang jika diterjemahkan adalah, “Satu Keberadaan Tiga pribadi”. DR. Harun Hadiwyono mensinyalir ada pengaruh Filsafat Platonik tentang konsep “Divine nature” (Tabiat Ketuhanan) dalam perumusan konsep Trinitas”3. “Ousia” atau “Substantiae” adalah: “Apa yang membedakan satu macam atau satu rumpun dengan macam rumpun yang lain, serta yang memberi ciri khas kepada macam atau rumpun itu”. Contoh : ‘rumpun 1
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51
2
Ibid., hal 50
3
Apa dan Siapakah Tuhan Allah ?, BPK, 1974, hal 50-51
6
mangga berbeda dengan rumpun jambu. Rumpun manusia berbeda dengan rumpun binatang’. Ousia (Tuhan) adalah apa yang membedakan (Tuhan) daripada manusia”4. Sedangkan “Hypostasis” atau “Persona”, adalah: “Apa yang membedakan satu individu daripada individu yang lain serta yang memberikan ciri khas kepada individu itu dalam satu rumpun atau satu macam”. Contoh :’rumpun jeruk adalah jeruk keprok, jeruk bali, jeruk pecel, dll’. Diterapkan pada (Tuhan), bahwasanya Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah tiga Hipostasis dalam Ketuhanan”5. Selanjutnya, Tertulianus membedakan antara Bapa, Putra dan Roh Kudus secara monarkhial, dengan ungkapan: “…three, however, not in condition baut in degree; not in subtance but in form; not in power, but in aspect; yet of one substance, and of one condition, and of one power, in as much as He is one God, from whom these degrees and forms and aspect are reckoned, under the name of the Father, and the Son and of the Holy Ghost”6. Para teolog modern, berbeda pendapat menjelaskan istilah “Pribadi” [Yun : Hypostasis, Lat : Personae], secara berlainan dan tanpa penjelasan yang mendalam. Ada yang menamakan, “cara berada”, “oknum”, “pribadi7. Berangkat dari pluralisme pemahaman yang bertebaran disekitar istilah “Hypostasis” atau “Pribadi, maka DR. Budyanto mengusulkan suatu peninjauan kembali terhadap penggunaan istilah “Pribadi” dengan mengatakan: “Karena itu, menurut hemat penulis, kalau istilah ini pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi, sebaiknya pengertian yang dipakai untuk istilah pribadi adalah, ‘suatu keberadaan sadar diri’ yang maknanya bisa menampung pengertian-pengertian tersebut (cat: “pribadi”, “Cara Berada”, “Tiga Subyektivitas dalam Unitas”, dll)… jika pengertian ‘pribadi’ itu seperti itu, maka pengertian pribadi yang dipakai sebagai bukti (ketuhanan) seperti diatas adalah tidak tepat, sebab kata pribadi itu justru dipakai untuk menunjukkan kekhususan dari sifat masing-masing, bukan kesamaan sifat”8. Sampai disini kita telah mengkaji bahwa terminologi yang diungkapkan Tertulianus di Abad 2 Ms diteruskan oleh masyarakat Kristen modern, dengan konsepsi yang berbeda-beda pula. Keragaman penjelasan tersebut dapat memperkaya pemikiran mengenai relasi Bapa, Putra, Roh Kudus, namun dapat pula semakin menjauhkan dari essensi-Nya. DR. Budyanto menangkap kegelisahan ini dan mengusulkan suatu peninjauan ulang terhadap istilah “Pribadi” atau “Hipostasis”. Kenyataan ini menunjukkan bahwa rumusan tersebut mengandung skandalon bagi banyak orang untuk memahami relasi ontologis Bapa, Putra dan Roh Kudus. Hampir semua teolog mengakui bahwa istilah “Trinitas/Tritunggal”, tidak terdapat secara literal dalam Kitab Suci. Namun essensi yang mengarah pada pengertian tersebut memang terpampang dalam banyak ayat. DR. Andar Tobing, mengakui kenyataan tersebut dan mengatakan: 4
Ibid., hal 109-110
5
Ibid., hal 110
6
Rev Alexander & James Donaldson, Ante Nicene Fathers, Translation of the Writing of the Fathers down to A.D. 325, Grand rapids, Michigan : Wm. B. Eerdmans Pub.Com, Vol III, 1993, p.598
7
Ted Peters, God as Trinity, Westminster, John Knox Press, 1993, p.35
8
Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, TPK, 2001, hal 63
7
“Kita terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab. Biarpun istilah itu tidak sempurna…”9. Berdasarkan beberapa kajian diatas, maka penulis mengusulkan suatu formula teologis untuk menggambarkan relasi ontologis Bapa, Putra dan Roh Kudus, sbb :
Tuhan Yang Esa dengan Tiga Maha Karya: Mencipta, dipanggil sebagai Bapa Menyelamatkan, dipanggil sebagai Putra Menghibur dalam diri orang percaya, disebut Roh Kudus
Mengapa digunakan istilah “Keesaan Bapa, Putra, dan Roh Kudus?”. Pertama, istilah Keesaan adalah istilah yang firmaniah dan secara literal tertulis dalam TaNaKh dan Besorah. Ortodoksi Yudaisme, sebagai akar Kekristenan mendasarkan pada “Shema (Shema Yisrael, YHWH Eloheinu YHWH Ekhad” yang artinya, “Dengarlah Israel, YHWH itu Tuhan kita, YHWH itu Esa”,Ul 6:4)10 Rabbi Hayim Ha Levy Donin, memberikan keterangan: “The Shema is declaration of faith, a pledge of allegiance to One God, an affirmation of Judaism. It is the first prayer that children are taught to say”11. Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yahshua kembali mengutip “Shema” (Mrk 12:29). Berulang kali, dalam suratnya, Rasul Paul mengungkapkan sebutan Bapa, Putra, Roh Kudus bersamaan dengan kata Esa (1 Tim 1:17, 1 Tim 2:5-6, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20), demikian pula Rasul Yokhanan, menyebutkan mengenai keesaan (Yoh 5:45) serta rasul Y’huda (Yud 1:25). Secara literal, istilah “Keesaan” adalah Firmaniah atau Scriptural. Kedua, makna Keesaan dalam sudut pandang Scriptural adalah bahwa orang beriman harus menyembah kepada satu-satunya Elohim yang benar, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus serta bukan kepada Elohim yang lain. Hanya Dia lah fokus ibadah (Ul 6:13), fokus kasih (Ul 11:1), fokus doa (Mzm 143:1), fokus pujian (Mzm 66:2). Jadi, kata “Ekhad”, bukan bermakna aritmetis semata namun bermakna metafisik. Elohim yang mengatasi ruang dan waktu dan yang satu-satunya berhak menerima penyembahan. Ketiga, baik Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah sehakikat, setara dalam kekekalan. Bapa, Putra dan Roh Kudus, keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42, Yoh 15:26) Tuhan yang Esa, yang dalam zaman hidup nabi-nabi di Perjanjian Lama, dikenal dengan nama YHWH (Yahweh, Kel 3:15), maka dalam Perjanjian Baru telah menyatakan diri-Nya kepada manusia (Ibr 1:3), melalui Firman-Nya yang menjadi manusia (Yoh 1:1,14) serta mengambil rupa manusia (Fil 2:7) yang bernama, Yahshua (Mat 1:21) serta mengajar manusia melaluii Roh-Nya yang berdiam dalam diri orang beriman (Yoh 14:16-17). YHWH disebut sebagai Bapa Surgawi (Yes 64:8, Mat 6:9) dan Pencipta Langit serta Bumi (Yes 40:28, Mzm 121:1-2). Yahshua disebut sebagai Putera Tuhan (Mat 16:16). Roh Bapa atau Roh YHWH, disebut juga Roh Kudus atau Roh kebenaran (Yoh 14:26, Yoh 15:26). Baik YHWH, Firman dan Roh bukanlah tiga melainkan satu. Karena Firman dan Roh berdiam bersama dalam kekekalan bersama YHWH (Yoh 1:1). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman keluar dan datang dari hakikat Bapa (Yoh 9
Apologetika tentang Trinitas, BPK, 1972, hal 31
10
Biblia Hebraica Stuttgartensia, (Deutsche Bibelgesellschaft Stuttgart) 1990.
11 .
To Pray As A Jew, Basic Books, p.144
8
8:42). Demikianpula Roh keluar dari Bapa (Yoh 15:26). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman tidak diciptakan, melainkan menciptakan dan menyebabkan adanya ciptaan (Mzm 33:6, Yoh 1:3, Kol 1:16). Demikian pula Roh Kudus yang menyebabkan semua ciptaan menjadi hidup dan bernafas (Ayub 34:14). Bukan pula tiga pribadi melainkan satu pribadi dengan tiga karya dan manifestasi kuasa. Mengapa satu pribadi ?. Bapa, Putra dan Roh Kudus (YHWH, Firman-Nya, Roh-Nya) adalah satu pribadi dalam kekekalan, karena yang satu tidak ada dan diadakan lebih dahulu oleh yang lain. Kata “satu” dalam ulasan ini bukan bermakna aritmetik melainkan ontologik, karena kita sedang membicarakan Tuhan yang mengatasi dan berada didalam segala sesuatu yang Dia ciptakan.
YAHYA WALONI: KERASULAN NABI MUHAMAD MENURUT ALKITAB PERJANJIAN LAMA KRISTEN. Walaupun Alkitab Kristen banyak diselewengkan maknanya oleh orang-orang Yunani-Yahudi, namun sejarah kebenaran Allah SWT. Yang menetapkan serta mengutus Nabi-Nya Muhamad tidak dapat diselewengkan – hal 75. Jadi, kesimpulannya terkait ayat-ayat tentang kenabian Nabi Muhamad SAW. Dalam Perjanjian Lama disinyalir bahasa aslinya adalah menggunakan sastra Arab kuno. Alasan ini diperkuat oleh mayoritas penduduk Timur Tengah, yaitu orang-orang Arab; atau apabila naskah asli Kitab Perjanjian Lama ini menggunakan bahasa Ibrani Kuno sudah pasti, mengandung banyak persamaan arti (sinonimisasi) dengan bahasa Arab kala itu. Pernyataan saya ini terlihat jelas dari begitu banyak ayat-ayat Al Quran yang tanpa salah menubuatkan sejarah nabi-nabi Israel-Isa as - hal 76. TANGGAPAN: Berbagai upaya dilakukan oleh para pemikir Islam untuk menemukan “nubuat tentang Muhamad” dalam Kitab TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) dan Kitab Perjanjian Baru. Upaya tersebut didasarkan pada satu ayat dalam Al Qur’an yang menyatakan demikian: Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa buktibukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (Qs 61:6). Tulisan Sdr. Iffat Ahmad merupakan salah satu dari banyak tulisan yang telah ditulis oleh beberapa pemikir Islam untuk membuktikan apa yang menurut mereka “nubuat” mengenai kedatangan Muhamad. Adapun beberapa ayat yang populer dan “diyakini” sebagai nubuat terhadap kedatangan Muhamad adalah Ulangan 18 dan Yohanes 14. Masih ada banyak ayat-ayat lain yang “diyakini” berisikan nubuat untuk Muhamad seperti dalam Kitab Yesaya. Sekalipun Muhamad memberikan pernyataan bahwa kehadiran dirinya dan kerasulannya dinubuatkan dalam Taurat (Torah), namun sayangnya Muhamad tidak membuktikan hal tersebut dengan mengutip satu atau dua ayat yang eksplisit menunjuk pada dirinya. Akibat absennya penjelasan Muhamad, mengakibatkan berbagai penafsiran di kalangan Islam sendiri. Penafsiran-penafsiran yang yang beragam dikarenakan umat Islam berupaya mencari sendiri ayat-ayat yang dimaksudkan oleh Muhamad, padahal Muhamad sendiri tidak memberikan penjelasan pada kitab dan pasal serta ayat berapa yang berisikan nubuat mengenai dirinya. Berbeda dengan Yahshua Sang Mesias (Yesus Sang Mesias), dalam berbagai kesempatan, Dia selalu merujuk pada Torah, baik ajaran-Nya maupun nubuat-nubuat mengenai diri-Nya. Dia bersabda dalam Yohanes 5:39-40 dan 46 sbb: “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu….Sebab jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia telah menulis tentang Aku”. Dalam beberapa kasus kita dapat menemukan konsistensi sabda Yahshua mengenai diri-Nya dengan merujuk berbagai nubuatan dalam TaNaKh berkaitan kehadiran diri-Nya sebagai Mesias. Contoh berikut akan memperjelas apa yang saya maksudkan. Dalam Lukas 4:14-21 dikisahkan sbb: “Dalam kuasa Roh kembalilah (Yahshua) ke Galilea. Dan tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah itu. Sementara itu Dia mengajar di rumah-rumah ibadat di situ dan semua orang memuji Dia. Dia datang ke Nazaret tempat Dia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Dia masuk ke (sinagog), lalu 9
berdiri hendak membaca dari (Kitab Suci). Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibukaNya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh (YHWH) ada pada-Ku, oleh sebab Dia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Dia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat (YHWH) telah datang." Kemudian Dia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Dia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”. Apa yang diucapkan Yahshua merupakan kutipan Yesaya 61:1-2. Dan usai membaca kitab tersebut, Yahshua mengarahkan ayat itu pada KEHADIRAN diriNya dengan mengatakan pada para pendengar, “Khuqam ha katuv hazze hayom beaznekem!” (Hebrew New Testament) yang artinya “Genaplah apa yang tertulis dalam kitab ini pada hari kalian mendengarnya!”. Demikian pua dalam Matius 12:38-40, Yahshua mengutip kisah Yunus dan mengaitkan pada diri-Nya sebagaimana Dia katakan: “Pada waktu itu berkatalah beberapa ahli Taurat dan orang Farisi kepada Yesus: "Guru, kami ingin melihat suatu tanda dari pada-Mu. Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim bumi tiga hari tiga malam”. Ucapan Yahshua mengutip Yunus 1:17. Bagaimana dengan Muhamad? Beliau tidak satupun memberikan referensi bahwa dalam Taurat ada tertulis mengenai berita kedatangannya sebagai rasul. Yang terjadi adalah penafsiran dan spekulasi umat Islam terhadap sejumlah ayat yang diyakini menunjuk pada Muhamad. Penulis akan membuktikan berbagai kesalahan dalam menalar dan menafsir teks TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) dan Kitab Perjanjian Baru terkait dugaan adanya nubuatan untuk Muhamad. YAHYA WALONI: NABI MUHAMAD MENURUT KITAB ULANGAN (18:17-22) NUBUAT NABI MUSA AS. Anggapan umat Kristen bahwa Nabi itu, adalah Nabi Isa as atau Yesus Kristus. Jelas “bertentangan” dengan kedua dalil tersebut di atas, Mengapa? Karena Nabi Isa atau Yesus Kristus adalah bangsa Israel dan nabi Isa juga tidak seperti Nabi Musa yang dikenal Tuhan berhadapan muka dengan muka (face to face) artinya secara langsung menerima syari’at baru (agama baru). Dari kenyataan ini dapat saya tambahkan, akibatnya pendeta Kristen segan, bahkan terkesan takut berhadapan “face to face” berdebat terkait Ketuhanan Yesus Kristus dengan umat muslim, apalagi dengan para muallaf (umat muslim yang diberi petunjuk oleh Allah SWT. Dari agama Kristen atau agama non muslim beralih memeluk agama Islam) – hal 80 TANGGAPAN: Menisbatkan Muhamad sebagai nabi yang dinubuatkan menurut Ulangan 18:17-22 adalah kekeliruan besar. Alasan saya adalah sbb: Pertama, frasa “wayomer YHWH elay” bermakna, “Dan YHWH (Yahweh) berfirman kepadaku (Moshe)…Moshe menerima nubuatan mengenai nabi yang akan datang dari Tuhan yang bernama YHWH atau Yahweh. Apakah Muhamad bertuhankan YHWH (Yahweh)? Tidak! Muhamad bertuhankan Allah sebagaimana dikatakan dalam Qs 112 (Al Ikhlas) 1 sbb: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”. Maka dari ujian SIAPA YANG MENYAMPAIKAN FIRMAN kepada Moshe, gugurlah keyakinan bahwa ayat ini ditujukan pada Muhamad. Kedua, bukti-bukti yang Anda ajukan mengenai kesamaan antara Moshe dan Muhamad terlalu umum sebagaimana sering dikemukakan kritikus Islam sbb: •
Musa dilahirkan mempunyai ibu dan bapa. Muhammad juga dilahirkan seperti Musa, mempunyai ibu dan bapa. Ini tidak seperti Isa Al-Masih yang dilahirkan hanya mempunyai ibu dan tanpa bapa.
•
Ketika Musa beranjak dewasa, dia menikah. Muhammad juga menikah, dan ini bertentangan dengan Isa yang tidak pernah menikah.
•
Musa mempunyai anak lelaki, dan Muhammad juga mempunyai banyak anak. Tetapi Isa tidak mempunyai keturunan karena Dia tidak pernah menikah. 10
•
Musa meninggal pada umur yang lanjut dan dikuburkan dan ini terjadi juga pada Muhammad. Tetapi Isa tidak meninggal, Dia telah diangkat ke Syurga dan tidak dikuburkan
Jika kesamaan umum seperti itu diajukan sebagai bukti, bukan hanya Muhamad melainkan nabi-nabi dari golongan Bangsa Yahudi pun memiliki kesamaan seperti itu. Anda harus memperhatikan keunikan sbb: •
•
•
•
•
•
Semasa jaman kanak-kanak, Moshe terancam pembunuhan oleh Phar’o (Fir’aun), seperti juga Yahshua pada masa kanak-kanaknya juga terancam untuk dibunuh oleh Herodes. Tidak semua orang yang dilahirkan menghadapi ancaman pembunuhan pada saat yang masih kanak-kanak. Sewaktu kelahiran Moshe Fir’aun sangat marah dan mengarahkan semua budak-budak lelaki yang berusia dua tahun ke bawah harus dibunuh. Ketika Yahshua dilahirkan Herodes juga sangat marah dan mengarahkan agar budak lelaki di bawah umur dua tahun dibunuh. Di dalam dunia ini hanya dua peribadi ini saja yang menghadapi pengalaman ancaman pembunuhan ketika masih kanak-kanak. (edit) Semasa jaman kanak-kanaknya, Moshe dijaga oleh anak perempuan Fir’aun. Dan semasa kecil Yahshua dijaga oleh Yusuf yaitu bapa angkatnya. Tidak semua anak di dunia ini dipelihara oleh orang yang dipilih oleh Tuhan semasa jaman kanak-kanaknya ketika dia menghadapi ancaman. Semasa jaman kanak-kanaknya juga, Moshe tinggal jauh dari rumahnya di Mesir. Ini terjadi sama dengan Yahshua yang hidup di dalam buangan di Mesir. Tidak semua kanak-kanak semasa kecil hidup jauh dari negerinya, seperti Mesir. Ketika Moshe telah menjadi utusan Tuhan, dia menerima kuasa dari Tuhan untuk melakukan mukjizat, seperti juga Yahshua yang menerima kuasa sebagai Firman yang hidup, dan menerima kuasa untuk melakukan mukjizat seperti menyembuhkan orang sakit dan membangunkan orang yang telah mati. Moshe membebaskan kaumnya yang dipaksa untuk terus menjadi budak, tetapi Yahshua membebaskan orangnya dari cengkaman dosa dan maut.
Nah, kesamaan khusus inilah yang tidak dimiliki oleh Muhamad. Kesamaan khusus ini hanya dimiliki oleh Yahshua Sang Mesias. Ketiga, kalimat “dari antara saudara mereka” (Ibrani: “akheykem”) dalam rangkaian kalimat, “seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini” tidak menunjuk suku diluar suku Yishrael yang berjumlah 12. Kalimat ini sangt jelas menunjuk bahwa nabi yang akan bangkit adalah dari antara saudara-saudara atau lingkungan keluarga Yishrael yang dikategorikan seperti Moshe. Adalah naif jika menisbatkan pernyataan ini pada Muhamad yang jelas Bangsa Arab dari suku Quraish. Jika Muhamad mengetahui ada nubuatan mengenai dirinya dalam Torah, mengapa dia tidak saja langsung mengutip Ulangan 18:17-22 dalam Al Qur’an? Justru Rasul Kefa (Petrus) dengan tegas mengutip ayat ini dan menghubungkannya dengan Yahshua Sang Mesias saat peristiwa pencurahan Roh Kudus di Hari Raya Shavuot (Pentakosta) sebagaimana beliau katakan: “Bukankah telah dikatakan Moshe: (YHWH, Tuhan) akan membangkitkan bagimu seorang nabi dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku: Dengarkanlah dia dalam segala sesuatu yang akan dikatakannya kepadamu. Dan akan terjadi, bahwa semua orang yang tidak mendengarkan nabi itu, akan dibasmi dari umat kita.Dan semua nabi yang pernah berbicara, mulai dari (Shemuel), dan sesudah dia, telah bernubuat tentang zaman ini. Kamulah yang mewarisi nubuat-nubuat itu dan mendapat bagian dalam perjanjian yang telah diadakan (Tuhan) dengan nenek moyang kita, ketika Dia berfirman kepada Abraham: Oleh keturunanmu semua bangsa di muka bumi akan diberkati. Dan bagi kamulah pertama-tama (Tuhan) membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Dia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu."(Kis 3:22-26). Anda sangat keliru menafsirkan istilah “panim al panim” yang bermakna “muka dengan muka” sebagai “penyampaian syariat secara langsung”. Padahal istilah ini khas dinisbatkan pada Moshe yang melihat (kemuliaan) wajah Tuhan secara berhadapan. Sementara Muhamad hanya mendengar firman yang diwahyukan Allah melalui Jibril. Lebih naif lagi Anda membuat analogi yang cacat dengan mengatakan, “Dari kenyataan ini dapat saya tambahkan, akibatnya pendeta Kristen segan, bahkan terkesan takut berhadapan “face to face” berdebat terkait Ketuhanan Yesus Kristus dengan umat muslim, apalagi dengan para muallaf”. Tidak ada yang takut “face to face” mendiskusikan keimanan Kristen dengan saudara11
saudara Muslim maupun para murtadin dari Kristen (istilah Anda Muallaf). Yang dikhawatirkan adalah ketidakdewasaan saat berdiskusi dan mengritisi keyakinan Muslim. Siapa yang bisa menjamin kritik Kekristenan terhadap Islam dan kaum Muslim dapat diterima dengan kepala dingin dan arif? Baru menuliskan kajian kontroversial saja sudah mendapat fatwa dan ancaman bertobat, apalagi mengritisi? Sebaiknya Anda lebih menguasai diri dalam membuat pernyataan dan tidak dikuasai euphoria keagamaan. YAHYA WALONI: NABI MUHAMAD DALAM NUBUAT KITAB YESAYA 42:1,4. Dari kedua ayat tersebut kita mendapatkan dua dalil yang menubuatkan kedatangan Nabi Muhamad SAW dan sebaliknya nubuat yang tidak cocok ditujukan kepada kedatangan Nabi Isa atau Yesus Kristus. Dalam ayat 1 dikatakan, bahwa Nabi itu akan menyatakan kebenaran (agama Allah) kepada bangsa-bangsa (= kepada orang-orang kafir dalam terjemahan lama versi Bode; 1925). Disini menunjukkan orang-orang di luar Yahudi; dan karena nabi-nabi Israel seperti Daud, Samuel, Yahya dan Nabi Isa (Yesus) semuanya bertugas untuk memimpin keyakinan agama Israel. Maka ayat ini sangat jelas ditujukan bukan kepada nabi-nabi yang akan memimpin Agama Israel. – hal 85 Dalam ayat 4 dikatakan bahwa nabi itu dalam menunaikan tugasnya tidak akan PUDAR (yakni tak akan lenyap atau kalah walau ditindas). Pengertian lain (yakni agama yang disebarkan nabi tersebut tetap merambat walaupun dihambat) hingga tugasnya selesai (wafat), yakni setelah syariat agama Allah SWT. Telah berdiri kokoh di muka bumi barulah nabi itu wafat. Hal ini sudah jelas dan cocok dengan sejarah penyebaran dan perkembangan agama Islam oleh Nabi Muhamad SAW…hal 86 TANGGAPAN: Mari kita uji pendapat Anda terkait dengan YeshaYah 42:1 yang berbunyi, “Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa”. Sebelum Anda memfokuskan pada kata “lagoyyim” (bagi bangsa-bangsa), silahkan Anda memperhatikan kata sebelumnya yaitu “Avdi” (hamba-Ku) dan “bekhiri” (orang pilihan-Ku). Siapa yang dimaksud dengan kata ganti orang pertama Aku pada ayat ini? Bukan Allah! Melainkan YHWH (Yahweh). Muhamad adalah utusan Allah bukan utusan YHWH! Mengenai kata “goyim” (bangsa-bangsa), justru merupakan nubuat mengenai sifat universalitas jangkauan keselamatan yang dijanjikan YHWH kepada bangsa-bangsa non Yahudi melalui kedatangan Mesias yaitu hamba-Nya dan Utusan-Nya. Sifat universalitas ini ditegaskan dalam Kitab Perjanjian Baru al., Tetapi waktu (Yahshua) mendengar, bahwa (Yokhanan) telah ditangkap, menyingkirlah Dia ke Galilea. Dia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali, supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeshaya: "Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, --bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang." Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat! (Matius 4:12-17) “Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Dia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Yishrael. Roh Kudus ada di atasnya, dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi (YHWH). Dia datang ke Bait (Tuhan) oleh Roh Kudus. Ketika (Yahshua), Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan (Torah), dia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji (Tuhan), katanya: "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Yishrael (Lukas 2:25-32) Berikutnya pada ayat 4 ada pernyataan yang terabaikan, “uletorato iyyim yeyakhelu” (dan oleh karena Torah-Nya, pulau-pulau menantikan dengan pengharapan). Apakah Muhamad membawa Torah bagi 12
bangsa-bangsa? Bukan! Melainkan Al Quran. Istilah “lo yikheh” (tidak menyusut atau tidak pudar) justru terkait dengan kalimat “uletorato iyyim yeyakhelu” (dan oleh karena Torah-Nya, pulau-pulau menantikan dengan pengharapan). Justru eksistensi Kekristenan yang telah merambah seluruh dunia dan menciptakan dan mempengaruhi peradaban dunia menegaskan istilah “lo yikheh” (tidak menyusut atau tidak pudar). Dan kata ini tidak sedikitpun mengisyaratkan pada apa yang telah dikerjakan oleh Muhamad. YAHYA WALONI: NABI MUHAMAD DALAM NUBUAT KITAB YEREMIA 31:31-32. Umat Kristen selalu mengklaim bahwa nubuat Kitab Yeremia ini ialah untuk Nabi Isa as dn perjanjian baru itu adalah apa yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru sekarang ini, yakni bahwa hukum Taurat telah diganti dengan iman pada penebusan di tiang salib oleh Nabi Isa as yang mereka istilahkan dengan zaman anugerah keselamatan bagi semua umat manusia. Hal ini tidak diterima berdasarkan bukti-bukti dari kitab suci Kristen itu sendiri sebagai berikut: 1. Nabi Isa berasal dari Bani Israil dan bertugas khusus untuk Bani Israel juga, sama seperti Nabi Israel lainnya (Mat 10:5-7 dan 15:24-26); dan Nabi Isa tidak mengganti atau mengubah Taurat (Perjanjian Lama) melainkan menggenapinya dengan Injil Asli… 2. Tidak pernah Nabi Isa as berbicara tentang perjanjian baru… 3. Tentang iman pada penebusan dosa di kayu salib sebagai pengganti hukum Taurat adalah sama sekali bukan ajaran Nabi Isa as tetapi ajaran yang berasal dari Paulus seorang “rasul Kristen” yang tidak pernah berhadapan muka dengan Isa hingga perpisahannya di bukit Zaitun. Sebaliknya, nubuatan itu sesuai dengan ajaran Nabi Muhamad SAW (Al Qur’an) dan beralasan, sebagai berikut: 1. Ajaran Nabi Muhamad adalah ajaran yang bersumber dari Al Quran tidak memberikan kedudukan istimewa bagi bangsa Israel seperti pemahaman yang umat Kristen miliki selama ini melalui Alkitab… 2. Isi Al Quran memiliki persamaan makna rohani dengan hukum Taurat Musa as. Tetapi lingkungan hukumnya menjadi tidak sama ketika Kitab Perjanjian Lama Kristen menitikberatkan pada Bangsa Israel saja. 3. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad memang merupakan agama pengganti dari agama Israel yang telah dicemari tangan dan otak kotor Yahudi-Yunani...hal 90-95 TANGGAPAN: Mayoritas Kekristenan yang mengacu pada pola penafsiran Helenistik (Yunani), cenderung mengganggap bahwa istilah Perjanjian Baru, menunjuk pada suatu kondisi dan tata cara yang lebih unggul yang dibawa oleh Yahshua Sang Mashiah, karena kehadiranNya melenyapkan fungsi Torah atau lazim disebut Perjanjian Lama. Pemahaman ini pun terbawa ke dalam pemikiran para kritikus Kristen dari kalangan Islam. Bagaimanakah Kitab Suci menjelaskan fakta yang sesungguhnya? Adakah istilah Perjanjian Baru mengandaikan lenyapnya Perjanjian yang pertama?, Apa makna Perjanjian Baru yang sesungguhnya? Mari kita melakukan kajian singkat mengenai istilah “Perjanjian Baru” (Brit Khadasha) dalam Yeremia 31:33-34. EKSEGESE YEREMIA 31:31-34 WAKTU PERJANJIAN & PESERTA PERJANJIAN (ay 31) “Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman YHWH (Yahweh), Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Yisrael dan kaum Yahuda”. Kapan waktu yang dimaksudkan? Waktu ini tergenapi saat pelayanan Yahshua di Yerusalem, yang memuncak pada kematian dan kebangkitanNya dari maut. Sesaat sebelum Yahshua disalibkan dan wafat, pada waktu Seder Pesakh Tgl 14 Nisan, Dia berkata: “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecahmecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu 13
memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat 26:27-28). Peserta Perjanjian Baru bukanlah Goyim atau Non Yahudi melainkan kaum Yisrael dan Yahuda. Pelayanan Yahshua sebagai Mesias yang dijanjikan yang memuncak dalam kematian dn kebangkitanNya adalah gerbang pembuka Perjanjian yang Baru. Dan peserta perjanjian itu diwakili oleh jumlah murid Yahshua yang dua belas sebagai simbol jumlah suku-suku Yisrael. Kedua belas murid adalah orang-orang Yisrael dan Yahuda dan bukan Goyim. KARAKTERISTIK PERJANJIAN (ay 32) “bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman YHWH (Yahweh)”. Perjanjian Baru yang diadakan antara Yahweh dengan orang Israel berbeda karakteristik dengan Perjanjian yang pertama atau terdahulu. Bagaimanakah karakteristik perjanjian yang pertama? “Musa memanggil seluruh orang Yishrael berkumpul dan berkata kepada mereka: "Dengarlah, hai orang Yishrael, ketetapan dan peraturan, yang pada hari ini kuperdengarkan kepadamu, supaya kamu mempelajarinya dan melakukannya dengan setia. YHWH (Yahweh) Tuhan kita, telah mengikat perjanjian dengan kita di Horeb. Bukan dengan nenek moyang kita YHWH (Yahweh) mengikat perjanjian itu, tetapi dengan kita, kita yang ada di sini pada hari ini, kita semuanya yang masih hidup. YHWH (Yahweh) telah bicara dengan berhadapan muka dengan kamu di gunung dan di tengah-tengah api -- aku pada waktu itu berdiri antara YHWH (Yahweh) dan kamu untuk memberitahukan firman YHWH (Yahweh) kepadamu, sebab kamu takut kepada api dan kamu tidak naik ke gunung -- dan Dia berfirman: Akulah YHWH (Yahweh) Tuhanmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Ul 5:1-6). Perjanjian pertama adalah perjanjian yang diadakan oleh Yahweh dengan nenek moyang Yisrael di Sinai, yaitu ketaatan untuk melaksanakan Torah sebagai ajaran, prinsip, pedoman perilaku ditengah-tengah bangsa penyembah berhala. Bahkan Perjanjian pertama dimeteraikan oleh darah anak domba. Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: "Segala firman Yahweh akan kami lakukan dan akan kami dengarkan. Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: "Inilah darah perjanjian yang diadakan YHWH (Yahweh) dengan kamu, berdasarkan segala firman ini."(Kel 24:7-8). Namun perjanjian luhur ini telah mereka langgar dan rusakkan. Dengan cara bagaimana perjanjian luhur ini dirusakkan? Mereka selalu jatuh pada penyembahan berhala, sehingga bangsa Yisrael kerap mengalami penjajahan bangsa-bangsa non Yahudi seperti Babilonia, Media-Persia, Yunani, Romawi, dll. Simak doa Daniel yang menggambarkan pembuangan Yisrael ke segala bangsa sebagai bentuk hukuman Yahweh. “Maka aku memohon kepada YHWH (Yahweh) Tuhanku, dan mengaku dosaku, demikian: "Ah Sang Junjungan Tuhanku (Adonai Elohay) yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintah-Mu! Kami telah berbuat dosa dan salah, kami telah berlaku fasik dan telah memberontak, kami telah menyimpang dari perintah dan 14
peraturan-Mu, dan kami tidak taat kepada hamba-hamba-Mu, para nabi, yang telah berbicara atas nama-Mu kepada raja-raja kami, kepada pemimpin-pemimpin kami, kepada bapa-bapa kami dan kepada segenap rakyat negeri. Ya Junjungan (Adonai), Engkaulah yang benar, tetapi patutlah kami malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yahuda, penduduk kota Yerusalem dan segenap orang Yisrael, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri kemana Engkau telah membuang mereka oleh karena mereka berlaku murtad terhadap Engkau. Ya YHWH (Yahweh), kami, raja-raja kami, pemimpin-pemimpin kami dan bapa-bapa kami patutlah malu, sebab kami telah berbuat dosa terhadap Engkau” (Dan 9:4-8). ISI PERJANJIAN (ay 33-34) “Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Yisrael sesudah waktu itu, demikianlah firman YHWH (Yahweh): Aku akan menaruh Torah-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Tuhan mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah YHWH (Yahweh)! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman YHWH (Yahweh), sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." Isi Perjanjian Baru adalah: Torah disimpan dan dituliskan dalam hati orang-orang Yisrael. Semua orang tidak perlu secara ekslusif belajar mengenai Yahweh, karena Yahweh akan menyatakan diriNya pada mereka karena mereka telah mendapat pengampunan dosa. Apakah ayat ini berbicara mengenai TIDAK BERLAKUNYA atau PEMBATALAN Torah Yahweh? Tidak! Ayat ini menegaskan bahwa Torah yang diturunkan di Sinai dan dipelihara serta dipelajari dalam bentuk huruf-huruf tertulis, akan ditanam dan ditulis dalam hati orang beriman. Ayat ini mengajarkan pada kita suatu transformasi hidup akibat pertobatan dan pengampunan yang Bapa Yahweh berikan pada anak-anakNya. Torah, bukan lagi suatu beban dan kewajiban melainkan suatu kesukaan yang dikerjakan oleh orang beriman. Bagaimanakah proses Torah ditanam dan ditulis dalam batin tersebut? Bagaimana pengenalan akan Yahweh datang tanpa pengajaran khusus seorang imam? Ketika Roh Kudus dicurahkan pada para murid dan berlangsung pada semua orang yang menerima Yahshua sebagai Tu(h)an dan Mesias (Kis 2:1-21). Roh Kudus inilah yang menuntun orang beriman pada pelayanan Perjanjian Baru, yaitu pelayanan yang dipimpin oleh Roh Kudus yang berdiam dalam batin (Rm 7:6). Roh Kudus inilah yang akan memberikan pengurapan agar semua orang beriman dapat belajar dan mengenal Yahweh (1 Ptr 2:27). Roh Kudus yang berdiam dalam diri orang beriman yaang akan memberikan hati yang baru untuk taat dan melakukan Torah Yahweh yang telah ditanam dan dituliskan dalam batin orang beriman. Dengan demikian, ketaatan bukan datang dari luar namun secara korporatif bekerja dari dalam, yaitu oleh kuasa Roh Kudus yang mengubah hati orang beriman. Dari pemaparan di atas, kita mendapatkan beberapa pemahaman mendasar mengenai makna “Perjanjian Baru” yaitu sebagai perjanjian antara YHWH (Yahweh) dan umat Yisrael melalui pelayanan Yahshua ha Mashiah (Yesus Kristus) yang dimeteraikan oleh darahNya dan Roh Kudus yang berdiam dalam diri orang beriman, sehingga menjadikan umat Yisrael sebagai umat rohani yang baru dan melaksanakan Torah yang telah tertanam dan tertulis dalam batin. Bangsa-bangsa Goyim turut serta dalam Perjanjian Baru, ketika menerima Yahshua sebagai Junjungan Agung Yang Ilahi dan Mesias, Putra Tuhan yang hidup yang berkuasa untuk mengalahkan maut dan mengaruniakan hidup kekal kepada siapa saja yang percaya. Dalam pengertian ini, istilah Perjanjian Baru menunjuk pada TINDAKAN Yahweh Bapa Sorgawi melalui PutraNya, Yahshua ha Mashiah dalam memperbarui perjanjianNya di Sinai yang dilanggar oleh Bangsa Yisrael karena penyembahan berhala. Kitab Perjanjian Baru, MEREKAM tindakan Yahweh secara tertulis. Penulisan Kitab Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Yahshua dalam bahasa Ibrani-Aram lalu diterjemahkan dalam bahasa Yunani untuk memperluas kabar baik yang terkandung didalamnya. Kitab Perjanjian Baru, meliputi keempat 15
Euanggelion/Injil dan surat-surat rasuli serta Kitab Wahyu. Kitab Perjanjian Baru tidak membuat hukum dan ajaran baru namun memberikan penegasan mengenai Mesias yang dijanjikan dalam TaNaKh dan prinsipprinsip hidup didalam Mesias. Dalam pengertian ini, Perjanjian Baru, menunjuk pada susunan kitab yang merekam dan memberi kesaksian mengenai tindakan perjanjian dilaksanakan. Daftar susunan Kitab Perjanjian Baru yang dipercaya, dipergunakan dan diakui oleh Kahal Yahweh sejak Abad I Ms, lazim dikategorisasikan sebagai naskah Kanonik sementara yang non Kanonik disebut Apokripha dan Pseudoepigrapha. Naskah-naskah Kanonik melaporkan ajaran dan karya Yahshua yang selaras dengan nubuatan-nubuatan yang telah tertulis dalam TaNaKh, yang lazim disebut dengan Perjanjian Lama. Adapun naskah-naskah kitab non kanonik melaporkan suatu bentuk ajaran dan riwayat Yahshua yang mencerminkan gagasan para bidat Kristen di Abad I Ms. Dengan penjelasan di atas maka pernyataan Anda yang mengatakan, “Sebaliknya, nubuatan itu sesuai dengan ajaran Nabi Muhamad SAW (Al Qur’an) dan beralasan, sebagai berikut: 1. Ajaran Nabi Muhamad adalah ajaran yang bersumber dari Al Quran tidak memberikan kedudukan istimewa bagi bangsa Israel seperti pemahaman yang umat Kristen miliki selama ini melalui Alkitab… 2. Isi Al Quran memiliki persamaan makna rohani dengan hukum Taurat Musa as. Tetapi lingkungan hukumnya menjadi tidak sama ketika Kitab Perjanjian Lama Kristen menitikberatkan pada Bangsa Israel saja. 3. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad memang merupakan agama pengganti dari agama Israel yang telah dicemari tangan dan otak kotor Yahudi-Yunani...” Pernyataan dan argumentasi yang dinisbatkan pada Muhamad ini menjadi gugur dan tidak memiliki relevansi sama sekali. Bahkan pernyataan Anda yang mengatakan bahwa, “Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad memang merupakan agama pengganti dari agama Israel yang telah dicemari tangan dan otak kotor Yahudi-Yunani” tidak memiliki dasar Quranik sama sekali. Sebaliknya Qur’an menegaskan status orang Yahudi dengan sebutan “Ahli Kitab” dan “tempat bertanya orang Muslim” sebagaimana dikatakan: “Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman” (Qs 5:43). “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Qs 5:44) “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu." Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu” (Qs 5:68) . “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,...”(Qs 16:43) YAHYA WALONI: NABI MUHAMAD MUTLAK KELUARGA NABI IBRAHIM YANG DIJANJIKAN. Sebagaimana ungapan Al Quran bahwa ahli-ahli kitab Yahudi telah menodai Taurat itu dengan tangan mereka. Mereka tidak senang jika berkat Tuhan untuk segala bangsa itu akan tumbuh dari benih Ibrahim/Abraham melalui 16
Ismail, kehendak mereka (Yahudi) melalui Ishaq. Berdasarkan kenyataan inilah ayat Taurat itu diubahnya dengan cara yang mencolok sekali. Dalam Al Quran surah Ash-Shaffat ayat 83-113 terdapat kisah bagaimana Nabi Ibrahim mula-mula beriman kepada Tuhan, lalu dianugrahi seorang anak (Ismail), lalu akan dikurbankannya sebagai tanda baktinya pada perintah Tuhan, kemudian diberi kegembiraan lagi dengan lahirnya Ishaq...Orang-orang Yahudi telah menukar sinyalemen pengorbanan Ismail itu dengan pengorbanan Ishaq, namun sayang tipuan tangan Yahudi terlalu mencolok, sehingga sekaligus dapat diketahui bahwa hal itu bohong alias tipu muslihat penukaran nama. Untuk membuktikan kebohongan Yahudi tersebut, marilah kita melihat pasal dan ayat menurut kitab Kejadian 16:15 yang mengatakan tentang kelahiran anak Abraham/Ibrahim yang tunggal (pertama) namanya ISMAEL: “Lalu Hagar melahirkan seorang anak lakilaki bagi Abram dan Abram menamai anak yang dilahirkan Hagar itu Ismael”. Akan tetapi dalam Kejadian 22:2 masih juga dikatakan seperti ini: Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." Jikalau kitab Kejadian 22:2 bukan bohong, itu berarti menunjukkan bahwa pasal 22 akan mendukung pasal 16 dan 17 tentang lahirnya benih Ibrahim yang pertama dan yang diberkati Tuhan, yakni Ismail, karena sangat mustail terdapat ayat-ayat suci (firman Tuhan) yang saling bertentangan, berbelit-belit, apalagi salah! Adanya korupsi ayat-ayat Taurat ini guna menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan buruk (hawa nafsu) orang Israel sendiri yang banyak berbuat dosa. – hal 100-105 TANGGAPAN: Anda selalu mengambinghitamkan orang Yahudi manakala Kitab Suci mereka tidak memberikan rujukan penting apapun terkait dengan Muhamad dengan menuduh “menodai Taurat”, “ayat Taurat diubah dengan cara yang menyolok sekali”, “orang-orang Yahudi telah menukar”, “bohong alias tipu muslihat penukaran nama”, “kebohongan Yahudi”. Jika Anda merasa bahwa orang-orang Yahudi melakukan dusta dengan menyembunyikan ayat-ayat yang menurut khayalan Anda adalah nubuat bagi Muhamad, mengapa Anda tidak menunjukkan sebuah Kitab Torah yang secara eksplisit menuliskan nubuat untuk Muhamad? Atau paling tidak Anda dapat mengajukan bukti berupa manuskrip atau papirus yang berisi Kejadian Pasal 16, 17 sebagaimana yang Anda maui? Bahkan penemuan naskah Laut Mati (Dead Sea Scroll) dimana usia Kitab TaNaKh yang ditemukan berusia lebih tua dibandingkan naskah Masoretik sekalipun, tidak membuktikan bahwa ada sebuah ayat atau pasal yang menuliskan sebagaimana yang Anda maui. Jika orang Yahudi berdusta, untuk apa Kejadian 16:15 yang berisikan pengakuan bahwa Avraham memiliki anak bernama Yishmael? Justru Kejadian 16-17 hendak memberikan pemaparan secara jujur bahwa memang Avraham memiliki 2 anak namun yang dipilih sebagai anak perjanjian adalah dari istri sahnya yaitu Saray sebagaimana dikatakan dalam Kejadian 17:15-21 sbb: “Selanjutnya (Tuhan) berfirman kepada Abraham: "Tentang isterimu Sarai, janganlah engkau menyebut dia lagi Sarai, tetapi Sara, itulah namanya. Aku akan memberkatinya, dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya." Lalu tertunduklah Abraham dan tertawa serta berkata dalam hatinya: "Mungkinkah bagi seorang yang berumur seratus tahun dilahirkan seorang anak dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?" Dan Abraham berkata kepada (Tuhan): "Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!" Tetapi (Tuhan) berfirman: "Tidak, melainkan isterimu Saralah yang akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya. Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar. Tetapi perjanjian-Ku akan Kuadakan dengan Ishak, yang akan dilahirkan Sara bagimu tahun yang akan datang pada waktu seperti ini juga." Kejadian 17:15-21 dengan jujur menceritakan bahwa YHWH akan memberkati Yitskhaq dan Yishmael namun perjanjian kekal dilaksanakan antara YHWH dengan Avraham melalui Yitskhaq dan keturunannya yaitu Bangsa Yishrael (Yahudi). Sikap Tuhan tentu akan menimbulkan kecemburuan. Namun itu adalah hak prerogatif Tuhan. Itu di luar kemampuan dan penalaran kita.
17
YAHYA WALONI: BENARKAH PAULUS SEORANG RASUL? Terkait dengan kerasulan Paulus, cerita dongengnya begini:”Ketika Paulus diserahi tugas untuk menganiaya, membunuh dan menghabisi umat Nasrani (bukan Kristen, karena Kristen produk Paulus jauh sesudah Nasrani) dari Yerusalem menuju Damsyik tiba-tiba Paulus melihat cahaya dari langit (belum tentu benar, sebab kesaksian ini dari Paulus bukan dari orang lain) lalu didengarnya suara yang mengatasnamakan TUHAN YESUS, katanya! Dari suara itu kata Paulus, Yesus telah mengangkatnya sebagai Rasul. Dongeng ini dapat kita lihat dari “Kisah Para Rasul 9:15” dikatakan demikian: Tetapi firman Tuhan kepadanya: "Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Astaghfirullah…! Pembaca yang budiman, surat ini ditulis oleh Lukas murid Paulus yang hanya mendengar berita ini dari Paulus sendiri. Lukas tidak pernah jumpa dengan Yesus. Dia adalah seorang tabib (dokter) kemudian beralih profesinya menjadi alat Kristen. Boleh jadi, Lukas meninggalkan profesinya sebagai ahli kesehatan (medis) karena pengaruh Paulus yang terlalu banyak berbicara dongeng yang menakjubkan terkait ambisinya untuk meniadakan Taurat Musa dan Injil Isa as, dengan teori filosofisnya yang memboncengi cerita Injil dan merekayasa kenabian Isa menjadi Tuhan, supaya dia menjadi menjadi rasul, sungguh luar binasa…itulah sebabnya pengakuan Paulus mengenai dirinya sebagai rasul untuk Bani Israel dan orangorang di luar Israel (non Israel) tidak langsung diterima begitu saja oleh rasul-rasul yang sah diangkat oleh Isa as seperti diungkapkan oleh Matius 10:2-4, Markus 3:16-19, Lukas 6:14-16. TANGGAPAN: Justru Anda yang telah membuat dongengan tentang Rasul Paul dengan mendiskreditkan dirinya dan kerasulannya. Cara Anda memandang Rasul Paul hanyalah membeo saja apa yang telah dilakukan oleh sarjana-sarjana Kristen liberal yang kemudian diadopsi oleh para kritikus Islam. Nyaris tidak ada referensi yang memadai yang telah Anda lakukan untuk mengeksplorasi siapa dan bagaimana tentang Rasul Paul, selain menafsirkan secara eisegetis (lawan dari eksegetis. Eisegetis berarti memasukkan gagasan pada teks). Sebelum saya meluruskan beberapa perkara mengenai Rasul Paul, berikut saya kutipkan kajian Tim Hegg mengenai Rasul Paul.
RASUL PAUL DAN LATAR BELAKANG DIRINYA Diterjemahkan dari buku karya Tim Hegg THE LETTER WRITER: Paul Background and Torah Perspective United States, First Fruits of Zion, 2002 Penerjemah: Teguh Hindarto,MTh. BAB I LATAR BELAKANG PAUL KEBANGSAAN Bahwa Paul adalah seorang Yahudi, sungguh amat jelas20. Dia menunjuk bahwa dirinya sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, dalam Filipi 3:5 [Cat. Penerjemah: Dalam naskah Greek New Testament ditulis “Ebraios ek Ebraioun” dan dalam naskah Peshitta Aramaik ditulis, “Ebraiya bar Ebraiya” dan dalam Hebrew New Testament ditulis, “Ivri ben Ivri”. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan dengan “Ibrani asli”]. Sebuah frase yang telah dipahami dalam banyak cara. Beberapa orang menduga bahwa Paul menekankan garis darah asli, yang bermakna bahwa baik ibunya dan ayahnya memiliki garis keturunan yang 20
Sebagian orang mempermasalahkan hal ini. Macoby berpendapat bahwa Paul adalah seorang petobat yang mengikuti Yudaisme, dan dia memalsukan garis silsilahnya demi sebuah pengakuan [Maccoby, Ibid., 95]
18
dapat dilacak. Yang lain mengidentifikasikan Paul sebagai seseorang yang menampakkan semangat terhadap Torah. Apakah sesungguhnya yang dimaksud oleh Paul, ketika dia menyebut dirinya sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani?” marilah kita melihat lebih dekat mengenai susunan data diri singkat Paul dalam Filipi 3:5, untuk melihat petunjuk yang memungkinkan membuka pemahaman tentangnya. Pertama-tama kita melihat bahwa frase “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, merupakan kata terakhir dalam daftar dari empat kata yang berkaitan sbb: “Disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Yishrael, suku Benyamin, orang Ibrani dari orangorang Ibrani;” J.B. Lightfoot mencatat secara menarik, bahwa daftar tersebut merupakan susunan mendaki21. Dengan mengatakan, “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, pada bagian akhir, berfungsi sebagai kesimpulan yang menarik perhatian kepada susunan daftar secara keseluruhan. Komponen yang satu dengan yang lain dihubungkan kepada komponen yang terdahulu. Fakta bahwa telah disunatkan pada hari kedelapan, menunjukkan bahwa orang tuanya adalah orang yang mentaati perintah Torah, namun tidak menutup kemungkinan bahwa mereka adalah seorang yang mengikut agama Yudaisme, semenjak kaum proselit [orang non Yahudi yang mengikut agama Yudaisme] juga menyunatkan anak-anak mereka. Kemudian Paul menambahkan, “dari Bangsa Yishrael”, yang mana dia hendak menegaskan garis keturunan dari orang tua asli, bukan seorang proselit. Meskipun dari kaum Yishrael, dapat saja mereka berasal dari suku yang tidak taat, sehingga Paul menyatakan diri sebagai, “dari suku Benyamin”. Meskipun mereka yang garis keturunannya tidak tertuduh dan diterima dari suku yang ternama, namun terkadang tergoda oleh pengaruh Helenis [cat. penerjemah: faham Yunanisasi disegala bidang, baik kebudayaan, kehidupan sosial, politik dan keagamaan] di lingkungan tempat tinggal mereka, kemudian meniru baik bahasa maupun kebiasaan dari kebudayaan orang-orang Yunani Romawi. Dengan Paul menjelaskan sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, dia menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang mempertahankan bahasa dan kebudayaan Ibrani, salah seorang yang tidak menerima pengaruh Helenis pada saat itu22. Dengan demikian, patut diduga bahwa frasa “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, digunakan oleh Paul untuk mengidentifikasikan dirinya dan keluarganya sebagai seorang yang bergaya hidup Yahudi dengan taat, seseorang yang tetap mempertahankan bahasa Ibrani atau Aramaik sebagai bahasa ibu, dimana Torah memainkan peranan penting dalam iman dan kehidupan secara umum. Mengapa Paul berfikir, adalah penting bagi pembacanya untuk mengetahui fakta-fakta mengenai gaya hidupnya? Dalam konteks surat rasuli kepada orang-orang Filipi, dengan jelas dia mengajarkan bahwa kedudukan yang berkenan di hadapan Tuhan, tidak dapat dilipatgandakan dengan jalan menampilkan garis silsilah seseorang atau status kesukuan. Yang lebih utama adalah, inilah pokok yang utama dalam konteks surat yang ditulisnya, bahwa garis keturunan dan kebudayaan yang dimilikinya, tidaklah membawa keuntungan baginya, ketika sampai pada pengampunan dosa. Sebaliknya, Paul menolak posisi orang yang mengajarkan bahwa keselamatan diberikan kepada mereka yang berasal dari Yishrael asli atau orang non Yahudi yang menjadi proselit. Selanjutnya Paul menegaskan bahwa seseorang berkenan di hadapan Tuhan dapat diterima melalui kebenaran Yeshua yang patut diperhitungkan dan berdasarkan iman dan bukan berdasarkan status kesukuan. Siapakah yang lebih berhak membuat pernyataan demikian selain seseorang yang garis silisilah dan kehidupan keluarganya adalah ortodox murni? Namun, ketika sampai pada persoalan memperoleh kelayakan di hadapan Tuhan, Paul berkeyakinan bahwa baik garis keturunan dan gaya hidup keyahudiannya, sama sekali tidak mendatangkan keuntungan apapun. Sebagaimana dia katakan, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena [Mesias]” [Fil 3:7, LAI, Alkitab Elektronik, 2002]. Paul sampai pada pemahaman, bahwa bukan karena siapa dia atau apa yang telah dia lakukan, yang memberikan padanya kelayakan di hadapan Tuhan, 21
J.B. Lightfoot, St. Paul’s Epistle to the Philippians [Zondervan, 1953], 146
22
Jerome Murphy o’Corner, Paul: A Critical Life [Oxford, 1996] 36-37
19
namun Mesias dan apa yang telah Dia kerjakan dan selalu Dia kerjakan. Bagi Paul, status di dalam hidup, tidaklah bersangkut paut dengan apapun yang dinyatakan sebagai adil, dihadapan sidang pengadilan Ha Shem [cat. penerjemah: Ha Shem, artinya “Sang Nama”, bentuk eupheumisme atau penghalusan terhadap nama Yahweh]. Namun, meskipun kehidupannya di dalam Torah, tidak pernah menjadi dasar bagi pembenaran di hadapan Yang Maha Kudus milik Yishrael, Paul tidak pernah mengganggap bahwa apa yang diwarisinya, demikian pula gaya hidup sesuai Torah, sebagai suatu ketidakuntungan atau suatu beban yang harus dibuang. Paul telah sampai pada pokok iman yang utama, Paul telah meninggalkan kepercayaan di dalam kebanggaannya terhadap kesukuannya. Meskipun kemampuannya mengenai Torah, lebih dibandingkan teman-teman sebayanya, Paul telah sampai pada kenyataan bahwa apapun yang terpisah dari iman, hanyalah mendukung kesombongan. Meskipun setelah Paul sampai pada pemahaman bahwa kebenaran datang melalui iman di dalam Mesias, dia melihat bahwa Torah yang dia cintai dan gaya hidup sesuai Torah, sebagaimana yang dilakukan Mesias, secara terus menerus menjelaskan Pribadi-Nya dan berkarya serta memanggil anak-anak Tuhan yang taat untuk berfikir dan hidup seperti yang Yeshua lakukan. Dia telah mengetahui pertama kali bahwa Torah adalah perlindungan yang Bapa Surgawi telah berikan pada Putra-Nya23 Namun, didasarkan pada inti Torah, ketaatan dilanjutkan menjadi suatu cara dalam mana Paul menunjukkan kasihnya pada Tuhan, suatu cinta yang didasarkan pada dimensi baru yang mengakui kasih Tuhan yang dinyatakan di dalam Yeshua. Karena telah mengalami pengampunan yang tidak terkira, maka Paul pun mengasihi dengan tidak terkira24. dan kasihnya bagi Tuhan ditunjukkannya dengan jalan mentaati-Nya. Ada juga beberapa alasan lain bahwa dia mengidentifikasikan dirinya sebagai, “orang Ibrani dari orangorang Ibrani”, salah satunya, orang yang berbahasa ibu Ibrani dan yang taat sepenuhnya terhadap TaNaKh dan Torah kehidupan: bahwa dia ingin membuktikan pada para pembacanya, bahwa dia lebih terdidik mengenai Torah, dibandingkan para pengumpatnya. Dia menyejajarkan dirinya atau lebih berhak mengajar mengenai bagaimana Tuhan menyatakan bahwa orang berdosa telah dibenarkan. Pemahamannya tentang TaNaKh dikumpulkannya sedikit demi sedikit melalui tahun-tahun belajar dan selanjutnya diilhamkan oleh Roh Kudus, sebagaimana setelah dia menganut kepercayaan terhadap Yeshua, adalah dasar bagi Paul menekankan pembenaran berdasarkan iman. Jika para pengumpatnya menyerang dia mengenai salah satu persoalan atau lainnya, mereka tidak dapat menuduh bahwa Paul sebagai orang yang tidak terpelajar. Sebagai “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, TanaKh telah mendarah daging dalam kehidupannya, semenjak dia lahir. Siapakah yang menggelisahkan pembaca surat Paul dengan ajaran palsunya? Kita tidak dapat memastikan, namun tidaklah diragukan bahwa mereka adalah orang-orang yang mewakili kepercayaan yangmeluas diterima, bahwa hanya Bangsa Yishrael dan mereka yang menjadi Yishrael berdasarkan proselitlah yang akan diterima di dunia yang akan datang25 [cat penerjemah: dalam bahasa Ibrani, “olam ha ba”]. Dalam kerohanian yang telah mengalami pembaruan, Paul telah sampai pada pemahaman, melalui mempelajari Torah dan khususnya membaca dari kehidupan Abraham, bahwa perkenan di hadapan Tuhan datang melalui iman dan bukan melalaui status kesukuan yang dipertontonkan dengan melakukan Torah. Torah adalah suatu titik temu dalam mana, baik Yahudi maupun non Yahudi menikmati berkat perjanjian, bukan berdasarkan ritual peneguhan atau ketaataan terhadap upacara jasmani. Bagi Paul, dengan menegaskan bahwa dia “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani”, adalah menguatkan kembali warisannya dalam hal mempelajari Torah dan ketaatannya dan menyediakan bagi pembacanya suatu alasan, mengapa mereka harus mempercayai tulisannya 23
Catatan: penggunaan mishmeret dalam kejadian 26:5, dalam daftar termasuk di dalamnya kata mitsvot, khukot dan torot
24
Lukas 7:47
25
Misnah Sanhedrin 10:1; Berakhot Sanhedrin 90a; E.P. Sanders, Paul and Palestinian Judaism [Fortress, 1977], 147
20
KAUM KELUARGANYA Kitab Suci memberi sedikit saja informasi mengenai kaum keluarga Paul, namun Lukas memperingatkan kita, bahwa Paul memiliki saudara perempuan dan keponakan di Yerusalem [Kis 23:16]. Catatan dalam Roma 16:13 menyatakan, bahwa Paul menunjuk pada Ibu Rufus sebagai orang yang dianggapnya ibu bagi dirinya, menimbulkan pemahaman, untuk menduga bahwa ibunya Paul telah menjanda dan menikah kembali. Perkawinannya menghasilkan Rufus, saudara lanjutan Paul.36 Namun, sapaan ibu memiliki makna yang luas di dunia kuno. Ini bukanlah sesuatu yang luar biasa yaitu untuk memperoleh kata yang menunjuk pada seorang wanita yang statusnya dalam suatu komunitas menuntut suatu penghormatan yang tinggi.37 Yerome, dalam komentarnya mengenai surat Filemon, menuliskan mengenai orang tua Paul sbb: “Kami telah mendengar cerita ini. Mereka berkata, bahwa orang tua rasul Paul berasal dari Gischala, yang berada di wilayah Yudea dan ketika seluruh propinsi ditaklukan oleh tangan orang-orang Romawi dan orang-orang Yahudi terserak diseluruh dunia, maka merek bergerak menuju Tarsus, kota dikawasan Kilikia; Paul remaja, mewarisi status personal orang tuanya”38 Dalam tulisan Yerome lainnya, dia menduga bahwa Paul telah dilahirkan di Gischala, namun catatan sejarah ini kurang dipercaya.39 Gischala, disebut juga dalam bahasa Ibrani, dengan “Gush Halab” [blh wvg],40 adalah sebuah kota yang diperkirakan 12 mil sebelah utara dan dataran rendah dibagian barat dari laut Galilea.41 Rashi, menyejajarkan kota itu dengan Tekoa dalam 2 Samuel 14:2.42 Selanjutnya, Yerome memberikan petunjuk bahwa orang tua Paul dipaksan keluar dari Gischala menuju Tarsus, oleh orang-orang Romawi. Ini benar, bahwa setelah orang-orang Romawi mengambil alih kontrol atas Tanah Suci pada tahun 63 SM, mereka telah memperbudak banyak sebagian besar wilayah itu dan mengirim penduduknya ke luar negeri.43 Mengenai deportasi [pengasingan] budak-budak Yahudi, terekan pada tahun 61, 55, 52, 4 sM dan 6 Ms44, membuat sangat mungkin bahwa orang tua Paul telah dipindahkan dalam rangka deportasi menuju kota Tarsus. Namun demikian, Paul menyebut dirinya dilahirkan di Tarsus.45Ini bermakna bahwa informasi Yerome diterima sebagai informasi yang akurat, bahwa orang tua Paul bergerak menuju Tarsus [oleh karena dideportasi dengan paksa atau untuk menjawab himbauan untuk menolong membuka perbatasan Romawi] sebelum dia dilahirkan. Beberapa orang menduga bahwa di kota seperti Tarsus, pekerjaan pembuat tenda atau penyamak kulit, memiliki nilai besar bagi garis terdepan Romawi, mengingat pasukan Romawi terkadang tinggal di tenda-tenda.46
36
M.F. Baslez, Saint Paul [Paris:Fayard, 1991], 34-35, sebagaimana dicatat oleh Murphy- O’Conner, op.cit., 45
37
BAG, p.521, band. Juga Mark 3:33-34; Mat 12:49-50; Yoh 19:27. Lihat juga komentar Murphy O’ Conner, Paul, hal 45. Disamping itu, saya tertarik untuk menjelaskan, bahwa saat mengunjungi Liberia, Afrika Barat, bahwa semua wanita tua dari komunitas di mana saya tinggal, disebut dengan sapaan “ibu”
38 39
Comm. In Ep. Ad Philem. On vv. 23-24, dikutip dari Murphy-O’Conner, p. 37 De viris illustribus 5
40 Gischala disebutkan dalam Midrash Rabbah, Canticles viii.1. Gischala disebut dalam bahasa Ibrani “ g “ ush chalav” yang bermakna “tanah gembur”. Band. wvg Dalam Jastrow, Dictionary of the Talmud p.228 41
Berakhot Menakhot 85b dimana cerita ini berhubungan dengan pembelian seorang pedagang sebanyak 118 menahs minyak di Gischala [Gush Halab]
42
Catatan Rash’I pada Berakhot Pesakhim 43a
43
Band. Yosephus, misalnya, Jewish Wars 1.180;2.68
44
Murphy-O’Conner, Paul, p.39;
45
Kis 22:3, band. A.N. Sherwin White, Roman Society, 151
46
F.F. Bruce, History, p.235, band. n.3
21
Termasuk catatan di dalam Kisah Rasul 18:3, yang menyatakan bahwa Paul dan Aquila adalah para pembuat tenda, menimbulkan dugaan bahwa ayah Paul juga adalah seorang pembuat tenda, mengingat kebiasaan umum bagi seorang anak untuk meneruskan usaha ayahnya.47 Kata yang diterjemahkan “pembuat tenda” [skhvopoioij, skenopoios] dapat juga bermakna “penyamak kulit”,48 dan mengingat tenda-tenda terkadang dibuat dari kulit, maka pembuatan tenda dapat terdiri dari banyak para penyamak kulit. Namun kata ini dapat juga bermakna “pembuat pelana” dan juga “pembuat sepatu”.49 Tetapi entahkah Paul memperoleh usaha ini dari ayahnya atau yang lain, tidak dapat diketahui. Namun demikian, keahlian dia cukup memadai dalam pertukangan, untuk memiliki para pekerja pertukangan di Korintus, dimana dia bekerjasama bersama Aquila. Tidak ada penjelasan khusus mengenai ibunya. Sebagaimana kebanyakan pahlawan dalam Kitab Suci, ibunda Paul tidak diketahui, namun kita dapat membayangkan bahwa dia teramat mencintai Torah50, sebagaimana layaknya bagi orang Yahudi51, mungkin saja mengikuti pendidikan yang diterimanya pada tangan ibunya PENDIDIKANNYA Di dalam Kisah Rasul 22:3 ditegaskan bahwa dia [Paul] “dibesarkan di kota ini”, yaitu di Yerusalem dan “telah dididik di bawah kaki Gamaliel”. Kalimat ini menunjukkan ekspresi umum di Israel kuno bagi para murid “yang duduk di bawah kaki” Sang Guru, sebuah frase yang menggambarkan baik pelajaran yang diterima secara realita badani namun juga berhubungan dengan sikap hormat terhadap guru yang mengajar. Kita baca dalam misnah Avot 1:4 sbb: Yose ben Yoezer berkata: Biarlah rumahmu menjadi rumah pertemuan bagi kaum bijaksana dan merendahkan dirinya untuk ditutupi oleh debu kakinya dan minum dalam kata-kata dengan rasa haus Gambaran ditutupi oleh debu kaki kaum bijaksana, menggambarkan seseorang yang duduk di lantai sementara mereka yang mengajar, duduk di kursi. Ketika Paul menunjukan bahwa dia “telah dididik di bawah kaki Gamaliel”, dia sedang mempergunakan istilah umum bagi hubungan di antara pengajar dan pelajar di dalam komunitas Yahudi pada Abad I Ms. Apa yang menjadi makna sesungguhnya, ketika Paul menyatakan dirinya telah “dibesarkan di kota ini”, yaitu Yerusalem? Kata kerja yang diterjemahkan dengan “dibesarkan” [anatrefw, anatrepo], dapat bermakna “pertumbuhan” baik secara fisik maupun kerohanian. Dalam Kitab-kitab Rasuli, kata-kata tersebut menggambarkan anak yang sedang tumbuh52 dan kata itu nampaknya masuk akal dipergunakan dalam menerangkan proses kedewasaan Paul. Demikianlah menurut perkataan Paul, bahwa dirinya tidak bertumbuh dewasa di Tarsus, meskipun kota ini adalah tempat kelahirannya. Sebaliknya, dia bertumbuh dewasa di Yerusalem, dididik oleh Gamaliel yang
47
Catatan Jacob Z. Lauterbach yang menerjemahkan, Mekilta de rabbi Ishmael I [JPS, 1933], p. 166 sbb: “dalam kaitannya dengan hal ini, para kaum bijaksana berkata: Berdasarkan hukum dari Torah, seorang lelaki diwajibkan menyunatkan anaknya, untuk menebus dia, jika dia seorang anak sulung, untuk mengajarkan Torah, mengajari dia berdagang dan mencarikan dia seorang istri. Rabbi Akiva berkata: Juga, ajarkanlah dia berenang. Para rabbi berkata: juga ajarkanlah padanya mengenai kewarganegaraan”
48 Michaelis, “skeopoiois” dalam TDNT, 7:394. Tenda juga dibuat dari tenunan yang tebal dari bulu kambing yang disebut “kilki” oleh para rabbi dan dikenal sebagai Kilikium oleh orang-orang Romawi, mengingat kebanyakan kilkii dihasilkan di Kilikia. Di Israel saat ini, kaum bedouin masih tetap membuat tenda-tenda merka dari tenunan bulu kambing, dengan cara ini, band. Catatan Kisah Rasul 18:3 “ha Brit ha Khadasha” [Bible Society in Israel, 1991], p.256. Jastrow menunjukkan bahwa tenungan kasar dapat juga digunakan sebagai penutup bagi hewan dan lapisan tempat duduk, Dictionary, p.1361 dan Berakhot Bava Batra 78a. 49
Joseph Klausner, From Jesus to Paul [Beacon Press, 1943], 308; Michaelis,” skeopoiois” dalam TDNT, 7:394
50
Band. Roma 7:12; 2 Timotius 3:16-17
51 52
Roma 9:1-3 Yeshua, Lukas 4:16 “trepho” ; Moshe melalui anak perempuan Firaun
22
terkemuka.53 “Berapa lama” kita perkirakan “ketikan Paul memutuskan tinggal di Yerusalem?” Berdasarkan Misnah Avot 5:21, pembacaan Kitab Suci dimulai pada usia lima tahun, sementara pada usia sepuluh tahun dipersiapkan untuk mempelajari Torah Lisan [Misnah].54 Ada petunjuk bahwa telah ada sekolah-sekolah di dalam komunitas Yahudi55, sejak kemunculan masa Helenistik, untuk pengajaran umum56, dan Ben Sira nampaknya mulai memperkenalkan pendidikan bebas biaya.57 Di samping tempat-tempat umum tersebut, ada juga pertemuan belajar secara informal yang sudah memasyarakat, dengan jalan mengunjungi kaum bijaksana di rumahnya.58 Namun demikian, dasar keseluruhan pendidikan, merupakan tanggung jawab ayah dan ibu untuk mendidik anak-anak mereka dalam Torah, sebagaimana diperintahkan Tuhan di dalam Shema.59 Adalah mustahil bagi kita untuk mengetahui dengan jelas berapa usia Paul saat pindah ke Yerusalem untuk pendidikan formalnya60,namun masuk akal bahwa dia memulai pelajarannya sebagai anak muda, menyiapkan diri terhadap apa yang akan dikenal dengan istilah bar mitswah, yang mana dia akan dianggap oleh komunitasnya memiliki hak-hak dan tanggung jawab sebagai lelaki dewasa61. Entahkah Paul tinggal dengan keluarganya di Yerusalem atau sanak familinya, kita tidak mendapat kepastian. Fakta bahwa saudara perempuannya dan keponakannya telah menetap di Yerusalem, akan memberikan petunjuk bahwa dia memiliki anggota keluarga di sana dan nampaknya pula bahwa keluarganya juga telah pindah dari Tarsus. Pendidikan Paul sebagai anak muda dimulai dengan pelajaran alef-bet dalam bahasa Ibrani, menggunakan Torah sebagai yang utama, baik untuk huruf maupun membaca. Dia juga nampaknya telah diawali dengan Shema dan kemudian berkembang untuk memahami liturgi, yaitu doa-doa yang kemudian dikenal dengan sebutan Shemonei Esrei [Delapan Belas Berkat Permohonan], bersama pula dengan berkat-berkat yang diucapkan saat makan.62 Dia akan menghafal doa-doa ini sebagaimana bagian-bagian lain dari Torah, belajar membaca dan menuliskan huruf Ibrani dan Aramaik. Jika dia belajar di ruang kelas, maka patut diduga tidak
53
Nama “Gamaliel” secara beragam diterjemahkan dengan “Gamaliel” dan “Gamliel”. Yang belakangan adalah pengucapan yang tepay berdasarkan bahasa Ibrani, meskipun mayoritas orang-orang Inggris mengucapkan dengan “Gamaliel”.
54
Dalam Blackman, edisi tentang Misnah, 4:537
55
Dari Abad ke 2 SM.
56
Pengkhotbah 12:9; 39:1-3
57
51:28-30
58
m. Avot 1:4
59
Secara teknis, Shema termasuk Ulangan 6:4-6 dan 11:13-21 dan dalam standar Siddurim [buku doa] modern, termasuk Bilangan 15:37-41, yang juga menambahkan perintah mengenakan tsit-tsit [jumbai].
60
Pendekatan liberal menolak bahwa Paul dididik di Yerusalem, peletakan pernyataan Kisah Rasul 22:3 merupakan pekerjaan Lukas, untuk memberikan kepercayaan yang tinggi terhadap Paul. Band. Murphy-O’Connor, Paul, p. 32-33,46
61
Ada atau tidaknya upacara formal Bar Mitswah di Abad Pertama, tidaklah jelas. Namun Misnah [m.Avot 5:21] mendaftar usia 13 sebagai usia “perintah-perintah” yang maksudnya “tunduk atau mematuhi pada perintah-perintah”
62
James L. Crenshaw, “Education in Ancient Israel” [Doubleday, 1998],p.9. Bagaimana permulaan Amidah dan doa-doa lain dari Shemone Esrey menjadi pusat liturgi, tidaklah jelas. Sifre untuk Kitab Ulangan, mendaftar 343 petunjuk praktis bagi “nabi-nabi permulaan”. Bava Megilah 17b menggambarkan “seratus dua puluh tua-tua, termasuk banyak nabi-nabi” [Berakhot 2:4]. Bava Berakhot 33a menghubungkan dengan “Sidang Jemaat Besar” [Sanhendrin] berfungsinya “tanda berkat bagi Israel”. Data awal mengenai Shemonei Eshrei, sukar dipahami, yang pasti sudah sangat tua dn kemungkinan beredar sekita Abad 1 Ms. Tentu saja, evolusi doa berkat ini terbukti. Sesungguhnya doa-doa tersebut diformulasikan di negeri ini [Yerusalem, sebagaimana terbukti dalam temuan Genizah di Kairo] yang berbeda dengan susunan akhir yang tercantum dalam Talmud Babilonia dan bentuk Shemonei Eshrei yang berlaku dalam Yudaisme Modern. Namun demikian, susunan yang ada kini, terdiri dari bahan-bahan yang bersifat awal. Lihat juga komentar yang berguna dari Lawrence A. Hoffman, “How the Amidah Began” dalam bab My People Prayer Book, Vol 2 [Jewish Light Publications, 1998] p.17-36.
23
akan lebih dari 25 siswa.63 Entahkah di ruangan kelas atau pada kaki pengajarnya, Sha’ul muda telah mempelajari keahlian dasar yang diperlukan untuk membaca dan mempelajari Torah dan mengikuti jenjang pendidikan berikutnya, yaitu Torah Lisan. Torah Lisan, sebelum ditetapkan sebagai Misnah, termasuk dunianya para kaum bijaksana. Untuk mempelajari Torah Lisan, diperlukan seorang pembimbing, seseorang yang dipercaya sebagai Khakam “orang bijak” atau kaum bijaksana dan kita mengetahui bahwa bagi Paul, orang tersebut adalah Gamaliel. Nama Gamaliel telah dikenal dengan baik dalam sejarah kaum bijaksana Yahudi. Kakeknya bernama Hillel, adalah pemimpin Sanhendrin bersama saingannya yaitu Shammai. Hillel dan Shamai merupakan Zugot atau ‘pasangan” yang melengkapi kepemimpinan ganda yang diperlukan oleh Sanhendrin. Setelah Shammai dan Hillel, Sanhedrin hanya dipimpin oleh kaum bijaksana secara tunggal yang disebut dengan Nasi ,“pemimpin”. Ketika Hillel wafat, kedudukan Nasi Sanhedrin dilimpahkan epada Simeon, anaknya. Kita boleh menduga bahwa Simeon tidak hidup lama, dengan mempertimbangkan literatur rabinik yang tidak pernah menuliskan beberapa halakhah dengan menggunakan namanya. Setelah Simeon wafat, anaknya, yaitu Gamaliel mengambil alih kepemimpinan Sanhedrin, dan memerintah selama 20 tahun [20 Ms-40 Ms]64. Tidak memperhitungkan waktu singkat dimana Simeon memimpin Sanhedrin, maka Gamaliel, merupakan calon pemimpin pertama dari Sidang Jemaat Besar untuk memerintah secara tunggal. Oleh karena alasan inilah, dia diberi gelar “Rabban” atau “guru kita” dan menunjuk sebagai “Yang Tua” untuk membedakan dirnya dari keturunannya yang mengandung nama Gamaliel sebagai pemimpin Jemaat. Pembimbing Paul kemudian dikenal dengan sebutan Rabban Gamaliel ha Zaken, “Guru kita, Gamaliel, Yang Tua”. Apakah mungkin Rabban Gamaliel yang telah kita pejari akan memberikan pada kita wawasan mengenai Rasul Paul? Pertama, Gamaliel dikenal karena sikap lunaknya terhadap beberapa hukum dalam rangka menyediakan hak-hak rakyat yang kurang beruntung. Contoh, dikarenakan zaman itu merupakan suatu keadaan yang tidak menyenagkan bagi kaum Yahudi, dan laki-laki kehilangan kehidupannya oleh pedang orang-orang Romawi, maka jumlah para janda di kalangan Yahudi bertambah dengan cepat. Gamaliel menetapkan bahwa perceraian yang sah bagi kaum wanita yang suaminya dianggap hilang di medan perang, hanya memerlukan satu saksi saja, daripada dua saksi sebagaimana yang ditetapkan secara tradisional.65 Dengan perubahan ini, maka “birokrasi” telah dikurangi bagi kaum janda untuk menikah lagi dan menerima perlindungan dari suami barunya. Dengan nada yang sama, Gamaliel memperbanyak jarak yang dapat di tempuh pada hari Sabat dan mengijinkan kebebasan yang luas bagi para bidan dan para pelayan publik lainnya dalam melaksanakan kewajibannya pada hari Sabat.66 Dia juga memperkenalkan aturan-aturan lain mengenai perceraian yang bertujuan meringankan beban hukum dan melindungi kaum yang lemah dan tidak terpelajar.67 Salah satu contoh, dia menetapkan persetujuannya terhadap seorang wanita yang mengakui keperawanannya meskipun suaminya mempertanyakan pernyataan istrinya.68 Di atas semuanya, ketetapan Sanhedrinnya ditandai dengan keringanan secara umum dari beban halakhah untuk melindungi kebutuhan nyata komunitasnya.
63
Max Arzt. The Teacher in Talmud and Midrash”, Mordecai M Kaplan: Jubilee Volume on the Occasion of his Seventieth Bithday [New York: Jewish Theo. Seminary of Amerika, 1953],p.45-46; A. Demsky, “Education Encylopedia Judaica, VI [Jerusalem: Keter Publication House, 1972],p.385
64
Berdasarkan kronologi yang dibuat oleh Adin Steinsaltz, “The Talmud: A Reference Volume [Random House, 1989], 31
65
Misnah Yevamot 16:7
66
berakhot Rosh ha Shanah 23b
67
Mishnah Shekalim 3.6
68
Berakhot Ketubot 10b
24
Kedua, Talmud menyimpan tiga “surat rasuli” yang dikirim Gamaliel kepada “saudara kita di Galilea Atas dan di Galilea Bawah”, dan “saudara kita di Selatan Atas dan di Selatan Bawah” dan “saudara kita di pembuangan Babilon, di pembuangan Media dan di tempat pembuangan Bangsa Israel lainnya”.69 “Suratsurat rasuli” tersebut ditujukan kepada Yohanan, yang duduk di kalangan kaum Bijaksana, yang berlokasi di Bukit Bait Suci70 dan terdiri dari peringatan-peringatan mengenai waktu untuk mengumpulkan persepuluhan dan informasi mengenai lompatan tahun. “Surat-surat rasuli” tersebut dikenal baik menjadi karakteristik guru rasul Paul sehingga memberikan latar belakang alasan untuk menjelaskan mengapa Paul mengadopsi “surat-surat rasuli” tersebut, sebagai rasul Yeshua. Ketiga, dalam Kitab Para rasul, kita mendapatkan gambaran mengenai Gamaliel sebagai seorang yang toleran terhadap para pengikut Yeshua. Ketika Lukas melaporkan bagi kita mengenai keputusan Sanhedrin mengenai pelarangan pewartaan kepada publik mengenai Kemesiasan Yeshua, dia juga terlibat dalam peristiwa di mana Petrus dan rasul-rasul ditangkap dan dibawa ke hadapan sidang. Ketika kelompok tersebut hendak dibinasakan, Gamaliel melarang dengan mengatakan: Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Elohim kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Elohim." Nasihat itu diterima [Kis Ras 5:38-39] Pengakuan Gamaliel bahwa apa yang diajarkan Petrus dan rasul-rasul juga berasal dari Tuhan, adalah luar biasa. Dalam peristiwa ini, kita melihat secara sekilas mengenai seorang manusia yang nampaknya memiliki hati yang baik mengenai suatu keadaan yang merugikan dan pikiran yang terbuka terhadap suatu kemungkinan bahwa Yeshua adalah Mesias. Keempat, sebuah catatan penting mengenai siswa-siswa Rabban Gamaliel, tercatat dalam Talmud. Setelah mendiskusikan mengenai alasan mengapa seorang ayah melarang anaknya untuk megajarkan bahasa Yunani, pertanyaan yang berkaitan disampaikan sbb: “Apakah filsafat Yunani di larang? Sesungguhnya Rabi Yahudah menyatakan bahwa Samuel berkata atas nama Rabban Simeon ben Gamaliel, mengenai makna yang dituliskan ini: Mataku merusak jiwaku apakah disebabkan anak-anak perempuan di kotaku? Ada ribuan murid-murid di rumah ayahku; lima ratus orang belajar Torah dan lima ratus orang belajar kebijaksanaan Yunani dan di sini masih tersisa hanya aku dan anak dari saudara ayahku di Assia! Itu berbeda dengan rumah tangga Rabban Gamaliel dikarenakan mereka berhubungan dengan dengan pemerintahan”71 Jika frasa “rumah tangga Rabban Gamaliel” menunjuk kepada rumah tangga Gamaliel, Yang Tua, guru dari rasul Paul, maka kita memperoleh petunjuk mengenai Paul yang nampak begitu menguasai filsafat Yunani. Meskipun ada pernyataan argumen yang mengecilkan pelajaran Yunani dan filsafat Yunani, namun patut diketahui bahwa mereka yang bekerja pada pemerintahan Romawi diperlukan kelancaran dalam bahasa Yunani dan diperlukan untuk memahami untuk mengerti pandangan dunia kebudayaan Yunani. Paul terindikasi sebagai orang yang terdidil dalam tulisan-tulisan Filsafat Yunani. Sebagai contoh, dalam Kisah Rasul 17, ketika Paul terlibat pembicaraan dengan para ahli filsafat di Arepagus, ini adalah bukti bahwa dia sangat menyadari filsafat Stoa dan Epikuros bahkan dia juga mengutip
69
Berakhot Sanhedrin 11b; Tosefta, San 2:6;y.Sanhedrin 1:2, 18 d, sebagaimana dituliskan Cecil Roth, “Gamaliel” dalam Encyclopedia Judaisa VII [Jerusalem: Keter Pub. House, 1972] p.296
70 71
Roth, ibid Berakhot Sotah 49b
25
ahli filsafat lokal bernama Aratus [Kisa 17:28].72 Dalam suratnya kepad Titus [1:12] dia mengutip ahli Filsafat Kreta bernama Epimenides dan sekali lagi dalam 1 Korintus 15:33, dia mengutip Meander seorang penulis Athena mengenai filsafat dan etik. Banyak orang menduga bahwa Paul mengembangkan pengetahuan filsafat dan kebudayaan Yunani, disebabkan dia telah mempelajarinya di kota Tarsus yang terkenal sebagai universitas yang baik dalam hal itu. Tarsus juga termasuk pusat kehidupan intelektual selama Abad 1 Ms. Menurut seorang ahli geographi bernama Strabo: “…orang Tarsus pada Abad 1 Ms adalah siswa-siswa yang tekun dalam hal filsafat, seni yang bebas dan keseluruhan ensiklopedia mengenai pelajaran; sungguh tepat bahwa derajatnya melampaui baik Athena dan Alexandria sebagai pusat kebudayaan dan belajar…”73 Haruskah kita menduga bahwa Paul, pada beberapa point dalam kehdupannya, kembali ke kotanya dan mempelajari kebudayaan dan filsafat Yunani? Ini mungkin saja dan tidaklah menjadi kebutuhan yang mutlak. Jika laporan mengenai Rabban gamaliel yang mengajar siswa-siswanya pelajaran bahasa dan filsafat Yunani dapat dipercayai, maka ada kemungkinan bahwa Paul telah belajar tulisan-tulisan Yunani di bawah pengawasan pembimbingnya! Bahwa Gamaliel adalah seorang “nasi” [pemimpin] Sanhedrin, sesungguhnya menempatkan dia dalam kondisi kerja dengan pemerintahan Romawi dan itu memerlukan bagi dia dan siswa-siswanya, memiliki pengetahuan dan bahasa Yunani. Kemungkinan yang luarbiasa adalah: Tuhan, melalui hikmat-Nya yang memelihara, telah mengijinkan Paul belajar pada kaki Gamaliel, bukan hanya sebagai satu-satunya guru yang menguasai dalam soal-soal Torah dan pelajaran Ibrani namun juga mempelajri bahasa dan filsafat Yunani sehingga mampu mempersiapkan Paul terhaap apa yang oleh mereka tidak pernah bayangkan – yaitu mengenai rencana Tuhan membuat Paul sebagai seorang rasul Yeshua bagi bangsa-bangsa non Yahudi. Akhirnya, kaum bijaksana mencatat tradisi mengenai kematian Gamaliel sbb: Ketika Rabban Gamaliel Yang Tua wafat, kemuliaan Torah hilang dan kesucian serta [berpuasa?] musnah”74 Hal yang sama diceritakan oleh Rabbi Akiva, yang meletakkan Gamaliel yang menyejajarkan dengan salah satu kaum bijaksana yang terkemuka dalam sejarah Israel. Penting diketahui, dalam tulisan Talmud ada frasa “kemuliaan Torah”, menunjuk pada pemulihan Yehivot [sekolah Torah] oleh Simeon ben Shetah.75 Hilangnya “kemuliaan Torah” dikaitkan dengan ingatan terhadap Gamaliel yang seolah-olah menunjukkan bahwa setelah kematiannya, pengajaran Torah menyurut atau menyimpang dari yang telah diterima, yaitu penafsiran tradisional. Dari hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa masa kepemimpinan Gamaliel, ditandai oleh penghargaan yang tinggi terhadap Torah, yaitu penyebaran yang luas di antara umat dan penerapan praktis di dalam komunitas Yahudi. Apakah kepingan-kepingan dan serpihan-serpihan mengenai Gamaliel, menceritakan pada kita mengenai pendidikan Rasul Paul? Tentunya mudah untuk melihat betapa Paul, mengikuti contoh dari pembimbingnya yang mempergunakan “surat rasuli” sebagai alat mengkomunikasikan kepedulian dan pemikirannya kepada 72
Lihat juga komentar yang bermanfaat dari Ernst Haenchen, The Acts of the Apostles [Westminter, 1971], p. 517-531. Kutipan dari Aratus berasal dari Phaenomena 5
73 74
75
W. Ward gasque, “Tarsus” The Anchor Bible, VI [Dobleday, 1992] Berakhot Sotah 49a Berakhot Kiddushin 66a
26
orang-orang beriman yang tinggal di pembuangan. Dia tidak diragukan memperhatikan dan belajar sebagaimana Gamaliel mendiktekan surat rasulinya kepada Yohanan, penulis suratnya dan melihat betapa kata-kata yang dituliskan dapat secara efektif dipergunakan untuk memperluas ketetapan-ketetapan dan ajaran-ajaran dalam satu otoritas Kita juga merasa bahwa Paul, di bawah kaki Gamaliel [maksudnya Paul telah menerima pendidikan dari Gamaliel] telah sampai pada pemahaman bahwa Rabinik Halakah dapat menjadi beban dan mungkin saja menimbulkan beban. Demikian pula, dalam beberapa kasus, hanya kematian Yeshua saja yang dapat memisahkan tradisi yang telah berlaku lama yang telah memisahkan antara orang Yahudi dan non Yahudi.76 Tidaklah mengherankan jika Paul tidak mengambil bagian dalam usaha para pengajar Yahudi, untuk membebani orang non Yahudi yang beriman, dengan berbagai aturan buatan manusia. Mengikuti jejak Sang Mesias, Paul menentang ajaran tambahan Rabinik, yang memisahkan antara orang Yahudi dan orang non Yahudi dan yang menyombongkan diri, daripada merendahkan hati dengan ketaatan terhadap Tuan Yeshua. Dan sebagaimana Yeshua, Paul berusaha dalam pengajarannya untuk menampilkan kemuliaan Torah sebagai ajaran Tuhan dalam kebenaran, tidak digoyahkan oleh tradisi-tradisi manusia. Sementara beberapa hukum yang ditetapkan manusia telah menggantikan perintah-perintah Tuhan77, maka Paul mencari Torah yang hidup – Torah Tuhan agar bersinar karena Torah secara terus menerus menunjuk pada seseorang, yaitu Mesias.78 Selanjutnya, Gamaliel telah turut pula membantu mencetak sikap Paul terhadap wanita. Gamaliel mengatur secara pantas kaum wanita terhadap sejumlah persoalan yang dihadapinya dan sikap yang terbuka ini terlihat juga dalam diri Paul. Contoh, dia menyebut Phoebe sebagai kawan sekerja dan orang yang dipercayai, sehingga mampu menggangkat magnum opusnya, yaitu para pembacanya, yaitu Surat kepada orang-orang Roma79. Belajar di bawah kaki Gamaliel juga memberikan kesempatan kepada Paul untuk mempelajari bahasa dan filsafat Yunani yang terjalin sedemikian rupa dalam kebudayaan Yunani. Mempelajari filsafat Yunani dengan segala perkembangannya, di mana mereka sesungguhnya bertentangan dengan “hikmat yang dari atas”,80 telah memberikan kepada Paul pemahaman mengenai kekeliruan filsafat dan mengumpulkan minat mendapatkan kebenaran kepada mereka yang Tuhan panggil dari antara orang-orang non Yahudi. Akhirnya patut dikatakan bahwa pembimbing Paul adalah pengajar terkemuka di Israel, selama tahun-tahun pendidikan dasar dan ini bermakna bahwa dia telah menerima pengajaran dari orang yang terbaik, sarjana terpelajar yang tersedia pada waktu itu. Tidak diragukan lagi bahwa dia digembleng dan dituntut dalam mempelajari Torah dan Kitab Para Nabi sebagaimana Mazmur dan kitab-kitab lain dari Syair-syair. Bahkan dia juga dilatih dengan seksama dalam keseluruhan mengenai Torah Lisan serta dia mempelajari pula dalam cara yang logis mengenai argumentasi Rabinik yang menghasilkan sejumlah halakhah mengenai kehidupan sehari-hari.
76
Efesus 2:14
77
Matius 15:6; Mark 7:8-13
78
Roma 10:4. Catatan, kata yang diterjemahkan “akhir” dalam kebanyakan terjemahan bahasa Inggris, maksudnya “tujuan”, sebagaimana dalam kalimat bahasa Inggris berikut, “tujuan akhir perundingan adalah perdamaian”
79
Catatan, mengenai susunan kata surat Roma 16:1-2
80
Yakobus 3:15-17
27
Lebih dari itu, kita memiliki sejumlah alasan untuk mempercayai bahwa Paul menghargai pendidikannya di bawah kaki Gamaliel, sampai akhir kehidupannya. Salah satu contoh yang mengagumkan, mengingat siapa yang menjadi pendengar di depan Paul, saat dia memberikan pertanggungjawaban [Kis 22]. Nampaknya sangat mungkin bahwa anak dari pembimbing Paul, yaitu Shimon ben Gamliel [yang melanjutkan ayahnya sebagai Nashi Sanhedrin] hadir di sana. Paul, dalam situasi kehidupan yang nyata, segera mempraktikan apa yang telah dia pelajari dari pembimbingnya – dan dia menyatakan bahwa dirinya adalah orang Farisi. Jika anak Gamliel yang merupakan teman sekelas Paul ada di sana, maka adil dikatakan bahwa apa yang telah Paul katakan mengenai dirinya adalah benar, karena dia mengenal Paul lebih baik dibandingkan temanteman sebayanya dan kita memang tidak pernah mendengar bahwa mereka menentang apa yang Paul telah sampaikan. Kesungguhan Gamaliel terhadap Torah telah diteruskan kepada Paul, sebagaimana pengakuannya [Kis 22:3], dan kita telah mengetahui pada pasal pertama, bahwa dia, sebagaimana Yakobus [Yaakov], hidup berdasarkan aturan-aturan [Kis 21:24]. Tidak mengherankan jika kita mendapati bahwa Paul, sampai akhir hayatnya mengakui bawa dia menyembah Tuhan “menurut cara yang dilakukan leluhurnya” [2 Tim 1:3].81 KEMATIANNYA Paul berbicara secara terbuka mengenai kesiapannya untuk menghadapi kematian. Kepada orang-orang di Filipi dia menuliskan: “Karena bagiku hidup adalah [Mesias] dan mati adalah keuntungan” [Fil 1:21, LAI] “Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian” [Fil 2:17, LAI] Kepada surat rasuli terakhirnya kepada Timotius, dia sekali lagi menggunakan bahasa mengenai korban, untuk menggambarkan apa yang dia rasakan mengenai kematiannya: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat” [2 Tim 4:6, LAI]82 Ketika Paul wafat, apa yang sedang terjadi waktu itu? Meskipun urutan kehidupan Paul tidak dapat ditentukan secara jelas,83 nampaknya sangat pasti bahwa Paul membatalkan untuk mengunjungi Spanyol dan kunjungan ulangnya kepada jemaat-jemaat di Laut Aegea, meletakkan cukup waktu untuk memastikan bahwa kemabalinya dia ke Roma telah terjadi sebelum pembakaran besar-besaran. Pembakaran besarbesaran, terkenal dalam silsilah sejarah. Kemarahan selama 9 hari [19-28 Juli] pada tahun 64 Ms., telah menghancurkan 10 dari 14 tempat di kota itu. Menurut sejarawan Tacitus,84 Kaisar Nero menyalakan api terhadap para pengikut Yeshua dan membuat berbagai kemungkinan untuk mempermalukan mereka dengan pembalasan dendam. Inilah nampaknya yang menjadi alasan bagi Paul, setelah mendengar penganiayaan orang-orang beriman, kembali ke Roma untuk menguatkan mereka yang tersisa; Demikianlah sejumlah pelayanan penggembalaan untuk menguatkan dan menimbulkan pengharapan, tidak dapat dikerjakan di tempat yang bersifat pribadi. Kehadiran Paul di kota itu akan diketahui oleh pemerintah pada waktu itu. Sebagai warga negara Romawi, dia di bawa ke dalam penjara untuk menunggu kehadiran hakim. Di sinilah kita mendapatkan keterangan mengenai permintaannya kepada Timotius, “anak rohaninya”, agar dia membawa mantelnya [failanhs, phailanes], juga kitab-kitab [biblion, biblion], khususnya gulungan kitab 81
Dalam New American Standard Bible [NASB], kata “melayani Tuhan” merupakan terjemahan bahasa Yunani latreuw [latreuo] yang artinya “melayani” namun lebih mudah dipahami jika diterjemahkan dengan “beribadah”. Catatan, bandingkan juga dengan Kisah Rasul 28:17
82
Roma 12:1-2
83
Lihat Pasal 7 berikut
84
Annals 15.44
28
suci [menbranas, menbranas]. Kata yang digunakan untuk “mantel”, merupakan mantel bundar tanpa lengan yang, yang jatuh sampai ke bawah lutut, yang terbuka bagi kepala di bagian pusatnya. Ini mengindikasikan pada kita bahwa Paul sangat tidak suka mengenakan pakaian berbentuk toga yang hanya dikenakan oleh warga negara Romawi. Meskipun Paul adalah warga negara Romawi, namun dia mengidentifikasi dirinya terutama dengan warisan Yahudinya.85 Kata “kitab-kitab” nampaknya merupakan gulungan papirus untuk keperluan harian [agaknya untuk keperluan menulisnya] dan kata “gulungan kitab suci”, merupakan kulit lunak yang mahal, mungkin sekali merupakan bagian-bagian Kitab Suci Ibrani.86 Selanjutnya, Paul di Roma menambahkan dan menguatkan orang-orang beriman, sambil menunggu keputusan hukuman di sel penjara. Eusebeius memberikan laporan berikut bagi kita: Dikisahkan bahwa di masa pemerintahan Kaisar Nero, Paul telah dipenggal di Roma dan Petrus nampaknya telah di salibkan dan kisah ini dibenarkan oleh kenyataan bahwa kuburankuburan tersebut masih tetap ada di sana dan disebut dengan nama Petrus dan Paul…bahwa mereka telah menjadi martir pada masa yang sama dengan Bishop Dionysius dari Korintus [170 Ms] yang telah memberikan informasi pada kita dalam surat-suratnya kepada orangorang Roma.”87 Jika Paul telah mati dipenggal, itu tandanya bahwa dia telah dihakimi oleh sidang konstitusi harian.88 Shaul, “orang Ibrani dari orang-orang Ibrani” atau Paul, warga negara Romawi, telah mengakhiri kehidupannya dengan kepercayaan yang kokoh bahwa Yeshua adalah Mesias dan hidup di dalam Dia-lah yang membuat dia hidup. Dia mengeluarkan kata-kata yang telah dia tulis sebelumnya: “Sebab kasih [Mesias] yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan [Mesias] telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” [2 Kor 5:14-15] Pertemuan Paul dengan Mesias Yeshua telah mengubah selamanya dirinya dan membuat dia menjadi rasul bagi bangsa-bangsa non Yahudi. Paul, orang Yahudi, telah dihukum mati oleh pemerintah Romawi karena dia, sebagaimana orang sebelum dia, dengan sungguh-sungguh memenuhi panggilan menjadi “terang bagi bangsa-bangsa”. Torah yang dia kerjakan dalam hidup adalah Torah yang dia ajarkan – yaitu Torah yang selalu dan selamanya menunjuk pada kehidupan Mesias, Yeshua. YAHYA WALONI: KONTROVERSI ALKITAB. Semua kepalsuan dan kebohongan Alkitab sudah terbukti. Karenanya tidak ada lagi alasan untuk lari dari kenyataan ini. Sebab: Tuhan itu kekal! Dengan demikian segala perkataan firman yang disampaikan-Nya melalui perantaraan para nabi sudah pasti dan tidak bakal berubah. Artinya firman yang disabdakan tahun 1 tidak akan berubah hingga tahun 1000 bahkan sampai kiamat!!! Sekarang muncul pertanyaan yang harus dijawab oleh kita semua sebagai berikut: “Adakah Kitab Suci dari Tuhan sejak diturunkan ditengah-tengah dunia ini tanpa mengalami perubahan abjad, kata, kalimat, arti (makna) 85
Band. Komentar A.N. Sherwin-White, Roman Society, p.150
86
Newport J.D. White, “The Fisrt and Second Epistles to Timothy” dalam buku The Expositor’s Greek Testament IV [Eerdmans, 1970], p. 180-181 87
History of the Church 2.25; dikutip dari Murphy-O’Conner, Paul, 370
88
Warga negara Romawi jarang menghukum mati dengan cara penyaliban. Hukuman mati demikian hampir selalu dipelihara bagi orang-orang asing. Lihat komentar G.F. Hawthorne, “Cross” dalam Merril C.Tenney, The Zondervan Pictorial Encylopedia of the Bible, Vol 5 [Zondervan, 1976], 1:1038
29
dan pengucapan gaya bahasa? Jawabnya: Tentu ada!!! Yakni Kitab Suci Al Quran. Sudah terbukti, hampir 1500 tahun tanpa ada perubahan ulah tangan manusia, bahkan, Nabi Muhamad SAW. Sekalipun tidak kuasa menambah atau mengurangi apa yang telah difirmankan Allah SWT kepada beliau ketika berada di goa Hira sampai wafatnya. TANGGAPAN: Pernyataan Anda yang saya garis bawahi merefleksikan euphoria keagamaan yang kurang terbuka terhadap berbagai perkembangan baru dalam studi teks Kitab Suci khususnya Al Qur’an. Berikut ini saya akan kutipkan beberapa artikel yang ditulis terkait orisinilitas Al Quran, yaitu: 1. Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Al Qur’an” (www.islamlib.com) 2. El Islam, “Al Qur’an Versi Terbaru Telah ditemukan” (www.faithfreedom.org) 3. Samuel Green, “The Diferent Arabic Versions of the Qur’an” (www.answering-islam.org)
MERENUNGKAN SEJARAH AL QU’RAN Oleh Luthfi Assyaukanie Jaringan Islam Liberal (islamlib.com ) 17/11/2003 Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk memahami kitab suci yang hingga hari ini terus menjadi sumber inspirasi hukum dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan. Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa. Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi. Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang. Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflikkonflik bacaan yang muncul akibat beragamanya versi Alquran yang beredar. Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum Muslim. Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh --dan menjadi bagian dari proyek-penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar. Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab suci. Kendati tidak 30
seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya (kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya). Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam. Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah. Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim. Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan. Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendirisendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah. Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab alFihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus. Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah alFatihah merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci. Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa alFatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.” Perbedaan antara mushaf Uthman dengan mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].” Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni surah al-Khal’ dan al-Hafd. Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum alQur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian. Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf31
mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis). Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi. Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan nonUthmani. Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi. Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibn Mas’ud), “linuhyiya”menjadi “linunsyira”(Talhah), dan sebagainya. Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.” Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh. Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi 10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam bukubuku studi Alquran yang sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas. *** Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” dengan cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa. Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varianvarian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan. 32
Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya. Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awalawal sejarah Islam yang sangat dinamis. Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi Islam. Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah spiritual yang mereka miliki. Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-selalu bersifat “repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya. Generasi awal-awal Islam telah melakukan pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.
Luthfi Assyaukanie. Dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor Jaringan Islam Liberal.
AL QURAN VERSI TERBARU TELAH DITEMUKAN by El islaam » Thu Jan 18, 2007 11:42 am (www.faithfreedom.org) Kehebohan baru yang bakal mengguncangkan umat Islam datang dari Doktor Gerd R. Puin, seorang pakar filologi dan ahli bahasa-bahasa Semitis. Pada 1979, pakar kaligrafi Arab dan paleografi Alquran dari Universitas Sarre, Jerman, itu diajak Kadi Ismail al-Akwa, Ketua Dinas Purbakala Yaman, untuk meneliti sebuah bungkusan kuno yang ditemukan di Sana'a, ibu kota Yaman, pada 1972. Bungkusan berisi perkamen (kulit kambing) dan kertas (suhuf) itu ditemukan saat pemerintah merenovasi masjid kuno di Sana'a, yang bocor akibat hujan lebat. Paket kuno yang ditemukan para pekerja di atap masjid agung itu kemudian diamankan Kadi Ismail alAkwa karena ia yakin isinya pasti bernilai. Ia lalu meminta bantuan internasional untuk menganalisis tulisan di atas perkamen itu. Akhirnya, baru pada 1979 ia berhasil membujuk Puin untuk menelitinya, dengan bantuan dana dari Pemerintah Jerman. Berdasarkan penelitian awal, bisa dipastikan, perkamen Sana'a itu adalah mushaf Alquran paling tua di dunia, yang ditulis pada abad ketujuh dan kedelapan. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini, ada tiga "kopi" mushaf Alquran yang sudah ditemukan. Dua mushaf Alquran abad kedelapan, masing-masing disimpan di 33
Perpustakaan Tashkent, Uzbekistan, dan di Museum Topkapi di Istambul. Sementara, mushaf ketiga berupa manuskrip Ma'il dari abad ketujuh, disimpan di British Library, London, Inggris. Menurut Doktor Puin, kaligrafi pada mushaf Sana'a itu berasal dari Hijaz, sebuah wilayah Arab, tempat tinggal Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, itu bukan hanya merupakan mushaf tertua di dunia, melainkan salah satu mushaf versi pertama. Perkamen itu mengandung variasi teks yang agak berbeda, surat-suratnya disusun tak biasa, dan gaya serta grafisnya sangat langka. Ia juga melihat adanya jejak teks yang dihapus dan digantikan dengan teks baru. Karena itulah, Puin menyimpulkan, Alquran pernah mengalami evolusi tekstual. "Dengan kata lain, apa yang umat Islam baca saat ini kemungkinan bukan satusatunya "versi" yang diyakini telah diwahyukan Allah kepada Nabi saw.," tulis Abul Taher, pekan lalu, dalam koran Inggris, The Guardian. Kesimpulan Puin itu tentu saja akan sulit diterima umat Islam. Sebab, ayat-ayat dalam Alquran itu diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. secara bertahap (610-632). Dan, setiap menerima wahyu, Nabi saw. selalu membacakannya di hadapan para sahabat. Menurut Ensiklopedi Islam (Jakarta, 1994), selain menyuruh para sahabatnya menghafal, Nabi saw. juga memerintahkan mereka untuk menuliskannya di atas pelepah kurma, lempengan batu, atau kepingan tulang. Menurut hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, untuk menjaga kemurnian Alquran, itu, setiap tahun Malaikat Jibril mendatangi Nabi untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun Nabi saw. wafat, Malaikat Jibril datang dua kali dan mengontrol bacaan Nabi, sebagaimana Nabi sendiri selalu melakukan hal yang sama kepada para sahabat, selama hidupnya. Dengan demikian, terpeliharalah Alquran dari kesalahan dan kekeliruan. Dua puluh sembilan tahun setelah Nabi wafat, di bawah Usman, khalifah ketiga, sebuah versi baku Alquran ditetapkan dan dikodifikasi dalam bentuk buku, akibat adanya pelbagai versi Alquran, baik lisan maupun tertulis, yang banyak beredar di wilayah kekuasaan Islam. Kodifikasi itu dilakukan berdasarkan mushaf yang dihimpun Khalifah Abu Bakar, yang kemudian disimpan di rumah Hafsah, putri Khalifah Umar, yang juga istri Nabi saw. Karena itu, tak pernah ada lagi modifikasi dan kodifikasi Alquran sesudah Usman, yang disusun di bawah pimpinan Zaid bin Sabit. Mushaf Usmani dalam dialek Quraisy itu lalu dibuat lima kopi. Satu kopi disimpan di Madinah (mushaf al-Imam) dan empat lainnya dikirim ke Mekah, Suriah, Basrah, dan Kufah untuk disalin dan diperbanyak (EI, 1994). Apakah perkamen dari Sana'a itu adalah salah satu dari mushaf-mushaf itu, atau salinannya, belum bisa dipastikan. Yang jelas, menurut Puin, sebagaimana dalam tradisi litaratur Arab, perkamen Sana'a itu ditulis tanpa tanda-tanda diacritique (titik, aksen, koma, tanda huruf atau fonetik pengubah nilai). Artinya, perkamen itu ditulis lebih sebagai panduan bagi yang sudah hafal Alquran. Akibatnya, puluhan tahun kemudian, pembaca "Arab gundul" itu makin sulit memahaminya. Karena itulah, untuk memudahkan, Hajjaj bin-Yusuf, Gubernur Irak, pada 694-714, lantas melengkapi teks itu dengan pelbagai tanda. "Ia sangat bangga karena ia telah berhasil memasukkan lebih dari 1.000 alif ke dalam teks Alquran," kata Puin. Kesimpulan Puin yang juga mengejutkan adalah: sumber-sumber pra-Islam, katanya, telah dimasukkan ke dalam Alquran. Misalnya, ihwal As Sahab ar-Rass dan As Sahab al-Aiqa. Soalnya, menurut Geographie karya Ptolomeus, suku Ar Rass hidup di Lebanon sebelum Islam, dan Al Aiqa hidup di wilayah Aswan, Mesir, sekitar 150 tahun sebelum Masehi. Bahkan, Puin tidak yakin Alquran ditulis dalam bahasa Arab murni. Sebab, kata "Quran" sendiri, yang berarti "kalam", "kitab", "bacaan", menurut Puin, berasal dari sebuah kata Aramian, qariyun (penggalan bacaan teks suci saat menjalankan ibadah). Tak aneh bila Khalidi gusar atas usaha para Islamolog Barat seperti Puin, yang tak selalu menganalisis Alquran sebagaimana mereka melakukannya terhadap Injil. Khalidi bahkan cemas bila hasil penelitian Puin itu disebarluaskan, ia akan bisa dihukum oleh umat Islam, sebagaimana dialami Salman Rushdie akibat novelnya, Ayat-Ayat Setan (1988). Atau dihukum seperti Doktor Nasr Abu Zaid, dosen ilmu Alquran dari Universitas Kairo, pada 1995, akibat karyanya Le Concept du texte (1990), menyatakan, "Alquran hanyalah teks sastra, dan satu-satunya cara untuk memahami, menerangkan, menganalisis, dan mengadaptasinya hanyalah melalui pendekatan sastra." Toh, Salim Abdullah, Direktur Arsip Islam Jerman, yang berafiliasi pada Liga Islam Dunia, menanggapi kesimpulan Puin dengan sikap positif. "Doktor Puin sebelumnya telah meminta izin kepada saya, apakah ia boleh mempublikasikan salah satu karangannya tentang dokumen Sana'a. Ketika saya memperingatkan 34
bahwa ia akan menghadapi kontroversi, Puin mengatakan, sudah lama ia menunggu adanya perdebatan mengenai hal itu," kata Salim. Padahal, sebelumnya, akibat kesimpulannya yang mengejutkan itu, Puin sendiri segera diusir dari Yaman dan ia dilarang melanjutkan penelitiannya. Copyright © 2000 Forum Cyber News. All rights reserved.
Naskah dibukukan
35
Hasil forensik menunjukkan tulisan² lain yang ditindihi tulisan baru.
THE DIFFERENT ARABIC VERSIONS OF THE QUR'AN (Formerly entitled, "The Seven Readings of the Qur'an") By Samuel Green (www.answering-islam.org) Most of the Muslims I have spoken to boast about the Qur'an. One of the common boasts that I have been told is that all the Qur'ans in the world are identical, and that it is perfectly preserved and free from any variation. This idea about the Qur'an is often said as a way of attacking the Bible and trying to show that the Qur'an is superior to the Bible. Consider the following quote from a Muslim publication widely used in Australia.
36
No other book in the world can match the Qur'an ... The astonishing fact about this book of ALLAH is that it has remained unchanged, even to a dot, over the last fourteen hundred years. ... No variation of text can be found in it. You can check this for yourself by listening to the recitation of Muslims from different parts of the world. (Basic Principles of Islam, Abu Dhabi, UAE: The Zayed Bin Sultan Al Nahayan Charitable & Humanitarian Foundation, 1996, p. 4, bold added) The above claim is that all Qur'ans around the world are identical and that "no variation of text can be found". In fact the author issues a challenge saying, "You can check this for yourself by listening to the recitation of Muslims from different parts of the world". In this short article we take up this challenge to see if all Qur'ans are in fact identical. As God wills our investigation will be in three parts: 1. We will briefly examine some history related to the recitation of the Qur'an. 2. Then we will compare two Arabic Qur'ans from different parts of the world. 3. Finally, we will look at a Qur'an that has variant readings listed in its margin. To start off our investigation let us begin by reading the introduction to a translation of the Qur'an. N.J. Dawood is an Arabic scholar who has translated the Qur'an, he writes: ... owing to the fact that the kufic script in which the Koran was originally written contained no indication of vowels or diacritical points, variant readings are recognized by Muslims as of equal authority. (N.J. Dawood, The Koran, Middlesex, England: Penguin Books, 1983, p. 10, bold added) According to this Arabic scholar there are variant readings of the Qur'an. But what is the nature of these variant readings? To begin to answer this question we need to realise that the Qur'an has been passed down to us from men called "The Readers". They were famous reciters of the Qur'an in the early centuries of Islam. The way in which the Qur'an was recited by each of these Readers was formerly recorded in textual form by other men called "Transmitters". The text made by a Transmitter is called a "transmission" of the Qur'an. Thus a transmission is the Qur'an according to a particular authoritative Reader. Any modern Qur'an will be written according to one of these transmissions. You cannot read the Arabic Qur'an except according to one of these transmissions. Each of these transmissions has its own chain of narrators (isnad) like a hadith. It is of interest to our investigation to note that different transmissions are currently used around the world today. The following quote is from a Muslim scholar and explains in a little more detail what I have said above: (C)ertain variant readings existed and, indeed, persisted and increased as the Companions who had memorised the text died, and because the inchoate (basic) Arabic script, lacking vowel signs and even necessary diacriticals to distinguish between certain consonants, was inadequate. ... In the 4th Islamic century, it was decided to have recourse (to return) to "readings" (qira'at) handed down from seven authoritative "readers" (qurra'); in order, moreover, to ensure accuracy of transmission, two "transmitters" (rawi, pl. ruwah) were accorded to each. There resulted from this seven basic texts (al-qira'at as-sab', "the seven readings"), each having two transmitted versions (riwayatan) with only minor variations in phrasing, but all containing meticulous vowel-points and other necessary diacritical marks. ... The authoritative "readers" are: Nafi` (from Medina; d. 169/785) Ibn Kathir (from Mecca; d. 119/737) Abu `Amr al-`Ala' (from Damascus; d. 153/770) Ibn `Amir (from Basra; d. 118/736) Hamzah (from Kufah; d. 156/772) al-Qisa'i [sic] (from Kufah; d. 189/804) Abu Bakr `Asim (from Kufah; d. 158/778) 37
(Cyril Glassé, The Concise Encyclopedia of Islam, San Francisco: Harper & Row, 1989, p. 324, bold added) There are in fact many more Readers and Transmitters than those listed above. The table below lists the commonly accepted Readers and their transmitted versions and their current area of use. The Reader
The Transmitter
Current Area of Use
"The Seven"
Warsh
Nafi`
Algeria, Morocco, parts of Tunisia, West Africa and Sudan
Libya, Tunisia and parts of Qatar Qalun Ibn Kathir
al-Bazzi Qunbul Parts of Sudan and West Africa
Abu `Amr al-'Ala'
al-Duri al-Suri
Ibn `Amir Hamzah al-Kisa'i
Hisham Ibn Dhakwan
Parts of Yemen
Khalaf Khallad al-Duri Abu'l-Harith Muslim world in general
Abu Bakr `Asim Hafs Ibn `Ayyash "The Three" Abu Ja`far Ya`qub al-Hashimi Khalaf al-Bazzar
Ibn Wardan Ibn Jamaz Ruways Rawh Ishaq Idris al-Haddad
There are even more Readers than these but these are considered the most authoritative. The information regarding the current area of use comes from Abu Ammaar Yasir Qadhi, An Introduction to the Sciences of the Qur'aan, United Kingdom: Al-Hidaayah, 1999, p. 199.
38
What the above means is that the Qur'an has come to us through many transmitted versions. Not all of these versions are printed or used today but several are. All these facts can be a bit confusing when you first read about it. If you are feeling that way don't worry; it's normal. To make things simple we will now look at two Qur'ans from different parts of the world which are printed according to two different transmissions. We will compare two Qur'ans to see whether or not they are identical as the Muslim quote referred to at the beginning of this article claimed. The Qur'an on the left is the most commonly used Qur'an and is according to the Hafs' transmission. The Qur'an on the right is according to the Warsh' transmission and is mainly used in North Africa.
When you compare these Qur'ans it becomes obvious that they are not identical. There are three main types of differences between them. 1. Graphical/Basic letter differences 2. Diacritical differences 3. Vowel differences
Let us now look at examples of these differences. The following examples are from the same word in the same verse, however, you will notice that on some occasions the verse number differs between the two Qur'ans. This is because the two Qur'ans number their verses differently. Thus surah 2:132 in the Hafs Qur'an is the same verse as surah 2:131 in the Warsh Qur'an. GRAPHICAL/BASIC LETTER DIFFERENCES - There are differences between the basic printed letters of these two Qur'ans. It was these letters that Uthman standardized in his recension of the Qur'an [1]. THE QUR'AN ACCORDING TO THE TRANSMISSION OF IMAM HAFS
THE QUR'AN ACCORDING TO THE TRANSMISSION OF IMAM WARSH
surah 2:132 (wawassaa)
surah 2:131 (wa'awsaa)
surah 91:15 (wa laa yakhaafu)
surah 91:15 (fa laa yakhaafu)
surah 2:132 (himu)
surah 2:131 (hiimu)
39
surah 3:133 (wasaari'uu)
surah 3:133 (saari'uu)
surah 5:54 (yartadda)
surah 5:56 (yartadid)
The above examples show that there are differences between the basic letters of these two Qur'ans. DIACRITICAL DIFFERENCES - Arabic uses dots to distinguish between certain letters that are written the same way. For instance the basic symbol represents five different letters in the Arabic language depending upon where the diacritical dots are placed. For the above example, the five letters with their diacritical dots are as follows: baa', taa', thaa', nuun, yaa'. However these dots were a later development of the Arabic script and were not in use when Uthman standardized the text of the Qur'an. Thus the Uthman' Qur'an did not have any dots to record the exact letter and pronunciation. The text could be read in several ways and was in this way ambiguous in places. It served as a guide for the different Readers of the Qur'an, but not as a complete guide because the diacritical dots were not yet in use. The two Qur'ans that we are examining come from two different Readers and so have two different oral traditions. These traditions have their own unique system of where the dots (and vowels) should go. Here we see another difference between these two Qur'ans for they do not have the dots in the same place. We see that for the same word these two Qur'ans have the dots in different positions thus making different letters. (Remember that verse/aya numbering differs between these two Qur'ans.) THE QUR'AN ACCORDING TO THE TRANSMISSION OF IMAM HAFS
THE QUR'AN ACCORDING TO THE TRANSMISSION OF IMAM WARSH
surah 2:140 (taquluna)
surah 2:139 (yaquluna)
surah 3:81 (ataytukum)
surah 2:259 (nunshizuhaa)
surah 3:80 (ataynakum)
surah 2:258 (nunshiruhaa)
40
From the above examples we can see that there are many dots that are different between these two Qur'ans. The oral traditions are not the same. VOWEL DIFFERENCES - In the Arabic script of the modern Qur'an the vowels are indicated by small symbols above or below the basic printed letters. Like the diacritical dots, these vowel symbols were a later development in the Arabic script and were not in use when Uthman standardized the text of the Qur'an. Thus the vowels too were not written in the Uthman' Qu'ran. With the vowels we see another difference between these two Qur'ans, for on many occasions they do not have the same vowels used for the same word. Consider the following examples of how the vowels differ between these two Qur'ans. THE QUR'AN ACCORDING TO THE TRANSMISSION OF IMAM HAFS
THE QUR'AN ACCORDING TO THE TRANSMISSION OF IMAM WARSH
surah 2:214 (yaquula)
surah 2:212 (yaquulu)
surah 2:10 (yakdhibuuna)
surah 2:9 (yukadhdhibuuna)
surah 2:184 (ta'aamu miskiinin)
surah 2:183 (ta'aami masakiina)
surah 28:48 (sihraani)
surah 28:48 (saahiraani)
Some Muslims claim that the differences between the diacritical dots and the vowels are not the result of the ambiguity of the Uthman' text but that the "accepted variants" are all part of the revelation of the Qur'an. Thus there is not one way to recite the Qur'an but many ways - many different oral traditions. Other Muslims though disagree with this; they say there is only one way to recite the Qur'an and that the variants come from The Readers [2]. Regardless of the answer to this question the fact remains that there are real differences between these two Qur'ans and that is what we are considering in this article. There are differences in the basic letters, diacritical dots, and vowels. These differences are small, but they do have some effect on the meaning. The following is a summary from a scholar who has done a more comprehensive study of this than I have. Again he is only comparing two of the many transmissions: Lists of the differences between the two transmissions are long, ... (however) The simple fact is that none of the differences, whether vocal (vowel and diacritical points) or graphic (basic letter), between the transmission of Hafs and the transmission of Warsh has any great effect on the meaning. Many are 41
differences which do not change the meaning at all, and the rest are differences with an effect on meaning in the immediate context of the text itself, but without any significant wider influence on Muslim thought. One difference (Q. 2/184) has an effect on the meaning that might conceivably be argued to have wider ramifications. (Adrian Brockett, `The Value of the Hafs and Warsh transmissions for the Textual History of the Qur'an', Approaches to the History of the Interpretation of the Qur'an, ed. Andrew Rippin; Oxford: Clarendon Press, 1988, pp. 34 and 37, bold added) Our investigation so far has only considered two transmissions of the Qur'an but as we saw at the beginning of this article there are many more transmissions that could also be examined for variants. The book below has done just that. It is a collection of variant readings from The Ten Accepted Readers.
Translation Making Easy the Readings of What Has Been Sent Down Author Muhammad Fahd Khaaruun The Collector of the 10 Readings From al-Shaatebeiah and al-Dorraah and al-Taiabah Revised by Muhammad Kareem Ragheh The Chief Reader of Damascus Daar Beirut In this edition of the Qur'an Muhammad Fahd Khaaruun has collected variant readings from among The Ten Accepted Readers and included them in the margin of the Qur'an (Hafs' transmission). These are not all the known variants. There are other variants that could have also been included but the author has limited himself to the variants of The 10 Accepted Readers. As the title of his book suggests this makes it easy to know what the variant readings are because they are clearly listed with the text of the Qur'an. 42
Below is a copy of a random page from this Qur'an. You can see the variant readings listed in the margin. About two thirds of the ayat (verses) of the Qur'an have some type of variant.
I am often told by Muslims that the differences between the different Qur'ans are only a matter of pronunciation. However this is not the case. Subhii al-Saalih is an Islamic scholar in this area. He summarizes the differences into seven categories [3]. 1. Differences in grammatical indicator (i`raab). 2. Differences in consonants. 3. Differences in nouns as to whether they are singular, dual, plural, masculine or feminine. Differences in which there is a substitution of one word for another. 4. Differences due to reversal of word order in expressions where the reversal is meaningful in the Arabic language in general or in the structure of the expression in particular. 5. Differences due to some small addition or deletion in accordance with the custom of the Arabs. 6. Differences due to dialectical peculiarities. What is clear from this list is that the differences are more than just differences in pronunciation. CONCLUSION. We began this article by considering the following quote from a Muslim organisation about the Qur'an: No other book in the world can match the Qur'an ... The astonishing fact about this book of ALLAH is that it has remained unchanged, even to a dot, over the last fourteen hundred years. ... No variation of text can be 43
found in it. You can check this for yourself by listening to the recitation of Muslims from different parts of the world. (Basic Principles of Islam, Abu Dhabi, UAE: The Zayed Bin Sultan Al Nahayan Charitable & Humanitarian Foundation, 1996, p. 4, bold added) I have checked this claim for myself by obtaining Qur'ans from different parts of the world and comparing them to see if they are absolutely identical. What my research has revealed is that the above claim about the Qur'an is wrong. The Qur'ans of the world are not absolutely identical. There are small differences in the basic letters, diacritical dots, and vowels. In fact there are Qur'ans which list these variants in their margin. This means that how the Qur'an is recited in different parts of the world is also not absolutely identical. Since the Qur'an has variation within its text and oral tradition it is not superior to the Bible. Please do not make or believe such exaggerated claims about the Qur'an.
Endnotes: [1] How and Why Uthman Standardized the Qur'an. [2] The Origin of the Different Readings of the Qur'an. [3] Subhii al-Saalih, Muhaahith fii `Ulum al-Qur'aan, Beirut: Daar al-`Ilm li al-Malaayiin, 1967, pp. 109ff.
Demikianlah tiga artikel dari penulis yang berbeda. Kiranya memberikan pencerahan bagi Anda untuk mempelajari lebih jauh lagi studi kritis terhadap teks Al Qur’an .
YAHYA WALONI: Pembaca yang budiman! Ternyata kelemahan, kekurangan dan kepalsuan Alkitab sudah diketahui oleh beberapa teolog Kristen ternama. Dengan sikap adil, jujur dan terbuka (transparan) mereka memberikan statemet (pernyataan) tentang ketidakbenaran Alkitab tersebut sebagai berikut: A. DR. G.C. Van Niftrik Dan DR. B.J. Boland: “Kita tidak usah malu-malu, bahwa terdapat berbagai kekhilafan di dalam Alkitab; kekhilafan-kekhilafan tentang angka-angka perhitungan; tahun dan fakta dan tak perlu kita pertanggungkan kekhilafankekhilafan itu pada caranya isi Alkitab telah disampaikan pada kita, sehingga kita akan dapat berkata: Dalam naskah aslinya tentu tidak terdapat kesalahan-kesalahan, tetapi kekhilafan itu barulah kemudian terjadi di dalam turunan naskah itu” (Dogmatika Masa Kini, BPK Jakarta, 1967, hal 298)
B. DR. R. Soedarmo: “Dengan pandangan bahwa Kitab Suci hanya catatan saja dari orang, maka diakui juga bahwa di dalam Kitab Suci mungkin sekali ada kesalahan. Oleh karena itu Kitab Suci dengan bentuk sekarang masih dapat diperbaiki” (Ikhtisar Dogmatika, BPK Jakarta, 1965, hal 47) C. M.H. Finlay: “Sungguhpun demikian, kita mengakui adanya kemungkinan bahwa pada zaman dulu ketika penyalinan buku-buku dilakukan dengan tulisan tangan ada kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja” (Tanya Jawab Mengenai Iman Kristen, Yayasan Kalam Hidup, Bandung, hal 13) Dari pernyataan para teolog Kristen ini, menunjukkan Kitab Suci Kristen: 1. Sekedar catatan dari orang saja (DR. Soedarmo) 2. Ditulis tanpa dasar naskah asli, itu sebabnya dalam prediksi kronologis sejarah TIDAK JELAS (DR. G.C. Van Niftrik Dan DR. B.J. Boland) 3. Ditulis (penyalinannya) berdasarkan anggapan tanpa bukti kebenaran akurat (M.H. Finlay) Menyikapi statement atau pernyataan dari ketiga pakar teolog Kristen sebagaimana tersebut di atas, sangat jelas, Kitab Suci Kristen dan iman Kristen terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanpa titik tolak (landasan iman) yang jelas dan benar. Oleh karenanya saya sarankan! Kembalilah kepada dasar kebenaran dan sumber 44
kebenaran sejati (Back to Basic) yaitu Al Quran yang memiliki pondasi kebenaran BUKAN dari pikiran dan tangan manusia tapi didasari oleh hikmat dan kebesaran Allah SWT. – hal 264-266 TANGGAPAN: Pernyataan-pernyataan beberapa teolog di atas tidak mewakili pandangan Kristen mengenai Kitab Suci. Pandangan di atas mewakili kelompok teolog yang berpandangan Liberal. Anda belum memberikan kesempatan pada para teolog Injili atau yang memiliki pandangan yang berbeda dengan mereka. Saya tidak membantah ada sejumlah persoalan dalam salinan naskah dan proses terjemahan. Namun Anda terlalu terburu-buru jika menyebutkan semua itu sebagai sebuah kontradiksi, kepalsuan, kebohongan dari Kitab Suci orang Kristen. Setidaknya (sekalipun saya tidak menyetujui pandangan teolog di atas) teolog-teolog di atas mewakili sikap berani kritis terhadap imannya dan Kitab Sucinya. Sesuatu yang belum tentu mudah bahkan sulit dilakukan di dunia Islam. Kiranya berbagai penemuan-penemuan akhir-akhir ini termasuk penemuan naskah di Masjid San’a akan memberikan dorongan bagi sarjana Muslim untuk lebih berani kritis terhadap Kitab Al Qur’an dan keimanannya. Berkaitan dengan ulasan Anda pada halaman 189-272 yang diberi judul MENGUNGKAP FAKTA KONTRADIKSI, HILANG DAN KETIDAKJELASAN MAKNA KITAB SUCI KRISTEN, berikut tanggapan saya. Bahwasanya berbagai dugaan yang Anda yakini “kontradiksi”, “hilang” dan “tidak jelas” tidak seharusnya dipahami dalam pengertian di atas, melainkan berbagai persoalan dalam penyalinan teks sebagaimana dikatakan Pdt. Arnold Tindas, STh., M.Div sbb: “Sebenarnya ketidaksesuaian itu lebih mudah dianggap sebagai kesukaran-kesukaran daripada sebagai pertentangan-pertentangan. Kalau demikian tentu akan bisa dipahami dan ditemukan jalan keluarnya, sehingga tidak dimengerti sebagai pertentangan. Bahkan dengan melihat ketidaksesuaian itu sebagai kesukaran, kita akan menyadari betapa penting bagianbagian itu tercantum dalam Alkitab”2 Selanjutnya Arnold Tindas memberikan penjelasan: “Masalah ketidaksesuaian dalam jumlah bilangan, yang muncul dengan bentuk bervariasi itu, sebenarnya dapat dipahami melalui beberapa cara pemecahan. Kebanyakan para pembela ketaksalahan Alkitab setuju bahwa ketidaksesuaian itu mungkin terjadi karena kesalahan dalam penyalinan dari naskah asli Alkitab; mungkin karena penulis menggunakan angka bulat atau angka kira-kira; atau mungkin karena penulis menggunakan cara hitung yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh Kenneth Howkins bahwa yang harus diingat adalah huruf-huruf dari alfabet Ibrani pada masa sesudah pembuangan dan huruf-huruf Yunani dipakai juga untuk bilangan. Karena adanya kesamaan beberapa huruf bisa menyebabkan kesalahan-kesalahan dalam penyalinan…..Bagian-bagian yang tidak bersesuaian, yang digolongkan dalam kesalahan penyalinan diantaranya adalah jumlah bilangan yang disebutkan dalam 2 Samuel 10:18 dengan 1 Tawarikh 19:18. Dalam 2 Samuel 10:18 disebutkan bahwa Daud membunuh orang Aram sebanyak 7000 ekor kuda kereta, sedangkan dalam 1 Tawarikh 19:18 disebutkan 7000 ekor kuda kereta. Kesalahan-kesalahan sejenis ini dijumpai secara bervariasi dalam Perjanjian Lama. Sebagian besar perbedaan itu disebabkan penyalinannya dari naskah asli yang sudah kusut…Kemungkinan besar kesalahan penyalinan Dalam kasus 2 Samuel dan 1 Tawarikh, disebabkan karena penggunaan huruf-huruf Ibrani untuk menulis bilangan. Huruf zayin bila memakai titik di atas berarti 7000, sedangkan huruf nun dengan titik di atas berarti 700. Bila naskah asli sudah kusut, bisa saja sebagian garis pada bagian bawah nun tidak nampak lagi, dan karena itu akan mirip dengan huruf zayin, sehingga angka 700 akan disalin menjadi 7000...3 Bruce Metzger dalam bukunya The Text of the New Testament mencatat ada dua bentuk perubahan dalam penyalinan Kitab Perjanjian Baru yaitu perubahan yang tidak disengaja (unintentional changes) dan perubahan yang disengaja (intentional changes)4. Berbagai perubahan ini menimbulkan sejumlah perbedaan dalam penerjemahan Kitab Suci dalam berbagai bahasa. Yang termasuk perubahan yang tidak disengaja antara lain disebabkan: 1. Kesalahan melihat atau kesembronoan dalam memeriksa naskah sumber 2
Apakah Inerrancy Alkitab itu? Sinode Gereja Masehi Protestan Umum Manado & Yayasan “Daun Family” Manado, 1993, hal 47-48 3
Ibid., hal 48-50
4
http://www.bible-researcher.com/causes.html
45
2. Kemiripan pengucapan atau pengucapan yang tidak tepat 3. Kesalahan mengingat atau antisipasi 4. Menggabungkan catatan kecil secara keliru yang diterima sebagai koreksi Yang termasuk perubahan yang disengaja antara lain disebabkan: 1. Untuk memperjelas makna 2. Untuk menyelaraskan bagian yang berhubungan 3. Untuk membuang kesulitan yang bakal menimbulkan penjelasan yang membosankan Sementara itu, Anwar Tjen mengulas dalam artikelnya, “Satu Alkitab Banyak Versi: Mengapa?” menjelaskan mengenai keanekaragaman penerjemahan sbb: “Dalam kaitan dengan fokus pembahasa kita, keanekaragaman yang diperlihatkan beberapa terjemahan Alkitab dewasa ini, baik dalam bahasa nusantara maupun bahasa asing, dapat ditinjau melalui empat aspek pokok berikut: (1) perbedaan teks sumber yang menjadi dasar terjemahan; (2) perbedaan tafsiran terhadap teks sumber (3) perbedaan prinsip penerjemahan (4) perbedaan sasaran terjemahan, yakni masyarakat penerima atau pengguna terjemahan”5 Dari penjelasan tersebut di atas, tuduhan Anda bahwa dalam Kitab Suci Kristen ada kontradiksi,teks yang hilang, dan tidak jelas sebenarnya adalah masalah-masalah internal yang disebut dengan kesukarankesukaran dalam proses studi teks dan keanekaragaman penerjemahan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Kesukaran-kesukaran sebagaimana di atas pun ditemui dalam Al Qur’an. Namun berbagai kesukaran tersebut tidak sedikitpun mengubah doktrin utama Islam, sebagaimana dikatakan M. Hadi Ma’rifat, Professor of Qoranic Science at Theological Seminary sbb: “Adanya kesalahan-kesalahan imla dalam mushaf tidak menimbulkan cela dalam fondasi dan kemuliaan Al Quran”6. Dalam salah satu butir argumentasinya, beliau mengakui adanya kesalahan-kesalahan dalam penulisan Al Qran dengan mengatakan sbb: “Kesalahan tulisan Al Quran karena ketidaktahuan dan penyepelean terhadap masalah ini adalah terkait dengan para penulis terdahulu, bukan terkait dengan isi tulisan itu sendiri”7Demikian pula sekalipun ada berbagai kesukaran yang diakibatkan kesalahan penyalinan, namun hal tersebut tidak mengubah doktrin utama Kekristenan. DR. William Campbell mengulas mengenai variasi bacaan Qur’an sbb: “In spite of this great effort to prevent the occurence of varian treadings in the text of the Qur’an, quite a number may still be found” (sekalipun ada upaya untuk mencegh munculnya variasi berbagai bacaan dalam naskah Qur’an, namun hal tersebut masih saja ditemukan)8. Beliau mengutip kajian Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, terbitan The American International Printing Co. Washington, D.C. 1946 notes 3674, p.1004 sbb: Teks Utsman membaca Qs 33 (Al Ahzab):6 dari Abad V-VII Hijriah sbb: “Nabi itu dekat bagi orang-orang beriman dibandingkan mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”. Namun naskah Ubai bin Ka’ab membaca demikian: “Nabi itu dekat bagi orang-orang beriman dibandingkan mereka sendiri dan dia adalah ayah bagi mereka dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”9. Muhamad Hamidullah dengan seksama meneliti berbagai variasi bacaan ini dalam kata pengantar terjemahan Qur’an dalam bahasa Prancis. Dia membagi dalam 4 penyebab variasi pembacaan Qur’an yaitu: 1. Variasi bacaan disebabkan penyalin yang melakukan kesalahan saat penyalinan 2. Variasi bacaan disebabkan seseorang yang menuliskan catatan penjelasan di pinggir halaman 3. Variasi bacaan disebabkan izin yang pertama kali dilakukan Muhamad untuk mengulang bacaan Qur’an dalam dialek yang dipergunakan oleh penduduk Mekah
5
Satu Alkitab Beragam Terjemahan: Kumpulan Makalah Seminar Dalam Rangka HUT Emas Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2005, hal 89
6
Sejarah Al Quran, Al Huda, Jakarta 2007, hal 187
7
Ibid., hal 188
8
The Qur’an and the Bible: In the light of history and science, Midle East Resources, 1986, p. 123
9
Ibid.
46
4. Variasi bacaan disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak 150-200 tahun setelah Hijrah, para penyalin Qur’an tidak menggunakan tanda baca baik vokal maupun titik yang membedakan antara masingmasing huruf yang dituliskan10 Bahkan Hamidullah mengakui bahwa, “There are hundreds of vriant readings of this type. But the fact that the Quran of such and such a teacher has a certain addition which the others don’t have, leaves no doubt as to origin of that addition” (Ada ratusan variasi bacaan yang tersedia. Namun faktanya bahwa Qur’an sebagai guru yang demikian, memiliki beberapa tambahan yang tidak dimiliki oleh yang lain, tidak meninggalkan sdikitpun keraguan sebagai sumber dari penambahan tersebut)11 PENUTUP Demikianlah tanggapan penulis atas beredarnya buku karya DR. Yahya Waloni yang beredar bebas dengan memberikan informasi yang bias dan menyudutkan iman Kristen. Kiranya tanggapan ini dapat menjadi pembanding dan penyeimbang data dan memperkaya wawasan DR. Yahya Waloni dan pembaca Muslim maupun Kristen yang menaruh minat pada kajian Apologetik dan Perbandingan Agama. YHWH Eloheinu we Avotenu yevarek etkem be shem Yahshua Moshienu! (YHWH Tuhan kami dan Bapa kami memberkati kalian semua dalam nama Yahshua Mesias kami)
10
Ibid., p. 123-124
11
Ibid., p, 123
47