Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
MENGKAJI REVOLUSI MENTAL DALAM KONTEKS PENDIDIKAN MENTAL REVOLUTION WITHIN EDUCATIONAL CONTEXTS Bambang Indriyanto Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Kemdikbud Komplek Kemdikbud, Gedung E lt. 19 e-mail:
[email protected] Naskah diterima tanggal: 29/11/2014; Dikembalikan untuk revisi tanggal: 4/12/2014; Disetujui tanggal: 21/12/2014 Abstract: The objective of this article is to assess the meaning of mental revolution within educational context from two perspectives namely citizenship education and the national education system. In this article, the proposition purposed is that the citizenship education as a part of the national education system. In order to materialize the efficacy of citizenship, education roles of teachers are enhanced by including transferring, transforming, and transcending roles. With these three roles, education outcomes will lead to the establishment of Indonesian to become productive and democratic, as well as are able to preserve social harmonies. To achieve both the objectives of education system as well as citizenship education, curriculum serves as reference and direction for teachers in the articulation of concepts of subject matters. Keywords: characters, mental, teacher professionalism, dimensions of education, citizenship education. Abtsrak: Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji makna revolusi mental dalam konteks pendidikan dari dua sudut pandang, yaitu pendidikan kewarganegaraan dan sistem pendidikan nasional. Pada tulisan ini proposisi yang diajukan adalah bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Untuk mewujudkan kemanjuran pendidikan kewarganegaraan peran guru diperluas dengan mencakup peran transferring, transforming, dan transcending. Dengan ketiga peran ini, hasil pendidikan dalam arti outcome dapat mendorong pembentukan manusia Indonesia yang produktif dan bersikap demokratis serta mampu memelihara harmonisasi kehidupan sosial. Untuk mencapai tujuan sistem pendidikan pada umumnya dan pendidikan kewarganegaraan pada khususnya, kurikulum berperan sebagai rujukan dan arah bagi guru dalam mengartikulasikan konsep-konsep yang terkandung dalam mata pelajaran. Kata kunci: karakter, mental, profesionalisme guru, dimensi pendidikan, pendidikan kewarganegaraan.
Pendahuluan
mempunyai kesamaan makna dengan karakter
Pada harian Kompas 10 Mei 2014, Presiden Jokowi,
maka revolusi mental tersebut tersirat dalam Cita
ya ng p ada wakt u it u m asih menjadi cal on
nomor 8 yang berbunyi “kami akan melakukan
presiden, menulis sebuah artikel dengan judul
revolusi karakter bangsa”. Nawa ini dijabarkan
“Revolusi Mental” (Widodo, 2014). Argumentasi
menjadi lima strategi. Di antara lima strategi
yang dikemukakan adalah perubahan ke arah
tersebut yang relevan dengan topik bahasan pada
kondisi yang le bih baik , ti dak hany a pa da
tulisa n ini ad alah “me mbangun pend idik an
perubahan institusi, melainkan juga perubahan
kewarganegaraan, mengevaluasi model penye-
pada manusia. Namun dalam kampanye menjadi
ragaman dalam sistem pendidikan nasional, dan
pre side n ka ta r evol usi ment al t idak secara
jaminan hidup yang memadai bagi para guru
eksplisit tetapi muncul dalam visi dan misi dalam
terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah
bentuk Nawa Cita. Jika kata mental diasumsikan
terpencil”.
554
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
Berbagai pendapat mencoba untuk meng-
pendidikan nasional pada umumnya dan pen-
interpretasikan revolusi mental. Bagir (2014)
didikan kewargaraan pada khususnya. Penyajian
melihat revolusi mental merupakan bagian dari
perbedaan konsep pada tulisan ini dimaksud
keb udaya an. D ari sudut pand ang i ni, m aka
sebagai titik tolak komparatif tentang konsep
revolusi mental merupakan perubahan sistem nilai
mental dan karakter. Inferensi yang diambil dari
yang berlaku pada masyarakat yang menjadi
perbedaan tersebut, dengan mempertimbangkan
panutan dalam berp eril aku. Sudut pand ang
Ci ta nomor 8, lebi h de kat pada per ubahan
serupa, namun lebih makro, dikemukakan oleh
karakter.
Abduhzein (2014) yang juga menekankan pada
Ber dasa rkan pad a ar gume ntasi di ata s,
perubahan perilaku berdasarkan pada suatu
tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji makna
sistem nilai. Dalam argumentasinya, intervensi
revolusi mental dalam konteks pendidikan dari dua
yang perlu dilakukan adalah strategi kebudayaan
sudut pand ang, yai tu p endi dika n ke warg a-
da n pe ndid ikan. Khusus be rkenaan deng an
negaraan dan sistem pendidikan nasional. Pada
pendidikan adalah pendidikan karakter. Dengan
tulisan ini proposisi yang diajukan adalah bahwa
menekankan pada konteks rev olusi da lam
pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian
orientasi nilai budaya, Massardi (2014) menge-
dari sistem pendidikan nasional. Ketika pendidikan
mukakan bahwa revolusi merupakan perubahan
kewarganegaraan merupakan bagian sistem
fundamental dan cepat.
pendidikan nasional, maka tidak merupakan mata
Revolusi mental memang berkaitan dengan
pelajaran melainkan dapat berupa kelompok mata
kar akte rist ik k epri badi an m anusia y ang di-
pelajaran atau sebagai suatu program pendidikan
refleksikan dalam perilaku, sehingga terminologi
yang tujuannya membangkitkan kesadaran siswa
revolusi mental praktis dapat berkaitan dengan
tentang posisinya sebagai warga negara In-
berba gai bida ng sepanjang bid ang tersebut
donesia. Berk aitan deng an pr oposi si ba hwa
melibatkan peran manusia di dalamnya. Oleh
pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu
karena itu, menjadi tetap relevan jika Avianni
program, maka menjadi relevan untuk menge-
(2014) menjadikan revolusi mental sebagai
tengahkan peran guru sebagai pendidik, bukan
momentum untuk mengubah perilaku para politisi
sebagai pengajar mata pelajaran.
yang bermain kotor untuk menjadi sikap mendukung sistem (politik) yang demokratis.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
Dalam ranah disiplin Psikologi, mental dan
membahas tentang arah sistem pendidikan.
karakter merupakan dua konsep yang bersifat
Pembahasan ini akan menggunakan perspektif
menjelaskan dua fenomena dari satu entitas yang
filosofis. Bagian ini menjadi titik tolak untuk
disebut kepribadian. Dalam teks Psikologi, mental
membahas pedidikan kewaarganegaraan dan
berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan. Oleh
peran guru. Oleh karena itu, pembahasan tentang
ka rena itu, pe mbahasa n be rkenaan deng an
program pendidikan kewarganegaraan dan peran
mental memusatkan pada kesehatan mental
guru menjadi bagian kedua dan ketiga.
(mental health) dan ketidakseimbangan mental (mental disorder). Di sisi lain, karakter men-
Kajian Pustaka
cerminkan perilaku atau penampilan fisik dari
Tujuan Sistem Pendidikan
seseorang. Dalam konteks ini, perilaku atau
Pendidikan merupakan suatu usaha sadar untuk
penampilan fisik bergantung pada kemampuan
mengantarkan siswa menjadi orang yang lebih
mempersepsikan terhadap nilai budaya yang
berkompeten. Dalam konteks ini, kompeten tidak
ber laku
hanya berarti mempunyai prestasi akademis yang
pad a
sa tu
k esat uan
masy arak at
(Strickland, 2001; Farenga & Ness, 2005).
tinggi, melainkan juga menjadi manusia yang
Meskipun terdapat perbedaan antara konsep
bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
mental dan karakter, namun tulisan ini merujuk
dirinya sebagai warga negara suatu bangsa atau
pada Cita nomor 8 yang berbunyi “kami akan
individu sebagai bagian dari kesatuan sosial
melakukan revolusi karakter bangsa”. Untuk itu,
masyarakat. Dalam perspektif ekonomi pendidikan
perspetif pendidikan dipusatkan pada sistem
berkompeten diukur dari dua indikator yaitu output
555
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
dan outcome. Output merupakan hasil langsung
komotorik. Kemajuan dalam berbagai kehidupan
dari kegiatan belajar yang berlangsung pada
manusia dalam bernegara dan bermasyarakat
periode tertentu. Indikator output adalah prestasi
tidak menggoyahkan tujuan pendidikan pada tiga
akademis dan perubahan perilaku. O utcome
ranah ini. Perbedaan terletak pada substansi dari
merupakan perubahan cara berpikir dan ber-
masing-masing ranah.
perilaku setelah mengikuti proses pendidikan pada
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
jenjang pendidikan tertentu. Indikator outcome
19 45 d itek anka n ba hwa sal ah satu tujuan
adalah profesionalisme, prestasi pada jenjang
pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia
pendidikan lebih lanjut, tingkat pendapatan yang
adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
diperoleh sebagai hasil dari keterampilan/keahlian
Kata mencerdaskan kehidupan bangsa tentu
dari proses pendidikan (Windham & Chapman,
terkait dengan peran sistem pendidikan nasional.
1990).
Menjadi manusia yang cerdas sebagai konse-
Namun proses pendidikan tidak berlangsung
kuensi dari upaya Pemerintah Indonesia tidak
dalam isolasi karena pendidikan pada dasarnya
lepas dari konteks kebudayaan yang berlaku
merupakan proses interaksi antara guru sebagai
dalam ke-Indonesian. Hal itulah yang dapat
sumber informasi dengan siswa sebagai pihak
dii nter pert asik an d ari pend apat Ki Hadj ar
penerima informasi (Indriyanto, 2014). Proses
Dewantara dari argumentasinya tentang pe-
interaksi merupakan bagian keseharian dalam
ngembangan sistem pendidikan. Dalam argu-
setiap kehidupan manusia sebagai makluk sosial
mentasi ini, pesan yang disampaikan adalah
oleh karena itu “Human life is group life, and
bahwa mendidik tidak bisa bebas dari konteks,
concerted action arises out of the ability of persons
meskipun di lain pihak mendidik harus menjamin
to be objects of both their own activity and others”
kemerdekaan berpikir dan tidak terbelenggu pada
(Denzin, 2005). Makna dari pernyataan ini jika
tekanan kebatinan.
ditransformasikan dalam proses pendidikan yang
Dalam makna yang sama tetapi dengan
be rlangsung di rua ng kela s ad alah bahwa
ungkapan yang berbeda Dewey (2001) meng-
pe ndid ikan har us b ela ngsung d alam sua tu
ajukan tiga kriteria untuk menyatakan bahwa
kelompok. Kegiatan yang tercipta dalam suatu
pendidikan dikatakan baik. Pertama, tujuan
proses interaksi tersebut dapat menjadi obyek
pendidikan harus berkembang dari kondisi yang
pembelajaran bersama atau obyek pembelajaran
ada sekarang (current). Tujuan pendidikan pada
secara individual. Meskipun konteks penjelasan
dasarnya tidak statis. Jika hal tersebut terjadi,
di atas lebih mencerminkan suasana proses
ni scay a pe ndid ikan tid ak a kan memb erik an
pendidikan dalam kelas yakni pendidikan jalur
sumbangan yang bermakna bagi perkembangan
formal, namun penjelasan di atas juga dapat
kehidupan berbangsa dan menjadikan manusia
di jadi kan rujukan dal am m emak nai proses
menjadi individu yang mandiri. Kedua, berkaitan
pendidikan yang terjadi pada jalur nonformal.
dengan tujuan p ertama pend idikan bersi fat
Dalam hal ini ruang kelas tidak semata-mata
fleksibel. Dalam konotasi ini tujuan pendidikan
dimaknai sebagai bangunan yang menjadi bagian
selalu berubah sesuai dengan perkembangan
dari gedung sekolah, tetapi ruang kelas yang
za man dan kont eks sosi al “ loka si” sist em
mencerminkan sebagai suatu lembaga yang
pendidikan. Ketiga, tujuan pendidikan mem-
memungkinkan proses pendidikan dapat ber-
berikan ruang kebebasan baik dalam berpikir
langsung.
maupun bertindak untuk lebih mengembangkan
Dalam konteks yang lebih luas kebermaknaan
potensi bagi guru dan siswa dalam menjalankan
proses pendidikan dapat diinterpretasikan ketika
proses pendidikan secara kolaboratif antara
terdapat kesepakatan antara guru di satu pihak
ke dua bela h pi hak. Arg umentasi Dew ey i ni
da n ke lomp ok siswa di lain pihak. Seca ra
dikemukakan berdasarkan pada pendapatnya
konvensiona l
tuj uan
bahwa: “the aim of education is to enable individuals
pendidikan cenderung didasarkan pada taksonomi
to continue their education or that the object and
Bloom. Berdasarkan pada taksonomi ini ranah
reward of learning is continued capacity for growth
pendidikan meliputi kognitif, afektif, dan psi-
(Dewey, 2001). Pendidikan yang mempunyai
556
pe mbahasan
tentang
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
jam inan fle ksib ilit as a kan mend orong pa da
lingkungannya dan mempunyai tanggung jawab
kreativitas siswa. Siswa diberikan kebebasan
terhadap keberlangsungan kehidupannya, ke-
untuk melakukan eksplorasi terhadap berbagai
luarganya, dan bangsanya. Semua ini telah
sumber belajar yang menstimulasi daya pikirnya
dirumuskan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor
unt uk m endorong dir inya mengemb angk an
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
potensi intelektualismenya menjadi suatu buah
(UU 20/2003) sebagai berikut:
pikir yang kelak menjadi bekal dalam memasuki
“Pendidikan nasional berfungsi mengem-
kehidupan nyata dalam masyarakat. Namun
bangkan kemampuan dan membentuk watak
ke beba san dala m pr ose s pe ndid ikan tid ak
serta peradaban bangsa yang bermartabat
mempunyai makna yang sama dengan liberalisasi.
da lam rang ka m ence rda skan kehidup an
Dalam konteks kebebasan masih ada peran
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
pengendalian baik oleh guru maupun sistem
potensi peserta didik agar menjadi manusia
manajemen pada tingkat sekolah (Buchen, 2000).
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Pendidikan merupakan suatu proses peru-
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
bahan diri manusia dari kondisi yang kurang baik
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
menjadi kondisi yang lebih baik. Dalam konteks
war ga
ini, perubahan tidak hanya pada pola berpikir
bertanggung jawab”.
me lainkan juga pad a p erub ahan per ilak u.
Untuk menjamin ketercapaian tujuan tersebut
Kombinasi dari pola berpikir dan perilaku, menurut
(UU 20/2003) juga telah memberikan pedoman
argumentasi Peters (1972) merupakan per-
yang dirumuskan pada Pasal 4 sebagai berikut:
wujuda n ka rakt er. Mesk ipun dem ikia n, d ia
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demo-
mengemukakan bahwa proses pendidikan bukan
kratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
merupakan proses reformasi pada diri manusia.
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
Alasan yang dikemukakan adalah pendidikan tidak
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kema-
mengubah manusia dari kondisi salah menjadi
negar a
ya ng
d emok rati s
se rta
jemukan bangsa.
kondisi benar. Proses pendidikan adalah mening-
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu
katkan kemampuan manusia menjadi lebih mampu
ke satuan y ang sist emik dengan sist em
dalam mengatasi persoalan yang dihadapinya.
terbuka dan multimakna.
Pengertian pendidikan sebagai proses reformasi
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
seolah-olah mengubah manusia dari tidak bernalar
proses pembudayaan dan pemberdayaan
menjadi manusia yang bernalar. Proses pen-
peserta didik yang berlangsung sepanjang
didikan menanamkan nilai kepada manusia.
hayat.
Dengan nilai manusia didorong untuk berpikir
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
berdasarkan suatu sistem nilai yang berlaku. Oleh
ket elad anan, me mbangun kema uan,dan
karena itu, dia mengemukakan bahwa “The notion,
mengembangkan kreativitas
the refore, of b eing ‘ed ucat ed’ has become
dalam proses pembelajaran.
contingently but firmly associated with knowledge and understanding (Peters, 1972).
peserta didik
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis,
Merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang menjadi arah perumusan tujuan pendidikan maka
da n
be rhit ung
bagi
seg enap
war ga
masyarakat.
sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia tidak
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan mem-
bisa steril dari konteks kebudayaan dan sistem
berdayakan semua komponen masyarakat
nilai yang berlaku di Indonesia. Proses penalaran
melalui peran serta dalam penyelenggaraan
melalui proses pendidikan mengarahkan setiap
dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
peserta didik menjadi manusia Indonesia yang cerdas melalui proses berpikir. Melalui
Penjaminan mutu merupakan pendekatan
proses
untuk merealisasikan pencapaian tujuan pen-
pe ndid ikan set iap manusia Indonesi a ya ng
didikan seperti yang dipesankan oleh Pasal 3 dan
terdidik mempunyai tingkat sensitivitas terhadap
Pasal 4 tersebut. Dalam pembahasan berikut
557
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
penjaminan mutu akan diketengahkan dalam dua
ha rus
subtopik program pendidikan kewarganegaraan
mel aink an j uga dala m be ntuk penjami nan
dala m
be ntuk
sum bang an
e konomi
dan peran guru.
kehidupan sosial harmonis dan kehidupan politik yang demokratis. Khusus sumbangan secara
Program Pendidikan Kewarganegaraan
ekonomi
Tit ik
kel uarg a da n pe rtum buha n ek onom i suatu
t olak
pem baha san
tent ang
prog ram
pendidikan Kewarganegaraan adalah Pasal 5 (ayat 1) UU 20/2003 yang menyatakan bahwa
ada lah
kese jaht eraa n
ke hidupan
negara. Per wujudan
dari
sum bang an
i ndiv idu
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
berpendidikan berupa partisipasi dalam berbagai
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam
Dengan adanya hak yang dimiliki oleh setia warga
hal ini kompetensi dalam bentuk kemampuan
negara (bukan anggota masyarakat) maka sistem
intelektual tidak menjamin partisipasi seorang
pendidikan nasional berfungsi untuk member-
warga negara berpendidikan untuk memberikan
da yaka n se tiap war ga nega ra untuk dap at
sum bang anny a untuk meni ngka tkan kem a-
berperan sebagai warga negara yang baik dan
sla hata n da lam kehi dupa n be rneg ara dan
bertanggung jawab. Dalam pengertian seperti itu
bermasyarakat tanpa disertai dengan karakter.
maka pendidikan kawarganegaraan yang menjadi
Kombinasi antara intelektualisme dan karakter
topik bahasan pada subtopik ini bukan dalam arti
merupakan satu kesatuan dari dua entitas yang
civ ic ed ucati on te tapi ci tize nship educati on
dapat menjadi pendorong utama dalam me-
(Richardson, 2008).
wujudkan partisipasinya. Dengan intelektualisme
Kesadaran setiap individu terhadap status
warga negara menge mbangkan kem ampuan
kewarganegaraannya membawa konsekuensi hak
melakukan analisis terhadap kondisi yang terjadi
dan kewajiban. Konsekuensi hak mengandung
di sekitar mereka atau dalam teritori suatu
mak na, bahw a se tiap war ga negar a da pat
negara, dan karakter memberikan sentuhan
berperan dalam kehidupan bernegara secara
simpati dan empati pada kondisi yang terjadi
demokratis tanpa terjerat dalam suatu dogma
tersebut.
yang bersifat kaku (Dewey, 2001; Nelson, 2001;
Kata sumbangan sebagai dasar partisipasi
Farenga & Ness, 2005). Dalam konteks globalisasi
warga negara terhadap kehidupan bernegara dan
ya ng t elah menjadi bag ian dari kehidup an
kehidupan b ermasyarakat harus selalu ber-
bernegara dan berbangsa mendorong program
konotasi positif. Oleh karena itu, terdapat tiga
pendidikan kewarganegaraan diarahkan untuk
aspek yang diketengahkan, yaitu aspek sosi-
me ngem bang kan
k ebangsaa n.
ologis, politik, dan ekonomi. Dengan menge-
Globalisasi yang berlangsung pada saat ini masih
tengahkan tiga aspek tidak berarti bahwa ketiga
mengarah pada kompetisi yang terjadi antara
aspek tersebut merupakan exhaustive list segi
negara yang secara langsung mengarah pada
positi f sumbangan war ga negar a te rhad ap
kompetisi antara warga negara dari berbagai
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
identit as
ne gara , be lum mengara h pa da k ehi dup an
Aspek Sosiologis. Dari perspektif sosiologi
bersama yang demokratis. Giddens menyebutnya,
kehidupan bersama merupakan refleksi dari
sebagaimana dikutip oleh Richardson (2008),
sistem interaksi antarinidividu dengan berbagai
sebagai democratic deficit.
latar belakang sosial. Konsekuensinya, perbedaan
Dengan kompetensi yang dimiliki melalui
be rbag ai l atar bel akang me nyaj ikan sua tu
proses pendidikan menjadi kewajiban bagi setiap
fenomena pluralisme, dan fenomena tersebut
warga negara untuk memberikan sumbangannya
merupakan suatu realitas sosial. Dalam argu-
pa da l ingk unga n sosial ter deka tnya yai tu
mentasi plurealism dari Israel Scheeffler, realitas
keluarga, lingkungan kemasyarakatan, sampai
sosial bersifat mandiri dalam arti tidak bisa
negara. Dalam terminologi ekonomi sumbangan
diintervensi (independent) dan utuh (irreducible)
seorang ber pend idik an t erha dap piha k la in
dal am a rti tida k bi sa d iuba h-ub ah a pala gi
(keluarga, satuan masyarakat, maupun negara)
dikurangi (Holma, 2004). Dalam konotasi yang
disebut dengan externality. Efek externality tidak
berbeda dapat dikatakan bahwa realitas tidak bisa
558
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
diubah oleh pengetahuan karena pengetahuan
terletak bagaimana kepentingan tersebut muncul
berperan mengungkap realitas sosial, secara
pada permukaan kehidupan bersama. Dalam
bersamaan pengetahuan juga bebas dari nilai
perspektif sosiologis kepentingan muncul sebagai
yang terkandung dalam realitas sosial tersebut
konsekuensi interaksi antaranggota masyarakat
(Moore & Muller 1999).
sebagai konsekuensi dari adanya stratifikasi kelas
Pengeta huan yang di peroleh dari sua tu
sosial (Di tella, 1985; Rescher, 2002). Di lain pihak,
proses pendidikan me rupakan sarana untuk
sudut pandang politik lebih menekankan bahwa
memahami realitas sosial yang terjadi. Dalam
kepentingan sebagai titik tolak kese-imbangan
proses pemahaman, setiap individu menyadari
untuk mencapai keadilan. Hal ini nampak jelas
tentang kelemahan dari setiap jengkal realitas
ketika kepentingan diletakkan dalam perspektif
sosial (dimensi intelektualisme) dan sekaligus
Rawl Positivism. Dalam kepentingan memang
berupaya untuk membangun strategi mening-
merupakan suatu kondisi yang harus dan selalu
katkan kemaslahatan bagi kehidupan bersama
ada dalam satu kesatuan sosial. Kesatuan sosial
(dimensi karakter).
sosial tidak akan mempunyai makna dan tidak
Harmonisasi kehidupan bersama baik dalam
bersifat dinamis tanpa adanya kepentingan. Oleh
kontek s ke hidupan ber nega ra m aupun be r-
karena itu, permasalahannya adalah bukan ada
masyarakat merupakan suatu fenomena yang
atau tidaknya kepentingan dalam kesatuan sosial
tidak terjadi secara alamiah. Kehidupan harmonis
tersebut, tetapi adanya keseimbangan yang
me rupa kan suat u kondi si y ang dici ptak an
mempertimbangkan dua kondisi secara bersama
berdasarkan pada interpretasi warga negara
yaitu “the right and the good” (Farrelly, 2004). John
terhadap realitas sosial yang ada. Etika menjadi
Rawl mengelaborasi lebih lanjut kondisi the right
salah satu faktor yang mendorong terbentuknya
and the good dalam konsep two principle of justice
suatu kondisi harmonis. Hal ini karena etika
sebagai berikut:
bertujuan “To foster principles of interaction that
“First: each person is to have an equal right to
induce people to act for the general welfare and the
the most extensive scheme of equal basic
common good” (Rescher, 2002).
liberties compatible with a similar scheme of
Dalam konsep etika, yakni ketika arahnya
liberties for others.Second: social and economic
untuk membangun general welfare and the common
inequalities are to be arranged so that they are
good, terdapat faktor keadilan yang harus menjadi
both (a) reasonably expected to be to everyone’s
kesepakatan bersama. Dalam upaya mencapai
advantage, and (b) attached to positions and
kesepakatan bersama, terdapat proses rekon-
offices open to all”. (Rawl, 1999)
siliasi kepentingan yang dapat diterima oleh
Dalam skenario yang lebih umum, konsep two
ma sing -masing piha k y ang terl ibat dal am
principle of justice terwujud dalam kehidupan yang
membangun kehidupan harmonis bersama. Arah
demokratis. Dalam konteks ini demokratis tidak
dari rekonsiliasi adalah mengubah kepentingan
hanya b erar ti suara ter bany ak t etap i pa da
yang sama (like interest) menjadi kepentingan
pencapaian kriteria the right and the good.
bersama (common interest).
Argumentasi yang dikemukakan oleh Yeager dan
Dinamika kehidupan sosial menjadi harmo-
Silva
(2002) serta Westheimer & Kahne
(2004)
ni sasi aka n se lalu be ruba h me nuju sua tu
demokrasi terrefleksi dalam karakter warga
perkembangan sesuai dengan aspirasi warga
negara yang bertanggung jawab dan toleran,
negara suatu bangsa. Konsekuensinya proses
serta adil. Dalam hal demokrasi lebih menekankan
rekonsiliasi dari like interest menuju common
pada karakter warga negara. Jika karakter ini
interest, akan menjadi suatu proses yang akan
dapat terwujud dalam setiap warga negara,
bergerak dari suatu fase ke fase berikutnya.
ha rmonisasi ke hidupan berb angsa da n be r-
Asp ek politik . Ha rmonisa si kehi dup an
masyarakat dapat dicapai.
bersama baik dalam konteks kehidupan ber-
Dalam alam demokrasi untuk menjadi warga
bangsa maupun bermasyarakat, dari aspek politik,
negara yang bertanggung jawab dan bersikap adil
sebagai mana aspek sosiologis, juga memper-
merupakan proses yang tidak dapat dicapai dalam
timbangkan faktor kepentingan. Perbedaannya
ja ngka pendek. Dal am kont eks pend idik an
559
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
suasana demokratis ini dimulai dalam kegiatan
pandang ekonomi pendidikan, setiap alokasi
belajar mengajar yang terjadi di ruang kelas.
anggar an
Ket ika sika p de mokr atis ter bent uk m elal ui
me rupa kan suat u be ntuk inv esta si. Seti ap
kegiatan belajar mengajar di kelas terdapat suatu
investasi yang dilakukan baik pada diri manusia
proses “negosiasi” antara guru yang mena-
maupun barang selalu diharapkan akan mem-
namkan suatu nilai demokrasi dengan siswa yang
berikan nilai balik. Dalam konteks pendidikan nilai
mem punya i ve sted int erest . Dal am p roses
balik bagi investasi kepada manusia berupa profit
negosiasi terdapat dua nilai yang dinegosiasikan,
dan benefit. Nilai balik dalam bentuk profit diukur
yak ni a ntar a ke beba san ( fr eedom) deng an
dengan pendapatan (earning) yang diperoleh
kebijaksanaan (virtue). Dalam proses demo-
sepanjang hidupnya sejak dia menyelesaikan
kratisasi pada dasarnya terdapat dua hal yang
pendidikannya pada jenjang tertentu. Benefit, di
menurut Per rin (200 5) d an Pybas (20 04)
lain pihak diukur dengan besarnya kemaslahatan
merupakan dua sisi dari satu mata uang yang
yang diberikan individu kepada lingkungan sosial
mewarnai ranah demokrasi, yaitu freedom dan
dengan jenjang pendidikan tertentu. Seperti yang
virtue.
telah dinyatakan di atas kemaslahatan ini disebut
untuk
mendid ik
setia p
indivi du
Dalam proses pembentukan sikap demokratis
dengan externality yang mulai nampak ketika hasil
setiap pihak diberikan hak untuk menggunakan
pendidikan diukur dengan outcome (Windham &
freedom sebagai sarana untuk mengekspresikan
Chapman, 1990).
kepentingannya. Namun, untuk mencegah sikap
Berkenaan dengan adanya nilai balik Behrman
autoritarian dalam mengekspresikan kepen-
&
tingannya setiap pihak yang terkait dalam suatu
me mpunyai pand anga n y ang sama bahwa
kesatuan sosial yang melibatkan berbagai pihak
pendidikan memang merupakan bentuk investasi.
dengan berbagai kepentingan perlu untuk mem-
Perbedaan dari keduanya terletak pada kondisi
pertimbangkan virtue dalam proses negosiasi.
yang memungkinkan pendidikan memberikan nilai
Dal am p rose s ini de mokr atisasi dapa t juga
balik secara optimal baik kepada individu yang
dia rtik an
mempunyai pendidikan pada jenjang tertentu
sebag ai
upaya
unt uk
m enca pai
konsensus.
Birdsall (1987) serta Vandenberghe (1999)
maupun terhadap lingkungannya (externality).
Karakter untuk menghargai kepentingan
Behrman & Birdsall (198 7), deng an m em-
orang lain memerlukan tenggang rasa, simpati,
bandingkan nilai balik dari berbagai negara,
dan empati bahwa pihak lain juga mempunyai
cenderung mengatakan, bahwa nilai balik yang
kepentingan yang diekspresikan atau bahkan
dihasil kan dari inv esta si p ada pend idik an
diartikulasikan. Freedom yang disertai dengan
merupakan suatu proses yang linear, dalam arti
virtue untuk mencapai kesepakatan, kepentingan
tidak dipengaruhi oleh faktor latar belakang siswa
bersama dapat difasilitasi. Dalam kondisi ini posisi
ataupun kondisi ekonomi. Hal ini tidak demikian
win-win solution dapat dicapai. Posisi win-win
menurut argumentasi yang dikemukakan oleh
sol ution b ukan mer upak an k ondi si a bsol ut
Vandenberghe (1999) yang berpendapat bahwa
terhadap masing-masing pihak yang memang
investasi tidak secara langsung hanya ditentukan
da lam
soluti on
oleh besarnya alokasi dana pada pendidikan,
merupakan kondisi relatif, ketika satu pihak dalam
tetapi ada juga faktor nonmonetary yang juga ikut
posisi menang, pihak lain harus mengalah dalam
berpengaruhi. Dengan kata lain, dia juga mem-
arti merelakan sebagian kepentingannya untuk
pertimbangkan faktor nonekonomi atau lebih
kepentingan pihak lain, dan dalam kasus lain pihak
tepatnya faktor psikologi dan juga sosiologi dalam
yang pada satu kasus menang pada kasus lain
memperkirakan besarnya nilai balik dari investasi
ha rus mere laka n se bag ian kepe ntingannya
terhadap manusia melalui proses pendidikan.
kepada pihak lain.
Faktor psikologi yang dimaksud adalah motivasi
kond isi
mena ng.
W in-win
Aspek ekonomi. Dimensi karakter dalam
dan kepribadian. Faktor sosiologi adalah status
sud ut p anda ng e konomi m emusatka n pe r-
ekonomi sosial dan orientasi budaya. Berdasarkan
hatiannya pada kemampuan berproduksi dari
argumentasi ini dapat dikatakan, bahwa setiap
setiap individu yang berpendidikan. Dalam sudut
individu yang mempunyai jenjang pendidikan yang
560
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
sama belum tentu memberikan nilai balik yang
Peran Guru
setara kepada individu yang bersangkutan, jika
Dalam setiap proses pendidikan guru selalu
motivasi berbeda atau berasal dari status ekonomi
menjadi pusat perhatian. Pusat pehatian ini
sosial yang berbeda.
didasarkan pada suatu kenyataan bahwa guru
Tambunan (2000) memberikan ilustrasi yang
adalah aktor utama dalam proses belajar. Untuk
berbeda terhadap optimalisasi nilai balik terhadap
menjamin efektivitas pencapaian target proses
investasi pada pendidikan. Dengan menggam-
belajar, profesionalisme menjadi kata kunci. Dalam
barkan perubahan sistem pemerintahan dari
konteks ini, terminologi profesionalisme tidak
sentralistik ke arah desentralistik pada peme-
hanya merujuk pada kompetensi tetapi juga pada
rintahan Indonesia, serta masuknya Indonesia
ori enta si k e dep an untuk maju. Untuk me-
pada pasar global dapat mengubah kesempatan
ningkatkan profesionalisme, Suharno (2013) guru
set iap indi vidu dengan jenj ang pend idik an
MTs Husnul Khotimah, Kuninqan, Jawa Barat
tertentu mencapai nilai balik secara optimal.
berpendapat bahwa penekanan diarahkan pada
Desentr alisasi
a tau
penguasaan metode belajar dan bukan pada
menurunkan daya serap pasar kerja terhadap
pe ngua saan mat eri. Arg umentasi ini dap at
mareka yang berpendidikan. Dalam konteks yang
dipahami karena penguasaan metode mendorong
sama, globalisasi dalam pasar mempersempit
guru untuk mencari cara-cara inovatif untuk
kesempatan kerja domestik bagi orang Indonesia
melakukan eksplorasi materi materi pengajaran.
ketika terjadi hegemoni ekonomi oleh negara lain
Argumentasi tersebut mempunyai keterkaitan
atas pasar kerja di Indonesia.
dengan pend apat yang di kemukaka n ol eh
dapa t
me ning katk an
Pendidikan karakter memang meningkatkan
Denicol o &
Pope (20 05)
terutama ket ika
ori enta si setia p indivi du untuk mel akuk an
profesionalisme merupakan suatu kedudukan
investasi pada bidang pendidikan. Nilai balik,
yang berbeda (distinct). Perbedaan tersebut
te ruta ma d alam art i pr ofit , ak an m enja di
bukan dita ndai dengan stat us t etap i pa da
tantangan tersendiri ketika terdapat konstelasi
keg iata n ya ng d ilak ukan unt uk m enja min
pasar kerja yang tersedia sebagai akibat dari
statusnya. Di samping itu, untuk mempertahankan
per ubahan
k e-
posisi profesionalisme guru, tentu menuntut guru
ikutser taan Ind onesia d alam pasar g loba l.
siste m
pe meri ntahan
d an
untuk selalu melakukan pembaharuan baik dalam
Motiva si t etap menjad i fa ktor
pendudung
hal metode belajar maupun substansi yang akan
terhadap kompetensi jika seseorang dengan
diajarkan (Kumar, 2006). Namun, keberhasilan dari
je njang pe ndid ikan te rtentu m asuk dal am
semua upaya yang dilakukan oleh guru bukan
persaingan pasar kerja. Dalam relitasnya pasar
pada peningkatan kompetensi guru itu sendiri,
kerja tidak akan menjemput calon tenaga kerja,
melainkan juga pada peningkatan kompetensi
tetapi yang pasti akan menyediakan kesempatan
siswa dari berbagai dimensi prestasi belajar
secara
fai r
k epad a semua or ang . Prinsip
(Indriyanto, 2014).
Darwinisme akan berlaku dimana mereka yang
Dalam upaya untuk meningkatkan profe-
lebih sesuai dengan persyaratan yang diminta
sionalisme guru, pemerintah telah melakukan
oleh pasar kerja adalah mereka akan mendapat
intervensi yang terdiri dari pengembangan sistem
kesempatan memasuki pasar kerja lebih dulu dan
insentif dan sistem pelatihan. Kedua sistem ini
lebih cepat. Di samping itu, mereka yang lebih
merupakan dua komponen yang saling me-
cocok dengan persyaratan yang dituntut oleh
lengkapi dalam upaya meningkatkan peran guru
pasar kerja akan bertahan lebih lama dibanding
dalam mengembangkan metode belajar dan
dengan mereka yang tidak cocok dengan dengan
meningkatkan penguasaaannya terhadap materi
persyaratan kerja. Kecocokan dengan pasar kerja
yang diajarkan.
tidak hanya pada tingkat kompetensi melainkan
Penyelenggaraan program pelatihan yang
juga motivasi, terutama motivasi untuk berprestasi
di lakukan
oleh
pem eri ntah
dal am hal i ni
dan berkompetisi.
mempunyai dua argumentasi yang keduanya berada dalam ranah kebijakan publik. Pertama, peningkatan guru merupakan tanggung jawab
561
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
pemerintah karena penyelenggaraan program
Peran transferring. Ketika guru melakukan
pelatihan bagian dari tanggung jawab pemerintah
tugas mengajar di depan kelas, pesan yang
untuk menjamin kesejahteraan pedagogis setiap
secara konvensional dipahami oleh siswa dan juga
siswa secara nondiskrim inat if. Dala m te ma
or ang tua sisw a ad ala h me njad ikan siswa
keb ijak an
m utu
mempunyai prestasi akademis. Hal ini menjadi
merupakan salah satu tema kebijakan perennial
p endi dika n,
p eningkat an
suatu kewajaran karena fenomena kegiatan
di samping peningkatan akses dan relevansi.
belajar mengajar yang nampak secara visual
Salah satu program peningkatan mutu, terutama
adalah guru sedang menjelaskan serangkaian
berkenaan dengan implementasi Kurikulum 2013,
konsep yang dijabarkan dari suatu mata pelajaran
adalah pelatihan guru.
dan orientasi ini telah menjadi dasar kebijakan
Kedua, pelatihan guru merupakan modal awal
untuk peng emba ngan pe ndid ikan for mal di
(initial endowment) bagi guru untuk melakukan
ber baga i
pengemba ngan kompe tensinya lebih lanj ut.
pencapaian prestasi akademis yang diukur dengan
Argumentasi yang diajukan di sini adalah bahwa
skor nilai ujian nasional ataupun ulangan yang
pelatihan tidak hanya untuk tujuan pengem-
diselenggarakan oleh sekolah masih merupakan
bangan kemampuan dengan menambah penge-
fenomena yang dominan dan cenderung menjadi
tahuan dan keterampilan guru melainkan juga
pusat perhatian para pengamat pendidikan dan
merupakan sarana untuk memberikan inspirasi
orang tua siswa. Mata pelajaran, seperti yang
kepada guru. Inspirasi ini akan membangkitkan
diidentifikasi oleh Mujiran (2006), bukan semata-
kesadaran para guru tentang perlunya melakukan
mata merupakan bagian dari kurikulum. Mata
eksplorasi pengetahuan dan keterampilan lebih
pel ajar an m erup akan sua tu k onst ruksi da ri
lanjut. Pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil
konsep-konsep yang perlu peran guru untuk tidak
dari pelatihan mempunyai keterkaitan dengan
sekedar menjabarkan melainkan juga meng-
pengetahuan yang lebih maju (advance).
ejawantahkan sehingga menjadi pengalaman
Pembahasan selanjutnya tentang peran guru dia rahk an
p ada
tiga
per an,
yait u
ne gara
(Young,
2008 ).
Na mun,
belajar yang dapat menumbuhkan dan mengem-
pe ran
bangkan nalar atau dalam konteks Kurikulum
transferring dan transforming, serta transcending.
2013 disebut dengan higher order thinking.
Ketiga peran tersebut didasarkan pada suatu
Pengembangan dan penumbuhan daya nalar ini
proposisi bahwa penyampaian materi kurikulum
merupakan hambatan yang dialami oleh para guru
oleh guru kepada siswa tidak hanya memusatkan
di Indonesia. Penumbuhan dan pengembangan
perhatian pada aspek akademik dari setiap topik
day a na lar ini bersemi dari proses bela jar
bahasan dalam suatu mata pelajaran, melainkan
me ngaj ar y ang krea tif yang did orong ol eh
jug a te rdap at p enge mbangan
di
kemampuan guru untuk mengejawantahkan topik
dal amny a. O leh kare na i tu, pemb angunan
kara kter
dari suatu yang hidup dan kontekstual serta
karakter merupakan bagian dari pembenahan
berorientasi ke depan (Bashori, 2012). Dengan
kurikulum. Kebijakan pengembangan karakter
cara ini, maka pendidikan menjadi penggerak
melalui pembenahan kurikulum juga menjadi
perkembangan bangsa ke depan seperti yang
strategi intervensi kebijakan peningkatan mutu
dikemukakan oleh Gower (2002) sebagai berikut:
di Cina. Dalam upaya melakukan peningkatan
“Education can and should help provide a better
mutu melalui pembenahan kurikulum ditekannya
future for Indonesia by giving students power
bahwa isi
kurikulum untuk membangun orientasi
of thought- thought that allows people to plan
ke depan dan jiwa kompetitif untuk menunjang
and really consider what way or will arise as a
perkembangan ekonomi negara Cina (Iacovo,
consequence of their actions”.
2009). Pada konteks yang lebih mikro, Atwater
Proses pe numbuhan dan pengembangan
(2010) memberikan ilustrasi bahwa pelajaran
nalar siswa tidak hanya secara spesifik menjadi
sains juga memuat misi kultural yang dapat
ranah eksklusif mata pelajaran-mata pelajaran
mem beri kan kesa dara n ke pada par a si swa
Sains melainkan juga pada mata pelajaran-mata
tentang bagaimana dan di mana mereka hidup.
pelajaran Ilmu sosial. Setiap mata pelajaran
562
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
merupakan konstruksi dari disiplin ilmu penge-
kehidupan mereka. Pada saat mereka mencapai
tahuan. Untuk memahaminya (bukan hanya
tahap tertentu dari serangkaian kegiatan proses
mengerti) memerlukan metode berpikir dengan
be laja r me ngaj ar, krea tiv itas ber piki r ak an
menerapkan anti-thesa dan synthesa. Dengan
berkembang. Jika proses kreativitas ini ber-
menggunakan metode berpikir antithesa baik guru
kem bang
maupun siswa melakukan pemilahan terhadap
kemungkinan siswa akan menjadi inventor ilmu
komponen-komponen yang menjadi bangunan
pengetahuan, jika mereka bergerak di bidang ilmu
konstruksi dari suatu konsep yang terkandung
pengetahuan dan teknologi. Jika mereka bergerak
dalam setiap mata pelajaran. Dalam proses
di bidang ekonomi tidak menutup kemungkinan
pemilahan proses pembedaan dari masing-masing
mereka akan menjadi wirausahawan yang kreatif.
kom pone n
te rseb ut
d iura ikan.
secara
eksp losi f
ti dak
menutup
Pe nemuan
Kemampuan dalam akademik yang men-
perbedaan dari masing-masing komponen akan
dorong pengembangan nalar berpikir secara
memberikan gambaran sisi lain dari komponen-
ana liti s ya ng d apat mem beri kan kont ribusi
komponen tersebut. Gambaran sisi lain adalah
ter hada p be rbag ai a spek
kesamaan (com monali ty) y ang meny atuk an
selanjutnya mendorong pada penciptaan ke-
komponen-komponen tersebut menjadi satu
ma slahatan kehidup an bernegar a da n be r-
kesatuan yang disebut dengan konsep. Ketika
masyarakat. Dalam kaitan ini karakter relatif
ke sama an t erse but tel ah d item ukan tahap
id enti k de ngan int elek tua lism e ke tika int e-
berikutnya adalah melakukan synthesa untuk
lektualisme dapat memberikan kemaslahatan.
kehidup an y ang
membangun suatu pemahaman tentang suatu
Peran transforming. Pelaksanaan peran
konsep. Jika proses antithesa dan synthesa
transforming didasarkan pada suatu asumsi,
berlang sung secara be rkelanjutan da ri satu
bahwa setiap mata pelajaran mempunyai muatan
konsep ke konsep lainnya, maka pada saat itu
nilai positif yang bermanfaat bagi kehidupan
terbentuk proses penalaran.
bersama baik dalam konteks kebangsaan maupun
Sikap skeptis menjadi pondasi dalam pene-
kem asya raka tan. Mel alui proses akul tura si
rapan metode berpikir antithesa dan synthesa.
di hara pkan aka n me ngub ah orientasi siswa
Sikap skeptis membangkitkan semangat keingin-
terhadap lingkungannya, baik fisik maupun sosial.
tahuan pada diri guru dan sisw a. Si kap ini
Wujud dari orientasi ini berupa perilaku peduli
terwujud dalam pertanyaan “mengapa sesuatu
terhadap lingkungan fisik dan sosial.
bisa terjadi” dan “bagaimana sesuatu tersebut
Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata
bisa terjadi”. Jika sikap skeptis ini terjadi pada diri
pelajaran, baik itu mata pelajaran Agama, Sains,
guru, maka hal itu akan membangkitkan semangat
dan ilmu-ilmu sosial mengandung dua jenis sikap
untuk mengembangkan metode-metode penga-
positif. Pertama, seperti yang disebutkan di atas,
jaran yang lebih menarik, menyenangkan (lively),
membangun sikap peduli terhadap lingkungan
da n kontek stua l. Argum enta si k onse kstual
fisik dan sosial. Hasil dari dari sikap ini adalah
didasarkan pada suatu asumsi bahwa setiap ilmu
harmonisasi kehidupan antara manusia dengan
pengetahuan merupakan hasil dari generalisasi
lingkungan fisik dan sosialnya. Dalam konteks
secara sistematis dan terukur terhadap kejadian-
pembangunan karakter sikap ini merupakan modal
kejadian di sekitar kehidupan manusia. Kejadian
awal untuk membangun suatu kemajuan bangsa.
tersebut dapat berupa fenomena alam maupun
Ke dua adal ah orientasi pr ogre sif. Sik ap i ni
fenomena sosial kehidupan sosial manusia
mengarah pada upaya untuk mengarah pada
Jika metode berpikir antithesa dan synthesa
kemajuan dan kemauan untuk bersaing. Sejarah
terjadi pada siswa, maka hal ini akan men-
menunjukkan bagaimana negara Jepang yang
stimulasi daya nalar mereka terhadap berbagai
runtuh karena bom atom, negara Korea Selatan
konsep dar i be rbag ai m ata pela jara n ya ng
yang miskin sumber daya alam, dan Cina yang
ditransfer oleh guru kepada mereka pada saat
terbelenggu oleh sistem komunis akhirnya dapat
mereka mengikuti proses belajar mengajar. Efek
me njad i ne gara ind ustr i ma ju d enga n pe r-
dari proses stimulasi akan mendorong siswa
tum buha n ek onom i ya ng t ingg i me rupa kan
me lakukan asosiasi ber baga i konsep dal am
perwujudan dari orientasi progresif dari warganya
563
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
telah melalui proses pendidikan sampai dengan
conflict) between the formal, codified, theoretical
jenjang pendidikan tinggi.
and , at lea st p otential ly, univ ersa lizi ng
Penanaman nilai harmonis dan progresif mer upa kan
to acquire and teachers to transmit, and the
berlangsung dalam setiap proses pendidikan
informal, local, experiential and everyday
bersamaan dengan peran transferring, karena
knowledge that pupils (or students) bring to
keduanya tidak dapat secara berbeda dipisahkan
school”
satu dengan lainnya. Peran transferring bertujuan
Dalam konteks ini kebenaran hakiki terhadap
untuk menstimulasi nalar (cognitive competencies),
suatu realitas tidak bersifat absolut. Namun,
sedangkan peran transforming ditujukan untuk
terminologi kebenaran hakiki ditujukan untuk
menstimulai perasaan (affective competencies).
membentuk suatu pemahaman aksiologis yakni
Da lam menj alankan per an sebag ai a nggota
dengan mempertimbangkan sistem tata nilai
masyarakat keduanya saling melengkapi satu
akademis dan religius. Unsur religius sengaja
dengan lainnya. Sensitivitas terhadap kondisi
di cant umka n se baga i b agia n da ri k onte ks
sekitar tidak akan terjadi tanpa adanya ke-
pemahaman aksiologis karena kebenaran hakiki
mam puan
mela lui
membuka kesadaran dari keberadaan kita dalam
penalaran. Hal ini berarti bahwa orang yang
suatu kebersamaan maupun kesendirian yang
mempunyai pendidikan lebih tinggi diharapkan
merupakan kehendak dan diatur oleh Tuhan Yang
mempunyai sensitivitas yang lebih baik jika
Maha Esa. Semua yang ada di dunia ini tidak akan
dibandingkan dengan orang yang pendidikannya
mempunyai makna kebenaran jika tidak mem-
lebih rendah.
punyai keterkaitan dengan hakiki kebenaran yang
unt uk
pera n
tr ansform ing
knowledge of the curriculum that students seek
ya ng
dua
m engi nter pret asi
Pera n tra nsce nding. Pencapa ian hasil
mutlak, yaitu kebenaran Ketuhanan (divine truth).
belajar tingkat tertinggi adalah kepercayaan pada
Kebenaran hakiki merupakan proses interaktif
suatu kebenaran yang hakiki. Proses transcending
antara realitas dan teori. Implikasi dari hal ini
terwujud ketika terdapat keyakinan terhadap
adalah untuk mendapatkan kebenaran hakiki
kebenaran hakiki tersebut. Jika pencapaian hasil
melalui proses transcending guru dan siswa
proses pendidikan tidak dilandasi demi kebenaran
melakukan proses deduktif dan induktif secara
hakiki, niscaya hanya mencerminkan kepentingan
interaktif. Dengan proses deduktif guru dan siswa
mereka yang berkuasa atau bahkan tanpa makna
melakukan artikulasi dan penjabaran premis dari
(trivial) (Peters, 1972; White, 2006). Dengan
konsep ke dalam realitas sekitar mereka. Dengan
ke bena ran haki ki i ni, mak a da lam proses
proses induktif mereka menggeneralisasikan
pendidikan yang berlangsung di dalam kelas, guru
realitas sekitar mereka menjadi prinsip-prinsip
dan siswa secara bersama-sama dihadapkan
umum.
pada suatu kenyataan bahwa fenomena sosial dan berbagai kejadian alam bersifat dinamis dan
Simpulan dan saran
memerlukan interpretasi secara menyeluruh demi
Simpulan
ad anya pem aham an y ang bena r te rhad ap
Revolusi mental seperti yang dikemukakan oleh
berbagai fenomena tersebut. Pemahaman yang
Presiden Jokowi pada saat beliau masih menjadi
benar, jika merujuk pada argumentasi Scheeffler,
cal on
seperti yang dikutip Holma (2004), memberikan
pendidikan. Proses pendidikan yang dimaksud
makna tanpa mengurangi makna terhadap suatu
ad alah
realitas. Kondisi ini menjadi tantangan perenial
karakter.
p resi den
merupaka n
pem bent ukan
da n
suatu
proses
pe ngem bang an
sepanjang realitas tersebut berkembang. Ber-
Pembentukan dan pengembangan karakter
kenaan dengan hal ini Young (2008) mengajukan
sebagai suatu proses pendidikan tidak terlepas
pendapat sebagai berikut:
dari sistem pendidikan nasional yang berlaku. Hal
564
“As an aspect of modernization, mass education
ini karena pendidikan nasional menjadi rujukan
faced and still faces what might be described as
untuk mengukur relevansi pendidikan karakter
the fundamental pedagogic issue: overcoming
tersebut. Di samping itu, pendidikan karakter tidak
the discontinuity (sometimes expressed as a
hanya b erla ku d emi pend idik an i tu sendi ri,
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
melainkan juga untuk mepersiapkan individu
merefleksi berbagai dimensi, sehingga manusia
dapat menjadi warga negara yang bertanggung
Indonesia yang berkompetensi telah mencer-
jawab terhadap keberlangsungan kehidupan
minkan kompetensi intelektual dan karakter yang
dirinya dan keberlangsung bangsanya.
rel evan
Dalam skenario yang lebih makro makna
dengan
berb agai
tar get
prog ram
pembangunan.
pe mbentuka n ka rakt er merupaka n re flek si
Guru sebagai pemegang peran dalam proses
sosiol ogis, politi k, d an ekonomis. Re flek si
pembentukan dan pengembangan karakter siswa
sosiologis terwujud dalam kehidupan sosial yang
sebagai generasi penerus perlu memperluas
harmonis, sedangkan refleksi politik terwujud
cak rawa la
dalam kehidupan yang demokratis, dan refleksi
bangkan peran transferring, transforming, dan
ekonomi terwujud dalam kemampuan untuk
transcending dalam melaksanakan proses belajar
berproduksi untuk meningkatkan kemaslahatan.
mengajar dan mengembangkan metode belajar.
p edag ogis
dengan
memp erti m-
Dalam pembentukan dan pengembangan
Dalam rapat pimpinan Kementerian Pendidikan
karakter tersebut, peran guru tidak bisa diabaikan.
dan Kebudayaan yang diselenggarakan pada
Guru bahkan memegang peran utama, walaupun
tanggal 16 Desember 2014 Menteri Pendidikan
bukan satu-sat unya . Pr ofesiona lism e guru
dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan bahwa
merupakan faktor dominan jika dalam mengajar
program-program pelatihan dalam penerapan
guru harus melakukan tiga peran, yakni peran
Kurikulum 2013 perlu juga mencakup materi-
transferring, transforming, dan transcending. Dalam
materi budaya sekolah yang mengarah pada
proses pendidikan ketiganya bersifat mutually
pencipataan dan penumbuhan budaya belajar
inclusive. Artinya walaupun mempunyai tujuan
yang bersifat progresif. Dalam hal ini, peran
ya ng b erbe da t etap i k etig anya mer upak an
transferring, transforming, dan transcending dapat
perwujudan dari manusia yang berkarakter.
dijadikan bagian dari pengembangan pendekatan dal am m enga jar dala m ra ngka mem bent uk
Saran Pe ndid ikan
budaya belajar yang progresif. kar akte r
sebag ai
b agia n
da ri
Kurikulum sebagai rujukan dalam pelak-
intervensi kebijakan pendidikan harus secara linier
sanaan proses belajar mengajar bukan dokumen
merujuk pada suatu kebijakan. Dalam konteks
sta tis yang tab u de ngan penyemp urna an.
Kabinet Kerja rujukan kebijakan yang dimaksud
Pendidikan sebagai sarana untuk mempersiapkan
adalah Nawa Cita. Oleh karena itu, penjabaran
si swa untuk be rper an mere alisasik an d an
pendidikan karakter baik dalam rangka pengem-
menjamin keberlangsungan program-program
bangan kompetensi guru maupun pengembangan
pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah
kurikulum perlu untuk menjabarkan pesan-pesan
menghar uska n untuk sela lu m enye suai kan
yang terkandung pada Nawa Cita.
ter hada p tuntut an p rogr am p emba ngunan.
Na wa C ita adal ah suatu str ateg i pe m-
Konsekuensinya, kurikulum sebagai rujukan perlu
bangunan yang tidak secara eksklusif hanya
untuk selalu disempurnakan. Penyempurnaan
be rkenaan deng an p endi dika n, t etap i juga
tidak harus bersifat radikal, tetapi dapat dilakukan
menyangkut berbagai sektor pembangunan.
secara incremental dengan melihat secara cermat
Namun demikian titik tolak bagi keberhasilan
standar kompetensi dan standar isi yang tidak lagi
pelaksanaan pembangunan sektor lain adalah
relevan dengan tuntutan pembangunan. Program
manusia Indonesia berpendidikan dan mencer-
pelatihan guru dan penyediaan sarana dise-
minkan kompetensi yang dimiliki. Implikasi dari
suaikan dengan penyempurnaan standar kom-
pernyataan ini pendidikan menjadi kunci. Oleh
petensi lulusan dan standar isi tesebut.
karena itu pendidikan karakter perl u untuk
565
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014
Pustaka Acuan Abduhzein, M. 28 Juni 2014. Revolusi mental, mulai dari mana. Kompas hlm. 6. Atwater, M. M. 2010. Multicultural Science Education and Curriculum Materials. Science Activities, hlm. 47. 103–108. Avianni. N. 1 Juni 2014. Momentum Revolusi Mental. Media Indonesia hlm. 1. Bagir, H. 2 Oktober 2014. Strategi Kebudayaan dan Revolusi Mental. Kompas hlm. 7. Bashori, K. 30 Januari 2012. Membangun Budaya Kreatif di Sekolah. Media Indonesia. 4. Behrman, J. R. & Birdsall, N. 1987. Comment on Returns to Education: A Further International Update. The Journal of Human Resources. 22 (4) hlm. 603-606. Buchen, I. H. 2000. A Radical Vision for Education. The Futurist; 34(3) hlm. 30-34. Denicolo, P. M. & Pope, M. 2005. Perspectives on the Teaching Profession or Relative Appraisal dalam Pam M. Denicolo and Michael Kompf. Teacher Thinking and Professional Action. New York: Routledge hlm. 20-29. Denzin, N.K. 2005. Symbolic Interactionism and Ethnomethodology: A Proposed Synthesis dalam Sean P. Hier (editor). Sociological Thought: Themes and Theories. Toronto: Canadian Scholars’ Press Inc. hlm. 123-136. Dewey, J. 2001. Democracy and Education. Hazleton: the Pennsylvania State University. Di tella, T.S. 1985. Political Powers and Class Structur dalam Eisenstadt.S.N. dan Helle, H.J. (editor). Macro-Sociological Theory: Perpective on Sociological Theory. Volume. 1. London: Sage Publication Ltd. 103-117. Farenga, S. J. & Ness, D. (editor). 2005. Encyclopedia of Education and Human Development . New York: M.E. Sharpe, Inc. Farrelly, C. 2004. Contemporary Political Theory. London: Sage Publication Ltd. Gower, S.M. 21 Oktober 2002. Problem-Solving Ability Here Still Poor. The Jakarta Post hlm. 6. Holma, K. 2004. Plurealism and Education: Israel Scheffler’s Synthesis and its Presumable Educational Implications. Educational Theory. 54(4) hlm. 419-430. Iacovo, B. D. 2009. Curriculum Reform and ‘Quality Education’ in China: An overview. International Journal of Educational Development, 29, hlm. 241-249. Indriyanto, B. 2014. “Maksimalisasi Tujuan Pedagogis dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi”. Jurnal Teknodik. 18 (2) hlm. 113-124. Kumar, M. 2006. Constructivist Epistemology in Action. The Journal of Educational Thought. 40 (3) hlm. 247-267. Massardi, Y.A. 2 Desember 2014. Revolusi kebudayaan. Kompas hlm. 6. Moore, R. & Muller, J. 1999. The Discourse of ‘Voice’ and the Problem of Knowledge and Identity in the Sociology of Education. British Journal of Sociology of Education. 20 (2), hlm.189-206. Mujiran, P. 4 Oktober 2006. Karut-Marut Kurikulum 2006. Media Indonesia, hlm. 2.
566
Bambang Indriyanto, Mengkaji Revolusi Mental dalam Konteks Pendidikan Assessing Mental Revolution Within Educational Contexts
Nelson, A. R. 2001 Education and Democracy: The Meaning of Alexander Meiklejohn Madison: The University of Wisconsin Press. Perrin, A. J. 2005. Political Microcultures: Linking Civic Life and Democratic Discourse, Social Forces. 84(2) hlm. 1049-1082. Peters, R.S. 1972. Education and The Educated Man dalam R. F. Dearden, P.H. Hirst dan R.S.Peters. Education and the Development of Reason. London: Routledge & Kegan Paul hlm. 2-13. Pybas, K. 2004. Liberalism and Civic Education. Perspectives on Political Science, 33(1) hlm. 18-29. Rawl, J. 1999. A Theory of Justice: Revised Edition. Cambridge: The Harvard University press. Rescher, N. 2002. Fairness: Theory & Practice of Distributive Justice. New Brunswick: Transaction Publishers. Richardson, G. 2008. Caught Between Imaginaries: Global Citizenship Education and the Persistence of the Nation dalam Ali A. Abdi, Lynette Shultz. (editor). Educating for Human Rights and Global Citizenship. Albany: State University of New York Press, hlm. 55-64. Strickland, B. R. (editor). 2001. Gale Encyclopedia of Psychology (2nd edition). Farmington Hills: Gale Group. Suharno, I. N. 20 Agustus 2013. Musyawarah untuk Profesionalisrne Guru. Republika, hlm. 5. Tambunan, M. 2000. Indonesia’s New Challenges and Opportunities: Blueprint for Reform After the Economic Crisis. East Asia: An International Quarterly. 18(2), hlm. 50-116. Vandenberghe, V. 1999. Economics of Education. The Need to Go Beyond Human Capital Theory and Production Function Analysis. Educational Studies. 25 (2) hlm. 129-143. Westheimer, J. & Kahne, J. 2004. What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy. American Educational Research Journal. 41 (2), hlm. 237-269. White, J. 2006. The Puritan Origins of the 1988 School Curriculum in England dalam Alex Moore, Schooling, Society and Curriculum. London: Routledge. Widodo, J. 10 Mei 2014. Revolusi Mental. Kompas, hlm. 6. Windham, D. M. & Chapman, D. W. 1990. The Evaluatioin of Educationnal Efficiency: Contraints, Issues, and Policies. Greemwich: JAI Press. Yeager, E. A. & Silva, D. Y. 2002. Activities for Strengthening the Meaning of Democracy for Elementary School Children. The Social Studies. 93 (1), hlm. 18-22. Young, M. F. D. 2008. Bringing Knowledge Back in: From Social Constructivism to Social Realism in the Sociology of Education. London: Routledge.
567