Bismillahirrahmaanirrahiim 60 Penyakit Hati :
MENGIKUTI HAWA NAFSU Nafsu dengan syahwatnya merupakan bagian dari nikmat Allah bagi manusia. Secara alami, nafsu itu cenderung pada hal-hal yang tidak baik. Nikmat yang satu ini memang memiliki unsur kesamaan dengan apa yang dimiliki binatang. Allah Swt berfirman, " Sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh (mengajak) ke jalan
kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan Rahmat Tuhanku." (Q.S. Yusuf, 53). Orang-orang yang mendapatkan kasih sayang Allah adalah mereka yang dapat membimbing dan mengendalikan nafsunya sejalan dengan hidayah-Nya. Dalam diri manusia, ada 4 (empat) potensi nafsu, yaitu : 1. Nafsu Hayawani. Nafsu jenis ini punya kecenderungan pada perilaku binatang; contohnya rakus, tamak, tidak punya rasa malu, dan sifat binatang lainnya. 2. Nafsu Sabu'iyyah; nafsu yang mendorong seseorang berperilaku seperti binatang buas. Misalnya, kebencian, permusuhan, hasut, dengki, amarah, dan saling hantam. 3. Nafsu Syaithaniyyah; nafsu yang mewakili tabiat setan yang mengajak manusia ke jalan sesat. 4. Nafsu rabbaniyyah; nafsu yang memakai atribut-atribut ketuhanan, seperti egois, takabur, ingin selalu dipuji dan diagungkan. Dibawah ini beberapa akibat jika manusia dikendalikan oleh satu atau semua potensi nafsu tersebut. 1.
Menyimpang dari kebenaran. Allah berfirman, "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena kamu ingin menyimpang dari kebenaran." ( Q.S. An Nisa, 135) 2. Menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah Swt berfirman, "Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah." (Q.S. As Shad, 26)
3. Melampaui batas dalam segala perbuatan. Allah Swt berfirman, " Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan untuk mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya karena segala urusannya suka melewati batas." (Q.S. Al Kahfi, 28). Rasulullah Saw bersabda. "Ada tiga hal yang dapat merusak (amal manusia) : (1) kekikiran yang selalu ditaatinya, (2) hawa nafsu yang diikuti ajakannya, dan (3) berbangga diri dengan kebaikan dirinya." (H.R. Bazar). " Ada dua hal yang paling aku takuti pada umatku: (1) apabila umatku sudah mengikuti keinginan nafsunya, dan (2) apabila umatku sudah termakan panjang angan-angan. Adapun bahaya mengikuti hawa nafsu adalah akan membuatmu menyimpang dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan akan membuatmu lebih mencintai dunia." (H.R. Ibnu Abi Dun-ya). "Orang yang lemah (jiwanya) adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan lalai dalam menjalankan perintah Allah." (H.R. Turmudi). Apabila berhasil mengendalikan hawa nafsu dengan menjalankan atau mendayagunakannya di jalan Allah, kita akan merasakan ketenteraman surgawi, baik di dunia maupun di akhirat; sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut;
" Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sungguh surgalah tempat mereka." (Q.S. An Nazi'at: 40-41). Pengendalian hawa nafsu tidak berarti menahan hawa nafsu dari hajat kesenangan duniawi dan sepenuhnya hanya memikirkan akhirat, tetapi membimbingnya melalui pedoman iman dan takwa. Iman berarti keterikatannya dengan Allah, dan takwa berarti penyesuaian tindakannya dengan aturan-Nya. Jika nafsu ini sedang diperalat setan agar keluar dari pedoman tersebut, hendaknya kita mampu memeranginya. Itulah makna jihadun-nafsi yang dianggap lebih besar daripada perang fisik. Karena tabiat nafsu itu mengajak ke jalan yang buruk, dalam pengendalian dan
penyadarannya, harus bertahap, apalagi jika nafsunya sudah terbelenggu normanorma buruk yang melingkupinya. Jika nafsu seseorang berada dalam kondisi yang aslinya, dia harus berusaha memberikan bimbingan, pengajaran, dan pengendalian agar mengetahui, mengerti, dan menyadari arah perjalanan sebenarnya, kemudian melatihnya beramal. Namun, kita tidak perlu memaksanya supaya kuat memikul seluruh aturan dan undang-undang persis seperti yang disunahkan oleh Rasulullah, karena kita tidak akan mampu memikulnya. Rasulullah Saw bersabda, "Wahai manusia, lakukanlah sebagian dari amal-amal (salehmu) sekuatmu. (Jika kamu memaksa nafsumu untuk memikul amal-amal berat di luar kemampuanmu, kamu pasti akan segera mengalami kebosanan). Sebab sesungguhnya Allah tidak akan bosan (menerima amalmu) kecuali jika kamu sudah bosan. Sesungguhnya sebaik-baik amal adalah amal yang terus menerus dijalankan meskipun sedikit." (H.R. Bukhari dan Muslim). Begitu juga, jangan sekali-kali mengekangnya dengan tidak peduli terhadap realitas kemajuan dunia yang telah Allah tebar di muka bumi ini. Berilah dia hiburan dengan perhiasan dan keramaian yang dilihatnya. Ali bin Abi Thalib berkata, "Hiburlah hatimu, karena jika (terus) dipaksa (memikul beban), dia bakal (cepat) merasa lelah." Tentu saja dengan memakai pedoman iman dan takwa. Jika dia masih saja meleset dari pedoman tersebut, segeralah ajak bertaubat; kembali kepada niat asal yang fitrah yang sesuai dengan aturan Allah. Pada tahap berikutnya, hendaknya kita tindak lanjuti dengan latihan shalat secara khusyuk dan bertanggung jawab. Buatlah program pengendalian nafsu dari waktu ke waktu agar sedikit demi sedikit ia terbebas dari perbuatan keji dan mungkar. Dalam kondisi seperti ini, nafsunya naik satu tahap, dari tahap nafsu amarah (nafsu yang suka mengajak ke jalan buruk) menjadi nafsu lawwamah (nafsu yang akan mencela dirinya jika terlihat menghampiri jalan buruk). Akhirnya, sebagai pemenang utama dalam perjuangan melawan nafsu ini, adalah orang-orang yang sampai ke tahap nafsu muthma'innah; nafsu yang tenteram dan tenang, merasa nikmat dengan menjalankan semua hidayah Allah, dan tidak pernah kaku mengantisipasi seluruh dinamika kehidupan.
Jika sedang mendapat nikmat kekuasaan, dia akan senang dengan keadilannya. Jika kaya, dia akan senang dengan kedermawanannya. Jika miskin, dia akan senang dengan pekerjaannya. Jika berilmu, dia akan senang kalau orang lain dapat merasakan manfaatnya. Nafsu muthma'innah inilah yang akan mendapat panggilan Allah ketika seseorang menghembuskan nafas terakhirnya. Allah Swt berfirman, " Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas dan penuh keridhaan-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Q.S. Al Fajar, 27-30). Penyebab seseorang mengikuti hawa nafsu ini adalah tidak memahami hakikat nikmat yang diberikan-Nya untuk ditempatkan pada porsi yang sebenarnya, selain dia tidak menyadari tabiat asasi dari nafsunya. Oleh karena itu, agar selamat dari bujukan nafsu yang menjadi penyakit dalam hati ini, kita hendaknya memahami keberadaan nafsu dalam ibadah yang kita jalankan. Adapun di antara posisi nafsu di tengah-tengah aktivitas keseharian kita adalah sebagai berikut. 1. Nafsu yang mendorong makan-minum agar fisik kita memiliki kekuatan dalam menjalankan ibadah dan tugas khilafah dari Allah. 2. Nafsu yang mendorong kita berpakaian untuk menutup aurat, sesuai dengan aturan Allah. 3. Nafsu yang mendorong kita memiliki tempat tinggal untuk menutup aurat keluarga dan pandangan-pandangan yang jahat. 4. Nafsu yang mendorong kita mencari harta kekayaan sebanyak-banyaknya agar kita tidak meningggalkan ahli waris dalam keadaan terhina atau dalam kefakiran yang dapat mengakibatkan kekafiran, menyantuni mereka yang bernasib kurang untung secara duniawi, dan menyokong perjuangan agama Islam. Marilah kita tempatkan nafsu yang ada dalam diri kita agar kita pandai bersyukur dalam suatu kesuksesan yang dicapai, dan pandai bersabar dalam kegagalan, cobaan, dan musibah yang menimpa. Itulah makna pengendalian nafsu yang diisyaratkan Allah dalam program pembinaan
manusia muttaqin, yakni dari "bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuan", menjadi "bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa".