1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia
tiga nafsu, yaitu: nafsu amarah, nafsu
lawamah dan nafsu mutmainnah, nafsu makan dan nafsu syahwat masuk dalam nafsu amarah dan nafsu lawamah. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu setiap manusia memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu. Sebagai makhluk berakal manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya itu. Sebagai makhluk beragama manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan menyempurnakan agamanya itu inilah masuk dalam nafsu mutmainnah1. Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Karena hal ini disebut dengan 1
M. Toha, 2001, Imam Ghazali, Pustaka Maju, Tangerang, hal 76.
1
Universitas Sumatera Utara
2
danifiyatal-khamsa (lima kebutuhan dasar) pada diri setiap manusia. Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah. namun, dalam ayat 53 surah Yusuf, Allah SWT menerangkan bahwa nafsu itu sendiri cenderung ke arah keburukan. Nafsu yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di atas permukaan bumi ini, sebagaimana yang dirisaukan oleh para malaikat. Maka, untuk tujuan itulah berbagai aturan bernama hukum yang ditetapkan Allah SWT. Segi
kehidupan
manusia
yang
diatur
Allah
SWT
tersebut
dapat
dikelompokkan kepada dua kelompok. Pertama: hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah.Tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara Allah SWT dengan hamba-Nya yang disebut juga hablum min Allah. Kedua: berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini di sebut hukum muamalat. Tujuannya menjaga hubungan antara manusia, dan alamnya atau yang disebut hablum minannas. Kedua hubungan itu harus tetap terpelihara, agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah yang dinyatakan Allah dalam surah Ali Imran ayat 112 yang artinya: ”Mereka diliputi kehinaan di mana berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali(agama) Allah SWT dan (tali) perjanjian dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari allah SWT dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”.(QS.3:112). Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
3
Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian, harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang; siapa, yang berhak memahaminya, jumlahnya dan bagaimana cara mewarisinya. Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan Allah melalui firmanNya yang terdapat dalam Al-qur’an, pada dasarnya ketentuan Allah berkenaan dengan kewarisan jelas maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan yang merinci disampaikan Rasulullah SAW melalui haditsnya. Bagi umat Islam Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan dalam Pengadilan Agama dalam memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan berkenaan dengan harta waris tersebut. Hukum berkaitan dengan masyarakat 2, hukum dipengaruhi filsafat dan nilai-nilai 3. dengan demikian maka umat Islam yang telah melaksanakan hukum Allah itu dalam penyelesaian harta warisan, di samping telah melaksanakan ibadat dengan melaksanakan aturan Allah tersebut, dalam waktu yang sama, telah patuh kepada, aturan yang telah ditetapkan negara. Hukum kewarisan dalam Islam yang tergambar dari dasar dan sumber hukum kewarisan Islam itu serta berbagai prinsip dasar dari kewarisan Islam dalam wacana; diteruskan dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai ajaran dan diakhiri dengan
2 3
Al-Raghib al- Isfahani, Mu’jam Mufradat alfazh alqur’an(Beirut: Sar al-Fikr,t,t), hlm. 126. M. Rasayid 1984, living in Philosopy, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
4
penerapan hukum tersebut di Indonesia. Dalam istilah arab disebut Faraidh4. Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan : “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris”. Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berapa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.5 Allah SWT memerintahkan agar setiap orang yang beriman mengikut, ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini. 6 Dalam Al-qur'an Surah An-Nisa ayat 13 dan 14, Allah berfirman : Artinya : hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal didalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, serta melanggar ketentuan (hukum4
Pandangan Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendefinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, Idris Djakfar dan Taufik Yahya, 1995, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : PT. Dania Pustaka Jaya), hal. 3-4. 5 Masjfuk Zuhdi, 1993, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo), hal. 57. 6 Mahmud Yunus, 1989, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung), hal.5
Universitas Sumatera Utara
5
hukum) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan.7 Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta bagian masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang telah ditentukan Allah yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuanNya, Allah menjanjikan surga. Rasulullah SAW, bersabda yang artinya : “barang siapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga (muttafak alaih)”8. Dalam tradisi arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya. 9 Oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.10 Konsekwensinya perempuan, anakanak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya. Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang tua renta, suami, isteri, saudara laki-laki 7
Al-Quran, Surah An-Nisa, ayat 13 dan 14. Op.Cit Masjfuk Zuhdi, 1993, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo), hal. 58. 9 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya : Mutiara llmu), hal. 15. 10 Ahmad Rofik, 1998, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) hal. 6. 8
Universitas Sumatera Utara
6
dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing. Dari ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian,11sedang Hukum Waris masuk dalam buku II Hukum Perdata Barat12. Peraturan tentang Perkawinan yang bersifat Nasional, dalam arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. 13 Cita-cita tersebut seringkali disebut cita-cita akan unificatie Peraturan Perkawinan dan cita-cita tersebut telah diwujudkan dalam Undang-Undang No. 1/1974 (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya) yang dinamakan Undang-undang Perkawinan 14 , yang telah mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, dimuat dalm Lembaran Negara No. 1 tahun 1974. Karena itu orang seringkali menyebutnya Undang-Undang No. 1/1974 atau Undang-Undang Perkawinan (UUP). 11
Amir Syarifuddin, 1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat/Minangkabau, (PT. Gunung Agung), hal. 24 12 Ali Afandi, 1997, Hukum Waris Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.9 13 Di dalam Pertimbangan atas dikeluarkannya Undang-Undang No. 1/1974 dikatakan ”....perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang Berlaku bagi Semua Warga Negara Indonesia” 14 Mengenai apakah benar telah tercapai unificatie, silahkan lihat Prof.Dr. Hazairin dalam “Tijauan mengenai Undang-undang nomor 1/1974 sebagai dicitir oleh K. Wantjik Saleh, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia, cetakan kedua tahun 1978, hal 3 menyatakan ”....Unificatie dalam Undang-undang Perkawinan adalah unificatie yang unik, dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber ke Tuhanan Yang Maha Esa” : Ada pula yang menyebut ”unificatie tanpa meninggalkan ke masyarakat”, vide Retno Wulan Sutantio, SH sebagai dicitir oleh T.H. Liem dalam ”Perkembangan kedudukan hukum wanita Belanda sekadar perbandingan dengan perkembangannya di Indoensia”, Kompas 14 Desember 1980. Surat MA No. MA/Pemb/0807/75 pada sub 1 menyatakan Undang-Undang No. 1/1974 sebagai Undang-undangNo. 1/1974 sebagai Undang-Undang Perkawinan Nasional bermaksud mengadakan unificatie dalam bidang Hukum Perkawinan tanpa menghilangkan ke Bhinekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan karena masih berlakunya hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
7
Sekalipun judul resminya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi kalau kita simak isi undang-undang tersebut, maka akan ternyata, bahwa di dalamnya tidak hanya diatur tentang perkawinan saja, seperti : a. Putusnya Perkawinan dan lain-lain (Pasal 38 s/d 41), tetapi juga mengatur tentang akibat-akibat perkawinan seperti : 1) Hak dan kewajiban suami istri di dalam perkawinan (Pasal 30 s/d 34) 2) Harta benda di dalam perkawinan (Pasal 35 s/d 37) dan bahkan didalamnya diatur pula tentang : -
Hubungan antara orang tua dan anak (Pasal 45 s/d 49);
-
Hubungan antara anak dan yang dibawah perwalian/dengan wali (Pasal 50 s/d 54)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1/1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang Hukum Keluarga.15 Hubungan hukum yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi antara lain : a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara suami istri. b. Hubungan orang tua dan anak c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya d. Hubungan curator dan curandus16. 15
L.J. Apeldoorn, Incleiding tot de studie van het Nederlandse Recht”, Cetakan XI, Tjeenk Willink, Zwolle, th. 1952, dalam Jimly Asshidieqy, hal. 171 mengatakan : ”Hukum Keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan.”
Universitas Sumatera Utara
8
Seperti pada pasal 35 s/d 37 UU No 1 thn 1974 tentang harta bersama dan bawaan memberikan solusi bagi istri non muslim. Menurut R. Subekti17, memberikan perumusan yang kurang lebih sam, dan juga dengan tegas mengatakan, bahwa Hukum Keluarga meliputi juga hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga. 18 Orang-orang Arab di masa jahiliyah telah mengenal sistem waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab dan sebab atau alasan tertentu, yaitu : 1. Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan (qarabah).19 Adalah warisan yang diturunkan kepada anak lelaki yang dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya.20 Dengan demikian maka semua ahli waris terdiri dari kaum
16 17
Ibid. R. Subekti, 1983, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, (PT. Intermasa, Cetakan ke XVII), hlm.
16 18
J.G. Karlsen, J. Eggens, J.M. Polak, 1956, ”Huwelijkgoederen en Erfrecht”, (cetakan kedelapan, Tjeenk Willink, Zwolle),Oleh R.Subekti hal. 3 19 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, 2004, Ahkamul-Mawaarils fil-FighilIslami, Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan Faturrahman, Hukum Waris, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing), hal.2. 20 Ibid
Universitas Sumatera Utara
9
laki-laki.
21
Muhammad Yusuf Musa mengutip pendapat Jawwad yang
mengatakan bahwa : Riwayat-riwayat yang menerangkan pusaka orang perempuan dan istri masyarakat jahiliyah itu bertentangan satu sama lain. Tetapi dari kebanyakan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak dapat mempusakai sama sekali. Namun ada juga beberapa riwayat yang dapat difahamkan bahwa orang-orang perempuan dan istri-istri itu dapat mempusakai harta peninggalan kerabatnya dan suaminya dan tradisi yang melarang kaum wanita mempusakai harta peninggalan ahli warisnya tidak merata pada seluruh kabilah, tetapi hanya khusus pada beberapa kabilah, terutama banyak dilakukan orang-orang hijaz saja. Seterusnya beliau juga menerangkan suatu riwayat yang menerangkan bahwa orang yang pertama-tama membenkan pusaka kepada anak-anak perempuan jahiliyah ialah Dzul-Masajid 'An-dr bin Jusyam bin Ghunm bin Habib. la mempusakakan harta peninggalannya kepada anakanaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat bagian anak perempuan. Disamping itu beliau juga menerangkan bahwa seorang anak yang diadopsi oleh seseorang berstatus sebagai anak kandungnya sendiri dan anak diluar perkawinan (anak zina) – pun dinasabkan kepada ayah mereka sehingga mereka mempunyai hak mempusakai penuh. 22 2. Sebab atau alasan tertentu, yaitu :23 a. Berdasarkan Janji setia Yaitu dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan : “Darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.” 24 Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini bila salah seorang meninggal dunia, pihak lain berhak mempusakai harta peninggalan yang mendahuluinya sebanyak seper-enam. Sisa harta setelah dikurang seper-enam 21
Fatchur Rahman, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : Penerbit PT. Al-Ma'arif), hal 13. Muhammad Yusuf Musa, At-Tirkah wal-Mirats fil 'I-Islam, Darul-Ma'rifah, Kairo, t.t., hlm. 15, dalam Fatchur Rahman, Loc Cit. 23 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Loc Cit. 24 Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthuby, AI-Jami' liahkamil Qur'an, Darul Lutubil Mishriyah, Kairo, t.t., hal. 166, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Loc Cit. 22
Universitas Sumatera Utara
10
dibagi-bagikan kepada ahli waris orang yang meninggal.25 Mengenai hal ini juga dibenarkan oleh Al-Qur'an berdasarkan firman Allah pada Q.S. An-Nisa ayat 33, yang artinya : “Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, Kami adakan pewaris-pewarisnya. Dan (Jika ada) orang-orang yang berjanji setia dengan kamu berikanlah kepada mereka .......................... “26 Tentang non-muslim tidak dapat menjadi ahli waris dari seorang Muslim, maka ulama sepakat bahwa hal itu dapat diterima dan sejalan dengan ketentuan QS. Al-Maidah ayat 5 yaitu diperbolehkan bagi laki-laki Muslim mengawini wanita Ahli Kitab, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi laki-laki dari kalangan Ahli Kitab menikahi Muslimah dan hadits Rasulullah di atas. Akan tetapi dalam permasalahan seorang muslim yang menajadi ahli waris dari seorang non-muslim, maka dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat, yaitu : 1. Seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi pewaris yang berstatus non-muslim atau murtad, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, diantaranya para sahabat Rasulullah SAW, dari kalangan Utsman Bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para sahabat yang lain. Adapun dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Amru bin Utsman, Urwah, Al-Zuhri, Atha’Thaawus, Al-Hasan, Umar bin Abdul Al-’Aziz. Begitu juga dengan Al-Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya, Malik, Al-Syafi’i, Ahmad Bin Hambal, dan mayoritas para fuqaha’ yang lain.27 Landasannya hadits Rasulullah SAW, diriwayatkan Usmah Bin Zaid ra : ”Seorang muslim tidak menerima warisan dari orang kafir dan orang 25
Fatchur Rahman, Op Cit, hal 14. Departemen Agama RI, 1996, Al Qur'an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Karya Putra Toha), hal. 66. 27 Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, al-Syarh al-Kabir, (Beirut : Dar al-Kutub al‘Ilmiyah, t.th) juz VIII hal. 495 26
Universitas Sumatera Utara
11
kafir tidak menerima warisan dari orang muslim.28 2. Seorang muslim menjadi ahli waris bagi non-muslim. Sebaliknya, seorang non-muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi seorang muslim. Ini merupakan pendapat sebagian ulama diantaranya Mu’awiyah, Mu’adz Bin Jabal, Abu Darda’, Sa’id Bin Musayyib, ”Ali Bin Husein, Ibnu Hanifah (Muhammad Bin Al-Hanafiyah), Musruq Al-Nakha’i, Al-Sya’bi, Yahya Bin Ya’mar, dan Ishaq.29 Akan tetapi pendapat ini tidak bisa disandarkan kepada mereka sepenuhnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, bahwa mereka Imam Ahmad mengatakan, ”Tidak ada perbedaan (pendapat) diantara manusia (ulama) bahwa seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi orang kafir.30 Adapun yang menjadi dalil mereka adalah : a. Hadits Rasulullah SAW : ”Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)”.31Sehingga pada akhirnya seorang muslim tersebut mewarisi harta benda saudaranya yang beragam Yahudi.32 3. Diriwayatkan dari Umar, Mu’adz dan Mu’awiyah ra, bahwasanya seorang muslim dapat mewarisi (harta benda) orang kafir, akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi seorang muslim.33 4. Qiyas (analogi) mereka kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam QS, Al-Maidah ayat ke-5, yaitu diperbolehkan bagi laki-laki mengawini wanita Ahli Kitab, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi laki-laki dari kalangan Ahli Kitab menikahi muslimah. Maka dengan dalil ayat ini, mereka berpendapat kalau seorang laki-laki muslim diperbolehkan mengawini 28
Mhd. Rifai, Fiqih Islam, PT. Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, hal. 516 Al-Nawawi, Al-Majmu, Juz XVII, hal. 190 30 Ibnu Qudamah, Op.Cit 31 HR. Al-Daa Quthi, dalam : Nikah, Bab : Mahar, (Hadist No. 3578) 32 HR. Al-Thabrani, dalam : Al-Hu Jam Al-Kabiir, (201162), Hadist No. 338 33 Ibnu Qudamah, Op.Cit, Jilid VIII, hal. 496 29
Universitas Sumatera Utara
12
wanita ahli kitab, maka seorang muslim juga dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris non-muslim dari kalangan ahli kitab.34 Imam An-Nawawi ra., mengatakan bahwa pendapat yang rajih dari kedua pendapat diatas adalah jumhur ulama.35 Hal ini ada beberapa sebab, yaitu : 1. Dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengatakan bahwa seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi ahli kitab adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.36 2. Adapun hadis ”Islam itu bertambah tidak berkurang” tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk memperbolehkan seorang muslim menjadi ahli waris bagi ahli kitab karena maksud hadits ini sebagaimana yang dijelaskan Imam AnNawawi ra., adalah keutamaan Islam atas yang lain, dan hal ini tidak ada kaitannya dengan masalah warisan. Sedangkan Imam Ibnu Qudamah ra., menjelaskan hadis tersebut maksudnya bahwa Islam ini akan bertambah dengan adanya orang yang masuk Islam dan dengan adanya perluasan wilayah. Dan Islam tidak akan berkurang karena orang yang murtad lebih sedikit dibanding dengan orang yang masuk Islam. 37 Kemungkinan hadis ”tidak menerima warisan muslim dari kafir” belum sampai kepada kalangan yang berpendapat bahwa seorang muslim bisa menjadi ahli waris bagi ahli kitab. Demikian yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi ra.38, perlu diketahui bahwa mayoritas ulama tidak menggunakan penafsiran analogi/qiyas, sebab dalam hal waris mewarisi terdapat dalil dari sunnah yang kuat yang sama sekali bertentangan dengan analogi/qiyas. Dan qiyas yang bertentangan dengan nash yang shahih, maka qiyas ini batal. 39 Disamping itu, pendapat yang kedua dianut oleh para khalifah semenjak Mu’awiyah ra, menjadi penguasa, dan berakhir sampai berkuasanya khalifah Umar bin Abdul Aziz, ra, maka mulai saat itu beliau mengembalikan masalah tersebut dengan merujuk kepada ajaran sunnah yang pertama kali.40 Dari Usamah Bin Zaid, bahwasanya nabi SAW telah bersabda :”muslim tidak
34
Ibid, lihat pula : Al-Nawawi, Al-Ujmu, Juz XVII, hal. 190 Al-Nawawi, Syarat Shahih Muslim, Juz XI, hal. 54 dan Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim At-Mubarakfuri, Op.Cit, Juz V, hal. 617. 36 Ibnu Qudamah, Op. Cit, Jilid VIII, hal. 496 37 Ibnu Qudamah, Op. Cit 38 Al-Nawawi, Op. Cit 39 Dr. Abdul Karim Zaidan 40 Muhammad Nafi,/25-12-2010/pa-barabai-ptabanjarmasin.go.ic/WARISAN BALI NON MUSLIM DAN MURTAD 35
Universitas Sumatera Utara
13
mewarisi kafir, dan kafir tidak mewarisi muslim. 41 Sehingga istri atau anak non muslim tidak berhak mewarisi namun putusan pengadilan memberikan kepada keluarga yang non muslim hak wasiat wajibah. Dalam hal mengenai pembagian warisan dalam hukum Islam terhadap istri yang non-muslim, maka
berdasarkan latar belakang diatas, maka tesis ini akan
membahas tentang “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM” (Studi Putusan PA No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby). B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan di bahas di rumuskan sebagai berikut : 1. Kenapa ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari keluarga yang muslim? 2. Apa yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada keluarga non muslim? 3. Bagaimanakah pandangan Pengadilan Agama terhadap Putusan PA No. 0140/Pdt.P/2012/PA.Sby? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
41
Al-Bukhari , Shahih al-Bukhari, (Mesir : Dar al-Fikr, 1981), Juz III, hal.5
Universitas Sumatera Utara
14
1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris non muslim terhadap harta warisan dari keluarga yang muslim. 2. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim. 3. Untuk mengetahui pandangan Pengadilan Agama terhadap Putusan PA No. 0140/Pdt.P/2012/PA.Sby. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.
Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan
ilmu hukum khususnya hukum islam, hukum Perkawinan dan studi notariat yang berhubungan dengan pengaturan-pengaturan warisan serta solusi terhadap ahli waris yang tidak mendapatkan warisan sesuai Al-qur’an, Hadist, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam. 2.
Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
warisan status istri non muslim dan juga memberikan upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh pihak dalam hal ahli waris tidak mendapatkan warisan. E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan dari penelusuran di Kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG
Universitas Sumatera Utara
15
PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM” (Studi Putusan PA No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby). belum pernah dilakukan. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Pendapat Gorys Keraf tentang definisi teori adalah42 : “Asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada”. Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori43. Menurut Soerjono Soekanto, teori44 adalah suatu sistim yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu. Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research menjelaskan teori 45 : “Suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antarvariabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”.Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.46 Teori yang dipergunakan adalah teori keadilan yaitu keadilan melalui wahyu
Allah SWT, secara filsafat hukum Islam keadilan ilahiyah adalah dialektika muktazilah dan asy’ariah, gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya 42
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press), hal.6. Ibid, hal 6. 44 Ibid,.hal. 13 45 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, op. cit. hal.133 46 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju), hal. 80. 43
Universitas Sumatera Utara
16
manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah)., sedang hukum produk manusia yaitu perubahan masyarakat harus diikuti dengan perubahan hukum.47 Tesis dasar mu’tazilah manusia sebagai yang bebas bertanggung jawab dihadapan allah secara adil selanjutmya baik dan buruk dapat diketahui melalui nalar berdasarkan wahyu.Tesis pokok mereka bahwa keadilan bergantung pada pengetahuan obyektif tentang kebaikan dan keburukan, kaum mu’tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan obyektivisme rasionalis.48 Kaum mu’tazilah mendapat tantangan dari kaum asy’ariah yang menentang bahwa gagasan akal merupakan otonomi pengetahuan etika. Mereka menyebutkan bahwa baik dan buruk itu datangnya dari Allah, konsep asyariah ini tentang pengetahuan etika dikenal sebagai subyektivisme teistis, bahwa semua nilai-nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan berdasarkan wahyu. Kedua pandangan teologis tersebut menyatakan bahwa kaum mu’tazilah berpendapat dimana manusia sebagai mahluk yang bertanggung jawab dalam menentukan terhadap kehendak nalarnya berdasarkan wahyu, sedangkan asy’ariah bahwa manusia sebagai mahluk yang menjalan etika naluri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu 47 48
Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa),hal, 102. Mumtaz Ahmad (ed),Masalah-Masalah Politik Islam, Bandung Mizan, 1994,hal.154-155.
Universitas Sumatera Utara
17
dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu), tetapi, (ia tidak melakukan demikian). Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.”49
Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui secara obyektif, tak soal dengan perbedaan keyakinan-keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang sempurna. Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”.50 Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakanreligius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al-
49 50
Al-Qur’an surah Al-maidah: 48 Al-Qur’an surah Al-Baqoroh: 112
Universitas Sumatera Utara
18
Quran mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin untuk mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles – yaitu, suatu produk dari kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial. 2.
Konsepsi Konsep berasal dari Bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu
kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.51 Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan suatu konsepsi yang masuk didalam pemikiran dan tepat sasaran. Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional tersebut adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius), dari suatu
istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut. Analisis hukum adalah merupakan hasil dari evaluasi akan peraturan hukum yang berlaku. a. Analisis adalah suatu analisa terhadap suatu objek. b. Analisis Hukum adalah suatu analisa dalam sudut pandang hukum.
51
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, 2000, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta : Bumi Aksara), hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Hukum adalah suatu aturan-aturan yang mengikat terhadap yang berkaitan atasnya. d. Hukum Islam adalah merupakan aturan yang berdasarkan hukum Islam. e. Waris adalah merupakan peninggalan. f. Hukum Waris adalah ketentuan terhadap pembagian warisan. g. Hukum waris Islam adalah ketentuan terhadap pembagian warisan secara Islam. h. Penetapan Hak adalah ketentuan atas ketetapan hak i. Wasiat wajibah merupakan pemberian terhadap yang bukan ahli waris. j. Ahli Waris adalah penerima warisan k. Muslimadalah merupakan subjek yang beragama Islam. l. Non muslim adalah objek yang bkan beragama Islam. G. Metode Penelitian Agar pedoman
penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan
yang
disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara
berfikir dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian.52 Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinankemungkinan, sebagai berikut53 :
52 53
Kartini Kartono, 1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Alumni),hal.15-16. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
20
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain : 1.
Spesifikasi Penelitian Penelitian ini memiliki sifat analisis deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian dilapangan54. Sehingga penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang, berikut segala permasalahan yang akan timbul. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan.
2.
Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan “justifikasi” preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem 54
Ibid, hal. 63
Universitas Sumatera Utara
21
kaidah atau aturan, sehingga penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Jadi penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum tentang analisis hukum terhadap hak waris istri non muslim . 3.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung
dengan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan
kepustakaan atau data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.55 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : 1) Al Qur’an 2) Hadis 3) Ijma’ 4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 5) Kompilasi Hukum Islam berlakunya sesuai INPRES No 1 tahun 1991. 6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. 7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 8) Kompilasi Hukum Islam.
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Press), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
22
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian. c. Bahan tertier adalah bahan pendukung diluar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian. 4.
Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Wawancara (interview) adalah sekumpulan pertanyaan (tersusun dan bebas) yang diajukan dalam situasi atau keadaan tatap muka atau langsung berhadapan dan catatan lapangan diperlukan untuk menginventarisir hal-hal baru yang terdapat dilapangan yang ada kaitannya dengan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan, dilakukan terhadap Ketua PA Medan.
5.
Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas. Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara
Universitas Sumatera Utara
23
berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.56
56
H.B. Sutopo, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, (Surabaya : UNS
Press),
Universitas Sumatera Utara