menyingkap KAREN Gita cerita utama menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun nonfiksi, yang cerdas sekaligus melipur RICHARD BAER menyingkap karen Kisah Menggugah Seorang Wanita dengan 17
Cirtltod MhtntMminf 8r*tem Dt4ENBOMD1ŁM0 CwtND.H1 100 Q768I0 ŠRichard Baer,2007 Diterjemahkan dari Switching Time: A Doctor’s Harrowing Story of Treating a Woman with 17 Personalities karya Richard Baer, terbitan Crown Publishers, New York, 2007 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Berliani M. Nugrahani Penyunting: Anton Kurnia Proofreader: Daniel Solihin Pewajah Isi: Siti PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya, Jakarta 12730 www .serambi .co .id; www .cerita-utama .serambi .co .id; inf o@serambi .co .id Cetakan I: September 2008 ISBN: 978-979-024-023-0 Daftar Isi Prolog “11 BERTAHAN HIDUP 1 Awal yang Salah “19 2 Roller Coaster ” 33 3 Kehilangan Waktu ” 51 4 Memilih Kematian ” 59 5 Penahanan Ayah ” 79 6 Ibu dan Ayah “101 7 Komitmen yang Semakin Mendalam ” 1
8 Kengerian-kengerian Masa Kecil “123 KEPRIBADIAN KEPRIBADIAN LAIN 9. Surat dari Claire “155 10. Perkenalan-Perkenalan “183 11. Hadiah Natal ” 205 12. Saluran-saluran yang Berlainan “219 13. Pohon Silsilah ” 249 14. Saat Bercerita “271 15. Foto-foto Mesum ” 293 INTEGRASI 16. Solusi Holdon “313 17. Menyatukan Claire Ť 331 18. Sandy dan Miles “347 19. Ann dan Sidney ~ 369 20. Thea dan Karen Boo ~ 391 21. Karl ~ 40.Z 22. Efee dan Karer/ 1 ~ 417 23. Katherine ~ 43i 24. Juiiann dan Karen 3 ~ 445 25. Care7 2 dan Jensen ~ 463 26. Wo/don ~ 5t?3 Ep//og 539 Catatan Karen 549 Catatan Penulis ~ 55i tfoft//( R/c/c
tidak mengenalnya. “Karen, kita mendapatkan Sara yang cantik,” katanya. “Kapankah kau akan pulang?” Aku tidak tahu di mana rumahku, atau siapa saja yang mungkin ada di sana. “Kau harus menanyakannya kepada dokter,” kataku, tersenyum lemah. “Namanya Sara?” “Ya, Sara, tentu saja!” katanya. “Apa kau berubah pikiran?” “Oh, tidak, Sara nama yang indah,” ujarku. Aku sangat kebingungan dan ketakutan, tapi kupikir aku sebaiknya merahasiakan segenap kegafauanku ini. Bagaimana mungkin aku menanyakan kepada pria ini, Siapakah kamu? Mereka akan menganggapku gila, pikirku. Aku berharap aku tidak gila. Aku yakin mereka akan mengurungku di suatu tempat jika mereka tahu bahwa aku tidak bisa mengingat apa pun. Bayangan-bayangan peristiwa yang terjadi sebelum persalinan mulai mendatangiku aku didorong di sepanjang koridor berdinding hijau menuju lift, memandang pipapipa air yang terpasang di langit-langit, melirik wajah-wajah yang berbicara dan menunduk di atasku. Aku ingat ketika para perawat mengikatku pertama kakiku, lalu tanganku. Aku tiba-tiba teringat … Aku tak bisa bergerak! Kumohon, jangan sakiti aku! Aku meronta-ronta untuk melepaskan diri. Aku tidak bisa melihat dokter yang bekerja di balik tirai. Dia menunduk di atas perutku, lalu aku merasakan pisau bedahnya, dan api seolaholah membelah perutku. Aku menendang-nendang dan berusaha menjerit, namun suaraku tidak muncul. Mulutku terasa kecut dan pahit, dan tenggorokanku penuh berisi muntahan. Aku berusaha bernapas. Dokter itu melihat kakiku bergerak dan meneriakkan sesuatu kepada perawat. Sebuah masker dipasang di mukaku. Kemudian, aku menghilang. Selama beberapa hari pertama sejak kelahiran Sara, aku tahu aku telah memiliki seorang anak lakilaki berumur dua tahun di rumah, James, yang rambutnya pirang bergelombang dan memiliki sepasang mata paling biru yang pernah kulihat. Aku melihat anak itu dalam foto yang ditunjukkan oleh ibuku. Kurasa wanita itu adalah ibuku. Dia bercerita soal pengalamannya saat melahirkanku. “Kau anak pertama; kau yang tersulit. Proses kelahiranmu seolah olah berlangsung selamanya. Dahulu belum ada obat-obatan manjur seperti yang kaupakai sekarang ini. Aku masih ingat robekan yang kausebabkan dan banyaknya jahitan yang kudapat.” Dia tidak membiarkanku bicara. Aku hanya mendengarkan. Setelah beberapa waktu, aku mulai merasa jengkel terhadap wanita berpakaian mencolok bermotif kulit binatang dan selalu mengarahkan setiap percakapan pada dirinya ini. Suaminya, Martin, ayahku, seorang pria bertubuh besar yang berpenampilan suram dan mengancam, mendekatiku sejenak dan menanyakan keadaanku, tapi tidak menantikan jawabanku. Setelah menonton televisi selama beberapa menit, dia keluar. Anehnya, aku menerima fakta-fakta yang baru kuketahui tentang diriku dan keluargaku ini tanpa kewaspadaan ataupun keterkejutan. Meskipun semua itu membingungkan, secara samarsamar aku merasa pernah berada dalam situasi serupa sebelumnya. Rasanya, aku sudah terbiasa berpurapura dan mengumpulkan banyak informasi tentang apa pun yang luput dari ingatanku, dan entah bagaimana, aku tahu bahwa aku akan lebih baik jika tetap diam. Kadangkadang, saat keluargaku membesuk, aku berpura pura tidur supaya dapat mencuri dengar percakapan mereka dan secara diam-diam mengakrabkan diri dengan suamiku, saudara-saudaraku, keluarga mereka, dan temanteman kami. Aku mendengar ibuku memanggil suamiku Josh, dan suamiku memanggil ibuku Katrina.
Josh bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan pengangkutan. Dia bertugas memastikan truk-truk diisi dengan muatan yang tepat dan berangkat tepat waktu. Dia kadangkadang mengunjungiku saat istirahat makan siang, tapi hal ini cukup sulit dilakukan karena dia harus bekerja sekaligus merawat anak lakilaki kami. Masa perawatanku di rumah sakit diperpanjang karena setiap kali aku menarik napas panjang, aku merasakan rasa sakit yang menusuk di bagian kanan dadaku. Akhirnya, dokter spesialis penyakit dalam yang merawatku mengatakan kepadaku bahwa aku mengidap “radang paru-paru basah” akibat menghirup muntahanku sendiri selama pembedahan Caesar. Aku harus diinfus dan tinggal di rumah sakit selama tiga minggu lagi. Suhu badanku naik dan turun, tapi tidak pernah kembali normal sepenuhnya. Kemudian, seorang ahli bedah turun tangan. Akhirnya aku dioperasi dan sebagian paru-paru kananku diangkat karena dokter mengatakan bahwa “abses” telah terbentuk di sana. Ada saatsaat yang tak bisa kuingat selama aku berada di rumah sakit; seolaholah, aku terus-menerus mengalami koma dan sadar kembali. Setibanya di rumah, meskipun bagian kanan dadaku masih terasa sakit, aku berusaha memahami sosok seperti apa yang seharusnya ku tampilkan. Orangorang menelepon dan berkunjung untuk menengok bayiku. Aku hanya membicarakan hal-hal umum hingga dapat melihat jenis hubunganku dengan orang lain. Aku mencermati setiap album foto yang kutemukan; seolaholah ada orang lain yang meninggalkan album-album itu untukku. Aku mengamati setiap ha/amannya dan mendapatkan begitu banyak detail dituliskan di bawah foto-foto yang terpasang di sana. Perlahan-lahan, aku menjadi orang yang ada di dalam foto-foto itu. Suamiku menjadi semakin galak: dia memarahiku karena aku tinggal di rumah sakit selama enam minggu dan tak bisa bantu-bantu di rumah. Dia mengumpatku setiap kali rasa sakit atau keletihan membatasi kemampuanku bekerja di rumah. Aku tak ingin berhubungan seks dengan Josh; aku bahkan tidak mengenalnya. Aku menjadikan rasa nyeri di bagian kanan dadaku sebagai alasan. Yang terburuk dari semuanya adalah, putraku, yang awalnya sepenuhnya asing bagiku, mengetahui bahwa aku bukanlah ibunya, dan aku butuh berbulan-bulan untuk mendapatkan kepercayaan dan penerimaan darinya. Namun, kehidupan terus berjalan. Aku menyesuaikan diri dengan rutinitas di rumah kami, perlahan-lahan terbiasa dengan berbagai tuntutan dari Josh dan ibuku, kembali menjalani jadwal ketat dalam menjadi sukarelawan, menolong temanteman, serta merawat anakanak. Tetapi, setelah lebih dari tiga tahun berjalan, aku merasa putus asa. Aku telah menemui sejumlah dokter untuk menyembuhkan rasa nyeri menusuk yang tak kunjung reda akibat operasi paru-paru di dadaku, namun tidak seorang pun dari mereka dapat menemukan penyebabnya. Di samping rasa sakitku, jauh di iubuk hatiku yang terdafam, aku tahu bahwa diriku sedang menjaiani sebuah kebohongan. Aku terbiasa dengan keluargaku, tapi masih ada saatsaat ketika aku tidak bisa mengingat apa yang kulakukan. Aku tidak ingat saat aku memakai baju, atau aku menemukan sebuah buku di meja samping ranjangku, padahal aku tidak ingat pernah membacanya. Kupikir, tentunya ada yang sangat salah dengan diriku. Aku takut diriku telah kehilangan akal sehat dan akan dikurung entah di mana. Siapakah yang bisa kuajak berbicara? Berbagai hal telah berjalan di luar kendaliku. Akhirnya, aku menelepon rumah sakit, dan mereka merujukku ke Dr. Rosa Gonzales, seorang psikiater. Saat aku menelepon kantornya, resepsionis yang menerima teleponku mengatakan bahwa Dr. Gonzales sibuk, tapi dia memberiku janji temu dengan mitra Dr. Gonzales, Dr. Richard Baer.[] BAGIAN SATU BERTAHAN HIDUP
1 Ka Itu 11 Januari 1989. Aku berjalan menyusuri koridor sempit, melewati kantor dua orang ahli terapi lain, menuju ruang tunggu untuk menemui Karen. Dia duduk di sudut ruangan dengan kepala tertunduk, memainkan tali tasnya. Umurnya dua puluh sembilan tahun, tapi dia tampak lebih tua. Dia mengalami kelebihan berat badan, berwajah bulat, berambut cokelat acak-acakan dengan ujung keriting, mengenakan kacamata berbingkai emas, dan sebuah bekas luka kasar berbentuk setengah lingkaran tampak di tengah keningnya. Pakaiannya rapi, tapi celana panjang katun hitam dan atasan cokelatnya tidak menarik. Dia sama sekali tak mengenakan riasan wajah ataupun perhiasan, kecuali sebentuk cincin kawin. Dia memandangku saat aku mendekatinya. Matanya seolaholah mengatakan, Hai, maafkan aku, aku sudah menyerah. “Silakan langsung masuk saja,” ujarku, dan dia berjalan melewatiku, lamban, malu-malu, penuh rasa bersalah, dan tak berdaya. Terdapat kesan keletihan fsik dan emosional pada dirinya, semacam keengganan yang sepertinya telah mendarah daging. Aku seorang psikiater muda; usia tiga puluh tujuh Awal yang Salah tahun terhitung muda dalam bidang ini. Tinggi badanku sedikit di atas seratus delapan puluh senti dengan rambut cokelat tua bersemburat kelabu. Aku pernah menangani seorang pasien gay yang mengatakan bahwa aku tampak muda dan tampan. Aku telah berpraktik selama tujuh tahun dan membuka praktik paruh waktu di sebuah lingkungan kelas pekerja di pinggiran Chicago. Sebagian besar pasien yang kutemui di sana adalah ibu rumah tangga yang mengidap depresi atau kecemasan, beberapa orang paruh baya penderita manikdepresi, dan beberapa pasien berumur yang menderita involutional melancholia, yakni penyakit depresif yang umum diderita oleh lansia. Aku juga merawat beberapa orang penderita skizofrenia yang tetap mampu menjalani kehidupan dengan normal dan beberapa orang yang sangat taat beragama. Ini tempat yang bagus untuk praktik karena luasnya ragam penyakit psikis yang bisa kuamatidan biaya perawatan hampir semua pasienku ditanggung oleh asuransi kesehatan. Aku juga memiliki kantor di pusat kota Chicago, tempatku merawat para pasien yang membutuhkan penanganan psikoanalisis dan beberapa pasien lainnya. Kantor di pinggiran kota ini, yang pada harihari tertentu kugunakan bersama Dr. Gonzales, terletak di dalam sebuah bangunan batu bata cokelat, berlantai tiga, dibangun pada tahun 1970-an, serta terletak di antara mal, toko-toko mobil, dan restoran-restoran cepat saji. Kantorku berkesan longgar. Hanya ada sebuah meja kayu ek besar dengan dua kursi dan sebuah meja sudut kecil dengan hiasan buket bunga sutra palsu, hadiah dari istriku. Sebuah jendela yang memenuhi seluruh dinding di salah satu sisi ruangan memperlihatkan lalu lintas di 95 Street. Ruangan itu bercat putih tulang, karpet beserta perabot di dalamnya bernuansa cokelat. Kecuali jendela, hanya ada beberapa hal lain yang bisa mengalihkan perhatian. Karen duduk di depan meja dan menghela napas. “Apa yang membawamu menemui saya?” tanyaku. Aku selalu menggunakan kalimat pembuka standar ini karena kekuatannya untuk memancing seseorang menceritakan masalah mereka tanpa harus bersikap defensif. Hampir semua alternatif kalimat lainnya-Apakah yang kamu inginkan? Apakah yang salah dengan dirimu? Saya paham bahwa kamu depresi … tidak layak digunakan. Karen bergerak-gerak canggung, berusaha mencari posisi yang nyaman. Tubuhnya terlalu besar untuk kursi yang didudukinya meskipun posturnya, yang padat dan sedikit condong ke samping, membuatnya tampak lebih kecil.
“Saya merasa … depresi … selama tiga setengah tahun terakhir,” katanya. Sebelum berbicara, dia menarik napas dengan cepat, yang menimbulkan kesan ragu-ragu, ucapannya sarat usaha dan keengganan. Dia terdiam. “Sebelumnya, apakah kamu tidak pernah depresi?” tanyaku. Dia mengangkat bahu, tapi menggelengkan kepala. “Ada masalah dengan depresi saat masa pertumbuhan?” Sekali lagi, dia menggeleng. “Tidak, saya tidak punya masalah hingga melahirkan anak kedua saya, putri saya, dengan operasi Caesar.” Dengan singkat, dia menceritakan perawatannya di rumah sakit. “Saya masih merasa sakit.” Karen menghela napas lagi, menghimpun kekuatan. “Para dokter akhirnya mengangkat sebagian paru-paru saya melalui pembedahan di punggung saya.” Dia menggerakkan tangan di sepanjang payudara kanan hingga ke punggungnya. “Saya sakit cukup lama dan tidak bisa langsung mengurus bayi saya.” Mata Karen berkaca-kaca. “Saya tidak bisa menyusui, dan anak lakilaki saya yang berumur dua setengah tahun menolak saya saat akhirnya saya pulang.” Dia menceritakan kepadaku bahwa dia mengonsumsi obat antidepresi dan penahan rasa sakit meskipun obat penahan rasa sakit justru membuatnya semakin depresi. Aku tahu bahwa depresi umum diderita oleh pasien yang menderita rasa sakit kronis. Keseluruhan hidupnya tentu ikut menderita. “Bagaimana keadaan di rumahmu sekarang?” tanyaku. Dia kembali mengangkat bahu, memberikan kesan menyesal dan tak berdaya. Dia berbicara seolaholah setiap kata yang diucapkannya harus didorong supaya mau keluar, seolaholah sebuah kekuatan di dalam dirinya mencegahnya untuk mengatakan masalahnya kepadaku. Katakatanya muncul dengan sangat lambat sehingga aku nyaris kehilangan konsentrasi saat menantinya. “Pernikahan saya akur.” Sekarang, puluh kilo sejak menolak mereka.” belum mengetahui melanjutkan
retak sejak kelahiran bayi saya. Saya dan suami saya tidak Karen terdiam dan tampak malu. “Berat badan saya naik lima melahirkan. Orangorang menyuruh-nyuruh saya; saya tidak bisa Dia terdiam dan memandangku untuk meminta tanggapan, tapi aku cukup banyak untuk berkomentar sehingga aku menantinya
ceritanya. Karen kembali mengubah posisi duduknya dan meneruskan bercerita. “Saya menangis terus-menerus dan saya harus berhenti bekerja karena rasa sakit yang tidak kunjung reda. Saat saya berada di rumah, rasa sakit itu lebih parah, tapi saat saya berada di luar, rasanya lebih baik.” Dia memalingkan wajah lalu kembali menatapku. “Saya merasa bersalah karena sakit dan saya merasa berutang kepada keluarga saya karena mereka telah menolong saya.” “Kamu berutang kepada mereka?” “Karena mereka harus menolong saya … ” Dia kembali memalingkan wajah untuk menghindari tatapanku. Dia meneruskan ceritanya dengan mengatakan bahwa dia terbangun pada tengah malam dan tidak bisa kembali tidur, dan dia tidak lagi peduli. Dia tidak punya energi, dia sering menangis, dia tidak mampu berkonsentrasi, dan dia berhenti meminum obatnya. Saat mendengar ceritanya, aku melihat seorang wanita yang tidak mampu menolong dirinya sendiri. Dia menampilkan dirinya sebagai korban, nyaris berpegang teguh pada peran itu, dan aku merasa sedikit tidak sabar. Aku tahu bahwa dia menderita depresi, dengan gejala-gejala yang dapat ditolong oleh pengobatan, tapi aku juga menduga dia memiliki sifat tertentu yang berkontribusi dalam memicu depresinya, dan yang akan menjadikan perawatan terhadap penyakitnya lebih sulit.
Setelah mendengarkan ceritanya, aku memberinya pertanyaan standar dari daftar pertanyaan status mentalku. Jelas terlihat bahwa dia mengidap depresi serius, tapi dia menyangkal memiliki pikiran untuk melakukan bunuh diri. Aku memutuskan untuk merawat gejala-gejala depresinya dengan obat dan membiarkan saja sifat khususnya. Aku memintanya kembali datang seminggu kemudian. Dia menerima resepku dengan patuh dan meninggalkan kantorku. Semangatku sedikit terangkat saat aku melihatnya pergi. AKU TIDAK memikirkan Karen lagi hingga dia kembali ke kantorku seminggu kemudian. Katanya, dia merasa lebih baik, dapat tidur lebih nyenyak, meskipun dia masih merasa sedih. “Kepala saya terasa pusing karena pil itu,” katanya, menjumput sehelai benang yang menempel di celananya. “Saya tidak yakin apakah saya menyukainya.” “Saya rasa obat itu bisa menolongmu,” ujarku. “Saya merekomendasikan kepadamu untuk terus meminumnya.” “Baiklah,” ujarnya lirih. “Apa lagi yang kamu rasakan?” “Saya masih merasa sakit, dimulai dari leher, lalu turun ke punggung dan sekitar dada saya, di sini.” Dia menunjuk dadanya. Karen mengulangi keluhan yang telah disampaikannya pada pertemuan pertama kami. Saya tidak bisa menolak permintaan orang /ain. Saya merasa bersalah karena ibu saya me nolong ketika saya sakit, dan sekarang saya berutang kepadanya. Saya berusaha memuaskan semua orang. Pernikahan saya belum pulih sejak saya sakit …. Untuk semua itu, aku hanya dapat menawarkan bantuan yang terbatas. Dia tidak pernah sedikit pun menyinggung tentang apa yang telah dilakukannya untuk memecahkan masalahmasalahnyadia hanya menderita. Aku mendengarkannya dengan kejengkelan yang tumbuh di dalam diriku. Penting bagi seorang ahli terapi untuk menyadari reaksinya terhadap seorang pasien dan berusaha mempelajari sesuatu dari sana. Apakah kejengkelan seperti ini juga dirasakan oleh orangorang dalam kehidupan Karen? Aku memikirkannya. Aku menyarankan kepada Karen bahwa dia bisa mengubah kehidupannya jika dia mau, dan bahwa dia tidak perlu merasa tidak berdaya seperti sekarang. Aku memberikan beberapa contoh dengan menggunakan situasisituasi yang disebutkannya, dan aku memberitahunya cara untuk membuat pilihan yang lebih meyakinkan sebagai alternatif dari pola lemah yang diikutinya. Dia menyebutkan alasan mengapa hal itu tidak mungkin dilakukannya, dan aku menyadari bahwa diriku sedang berbicara dengan batu. Aku melipatgandakan dosis obatnya dan memintanya datang kembali dua minggu kemudian. SAAT KAREN kembali, tangannya gemetar. Pakaiannya sama seperti sebelumnya; dia memakai baju yang ber beda, tapi kesan rapi dan membosankan yang ditampilkannya tetap sama. Kerut merut menghiasi bagian tengah keningnya. Dia bergerak-gerak di kursinya dan memandangku; tatapannya sangat sendu. “Saya tidak bisa tidur … pada malam hari,” katanya dengan lirih, samarsamar, memulai rentetan keluhan yang sudah kuakrabi sejak dua pertemuan terakhir kami. “Apakah kamu berpikir untuk menyakiti dirimu sendiri?” tanyaku. Siapa pun yang sedepresi dan setidak berdaya ini tentunya memikirkan hal itu. Karen mulai menangis. “Kadangkadang saya berpikir untuk bunuh diri,” katanya, tapi dia cepatcepat menambahkan, “saya rasa saya tidak akan pernah melakukannya.”
Saat mendengarnya membicarakan hal-hal yang membebaninya, tetapi dia tidak berupaya untuk menyingkirkannya, aku merasakan kejengkelanku bertambah. Dia berbicara dengan nada monoton yang membosankan dan mengabaikan selaanku, serta saat aku memberikan saran, dia mengangguk-angguk patuh tapi langsung melanjutkan ceritanya, seolaholah aku tidak mengatakan apa-apa. Aku merasa seolaholah, dengan kepasifannya, dia menginjak-injakku. Di dalam benakku, aku berusaha memisahkan gejala-gejala episode depresi mayornya dari sifatnya yang pasif dan rendah diri. Aku ingin memfokuskan perawatan pada depresinya, yang semestinya dapat disembuhkan dalam waktu singkat. Aku tidak ingin berurusan dengan sifatnya; itu pekerjaan yang membutuhkan waktu sangat lama. Menurutku, pengobatan membantunya, tapi hasilnya tidak begitu terlihat. Aku menambah dosis obatnya menjadi tiga kali lipat dan memintanya kembali satu bulan kemudian. Karen adalah pasien terakhirku hari itu, dan aku sudah ingin pulang. Aku memiliki seorang istri, seorang anak lakilaki berumur empat tahun, dan seorang bayi perempuan berumur delapan bulan yang menantiku di rumah. Setelah sehari penuh mendengarkan berbagai masalah orang lain, aku tahu bahwa semangatku akan terangkat begitu aku bertemu dengan keluargaku. EMPAT MINGGU kemudian, aku memasuki ruang tunggu dan mencari Karen, tapi dia tidak ada di sana. Aku kembali ke kantorku dan membaca catatan yang kubuat untuknya dalam kunjungan-kunjungannya sebelumnya. Secara rutin, saat seorang pasien datang untuk memenuhi janji temu, aku membaca catatan yang kubuat dari sesi terakhir kami untuk mengingatkan diriku tentang keadaan pikiran dan emosi mereka. Pasien selalu melanjutkan cerita dari saat mereka meninggalkannya, mungkin tidak selalu berurutan, tetapi selalu mengikuti jejak keadaan emosi mereka. Meskipun topiknya mungkin berubah, jejak emosi mereka akan tetap sama atau, diharapkan, menunjukkan beberapa kemajuan. Awalnya, saat duduk dan menantikan kedatangan Karen, aku mulai memikirkan kemungkinan yang menyebabkan dia terlambat. Apakah aku telah menyentuh topik atau sifat yang sensitif sehingga dia mungkin menjadi enggan menggali keadaan dirinya sendiri? Apakah dia takut akan menjadi dekat denganku, dan dengan datang terlambat, dia mencoba menggagalkan terapi dengan mengurangi waktu yang akan kami habiskan bersama? Setelah sepuluh menit berlalu, aku keluar dan mencarinya lagi; dia masih tidak ada. Seiring waktu, aku mulai memahami bahwa dia tidak terlambatdia memang sengaja melewatkan sesi ini. Karen adalah pasien yang sulit ditolong, sehingga aku kembali melihat catatanku untuk mencari petunjuk mengapa dia tidak kembali. Saat aku membaca kembali apa yang dikatakannya kepadaku, dan saat aku mengingat perasaanku terhadap dirinya, mudah bagiku untuk melihat beberapa hal yang membuatku gagal memahami dirinya dan berempati kepadanya. Kadangkadang, aku tenggelam dalam detaildetail kehidupan seseorang dan reaksi pribadiku kepada mereka, dan karena itulah aku tidak bisa melihat masalah secara luas. Sekarang aku paham bahwa dia berusaha menyenangkanku dengan meminum obat yang dirasanya tidak manjur baginya dan bahwa aku merasa jengkel karena dia tidak kunjung membaik. Aku juga berpikir bahwa caranya bersikap salah. Jelas sudah, kejengkelanku membuatku tak serius mendengarkan ceritanya dan hasilnya dia memutuskan bahwa aku tak mampu menolongnya. Saat memikirkan tentang kegagalanku, aku teringat bahwa pasien depresi memiliki kecenderungan untuk membuat cemas psikiater mereka. Di balik setiap ledakan kejengkelan terdapat kecemasan. Tetapi, kecemasan terhadap apa? Bahwa depresi itu akan menular. Dan, memang begitu. Jika kau duduk dengan seorang penderita depresi, kau akan merasa ditelan mentahmentah: bahwa mereka mengisap kehidupan dari dirimu, dan hal ini juga akan membuatmu depresi. Itulah masalahku dengan Karen dan penyebabku merasa kesulitan duduk dengannya.
Selama bertahuntahun, aku telah bekerja dengan begitu banyak pasien penderita depresi, tapi tidak seorang pun bisa memengaruhiku seperti Karen. SEKITAR SEBULAN kemudian, sekretarisku memberitahuku bahwa dia menerima tiga buah cek dari Karen, untuk setiap sesi yang diikutinya. Semua cek itu tidak bisa dicairkan. Dia menelepon Karen untuk memintanya membayar dengan uang tunai. Karen akhirnya membayar. Jika dia memang berusaha memelihara kemarahan psikiaternya, dia tahu betul cara melakukannya. Tiga bulan lagi berlalu, dan pada suatu hari musim semi yang hangat pada akhir Mei, aku melihat nama Karen dalam daftar pasienku siang itu. Saat dia masuk, penampilannya tidak berubah, mengenakan celana panjang hitam dan atasan hijau pudar berlengan pendek, sedikit gemetar, serta masih sedepresi dahulu. Aku menanyakan alasann dia berhenti datang. Dia bilang dia takut kembali karena ceknya tidak bisa dicairkan. Dia tak mau memasukkan tagihanku ke asuransi suaminya karena dia takut semua orang di tempat kerja suaminya akan tahu dia menemui psikiater. Kurasa penjelasannya hanyalah rasionalisasi dari kebingungan emosional yang ditujukannya terhadapkubahwa dia kembali untuk memberiku kesempatan kedua. Aku berharap dapat menggunakan kesempatan itu dengan bijaksana. Aku meyakinkannya dan menjelaskan aturan kerahasiaan yang harus dipegang oleh perusahaan, menekankan bahwa orangorang di tempat kerja suaminya tak akan mengetahui dia secara rutin menemuiku. Dia tetap menolak memanfaatkan asuransi, tapi dia khawatir tak mampu membayar tagihanku sehingga aku menyarankan agar kami bertemu sekali saja dalam sebulan. Dia tampak lega dan menyetujui usulku. Masalahnya, aku khawatir waktu setengah jam dalam sebulan tidak akan cukup untuk memastikan penyakitnya dan melakukan terapi. SAAT KAREN datang lagi, pada 19 Juni, aku mengingatkan diriku untuk memfokuskan diri dan berusaha berempati dengan keputusasaan dan ketakberdayaannya, serta betul-betul memahaminya, tak peduli betapa sikapnya menjengkelkanku. Aku bertekad akan berbuat lebih baik kepadanya. “Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, Dr. Baer. Saya merasa gemetar dan lesu.” Dia menggigit bibir bawahnya yang gemetar. “Saya bahkan sudah tak ingin hidup.” Aku melontarkan pertanyaan yang bertujuan memancingnya mengungkapkan beberapa hal spesifk. Setelah beberapa menit menimbangnimbang, sepertinya dia berhasil menenangkan diri. “Saya punya lebih banyak masalah dengan suami saya daripada yang saya ceritakan kepada Anda.” “Hm.” Aku menunggu. “Dia sering memukul saya. Jika saya tidak menyenangkannya dan menuruti perintahnya, dia mengatakan bahwa saya tidak berguna baginya.” Dia terdiam dan menungguku mengucapkan sesuatu, tapi aku diam saja. “Dia membangunkan saya tengah malam dengan menonjok saya dan menyuruh saya pergi ke McDonalds, atau jika tim basket kesayangannya kalah dalam pertandingan di televisi, dia akan memukuli dan menyalahkan sayadan dia bersungguhsungguh!” Karen memandangku untuk melihat apakah aku memahaminya. “Tim kesayangannya kalah garagara kamu,” ujarku. Dia mengangguk. “Sudah berapa lama hal itu berlangsung?” “Sejak kelahiran putri saya, Sara, saya rasa. Dia minum beberapa botol bir dan kelihatan senang, lalu minum beberapa botol lagi dan diam saja, setelah itu kelakuannya menjadi kejam.” Dia rasa? Mengapa dia tidak yakin? Aku bertanya-
tanya. TAK LAMA setelah pertemuan berikutnya, Karen menelepon dan membatalkan janji temu. Dua minggu kemudian, aku menerima surat berikut. 11/12/89 Yang terhormat Dr. Baer, Sekarang pukul 1.30, dan saya tidak bisa tidur. Saya tidak tahu hingga berapa lama lagi saya bisa bertahan seperti ini. Saya betul-betul ingin mati. Saya membenci diri dan kehi dupan saya. Saya tidak bisa berhenti menangis. Saya hanya menantikan saat yang tepat untuk mati. Saya tidak tahu ba gaimana atau kapan, tapi saya rasa saat itu akan segera datang. Saya telah mati rasa. Saya ingin tidur selamanya. Saya mohon, tolonglah saya sebelum semuanya terlambat. Pasien Anda, Karen Overhill N.B. Apakah Anda betul-betul peduli pada apa yang menimpa saya? Saya tidak. Kekhawatiran utamaku saat membaca surat itu adalah risiko Karen akan melakukan bunuh diri. Aku cukup menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Dia sepertinya sangat putus asa dan bertekad untuk mati daripada yang ditunjukkannya kepadaku. Aku langsung meneleponnya. “Karen?” “Ya.” Suaranya terdengar pelan dan jauh di telepon. “Ini Dr. Baer. Saya sudah menerima suratmu.” “Oh.” Kami berbicara selama beberapa menit, dan selama itu, aku paham Karen betulbetul berniat mengakhiri hidupnya, mungkin dengan menenggak pil yang kuberikan kepadanya dengan dosis berlebihan. Pada saat itu, aku menyadari bahwa hanya ada satu pilihan realistis yang tersedia. “Hal terpenting saat ini adalah memastikan bahwa kamu aman,” ujarku penuh empati. “Dan, tempat terbaik bagimu adalah rumah sakit.” Aku mengatakannya dengan penuh keyakinan karena membujuk seseorang supaya menyetujui perawatan di rumah sakit jiwa bisa jadi sangat sulit. Karen terdiam beberapa jenak. “Baiklah, jika Anda pikir itu yang terbaik.”[] 2 Roller Coaster KAREN MASUK rumah sakit pada 19 November dan menjalani rawat inap selama sebulan. Saat aku mengunjunginya, dia menyerahkan kepadaku catatan berisi sebagian kenangannya. Dia sepertinya malu saat memberikan catatan itu kepadaku. Saat mulai membaca, aku diperkenalkan pada sebuah kehidupan penuh kekejaman, teror, kehancuran, dan pertahanan. Tulisan tangan, kesalahan-kesalahan ejaan, dan tandatanda penekanan menandakan bahwa katakatanya ditulis dengan tergesa-gesa, seolaholah ada yang menekannya. Tentang Ayah Ayah saya menjijikkan, kekanak-kanakan, pemalas, jorok, pemakai narkoba, kleptomaniak, bodoh, lamban, tidak punya kepribadian, tidak bisa diandalkan, mesum. Yang ada dalam pikirannya hanyalah seks. Dia selalu menggoda temanteman perempuan saya. Dia sering memberi sepuluh sen kepada temanteman saya dan menyuruh mereka meneleponnya sepuluh tahun kemudian untuk mendapatkan pelajaran tentang cinta. Saya membencinya. Dia tak henti-hentinya menyiksa saya secara fsik dan mental. Dia membuat saya merasa buruk, tidak diinginkan, tidak percaya diri, dan tidak berguna. Dia selalu memanggil saya
sandal, pelacur, perempuan jalang, dan lain-lain. Dia tidak pernah mengatakan kepada saya bahwa dia mencintai saya, tidak pernah memeluk saya, dan saya tidak ingin dia melakukannya. Dia mengeluhkan segalanya. Menggantungkan diri kepada kakek saya untuk segalanya. Menyalahkan saya untuk semua masa/ah keuangannya. Pria itu sakit dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa “saya berutang kehidupan kepadanya”. Dia tidak pernah memedulikan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, dan dia memperlakukan ibu saya bagaikan pelayan dan mesin seks. Ibu saya masih memakaikan kaus kaki untuknya setiap pagi. Ayah saya sering menyuruh kami membuka baju dan ber baring di ranjang. Dia mengikat tangan kami ke kepala ran jang dengan kabel listrik, lalu memecuti kami dengan ikat pinggangnya. Semakin nyaring kami menangis, semakin keras dia memukuli kami. Saya harus belajar mengendalikan perasa an dan menahan tangis. Saya harus bertahan. La/u, dia akan memasuki kamar depan, menyalakan proyektor, dan menon ton f/m porno. Ayah dan Ibu terus-menerus bertengkar ten tang f/m-f/m ini. Ayah mengatakan bahwa dia akan mengaja ri Ibu cara bercinta yang benar. Mereka berdua membuat saya jijik. Bagaimana mungkin mereka melakukan itu, sementara kami mendengarkan di kamar sebelah? Sepanjang hidup saya, dari umur lima hingga sekitar enam belas tahun, saya selalu merasa sakit dan ter/uka. Saya berharap orangtua saya mati. Saya berdoa kepada Tuhan, memohon pertolongan dariNya, tapi tidak ada yang dikabulkan. Saya tidak bisa memercayai siapa pun. Saya ingin mati saja. Saya ingin kabur, tapi saya takut mereka akan membunuh saya jika menemukan saya. Sebagai tambahan dari halaman ini, Karen memberiku satu halaman lagi berisi tulisan tangan yang jauh berbeda dengan tulisan sambung di halaman sebelumnya. Surat itu ditujukan kepadaku dan berisi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut Bisakah aku memercayainya? Apakah yang sebaiknya kukatakan kepadanya? Akankah dia mengabaikanku? Akankah dia mengkhianatiku? Apakah aku akan sembuh? Akankah rasa sakitku pergi? Bagaimana jika aku kehilangan kendali dan menjeritjerit? Bagaimana dia akan menolongku melewati semua ini? Aku takut kepada Dr. Baer. PADA SUATU malam yang membosankan saat Karen dirawat di rumah sakit, aku baru saja menemui pasien terakhirku hari itu di kantorku di pinggir kota ketika tibatiba, entah mengapa, aku merasa panik. Aku menyaksikan lalu lintas merayap di 95 Street dari jendela kantorku, sama seperti yang kulakukan selama tujuh tahun terakhir, dan aku berpikir, jika aku tidak keluar dari sini, aku akan memandang lalu lintas yang sama hingga dua puluh tahun lagi. Aku memutuskan pada saat itu juga untuk memindahkan tempat praktikku ke pusat kota Chicago. Aku selalu merasa lebih nyaman berada di tengah-tengah psikoanalis di pusat kota, tapi saat memulai praktik daerah pinggir kota jauh lebih praktis. Di pusat kota, para psikiater, psikolog, dan para pekerja sosial klinis bisa ditemukan di mana-mana, dan meskipun aku terdidik dengan baik, pengalamanku yang masih kurang menyebabkanku sulit menonjol.
Di daerah pinggir kota, terutama di wilayah selatan, seseorang dengan keahlian sepertiku masih jarang ditemukan, dan mendapatkan pasien menjadi jauh lebih mudah. Lagi pula, lebih banyak pasien di daerah pinggir kota memiliki asuransi kesehatan yang bagus, atau setidaknya lebih bagus daripada asuransi kesehatan sebagian besar pekerja kerah putih di pusat kota. Sekarang, setelah merasa siap menaklukkan kota besar, aku mengunjungi beberapa kolegaku di rumah sakit universitas di pusat kota untuk melihat jika ada posisi paruh waktu yang tersedia. Akhirnya aku bekerja bersama salah seorang temanku yang menjadi kepala bagian rawat inap saat aku menjadi pegawai tetap. Kuharap posisi ini akan membuka jalan bagiku untuk merujuk para pasien ke tempat praktikku sehingga aku dapat menjalankan praktikku tanpa rujukan dari Dr. Gonzales. Kantorku di pusat kota jauh berbeda daripada kantorku di wilayah selatan. Sebuah sofa panjang berlapis beledu hijau mendominasi salah satu sisi ruangan dan sebuah kursi Eames diletakkan di ujungnya. Di kursi itu, aku bisa duduk tanpa dilihat oleh pasien yang sedang menceritakan masalahmasalahnya. Di atas sofa terdapat empat lukisan Cina bergambar burung dan kupu-kupu. Di hadapan kursiku terdapat sebuah kursi berlengan berpola bunga-bunga hijau dan putih. Di belakang kursi itu terdapat sebuah meja bergaya Ratu Anne, dan di dekatnya, di atas sebuah bufet, dengan melihat melampaui kepala pasien yang sedang kuajak berbicara, tampaklah jam elektrik Jefferson Golden Hour milikku. Jarum-jarum jam ini seolaholah melayang di udara. Analisku juga memilikinya, dan aku pernah melihat benda yang sama di sebagian besar kantor analis yang pernah kumasuki. Aku tidak tahu di mana tradisi kecil ini dimulai, tapi aku merasa berkewajiban mengikutinya. Permadani Oriental yang terhampar di lantai seolaholah menggemakan warna-warni di dalam ruangan itu. Sebuah rak buku dengan pintu kaca patri mendominasi dinding di dekat sofa, dan di dinding seberangnya, di dekat kursiku, terdapat sebuah jendela setinggi lantai hingga langit-langit yang memperlihatkan pemandangan taman di pinggir danau dari lantai keempat puluh. Sebagian pasienku yang pindah dari kantor pinggir kota ke kantor pusat kotaku merasa terintimidasi oleh perubahan lingkungan. Tetapi, di tempat inilah aku merasa lebih nyaman. Tanpa keberatan, Karen menyetujui untuk mengikutiku ke lokasiku yang baru. KETIKA ITU sehari setelah Natal 1989. Karen telah menemuiku selama hampir setahun. Dia bilang sejak kami membicarakan masa lalunya, beberapa kenangan mulai mengganggunya. “Suatu ketika, Ayah marah kepada saya,” ujarnya dengan penuh rasa bersalah, “dan dia melemparkan sebuah garpu daging ke arah saya hingga menancap di kaki saya. Saya tidak ingat apa yang terjadi setelah itu. Saya tidak ingat saat garpu itu dicabut.” “Hm.” Aku menunggu. “Saya sering berpikir untuk melakukan bunuh diri sejak kecil.” Dia melanjutkan, “Saya tidak pernah mencoba melakukannya, tapi saya selalu memikirkannya.” “Apakah kamu pernah menyakiti dirimu sendiri tanpa berniat melakukan bunuh diri, hanya untuk menyakiti diri?” Karen memalingkan wajah, dan aku bisa melihat lehernya bersemu merah. Dia terdiam. Oh, aku mengoreknya terlalu dalam. Seharusnya aku tidak memotong ceritanya dengan pertanyaan itu. Aku berusaha memperbaiki keadaan dengan mengubah topik pembicaraan. “Apakah obat menolongmu?” tanyaku. Dia mengangkat bahu, tapi matanya mengatakan tidak.
Aku memberinya obat antidepresan baru dan kami mendiskusikan khasiat obat itu. Aku menyarankan supaya setelah liburanku, kami mulai bertemu setiap minggu agar dia dapat lebih tertolong. Dia tersenyum dan mengatakan dia akan mengklaim tagihan dariku ke asuransi suaminya untuk menutupi biaya sesi-sesi tambahan kami. Ketika beranjak keluar, dia berhenti di ambang pintu dan berbalik untuk mengatakan, “Saya tidak tahu apakah ini penting, tapi saya pingsan tiga kali di altar saat menikah.” KETIKA ITU Januari 1990, dan aku belum menemui Karen sejak liburan Natal. Kami memulai tahun kedua kami, dan mendapati bahwa diriku sangat mengkhawatirkannya, terutama saat aku berada jauh darinya. “Beberapa minggu ini berjalan buruk bagi saya,” katanya, memandang ke sekeliling kantor baruku sebelum menjatuhkan diri ke kursinya bagaikan seorang petinju kelelahan setelah bertarung hingga ronde kesepuluh. “Ceritakanlah kepadaku.” “Saya rasa saya tidak bisa melanjutkan lagi,” katanya, memejamkan mata. “Saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya terus-menerus berpikir untuk melakukan bunuh diri.” Dilihat dari wajahnya, dia seolaholah ingin bercerita lebih banyak, tapi dia justru semakin menenggelamkan diri ke kursi. “Apakah kau memikirkan bagaimana kau akan mengakhiri hidupmu?” Saat itu, rutinitasku dengan Karen bukan lagi menanyakan apakah dia berniat melakukan bunuh diri, melainkan mencoba mengetahui hingga sejauh mana dia akan melakukannya. “Ada pil saya di rumahobat itu mungkin cukup untuk mengakhiri nyawa saya, tapi saya tidak mau meminumnya,” katanya. Terasa ironis bagi seorang psikiater jika seorang pasien meninggal karena overdosis pil yang diresepkan olehnya. Rasanya seolaholah kau memberi peluru bagi pistol pasienmu. Ini sebuah pengkhianatan sangat pribadi oleh si pasien. Aku bereaksi terhadap cerita Karen mengenai pil tersebut dengan memberinya antidepresan baru, Prozac, dan sesuatu yang dapat membantunya tidur lebih nyenyak. Prozac tidak akan membunuhnya jika dia meminumnya secara berlebihan. “Apakah kamu melakukan hal lain untuk mempersiapkan dirimu melakukan bunuh diri?” tanyaku. “Yah, saya menjauhkan diri dari keluarga saya. Mereka sudah tidak benar-benar memerlukan saya lagi.” Dia meringkuk di kursinya. “Bagaimana kami bisa mengamankanmu?” tanyaku. “Saya tidak mau kembali ke rumah sakit,” dia cepatcepat menjawab. Dia memandangku dan mengatupkan rahangnya. Aku sangat khawatir dia akan mencoba bunuh diri, tapi aku tidak ingin memaksanya masuk rumah sakit. Aku tidak yakin perawatan inap dalam jangka waktu singkat akan memberikan hasil yang bagus, kecuali hanya untuk menjaganya supaya tetap aman untuk sementara, dan dia akan keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang sama dengan kondisinya saat ini. Yang terjadi mungkin tidak akan sejauh itu, tapi aku ingin menjaganya supaya tetap aman di luar rumah sakit. “Sekarang Rabu,” kataku. “Kita sebaiknya bertemu lagi Jumat ini. Kamu harus membuang obat penenangmu yang lama ke toilet, dan teleponlah aku jika kamu merasa lebih buruk atau berpikir bahwa kamu mungkin akan menyakiti dirimu sendiri.” Aku menatap langsung ke arahnya, mencari-cari jika ada sesuatu yang disembunyikannya. “Kamu setuju?” “Oke,” ujarnya lirih sebelum memalingkan wajah.
“Janji?” tantangku. Dia kembali menatapku, lalu memandang kedua tangannya. “Janji.” Sayangnya, aku sering kali harus pulang malam karena aku memiliki dua atau tiga orang pasien yang sama berisikonya seperti Karen. Menangani pasien yang memiliki dorongan untuk bunuh dirimemutuskan siapa yang harus dirawat di rumah sakit dan siapa yang harus ditelepon atau diberi sesi tambahanadalah hal tersulit yang harus dilakukan oleh seorang psikiater. Setiap psikiater memiliki pasien yang meninggal karena bunuh diri. Ini tidak selalu bisa dicegah; aku telah memiliki tiga pasien yang mengakhiri nyawa mereka sendiri, dan setiap kematian menghancurkan hatiku. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap kemampuanku untuk menjaga supaya semua pasienku tetap aman tak terpatahkan, tapi kadangkadang kenyataan hidup turut campur, dan aku kehilangan seseorang di bawah situasi yang tak bisa kukendalikan. Karena aku seorang psikiater yang praktik sendirian, para pasienku dapat meneleponku 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, kecuali aku sedang berlibur. Itu pun aku meminta salah seorang kolegaku untuk mewakiliku selama aku pergi. Saat telepon atau penyerantaku berbunyi, aku memikirkan apakah sesuatu telah terjadi dan pada siapa. Aku lega saat seorang pasien menelepon hanya untuk meminta dukungan dan berbicara karena setidaknya aku tahu bahwa mereka masih hidup. Selama bulan-bulan awal 1990, aku sering menerima telepon dari Karen, kadangkadang dua atau tiga kali dalam seminggu, mencari dukungan supaya dia tidak mengakhiri nyawanya sendiri. Aku khawatir dia hanya selangkah lagi menuju hal tersebut. KETIKA ITU Februari 1990, dan Karen memberitahuku penyebab bekas luka di keningnya. Terdapat aneurisme atau angioma (tumor jinak yang terbentuk dari penyumbatan pembuluh darah) yang diangkat dari keningnya saat dia berumur sembilan belas bulan. Dia bilang saat dia masih kecil, bekas luka itu tampak mencolok, sehingga anakanak lain mengejeknya, memanggilnya Frankenstein. Ayahnya tidak mampu mengurus masalah medisnya ini dan menyalahkannya atas biaya rumah sakit yang mahal. Dia sering membentak Karen, Jika bukan karena kamu dan biaya rumah sakitmu itu, kita tentu akan kaya! Karen adalah kambing hitam yang tepat bagi kegagalan pria itu, pikirku. Saat Karen dirawat di rumah sakit untuk dioperasi, ayahnya mencuri beberapa tali penahan yang kemudian digunakan untuk mengikat Karen di ranjangnya di rumah. Jika Karen menangis, ayahnya akan mengikat dan memukulinya supaya dia punya alasan untuk menangis! Karen mengatakan bahwa kadangkadang dia bisu; artinya dia tidak mau berbicara. Saat berumur sepuluh tahun, dia meyakinkan semua orang bahwa dia tuli. Dia dirawat di rumah sakit selama seminggu garagara hal ini; katanya dia hanya “berhenti mendengarkan”. Dia tumbuh dengan berharap orangtuanya akan mati. Ayahnya juga berharap dia mati, katanya. Sekali waktu, saat dia sakit parah akibat pneumonia, ayahnya tidak mau membawanya ke unit gawat darurat. Akhirnya, ibu dan pamannyalah yang membawanya. Kata Karen, dia sudah tidak mampu bernapas lagi saat mereka tiba di rumah sakit. Seandainya mereka menunggu lebih lama, katanya, mungkin dia akan mati. Semakin banyak Karen bercerita, aku semakin terpana mengetahui penderitaannyatetapi aku meragukan apakah semua itu sungguhsungguh terjadi. Sebagai tambahan bagi deraan fsik yang dirasakannya, pola kekerasan emosional yang sadis juga terlihat menonjol. Sulit untuk mengetahui seakurat apa kenangan akan masa kanak-kanak ini, tapi dia menceritakan semua itu dengan penuh keyakinan, kejelasan, dan ketulusan yang nyata. Katanya, sesi-sesi kami membuatnya kelelahan. SELAMA BEBERAPA sesi berikutnya, aku merasa seolaholah hanya mengikuti permainan. Karen menjelaskan rentetan gejala fsik dan kenangan buruk yang membingungkan, tapi pada saat yang sama dia tampak lebih bersemangat dan
depresinya berkurang. “Suatu ketika, waktu saya masih kecil, saya membuat baju untuk boneka saya,” katanya tanpa emosi. “Saya bertanya pada ayah saya apakah saya boleh menggunakan dasi merah usangnya sebagai rok. Dia bilang boleh, tapi mula-mula, saya harus memakai dasi itu sendiri dengan benar. Setelah selesai mengikatnya, saya menoleh ke arahnya, dan dia menyambar dasi itu, menariknya hingga saya tercekik. Dia tertawa terbahak-bahak, mengatakan bahwa saya seharusnya tidak memercayai siapa pun.” Karen menceritakan hal ini dengan nada dramatis, tapi juga dengan sedih, seolaholah kenangan itu berat baginya dan menjadi bagian dari beban yang harus ditanggungnya. Akhirnya, dia menambahkan, “Dalam semua hubungan saya dengan pria, entah bagaimana, saya selalu disakiti.” Mendengar pernyataan ini, tanda bahaya seolaholah berdering di dalam kepalaku. Seorang ahli terapi seharusnya selalu mendengarkan perkataan pasien dengan memaknainya dalam hubungan si pasien dengan dirinya. Dengan berbuat seperti ini, sepertinya si ahli terapi memang tampak egoistis, tapi memang betul bahwa, dalam kenyataannya, semua yang dikatakan pasien memiliki makna laten dalam hubungan dokter-pasien. Baru-baru ini, Karen membuat kemajuan nyata pertamanya dengan mengungkapkan beberapa hal buruk tentang masa lalunya. Tetapi, pada saat yang sama, dia menyampaikan, dengan menyebutkan semua hubungannya dengan pria, bahwa aku juga sama dengan semua pria lain yang pernah mengasahnya. Di satu sisi, dia menemukan sebuah tempat bersamaku untuk mulai membicarakan kesengsaraan hidupnya, tetapi di sisi lain, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, dia yakin aku akan menjadi seperti semua pria lain yang pernah dekat dengannya, yakni akan menyiksanya. Ini sebuah titik kritis dalam terapi, saat hubungan kami bisa semakin mendalam atau justru hancur berantakan. Aku hendak mendapatkan kesempatan untuk mengatakan sesuatu yang penting kepada Karen, untuk pertama kalinya: untuk menolongnya supaya dapat sungguhsungguh memahami ketidakpercayaan mendalamnya kepada orang lain, bahkan kepada orang yang mungkin dapat dipercaya. Aku telah mengatakan banyak hal kepada Karen, tetapi menunjukkan pemahaman; semuanya bersifat penjajakan, Alasan kami tiba hingga sejauh ini adalah karena aku dengan lebih baik. Itu, dan Karen memiliki kebutuhan
tidak satu pun yang dukungan, ataupun motivasi. belajar untuk mendengar mendalam untuk didengar.
“Karen, saya sudah memikirkan tentang perkataanmu, dan saya rasa kamu takut jika kamu dekat dengan saya maka saya akan menyakitimu, seperti semua pria lain yang kamu kenal. Kamu ingin mendekatkan diri pada saya, tapi kamu takut.” Karen memandangku dan mengangguk perlahan; matanya basah dan wajahnya merah padam. Dia mendengarkanku, tapi kata-kataku harus dicernanya selama beberapa waktu sebelum dia meyakini bahwa mungkin aku berbeda. Jika tindakanku tepat, dia akan merasa dipahami, lebih aman, dan mampu berpindah ke tingkatan berikutnya. Hari itu juga, dia menulis surat untukku: Yang terhormat Dr. Baer, Sete/ah meninggalkan kantor Anda hari ini, saya memikirkan apa yang kita bicarakan, dan saya harus memberi tahu Anda bahwa saya sangat lega karena telah mengikuti terapi. Ada begitu banyak hal yang harus saya ceritakan kepada Anda, tapi saat datang ke kantor Anda, saya selalu kebingungan. Saya senang karena Anda bersabar menghadapi saya, dan saya berharap Anda tidak menganggap saya menyia-nyiakan waktu Anda. Apakah yang akan terjadi jika saya bisa sungguhsungguh berbicara dengan Anda? kankah saya bisa menanganinya? Bagaimana jika saya tak bisa? Saya merasa seolaholah berada di atas sebuah roller coaster yang tak kunjung berhenti.Say a tahu bahwa Anda dapat menolong saya
menolong diri saya. Karen Sepertinya dia tahu betul apa yang menantinya. Dia berada di atas roller coaster, meluncur ke dalam kegelapan tanpa batas. Aku juga ada di atas roller coaster-nya, menyadari bahwa aku baru menyentuh permukaannya, sementara rahasiarahasia terdalamnya masih belum tergali. Saat memikirkan hal ini, aku merasakan ketakutan tertentu. Selama satu minggu, mood Karen bisa saja bagus, dan pada minggu selanjutnya, mood-nya mungkin menurun drastis. Dia ingin membahas masalahmasalahnya, tapi bisakah kami berdua menanganinya? Roller coaster beranjak ke atas, lalu meluncur ke bawah. Sering kali, seorang ahli terapi melakukan psikoterapi hanya untuk menantikan apa saja yang akan terungkap. Dalam roller coaster yang satu ini, aku merasa seolaholah pandanganku tertutup, sehingga aku tak mampu melihat apa yang mengadang di depanku. Aku mendapati bahwa semua pasien memiliki indra bawah sadar yang akurat, yang menentukan cara terbaik untuk mengungkapkan kisah mereka, jika aku membiarkan mereka. Mereka bercerita selapis demi selapis. Salah satu nasihat terbaik yang kudapatkan saat aku menjalani training psikiaterku adalah bahwa pekerjaanku sebagai seorang ahli terapi hanyalah memahami pasienku. Jangan memberi tahu mereka harus melakukan apa, jangan membuat mereka berubah, jangan menceritakan diriku kepada mereka. Pekerjaanku adalah memahami mereka. Setelah diriku paham, aku dapat membagi pemahamanku dengan mereka. Ini adalah cara pandang yang akan membantu seorang ahli terapi menjaga kelangsungan hubungannya dengan pasien dan menjauhkannya dari banyak masalah. Aku ingin lebih memahami perasaanperasaan bawah sadar Karen, rahasia-rahasia yang belum berani diungkapkannya, sehingga aku mengatakan kepadanya bahwa mungkin akan membantu jika dia menuliskan sebagian mimpi-mimpinya. Jika diinterpretasikan dengan cermat, mimpi-mimpi dapat mengarahkan ke kondisi terbaru konfik bawah sadar si pasien dan sumber gejala penyakitnya. Karen setuju untuk mengerjakan tugas itu, dan pada kunjungan selanjutnya, dia membawa selembar kertas bertuliskan katakata ini: Saya meluncur jatuh dari sebuah gedung tinggi. Saya tidak bisa berhenti. Saya tidak bisa mengendalikan diri. Saya jatuh semakin dekat ke anah Saya bisa melihat mobil-mobil dan orangorang di bawah. Saya tida mau mati dengan cara seperti ini. Siapa yang mendorong saya dari jendela? Apakah saya melompat sendiri? Sepertinya saya tidak bisa mengingat bagaimana saya bisa jatuh. Saya asa saya berada di pusat kota dan jatuh dari sebuah gedung perkantoran. Saya berusaha mengendalikan diri, tapi tidak bisa. Tepat sebelum menyentuh tanah, saya terbangun dengan tubuh gemetar. Jantung saya berdegup sangat kencang. Tubuh saya berkeringat. Saya panik. Saya harus berpegangan ke ranjang karena merasa masih jatuh. Dalam terapi, mimpi dianggap memiliki tiga komponen: elemen masa lalu, masa kini (yang juga disebut ampas hari), dan hubungan terapi. Yang terpenting adalah hubungan dengan ahli terapi. Di situlah terdapat kesempatan terbesar untuk terjadinya perubahan. Dua elemen lainnya berfungsi sebagai penerang elemen ketiga. Inilah yang kufokuskan bersama Karen. “Menurut saya, mimpi ini merepresentasikan ke— panikanmu akibat meningkatnya frekuensi sesi terapi dan perasaan semakin dekat dengan saya,” ujarku. “Kamu terjatuh dari sebuah gedung perkantoran, seperti gedung ini, dan kamu merasa kehilangan kendali saat kamu membuka diri lebih banyak kepada saya.” Ini adalah metafora lain dari roller coaster. Mimpi berikutnya membawa kami selangkah lebih jauh: Saya berada di sebuah ruang operasi dan hendak dibedah. Para dokter mengikat saya di meja. Saya tidak tahu operasi apa yang akan saya jalani. Para dokter memakai masker. Saya tidak bisa melihat wajah mereka. Mereka tertawa. Dokter bedah mulai menorehkan pisaunya ke perut saya, dan saya merasa sakit bagaikan tersengat besi panas. Mereka semua tetap tertawa. Tawa mereka membuat saya malu.
Lalu, dokter bedah itu menatap kaki saya dan berkata, “Dia tidak butuh ini,” dan memotongnya begitu saja. Dia membuang kaki saya ke belakangnya. Lalu, dia memotong hati saya dan berkata, “Kau tak punya hati, tak punya perasaan.” Dia tetap tertawa. Saya sekarat; semua orang menginginkan setiap potonga tubuh saya. Saya berusaha bangun, tapi saya terikat. Tidak ada yang menolong saya. Saya bangun dalam keadaan panik. Telingaku selalu menajam saat seorang pasien menceritakan mimpi dengan tokoh dokter di dalamnya. Dokter selalu merepresentasikan, meskipun hanya sebagian, diriku. Ini adalah salah satu cara untuk mengetahui perasaan sesungguhnya seorang pasien terhadap ahli terapinya. “Saya pikir mimpi ini lebih merepresentasikan ketakutanmu kepada saya,” ujarku. “Kamu khawatir jika kamu tenggelam dalam terapi dan membiarkan saya ‘mengoperasi’ kamu, kamu akan menderita dan merasa tidak berdaya.” Operasi Caesar yang pernah dijalaninya mirip dengan mimpi ini, serta hanya rasa sakit dan depresi yang mengikutinya. Pada sesi berikutnya, Karen memberikan catatan beberapa kenangannya kepadaku. Dia mengatakan bahwa dia tidak yakin mengapa dirinya mengingat kenangan itu sekarang. Sebelum memulai terapi, aku membaca sebagian di antaranya. Saya berbaring di atas meja di sebuah ruangan gelap. Saya takut kegelapan. Tangan-tangan menjamah sekujur tubuh saya. Saya menangis. Kumohon, jangan sentuh aku! Tangan-tangan itu tidak mau berhenti. Saya mendengar gelak tawa, suara pria. Kumohon, tinggalkan aku! Ayah saya memaksa saya duduk dan menonton f/m porno. Tampak adegan seorang wanita sedang melakukan seks oral kepada seorang pria. Dia ingin saya mempelajari car yang benar untuk memuaskan pria. Katanya, dia sedang mengajari saya. Saya ada di beranda rumah kakek saya. Saya sedang bermain dengan boneka-boneka Barbie saya. Saat itu saya berumur delapan tahun atau lebih kecil lagi. Kakek memanggil saya dari kamar mandi. Dia menyentuh saya. Saya tidak merespons. Dia mengancam akan membuang boneka-boneka Barbie saya. Saya tidak bisa benar-benar mendengarnya. Saya tidak benar-benar berada di sana Saya tidak merasakan apaapa. Dia meraba saya dan mulai Aku memerhatikan kekosongan di ujung catatan terakhir Karen. Aku tidak tahu apakah yang direpresentasikan oleh hal itu, tapi aku memutuskan untuk membiarkan bagian itu tetap kosong untuk saat ini. Pertanyaan pertama yang terpikir olehku adalah, Apakah semua itu benar-benar terjadi? Aku berhati-hati supaya tidak menanyakan ataupun menyinggung tentang keraguanku bahwa semua itu betul-betul menimpanya, tapi ceritacerita itu disampaikan secara mendetail dan konsisten, sehingga aku menganggap semuanya benar dan meyakinkan. Sebagai bagian praktis dari terapi, bagaimanapun, tidak terlalu penting apakah semua ini sungguhsungguh terjadiseberapa banyak kenyataan dalam kenangan tersebut. Semua itu adalah gambaran pikiran Karen, dan semuanya, beserta perasaan yang terasosiasi dengannya, adalah nyata baginya. Kenangan masa kanakkanak bisa saja memudar, tercampur, tertukar, dan berubah dengan berbagai cara yang berbeda. Meskipun aku tidak memiliki alasan untuk meragukan Karen, dan aku tahu bahwa anakanak sepanjang waktu mengalami pelecehan seksual, rasanya luar biasa dapat duduk bersama seseorang yang mampu bertahan dari semua itu. Tetapi, aku tidak harus memutuskan secara tepat apa yang terjadi; aku hanya perlu memahami pikiran dan perasaan Karen. Itu cukup untuk saat ini.[J 3 Kehilangan Waktu UNTUK PERTAMA kalinya, pada Juli 1990, Karen membicarakan secara mendetail
tentang periode-periode waktu yang tak bisa diingatnya. Dia menceritakan perjalanan ke Las Vegas pada liburan Tahun Baru setahun silam. Dia mendapati dirinya berada di bagian kasino yang berbeda dan tidak mengetahui bagaimana dia bisa tiba di sana. Kadangkadang uangnya bertambah, kadangkadang berkurang. Saat suami dan teman-temannya akhirnya menemukan dirinya, dia memiliki 2.500 dolar di dompetnya. Karena memulai dengan 25 dolar, dia harus berbohong tentang di mana dirinya berada, dan mengapa dia tidak berbaring di kamar akibat sakit kepala yang dikeluhkannya. Sebelumnya, dia mengatakan kepadaku bahwa dia pelupa, atau bahwa berbagai hal terjadi tanpa dirinya bisa mengingatnya, dan dalam catatanku, dia pernah mengatakan bahwa ada periode-periode waktu yang tidak bisa diingatnya. Tetapi, ketika itu aku merasa dia belum siap membahasnya. Inilah pertama kalinya dia menceritakan kepadaku tentang waktu yang hilangperiode-periode tertentu saat dirinya “tidak ada”. Selama beberapa minggu berikutnya, Karen mulai bercerita lebih banyak kepadaku tentang episode-episode ini: “Pada suatu hari, saya meninggalkan rumah untuk berbelanja di supermarket, tapi kemudian saya ‘terbangun’ di mal. Saya tidak ingat saat memutuskan untuk tidak jadi berbelanja kebutuhan rumah tangga.” Karen tampak bingung dan penuh rasa bersalah akibat kegilaan ceritanya. “Saya malah berada di Carson’s, membeli topi untuk anak lakilaki saya, tapi saya tidak ingat saat membayar atau bagaimana saya bisa sampai di sana. Hal seperti ini pernah terjadi berkali-kali sebelumnya.” Dia terdiam sejenak. “Pada waktu yang lain, setelah mengikuti pertemuan kelompok bantuan depresi di rumah sakit, saya keluar untuk makan malam, tapi saya tidak ingat saat makan. Hal selanjutnya yang saya ingat adalah terbangun pada pagi hari dengan kepala pusing.” Jelas sudah, Karen mengalami episode disosiatif, yaitu periode waktu saat kesadarannya terbelah. Sebagian dari dirinya mengalami kenyataan, tapi sebagian yang lain terputus dari kenyataan. Aku sudah cukup lama mencurigai hal ini, tapi apa tepatnya episode yang dialaminya, aku tidak tahu. Dia telah memberitahuku bahwa dia takut mempersempit pembahasan pada satu masalah sehingga aku memutuskan untuk membiarkannya menceritakan episode-episode ini pada waktu yang dipilihnya sendiri. Aku berhati-hati dalam mendorongnya memaparkan ceritacerita iniaku tidak yakin apakah aku tahu dia mengarang semua itu hanya untuk menyenangkanku. Pada sesi berikutnya, dia menceritakan pertengkarannya dengan suaminya. Dia meninggalkan putrinya untuk menginap di rumah ibunya dan itu membuat suaminya marah. Dia memukuli wajah suaminya, tapi dia tidak merasa dirinyalah yang melakukannya. Suaminya balas memukulnya, dan akhirnya dia harus dibawa ke rumah sakit, tapi dia tidak ingat saat berada di rumah sakit. Tubuh suaminya memarmemar. Katanya, periode waktunya yang hilang semakin parah. Dia mendapatkan telepon dari seorang pria yang mengatakan terakhir kali menemuinya pada Jumat malam. Dia tidak ingat pernah menemui pria itu. Dia pergi menonton flm, tapi dia tidak bisa mengingat sebagian cerita flm itu. Katanya, dia tidak sepenuhnya bisa mengingat berbagai kejadian saat dia berumur enam hingga sepuluh tahun. Sekali waktu, seorang biarawati di sekolah Katolik mengatakan bahwa dia kesurupan dan menyiramkan air suci ke kepalanya. Karen mengungkapkan episode disasosiatif yang sepertinya sering terjadi nyaris sepanjang hidupnya. Dia menanyakan kepadaku mengapa dia kehilangan waktu. Aku mengatakan bahwa ini mungkin caranya untuk menanggung rasa sakit. Aku memiliki kecurigaan sendiri, tapi tidak benar-benar memiliki jawaban yang lebih baik untuknya saat itu. Pada Agustus 1990, Karen mulai kehilangan waktu secara teratur atau setidaknya dia lebih banyak membicarakan hal ini kepadaku sekarang. Pada suatu Kamis malam, dia menemukan sebilah pisau di bawah bantalnya. Dia tidak tahu bagaimana benda itu bisa sampai di sana. Dia kehilangan tiga hingga empat jam pada Jumat malam.
Dia menulis catatan berikut untukku: Sekarang pukul 2.00 dan saya tidak tahu di mana saya atau bagaimana saya sampai ke sini. Saya tidak tahu di kota mana saya berada. Tidak ada rumah di sini; tempat ini sunyi senyap. Saya tidak tahu harus melakukan apa. Haruskah saya mencari pertolongan atau terus mengemudi hingga melihat sesuatu yang saya kenal? Saya tidak bisa menelepon suami saya. Dia tidak akan paham. Saya sendirian dan ketakutan. Saya berada di sebuah pompa bensin, dan ada seorang wanita di dalam. Saya bertanya kepadanya. Wanita itu sangat menolong saya. Dia memberi tahu saya bahwa saya berada di Tin/ey Park. Saya tahu di mana saya berada. Kami akan pulang dalam keadaan aman. Penggunaan kata “kami” yang menarik, pikirku. Dia sendirian, tapi mengatakan “Kami akan pulang.” Dia mengatakan dirinya mendadak “tiba” di suatu tempat, dan menyadari bahwa dirinya tersesat. Kejadian itu dimulai saat dia berbelanja untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Dia meninggalkan rumah pada pukul 20.30 dan “terbangun” pada pukul 2.00. Dia tidak membawa belanjaan, dan 15 dolar telah lenyap dari dompetnya. Dia bersyukur saat mendapati dirinya ternyata berada tidak jauh dari rumah. Karen memberikan cukup banyak riwayat kepadaku sehingga aku mengetahui bahwa dia menderita dissociative identity disorder (DID), atau “gangguan keterbelahan identitas”. Aku memikirkan apakah dia sesungguhnya menderita multiple personality disorder (MPD), atau “gangguan kepribadian majemuk”, nama penyakit yang kupikir lebih tepat bagi seseorang yang memiliki kepribadian tersembunyi dengan kehendak tersendiri. Sebagian besar psikiater tidak pernah berhadapan langsung dengan kasus MPD, dan kupikir kasus kepribadian berganda memang cukup jarang ditemukan, meskipun banyak kasus telah “diungkap” oleh para ahli terapi penuh semangat yang ingin mengatakan bahwa mereka telah merawat pasien penderita penyakit tersebut. Jika Karen penderita MPD, masalah pertama kami adalah bagian dari dirinya yang datang menemuiku tidak menyadarinya. Mengetahui bahwa dia menderita DID lebih mudah, tapi mengetahui cara pendekatan yang tepat bagi Karen belum jelas bagiku. Aku belum siap mengonfrontasinya dengan hal ini; aku takut menghadapi reaksinya. Posisinya sudah berada di ujung tanduk. Aku tidak ingin memberinya alasan besar lain untuk mati dan mendorongnya ke jurang yang lebih dalam. Aku akan membicarakan tentang kemungkinan ini dengannya saat dia telah lebih membuka diri dalam terapi. Untuk saat ini, aku akan berkonsentrasi dalam memperkuat ikatan kami dan mengurus masalahnya. KAREN, YANG sering mengatakan kepadaku tentang dorongan menghukum diri sendiri akibat kelakuannya yang “buruk”, menekankan bahwa kali terakhir dia menyakiti dirinya sendiri adalah sekitar tiga bulan silam. Dia tidak dapat hidup dengan mengetahui fakta bahwa ayahnya telah melecehkan dan menyakitinya. Dia tidak mau dilecehkan lagi. Katanya, dia berpikir untuk mengiris kemaluannya. Aku menatapnya saat dia mengatakan hal ini, dan dia tampak sangat tenang. Begitulah sikap seseorang yang serius terhadap hal semacam ini. Pembicaraan tentang pengirisan organ tubuhnya ini semakin menyeramkan. Aku harus berusaha menyingkirkan pikirannya dari sana. “Dengan membicarakan dan membagi tentang penyiksaan yang kamu alami kepadaku, kamu melepaskan rasa sakit yang telah kamu akrabi, dan kamu merasakan dorongan untuk menggantikannya,” ujarku. Aku berusaha memberitahu bahwa menyakiti diri sendiri bisa jadi tampak masuk akal baginya. Dua hari kemudian, 30 Oktober 1990, aku menerima surat ini: Yang terhormat Dr. Baer, Saya harus memberi tahu Anda bahwa saya bohong tentang kapan terakhir kali saya
menyakiti diri sendiri. Saya me ngatakan kepada Anda bahwa kejadiannya tiga bulan yang lalu, tapi sesungguhnya peristiwa itu terjadi kurang dari se minggu yang lalu. Saya tidak bermaksud berbohong. Saya ti dak bisa memberi tahu Anda seluruh kebenarannya ketika itu. Saya sangat ketakutan karena menyangka ada sesuatu yang sangat salah dengan diri saya. Saya membutuhkan pertolongan Anda. Saya tidak mengerti mengapa saya ingin melakukan ini. Saya menyakiti diri saya sendiri seperti ini semasa S MA, tapi saya berhenti melakukannya saat berusia sembilan belas tahun. Saya mulai melakukannya lagi Oktober lalu, dan tindakan ini terus meningkat selama masa kita membicarakan pelecehan seksual. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa menghentikannya. Dorongan untuk menyakiti dirinya sendiri kembali sekitar setahun yang lalu, katanya. Untuk menyakiti dirinya sendiri, dia memasukkan gantungan baju kawat ke dalam vaginanya. Dalam pikirannya, dia menyakiti dirinya di bagian itu supaya dirinya tidak aktif lagi secara seksual. Lukanya harus selalu segar. Dia menuliskan beberapa detail tentang hal ini untukku. Pada sesi berikutnya, Karen datang tepat waktu seperti yang selalu dilakukannya, tapi saat aku membuka pintu untuknya, dia lebih menjaga jarak denganku daripada biasanya. Terdapat kerutan-kerutan di dahi dan sudut-sudut matanya. Dia tidak mau memandangku saat duduk di hadapanku. “Saya sudah membaca tulisanmu,” ujarku, dan ekspresi kesakitan di wajahnya tampak semakin jelas. “Apa Anda masih mau menemui saya,” tanyanya, “atau apa saya terlalu menjijikkan untuk berbicara dengan Anda?” Dia tidak berani memandangku. “Saya senang karena kamu akhirnya mampu mengungkapkan rahasia ini kepada saya, dan saya sangat tertarik untuk menolongmu memahami mengapa dirimu memiliki perasaanperasaan ini.” “Saya tidak ingin memberi tahu Anda tentang hal ini; saya sudah terlalu dekat dengan Anda, tapi saya sudah mengatakan begitu banyak hal kepada Anda sehingga sekarang saya takut Anda akan marah dan mengabaikan saya.” Aku senang melihatnya menghargai ikatan di antara kami. “Sepertinya kamu tidak bisa hidup baik bersama ataupun tanpa saya,” ujarku, mendukung interpretasinya. Dia setuju dan mengatakan bahwa masalahnya menjadi semakin berat, terutama sejak pikirannya untuk menyakiti diri sendiri semakin parah, dan dia merasa takut untuk menceritakan hal ini kepadaku. Kadangkadang, aku tidak bisa mengatakan apa pun untuk meredakan kepedihan yang diungkapkannya kepadaku. Aku berusaha mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa aku memahaminya, dan terlebih lagi, bahwa aku merasakan sebagian perasaannya. Aku tidak bisa dengan tepat mengatakan bahwa aku tahu perasaannya. Bagaimana mungkin aku bisa membayangkan apa yang telah dilaluinya? Tetapi, melalui Karen, aku belajar menjadi seorang pendengar yang lebih baik. TIDAK LAMA setelah Natal 1990, aku pergi berlibur. Sulit bagiku untuk tidak merasa bersalah karenanya. Bukan hanya untuk Karen, melainkan juga untuk para pasien lain yang berada dalam tingkatan krisis ataupun derajat kebutuhan yang berbeda, serta akan menderita dan mengalami kemunduran selama aku pergi. Tetapi, Karen sepertinya paling menderita. Aku ingin berbicara lebih banyak dengannya tentang pengalamannya mengalami kehilangan waktu, tapi setiap kali kami mendekati topik itu, beberapa krisis atau kejadian berisiko bunuh diri baru mengalihkan kami. Aku menyarankan dia untuk menulis pikiran-pikiran dan mimpi-mimpinya saat aku pergi, sehingga kami bisa membahasnya bersamasama saat aku kembali, untuk
menolong dalam menjembatani jarak yang akan terbentuk di antara kami. Aku memikirkan apa yang akan kuhadapi saat aku kembali nanti.[] 4 Sabtu-29/12/90 Hari ini, saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya membenci Anda. Saya sangat sedih; saya merasa Anda telah meng abaikan saya. Saya tahu bahwa Anda sedang berlibur, tapi saya masih merasa payah. Saya rasa, orang yang sesungguhnya saya benci karena begitu membutuhkan Anda ada/ah diri saya sendiri. Saya memutuskan untuk berhenti minum obat. Saya tidak butuh obat. Saya tidak butuh apa pun. Jumat-4/1/91 Ada sesuatu yang teramat sangat sa/ah. Kehilangan waktu sekitar dua jam. Sepanjang waktu itu, saya menyerang suami saya. Katanya, saya menendanginya, memukulinya, dan men cakarinya dengan parah. Saya bisa melihat luka-lukanya, tapi saya tidak ingat pernah menyakiti dia. Saya juga melukai diri saya lagi. Saya tidak mengerti mengapa saya melakukannya. Kamis-10/1/91 Saya bisa mengingat lebih banyak hal, dan saya merasa muak. Saya tidak bisa menuliskannya sekarang. Saya tidak tahu apakah saya akan bisa membicarakannya. Saya ingin melupakannya, tapi tidak bisa. Saya tidak bisa mengabaikan katakata maupun rasa sakitnya. Memilih Kematian Saat kembali dari liburan, aku menemukan sebuah amplop dengan tulisan tangan Karen menanti di kotak suratku. Aku membaca beberapa catatannya sebelum menemuinya. Dia berjalan lamban dan tampak tidak sehat. Bahunya menurun dan kepalanya menunduk. “Suami saya sepertinya menikmati menyiksa saya,” akhirnya dia berkata, “tapi saya tidak akan bisa menghidupi diri saya sendiri kalau saya meninggalkannya.” “Saya tahu, tapi apalagi yang bisa kamu lakukan sekarang? Bagaimana kamu akan melindungi dirimu dengan lebih baik darinya?” tanyaku. Karen mengangkat bahu dan menggeleng. “Dia menyudutkan saya,” katanya, nada putus asa terdengar dalam suaranya. “Saya berkhayal membunuh dia, sama seperti saya berkhayal membunuh ayah saya.” Aku memandangnya untuk mencari tandatanda apakah dia berniat sungguhsungguh melakukannya, tapi hanya keputusasaan yang terlihat di matanya, dan tubuhnya tidak menunjukkan kemauan. “Apakah yang kamu lakukan untuk menghilangkan khayalan-khayalan ini?” tanyaku. “Saat pikiran saya sangat buruk, saya menyakiti diri saya sendiri.” “Bagaimana hal itu dapat membantumu?” “Itu menyingkirkan khayalan dari benak saya.” “Saat kamu menyakiti dirimu sendirimungkinkah kamu melindungi suami dan ayahmu dari kemarahanmu dengan membelokkan emosi itu ke dirimu sendiri mengarahkannya ke tujuan lain?” Karen memandangku dan tidak menjawab, tapi aku dapat melihat bahwa perkataanku merisaukannya. “Dan, mungkinkah itu menjelaskan mengapa dorongan untuk menyakiti dirimu sendiri meningkat selama saya pergi berlibur?” aku menambahkan. Karen menatapku, tidak mengerti. Aku melewatkan beberapa langkah, berharap Karen akan melihat hubungan antara kemarahannya kepadaku yang telah
mengabaikannya selama liburan dan tindakan menyakiti dirinya sendiri yang semakin meningkat. Dia harus mengetahui bahwa aku tahu dia secara diam-diam marah kepadaku karena mengabaikannya selama liburan, tapi kemarahannya itu tidak akan menghancurkan hubungan kami. Malamnya, Karen mendapat mimpi yang menggambarkan masa depan. Dalam mimpi, saya mengunjungi Anda, dan Anda sedang berada di dapur, mengaduk sesuatu di dalam panci putih besar. Saya duduk di sebuah bangku, dan tiba-tiba ada banyak orang muncul dari dalam tubuh saya. Sebagian di antaranya ada/ah anakanak, dan sebagian lagi orang dewasa. Sepertinya, mereka semua ingin menemui Anda. Mereka semua transparan. Salah seorang anak memandang ke dalam panci, yang lain bersem bunyi di belakang saya. Salah satu orang dewasa sepertinya sangat kasar, sementara yang lain tampak ketakutan. Anda ti dak bisa melihat mereka, tapi saya merasakan keberadaan mereka semua di sekeliling saya. Saat kita berbicara, mereka mulai menghilang, satu per satu. Lalu, tiba-tiba semuanya sepertinya berjalan lebih cepat, dan kita masih berbicara, tapi sepertinya itu terjadi bertahuntahun kemudian. Hanya saja, Anda masih mengaduk sesuatu di panci putih yang sama. Semua orang itu telah pergi. Sesekali, pada tahap awal terapi, pasien mungkin mendapatkan rangkuman mimpi semacam itu, saat mereka merangkum, dengan cara yang bisa dibilang nyaris seperti cenayang, jalan yang akan mereka ikuti selama bertahuntahun terapi. Kupikir ini hanyalah mimpi semacam itu. Peranku di dalam mimpi itu tetap sama. Akulah kokinya, tapi yang kulakukan hanyalah mengaduk isi panci. Apa yang terjadi pada Karenlah yang membuatku heran. Orangorang bayangan ini, dewasa dan anakanak, bermunculan dari dalam tubuhnya, dan sementara aku masih berbicara sambil terus men