menghentikan perang. Bagaimana seseorang bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa seperti itu kalau yang ingin dia lakukan hanya membantu dunia?” Aku tidak menjawab. Tak ada jawaban. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah kehilangan kendali diri di depannya seperti ini. “Yah,” katanya. “Hei, terima kasih sudah datang. Kau tidak harus, kau tahu. Kau tidak diwajibkan datang.” “Aku ingin datang, Dominick. Aku sayang kakakmu. Kau tahu itu.” Perkataannya itu meluluhkanku. Aku tak bisa menahannya. Aku mencondongkan tubuh dan mencoba menciumnya. Dessa memalingkan wajahnya. Bibirku mengenai alisnya, tulang di bawah kulitnya. Dia naik ke van, menginjak gas dengan keras, dan mundur keluar dari tempat parkir. Mengerem. Mengacungkan jempolnya padaku. Aku hanya berdiri terpaku, memandangnya pergi. Masokhis atau bukan, aku tak bisa berhenti mencintainya. Aku akan mencintai Dessa selamanya. Lobi rumah sakit sudah dihias untuk menyambut Halloween: Penyihir kertas dari kertas krep hitam dan Jingga, sebuah labu di meja resepsionis tempat kita mendapatkan kartu pengunjung. “Birdsey,” kataku pada perawat jaga. “Thomas Birdsey. Lantai dua.” “Birdsey,” ulang perawat itu, mengetikkan nama ke komputernya. “Apa Anda keluarganya?” “Adik,” kataku. Dia dan aku sudah mengulang-ulang drama kecil ini selama tiga hari terakhir. Aku ingin berteriak, aku adalah saudara kembar identik dari orang yang memotong tangannya sendiri. Psikopat yang beritanya kau baca dan kau dengar di TV dan kau gosipkan dengan semua temanmu. Berikan saja kartu pengunjungnya. “Ini silakan,” katanya. “Terima kasih.” “Terima kasih kembali.” Persetan kau, cewek. Thomas sedang tidur. Ray tidak ada di sana. Balon yang dibawakan Dessa untuknya berayun-ayun tertiup angin yang datang dari ventilasi. “You’ve got a friend, “tertulis di balon itu. Kartu yang tertempel bertanda tangan, “Love, Dessa & Danny.” Tulisan tangan Dessa dan pacarnya. Bolehlah. Perawat maupun polisi yang menjaga kamar Thomas belum melihat Ray, kata mereka. Jadi, ke mana perginya dia? Aku menunggu sepuluh menit lalu pergi. Di lantai bawah, aku baru melangkah satu atau dua langkah dari lift ketika seseorang memanggilku. Ray. Dia duduk lemah di kursi tunggu. Dia terlihat kecil, terbungkus mantelnya. “Ada apa?” tanyaku. “Tak ada apa-apa. Bagaimana banmu?” “Nggak apa-apa,” kataku. “Kau sudah melihatnya? Kau sudah ke kamarnya?” Ray memandang sekeliling untuk melihat apakah ada orang yang mendengarkan. Menggeleng.
“Mengapa tidak? Suaranya serak. “Aku tak tahu. Aku sudah setengah jalan ke sana dan lalu aku berubah pikiran, itu saja. Ayo. Ayo keluar dari sini. Jangan membesar-besarkan hal ini.” Dia berdiri dan berjalan ke pintu. “Apa kau tadi melihat Dessa?” tanyaku. “Dia baru saja dari sana, lho. Menjenguknya.” “Aku melihatnya,” jawabnya. “Dia tak melihatku.” Kami hampir sampai pintu ketika aku melihat dia masih memegang kartu pengunjungnya. “Kartumu,” kataku. “Kau lupa mengembalikan kartu pengunjungmu.” “Persetan,” katanya, menjejalkan kartu itu ke kantong jaketnya. Setengah jalan menuju rumah, Ray kembali kuat menjadi Mr. Tough Guy lagi. “Kau tahu apa masalah anak itu?” katanya. “Itu semua karena hal-hal cengeng …. Semua sebutan ‘Thomas kelinci kecilku’ yang sering dikatakan ibumu dulu. Denganmu selalu berbeda. Kau memilih jalanmu sendiri. Kau bisa membawa dirimu …. Yesus, aku ingat kalian berdua di lapangan bisbol Little League. Kalian berdua seperti siang dan malam. Yesus, anak itu sangat mengibakan di lapangan, bahkan sebagai anak bawang pun.” Aku menggeleng sedikit, tetapi menutup mulutku. Itu teorimu Ray? Bahwa Thomas telah memotong tangannya karena dia tak bisa main bisbol? Dari mana kau mulai mendapatkan teori itu, Ray? “Kalau saja ibumu membiarkanku membesarkannya seperti seharusnya, tidak selalu campur tangan setiap saat, mungkin dia tak perlu jatuh sedalam ini. ‘Dunia ini keras,’ aku sering berkata pada ibumu. ‘Dia harus dibuat menjadi keras.’” “Hei, Ray,” kataku. “Dia menderita paranoid skizofrenia karena penyimpangan senyawa biokimia dan bagian otaknya dan segala sampah sialan yang lain seperti dijelaskan Dr. Reynolds waktu itu. Itu bukan salah Ma. Bukan salah siapa-siapa.” “Aku tidak mengatakan kalau itu salah ibumu,” dia menukas. “Dia wanita yang baik. Melakukan yang terbaik membesarkan kalian berdua, dan jangan kau lupa itu!” Dan kau munafik, penyiksa, dan bangsat, aku ingin membalasnya. Ingin berhenti ke pinggir jalan dan menyeretnya keluar truk lalu meninggalkannya. Karena kalau ada orang yang membuat Thomas berantakan ketika masih kecil, maka orang itu adalah Ray. Sekarang ini, orang menyebut “pendidikan anak” ala Ray sebagai penyiksaan anak. Kami terdiam selama dua mil selanjutnya. “Mau satu?” katanya. Kami berhenti karena lampu merah di Boswell Avenue. Tangannya yang gemetar menawarkan sebungkus permen Life Savers yang terbuka, butterscotch. Dia mungkin mengulum jutaan permen itu sejak berhenti merokok. Itu benar-benar menjengkelkanku; melihat Ray yang merokok seperti cerobong asap selama bertahun-tahun dan Ma yang harus mati terkena kanker. “Tidak, makasih,” kataku. “Kau yakin?” “Yap.” Kami tak berbicara lagi sepanjang per-b jalanan pulang. Saat aku berhenti di depan rumah, dia bertanya apakah aku mau mampir dan makan sandwich dengannya. “Tidak, makasih,” kataku lagi. “Aku harus kerja.”
“Di mana?” “Rumah Victoria besar di Gillette Street. Rumah profesor.” “Masih?” “Ya, masih. Jamur di tempat itu gila-gilaan. Aku seharusnya memeriksakan kepalaku karena menerima pekerjaan itu pada akhir musim.” Apalagi minggu kemarin empat hari hujan. Ditambah lagi, kakakku membuat keadaan menjadi lebih rumit. “Kau butuh bantuan? Aku bisa membantumu besok. Kamis juga, kalau kau mau. Aku masih libur hingga Jumat.” Bantuan Ray adalah hal terakhir yang kubutuhkan. Ketika satu kalinya dia membantuku, dia lebih banyak menghabiskan waktu memberikan nasihat yang tak kuinginkan daripada membantu mengecat. Menasihatiku bagaimana menjalankan bisnisku sendiri. “Aku bisa menyelesaikannya, kok,” kataku. Mungkin sore ini aku tidak akan ke Gillette Street. Mungkin aku akan pulang saja, mengisap ganja, nonton CNN. Mencari tahu apakah si Gila Bush atau si Gila Saddam telah menembakkan tembakan pertama. Tidak menjawab telepon …. Pagi itu saat sarapan, Joy dan aku bertengkar tentang apakah kami sebaiknya memutus telepon atau tidak. Aku menuduhnya gila perhatian-dengan berbicara ke semua wartawan sialan itu. “Sialan kau, Dominick!” dia berteriak balik. “Kau kira ini mudah baq-ku? Kau kira aku suka semua orang memandangku aneh karena kebetulan aku serumah dengan adiknya?” “Hei, kau kira seperti apa pandangan orang pada-ku?” tukasku. “Bagaimana kalau kau yang jadi adik kembarnya? Kopiannya yang sama persis?” Kami berdua berdiri berhadapan, saling berteriak. Melakukan pertandingan merebut iba dan simpati. Apa kau kira Dessa akan melakukan hal yang sama? Kau kira Joy mau pergi ke rumah sakit dan mengunjunginya seperti yang dilakukan Dessa? Ray keluar truk dan berjalan menuju rumah. Aku mundur dari halaman. Mengerem. “Hei,” panggilku. “Kau baik-baik saja?” Dia berhenti. Mengangguk. “Jangan bicara sama wartawan atau orang TV sialan kalau mereka menelepon. Atau datang kemari. Bilang saja, ‘No Comment’.” Ray meludah ke rumput. “Kalau badut-badut itu berani datang kemari. Aku akan menemui mereka dengan tongkat bisbol.” Mungkin Ray benar-benar akan melakukannya. Ray sialan. Aku mundur ke jalan dan memasukkan gigi satu. “Hei!” Ray memanggil. Dia berjalan kembali ke arah trukku. Aku menurunkan kaca jendela dan menahan diriku. “Jawab aku satu hal,” katanya. “Mengapa kau tidak membiarkan mereka setidaknya mencoba menyambungkan kembali tangannya? Kini, selain cacat mental dia juga cacat fisik. Mengapa kau tidak membiarkan mereka setidaknya mencoba?” Aku juga menanyakan pertanyaan yang sama pada diriku berulang-ulang selama dua hari ini. Tetapi ketika Ray menanyakannya, aku jadi marah. Sebagai ayah, dia terlambat menunjukkan kekhawatiranya. “Alasan pertama, mereka hanya menyatakan ada kemungkinan fifty-fifty dalam penyambungan,” kataku. “Jika tidak berhasil, maka tangan itu akan menempel di sana, mati, terjahit di pergelangannya. Dan hal lainnya … hal lainnya …. Kau tidak mendengarnya, Ray. Itu adalah pertama kalinya dalam dua puluh tahun dia memegang kendali atas sesuatu. Dan aku tak bisa … yang kumaksud, oke kamu benarItu memang tidak membuatnya jadi pahlawan.” Aku mengalihkan pandangan dari setir dan memandangnya langsung ke mata. Trik yang aku pelajari sejak dulu menghadapinya. “Itu tangannya, Ray … pilihannya. *
Ray berdiri diam, tangan di saku. Setengah menit atau lebih berlalu. “Kau tahu apa yang lucu?” katanya. “Aku bahkan tak pernah membeli pisau sialan itu. Aku memenanginya dalam permainan kartu dengan seseorang di pasukanku. Si raksasa Swedia, asal Minnesota. Aku bisa mengingatnya sejelas aku melihat hidungmu sekarang, tetapi sesorean aku mencoba mengingat namanya. Tidakkah itu hebat? Anakku memotong putus tangannya dengan pisau itu dan aku bahkan tak ingat nama orang yang pisaunya kumenangi.” “Anakku”. Aku kaget dia mengatakan itu. Mengklaim Thomas sebagai anaknya. * Malam itu, Joy membawa makanan Cina sebagai permintaan maaf. Aku duduk di meja makan, makan tanpa menikmatinya. “Bagaimana?” tanyanya padaku. “Enak,” kataku. “Enak.” Kemudian, di tempat tidur, dia berguling ke sisiku dan mulai bersikap ramah. “Dominick?” katanya. “Aku minta maaf yang tadi pagi. Aku cuma ingin semua kembali normal.” Dia menggosokkan kakinya ke kakiku, jari-jarinya mulai menari. Berusaha membuatku bergairah dengan tangannya. Aku berbaring diam, membiarkannya tanpa membalasnya. Dia berguling ke atasku, menuntun tangan dan jari-jariku. Awalnya aku hanya mengikuti gerakannya-sekadar melayani. Lalu aku mulai membayangkan Dessa, di sana, di tempat parkir rumah sakit, dengan celana jin dan jaket kecil. Aku bercinta dengan Dessa …. Joy mencapai puncak dengan cepat-intens. Itu terasa melegakan bagiku, beban yang terangkat dari pundakku. Aku sendiri juga hampir sampai, hampir siap, ketika aku berhenti. Aku tak bermaksud demikian. Aku cuma tiba-tiba memikirkan berbagi hal: bau koridor rumah sakit jiwa yang seperti bau kematian dan rokok, dan bagaimana Dan The Man mengecat kotak surat yang bahagia untuk Dessa dan dia, dan gambaran yang kuceritakan pada Ray untuk melepaskan diriku dari kesulitan: tangan Thomas yang terpotong, terjahit ke pergelangannya seperti daging abu-abu yang mati. Aku menjadi tidak bergairah lagi. Mendorong Joy ke samping dan berguling membelakanginya. “Hei, kamu?” katanya. Tangannya merangkul bahuku. “Hei, aku apa?” Dia memencet daun telingaku, menariknya sedikit. “Tidak apa-apa. Tidak masalah.” “Itu baru pujian,” kataku. Dia memukulku pelan. “Kau tahu maksudku.” Menarik selimut, aku bergeser menjauhinya-mematikan lampu. “Ya Tuhan, aku lelah sekali,” kataku. Tetapi beberapa menit kemudian, napas Jby-lah yang terdengar pelan dan teratur. Aku tak bisa tidur sama sekali malam itu. Menghabiskan berjam-jam memandang kegelapan, yang pada siang hari, tak ada apa pun kecuali langit-langit atap kamar. “Selesaikan, Dominick,” kata Thomas. “Selesaikan membaca doanya.” Aku lebih merasakan daripada melihat, polisi di sebelahku memandangku. Aku
membuka Alkitab kakakku. Janganlah menyerahkan aku pada nafsu /awanku, aku membaca, sebab telah bangkit menyerangku saksi-saksi dusta, dan orang-orang yang bernapaskan kezaliman. Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup. Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! Mobil polisi yang kami tumpangi berbelok ke arah yang kami kenal di lapangan parkir, melambai pada penjaga keamanan dan pelan-pelan melewati polisi tidur. Kami melewati Dix Building. Memutar Tweed, Libby, Payne …. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa pada zaman kejayaan rumah sakit jiwa, bangunan-bangunan batu bata besar ini ditempati sekitar empat ribu pasien lebih. Kini, populasi pasien rawat inap turun hingga sekitar dua ratus orang saja. Bangunan yang sudah tua dan efisiensi telah memaksa pihak rumah sakit menutup semua bangunan kecuali Settle dan Hatch. “Hei, kau melewatinya,” kataku pada polisi yang menyetir ketika mobil melewati Settle. “Kembali.” Polisi itu memandang ke belakang lewat spion, saling memandang dengan rekannya. “Dia nggak akan ke Settle,” kata polisi yang duduk di belakang. “Apa maksudmu dia nggak ke Settle? Dia selalu ke sana. Dia menjalankan kios koran di Settle. Juga kereta kopi.” “Kami tak tahu apa pun tentang kereta kopi,” kata polisi. “Yang kami tahu adalah, kami diperintahkan membawanya ke Hatch.” “Oh, tidak, jangan Hatch!” Thomas mengerang. Dia menarik dan berjuang melawan borgol dan rantai yang mengikatnya; perlawanannya membuat mobil bergoyang. “Oh, Tuhan, Dominick! Tolong aku! Oh, tidak! Tidak!”^Empat Hatch Forensic Institute dengan keamanan maksimum, ada di kawasan belakang rumah sakit jiwa Three Rivers State Hospital. Sebuah bangunan beton dan baja yang dilingkari pagar beraliran listrik dan kawat berduri. Hatch menjadi tempat tinggal orang-orang terkenal: dokter hewan dari Mystic yang mengira keluarganya adalah Viet Cong, anak sekolah dari Wesleyan yang membawa pistol semiotomatis kaliber 22 ke kelas. Tetapi, Hatch juga menjadi tujuan akhir dari para psikopat yang kurang terkenal: korban kecanduan narkoba, pengutil, pecandu alkohol yang menderita manicdepresiforang gila yang sering mengganggu ketenangan Anda dan tak punya tempat lain untuk tinggal. Kadang-kadang, memang ada pasien yang bisa sembuh dari Hatch. Dilepaskan. Namun, itu biasanya merupakan perkecualian. Bagi sebagian besar pasien di sana, pintu hanya terbuka sekali jalan, dan ini oke-oke saja bagi kota Three Rivers. Kebanyakan orang di sini lebih tidak tertarik pada program rehabilitasi dibandingkan dengan menyimpan orang aneh dan orang gila di tempat tertentumenghilangkan Pencekik dari Boston dan Son of Sam dari jalan, menjaga Norman Bates tetap terkunci di Hotel Hatch. Tidak ada yang bisa lari dari Hatch. Berbentuk melingkar, tempat itu dibagi menjadi empat unit dengan pos keamanan masing-masing. Dinding luar bangunan itu polos tanpa jendela; sementara pemandangan jendela di dinding dalam berupa halaman kecil yang melingkarbisa dibilang seperti velg ban. Di halaman itu terdapat beberapa meja piknik dan keranjang bola basket berkarat yang jarang digunakan karena semua penghuni Hatch terlalu gemuk dan malas akibat dosis Thorazine. Unit per unit, dua kali sehari, pasien yang kondisi penurutnya telah membuat mereka mendapat keistimewaan dapat keluar ke halaman yang berlantai beton itu untuk mendapatkan udara segar atau merokok selama dua puluh menit.
Aku pernah mendengar diskusi di radio dan obrolan orang di bar yang mengeluh bahwa diizinkannya pengakuan gila oleh terdakwa di pengadilan adalah salah satu hal yang salah di negara inibahwa kita membiarkan para pemerkosa dan pembunuh berkelit dari hukuman de-ngan membiarkan mereka bersembunyi di “country ciub” seperti Hatch. Tebakan yang salah, kawan. Aku pernah ke sana. Keluar dengan bau busuk tempat itu masih menempel di bajuku dan suara jeritan kakakku masih mengiang di telinga. Jika ada neraka yang lebih buruk daripada Hatch Forensic Institute, maka Tuhan pasti sangat pendendam. Lampu biru mobil polisi berkedap-kedip. Polisi yang menyetir menghentikan mobil di gerbang depan Hatch dan mengulurkan berkas ke penjaga. “Itu adalah sebuah pengorbanan!” Thomas terus berteriak. “Itu adalah sebuah pengorbanan!” Aku berpaling ke belakang dan membujuknya agar tenang-bahwa aku akan meluruskan kesalahan ini dan mengembalikannya ke Settle malam itu. Tetapi, aku juga tak yakin pada perkataanku. Teralis baja yang memisahkan tempat duduk depan dan belakang mobil polisimemisahkan aku dan kakakkumulai terasa seperti preview tentang apa yang akan terjadi pada kami seterusnya. Terdengar bunyi berdesir. Gerbang bergeser membuka, dan mobil yang kami tumpangi masuk ke dalam, melewati tonjolan pengurang kecepatan dan memutari bangunan. Kami berhenti di depan pintu ganda yang bertuliskan, “Penerimaan PasienUnit Dua”. Lampu merah di atas pintu berkedip-kedip. Kami duduk dan menunggu dengan mesin mobil tetap menyala. “Hukum apa yang aku langgar?” kakakku me-nyerocos. “Siapa yang aku lukai?” Jawaban atas pertanyaan terakhir Thomas itu sejelas pergelangan tangannya yang putus dan diperban, tetapi bagaimana bisa hal itu membuatnya menjadi seorang kriminal? Pasti ini kesalahan, kataku pada diri sendiri. Semua ini tak masuk akal. Tetapi ketika aku memandang ke pintu ganda itu, lampu merah yang berkedipkedip, aku merasa dadaku tertariksalah satu saat di mana muncul naluri untuk berkelahi atau lari. “Hei,” kataku pada polisi yang duduk di sebelahku. “Siapa namamu?” Pertanyaan itu mengejutkannya. “Namaku? Mercado. Sersan Mercado.” “Baiklah, begini Mercado. Tolong aku, ya? Bawa saja dia ke Settle selama lima menit. Aku kenal petugas malam di sana. Mereka bisa menelepon dokternya dan meluruskan hal ini. Karena semua ini adalah kesalahan besar.” “Kau merusak perjanjian antara Tuhan dan aku!” Thomas memperingatkan. “Tuhan Yang Mahakuasa telah memerintahkanku untuk mencegah perang yang tidak suci!” Mercado menatap lurus ke depan. “Tidak bisa,” kata polisi yang di belakang menjawab. “Mereka akan menggantung kami jika kami mengabaikan perintah tertulis.” “Tidak, mereka tak akan melakukannya,” kataku. Aku berpaling memandang polisi yang duduk di belakang. Wajahnya dan wajah Thomas bergaris-garis terkena bayangan teralis yang memisahkan kami. “Mereka justru senang karena kamu telah meluruskan kesalahan sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Mereka akan berterima kasih.” “Aku menjalankan kios koran di Settle!” Thomas memohon. “Aku menjalankan kereta kopi!” “Hei, aku bersimpati padamu,” kata Mercado padaku. “Aku juga punya saudara. Tetapi, kami tak bisa begitu saja “Tidak, jangan!” kataku memotongnya. Aku sangat tegang karena putus asa.
“Berpikirlah selama sedetik saja sebelum kau mengeluarkan jawaban standar polisi dari mulutmu. Yang aku minta hanyalah supaya kau menjadi manusia dan bukan polisi lima menit saja, oke? Yang kuminta hanyalah kau memundurkan mobil ini dan menyetirtak jauhpaling seperenam belas mil, ke Settle. Kau bahkan tak harus meningga-kan area rumah sakit, Mercado. Seperenam belas mil, Bung. Lima menit, paling lama. Itu saja yang aku minta.” Mercado memandang melalui kaca spion. “Bagaimana menurutmu, Al? Kita bisa saja “Uhuh,” jawab polisi yang di belakang. “No way, Jose. Nggak bisa.” “Kalau begitu, kau saja yang bangun pukul setengah enam besok pagi dan bikin kopi!” teriak Thomas. “Kau saja yang menjamin ada cukup receh di kotak uang receh dan tidak ada orang lain yang membeli kue Drake Mrs. Semel. Kau harus menjamin tak ada dokter lain yang mendapatkan Wall Street Journal-nya Dr. Ahamed.” Mercado dan aku saling memandang. “Kau punya saudara laki-laki?” kataku. “Berapa?” “Empat.” “Ayo, Bung,” bisikku. “Ikuti kata hatimu. Lima menit.” Wajah Mercado merah, bukan memerah, merah. Terkena cahaya lampu di pintu yang bertuliskan “Penerimaan Pasien”. Aku melihat keraguan di matanya, pertentangan. Saat itulah aku merusaknya. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannyamembuat kontak manusiawi dengannya, dan dia lepas kontrol. Menampar tanganku dengan kerasnya hingga tanganku mengenai kaca depan. “Jangan sentuh aku!” katanya. “Mengerti?” Tangannya menjangkau sarung pistolnya, siap menarik pistol. “Hal terburuk yang ingin kau lakukan adalah menyentuh polisi bersenjata. Mengerti? Kau akan berakhir dengan menyedihkan kalau lain kali kau melakukan itu lagi.” Aku memandang ke luar jendela. Menarik napas panjang. Menyerah. Seorang penjaga berseragam membuka pintu ganda itu dan menyuruh kami masuk. Mercado turun dan membuka pintu belakang, membimbing kakakku keluar mobil. “Awas kepalamu,” katanya. “Awas kepalamu.” Sebagian dari diriku ingin tetap di mobil: mengamankan statusku sebagai si kembar yang waras, yang tidak akan masuk ke tempat itu. Aku tidak bermaksud meninggalkan kakakku begitu saja, ini hanya keraguan selama lima detik. Tetapi kuakui, aku ragu untuk ikut masuk. “Ini,” kata polisi yang tua ketika aku turun dari mobil. Dia mengangsurkan tas Thomas. Aku sudah memegang Alkitabnya. Thomas berdiri, agak membungkuk karena bor-golannya. Dia mengatakan pada polisi yang lebih tua kalau dia ingin ke kamar mandi. Apakah di sini ada kamar mandi di dalam yang bisa dia gunakan? Dia harus sering kencing ke kamar mandi. Rantai yang mengikat kaki Thomas bergeme-rincing seiring tiap langkah kakinya menuju bangunan itu. Aku merasakan pahit di mulut dan mual di dasar perut. Seakan-akan aku menelan rantai yang mengikat Thomas. Apa yang terjadi? Mengapa mereka melakukan ini? Penjaga membiarkan kakakku dan dua pengawalnya masuk, tetapi menghentikanku di pintu. “Siapa kamu?” katanya. Dia salah satu tipe orang yang pendek kekar.
Sekitar akhir dua puluhan, awal tiga puluhan. Robocop. “Aku adiknya,” kataku. Seakan-akan dia tak bisa melihat. Seakan-akan dia tak tahu hanya dengan melihat wajah kami berdua. Dia dan Mercado saling berpandangan. “Mr. Birdsey sedang menjenguk sang pasien ketika kami datang untuk mengawalnya,” kata Mercado. “Pasien ingin dia ikut dengan kami.” “Kami berpikir hal itu akan membuat pasien tidak melawan,” tambah polisi yang tua. “Dia memang tidak suka melawan,” kataku. “Dia tak pernah melukai seorang pun dalam hidupnya.” Robocop memandang ke pergelangan tangan kakakku yang putus, lalu memandangku. “Begini, ini cuma kesalahan yang dilakukan oleh sekretaris atau semacamnya,” kataku. “Dia seharusnya dimasukkan ke Settle. Di sana, dia masuk dalam program pasien luar. Dia selalu masuk ke Settle setiap kali kambuh. Satu telepon ke dokternya dan kami bisa meluruskan semua ini. Tetapi, dia tak suka melawan. Ya Tuhan, dia sama penurutnya seperti Bambi.” “Aku menjalankan kereta kopi di Settle,” kata Thomas. “Mereka memerlukanku pagi-pagi sekali.” Robocop mengatakan padaku, aku bisa masuk dan menemani kakakku di awal proses penerimaan, tetapi aku tak bisa menemaninya masuk bangsal tak bisa lebih jauh dari pos keamanan. Telepon ke dokter harus dilaku kan esok pagi. Apa pun katamu, sialan, kataku dalam hati. Satu langkah masuk pintu setidaknya merupakan kemajuan. Begitu masuk, aku bisa berbicara dengan seseorang dari staf medis. Robocop membawa kami melewati koridor pendek: lampu halogen, dinding warna kuning. Hatch mempunyai bau khusustidak seperti bau di Settle. Sesuatu yang lain. Bau yang manis dan tengik: makanan basi yang lama disimpan di lemari es. Bangkai manusia, kurasa. Pembusukan manusia. Seorang penjaga lain bergabung dengan kami ketika kami sampai ke detektor logam. Lemak bergantung di bawah dagunya, wajahnya bengkak merah jambu kecanduan alkohol. Bau cologne menguar dari tubuhnya. Polisi membuka rantai dan borgol Thomas dan melepaskannya. Thomas kembali mengatakan kalau dia ingin ke kamar mandi. Mercado menggeledahnya dan membimbingnya melewati detektor logam. “Kau dengar tidak?” kataku. “D’\apengin kencing.” “Apa ini?” si gemuk bertanya padaku. Dagunya menunjuk ke arah barang-barang yang kubawa: tas baju Thomas dan Alkitabnya. “Barang-barang pribadinya,” jawabku. “Apa saja?” “Barang-barang pribadi: dompet, pasta gigi, sisir.” Si gemuk mengambil tas dan Alkitab dariku. Membuka resleting tas dan mengadukaduknya. Dia adalah jenis orang yang bernapas melalui hidungnya sehingga kau bisa mendengar betapa hidungnya bekerja keras mengisap udara untuknya. Dia menuangkan semua isi tas ke ban berjalan: bubuk kaki, pulpen Bic, pin aluminium dengan tulisan “Jesus is The Reason for The Season”, sepasang sepatu lancip, dan
dasi kupu-kupu terlipat dimasukkan ke dalam salah satu sepatu. Sangat menyedihkan: simbol hidup Thomas yang menyedihkan berserakan di sana seperti barang belanjaan di Stop & Shop. Si gemuk menekan sebuah tombol dan ban itu berjalan. Setiap barang melewati mesin sejenis X-ray seperti di bandara. Kejutan besar: tak ada belati tersembunyi, tak ada bom pipa yang dijahitkan dalam lapisan tas. “Kau juga harus dilihat,” kata Robocop padaku. “Dilihat? Dilihat apanya?” Aku berpikir mungkin aku juga dikira gila. “Digeledah,” kata Mercado. “Kalau begitu geledah saja,” kataku pada Mercado, sembari berbalik menghadap dinding dan bersandar seperti yang mereka perintahkan pada kakakku tadi. “Ayo. Silakan saja.” Tetapi, Robocop yang menggeledahku: sedikit kasar, lebih saksama di zona-zona pribadi daripada yang diperlukanuntuk memperlihatkan padaku siapa yang berkuasa di sini. Aku pasti mengatakan sesuatu padanyamenanyakan apa dia menikmati ketika menggeledahkutetapi aku tidak dalam posisi untuk melempar batu. Belum. Belum waktunya jika aku ingin mengeluarkan Thomas dari sini malam ini juga. Baru ketika kukira dia selesai menghinakanku, Robocop memerintahkanku berjalan melewati metal detector. Metal detectohtu berkedip dan berbunyi, dan penjaga memaksaku menyerahkan gantungan kunciku. Aku berhasil lewat kedua kalinya, tetapi Robocop mengatakan padaku kalau aku harus meninggalkan kunciku di sini dan mengambilnya nanti karena di gantungan kunciku ada pisau lipat kecil. Seakan-akan aku akan masuk ke sana dan membabi buta menusuki semua pasien. Benar-benar gombal. Robocop mengatakan pada polisi pengawal agar memasang borgol Thomas kembali. “Apa itu diperlukan?” tanyaku. “Kukatakan padamu. Kau hanya membuang waktu. Dia akan berbalik keluar dari sini begitu kami bisa menghubungi dokternya. Mengapa dia harus dirantai lagi?” Penjaga Robocop memandangku tanpa menjawab, wajahnya kosong seperti batako. Si gemuk mengatakan pada Thomas kalau barang-barangnya akan didaftar di katalog dan disimpan di pos keamanan. Dia akan mendapatkan jatah keperluan mandi dari rumah sakit. Dan semua bahan bacaan harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu oleh dokternya atau pemimpin unit. “Di mana Alkitabku!” kata Thomas. “Aku ingin Alkitabku.” “Semua bahan bacaan harus mendapat persetujuan lebih dulu oleh dokter atau pemimpin unit,” ulang si gemuk. “Dia nggak boleh bawa Alkitabnya?” kataku. “Apa kalian harus mendapatkan persetujuan untuk wahyu Tuhan?” Robocop maju mendekatiku, cukup dekat sehingga aku bisa melihat bekas cacar air di wajahnya, mencium bekas permen Juicy Fruit dalam napasnya. “Ini adalah fasilitas dengan keamanan tingkat tinggi, Sir,” katanya. “Ada aturan dan prosedurnya. Jika Anda bermasalah dengan hal itu, maka Anda bisa bilang pada kami sehingga Anda bisa menunggu di luar, tidak usah menemani kakak Anda melalui tahap penerimaan awal.” Kami saling membelalak selama beberapa detik. “Aku tidak mengatakan kalau aku berkeberatan,” kataku. “Yang kukatakan adalah kalian buang-buang waktu saja memasukkan dia ke sini. Karena begitu kalian bicara dengan dokternya, maka dia akan mengatakan pada kalian kalau ini adalah kesalahan.”
“Lewat sini, Sir,” katanya. Pos keamanan ada di tikungan lorong berikutnya. Di belakang kaca gelap ada dua lagi penjaga, sejumlah TV keamanan hitam putih, sebuah lemari terbuka berisi kunci-kunci, borgol, dan rantai. Di dekat pos keamanan ada ruang rapat dan beberapa kantor berseberangan dengan toilet, lemari perlengkapan dan kantor-kantor lagi. Di kedua ujung lorong terdapat pintu baja dengan kunci ganda. “Kalian punya telepon, di sana?” kataku, mengangguk ke arah pos keamanan. “Katakan pada salah satu penjaga di sana untuk menelepon Dr. Willis Ehlers dan tanyakan apakah Thomas Birdsey memang seharusnya masuk sini. Telepon rumahnya. Kalian pasti punya catatan alamat dokter, kan? Ayo. Dia nggak akan berkeberatan.” “Dr. Ehlers tidak merawat pasien di Hatch,” jawab si gemuk. “Dia tidak termasuk staf di sini.” “Baiklah! Itulah yang kumaksud!” kataku. “Pasiennya semua ada di Settle. Tepat di mana seharusnya kakakku berada.” Robocop membuka dan membaca surat-surat administrasi yang dibawanya. “Menurut yang di sini, Dr. Ehlers digantikan,” katanya. “Apa maksudmu ‘digantikan1? Digantikan oleh siapa?” “Aku tidak berhak memberikan informasi tersebut pada Anda, Sir,” katanya. “Dokter barunya akan memberi tahu Anda atau Anda bisa membuat perjanjian dan berbicara pada pekerja sosial yang ditugaskan untuk kasus ini.” “Permisi,” kata Thomas pada Robocop. “Apa kau kenal dengan Dr. Ahamed, wakil inspektur kompleks rumah sakit ini?” “Thomas,” kataku. “Kau diam saja. Biarkan aku yang mengurus ini. Oke?” “Dr. Ahamed?” tanya Robocop. “Yeah, aku kenal dia. Kenapa?” Dagu Thomas terangkat. Seluruh tubuhnya bergetar. “Karena kau pasti dalam masalah besar besok pagi kalau Dr. Ahamed masuk kantornya dan tidak menemukan Waii Street Journal dan kue muffin jagungnya!” Dia berteriak, gemetar. “Aku tak ingin menjadi kau ketika dia tahu siapa yang mengurungku di sini tanpa memedulikan keinginanku!” Si gemuk melambaikan jarinya “ke sini” ke salah satu penjaga di belakang kaca pos keamanan. “Tenang, tenang,” kataku pada Thomas. Aku mengingatkannya kalau dia lupa waktu bahwa dia sudah tidak mengurusi kereta kopi selama lima hari ketika dia dirawat di Shanley. “Dan lagi pula, aku yakin dua pembantumu bisa mengurusi semuanya,” kataku. “Siapa nama mereka? Aku lupa.” “Bruce dan Barbara!” dia berteriak. “Kau pikir mereka bisa mengatasi semuanya tanpa aku! Lucu sekali!” Hanya saja Thomas tidak tertawa; ia tersedu. “Semua baik-baik saja?” tanya penjaga ketiga mendekati kami. “Yesus! Yesus!” teriak kakakku. Ketakutan muncul di wajahnya dan terdengar suara memercik di lantai. Thomas ngompol. Si gemuk pergi memanggil petugas kebersihan.
“Maafkan aku, Dominick,” kata Thomas. “Aku tak bisa menahannya.” Noda basah dan gelap menghiasi bagian depan celananya. Kukatakan padanya itu tidak apa-apa. Hal itu bisa saja terjadi. Bukan masalah besar. Lalu, aku berpaling ke Robocop. “Begini masalahnya,” kataku. “Aku tak akan pergi hingga aku bisa mengeluarkannya dari sini dan dia keluar malam ini, paham? Jadi, sebaiknya seseorang segera menelepon dokter sialan itu.” Di belakang jendela kaca, si gemuk berbicara melalui telepon. “Telepon dokter kakakku!” teriakku padanya. “Dr. Willis Ehlers! Aku mohon!” Robocop mengatakan supaya aku memelankan suaraku. “Dokter hanya bisa dipanggil selepas jam kantor jika ada keadaan darurat,” katanya padaku. “Ini keadaan darurat,” kataku, mengarahkan jempolku ke Thomas. “Keadaan darurat sedang berlangsung. Pria malang ini bahkan tidak diizinkan kencing dan kau pikir aku akan meninggalkannya di sini bersama kalian para Nazi sialan?” Aku melihat otot rahang Robocop mengejang. Melihatnya memandang penuh arti ke penjaga satunya. “Sir,” kata penjaga yang baru datang, “keluarga pasien tidak berhak menentukan keadaan yang bisa disebut darurat. Hanya staf medis yang bisa.” Aku mencoba menenangkan dirimenghantam rahang Robocop merupakan kemewahan yang tak bisa menolong kakakku. Lagi pula, aku mungkin telah memperburuk keadaan dengan komentar tentang Nazi tadi. “Baiklah,” kataku. “Kalau begitu, biarkan aku bicara pada perawat. Pasti ada kepala perawat yang bertugas, bukan?” “Perawat di Hatch tidak boleh mengadakan kontak dengan anggota keluarga pasien, Sir,” penjaga yang lain menjawab. “Ini kebijakan. Jika Anda punya pertanyaan atau keprihatinan, Anda bisa menelepon besok dan mengadakan perjanjian dengan petugas sosial yang ditugaskan untuk kasus kakak Anda.” “Mereka baru menelepon dari unit,” kata si gemuk. “Kita siap?” Robocop mengangguk. “Katakan pada mereka untuk datang dan mengambilnya. Kita bisa menyelesaikan proses penerimaan di bangsal. Aku sudah pusing dengan Kembar Doublemint ini.” Si gemuk berbicara melalui handy talkie-nya. Thomas mulai menggumamkan ayat-ayat Injil. “Mr. Birdsey, dia akan dimasukkan ke unit sekarang,” kata Mercado. “Ayo. Kita harus pergi.” “Tapi tak ada seorang pun yang mendengarkan!” kataku. “Ini semua hanyalah kesalahan administrasi atau semacamnya. Dia seharusnya di Settle.” “Begini, Sobat,” kata polisi yang lebih tua. “Dia mungkin seharusnya di Settle, tetapi jelas dia tak akan ke sana malam ini. Mungkin dia akan ke sana besok pagi-pagi sekali, tetapi aku jamin dia ada di sini malam ini.” “Ayo, Mr. Birdsey,” kata Mercado padaku. “Anda tak bisa melakukan apa-apa sampai besok. Kami akan mengantar Anda kembali ke Shanley. Kau parkir di lapangan parkir yang besar atau di belakang?” “Aku tidak akan pergi ke mana pun hingga kita meluruskan masalah ini!” kataku. Ketika Mercado memegang lenganku, aku memberontak dan melepaskannya.
“Mereka menyalibku!” teriak Thomas. Aku lari mendekati Robocop. “Bagaimana dengan petugas sosial? Apa petugas sosial itu di sini sekarang?” Jantungku berdentum-dentum seperti paku bumi. “Tidak, Sir, dia tidak di sini. Hanya perawat unit dan FTS yang ada di sini setelah jam kerja.” “Siapa mereka? Apa itu FTS?” “Forensic Treatment Specialists,” jawab si gemuk. Dia berkedip ke polisi pengawal yang lebih tua. “Ketika saya mulai bekerja di sini, kami memanggil mereka ‘petugas rumah gila’. Kini, semua orang punya sebutan bagus. Lihat saja di sini, misalnya.” Dia menunjuk ke seorang pria yang mendekat dengan ember dan pel. Aku kenal dia: Ralph Drinkwater. “Ralphie ini dulu disebut pembersih ruangan. Kini kami memanggilnya ‘teknisi operasi’. Benar kan Ralphie?” Mengabaikan omongan si gemuk, tetap pasif seperti biasanya, Ralph mulai mengepel kencing kakakku. Tawa polisi pengawal membuat mood si gemuk semakin membaik. “Dia di sini kok, malam ini, Stevie,” katanya pada Robocop. “Dia datang untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Aku yang membukakan pintu ketika kamu istirahat makan malam.” “Siapa?” kataku. “Siapa yang di sini?” “Ms. Sheffer.” “Siapa itu? Siapa Ms. Sheffer?” “Petugas sosial untuk Unit Dua.” “Petugas sosialnya di sini? Izinkan aku bicara dengannya kalau begitu!” “Anda tak bisa,” kata Robocop. “Ini bukan jam kerja. Anda harus membuat janji, sama seperti yang lain.” Pintu baja membuka. Dua petugas mendekat. Semua semakin terasa tak nyata. “Hei, bagaimana kabarmu, Ralph?” kataku. “Dengar, bilang pada Ralph memandang kosong padaku. “Ayo, Mr. Birdsey,” kata Mercado. “Kita harus pergi.” “Pergi saja sendiri!” kataku padanya. “Aku tak akan pergi sebelum aku bertemu dengan petugas sosial!” Aku berpaling pada dua petugas itu. “Jangan sentuh dia! Kalian cuma … jangan berani-berani menyentuhnya” Sebuah pintu kantor membuka; sebuah kepala muncul dari balik pintu. “Apa ada yang mau bertemu denganku?” “Tidak malam ini" teriak Robocop. “Dia bisa membuat janji. Bisa menunggu.” “Apa itu petugas sosialnya? Apa Anda petugas sosial yang” “Besok!” Robocop berteriak pada wanita itu. “Tutup pintumu! Ada situasi darurat di sini!” “Dominick!” jerit Thomas. Dua petugas itu sudah memegangnya, satu di setiap sisi. “Jauhkan tangan kalian dari dia!” teriakku. Robocop dan Mercado dan partnernya memegangiku. Si gemuk dan penjaga satunya berlari mendekat. “Jangan sentuh aku, kalian Nazi bangsat!” Aku memberontak dan berusaha melepaskan diri. “Tutup pintu itu!” teriak Robocop.
Di tengah-tengah pergulatan, aku melihat petugas sosial itu menutup pintunya. Melihat petugas membuka kunci pintu baja dan menyeret kakakku ke bangsal pasien. “Mereka menyalibku, Dominick!” jerit Thomas. “Mereka menyalibku!” Pintu membanting tertutup di belakang mereka. Robocop memelintir lenganku ke belakang, memepetku ke dinding. “Demi Tuhan, yang ini bahkan lebih gila daripada yang satunya,” katanya. “Jauhkan tanganmu dariku, Bajingan!” aku berteriak, meludah, memberontak, dan mencoba melepaskan diri. Mercado, si gemuk dan pengawal polisi satunya menahanku. Penjaga ketiga lari keluar dari ruangan kaca. Robocop mendekatkan lututnya ke selangkangankutidak menyakitkan, hanya mengancam. Menekan. “Kalian memang suka ini atau bagaimana?” kataku. “Meraba-raba orang lain saat kalian menggeledah? Memberimu kepuasan rendah, bukan?” Dia menghantam selangkanganku dengan lututnya. Satu hantaman cepat dan keras yang membuatku terjatuh ke lantai. Kurasa aku pingsan selama semenit, dan ketika aku sadar kembali, perlu beberapa saat hingga aku sadar bahwa suara erangan dan desah kesakitan yang kudengar itu keluar dari mulutku sendiri, bukan erang kesakitan kakakku. Rasa sakitnya bahkan tak bisa kugambarkan. Saat itulah aku tahu apa yang dihadapi Thomas. Saat itulah aku merasakannya sendiri: tusukan paku ke telapak tangan, hantaman palu yang menyakitkan. Lima 19S8 Thomas dan aku pergi ke bioskop dengan Madi acara Back-to-School-Festival of Fun. Kami naik bus kota. Aku dapat giliran menarik bel ketika kami sampai di swalayan five-and-ten nanti, karena Thomas sudah dapat giliran kemarin. Bus tidak akan berhenti di festival, hanya di depan swalayan yang menjual barangbarang seharga lima dan sepuluh sen itu. Kami mendapatkan sopir bus kota yang ramah hari ini-sopir yang mengatakan “Hei, apa yang kalian punya di sini?” dan menarik permen dari telingamu. Terakhir kali kami pergi ke kota, kami mendapatkan sopir bus kota penggerutu dan tidak punya jempol. Ma menduga, mungkin dia kehilangan jempolnya saat perang atau terlindas mesin pabrik. Dia mengatakan padaku agar jangan melihatnya kalau aku takut, tetapi aku melihatnya. Aku nggak bisa nahan. Aku tak ingin, tetapi mataku tak bisa berpaling. Sudah sampai di five-and-ten. Ma mengangkatku dan aku menarik bel. “Sampai jumpa lagi, Alligator!” kata sopir bus ketika kami turun. Ma tersenyum dan menangkupkan tangan ke depan mulutnya, dan Thomas diam saja. Setelah berdiri aman di trotoar, aku berteriak, “Sampai nanti, Crocodile!” Sopir bus tertawa. Dia membuat isyarat “V” dengan jarinya dan menutup pintu bus. Kami berjalan ke bioskop. Antrean sudah mengular di depan loket. Anak-anak di depan kami anak-anak besar. Anak-anak sok besar. “Kalau begitu, lain kali bawa akta kelahiran kalian!” teriak wanita penjaga loket. Dia wanita yang pincang. Kadang, dia bekerja di dalam di kios permen, kadang menjual tiket. Dia dan satu wanita lainnya suka bertukar tugas. Ma bilang, wanita yang pincang tersebut terkena polio sebelum ada vaksin polio. Mungkin itu sebabnya dia selalu mengeluh.
Di dalam, pria dengan mata menonjol menyobek tiket kami dan memberi Thomas dan aku kotak pensil hadiah back to school. Dengan pulpennya, dia menggambar X di punggung tangan kami. “Satu hadiah untuk satu pelanggan,” katanya pada Ma. “Aku menandai mereka agar aku bisa tahu kalau ada anak yang mau berbuat curang dan ingin mendapat lebih dari satu.” Aku ingin duduk di kursi paling depan, tetapi Ma bilang tidak, karena itu akan membuat mata kami sakit. Dia menyuruh kami duduk di bagian tengah. Begini posisi kami duduk: pertama Thomas, lalu Ma, dan aku di ujung. “Sekarang, jangan buka kotak pensil kalian,” kata Ma. Pria yang berjaga di dalam disebut the husher. Dia mengenakan seragam dan membawa senter, dan sangat sangat tinggi. Pekerjaannya adalah berteriak pada anak-anak jika mereka menaruh kakinya di sandaran kursi di depan mereka. Jika anak-anak itu membantah, dia menyorotkan senternya tepat ke wajah mereka. Bioskop memutar kartun dulu: Daffy Duck, Sylvester and Tweety, Road Runner. Beep-beep! Beep-beep! Di radio mereka mengiklankan akan mempertunjukkan sepuluh kartun, tetapi mereka bohong. Hanya delapan kartun. Aku baru mengacungkan jariku yang kedelapan ketika Three Stooges diputar. Ma tidak suka Three Stooges. Ketika Moe mencolokkan jarinya ke mata Larry, Ma mencondongkan tubuhnya padaku dan berbisik, “Jangan pernah mencoba melakukan itu.” Suaranya membuat telingaku geli-membuatku mengerutkan bahu. Di film kali ini, Three Stooges berperan sebagai tukang roti. Mereka baru saja selesai mendekorasi kue tar mewah untuk wanita kaya yang cerewet, dan wanita itu berteriak-teriak pada mereka. Lalu Larry terpeleset dan menabrak Curly, dan Curly menabrak wanita kaya itu, dan wanita itu jatuh tepat di kue! Kami bertiga tertawa-Thomas, Ma, dan aku. Dari sisi tempatku duduk, kau bahkan tidak bisa melihat kalau ibuku berbibir sumbing. Kau hanya bisa melihatnya dari tempat Thomas. Di bioskop, banyak anak nakal yang tidak ditemani ibu atau ayah mereka. Mereka berbicara ribut dan gaduh, bukannya menonton film. “I twat I taw a puddy cat!” teriak salah seorang anak menirukan Tweety, walaupun kartun sudah selesai. Setiap kali dia berteriak seperti itu, anak-anak yang lain tertawa. Beberapa anak laki-laki yang duduk di depan melipat kardus bekas wadah pop corn dan melemparkannya ke atas. Kotakkotak kardus itu membuat bayangan di layar. “Bolehkah kami minta pop corn?” bisikku kepada Ma. “Tidak,” bisiknya kembali. “Kenapa tidak?” “Nonton saja.” Thomas menyentuh lengan Ma dan aku mencondongkan tubuh ikut mendengarkan. “Ma, aku ingat dia lagi,” katanya. “Apa yang harus kulakukan?” “Pikirkan hal lain,” kata Ma. “Nonton saja.” Yang dimaksud Thomas adalah Miss Higgins. Seminggu lagi kami masuk kelas tiga dan guru kami adalah Miss Higgins. Dia adalah guru paling galak di seluruh sekolah. Sepanjang musim panas, Thomas selalu sakit perut memikirkan dia. Thomas membuka kotak pensilnya meskipun Ma sudah melarang. Dia mulai menggigiti salah satu pensil barunya seperti mengunyah jagung di bonggolnya. Terakhir kali Ray melihat Thomas memasukkan sesuatu ke mulutnya, dia berkata, “Suatu hari nanti, aku akan mengambil satu isolasi dari EB dan mengisolasi tanganmu. Kau lihat nanti apakah itu akan menyembuhkanmu! Kau lihat apa kau suka menggigiti
barang lagi!” Aku juga membuka kotak pensilku. Jika Thomas boleh, aku juga boleh. Aku membengkokkan penghapusku sekuat mungkin untuk melihat sejauh mana aku bisa membengkokkannya, dan penghapus itu mental dari tanganku dan terlempar ke kegelapan. “Lihat, kan!” kata Ma. “Apa kubilang tadi?” Dia berkata aku tak boleh mencarinya di bawah kursi karena di bawah terlalu kotor dan itu juga sama saja seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Suatu kali saat Ma masih kecil, dia pergi ke bioskop dan melihat tikus berlari di bawah kursinya. Bioskopnya bukan yang ini. Mereka sudah meruntuhkannya. Orang dulu menyebutnya “bioskop gatal” karena kursinya penuh kutu busuk. Di bagian depan, seseorang meneriakkan kata umpatan. Anak yang lain berteriak. Ping! Sesuatu mengenai belakang kursiku. “Hei! Hentikan yang di sana!” terdengar sebuah suara membentak. Aku memandang ke belakang. Itu bukan the husher. Tetapi, si Mata Menonjol yang memberi kami kotak pensil. Ma mengatakan, anak-anak nakal itu sebaiknya kapok karena orang itu kedengarannya serius. Dia mengatakan, si Mata Menonjol adalah bos meskipun the husher badannya lebih besar. Sekarang, Thomas memasukkan penghapusnya ke mulut. Dia mengisap-isapnya. Slurp, slurp, slurp. “Mengapa kamu melakukan itu?” tanyaku. Dia bilang ia membersihkan penghapusnya. Itu bodoh. Penghapus itu sudah bersih. Masih baru. The Three Stooges selesai, dan sekarang diputar Francis, keledai yang bisa bicara. Francis Goes To West Point. Ma bilang, West Point itu nama sekolah …. Kau tahu? Tahun lalu di sekolah kami, seekor anjing menyelonong masuk ke kelas kami saat pelajaran mengeja dan menabrak balok penyangga papan tulis. Semua anak tertawa dan berkata, “Here, boy! Here, boy!” dan Miss Henault memerintahkan kami membalik kertas eja kami dan meletakkan kepala kami di meja agar kami tenang. Anjing itu berjalan ke deretan bangku. Bulunya cokelat dan putih, wajahnya tersenyum, dan baunya seperti got. Tapi dia punya kalung leher, jadi seharusnya dia milik seseorang. Ketika Mr. Grymkowski menyeretnya keluar kelas, kalung itu mencekiknya dan anjing itu bersuara gak-gak-gak. Ping! Ping! Ma berkata jangan menengok atau mata kalian bisa kena lemparan. Dia mengatakan harus ada yang mengadu ke manajer sebelum seseorang terluka. Ping! Kami adalah koboi dan para penjahat menembaki kami. Film koboi favoritku yang baru adalah The Rifleman. Aku dulu paling suka Cheyenne, tapi sekarang aku suka The Rifleman. Lucas McCain bisa menembakkan senapannya dalam sepertiga puluh detik. Selain itu, dia juga menyayangi anak lelakinya, Mark McCain. Lucas harus membesarkan Mark sendirian karena istrinya meninggal. Ray bilang, Lucas McCain dulu bermain bisbol sebelum menjadi koboi. Untuk tim Chicago Cubs. “Dia tak bisa memukul bola, dan dia juga tak bisa akting, dan dia mungkin sudah jadi jutawan sialan sekarang,” kata Ray. Kalau kau bilang “sial”, maka itu dosa kecil, tapi kalau kau bilang “sialan”, maka itu dosa besar. Itu yang diajarkan suster di pelajaran katekisme. Dia bilang, setiap kali kau berbuat dosa, maka itu meninggalkan noda hitam di jiwamu, dan orang-orang seperti Khrushchev dan aktris Jayne Mansfield punya jiwa yang hitam legam. Aku tak terlalu memerhatikan film ini. Malah, aku melihat anak-anak nakal itumereka yang duduk di depan. Kardus pop corn beterbangan dalam gelap seperti kelelawar. Seseorang meneriakkan umpatan lagi. Kata “B”. Bangsat …. Kadang, kelelawar terbang di jalan depan rumah kami ketika mulai gelap. Mereka terlihat seperti burung, tetapi bukan. Mereka menipumu. Ping!
“Kau juga bangsat!” teriak beberapa anak. Seorang anak perempuan tertawa mengikik. 7 tawt I taw a puddy cat!” Lampu menyala meskipun film masih diputar. “Hei!” semua orang mulai berteriak. “Hei!” Lalu film berhenti. Si Mata Menonjol dan the husher berjalan menuju bagian depan dan naik panggung, dan si Mata Menonjol mulai membentak-bentak. Ma takut. Tangannya memukul-mukul mulut seperti yang biasa dia lakukan ketika Ray membentak. Dengan lampu menyala, aku bisa melihat anak-anak nakal itu dengan lebih baik. Aku melihat Lonnie Peck dan Ralph Drinkwater dari sekolah kami. Musim panas tahun lalu, Lonnie meludahi pengawas taman bermain dan diusir dari taman bermain selama seminggu. Tetapi, dia tetap datang dan berdiri di luar, meludahi kami lewat pagar kawat. Kami disuruh mengabaikannya. Penny Ann Drinkwater juga duduk di depan, sendirian. Dia dan Ralph juga kembar, seperti Thomas dan aku, tetapi Penny Ann tidak naik kelas. Ralph naik kelas empat tahun ini, tapi Penny Ann tetap di kelas tiga bersama kami. Dia harus menghadapi Miss Higgins dua kali. Penny Ann itu bayi besar. Dia selalu menangis tiap istirahat. Drinkwater bersaudara dan kami adalah satu-satunya anak kembar di sekolah kami. Mereka kulit hitam. Di panggung, si Mata Menonjol menunjukkan jempolnya ke arah the husher. “Kalian lihat orang ini? Mulai sekarang, dia dan aku akan mengawasi para pengganggu. Dan kalau kami menemukannya, kami akan mengusirnya dan tidak akan mengembalikan uang mereka. Dan menelepon ayah mereka. Mengerti?” “Bagus,” Ma berbisik dari belakang tangannya yang menutupi mulut. “Biar mereka kapok.” Sekarang, semua orang sangat tenang. Hanya duduk diam. Lampu mati. Film mulai lagi. Si Mata Menonjol dan the husher berjalan mondar-mandir di gang. Semua anak nakal jadi baik. Thomas menarik lengan baju Ma lagi. Dia bilang, dia tak bisa menahannya-dia terlalu memikirkan Miss Higgins hingga pengin pipis. Dia ingin Ma menemaninya ke toilet, bukan aku. “Kau berani sendirian?” tanya Ma padaku. Aku bilang ya, dan Ma berjalan di gang bersama Thomas. Aku memegang kotak pensilnya. Membukanya. Pensilnya sudah kasar dan benjol karena digigiti. Penghapusnya basah kena ludah. Jika Ray benar-benar mengikat tangan Thomas, dia seharusnya melakukan itu saat kami masih liburan musim panas karena bagaimana nanti Thomas membuat PR? Dia pasti akan menemui kesulitan dengan Miss Higgins. Aku membengkokkan penghapus Thomas sekuat mungkin. Penghapus itu mental. Itu kecelakaan. Sumpah mati. Kami seharusnya tak boleh mengatakan itu: sumpah mati. Suster bilang, itu sama saja dengan mengumpat. Tapi, aku kan, tidak bilang. Cuma dalam hati. Ray mengumpat ketika dia marah kepada Ma. Suatu kali, dia pernah menarik lengan Ma dengan keras sehingga berbekas lebam, dan aku sangat marah sehingga menggambar Ray dengan belati raksasa besar terhunjam di kepalanya. Lalu, aku menyobek-nyobeknya. Awalnya, Ray tidak mengizinkan kami pergi ke bioskop hari ini karena menurutnya menonton film itu hanya buang-buang uang saja. Tapi, dia lalu berubah pikiran. Suatu kali, dulu sekali, dia pergi ke bioskop bersama kami-Ma, aku, dan Thomas. Minggu sore. Malam sebelumnya, dia dan Ma bertengkar hebat dan Ray membuat Ma menangis. Lalu, esok paginya dia menjadi baik. Dia pergi ke Misa bersama kami dan kami makan di restoran, lalu kami menonton ke bioskop. Kami menonton Wizard of Oz. Tapi Thomas mengacau. Dia dan tangisannya
yang cengeng. Thomas selalu mengacaukan semuanya. Mereka berdua kembali dari toilet. “Geser, geser,” kata Ma. Sekarang, Thomas duduk di sebelahku. Dia memegang sekotak permen Good & Plentys. Itu untuk dibagi berdua, kata Ma, tapi Thomas boleh memegangnya karena terakhir kali kami ke bioskop dulu aku yang giliran memegang pop corn. Aku menyembunyikan permen itu di mulutku dan tidak memakannya hingga aku mendapat bagian dobel. “Ambil dua-dua saja,” kata Thomas, mengulurkan kotak Good & Plentys. “Itu aturannya.” Aku bilang oke, tetapi aku ambil lebih. Satu kali, aku memasukkan dua jariku ke dalam dan mengambil lima. Thomas bahkan tak menyadarinya. Kau selalu bisa menipu Thomas. Mudah sekali. Dia bahkan tak tahu kalau penghapus bodohnya hilang. Inilah penyebab Thomas menangis waktu kami menonton The Wizard of Oz: kera terbang. Kera-kera yang menjadi anak buah Penyihir Jahat dan yang terbang turun dan menculik Dorothy. Thomas menangis dengan keras sehingga aku ikutan menangis juga. Awalnya, aku tidak takut pada kera-kera itu, tapi kemudian aku takut melihatnya. Ray membawa kami berdua ke lobi, membentak kami, dan mengatakan kalau kami mengacaukan hari yang indah untuk ibu kami. Wanita penjaga kios permen terus memandangi kami. Wanita yang pincang. Ray berkata kalau kami tidak berhenti bertingkah seperti dua anak perempuan penakut, dia akan membawa kami ke toko dan membelikan kami rok. “Suzie dan Betty Pinkus, anak perempuan penakut,” katanya. Saat itu, kami masih kecil-kelas satu. Jika aku melihat kera-kera terbang itu sekarang, aku akan tertawa karena aku tahu itu bohongan. Tahun lalu saat istirahat, anak kelas tiga suka menyanyikan lagu ini: Kelas satu, bayi! Kelas dua, bodoh! Kelas tiga, malaikat! Kelas empat, gelandangan! Tahun ini giliran kami menyanyikannya. Thomas dan aku. Karena kami sudah besar. Ngomong-ngomong, ototku lebih besar daripada Thomas. Sekarang, aku yang ingin ke toilet. “Kenapa kau tadi nggak ikut waktu kakakmu pipis?” Ma mencondongkan tubuh di depan Thomas dan berbisik. Mulutnya sangat dekat dengan telingaku, sehingga ludahnya membasahi telingaku. Kukatakan bahwa aku tadi belum kebelet, baru sekarang terasa. Nggak apa-apa, kataku. Aku sudah besar. Aku bisa pergi sendiri. Jadi, Ma mengizinkanku. Thomas memegang kotak pensilku karena tadi aku membawakan miliknya. Aku mulai berjalan menyusuri gang bioskop yang sangat panjang. Awalnya, aku agak takut, tapi kemudian aku berani. Ping! Meleset. Mereka sebaiknya waspada. Aku Mark McCain. Ayahku The Rifleman. Aku suka berada di luar, di lobi sendirian. Di kios mesin soda, seorang pria sedang membelikan anak lelakinya soda anggur. Aku berhenti untuk melihat, cangkirnya turun, soda dan sirup mengalir memenuhi cangkir. “Wow, aku haus,” kataku keras-keras. Anak itu memandangku, tapi ayahnya tidak. Di lantai bawah, di luar toilet, mereka meletakkan asbak berisi pasir di dalamnya. Puntung rokok menancap di pasir itu. Aku mengorek-ngoreknya sebentarpuntung rokok ini adalah buldoser. Mulutku menderumkan suara buldoser. Tebak, siapa yang ada di toilet? The husher. Punggungnya bersandar ke tembok, merokok dan mengembuskan asap berbentuk cincin. Asap rokok mengitari kepalanya. Mulutnya adalah pabrik cincin asap rokok. “Aku bisa saja bekerja di First National musim panas ini,” katanya. Aku satusatunya orang selain dia yang ada di toilet, tapi dia sedang mengamati bayangan dirinya sendiri di cermin. Aku tak yakin apakah dia berbicara padaku. Apakah dia melihatku. Mungkin aku tak terlihat. “Tapi kemudian, aku tak jadi kerja di sana
karena dia bilang dia mungkin akan memperbolehkanku memutar proyektor. Sampai sekarang, itu tak terjadi. Tak sekali pun.” Dia membuat cincin asap lagi-cincin asap yang tebal. Donat asap. Dia meleletkan lidahnya di tengah-tengah donat asap itu. Mengikuti bulatan asap yang semakin meninggi. “Tebak, apa yang pernah dilihat ibuku saat menonton di bioskop?” kataku. “Tikus.” Aku tak bermaksud bicara. Keluar begitu saja dari mulutku. “Itu sih, kecil,” katanya, masih melihat dirinya merokok di cermin. “Kami sering melihatnya di sini. Mereka datang dari sungai.” Dia punya jerawat merah besar di dahinya. “Memangnya kau pikir apa yang kubersihkan pagi ini di meja kios permen? Kotoran tikus. Kami memasang perangkap. Kau bisa mendengar jepretan perangkap itu di ruang bawah tanah-kadang tepat di tengah-tengah film diputar. Jepret! Kawatnya disetel sangat kencang, sehingga mematahkan punggung mereka.” Dia melemparkan puntung rokoknya di salah satu dudukan toilet, dan terdengar suara tsst saat puntung rokok itu mengenai air. “Jika kau menemukan penghapus di lantai, itu punyaku,” kataku. Dia memandang langsung padaku untuk pertama kalinya, tetapi tak bilang apa-apa. Lalu, dia keluar. Toilet sebesar ini hanya milikku seorang. Tempat kencing punya pil-pil putih besar di dasarnya yang berbau seperti pohon natal kalau kamu mengencinginya. Kalau kamu mengencinginya. Aku berkata keraskeras: “Kencing!” Mengatakannya-mende-ngarkan kata umpatan itu bergaung di toilet yang bersih mengilat ini membuatku sedikit gemetar. Tanganku bergetar, membuat kencingku menciprat. Sekarang, j\wa-ku bernoda hitam. Pintu toilet membanting terbuka. Oh, tidak. Ralph Drinkwater dan Lonnie Peck masuk. Aku cepat-cepat meresleting celanaku. “Hei, anak kecil?” kata Lonnie. “Kau mau uang?” Aku menjawab tidak dan dia mencengkeram pergelangan tanganku. Aku bisa melihat tanda X yang dicoret si Mata Menonjol di punggung tangannya dan tanganku. “Ayolah. Uang beneran. Buka telapak tanganmu.” Aku tahu, ini pasti tipuan-Lonnie mungkin akan meludahi tanganku-tapi aku dengan patuh membuka telapak tanganku. Lonnie memegang pergelangan tanganku dan menariknya ke atas-membuatku menampar diri sendiri. “Kenapa kau menampar mukamu sendiri, Anak Kecil? Huh?” dia tertawa. Dia melakukannya lagi. Lagi. “Kenapa kau memukul dirimu sendiri?” Sebenarnya rasanya tak terlalu sakit. Hanya perih sedikit. Aku mencoba menarik tanganku, tetapi Lonnie lebih besar dariku. Jauh lebih besar. Bagaimana mungkin anak kelas tiga bisa melawan anak kelas lima yang sudah tinggal kelas sekitar lima puluh kali? “Hei, lihat ini!” kata Ralph. Dia berlari menyusuri tempat kencing, menekan tombol penyiram. Membuka keran lebar-lebar. Di belakang dinding, pipa-pipa bergetar dan bergoyang. Lonnie melepaskanku dan mulai menarik-narik tisu gulung dari tempat tisu. “Selamat datang di rumah kesenangan!” teriaknya. Aku lari. Keluar pintu, melewati asbak, naik tangga, melewati lobi. Si Mata Menonjol bersandar di kios permen. “Hei! Nggak boleh lari!” teriaknya. Ketika aku kembali ke tempat dudukku, Ma berdiri dan membiarkanku lewat. Aku tak mengatakan apa pun tentang Lonnie dan Ralph. Tentang the husher dan tikus-tikus itu. Aku duduk bersila ala Indian sehingga tidak ada tikus yang melewati kakiku. Jantungku berdetak begitu keras sehingga aku bisa merasakannya dan wajahku terasa panas di bagian aku menampar diriku sendiri tadi. “Suka antingku?” kata Thomas. Dia mengeluarkan busurnya dan busurku dari kotak
pensil kami dan menggantungkannya di telinga. Aku menarik milikku kembali. “Ow!” teriaknya. Dia menonjokku dan aku membalas. “Tonton filmnya,” Ma meminta. “Lucu lho!” Tapi, film itu tak lucu. Bodoh. Francis, Keledai yang Bisa Bicara berbaris di parade. Nggak lucu. “Kenapa kau pakai anting?” bisikku kepada Thomas. “Karena kau anak perempuan yang bodoh, ya?” Dia menyikutku; aku balas menyikutnya. “Cukup, Dominick,” Ma mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik. “Jangan nakal pada kakakmu.” “Bilang saja, jangan menyemprotku,” kataku keras-keras. “Ludahmu nyemprot di telingaku.” Jika Ray di sini, dia pasti menamparku keras-keras. Setelah film selesai, kami jalan kembali ke swalayan. Kami tiba terlalu awal untuk menunggu bus. Ma bilang, kami boleh berjalan-jalan di dalam swalayan, tapi tak membeli apa pun. Jika kita punya waktu dan kami berdua bersikap baik, dia mungkin akan membelikan kami krim soda. Kami memasuki toko, melewati bagian kacang-kacangan dan per-men di balik etalase kaca. Melewati bagian buku, rak komik, dan mainan. Swalayan itu lantainya berderit. Dan juga ada kipas angin di atap yang berbunyi thwocka-thwockathwocka. Dan seorang gipsi di lemari kaca yang meramalkan masa depanmu dengan ongkos satu penny. Ramalan itu keluar tertulis dalam kartu kecil. Gipsi itu cuma patung, tapi kucing di bahunya kucing beneran. Kucing beneran yang mati dan diawetkan. “Kau lihat kipas angin di atas sana?” kataku pada Thomas. “Jika seseorang yang benar-benar tinggi lewat, kipas itu akan memotong kepalanya hingga putus.” “Tidak mungkin.” “Mungkin saja.” Ma memandang ke beberapa lukisan: badut, pegunungan, dua kuda berlari menyeberangi sungai. Sebuah tanda dari kertas Jingga bertuliskan-OBRAL BESAR KARYA SENI-bergoyang tertiup angin dari kipas angin. “Anak-anak, lihat lukisan ini,” kata Ma. Dia memegang sebuah lukisan suci-Yesus melayang di langit. Bapa dan Roh Kudus ada di atas, memandang ke bawah, pada Yesus. Di bawah, gembala dan orang-orang lain saling berpelukan dan memandang ke langit. “Lihat!” kata Ma. Dia menepukkan jari ke dada Yesus. Ketika Ma menggerakkan lukisan itu, kau bisa melihat dada Yesus bersinar. Kalau lukisan itu diam, nyala api di dada Yesus menghilang. Seperti sulap. Kami meminta Ma melakukannya lagi dan lagi. “Apa menurut kalian sebaiknya aku membeli lukisan ini?” kata Ma. “Ya!” jawab kami berdua. “Beli!” “Mungkin kalau gajian nanti,” kata Ma. “Ayo. Aku akan membelikan kalian es krim soda.” Saat kami melewati kipas angin di langit-langit, Thomas bertanya pada Ma apa kipas angin itu bisa memotong kepala orang yang tinggi, dan Ma bilang, “Oh, Thomas, jangan mengatakan hal-hal seperti itu.” Thomas tidak bisa menghabiskan es krim sodanya karena dia teringat kembali pada
Miss Higgins, jadi aku menghabiskan punyanya dan punyaku. “Kau tahu apa yang akan terjadi?” kata Ma. “Aku bertaruh kalau aku kembali Kamis nanti, semua lukisan itu pasti telah terjual.” Ketika kami hendak pergi, Ma bilang, “Kalian tahu nggak anak-anak, kalau seseorang mentraktirku es krim dan menonton film ketika aku masih kecil dulu, aku pasti bilang, ‘Terima kasih.1” “Terima kasih,” kata kami berbarengan. Kadang, aku tahu apa yang akan dikatakan Thomas bahkan sebelum dia mengucapkannya. Misalnya Ma bilang, “Kau mau sandwich apa, Thomas?” dan aku bilang dalam hati, sosis dan keju. Dan lalu Thomas bilang, “Sosis dan keju, piease.” Aku bertanya-tanya apakah si kembar Drinkwater juga bisa melakukannya. Aku berani bertaruh mereka nggak bisa. Mereka bodoh. Setidaknya Penny Ann, karena dia nggak naik kelas. Ketika kami hendak keluar ke halte bus, kami berhenti di bagian lukisan lagi. Ma mengambil lukisan Yesus dan menunjuk ke label yang menempel di bawah pigura. “Siapa yang bisa baca ini?” tanyanya. “Dia …” kata Thomas, lalu terhenti, tak bisa meneruskan. “Dia telah dibangkitkan,” kataku. “Kita terselamatkan.” “Benar sekali, Dominick,” kata Ma. “Bagus sekali. Apa kau pikir aku sebaiknya memboroskan uangku untuk membeli ini?” Dia tidak bertanya pada Thomas. Hanya padaku. “Beli saja,” kataku, seperti bos. Ma mengeluarkan lembaran uang kusut dari dompet recehnya. Wanita di kasir membungkus lukisan itu dengan kertas cokelat dan bertanya pada Thomas dan aku apakah kami anak yang penurut di rumah. Kami bilang ya, dan dia memberi kami masing-masing satu permen mint. Kami lalu keluar dan menunggu bus. Ma menyandarkan lukisan itu ke dinding menunggu dan menunggu, tapi bus sialan bus itu tak segera datang, makan malam berharap Ray tak akan marah karena dia
luar toko saat kami menunggu. Kami itu nggak datang-datang. Ma bilang, jika akan telat dan Ray akan marah. Dia juga membeli lukisan itu.
Ray bukanlah ayah kandung kami. Karena itulah kami memanggilnya Ray. Kami tak tahu siapa ayah kandung kami. Aku tak tahu apakah Ma tahu. Kurasa ayah kandung kami sangat, sangat, sangat tinggi. Pasti dia bisa mengalahkan Ray. Lukisan baru kami juga tinggi, tapi aku lebih tinggi. Thomas berkata, “Lihat, Dominick. Komuni!” Dia membuka mulutnya untuk menunjukkan permen yang menempel di lidahnya, tapi permen itu menggelincir dan jatuh ke trotoar. Ma bilang, jangan dimakan lagi karena sudah terlalu kotor. Thomas menangis. Bus datang. Oh, tidak! Sopirnya yang suka menggerutu dengan jempol yang hilang. “Mundur!” katanya. “Ayo. Aku nggak punya banyak waktu! Mundur!” Busnya sangat sesak. Kami harus pergi ke belakang sekali. Ma menyuruh Thomas dan aku duduk berdampingan di salah satu bangku panjang dan dia duduk di seberang, menghadap ke kami. Dia meletakkan lukisan baru itu di depannya. Bersandar di lututnya. Lalu seorang pria yang menakutkan naik bus (pria yang selalu akan kulihat dan kuimpikan sepanjang hidupku setelahnya). Dia berjalan di gang bus menuju ke arah kami. Rambutnya berantakan, berjanggut, dan ada benjolan besar di dahinya. Dia bergumam pada dirinya sendiri. Mantelnya sangat kotor. Dia mendesakkan diri dan duduk di sebelah ibuku.
Aku tak suka memandang pria itu-tak ingin memandangnya-tapi aku tak bisa menahannya. Ma menggelengkan kepalanya padaku, yang artinya, “jangan melihat”. Tapi, pria itu terus memandangi Thomas dan aku. Dia mengatakan sesuatu yang buruk-sesuatu tentang melihat “dobel”. Lalu dia tertawa. Aku tahu, pria ini pasti punya jiwa yang sangat, sangat, sangat kotor. Aku tahu Thomas hampir menangis. Aku bahkan tak melihat Thomas, tapi aku tahu. Bus mulai berjalan. Kini, pria itu memandangi Ma. Mencondongkan tubuh ke arahnya. Dia mulai mengendus-endus Ma seperti anjing. Ma menghindar sejauh yang dia bisa. Tangannya menutupi mulut. Satu tangan lain memegangi lukisan. Thomas mulai menangis. Seseorang akan menolong kami, harapku dalam hati. Tapi, tak ada penumpang lain yang memerhatikan pria itu. Tangannya keluar dari saku jaketnya. Bergerak ke lukisan baru kami lalu ke belakang lukisan ke paha Ma. Tangan Ma yang menutupi mulutnya bergetar. Tangannya yang satu lagi memegangi lukisan itu erat-erat. Ma tak mengatakan apa pun-tak melakukan apa pun-dan aku takut, marah, dan seluruh kepalaku rasanya mendidih …. Di perhentian berikutnya, Ma melompat berdiri, menyeret Thomas dan aku berjalan ke pintu bus, lukisan yang dibawanya terbanting ke sana kemari saat dia berjalan. “Ya, terima kasih!” kata Ma ketika sopir bus bertanya apa semua baik-baik saja. Kami turun tangga bus yang curam dengan terburu-buru. Pintu bus terbanting menutup. Bus bergerak ke depan. Lalu berhenti lagi. Pintunya membuka. Pria menakutkan itu juga turun. Apa dia akan melukai kami? Apa dia akan mencuri lukisan baru kami? Kami lari. Kotak pensil Thomas terbuka dan isinya bertebaran. “Jangan berhenti!” teriak Ma. “Jangan melihat ke belakang!” Tapi aku melihat ke belakang, dan setiap kali aku menengok, pria menakutkan itu semakin tertinggal jauh. Akhirnya, dia berhenti dan meneriakkan sesuatu pada kami-sesuatu yang bisa kudengar, tapi tak kumengerti. Ketika sampai di rumah, kakiku terasa terbakar karena berlari. Kami bertiga menangis. Ma lari masuk rumah, mengunci semua pintu dan jendela dan menurunkan gorden. Lalu, dia duduk di salah satu kursi makan dan menangis dengan seluruh tubuhnya. Dia menangis begitu keras sehingga meja makan dan porselen di lemari ikut bergetar. Thomas dan aku berhenti menangis dan terpana memandanginya. “Jangan bilang ayah kalian tentang apa yang terjadi tadi,” kata Ma, setelah dia bisa berbicara lagi. “Jika dia bertanya, ‘Bagaimana filmnya?’ bilang saja, ‘Bagus’. Jika dia tahu apa yang terjadi, dia tak akan mengizinkan kita pergi ke bioskop lagi. Pria itu tak benar-benar jahat. Dia cuma tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dia cuma gila.” Di lantai atas, di kamarnya dan kamar Ray, Ma berlutut di ranjang dan memaku dinding. Menggantung lukisan barunya. Dia berjanji pada Thomas akan membelikan kotak pensil baru untuk menggantikan kotak pensilnya. “Yang bagus,” kata Ma. “Yang lebih baik daripada kotak pensil jelek yang mereka dapatkan gratis di bioskop tadi.” Aku capek. Aku ingin menangis. Mengapa Thomas yang dapat kotak pensil bagus sementara aku punya yang jelek tanpa penghapus? Kupikir hari ini akan menjadi hari yang baik, tetapi nyatanya tidak. Hari ini hariku yang paling, paling
buruk. “Siapa tahu apa yang akan terjadi hari ini,” kata Ma, “jika Yesus tidak ada untuk melindungi kita dari pria gila itu?” Dia menarik napas panjang, melangkah mundur untuk mengagumi lukisan baru itu. Aku juga melihat. Yesus memandang balik, tangannya terulur ke arah kami. Saat aku menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, nyala api di dadanya berkedap-kedip. “Suatu hari,” kata Ma. “Aku akan meminta Father LaFlamme untuk datang dan memberkati lukisan ini. Memberkati keluarga kita semua. Rumah kita.” Malam itu saat makan malam, Ray memergoki Thomas mengunyah lengan bajunya. “Oke! Cukup!” kata Ray. Ray berdiri dan melepaskan ikat pinggangnya. Memutarnya di tangan. Mencambukkannya ke meja. Aku teringat tikus-tikus di bioskop, berlari di ruang bawah tanah yang gelap, terjerembab di perangkap. Jepret,’ Suara ikat pinggang Ray menghantam meja. Jepret,’ “Sudahlah, Ray,” kata Ma. Ray mengacungkan telunjuknya ke Ma. “Kau jangan ikut-ikutan, Suzie Q!” katanya. “Kalau saja kau tidak memanjakannya setiap waktu, dia tak akan seperti ini!” Dia membuang ikat pinggangnya ke lantai. Pergi ke ruang bawah tanah. Kembali ke atas dengan segulung isolasi. “Pergi!” katanya padaku. Dari halaman belakang, aku bisa mendengar Thomas menangis, tercekik, dan berusaha bernapas seperti anjing yang diseret Mr. Grymkowski keluar kelas. “Maafkan aku, Ray!” Thomas terus mengerang. “Jangan isolasi tanganku, aku mohon! Aku minta maaf! Aku lupa! Aku minta maaf.” Nyamuk-nyamuk sudah keluar. Dua kelelawar terbang di bawah lampu jalan. Lampu merah pesawat berkedap-kedip di langit. Di Wizard OfOz, penyihir jahat akhirnya meleleh dan mantranya terlepas dan kerakera terbang itu jadi baik. Mereka bahkan bukan kera; mereka manusia. Ayah kandung kami bisa siapa saja. The Rifleman. Atau sopir bus ramah yang menemukan permen di telinga kami. Atau bahkan pilot pesawat yang terbang di langit itu. Aku berlari-lari di halaman belakang, melambai-lambaikan tanganku sehingga dia bisa melihat kamiThomas, Ma, dan aku. Ayah kandung kami bisa siapa saja di dunia ini. Siapa saja kecuali Ray. Enam Hai, Dominick, Thad dan aku pergi ke keias mixology, kami befajar minuman krim maiam ini! Tebak siapa yang menelepon? CONNIE CHUNG!! Dia ingin mewawancarai kakakmu. (Detailnya nanti!) Jika kau makan salah satu Lean Cuisine/cu buat makan malam, jangan makan \asagr\anya ya. Makasih! Love, Joy. P. S. Telepon Henry Rood!!! (Pria itu mengesalkan sekali!) Aku membaca pesan itu sepintas lalu. Otakku masih dipenuhi pengalaman dan suara-
suara dari Hatch: rantai di kaki Thomas, Alkitab lusuhnya melewati mesin X-ray. Aku berjalan mondar-mandir di kondominium, menurunkan penutup jendela, menyalakan lampu. Ketika melewati TV, aku menyalakannya untuk mengurangi kepenatan otakku. Di kamar tidur, aku melepaskan jinku dan memakai celana panjang kaus. Jika badanku terasa sakit sekarang, besok mungkin aku akan merasa jauh lebih buruk. Hal pertama yang aku lakukan besok adalah mengeluarkan kakakku dari lubang ular itu. Lalu, aku akan menyewa pengacara dan menuntut mereka sampai kapok: negara bagian Connecticut, rumah sakit, penjaga sialan yang menendangku dengan lututnya. Aku akan menggantung buah zakar bajingan itu, baru aku puas. Memangnya mengapa kalau aku sedikit kehilangan kontrol? Memangnya itu masalah? Aku kembali ke dapur untuk mengambil bir. Mungkin kami masih punya Tylenol dengan codeine sisa Joy saat giginya berlubang? Di mana ya, aku melihat pil-pil itu? Tidak ada di kotak obat, tentunya. Tidak mungkin dengan sistem Joy yang berantakan. Menyimpan aspirin di laci meja telepon, selai kacang di lemari es. “Di mana kantong penyedot debunya?” tanyaku suatu hari ketika aku ingin menolong membersihkan mobilnya. “Di bawah sofa,” katanya kalem, seakan-akan itu tempat yang paling logis untuk penyedot debu. Di mesin pesan ada … enam, tujuh, delapan lampu berkedip-kedip. Sialan. Aku memencet tombolnya. Beep. “Ini Henry Rood, 67 Gillette Street, dan ini adalah teleponku yang keempat dalam tiga hari.” Aku memejamkan mataku dan melihat rumah Victoria tingkat tiga dengan cat terkelupas miliknya. Melihat Rood dan istrinya dengan perut buncit mereka, wajah memerah karena alkohol. “Aku ingin tahu kapan kau akan kembali menyelesaikan pekerjaanmu, jika permintaan ini tidak terlalu sulit. Jika mungkin, aku ingin bisa melihat ke luar jendela kamar kerjaku ketika salju beterbangan dan tidak melihat perancahmu di luar!” Sebelum salju beterbangan: lucu juga. Yah, besok tak mungkin, Henry. Tak ada kemungkinan aku akan naik turun tangga selama dua puluh empat atau empat puluh delapan jam ke depan. Aku akan ke Hatch, mencari tahu bagaimana cara mengeluarkan kakakku. Sialan, aku bahkan akan menyewa helikopter jika memang harus. Mengeluarkan dia dari sana seperti adegan di film Charles Bronson yang ditayangkan beberapa malam lalu di HBO …. Beep. Ditutup. Coba-coba saja. Beep. Seseorang dari surat kabar bla-bla-bla Examiner ingin mewawancarai Thomas. Tunggu saat neraka membeku, sobat. Pesan dulu minuman krim. Antrelah di belakang Connie Chung. Beep. Apa aku tak salah dengar? Seseorang dari New York ingin menjadi agen buku kakakku? Aku memejamkan mata, menempelkan dahiku di lemari dapur. Mengulurkan tangan dan menekan tombol stop tanpa melihat. Sialan, kapan semua ini akan berakhir? Di lemari es ada empat kaleng bir Lite. Enam belas ons. Bahkan, setelah dengan jelas kukatakan padanya jangan membeli bir Lite. Joy akan menjadi bartender hebat, dengan caranya mendengarkan pesanan seperti itu. Tapi aku tetap mengambil bir itu. Menarik satu kaleng, men