Menggunakan analisa gender untuk mainstream gender dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi korban 1965 (Studi kasus Kelurahan Randusari, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali)
Pendahuluan Latar Belakang Masalah Peristiwa 1965 merupakan suatu genosida, suatu tragedi kemanusiaan dimana sekian ratus ribu korban terbunuh, hilang tak tentu keadaannya hidup atau mati dan dampaknya tetap dirasakan oleh semua elemen masyarakat, mulai dari fobia ketakutan masyarakat akan komunisme dan sosialisme, perampasan hak-hak sipil dan politik mobilitas dan akses ekonomi serta pendidikan bagi korban hingga ke anak dan kerabatnya. Kebijakan yang didasarkan pada Tap MPRS / 25 / tahun 1966 yang diterapkan sejak jaman Orde Baru dan belum dicabut hingga sekarang telah menjadi kendala utama bagi anggota eks OT1 yang menjadi tapol dan napol, keluarga maupun kerabatnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagaimana masyarakat biasa. Sejarah masih didominasi oleh versi negara atas peristiwa 1965 tersebut, yang sebagaimana diketahui mulai terkuak adanya indikasi manipulasi atas peristiwa sejarah tersebut, dengan menunggangi masyarakat sipil untuk kepentingan politiknya saat itu. Tidak pernah ada penyiksaan atas tubuh jendral-jendral yang dibunuh di Lubang Buaya, tidak pernah ada pesta “harum bunga” yang dilakukan oleh Gerwani, namun demikian sebagai dampak atas propaganda sejarah versi negara tersebut telah menyebabkan timbulnya prasangka dan stereotype tertentu yang dilekatkan bagi OT dan keluarganya. Bahkan kata “PKI” telah berhasil menjadi momok bagi justifikasi represi negara atas gerakan-gerakan masyarakat yang menuntut adanya ketidakadilan struktural yang terjadi di masyarakat. Setiap gerakan yang menuntut tanggung jawab negara selalu diidentikkan sebagai “PKI”. Mengacu pada situasi tersebut, kiranya perlu dimulai suatu upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi bagi korban peristiwa 1965 yang berbasis akar rumput untuk menghilangkan prasangka, stereotype dan juga pendidikan masyarakat akan perlunya alternatif sejarah atas peristiwa 1965 untuk mendudukkan konflik pada tempatnya. Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial yang bergerak pada isu gender dan promosi hak asasi perempuan di Boyolali dan Syarikat Indonesia yang terdiri dari Kaum Muda NU (Anshor) dan afiliasi LSM, suatu jaringan terdiri dari 18 LSM di Jawa melakukan inisatif-inisiatif pendampingan dan penelitian bagi keperluan rehabilitasi dan rekonsiliasi korban peristiwa 1965. Namun demikian perlu ditekankan bahwa dampak dari peristiwa 1965 tersebut tidak hanya dirasakan oleh kaum laki-laki, tapi juga kaum perempuan, baik dampak kepada korban, maupun dampak kepada masyarakat pada umumnya. Untuk itulah perlu suatu kajian analisis gender untuk mengetahui 1 OT adalah singkatan dari Organisasi Terlarang yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI).
1
dampak secara spesifik terhadap laki-laki maupun perempuan baik korban maupun masyarakat, beserta dengan kerabat dan keluarganya, sehingga dari dampak tersebut dapat diidentifikasikan strategi dan wadah yang tepat bagi proses rehabilitasi dan rekonsiliasi korban 1965, baik inisiatif dari laki-laki, perempuan maupun remaja untuk memperkuat peran-peran mereka dalam proses perdamaian. Dengan demikian program yang didesain berdasarkan kebutuhan masyarakat atas proses rehabilitasi dan rekonsiliasi ini dapat memberikan keuntungan pada masyarakat secara keseluruhan, baik perempuan, laki-laki, orang tua, anak-anak dan orang cacat dan pada jangka panjang dapat memberikan kontribusi kepada kesetaraan gender dan menghapuskan ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat Perumusan Masalah Sebagaimana disebutkan diatas, analisis gender akan mengkaji dampak peristiwa 1965 terhadap laki-laki dan perempuan serta peran-peran laki-laki dan perempuan dalam proses rehabiliatasi serta rekonsiliasi sehubungan dengan peristiwa tersebut. Perempuan tidak seharusnya hanya diposisikan sebagai kaum lemah dan korban, namun perempuan perlu ambil bagian dalam proses-proses inisiatif rehabilitasi dan rekonsiliasi korban 1965. General Assemby Resolution dari PBB no 1325 menekankan perlunya penyadaran program akan kebutuhan spesifik dari perempuan, anak perempuan, orang cacat, tua maupun muda terhadap pemahaman dampak konflik bersenjata terhadap perempuan dan anak-anak perempuan, serta partisipasi mereka dalam proses-proses perdamaian yang secara signifikan akan memberikan kontribusi atas promosi dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan. Untuk itu beberapa upaya yang didukung oleh GA Resolusi 1325 termasuk diantaranya adalah memberikan dukungan penuh atas inisiatif perdamaian perempuan lokal dan proses-proses murni ‘akar rumput’ bagi resolusi konflik, meningkatkan perwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan baik institusi formal lokal nasional, regional maupun Internasional dalam mekanisme pencegahan, pengelolaan maupun resolusi konflik serta akselerasi bagi peningkatan partisipasi perempuan pada level pengambilan keputusan didalam proses-proses perdamaian dengan cara memperbanyak perwakilan dari kaum perempuan, memperbanyak training bagi pengembangan pengetahuan perempuan. Secara spesifik bahkan GA Resolusi 1325 menyebutkan tentang perlunya perspektif gender dalam proses-proses negosiasi, mediasi, dan pelaksanaan perundingan perdamaian dengan melibatkan perempuan dalam semua mekanisme pelaksanaan perjanjian perdamaian dengan memperhatikan kebutuhan spesial atas perempuan dan anak-anak perempuan selama rehabilitasi dari konflik. Untuk itu sebelum program rehabilitasi dan rekonsiliasi bagi korban peristiwa 1965 dijalankan diperlukan suatu kajian dalam kerangka gender untuk mengidentifikasikan pembagian kerja dimasyarakat, akses dan kontrol perempuan dan laki-laki terhadap inisiatif ikatan keeratan masyarakat, pengambilan keputusan dalam institusi formal dan informal bagi proses mediasi dan dialog untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi, dampak peristiwa 1965
2
secara spesifik kepada laki-laki dan perempuan serta peran-peran apa yang dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi tersebut. Tanpa melakukan kajian gender, besar kemungkinan program tidak memperhatikan adanya kebutuhan spesifik kaum perempuan, peran-peran perempuan dan bahkan program yang dilakukan justru memberikan beban tambahan atas beban ganda perempuan. Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan praktis penelitian adalah : 1. Mengeksplorasi dimensi gender bagi proses rehabilitasi dan rekonsiliasi korban peristiwa 1965. 2. Memberikan rekomendasi untuk strategi bagaimana menerapkan dimensi gender / gender mainstreaming untuk dikoorporasikan dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi melalui program-program Syarikat Indonesia dan LKTS. Tujuan strategis : Memperkuat peran-peran perempuan sebagai aktor protagonis untuk proses perdamaian dalam kasus rehabilitasi dan rekonsiliasi korban peristiwa 1965 melalui program-program LKTS dan Syarikat Indonesia. Mempromosikan hak-hak perempuan bagi kesetaraan dan memberikan kontribusi bagi penghilangan ketidakadilan gender, baik steretyping, beban kerja yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, marginalisasi atas akses dan kontrol, subordinasi dalam pengambilan keputusan di level keluarga, masyarakat maupun negara melalui program-program LKTS dan Syarikat Indonesia. Metode Penelitian Pilihan Metode Penelitian Dalam meneliti proses rekonsiliasi dan rehabilitasi kasus 1965 dengan menggunakan analisis gender dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu strategi penelitian yang menghasilkan data atau keterangan yang dapat mendeskripsikan realitas sosial dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan masyarakat, latar belakang serta karakter-karakter yang khas dari suatu kasus, di suatu daerah, individu laki-laki dan perempuan. Sumber Data Sumber data dalam penelitian kualitatif terdiri atas manusia dengan tingkah lakunya, peristiwa, dokumen, arsip, dan benda-benda lainnya (Ardika, 1997 : 6). Untuk dapat menjawab masalah-masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini, diperlukan data yang bersifat kualitatif, yang diperoleh dari sumber / informan (data primer) dan juga yang bersumber dari dokumentasi, berupa hasil penelitian, jurnal, statistik, dan kliping (data sekunder). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari : Individual : Perempuan, laki-laki, orang cacat, anak laki-laki, anak perempuan, orang lanjut usia laki-laki, orang lanjut usia perempuan baik eks anggota OT beserta kerabat dan anaknya, pelaku dari PNI, NU, anak dan kerabatnya, maupun dari kalangan masyarakat biasa yang tidak terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut diatas.
3
Kelompok profesi : Guru, guru sejarah, petani, buruh pabrik, pedagang, aparat pemerintah, petani dan pelajar. Kelompok aktivis kemasyarakatan : Tokoh Agama Islam, tokoh Agama Hindu, tokoh NU, kelompok remaja, kelompok arisan, kelompok PKK, kelompok karawitan. Lembaga Swadaya Masyarakat : Kalyanamitra, Ade Nasution, Elsam, Yayasan Penelitian Korban Peristiwa 1965, LKTS dan Syarikat Indonesia. Institusi Pemerintah : Aparat Pemerintah, Badan Perwakilan Desa, Polisi, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Teknik Pengumpulan Data Berbagai sumber data tersebut menutut teknik pengumpulan data tertentu guna mendapatkan data-data yang terkandung / terpendam didalamnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitan ini meliputi : Wawancara adalah kegiatan dalam penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan. Focus group diskusi adalah diskusi terfokus untuk cross cek informasi yang didapat dari wawancara personal. Observasi. Pencatatan dokumen, fakta sosial seringkali tersimpan dalam dokumen yang juga merupakan bahan utama dalam suatu penelitian. Pemilihan Lokasi Penelitian Kelurahan Randusari, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, ditetapkan sebagai lokasi penelitian, mengingat dalam pengamatan sementara, proses rekonsiliasi dan rehabilitasi yang menyangkut peristiwa 1965 (G 30 S / PKI) sudah dapat berjalan di desa ini. Di desa inilah, Kelurahan Randusari yang pada waktu itu (38 tahun yang lalu) merupakan ‘basis’ dari BTI (Barisan Tani Indonesia), pada saat meletusnya peristiwa 1965 di desa ini terjadi peristiwa pembakaran dan penangkapan terhadap orang-orang yang di duga terlibat PKI / BTI. Operasi penangkapan terhadap masyarakat yang dinyatakan terlibat PKI beserta keluarganya tentu saja menyisakan luka yang dalam bagi masyarakat Kelurahan Randusari secara umum. Ketakutan, trauma, kehilangan sanak saudara, kehilangan harta benda, sampai pengucilan dari masyarakat adalah sebuah kondisi yang pernah dialami oleh orang-orang ex-Tapol, ex-Gerwani dan keluarganya. Responden Penelitian Oleh karena itu, pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan pendekatan snowball sampling. Yang dimaksud dengan teknik ini adalah cara menentukan responden yang mula-mula jumlahnya kecil (responden kunci), kemudian responden ini diminta untuk memilih teman lain yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk dijadikan responden berikutnya. Sebagai responden kunci dalam penelitian ini ditetapkan Bapak Padmo Soeharto dan Ibu Rajinem, karena terlibat langsung pada peristiwa
4
berdarah 1965 dan dianggap mengetahui ujung pangkal peristiwa 1965 di Kelurahan Randusari khususnya dan di Kabupaten Boyolali pada umumnya. Secara Administratif, Kabupaten Boyolali terbagi atas 19 kecamatan, dan 263 desa, serta 4 kelurahan, dengan jumlah penduduk adalah 1.050.000 jiwa dengan kepadatan rata-rata 914 jiwa km2 serta tingkat pertumbuhan 0,50 %. Penduduk laki-lakinya berjumlah 510.000 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 540.000 jiwa. Hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhannya masih dibawah rata-rata Jawa Tengah sebesar 0,70 % dan rata-rata pertumbuhan penduduk secara nasional. 3.2 Gambaran Sosiogis Masyarakat Kabupaten Boyolali Terkait Dengan Peristiwa 1965 Beberapa peristiwa yang pernah terjadi di Kabupaten Boyolali, pada kenyataanya selalu dihubung-hubungkan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya. Misalnya Misteri Gunung Merapi menjadi kepercayaan yang kuat bagi masyarakat Jawa khususnya Surakarta dan sekitarnya, berkaitan dengan peristiwa-peristiwa alam yang terjadi yang sudah ada sejak jaman Pangeran Diponegoro di masa Kerajaan Mataram Islam berkuasa, dimana hal tersebut selalu dikait-kaitkan dengan mistis / aliran kepercayaan, yang kemudian berimbas kepada PKI di Boyolali hingga bisa menjadi partai terbesar dan menang dalam Pemilu 1955 dan mendapatkan 21 kursi dari 35 kursi yang tersedia pada saat itu. Rasionalisasi di tubuh tentara juga menjadi catatan penting bagi masyarakat Boyolali, dimana peristiwa tersebut akhirnya berimplikasi pada terciptanya MMC dan menjadikan Boyolali sebagai kota basisnya kaum merah. MMC (Merapi Merbabu Complex) adalah wahana bagi berkumpulnya orang-orang yang sakit hati karena adanya rasionalisasi di tubuh tentara. Dalam rasionalisasi tersebut, tentara yang bisa masuk untuk menjadi Tentara Negara adalah tentara yang sudah dilatih oleh KNIL dan PETA. Sedangkan Tentara Rakyat yang lahir karena menjadi relawan tidak bisa menjadi tentara negara yang digaji oleh negara. Kolonel Soejono dan Batalyon Panembahan Pasopati yang melakukan penolakan atas rasionalisasi tersebut yang kemudian mengasingkan diri ke Lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Setelah Presiden Soekarno menghimbau kepada pasukan yang mengasingkan diri tersebut supaya kembali, pada waktu itu ada beberapa orang yang rela untuk menyerahkan diri dan mengembalikan senjatanya kepada negara, sedangkan yang bertahan dalam pengasingan tersebut kemudian bergabung dengan Kelompok Garong yang sangat terkenal kesadisannya dalam mencuri, menjarah dan merampok. Kelompok Garong tersebut terkenal dengan sebutan Grayak : Gerakan Rakyat Kelaparan. Grayak inilah yang kemudian dianggap menjadi biang kerok asal muasal kekuatan PKI di Boyolali, sehingga pada saat meletusnya peristiwa G 30 S / PKI gerakan ini dicap sebagai gerakan orang-orang PKI. 3.3 Kondisi Kabupaten Boyolali Dalam Peristiwa 19652 Pemberlakuan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan UUBH tahun 1963 / 1964 yang terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Boyolali, sebagai wilayah 2
Gambaran kondisi ini didapat dari hasil penelitian awal LKTS yang belum dipublikasikan.
5
uji coba pilot project, juga memicu konflik antara PNI dan PKI, karena di beberapa desa di Kabupaten Boyolali. Selain itu juga isu tentang land reform dan pemberantasan Nekolim (Neokolonialisme) yang dilontarkan oleh orangorang PKI menjadikan konflik tersebut semakin meruncing, disamping beberapa orang PKI di beberapa desa (Desa Butuh) misalnya, telah mulai melakukan aksi sepihak (berdasarkan isu land reform, UUPA / UUBA dan Nekolim), dengan melakukan pematokan tanah-tanah orang PNI. Pematokan tanah tersebut dilakukan sembari memberi ejekan terhadap kader-kader partai dari PNI. Aksi sepihak dilakukan BTI dan PR karena land reform yang mengatur batas kepemilikan tanah tidak berjalan akibat kolusi tuan tanah dengan petugas sehingga mereka melakukan perjarahan tanah yang mayoritas tanah tersebut dimiliki oleh kaum santri kaya dan keluarga ulama di pedesaan sehingga saaran aksi sepihak ditujukan pada pemilik tanah muslimin dan lembaga-lembaga Islam dalam bentuk pemukulan, penusukan, pembakaran rumah dan penculikan skala besar. Daerah paling parah adalah Kediri, Sidoarjo, Banyuwangi, Surabaya, Ponorogo, Klaten, Boyolali, Magelang, Jember dan Blitar. Dengan terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965 di Jakarta (yang diketahui dari radio, itupun baru segelintir orang yang mengetahuinya), kondisi masyarakat Kabupaten Boyolali masih tenang-tenang saja, antara masyarakat dengan basis PKI dan yang berbasis PNI ataupun NU. Setelah berlangsung selama satu minggu (setelah ada himbauan dari Muspida : Bupati, Dandim, dan Kapolres) baru dikalangan masyarakat Boyolali terjadi kesimpangsiuran isu berkaitan dengan peristiwa pemberontakan di Jakarta tersebut, yang pada akhirnya membuat kondisi masyarakat Boyolali resah. Sehubungan dengan peristiwa 1965 NU mengeluarkan fatwa bahwa PKI adalah kafir harbi (orang yang mendustakan agama dan tidak beriman) dan bughat (pemberontak yang melawan pemerintahan yang sah) sehingga umat Islam wajib memeranginya. Fatwa itu disampaikan pada santri-santri dalam pertemuan-pertemuan tertutup kemudian disebarkan dari mulut ke mulut. Fatwa itulah yang menjadi landasan keagamaan yang dipakai dalam landasan tugas algojo NU. Apalagi mengingat bahwa tokoh-tokoh NU di Surabaya pada 22 Oktober 1945 mengeluarkan resolusi jihad yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah perang suci (jihad), namun ketika perang kemerdekaan telah usai, tugasnya dialihkan pada upaya mendukung republik apapaun taruhannya. Berangkat dari kondisi seperti itulah Anshor, KAMMI / KAPPI, Kokam Pemuda Marhaen, NU, dan PNI melakukan operasi penangkapan, pengejaran dan pembersihan orang-orang yang dianggap terlibat PKI, dianataranya adalah Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Pemuda Rakyat (PR). Mereka yang ditangkap langsung diserahkan kepada tentara (dalam hal ini RPKAD) sebagai koordinator operasi. Selain terjadi perlawanan dari Pemuda Rakyat (PR) terhadap operasi RPKAD di daerah Mojosongo dan sekitarnya, juga terjadi perlawanan dari arah utara. Operasi lain yang dilakukan oleh KAMMI / KAPPI dengan backing tentara juga terjadi di daerah Karanggeneng, yang bertujuan untuk menghancurkan daerah itu karena dianggap sebagai basis PKI saat itu juga mengalami perlawanan. Dalam operasi itu KAMMI / KAPPI dan tentara melakukan
6
pembakaran terhadap rumah tokoh dan membunuh serta menangkap tokohtokoh PKI. Operasi tersebut didukung oleh beberapa panser yang telah diparkirkan di beberapa pojok kota Boyolali yang dianggap strategis. Relawan NU, PNI, Masyumi, Anshor, Pemuda Marhaen, KAMMI / KAPPI, dan Kokam yang dipersenjatai dalam operasi pembersihan terhadap orang-orang PKI beserta simpatisan dan keluarganya tersebut, pada dasarnya hanya berpedoman pada daftar yang diberikan oleh tentara. Dalam daftar tersebut, nama-nama yang tertera didalamnya diberi tanda lingkaran merah, hijau dan kuning. Lingkaran merah merupakan target untuk dibunuh, hijau ditahan, dan kuning harus diawasi aktivitas sehari-harinya. Tanda seperti itu berlaku untuk seluruh wilayah Boyolali lainnya, meskipun model tandanya tidak sama, namun targetnya tetap sama yaitu bunuh, penjara dan waspadai. Kondisi Umum Desa Randusari Kelurahan Randusari mempunyai wilayah yang cukup luas, dimana merupakan desa terluas di kecamatan Teras. Dengan luasnya yang sekitar 4.060.265 ha, Kelurahan Randusari memiliki jumlah penduduk 5.051 orang, dengan komposisi 2.557 orang laki-laki dan 2.494 orang perempuan. Jumlah penduduk3 menurut agama / penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Islam 4664 orang, Kristen 96 orang, Katholik 8 orang, Hindu 102 orang, Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa12 orang. Di Desa Randusari bekas Tapol G 30 S / PKI4 berjumlah 193 orang, terdiri dari Golongan A sebanyak 0 orang, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pemberontakan G 30 S / PKI baik di pusat maupun di daerah. Terhadap golongan ini pemerintah memproses melalui sidang pengadilan. Golongan B sebanyak 4 orang, yaitu mereka yang telah disumpah atau menurut saksi telah menjadi anggota PKI atau ormas yang seasas dengan PKI atau mereka yang menghambat usaha penumpasan G 30 S / PKI. Terhadap golongan ini pemerintah melakukan pemisahan dari masyarakat dengan cara mengumpulkan mereka di dalam satu tempat dengan tujuan mengamankan mereka dari kemarahan-kemarahan rakyat dan mencegah jangan sampai mereka melakukan kegiatan yang menghambat upaya penertiban keamanan yang dilakukan pemerintah. Golongan C sebanyak 189 orang, yaitu mereka yang pernah terlibat dalam pemberontakan PKI-Madiun atau anggota ormas yang seasas dengan PKI atau mereka yang bersimpati atau telah terpengaruh sehingga menjadi pengikut PKI. Terhadap golongan ini pemerintah memberikan bimbingan dan mereka hidup bebas di dalam masyarakat sehingga diharapkan akan menjadi warga negara yang baik
3 Data bersumber dari monografi kelurahan Randusari tahun 2000, data ini juga menunjukkan ketidaksensitifan gender karena tidak membagi berdasarkan jenis kelamin. 4 Data ini merupakan versi Kelurahan (Pemerintah). Sedangkan menurut responden Kelurahan Randusari masyarakatnya adalah 90 % terlibat OT.
7
3.5 Kondisi Desa Randusari Dalam Kerangka Peristiwa 1965 Pada waktu terjadinya peristiwa G 30 S / PKI 1965 Desa Randusari merupakan basis Barisan Tani Indonesia (BTI). Desa Randusari juga terkena operasi pembersihan oleh tentara (RPKAD), Polisi (Brimob) dan Marhaen (Gadungan) / Marga. Selain melakukan sweeping terhadap tokoh masyarakat dan pamong desa lainnya, relawan-relawan tersebut juga melakukan pembakaran terhap rumah, harta benda, dan sapi dari orang-orang yang (diduga) terlibat PKI / BTI / PR / Gerwani. Pembakaran-pembakaran tersebut terjadi sekitar pertengahan Oktober 1965. Proses penangkapan terhadap masyarakat Desa Randusari yang dianggap PKI, Gerwani, BTI maupun PR tersebut tidak menggunakan prosedur penangkapan yang jelas. Target penangkapan terhadap orang-orang ini juga tidak jelas klasifikasinya antara mana yang disebut tokoh PKI atau hanya sekedar simpatisan / ikut-ikutan sebagai PKI. Penangkapan dan pembakaran yang terjadi pertama kali di Kecamatan Teras ini terjadi di Kelurahan Randusari, karena desa ini merupakan basis BTI. Pembakaran dan penangkapan (termasuk penyiksaan dan pembunuhan) terhadap orang-orang PKI di Desa Randusari dimulai dari Randusari bagian utara. Pembakaran dan penangkapan (termasuk penyiksaan dan pembunuhan) itu terus berlangsung ke selatan. Selain melakukan pembakaran, relawan-relawan dan tentara / polisi itu juga berteriak-teriak menyangkut nama-nama orang atau kelompok yang harus dibunuh. Dampak Peristiwa 1965 Peristiwa 1965 membawa dampak kepada masyarakat luas non OT maupun orang-orang yang dikategorikan tersangkut OT. Analisis gender mengkaji dampak peristiwa tersebut secara spesifik terhadap kaum perempuan dan laki-laki untuk melihat adanya kebutuhan-kebutuhan praktis dan strategis berdasarkan jenis kelamin. Responden yang diwawancarai dibagi dalam 2 kategori besar : Kategori korban berdasarkan pertimbangan latar belakang kekerabatan atau keluarga dari ex-Tapol atau ex-Napol baik dari Lekra, PKI, Pemuda Rakyat, BTI maupun Gerwani. Kategori ini dibagi dalam dua kelompok berdasarkan jenis kelaminnya. Responden terdiri dari perempuan dan laki-laki baik sehat fisik maupun cacat fisik dari berbagai profesi dengan range usia 17- 60 tahunan. Kategori masyarakat berdasarkan pertimbangan latar belakang tidak terlibat hubungan keluarga maupun kekerabatan dengan OT. Responden berafiliasi dengan suatu organisasi5 hingga non afiliasi organisasi. Responden terdiri dari perempuan dan laki-laki baik sehat fisik maupun cacat fisik dari berbagai profesi dengan range usia 17- 60 tahunan. Dampak Peristiwa 1965 Terhadap Korban Laki-Laki dan Perempuan di Kelurahan Randusari Yang Dikategorikan OT Dampak fisik terhadap perempuan :
5
Bisa dikatakan berafiliasi dengan organisasi yang terlibat dengan pembersihan anggota OT yaitu : PNI, NU, Masyumi, Ansor, KAMMI / KAPPI, Kokam, Pemuda Marhaen. * Dampak yang sama antara laki-laki dan perempuan.
8
Harus mencari pekerjaan apapun untuk menghidupi anak-anaknya selama ditinggal suami ditahan berpuluh tahun. Kehilangan harta benda karena dibakar rumah dan ternaknya*. Mendapat perlakuan diskriminasi selama periode orde baru untuk melakukan mobilitas ekonomi harus berbekal surat-surat yang disahkan RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kodim*. Mendapat perlakuan diskriminasi karena tidak bisa bekerja sebagai PNS atau aparat keamanan : polisi dan tentara*. Bekerja sebagai pegawai negeri namun tidak pernah mengalami kenaikan pangkat*. Dampak psikologis terhadap perempuan : Adanya perasaan takut. Perasaan terancam mau dibunuh pada saat peristiwa tersebut terjadi. Adanya perasaan bingung. Masih mengalami trauma hingga sekarang, takut apabila kesalahan tersebut diungkit-ungkit untuk menjatuhkan posisi, pekerjaan atau menyakitkan hati. Trauma karena melihat orang tua dikejar-kejar tentara. Trauma melihat tentara menaiki truk. Tidak mau bekerja sebagai Pegawai Negeri atau aparat keamanan : polisi dan TNI6 karena trauma prosedur yang sengaja berbelit-belit dan takut sakit hati bila sudah menjadi Pegawai Negeri atau aparat keamanan7 dipermasalahkan status terlibat OT. Tidak mau sekolah negeri8 karena merasa syarat-syaratnya dipersulit bagi mereka yang terlibat OT, baik anak maupun kerabatnya. Merasa adanya ruang kebebasan pada era reformasi. Menyalahkan orang tua karena terlibat OT9. Merasa diperlakuakan tidak adil oleh peraturan-peraturan yang berlaku. Dampak sosial terhadap perempuan : Sempat tidak ditegur sapa oleh tetangga atau dicuekin karena beban stigma sosial, namun semenjak reformasi mulai membaik. Tidak mengikuti aktivitas sosial apapun selama era orde baru. Menjadi orang yang pasif karena tidak mendapat kedudukan secara struktur baik sebagai RT, RW apalagi BPD karena statusnya terkait dengan OT. *
Dampak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tidak semua responden mengatakan demikian, seorang responden laki-laki yang pamannya OT sangat berambisi menjadi Tentara namun karena syarat-syarat yang diskriminatif membuatnya tidak bisa memilih pekerjaan tersebut. Wawancara dengan responden OT05. 7 Kakak seorang responden laki-laki telah menjalani wajib militer 9 bulan pada tahun 1998 untuk menjadi Tentara, namun karena adanya surat kaleng yang dikirimkan ke diklat tersebut maka dilakukan pemeriksaan atas keterlibatannya dengan OT, maka sehari sebelum wisuda pengangkatan kakak responden tersebut dipulangkan ke desanya. Wawancara dengan responden OT.05. 8 Tidak semua responden mengatakan demikian, seorang responden laki-laki yang pamannya OT bahkan selalu bersekolah di sekolah negeri atau pemerintah dan bahkan selalu mendapatkan beasiswa “Supersemar”. Wawancara dengan responden OT.05. 9 Perasaan responden perempuan tersebut disebabkan karena orang tua tidak pernah menceritakan tentang peristiwa 1965 samasekali kepada responden yang notabene adalah anak OT, namun setelah diceritai oleh orang tua maka responden tidak lagi menyalahkan orang tua. Wawancara dengan responden OT.10. * Dampak yang sama antara laki-laki dan perempuan. 6
9
Dampak fisik terhadap laki-laki : Mengalami cacat fisik akibat penyiksaan, berupa kuping putus, bibir robek, gangguan sesak napas dan napas pendek . Kehilangan harta benda dan ternak karena dibakar*. Mendapatkan diskriminasi dalam sektor kerja, tidak bisa menjadi PNS, tentara maupun polisi. Mendapat perlakuan diskriminasi selama periode orde baru untuk melakukan mobilitas ekonomi harus berbekal surat-surat yang disahkan RT, RW, kelurahan, kecamatan, Kodim*. Bekerja sebagai Pegawai Negeri namun tidak pernah mengalami kenaikan pangkat*. Dampak psikologis terhadap laki-laki : Tidak merasa takut, karena sebagian pasrah bahwa hidup dan mati sudah ada yang mengatur, sebagian yang lain menganggap bahwa itu adalah bagian dari konsekwensi sebuah perjuangan. Membenci film G 30 S / PKI10. Mendapat ancaman akan dibawa ke Koramil setelah pulang dari pulau buru karena aktif membina anak-anak muda berolah raga. Dampak sosial terhadap laki-laki : Pasif dalam politik, memilih menjadi Golput11. Tidak mengurangi semangat untuk tetap bersosialisasi dengan masyarakat, bahkan sebagian aktif membina perkumpulan olah raga maupun karawitan. Dampak Peristiwa 1965 Terhadap Masyarakat Laki-Laki dan Perempuan di Kelurahan Randusari Non OT Dampak psikologis terhadap perempuan : Peristiwa tersebut dianggap sebagai tidak manusiawi dan menyeramkan. Merasa kasihan terhadap semua korban yang dianiaya*. Merasa kasian dengan perlakuan diskriminatif pemerintah namun tidak bisa berbuat apa-apa karena merasa sebagai rakyat kecil*. Merasa takut setelah melihat film G 30 S / PKI. Merasa takut dan tidak ingin peristiwa tersebut terjadi kembali. Merasa bahwa nyawa seolah tidak ada harganya12 karena menyaksikan semua orang yang dituduh PKI dibunuh dengan kejam. Merasa ngeri. Percaya bahwa PKI dan Gerwani memang kejam seperti dikatakan oleh gurunya mengaji*. Dampak sosial terhadap perempuan : Merasa tidak ada masalah dengan orang-orang OT dan bisa menerima mereka dalam lingkup RT, RW*. Dampak psikologis terhadap laki-laki : 10
Seorang responden laki-laki karena sangat membenci film tersebut sampai memecahkan TVnya pada saat pemutaran film tersebut. Wawancara dengan responden OT.12 11 Golput adalah orang yang mendaftar sebagai pemilih dalam pemilu tapi tidak mau menggunakan hak pilihnya. * Dampak yang sama antara laki-laki dan perempuan. 12 Menurut responden perempuan yang tidak terlibat OT dan sempat mengalami peristiwa tersebut menganggap bahwa peristiwa itu digunakan sebagai kesempatan untuk menghilangkan musuh pribadi dengan menyatakannya sebagai PKI akan langsung dibunuh.
10
Percaya bahwa peristiwanya sangat kejam seperti dalam film G 30 S / PKI*. Merasa terharu sekaligus kasian atas peristiwa 1965*. Merasa kasian dengan perlakuan diskriminatif pemerintah namun tidak bisa berbuat apa-apa karena merasa sebagai rakyat kecil*. Merasa sebagai pejuang bagi keselamatan bangsa karena pada saat peristiwa menjadi pelaku pembunuhan orang-orang OT dan percaya bahwa pada saat itu PKI mau melakukan makar. Dampak sosial terhadap laki-laki : Tetap bergaul dengan OT*. Merasa bahwa OT perlu dirangkul karena menurut ajaran agama yang diyakininya Nabi Muhammad-pun merangkul dan memaafkan musuhmusuhnya. Dampak terhadap orang cacat non OT : Pada saat kunjungan lapangan hanya ditemukan satu keluarga orang cacat (buta sebelah, mata bawaan dari lahir) laki-laki dan perempuan, mereka menikah dan anaknya sehat, tidak mengalami cacat mata seperti mereka. Sebagai orang cacat akses mereka terhadap informasi terbatas, sehingga pada saat peristiwa 1965 mereka sudah lahir dan mengetahui peristiwa dan secara psikologis mereka merasa takut, dimana orang berlari-lari, terjadi kerusuhan dan pohon ditebangi, namun demikian mengenai kebenaran baik suami maupun istri ini hanya meyakini seperti halnya diputar di TV tentang film G 30 S / PKI. Analisis Bagi Proses Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Teknik Analisis Data yang telah terkumpul dari hasil penelitan lapangan ini dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang disusun kedalam sebuah teks yang diperluas. Hal tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut : Reduksi data, adalah suatu proses pemilihan untuk menarik dan memverifikasi kesimpulan-kesimpulan final. Penyajian data, merupakan bagian dari analisis untuk menyusun informasi Menarik kesimpulan, dalam penelitan ini menarik kesimpulan menggunakan pengelompokkan berbagai faktor sehingga dapat ditemukan “sesuatu” yang kemudian ditarik menjadi sebuah kesimpulan. Analisis Gender Sebagai Kerangka Utama Bagi Proses Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Peristiwa 1965 Analisis gender adalah analisis keadaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan (ekonomi, kemasyarakatan, adat, kelembagaan, dan lain sebagainya) dengan memperhatikan perbedaan dan persamaan antara lakilaki dan perempuan, yaitu : Perbedaan dan persamaan keadaan (kondisi) perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Perbedaan dan persamaan kedudukan (posisi) perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan tersebut. Tujuan melakukan melakukan analisis gender terhadap aspek-aspek atau kategori-kategori tersebut maka akan diperoleh ketimpangan peran *
Dampak yang sama antara laki-laki dan perempuan.
11
perempuan dan laki-laki yang terjadi di suatu masyarakat, sehingga dari gambaran yang didapat dapat dikembangkan program rehabilitasi dan rekonsiliasi tidak hanya mencapai tujuannya yaitu perdamaian namun juga memperhatikan penguatan (pemberdayaan) laki-laki dan perempuan untuk kesetaraan hak. Analisa gender biasanya hanya meliputi 3 kerangka analisa, yaitu analisa kerangka pembagian kerja, analisa akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan analisa dalam pengambilan keputusan, maka karena analisa gender diterapkan dalam konteks peacebuilding untuk menemukan strategi bagi kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan rekonsiliasi pada peristiwa 1965 maka dilakukan pula analisisa perdamaian dan analisa konflik dengan gender sebagai payung besar analisa-analisa tersebut. Analisa Pembagian Kerja Perempuan Dan Laki-Laki Tujuan melakukan analisa pembagian kerja adalah untuk memahami aktivitas harian laki-laki dan perempuan karena perempuan memiliki peran ganda yaitu di sektor domestik yang kebanyakan bersifat kegiatan reproduktif dan publik yang diisi dengan kegiatan produktif, sehingga dengan adanya analisa ini program bagi rehabilitasi dan rekonsiliasi dapat mengambil waktu yang tepat tanpa memberikan tambahan beban bagi kaum perempuan. Kajian informasi yang dibutuhkan meliputi : Siapa (perempuan dan laki-laki), melakukan apa (produktif, reproduktif, sosial). Kapan dan berapa banyak waktu dibutuhkan untuk malakukan masingmasing kegiatan tersebut. Perbandingan volume kerja antara perempuan dan laki-laki. Analisa dilakukan terhadap kaum laki-laki dan perempuan dengan berbagai latar belakang profesi, baik petani, buruh pabrik, guru, pedagang, aparat pemerintah, maupun pelajar karena setiap profesi memiliki ritme volume kerja yang berbeda tiap jenis kelamin. Pengambilan gambar tersebut adalah representasi dari tiap profesi dengan pola kegiatan pada umumnya sama untuk profesi yang sama.Hasil analisis terlihat dalam diagram waktu dari pukul 01.00 hingga pukul 24.00 : Dari diagram waktu tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagaian aktivitas reproduksi juga dilakukan oleh laki-laki, namun sebagian besar masih didominasi oleh perempuan. Analisa Aktor dan Kapasitas Institusi Perdamaian Bagi Perempuan dan LakiLaki Identifikasi Aktor Peacebuilding Dalam Fungsi Institusi Formal dan Informal Dari hasil identifikasi, aktor peacebuilding formal adalah : Level akar rumput : BPD, Lembaga Penyelenggara Pemerintahan Kelurahan. Level menengah : LKTS, Syarikat Indonesia, Muslimat Nahdatul Ulama, Fatayat Muslim NU, Pengurus Nahdatul Ulama Syuriah (Badan Keulamaan), Pengurus Nahdatul Ulama Tanfidziyah (Badan Eksekutif), Kalyanamitra, Elsam, Komnas Ham. Dari hasil identifikasi, aktor peacebuilding informal adalah : Level akar rumput : kelompok pengajian yasinan, kelompok karawitan, kelompok karangtaruna, kelompok campursari, kelompok laras madu budaya
12
Islam, kelompok olahraga, kelompok ibadat agama Hindu, kelompok sinoman13, kelompok PKK dasawisma, PKK RT, PKK RW, PKK Induk. Level menengah : tokoh –tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat. b. Pengambilan Keputusan Dalam Institusi Formal dan Informal Berbasis Gender Berikut adalah diagram hierarki pengambilan keputusan dalam lembaga formal dan informal. Bagan 2 Bagan 3 Bagan 4 Bagan 5 Akses, kontrol dan peran perempuan dan laki-laki dalam institusi formal dan informal Bagan 6 Akses Perempuan dan Laki-Laki Dalam Kelembagaan Formal Sumber : Diolah dari Data Primer, Yogyakarta, 2003 Bagan 7 Akses Perempuan dan Laki-Laki Dalam Kelembagaan Informal Sumber : Diolah dari Data Primer, Yogyakarta, 2003 Tujuan melakukan analisa akses dan kontrol adalah untuk melihat sejauh mana perempuan dan laki-laki memiliki peluang atas pengelolaan sumberdaya tersebut serta melihat apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol atas sumberdaya tersebut. Sumberdaya bagi proses peacebuilding dalam kerangka rehabilitasi dan rekonsiliasi menurut John Paul Lederach adalah meliputi sosio ekonomi dan sosio kultural Pada level akar rumput, peran laki-laki di institusi formal biasanya menduduki posisi pengambil keputusan. Perempuan dan laki-laki memang memiliki akses untuk duduk dilembaga formal, namun demikian kebanyakan masih didominasi oleh laki-laki, misalnya BPD yang berfungsi sebagai lembaga legislatif tingkat desa bahkan tidak ada satupun perempuan duduk dalam lembaga tersebut, sedangkan peran Lembaga Penyelenggara Pemerintahan tingkat kelurahan hampir semua diduduki oleh laki-laki, hanya seorang perempuan yang duduk sebagai Kaur Pemerintahan. Padahal Lembaga tersebut berfungsi memberikan pelayanan terhadap masyarakat bagi administrasi negara pada level kelurahan. Dari diskusi kelompok terfokus diidentifikasi beberapa kendala yang dihadapi perempuan untuk berpartisipasi di lembaga formal pada level akar rumput, yaitu : Peluang terbatas. Tidak memiliki uang14. 13
Sinoman adalah kelompok anak muda terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bertugas membantu hajatan pernikahan untuk menjadi MC dan tenaga pengatur dekorasi dan petugas pengantar kue, undangan, minuman maupun makanan di saat pesta / hajatan. * Pada Bagan 9, ukuran besarnya tanda jenis kelamin tersebut menunjukkan rasio jumlah secara kuantitatif. 14 Di desa politik uang sangat berpengaruh untuk bisa meloloskan pada jabatan tertentu. Satu-satunya aparat perempuan yang menjabat sebagai Kaur Pemerintahan bisa lolos karena pendidikannya saat itu sudah tergolong tinggi (SMA) dan saat itu (tahun 1970) politik uang belum populer seperti saat ini. Wawancara dengan responden N-OT.14.
13
Pendidikan rendah karena biaya dan kultur masyarakat. Kurangnya pengalaman di dunia publik. Takut menghadapi urusan publik yang berhadapan dengan khalayak ramai. Beban domestik yang harus memelihara anak telah menghabiskan waktu. Rapat-rapat yang diselenggarakan bagi aparat penyelenggara pemerintahan kelurahan selalu diselenggarakan malam hari, baik rapat RT, RW, BPD maupun rapat aparat desa, dari jam 9 malam hingga jam 11 atau 1 malam sehingga perempuan mendapat beban prasangka15 sebagai “bukan perempuan baik-baik” karena berkeliaran di tengah malam untuk mengikuti rapat, juga alasan keamanan. Tidak tahu syarat mendaftar sebagai anggota BPD atau aparat kelurahan16. Bagan 8 Struktur Organisasi Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS) Bagan 9 Struktur Organisasi Syarikat Indonesia
Pada level menengah lembaga LKTS, Syarikat Indonesia, Muslimat Nahdlatul Ulama, Pengurus Nahdlatul Ulama Syuriah (Badan Keulamaan), Pengurus Nahdlatul Ulama Tanfidziyah (Badan Eksekutif), Kalyanamitra, Elsam berfungsi sebagai organisasi masyarakat sipil, namun demikian Pengurus Nahdlatul Ulama Syuriah (Badan Keulamaan), Pengurus Nahdlatul Ulama Tanfidziyah (Badan Eksekutif) hanya diduduki oleh kaum laki-laki saja, dan Muslimat Nahdlatul Ulama hanya diduduki oleh kaum perempuan. Badan Tanfidziyah17 (Eksekutif) tersebut sebagian besar terdiri dari muslim awam yang berperan administratif sedangkan badan Syuriah (Badan Keulamaan) memiliki wewenang yang sangat besar dalam bidang legislatif dan keagamaan dan pengurusnya terdiri dari ulama-ulama yang disegani. Pembedaan antara ulama dan muslim awam juga berlaku dalam keanggotaan pada umumnya dengan memberikan hak-hak khusus bagi ulama. Organisasi Syarikat Indonesia didominasi oleh laki-laki dalam struktur dan pengambilan keputusan, perempuan hanya menempati posisi staff program (tidak ada dalam struktur) sebagai peneliti, publishing serta dokumentasi dan kasir, jadi 3 perempuan dari 14 staff, sedangkan LKTS ada 4 perempuan yang menduduki posisi sebagai administrasi keuangan, divisi ham dan gender, staff divisi ham dan gender dan seorang volenteer dari 14 orang keseluruhan, sehingga kontrol pengambilan keputusan tetap didominasi oleh laki-laki. Muslimat Nahdlatul Ulama18 adalah divisi otonomi bagi perempuan dalam Nahdlatul Ulama setelah melalui perjuangan yang panjang, sebab selama 12 tahun pertama sejak munculnya Nahdlatul Ulama keanggotaan NU hanya 15
Sebagai strategi mengatasi kendala tersebut, ibu Kaur Pemerintahan selalu pulang diantar anaknya laki-laki. Wawancara dengan responden N-OT.14. 16 Sebagian besar responden menyatakan demikian, walupun pernah ada beberapa perempuan mencalonkan diri untuk posisi tersebut namun selalu kalah suara dalam pemilihan. 17 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967, diterbitkan LKIS 18 Ibid
14
terbuka bagi laki-laki saja, perempuan hanya sebagai tamu, duduk dalam tabir terpisah dan tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan. Tahun 1930 PBNU didesak untuk memberikan hak bagi perempuan berpartisipasi formal, dan karena alasan kekhawatiran perempuan akan berpindah masuk Aisyah yang merupakan sayap perempuan Muhammadiyah, maka tahun 1938 perempuan diperbolehkan jadi anggota bukan pimpinan, sehingga kontrol organisasi tetap ditangan laki-laki (kyai) sampai dengan saat ini, dari hasil muktamar tersebut dikabulkan cabang perempuan yang memiliki otonomi dalam NU yang berhak menyelenggarakan administrasi tapi dibawah kendali PBNU yang bernama Muslimat Nahdlatul Ulama. Muslimat Nahdlatul Ulama bergerak pada isu hak-hak perempuan dan anak-anak, dan pada tahun 1950 didirikanlah organisasi perempuan tersendiri bernama Fatayat Nahdlatul Ulama yang berada dibawah pengawasan Pengurus Muslimat NU. Bagan 10 Hierarki Muslimat dan Fatayat Dalam Struktur PBNU Muslimat NU tidak hanya menanggapi isu tentang hak-hak wanita dan anak-anak, tetapi juga membangun berbagai fasilitas umum seperti klinik ibu dan anak, panti asuhan yatim-piatu, dan sekolah perempuan Bagan 11 Struktur PBNU Peran perempuan dan laki-laki di lembaga informal biasanya karena ikatan hobi atau aktivitas sosial. Pada tingkatan akar rumput terdapat kelompok pengajian Yasinan, kelompok karawitan, kelompok Karang Taruna, kelompok campursari, kelompok laras madu budaya Islam, kelompok olahraga, kelompok ibadat Agama Hindu, kelompok sinoman19, kelompok PKK dasawisma, PKK RT, PKK RW, PKK Induk. Dalam kedudukan informal dan kepanitiaan yang melibatkan laki-laki dan perempuan, perempuan biasanya ditempatkan pada posisi stereotipe tertentu misalnya kedudukan sekertaris, bendahara atau konsumsi, sedangkan posisi koordinator atau ketua tetap dipegang oleh laki-laki, sehingga kontrol tetap di tangan laki-laki. Untuk lembaga informal PKK sangat erat kaitannya antara posisi jabatan dengan jabatan struktral suami sebagai aparat penyelenggara pemerintahan di level kelurahan. Jadi apabila suaminya seorang kepala kelurahan maka secara otomatis istrinya akan menjabat sebagai Ketua PKK Induk, juga demikian halnya dengan perempuan yang menjadi aparat penyelenggara kelurahan atau istri dari aparat penyelenggara kelurahan maka secara otomatis menduduki jabatan pengurus dalam organisasi PKK, baik PKK Induk, PKK RW, PKK RT, maupun tingkat yang paling kecil yaitu PKK dasawisma (terdiri dari 10 KK). PKK sangat berperan dalam sosialisasi pembentukan peran perempuan dalam ranah domestik dan penarikan diri perempuan atas peran-peran publik, karena semenjak peristiwa 1965 melalui kampanye film G 30 S / PKI dan berbagai berita koran digambarkan bagaimana perempuan-perempuan Gerwani menari-nari secara provokatif dengan dada telanjang dengan mengelilingi jendral-jendral dan mencukil mata serta memotong kemaluan
19
Sinoman adalah kelompok anak muda terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bertugas membantu hajatan pernikahan untuk menjadi MC dan tenaga pengatur dekorasi dan petugas pengantar kue, undangan maupun makanan di saat pelaksanaan hajatan / pesta.
15
mereka20, maka gerakan perempuan yang semula maju dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan politik dengan pemberantasan buta huruf, penyuluhan pendidikan seks, berjuang melawan poligami, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta hak-hak perempuan pekerja seks menjadi tengelam oleh mitos-mitos diatas. PKK merupakan manifestasi dari gagasan State Ibuism21. Peran perempuan sejak peristiwa tersebut merujuk pada peran perempuan dan peran seorang ibu, yang berfungsi pada 5 tugas utama yaitu setia mendukung suami, mengasuh rumah tangga, menghasilkan keturunan, membesarkan anak secara benar, menjadi warganegara yang baik sedangkan dunia publik adalah peran laki-laki. Hal tersebut disosialisasikan melalui Dharma Wanita, (kumpulan Pegawai Negri Sipil perempuan), Dharma Pertiwi (kumpulan istri tentara) dan PKK yang secara penuh dikontrol negara serta bersifat struktural dengan memberikan ketrampilan-ketrampilan feminin seperti halnya hasil wawancara di Kelurahan Randusari disebutkan bahwa aktivitas berupa : Pembekalan ketrampilan memasak, merias diri, membordir, sulam menyulam. Kesehatan gizi keluarga dan pendidikan anak dan keluarga dimana ditekankan nasehat-nasehat pembinaan agar seorang istri bekerja secara baik sebagai ibu rumah tangga dan harus rukun dengan suami. Pada level menengah lebih banyak didominasi oleh tokoh-tokoh agama baik Islam, Hindu yang berpengaruh di masyarakat dan memiliki pondok-pondok pesantren (Islam) baik bagi laki-laki maupun perempuan biasanya terpisah. Kegiatan lebih banyak berupa bimbingan ajaran agama. Juga peran-peran yang dilakukan oleh tokoh masyarakat. Karena sebagai tokoh masyarakat biasanya didengarkan pendapatnya oleh masyarakat setempat. Kedudukan tokoh agama dan tokoh masyarakat masih mutlak didominasi laki-laki, sehingga fungsi-fungsi upacara keagamaanpun (Hindu) masih dipimpin seorang laki-laki, demikian pula imam sholat di masjid maupun dirumah bagi orang islam adalah laki-laki bila makmumnya laki-laki dan perempuan. Dengan demikian walaupun perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki tetapi kontrol tetap pada laki-laki. Analisis Pembongkaran Prasangka dan Penyelesaian Masalah Secara Adat Kebiasaan, Tradisi dan Kepercayaan, Ikatan Keeratan Masyarakat Sejarah dikonstruksi secara terus-menerus melalui buku sejarah bagi pendidikan dari SD, SMP hingga SMA, juga melalui penuturan oral dari mulut ke mulut oleh orang tua, kerabat, saudara dari orang-orang yang telah mengalami peristiwa tersebut baik sebagai pelaku, korban maupun masyarakat biasa, juga oleh tokoh masyarakat, maupun guru sejarah dan tokoh-tokoh agama seperti misalnya guru mengaji. Dengan demikian orangorang tersebut dapat berperan ganda, disatu sisi dapat menjadi orang yang menyebarkan sejarah yang bias yang dapat mengembangkan prasangka, stigma maupun stereotipe tapi disisi lain justru dapat menjadi tokoh kunci bagi berlangsungnya proses rehabilitasi dan rekonsiliasi kasus 1965. Adanya
20
AB 11 Oktober 1965 dalam Penghancuran gerakan Perempuan, Saskia Wierenga : “...Ia kemudian diserahkan pada sukarelawan-sukarelawan Gerwani. Lalu dengan tangan dan kaki terikat, Tendean menjadi permainan cabul setan-setan perempuan Gerwani yang perbuatan mereka merendahkan martabat wanita Indonesia....”. 21 Rachel Rinaldo, Ironic Legacy : The New Order and Indonesian Women’s Groups.
16
kenyataan bahwa beberapa responden22 mulai mempertanyakan apakah benar saat itu PKI memang akan melakukan makar atau memang ada kepentingan politik Suharto dalam peristiwa 1965 menjadi suatu indikasi bahwa ada keinginan untuk mengetahui sebenarnya duduk permasalahan kasus 1965 selain dari versi yang diberikan oleh negara. Guru sejarahpun sebagai tokoh kunci dalam sosialisasi sejarah dalam hasil penelitian ini tidak pernah mencari sumber alternatif sejarah yang lain dengan alasan murid sistim pendidikan SMP pasif, tidak pernah bertanya tentang materi pelajaran, hanya menerima saja apapun yang diajarkan gurunya. Selama pendidikan keguruan dan sekolah di Fakultas Hukum tidak pernah membaca buku, hasil penelitian atau dokumentasi sejarah apapun untuk rujukan mengajar SMP di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Baoyolali selain dari pada buku panduan kurikulum mengajar SMP23. Satu-satunya sumber sejarah selain buku bagi responden ini adalah film G 30 S / PKI yang ditanyangkan oleh pemerintah. Sedangkan isi daripada buku sejarah tersebut sama persis dengan versi peristiwa yang di-launching oleh negara, termasuk didalamnya masih disosialisasikan tentang cara sadis pembunuhan jenderaljendral TNI24. Anak-anak muda yang lahir setelah tahun 1965 tidak pernah mengalami peristiwa 1965, sehingga pencitraan yang didapat adalah hanya melaui satu sumber yaitu melalui pelajaran sejarah di sekolah SD, SMP, SMA dan menonton film G 30 S / PKI karena saat itu semua murid sekolah wajib menonton film tersebut sehingga semua anak-anak sekolah diangkut dengan menggunakan truk dari desa desa dengan membayar biaya transportasi untuk melihat film tersebut. Setelah desa-desa mulai banyak TV, sosialisasi dilakukan oleh aparat penyelenggara kelurahan dengan cara keliling dari rumah kerumah pada tanggal 29 September untuk mengingatkan semua warganya agar menonton film tersebut. Kebiasaan tersebut tidak lagi dilakukan semenjak reformasi dan pemutaran film tersebut dihentikan. Dari hampir semua responden menyatakan mendapatkan informasi alternatif sejarah selain versi negara baru setelah menginjak bangku pendidikan tinggi atau Universitas melalui diskusi dengan teman-teman di Universitas. Padahal bisa dikatakan sangat jarang penduduk desa mengenyam pendidikan hingga tingkat Universitas, selain biayanya mahal, lokasinya juga jauh. Sedangkan bagi anak-anak OT baik laki-laki maupun perempuan yang lahir setelah tahun 1965 tidak pernah pendapatkan penjelasan atau klarifikasi sejarah peristiwa 1965 yang menyangkut orang tuanya karena mereka tidak ingin anaknya sakit perasaannya, namun demikian setelah anak mulai lepas 22 Responden adalah tokoh-tokoh NU dari Boyolali, baik dari Badan Tanfidziyah (Eksekutif) yang sebagian besar terdiri dari muslim awam yang berperan administratif, badan Syuriah (Badan Keulamaan) yang terdiri dari ulama, pelaku pembersihan PKI maupun pemuda Ansor dalam pertemuan yang dilakukan LKTS pada 14 April 2003. 23 Berpedoman pada buku Drs, I Wayan Badrika, M.Si dengan buku karangannya “Buku Sejarah Nasional dan Umum untuk SLTP kelas II, kurikulum 1994”, penerbit Bumi Aksara. 24 “... pada dini hari itu mereka mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat. Para perwira angkatan darat disiksa dan selanjutnya dibunuh” (halaman 103). “ Visum dokter menyatakan bahwa para perwira telah mengalami penganiayaan berat...”( halaman 106). (Buku Sejarah Nasional dan Umum untuk SLTP kelas II, Kurikulum 1994, penerbit Bumi Aksara).
17
SMA biasanya orang tua memberi tahu tentang peristiwa tersebut secara oral karena selepas SMA biasanya anak bekerja sehingga membutuhkan suratsurat seperti Surat Kelakuan Baik yang tidak bisa diperoleh oleh keluarga OT pada jaman Orde baru. Reaksi anakpun bermacam-macam, ada yang menyalahkan orang tua, ada yang bisa mengerti orang tuanya, ada yang menolak kehadiran orang tua, ada yang menganggap orang tuanya menjadi beban25. Data karakteristik budaya, tradisi masyarakat sehubungan dengan prevalensi keeratan hubungan kemasyarakatan menunjukkan bahwa pembauran masyarakat telah dilakukan melalui institusi-institusi non formal tingkat akar rumput yang ada di Kelurahan Randusari, Kecamatan Teras, misalnya dengan mengundang masyarakat dalam acara hajatan perkawinan baik yang terlibat peristiwa 1965 sebagai korban, pelaku maupun sebagai masyarakat biasa tanpa membeda-bedakan status tersebut. Sebelum acara hajatan biasanya ada tradisi rewang yaitu tradisi membantu memasak, mendekor, menyiapkan upacara perkawinan di rumah yang punya hajat. Juga adanya tradisi saling memaafkan pada saat Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri di Kelurahan Randusari tidak ekslusif bagi kaum muslim saja, tapi bagi semua agama lainpun saling berkunjung, dan saling maaf memaafkan atas kesalahan yang telah lalu. Pada saat itulah orang secara terbuka bisa meminta maaf tanpa merasa jatuh harga dirinya untuk kesalahan-kesalahan yang telah lalu karena untuk meminta maaf pada hari-hari biasa adalah diluar kebiasaan sehingga orang jarang melakukannya. Wadah pembauran lainnya adalah kumpulan kesenian, baik karawitan, campursari yang dikelola oleh masyarakat atas dasar kesenangan, hobi, hiburan untuk mempertahankan kebudayaan atau melestarikan kebudayaan dari kebudayaan asing, tanpa memandang latar belakang agama maupun status OT atau non OT sesuai dengan prinsip harmoni dari alat-alat musik yang menghasilakan nada-nada yang indah didengar oleh telinga para penikmat musik. Rata-rata pengikut karawitan ini adalah orang-orang yang tua yang berumur 40 tahun keatas karena musik tradisional tidak poluler dikalangan remaja. Kelompok karawitan di Desa Randusari terdiri dari 2 kelompok, kelompok perempuan dan kelompok laki-laki. Ikatan masyarakat muda baik laki-laki dan perempuan tergabung dalam kelompok muda Karang Taruna atau kelompok pengajian dan arisan pemudapemudi lebih menyukai aktivitas olahraga daripada aktivitas kesenian tradisional. Sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik selepas SMA di kelurahan yang sama sehingga tidak meninggalkan desa, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian semangat berkumpul dalam institusi non formal ini cukup besar, aktivitas perkumpulan ini adalah arisan, piknik bersama, sinoman, latihan menjadi “master of ceremony” tanpa memperdulikan latar belakang yang bersangkutan adalah anak OT atau tidak. Analisa Dinamika Bagi Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Peristiwa 1965
25
Dampak menurut Helena Van Klingken dalam tulisannya di http://www.zipworld.com.au/ For 32 years they were condemned to a life of misery. Now former communist political prisoners are emerging, slowly, into the day light.
18
Karena pada saat peristiwa 1965, korban hanya pada satu pihak, yaitu PKI dan ormas-ormasnya maka kondisi Kelurahan Randusari dan Kecamatan Teras relatif lebih kondusif bagi upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi dibandingkan di daerah lain. Apalagi didorong dengan adanya era reformasi yang memberikan sedikit ruang kebebasan bagi OT. Menurut responden, tidak ada niatan sama sekali untuk melakukan balas dendam, keinginan adalah agar asyarakat bisa hidup rukun dan kejadian seperti peristiwa 1965 tidak terjadi lagi di masa depan. Prinsip responden adalah hidup ini tidak bisa sendirian karena manusia membutuhkan orang lain, sehingga prinsip ini yang mendorong sosialisasi dan pembauran masyarakat lewat momen hajatan perkawinan, bahkan tiap ada acara kumpulan dipakai sebagai wahana saling memaafkan dan rekonsiliasi, misalnya melalui karawitan, klenengan, campursari maupun dalang atau pada saat menjadi pembicara forum perkawinan atau juru bicara / MC. Bahkan kelompok karawitan yang anggotanya adalah OT dan non OT tersebut diundang untuk mengiringi perkawinan seorang bekas tokoh PNI. Untuk dinamika rehabilitasi, bagaimanapun para korban menginginkan perlakuan yang diskriminatif terhadap mereka dihapuskan agar anak dan cucu mereka tidak mengalami perlakuan tersebut dan dapat menikmati hakhaknya yang sama sebagaimana warganegara lainnya. Untuk itu maka Tap MPRS / 25 / 1966 harus dicabut, karena Tap itulah sebagai dasar perlakuakan diskriminasi diberlakukan. Responden juga menginginkan adanya pengembalian hak-hak kepengawaian yang dicabut, rehabilitasi dan kompensasi atas pemecatan yang sepihak, agar semua hak milik dikembalikan dan hak-hak untuk bekerja secara bebas dipenuhi. Analisis Konflik Bagi Identifikasi Kendala-Kendala Dalam Upaya Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Peristiwa 1965 Kendala proses rehabilitasi dan rekonsilasi peristiwa 1965 adalah : Belum dicabutnya TAP MPRS / 25 / 1966 sehingga berbagai aturan yang diskriminatif walaupun masyarakat tidak setuju tapi dengan adanya aturan tersebut aparat pemerintahan melaksanaakan sesuai dengan aturan tersebut yang mengakibatkan praktek-praktek diskriminatif, misalnya KTP tidak seumur hidup, hak dipilih di BPD bagi OT. Belum dicabutnya resolusi jihad yang dikeluarkan NU dan fatwa kafir harbi dan bughat bagi PKI dan ormas-ormasnya. Masih ada rasa trauma dan ketakutan dari korban peristiwa 1965. Lunturnya ikatan keeratan masyarakat dibeberapa dukuh dibawah Kelurahan Randusari yang ditandai dengan maraknya judi, prostitusi, minuman keras Sikap masyarakat yang cenderung pasif, apolitik dan mudah berprasangka sehingga beberapa dukuh di kelurahan Randusari tidak memiliki perkumpulan karena adanya ‘provokator’ tersebut menyebabkan perkumpulan ibu-ibu dibubarkan. Sikap pejabat yang arogan26.
26 Seorang responden laki-laki OT menyatakan pernah mencadi seorang MC / pembawa acara di suatu pesta perkawinan yang dihadiri oleh pejabat, setelah mengetahui bahwa pembawa acara adalah OT ditengah acara pejabat tersebut menolak kehadiran responden, tapi responden berbesar hati untuk tetap melaksanakan tugasnya sebagai pembawa acara.
19
Adanya trauma dari tokoh-tokoh agama Islam dari NU sehubungan dengan sikap atau perilaku PKI pada saat aksi sepihak land reform tahun 1964 dan juga pemberontakan PKI 194827 yang menghasilkan banyak korban dari santri. Belum ditemukan titik temu untuk pembahasan visi rekonsiliasi, organisasi korban 1965 menuntut rehabilitasi dan rekonsiliasi dengan titik awal peristiwa 1965 sedangkan NU menginginkan peristiwa sebelum 1965 juga dibahas (peristiwa 1948 dan aksi sepihak 196428). Strategi Bagi Proses Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Konsep Rekonsiliasi Menurut John Paul Lederach pengalaman langsung yang mengakibatkan trauma kekerasan berkaitan dengan sejarah yang akan terbawa dari generasi ke generasi yang ditandai dengan adanya ketakutan dan stereotype berat. Dinamika dan kehidupan yang berpola ini berasal dari pengalaman nyata, persepsi subyektif dan emosi. Untuk itu proses rekonsiliasi dan rehabilitasi harus berakar pada : Perspektif restorasi dan pembangunan kembali hubungan/relasi dan pendekatan yang lebih mendalam dari sekedar startegi mekanis. Berdasar pada kebutuhan. Berikut adalah diagram prinsip dasar rekonsiliasi : Bagan 12 Prinsip Dasar Rekonsiliasi Sumber : Lederach, John Paul, 1997 : 30 Rekonsiliasi sebagai fenomena sosial adalah mewakili dari suatu ruang, suatu entry point dimana pihak-pihak yang berkonflik bertemu. Untuk itu rekonsiliasi harus proaktif mencari atau membangun suatu entry point dimana orang-orang dapat saling memfokuskan pada hubungan dan saling berbagi tentang persepsi, perasaan dan pengalaman satu dengan yang lain dengan tujuan membentuk suatu persepsi baru dan berbagi pengalaman baru, misalnya entry point-nya adalah kelompok karawitan di Desa Randusari, Kecamatan Teras, Boyolali. Ada tiga spesifik paradox dalam rekonsiliasi : Mempromosikan entry point antara ekspresi yang terbuka dari masa lalu yang menyakitkan dengan mencari visi artikulasi pada jangka panjang bagi masa 27 Greg Frealy dalam ijtihad politik ulama menyebutkan bahwa dalam pemberontakan terhadap pemerintah RI tersebut, pasukan komunis menyerang pesantren dan desa-desa muslim. Membunuh banyak kyai setempat beserta ratusan pengikutnya. Bentrokan fisik antara santri prorepublik dan abangan pro-komunis sangat sering terjadi selama dan setelah pemberontakan Madiun, tidak terdapat data yang dapat diandalkan mengenai jumlah keseluruhan korban, tetapi diperkirakan lebih dari 8000 orang kehilangan nyawa, sebagian besar kalangan komunis. Di kalangan pesantren seringkali dikatakan bahwa ribuan santri terbunuh. 28 Menurut Greg Frealy, aksi sepihak dilakukan BTI dan PR karena land reform yang mengatur batas kepemilikan tanah tidak berjalan akibat kolusi tuan tanah dengan petugas sehingga mereka melakukan perjarahan tanah yang mayoritas tanah tersebut dimiliki oleh kaum santri kaya dan keluarga ulama di pedesaan sehingga saaran aksi sepihak ditujukan pada pemilik tanah muslimin dan lembaga-lembaga Islam dalam bentuk pemukulan, penusukan, pembakaran rumah dan penculikan skala besar. Daerah paling parah adalah Kediri, Sidoarjo, Banyuwangi, Surabaya, Ponorogo, Klaten, Boyolali, Magelang, Jember dan Blitar.
20
depan keduanya yang saling berhubungan dan membangun relasi harmonis satu sama lain Rekonsiliasi memberikan tempat bagi kebenaran dan ampunan untuk saling bertemu dan mengeksplorasi kejadian yang telah terjadi dan melepaskannya untuk suatu hubungan yang baru, yang valid, dan saling menguatkan Rekonsiliasi mengakui kebutuhan akan waktu dan tempat bagi keadilan dan perdamaian bagi visi kedepan bersama. Berikut adalah gambar aktor dan pendekatan peacebuilding : Gambar 6 Aktor dan Pendekatan Peacebuilding Sumber : Lederach, John Paul, 1997 : 39. Pendekatan cara I dilakukan pada berbagai garis top level, diaman pelakunya adalah orang-orang yang sangat terpandang dan elit pada pengambil keputusan formal. Komnas Ham bisa digolongkan pada tataran ini. Pendekatan cara II dilakukan dengan mendekati jaringan kelompok institusi yang saling berhubungan. Yang tergolong bergerak pada level ini adalah LKTS, Syarikat Indonesia, Muslimat Nahdatul Ulama, Fatayat Muslim NU, Pengurus Nahdatul Ulama Syuriah (Badan Keulamaan), Pengurus Nahdatul Ulama Tanfidziyah (Badan Eksekutif), Kalyanamitra, Elsam Pendekatan cara III dengan pendekatan pada identitas kelompok pemimpin kelas menengah atau pemimpin pada level akarrumput, yaitu kelompok pengajian yasinan, kelompok karawitan, kelompok karangtaruna, kelompok campursari, kelompok laras madu budaya Islam, kelompok olahraga, kelompok ibadat agama Hindu, kelompok sinoman29, kelompok PKK dasawisma, PKK RT, PKK RW, PKK Induk, guru sejarah, guru mengaji Pada level menengah Proses yang dilakukan adalah mediasi antara organisasi NU dengan organisasi korban 1965 dan melakukan reanalisis konflik tersebut, dalam hal ini adalah reanalisis peristiwa 1965 untuk mencapai resolusi bersama yang tahan lama dan dapat diterima. Pada level ini juga harus dilakukan training resolusi konflik dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan mengemembangkan kemampuan imparsial, tidak memihak untuk menghadapi konflik. Sehingga kemampuan meliputi : analisis ketramipilan, kemampuan komunikasi, negosiasi dan mediasi. Pada level akar rumput Pada level ini tantangan terbesar adalah jumlah orang yang terlibat adalah dalam skala besar dan massif sehingga harus menggunakan strategi pengorganisasian masyarakat (community organizing) dengan melibatkan kepemimpinan lokal dan kepemimpinan masyarakat. Pendekatan dengan memperhatikan aspek budaya untuk entry point menjadi sangat penting. Infrastruktur politik menjadi suatu faktor yang signifikan untuk menentukan keberhasilan, juga faktor tradisi bagi mekanisme penyelesaian masalah melalui memperkuat forum-forum yang sudah ada di masyarakat, diskusi oral
29
Sinoman adalah kelompok anak muda terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bertugas membantu hajatan pernikahan untuk menjadi MC dan tenaga pengatur dekorasi dan petugas pengantar kue, undangan maupun makanan di saat persat hajatan
21
penyadaran dan proses negosiasi. Juga pendekatan pertunjukan seni keliling untuk penyadaran dan sosialisasii gagasan rekonsiliasi dapat menjadi pendekatan yang strategis bagi pengurangan prasangka dan memperkuat pengambilan keputusan Visi rekonsiliasi Rekonsiliasi dalam konteks Syarikat Indonesia adalah Islah30. Rekonsiliasi dalam bahasa Arab disebut sebagai islah berasal dari kata halaha yang artinya merupakan kebalikan dari kerusakan, yaitu kebaikan, tepat dan damai. Islah artinya memperbaiki, mereparasi, merekonstruksi, merenovasi reformasi, perdamaian dan rekonsiliasi serta kompromi. Istilah islah sendiri dalam Al-Quran disebut sebanyak 175 kali. Lebih lanjut, istilah Islah dalam Quran ditujukan untuk meningkatkan kepribadian, kekeluargaan orang lain dan bahkan masyarakat. Dalam surat As-Syura / 42 : 40, islah direkomendasikan bagi orang-orang yang menderita dari suatu pemerintahan yang despotic. Dalam konteks ini mereka didorong untuk memaafkan dan memperlakukan orang yang telah membuat tindakan despotic tersebut secara baik, meskipun mereka sebenarnya mampu melakukan balas dendam. Islah akan mendapat balasan pahala bagi kaum muslim yang mukmin, jika mereka mau melakukan refleksi demi kebaikan, menjauhi dosa, memaafkan musuh dan memiliki jiwa yang taat pada Aturan Allah serta mau membantu kaum miskin, dan meletakkan musyawarah sebagai arah terpenting untuk menyelesaikan masalah serta menempatkan diri sendiri secara proporsional. Dalam posisi dan situasi yang kuat, mereka dianjurkan untuk melakukan islah, bersabar dan saling memaafkan (Q 42 : 30 – 34). Quran menggunakan istilah islah / shuluh untuk : Rekonsiliasi antar manusia setelah terjadi konflik sosial (Q / 8 : 1). Untuk mencapai kondisi yang damai antara orang-orang yang baru berkelahi / bersengketa (Q / 49 : 9). Diungkapkan lebih lanjut bahwa iman dapat meningkatkan persaudaraan, sehingga iman menjadi penuh kedamaian. Dalam konteks ini islah efektif digunakan jika didasarkan pada iman yang baik, rasa pengasih, dan nilai-nilai kebaikan atau rasa penyesalan atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Sehingga islah bisa dilihat sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai dan bijaksana. Kedamaian hanya bisa dicapai oleh fundamental dasar yang baik yaitu kebenaran dan penuh pertimbangan / bijaksana. Kebutuhan Berdasarkan Identifikasi Dampak Peristiwa 1965 Level menengah Advokasi bagi dicabutnya TAP MPRS / 25 / 1966. Advokasi bagi dicabutnya resolusi jihad yang dikeluarkan NU dan fatwa kafir harbi dan bughat bagi PKI dan ormas-ormasnya Mediasi proses rekonsiliasi antara NU dan organisasi-organisasi korban 1965. Level akar rumput : Menghilangkan rasa trauma dan ketakutan dari korban peristiwa 1965 dengan cara melakukan diskusi berbasis kelompok masyarakat / community organizing dengan melakukan dialog rekonsiliasi mendudukkan peristiwa 1965 sebagai alternatif sejarah melalui kelompok kesenian yang telah tebentuk, 30
Dr Ahmad Mubarok dalam Reconciliation: The Qurainic Perspective.
22
baik karawitan perempuan maupun kelompok karawitan laki-laki dengan memulai dari tahapan membuka luka hati sampai rumusan visi bersama atas rekonsiliasi. Pementasan kelompok kesenian dalam bentuk sandiwara, tari, wayang ataupun ketoprak dengan tema peristiwa 1965 sebagai bagian pendidikan rakyat atas alternatif sejarah. Mendokumentasikan oral history dari cerita tetangga, kerabat, orang tua yang mengalami peristiwa tersebut sebagai dokumentasi alternatif sejarah agar tidak hilang ketika si pelaku sejarah meninggal dunia. Menerbitkan buletin sebagai bahan diskusi kelompok kaum muda perempuan dan laki-laki untuk rekonsiliasi dan pendidikan sejarah alternatif atas peristiwa 1965. Pendidikan penyadaran hak sipil, politik, melalui kegiatan pengorganisiran masyarakat baik melalui kelompok karawitan perempuan, karawitan laki-laki maupun kelompok anak muda laki-laki dan perempuan, juga hak-hak perempuan sehingga menghilangkan stereotipe peran perempuan dan lakilaki bagi kelompok laki-laki maupun perempuan. Membuat radio masyarakat yang dikelola oleh kumpulan anak muda laki-laki maupun anak muda perempuan pada level kelurahan untuk kegiatan penyadaran hak-hak perempuan maupun hak sipil politik, serta menghubung golongan tua dan muda, lewat pertunjukan kesenian dan siaran karawitan perempuan dan laki-laki. Memberikan training tentang prinsip dasar rekonsiliasi dan cara menjadi fasilitator kelompok diskusi bagi community organizer baik laki-laki maupun perempuan. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Peristiwa 1965 berdampak pada manifestasi gagasan State Ibuism31 yang disosialisasikan melalui insitusi-institusi formal dan non formal telah menghasilkan ketidakadilan gender. Sejak peristiwa 1965 selalu dilakukan sosialisasi terus menerus yang mempengaruhi pembentukan peran perempuan dalam ranah domestik dan penarikan diri perempuan atas peranperan publik. Peran perempuan sejak peristiwa 1965 tersebut merujuk pada peran perempuan dan peran seorang ibu, yang berfungsi pada 5 tugas utama yaitu setia mendukung suami, mengasuh rumah tangga, menghasilkan keturunan, membesarkan anak secar benar, menjadi warganegara yang baik sedangkan dunia publik adalah peran laki-laki. Sebagai dampak dari State Ibuism yang dipropagandakan terus menerus, telah terjadi ketidak adilan gender di masyarkat, yaitu : Marginalisasi yaitu akses dan kontrol perempuan dan laki-laki atas sumber daya yang tidak setara, diantaranya adalah akses terhadap pendidikan dimana seorang responden32 yang memiliki anak perempuan memilih tidak menyekolahkan anaknya perempuan karena dianggap bukan pencari nafkah keluarga dan anggapan hanya menanam aset pada suami, bukan keluarga, juga adanya ketakutan-ketakutan bahwa anak perempuannya yang cantik akan digoda lelaki di jalan ketika melanjutkan sekolah, maka bapak tersebut 31 32
Rachel Rinaldo, Ironic Legacy: The New Order and Indonesian women’s groups. Wawancara dengan responden laki-laki kode OT 04
23
memilih mengawinkan anaknya. Kenyataan33 memperlihatkan bahwa beberapa responden tidak menyekolahkan anak perempuannya pada jenjang yang sama tinggi dengan anak laki-laki. Dari analisa diatas akan aktivitas bagi peacebuilding, terlihat adanya ketimpangan dalam kontrol terhadap sumberdaya perdamaian. Perempuan dan laki-laki memiliki akses, namun kontrol tetap dipegang oleh laki-laki. Stereotyping yaitu adanya labelisasi pada perempuan atau laki-laki. Dari hasil wawancara terdapat ungkapan-ungkapan yang bersifat stereotipe atas peran perempuan, diantaranya seperti ungkapan bahwa laki-laki memiliki langkah yang lebih panjang dari perempuan, yang artinya laki-laki dianggap lebih mampu dalam peran-peran tertentu34 dan tugas perempuan adalah hanya memasak35, terutama peran publik, selain itu juga ada stereotipe terhadap laki-laki36 dimana ekonomi adalah dianggap sebagai tanggung jawab seorang laki-laki saja. Subordinasi proses pengambilan keputusan pada level keluarga, institusi dan kemasyarakatan. Pada pengambilan keputusan level keluarga beberapa responden menyatakan adanya musyawarah antara suami istri untuk membuat keputusan dalam keluarga, misalnya : untuk urusan sekolah anak, biaya sekolah, rehabilitasi rumah, masalah uang hasil usaha, pembayaran listrik, masalah keluarga dan mertua, namun sebagian lainnya menyatakan manut suami37, jadi hanya menurut dari keputusan sang suami saja. Sedangkan mengenai pengambilan keputusan dalam isntitusi dapat terlihat dalam bagan struktur hierarki pengambilan keputusan. Beban kerja yaitu perbandingan beban kerja antara laki-laki dan perempuan yang belum adil, hal ini terlihat dalam bagan waktu pada analisa beban kerja. Hal inilah yang menghalangi perempuan untuk duduk di institusi formal sebagaimana laki-laki Kekerasan seksual masih terdapat di kelurahan Randusari, menurut responden38 di kelurahan tersebut terdapat kasus kekerasan dosmestik dimana konflik antara suami istri disertai dengan kekerasan fisik suami terdapat istrinya, namun demikian si istri memilih diam karena membuka permasalahan tersebut berarti membuka aib keluarga. Selain itu juga terdapat lokasi prostitusi ilegal di kelurahan tersebut yang menurut responden39 disebut sebagai “warung ayu”. Keberadaan warung tersebut memicu konflik warga setempat yang merasa marah40 dengan adanya praktek perdagangan perempuan tersebut. Walaupun telah digerebeg oleh Kodim dengan melibatkan petugas Depsos, Polsek, aparat kelurahan dan kecamatan tapi warung tersebut masih beroperasi.
33
Wawancara dengan responden perempuan kode OT 14 Wawancara dengan responden perempuan kode NOT 11 35 Wawancara dengan responden perempuan kode NOT 16 36 Wawancara dengan responden laki-laki kode NOT 12 37 Wawancara dengan responden perempuan kode OT 07 38 Wawancara dengan responden perempuan kode NOT 14 39 Wawancara dengan responden laki-laki kode NOT 19 40 Seorang warga karena sangat jengkel bahkan membuka atap genting warung dan mengencinginya sebagai protes kemarahan 34
24
Program rehabilitasi dan rekonsiliasi peristiwa 1965 harus memberikan dampak kesetaraan Gender sehingga : Setiap program disetiap daerah kerja Syarikat Indonesia harus menggunakan analisis bagaimana perempuan dapat memberikan kontribusi terhadap perdamaian dan inisiatif peacebuilding melalui strategi mainstream gender dalam program rehabilitasi dan rekonsiliasi peristiwa 1965 dengan cara melakukan analisa dampak secara spesifik terhadap perempuan dan laki-laki, analisis pembangian kerja, perbedaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya peacebuilding, dan analisa pengambilan keputusan dalam institusi formal maupun nonformal. Meningkatkan partisipasi perempuan pada keseluruhan program, rehabilitasi dan rekonsiliasi peristiwa 1965 dengan mendukung inisiatif lokal kelompok perempuan sebagaimana kelompok laki-laki. Menerapkan keseimbangan gender / rasio gender dalam rekruitmen staff Menempatkan perempuan sebagai aktor protagonis bagi perdamaian, bukan korban dengan cara meningkatkan kemampuan perempuan dalam pengorganisasian masyarakat, kemampuan fasilitasi kelompok masyarakat, kemampuan rekonsiliasi dan resolusi konflik di tingkat akar rumput maupun internal organisasi. Menyediakan data berbasis jenis kelamin untuk semua aktivitas rehabilitasi dan rekonsiliasi yang dilakukan oleh lembaga LKTS maupun Syarikat untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki mendapat keuntungan atas proses tersebut sama besar. Melibatkan secara aktif organisasi perempuan Muslimat NU dan Fatayat NU dalam proses mediasi tingkat menengah untuk korban peristiwa 1965 dan NU sebagai upaya pemberdayaan perempuan dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi peristiwa 1965. 7.1 Rekomendasi Untuk Program Syarikat Indonesia Dalam Kerangka Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Dengan Mempertimbangkan Keseimbangan dan Kesetaraan Gender Pada Level Menengah dan Level Akar Rumput Level menengah : Advokasi bagi dicabutnya Tap MPRS / 25 / 1966 dan rehabilitasi dengan melakukan aliansi dan koordinasi dengan Komnas Ham, Elsam dan lembagalembaga lain yang bergerak pada isu yang sama. Advokasi bagi dicabutnya resolusi jihad yang dikeluarkan NU dan fatwa kafir harbi dan bughat bagi PKI dan ormas-ormasnya Melakukan mediasi proses rekonsiliasi antara NU dan organisasi-organisasi korban 1965 dengan melibatkan organisasi perempuan Muslimat NU dan fatayat NU dan para community organizer level akar rumput baik laki-laki maupun perempuan. Level akar rumput untuk semua region : Melakukan analisa gender yaitu dengan melakukan analisa dampak secara spesifik terhadap perempuan dan laki-laki, analisis pembangian kerja, perbedaan akses dan kontrol thdp sumberdaya peacebuilding, dan analisa pengambilan keputusan dalam institusi formal maupun nonformal sehingga
25
Syarikat Indonesia bisa menyajikan sex disagregate data atas program yang dilakukan. Menggunakan gender mainstream sebagai kerangka design, pelaksanaan, hingga monitoring program. Menerapkan keseimbangan gender/ rasio gender dalam rekruitmen staff Syarikat Indonesia Mendokumentasikan oral history dari cerita tetangga, kerabat, orang tua, baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat OT maupun tidak terlibat OT yang mengalami peristiwa tersebut sebagai dokumentasi alternatif sejarah agar tidak hilang ketika si pelaku sejarah meninggal dunia. Menerbitkan buletin sebagai bahan diskusi kelompok kaum muda perempuan dan laki-laki untuk rekonsiliasi dan pendidikan sejarah alternatif atas peristiwa 1965. Sosialisasi gagasan rehabilitasi dan rekonsiliasi dan buku untuk kajian akademisi tentang peristiwa 1965. Memberikan training tentang prinsip dasar rekonsiliasi dan cara menjadi fasilitator kelompok diskusi bagi community organizer baik laki-laki maupun perempuan. Rekomendasi Untuk Program LKTS Dalam Kerangka Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Dengan Mempertimbangkan Keseimbangan dan Kesetaraan Gender Pada Level Menengah Dan Akar Rumput Level menengah : Mempromosikan hak-hak perempuan bagi keadilan gender untuk menghapus bentuk-bentuk ketidakadilan gender, baik subordinasi terhadap perempuan, marginalisasi, stereotipe, pembagian kerja yang tidak adil maupun kekerasan domestik dengan cara mendorong peran perempuan di ranah publik, sebab peristiwa 1965 telah menempatkan perempuan pada ranah domestik melalui paradigma State Ibuism. Advokasi bagi dicabutnya Tap MPRS / 25 / 1966 dan rehabilitas dengan melakukan aliansi dan koordinasi dengan Komnas Ham, Elsam dan lembagalembaga lain yang bergerak pada isu yang sama .
26
Advokasi bagi dicabutnya resolusi jihad yang dikeluarkan NU41 dan fatwa kafir harbi dan bughat bagi PKI dan ormas-ormasnya Melakukan mediasi bagi rehabilitasi dan rekonsiliasi antara NU dan organisasiorganisasi korban 1965 dengan melibatkan melibatkan organisasi perempuan Muslimat NU dan Fatayat NU dan para community organiser level akar rumput baik laki-laki maupun perempuan. Level akar rumput Melakukan analisa gender yaitu analisa dampak secara spesifik terhadap perempuan dan laki-laki, analisis pembangian kerja, perbedaan akses dan kontrol thdp sumberdaya peacebuilding, dan analisa pengambilan keputusan dalam institusi formal maupun nonformal sehingga LKTS bisa menyajikan sex disagregate data atas program yang dilakukan. Menggunakan gender mainstreaming sebagai kerangka design, pelaksanaan, hingga monitoring program. Menerapkan keseimbangan gender/ rasio gender dalam rekruitmen staff Menghilangkan rasa trauma dan ketakutan dari kornban peristiwa 1965 dengan cara melakukan diskusi berbasis kelompok masyarakat / community organizing dengan melakukan dialog rekonsiliasi mendudukkan peristiwa 1965 sebagai alternatif sejarah melalui kelompok kesenian yang telah terbentuk di daerah-daerah, baik karawitan perempuan maupun kelompok karawitan lakilaki dengan memulai dari tahapan membuka luka hati sampai rumusan visi bersama atas rekonsiliasi. Pementasan kelompok kesenian dalam bentuk sandiwara, tari, wayang ataupun ketoprak dengan tema peristiwa 1965 sebagai bagian pendidikan rakyat atas alternatif sejarah bagi masyarakat luas non akademisi Mendokumentasikan oral history dari cerita tetangga, kerabat, orang tua yang mengalami peristiwa tersebut sebagai dokumentasi alternatif sejarah agar tidak hilang ketika si pelaku sejarah meninggal dunia. Distribusi buletin42 sebagai bahan diskusi kelompok kaum muda perempuan dan laki-laki untuk rekonsiliasi dan pendidikan sejarah alternatif atas peristiwa 1965, buletin sebaiknya tidak berupa friday buletin, karena buletin harus bisa diakses baik oleh laki-laki dan perempuan dan dikontrol oleh keduanya, sedangkan friday buletin dibagikan pada hari jumat usai sholat jumat, padahal sholat jumat hanya dihadiri oleh laki-laki karena tidak wajib dilakukan oleh perempuan. Pendidikan penyadaran hak sipil, politik, melalui kegiatan pengorganisiran masyarakat baik melalui kelompok karawitan perempuan, karawitan laki-laki maupun kelompok anak muda laki-laki dan perempuan, juga hak-hak 41 Menurut Greg Frealy dalam Ijtihad Politik Ulama, resolusi Jihad semula dikeluarkan tokoh-tokoh NU yang mengadakan rapat di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah perang suci ( jihad) dan wajib bagi setiap umat muslim, setelah Belanda bukan lagi musuh negara maka tugas NU menjad mendukung republik apapun taruhannya. Terhadap peristiwa 1965 kyai memobilisasi massa dengan mengeluarkan fatwa bahwa PKI adalah kafir harbi ( orang yang tidak beriman dan mendustakan agama) serta bughat ( pemberontak yang melawan pemerintahan yang sah) sehingga umat Islam wajib memeranginya. Fatwa ini menjadi dasar pengikisan, menumpasan, pembersihan, pengganyangan dan pembunuhan massal terhadap PKI dan ormas-ormasnya. 42 media ini lebih cocok untuk kaum muda karena dari hasil penelitian orang-orang tua banyak yang buta huruf, mengalami gangguan mata dan tingkat baca rendah.
27
perempuan sehingga menghilangkan stereotipe peran perempuan dan lakilaki bagi kelompok laki-laki maupun perempuan. Membuat radio masyarakat43 yang dikelola oleh kumpulan anak muda lakilaki maupun anak muda perempuan pada level kelurahan untuk kegiatan penyadaran hak-hak perempuan maupun hak sipil politik, serta menghubungkan golongan tua dan muda, lewat pertunjukan kesenian dan siaran karawitan perempuan dan laki-laki. Pemilihan media radio komunitas karena hampir semua penduduk memiliki radio dan bisa sambil melakukan aktivitas kerja domestik bagi perempuan serta jam siarnya bisa efektif terusmenerus untuk membangun kesadaran dan mengorganisir masyarakat. Memberikan training tentang prinsip dasar rekonsiliasi dan cara menjadi fasilitator kelompok diskusi bagi community organizer baik laki-laki maupun perempuan.
Riset dilakukan oleh Ira Febriana dan LKTS Bangunharjo Rt 07/II No. A2 Pulisen Po Box 130 Boyolali - Central Java – INDONESIA Phone: 62-276-324501 Fax: 62-276-324501 Email:
[email protected] Url: www.lkts.org
43
media radio menjadi jembatan antara kaum muda dan kaum tua, karena lebih mudah bagi orang tua maupun orang cacat untuk menerima informasi.
28