MENGGAGAS TEOLOGI PERDAMAIAN SUNNÎ-SHΑAH DI INDONESIA Said Agil Siradj Abstract: This article tries to analyze the
[email protected] phenomenon of Islamist violence in Indonesia due to the appeal between School of theology as was the case in Sampang, Madura. The conflict occurs because the Muslims can no longer recognize the differences between them, so that violence is a means of final settlement. Therefore, in this paper the author will try decoding problems between Sunni‟s and Shiite‟s School in Indonesia that I could Fakultas Ushuluddin find a way to peace. Because Sunni-Shi„ite actually IAIN Sunan Ampel, are brothers who were born on the basis of the spirit Surabaya of keeping the truth and glorifying the Islam thoroughly in various parts of the world. In this way, Muslims should be able to put this difference as the good graces and blessings of life. Keywords: Islamist violence, theology, Sunni, Shi„ite.
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
Pendahuluan Persoalan teologi akan senantiasa mendapatkan perhatian luar biasa dalam masyarakat. Karena hal ini menyangkut masa depan kelak di akhirat. Orang-orang yang percaya bahwa setelah kehidupan dunia ada kehidupan akhirat yang kekal, akan senantiasa memberikan perhatian yang besar terhadap diskursus teologi. Dewasa ini umat Islam sering dihadapkan dengan beragam pernyataan sesat ataupun kafir dari suatu kelompok terhadap kelompok yang lain. Bahkan telah banyak peristiwa kekerasan atas nama teologi yang menyeruak di berbagai daerah di Indonesia. Tidakan tersebut merupakan bentuk “kecintaan”—salah kaprah—yang luar biasa terhadap keyakinan yang dianut. Meskipun orang yang bertindak demikian sebenarnya terjebak pada tekstualitas pemaknaan teks-teks keagamaan sehingga melahirkan banyak bias kekerasan yang berujung pada tindakan desintegratif. Masa depan yang menjanjikan—surga—di akhirat merupakan dorongan utama yang menggerakan naluri manusia mempertahankan keyakinan yang dianutnya. Karena dalam keyakinan tersebut manusia dijanjikan banyak kemewahan dan kebahagian kelak di akhirat. Maka wajar bila banyak orang berlomba-lomba melakukan tindakan apapun, termasuk kekerasan, agar dirinya kelak mendapat balasan yang istimewa dari Tuhan sebagai ganjaran dari jihad yang dilakukannya saat di dunia. Namun persoalannya, apakah benar agama yang diajarkan oleh Tuhan mendorong manusia bertindak kekerasan? Sementara dalam ajaran agama-agama yang ada di dunia semunya non-violent (anti-kekerasan). Manusialah yang menyelewengkan ajaran agama, baik secara individu atau kolektif.1 Karena pada kenyataannya ketika kekerasan dilacak ulang dalam beberapa peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan. Banyak faktor lain yang mempengaruhi kekerasan tersebut. Jadi tidak murni ajaran agama. Meskipun juga tidak dinafikan persoalan fanatisme beragama seringkali mendorong lahirnya konflik. Tetapi itu lahir bukan dari ajaran agama, melainkan dari pemaknaan terhadap teks-teks keagamaan yang keliru. Sehingga agama seolah-olah melegitimasi kekerasan. Wim Beuken & Karl-Josef Kuschel (et.al), Agama Sebagai Sumber Kekerasan? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), ix. 1
318
Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
Islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia sangat menentang segala bentuk kekerasan. Islam hadir ke dunia sebagai agama rahmat sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur‟ân “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 107).2 Nabi pun dalam h}adîthnya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang salih” (HR. Bukhari). Dua teks keagamaan ini menjadi sandaran kuat jika Islam sangat menganjurkan pemeluknya agar menebar kasih sayang bagi sesama, dan menjauhi segala bentuk kekerasan. Tidak ada agama yang diyakini sebagai sumber perdamaian kemudian mengajarkan umatnya bertindak brutal. Itu terjadi karena kesalahan umat Islam dalam memaknai teks-teks keagamaan. Akhir-akhir ini fenomena kekerasan Islam-Indonesia semakin menyeruak, bahkan hal itu terjadi dalam internal umat Islam sendiri, misalnya kekerasan Sunnî-Shî„ah di Sampang. Umat Islam sepertinya sudah tidak mampu lagi menahan gelombang perbedaan yang hadir di hadapannya, sehingga kekerasan dianggap sebagai jalan penyelesaian. Karena itulah, pada tulisan ini penulis akan mencoba menguraikan problem problem teologis Sunnî-Shî„ah yang sebenarnya bisa dicarikan titik temu sebagai upaya mendamaikan kedua mazhab keagamaan dalam Islam tersebut. Sunnî-Shî‘ah dalam Konflik Istilah Sunnî biasanya dirujuk pada golongan Ahl al-Sunnah.3 Kelompok ini sangat mencintai tradisi dan sunnah-sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Spirit ajaran Sunnî sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi, namun baru berdiri kokoh sebagai sebuah mazhab teologi setelah masa Abû H{asan al-„Ash„arî dan Abû Mans}ûr al-Mâtûridî. Abû H{asan al-„Ash„arî mulanya adalah penganut doktrin Mu„tazilah, namun karena dirinya merasa tidak puas dengan doktrinNur Syam dalam bukunya Tantangan Multikulturalisme Indonesia menegaskan bahwa Islam itu hadir sebagai rahmat bagi semesta alam, rah}mat li al-„âlamîn, bukan hanya untuk umat Islam saja, rah}mat li al-Muslimîn. Karena itulah kita harus mengedepankan sikap saling menghormati dan saling menyayangi. Lihat Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 60. 3 Mus}tafâ al-Shak„ah, Islam bilâ Madhâhib (Kairo: al-Dâr al-Mis}rîyah al-Lubnânîyah, Cet. Ke-14, 2000), 409. 2
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
319
doktrin teologinya, ia menyatakan diri keluar dari Mu„tazilah.4 Setelah keluar, dia mendirikan mazhab teologi baru yang diidentikkan melalui namanya, yakni Ash„arîyah. Selain al-„Ash„arî juga ada Imam Abû Mans}ûr al-Mâturidî, ia adalah salah satu tokoh teologi Sunnî yang banyak mendasarkan pandangan teologinya pada sunnah Nabi.5 Prinsip dasar dari ajaran Sunnî ialah mendasarkan setiap pandangan ajarannya pada spirit ajaran yang memang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad. Pandangan teologi ini sangat moderat dan menjunjung tinggi etika dalam menyikapi perbedaan. Sedangkan Shî„ah muncul akibat faksi politik, terutama pascaarbitrase antara kubu „Alî b. Abî T{âlib dan Mu„âwiyah b. Abî Sufyân. Mereka yang sangat fanatik terhadap „Alî b. Abî T{âlib kemudian biasa disebut dengan Shî„at „Alî (Kelompok „Alî). Pun bagi ereka yang sangat fanatik terhadap Mu„âwiyah b. Abî Sufyân kemudian biasa disebut dengan Shî„at Mu„âwiyah (Kelompok Mu„awiyah). Namun seiring berjalannya waktu, pemakaian istilah ini lebih identik dengan pengikut „Alî b. Abî T{âlib.6 Aliran ini menegaskan bahwa Imâmah adalah bagian dari ajaran agama.7 Mereka sangat mencintai ahl al-bayt keturunan „Alî. Mereka adalah kelompok umat Islam yang mengutamakan Imam „Alî b. Abî T{âlib ketimbang sahabat-sahabat yang lainnya. Mereka percaya bahwa ahl al-bayt itu lebih utama dalam memegang tampuk kekuasaan Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 67. 5 Nasution, Teologi, 76. 6 al-Shak„ah, Islam bilâ Madhâhib, 171. 7 Pernyataan atas keimamahan „Alî b. Abî T{âlib RA sesuai dengan sumber h}adîthh}adîth di antaranya: Pertama: h}adîth al-indhâr (h}adîth kewaspadaan atau peringatan): di mana ketika turun ayat al-Qur‟ân yang berbunyi wa andhir „ashîrataka al-aqrabîn, Nabi menyuruh „Alî RA untuk membuat makanan dan kemudian Nabi pun mengundang keluarganya seraya berkata inna hâdhâ akhî wa was}iyyî wa khalîfatî fîkum fa asm‟û lah wa at}î„û lah. Kedua: h}adîth al-wilâyah, “inna „Aliyyan minnî wa huwa waliyy kull mu‟min ba„dî”. Ketiga: h}adîth al-manzilah, “ruwiya bi sanadihi „an Mu}„ab ibn Sa„ad, „an abîhi; anna rasûl alAllâh kharaja ilâ tabbûk wa istakhlafa „aliyyan, fa qâla: atukhallifunî fî al-s}ibyân wa al-nisâ‟? Qâla alâ tard}â an takûna minnî bi manzilat Hârûna min Mûsâ illâ annahu laysa nabiyy ba„dî. Keempat: h}adîth al-Ghadîr “man kuntu mawlâhu fa Alî mawlâh”. Lihat al-Shaykh Muh}ammad H}usain al-Faqîh, Limâdhâ Anâ Shi„î? (Beirut: al-Ghadîr li al-Dirâsât wa alNashr, Cet ke 3, 1996), 31-36. 4
320 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
menggantikan Nabi, yang dalam hal ini „Alî adalah sosok pemimpin umat Islam sebenarnya.8 Kecintaan inilah yang membuat Shî„ah begitu apatis dengan kelompok-kelompok Islam yang lainnya. Terdapat dua mazhab teologi dalam Shî„ah Duabelas, yakni Us}ûlîyah dan Akhbârîyah. Term Us}ûlîyah berasal dari kata us}ûl, bentuk plural dari kata as}l, yang berarti dasar, fundamen, prinsip atau sumber. Dalam tradisi pemikiran fiqh shî„ah, teologi us}ûlîyah sangat rasionalis dengan menempatkan rasio atau akal sebagai salah satu prinsip atau sumber hukum Islam, sehingga atas dasar ini mereka dikenal dengan sebutan ulama Us}ûlî. Dari kalangan mereka inilah, lahir teori-teori dasar pemikiran fiqh Shî„ah yang sangat kuat dipengaruhi fiqh Imam alShâfi„î.9 Sedangkan term Akhbârîyah berasal dari kata akhbâr, bentuk plural dari kata khabar, yang berarti „berita atau informasi‟. Dalam ilmu Mus}t}alah} al-H}adîth, terminologi khabar digunakan untuk istilah lain dari H{adîth Nabi. Dalam konteks tradisi shî„ah, istilah khabar bukan saja mengacu kepada h}adîth-ha}dîth Nabi, tetapi juga kepada H{adîth para imam shî„ah. Karena itu, dalam batas tertentu, kaum Akhbârî bisa
Fadil Su‟ud Ja‟fari, Islam Syiah (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 25. Mereka memandang perlunya berijtihad selama hal itu dilakukan dengan sungguhsungguh untuk menemukan hukum shar‟î dari sumber-sumbernya yang asli. Hanya saja, ulama shî„ah tidak mengakui metode qiyâs sebagai sumber hukum, sebagaimana yang dilakukan mayoritas mazhab sunnî yang mengakui qiyâs sebagai bentuk ijtihâd. Bagi mereka sumber hukum Islam ada empat: al-Qur‟ân, Sunnah, Ijmâ„, dan Akal— sebagai pengganti Qiyâs. Sejauh akal tidak bertentangan dengan kandungan al-Qur‟ân dan sunnah, berkedudukan sebagai sarana untuk memahami, yang dengan akal itu dapat ditemukan hukum-hukum tertentu yang prinsip-prinsipnya sudah tersirat dalam dalam ayat-ayat al-Qur‟ân dan Sunnah. Alasan mereka dikarenakan, pertama bahwa masalah-masalah yang akan dipecahkan tidak terbatas jumlahnya, sedangkan ketentuan shariah terbatas jumlahnya, karena itu mereka menempuh metode qiyâs ini. Kaum shî„ah tidak dapat menerima asumsi ini, karena bagi mereka, setiap peristiwa dan persoalan hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sudah tercakup dalam al-Qur‟ân dan H}adîth, sekalipun dalam bentuk umum. Kedua, qiyâs adalah sesuatu yang didasarkan pada perkiraan, dugaan, analogi-analogi yang dangkal, dan merupakan campur tangan yang dilakukan oleh akal pemikiran dalam persoalan yang tidak dapar dipahami secara faktual. Lihat Abdul Rouf, “Melacak Akar Pemikiran Fikih Ja‟fari”, dalam jurnal Al-Huda, No. 13, Volume V, tahun 2007, 30-31. 8 9
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
321
diparalelkan dengan Ahl al-H}adîth dalam perspektif fiqh Sunnî yang sangat konservatif.10 Dalam sejarah kekhalifahan Islam, para penguasa waktu itu banyak yang menyesatkan Shî„ah. Karena Shî„ah lebih memilih sebagai oposisi yang melawan pemerintahan.11 Tindakan menjadi oposisi ini tentu berkaitan erat dengan sejarah masa lalu yang dialami oleh kelompok Shî„ah. Kekalahan di masa lalu menjadi beban psikologis yang ingin mereka menangkan pada saat itu. Bahkan dalam suatu kesempatan, pada masa Dinasti Saljuk, Taghrul Bek, raja pertama yang mengeluarkan kebijakan agar membakar perpustakaan Shî„ah yang terkenal di Baghdad, Irak. Perpustakaan tersebut merupakan gudanggudang karya klasik yang sangat berharga dan pusta karya-karya ulama Shî„ah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu agama ataupun humaniora.12 Namun karena sikap arogan yang lahir dari fanatisme buta, karya-karya monumental itu hangus terbakar. Singkatnya, konflik Sunnî-Shî„ah berakar dari persoalan politik, namun ujung-ujungnya dilarikan pada persoalan teologis sebagai upaya menguatkan gerakan masing-masing kelompok. Ketika persoalan politik bercampur dengan persoalan teologis, maka politik sebagai kekuatan merengkuh kekuasaan semakin menemukan legitimasi besar. Akibatnya konflik akan semakin membara. Sehingga perselisihan anatara umat Islam semakin sulit didamaikan. Karena akarnya bukan lagi persoalan politik yang lebih lekat dengan kekuasaan, melainkan persoalan teologis yang diyakini sebagai jalan keselamatan kelak di akhirat. Sementara akar utamanya adalah persoalan politik, yang memang sangat kejam, dan seperti hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang menang. Dalam politik juga ada istilah tidak ada kawan dan lawan abadi, selama bisa menjadi jalan bagi tercapainya kepentingan, lawan Teologi Akhbârîyah sangat membatasi peranan ulama dengan prinsip bahwa sharî„ah Islam seharusnya benar-benar didasarkan pada penerapan tradisi. Sebagai mazhab teologi Shî„ah, maka yang dimaksudkan dengan tradisi di sini mestilah kembali kepada tradisi para Imam Shî„ah. Secara de jure Akhbârî menggunakan prinsip-prinsip teologi Ash„arîyah dan yurisprudensi yang dikenal dalam Sunnî. Mereka mengakui eksistensi kashf (intuisi rasional) untuk memecahkan suatu permasalahan. Lihat Cyril Glasse, “Akhbâriy” dalam Ensiklopedia Islam Ringkas (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t.th.), 17. 11 Musthafa Rafi‟i, Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syi‟ah (Jakarta: Milestone, 2013), 23. 12 Rafi‟i, Islam, 23. 10
322 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
pun pada saat tertentu bisa menjadi kawan. Begitu sebaliknya, kawan sekalipun jika menghalangi kepentingan bisa saja ditentang seperti lawan. Oleh karena itu, umat Islam harus bijaksana dalam membaca sejarah dan perbedaan dalam Islam. Agar tidak terjebak pada fanatisme buta yang ujung-ujungnya hanya umat Islam sendiri yang merugi. Umat Islam terlalu sering berselisih dengan sesama, bahkan hingga berujung dengan pembunuhan. Tanpa disadari, sebenarnya konflik itu semakin dimanfaatkan oleh kelompok yang tidak ingin Islam berjaya dan menguasai perabadan dunia. Sehingga kekacauan di dalam Islam semakin menjadi-jadi. Maka kini saatnya umat Islam harus lebih terbuka dengan perbedaan, apalagi dalam internal Islam yang ajarannya sama-sama bersumber dari al-Qur‟ân dan H{adîth. Pebedaan dalam persoalan penafsiran itu adalaha hanya wajar, bahkan bisa menjadi rahmat asalkan umat Islam bisa membuka diri dengan beram perbedaan yang ada. Perbedaan antara Sunnî dengan Shî„ah harus dicerna sebagai kenicayaan dalam hidup, sehingga umat Islam saling menerima dan menghargai demi menjaga harmoni kehidupan. Sunnî-Shî„ah memang berbeda dalam konsep Imâmah, bagi Sunnî Imâmah itu hanya yang Sunnah, namun bagi Shî„ah Imâmah merupakan ajaran fundamen dalam Islam. Tanpa meyakini Imâmah seseorang tidak bisa disebut sebagai penganut Shî„ah. Dengan bahasa lain, meyakini Imâmah merupakan fard} „ayn. Imâmah merupakan jabatan fungsional seseorang imam, yang berfungsi sebagai pemimpin religio-politik seluruh komunitas Muslim yang dipercaya Tuhan dalam rangka amar ma„rûf nahy munkar untuk menjalankan perintah-perintah-Nya.13 Perbedaan inilah yang kemudian menimbulkanya banyak konflik dalam internal umat Islam, antara Sunnî dengan Shî„ah. Karena sebagian kelompok dalam Shî„ah ada yang sampai mengkultuskan sahabat „Alî dan mengkafirkan sahabat Abu Bakar, Umar, dan Uthmân. Mereka dianggap merebut kekuasaan yang sebenarnya milik „Alî b. Abî T{âlib. Pandangan ini membuat sinimse kelompok Sunnî. Orang-orang Shî„ah dianggap keterlaluan dalam klaim tersebut. Sebab ketiga sahabat tersebut merupakan sahabat dekat Nabi yang integritas keislamannya Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta: Gramedia, 1994), 44-45. 13
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
323
tidak diragukan lagi. Namun demikian, ada sebagain kelompok Shî„ah yang mengakui kekhalifahan sahabat Abu Bakar, Umar, dan Uthmân. Seperti Shî„ah Zaydîyah, misalnya, yang menilai dipilihnya ketiga sahabat itu sebagai pemimpin umat Islam adalah demi menjaga kemaslahatan bersama. Karena korban peperangan yang dilancarkan oleh sahabat „Alî waktu itu masih besar, dan belum hilang kebencian kepadanya.14 Sehingga ketiga sahabat itu dipilih lebih dahulu untuk mejaga kemaslahan dalam Islam. Meskipun bagi mereka sahabat „Alî tetap lebih utama dari ketiga sahabat tersebut. Konflik Sunnî-Shî‘ah di Indonesia Sebagai aliran besar dalam Islam, Sunnî-Shî„ah sering berselisih paham. Kedua kelompok ini semenjak awal kemunculannya sangat sulit berdamai. Klaim kebenaran masing-masing kelompok sering memunculkan banyak konflik, bahkan hingga berujung pada kekerasan. Kekerasan Sunnî-Shî„ah tidak saja terjadi di negara-negara Timur Tengah, melainkan sudah merembet ke Indonesia. Peristiwa kekerasan antara Shî„ah-Sunnî di Sampang Jawa Timur pada 26 Agustus 2012 lalu,15 adalah bukti riil jika konflik Sunnî-Shî„ah sampai ke Indonesaia, bahkan cenderung meningkat. Konflik Sunnî-Shî„ah di Sampang itu hanya sedikit dari persoalan kekerasan dalam internal Islam. Pada tahun-tahun sebelumnya juga banyak kekerasan Sunnî-Shî„ah. Berdasar penelitian Lingkaran Survey Indonesia (LSI) pada 1-18 Oktober 2012 terhadap rasa tak nyaman atas keberagamaan di Indonesia. Dari 1200 responden, sebesar 41,8 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Shî„ah, 46,6 tidak nyaman berdampingan dengan Ahmadiyah dan sebesar 80,6 persen publik tidak nyaman hidup berdampingan dengan homo seks.
Muh}ammad Ibrâhîm al-Fayyûmî, Târîkh al-Firaq al-Islâmîyah al-Siyâsî al-DînîL alShî„ah al-„Arabîyah wa al-Zaydîyah (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabî, 2002), 308; Al-Shak„ah, Islâm bilâ Madhhâhib, 223-224.. 15 Republika, Menteri Agama Kutuk Kekerasan Agama Sampang”, dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/27/Diakses Senin, 27 Agustus 2012. 14
324 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
Sedangkan yang merasa tidak nyaman berdampingan dengan tetangga yang berbeda agama sebesar 15,1 persen.16 Hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI) di atas menunjukkan jika fanatisme masyarakat Indonesia terhadap kelompok Shî„ah masih sangat tinggi. Sebesar 41,8 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Shî„ah. Mereka yang tidak suka itu tentu didominasi kelompok Sunnî yang selama ini sering berselisih dengan Shî„ah. Karena mayoritas Muslim Indonesia bermazhab Sunnî. Fanatisme ini tentu lahir dari perbedaan pandangan teologis. Sehingga berujung pada beragam tindakan anarkisme. Dalam pandangan Muhammad Husain Fadlullah, sekarang ini afiliasi seorang Muslim itu lebih besar terhadap mazhabnya sendiri ketimbang terhadap agama Islam secara universal. Seseorang yang bermazhab Sunnî sangat apatis terhadap kelompok lain, karena dirinya sejak kecil terus dicekoki dengan doktrin-doktrin Sunnî. Mereka hidup dalam bayang-bayang kredo dan imajinasi, yang dikungkung oleh eksklusivitas sejarah sehingga membentuk fanatisme buta dalam memandang kelompok lain.17 Begitu juga dengan kelompok Shî„ah, mereka hidup dalam doktrin yang mengungkung dirinya, sehingga ketika dihadapkan pada mazhab yang lain seringkali berpandangan miring, hingga melahirkan pernyataan-pernyataan tidak etis, seperti penyesataan ataupun pengkafiran. Bahkan yang sangat disesalkan adalah tindakan anarkisme yang lahir dari perbedaan mazhab. Sehingga umat Islam banyak mengabaikan pesan-pesan perdamaian yang menjadi spirit utama Islam sebagai agama rahmat. Afiliasi seseorang terhadap mazhab semakin didorong oleh akumulasi psikologis yang keras, memori konfliktual antara mazhab, emosi yang tidak terkontrol, dan peliknya kehidupan sehari-hari.18 Hal ini mendorong mereka menjadikan mazhab sebagai “agama” baru, yang menentang mazhab-mazhab lain yang sebenarnya mereka juga Waspada Online, “Kekerasan Atas Nama Agama Meningkat”, http://www.waspada.co.id/Kekerasan-atas-nama-agama-meningkat/Diakses Minggu 21 Oktober 2012). 17 Muhammad Husain Fadlullah, “Kata Pengantar” dalam Islam Kita: Titik Temu Sunni Syi‟ah (Banten: Milestone, 2013), xvi. 18 Fadlullah dalam “Kata Pengantar”, Islam Kita, xvi. 16
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
325
beragama Islam. Seolah-olah bagi mereka kebenaran hanya miliki dirinya, dan tidak memberikan ruang bagi kelompok lain untuk mengekspresikan kebenarannya di hadapan publik. Padahal kelompok Shî„ah sebenarnya juga bagian dari mazhab dalam Islam. Begitupun sebaliknya bagi kelompok Shî„ah, Sunnî merupakan bagian dari kelompok Islam yang mestinya mendapat ruang yang bebas dalam mengekpresikan keyakinan teologis yang mereka miliki. Akibat fanatisme ini, antara Sunnî dengan Shî„ah terus berada dalam kondisi psikologi permusuhan. Memori mereka disesaki dengan beragam doktrin dan tradisi yang sudah lama melekat. Dalam benak mereka yang hadir bukan sikap penghargaan, melainkan perlawanan yang terus dikobarkan. Karena psikologi mereka tidak lagi memberikan ruang gerak bagi kelompok lain untuk berbeda pandangan sebagai sebuah keniscayaan dalam hidup. Sementara umat Islam tidak bisa menafikan keragaman dalam hidup. Keragaman merupakan hal yang lazim ada, namun sulit mengaitkan keragaman itu sebagai Sunnatullah. Pluralitas pemikiran sebenarnya menjadi hal mutlak dan tidak bisa ditolak. Ia realitas yang memang sengaja diciptakan oleh Tuhan. Dan bagi Mah}mûd H{amdî Zaqzûq, Islam sangat mengapresiasi jenis dan komunitas manusia sebagai realitas yang tidak boleh menjadi penghalang bagi terwujudnya persatuan, kebersamaan, dan etos saling membantu antarmanusia. Pluralitas pemikiran harus disikapi sebagai potensi yang mampu membuka jalan bagi persatuan.19 Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Kitab suci juga menginformasikan dengan menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Maka pluralitas kemudian meningkat menjadi pluralisme, yaitu sistem nilai yang memandang secara positifoptimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.20 Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj. Abdullah Hakam Syah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 122. 20 Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam bukunya Islam Doktrin dan Pradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), xxv. 19
326 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
Oleh karena itu, tindakan fanatisme buta yang selama ini ditunjukkan antara kelompok Sunnî dengan Shî„ah hanya sebentuk egoisme diri akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Maka musuh utama umat Islam sebenarnya kebodohan. Kebodohanlah yang mendorong lahirnya beragam persoalan konflik dan kekerasan dalam internal Islam. Mereka sebenarnya tidak paham apa dan siapa Shî„ah itu, atau sebaliknya mereka mereka juga tidak paham siapa Sunnî sebenarnya. Ketidaktahuan itulah yang kemudian mendorong mereka bertindak anarkis dan melanggengkan permusuhan antar mazhab yang satu dengan yang lainnya. Sementara Sunnî dan Shî„ah adalah saudara yang dulu pernah hidup secara damai dan saling menghargai dengan baik. Titik Temu Sunnî-Shî‘ah Meskipun Sunnî-Shî„ah sedikit berbeda, bukan berarti mereka tidak bisa bertemu pada satu titik. Sunnî-Shî„ah tetap bisa menemukan satu landasan utama. Namun yang perlu diangat bukan penyatuan mazhab,21 hanya titik temu bahwa setiap mazhab pada prinsipnya tetap bersumber dari nash yang sama yakni al-Qur‟ân dan H}adîth. Karena itulah selama umat Islam tetap membuka diri bahwa setiap orang dengan kemampuan berpikir dan kondisi sosio-kultur yang ada di lingkungannya bisa berpandangan berbeda. Maka dialog antara mazhab tetap akan terjaga sebagai upaya menanamkan rasa persaudaraan sebagai umat Islam. Tindakan ini snagat penting dilakukan di tengah banyaknya gelombang fanatisme yang mengancam disintegrasi bangsa. Empat mazhab Sunnî, Imam Mâlik, Imam H{anafî, Imam Shâfi„î, dan Imam H{anbali serta dua mazahab utama Shî„ah yakni Shî„ah Duabelas dan Shî„ah Zaydîyah sebenarnya sepakat pada hal prinsip dan dasar agama (us}ûl). Dimensi inilah yang menjadi pembatas antara Muslim dan non-Muslim. Yang dimaksud dengan us}ûl yakni rukun Islam dan rukun Iman, bahwa setelah Islam tidak ada agama lagi, setelah Nabi Muhammad SAW juga tidak ada Nabi lagi; seluruh pesan di dalam al-Qur‟ân adalah kebenaran; seluruh sabda Nabi di dalam h}adîthnya adalah kebenaran; kiamat, kebangkitan setelah mati, pahala,
21
Rafi‟i, Islam Kita, 61. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
327
sanksi, surga dan neraka adalah benar.22 Dalm hal prinsipil ini Sunnî dengan Shî„ah memiliki pandangan yang sama, meskipun tafsir mereka berbeda-beda. Perbedaan tafsir merupakan hal yang niscaya di tengan kemajemukan masyarakat. Perbedaan juga menandai dinamisasi pemikiran suatu kelompok masyarakat. Selama perbedaan itu bukan hal yang us}ûl, mestinya umat Islam bisa meresponsnya secara bijaksana, sehingga tidak terjadi perpecahan di dalam umat Islam. Selama umat Islam sering terjebak pada fanatisme buta, dan provokasi yang dilakukan oleh pihak tertentu, sulit rasanya mewujudkan perdaiaman anatara sesama Muslim atau bahkan dengan sesama non-Muslim. Pebedaan mazhab dalam hal yang furû„îyah sebenarnya merupakan respons dan dinamika pemikiran masingmasing tokoh. Sehingga perbedaan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk saling menyalahkan apalagi sampai saling menyesatkan dan mengkafirkan sesama Muslim. Tidak satupun dari enam mazhab tersebut yang mengingkari salah satu prinsip agama atau menambahkannya. Para pengikut ini sejatinya membangun persatuan untuk bekerjasama dalam rangka mewujudkan kebahagian serta meninggalkan berbagai macam ancaman yang mengelilingi mereka.23 Perbedaan Sunnî-Shî„ah hanya sebatas perbedaan cara pandang dalam melihat kesahihan dallil yang digunakan, seperti halnya perbedaan fikih dalam mazhab-mazhab Sunnî. Namun sejatinya Sunnî-Shî„ah adalah saudara yang sangat dekat. Karena sejatinya setiap umat Islam adalah pengikut al-Qur‟ân dan Sunnah. Pengikut mazhab Shâfi„î layaknya pengikut Shî„ah Imâmîyah.24 Begitu pula pengikut Shî„ah Duabelas/Imâmîyah layaknya pengikut Rafi‟i, Islam, 61-62. Rafi‟i, Islam, 62. 24 Lembaga Para Shaykh al-Azhar Kairo pernah mengeluarkan fatwa yang ditandatangani oleh Grand Shaykh Al-Azhar, Shaykh Mah}mud Shaltût yakni: 1. Islam tidak mewajibkan kepada setiap pemeluknya untuk mengikuti mazhab tertentu. Bahkan, kami menyatakan, bahwa setiap Muslim mempunyai hak untuk mengikuti setiap mazhab yang otoritatif dan fatwa-fatwanya yang telah dicetak dalam bentuk buku. Dan barangsiapa yang mengikuti setiap mazhab dan pindah kepada mazhab lain, maka tidak masalah baginya untuk melakukan hal tersebut. 2. Mazhab Ja„farî yang dikenal dengan mazhab Shî„ah Imâmîyah Duabelas merupakan mazhab yang diperkenankan untuk digunakan sebagai sumber hukum, sebagaimana mazhabmazhab Sunnî lainnya. 22 23
328 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
Imam Mâlik, Imam Ah}mad b. H{anbal, dan Imam Zayd. Semuanya meminum dari telaga yang sama, yakni al-Qur‟ân dan Sunnah. „Alî bin Abi T{âlib pun memberikan contoh yang baik tentang cara menghargai perbedaan dalam Islam. Bahkan Musthafa Rafi‟i menyebut bahwa Imam „Alî adalah orang yang pertama kali memancarkan pilar titik-temu. Saat Abu Bakar dibaiat sebagai Khalifah umat Islam, percekcokan hampir saja terjadi antara kelompok yang fanatik terhadap Abu Bakar dan yang fanatik terhadap „Alî b. Abî T{âlib. Namun karena Imam „Alî memiliki komitmen yang kuat dalam menjaga persatuan umat Islam, ia tetap memberikan dukungan yang besar terhadap Abu Bakar sebagai khalifah, sembari berkata “Kami tidak meragukan lagi kebaikan dan kebajikan yang telah sudah Allah anugerahkan kepadamu. Dalam hal ini, kami memandang ada persoalan yang hanya kamu bisa menyelesaikannya, bukan orang lain. Kami sama sekali tidak mengingkari kemulianmu”.25 Pun demikian dengan para mazhab-mazhab Sunnî-Shî„ah, mereka telah memberikan contoh yang baik tentang etika menghadapi perbedaan. Tindakan mereka memancarkan cahaya keluhuran budi seorang ulama besar. Misalnya Imam Mâlik menolak saat Khalifah alMakmûn hendak menjadikan kitab Al-Muwat}t}a‟ sebagai mazhab resmi negara. Imam Malik berkata “Wahai Amîr al-Mu‟minîn, biarkan umat memilih pandangan yang relevan bagi mereka. Imam Abû H{anîfah suatu ketika juga pernah berkata Ini pendapatku dan tentu ini pandangan terbaik yang bisa aku hasilkan. Barangsiapa mampu menghadirkan pandangan yang lebih baik, maka pandangan itu harus diutamakan kebenarannya”. Imam Shâfi„î pun suatu ketika pernah berkata Wahai Ibrahim, janganlah ikuti setiap yang aku katakan. Hendaklah kamu mempunyai pandangan sendiri, itulah agama. Pada suatu kesempatan Imam Ah}mad b. H{anbal juga berkata, Jangan ikuti aku dan jangan pula ikuti Mâlik, Awzâ„î, dan Abû H{anîfah, dan lain-lainnya. Tentukan hukum dari sumber yang mereka gunakan, yaitu al-Qur‟ân dan Sunnah. Begitupun dengan ulama Shî„ah Imâmîyah dan Shî„ah Zaydîyah mereka tidak pernah mengambil dan mengikuti seluruh hukum keagamaan dari para imamnya, kecuali yang mereka pahami sesuai dengan al-Qur‟ân dan Sunnah. 25
Rafi‟i, Islam Kita, 63-64. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
329
Pluralitas sebagai Keniscayaan Perbedaan dalam segala hal merupakan sesuatu yang sangat niscaya dalam kehidupan. Karena manusia lahir dari ruang dan waktu yang berbeda, kondisisi sosial, politik, dan budaya yang mereka hadapi juga berbeda. Sehingga adalah mustahil jika manusia menghendaki di dunia ini hanya ada satu agama atau satu mazhab keagamaan. Kita, manusia, tidak dapat memungkiri bahwa bumi kita hanya satu (only one word), sementara manusia yang mendiaminya terdiri dari berbagai suku dan etnis yang berbeda. Karena inilah persoalan keagamaan sering memunculkan pluralitas. Dengan demikian, jika kita membayangkan hanya ada satu agama atau mazhab keagamaan dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang tidak realistis.26 Manusia yang berandai-andai menginginkan satu jenis keyakinan keagamaan seperti orang bermimpi di siang bolong. Realitas ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Apalagi sekarang umat manusia hidup dalam sebuah “desa buana” yang tidak satu pun seseorang ataupun bangsa yang dapat terpisah dan membedakan diri.27 Maka dari itu, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh selain menghargai dengan bijak setiap perbedaan yang ada. Dalam al-Qur‟ân Allah SWT. menegaskan Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlombalombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kamu semua akan kembali. Lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. al-Mâidah [5]: 48). Melalui ayat ini semakin jelas bahwa pluralisme merupakan keniscayaan yang sengaja diciptakan Tuhan untuk menguji manusia. Keniscayaan ini harus disikapi dengan rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan. Karena jika umat Islam menolak adanya pluralitas pemikiran berarti mereka menolak kehendak Tuhan. Tuhan sengaja menciptakan perbedaan untuk menguju manusia. Allah SWT juga berfirman, Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan berusku-suku supaya kamu saling Syahrin Harahap,Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), 3. Jamal A. Badawi, Hubungan Antar Agama: Sebuah Perspektif Islam dalam Equality and Plurality dalam Konteks Hubungan Antar-Agama (Yogyakarta: CRSD, 2008), 43. 26 27
330
Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di anatara kamu (QS. al-H{ujarât [49]: 13).28 Ayat ini memberikan gambaran bagaimana kita mestinya mengelola perbedaan secara bijak. Agar umat Islam tidak terjebak pada fanatisme buta yang merugikan manusia, maka perbedaan dalam hal apapun harus ditempatkan sebagai sebuah keniscayaan, sehingga umat Islam bisa menghadirkan sikap damai dan saling menghargai perbedaan itu sendiri. Dengan demikian, berarti dalam Islam yang menghargai pluralisme29 atau pluralitas pemikiran merupakan sesuatu yang mutlak terjadi, sebab itu sikap yang penting untuk dihadirkan adalah sikap saling menghargai. Ayat ini penting menjadi renungan bagi manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka (QS. Hûd [11]: 118-119)”. Melalui ayat ini menurut Mah}mûd H{amdî Zaqzûq, Islam sebenarnya mengapresiasi jenis dan komunitas manusia sebagai realitas yang tidak boleh menjadi penghalang bagi terwujudnya persatuan, kebersamaan, dan etos saling membantu antarmanusia. Pluralisme harus disikapi sebagai potensi yang mampu membuka jalan bagi persatuan.30 Mustafa Ceric, seorang Mufti Besar Bosnia-Herzegovina sangat mencela umat Islam yang tidak menghargai pluralitas, karena hal itu sudah diulang berkali-kali melalui ayat itu, seperti dikutip John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat (Bandung: Mizan, 2010), 170; baca juga Mustafa Ceric, “State of The Statebof Bosnia-Herzegovina”, kuliah yang disamapaikan di Muslim Community Association di San Jose, CA, 3 November 1997, http://www.sunnah.org/event/ceric/dr.htm 29 The Oxford English Dictionary mengartikan pluralisme sebagai sebuah watak untuk menjadi plural, dan dalam dunia politik diartikan sebagai: (1) Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada. (2) Keberadaan toleransi keberagaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan, atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi, dan sebagainya. Lihat J. A. Simpson dan E. S. C. Weiner, The Oxford English Dictinory, Vol. XI (Oxford: Clarendon Press Edisi ke-2, 1989), Lxxv. 30 Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, 122. 28
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
331
Sekarang pluralisme menjadi isu yang seksi dalam perbincangan publik,31 karena di abad 21 ini manusia terus digiring pada satu titik di mana perbedaan itu pasti akan saling berbenturan. Untuk menghindari benturun perbedaan itulah pluralisme dihadirkan sebagai konsep yang mengajak umat manusia agar mampu menghargai setiap perbedaan yang ada. Pluralisme merupakan satu kata ringkas yang mengajak umat manusia agar bisa berdamai dalam menghadapi berbagai perbedaan. Kata pluralisme seolah mengajak umat manusia agar menikmati hari raya perdamaian dengan sesama umat manusia yang berbeda.32 Kedamaian itulah yang akan membuat semua perbedaan yang ada menjadi indah dan sangat menyenangkan. Keinginan untuk berdamai merupakan naluriah dasar dari seorang manusia. Sejatinya manusia adalah makhluk terbaik yang senantiasa berharap perdamaian dan kerukurang dengan sesama. Apalagi dalam QS. al-Baqarah [2]: 213 disebutkan Manusia itu adalah satu umat. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan beserta mereka ia turunkan Kitab-kitab dengan benar, supaya Dia bisa memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Prinsip satu umat merupakan landasan utama sebagai akar lahirnya sikap pluralisme.33 Meskipun setiap orang berbeda mazhab atau pun berbeda agama, namun sejatinya merupakan satu umat yang sama-sama diciptakan Tuhan. Karena itulah, sikap penghargaan dalam menyikapi beragam pluralitas harus selalu dikedepankan. Mansusia sebagai makhluk paling sempurna menekankan moralitas sebagai sandaran etika dalam berbagul dengan sesama. Apalagi dalam agama diajarkan pentingnya menegakkan moralitas. Nabi pun di utus tidak lain sebagai penyempurna akhlak manusia. Titik tekan moralitas mengandaikan satu tatanan hidup yang mendamaikan sebagai sebuah Paradigma masyarakat Barat tentang agama telah telah banyak berubah dari paradigma yang dimiliki pendahulunya. Lihat Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 77. Karena inilah kemudian berdamapak terhadap pemikiran masyarakat Timur yang juga menilai pluralisme itu penting. Sehingga sekarang ini dilakukan penafsiran teks yang progresif bagi kemajuan Islam dan peradaban dunia. 32 Abdul Aziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam terj. Satrio Wahono (Jakarta: Serambi, 2002) 48. 33 Sachedina, Kesetaraan, 51. 31
332
Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
keniscayaan dari ikhtiar panjang pengakuan dan penghargaan pluralitas keyakinan. Mewujudkan Teologi Perdamaian Teologi secara harfiah bermakna ilmu ketuhanan: Theos berarti Tuhan, dan logos berarti ilmu.34 Ilmu tentang Tuhan menyangkut eksistensi, sifat, dan kekuasannya, hubungan Tuhan dengan manusia, dan sebaliknya hubungan manusia dengan Tuhan, serta hubungan antarmanusia yang didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.35 Maka pada saat kita bicara dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan berlandaskan nilai-nilai ketuhanan, di sinilah ranah teologis dalam hubungan horizontal memainkan peranannya. Sehinga kita perlu menyemai makna yang komperhensif tentang ajaran-ajaran teologis. Apalagi secara nyata tidak ada aktivitas manusia yang lepas dari landasan teologis. Apapun yang dilakukan oleh manusia tentu tidak akan lepas dari nilai-nilai yang diyakininya, termasuk dalam hal ini nilainilai teologis dalam sebauah agama. Islam sebagai agama rahmat, mengajarkan nilai-nilai teologi perdamaian. Pada prinsipnya tidak ada kaitan antara kekerasan dan agama. Kekerasan adalah fenomena politik dan sosial.36 Agama secara nyata mengajak umat manusia menjaga perdamaian dengan sesama sebagai jalan hidup yang membahagiakan. Kekerasan muncul akibat persoalan sosial politik yang kemudian dilarikan pada ranah teologis. Hal ini dilakukan sebagai upaya menarik simpati dan empati banyak orang agar dirinya mendapat dukungan. Contoh di masa lalu bagaimana konflik Sunnî-Shî„ah terjadi akibat perebutan kekuasaan. Sehingga persoalan politik itu ditarik ke ranah teologis. Akibatnya kemarah umat Islam semakin banyak dan membara. Begitupun konflik Sunnî-Shî„ah yang terjadi di Sampang misalnya, akarnya sebenarnya bukan persoalan teologis. Namun persoalan keluarga antara Tajul Muluk dengan Rois.37 Keduanya samaA. W. Lane, Arabic-English Lexeion (Cambridge-England: The Islamic Society Trust, Format in 1984). 35 Syahrin Harap, Teologi Kerukunan, 15. 36 Asghar Ali Engineer, Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi Damai dalam Islam (Yogyakarta: Alinea, 2004), 183. 37 Lihat Koran Jurnal Nasional (Selasa, 28 Agustus 2012) MENTERI Agama (Menag), Suryadharma „Alî menegaskan bahwa bentrokan di di Dusun Nangkernang, 34
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
333
sama memiliki pengikut. Sebagai tokoh dikampungnya masing-masing, tentu para pengikutnya memiliki empati yang tinggi, sehingga antara kedua belah pihak emosinya tersulut dan lahirlah konflik kekerasan yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan. Sungguh ironi memang, agama sebagai jalan pencipta perdamaikan seringkali dimanfaatkan oleh banyak pihak sebagai acara untuk meraup kepentingan pribadinya. Kepentingan itu dibungkus seperti persoalan teologis, agar mendapat perhatian dan dukungan banyak kalangan. Sementara Islam sebagai agama terakhir mengajarkan nilai-nilai luhur tentang sikap pedamain. Islam berkembang pesat ke berbagai penjuru dunia tidak lain karena Islam menegakkan prinsip-prinsip perdamaian. Peperangan Islam di masa lalu itu sebagai bentuk pertahanan agar orang-orang Islam bisa selamat, bukan sebagai jalan menyerang umat tertentu karena berbeda keyakinan. Seandainya Islam menjadikan peperangan sebagai jalan penyebaran dakwa Islam, niscaya Islam tidak akan berkembang pesat seperti hari ini. Sejatinya tidak ada agama yang bisa berkembang pesat melalui pertumpahan darah dan teror.38 Karena itulah dakwah dalam Islam dilakukan secara damai dan santun. Selama ini mereka yang melakukan dakwah amar ma„rûf nahy munkar melalui kekerasan itu tak lebih dari egoisme diri karena salah dalam membaca sejarah dan menafsiri teks al-Qur‟ân dan H}adîth. Kita bisa melacak tentang makna Islam misalnya, Islam berakar dari kita salama yang merupakan akar dari kata salâm (damai).39 Selain itu Islam juga bermakna sebagai sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa disebut Muslim; bentuk jamaknya disebut “Muslimîn”. Dalam kepasrahan ini mengandung keyakinan bahwa Tuhan lah satusatunya yang harus disembah, dipuja, dan diagungkan. Ajaran tersbut Sampang, Madura, Jawa Timur (Jatim) bukan konflik antara Aliran Islam Sunnî dan Shî„ah. Penyebab kerusuhan antar kelompok di Sampang dipastikan akibat konflik keluarga. “Itu bukan konflik Aliran, bukan konflik antara Sunnî dan Shî„ah. Itu yang harus digarisbawahi, karena akarnya konflik keluarga Tadjul Muluk dengan Rois,” kata Suryadharma kepada wartawan di Kantor Presiden, Selasa (28/8). 38 Realitas empiris dalam sejarah penyebaran Islam tidak melalui pedang, melaikan dengan cara-cara damai yang dilakukan oleh tokoh-tokoh sufi yang mengedepankan cina dan perdamaian. Lihat Engineer, Liberasi, 191. 39 Engineer, Liberasi, 193. 334 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
dalam Islam disebut Tauhid. Ia merupakan prinsip dan inti tertinggi serta ajaran utama bukan hanya bagi dan dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW., tetapi juga dalam semua agama yang dibawa para utusan Tuhan.40 Dengan demikian Islam berarti penegakan kedamaian dan tundukan kepada Allah. Misi kelahiran Islam ke dunia juga sangat jelas melalui ayat alQur‟ân bahwa Nabi Muhammad diutus ke dunia tidak lain sebagai rahmat bagi sesama.41 Sebagai agama rahmat, tentu Islam sangat mengutuk keras prilaku kekerasan. Islam mengajarkan umatnya mengedepankan cara-cara damai dialogis dalam menyelesaikan setiap persoalan. Adalah salah jika Islam sebagai agama rahmat kemudian memerintah umatnya saling membunuh karena perbedaan keyakinan atau mazhab keagamaan. Selama ini kekerasan berbungkus agama hanya kedok belaka untuk menguatkan legitimasinya. Sejatinya kekerasan adalah dosa. Dan salah satu dosa adalah prilaku egois mementingkan diri sendiri. Manusia merubah bumi yang sangat indah ini menjadi tempat kekerasan karena kepentingan dirinya sendiri.42 Sehingga pertupahan darah terjadi di mana-mana lantaran egoisme diri untuk berkuasa dan mendominasi semua aspek kehidupan. Nabi pun dalam salah satu h}adîthnya bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurkan akhlak manusia.43 Penyempurnaan akhlak manusia berarti impan besar menata kehidupan bumi penuh cinta dan kasih sayang. Sebagai sumber dan telaga kehidupan yang penuh harmoni. Sehingga terbentuk sikap saling menghargai terhadap sesama. Cinta dan kasih sayang merupakan kosnep luhur dalam Islam yang menekankan penting saling mengharagi dan menebar perdamaian. Dalam ayat al-Qur‟ân terdapat banyak kata kunci yang menekankan keempat sikap kasih sayang yang selalu diulang-ulang, yakni rah}mân, ih}sân, „adl, dan h}ikmah.44 Gambaran sikap ini merupakan wujud konkret jika Islam sangat menekankan perdamain dengan Muhammad, Mengaji, 5-6. Baca QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 107 “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. 42 Engineer, Liberalisasi, 193. 43 Sabda Nabi “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh” (HR. Bukhari). 44 Engineer, Liberalisasi, 197. 40 41
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
335
siapapun. Karena sejatinya kasih sayang adalah sumber telaga kehidupan agar tercipta harmoni hidup yang mendamaikan. Maka sudah jelas jika selama ini kekerasan dalam bentuk verbal ataupu psikis, seperti pembunuhan, kliam sesat dan kafir adalah sikap yang mestinya dijauhi oleh umat Islam. Sebab tindakan itulah yang melahirkan beragam konflik yang menghambat terjadinya kedamaian hidup. Allah SWT. dalam al-Qur‟ân menekankan pentingnya sikap saling menghargai dalam perbedaan. Dan janganlah kamu sekali bertengkar (berdebat/mujâdalah) dengan para pengikut Ahli Kitab (pengikut kitab Suci), melainkan dengan cara yang baik, kecuali terhadap mereka yang melakukan kedzaliman. Dan nyatakan kepada mereka, Kami beriman kepada kitab Suci yang diturunkan kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu, sebab Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maga Esa, dan kita semua pasrah kepadaNya (QS. al-„Ankabût [29]: 46). Ayat tersebut menekankan sikap penghargaan terhadap Ahli Kitab, dengan demikian, mestinya penghargaan kita terhadap sesama Muslim harus lebih tinggi. Artinya, jika dengan sesama Muslim saja seperti Sunnî-Shî„ah yang memiliki akar yang satu sulit menciptakan perdamaian, lalu bukankah ini dusta besar terhadap ayat tersebut. Jika Tuhan memerintah kita menghargai mereka yang berbeda agama, mengapa terhadap suadara kita sendiri yang nyata-nyata Islam kita saling menyesatkan dan bertengkar? Lalu di mana nilai-nilai agung yang diajarkan oleh Islam? Dalam ayat lain Allah SWT. juga berfirman Kamu adalah umat terbaik, dilahirkan untuk segenap umat manusia, menyuruh orang berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar, serta beriman kepada Allah (QS. Âli Imrân [3]: 110).45 Melalui ayat ini sangat jelas sekali jika Islam mengajak semua umat manusia agar berbuat baik serta melarang perbuatan buruk. Kekerasan adalah salah satu perbuatan mungkar yang harus dijauhi oleh Abdullah Yusuf „Alî dalam mengomentari ayat ini berkesimpulan bahwa Islam sebagai agama universal mengandung tiga arti, pertama Iman, kedua berbuat baik, menjadi contoh bagi yang lain untuk melakukan perbuatan baik, dan memiliki kemampuan melihat bahwa kebenaran akan menang. Yang ketiga menjauhkan diri dari kebatilan, dan menajdi contoh bagi yang lain untuk menjauhi kebatilan, dan mampu melihat bahwa kebatilan dan kezaliman akan kalah. Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur‟an: Text, Translation and Commentary (USA: Amana Comparations, 1989), 151. 45
336
Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
umat Islam. Siapaun di dunia ini tidak menyukai kekerasan. Kekerasan adalah perbuatan yang memporak-porandakan kehidupan. Selain itu ada ayat Al-Qur‟ân sebagai perbandingan dalam melihat Sunnî-Shî„ah Ibrahim bukan orang Yahudi dan bukan pula orang Nasrani, akan tetapi dia seorang yang lurus, berserah diri kepada Allah dan sama sekali bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan (musyrik) (QS. Âli-„Imrân [3]: 67). Bagi Husein Muhammad, ayat tersebut mengisyaratkan bahwa identitas keagamaan dan nama suatu agama bukanlah hal dan sesuatu yang penting. Perhatian utama Tuhan jelas pada keberagamaan dan keyakinan yang subtansial; yakni pengakuan terhadap ke-Esa-an Tuhan dan kepasrahan diri kepada-Nya.46 Dalam melihat ayat tersebut dengan konteks Sunnî-Shî„ah misalnya, kita dapat berkesimpulan bahwa sejatinya perbedaan mazhab dalam Islam itu bukan sesuatu yang penting. Yang harus dan penting kita lakukan adalah pengakuan atas ke-Esa-an Allah dan kepasrahan kepadanya yang diwujudkan dengan sikap saling menghargai, menolong, dan menebar kasih sayang dengan sesama. Sikap yang harus kita tolak dan tentang keras adalah sikap, pandangan, dan praktik yang menyamakan dan mengindentikkan diri dengan Tuhan. Dalam hal ini Husein Muhammad menyebut hal tersebut sebagai perbuatan syirik atau musyrik. Bagi Hussein, terminologi syirik atau musyrik dalam teologi kemanusiaan tidak sekedar berarti penyembahan, pemujaan, dan pengangungan terhadap patung, berhala, gambar, dan sejenisnya. Dengan demikian syirik adalah pandangan dan sikap mengagungkan, memuja, dan mengunggulkan diri sendiri atau kelompok pada satu sisi dan merendahkan, apalagi menindas orang lain atau ciptaan Tuhan lainnya. Allah SWT. menyebut syirik sebagai “Inna al-shirk la z}ulm „az}îm”, yakni kezaliman yang besar. Bagi Husein hal ini benar, mengingat orang yang merasa dirinya lebih besar dan lebih baik dari orang lain, bisa diartikan memosisikan dirinya sama dengan atau menandingi Tuhan Yang Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Absolut.47 Sehingga manusia yang selalu menyalahkan orang lain tanpa dasar yang benar, atau bahkan atas nama agama orang kadang sampai Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Bandung: Mizan, 2011), 8. 47 Muhammad, Mengaji, 9. 46
Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
337
membunuh manusia. Itu berarti merupakan perbuatan syirik sebagaimana yang dimaksud Husein Muhammad. Oleh sebab itu, kita sudah semestinya mampu menghargai perbedaan mazahab keagamaan dalam Islam secara bijaksana. Apalagi dalam Sunnî-Shî„ah masih menemukan titik temu dalam banyak hal. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk saling menyesatkan, mengakafikan, apalagi salaing membunuh, sungguh tindakan ini sangat dilarang dalam Islam.48 Mari hidup damai dengan siapapun yang berbeda keyakinan, kita tempatkan perbedaan ini sebagai keniscayaan hidup yang sudah diciptakan oleh Allah SWT. sehingga tercipta harmoni hidup yang mendamaikan, dan kita bisa saling menolong dan membantu demi kekabikan bersama, dan kemajuan Islam di masa mendatang. Catatan Akhir Sebagai catatan akhir dari artikel ini, sejatinya Sunnî-Shî„ah adalah saudara yang lahir atas dasar semangat menjaga kebenaran dan membumikan Islam secara menyeluruh di berbagai penjuru dunia. Perbedaan ini lahir dari kondisi sosial politik yang berbeda, sehingga mendorong terjadinya perbedaan dalam menyikapi suatu persoalan dalam agama Islam. Karena itulah umat Islam harus menempatkan perbedaan ini sebagai rahmat yang mendatangkan kebaikan dan keberkahan hidup. Yang mampu menjawab semua problematika umat di masa dan tempat di mana mazhab itu berkembang. Sikap saling menghargai adalah suatu keharusan dalam menyikapi suatu perbedaan. Jangan sampai umat Islam terprovokasi pihak tertentu yang ingin menghancurkan Islam. Sunnî-Shî„ah adalah saudara yang harus berdiri kokoh menegakkan agama Allah demi kemaslahatan bersama. Sudah nyata jika Islam adalah agama rahmat, penebar kasih sayang dan kedamaian bagi sesama. Menekankan sikap saling menghargai, sebagai jalan bagi terciptanya kehidupan yang Manusia sejatinya memang harus saling menghargai. Karena berkeyakinan itu merupakan hal yang esensial dalam hidup. Kita dilarang untuk saling memaksakan kehendak berkeykinan sama. Kita tidak boleh berpandangan rendah terhadap mereka yang berbeda keyakinan, karena itu merupakan pilihan hidup yang tidak boleh dipaksa, jika kita merendahkan mereka sungguh hal itu sangat tabu. Lihat Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Agama Hubungan Antaragama (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004), 23. 48
338
Said Agil Siradj—Menggagas Teologi
menyejahterakan, damai, dan berkeadaban. Seperti halnya nama Islam sendiri, ia adalah agama sumber kedamaian, keselamatan, ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT. sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan demikian, Islam adalah agama sangat mengutuk setiap kekerasan baik verbal maupun non verbal, seperti saling menyesatkan, mengkafirkann, dan saling membunuh antar sesama. Kebenaran itu hanya milik Allah, karena itulah umat Islam harus bisa bersikap bijak dalam menghadapi berbagai macam pluralitas mazhab ataupun agama. Daftar Pustaka Badawi, Jamal A. Hubungan Antar Agama: Sebuah Perspektif Islam dalam Equality and Plurality dalam Konteks Hubungan Antar-Agama. Yogyakarta: CRSD, 2008. Beuken, Wim & Kuschel, Karl-Josef (at al). Agama Sebagai Sumber Kekerasan?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Ceric, Mustafa. “State of The Statebof Bosnia-Herzegovina”, kuliah yang disamapaikan di Muslim Community Association di San Jose, CA, 3 November 1997, http://www.sunnah.org/event/ ceric/dr.htm Daya, Burhanuddin. Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Agama Hubungan Antaragama. Yogyakarta: MataramMinang Lintas Budaya, 2004. Engineer, Asghar Ali. Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi Damai dalam Islam. Yogyakarta: Alinea, 2004. Esposito, John L. Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat. Bandung: Mizan, 2010. Fadlullah, Muhammad Husain. “Kata Pengantar” dalam Islam Kita: Titik Temu Sunni Syi‟ah. Banten: Milestone, 2013. Faqîh (al), al-Shaykh Muh}ammad H}usain. Limâdhâ Anâ Shi„î?. Beirut: al-Ghadîr li al-Dirâsât wa al-Nashr, Cet ke 3, 1996. Fayyûmî (al), Muh}ammad Ibrâhîm. Târîkh al-Firaq al-Islâmîyah al-Siyâsî al-DînîL al-Shî„ah al-„Arabîyah wa al-Zaydîyah. Kairo: Dâr al-Fikr al„Arabî, 2002. Glasse, Cyril. “Akhbâriy” dalam Ensiklopedia Islam Ringkas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t.th. Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011. Teosofi—Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
339
Ja‟fari, Fadil Su‟ud. Islam Syiah. Malang: UIN-Maliki Press, 2010. Koran Jurnal Nasional (Selasa, 28 Agustus 2012). Lane, A. W. Arabic-English Lexeion. Cambridge-England: The Islamic Society Trust, Format in 1984. Lewis, Bernard. Bahasa Politik Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi. Jakarta: Gramedia, 1994. Madjid, Nurcholish. “Kata Pengantar” dalam bukunya Islam Doktrin dan Pradaban. Jakarta: Paramadina, 1992. Muhammad, Husein. Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan. Bandung: Mizan, 2011. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986. Rafi‟i, Musthafa. Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syi‟ah. Jakarta: Milestone, 2013. Republika. Menteri Agama Kutuk Kekerasan Agama Sampang”, dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/27/ Diakses Senin, 27 Agustus 2012. Sachedina, Abdul Aziz. Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, terj. Satrio Wahono Jakarta: Serambi, 2002. Shak„ah (al), Mus}tafâ. Islam bilâ Madhâhib. Kairo: al-Dâr al-Mis}rîyah alLubnânîyah, Cet. Ke-14, 2000. Simpson, J. A. dan Weiner, E. S. C. The Oxford English Dictinory, Vol. XI. Oxford: Clarendon Press, Edisi ke-2, 1989. Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Waspada Online, “Kekerasan Atas Nama Agama Meningkat”, dalam http://www.waspada.co.id/index./Minggu, 21 Oktober 2012). Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj. Abdullah Hakam Syah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
340 Said Agil Siradj—Menggagas Teologi