Laporan Hasil Peneiltian Muda
Relevansi Teologi Pembebasan Ali Syariati Dengan Masa Sekarang (Tela’ah Pemikiran Teologi Pembebasan Ali Syariati)
OLEH: RENI SUSANTI, M.Ag NIP: 19731014 200312 2 00 1
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) BATUSANGKAR T/ A. 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..…………………………………………………………….... i UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... ii DAFTAR ISI …………………………………………………........................... iii Bab I
:PENDAHULUAN A. RumusanMasalah ……………………………………................. 6 B. Batasan Masalah.. .………...……………………….................... 6 C. Tujuan dan Kegu naan Penelitian ………………….................. 6 D. Definisi Operasional ………………………………................. 7 E. Kajian Riset Sebelumnya…… …………………….................. 9 F. Sistematika Penulisan……………… ……………….................. 10
Bab ll
: LANDASAN TEORITIS A. Ali Syariati Pemikir Konservatif…………………....................... 13 B. Karya-karya Ali Syariati……………………………................... 19 C. Pemikiran Ali Syariati……………………………....................... 20 1. Persoalan Teologi.................................................................... 20 2. Konsep Ali Syariati Tentang Kepemimpinan.......................... 39 3. Pemikiran Ali Syariati Tentang Raunsyanfikr......................... 41 a. Pengertian Raunsyanfikr.................................................... 41 b. Faktor Munculnya Raunsyanfikr........................................ 48 c. Tugas dan Tanggung Jawab Raunsyanfikr........................ 50 4. Gerakan Sosial Politik dan Sosial Keagamaan....................... 55
Bab lll : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian……………...…………….................................... 58 B. Sumber Data………………………………………...................... 58 C. Teknik Pengumpulan Data…………………………..................... 59 Bab IV :TEOLOGI PEMBEBASAN ALI SYARIATI dan RELEVANSI DENGAN MASA SEKARANG A. Pengertian Teologi Secara Umum………………..…................... 62 B. Beberapa Perbedaan dalam Istilah Teolog Islam ......................... 63 C. Islam Dan Teologi Pembahasan…………………….................. .. 70 D. Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan...................................... 72 E. Konsep Teologi Pembebasan.......................................................... 74 F. Tokoh-Tokoh Teologi Peembebasan..................................... .... .... 75 G. Latar Belakang Teologi Pembebasan.............................................. 76 H. Pendiri Teologi Pembebasan.......................................................... 77 I. Perkembangan Teologi Pembebasan.............................................. 78 J. Pengajaran teologi Pembebasan.............................................. ....... 80
BAB V
K. Relevansi Teologi Pembebasan dengan Masa Sekarang................. 85 : PENUTUP ............................................…….....…………………… 90 A. Kesimpulan .................................................................................... 90 B. Saran-saran ..................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..................... 93 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I A. Pendahuluan
Pemikiran Islam tidak lain adalah suatu hasil akumulasi umat Islam ketika berhadapan dengan proses dialektik antara normativitas ajaran wahyu yang permanen dengan historisitas pengalaman kekhalifahan dibumi yang selalu berubah. Hubungan tarik menarik antara kedua dimensi tersebut selalu mewarnai perjalanan pemikiran Islam sepanjang masa. Sejauh mana wibawa normatifitas wahyu yang terbungkus dalam pengalaman kongkret kesejarahan manusia disatu sisi. Dapatkah pemikir Islam dengan cerdas memahami dan membedakan substansi normatif wahyu yang berlaku universal dan pengalaman historisitas yang parsial yang selalu berubah distiap masa. Pemikiran Islam tidak mempersepsikan hubungan dialektika antara normatif dan historis. Pemahaman ke dua aspek ini sering kali menjadi konflik berkepanjangan yang terjadi dikalangan teolog, filosof dan sufi. Konflik ini tentu saja menambah beban psikologis bagi para pemeluk agama, kalau seandainya dipahami secara tidak arif. Teologi sebagai salah satu khazanah pemikiran Islam, telah memberikan konsep tentang hubungan normatif historisitas dari aspek teologis. Ketika ayat al-Quran secara normatif berbicara tentang teologis, kaum teolog menangkap pesan transedental tersebut dan berijtihad supaya ide-ide ini dapat diaplikasikan oleh umat pada masanya. Pada zaman klasik Islam (650-1250 M), teologi Sunnatullah dengan pemikiran rasional, berkembang di Dunia Islam. Oleh sebab itu, umat Islam produktif dalam hidup keduniaan seperti dalam bidang politik, ekonomi, petanian, sains dan lain-lain, di samping itu juga produktif dalam bidang keakhiratan seperti dalam bidang akidah, ibadah, teologi, filsafat, tasawuf dan lain-lain.
1
Kemunculan teolog-teolog pada zamannya sangat dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan sosial. Pada zaman modern ini, banyak pemikir yang muncul dan salah satu di antara mereka adalah Ali Syariati. Ia seorang pemikir Iran dan sekaligus ideologi revolusi Iran yang melandasi konsep teologinya dengan pendekatan sosiologis yang sedang dihadapi. Sosiologi sebagai cabang ilmu dengan memfokuskan diri pada penjelasan mengenai fakta-fakta sosial, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Ilmu sosial mempunyai objek berbeda dengan bidang kajian ilmu yang lainnya seperti, psikologi, sejarah, politik, antropologi dan lainlainnya. Makanya sosiologi dikembangkan dengan cara pandang yang bersifat skeptis terhadap fenomena sosial. Dengan perkembangan yang sangat menakjubkan sejak awal abad ke-20, sosiologi telah menjadi bidang ilmu yang kuat, baik dalam hal teorinya maupun metodeloginya serta objek yang menjadi kajiannya. Relasi sosil antar elemenelement kunci dalam masyarakat hanya dipotret melalui hubungan timbal balik yaang bersifat material antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Padahal dalam makna yang paling mendasar, hubungan sosial terebut mengandung nilainilai, norma-norma dan ideologi, karena berkaitan dengan eksistensi setiap kelompok dalam masyarakat. Maka dalam konteks inilah posisi intelektual muslim Ali Syariati memperoleh tempat dalam kajian sosiologi Islam.1 Cara Ali Syariati menjelaskan konteks sosial memiliki posisi yang berbeda dengan cara para penulis Barat. Ali Syariati, dalam bukunya Islam Agama Protes, dan karya-karyanya yang lain tentang tanggung jawab intelektual muslim, manawarkan gagasan teologi revolusioner.2 Yang bermakna sama dengan teologi pembebasan, dengan
1
Syarif uddin Jurdi, Sosisologi Islam dan Masyarakat Modern Teori, Fakta dan Aksi Sosisal, (Jakarta: Kencana, 2010, ed. !, Cet. 1), h. 147 2 Ali Syariati adalah seorang ulama dan intelektual yang paling berpengaruh dalam kebangkitan revolusi Islam Iran. Ia adalah seorang penganut Syiah fanatik yang percaya pada revolusioner, menurut Syariati (Azra, 1993:2), berbeda dengan seluruh ideologi radikal lainnya. Ia tidak tunduk pada hukum
2
konsep memahami keagamaan itu secara individual maupun kolektif dalam menyikapi kenyataan-kenyataan empiris maupun perspektif ke-Tuhanan. Dalam sejarah literatur pemikiran kontemporer, hal ini diilhami oleh munculnya gerakan-gerakan teologi pembebasan di Amerika latin pada tahun 1960-an. Sedangkan dalam literatur pemikiran Islam, gagasan yang menghadapkan agama dengan proses pembebasan manusia muncul belakangan. Ali Syariati sebagai seorang pemikir membawa konsep tauhid dan dapat dikatakan seorang muslim monoteistik yang paling radikal. Dan tidak puas dengan menjadikan monoteistik sebagai konsep filosofis atau sebuah doktrin teologis yang cuma diperdebatkan. Menurut Ali Syariati Islam itu menggambarkan sebuah pandangan dunia yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Selain memperhatikan masalahmasalah yang dihadapi umat, menurutnya Islam juga menegaskan bahwa misi yang diemban adalah untuk mengubah, membebaskan dan revolusi, serta memerangi penindasan dan ketidakadilan. Syariati (sebutan Ali Syariati dalam tulisan ini) yakin bahwa analisis mengenai pendekatan dan metode pemahaman Islam sangat penting, sebab analisis ini dapat mengembangkan pemikiran yang benar. Ini merupakan syarat bagi pengetahuan yang benar dan akhirnya akan menciptakan keimanan yang benar pula. Ali Syariati menegaskan bahwa, Islam dalam perspektifnya diceritakan dan dipaparkan dalam bahasa simbolik. Semua agama semitik memakai bahasa simbolik ini, sebagaimana dalam kutipan berikut ini:
besi (iron low) tentang konsep peragian birokratik dan memiliki empat konsep utama sebagai landasannya yaitu; imamah, wilayat faqih, syahadat dan populisme. Lihat Azyumardi Azra, “Filsafat Pergerakan Ali Syariati: Pengaruhnya terhadap Revolusi Iran”, makalah dalam seminar “Ali Syariati” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Syarif Hidyatullah Jakarn, 1991,), h. 2. Orang Syiah memandang sejarah dunia ini sebagai pertempuran antara umat yang tertindas dengan penguasa zalim. Tema “membela rakyat kecil” (populisme) memegang peranan sntral dalam tulisan para pemikir Syiah sejak Thabathaba’i dan Ayatullah Khomeini hingga Murthadha Mutahhari dan Ali Syariati. Maka yang membedakan nabi Islam dengan non Islam, menurut Ali Syariati adalah populisme. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), cet. 4, h. 1
3
“Bahasa simbolik adalah bahasa yang paling indah dan halus, lebih mendalam, lebih universal dan lebih abadi dari pada bahasa eksposisi yang maksud dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempat.”3 Ali Syariati mengisyaratkan bahwa ketepatan bahasa agama yang simbolik, karena agama ini tidak basi dengan perjalanan waktu, pergantian kebudayaan dan peradaban. Bila dibandingkan dengan bahasa yang jelas, di satu sisi bahasa ini mudah dipahami, tetapi disisi lain akan cepat usang dan kehabisan makna. Semakin simbolik suatu bahasa agama, akan semakin abadi dan penuh arti makna religi bagi generasi-generasi di masa depan. Maka disinilah letaknya bahwa bahasa simbolik adalah sebagai motifasi untuk terus menggali, mencari dan menafsirkan bahasa-bahasa agama yang sesuai dengan kondisi zamannya. Dengan konsep ini pula Ali Syariati berharap kepada generasi belakangan, supaya bisa menangkap pesan-pesan agama untuk mengatasi semua masalah dan fenomena baru yang belum pernah terjadi. Metode pemahaman Islam yang ditawarkan oleh Ali Syariati, yaitu dengan pendekatan normatif al-Quran dan pendekatan historis melalui kajian sejarah Islam, sebagaimana dalam kutipan: “Yang dikehendaki oleh Ali Syariati adalah pemahaman dan pengetahuan tentang al-Quran sebagai sumber dari segala ide-ide Islam.... pengetahuan dan pemahaman sejarah Islam sebagai sumber segala peristiwa yang pernah terjadi dalam kurun waktu dan tempat serta situasi yang berbeda”.4 Dari dua pendekatan yang ditawarkan oleh Ali Syariati, yaitu normatif dan historis dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan normatifistik al-Quran dalam Islam dapat dipahami dari tataran ideal, sebagai acuan doktrinal agama. Sedangkan dengan pendekatan historis Islam dapat dipahami perkembangannya dari waktu ke waktu dan dijadikan kaca perbandingan serta melihat bagaimana generasi terdahulu menafsirkan doktrin dan merealisasikan bahasa-bahasa agama. Menurut Ali Syariati, pendekatan pemahaman Islam melalui ijtihad 3
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais, (Jakarta: Sri Gunting, 1998), h. 2 Bashir A. Dable, Dr. Ali Syariati dan Metode Pemahaman Islam, Hikmah. No. 4 Rabi’ al-Tsani – Sya’ban 1414h/ November 1991-Februari 1992), h. 76 4
4
adalah suatu cara untuk menjaga agama atau pemikiran keagamaan dari kemandekan pola-pola agama dari keterasingan dan ke-of to date-annya dalam masyarakat yang cenderung berubah secara cepat. Dalam kehidupan, manusia akan terbentur dengan kondisi diri, fisiologis, biologis, kondisi alam-lingkungan sosial dan sejarah. Halangan dan rintangan ini dijelaskan secara rinci oleh Ali Syariati yang terkafer dalam karya-karyanya dalam bentuk determinasi-determinasi. Faktor ini dianalisa oleh Ali Syariati sebagai tanggapan terhadap filsafat Barat yang berkembang secara mapan dan menjadi sebuah ideologi. Determinan-determinan yang menjadi penghalang kebebasan manusia tersebut menurut Ali Syariati diantaranya; materialis dan naturalis, sosiologis, biologis dan historis.5 Namun determinan-determinan yang dipaparkan oleh Ali Syariati hanya sebagai perbandingan terhadap konsep yang berkembang di Barat, karena Ali Syariati membangun sebuah pemikiran baru tentang konsep kebebasan manusia. Menurut Ali Syariati, manusia bisa terbebas dari kungkungan tersebut dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, seperti pada tindakan prefentif manusia dalam mengatasi cuaca dan gangguan iklim yang menghalangi aktifitas. Dalam pembahasan Ali Syariati yang terlalu panjang, beliau melihat pada keterikatan manusia pada sejarah. Azyumardi Azra melihat bahwa manusia hanya menjalani kepastian sejarah belaka, artinya inilah yang dimaksud dengan konflik sejarah dalam kehidupan manusia. Namun menurut Azyumardi Azra, dalam melihat determinan ini tidaklah mesti berbentuk jabariah, karena Ali Syariati dalam menafsirkan determinan ini hanya sebagai fenomena tunggal yang terus bergerak tanpa terputus dalam perjalanan waktu dan dipengaruhi oleh sebab-sebab khusus yang tidak bersifast jabr.6 Artinya menurut Ali Syariati manusia diberi kebebasan untuk membentuk dan merubah sejarahnya, semakin dalam 5
Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme dari Sesat Pikir Barat, lainnya, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. Ke.V, h. 27 6 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 69
5
pengetahuan manusia tentang sejarah, maka akan semakin dalam dan cepat perkembangan sejarahnya. Akhirnya semakin berkembang suatu masyarakat, maka mereka akan bisa melampaui tahapan sejarah yang ditentukan dan akan bisa berubah kepada tahapan sejarah yang lebih maju. Jadi sebenarnya menurut pendapat Ali Syariati intinya teologi pembebasan manusia itu adalah pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kalau diperhatikan dengan perkembangan zaman sekarang serasa ide tologi pembebasan Ali Syariati sesuai dan harus dibangkitkan kembali. John L. Espito menyatakan bahwa Ali Syariati mengembangkan apa yang disebut sebagai teologi Islam mengenai pembebasan dan ideologi kerakyatan Syiah adalah untuk suatu pembaharuan sosial.7 Pemikiran ini dapat diketahui lebih lanjut dalam pemikiran-pemikiran Ali Syariati tentang teologi. Berdasarkan pemaparan diatas itulah, penulis ingin untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang pemikiran teologi pembebasan Ali Syariati dan relevansinya dengan zaman sekarang, yang akan dikaji dalam bentuk penelitian. B. Rumusan masalah Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, maka penulis merumuskan dari kajian penelitian ini pada persoalan bagaimanakah relevansi teologi pembebasan Ali Syariati dengan masa sekarang?
C. Batasan Masalah Agar pembahasan dari penelitian ini tidak terlalu luas, maka di sini penulis akan membatasi dari kajian penelitian ini pada; Pemikiran Ali Syariati tentang Tauhid, bagaimana pemahamannya tentang Islam, bagaimana konsep Ali Asyariati tentang manusia serta determinan-determinan yang menjadi penghalang manusia dalam berkembang, yang meliputi persoalan material, naturalis, sosial, ekonomi dan politik.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. 7
Ali Syariati, Kritik..., Op.cit., h. 5-8
6
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah; Untuk mengetahui bagaimanakah relevansi teologi pembebasan Ali Syariati dengan masa sekarang. Yang didasarkan atas pemahamannya tentang tauhid, Islam, manusia dan determinan-determinan yang menjadi penghalang manusia dalam berkembang. Sedangkan guna penelitian ini adalah; untuk menambah wawasan dan keilmuan tentang pemikiran Ali Syariati tentang teologi pembebasan yang dikaitkan dengan masa sekarang. E. Definisi Operasional Judul penelitian ini didukung oleh empat istilah penting yang perlu dibatasi sebagai
pegangan untuk menghindari kekeliruan pemahaman dalam kajian
selanjutnya. Keempat istilah tersebut adalah teologi, pembebasan, Ali Syariati dan relevansi. Pertama, Teologi, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu theos yang bermakna Tuhan (God) dan logos logos yang bermakna pengetahuan (science, study, disonurse ). Dengan demikian teologi adalah suatu ilmu yang membahas tentang aqidah dan ketuhanan.8 Harun Nasuiton menyebut teologi dengan tela’ah kritis terhada pemikiran tentang Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan dan akibat yang dikaitkan dengan masyarakat.9 Vergelius Ferm mendefisikan theology dengan “a study of question God and the elation of God to World of realiy”10 di dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah teologi dalam arti pengetahuan tentang Tuhan dan derivasinya dalam tauhid Islam.
8
Karl Rahner, Encyclopedy of Theology, (Jerman: Burn-Burn and Oates, 1975), h. 1687 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. ix 10 Dagobert D. Runes, (ed), Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Littlefield Adams & Co, 1977), h. 317 9
7
Kedua, Pembebasan yang terambil dari kata bebas yang berarti tidak ada beban, lepas sama sekali, merdeka.11 Kalau dikaitkan dengan penelitian ini, maka pembebasan di sini berarti bahwa manusia bebas dan tidak terikat sama sekali oleh apapun dalam rangka pengembangan Ilmu Pengetahuannya. Pembebasan yang dimaksud di sini adalah secara menyeluruh yaitu meliputi pembebasan dari penindasan sosial, ekonomi maupun politik.12 Namun bagi Ali Syariati tidak hanya pembebasan dari penindasan bidang sosial, ekonomi dan politik, akan tetapi juga pada persoalan material, naturalis. Yang diberantas dengan megembangakan Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Ketiga, Ali Syariati merupakan seorang pemikir Islam yang juga menggeluti bidang filsafat Barat seperti, Bergson, Berque, Casmus, Chandel, Fanon, Gurwitsel, Louis Massignon, J.P Sartre dan Shwarts.13 Ali Syariati juga seorang aktifis sosial pergerakan, sebelum belajar ke Sorbone ia bersama kawan-kawannya mendirikan Persatuan Pelajar di Mashad. Dari gerakannya ini dengan misi menentang rezim penguasa ia bahkan dipenjara di Teheran. Dilihat dari sepak terjangnya Ali Syariati, juga seoarng aktifis politik yang pertama digerakannya di Perancis bersama Mustafa Chamran pada tahun 1960. Kemudian Ali Syariati juga seorang pembentuk Front Nasional ke Dua. Pada tahun 1964. Ali Syariati terkenal sebagai seorang yang tidak berhenti dalam beraktifitas, dimana pada tahun 1965 Ali Syariati juga telah mendirikan Husayniyah di tanah kelahirannya. Adapun misi dari yayasan ini adalah bergerak pada bidang pendidikan dan aktifitas sosial politik dan sempat dihentikan oleh penguasa karena sering bersikap oposisi. Diakhir hiodupnya Ali Syariati mendapatkan suatu gencatan disebabkan karena ketidakstabilan politik dan keagamaan di Teheran, maka pada tahun 1977 Ali Syariati pindah ke Inggris. Di Inggris inilah Ali Syariati menghembuskan nafas
11
Team Penyusun Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. Baru), (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007), Cet. I, h. 120 12 E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I, h. 36 13 G unawan Muhammad, Resensi Atas Buku One The Sociology of Islam , Tempo 10 Oktober 1981
8
terakhirnya karena dibunuh oleh sekawanan pembunuh misterius dan dimakamkan di Damaskus Syiria. Ali Syariati terkenal sebagai seorang penulis produktif, terbukti dengan banyaknya
karya-karya yang dilahirkannya dan karya-karyanya yang berupa
terjemahan yang sangat bermutu dan dibutuhkan pada zaman sekarang. Di antaranya kaviri (sebuah outobiografi intelektual yang dilatarbelakangi oleh tanah kelahirannya), Rahnemnya Khurusan, Islam Senashi (karya dalam bentuk Islamologi). Keempat, relevansi yang berasal dari bahasa Inggris relevance yang bermakna leksikal “mempunyai hubungan dengan suatu persoalan”.14 Dalam bahasa Indonesia kata tersebut diartikan dengan “hubungan, kaitan”. 15 Untuk keperluan operasional, maka yang dimaksud dengan relevansi di sini adalah hubungan pemikiran teologi pembebasan Ali Syariati dengan masa sekarang. Jadi kajian yang dilakukan ini adalah untuk menela’ah bagaimana hubungan pemikiran Ali Syariati tentang teologi pembebasan seperti masalah tauhid, Islam, pandangan tentang manusia dan adanya determinan-determinan yang menjadi penghalang dalam perkembangan ilmu pengetahuan sebagai penyebab tidak bebasnya manusia berkembang yang dikaitkan dengan masa sekarang.
E. Kajian Riset Sebelumnya
Penelitian dengan kajian pemikiran Ali Syariati yang berkaitan dengan Teologi Pembebasan ini, sudah ada yang membahasnya. Namun yang berkaitan dengan Teologi Pembebasan Ali Syariati yang dikaitkan dengan masa sekarang belum ada. Yang sudah ada kajiannya adalah Teologi Dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi. Oleh E. Kusnadiningrat. Jadi pada dasarnya penelitian tentang pemikirann Ali Syariati dalam hal teologi pembebasan ini dan 14
A.S. Homby, AP. Cowie, (ED), Okford Advanced Leaners Dictionary of Current English, (London: Oxford University Press, 1974), h. 1063 15 Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pembangunan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 738
9
relevansinya dengan masa sekarang belum ada yang membahasnya. Makanya penulis sangat tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih mudahnya memahami kronologis pembahasan yang akan penulis lakukan, maka di sini dikemukakan sistematika pembahasan yaitu: Bab Pertama, bab PENDAHULUAN yang akan menggambarkan bagaimana munculnya gagasan penelitian, yang merupakan pondasi dasar untuk melihat sasaran kajan, arah, tujuan dan batasan serta sumber data. Arah penelitian ini adalah bagaimana pengertian teologi dalam teologi pembebasan Ali Syariati yang mencakup teknis analisis penelitian, metode serta definisi operasional. Kemudian tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan teologi pembebasan dalam teologi Ali Syariati yang merupakan sintesa dari teologi sebelumnya. Di samping itu untuk mendeteksi pemikiran Ali Syariati secara jelas digunakan sumber primer dan sumber skunder. Seterusnya dalam mengolah datanya penulis menggunakan metode holistika, analisis kritis dan konten analisis, serta diakhir bab ini memuat sistematika penulisan yang memudahkan untuk memahami kronologis pembahasan bab per bab. Bab kedua, yang menjelaskan tentang profil Ali Syariati dan pengertian Teologi secara Umum serta persoalan-persoalan apa saja yang di bahas di dalam teologi. Bab ini merupakan bagian yang penting dalam penelitian ini, yang tidak bisa dianggap enteng, karena Ali Syariati adalah seorang sosok aktifis Islam baik dibidang politik maupun sosial yang berazskan pada perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pembahasan ini akan ditemukan biografi dan latar belakang pendidikan Ali Syariati, pemikiran dan karya- karyanya. Adapun tema-tema biografi yang mampu mendekatkan alur pemikiran Ali Syariati adalah potret hidup masa kecil, latar belakang keluarga, pendidikan, guru- guru dan petualangan Ali Syariati semasa hidupnya, yang mengantarkan Ali Sayariati sebagai seorang aktifis Islam yang terkemuka. Dan konsep teologi secara umum sebagai dasar
10
pokok dari pemikiran teologi pembebasan Ali Syariati. berangkat dari pengertian teologi secara umum itu lah Ali Syariati mengembangkan pemikirannya dlam bentuk teologi pembebasan. Bab ketiga, membahas tentang metode Penelitian yang berisikan; a) jenis Penelitian , di sini jenis penelitian yang penulis lakukan adalah library reswearch yaitu dengan mengadakan study kepustakaan melalui penela’ahan, penelitian, menganalisa serta mengkomparatifkan buku-buku, makalah, majalah dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ali Syariati. b) Sumber data, di sini penulis menggunakan data primer adalah dari karya-karya dari Ali Syariati sendiri yang membahas tentang teologi pembebasan, yang dikaitkan dengan masalah tauhid, Islam dan determinan-determinan yang menjadi penghalang manusia itu berkembang. Sedangkan data sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku, karya-karya atau artikel-artikel dari pengarang lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Teologi Pembebsan Ali Syariati. c) Teknik Pengumpulan data, penelitian yang penulis lakukan adalah bersifat analitikkualitatif sedangkan pendekatakan yang penuls gunakan adalah deskriptifsosiologis dan analitik-fenomenologis. Pendekatan deskriptif-sosilogis penulis gunakan untuk melihat pemikiran Ali Syariati yang dipengaruhi oleh setting sosial dan wacana intelektualnya. Sedangkan pendekatan analitis-fenomenologis digunakan untuk memahami persepsinya berdasarkan apa yang dirasakan dan yang dipahaminya sebagai tokoh yang sedang di teliti. Bab keempat, Hasil penelitian dengan membahas Teologi Pembebasan Ali Syariati dan relevansinya dengan masa sekarang. Merupakan bab inti dari penelitian ini, yang akan menjawab permasalahan tentang bagaimana konsep teologi pembebasan Ali Syariati yang dikaitkan dengan relevansinya dengan zaman sekarang. Pada bab ini akan membahas tentang; konsep teologi secara umum, kemudian teologi dalam pemikiran Ali Syariati, beberapa perbedaan dalam istilah teologi Islam, serta Islam dan Teologi Pembebasan, kemudian bagaimana teologi pembebasan yang dimaksud oleh Ali Syariati, konsep teologi Pembebasan Ali Syariati yang berangkat dari pemikiran-pemikiran Marx. Pembelajaran teologi
11
pembebasan, Dan bagaimana relevansi teologi pembebasan Ali Syariati itu dengan zman sekarang. Di mana dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang muncul pada zaman sekarang, seperti kemajuan ilmu dan tekhnologi. Bab kelima, merupakan bab penutup dari penelitian ini yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
12
13
14
15
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Ali Syariati Sebagai Pemikir Konservatif Ali Syariati adalah seorang intelek, ideologi dan pemikir revolusi Iran terkemuka. Ali Syariati (sebut dalalm tulisan ini Syariati) dilahirkan pada 24 November 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyad dan Sabzavar Propinsi Khorasan, Iran. Desanya di tepi gurun pasir Dasht-I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran,1 kemudian beliau meninggal pada tanggal 19 Juni 1977 di South Hamton Inggris.2 Beliau dilahirkan dari keluarga ulama, ayahnya bernama Muhammad Taqi’ Syariati. Merupakan seorang ulama yang terkenal di Iran dan juga menjadi gurunya yang utama, yang mendidiknya sendiri secara langsung sejak kecil3. Tahun-tahun pembentukan pribadi dalam kehidupan Syariati yang djalaninya bersama dengan ayahnya, meninggalkan bekas yang kuat pada pribadinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ali Syariati sendiri; “Bapak saya menciptakan dimensi-dimensi pertama dibatinku. Dialah yang pertama-tama mengajarkanku seni berfikir dan seni menjadi manusia. Dialah yang memperkenalkanku kepada sahabatnya, yaitu buku-bukunya, mereka adalah teman-temanku yang tetap dan akrab sejak tahun-tahun permulaanku belajar. Aku menjadi besar dan matang dalam perpustakaannya, yang baginya merupakan seluruh kehidupan dan keluarganya, yang baginya merupakan seluruh kehidupan dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang harus ku bayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remaja secara mudah spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang suci dan baik 1
Hadi Mulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama, Pandangan Ali Syariati dalam M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987), h. 167 2 Ali Rahmena, “Warisan Politik Ali Syariati”, dalam Ali Syariati, IslamMadzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995), h. 12 3 Syarifuddiin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern Teori, Fakta dan Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 148
13
itu, bagian ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh”.4 Pada dasarnya yang menjadi masalah bagi Ali Syariati adalah bagaimana melangsungkan hidup ini dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah mencoba untuk memberi bentuk dan arti dari hidupnya. Selain itu dia pun menyadari benar betapa berat amanah yang diwrisi dari leluhurnya. Dia ingin memikul amanah itu dengan cara yang baik sampai ke tempat tujuannya, sampai akhirnya dia tidak pernah menyia-nyiakannya atau membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil.5 Syariati merupakan salah seorang anak yang cepat perkembangan intelektualnya, karena pada masa sekolah SD dia sudah membaca buku les Mise’ables karya Victor Hugo yang diterjemahkan ke bahasa Persia6, buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan guru Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram, dia juga mempelajari karya Sri karya Saddeq-e Hedayat, Novelis Iran beraliran nihilis, Nima Yousheej, bapak syair modern Iran, Akhavan Saless, penyair kontemporer Iran dan Mourice Maeterlinck seorang
penulis Belgia yang memadukan mistisisme dengan
simbolisme.7 Sementara itu, karya Arthur Schopenhauer dan Tranz Kafka juga di bacanya. Sehingga tidak heran bila Syariati memiliki dua perilaku yang berbeda. Dia pendiam, tidak mau diatur tapi rajin. Dia dipandang sebagai penyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar, karena itu dia tampak tidak bermasyarakat. Mereka menurut teman sekelasnya, dia tidak banyak bergaul dengan teman sekelas, tidak bermain sepak bola, olah raga sebagaimana lazimnya anak seusianya. Namun pada saat suasana hatinya sedang baik, Syariati menjadi ramah dan akrab memperhatikan kepentingan orang lain dan sangat menyenangkan. 4
Ali Syariati, “Menjawab Beberapa Soal” dalam John L. Esposito (ed), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 232 5 Ali Syariati, On The of Islam, (Bandung: Mizan Press, 1979), h. 13 6 Syarifudin Jurdi, op.cit., h. 148 7 Ali Rahmena,op.cit., h. xiv, Lihat pula, Ahmed Nurullah, “genesis: dari dentuman Besar ke Revolusi”, dalam M, Deden Ridwan (ed), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera 1999), h. 233
14
Dia anak bandel yang ikut kelompok pelajar di kelas yang mengolok-olok guru. Terkadang dengan jujur Syariati mengakui bahwa ia mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946 – 1950, ini berarti antara usia 13 – 17 tahun. Kesejukan, ketenangan dan keyakinan akan eksistensi Tuhan yang dirasakannya berubah menjadi kegelisahan karena keraguan. Baginya, gagasan eksistensi tanpa Tuhan sempat dirasakan suatu yang menakjubkan, sepi dan asing. Hidup dirasakannya suram, kering dan hampa. Ia merasa jauh terseret ke jalan buntu filosofis yang jalan keluarnya ia akui hanya bisa ditembus dengan cara bunuh diri atau gila. Ali Syariati rupanya tidak ingin terus berputar-putar seperti angka nol, di mana hidup ini hanya untuk dirinya sendiri yang terus menggelinding tiada henti bagaikan lingkaran setan. Maka Ali Syariati tidak mau mengikuti jejak dari seorang Schopenhauer, Saddeq-e Hidayat, apalagi Sartre yang dikenalnya kemudian. Maka jika filsafat Barat sempat membuatnya linglung, kemudian ia merasakan kesejukan, dan ketenangan hidup lewat Masnawi-nya Maulawi (Jalaluddin Rumi), yang merupakan gudang spiritual filsafat Timur. Baginya kata-kata dan pemikiran Maulawi dirasakan menyejukkan dan ia akui sebagai penyelamat dari kehancuran spiritual. Mistisisme Maulawi dirasa meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan pada diri Syariati muda. Kemudian Syariati menyebutkan mistisisme, bersama persamaan dan kemerdekaan, sebagai tamu historis utama dan dimensi fundamental manusia ideal. Kehidupan Syariati berakar di pedesaan, sebagaimana di ungkapkan oleh Ali Syariati bahwa pembentukan kehidupan dia pertama kali adalah dari keluarga yang sederhana. Dia begitu bangga dengan keluarganya yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih untuk menyepi di gurun pasir. Guru petama nya adalah ayahnya sendiri yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, di mana ayahnya merupakan seorang ulama yang berbeda dari ulama-ulama tradisional. Dengan latar belakang pendidikan yang mengarah kepada filsafat yang bernada politik dengan pembauran syi’ah, maka
15
Ali Syariati tumbuh menjadi sosok yang penuh dengan jiwa inteketual dan aktivis yang punya semangat tinggi untuk membuat hidupnya lebih maju lagi, dan selalu melakukan perubahan dalam hidup dan pemikirannya. Sebab beliau juga merupakan seorang aktivis revolusioner. Bahkan Syariati menyerap pandangan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya tentang kelas sosial dan truisme (itsar).8 Ali Syariat mengakui bahwa beliau lebih banyak di pengaruhi oleh Massignon, George Gurvich, Jean Paul Sartre dan Frans Fanon. Ketika berada di Perancis. Pada tahun 19559 Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja di resmikan. Selama di Universitas tersebut, sekalipun menghadapii persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai fulltime, Syariati tetap paling tinggi rankingnya di kelas. Berkat pengetahuan dan kesukaannya kepada sastra menjadikannya populer dikalangan mahasiswa. Di Universitas itulah Syariati bertemu dengan Puran Syariat Razavi, yang kemudian menjadi isterinya. Karena prestasi akademisnya Syariati mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan study keluar negeri pada April tahun 1959. Syariati pergi ke Paris sendirian, sedangkan isteri dan anaknya bergabung setahun belakangan. Selama berada di paris Syariati banyak berkenalan dengan karya-karya dan gagasan baru yang mencerahkan dan mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Di Paris lah Syariati berkenalan dengan tokoh intelektual Barat anatar lain Louis Massignon yang begitu di hormatinya, Frans Fanon, Jacque Berque dan lain-lain. Walaupun Syariati berada di Paris, namun pribadinya tetap semangat membela dan menegakkan keadilan dan kebenaran, dan tetap semangat untuk menentang rezim Iran. Sekitar tahun 1962 dan 196310, Syariati dsibukkan dengan aktifitas politik dan jurnalistiknya, sehingga dia menjadi seorang figur
8
Ali Syariati, Islam Agama Pembebasan,. (dalam blogproletar, blogspot com/1020/06/islamagama-pembebasan-ali-syariati.html) 9 Syarifuddin Jurdi, loc.cit., 10 Ali Rahmena, Ali Syariati : Biografi Politk Intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 86
16
oposisi yang sangat spektakuler dalam mengubah tatanan politik atau kekuasaan hegemoni Syah Pahlevi. Dengan konsep pemikirannya yang sangat cemerlang dan begitu bersemangat, Syariati berusaha untuk mempertahankan Iran dari Syah pahlevi dan dari pola budaya Barat. Bahkan Syariati adalah seorang yang membantu Imam Khomeini dalam menjatuhkan Rezim Syah Iran yang zalim. Karena Syariati bertekad akan tetap membangun masyarakat Iskam Iran ari belenggu kezaliman, sehingga dia menjadi seorang pelopor bagi pemuda dan mahasiswa Iran untuk membela keadilan dan kebenaran bagi masyarakatnya. Ali Syariati melihat adanya proses pembaratan yang total, karena proses perubahan dalam pola pemikiran masyarakat. Karena konsep dari pemikiran Ali Syariati akan selalu dibarengi dengan pola perkembangan budaya dan perkembangan pendidikannya. Bahkan dalam hidupnya Ali Syariati berusaha memetakan proses intelektual dengan cara intelektual Islam yang murni dan intelektual Islam yang sejati. Ali Syariati juga berusaha memecahkan masalah yang di hadapi kaum muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pauran isteri Ali Syariati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London, tetapi pihak berwajib tidak memberikan izin kepada Pauran dan Mona anaknya yang berumur 6 tahun, tetapi Sosan dan Sara di izinkannya untuk meninggalkan Iran.11 Namun setelah kedua anaknya sampai di London, keesokan harinya tanggal 17 Juni 1977 Syariati ditemukan tewas di Shouthampton,12 Inggris. Namun tewasnya Ali Syariati, dinyatakan oleh pemerintahan Inggris karena penyakit jantung, tetapi banyak yang meyakini beliau di bunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos Islam “Islam militan”, popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, pada bulan Pebruari 1979.13 Dalam perjalanan pendidikannya Syariati menyelesaikan sekolah dasarnya dengan berbagai persoalan yang menyebabkan terkadang membuat 11
Ali Syariati, Islam Agama Pembebasan,. (dalam blogproletar, blogspot com/1020/06/islamagama-pembebasan-ali-syariati.html) 12 Syarifuddin Jurdi, op.cit., h. 149 13 Ibid .,
17
ayahnya marah, dan guru-gurunya juga bosan dengan kelakuannya. Sebab selama menempuh pendidikan sekolah dasar Ali Syariati lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan membaca buku-buku di perpustakaan bapaknya. Beliau tidak suka dengan lingkungan sekolah, tidak suka dengan aturan-aturan yang mengikat beliau dalam satu lembaga sekolah. Sehingga Ali Syariati lebih banyak tidak masuk sekolah, kebiasaan yang dilakukannya adalah pergi sekolah tapi tidak ikut belajar, malah beliau menyendiri dalam kelas yang sepi, dan kalaupun masuk tetapi selalu melihat keluar kelas, asyik dengan pemikirannya sendiri. Sehingga pada saat di ajak bicara oleh gurunya sering tidak nyambung, dan terkesan Ali Syariati tidak memperhatikan pelajarannya. Namun walaupun demikian apabila di bandingan dengan teman-temannya dia mendapatkan 100 kali lebih maju dari temantemannya, dan 99 kali lebih maju dari guru-gurunya.14 Kelebihan itu di dapat oleh Ali Syariati dengan banyak membaca buku-buku di perpustakaan Bapaknya, karena Ali Syariati rajin membaca buku-buku yang berkaitan dengan pengembangan pemikiran atau logika, dari sanalah Ali Syariati banyak mendapatkan pengetahuan. Sehinga menjadikan Ali Syariati anak yang pintar dan selalu haus akan ilmu pengetahuan., yang akhirnya mengantarkan Ali Syariati untuk belajar ke daerah-daerah yang jauh dari tempat kelahirannya. Begitulah Ali Syariati kesehariannya di masa sekolah dasar sampai berakhirnya pada bulan September tahun 1947.15 Namun pada tingkat sekolah menengah Ali Syariati berubah menjadi anak yang haus ilmu, beiau menjalankan sekolah menengahnya di Skolah Menengah Firdausi. Pada waktu itu Masyhad memiliki dua sekolah menengah untuk anak laki-laki, di antara keduanya Firdausi lebih baik karena perpustakaan, laboratorium ilmu pengetahuan, fasilistas olah raga dan ruang teater ada di lingkungan sekolah. Ali Syariati masuk ke sekolah Firdausi itu karena pada waktu itu Muhammad Taqi’ merupakan guru Bahasa Arab dan 14 Ali Rahnema, Ali Syariati Biografi Politik Intelektual Revolusioer, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000, h. 58 15 Ibid.,
18
Sastra reguler yang di hormati di sekolah tersebut. Sistem belajar disekolah Firdausi tersebut adalah pada tingkat ke tujuh siswa di pisahkan menjadi dua bagian berdasarkan usia mereka. Di sekolah menengah itu Ali Syariati terkenal di antara temantemannya, yang memandang dia sebagai seorang pemalas, tetapi bisa bersosialisasi dan sangat menyenangkan untuk di jadikan teman.
B. Karya- Karya Ali Syarariati Sebagai seorang pemikir yang aktif dan revolusioner, Ali Syariati telah banyak menghasilkan karya tulis, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggeris. Dengan begitu ia dikenal sebagai salah satu cendekiawan Iran yang termasyhur pada abad ke-20. Di antara karya tulis Ali Syariati tersebut adalah: 1. Hajj (The Pilgrimage) 2. Marxism and Other Western Fallacies : An Islamic Critique 3. Where Shall We Begin? 4. Mission of a Free Thinker 5. The Free Man and Freedom of the Man 6. Extraction and Refinement of Cultural Resources 7. Martyrdom (buku) 8. An approach to Understanding Islam 9. A Visage of Prophet Muhammad 10. A Glance of Tomorrow's History 11. Reflections of Humanity 12. A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation 13. Selection and/or Election 14. Norouz, Declaration of Iranian's Livelihood, Eternity 15. Expectations from the Muslim Woman 16. Horr (Battle of Karbala) 17. Abu-Dahr 18. Islamology
19
19. Red Shi'ism vs. Black Shi'ism 20. Jihad and Shahadat 21. Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People 22. A Message to the Enlightened Thinkers 23. Art Awaiting the Saviour 24. Fatemeh is Fatemeh 25. The Philosophy of Supplication 26. Religion versus Religion 27. Man and Islam - lihat bab "Modern Man and His Prisons" 28. Arise and Bear Witness Dan banyak lagi karangan-karangan Ali Syariati yang belum tertera di sini, yang belum bisa penulis ketahui.
C. Pemikiran Ali Syariati 1.
Persoalan Teologi Ali Syariati yang melanjutkan pendidikannya dengan mengambil Doktor Sosiologi di Sorbone Paris dengan pembiayaan dari pemerintah Iran. Di sana dia belajar dengan sejumlah orientalis dan marxis; Massignon, Sartre dan fanon. Kegiatan Syariati
begtu banyak, namun dia masih bisa
menyelesaikan pendidikan Doktoralnya pada tahun 1963. Kemudian dia pulang kembai ke Iran dengan memuali aktifitas mengajar disekolah menengah atas di Khurasan, dan kemudian menjadi dosen setelah itu Syariati mendirikan Pusat Ke-Islaman Progresi Prarevolusi Iran. Syariati merupakan seorang pemikir dan aktivis, pemikirannya yang sangat penting adalah ajakan untuk kembali kepada “Islam yang benar”, sebagaimana banyak yang disuarakan oleh kaum pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Menurut Syariati, Islam selama ini bagi rakyat Iran sudah di tafsirkan secara keliru oleh para ulama konservatif sebagai agama statis adapun alasan
20
menyalahkan ulama konservatif adalah; 1). Tidak melanjutkan proyek reformasi Islam yang dirintis oleh Afghani dan 2) menghamba dalam kepemimpinana politik Syah yang tugasnya memberikn stempel politikkeagamaan yang demi kelanggengan satus quo.16 Atas dasar itulah Syariati lebih mendistingsi antara “Islam yang dipeluk oleh rakyat tertindas” dengan “Islam yang di peluk oleh kaum konservatif”. Artinya kita tidak lah bisa hanya berseru kembali kepada Islam, tetapi harus dijelaskan dulu Islam yang mana kah yang dimaksud. Apakah Islamnya Marwan penguasa atau kah Islam Abu DZar, karena keduanya itu sama-sama Islam tetapi berbeda tujuannya. Salah satunya Islam kekhalifahan, penguasa, istana, sedangkan yang satu lagi adalah Islam rakyat tertindas dan jelata. Ali Syariati sebagai seorang pemikir yang revolutif juga membahas tentang tauhid, adapun tauhid
menurut pandangan Ali Syariati adalah
pandangan dunia sebagai sebuah idologi, perasaan yang dimiliki seseorang berkenaan dengan mazhab pemikiran sebagai sebuah sistem keyakinan. Ali Syariati mengkontrakan Islam atau tauhid ideologi dengan Islam atau tauhid sebagai sebuah ilmu seperti teologi yang dipahami selama ini. Intinya konsep tauhid yang dianut Ali Syariati adalah tauhid integralistik, artinya semua yang ada dalam dunia ini mengarah pada keesaan Tuhan. Sebagaimana dalam kutipan di bawah ini: “Tauhid sebagai pandangan dunia dalam pengertian ini berarti memandang dunia sebagai satu kesatuan, tanpa membedakan dunia dan akhirat, ruh dan jasad...... Syirik merupakan sebuah pandangan dunia yang menganggap alam semesta sebagai himpunan yang tidak terpadu, yang penuh kontradiksi, tauhid merupakan sebuah imperium sedangkan syirik merupakan sistem feodal”17 Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa Ali Syariati menganut paham panteistik, yaitu menyatukan Tuhan dengan alam beserta penyatuan pemahaman dari dimensi yang dianggap kontrdiksi. Tetapi apakah memang 16
Syariuddin Jurdi, op.cit., h. 152 Ali Syariat, On The Sociology of Islam, ed. Hamid Alghar, (Berkely: Mizan Press, 1979), h. 82
17
21
ide panteistik seperti itu yang dituju Ali Syariati dengan tauhid world vieuwnya?. Kalau menurut penulis tidak selamanya paham kesatuan kita polakan dengan panteis. Ali Syariati sengaja menekankan pemahaman tauhid secara sederhana, sebagai sebuah kesatuan dan tidak membahas secara panjang lebar seperti kajian yang dilkukan para filosof, sufi dan teolog. “Dalam pandangan tauhid, manusia hanya takut kepada satu kekuatan, manusia hanya berpaling pada satu kiblat dan mengarahkan keinginan serta harapannya hanya kepada satu sumber yaitu al-Quran.”18 Tauhid berlandaskan pada iman, tetapi bukan berarti taqlid buta yang anti pada logika. Ali Syariati mencemaskan agama yang semurni dan selengkap Islam bisa saja terjerumus ke paham politeisme, jika agama tersebut telah dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo.19 Sebagai antisipasinya keyakinan tauhid itu harus berdasarkan sumber outentik yang dapat dipercaya, karena ia melihat beberapa pandangan dunia yang telah mapan, seperti materialisme, positivisme dan world view keagamaan populer yang didasarkan pada ketahayulan, menggambarkan makhluk khususnya manusia sebagai mainan Tuhan yang harus tunduk pada kehendak mutlak-Nya.20 Karena teologi merupakan kajian yang selalu dikaitkan dengan keyakinan dan pemikiran seseorang. Artinya kedua hal itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan saling mengisi di antara satu sama lainnya. Apabila iman sudah kuat kalau pemikirannya tidak berfungsi, maka akan ada kepincangan antara kehidupan dunia dengan akhiratnya. Teologi adalah ilmu yang membahas tentang masalah keyakinan kepada Allah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan Allah, di antaranya tentang perbuatan Allah, dosa besar dan dosa kecil dan juga qadha dan qadhar. Adapun dalam kajian teologi Pembebasan Ali Syariati ini adalah berbicara tentang persoalan tauhid, karena Ali Syariati adalah seorang 18
Ibid., h. 83 Steven R. Benson, Islam dan Perubahan Sosial Menurut Ali Syariati, Hikmah No. 13, Dzuqaidah 1414-Muharram 1415 H/ April – Juni 1994, h. 96 20 Ibid., 19
22
pemikir pembawa konsep tauhid, bahkan bisa dikatakn sebagai seorang muslim monoteistik yang radikal. Dan tidak puas dengan menjadikan monoteistik sebagai konsep filosofis atau sebuah doktrin teologis yang cuma diperdebatkan. Menurut Ali Syariati tauhid adalah pandangan dunia sebagai sebuah ideologi, perasaan yang dimiliki seseorang berkenaan dengan mazhab pemikiran sebagai sebuah sistem keyakinan. Ali Syariati mengkontraskan Islam atau tauhid ideologi dengan Islam atau tauhid sebagai sebuah ilmu seperti teologi yang dipahami selama ini. Intinya konsep tauhid yang dianut Ali Syariati adalah tauhid integralistik, artinya semua yang ada dalam dunia ini mengarah pada keesaan Tuhan. Sebagaimana dalam kuitpan di bawah ini: “Tauhid sebagai pandangan dunia dalam pengertian ini berarti memandang dunia sebagai satu kesatuan, tanpa membedakan dunia dan akhirat, ruh dan jasad...... Syirik merupakan sebuah pandangan dunia yang menganggap alam semesta sebagai himpunan yang tidak terpadu, yang penuh kontradiksi, tauhid merupakan sebuah imperium sedangkan syirik merupakan sistem feodal”21 Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa Ali Syariati menganut paham panteistik, yaitu menyatukan Tuhan dengan alam beserta penyatuan pemahaman dari dimensi yang dianggap kontrdiksi. Tetapi apakah memang ide panteistik seperti itu yang dituju Ali Syariati dengan tauhid world vieuwnya?. Kalau menurut penulis tidak selamanya paham kesatuan kita polakan dengan panteis. Ali Syariati sengaja menekankan pemahaman tauhid secara sederhana, sebagai sebuah kesatuan dan tidak membahas secara panjang lebar seperti kajian yang dilkukan para filosof, sufi dan teolog.
“Dalam pandangan tauhid, manusia hanya takut kepada satu
kekuatan, manusia hanya berpaling pada satu kiblat ndan mengarahkan keinginan serta harapannya hanya kepada satu sumber yaitu al-Quran.”22
21
Ali Syariat, On The Sociology of Islam, ed. Hamid Alghar, (Berkely: Mizan Press, 1979), h. 82 Ibid., h. 83
22
23
Tauhid berlandaskan pada iman, tetapi bukan berarti taqlid buta yang anti pada logika. Ali Syariati mencemaskan agama yang semurni dan selengkap Islam bisa saja terjerumus ke paham politeisme, jika agama tersebut telah dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan status quo.23 Sebagai antisipasinya keyakinan tauhid itu harus berdasarkan sumber outentik yang dapat dipercaya, karena ia melihat beberapa pandangan dunia yang telah mapan, seperti materialisme, positivisme dan world view
keagamaan
populer
yang
didasarkan
pada
ketahayulan,
menggambarkan makhluk khususnya manusia sebagai mainan Tuhan yang harus tunduk pada kehendak mutlak-Nya.24 Ali Syariati yang melanjutkan pendidikannya dengan mengambil Doktor Sosiologi di Sorbone Paris dengan pembiayaan dari pemerintah Iran. Di sana dia belajar dengan sejumlah orientalis dan Marxis; Massignon, Sartre dan Fanon. Kegiatan Syariati begitu banyak, namun dia masih bisa menyelesaikan pendidikan Doktoralnya pada tahun 1963. Kemudian dia pulang kembai ke Iran dengan memulai aktifitas mengajar disekolah menengah atas di Khurasan, dan kemudian menjadi dosen setelah itu Syariati mendirikan Pusat Ke-Islaman Progresi Pra-Revolusi Iran. Syariati merupakan seorang pemikir dan aktivis, pemikirnnya yang sangat penting adalah ajakan untuk kembali kepada “Islam yang benar”, sebagaimana banyak yang disuarakan oleh kaum pembaharu Islam sperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Menurut Syariati, Islam selama ini bagi rakyat Iran sudah di tafsirkan secara keliru oleh para ulama konservatif sebagai agama statis. adapun alasan menyalahkan ulama konservatif adalah; 1). Tidak melanjutkan proyek reformasi Islam yang dirintis oleh Afghani dan 2) menghamba
dalam
kepemimpinan
politik Syah
yang tugasnya
23 Steven R. Benson, Islam dan Perubahan Sosial Menurut Ali Syariati, Hikmah No. 13, Dzuqaidah 1414-Muharram 1415 H/ April – Juni 1994, h. 96 24 Ibid.,
24
memberikan stempel politik-keagamaan demi kelanggengan satus quo.25 Atas dasar itulah Syariati lebih mendistingsi antara “Islam yang dipeluk oleh rakyat tertindas” dengan “Islam yang di peluk oleh kaum konservatif”. Artinya kita tidak lah bisa hanya berseru kembali kepada Islam, tetapi harus dijelaskan dulu Islam yang mana kah yang dimaksud. Apakah Islamnya Marwan penguasa atau kah Islam Abu Zar, karena keduanya itu sama-sama Islam tetapi berbeda tujuannya. Satunya Islam kekhalifahan, penguasa, istana, sedangkan yang satu lagi adalah Islam rakyat tertindas dan jelata. Syariati merupakan seorang pribadi yang sangat kompleks, elektik, tetapi tetap memiliki emosi keagamaan yang sangat kuat, dan dalam kondisi yang bersamaan Syariati mampu menjadi pribadi yang memadukan sikap dan perilaku orang-orang yang dikaguminya. Dengan kemampuan dan kontroversi dirinya, Syariati muncul dalam tiga model seperti yang disebutkan oleh Ervand Abrahamian dalam bukunya Radical Islam, The IranianMojohedin,26 sebagai berikut: 1, Syariat sebagai sang sosiolog yag tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Syariati memiliki komitmen yang tinggi untuk memahami lahir, tumbuh dan birokrasi dan akhirnya peragian (decay) gerakan-gerakan revolusioner, khususnya agama radikal. 2. Syariati sebagai seorang penganut Syi’ah fanatik yang percaya bahwa Syi’ah refolusioner berbeda dengan seluruh idiologi radikal lain, tidak akan tunduk kepada hukum besi (iron law) tentang peragian birokratik. Syariati percaya bahwa pada tataran perubahan fundamental, seluruh idiologi dan masyarakat menghadapi masalah kebangkitan, peragian dan keruntuhan. Apakah ada jalan keluar dari disintegrasi itu? Menurut Syariati caranya adalah dengan melakukan revitalisasi dan berkesinambungan terhadap idieologi itu sendiri. 3. Syariati sebagai penceramah umum (public speaker) yang bersemangat, artikulatif dan oratoris yang sangat memikat bagi banyak orang, khususnya kaum muda. Dalam kedudukan ini, Syariati banyak 25
Syarifuddin Jurdi, op.cit., h. 152
26
Ervand Abrahamain, Radikal Islam; The Iranian Mojohedin, (London: t .p, 1988), h. 289 - 290
25
menggunakan jargon, simplifikasi, generalisasi dan sikritisme yang tajam terhadap institusi-institusi mapan, dalam hal ini adalah rezim Syah Pahlevi dan religion establishment, yang dikuasai kaum ulama. Syariati juga terkenal dengan gagasannya mengenai kekuatan progressif Islam dengan mengajak para intelegensia untuk membangun kekuatan dan ide-ide Islam progresif. Ide-ide konstruktif harus disebarluaskan oleh intelegensia progresif yang kritis terhadap otoritas keagamaan. Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syariati berbeda dengan pemahaman mainstream saat ini. Islam yang di pahami masa Syariati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma yang mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh tentang persoalan cara efektif menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afin). Kalau di perhatikan Islam yang demikian itu akan terlihat sangat menguntungkan pada pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan yang berbuat tidak adil. Di Barat, kata politik berasal dari bahasa “Yunani” yaitu “polis” (kota) merupakan suatu unit yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah siyasah, yang secara harfiyah berarti “menjinakkan seekor kuda liar” suatu proses yang mengandung makna perjuangan yang sangat kuat dan memunculkan kesempurnaan yang inheren. Islam dalam pandangan Syariati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekedar hubungan antara hamba dengan Sang Khalik (Hablu Min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan. Selanjutnya Syariati, menjelaskan gambaran tentang Islam pembebasan itu adalah:
26
“tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Isam, kita harus menspesifikasikan Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (ibn Affan) sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Salah satunya adalah Islam kekhalifahan, istana dan penguasa. Sedangkan yang lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut tidak cukup syah dengan sekedar berkata bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalifah yang korup juga berkata emikian, Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan.”27 Islam di sebut Syariati sebagai agama pembebasan, karena Islam bukanlah hanya agama yang memperhatikan aspek spiritual dan moral saja, atau hubungan individual dengan sang Khalik saja, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syariati juga mengatakan bahwa masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas, Islam menjadi sarana bagi orangorang yang tercerabut haknya, tersisa, lapar, tertindas dan terintimidasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu. Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis, dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan dan ketidak adilan menuju persamaan tanpa kelas. Syariati bahkan mencetuskan formula baru “saya memberontak maka saya ada” Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein, kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu, sehingga Islam yang demikian adalah Islam syiah awal, yakni Islam Syiah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dan Iman Husain dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Menurut Ali Syariati, selama 7 abad sampai dinasti Savawi, Syi’isme (alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Umayah,
27
Ali Syariati, Islam..., op.cit., h. 2
27
Abbasyiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam sunni versi mereka sendiri. Pada pihak ini, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan. Syariati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggu pihak luar, sebagai manipulasi masa lampau Iran dan arsitek. Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syariati, apa yang terjadi di Iran adalah bahwa, di satu sisi para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir, dan telah mentranformasikannya menjadi agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya kata Syariati, bahwa Islam sejati tetap tidak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah. Bagi Syariati Islam sejati itu bersifat revolusioner dan Syiah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Namun seiring berjalannya waktu, Islam berubah menjadi seperangkat doa-doa dan ritual yang tidak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam hidupnya. Agama yang seperti inilah yang sangat disukai oleh para penguasa untuk menjaga kekuasaannya untuk tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati. Gagasan Syariati tentang Islam revolusioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang pembebasan (teology of liberation) yang banyak di usung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syariati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakitu ingin mendobrak kemampanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan dan berpaling dari kenyataan riil umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama mendobrak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang
28
telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama yang sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat. Seperti yang pernah di nyatakan oleh Leonardo Boff, teologi pembebasan adalah pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari keadaan ntaya suatu praktis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagamaan, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan. Kalau diperhatikan sejak tahun 1971, pemikiran-pemikiran Syariati memang telah muncul dalam corak yang berbeda dengan kebanyak pemikiran konvensional dan konservatif waktu itu. Syariati merupakan seorang pemikir revolusioner, makanya menurut Syariati ide-ide ravolusioner itu harus lahir dari tradisi agama. Artinya agama harus menjadi sentral idiologi politik keagamaan yang difungsionalisasi sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Namun utnk membawa perubahan bagi tertindasnya rakyat dari kolonialisme ekonomi, politik di perlukan dua bentuk revolusi, yaitu; pertama, revolusi nasional yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi jug auntuk merevitalisasi kebudayaan dan identitas nasional. Kedua, revolusi sosial untuk menghapus semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil tanpa kelas.28 Menurut
Syariati,
negara-negara
ke
tiga
termasuk
Iran
harus
menumbuhkan kembali nasionalismenya, memulihkan kembali warisan budaya dan keagamaannya yang belum di jajah oleh Barat. Negara dunia ketiga 28 Azyumardi Azra, Histografi Islam Kontemporer; Wacana, Aktualisasi, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 219
29
dihinggapi oleh penyakit imperialisme internasional, rasisme, penindasan kelas, ketidak adilan dan mabuk dengan budaya Barat. Makanya Syariati sangat mengecam imperialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh besar yang harus di berantas dalam jangka panjang. Namun menurut nya yang sangat mendesak untuk di berantas adalah ; pertama, marxisme vulgar yang menjelma dalam bentuk Stanilisme yang digandrungi banyak intelektual dan yang kedua, Islam konservatif sebagaimana yang dipahami oleh banyak ulama.29 Imperialisme dalam bentuk pemkiran tidak luput dari perhatian Syariati, terutama yang berkaitan dengan Marxisme. Dalam bagian tertentu Syariati menggunakan analis Marxis dala menjelaskan perkembangan masyarakat, perlawanan, sikap kritis dan oposisinya atas kekuatan yang mapan. Syariati memang memberikan apresiasi baik terhadap pendekatan Marxis, tetapi bukan berarti pendekatan ini diterimanya begitu saja, ia mengecam dan mengkritik marxisme yang tumbuh dalam bentuk partai dan komunis. Dengan begitu Syariati terkesan orang yang mengikuti Marxisme yang berbaju Islam, meski ia melihat Marx dlam tiga fase yang terpisah satu sama lain yaitu30: Pertama, Marx muda seorang filsuf ateistis, yang mengembangkan materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, jiwa dan kehidupan di akhirat. Sifat ateistis marx ini dikembangkan ke luar Eropa dalam memerangi gereja reaksioner mereka mengecam seluruh bentuk agama tanpa kualifikasi. Kedua, Marx dewasa, yang terutama merupakan seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Marx dalam hal ini lebih jauh menjelaskan tentang bagaimana hukumhukum “determinisme historis” bukan “determinisme ekonomi”. Ketiga, Marx tua, yang terutama merupakan politisi. Dalam kapasitas ini, Marx dan Marxisme menjelma menjadi partai revolusioner. Marx ini sering membuat prediksi yang pantas dari segi politis, tetapi tidak sesuai dengan metodologi ilmu sosialnya, inilah yang disebut oleh Syariati dengan “Marxisme ilmiah”. Dari penjelasan di atas, kecendrungan dari Syariati adalah pada Marx dewasa, artinya ia menerima sejumlah pemikiran dan aksi Marx ke dua ini, terutama cara pandangnya tentang pembagian masyarakat, alat-alat produksi dan 29
Ibid., h. 220 Ervand Abrahamian, op.cit., h. 221 – 222
30
30
pembentukan masyarakat atas dasar suprastruktur yang bersifat politis-ideologis, di sinilah Syariati memasukkan agama ke dalam suprastruktur ideologis-politis. Islam menurut Syariati adalah suatu dogma yang hadir sebagai jawaban atas perilaku-perilaku penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat abad jahiliyah. Dalam konteks ini Islam hadir sebagai ideologi yang membebaskan dan secara substantif melakukan revolusi yang signifikan dalam sejarah peradaban Islam menjadi suatu kekuatan yang menandai terjadinya perubahan dalam peradaban umat manusia, tidak hanya dlam hal ritual keagamaan, akan tetapi juga dlam hal ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Sistem norma dan nilai dalam Islam menjadi ukuran bagi semua umat manusia dalam membentuk kepribadian, perilaku dan sikap seseorang yang jujur, adil dan berperikemanusiaan. Sebagai ideologi besar Islam memberikan altenatifalternatif solusi cerdas secara ideologis yang berpihak kepada kaum yang lemah dan tertindas. Perjuangan menegakkan nilai-nilai fundamental Islam itu dilakukan Nabi dengan sahabat melalui taktik dan strategi politik yang genius sehingga secara revolutif kondisi masyarkat jahiliyah dapat ditransformasi menjadi masyarakat yang beradab dan religius. Pada masa pra-kenabian, kedudukan perempuan terpuruk dalam sistem patriarkhat yang despotic (aniaya) namun Islam telah merubahnya menjadi berkedudukan yang equality (sejajar) dalam kehidupan pada semua bidang. Islam sebagai agama yang memiliki agenda jangka panjang untuk menghilangkan hegemmoni suku Quraisy yang arogan dan tradisi perbudakan yang terjadi pada masa itu. Nabi Muhammad mengembangkan misi membangun tatanan baru untuk kemanusiaan dan keadilan sosial, Islam sebagai ideologi memiliki agenda revolusioner yaitu: pertama, Nabi Muhammad menekankan kesatuan yaitu menghilangkan sekat-sekat kesukuan. Kedua, Nabi Muhammad pada periodeMekkah menentukan persamaan derajat di antara para umatnya tanpa memandang status sosial datau asal-usul suku.
31
Dengan memotret misi besar Nabi Muhammad tersebut, tampaknya Al Syariati juga menjadikan Islam sebagai ideologi pergerakannya dalam rangka menentang rezim Syah Pahrlevi yang zalim dan tidak berlaku adil terhadap rakyat. Setelah Syariati menyelesaikan pendidikannya di Perancis sejak September 1964, sikap kritisnya bertambah menguat. Namun cara dia mengeritik itu tidak lagi secara langsung, akan tetapi adalah dengan cara membuat soosk bayangan. Artinya Syariati menciptakan figur simbolis kaum tertindas sebagai bentuk perlawanannya terhadap rezim Syah Pahlevi. Di sini di menggunakan tokoh Abu Dzar sebagai tokoh yag tangguh dalam menghadapi kekayaan, kekuasaan dan bahkan otoritas agama untuk menyelamatkan Islam autentik. Syariati merujuk kepada Abu Dzar sebagai sosok yang menginspirasi gerakan intelektualnya, lebih jauh lagi Syariati menemukan Abu Dzar sebagai sosok yang membuat ia yakin bahwa konsep-konsep seperti keadilan sosial, kebebasan dan sosialisme yang samapai ke Iran adalah merupakan warisan Islam. Sehingga dia mengatakan bahwa Abu Dzar adalah leluhur segenap mahab egaliter pasca-Revolusi Perancis.31 Islam merupakan agama yang membimbing kepada kemajuan agama pembebasan dan agama bagi mereka yang tertindas. Dan Islam itu bukanlah idieologi manusia yang terbatas pada masa dan persada tertentu, tetapi merupakan arus yang mengalir sepanjang perjalanan sejarah. Islam yang ditawarkan oleh Syariati tidak hanya sebatas agama ritual dan fikih, tetapi lebih dari itu yaitu yang menjangkau persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Dan tidak juga hanya sekedar dogma yang mengatur bagaiman cara beribadah, akan tetapi lebih menyentuh pada bagaiman cara menegakkan keadilan, strategi melawan kezhaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustadafin). Islam dalam pandangan Syariati adalah Islam yang bersifat revolusioner, itulah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat-Nya. Namun dalam perkembangannya Islam menjadi sebuah dogma yang berisi do’a31 Ali Syariati, And Once Again Abu Dhar, dalam http;//www.iranchamber.com/personalities/ashariat/works/once_again_abu_dhar7.php, tanggal 27 Agustus 2007
32
do’a dan ritual yang tidak menjangkau wilayah kemanusiaan. Dalam hal ini Syariati membangun gagasan revolusi Islamnya dengan mengusung ideologi pembebasan (ideologi of liberation) sebagaimana banyak yang disuarakan di negara-negara Amerika Latin dan Asia32. Revolsi dalam pemikiran Syariati sebenarnya ingin melakukan delegitimasi paradigma umat islam yang bersifat ritus-ritus. Dengan konsep yang demikian Islam terkesan bahwa Islam itu adalah agama yang pasif, dan bahkan Islam itu juga terkesan sebagai seperangkat dogma yang ambigu. Berdasarkan pola pemahaman itulah,
Syariati
berpendapat bahwa Islam merupakan suatu bentuk ajaran yang bersifat revolusioner, makanya ia harus berkembang dan dinamis dalam praktiknya. Islam sebagai suatu idiologi menurut Syariati adalah “suatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk menjawab keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat. Idiologi itu adalah untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan perjuangannya. Sedangkan idiologi di pilih adalah untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental. Dengan demikian maka, akan terdapat dua jenis agaa yaitu; pertama, agama sebagai idiologi, dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai support dalam suatu kelompok. Islam sebagai idiologi akan membawa kepada terbentuknya orde sosial baru yang bersandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam struktur sosial masyarakat. Islam yang demikian membawa pengaruh yang sangat besar terhadap mereka yang sudah lama tertindas oleh ketidak adilan dan diskriminasi yang ada. Makanya di sana Islam berfungsi sebagai kekuatan yang bisa melepaskan manusia dari jeratan sistem sosial dan politik yang ada. Syariati merumuskan idiologi ini untuk membangun kembali kesadaran keagamaan rakyat agar keluar dari penindasan rezim dan Islam Syiah menjadi alat untuk perubahan itu. Sedang islammenurut Syariati adalah agama yang bukan hasil dari sebuah kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahid, bahkan bukan pula Islam sebagai sebuah tradisi umum, tetapi adalah Islam yang 32
S yarifuddin Jurdi, op.cit.,i h. 163
33
dalam kerangka pikir Abu Dzar. Islam datang sebagai upaya untuk mrespon persoalan-persoalan yang muncul daalam masyarakat. Makanya di sini Islam di pahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif dan di posisikan sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial politik, seperti penindasan, diskriminasi, ketidak adilan dan sebagainya. Semangat islam sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk membangun peradaban baru yang progressif, partisipasif tanpa penindasan dan ketidakadilan. Teologi pembebasan adalah produk kerohanian, dan harus diakui dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal. Teologi pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal tersebut telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagamaan yang mapan. Beberapa di antara doktrin itu adalah; 1) gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) penggunaan alat analisis marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) suatu pembacaan baru terhadap teks keagamaan, 5) perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama, 6) kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.33 Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang di usung oleh kalangan revolusioner dilingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadarn rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masingmasing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk
33
Ibid., h. 3
34
memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini. Sebagaimana yang terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan ekspolitasi, mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat yang lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat Islam. Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulim (penindasan). Namun apa yang selama ini di gelisahkan oleh Ali Syariati adalah bahwa, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Begitulah pemikiran Syariati dalam hal agama atau Islam pada khsusnya, yang selalu di kaitkan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan, keadilan dan suatu perubahan. Sumebr-sumber Pembahasan teologi Islam Adapun sumber pembahasan yang digunakan untuk membangun Ilmu Teologi Islam menggunakan beberapa sumber antara lain : 1. Sumber yang ideal. Yang di maksud dengan sumber yang ideal adalah alQuran dan al-Hadits yang di dalamnnya dapat memuat data yang berkaitan dengan objek kajian dalam Ilmu Tauhid. Misalnya, telah dimaklumi dalam ajaran agama, bahwa semua amal sholeh yang dilakukan oleh ketulusan hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila didasari dengan akidah Islam yang benar. Karena penyimpangan dari
35
akidah yang benar berarti penyimpangan dari keimanan yang murni. Dan penyimpangan dari keimanan berarti kekufuran kepada Allah SWT. Sedangkan Allah tidak akan menerima amal baik yang dilakukan oleh orang kafir, berapapun banyaknya amal yang dia kerjakan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, yang artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqoroh : 217) 2. Sumber Historik. Sumber historik adalah perkembangan pemikiran yang berkaitan dengan objek kajian ilmu tauhid, baik yang terdapat dalam kalangan internal umat Islam maupun pemikiran eksternal yang masuk kedalam rumah tangga Islam. Sebab, setelah Rasulullah saw wafat, Islam menjadi tersebar, dan ini memungkinkan umat Islam berkenalan dengan ajaran-ajaran, atau pemikiran-pemikiran dari luar Islam, misalnya dari Persia dan Yunani. Sumber historik akan menentukan fakta, sedangkan fakta diketahui melalui dokumen-dokumen. Metode Pembahasan Studi Teologi Islam Ada dua metode atau cara dalam pembahasan Ilmu Tauhid, yakni: Pertama, Menggunakan dalil naqli. pada dasarnya inti pokok ajaran Al-Quran adalah tauhid, nabi Muhammad saw diutus Allah kepada umat manusia adalah juga untuk mendengarkan ketauhidan tersebut, karena itu ilmu tauhid yang terdapat didalam Al-Quran dipertegas dan diperjelas oleh Rasulullah saw dalam haditsnya. Penegasan Allah dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Allah itu maha Esa antara lain: “Katakanlah “Dia-lah Allah, yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS. AlIkhlas:1, yang artinya. Keesaan Allah SWT tidak hanya pada zat-nya tapi juga esa pada sifat dan af’al (perbuatan)-Nya. Yang dimaksud Esa pada zat adalah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian. Esa pada sifat berarti sifat
36
Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah SWT. Kedua, Menggunakan dalil aqli. Penggunaan metode rasional adalah salah. Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu bahwa iman yang diperoleh secara taklid mudah terkena sikap ragu-ragu dan mudah goyah apabila berhadapan dengan hujjah yang lebih kuat dan lebih mapan. Karena itu ulama sepakat melarang sikap taklid didalam beriman. Orang harus melakukan nalar dan penalaran baik dengan memakai dalil aqli maupun dalil naqli. Didalam AlQuran banyak ditemukan ayat yang mengkritik sikap taqlid ini, antara mengkritik sikap taklid ini, antara lain; “apabila dikatakan kepada mereka, marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rosul-Nya. Mereka menjawab, cukuplah bagi kami apa yang kita dapatkan dari bapak-bapak kami, meskipun bapak-bapak mereka tidakmengetahui apa-apa (tidak punya hujjah yang kuat) dan tidak mendapat petunjuk”. (Q.S. Al-Maidah : 104). Ayat ini mengandung kritikan terhadap sikap yang hanya ikut-ikutan sedangkan nenek moyang yang diikutinya tidak memiliki hujjah yang kuat bagi keyakinannya. Dalam hukum akal dijelaskan, apabila kita menerima suatu keterangan, maka akal kita tentu akan menerima dengan salah suatu pendapat atau keputusan hukum, seperti, (1). Membenarkan dan mempercayainya (wajib aqli). (2). Mengingkari
dan
tidak
mempercayainya
(muhal
atau
mustahil)
(3)Memungkinkan (jaiz). Adapun dalam hal keyakinan, teori keyakinan membagi tipe keyakinan ada tiga, yaitu: (1). Keyakinan itu ada dua, sentral dan periferal, (2). Makin sentral sebuah keyakinan, ia makin dipertahankan untuk tidak berubah, (3). Jika terjadi perubahan pada keyakinan sentral, maka sistem keyakinan yang lainnya akan ikut berubah. Manfaat Mempelajari teologi Islam Teologi Islam Sebagai Disiplin sebuah Ilmu merupakan salah satu dari tiga pondasi Islam yang pemahamannya harus ada pada setiap orang. Dengan
37
mempelajari teologi Islam, kita dapat memperkuat aqidah kita dan mempererat serta menjaga ukhwah Islamiyah dalam ber’itiqod Hubungan Filsafat, Tasawuf dan Teologi dalam Islam Hubungan Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf ketiganya berusaha mencari kebenaran (al-haq) dengan metode yang berbeda satu sama lainnya. Jika tasawuf memperoleh kebenaran sejati melalui mata hati, ilmu kalam ingin mengetahui kebenaran ajaran agama melalui penalaran ratio lalu dirujukkan kepada nash, dan filsafat menghasilkan kebenaran spekulatif tentang segala yang ada. Pada intinya ketiganya mendalami pencarian segala yang bersifat ghaib / rahasia yang dianggap sebagai kebenaran terjauh di mana tidak semua orang dapat menjangkaunya. Ada Beberapa keterkaitan antara Ilmu teologi Islam, filsafat, dan tasawuf dalam objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari objeknya ketiga ilmu itu membahas tentang ketuhanan. Menurut argument filsafat, ilmu kalam dibangun atas dasar logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak bisa dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Kerelatifan logika menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkan. Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berususan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Dan Perbedaan antara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika (aqliyah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis) dan argumentasi naqliyah yang berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadilah) / dialog keagamaan.Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara
38
menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mendalam) dan terikat logika. Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah dzauq, intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari subjek sendiri Pembahasan teologi merupakan pembahasan dalam hal yang komplit dalam pemikiran Islam.karena teologi merupakan kajian yang selalu dikaitkan dengan keyakinan dan pemikiran seseorang. Artinya kedua hal itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan saling mengisi di antara satu sama lainnya. Apabila iman sudah kuat kalau pemikirannya tidak berfungsi, maka akan ada kepincangan antara kehidupan dunia dengan akhiratnya. Teologi adalah ilmu yang membahas tentang masalah keyakinan kepada Allah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan Allah, di antaranya tentang perbuatan Allah, dosa besar dan dosa kecil dan juga qadha dan qadhar. Adapun dalam kajian teologi Pembebasan Ali Syariati ini adalah berbicara tentang persoalan tauhid, karena Ali Syariati adalah seorang pemikir yang membawa konsep tauhid, bahkan bisa dikatakn sebagai seorang muslim monoteistik yang radikal. Dan tidak puas dengan menjadikan monoteistik sebagai konsep filosofis sebuah doktrin teologis yang cuma diperdebatkan.
2. Konsep Ali Syariati tentang Kepemimpinan Syariati begitu kental dengan syi’ah, disebabkan oleh kondisi politik di Iran yang merupakan basis terkuat aliran syi’ah. Syariati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu memahami makna ummah membandingkan istilah nation, qaum, qabilah dan sya’b dengan ummah. Keempat istilah itu ada
39
pengecualian pada istilah qabilah sebab itu sama sekali mengandung arti kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja kelebihan istilah qabilah juga ditemukan pada istilah ummah Dalam istilah ummah ada gerakan yang mengarah kepada tujuan bersama, yang nerupakan landasan ideologis.istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep yaitu; pertama, kebersamaan dalam arah dan tujuan, kedua, gerakan menuju arah dan tujuan tersebut, ketiga, keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Secara kaian filologinya adalah mungkin ada ummah tanpa adanya imamah. Di sini terkesan bahwa ada sift yang rmelindungi dari bahaya, menguasai massa dan membuat ketenangan dan kedamaian. Syariati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis yang selalu
bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang
bahwa tanggung jawab paling utama dan penting perwujudan dan penegakan
dari imamah adalah
asas pemerintahan pada kaidah kemajuan,
perubahan dan transformasi dalam bentknya yang paling cepat, lalu meakukan akselerasi dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. Dengan ungkapan lain Syariati mengatakan
bahwa imamah dalam
mazhab pemikiran syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan rsvolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimnbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal menarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Adapun tugas imam menurut Syariati, tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah. Akan tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dlam semua aspek kemanusiaan yang bermacam ragam.
40
Seorang imam dalam arti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. Walaupun demikian Syariati mengingatkan bahwa imam bukanlah supra-manusia, akan tetapi manusia bisa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super. 3. Pemikiran Ali Syariati Tentang Raunsyanfikr a. Pengertian
Istilah raunsyanfikr sudah di kenal di Iran, sejak abad ke-19, yang secara harfiahnya di artikan sebagai “pemikir yang tercerahkan”.34 Tetapi secara historis istilah ini menunjukkan pada pengertian umum tentang kaum intelektual sekuler yang tumbuh di Iran pada waktu istilah itu mulai di pakai, yaitu kaum terpelajar didikan Barat yang sekaligus mengagumi dan dipengaruhi oleh para filosof Eropa abad ke-18 yang dikenal sebagai abad pencerahan. Pada awalnya pengertian Raunsyanfikr hanya terbatas untuk orangorang tertentu saja, di antaranya adalah kaum intelektual yang berpaham modernis dan berkecendrungan liberal, yang bekerja dan berfikir secara profesional, tetapi terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan politik, sosial maupun kultural. Sehingga dengan sendirinya, kelompok ini berbeda dan membedakan diri dari mereka yang disebut sebagai Mullah atau ahli-ahli ilmu agama.35 Yang dalam lingkungan dunia Islam dikenal dengan sebutan “ulama”. Perbedaan itu tidak asing lagi, bagi Syariati kelompok ini dikenal dengan istilah “kiyai” atau “ulama” dan “cendekiawan” atau “intelegensi” di pihak lain.36
34
Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi MasalahMasalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 554 35 Dalam Konsep Ali Syariati, dikotomi itu dijembatani dan di dalamnya juga terkandung makna “Nabi Sosial” 36 M. Dawam Raharjo, Ali Syariati; Mujtahid-Intelektual, dalam Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat lainnya, (Bandung: Mizan, 1988), h. 7
41
Akan tetapi apakah para mullah atau ayatullah yang aktif dalam revolusi dapat di sejajarkan dengan pemuka agama pendukung kekuasaan.37 Kedua kelompok itu malah mempunyai ciri-ciri yang bertolak belakang, katrena itu menjelang tahun 1978, pengertian raunsyfikr telah berubah atau berkembang, mencakup juga para ulama dan ahli-ahli ilmu agama yang terlibat dalam gerakan revolusi. Untuk mereka ini ada hal-hal yang menjadikan mereka dikenal sebagai alim-i-raunsyfkr.38 Kalau dianalisa secara bahasanya, maka tidak ada contoh yang universal untuk menjadi “yang tercerahkan” karena posisi dan kondisi seseorang tidak bisa di samakan pada posisi dan kondisi yang lain. Contohnya, seseorang yang bisa tercerahkan di daerah Afrika Hitam, tetapi orang itu belum tentu bisa tercerahkan pada negara yang berkomunitas Islam. Seseorang yang mungkin bisa dianggap sebagai orang yang tercerahkan di Perancis atau negara industri Eropa, dan ia adalah seorang yang sederhana dan jujur yang tercerahkan, yang sangat berperan di masyarakatnya, tetapi orang yang sama belum tentu bisa memainkan peran yang sama di India, artinya seseorang itu belum tentu bisa memainkan peran yang sama di tempat yang sama.39 Maksudnya adalah pencerahan itu berkaitan dengan waktu, tempat, lingkungan sosial dan kondisi sejarah. Rausyanfikr adalah kata Persia yang artinya “pemikir yang tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggeris terkadang disebut intellectual atau enlightened thinkers.40 Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan
menemukan
kenyataan,
seorang
raunsyafikr
menemukan
kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya, 37
Ali Syariati menentang atau mengkritik peranan sebagian pemuka agama yang menolak tanggung jawab soaial atau mendustakan sikap-sikap kemasyarakatan, walaupun mereka adalah pemuka-pemuka masyarakatnya. Itulah elit penguasa yang dapat dijumpai dalam masyarakat kuno atau modern, dan kritik Ali Syariati sudah jelas ditujukan kepada elit Iran pra-1978, dan hal itu terjadi pula di lingkungan Syi’ah sendiri. 38 Ibid., h. 14 39 Ali Syariati, Membangun..., op.cit., h. 33 40 Jhon J. Donohue dan John L. Esposito, Islam in Transition; Muslim Perspective, (New York: Oxford University Press, 1892), h. 297
42
raunsyafikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, raunsyafikr seperti para Nabi, berbicara dengan bahasa kaumnya. lmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, raunsyafikr harus melibatkan diri pada ideologinya.41 Berkaitan dengan hal di atas, Jalaludin Rahmat membedakan sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana di artikan sebagai orang yang lulus dari Perguruan Tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya ini banyak, karena setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan adalah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisis sendiri. Di antara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin dan menjadi tukangtukang profesional. Kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana. Mereka juga bukan ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu penalaran dan penelitian. Mereka adalahh kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.42 Memang kata “intelektual” memeiliki banyak arti. Begitu beragamnya definisi intelektual, sehingga Raymond Aron melepaskan istilah itu sama sekali. Tetapi James Mac Gregor Burns, ketika bercerita tentang intellectual leadership sebagai transforming leadership, mengaratikan intellektual seperti Syariati menjelaskan kata rausyanfikr. Menurut Burn, ciri utama intellektual adalah a devotee of ideas, knowledge, values. Seorang intelektual adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang 41
Jalaluddin Rahmat, Ali Syariati; Panggilan untuk Ulil Albab dalam Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, (Bandung: Mizan, 1992), h. 14 - 15 42 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan, 1998), h. 212
43
mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis.43 Dalam definisi ini, orang yang hanya menggarap gagasan-gagasan dan data analitis adalah seorang teoritis, orang yang bekerja hanya dengan gagasan-gagasan normatif adalah seorang moralitas, orang yang menggarap sekaligus menggabungkan keduanya lewat imajinasi yang teratur adalah seorang intelektual” kata Burns. Dengan demikian intelektual itu adalah, orang yang mencoba membentuk lingkungannya dengan gagasan-gagasan analis dan normatifnya. Sedangkan menurut Edward A, Shils, dalam intellectual Enciclopedia of the Social Science, dijelaskan bahwa tugas intelektual adalah “menafsirkn pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan keterampilan masyarakatnya, melancarkan dan membimbing pengalaman astetis dan keagamaan berbagai sektor masyarakat ...”44 Bagi Syariati, tidak semua yang tercerahkan adalah intelektual, dan tidak semua intelektual peraih gelar akademis adalah orang yang tercerahkan. Yang dimaksud “tercerahkan atau rausyanfikr” adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) dimasanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Karena hanya kesadaran diri lah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Perubahan-perubahan itu akhirnya melahirkan jenius-jenius hebat dan menciptakan lompatan-lompatan hebat, yang pada gilirannya menjadi batu loncatan bagi timbulnya peradaban, kebudayaan dan pahlawan-pahlawan yang agung. Mereka mengajarkan pada masyarakat bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarahkan kemana perubahan itu. Mereka
43
Jalaluddin Rahmat, Ali Syariati ..., op.cit., h. 15 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif ..., op.cit., h. 12
44
44
menjalankan misi “menjadi” (becoming) dan merintis jalan dengan memberi jawaban kepada pertanyaan “akan menjadi apakah kita?”45 Peranan yang dimainkan rausyanfikr berbeda dengan peranan filosof. Seorang filosof Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe kesadaran dan keyakinan, karena Aristoteles bukanlah seorang rausyanfikr sebab dia tidak memprakarsai gerakan sosial atau revolusi satupun dalam masyarakatnya. Di samping itu juga Aristoteles tidak pernah membangkitkan kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta masyarakat mereka. Plato sebagai seorang filosof juga tidak berbeda dengan Aristoteles, karena Plato juga tidak pernah mempengaruhi persoalan-persoalan masyarakatnya secara menentukan, meskipun memang berhasil membangun suatu madzhab berfikir. Problemnya adalah seorang ilmuwan dan dokter dengan pengetahuan yang cukup banyak, tetapi ilmunya tidak berpengaruh sama sekali pada nasib zaman dan masyarakatnya. Andaikata bangsa Yunani mempunyai seribu orang seperti mereka, maka kehidupan bangsa Yunani akan sama saja seperti sebelumnya, malah mungkin lebih buruk, karena intelektual-intelektual seperti itu merupakan konsumen-konsumen mulus yang hidup menggantungkan diri pada kekuatan para petani. Yang dibutuhkan Yunani bukanlah filosof atau ilmuwan, tetapi intelektual aktif untuk memperbaiki dan mengubah nasib para budak yang malang, walaupun intelektual tersebut mungkin dari kalangan orang biasa atau para hamba. Terbelenggu dalam pemikiran tentang misteri penciptaan sebagai misteri utamanya dan esensinya, sang filosof tidak dapat melibatkan dirinya untuk memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan.46 Menurut Ali Syariati, para Nabi datang bukan sekedar untuk mengajarkan dzikir dan do’a. Melainkam mereka datang membawa suatu ideologi pembebasan. Artinya para Nabi adalah orang-orang yang lahir di tengah-tengah massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang 45
Ekky malakky, op.cit., h. 29 - 30 Ali Syariati, op.cit., h. 223 - 224
46
45
sanggup mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan dan pahlawan.47 Nabi Ibrahim datang untuk membebaskan umat manusia dari penyembahan terhadap berhala dan dari kekejaman raja Namrud. Nabi Musa juga datang untuk membebaskan kaumnya dari cengkraman raja Fir’aun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Demikian pula keadaannya dengan Nabi Muhammad SAW, datang untuk membebaskan umatnya dari kebudayaan Jahiliyyah. Oleh sebab itu, para Nabi harus dilihat secara terpisah dengan filosof, ilmuwan, artis dan manusia kebanyakan. Di dalam masyarakat Islam, seorang intelektual bukan saja seorang yang memahami sejarah bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang, melainkan juga memahami sejarah Islam sebagai seorang yang Islamologis. Untuk pengertian ini al-Quran sebenarnya mempunyai istilah khusus tentang rausyanfikr, yaitu ulul albab, dalam al-Qur’an dan terjemahannya terbitan Departemen Agama Republik Indonesia mengartikan ulul albab sebagai “orang-orang yang berakal, orangorang yang mempunyai pikiran”, terjemahan yang tidak terlalu tepat, sedangkan secara istilah bahsa inggerisnya men of understanding, men of wisdom. Untuk memahami siapa yang dimaksud dengan ulul albab, bisa dilihat pada surat Ali Imran ayat 191 yang berbunyi:
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan Kami tiadalah Engkau
47
Jalaluddin Rahmat, Ali Syariati ..., op.cit., h. 13
46
menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.” ( Q.S. Ali Imran: 191) Dari keterangan ayat tersebut di atas, dapat diketahui ciri-ciri seorang ulul albab itu adalah; a) berdzikir atau mengingat Tuhan dalam segala situasi dan kondisi, b) memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya, yang pada saatnya memberi manfaat ganda, yaitu memahami tujuan hidup dan kebesaran Tuhan serta memperoleh manfaat dari rahasia alam raya untuk kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi, dan c) berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata, khususnya dalam kaitan hasi-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, peran ulul albab itu tidak hanya sebatas perumusan dan pengarahan tujuan-tujuan, tetapi adalah sekaligus harus memberikan contoh pelaksanaan serta sosialisasinya di tengah masyarakat.48 Sedangkan Jalaluddin Rahmat menyebutkan lima tanda-tanda atau ciriciri seorang ulul albab yaitu: a. Bersungguh-sungguh mencari ilmu b. Mau mempertahankan keyakinannya c. Kritis dalam mendengarkan pembicaraan d. Tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Allah SWT, dan e. Bersedia
menyampaikan
ilmunya
kepada
orang
lain
untukmemperbaiki masyarakatnya, bersedia memberikan peringatan kepada masyarakat kalau terjadi ketimpangan, dan mau diprotes kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di laboratorium, dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku perpustakaan, dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan ditengah-tengah masyarakat.49 Dengan demikian seorang ulul albab tidak jauh berbeda dengan rausyanfikr, apabila diperhatikan tanda-tanda ulul albab dengan 48
M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an, (bandung: Mizan, 2004), h. 389 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif ..., op.cit., h. 214
49
47
rausyanfikr itu sama, dimana sebagaiman telah disebutkan oleh Ali Syariati yaitu orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition)
di
masanya,
serta
setting
kesejarahan
dan
kemasyarakatannya yang membrasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tanggung jawabnya yang utama adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Kaena kesadaran diri lah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. 2. Faktor Munculnya Rausyanfikr Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan awal, bahwa raunsyafikr dikenal pada dekade belahan kedua abad ke-19 di Iran, dimana istilah ini adalah untuk menunjukkan pada kaum intelektual sekuler atau kaum intelektual yang berpaham modernis, berkecenderungan liberal, yang bekerja dan berfikir professional bahkan terpanggil hatinya untuk melakukan perubahanoperubahan sosial, sampai istilah ini berkembang lebih luas. Faktor munculnya rausyanfikr ini dipicu oleh adanya “gap“ atau kesenjangan antara kaum terpelajar dengan rakyat jelata, kesenjangan kaum intelektual denga Mullah atau Ayatullah, kesenjangan antara kutub teori dengan kutub praktek, jauhnya rakyat dar budayanya sendiri akibat pengaruh ide-idee Barat yang hegemonis dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi munculnya rausyanfikr. Tragedi yang paling menyedihkan, yang menimpa masyarakat tradisional pada umumnya dan masyarakat Islam pada khususnya, disebabkan oleh karena tidak adanya komunikasi dan besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelasa dengan golongan terpelajar. Sedangkan di negara-negara industri Barat, rakyat jelata dan kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih bik dan mempunyai pandangan yang relatif serupa. Di Eropa, seorang profesor unversitas bisa dengan mudah berkomunikasi dengan rakyat jelata yang tidak
48
terpelajar. juga aprofesir itu tidak memandang dirinya mempunyai status yang lebih tinggi atau rakyat memperlakukannya sebagai tokoh yang tak tersentuh, terbungkus dalam kertas kaca. Bahkan dalam sejarah awal masyarakat-masyarakat Islam, kesenjangan besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan rakyat jelata tidak ada para cerdik pandai tradisional muslim, kaum ulama termasuk ahli hukum (fuqaha), ahli teologi (mutakallimin), ahli tafsir al-Quran (mufassirin), para filosof dan para sastrawan (‘daba) mempunyai ikatan erat dengan masyarakat umum melalui agama. Meskipun mengajar dan belajar di dalam seminar-seminar (hazwah) yang tampaknya terpisah, mereka berhasil menghindari kerenggangan hubungan dengan rakyat. Hubungan semacam itu antara ulama dan rakyat bahkan masih ada sekarang. Sebagaian besar rakyat jelata yang tidak terpelajardapat duduk berdampingan dengan ulama, yng telah mencapai status kesarjanaan menonjol, dan membahas masalah-masalah mereka. Mereka merasa cukup santai bersama sang ulama untuk membicarakan kebutuhan-kebutuhan, keluhan-keluhan atau persoalan keluarga. Namun dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern, kaum muda di didik dan dilatih di dalam benteng-benteng yang terlindung dan tidak tertembus. Begitu mereka masuk kembali ke lingkungan masyarakat, mereka ditempatkan pada kedudukan-kedudukan social yang sama sekali terpisah dari rakyat jelata. Maka kaum intelektual itu hidup dan bergerak dalam arah yang sama dengan rakyat, tetapi dalam suatu sangkar emas lingkungan ekslusif. Ide-ide dan nilai-nilai cultural dan intelektual Barat telah membanjiri alam pikiran mereka dan karena itu mempengaruhi cara berpikir mereka. Dari dunia
Barat
masalah-masalah
ilmiah,
penilaian-penilain
yang
telah
diformulasikan, aturan-aturan dan metode-metode yang sudah di standrisasi, berbagai kritik dan konsep-konsep serta gagasan-gagasan yang telah mapan, semuanya di bungkus rapi dan diberi cap, persis seperti makanan kaleng yang diawetkan, kemudian di kirim kepada kaum intelektual Timur yang berorientasi ke Barat.
49
Di sini mereka baca berbagai cap tersebut, kemudian mereka buka isinya dan mereka penuhi pikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran yang diimport, tanpa tergelitik sedikitpun untuk menanyakan relevansinya terhadap masyarakat, maupun terhadap cita-cita individual mereka sendiri dan tanpa kehati-hatian dalam membaca fikiran-fikiran Barat itu.50 Menurut Ali Syariati cara kita meniru yang paling baik adalah menyelidiki jalan yang telah di tempuh oleh Barat yang telah menginginkan Barat sampai pada tahap peradaban modernnya sekarang dan kita harus menempuh jalan yang sama secara sadar dan hati-hati.
3. Tugas dan Tanggung Jawab Rausyanfikr Rausyanfikr sebagai seorang yang tercerahkan atau nabi sosial memiliki pesan dan tanggung jawab yang besar. Sebagai Nabi terakhir Muhammad SAW, orang yang tercerahkan yang melanjutkan misi kenabian. Sebagaimana di kemukakan oleh Chandell, bahwa, “pencerahan adalah suatu bentuk kenabian”. Setelah Nabi Muhammad saw melanjutkan misi kenabian ini adalah pribadi yang sadar, yang di utus untuk menyampaikan misi ini di tengah-tengah masyarakat untuk mencapai suatu tujuan, kebebasan dan kesempurnaan manusiawi, dan membantu mereka untuk menyelamatkan diri sendiri dari kebodohan, kemusyrikan dan penindasan. Bersikap sosial, berada di tengah masyarakat dan merasa bertanggung jawab atas nasib masyarakat yang diperbudak dan ditindas adalah karakteristik hakiki sifat tercerahkan. Orang yang tercerahkan adalah seorang nabi yang tidak menerima wahyu, tetapi mengemban tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, meskipun bukan nabi, orang-orang yang tercerhkan harus memainkan peranan sebagai nabi bagi masyarakatnya. Ia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi telinga rakyat yang tuli dan
50
Ali syariati, Tugas...., op.cit., h. 100
50
tersumbat, menggelorakan suatu keyakinan baru di dalam hati mereka yang mandek. Orang-orang yang tercerahkan seperti nilai-nilai di masa lampau, berbeda dengan filosof, sastrawan, ilmuwan, mistiskus dan seniman-seniman yang hidup bersama orang-orang yang mempunyai minat yang sama, terpencil jauh dari masyarakat umum dan berada pada lingkaran masyarakat mereka sendiri, di gunung-gunung, biara, kuil, universitas, sekolah, perpustakaan dan rumah-rumah pribadi mereka. Yang terakhir ini dapat melahirkan tugas mereka sendiri, tanpa mengetahui sesuatupun tentang nasib masyarakat
atau
kesengsaraan-kesengsaraan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, dan meraih kedudukan mulia sebagai filosof, pendeta yang saleh, mistikus pemuja Tuhan atau jenius dalam bidang kesenian. Sebaliknya, segera setelah seorang nabi menerima tugas, ia melangkah langsung menuju jantung masyarakatnya untuk mencari rakyat. Wahyu pertama misalnya memerintahkan Muhammad untuk keluar dari pengungsian individualnya, meninggalkan kehidupan pribadi, keluarga dan kelompoknya dan berdiri di tengah masyarakat memberi mereka harapan, peringatan, menyerang lambang-lambang kebodohan, kebohongan, ketahyulan dan menghancurkan Tuhan-tuhan palsu yang telah diciptakan oleh masyarakatnya sendiri.51 Menjadi satu dengan masyarakat, bangkit dari kalangan mereka dan bersama-sama dengan mereka itulah salah satu makna dari kata sifat “ummi”.52 Menjadi satu dengan masyarakat merupakan ciri khas nabi dan orang yang tercerahkan , yang menjadi pewaris nabi. Dengan demikian mereka tidak boleh hidup terpencil, tersembunyi dari rakyat dan sebagaimana dikatakan oleh orangorang Eropa, berada dalam “menara gading” atau seperti dinyatakan al-Quran 51
Ali Syariati, Membangun...., op.cit., h. 86 Ummi adalah tururnan dari kata umat, yang diturunkan dari kata “umm” berarti jalan, dan orang yang tidak terpelajar, filosof, penyair dan sebagainya yang merupakan orang-orang terbaik dari kalangannya, dan menjadi pelindung tradisi-tradisi lama. Seorang nabi adalah ummi yang berasal dari rakyat jelata, orang yang sederhana dan tak terpelajar. Banyak penafsir mengatakan “ummi” sebagai bta huruf padahal kebjutahurufan bukan merupakan suatu sifat yang menjadi sumber kelestarian. Tidak berarti kemudian bahwa Nabi Muhammd pandai baca tulis, tidak pula ia buta huruf, keduanya tidak sama. 52
51
“terbungkus dalam selimut” mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Maka, seorang yang tercerahkan harus turun dari “menara gading” dan bergabung dengan rakyat, sebab di katakan oleh Chandell, berbicara tentang rakyat tanpa adanya mereka sama saja dengan kebohongan. Orang-orang yang berbicara tentang rakyat, masyarakat, kolonialisme, dunia ke tiga dan sebagainya. Sementara mereka duduk di restoran mewah di Teheran Utara atau di tempat-temat lainnya, boleh menyebut dirinya ahli sosiologi, politisi, ilmuwan, penulis, filosof dan sebagainya, tetapi mereka bukan individu-individu tercerahkan. Apa yang dilakukan oleh Plato, yaitu menutup pintu akademisnya untuk rakyat, itu hal yang biasa. Apalagi sampai menyatakan bahwa “barang siapa yang
tidak mengetahui tentang geometri dilarang memasuki taman ini”,
berbincang-bincang dengan beberapa ilmuwan jenius yang memahami geometri dan memikirkan hanya tentang Republik Utopia, puisi, kebenaran, kepalsuan, moral dan keadilan. Maka sebaliknya Muhammad tidak boleh berbuat begitu, ia menjalani awal kehidupannya sendirian di Padang Pasir sebagai gembala, di rumah Khadijah (isterinya) atau di Goa Hira’ untuk bersemedi. Tetapi segera setelah ditunjuk sebagai nabi, dari ketinggian gunung yang sepi dan lengang, cepat-cepat ia turun dan menuju jantung kota Mekkah. Ia menyampaikan pesannya di bukit Shafa, di hadapan Dar al-Nadwah yang merupakan tempat pertemuan (majelis) para bangsawan dan menentang keras Tuhan-Tuhan palsu sembahan masyarakatnya. Muhammad meninggalkan batasan-batasan rumahnya dan tinggal di mesjid dan membuka pintu kamarnya di mesjid yang menjadi rumah rakyat. Itu berarti bahwa, ia kini telah menjadi utusan atau nabi yang terpercya
untuk
menyampaikan
pesan,ia
menyibakkan
selimut
yang
membungkus dirinya, sebagaimana nabi-nabi sebelumnya. Ali Syariati menekankan pentingnya memahami masyarakat, keyakinan dan kepercayaan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka, sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan berbagai tipe sosialnya, maka setelah jelas semua ini, tanggung jawab paling besar dari orang-orang
52
yang tercerahkan atau rausyanfikr adalah menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya, lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertindas, mengenai alasanalasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Dengan berpijak pada sumber-suumber, tanggung jawab, keluhankeluhan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahanpemecahan rasional yang akan memungkinkan masyarakatnya membebaskan diri mereka dari “status quo”. Berdasrkan pemanfaatan yang tepat atas sumbersumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosa yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan ekternal. Akhirnya orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman kelompok rekan-rekan yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.53 Orang-orang yang tercerahkan cukup tanggap di abad ini telah menyadari betapa kaum intelektual yang kebarat-baratan telah demikian tergantung pada Barat dan kebudayaannya. Apa yang mereka pinjam dan impor dari Barat sering kali tidak relevan dengan maksud-maksud kita dan masalah kita. Timur menderita kelaparan, Barat menderita kekenyangan. Seseorang yang kata-katanya bernada kekenyangan tidak akan bermakna bagi seseorang yang sedang mati kelaparan. Pernyataan-pernyataan dari Barat adalah tepat dan bermakna bagi orang Barat. Hanya di tanah asal usulnya kata-kata itu dapat memetik hasil yang banyak, tetapi tidak di tanah asing. Jika di tanam di tanah Timur, maka rasa aslinya keharuman dan kaitannya menjadi hilang.54 Dalam pada itu kondisi dan watak masyarakat kita sekarang bukanlah seperti masyarakat yang terdapat pada abad ke-19 di Eropa Barat. Bila kita buat perbandingan antara dan masyarakat tersebut. Kita akan menemukan bahwa masyarakat kita sesungguhnya mirip dengan masyarakat Eropa abad ke-13, 53
Ibid., h. 42. Lihat juga Ali Syariati, Tugas ..., op.cit., h. 243 - 246 Ibid.,i h. 147
54
53
namun kaum intelektual kita masih terus menyuguhkan pendapat-pendapat abad ke-19 kepada manusia abad ke-13, makanya mereka tidak mendapatkan para pendengar yang tidak paham dan bahkan mereka menjadi tidak begitu efektif dan mandul. Sementara intelektual dari masyarakat ini hidup pada suatu abad yang mirip dengan abad ke-13 di Eropa, ia menerima pendapat-pendapat, pemikiran dan gagsan dari kaum intelektual Eropa dari dua abad terakhir. Tidak aneh jika kekurangan pendengar, karena ia telah memisahkan diri dari waktu yang tepat.55 Dengan demikian
sangat penting bagi intelektual untuk
mengetahui secara riil yang menjadi kebutuhan dan kondisi sosial suatu masyarakat. Seperti yang terjadi pada orang-orang yang tercerahkan pada suatu masyarkat yang terjajah terutama brtanggung jawab untuk menciptakan kesadaran kolektif guna melawan kolonialis, sehingga bangsanya dapat mengambil sikap tegas melawan kekuatan-kekuatan kolonialis. Jenis kesadaran seperti ini harus diciptakan oleh orang-orang yang tercerahkan di dalam pikiran massa. Dalam agama, sejarah, seni dan sastra, prosa dan puisi orang-orang yang tercerahkan tersebut harus merefleksikan dan mendramatisasikan jenis kesadaran tersebut. Rausyanfikr yang hidup dengan pandangan hidup tauhid juga memiliki peran dan tanggung jawab untuk terus-menerus mempelajari kitab suci dalam rangka mengamalkan dan menjabarkan nilai-nilainya yang bersifat umum, agar dapat ditarik darinya petunjuk-petunjuk yang dapat disumbangkan atau di ajarkan pada masyarakat, bangasa dan negara, yang selalu berkembang, berubah dan meningkat kebutuhan-kebutuhannya. Merekaa juga dituntut untuk terus mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini, baik pada diri manusia secara perorangan
maupun
keompok,
serta
mengamati
fenomena
alam,
ini
mengharuskan mereka untuk mampu menangkap dan selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan alam dan sosial. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa peran mereka tidak hanya terbatas pada perumusan dan pengarahan tujuan55
Ibid., h. 234
54
tujuan, tetapi sekaligus harus mampu memberikan contoh pelaksanaan serta sosialisasinya.56
4. Gerakan Sosial Politik dan Sosial Keagamaan Apabila diperhatikan, ide dan pemikiran Ali Syariati selalu berorientasi atau beraroma pada revolusi, pergerakan menentang tatanan sosial politik yang tidak adil dan menindas. Hampir semua pemikirannya tidak luput dari pergerakan, seperti bagaimana Ali Syariati memaknai ritual ibadah haji, sejarah, agama dan manusia. Semua ini mengandung unsur pergerakan dan pemebrontakan. Demikian pula tentang rausyanfikr, seorang rausyanfikr bagi Ali Syariati, tidak cukup hanya berpangku tangan, duduk manis di kantor, laboratorium atau tempat-tempat mewah lainnya tanpa mau turun langsung ke tengah-tengah masyarakat, menyatu dengan masyarakat untuk mengetahui apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan faktor-faktor apa yang menyebabkan kebodohan, kemunduran dan kemudian dengan analisisnya yang tajam mencarikan solusi demi perbaikan dan kemajuan masyarakatnya. Ali Syariati tidak hanya sekedar pandai mengkonsep saja, namun Ali Syariati menjadikan dirinya sebagai ikon utama atau terlibat langsung di dalamnya. Pandangan atau pemikiran-pemikiran Ali Syariati sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ide besarnya yaitu, untuk menjadikan Islam sebagai ideologi revolusioner yang bisa dipraktekkan dan membebaskan. Hal ini bisa dipahami bahwa, Ali Syariati hidup dalam suasana gejolak revolusi, Iran di bawah rezim Syah yang pemerintahannya sentralistik, diktator, tiranik dan menindas yang sangat menyengsarakan rakyat, sehingga wajar apabila pemikiran-pemikiran Ali Syariati bersifat revolusioner dan beraroma perjuangan, kemerdekaan dan pembebasan dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Ali Syariati bersama dengan Mustafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan Gerakan Pembebasan Iran. Ia juga turut serta dalam Fron Nasional dan juga ikut dalam gerakan al-Jazair. Ini sebagai bukti, kalau Ali Syariati secara 56
M. Quraisyihab, Membumikan..., op.cit., h. 390
55
langsung ikut aktif bergerak dalam kegiatan-kegiatan politik menentang rezim Syah. Secara historis, ketika demonstrasi besar-besaran merebak di Iran antara tahun 1978 – 1979, pada saat revolusi Iran hampir mencapai klimaksnya. Ada dua foto yang mendominasi jalan-jalan di Teheran, yaitu foto Imam Khomeini dan Ali Syariati. Sebagaiman telah banyak di akui oleh ahli masalah Iran, bahwa Ali Syariati di samping Khomeini merupakan figur terdepan dalam revolusi Islam Iran. Kendati Ali Syariati sudah meninggal dunia selama dua tahun sebelum kemenangan kaum revolusioner, ia sering disebut-sebut sebagai ideologi revolusi Islam di Iran. Ini antara lain, karena pemikiran-pemikiran Ali Syariati dipandang mempunyai pengaruh yang sangat besar dikalangan rakyat Iran, terutama kaum mudanya, yang tampil sebagai barisan terdepan dalam gerakan anti rezim Syah.57 Di samping pergerakan Ali Syariati yang bersifat sosial politik, juga bersifat sosial keaqgamaan. Di mana Ali Syariati mengkritik tajam terhadap kaum ulama tradisional yang menjadikan agama mandul, tidak peduli dengan problem yang dihadapi umat dan lebih melanggengkan “status quo”. Ali Syariati menyatakan bahwa kemunduran dalam masyarakat Islam tidak hanya disebabkan oleh imperialisme Barat, tetapi atjuga oleh kemapanan agama yang menjerumuskan ideologi revolusioner yang dinamis, yaitu Syiah yang asli menjadi agama kemapanan. Seperti banyak pembaharu Islam kontemporer, Syariati juga menyalahan ulama atas banyak penyakit yang muncul dalam masyarakat Islam. Di tangan kemapanan agama Islam Syiah menjadi “skolastik”, terlembagakan seara historia dimanfaatkan oleh penguasa Iran, sehingga memudahkan pesan sosial keagamaan yang revolusioner dan dinamis pada tahun-tahun awalnya. Islam tradisional dibawah para ulama telah
57
M. Ria Sihbudi, op.cit., h. 105
56
menjadi tenggelam di masa lalu. Islam telah berhenti sebagai kekuatan sosial, yang memperhatikan realitas masyarakat yang berubah.58 Mazhab Syiah yang asli sebenarnya merupakan gerakan Islam intelektual yang progressif dan juga merupakan kekuatan sosial yang militan, dan sebagai mazhab Islam yang paling revolusioner. Dan Ali Syariati telah berhasil mengubah agama orang yang beriman dan patuh menjadi suatu ideologi politik revolusioner yang tangguh. Namun dikalangan umat Syiah sendiri, Imamiyah hampir tidak dikenal istilah pemisahan agama dan politik, baik dalam konseptual maupun politik praktis. Setiap bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan “ritual politik”. Syiah memang lahir karena faktor politis. Dalam pengertian lain, kekuasaan yaitu mengangkat masalah siapa yang berhak menggantikan nabi sebagai pemimpin umat Islam. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan tersebut, maka bagi kaum Syiah Imamiah merupakan keyakinan yang paling penting setelah keyakinan, akan wahyu kenabian dan kebangkitan di hari akhir. Mereka meyakini, bahwa imamah bukan sekedar berarti kepemimpinan masyarakat atau kepemimpinan politik, melainkan juga berarti sebagai pemimpin religius.59 58 A. Rahman Zainuddin, kk, Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, (Bandung: Mizan, 2000), h. 68 59 Ibid., h. 69
57
58
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian library research yaitu mengadakan study kepustakaan
melalui
penela’ahan,
penelitian,
menganalisa
serta
mengkomperatifkan buku-buku, makalah, majalah dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ali Syariati tentang teologi. Untuk sampai ke persoalan pokok, data dikumpulkan dengan melakukan penelitian dan analisa isi (content analysis) secara kritis. Penulis sangat interest dengan masalah ini, karena Ali Syariati sangat mempunyai pola pemikiran yang sangat kompleks dalam teologi pembebasan. Dan pemahaman dalam teologi pembebasan Ali Syariati yang bisa direlevansikan dengan masa sekarang. Karena teologi pembebasan Ali Syariati sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, yang mencakup persoalan sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan.
B. Sumber Data Data primer yang penulis gunakan adalah karya-karya dari Ali Syariati itu sendiri yang membahas tentang teologi pembebasan, yang dikaitkan dengan masalah tauhid, Islam, manusia dan determinan-determinan yang menjadi penghalang manusia dalam berkembang. Sedangkan data sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku, karya-karya atau artikel-artikel dari pengarang lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ali Syariati khususnya yang berkaitan dengan teologi pembebasan, baik menjadikannya sebagai topik kajian utama maupun yang mengkajinya secara sepintas. Data sekunder penulis ambil dari referensi-referensi yang berkaitan dengan teologi pembebasan Ali Syariati, dan yang berkaitan dengan masa sekarang. Karena banyaknya persoalan-persoalan yang muncul pada masa sekarang.
58
C. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian bersifat analitik-kualitatif dengan fariabel utamanya adalah pemikiran Ali Syariati. Pendekatan yang dipakai adalah deskriptif-sosiologis dan analitik-fenomenologis. Pendekatan deskriptif-sosiologis digunakan untuk melihat pemikiran Ali Syariati yang dipengaruhi oleh setting sosial dan wacana intelektual yang mendukungnya. Sedangkan pendekatan analitis-fenomenologis digunakan untuk memahami persepsinya berdasarkan apa yang dirasakannya dan yang dipahaminya sebagai tokoh yang sedang diteliti. Dengan menggunakan metode holistika dan analisis kritis. a. Metode Holistik1 yaitu digunakan untuk melihat sosok Ali Syariati sebagai Ali Syariati itu sendiri, yang bersifat temporal sesuai dengan tematik zamannya. Artinya Ali Syariati sebagai subjek sekaligus objek penelitian dilihat atau ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya. Hal ini untuk memahami seluruh kenyataan yang berhubungan dengan Ali Syariati. Dengan kata lain menghidupkan pemikiran Ali Syariati yang sesuai dengan hubungan aksi dan reaksi pada masanya, sehingga Ali Syariati tidak dilihat sebagai yang melulu “orisinal”.2 Penulis menggunakan metoda ini karena penelitian ini bersifat tokoh, jadi untuk melihat bagaimana sosok tokoh yang penulis jadikan sebagi topik utama dalam penelitian ini. b. Analisis kritis, objek kajiannya adalah gagasan atau ide Ali Syariati yang terdapat pada karya- karyanya. Dengan metode ini dilakukan
1
Holistika berasal dari holistik yang artinya sebagai ciri pandangannya yang menganggap bahwa keseluruhan sebagai suatu yang lebih penting pada satu bagian organisme. Maksudnya disini adalah melihat sosok Ali Syariati itru sendiri. 2 Yang dimaksud dengan tidak melulu orisinal adalah bagaimanapun Ali Syariati bukanlah merupakan sosok yang terisolasi dari lingkungannya, melainkan ia mempunyai hubungan interaksi dengan seluruh kenyataan. Artinya manusia baru akan mencapai identitas diri jika berada dalam korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. Maka manusia dalam hal ini menurut Ali Syarianti baru dapat dimengerti dengan melihat dan memahami seluruh kenyataan yang berhubungan dengan dirinya sendiri atau Ali Syarianti dengan lingkungannya. Lihat Anton Bakkerdan Achmad Charris zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Cet. Ke- 10, h. 46
59
pendeskripsian, pembahasan dan pengkritikan. Langkah-langkah yang ditempuhnya adalah; 1. Pendeskripsian gagasan inti (pemikiran tentang teologi pembebasan Ali Syariati) sebagai objek penelitian. 2. Membahas gagasan teologi pembebasan Ali Syariati yang pada hakekatnya memberikan
penafsiran,
peneliti
terhadap
gagasan
yang
telah
dideskripsikan. 3. Melakukan kritikan terhadap gagasan teologi pembebasan Ali Syariati, dengan menyimpulkan kelebihan dan kekurangan gagasan teologi pembebasan Ali Syariati. 4. Melakukan studi analitik terhadap serangkaian gagasan teologi pembebasan Ali Syariati dalam bentuk perbandingan, menghubungkan dan mengembangkan rasional dan, 5. Menyimpulkan hasil penelitian3 kemudian penulis juga menggunakan metode analisis isi yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang objektif, sistematis dan relevan secara sosiologis.4 Tujuan penelitian analisis kritis adalah mengkaji gagasan primer mengenai ruang lingkup permasalahan yang diperkaya oleh gagasan sekunder yang relevan. Artinya mengkaji gaagasan teologi pembebasan Ali Syariati dengan ruang lingkup teologi yang diperkaya oleh teologi pembebasan dari tokoh-tokoh yang lainnya. Adapun fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan, membahas dan mengkritik tentang teologi pembebasan Ali Syariati, yang selanjutnya dikonfrontasikan dengan gagasan teologi pembebasan yang lainnya dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan dan pengembangan metode. Gabungan dari dua metode ini akan menghasilkan formulasi yang ideal antara Ali Syariati sebagai tokoh yang “kondisional” dengan konteks pemikirannya. Sehingga secara objektif dapat ditelusuri makna- makna pernyataan tokoh yang tertuang dalam karya- karyanya.
3
Jujuns S. Suria Sumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan, Disampaikan dalam simposium Metodologi Penelitian Filsafat IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta : 15 Juli 1992, (tidaak diterbitkan), h. 6 4 Imam Suprayoga & Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial, Agama, ( Bandung : Rosdakarya, 2001), Cet. I, h. 71
60
Sedangkan untuk menganalisa pemikiran teologi Ali Syariatidengan pemikirannya
teologi
pembebasannya,
penulis
menggunakan
metode
hermeneutik.5 Mazhab berpandangan bahwa teks yang ditulis oleh pengarang merupakan ekspresi dan eksposisi eksternal-internal dari pikiran pengarangnya, serta bdersifat temporal sesuai dengan fenomena sosial waktu itu. Dalam memahami teks penulis berupaya untuk menghidupkan kembali ide-ide dan perasaan pengarang dengan menelusuri nilai kontektualitasnya.
5
Aliran Hermeneutik muncul pada abad ke-19. Secara etimologi hermeneutik berasal dari kata hermeneumi dan hermeneia, sedangkan secara terminologi, kata hermeneutik diartikan dengan upaya penafsiran atau interoretasi terhadap pemikiran seseorang melalui karya-karyanya (naskah tulis) sesuai dengan konteks sosiologis ketika pemikiran itu dikeluarkannya. Scheleiermacher mendefinisikannya dengan upaya kembali kepada arti dan makna asli sesuai proses batin pengarang teks. Ada tiga unsur utama hermeneutika, pertama, tanda, pesan atau berita yang seringkali berbentuk teks. Kedua, sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan atau teks tersebut. Ketiga, adanya pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak. Lihat . E. Sumaryono dalam ”Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 1993), h. 23, C. Verhaac, Aliran Hermeunetik: Bergumul Dengan Sebuah Penafsiran”, dalam FX, Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardinan, (ed), Para Filsosof Penentu Gerak Zaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 74-80
61
BAB IV TEOLOGI PEMBEBASAN ALI SYARIATI dan RELEVANSINYA DENGAN MASA SEKARANG
A. Pengertian Teologi Secara Umum Menurut Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Istilah teologi berasal dari bahasa Inggeris theology, sedangkan dari bahasa Yunani “theologia” dari kata theos (Tuhan, Allah) dan logos (wacana, ilmu)1. Istilah itu mempunyai beberapa
pengertian antara lain; 1. 2. 3.
4. 5.
Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, kekal tak berubah) dengan dunia fisik. Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa) Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir perorangan. Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta. Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan dan membenarkan secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan atau Allah.
Menurut beberapa filsuf, ada beberapa makna teologi antara lain: 1. 2.
3.
4.
Theologia pada awalnya dianggap bersangkutan dengan mitos, Hesiodos dan Orpheus merupakan contoh terdepan dalam arti ini Aristoteles adalah orang pertama yang menganggap teologi sebagai suatu disiplin, seraya mengidentikkannya dengan filsafat petama, yang tertinggi dari semua ilmu teoritis, suatu studi yang kemudian bernama metafisika. Philo Judaeus merintis konsep teologi negatif. Berdasakan transedensi Allah, satu-satunya pernyataan yang dapat dibuat manusia tentang Allah ialah yang berbentuk negatif. Allah adalah transenden dan orang hanya dapat mengatakan tentang Allah. Pada abad-abad pertama Kekristenan dirumuskan kesepakatan yang mendefinisikan materi pokok teologi Kristen. Karya pokok diselesaikan oleh kaum apologis Kristen dan khususnya Justinus Martir, Irenaeus, Tertullianus dan Origen.
1Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, h. 1090
62
5.
Pseudo-Dionysius membedakan antara teologi positif (berdasarkan al-kitab), teologi negatif dan teologi superlatif (sesuai dengan pandangan Neoplatonik tentang Allah sebagai yang “ter” dalam segala segi. Karena tak satupun pendekatan-pendekatan yang mencukupi, akhirnya dianjurkan sebuah teologi mistik.2 Artinya di sini dalam pengertian membahas persoalan teologi memakai pendekatan mistik yang akan mengantarkan kepada pengenalan Tuhan secara spiritualitas. B. Beberapa Perbedaan dalam Istilah Teologi Teologi adalah ilmu tentang Allah, kalau teologi di mulai dengan pengetahuan alamiah manusia, maka akan
dinamakan dengan teologi
natural, reodise atau kadang-kadang filsafat ketuhanan. Sesungguhnya teologi merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksistensi menurut aspeknya dari prinsipnya yang terakhir. Objek teologi adalah Allah, eksistensi-Nya, esensi-Nya dan aktivitas-Nya. Kemungkinan teologi alamiah sebagai suatu ilmu bersandar pada fakta bahwa kita dapat mengetahui dengan pasti eksistensi Allah dan kemudian menilai keabsahanNya. Dalam pernyataan lain di ungkapkan bahwa teologi adaIah; “lmu tentang Allah tidak memberikan kita pengetahuan tentang Allah syang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang kita peroleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman inderawi sehari-hari. Pernyataan konseptual kita tentang Allah tidak memberikan kita suatu pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi semata-mata pengetahuan
yang
bersifat analogis”. Ada dua prinsip dasar yang dalam setiap putusan teologi natural,. Pertama, apa yang termasuk eksistensi juga termasuk Allah, kendatipun dengan caranya sendiri. Dan kedua, apa yang termasuk suatu eksistensi kontingen, secara niscaya harus di sangkal tentang Allah. 2Paul Edward (ed), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V, (New York: Macmillan Publishing Co. Inc. 1997), h. 256
63
Teologi adikrodrati atau teologi wahyu inilah yang dimaksudkan bila seseorang berbicara semata-mata tentang “teologi” pada akhirnya mendasarkan pada pertanyaan-pertanyaan wahyu adikodrati yang datang dari Allah. Di satu pihak, tugasnya ialah memperlihatkan bahwa wahyu merupakan suatu fakta historis (teologi fundamental) dan di lain pihak, menguraikan isi wahyu dari sumber-sumber teologi (teologi positif) dan menjabarkan konseptual dan ilmiah dari wahyu (teologi spekulatif atau dogma). Objek teologi adikodrati adalah Allah, bukan pertama-tama sebagai yang terakhir dari alam tetapi Allah sebagai keselamatan abadi. Teologi adikodrati sedikitnya dipertentangkan oleh adanya filsafat. Dalam pernyataan lain teologi diungkapkan bahwa Istilah “Teologi Islam”, terdiri dari dua term yang memiliki pengertian tersendiri, yakni term “teologi” dan term “Islam”. Bila kedua term ini diketahui pengertiannya secara komprehensif, kemudian dikaitkan antara term satu dengan term lainnya, maka pada gilirannya akan melahirkan pengertian yang utuh tentang “Teologi Islam” secara akuratif dan argumentatif. Kata teologi yang bergandengan dengan Islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubunganhubungan antara Tuhan dan Manusia. Mengenai pengertian Islam bila ditinjau dari segi literleknya merupakan kata yang tersusun dari huruf-huruf s-l-m (م،ل، )سyang berarti al-Inqiyad (sikap tunduk dan patuh), al-Istislam (sikap berserah diri) dan alIkhlas (sikap ketulusan hati). Kemudian kata سلمtersebut berubah menjadi fi’il śulasy mazid, yakni aslama, yuslimu, islaman, yang secara leksikal berarti selamat, damai, tunduk dan sentosa.3 Jadi, pengertian Islam secara redaksional adalah menyelamatkan, mendamaikan, menundukkan dan mensejahterakan manusia. Islam dalam bahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989). h.75
64
yang tulus, sehingga intisari yang terkandung dalam Islam ada dua yaitu; pertama berserah diri, menundukkan diri atau ta’at sepenuh hati; kedua masuk dalam al-Salam, yakni selamat sejahtera, damai hubungan yang harmonis.4 Dalam al-Quran ditegaskan bahwa Islam adalah agama milik Allah (dinullah), Islam adalah agama yang benar adanya (dinulqayyim), dan Islam adalah agama yang suci (fitrah Allah). Berdasar pada rumusan pengertian tentang “teologi” dan “Islam”, maka “teologi Islam” adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ke-Tuhanan dan alam semesta menurut perspetif Islam yang harus di imani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Teologi Islam merupakan berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa ia identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek. Pertama, berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, termasuk soal wujud-Nya, keesaan-Nya, dan sifatsifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, artinya semua persoalan yang terjadi di alam berupa keadilan dan kebijaksanaan Tuhan.5 Ilmu yang membicarakan mengenai aspek-aspek yang disebutkan ini, disebut teologi, dan karena pembicaraannya dalam perspektif Islam, maka disebutlah ia sebagai “Teologi Islam”. Teologi Islam sebagai suatu disiplin ilmu belumlah dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW. Meski demikian, cikal bakal yang dapat mengarah kepada lahirnya teologi Islam di kemudian hari telah terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri. Dalam istilah lain ditemukan Teologi (bahasa Yunani, theos, "Allah, Tuhan", dan logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. "Teologi 4Abū Husayn Muhammad bin Faris Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah, juz I (Cet. III; Mesir: Mushthafa al-Bāby al-Halaby wa Awlāduh, 1971). h. 85 5Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Bairut: Dār al-Qalam, t.th). h. 69
65
dan agama-agama lain di luar agama Kristen". Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumenargumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya. Dalam bahasa Arab, istilah Teologi ini biasa disebut dengan Usuluddin, sedang ajaran dasar agamanya disebut ‘Aqoid atau ‘Aqidah, dan ada pula yang menyebutnya dengan tauhid. Selain itu, dalam Islam ada juga yang menyebut Teologi sebagai llmu AI-Kalam, di mana kalau Kalam yang dimaksud itu adalah Firman Tuhan, maka itu berarti ilmu tentang AIQur’an, sedangkan kalau yang dimaksud Kalam adalah kata-kata manusia, itu berarti ilmu tentang “olah kata” dalam mempertahankan pendapat atau pendirian, yang sering disebut juga sebagai “bersilat lidah”, karena memang pada dasarnya, para Theolog apapun agamanya, adalah orang yang pandai memainkan kata-kata atau bersilat lidah. Itulah sebabnya maka seorang teolog dalam Islam disebut sebagai Mutakallim, yaitu ahli debat yang mahir memainkan kata-kata. Istilah “Teologi Islam” terdiri dari dua pengertian tersendiri, yakni “Teologi” dan “Islam”. Bila diperhatikan secara maknanya yang jelas, maka Islam dalam bahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap ketundukan dengan penyerahan dan pasrah, disertai sifat batin yang tulus, sehingga
intisari
yang
yaitu: pertama berserah
terkandung diri,
66
dalam
menudukkan
Islam diri/taat
ada
dua
sepenuh
hati; kedua masuk dalam al-Salam, yakni selamat sejahterah, damai dan mempunyai hubungan yang harmonis. Dalam al-Quran ditegaskan bahwa Islam adalah agama milik Allah semata (dinullah), Islam adalah agama yang benar adanya (dinulqayyim), dan Islam adalah agama yang suci (fitrah Allah). Berdasar pada rumusan pengertian tentang “Teologi” dan “Islam”, maka “Teologi Islam” adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspektif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Teologi Islam berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa hal tersebut memang identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek. Pertama, berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala aspeknya, sebagai contoh termasuk soal wujud-Nya, keesaanNya, dan sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang termasuk
di
dalamnya,
persoalan
terjadinya
alam,
keadilan
dan
kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya. Ilmu yang membicarakan mengenai aspek-aspek
yang
disebutkan
ini,
disebut
Teologi,
dan
karena
pembicaraannya dalam perspektif Islam, maka disebutlah ia sebagai “Teologi Islam”. Teologi Islam sebagai suatu disiplin ilmu belumlah dikenal di zaman Nabi Muhammad saw. Meski demikian, cikal bakal yang dapat mengarah kepada lahirnya teologi Islam di kemudian hari, telah terdapat dalam ajaran dasar Islam sendiri. Sementara itu, dalam Islam juga dikenal dengan apa yang disebut “Fiqih”, yaitu ilmu praktis yang membahas masalah halal dan haramnya sesuatu, yang karenanya Fiqih lebih bersifat sebagai “juklak dan juknis” atau yurisprudensi atas pelaksanaan amal ibadah seseorang. Sedang praktisinya disebut “Fuqoha” atau “hakim” atau ada pula yang menyebut sebagai “Ulama”. Adapun materi-materi yang terkandung dalam teologi, lebih luas cakupannya dibanding dengan Fiqih. Kalau fiqih membahas soal
67
halal dan haram, maka teologi, selain berbicara soal Ke-Tuhanan, juga membahas masalah-masalah iman dan kafir. Siapa yang sebenamya disebut Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang kafir dan telah keluar dari Islam, atau bagaimana dengan seorang Muslim yang mengerjakan halhal yang haram dan bagaimana pula seorang yang kafir mengerjakan hal-hal yang halal, itulah bagian dari masalah-masalah yang dibahas dalam Teologi. Dengan demikian maka materi Teologi lebih ke soal-soal yang mendasar dan pokok, bukan berbicara masalah furu’ atau cabang dan ranting yang menjadi wilayah fiqih untuk membahasnya. Namun, sebagaimana telah diketahui, bahwa Islam pada hakekatnya merupakan satu ‘tata kehidupan’ yang total dan menyeluruh, yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, yang di dalamnya membahas masalah-masalah agama, juga mengatur masalahmasalah politik, pengadilan, perdagangan dan sebagainya, yang karenanya, praktis tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh hukum/aturan Islam. Oleh karenanya, maka mustahil rasanya untuk dapat menarik perbedaan yang jelas antara teolog dan fuqoha, karena kenyataannya, bahwa teologi dan fiqih sebagai satu kesatuan yang menyiratkan makna, bahwa Islam adalah suatu kepercayaan dan peradaban, agama dan budaya, yang tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami yurisprudensi Islam. Itulah sebabnya maka Nabi Muhammad Saw. selain bertindak sebagai seorang Rasul, juga bertindak sebagai seorang Pemimpin Negara atau Negarawan. Pakar-pakar teolog seperti Ahmad Daedad, Irene Handoyo, Prof. Dr. Mukti Ali, Kiyai Arkanuddin, Kiyai. H. Solichan, dan lain-lain adalah orang-orang yang betul-betul ahli dalam hal perbandingan agama yaitu Ushuluddin. Dan sampai sekarang beliau-beliau tersebut telah mampu merangsang kaum-kaum muda untuk meneruskan perjuangan Islam. Teologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia yang terdiri dari kata “Theos” artinya “Tuhan” dan “logos” yang berarti “Ilmu”.
68
Jadi teologi berarti “ilmu tentang Tuhan”. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni. Kata teologi yang bergandengan dengan Islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubunganhubungan antara Tuhan dan manusia. Islam dalam pembahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin yang tulus, sehingga intisari yang terkandung dalam Islam ada dua yaitu; pertama berserah diri, menundukkan diri atau taat sepenuh hati, kedua masuk dalam al-Salam, yakni selamat sejahtera, damai hubungan yang harmonis. Berdasar pada rumusan pengertian tentang “teologi” dan “Islam”, maka “Teologi Islam” adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspetif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Teologi Islam berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa ia identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek, yaitu; Pertama, berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, termasuk soal wujud-Nya, keesaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk di dalamnya, persoalan
terjadinya
alam,
keadilan
dan
kebijaksanaan
Tuhan.
Menurut Abdurrazak, Teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang terkait dengan-Nya secara rasional. Sedangkan menurut Muhammad Abduh : “tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri
69
mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang tidak boleh dihubungkan kepada diri mereka”. Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh lebih menekankan pada Ilmu tauhid/teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan segala sifat-Nya, sedang yang kedua menekankan pada metode pembahasan. Adapun metodenya yaitu dengan menggunakan dalil-dali yang meyakinkan. Di dalam sejarah perkembangannya, Teologi Islam pada mulanya berkembang dari: pertama, sebagai metodologi teologi. Sebagai sebuah metodologi teologi merupakan suatu cara untuk memahami doktrin agama melalui pendekatan wahyu dan pemikiran rasionalnya. Kedua, menjadi ilmu teologi. Sebagai sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Dan ketiga, menjadi teologi aksiologi. Sebagai sebuah aksiologi teologi, merupakan upaya memahami doktrin agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial.
C. Islam Dan Teologi Pembebasan.
Teologi pembebasan merupakan kata majemuk dari kata teologi dan pembebasan. Secara etimologi telogi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi dari istilah pembangunan yang kemudian menjadi ideology pengembangan ekonomi yang cenderung liberal Teologi pembebasan adalah sebuah paham akan peranan agama dalam lingkup sosial, yakni pengontekstualisasian ajaran-ajaran dan nilai agama pada masalah konkret yang terjadi disekitarnya. Menurut Michael Lowy yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah “Pantulan
70
pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada awal tahun 1960-an, memang sudah ada sebelum penulisan teologi itu sendiri.”6 Sedangkan menurut Eta Linnemann di dalam buku yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”.7 Kehadiran teologi pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi model pembangunan
yang
dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilakukan oleh negara yang didukung oleh intuisi yang kuat, sepert militer dan intuisi agama yang semata-mata melegitimasi kepentingan negara. Sedangkan dalam salah satu situs dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah : Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai upaya-upaya
untuk
merealisasikan
pengajaran
Al-kitab
mengenai
pembebasan ke dalam praksis, yang tentunya hal ini berlaku di tengahtengah kondisi dan situasi kemiskinan dan penderitaan rakyat.8 Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga, sekaligus merupakan suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi di mana titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, di mana Allah juga hadir di dalamnya. Teologi Pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi Pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai 6
Michael Lowy, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: pustaka Pelajar Offset, 2000, h. 26 Prof. Dr. Eta Linnemann, Teologi Kontemporer Ilmu atau Praduga?, (Malang: Departemen Literatur Yayasan Persekutuan Pakabaran Injil Indonesia, 1991), h. 181 8 http;//teologipembebasan.com 7
71
keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi Pembebasan adalah upaya ber-teologi secara kontekstual. Teologi Pembebasan yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Liberation Theology menjadi keharusan bagi kegiatan gereja-gereja dalam komitmen kristianinya pada kehidupan sosial. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, bias ideologi dan sebagainya. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenunga keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
D. Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan Teologi Pembebasan muncul pada abad ke-20 seiring banyaknya permasalahan dunia yang sedang tidak merdeka dinilai dari sudut pandang keadilan sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan. Dunia harus merdeka dari tindakan yang menindas sesamanya, bahkan seharusnya yang kaya dan memiliki jabatan harus membela dan memperhatikan kebutuhan rakyat kecil dan miskin. Kemunculan pertamanya di Eropa yang berkonsentrasi pada persoalan globalisasi, mempunyai keprihatinan pada dosa sosial yang terdapat pada sistem pemerintahan sebuah negara. Teologi Pembebasan menawarkan sistem sosial yang mengedepankan keadilan sebagai warga negara dan warga dunia dalam pandangan agama (manusia yang adil, tidak tertindas) yang dirusak oleh manusia sendiri. Sementara itu, teologi pembebasan yang lahir di Amerika Latin berfokus pada gerakan perlawanan yang kebanyakan dilakukan oleh para agamawan terhadap kekuasaan yang hegemoni dan otoriter. Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu
72
saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan yaitu; Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, Grenz, 20th Century 211bahwa: Seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.9 Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi
Demi
panggilannya,
Amerika
Latin akan
melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan. Keempat, situasi konkret di Amerika Latin, negaranegara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi
negara-negara
Amerika
Latin
kepada
Amerika
9Grenz, coth century 211, evangelical Dictionary of Theology (ed. walter a. Elwell, Grand rapids; Baker, 1985), h. 635
73
Serikat
(khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial. Sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan meluas, situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator, kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu juga dibidang keagamaan, kalau selama ini gereja di Amerika latin setia berpandangan teologi Barat (Eropa), yang berkutat hanya pada memahami Tuhan dan iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi penderitaan serta menghibur kaum miskin dan orang tertindas. Sebagaimana di ungkapkan dlam sebuah pernyataan bahwa: “Gereja dan dunia tidak bisa lagi dipisahkan. Gereja harus membiarkan dirinya untuk didiami dan diinjili oleh dunia. "Sebuah teologi Gereja di dunia harus dilengkapi dengan teologi dunia dalam Gereja" (Gutierrez). Bergabung dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas melawan penindas adalah tindakan "konversi," dan "evangelisasi" adalah mengumumkan partisipasi Allah dalam perjuangan manusia untuk keadilan”.10 E. Konsep Pemikiran Teologi Pembebasan Pemikiran teologi pembebasan bermula dari Hermeneutika Alkitab. Setelah menafsirkan pesan-pesan dalam Alkitab berdasarkan tindakan Yesus yang membela dan menolong orang-orang lemah, sakit dan tertindas, maka peran agama juga seharusnya demikian. Dalam agama
10www.http; //Prasasti Perangin-rangin, S.Pd/Teologi Pembebasan.com
74
Kristen sendiri, hal ini menjadi tanggung jawab gereja sebagai lembaga agama yang memiliki pengaruh, baik kepada jemaatnya, masyarakat di mana dia tinggal, maupun kepada pemerintahannya. Nilai-nilai yang muncul itu biasanya dilihat dari perikemanusiaan dan perikeadilan. Pelanggaran nilai-nilai ini di sejumlah negara telah membangkitkan keprihatinan di kalangan aktivis Teologi Pembebasan. nilai-nilai yang di dapat dari tafsir Kitab suci masing-masing. Sebagai contoh, Umat Kristen dengan ajaran Kristologi yang menafsirkan bahwa Kristus (Tuhan) adalah seorang yang hadir dalam situasi carut-marut dan membawa pembebasan bagi rakyat kecil dan tertindas. Dengan dasar inilah, maka orang Kristen mengikuti teladan Yesus dan menentang ketidakadilan. Mereka merasa mendapat tugas untuk meneruskan perjuangan Tuhan yang disembahnya. F. Tokoh-tokoh Teologi Pembebasan Seorang Aloysius Pieris mengkritik Teologi Pembebasan dari Amerika Latin dan Afrika kurang cocok untuk masyarakat Asia. Kemiskinan yang dilihat dari kacamata Marxisme belumlah efektif ketika tidak melihat akar permasalahan secara lebih dalam di Asia sendiri. Hal penting lain yang perlu dipertimbangkan dari konteks Asia adalah pendekatan multikultural.5 Asia oleh Pieris disebut sebagai 'dunia ketiga' yang memiliki akar 'religio-kultural' yang tidak terpisahkan. 'ReoligioKultural' ini setidaknya diuraikan oleh Pieris dalam tiga hal; 1. heterogenitas linguistik, 2. integrasi unsur-unsur kosmik dan metakosmik dalam agama-agama di Asia, dan 3. kehadiran luar biasa dari ajaran-ajaran keselamatan (soteriologis11) bukan Kristen.
11
Paul E. Sigmund, Libertion Theology and The Crossoard, (New York: Oxford University Press, 1990), h. 75
75
a. Kiai Abdurahman Wahid Di Indonesia teologi pembebasan tidak begitu menggema. Karena negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila. Namun yang disebut sebagai tokoh teologi pembebasan di Indonesia adalah ; Abdurahman Wahid dan Romo Mangun Wijaya pada tahun 1980-an yang pernah memperjuangkan hak rakyat kecil dari arogansi pemerintahan. Peran Abdurahman Wahid adalah dalam bidang pluralisme, yang menghargai kebebasan manusia dalam beragama, yaitu dengan menjamin kebebasan itu melalui pengajaran kepada masyarakat melalui seminar-seminar, kemudian juga melalui perubahan undang-undang negara di Indonesia.12 b. Romo Mangun Wijaya Sedangkan Romo Mangun Wijaya terkenal dengan tindakannya membela kelompok masyarakat di daerah tertentu (Kalo Code dan Lokasi pembangunan Waduk Kedung Ombo yang terkena gusur oleh pemerintah.13 c. Gustavo Gutiérrez di Peru Gustavo Gutiérrez Merino, O.P adalah seorang teolog Peru dan imam Dominikan yang dianggap sebagai pendiri Teologi Pembebasan.14 Ia menjabat sebagai Profesor John Cardinal O'Hara dalam bidang Teologi di Universitas Notre Dame. Ia adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 ia dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gustavo Gutiérrez menawarkan teologi kepada umat Kristen suatu tema baru secara etis melalui praksis. Artinya adalah
bahwa
etika
masyarakat
seharusnya
dibangun
berdasarkan
perenungan bersama yang dilakukan secara nyata dalam kehidupannya. Teologinya berpusat pada pengentasan rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil oleh sistem masyarakat kelas yang memisahkan manusia dalam kategori borjuis (para bangsawan yang biasanya kaya) dan proletar (rakyat 12Y.W. wartaya Winangun, Tanah sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta : Kanisius, 2004),
h. 35 Wahono Nitiprawito, Mohammad Shaleh Isre, Teologi Pembebasan Sejarah, Metode, praktis dan isinya. (Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial, LKIS, 2000), h. 65 14 Tony Lane, Runtut pijar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), h. 45 13
76
jelata yang hanya punya anak namun tanpa harta). Ini sebagai respons terhadap kritik Karl Marx terhadap 'masyarakat kelas' akibat dominasi kapitalisme. Teologi Pembebasan yang dimaksud oleh Gutiérrez
adalah
pengentasan di bidang politik dan sosial. Sekalipun bermula dari pemahaman politik, namun ini bukanlah penyusutan paham iman, melainkan refleksi iman yang malampaui refleksi sosial dan politik. Gutiérrez juga berteologi dengan memakai sumber Alkitab, yaitu kisah Ayub yang bergumul dengan kisah sengsara yang dipandang oleh kaum Teodise sebagai kejahatan. Gutierrez dan Ayub memandang bahwa kejahatan dan penderitaan bukan berasal dari Allah, malainkan sebuah nilai moral yang melampaui hukum manusia. Melalui kisah Ayub yang berdebat dengan para sahabatnya yang mengatakan bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dosa. maka pandangan ini secara otomatis tidak bersifat mutlak lagi, sebab penderitaan dan kejahatan adalah peleburan cinta kasih Allah melalui kasih yang tak bersyarat.
2. Latar belakang Teologi Pembebasan Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan yaitu; Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, Grenz, 20th Century 211bahwa:
77
Seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis. Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi
Demi
panggilannya,
Amerika
Latin akan
melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan. Keempat, situasi konkret di Amerika Latin, negaranegara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi
negara-negara
Amerika
Latin
kepada
Amerika
Serikat
(khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial. Sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor
barang-barang
pabrik.
Namun
karena
mementingkan
pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan
78
meluas, situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di manamana
dan
membuahkan
pemerintahan
diktator,
kondisi
tersebut
mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu juga dibidang keagamaan, kalau selama ini gereja di Amerika latin setia berpandangan teologi Barat (Eropa), yang berkutat hanya pada memahami Tuhan dan iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi penderitaan serta menghibur kaum miskin dan orang tertindas. Sebagaimana dinyatakan bahwa: Gereja dan dunia tidak bisa lagi dipisahkan. Gereja harus membiarkan dirinya untuk didiami dan diinjili oleh dunia. "Sebuah teologi Gereja di dunia harus dilengkapi dengan teologi dunia dalam Gereja" (Gutierrez). Bergabung dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas melawan penindas
adalah
tindakan
"konversi,"
dan
"evangelisasi"
adalah
mengumumkan partisipasi Allah dalam perjuangan manusia untuk keadilan.15 Kemudian pihak geraja melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak
berdaya.
Rakyat
harus
disadarkan
bahwa
kemiskinan
dan
ketebelakangan bukan nasib turunan. Rakyat harus dipintarkan, kemudian geraja mempelopori pembebasan melalui intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, kolumbia (1937), Universitas Katolik di Lima(1942), di Rio de Jeneiro dan Sao Paulo (1947), Porlo Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960). Gerakannya ini justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Filipina., termasuk juga Indonesia. Menurut pembebasan.com seorang teolog dari Sri Lanka yaitu Aloysius Pieris, yang mengamati perkembangan teologia di Asia mengatakan : Teologia Pembebasan mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dipunyai oleh teologia klasik ... di gereja Timur, metode baru ini sudah
15
www.http:// Prasasti Perangin-angin, S.Pd/teologi pembebasan.com
79
bersaing dengan teologia tradisional, sebagai hasilnya berdirilah EATWOT (The Ecumenical Association of Third World Theologians)”.16 Hampir berbarengan dengan itu pada tahun 1970, James Cone, Profesor di Union Theological Seminary menerbitkan A Black Theology of Liberation, yaitu pemusatan kepada kelompok yang tertindas, dan adanya definisi istilah teologia yang diartikan dalam konteks sosial politik. Pengaruhnya segera meluas dan mendapat sambutan yang hangat oleh negara-negara dunia ketiga. Rasa solidaritas dunia ketiga yang rata-rata merupakan korban penjajahan, kemiskinan yang masih merajalela, sedangkan hasil kemajuan teknologi impor hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil lapisan atas, sehingga jurang antara yang kaya dan miskin semakin nampak.
3. Pendiri Teologi Pembebasan Teologia Pembebasan ini muncul pertama kalinya di Amerika Latin pada tahun 60-an. Kemudian istilah tersebut menjadi terkenal sebagai sebutan untuk aliran ini setelah terbitnya buku Teologia de la Liberaction' karya teolog Peru, Gustavo Gutierrez. Gustavo Gutiérrez Merino, O.P. (lahir di Peru, 8 Juni 1928) adalah seorang teolog Peru yang dianggap sebagai pendiri Teologi Pembebasan. Ia menjabat sebagai Profesor John Cardinal O'Hara dalam bidang Teologi di Universitas Notre Dame. Ia pernah menjadi profesor di Universitas Katolik Kepausan di Peru dan profesor tamu di banyak universitas terkemuka di Amerika Utara dan Eropa. Gustavo Gutierrez Merino, O.P adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 dan dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah. Gutierrez pernah belajar kedokteran dan sastra, psikologi dan filsafat, dan mendapat gelar doktor dari Institut Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon. Karya terobosan Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, 16
http://webserch.teologihttp://webserch.teologi
80
Politics, Salvation tahun1971(Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik, Keselamatan”) menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan kemiskinan. Menurut ensiklopedia pembebasan mempunyai tiga dimensi utama: 1. Mencakup
pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang
langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. 2. Pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat. 3. Pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan mereka mempertanyakan tanggung jawab agama itu seperti apa 4. Perkembangan Teologi Pembebasan Teologi pembebasan berasal dari tahun 1960-an di Amerika Utara dan Selatan, meskipun sudah ada sebelum Perang Dunia II. Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama atau gereja dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan atau nilai-nilai teologis pada masalah kongkret di sekitarnya. Seperti dinyatakan bahwa : Seorang teolog Protestan AS Harvey Cox menyatakan bahwa, untuk agama yang mempertahankan vitalitas dalam lingkungan sekuler, refleksi
81
teologis harus sesuai dengan tantangan sosial dan politik konkret dari dunia sekuler modern, masalah-masalah kontemporer seperti rasisme dan kemiskinan harus diperlakukan sebagai masalah teologis dan juga masalah-masalah sosial”17 Dalam kasus kelahiran teologi pembebasan masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Teologi pembebasan muncul dari proses panjang transformasi pasca-pencerahan refleksi teologis Kristen. Pada pertengahan 1970-an banyak teologi pembebasan muncul di Amerika Utara dan Selatan, termasuk teolog Katolik (Leonardo Boff, Mary Daly, Rosemary Radford Ruether, Juan Luis Segundo, Jon Sobrino) dan Protestan (Robert Mc. Afee Brown, James H. Cone). Setelah itu, pengaruh teologi pembebasan diperluas, terutama mempengaruhi teologis di Afrika dan Asia. Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan, ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih merupakan realitas keseharian yang mengikat berbagai bangsa terutama pada Negara-negara yang berkembang. Pelembagaan kekerasan menjadi sebuah fenomena serius, pengabaian terhadap kaum miskin, institusi pengadilan yang tak pernah mendengarkan suara kelompok miskin, hina-dina, dan anak-anak yang kurang gizi berada di mana-mana. Secara kultural juga berkembang egoisme, individualistik, melemahnya rasa sayang, persuadaraan dan solidaritas. Teologi pembebasan muncul pertama kali di Eropa pada abad ke20 dan menjadi studi yang penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma
17
http//teologi pembebasan.com
82
untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan ideologi dari perbuatan manusia sendiri. Dengan konsep yang seperti itulah teologi pembebasan Ali Syariati dikembangkan, yaitu membawa umat manusia terbebas dari segala persaalan hidup, yang membuat rasa terikat, tidak nyaman atau keterkungkungan dengan oleh berbagai aturan atau dogma yang dipahami secara tekstual. Maka teologi pembebasan Syariati bertujuan menghilangkan semua keterikatan, keterkungkungan tersebut sehingga manusia merasa nyaman dalam menjalani hidupnya sehari-hari dengan tidak ada beban.
B. Pengajaran Teologi Pembebasan Yang menjadi acuan dari pengajaran teologi pembebasan adalah pengajaran Karl Marx. Seperti yang ditulis oleh Sugendo Galilea tentang empat kecenderungan di dalam Teologi Pembebasan, yaitu: Pertama, menekankan ayat-ayat Alkitab tentang pembebasan dan menerapkan konsep ini ke dalam masyarakat. Kedua, berfokus pada sejarah dan budaya Amerika Latin (khususnya pada konteks sosial) sebagai suatu titik tolak teologi mereka. Ketiga, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi yang ada di bawah pengaruh Marxisme.18 Beberapa pikiran dari teologi pembebasan yang berikut ini sama dengan rumusan Karl Marx yaitu: Pertama, teologi pembebasan tidak ingin hanya menafsirkan dunia, melainkan mengubah dunia. Kedua, keadaan masyarakat dianggap sebagai perjuangan kelas. Ketiga, di dalam teologi pembebasan sama seperti di dalam marxisme, bahwa kelas yang ditindas dibedakan dari kelas yang menindas. Keempat, sama seperti
18
https://www.google.com/tokoh-tokoh+teologi+pembebasan
83
marxisme
bahwa
teologi
pembebasan
berfikir
struktur-struktur
masyarakat harus dirubah. Kelima, agama harus dihancurkan demi manusia. Bagi Marx agama hanya sekedar imajinasi dari ketidak berdayaan manusia terhadap struktur basis. Struktur basis adalah ekonomi yang mencakup seluruh proses ekonomi baik produksi, konsumsi, persaingan ekonomi, dan sebagainya. Marx mengkritisi filsafat Hegel yang mengatakan bahwa : “apa yang berbudi sungguh-sungguh ada, dan apa yang sungguh-sungguh ada adalah berbudi”. Roh Absolut yang menggerakkan segala tindakan manusia dan alam semesta, kemudian Marx
membalikkannya,
dengan
mengatakan
bahwa
manusialah
penggerak sejarah sesungguhnya, Roh Absolut hanyalah hasil imajinasi dari ketidak berdayaan manusia di dunia. Seorang penulis Eta Linnerman menuliskan bahwa ‘Marx menafsirkan bahwa masyarakat adalah dasar sejarah dan ekonomi dipandang sebagai dasar kehidupan masyarakat.’ Agama menurut Marx hanya dijadikan sebagai alat legitimasi penindasan,
keotoriterian
penguasa
dan
menjadi
alat
sebagai
pembodohan manusia. Umat Kristen oleh gereja selalu didoktrin akan keindahan surga jika menjalankan penderitaan tersebut dengan sukarela dan tidak melawan rezim yang sedang memimpin. Para pemuka agama memanfaatkan kedudukan yang strategis itu justru untuk melegalkan penindasan dimasa itu. Salah satunya adalah melarang kebebasan berpikir, jika kebebasan berfikir tersebut digunakan sebagai alat untuk melawan penindasan pemerintah para agamawan demi mempertahankan posisinya akan menuduh orang tersebut dengan pemberontak, kafir atau bid’ah dan sebagainya. Pemikiran Marx ini banyak menginspirasi para tokoh untuk memperjuangkan dan membela rakyat dari segala penindasan. Di Amerika latin misalnya Gustavo Gutierrituez yang merupakan pastur di Amerika latin mencetuskan “Teologi Pembebasan”
84
di mana agama dijadikan alat untuk membebaskan rakyat dari para kapitalis dan kediktaktoran pemerintah. Ali Syariati dalam teologi pembebasannya berpedoman kepada pemikiran-pemikiran Marx. Menurut Ali Syariati, logika kelas yang dibangun Marx tidak kuat, bahkan mencampur adukkan antara kriteria tertentu di dalam filsafatnya sehingga mengacaukan klasifikasi tahap perkembangan sosial dalam yaitu; bentuk hak milik, bentuk hubungan kelas dan bentuk alat produksi. Marx kemudian membuat tahap-tahap perkembangan sosial dan terjadinya perubahan didalamnya. Menurut Syariati hal itu berdasarkan kepada:19 a. Sosialisme primitif, pada periode ini masyarakat hidup secara kolekttif dan berdasarkan kesamaan. Yang menjadi patokan di sini adalah stryktur bentuk hak milik yang kolektif. b. Perbudakan, dalam periode ini masyarakat terbagi atas dua kelas, ialah kelas yang dipertuan dan kelas budak. Hubungan antara kedua kelas itu adalah seperti hubungan antara pemilik dan benda-miliknya. Yang menjadi faktor penentu pada struktur ini ialah bentuk hubungan manusia. c. Perhambaan, pada periode ini di satu pihak kelas sebagai pemilik tanah, sedangkan di pihak lain kelas yang terdiri dari para hamba. d. Feodalisme suatu cara produksi yang di dasarkan atas pertanian dan pemilikan
tanah.
Dalam
batas-batas
tertentu
pemilik
tanah
merupakan yang dipertuan yang menikmati kekuasaan politik atas massa petani. e. Borjuisi. Struktur yang di dasarkan atas usaha dan perdagangan, usaha kerajinan, kehidupan kota serta pertukaran mata uang, kelas menengah kelas yang berada di antara petani dan pemilik tanah. f. Perkembangan penuh borjuisi dan industri.kapital telah bertumpuk sedangkan produksi terkosentrasi pada industri besar. 19Ali Syariati, Tentang Sosiologi Islam, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 19-151
85
g. Jumlah kapitalis semakin menipis, sedangkan kekayaan semakin membengkak. Menurut Syariati teori yang dikemukakan oleh Marx itu kurang mencerminkan kekhasan masing-masing. Syariati melihat itu hanyalah sebagai substruktur dari super-struktur dalam katgori struktur Habil dan Qabil.
Pada struktur Qabil melekat sejumlah hal yang bernilai kemewahan, posisi sosial yang tinggi, sang penguasa dan raja. Syariati menyatakan bahwa dalam al-Quran diceritakan tentang Fir’aun sebagai lambang kekuasaan politik, Qorun melambangkan kekuasaan ekonomi, sedangkan Bal’am melambangkan jabatan kependetaan rasmi. Ketiganya merupakan manifestasi tritunggal dari Qabil yang sama. Dalam al-Quran ketiganya disebut dengan Mala’, mutraf dan rahib, yang masingmasingnya berarti serakah dan kejam, rakus dan buncit kekenyangan. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan tanggung jawab agama itu seperti apa? Apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural? Gustavo Gutierrez asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion 1971. Buku itu menjadi pemicu diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Sguondo dan John Sabrino, adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu pemikiran Teologi Pembebasan menjadi kuat. Analisis sosial yang paling efektif dan sering digunakan dalam Teologi Pembebasan adalah analisis Marxisme. Dengan pendekatan Marxisme akan diketahui siapa yang diuntungkan atau dirugikan sistem
86
sosial itu. Karena itu tokoh Teologi Pembebasan sangat cocok dengan analisis Marxian ini. Ketika para tokoh Teologi Pembebasan di angkatan laut mengalami tekanan politik, gerakannya justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan yang sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Filipina. Yang paling ekspresif memang di Filipina. Boleh dibilang people power yang menjatuhkan Marcos adalah satu corak dari Teologi Pembebasan. Karena Teologi Pembebasan menekankan pada people power dan kedaulatan rakyat. Di Indonesia, teologi pembebasan masuk berbarengan dengan munculnya LSM-LSM, pada 1970-an muncul pemikiran kritis sebagai counter terhadap teori pembangunan. Beberapa tokoh LSM mensponsori masuknya teori tentang pembebasan dari Amerika Latin. Misalnya Adi Sasono
dan Dr. Sritua Arif.
Lihat saja
bukunya,
Indonesia:
Ketergantungan dan Keterbelakangan. Yang dilakukan Romo Sandyawan sebetulnya empowering orang-orang yang termarjinalisasi. Saya tak tahu apakah ia menggunakan pandangan Teologi Pembebasan. Tapi yang menarik adalah concern-nya sebagai
agamawan
terhadap
realitas
masyarakat
dan
gerakan
empowerment. Di kalangan Islam, pada 1980-an, subur pemikiran tentang Teologi Pembebasan. Sehingga suatu ketika Karl A. Streinbreenk, teolog Katolik, kaget melihat Teologi Pembebasan dibicarakan dengan bersemangat di LP3ES oleh anak muda muslim, seperti Fachry Ali dan Komaruddin Hidayat, dengan figurnya, M. Dawam Rahardjo. Ia heran Teologi Pembebasan dibicarakan dengan sangat terbuka di kalangan Islam, sementara di kalangan Katolik dibicarakan sangat hati-hati. Tahun
1980-an
memang
puncak
kesuburan
pemikiran
pembebasan di kalangan Islam Indonesia. Mungkin suasana sosial politiknya mendukung ke arah sana. Tapi pada 1990-an, gerakan ini
87
mulai merosot, terutama setelah ICMI berdiri.
Sebab Teologi
Pembebasan pada akhirnya akan merefleksikan struktur kenegaraan, sementara ICMI berkepentingan dengan struktur.
C. Relevansi Teologi Pembebasan Ali Syariati Pada Masa Sekarang. Kalau diperhatikan teologi pembebasan Ali Syariati adalah suatu cara untuk bebas dari determinan-determinan yang menjadi penghalang bagi kebebasan hidup manusia tersebut. Di mana determinan-determinan tersebut adalah berupa materialistik dan naturalis, sosiologis, biologis dan historis.20 Namum determinan-determinan yang dipaparkan oleh Ali Syariati
hanyalah
sebagai
perbandingan
terhadap
konsep
yang
berkembang di Barat. Karena Syariati membangun pemikiran baru tentang konsep kebebasan manusia. Dan menurut Ali Syariati manusia hanya bisa bebas dari keterkungkungan itu, adalah dengan pendidikan atau dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, seperti pada tindakan prefentif manusia dalam mengatasi cuaca dan gangguan yang menghalangi aktifitas. Dengan demikian teologi pembebasan Ali Syariati ini kalau di korelasikan dengan masa sekarang, maka akan sesuai lah. Sebab di tengah-tengah zaman yang begitu canggih dan penuh dengan Ilmu Pengetahuan ini. Seseorang harus bisa menjalani hidupnya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Jangan hanya mengandalkan satu objek saja, akan tetapi semua kebutuhan harus terpenuhi dengan Ilmu Pengetahuan yang di miliki. Sebab untuk bisa bertahan hidup itu tidak hanya butuh materi atau kekayaan semata. Namun yang lebih di utamakan itu adalah ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu Pengetahuan kekayaan dan materi itu bisa di cari, tetapi materi atau kekayaan saja susah akan mendapatkan Ilmu Pengetahuan. Jadi itulah intinya teologi pembebasan Ali Syariati itu, 20Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundmentalisme, Modernisme hingga PostModernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996),h. 69
88
Islam mengajarkan untuk menempatkan manusia sederajat (egaliter) dan menolak segala bentuk penindasan; menumpuk harta, riba, kemiskinan dan kebodohan. Menurut Al Qur’an, hak atas kekayaan itu tidak bersifat absolut. Semua yang ada di bumi dan dilangit adalah kepunyaan Allah, dan kita dilarang untuk membuat kerusakan di sana. Konsep keadilan ekonomi, politik dan sosial Ibn Taymiyyah, seorang ahli hukum abad pertengahan, berkali-kali dikutip oleh Engineer sebagai acuan. Ibn Taymiyyah mengingatkan bahwa “ Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai suatu perbuatan dosa, dari pada dengan tirani yang alim”. Ekstrimnya dikatakan bahwa Allah membenarkan negara yang berkeadilan walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan menyalahkan negara yang tidak menjamin keadilan meskipun dipimpin oleh seorang Muslim. Juga disebutkan bahwa dunia akan bisa bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namun tidak dengan ketidakadilan dan Islam. Iqra’ sebagai ayat pertama yang turun bukanlah tanpa sebab yang jelas. Pada saat itu, Arab tidak mengenal budaya menulis. Tetapi Al Qur’an menekankan pena (menulis) sebagai alat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini memberi dampak liberatif bagi bangsa Arab, dari bangsa yang membenci ilmu pengetahuan menjadi bangsa yang tekun belajar dan menemukan rahasia alam selama berabad-abad. Cara pandang bangsa Arab pada Jahiliyah yang bias gender dibongkar habis oleh Islam. Islam mendudukan lakilaki dan perempuan sama derajatnya, hanyalah yang paling bertaqwa yang memiliki derajat lebih dimata Allah. Dalam bidang ekonomi pun Al-Qur’an menekankan pada keadilan. Al Qur’an memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menyumbangkan kelebihan hartanya (Qs. 2 :219). Toleransi merupakan hal yang dijunjung tinggi dalam Islam. Al Qur’an menegaskan dengan jelas, tidak ada paksaan dalam agama (QS.2: 256), dan bagimu agamamu, bagiku agamaku (Qs. 190: 6).
89
Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyinggung masalah-masalah sosial, yang bersifat kolektif (umat) dan personal. Salah satu hal yang ditegaskan di sana adalah konsep keimanan. Engineer percaya bahwa kebaikan dalam kehidupan akan membawa kepada keselamatan dan kebahagiaan. Berangkat dari hal demikian itulah Ali Syariati mengembangkan teologi pembebasannya dengan tujuan adalah untuk membebaskan manusia dari determinan-determinan yang mengikat dalam hidupnya. Sebab manusia tidak bisa lepas dari persoalan ekonomi, politik dan sosial, yang semua itu berujung pada persoalan keadilan. Artinya persoalan-persoalan hidup itu tidak akan menjadi penghalang bagi manusia untuk mengembangkan hidupnya. Karena ada dasar agama yang menjadi landasan dalam mengembangkan hidupnya. Karena makna agama bagi Ali Syariati adalah sebagai sarana untuk memberikan kebebasan bagi manusia itu sendiri, bukannya suatu hal yang menghambat dari ruang gerak manusia tersebut. Penulis melihat teologi pembebasan Ali Syariati ini terkesan hampir sama dengan Islam Kiri yaang ditawarkan oleh Hassan Hanafi. Sebab di sana Hassan Hanafi dalam mengembangkan Islam kirinya berpijak pada agama Islam sebagai dasar pemikirannya. Maka tidak jauh beda dengan teologi Pmbebasan Ali Syariati, walaupun Ali Syariati dalam teologi pembebasannya berangkat dari pemikiran Marxisme dan Engineer. Tetapi Ali Syariati tidak meninggalkan agama, karena menurut Ali Syariati agama adalah suatu hal yang membawa pada rmanusia yang lebih maju dengan konsep Ilmu Pengetahuannya. Maka seperti itulah bagi Ali Syariati peran agama dalam mengembangkan keterkungkugan
teologi dari
pembebasannya,
beberapa
untuk
keluar
determinan-determinan
dari berupa
materialistik dan naturalistik, sosiologis, biologis dan historis. Di sini akan penulis jelaskan konsep determinan-determinan itu satu persatu;
90
a. Determinan Materialistik. Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari materi. Karena materi adalah hal yang melekat dalam kehidupan manusia. Sebab manusia dlam hidupnya selalu butuh pada hal-hal yang akan
mmbawa
keberlanjutan
dalam
hiupnya.
Namun
walaupun begitu, manusia akan bisa keluar dari lingkaran setan yang bergelimang materi tersebut dengan berpegang teguh ppada agama dan berilmu pengetahuan yang tinggi. Artinya jangan manusia itu sibuk dengan urusan materi yang akan membuat manusia itu dengki dan jauh dari agama atau .yang sulit untuk melaksankan ibadah karena disibukkan oleh persalan materi. Akan tetapi apabila manusia tersebut selalu menggunakan agama dan ilmu pengetahuan untuk mencari materi tersebut, maka akan bisa mentolerir dari kesibukan terhadap materi tersebut. b. Determinan Naturalistik. Naturalistik di artikan dengan alam, alamiah, sunnatullah. Konsep alamiah itu bisa membuat manusia bebas berbuat dan berpikir sesuai dengan aturan agama yang benar. Artinya dalam segala segi kehidupannya manusia berbuat seuai alamiah atau dalam istilah teologi di kenal dengan sunnatullah. c. Determinan Sosiologis Sosiologis dengan arti sosial, yaitu bagaimana manusia tersebut dalam berinteraksi dengan sesama manusia dengan cara bebas. Dalam hal sosiologi ini, bagaiman agar manusia tersebut bisa menjalain hubungan dengan sesama manusia tanpa dibarengi oleh hal-hal yang membuat mereka terbatas ruang geraknya. Artinya jangan ada perbdaan dalam hal keturunan, kekayaan, kasta maupun suku. Dalam bersosial
91
jangan memilih-milih dan jangan hanya melihat dari segi materi semata. Maka itulah yang pnulis maksud bahwa Ali Syariati
mengkaitkan
teologi
pembebasannya
pada
determinan-determinan tersebut. d. Determinan Biologis Biologis adalah body atau badan, artinya dalam melakukan segala hal apapun manusia jangan terbatas dengan bentuk badan atau body. Maksudnya bahwa bagaimanapun bntuk badan atau tubuh kita, namun tidak menjadi penghalang untuk bergerak atau mengembangkan pemikiran. Ssbeab apa yang ada pada diri manusia adalah atas kehendak Allah. e. Determinan Historis Historis adalah sejarah, artinya bagaimana pun latar belakang seseorang atau dari manapun manusia itu berasal, jangan dijadikan penghalang dalam mengembangkan pola pikir dan gagasan yang ada. Sebab setiap manusia ini adalah ciptaan Allah dan yang membedakannya adalah taqwa di hadapan Allah. Jadi dalam hal sejarah bagaimana agar manusia bisa bebas, artinya tidak hanya terikat pada satu keturunan saja atau dari latar belakang yang sama. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa teologi pembebaasan Ali Syariati itu sesuai dengan konsep ajaran Islam, yang tidak memperhatikan manusia itu dari sisi ras, suku dan bentuk tubuhnya. Jadi diberi kebebasan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya masing-masing. Maka sperti itulah tologi pembebasan Ali Syariati, walaupun berangkat dari pemikiran Marxisme, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam. Sangat sesuai apabila dikaitkan dengan masa sekarang yang notabenenya sudah di anggap zaman moderen, di mana manusia sudah penuhi dengan teknologi yang tinggi yang akan membuat manusia itu jauh dari nilai-nilai agama.
92
93
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian panjang dari bab-bab sebelumnya, maka penelitian dengan judul “Teologi Pembebasan Ali Syariati dan Relevansinya dengan Masa Sekarang”. Dapat disimpulkan sebagai berikut: Ali Syariati merupakan seorang intelek, ideologi dan pemikir revolusi Iran terkemuka. Ali Syariati dilahirkan pada 24 November 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyad dan Sabzavar Propinsi Khorasan, Iran. Dia dididk langsung oleh orang tuanya sendiri, semenjak kecil Ali Syariati sudah menyukai buku-buku filsafat, politik dan tasawuf. Ali Syariati sangat kental dengan syi’ah, karena beliau besar dalam lingkungan syi’ah. Ali Syariati merupakan seorang pemikir dan aktivis, pemikirannya yang sangat penting adalah ajakan untuk kembali kepada “Islam yang benar”, sebagaimana banyak yang disuarakan oleh kaum pembaharu Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Ali Syariati sebagai seorang pemikir yang revolutif juga membahas tentang tauhid, adapun tauhid
menurut pandangan Ali Syariati adalah
pandangan dunia sebagai sebuah idologi, perasaan yang dimiliki seseorang berkenaan dengan mazhab pemikiran sebagai sebuah sistem keyakinan. Ali Syariati mengkontrakan Islam atau tauhid ideologi dengan Islam atau tauhid sebagai sebuah ilmu seperti teologi yang dipahami selama ini. Intinya konsep tauhid yang dianut Ali Syariati adalah tauhid integralistik, artinya semua yang ada dalam dunia ini mengarah pada keesaan Tuhan. Teologi Pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi Pembebasan adalah upaya ber-teologi secara kontekstual. Teologi pembebasan lahir sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Masalah-masalah itu dijabarkan dalam penindasan, rasisme, kemiskinan,
93
penjajahan, bias ideologi dan sebagainya. Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Teologi pembebasan Ali Syariati adalah suatu cara untuk bebas dari determinan-determinan yang menjadi penghalang bagi kebebasan manusia tersebut. Di mana determinan-determinan tersebut adalah berupa materialistik dan naturalis, sosiologis, biologis dan historis. Namum determinan-determinan yang dipaparkan oleh Ali Syariati hanyalah sebagai perbandingan terhadap konsep yang berkembang di Barat. Karena Syriati membangun teologi pembebasan Ali Syariati adalah suatu cara untuk bebas dari determinandeterminan yang menjadi penghalang bagi kebebasan manusia tersebut. Di mana determinan-determinan tersebut adalah berupa materialistik dan naturalis, sosiologis, biologis dan historis. Namum determinan-determinan yang dipaparkan oleh Ali Syariati hanyalah sebagai perbandingan terhadap konsep yang berkembang di Barat. Karena Syriati membangun pemikiran baru tentang konsep kebebasan manusia. Dan menurut Ali Syariati manusia hanya bisa bebas dari keterkungkungan itu, adalah dengan pendidikan atau dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, seperti pada
tindakan prefentif manusia dalam
mengatasi cuaca dan gangguan yang menghalangi aktifitas. Dengan demikian teologi pembebasan Ali Syariati ini kalau di korelasikan dengan masa sekarang, maka akan sesuai lah. Sebab di tengahtengah zaman yang begitu canggih dan penuh dengan Ilmu Pengetahuan ini. Seseorang harus bisa menjalani hidupnya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Jangan hanya mengandalkan satu objek saja, akan tetapi semua kebutuhan harus terpenuhi dengan Ilmu Pengetahuan yang di miliki. Sebab untuk bisa bertahan hidup itu tidak hanya butuh materi atau kekayaan semata. Namun yang lebih di utamakan itu adalah ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu Pengetahuan kekayaan dan materi itu bisa di cari, tetapi materi atau kekayaan saja susah akan mendapatkan Ilmu Pengetahuan. Jadi itulah intinya teologi pembebasan Ali Syariati itu, pemikiran baru tentang konsep kebebasan manusia. Dan menurut Ali Syariati manusia hanya bisa bebas dari keterkungkungan itu, adalah dengan pendidikan
94
atau dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi, seperti pada tindakan prefentif manusia dalam mengatasi cuaca dan gangguan yang menghalangi aktifitas. Dengan demikian teologi pembebasan Ali Syariati ini kalau di korelasikan dengan masa sekarang, maka akan sesuai lah. Sebab di tengahtengah zaman yang begitu canggih dan penuh dengan Ilmu Pengetahuan ini. Seseorang harus bisa menjalani hidupnya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Jangan hanya mengandalkan satu objek saja, akan tetapi semua kebutuhan harus terpenuhi dengan Ilmu Pengetahuan yang di miliki. Sebab untuk bisa bertahan hidup itu tidak hanya butuh materi atau kekayaan semata. Namun yang lebih di utamakan itu adalah ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu Pengetahuan kekayaan dan materi itu bisa di cari, tetapi materi atau kekayaan saja susah akan mendapatkan Ilmu Pengetahuan. Jadi itulah intinya teologi pembebasan Ali Syariati itu,
B. Saran-Saran
Dari penelitian yang sudah penulis lakuan ini, secara pribadi penulis merasa apa yang sudah penulis buat ini. Boleh jadi di anggap jauh dari kesempurnaan. Makanya di sini penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang akan membangun dari kesempurnaan penelitian penulis ini. Sebelumnya
penulis
ucapkan
warohmatullahi wabaarokatuh....
95
terimakasih,
Wassalamualaikum,
96
97
DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi,
Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Post Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996) Bakker, Anton dan Achmad Charris zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), Cet. Ke- 10 Bashir, A. Dable, Dr. Ali Syariati dan Metode Pemahaman Islam, Hikmah. No. 4 Rabi’ al-Tsani – Sya’ban 1414h/ November 1991-Februari 1992) C. Verhaac, Aliran Hermeunetik: Bergumul Dengan Sebuah Penafsiran”, Dagobert D. Runes, (ed), Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Littlefield Adams & Co, 1977) E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I E. Sumaryono dalam ”Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta; Kanisius, 1993) FX, Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardinan, (ed), Para Filsosof Penentu Gerak Zaman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) Gunawan, Muhammad, Resensi Atas Buku One The Sociology of Islam , Tempo 10 Oktober 1981 Homby, A.S,
AP. Cowie, (ED), Okford Advanced Leaners Dictionary of
Current English, (London: Oxford University Press, 1974) Karl Rahner, Encyclopedy of Theology, (Jerman: Burn-Burn and Oates, 1975), h. 1687 Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) Suprayoga, Suprayoga & Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial, Agama, ( Bandung : Rosdakarya, 2001), Cet. Syariat, Ali, On The Sociology of Islam, ed. Hamid Alghar, (Berkely: Mizan Press, 1979
98
--------------, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais, (Jakarta: Sri Gunting, 1998) ---------------, Kritik Islam atas Marxisme dari Sesat Pikir Barat, lainnya, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. Ke.V GT Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), cet. Suria, Jujun, S, Sumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan, Disampaikan dalam simposium Metodologi Penelitian Filsafat IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta : 15 Juli 1992, (tidaak diterbitkan), Syariat, Ali, On The Sociology of Islam, ed. Hamid Alghar, (Berkely: Mizan Press, 1979 --------------, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais, (Jakarta: Sri Gunting, 1998) ---------------, Kritik Islam atas Marxisme dari Sesat Pikir Barat, lainnya, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. Ke.V Steven R. Benson, Islam dan Perubahan Sosial Menurut Ali Syariati, Hikmah No. 13, Dzuqaidah 1414-Muharram 1415 H/ April – Juni 1994 Team Penyusun Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. Baru), (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007), Cet. I Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pembangunan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
99
ABSTRAK
Penelitian tentang Teologi Pembebasan Ali Syariati ini penulis lakukan, terinspirasi dengan persoalan tauhid yang dikemukakan oleh Ali Syariati. Di mana Ali Syariati dalam memahami tauhid adalah pandangan duania sebagai sebuah ideology perasaan yang dimiliki seseorang berkenaan dengan masalah pemikiran sebagai sebuah system keyakinan. Ali Syariatai mengkontrakan Islam atau tauhid ideology dengan Islam atau tauhid sebagai sebuah ilmu seperti teologi yang dipahami selama ini. Intinya tauhid yang dianut Ali Syariati adalah tauhid integralistik, artinya semua yang ada dalam dunia ini mengarah kepada keesaan Tuhan. Intinya teologi pembebasan Ali Syariati ini adalah pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau diperhatikan dengan perkembangan zaman sekarang seakan ide teologi pembebasan Ali Syariati sesuai dan harus dibangkitkan kembali. Penelitian ini adalah penelitian library research yaitu mengadakan study kepustakaan melalui penela’ahan, penelitian, menganalisa serta mengkomperatifkan buku-buku, makalah, majalah dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ali Syariati tentang teologi. Untuk sampai ke persoalan pokok, data dikumpulkan dengan melakukan penelitian dan analisa isi (content analysis) secara kritis. Penulis sangat interest dengan masalah ini, karena Ali Syariati sangat mempunyai pola pemikiran yang sangat kompleks dalam teologi pembebasan. Dan pemahaman dalam teologi Ali Syariati bisa direlevansikan dengan masa sekarang.
100
Penelitian ini adalah penelitian library research yaitu mengadakan study kepustakaan melalui penela’ahan, penelitian, menagnalisa serta mengkomperatifkan buku-buku, makalah, majalah dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ali Syariati tentang teologi. Untuk sampai ke persoalan pokok, data dikumpulkan dengan melakukan penelitian dan analisa isi (content analysis) secara kritis. Data primer yang penulis gunakan adalah karya-karya dari Ali Syariati itu sendiri yang membahas tentang teologi pembebasan, yang dikaitkan dengan masalah tauhid, Islam, manusia dan determinan-determinan yang menjadi penghalang manusia dalam berkembang. Sedangkan data sekunder yang penulis gunakan adalah bukubuku, karya-karya atau artikel-artikel dari pengarang lainnya yang berkaitan dengan pemikiran Ali Syariati khususnya yang berkaitan dengan teologi pembebasannya, baik menjadikannya sebagai topik kajian utama maupun yang mengkajinya secara sepintas. Penelitian bersifat analitik-kualitatif dengan fariabel utamanya adalah pemikiran Ali Syariati. Pendekatan yang dipakai adalah deskriptif-sosiologis dan analitikfenomenologis. Pendekatan deskriptif-sosiologis digunakan untuk melihat pemikiran Ali Syariati yang dipengaruhi oleh setting sosial dan wacana intelektual yang mendukungnya. Sedangkan pendekatan analitis-fenomenologis digunakan untuk memahami persepsinya berdasarkan apa yang dirasakannya dan yang dipahaminya sebagai tokoh yang sedang diteliti. Dengan menggunakan metode holistika dan analisis kritis.
101
DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,Modernisme hingga Post Modernisme,(Jakarta:Paramadina,1996) A.Dable, Bashir .Ali Syariati dan Metode Pemahaman Islam,Hikmah.No.4 Rabi’ alTsani Sya’ban 1414h/November 1991-Februari 1992) A.S .Homby,AP.Cowie,(ed), Okford Advanced Leaners Dictionary Of Current English,(London:Oxford University Press,1974) Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, Cet. Ke-10 D.Runes, Dagobert (ed),Dictionary Of Philosophy,(New Jersey:Littlefield Adams & Co,1997) Daud, Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 200mber0 Hanafi, Hassan, archive.com/Unair
Indonesia
Perlu
Revolusi
Pemikiran,
http://www.mail-
______________, Kiri Islam Bukan Pengaruh Marxisme ..., Majalah Tempo, No. 14/XXX/4-10 Juni 2001 ______________, Oksidentalisme Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Pnt. M. Najib Buchari, Judul Asli Muqaddimah fi ‘Ilmial-Istighrab, Jakarta: Paramadina, 2000 Daud, Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 200mber0 Hanafi, Hassan, archive.com/Unair
Indonesia
Perlu
Revolusi
Pemikiran,
http://www.mail-
______________, Kiri Islam Bukan Pengaruh Marxisme ..., Majalah Tempo, No. 14/XXX/4-10 Juni 2001 ______________, Oksidentalisme Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, Pnt. M. Najib Buchari, Judul Asli Muqaddimah fi ‘Ilmial-Istighrab, Jakarta: Paramadina, 2000 Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, Terj. A. Short Introduction Fi Islamic Philosophy, Theology and Misticisme. Penerj. Zainul Am. Bandung: Mizan, 2002 ______________, Sejarah Filsafat Islam,Terj. A History of Muslim Philosophy, Penerj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta; Pustaka jaya, 1987 Hairi Yazdi, Mehdi, Ilmu Huddhuri Prinsp-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam. Terj. The Principles of Epistemologiy in Islamic Philosophy, Knowledge by Presence.i Penerj. Ahsin Muhammad, Bandung; Mizan, 1994 96
http://teologipembebasan.com http://webserch.teologi pembebasan.com https://www.google.com/teologi https://www.google.com/tokoh-tokoh+teologi+pembebasan George Ritzer dan Douglas, Sosiological Theory, (New York: McGraw-Hill, 2004)
Jose Severino Croatto, Pembebasan dan Kemerdekaan-Grais-garis Hermeneutis, Jurdi, Syarifuddin Sosisologi Islam dan Masyarakat Modern Teori,Fakta dan Aksi Sosial,(Jakarta;Kencana,2010,) Kultsum, Umi, Melihat Teologi Pembebasan Lebih Komprehnsif, Kompas, Minggu, 22 Desember 2002 Kusnadiningrat, Teologi (Jakarta:Logos.1999)
Dan Pembebasan Ggasan Islam Kiri Hasan Hanafi,
Lowi, Michael, Teologi Pembebasan, Pentrj. Roem Topati, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000 Kusnadiningrat, Teologi Hanafi,(Jakarta:Logos.1999)
Dan
Pembebasan
Ggasan
Islam
Kiri
Hasan
L. Esposito, John, Ensiklopedia Oxford Dunia Modeern, Terj. The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic Modern, Bandung: Mizan, 2001. Cet. I Lowi, Michael, Teologi Pembebasan, Pentrj. Roem Topati, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000 Madjid, Nuchalish, Islam Doktrin dan Peradaban ( Sebuah Tela’ah Kritis Tentang Masalah Keeimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan ), Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000. Cet. Ke. IV Madkhour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Fi al-Falsafah alIslamiyyah: Manhaj wa Tatbiquh al-Juz’ al-Tsani, Penerj. Yusdian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995 Michael Lowy, TEOLOGI PEMBEBASAN, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000). Muhammad, Gunawan Resensi Atas Buku One The Sociology Of Islam,Tempo 10 Oktober 1981 Nasution, Harun Teologi Perbandingan,(Jakarta:UI Press,1986)
Islam,Aliran-aliran
Sejarah
Analisa
Nasr, S.H, The Islamic Intelectual Tradition In Persia, New Delhi: Curzon, 1996 97
Nasr, S.H, Sadr al-Din Syirazi (Mulla Shadra) dalam A Histori of Muslim Philosophy (ed) M.M. Syarif. Vol.2, New Delhi: Low Price Publications, 1995 Paul E. Sigmund., Liberation Theology and The Crossroad, New York: Oxford University Press, 1990 Rahner, Karl Enclycopedy Of Theology,(Jerman:Burn-Burn and Oates,1975) Rahmena, Ali”Warisan Politik Ali Syariati”,dalam Ali Syariati,Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi,(Bandung:Mizan,1995) -----------------------, Syariati Biografi Politik Intelektual Revolusioner,Jakarta:Penerbit Erlangga, 2000 R. Benson, Steven Islam dan Perubahan Sosial Menurut Ali Syariati, Hikmah No.13,Dzuqaidah 1414-Muharram 1415 H/April-Juni 1994 Saenong, Ilham B, Hermeneutika Pembebasan ; Metodology Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002 Syariati, Ali Tugas Cendekiawan Muslim,terj.Amin Rais,(Jakarta:Sri Gunting,1998) Syariati, Ali ”Menjawab Beberapa Soal”dalam John L. Esposito(ed), Dinamika Kebangunan Islam,(Jakarta:Rajawali,1987) Syariati, Ali On The Sociology Of Islam,ed.Hamid Alghar,(Barkely:Mizan Press,1979) Team Penyusun Phoenix,Kamus Besar Bahasa Indonesia(ed.Baru),(Jakarta:Pustaka Phoenix,2007) Team Penyusun Kamus Pusat Pembinanaan dan Pembangunan Bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai Pustaka,1990) Wahono Nitiprawiro,Moh. Sholeh Isre., Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), 2000
98