Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
MENGGAGAS PENDIDIKAN AGAMA LINTAS SEKOLAH BERCIRIKHASKAN AGAMA BAGI SISWA YANG TIDAK SEAGAMA
Moh. Haitami Salim Direktur Program Pascasarjana (PPs.) STAIN Pontianak
[email protected]
Abstract The law No 20/2003 on the National Education System has been in effect for almost a decade (10 years) since it was passed. Unfortunately until today there has been no research and studies conducted regarding the application of the law by the educational institutions, particularly in relation to the mandate stipulated in chapter V, article 12, point A, which states that “every student on every unit of education is entitled to have religious education in accordance with the religion adhered, and taught by teachers of the same faith.” The results of research by Moh. Salim Al Haitami et al. (2012) proved that none of the religiously-based high schools in the city of Pontianak organizes religious education for the students who are not of the same faith with the religion of the school. Moreover, none of the parties concerned criticizes it, let alone provide the solution. One of the problems is that the number of students with a different faith does not meet the required minimum quantity of a class. The number only ranged from 1 to 10 students, while the applicable provisions do not allow teachers to send students out of the class because of different religions (education for all), as long as they qualify for graduation. In addition, in each school teachers of other religious education are not available (for example, Islamic schools only provide Islamic religious education teachers). If other religious education is provided for students with a different faith, it will result in high cost on the operation of education and this is considered inefficient. This article offers ideas on the implementation of religious education for students who are not of the same faith with the religion of the school, with no result in high costs as well as building a sense of togetherness between students and schools. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
431
Moh. Haitami Salim
Abstrak Undang-undang no.20/2003 tentang sistem pendidikan nasional telah berlaku selama hampir satu dekade (10 tahun) sejak disahkan. Sayangnya, hingga hari ini belum ada penelitian dan kajian yang dilakukan terkait dengan pelaksanaan undang-undang tersebut oleh lembaga-lembaga pendidikan, khususnya mengenai mandat yang tercantum dalam bab V, ayat 12 A, yang menyatakan bahwa “setiap siswa pada setiap unit pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, serta diajarkan oleh guru yang se-agama”. Penelitian Moh. Salim Al Haitami dkk (2012) menunjukkan bahwa tak satu pun sekolah berciri khas agama di Pontianak memberikan pendidikan agama bagi siswa-siswa yang berbeda agama. Lebih dari itu, pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak mengkritisi masalah ini maupun memberikan solusi. Salah satu persoalannya adalah bahwa siswasiswa yang berbeda agama itu tidak memenuhi jumlah minimal satu kelas, hanya sekitar 1 sampai 10 orang saja. Selain itu, tidak ada guru agama yang dimaksud (misalnya, sekolah-sekolah Islam hanya menyediakan pendidikan agama Islam). Jika guru agama lain disediakan bagi para siswa yang berbeda agama, sangat mahal biaya operasionalnya dan tidak efisien. Artikel ini menawarkan gagasan mengenai implementasi pendidikan agama bagi para siswa yang berbeda agama dengan agama menjadi ciri khas sekolahnya namun tetap dengan biaya murah sekaligus membangun rasa kebersamaan antara siswa dan sekolahnya Kata kunci: Pendidikan agama Islam, lintas sekolah, siswa beda agama
A. Pendahuluan Ketika Rancangan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disosialisasikan ke tengah masyarakat, banyak tanggapan yang muncul, bahkan menuai kontroversi pada bagian tertentu, di antaranya yang sekarang menjadi Bab V Pasal 12 yang berbunyi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Tak ayal, demo digelar di beberapa daerah dan tempat mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu, baik yang mendukung maupun yang
432
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
menolak.1 Hasilnya, Bab dan pasal tersebut dipertahankan hingga Undang-undang tersebut ditetapkan dan diundangkan. Dipertahankannya bab dan pasal tersebut tentu saja memiliki dasar pemikiran yang kuat, bukan saja untuk memberikan jaminan atas hak setiap peserta didik sebagai warga negara untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, tetapi lebih dari itu menunjukkan pentingnya pendidikan agama itu sendiri yang justru menjadi inti dari pendidikan nasional. Karenanya, pendidikan agama harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan yang diselenggarakan secara formal, tetapi sekaligus juga ingin mengakui bahwa pendidikan agama dalam keluarga masih sangat lemah dan harus diperkuat melalui pendidikan di sekolah. Sayangnya, pengawalan terhadap perlaksanaan UndangUndang tersebut oleh institusi pendidikan kita yang dalam hal ini adalah sekolah-sekolah yang bercirikhaskan agama, tidak berjalan sebagaimana mestinya, apalagi untuk sampai menerapkan sanksi yang ditetapkan oleh Undang-undang itu sendiri jika terjadi pelanggaran atas ketetapan yang telah diamanatkan oleh undangundang tersebut, termasuk pada Bab V pasal 12 yang telah disebut di atas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh. Haitami Salim 2 dkk tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama bagi Siswa yang Tidak Seagama dengan Penyelenggara Pendidikan Umum yang Bercirikhaskan Agama di Kota Pontianak, di antaranya mendapati beberapa temuan menarik, antara lain: Pertama, terdapat sebanyak 19 sekolah di Kota Pontianak setingkat Sekolah Menengah Atas 1 Sebelum adanya rancangan UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional itu, penyelenggaraan pendidikan umum oleh lembaga/ yayasan keagamaan atau biasa disebut dengan sekolah berciri khaskan agama sering mendapat kritikan atau gugatan dari pengguna jasa pendidikan khususnya para orang tua siswa yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolah tersebut, misalnya siswa muslim yang bersekolah di sekolah umum milik yayasan Kristen atau Katholik, karena tidak mendapatkan pelajaran pendidikan agama Islam sebagai agama yang dianutnya. Seperti yang pernah terjadi di satu sekolah di kota Pontianak-Kalimantan Barat. 2 Moh. Haitami Salim dkk., “Pelaksanaan Pendidikan Agama bagi Siswa yang Tidak Seagama dengan Penyelenggara Pendidikan Umum yang Berciri Khaskan Agama: Studi terhadap Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Pontianak Tahun 2012”, Laporan Penelitian, STAIN Pontianak, 2012.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
433
Moh. Haitami Salim
(SMA) yang bercirikhaskan agama Islam, Kristen, dan Katholik. Sedangkan yang bercirikhaskan Hindu, Budha dan Khonghucu belum ada. Dari jumlah tersebut, sekolah yang bercirikhaskan Islam sebanyak 10 buah, Kristen 5 buah dan Katholik 4 sekolah. Namun demikian tidak semua sekolah tersebut memiliki siswa yang berbeda agama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya. Berdasarkan hasil verifikasi data, hanya 9 sekolah, yaitu yang berciri khaskan agama Islam sebanyak 3 sekolah, Kristen 3 sekolah dan Khatolik 3 sekolah. Kedua, siswa yang beragama Islam di sekolah-sekolah Kristen hanya 1 orang, sedangkan di sekolah-sekolah Katholik sebanyak 27 orang. Adapun siswa yang beragama Kristen yang bersekolah di sekolah-sekolah Islam, seluruhnya berjumlah 4 orang, dan yang beragama Katholik seluruhnya berjumlah 3 orang. Jumlah tersebut adalah untuk seluruh angkatan dan kelas pada setiap sekolahnya. Jika jumlah siswa tersebut dihitung berdasarkan rata-rata persekolah, maka dapat dirincikan sebagai berikut: a. Siswa yang beragama Islam yang bersekolah di sekolah Kristen berjumlah 1 orang yang berada hanya pada 1 sekolah, sehingga rata-rata per sekolah sebanyak 1 orang untuk semua angkatan kelasnya. b. Siswa yang beragama Islam yang bersekolah di sekolah Katholik berjumlah 27 orang yang tersebar pada 3 sekolah, sehingga rata-rata persekolah sebanyak 9 orang untuk semua angkatan kelasnya. c. Siswa yang beragama Kristen yang bersekolah di sekolah Islam berjumlah 4 orang yang tersebar pada 3 sekolah, sehingga rata-rata persekolah sebanyak 9 orang untuk semua angkatan kelasnya. d. Siswa yang beragama Katholik yang bersekolah di sekolah Islam berjumlah 3 orang yang tersebar pada 3 sekolah, sehingga rata-rata persekolah sebanyak 1 orang untuk semua angkatan kelasnya. Berdasarkan rerata jumlah siswa tiap sekolah untuk semua angkatan kelas itu, dapat dipastikan bahwa jumlah rombongan belajarnya tidak mencukupi jumlah minimal untuk 434
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
diselenggarakannya pembelajaran 1 (satu) kelas. Mengingat sekolah yang bercirikhaskan agama adalah sekolah swasta (yang diselenggarakan oleh masyarakat), tentu saja jumlah rombongan belajar yang sedikit akan sangat berpengaruh pada besaran pembiayaan pendidikannya. Berkaitan dengan poin 2 di atas, sangat wajar jika semua sekolah tersebut tidak menyediakan guru pendidikan agama, selain guru pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya. Artinya tidak ada guru pendidikan agama Islam di sekolah Kristen dan Katholik, dan sebaliknya tidak ada guru pendidikan agama Kristen ataupun Katholik di sekolah Islam. Dalam kondisi seperti yang disebut di atas, jelas bahwa tidak ada sekolah bercirikhaskan agama di Kota Pontianak yang menyelenggarakan pendidikan agama bagi siswanya yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pada BAB V pasal 12 tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh penyelenggara pendidikan di sekolah-sekolah bercirikhaskan agama, khususnya di tingkat SMA kota Pontianak. Penulis meyakini, apa yang ditemukan melalui penelitian di Kota Pontianak tersebut merupakan fenomena gunung es. Artinya jika penelitian tersebut dilanjutkan dalam skala besar, di kabupaten dan kota lainnya, dan dikembangkan di provinsi lain, maka akan ditemukan fenomena yang sama, bahkan bisa jadi dalam jumlah yang lebih besar. Karena untuk Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak menjadi tolak ukur pelaksanaan pendidikan yang sudah maju karena berada di ibu kota provinsi. Pada satu sisi, tidak sepatutnya orangtua siswa yang memasukkan anaknya di sekolah umum yang tidak seagama dengan agama yang dianutnya dipersalahkan, karena Undangundang telah memberikan jaminan dan hak atas mereka untuk mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agamanya dan diajarkan oleh guru agama yang seagama. Di sisi yang lain, semustinya dapat pula dipahami kebijakan sekolah yang menerima siswa berbeda agama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya meskipun hanya beberapa orang, karena Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
435
Moh. Haitami Salim
penyelenggaraan pendidikan umum tidak boleh diskriminatif, baik berdasarkan agama, suku, ras ataupun golongan. Pendidikan menurut UNESCO harus diselenggarakan untuk semua orang (education for all). Dapat pula diterima atas dasar kewajaran jika sekolah-sekolah tersebut tidak menyelenggarakan pendidikan agama bagi siswa yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya, karena jumlah siswa yang ada tidak memenuhi jumlah minimal satu rombongan belajarnya, lantas tidak pula tersedia guru pendidikan agama untuk itu dan sebagainya. Tetapi menurut penulis yang lebih penting sebagai dasar tidak dilaksanakannya pendidikan agama bagi siswa yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolah tersebut adalah adanya perbedaan ideologi agama yang sekaligus menjadi misi pendidikan sekolah tersebut. Lantas bagaimana kita bisa memberikan titik temu antara kepentingan siswa dan orangtua, sekolah dan penerapan terhadap Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut. Tulisan ini akan memberikan gagasan baru mengenai model pembelajaran pendidikan agama bagi siswa yang tidak seagama pada sekolah-sekolah yang bercirikhaskan agama. B. Urgensi Pendidikan Agama Salah seorang pakar pendidikan Islam di Indonesia, Ahmad Tafsir menyatakan: “Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat dan berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam, beriman itu adalah beriman secara Islam. Dalam taraf yang sederhana, orang tua tidak ingin anaknya lemah, sakitsakitan, penganggur, bodoh dan nakal. Pada tingkat yang paling sederhana, orang tua tidak menghendaki anaknya nakal dan menjadi penganggur. Dan terakhir, pada taraf paling minimal ialah jangan nakal. Kenakalan akan menyebabkan orang tua mendapat malu dan kesulitan.”3
3 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 155. Lihat juga Moh. Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga: Revitalisasi peran Keluarga dalam Menyiapkan Generasi Bangsa yang Berkarakter. Suatu kajian Teoritis dan Praktis (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012).
436
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
Secara normatif, Islam telah memberikan peringatan bahwa kekhawatiran yang paling besar adalah ketika kita (orangtua) meninggalkan generasi sesudahnya dalam keadaan yang lemah. Tentu saja lemah dalam berbagai hal, terutama lemah iman, lemah ilmu dan tidak memiliki keterampilan hidup, dan lain sebagainya. Ini artinya, orangtua harus melihat anak sebagai harapan masa depan. Dalam al-Qur’an, ada dua ayat di surat yang berbeda yang mengingatkan umatnya untuk memperhatikan masa depan kaum muslimin secara umum, dan masa depan anak sebagai generasi penerus.4 Secara khusus banyak pula ayat al-Qur’an dan hadis hadis Nabi yang memberikan tuntunan pendidikan agama bagi anak. Uraian di atas menunjukkan pentingnya pendidikan agama dari sisi kepentingan orangtua dan keluarga yang didasari landasan normatif agama (Islam). Kesadaran akan pentingnya pendidikan agama tidak saja pada orangtua dalam keluarga sebagai institusi pendidikan pertama dan utama, melainkan juga pada pemerintah sebagai penyelenggara negara. Karenanya pemerintah kemudian menetapkan pendidikan agama sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional melalui ketentuan perundang-undangan yang ada, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, UU RI No. 20 Tahun 2003, sampai kepada peraturan menteri yang terkait. C. Posisi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional Posisi pendidikan agama adalah sebagai subsistem dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dapat dilihat secara yuridis formal dan substansial, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, sampai kepada Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Moh. Haitami Salim, “Pendidikan Agama dalam Keluarga”, Makalah dalam Seminar Kelas PPs. STAIN Pontianak, 2012. 4
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
437
Moh. Haitami Salim
Pendidikan Agama dan Keagamaan5, yang selanjutnya dijabarkan secara rinci dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah.6 Pada posisi itu, pendidikan agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 7 Sesuai dengan tuntutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut pula, dinyatakan bahwa Negara kita adalah Negara yang mengakui akan kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa dan oleh sebab itu menjiwai seluruh tingkah laku dan seluruh tata cara kehidupan bersama masyarakat dan bangsa Indonesia. Dan oleh sebab itu pula masyarakat kita mengenal pluralitas agama, sehingga nilainilai yang berlaku dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang mencerminkan keseluruhan agama.8 Secara tekstual pendidikan agama memang tidak disebutkan dalam UUD 1945, tetapi secara substansial terdapat beberapa hal yang menyangkut pendidikan agama/pendidikan Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, h. 7. Haitami Salim dkk, Pelaksanaan Pendidikan Agama, h. 5. 7 Pasal 31 dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) pada Bab XIII UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini, adalah hasil dari perubahan yang keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya dapat dibaca dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat MPR RI, 2010), h. 9, 53-54, dan 77-78. 8 H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta: Kompas 2005). 5 6
438
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
keagamaan: Pertama, bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Kedua, bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan nilai-nilai substansial tersebut, maka peningkatan keimanan dan ketakwaan, akhlak mulia, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban umat manusia, tidak mungkin dicapai tanpa melalui proses pendidikan agama/pendidikan keagamaan.9 Argumentasi di atas menunjukkan bahwa posisi pendidikan agama adalah bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional, karena ia merupakan sub sistem dan sistem pendidikan nasional sekaligus menjadi inti (core) dari pendidikan nasional. E. Pendidikan Agama bagi Siswa yang Tidak Seagama Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pada Bab V pasal 12 menyebutkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Pasal ini hendak menyatakan adanya hak dasar setiap peserta didik untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan agama dan sekaligus kewajiban bagi penyelenggara di setiap satuan dan jenjang pendidikan. Istilah “siswa yang tidak seagama” muncul ketika seorang siswa beragama tertentu bersekolah di sekolah umum yang berciri khaskan agama yang tidak seagama dengannya. Sekolah umum yang bercirikhaskan agama adalah sekolah yang diselenggarakan oleh kelompok masyarakat berdasarkan agama tertentu atau oleh suatu lembaga keagamaan. Seorang siswa yang beragama Islam, menjadi “siswa yang tidak seagama” ketika ia bersekolah di sekolah yang dikelola oleh yayasan/lembaga pendidikan Kristen atau Katholik dan sebagainya. Demikian pula 9
Moh. Haitami Salim, Pendidikan Agama dalam Keluarga, h. 7.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
439
Moh. Haitami Salim
siswa yang beragama Kristen, adalah “siswa yang tidak seagama” ketika bersekolah di sekolah yang bercirikhaskan Islam, Katholik, Hindu dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, tidak ada alasan bagi penyelenggara sekolah umum yang bercirikhaskan agama sekalipun untuk tidak menerima seorang siswa yang berbeda agama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya, sepanjang siswa tersebut memenuhi syarat kelulusan yang ditentukan. Karena pendidikan umum diselenggarakan untuk semua warga negara, dan tidak boleh dilakukan secara diskriminatif karena agama, suku, ras ataupun golongan. Hal ini juga selaras dengan misi pendidikan yang dikampanyekan oleh badan pekerja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bidang pendidikan, UNESCO dengan slogan-nya education for all. Dengan dasar Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Bab V pasal 12; dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama pada sekolah, setiap siswa yang berada di sekolah umum bercirikhaskan agama apapun berhak mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh guru agama yang seagama. Sebaliknya, menjadi kewajiban bagi setiap sekolah bercirikhaskan agama apapun untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi setiap siswanya yang beragama apapun, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. F. Model Pendidikan Agama bagi Siswa yang Tidak Seagama Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh sekolahsekolah yang bercirikhaskan agama tersebut, maka model yang tepat untuk pelasanaan pendidikan agama bagi siswa yang tidak seagama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolahnya adalah dengan “model silang antarsekolah bercirikhaskan agama”; yakni suatu model pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama dengan cara menitipkan siswanya yang tidak seagama kepada sekolah yang ciri khasnya seagama dengan siswanya. Sebagai contoh 440
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
siswa yang beragama Islam di sekolah Kristen dan Katholik, ditipkan ke sekolah yang bercirikhaskan Islam terdekat untuk mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh guru agama yang seagama, berdasarkan tingkatan kelasnya. Demikian pula sebaliknya, siswa yang beragama Kristen atau Katholik yang bersekolah di sekolah Islam, dititipkan untuk mengikuti pendidikan agamanya pada sekolah yang berciri khaskan Kristen atau Katholik sesuai jenjang dan tingkatan sekolahnya. Model ini dapat dikembangkan dalam tiga pola, yaitu: pola antar dua sekolah lintas agama, pola group sekolah seagama dan pola antargroup sekolah lintas agama. Pola pertama, antar dua sekolah lintas agama, di mana masing-masing dari dua sekolah bekerjasama menitipkan siswanya yang tidak seagama untuk memberikan pelajaran pendidikan agama yang sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut. Pola ini hanya dilakukan oleh dua sekolah yang berbeda ciri khas agamanya dan telah mengikat kerjasamanya. Pola kedua, kerjasama yang dilakukan oleh beberapa sekolah yang bercirikhaskan agama yang sama Kelompok sekolah bercirikhaskan agama Islam, misalnya bermitra dalam memberikan pembelajaran pendidikan agama bagi siswanya yang tidak seagama dengan agama ciri khas sekolahnya, kepada salah satu sekolah yang disepakati, baik secara bergantian ataupun menetap untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan pola ketiga, antar group sekolah yang berbeda agama, di mana seluruh siswa Islam misalnya, yang berada di semua sekolah Kristen atau Khatolik dititipkan pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islamnya di sekolah Islam, dan sebaliknya. Seluruh siswa yang dititipkan sesuai jenjang dan tingkatan kelasnya itu dilaksanakan pada satu sekolah yang ditunjuk oleh groupnya ataupun oleh sekolah yang lain dalam group-nya secara bergantian. Model ini dapat meringankan biaya tinggi pendidikan di sekolah swasta, dan meringankan beban psikologis-ideologi penyelenggara pendidikan di sekolah umum yang bercirikhaskan Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
441
Moh. Haitami Salim
agama. Di samping itu, model ini akan membuat siswa saling mengenal satu sama lainnya, baik antar sekolah lintas agama maupun antar sekolah yang seagama, sehingga dapat lebih mendekatkan hubungan antar siswa, maupun penyelenggara pendidikan itu sendiri. Dan selanjutnya akan terbangun rasa tanggung jawab bersama baik antar penyelenggara pendidikan (yayasan) maupun antar pendidik, di sekolah antar agama ataupun yang berbeda ciri khas agamanya. Dengan model ini tawuran antar pelajar dapat diantisipasi, karena dapat secara cepat dideteksi gejalanya. Kelemahan model ini adalah kurang efesien. Karena itu perencanaan dan pengaturan waktu jam belajar untuk pendidikan agamanya harus benar-benar diperhitungkan secara baik, lebihlebih jika jarak antar sekolah tersebut memerlukan waktu yang lama, di samping dari segi keamanan siswa itu sendiri. Agar model pembelajaran pendidikan agama di atas dapat dilaksanakan, kerjasama antar sekolah mutlak diperlukan, baik antara satu sekolah dengan sekolah lain yang bercirikhaskan agama berbeda, maupun dengan kelompok sekolah (group) yang bercirikhaskan agama yang sama ataupun dengan kelompok sekolah bercirikhaskan agama yang berbeda. Setakat ini data menunjukkan tidak ada lagi sekolah yang maju dan berkualitas yang tidak memiliki jaringan kerjasama. Karena sememangnya, sekolah yang memiliki jaringan kerjasama yang luas akan lebih memungkinkan untuk mengembangkan segala potensinya yang ada, termasuk melaksanakan proses pembelajaran. Kerjasama antarsekolah ini tentu saja akan meringankan masing-masing pihak dri segi pembiayaan, tenaga pengajar yang dalam hal ini guru pendidikan agama yang dibutuhkan dan tentu saja dapat berbagi tanggungjawab di samping memupuk kebersamaan antar sekolah. Kerjasama tersebut harus dibangun dari kesadaran dan tanggungjawab bersama untuk melaksanakan pendidikan agama bagi siswa-siswa mereka sebagai proses pendidikan yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan, dan 442
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
bukan sekedar melepaskan kewajiban seperti diamanatkan oleh Undang-undang. Dimulai dari kesepahaman dan kesepakatan yang baik, perencanaan yang benar secara bersama mengenai : kurikulum, waktu, tenaga pengajar, tempat, biaya yang diperlukan, fasilitas dan sarana penunjang; sampai menjaga komitmen untuk melaksanakan rencana kerjasama itu secara konsisten. G. Penutup Melaksanakan ketetapan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 senyatanya tidak mudah untuk dilaksanakan. Fakta menunjukkan bahwa semua sekolah yang bercirikhaskan agama di Kota Pontianak yang memiliki siswa yang berbeda agama dengan agama yang menjadi ciri khas sekolah mereka tidak melaksanakan pendidikan agama sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut, khususnya pada Bab V pasal 12 yang menyebutkan “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Di antara alasan tidak dilaksanakannya pendidikan agama seperti yang dimaksud adalah dikarenakan jumlah siswa yang berbeda agama itu tidak mencukupi jumlah minimum untuk satu rombongan belajar tiap kelasnya dan karenanya tidak disediakan guru pendidikan agama yang seagama dengan mereka. Di samping itu alasan yang sangat substansial adalah karena perbedaan ideologi agama itu sendiri yang menjadi misi sekolah masing-masing. Fenomena ini diyakini menyerupai fenomena gunung es, karena jika diteliti lebih luas kita akan menemukan hal yang sama dan lebih banyak di sekolah-sekolah sejenis kabupaten atau di provinsi lainnya, mulai tingkat sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai tingkat Perguruan Tinggi. Gagasan model pendidikan agama yang ditulis ini hanyalah salah satu upaya untuk memberikan jalan keluar terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa, sekolah Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
443
Moh. Haitami Salim
maupun pemerintah. Tidak hanya menyelamatkan pemerintah dari kehilangan “muka” dalam menegakkan ketentuan perundangundangan, tetapi yang lebih penting adalah memberikan perhatian serius kepada semua peserta didik di setiap jenjang dan tingkatan pendidikan agar mendapatkan pendidikan agamanya.
444
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Menggagas Pendidikan Agama Lintas Sekolah Bercirikhaskan Agama...
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 2003. Kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007. Salim, Moh. Haitami, “Pendidikan Agama dalam Keluarga”, Makalah dalam Seminar Kelas PPs. STAIN Pontianak, 2012. Salim, Moh. Haitami, “Revitalisasi Pendidikan Agama dalam Keluarga: Suatu Jawaban atas Kegalauan Pendidikan Agama di Era Global”, Makalah pada Seminar Kelas PPs. STAIN Pontianak, 2011. Salim, Moh. Haitami, dan Erwin Mahroes, Filsafat Pendidikan Islam, Pontianak; STAIN Pontianak Press, 2010. Salim, Moh. Haitami, dkk, “Pelaksanaan Pendidikan Agama bagi Siswa yang Tidak Seagama dengan Penyelenggara Pendidikan Umum yang Berciri Khaskan Agama: Studi terhadap Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Pontianak Tahun 2012”, Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIN Pontianak, 2012. Salim, Moh. Haitami, Gagasan dan Gerakan Pendidikan BKPRMI: Sebuah Fenomena Baru Organisasi Kemasyarakatan Pemuda Islam pada Masa Orde Baru, Pontianak: STAIN Pontianak Press, Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford Foundation, 2002. Salim, Moh. Haitami, Pendidikan Agama dalam Keluarga: Revitalisasi peran Keluarga dalam Menyiapkan Generasi Bangsa yang Berkarakter. Suatu kajian Teoritis dan Praktis, Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
445
Moh. Haitami Salim
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994 Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Tilaar, H.A.R., Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta: Kompas, 2005. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat MPR RI, 2010.
446
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012