PENGANTAR
Penelitian Penguatan dan Pemahaman Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan dilakukan untuk mengetahui dan menemukenali bagaimana masyarakat di daerah perbatasan menguatkan/ mempertahankan dan memahami kebudayaannya sebagai jatidiri/identitas daerah/ bangsa. Mengingat daerah perbatasan sebagai daerah yang bersinggungan dengan negara tetangga dan memungkinkan pengaruh asing/negara tetangga mudah masuk sebagai akibat hubungan yang terjadi. Dari hubungan yang terjadi itu, seringkali antar mereka mencerminkan dan memiliki kultur yang sama dan kadangkala tidak mengetahui lagi mana kultur milik diri/daerahnya dan mana kultur milik masyarakat negara tetangganya. Oleh karena itu penelitian ini sangat penting dilakukan agar Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata memiliki data yang dapat membeikan kontribusi dalam rangka membangun pertahanan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan mengucapkan Syukur Alhamdu lillaahi (puji syukur kepada Allah yang telah memberikan Rahmatnya) akhirnya laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian Penguatan dan Pemahaman Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan berusaha menyajikan bagaimana komunitas lokal di daerah perbatasan sebagai pemilik dan pelaku menyadari bahwa budayanya harus dipertahankan dan dipahami sebagai jati diri daerah/bangsa. Untuk itu generasi tua telah berupaya secara maksimal, namun demikian generasi muda memiliki keterbatasan ruang dalam memperoleh pengetahuan budayanya karena berkaitan dengan kebijakan pemda yang belum menangani secara optimal bidang kebudayaan. Kondisi demikian menjadi faktor yang cenderung melemahkan budaya. Akhir kata semoga hasil penelitian yang masih perlu penyempurnaan ini dapat menjadi bahan referensi dalam rangka menyusun kebijakan berkaitan dengan pertahanan dan pengembangan bidang kebudayaaan. Untuk itu kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu dalam pelaksanaan i
penelitian ini, khusus Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan yang telah memberi saran dan banyak masukan, juga saudara Bambang Rudito dengan pengetahuan/masukannya, serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu telah mendukung kegiatan penellitian ini hingga selesai menjadi suatu laporan, kami tim peneliti mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Semoga amal, budi-baik yang diberikan tersebut mendapat Rahmat dari Allah Subhana Wa Taala. Demikian laporan hasil penelitian Penguatan dan Pemahaman Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan, semoga dapat bermanfaat. Kritik yang membangun dan sumbangsaran sangat kami harapkan untuk penyempurnaan tulisan ini, sehingga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Mengetahui Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan
Kapokja Kegiatan Penelitian Pemahaman dan Penguatan Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan
Junus Satrio Atmodjo, M.Hum. NIP. 131405663
Dra. Ernayanti NIP 131688701
ii
DAFTAR ISI PENGANTAR .................................................................................. I DAFTAR ISI................................................................................... III ABSTRAK .................................................................................... IIV BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1 A. Latar .............................................................................. 1 B. Permasalahan ............................................................... 3 C. Kerangka Pemikiran ...................................................... 5 D. Tujuan dan Sasaran ...................................................... 6 E. Ruang Lingkup .............................................................. 7 F. Metode Penelitian .......................................................... 9 BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PERBATASAN .............. 11 A. TANJUNGPINANG ..................................................... 11 B. Entikong ..................................................................... 20 C. Bitung ......................................................................... 29 D. Tanjung Balai .............................................................. 42 BAB III MASYARAKAT PERBATASAN DALAM REALITAS ...... 54 A. Tanjungpinang ............................................................. 54 B. Entikong (Kalimantan Barat) ........................................ 78 C. Bitung ........................................................................ 105 D. Tanjung Balai (Sumatera Utara) ................................ 128 BAB IV ANALISIS ..................................................................... 156 A. Tanjungpinang .......................................................... 156 B. Entikong ................................................................... 161 C. Bitung ........................................................................ 167 D. Tanjung Balai ............................................................ 171 BAB V PENUTUP ...................................................................... 176 A. KESIMPULAN ........................................................... 176 B. REKOMENDASI ........................................................ 183 KEPUSTAKAAN ........................................................................ 184 TIM PENELITI ............................................................................ 186
iii
ABSTRAK Daerah perbatasan Tanjungpinang, Entikong, Bitung, Tanjung Balai, dihuni oleh masyarakat lokalasal (Melayu, Dayak, Sangir, Melayu) dan pendatang. Masyarakat lokal/asal sebagai pemilik dan pelaku budaya daerah, menyadari bahwa budayanya harus dipertahankan dan dipahami sebagai jatidiri daerah/ bangsa. Upaya akan hal itu dilakukan terutama oleh kalangan tua dengan selalu menjalankan tradisi/ adat-istiadatnya (misal dalam daur hidup), menyadari akan batas budaya kesukubangsaannya (mengetahui mitologi/ cerita rakyat daerahnya), memunculkan simbol identitas dalam proses sosial (penggunaan bahasa daerah dan nasional). Namun demikian dalam proses mensosialisasikan dan menginternalisasikan budaya tersebut pada generasi muda/ generasi penerus, ruang yang dimiliki sangat terbatas. Sehingga dapat mengkondisikan generasi muda mempunyai kecenderungan kurang memahami budaya daerahnya. Dengan demikian bisa saja kelak mereka tidak dapat berupaya lagi untuk mempertahankannya. Sementara itu pihak pemerintah (pemda/pusat), belum memberikan ruang yang luas dalam arti penanganan yang optimal terhadap bidang budaya. Kondisi ini terwujud antara lain dengan lepasnya beberapa naskah kuno Melayu ke tangan Malaysia (Tanjungpinang), tidak ada kurikulum lokal/budaya (Entikong), merebaknya kehidupan malam (Bitung), seniman/ budayawan Melayu lari ke Malaysia (Tanjung Balai). Ini menjadi faktor yang cenderung melemahkan budaya, apalagi didukung oleh kondisi orientasi kerja dan kesehatan masyarakat di daerah perbatasan yang cenderung ke negara tetangga.
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Daerah perbatasan mengandung suatu pengertian, lokasilokasi yang merupakan bagian wilayah suatu negara yang secara administratif, geografis, letaknya berbatasan dengan negara lain. Secara kultural juga berbatasan, sehingga kadangkala masyarakatnya memiliki persamaan kultur. Dengan demikian bisa terjadi antara masyarakat perbatasan itu mengalami kesamaran dalam kepemilikan kulturnya masing-masing. Seperti yang dialami masyarakat perbatasan Indonesia dengan masyarakat perbatasan Malaysia, Philipina, Papua New Guinea dan Timor Leste. Nampaknya kondisi ini cenderung terjadi berdasarkan pengalaman, bahwa sebagian besar warga masyarakat Indonesia yang menempati wilayah atau berada di daerah perbatasan itu memiliki hubungan intens dengan masyarakat daerah negara tetangganya baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya, seperti keagamaan, kekerabatan dan kesenian. Di samping itu pula mungkin juga karena asal-usul nenek moyang yang sama. Dalam kondisi demikian daerah perbatasan tidak hanya dilihat sebagai geografis spasial, tetapi juga sebagai geografis sosial. Artinya, di daerah perbatasan itu selalu ada masyarakat yang menghuni dan melintasinya. Dengan perspektif demikianlah, muncul permasalahan yang salah satunya adalah kesamaran kultural tersebut. Dimana batasan-batasan yang ada (bersifat konvensional) telah mencair. Sehingga daerah perbatasan memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial (Riwanto Tirtosudarmo, iv, 2002). Dengan demikian daerah perbatasan tidak lagi dipandang sebagai geographical space (ruang geografi), tetapi lebih sebagai socio-cultural space (ruang sosial budaya). Dengan perpekstif demikian, batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Malah bisa terjadi membelah etnisitas yang sama karena sejarah kebangsaannya yang berbeda, seperti etnis Dayak Kalimantan Barat dan etnis Dayak Iban di
Serawak yang memiliki kesamaan sukubangsa dan kultur. Oleh karena itulah secara tidak sengaja, perilaku dan gaya hidup atau sosio kultural yang diwujudkan masyarakat daerah perbatasan Indonesia cenderung mencerminkan karakteristik sosio-kultural masyarakat daerah negara tetangganya. Kadangkala bisa saja mereka tidak tahu mana yang merupakan kultur milik daerahnya yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mana kultur yang milik negara tetangganya. Artinya mereka kurang menyadari dan memahami akan kultur daerahnya maupun kultur bangsanya. Dalam konteks hubungan antara budaya daerah/nasional Indonesia dan budaya negara tetangga, yang bisa mengakibatkan identitas diri/budaya daerah/nasional bangsa Indonesia sebagai ciri satu kesatuan negara dan bangsa akan memudar. Kondisi akan lebih memprihatinkan apabila kerabatnya yang satu sukubangsa sangat bangga akan jati dirinya sebagai bagian dari masyarakat bangsa negara tetangga. Kondisi demikian semakin mempengaruhinya sebagai satu kesatuan sukubangsa yang akan menjalar pada bentuk kesatuan bangsa negara tetangga dengan kurangnya kesadaran akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Apabila kondisi demikian tetap berlanjut sungguh memprihatinkan, karena dapat muncul kecenderungan unsur-unsr budaya bangsa Indonesia menjadi milik atau diserap menjadi budaya bangsa lain. Permasalahan menjadi semakin kompleks apabila dikaitkan dengan lepasnya beberapa bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi bagian wilayah negara tetangga. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dikaji melalui suatu penelitian mengenai penguatan dan pemahaman budaya masyarakat di daerah perbatasan berkaitan dengan kultur yang menjadi milik dirinya, sebagai wujud identitas masyarakat tersebut dan juga identifikasi sarana-sarana sosialisasi kebudayaan nasional Indonesia yang ada serta penggunaan kebudayaan nasional Indonesia sebagai bentuk interaksi dengan masyarakat lainnya. Melalui upaya demikian, identitas masyarakat daerah bersangkutan dengan kulturnya akan dapat diketahui dan dikenali, kemudian dapat dilestarikan untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2
B. Permasalahan Daerah perbatasan merupakan daerah yang selalu dibayangi-bayangi permasalahan infiltrasi pengaruh unsur budaya asing. Kondisi demikian bisa terjadi karena masyarakat daerah perbatasan Indonesia dapat berhubungan langsung dengan luar negeri/negara tetangga, baik melalui jalan darat maupun jalan laut terutama dalam bidang perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang dilakukan masyarakat perbatasan Indonesia dengan negara tetangga telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang. Kondisi sangat mempengaruhi dalam terbentuknya dinamika sosial budaya yang terjadi di daerah perbatasan tersebut. Dalam konteks perdagangan itulah, intensitas hubungan terjadi. Di samping menjual hasil dagangannya, antar mereka saling membina hubungan. Dengan demikian secara sengaja atau tidak sengaja antar mereka dapat saling bertukar informasi akan berbagai hal. Dalam konteks demikian pengaruh unsur-unsur budaya negara tetangga itu akan mudah masuk. Ditambah lagi perhatian dan informasi dari pemerintah baik sosial maupun ekonomi tidak atau kurang mereka peroleh. Sementara itu di negara tetangga fasilitas kesehatan, informasi, ekonomi dan lain-lain biasanya akan mudah mereka peroleh. Seperti halnya yang terjadi di Nunukan Kalimantan Timur bahwa masyarakat di daerah tersebut lebih mudah mendapatkan barang-barang kebutuhan sehari-hari, serta lebih murah biayanya barang yang berasal dari Tawao Malaysia. Ada kecenderungan bagi masyarakat di daerah perbatasan yang kondisi kehidupan sosial ekonominya banyak dipengaruhi masyarakat bangsa lain untuk menggunakan model-model serta simbol-simbol interaksi yang digunakan dengan memakai kebudayaan bangsa lain. Masyarakat daerah perbatasan dapat menganggap kondisi tersebut sebagai suatu kewajaran, tanpa menyadari identitas budaya mereka telah melemah. Kondisi demikian seolah-olah memberi gambaran masyarakat di daerah perbatasan kurang merasa memiliki entitas budaya daerah dan juga budaya nasionalnya. Kondisi demikian dapat mendorong proses memudarnya rasa kebangsaan. Dengan demikian masalah yang pokok adalah bahwa nilainilai budaya kesukubangsaan akan rentan terhadap pengaruh nilai 3
budaya kebangsaan (nasional). Apabila aturan dari nilai-nilai nasional bangsa mendominasi dalam kehidupan masyarakat, maka nilai budaya kesukubangsaan akan cenderung menggunakan dan mengadaptasikan diri terhadap nilai kebudayaan bangsa (nasional) yang tumbuh dan berkembang di arena sosial tersebut. Kondisi tersebut sangat berkaitan dengan pengaruh sistem politik negara yang menjadi acuan bagi kesatuan nasional, sehingga negara sebagai pendukung dari kebudayaan nasional akan mendominasi wilayah-wilayah dari negara untuk menguatkan jatidiri bangsa (negara). Apabila dominasi nasional kurang atau tidak kuat di wilayah perbatasan (sukubangsa di perbatasan), maka nilai budaya kesukubangsaan akan mengikuti nilai budaya negara lain (tetangga). Berkaitan dengan permasalahan tersebut, ada tiga pertanyaan yang ingin dijawab dalam menjelaskan bagaimana penguatan dan pemahaman budaya masyarakat di daerah perbatasan dapat berlangsung. 1. Bagaimana realitas masyarakat etnis asal/ asli/ lokal di daerah perbatasan terbentuk dalam proses sosial di lingkungannya. 2. Apakah terdapat simbol yang berfungsi sebagai simbol identitas identitas etnisnya (komunitas lokal), dan bagaimana simbolsimbol itu terbentuk dan dipelihara/dilestarikan dalam proses sosial. 3. Bagaimana interaksi yang terjadi antara masyarakat/komunitas lokal di daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga, dalam ruang sosial yang bagaimana itu bisa berlangsung dan apakah interaksi itu dapat melahirkan/ mempengaruhi suatu sikap masyarakat komunitas lokal di daerah perbatasan. Ketiga pertanyaan ini dapat dijawab melalui penelitian ini sehingga memungkinkan akan dipahaminya proses dinamika sosial masyarakat di daerah perbatasan yang meliputi cara-cara pengelolaan akan jati diri atau identitas diri (budaya daerah/ nasional) dalam suatu lingkungan masyarakat/ sosial tersebut.
4
C. Kerangka Pemikiran Masyarakat di daerah perbatasan merupakan masyarakat yang tidak lepas dari konsep kesukubangsaan. Seringkali masyarakat perbatasan yang merupakan komunitas lokal/ etnis asal dan juga pendatang mempunyai hubungan intens dengan komunitas wilayah negara tetangga yang secara kesukubangsaan masih berhubungan maupun tidak. Dalam kondisi demikian antar mereka tidak lagi merasa berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas, karena keberadaan sukubangsa tersebut telah bercampur dengan etnis-etnis lain (etnis asal/ asli, etnis pendatang luar daerah maupun etnis pendatang dari negara tetangga) yang antara mereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan. Jati diri kesukubangsaan akan muncul dalam interaksi sosial, hal ini dapat terjadi karena dalam interaksi sosial akan tampak tingkah laku yang didasari pada kebudayaan masingmasing kelompok yang berinteraksi. Dengan diketahuinya kebudayaan yang berbeda dapat terlihat dari interaksi sosial, maka identitas kelompok-kelompok tersebut akan tampak apakah menggunakan identitas sukubangsa atau nasional. Ciri pembeda ini menjadi aspek yang dapat menunjukkan penguatan dan pemahaman masyarakat di daerah perbatasan (masyarakat etnis asal/ asli) terhadap budaya daerahnya/ etnisitasnya sebaga identitas diri. Terutama dalam kaitannya dengan cara pandang (persepsi), gaya hidup, kebiasaan/ tradisi. Adanya pembedaan yang mengemuka antar masyarakat/ kelompok etnis dalam suatu lokasi, bisa dianggap sebagai faktor pemisah (eklusif sosial). Dalam suatu lingkungan sosial di daerah perbatasan, integrasi dikelola secara bersama-sama dalam interaksi sosial antar etnis (etnis asal/asli dengan etnis pendatang luar daerah dan etnis pendatang luar negara). Untuk melihat proses interaksi masyarakat etnis asal/asli dengan etnis pendatang dan etnis dari luar negara di daerah perbatasan (setting sosial tertentu), ada beberapa hal yang dapat diperhatikan, yakni: 1. Wilayah rumah tangga dan kampung yang mencirikan kehidupan, pola hidup kesukubangsaan yang bisa dilihat dalam bentukbentuk kehidupan sehari-hari serta upaya yang dilakukannya. 5
2. Wilayah publik atau umum lokal yang melibatkan beberapa kelompok sosial yang berbeda budaya seperti di pasar-pasar, tempat-tempat pertemuan. Dari ruang publik tersebut akan tampak jati diri masing-masing kelompok. 3. Wilayah nasional, disini yang akan terjadi adalah pengaruhpengaruh budaya nasional, apakah dominasi nasional terhadap masyarakat kuat atau lemah dapat diketahui dari intensitas aktivitas yang berdasarkan budaya nasional. Ruang-ruang nasional ini dapat ditunjukkan dengan adanya sekolah, kantorkantor pemerintah, pertemuan-pertemuan resmi seperti upacara bendera, 17 agustus dan sebagainya. Ketiga aspek di atas merupakan wilayah cakupan, yang dianggap penting dalam menjelaskan proses interaksi yang terjadi dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Untuk itu ciri-ciri lingkungan di mana sejumlah etnis berada (masyarakat etnis asal/asli daerah perbatasan, masyarakat etnis luar daerah, dan masyarakat negara tetangga) merupakan konteks yang sangat menentukan pola komunikasi yang berlangsung. Konteks sosial dalam hal ini memberi kerangka dan membentuk karakter etnis serta hubungan yang terjadi. D. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Penelitian mengenai penguatan dan pemahaman budaya masyarakat di daerah perbatasan, bertujuan untuk mengetahui dan menemukenali bagaimana masyarakat di daerah perbatasan menguatkan dan mempertahankan kebudayaannya dari pengaruh budaya tetangga, juga pemahaman masyarakat tersebut tentang kebudayaan daerahnya sebagai jati diri/identitas diri. 2. Sasaran Sasaran dalam kegiatan penelitian ini, adalah komunitas lokal di daerah perbatasan dalam keberadaannya sebagai suatu kelompok etnis yang memiliki hubungan intens baik secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat daerah negara tetangganya. 6
E. Ruang Lingkup Kajian mengenai penguatan dan pemahaman budaya masyarakat di daerah perbatasan, dilakukan di daerah Entikong, yang merupakan wilayah satu sukubangsa dengan dua daerah negara (Kalimantan Barat), Bitung, satu sukubangsa dengan batas wilayah laut sebagai batas negara (Sulawesi Utara), Tanjung Pinang, satu sukubangsa dengan batas wilayah laut sebagai batas negara (Kepulauan Riau), Tanjung Balai, satu sukubangsa dengan batas wilayah laut sebagai batas negara (Sumatera Utara). Daerah Entikong wilayah Provinsi Kalimantan Barat menjadi pilihan sebagai lokasi penelitian, karena sebagian besar masyarakatnya khususnya komunitas lokal (Dayak Bedayuh) mempunyai hubungan intens dengan masyarakat negara tetangga Malaysia. Hubungan intens tersebut terjadi karena di satu sisi Entikong merupakan daerah garis batas (borders line) antara Indonesia dengan Malaysia yang memudahkan orang untuk berlalulalang. Di samping itu pula komunitas lokal Entikong (Dayak Bedayuh) banyak mempunyai hubungan kerabat dengan warga Dayak Malaysia yang antara mereka saling kunjung pada peristiwa adat maupun dalam rangka silahturahmi. Sementara itu Bitung sebagai suatu kota yang merupakan wilayah Provinsi Sulawesi Utara menjadi lokasi penelitian, bertolak dari anggapan bahwa komunitas lokalnya yakni orang Sangir/ Sangihe cukup mempunyai hubungan dengan masyarakat negara tetangga Philipina dan juga mudah/banyaknya kapal asing/ luar negara berlabuh di pelabuhan Bitung. Komunitas Sangir di Bitung tersebut adalah komunitas Sangir berasal dari gugusan Kepulauan Sangir yang sejak dulu (nenek moyangnya) migrasi ke daerah Bitung. Kepulauan Sangir yang komunitas lokalnya orang Sangir itulah sebenarnya yang pas untuk lokasi penelitian mengingat jaraknya relatif dekat dengan wilayah perbatasan (laut) Philipina. Namun demikian karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, mengingat keadaan cuaca, waktu dan biaya pilihan lokasi ditentukan di daerah Bitung yang merupakan suatu kota pelabuhan, dengan alasan dapat mewakili sasaran dan data yang ingin diperoleh. 7
Tanjungpinang sebagai suatu kota yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau menjadi pilihan lokasi penelitian, karena daerahnya relatif dekat dengan perbatasan (laut) Malaysia/ Singapura yang memudahkan antar masyarakatnya berlalu-lalang atau menjalin hubungan untuk berbagai kepentingan. Kota Tanjungpinang dihuni oleh komunitas lokal/asal/asli Melayu Riau yang menjadi sasaran penelitian, di mana sebagian dari mereka masih mempunyai hubungan kerabat dengan warga Melayu Malaysia/Singapura. Demikian pula dengan Tanjung Balai sebagai suatu kota di bawah wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara menjadi lokasi penelitian, karena merupakan daerah perbatasan laut dengan Malaysia (Pulau Penang). Jarak Tanjung Balai ke Pulau Penang Malaysia relatif dekat, sehingga memudahkan mereka berlalu-lalang untuk berbagai kepentingan dan keperluan. Sama dengan Tanjungpinang komunitas lokalnya adalah orang Melayu ada yang mempunyai hubungan kerabat dengan warga Melayu di Malaysia. Dengan berhubungan intens dan mudahnya berlalu-lalang ke negara tetangga, mengesankan masyarakat di daerah perbatasan tersebut dapat membaur dengan masyarakat negara tetangganya. Masyarakat di daerah perbatasan yang menjadi fokus perhatian adalah komunitas lokal, karena bertolak dari anggapan bahwa mereka kelompok masyarakat etnis asal/asli sering menunjukkan kesamaan karakteristik sosio-kultural dengan masyarakat negara tetangga. Ruang lingkup materi yang akan direkam berkaitan dengan penguatan dan pemahaman budaya masyarakat di daerah perbatasan tersebut, adalah mengenai batas budaya kesukubangsaan difokuskan juga pada arena-arena sosial pertemuan antar individu yang terdapat di daerah tersebut, khususnya arena-arena sosial ekonomi. Hal ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi merupakan faktor perubah yang sangat dominan dalam interaksi sosial berkenaan dengan kondisi pola hidup masyarakat. Perubahan kebudayaan akan tampak atau bermula pada perubahan kondisi sosial ekonomi, sehingga ini akan dapat memunculkan jati diri dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, arenaarena sosial ekonomi menjadi perhatian dalam kajian ini yang berkaitan dengan unsur-unsur lain dalam kebudayaan. Dengan 8
lingkup materi demikian diharapkan apa yang ingin dicari dapat tercapai. F. Metode Penelitian Penelitian Penguatan dan Pemahamanan Budaya Masyarakat Di Daerah Perbatasan ini bersifat deskriptif kualitatif, dalam arti menggunakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif ini dilakukan dengan melalui pengamatan terhadap tingkah laku yang dimunculkan oleh individu sebagai anggota komunitas. Dengan melihat tingkah laku sehari-hari berkaitan dengan aktivitas yang penting atau dianggap penting oleh komuniti maka diharapkan akan dapat dianalisa model-model budaya yang berlaku di komunitas. Analisa yang digunakan ini mengacu pada model dari Spreadley yaitu melihat tiga wujud kebudayaan sebagai acuan dalam mengembangkan metode kualitatif yang digunakan. Tiga wujud kebudayaan tersebut antara lain pengetahuan budaya, tingkah laku budaya dan materi budaya. Dengan melihat tingkah laku budaya maka model-model pengetahuan budaya masyarakat dapat dideskripsikan. Untuk itu apa yang ingin diungkap dalam penelitian ini, dibutuhkan tiga teknis pengumpulan data yang saling terkait, yakni: 1. Observasi atau pengamatan untuk menemukan data-data yang sifatnya kurang terungkap dari wawancara (seperti sikap atau perilaku masyarakat etnis asal di daerah perbatasan dalam hubungannya dengan masyarakat negara tetangga, simbolsimbol identitas diri apa yang dimunculkan). 2. Wawancara mendalam (indepth interview) untuk mengungkapkan data-data yang sangat penting agar memperoleh gambaran jelas mengenai penguatan dan pemahaman masyarakat tersebut (etnis asal/asli) akan budayanya. Wawancara ini ditujukan kepada informan masyarakat etnis asal/asli sebagai fokus perhatian. Namun untuk memperoleh data yang semakin lengkap, wawancara juga ditujukan kepada informan etnis pendatang luar daerah dan infoman pangkal (kepala desa, tokoh masyarakat setempat). 3. Focus group discussion (FGD), dilakukan suatu diskusi dengan sekumpulan atau sekelompok orang-orang tertentu yang 9
dianggap cukup mengetahui materi yang ingin dicari. Dengan cara atau teknis ini diharapkan data yang diperoleh semakin akurat. Informan yang diperlukan dalam melakukan FGD ini diambil dari strata yang sederajat yang ada dan berlaku di komunitas setempat. Kemudian dilakukan cross check dengan melakukan FGD terhadap orang-orang yang dianggap pendatang yang ada di komunitas setempat.
10
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PERBATASAN A. TANJUNGPINANG 1. Lokasi, Lingkungan Fisik dan Sosial Secara teritorial wilayah Kota Tanjungpinang berbatasan dengan wilayah negara tetangga Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu Tanjungpinang dikenal atau disebut sebagai daerah perbatasan. Kota Tanjungpinang secara administratif merupakan Daerah Tingkat II yang berada di bawah Daerah Tingkat I Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai Daerah Tingkat II, Kota Tanjungpinang dikepalai oleh seorang walikota. Oleh karena Kota Tanjungpinang juga merupakan Ibukota Provinsi Kepulauan Riau, maka kantor gubernur Provinsi Kepulauan Riau berada pula di Kota Tanjungpinang tersebut. Kota Tanjungpinang yang merupakan Ibukota Provinsi Kepulauan Riau ini terletak di Pulau Bintan, atau berada di sebelah timur Pulau Batam1. Sebagian besar wilayah Kota Tanjungpinang merupakan lautan, dengan luas 239,5 km2. Secara administratif sebelah utara Kota Tanjungpinang berbatasan dengan Kecamatan Galang (Batam); sebelah selatan dengan Kecamatan Bintan Timur; sebelah timur dengan Kecamatan Galang Batam; dan sebelah barat dengan kecamatan Bintan Barat. Untuk menuju Kota Tanjungpinang yang berada di Pulau Bintan tersebut, biasanya dari Jakarta lebih dulu ke Batam dengan pesawat udara. Kemudian sampai di bandar/pelabuhan udara Batam (Hang Nadim) berangkat ke pelabuhan laut Telaga Punggur, dengan jarak tempuh 17 km dan waktu tempuh tiga puluh menit. Dari pelabuhan Telaga Pungkur Batam ke pelabuhan Bintan Tanjungpinang dengan menggunakan kapal laut (speed boat), jarak tempuh yang dicapai kurang lebih 30 mil dan waktu tempuhnya 1
Dari pelabuhan Telaga Punggur (Batam) ke Pelabuhan Tanjungpinang (Pulau Bintan) ditempuh dengan menggunakan speed boat, selama 1 jam 20 menit perjalanan.
11
kurang lebih 1 jam 20 menit. Sementara itu dari pelabuhan Bintan ke kota Tanjungpinang dapat dicapai kendaraan umum roda empat atau lainnya dengan jarak tempuh kurang lebih 5 km, dan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Sebagai daerah Tingkat II, Kota Tanjungpinang membawahi beberapa kecamatan. Salah satunya adalah Kecamatan Tanjungpinang Timur sebagai sample wilayah penelitian. Kalau dilihat secara topografi, wilayah Kota Tanjungpinang (termasuk Kecamatan Tanjungpinang Timur) merupakan dataran rendah dan berbukit-bukit, datar sampai berombak 40%, berombak sampai berbukit 60%. Namun demikian rata-rata ketinggiannya dari permukaan laut sekitar 3 meter. Letak kantor walikota Tanjungpinang, berada di tengah kota. Walaupun demikian hubungan dengan desa atau antar desa yang agak ke arah pinggir dapat berjalan baik, karena ditunjang oleh sarana transportasi yang sangat mendukung. Seperti mobil penumpang umum2, dan juga angkutan laut dengan menggunakan perahu bermotor (pompong). Kalau dilihat berdasarkan iklim atau keadaan cuacanya, Kota Tanjungpinang merupakan daerah tropis basah dengan temperatur rata-rata terendah 18 derajat celcius dan tertinggi 27 derajat celcius. Sedangkan kelembaban udaranya rata-rata 61% sampai dengan 91%. Sama dengan daerah lainnya ada dua musim yang cukup dirasakan di Kota Tanjungpinang tersebut, yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober sampai dengan Bulan April, dan musim panas/kemarau berlangsung pada bulan Juni sampai dengan Agustus. Perubahan angin dapat dilihat pada waktu musim utara terjadi pada bulan Desember sampai Februari, dan musim timur terjadi pada bulan Maret sampai Mei. Sedangkan untuk musim selatan terjadi pada bulan Juni sampai Agustus, dan musim barat terjadi pada bulan September sampai November. Dengan adanya pergantian musim setiap waktu di daerah ini, mengakibatkan arah angin tidak menentu atau lebih dikenal dengan sebutan angin pancaroba. Pada saat bertiupnya angin utara dan barat, hujan turun terus-menerus yang diiringi dengan angin yang sangat kencang. Dalam kondisi demikian 2
Masyarakat Tanjungpinang menyebut mobil angkutan umum dengan Transport, sedangkan angkutan umum roda dua disebut ojek.
12
kalau sedang berada di lautan menuju Batam atau menuju Tanjungpinang, rasa kenyamanan dan aman dalam kapal (speed boat) akan agak terganggu atau kurang diperoleh. Oleh karena itu bila tidak ada kepentingan/keperluan yang mendesak masyarakat Tanjungpinang memilih untuk tidak pergi menyeberangi lautan. Kota Tanjungpinang pada perkembangannya kini telah mengalami kemajuan fisik yang cukup baik. Apalagi dengan terjadinya perubahan besar Ibukota Provinsi Kepulauan Riau yang sebelumnya berada di Batam, kini berada di Kota Tanjungpinang. Berbagai prasarana dan sarana dibangun di kota tersebut. Prasarana dan sarana transportasi yang ada telah memadai, yakni diperbaiki dan dibangunnya jalan-jalan di daerah-daerah/pusat perdagangan maupun jalan-jalan menuju daerah ke desa-desa atau perkampungan dan permukiman masyarakat. Tidak lupa jalur dan armada transportasi yang semakin banyak dan baik bagi masyarakat. Berkaitan dengan itu pula pemerintah daerah Tanjungpinang semakin giat membangun berbagai sarana fisik lainnya yang diperlukan. Pembangunan berbagai prasarana dan sarana yang dibutuhkan oleh Kota Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi, membuat kota tersebut semakin ramai dengan berbagai aktivitas yang ada. Apalagi kalau mengingat Kota Tanjungpinang sebagai daerah yang berada di wilayah perbatasan dan mempunyai hubungan perdagangan dengan negara tetangga, semakin menggambarkan daerah tersebut penuh dengan kedinamisan para penghuninya. Para penghuni Kota Tanjungpinang tersebut, menempati permukiman-permukiman yang tersebar di daerah tingkat kecamatan, kelurahan ataupun desa yang berada di bawah pemerintahan administratif Kota Tanjungpinang. Salah satu kecamatan yang berada di bawah administratif Kota Tanjungpinang itu, yakni Kecamatan Tanjungpinang Timur berjarak tempuh kurang lebih 6 km2 dan waktu tempuh 10 menit dengan kendaraan bermotor dari Kota Tanjungpinang tersebut. Kecamatan Tanjungpinang Timur sebagai suatu wilayah, memiliki komunitas lokal Melayu. Tepatnya merupakan komunitas Melayu Riau yang menjadi sasaran penelitian. Kecamatan Tanjungpinang Timur tidak jauh berbeda atau sama dengan kecamatan lainnya, yakni merupakan daerah dataran rendah dan juga berbukit. 13
Prasarana dan sarana yang ada juga cukup baik dan dapat memenuhi kebutuhan dan dinamika para warga. Sebagai suatu wilayah administratif, Kecamatan Tanjungpinang Timur terdiri dari beberapa kelurahan. Salah satu diantaranya adalah Kelurahan Melayu Kota Piring yang sebagian besar warga masyarakatnya merupakan komunitas asli, yakni orang Melayu. Nama Kelurahan Melayu Kota Piring, tidak lepas dari sejarah keberadaan daerah tersebut. Pada masa lalu dimana kerajaan Melayu masih berjaya, di daerah itu ada sebuah kerajaan Melayu yang bernama Kerajaan Riau Lingga. Pada saat itu kerajaan tersebut merupakan eksistensi Kesultanan Riau yang cukup dikenal oleh kerajaan-kerajaan lainnya, baik oleh kerajaan-kerajaan Melayu lainnya maupun bukan kerajaan Melayu. Bahkan Kerajaan Melayu Riau Lingga ini juga dikenal oleh kerajaan-kerajaan dari luar negeri/negara, seperti kerajaan dari negara Cina. Setiap mereka yang datang atau berkunjung ke kerajaan tersebut, selalu mendapat piring sebagai cenderamata. Oleh karena itulah kemudian daerah tempat kedudukan Kerajaan Riau Lingga pada masa lalu itu, diberi nama sebagai daerah administratif Kelurahan Melayu Kota Piring. Di Kelurahan Melayu Kota Piring tersebut, hingga kini masih terdapat sebagian bangunan tembok bekas Kerajaan Melayu Riau Lingga yang sudah menjadi Benda Cagar Budaya (BCB). Tidak hanya Kelurahan Melayu Kota Piring namanya dikaitkan dengan peristiwa yang pernah terjadi di daerah itu, desa-desa atau kelurahan yang lainpun juga ada yang mempunyai nama berkaitan dengan peristiwa atau hal tertentu di wilayahnya tersebut. Kelurahan Kota Piring Tanjungpinang Timur tersebut, secara geografis berada di daerah tinggi berbukit dan dataran rendah seperti pantai, dengan luas wilayah 400 ha. Batas wilayahnya sebelah utara dengan Kelurahan Kampung Bugis, sebelah selatan dengan Kelurahan Sei-jang, sebelah barat dengan Kelurahan Kampung Bulang, sebelah timur dengan Kelurahan Air Raja. Dengan kondisi daerah dan luasnya demikian, rumah-rumah yang ada di Kelurahan Kota Piring terutama di daerah daratan dibangun dalam bentuk mengelompok dan berjejer menghadap jalan dengan jarak rumah satu sama lain agak berjauhan. Rumahrumah yang ada di daerah agak berbukit dan tanah datar, umumnya merupakan rumah dengan bangunan bersifat permanen. Sementara 14
itu di daerah tepi pantai atau sungai, rumahnya mengelompok padat yang nampak sebagian bersifat semi permanen dan sebagian bersifat permanen. Bisa merupakan rumah panggung dengan tiang kayu dengan tinggi 1 meter di atas tanah. Bangunan rumah itu biasanya berbentuk empat persegi panjang dengan bubungan atapnya kadang ada berbentuk limas panjang, yang dikenal dengan sebutan bubungan Melayu. Rumah-rumah ditepi pantai atau sungai ini sebagian besar dihuni oleh masyarakat nelayan. Sedangkan rumah-rumah yang ada di daerah bukit atau tanah datar, biasa dihuni oleh masyarakat di luar nelayan. Jalan-jalan yang ada di lingkungan permukiman daerah Kelurahan Kota piring, merupakan jalan aspal dan jalan semen, dan jalan tanah keras. Umumnya jalan beraspal ada di sekitar permukiman yang ke luar atau dekat untuk menuju pusat kota. Untuk jalan lainnya (semen, tanah keras), biasanya di lingkungan permukiman yang agak berada di dalam. Jalan-jalan tersebut dapat dilalui kendaraan roda empat, namun demikian tidak selalu kendaraan roda empat ini dapat berjalan cepat atau lancar. Kondisi demikian berkaitan dengan lebar jalan yang kadangkala hanya dapat dilalui untuk satu buah kendaraan roda empat/mobil. Berbagai sarana yang ada di lingkungan permukiman Kelurahan Kota Piring, cukup mendukung kehidupan warganya. Untuk keperluan air bersih, tersedia air pam atau ledeng dan air dari sumur pompa. Untuk penerangan, listrik sudah dinikmati seluruh warga. Puskesmas dan Posyandu selalu siap membantu untuk kesehatan warga dan balita. Masjid atau mushollah yang ada di kelurahan tersebut, selalu dapat digunakan warga atau masyarakat setempat untuk beribadah bersama-sama. Sementara itu untuk kepentingan warga dalam berbagai urusan atau masalah, mereka dilayani oleh aparat kelurahan yang berada dalam struktur pemerintahan kelurahan. Struktur pemerintahan Kelurahan Kota Piring, berdasarkan Kepmendagri, adalah Kepala Kelurahan/Lurah, Sekretaris Lurah, jabatan fungsional, Kasi Pemerintahan, Kasi Umum dan Trantib, Kasi Pembangunan dan Pelayanan Masyarakat. Aparat dalam struktur pemerintahan Kelurahan Kota Piring tersebutlah yang berperan dalam kepentingan warga masyarakatnya. 15
Namun demikian kepentingan warga juga dapat dibantu penyelesaiannya melalui struktur masyarakat yang bersifat non formal, atau di luar struktur formal pemerintahan tadi. Dalam hal ini yang berperan, biasanya adalah tokoh masyarakat. Biasanya mereka sering menjadi panutan dan dihormati warga, karena seringkali petuah atau pendapatnya bisa diterima dan menentramkan hati warga. Mereka dapat berstatus alim ulama, guru, tua adat, atau yang lainnya. 2. Penduduk dan Kehidupan Sosial Budaya Berdasarkan data tahun 1993, penduduk Kota Tanjungpinang berjumlah 89.638 jiwa dengan tingkat kepadatan 375 jiwa per km2. Jumlah penduduk terbanyak pada tahun itu berada di wilayah administratif Kecamatan Tanjungpinang Timur, yaitu 17.460 jiwa. Berdasarakan perbandingan luas wilayah dengan jumlah penduduk daerah kecamatan itu 17.460, bagian penduduk di kecamatan itu yang terpadat berada di Kelurahan Tanjungpinang Kota mencapai 7.907 jiwa dalam luas wilayah 1,5 km2. Sedangkan terkecil berada di Desa Penyengat 1.984 jiwa. Pada tahun 1997 jumlah penduduk Kota Tanjungpinang mengalami peningkatan, yakni menjadi 98.149 jiwa. Dengan rincian perkecamatan, yakni Kecamatan Tanjungpinang Barat dengan jumlah penduduk 45.940 jiwa dan Kecamatan Tanjungpinang Timur dengan jumlah penduduk 52.209 jiwa. Untuk mengetahui jumlah penduduk berdasarkan sukubangsa tidak dapat diperoleh, karena tidak ditemukan data yang memberikan gambaran demikian. Namun demikian yang diketahui hanyalah Kota Tanjungpinang bukan saja dihuni oleh penduduk lokal tetapi juga dihuni oleh penduduk yang berasal dari berbagai komunitas sukubangsa. Dengan demikian Kota Tanjungpinang umumnya dan Kecamatan Tanjungpinang Timur khususnya, dihuni oleh komunitas lokal dan komunitas pendatang. Artinya daerah tersebut merupakan daerah yang ditempati oleh masyarakat beranekaragam sukubangsa dan budaya (multikultur). Komunitas lokal/asal merupakan komunitas Melayu (Melayu Riau). Orang Melayu (Melayu Riau) di Tanjungpinang merupakan kelompok terbesar dibandingkan dengan suku bangsa asal/asli Melayu lainnya. Mereka menyebar di hampir 16
seluruh wilayah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau atau Riau Kepulauan yang merupakan penduduk mayoritas, seperti di Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri, Hulu, Kabupaten Kampar. Sedangkan komunitas pendatang antara lain terdiri dari komunitas Minangkabau, Batak, Bugis, Jawa, Sunda. Komunitas pendatang yang ada tersebut, biasanya menyebar ke berbagai wilayah Tanjungpinang. Malah kadangkala mereka menjadi penduduk mayoritas di daerah atau kecamatan tertentu, seperti yang dialami orang Minangkabau, Bugis, Banjar, dan Jawa. Komunitas lokal/asal Melayu (Melayu Riau), awalnya sebagian besar mempunyai matapencaharian nelayan. Bekerja sebagai nelayan yang mereka wujudkan berkaitan dengan kondisi geografis wilayahnya yang dikelilingi oleh laut. Juga didukung oleh daerah hunian yang mereka tempati berada di daerah pantai/sungai. Namun kini karena berbagai pengaruh dan perkembangannya, sebagian dari mereka mempunyai matapencaharian bercocoktanam, sebagai PNS, pedagang/ wiraswasta, karyawan swasta, penjual jasa, dan lain sebagainya. Kalau komunitas pendatang, sebagian besar mempunyai matapencaharian sebagai pedagang, penjual jasa, juga PNS. Mereka yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, biasanya karena ada penempatan dari pusat ke daerah atau keinginan pindah untuk mencoba bekerja di luar daerah asalnya. Sementara itu pendatang yang bekerja sebagai pedagang, dan penjual jasa karena melihat adanya peluang yang memungkinkannya untuk bisa survive/bertahan hidup. Malah karena para pendatang ini pula, ekonomi komunitas lokal menjadi lebih luas dan dinamis. Berbagai matapencaharian yang ada dan dilakukan oleh warga Tanjungpinang, khususnya Kelurahan Melayu Kota Piring tidak lepas pula dari kondisi wilayahnya yang strategis dan pontensial. Merupakan wilayah yang strategis dan potensial dalam pengembangan perekonomian dan perdagangan serta industri. Kondisi ini tercermin dari banyaknya usaha industri garmen dan home industri, warung/kedai kelontong, sehingga memungkinkan warga untuk turut berperan dalam bidang pekerjaan tersebut. Sementara itu karena di wilayah Kelurahan Melayu Kota Piring terdapat sebuah pelabuhan bongkar muat tepatnya di daerah batu enam, maka banyak warga yang menjadi tenaga kerja atau buruh 17
tetap di pelabuhan itu. Kondisi ini semakin meramaikan suasana di Kelurahan Melayu Kota Piring. Matapencaharian menangkap ikan yang dilakukan oleh komunitas lokal Melayu (Melayu Riau) terutama yang tinggal di pesisir, nampaknya juga bisa menjadi pekerjaan yang potensial. Apalagi kelompok nelayan di Kelurahan Melayu Kota Piring sudah lama ada dan sudah mendapatkan pelatihan serta bantuan dari Pemerintah Kota Tanjungpinang, berupa bantuan pompong dan alat-alat perlengkapan dalam penangkapan ikan. Bantuan tersebut diterima nelayan melalui Dinas Sumber Daya Alam Pemerintah Kota Tanjungpinang. Dengan bantuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Melayu Kota Piring, khususnya masyarakat nelayan. Berbagai bidang pekerjaan yang terdapat di Tanjungpinang dan ditekuni para warga baik komunitas lokal maupun pendatang secara serius, dapat memberikan kontribusi yang baik dalam kehidupannya. Oleh karena itu pula pendatang yang berasal dari berbagai sukubangsa tersebut, telah menjadi penduduk menetap Kota Tanjungpinang. Biasanya mereka akan pulang ke daerah asal pada saat hari besar agama, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bagi pemeluk Islam dan Hari Natal bagi pemeluk Nasrani/Kristen. Mobilitas masyarakat pendatang cukup nampak pada saat hari-hari besar tersebut. Pada hari biasa mobilitas mereka terjadi bila berkaitan dengan kegiatan matapencahariannya sebagai pedagang. Lain halnya dengan komunitas lokal Melayu, terutama nelayan pada hari-hari biasa tingkat mobilitasnya cukup tinggi karena berkaitan dengan aktivitas kenelayanannya yang harus pergi ke laut berhari-hari untuk memperoleh tangkapan ikan. Kalau hari besar agamanya yakni agama Islam, tingkat mobilitas mereka tidak tinggi karena tetap berada di daerahnya sebagai daerah asal. Kalaupun ada yang pergi meninggalkan daerahnya pada saat Hari Raya itu, biasanya bertujuan ke termpat kerabat yang berada di luar daerahnya. Bahkan kadangkala ada yang pergi ke negara tetangga (Malaysia, Singapura) daerah kerabatnya tinggal. Kalau dilihat berdasarkan agama, seperti telah diketahui komunitas Melayu tersebut merupakan penganut agama Islam yang selalu menjalankan hidupnya sesuai dengan syariat Islam. Seperti 18
terwujud dalam prinsip kehidupan mereka yang selalu berazaskan adat bersandi syara’ dan syara’ bersandi Kitabullah. Berkaitan dengan itu perilaku yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehariharinya sangat kental dan mencerminkan Islam. Anak-anak sejak dini telah belajar mengaji, berpuasa dan mengerjakan sholat. Seringkali gaya berpakaian orang Melayu yang berbaju kurung dan berkerudung diidentikan dengan keIslamannya. Berbagai aspek kehidupan senantiasa bersumber pada ajaran Islam atau Al-Quran yang mengarah atau bertujuan memohon ridhlo Tuhan Yang Maha Pencipta. Berkaitan dengan hal tersebut seringkali sikap hidup yang mengakui adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu tergambar dalam keseniannya, seperti kesenian teather Mendu yaitu, Tegak Alif, lurus tabung, sejauh-jauh perjalanan pulang pada yang satu jua. Kaya benda tinggal di dunia, kaya iman dibawa mati. Juga nampak dalam gurindam dua belas, karya Raja Ali Haji (sastrawan nasional) tertulis, Barang siapa mengenal yang empat Maka dia itulah orang makrifat Barang siapa mengenal Allah Suruh dan tegaknya tiada menyalah Barang siapa mengenal akhirat Tahulah dia dunia mudharat Barang siapa meninggalkan sembahnyang Seperti rumah tiada bertiang Barang siapa meninggalkan zakat Tiada hartanya beroleh berkat Barang siapa yang meninggalkan haji Tidaklah dia menyempurnakan janji 19
Jadi dapat diartikan budaya Melayu selalu identik dengan Islam. Oleh karena itulah sering muncul pernyataan bahwa orang Melayu adalah mereka yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu. Berbagai kegiatan tradisi yang mereka lakukan selalu berkaitan dengan nilai-nilai agama Islama, seperti upacara mandi syafar, Maulud Nabi, dan Israj Miraj, menyambut bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Untuk itu mereka melakukan selamatan atau syukuran atas rahmat yang telah diperoleh dari Allah atas berbagai kebaikan yang diterima. B. Entikong 1. Lokasi, Lingkungan Fisik dan Sosial Entikong merupakan wilayah daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, atau dikenal sebagai daerah borderline. Secara administratif Entikong adalah suatu kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Sanggau merupakan daerah tingkat II yang terletak di tengahtengah dan berada pada bagian utara daerah Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas wilayahnya 12.857,70 km2 (kilometer persegi). Dilihat dari letak geografisnya, Kabupaten Sanggau terletak di antara 1000’ Lintang Utara dan 0006’ Lintang Selatan, serta di antara 109008’ dan 111003’ Bujur Timur. Waktu tempuh dari Ibukota Provinsi Pontianak ke Entikong atau sebaliknya dengan menggunakan kendaraan roda empat (pribadi atau umum) kurang lebih mencapai tujuh jam. Waktu tempuh ini relatif jauh, terutama bagi mereka yang belum biasa ke daerah tersebut. Kalau berdasarkan jarak tempuh yang harus dilalui menuju Entikong dari Pontianak atau sebaliknya, kurang lebih mencapai tiga ratus lima puluh kilo meter (350 km). Untuk mencapai Entikong jalan yang dilalui berkelok-kelok bersifat dataran tinggi. Hampir sepanjang jalan yang dilalui itu sebelah kiri dan kanannya adalah hutan sekunder. Pada waktu melalui suatu lokasi kadangkala dapat juga ditemukan atau nampak beberapa rumah penduduk. Secara geografis wilayah Entikong merupakan daerah pegunungan dan dikelilingi oleh bukit-bukit yang sebagian besar masih merupakan hutan lebat, serta banyak dialiri oleh sungai20
sungai yang merupakan sumber kehidupan warga. Meskipun daerah pegunungan namun udara yang dialami tidak sejuk, yakni suhu maksimum 32 derajat celcius dan suhu minimum 28 derajat celcius, karena berada dibawah garis khatulistiwa. Oleh karena itulah pada waktu siang hari udara panas terasa menyengat. Daerah Entikong ini memiliki tanah merah yang mengandung gambut. Tanah demikian cukup subur untuk berbagai tanaman, sehingga di sana sini tampak berbagai jenis tanaman yang tumbuh subur. Wilayah Entikong terdiri dari tanah sawah, tanah kering, tanah basah, tanah hutan, tanah perkebunan, dan tanah untuk keperluan fasilitas umum. Tanah sawah yang ada (179 ha) merupakan tanah sawah irigasi setengah teknis (124 ha) dan tanah sawah tadah hujan, atau disebut juga sawah rendengan (55 ha). Untuk tanah kering (38774) merupakan tanah tegal atau kebun (357 ha), tanah ladang/tanah huma (38417 ha). Tanah basah kurang lebih mempunyai luas 92 ha, dan tanah hutan kurang lebih 15236 ha. Tanah perkebunan secara keseluruhan kurang jelas ada beberapa ha (tidak ada datanya, yang dapat diketahui tanah untuk perkebunan swasta kurang lebih 3300 ha). Untuk kepentingan penduduk (fasilitas umum) tersedia tanah kurang lebih 31 ha, yang berfungsi untuk lapangan olah raga (8 ha) dan kuburan (23 ha) Secara administratif Kecamatan Entikong membawahi 5 buah desa, 18 lingkungan (dusun), 14 buah RW, dan 68 RT. Lima desa yang berada di bawah Kecamatan Entikong itu adalah, Desa Entikong dengan luas wilayahnya 100,00 ha; Desa Semanget dengan luas wilayahnya 53,50 ha, Desa Nekan dengan luas wilayahnya 89,00 ha, Desa Pala Pasang dengan luas wilayahnya 57,00 ha, dan Desa Suruh Tembawang dengan luas wilayahnya 114,00 ha. Desa Entikong yang menjadi tempat hunian sebagian besar komunitas lokal Dayak Bedayuh, tepatnya mereka berada di Dusun Sontas. Kecamatan Entikong mempunyai Ibukota kecamatan juga bernama Entikong. Kota Entikong inilah yang terletak tepat di daerah perbatasan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Negara Malaysia. Kota kecamatan ini pada dasarnya merupakan wilayah budaya dari sukubangsa Dayak (Dayak Bedayuh), penduduk atau komunitas lokal setempat. 21
Perkembangan Kota Entikong mengalami perhatian yang cukup besar berkaitan dengan beberapa kasus perbatasan yang melibatkan pengusiran besar-besaran Tenaga Kerja Indonesia dari negara Malaysia yang tidak berperikemanusiaan. Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi keberadaan sosial budaya orang asli Dayak yang sudah turun temurun tinggal di wilayah tersebut. Orang Dayak yang merupakan orang asli (komunitas lokal) Entikong ini, tepatnya berada di Dusun Sontas. Awalnya mereka mengaku berasal dari daerah Ulu Sembawang dan Sungkung, yang kemudian dengan berjalan kaki melewati hutan dan sungai mereka berpindah ke dekat Sungai Sontas yang pada perkembangannya bernama dusun atau Kampung Sontas. Asal-usul nama Sontas tersebut diambil dari nama anak Sungai Sekayam, yakni Sungai Sontas. Kampung atau Dusun Sontas yang telah terbentuk sebelumnya di daerah pedalaman, pada tahun 1980-1982 direlokasi oleh pemerintah melalui Departemen Sosial dengan program resettlementnya menjadi dusun atau kampung yang berada dekat dengan fasilitas umum atau fasilitas publik, seperti kantor pemerintahan, sekolah, puskesmas, dan jaringan transportasi darat, dan tetap memakai nama lama yakni Dusun Sontas meskipun sudah tidak dekat aliran Sungai Sontas lagi. Pemerintah melalui Departemen Sosial melakukan resettlement terhadap permukiman orang Dayak Bedayuh itu, bertolak dari anggapan masyarakat terasing harus diberdayakan dengan cara mendekatkan dirinya dengan akses pelayanan publik yang memungkinkan mereka dapat maju dan berkembang seperti masyarakat lainnya, dan di samping itu ada alasan yang lebih bersifat politis. Oleh karena itulah lokasi permukiman mereka yang ada di daerah pedalaman dipindahkan ke daerah yang lebih luar, yang kini tetap menjadi atau bernama sebuah kampung atau Dusun Sontas yang sama namanya dengan dusun atau kampung di daerah yang lama. Lokasi Dusun Sontas relatif tidak jauh dari Kota Entikong, kurang lebih jarak tempuhnya hanya 2 km. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kendaraan umum ojek. Masuk ke dalam atau lingkungan dusun jalan yang dilalui menurun, kiri kanan jalan penuh dengan tumbuhan lebat apabila tidak ada rumah. Sementara itu jalan yang dilalui merupakan jalan aspal sebagai prasarana 22
lingkungan yang memudahkan warga untuk mencapai lokasi kegiatan di ladang. Jalan ini sengaja dibangun Dinas Kimpraswil setempat hingga ke lingkungan pedalaman desa tersebut, walaupun tidak ada rumah-rumah penduduk. Pola permukiman penduduk Dusun Sontas mengelompok padat dengan diselingi jalan-jalan desa yang menghubungkan rumah-rumah penduduk secara teratur. Rumah-rumah penduduk menghadap ke jalan desa yang berupa jalan aspal dan jalan beton sebagai jalan perantara ke rumah-rumah penduduk. Pada masa lalu penduduk menempati sebuah rumah panjang dengan lebih tiga keluarga batih tinggal bersama dalam satu rumah. Tetapi sejak dipindahkan oleh Departemen Sosial, penduduk bertempat tinggal secara keluarga batih dalam satu rumah yang terbuat dari tembok dan atap seng. Sehingga dalam perkembangannya, dusun ini mengalami perubahan budaya, khususnya sistem kekerabatan dari hidup dalam satu keluarga luas menjadi hidup dalam satu keluarga batih. Rumah-rumah panjang yang dihuni oleh penduduk pada masa sebelum 1982 ditinggalkan oleh penduduk begitu saja sehingga rumah-rumah adat menjadi hilang. Tetapi lahan-lahan garapan penduduk sebagian besar masih tetap dikerjakan yang menjadi hak milik penduduk sejak awal sebelum dipindahkan ke tempat yang baru. Struktur sosial yang terdapat pada komunitas tersebut dapat diidentifikasi dalam dua bentuk, yakni secara formal (resmi) dan informal (tidak resmi). Struktur formal adalah kepala desa dan aparat desa, yang biasa mengurus hal-hal yang berkaitan dengan adiministrasi maupun surat-surat resmi penduduk. Aparat desa, yang biasanya juga terdiri dari kepala dusun/kampung dan ketua rukun tetangga sering berperan atau terjun langsung ke tingkat warga/penduduk dusun/kampungnya dalam mengurusi administrasi/ surat-menyurat warga tersebut. Selain itu seorang kepala dusun juga mengatur masalah-masalah sosial sebelum masalah tersebut diserahkan kepada kepala adat atau juga kepala desa. Kepala adat/tokoh adat yang berada dalam kedudukan di atas kepala dusun masuk dalam struktur masyarakat yang bersifat informal. Sebagai tokoh/kepala adat umumnya berperanan dalam mengurusi keadaan sosial penduduk, seperti pertikaian antar 23
penduduk. Selain kepala adat masih ada status sosial lainnya, yakni disebut dengan orang tua yang dianggap dapat membantu menyembuhkan orang sakit. Sebelum yang sakit dibawa ke Puskesmas, orang tua ini menjalankan perannya untuk menyembuhkan warganya yang sakit itu. Penduduk (Dusun Sontas) cukup meyakini kemampuan yang dimiliki orang tua itu. Jadi struktur sosial yang jelas nampak dalam kehidupan komunitas lokal ini secara stratifikasi sosial, adalah kepala desa, kepala adat dan orang tua, kepala dusun, rakyat/warga desa/dusun. 2. Penduduk dan Kehidupan Sosial Budaya Desa Entikong yang menjadi tempat hunian sebagian besar komunitas lokal Dayak Bedayuh, tepatnya mereka berada di Dusun Sontas. Kalau dilihat Jumlah penduduk berdasarkan di Kecamatan Entikong saja, kurang lebih 12.999 jiwa. Mereka tersebar di Desa Entikong 4.039 jiwa, Desa Semanget 2227 jiwa, Desa Nekan 2476 jiwa, Desa Pala Pasang 1369 jiwa, Desa Suruh Tembawang 2875 jiwa. Sementara itu penduduk Dusun Sontas yang sebagian besar adalah komunitas lokal Dayak (sasaran penelitian), berjumlah 839 jiwa terdiri dari 404 jiwa laki dan 435 jiwa perempuan. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya penduduk Entikong yang asli (komunitas lokal), adalah orang Dayak Bedayuh yang tepatnya berada di Dusun Sontas ini. Secara sosial persebarannya menjangkau daerah-daerah di negara Malaysia. Artinya bahwa sebagian penduduk Sontas (sepertiga) ketika jaman penjajahan Belanda dan Jepang banyak pindah ke daerah-daerah di Malaysia karena tekanan dari penjajah waktu itu. Sedangkan kegiatan adatnya masih mengacu pada Dusun Sontas di wilayah Entikong sampai sekarang. Sementara itu secara umum Entikong juga dihuni oleh penduduk pendatang dari berbagai daerah, seperti orang Minang, Melayu (Kalimantan Barat/Pontianak), Jawa (pendatang jumlah terbesar), Sunda, Batak, dan lain sebagainya. Mereka ini tepatnya berada di Desa Entikong dan umumnya penganut agama Islam. Banyak dari mereka sudah lama menetap dan tidak berniat untuk kembali ke daerah asalnya. Awalnya mereka pendatang yang mempunyai keterangan surat pindah dan telah menetap lebih dari 24
setahun. Keberadaan mereka dibuktikan secara legal dengan diberikan kartu keluarga bagi yang sudah mempunyai keluarga, dan kartu tanda penduduk oleh pihak kecamatan. Bagi pendatang yang belum berkeluarga biasanya bisa terjadi perkawinan dengan sesama pendatang, juga dengan orang Dayak (Bedayuh). Kondisi ini mencerminkan mobilitas menetap suku bangsa ke luar daerah rendah. Sedangkan mobilitas sementara untuk ke luar masuk daerah cukup tinggi, karena tujuan tertentu. Seperti yang dialami penduduk pendatang yang tujuan utamanya adalah bekerja. Mereka bekerja sebagai buruh bangunan, bekerja di perkebunan kelapa sawit maupun tanaman lada, dan juga sebagai pedagang kecil. Sebagian pendatang ini bekerja di negara tetangga Malaysia, namun tinggal di Entikong. Dengan bermodalkan pasport dan sedikit keterampilan yang dimiliki, dalam setiap bulan mereka pulang dan pergi ke dan dari Entikong untuk bekerja di Malaysia. Sebagian mereka bekerja sebagai pedagang di Entikong. Biasanya pekerjaan pedagang ini terkonsentrasi di sekitar perbatasan, dengan menjual berbagai barang kebutuhan (souvenir maupun makanan-minuman). Untuk orang Dayak Bedayuh sendiri mereka bisa dianggap tidak mengalami migrasi. Artinya orang Dayak Bedayuh di Entikong (Dusun Sontas) tidak mengalami perpindahan ke luar daerah, namun mereka hanya mobil sementara untuk tujuan tertentu misal ke daerah di negara Malaysia. Meskipun heterogennya penduduk di Kecamatan Entikong, yakni terdiri dari komunitas pendatang berbagai daerah asal dan komunitas lokal yang relatif jumlahnya lebih besar mencerminkan kehidupan yang rukun. Antar mereka sesama pendatang atau dengan komunitas lokal belum pernah terjadi konflik atau perpecahan. Artinya antara mereka selalu menjaga dan memelihara kerukunan yang sudah ada sejak dulu. Mereka tidak terpengaruh dengan fenomena yang dialami di beberapa daerah di Kalimantan Barat adanya serangkaian kerusuhan dan konflik sosial. Seperti yang dikatakan oleh tokoh masyarakat Entikong, bahwa adat kerukunan adalah sebagai peninggalan nenek moyang mereka yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Oleh karena itulah penduduk Entikong juga mewujudkan kerukunan tersebut, melalui perkawinan berbeda suku maupun berbeda agama. 25
Kalau dilihat berdasarkan agama, seperti yang dikatakan sebelumnya komunitas pendatang sebagian besar beragama Islam dimana mereka dapat menjalankan ibadahnya dengan tenang dan baik tanpa ada gangguan. Sementara itu komunitas lokal Dayak (Bedayuh) sebagian besar adalah penganut agama Nasrani (Kristen Khatolik). Mereka meninggalkan agama aslinya semenjak kaum misionaris masuk ke lingkungan wilayahnya beberapa puluh tahun lalu. Oleh karena itu orang Dayak di Dusun Sontas termasuk orang yang taat dengan ibadahnya. Terbukti tiap hari Minggu mereka selalu ke gereja menjalankan kewajiban sebagai umat Nasrani (Katholik). Orang Dayak (Dusun Sontas) sebagai komunitas lokal yang menjadi fokus perhatian di Entikong ini, mengalami pengaruhpengaruh yang besar antara pemerintah, suku bangsa lain, dan juga negara lain. Mereka sebagai suatu kelompok sosial yang hidupnya dari perladangan berpindah. Terutama sebagian besar dilakukan oleh kaum tua, sedangkan kaum mudanya lebih tertarik untuk menjadi kuli upahan di kota Entikong. Sistem mata pencaharian ladang berpindah ini sudah diperolehnya secara turun temurun, dan pada perkembangan sejarah, kelompok sosial ini harus berhadapan dengan lingkungan budaya lain akibat dari interaksi sosial yang berkembang dengan komunitas lainnya sehingga menciptakan mata pencaharian pokok lainnya, khususnya bidang jasa (transportasi seperti ojek, dan jasa angkut barang seperti kuli upahan serta pedagang kelontong). Matapencaharian pokok lama berupa pola tanam yang disebut sebagai ladang berpindah ini seakan mengikuti suatu ketetapan pasti yang akhirnya akan berulang di tempat asal dibukanya lahan, sehingga sering disebut juga dengan ladang berotasi. Makanan pokok komunitas ini adalah nasi, jadi berkaitan dengan jenis tanaman yang ditanam yakni padi. Namun selain padi di ladang itu juga diusahakan tanaman jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dengan pola usaha tanam tumpang sari. Sistem pengelolaan lahan dengan cara tebang bakar, dengan harapan agar tanah dapat lebih subur. Pada dasarnya pola tanam yang dilakukan tidaklah semata-mata bercocok tanam lunak saja, setelah tahun ketiga ladang ditanami dengan pohon karet, lada, sebagai tanaman keras. Sementara itu tanaman umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi 26
jalar biasanya selalu dapat dipanen sepanjang tahun, dan untuk dikonsumsi sendiri dan makanan ternak. Sedangkan kacang tanah lebih banyak diusahakan untuk dijual. Pada waktu musim ke ladang suasana Dusun Sontas sangat sepi tidak ada keramaian, sementara itu anak-anak usia sekolah sudah berangkat sekolah. Otomatis pada waktu pagi hari hingga menjelang sore hari, memang tidak nampak orang berlalu-lalang di sekitar lingkungan permukiman orang Dayak tersebut. Hanya satu dua orang yang nampak duduk-duduk di depan rumah, khususnya orang tua dan wanita dewasa yang mungkin ladangnya sedang dikerjakan keluarga. Kadangkala pada waktu siang hari jalanan yang sepi dengan lalu-lalang warga Sontas itu, dilalui oleh anjinganjing peliharaan warga yang nampak memang tidak dikandangkan. Anjing bagi warga Dayak di Dusun Sontas selain sebagai binatang peliharaan, juga berfungsi sebagai penjaga lingkungan perumahan dan dapat menjadi teman warga pada waktu ke ladang maupun ke hutan bila akan berburu. Tidak hanya anjing merupakan barang peliharaan orang Dayak di Dusun Sontas, tetapi juga ayam, babi sebagai binatang peliharaannya pula. Babi ini menjadi binatang ternak yang dipelihara di kandang yang sebelumnya dibiarkan berkeliaran di halaman dan jalan-jalan desa, akan tetapi kemudian ada peraturan pemerintah desa untuk mengkandangkan hewan peliharaaan khususnya babi tersebut. Sehingga kini binatang ternak babi sudah tidak nampak lagi berada di jalan-jalan sekitar rumah penduduk. Binatang ini dipelihara guna kepentingan pemenuhan kebutuhan protein hewani dan untuk persiapan upacara/gawai yang selalu mereka lakukan setiap tahunnya. Oleh karena itu hampir sebagian besar orang Dayak (setiap keluarga) di Dusun Sontas tersebut, minimal memiliki satu atau dua ekor babi. Kadangkala jumlah ternak babi yang dimiliki suatu keluarga dapat mencerminkan kemampuan dan status warga tersebut, serta juga ada kaitannya dengan gawai yang akan dilakukannya nanti atau pada saatnya. Orang Dayak di Desa Sontas ini tidak berbeda dengan komunitas lainnya yang ada di Indonesia. Mereka antara warga selalu hidup saling tolong-menolong dan berusaha hidup rukun. Hidup saling tolong-menolong dan rukun, tidak lepas dari ajaran agama nasrani (Kristen Khatolik) yang dianutnya bahwa hidup harus 27
selalu berdasarkan kasih. Oleh karena itu jarang sekali antar warga mengalami konflik, malah yang terjadi adalah kebersamaan. Kondisi ini tercermin pada waktu seorang mengerjakan ladangnya, biasanya akan ada warga lain yang bersama-sama dapat membantu mengerjakannya. Warga yang bersama-sama membantu tadi, pada saat mengerjakan ladangnya juga akan dibantu oleh warga yang ia bantu sebelumnya. Begitu seterusnya hingga kebersamaan antar mereka dapat diperoleh melalui kegiatan perladangan yang merupakan matapencaharian utamanya. Prinsip tolong-menolong yang mereka wujudkan ini merupakan prinsip balance reciprocity, yakni adanya hubungan timbal balik yang selalu terjadi dalam hubungan tolongmenolong yang diwujudkan. Dalam kesehariannya orang Dayak di Dusun Sontas suka berkumpul di warung lingkungan permukiman, yang sering menjadi sarana interaksi antar mereka. Di warung itu pula mereka dapat bersenang-senang minum tuak tanpa memabukkan diri. Biasanya ini hanya terjadi pada kaum laki-laki dan biasa berlangsung pada waktu malam hari antara pukul 19.00 sampai dengan pukul 22.00. Suasana malam akan terasa ramai dengan suara-suara orang yang sedang ada di warung itu. Orang Dayak Sontas mempunyai ciri yang khas sebagai petani ladang berpindah, dapat tercermin dari penampilan mereka pada waktu berangkat ke ladang yang berlansung pada pagi hari. Mereka biasa membawa perlengkapan yang dibutuhkan pada waktu di ladang, seperti alat memotong tanaman, kelengkapan pakaian berkerja (sarung tangan, sepatu bot, topi, dan celana panjang kalau perempuan yang ke ladang), ceret dan gelas, makanan dengan lauknya. Perlengkapan itu dibawa dengan sebuah keranjang rotan besar yang digendong dipunggung talinya disangkutkan di kening kepala. Jadi pada waktu berjalan memberi kesan tubuh mereka condong ke depan. Setiap pagi hari akan nampak suasana orang Dayak Sontas pergi ke ladang dengan tampilan demikian. Dengan berjalan kaki dari permukimannya mereka pergi ke ladang yang letaknya di hutan, kurang lebih jarak tempuhnya antara tiga sampai dengan enam kilo meter. Kadangkala mereka pergi bersama kalau ada warga yang memerlukan bantuan untuk menggarap ladangnya. 28
Kalau pergi sendiri ke ladang juga sering dilakukan, dan biasanya anjing binatang piaraan dapat pula ikut untuk menemani. Sampai di ladang yang akan digarap mereka tidak langsung bekerja, biasanya menghilangkan kepenatan lebih dahulu di rumah ladangnya sambil memasak air untuk minumnya dengan menggunakan kayu bakar. Setelah itu barulah mereka melakukan kegiatan, biasa diawali dengan membersihkan lahan kalau akan menanam tanaman baru. Atau mencari tanaman substitusi padi, seperti ubi kayu dan ubi rambat dapat dipanen agar bisa dibawa pulang kerumah untuk dikonsumsi atau sekedar dijual guna tambahan biaya hidup. Rutinitas dalam kegiatan di ladang ini merupakan kegiatan yang dilakukan sejak dulu oleh orang Dayak Sontas, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berarti pengetahuan yang dimiliki orang Dayak dalam kegiatan berladang masih mengacu pada pengetahuan generasi terdahulunya. Dengan demikian dapat dikatakan proses transformasi budaya dalam kegiatan di ladang tidak terlalu dialami komunitas Sontas. C. Bitung 1.
Lokasi, Lingkungan Fisik dan Sosial
Kota Bitung merupakan bagian integral Provinsi Sulawesi Utara. Atau secara administratif Kota Bitung berada di wilayah Provinsi Sulawesi Utara. Sebagai bagian dari wilayah Sulawesi Utara, Kota Bitung berjarak tempuh dengan Manado Ibukota provinsi kurang lebih 44,30 km2. Sedangkan waktu tempuh yang dicapai biasanya bisa 1 jam hingga 1 jam 30 menit. Dari Ibukota Provinsi Sulawesi Utara Manado menuju Kota Bitung perjalanan yang dilalui sangat menyenangkan, karena pemandangannya cukup indah. Jalan yang dilalui tidak berliku-liku/berkelok-kelok, malah cenderung banyak yang lurus. Oleh karena itu pula perjalanan menuju Kota Bitung tidak melelahkan. Kota Bitung ini terletak pada posisi geografis 1023’23”0 1 35’39” Lintang Utara dan 12501’43”-125018’13” Bujur Timur, dengan batas geografis dan administratifnya sebelah utara dengan Kabupaten Minahasa, sebelah timur dengan Laut Maluku, sebelah selatan dengan Laut Maluku, sebelah barat dengan Kabupaten 29
Minahasa. Wilayah daratan Kota Bitung mempunyai luas 304 km2, yang terbagi dalam lima wilayah kecamatan serta 60 kelurahan. Lima kecamatan tersebut, yakni Kecamatan Bitung Utara (136,40 km2), Kecamatan BitungTengah (24 km2), Kecamatan Bitung Barat (33,62 km2), Kecamamatan Bitung Timur(59,08km2 ), Kecamatan Bitung Selatan/di Pulau Lembeh (50,90 km2). Kondisi geografis wilayah Bitung merupakan daerah dataran rendah dan dataran tinggi, serta disekitarnya ada lautan dan pulau yang menjadi bagian wilayahnya (Pulau Lembeh). Kalau dilihat berdasarkan topografis, keadaan tanahnya sebagian besar merupakan daratan yang berombak, bebukit dan bergunung. Hanya sebagian kecil merupakan dataran landai. Di bagian Timur mulai dari pesisir pantai Aertembaga sampai dengan Tanjung Merah di bagian Barat, merupakan daratan yang relatif cukup datar dengan kemiringan 0-15 derajat. Secara fisik daerah demikian dapat dikembangkan sebagai wilayah perkotaan, industri, perdagangan dan jasa serta permukiman. Pada bagian utara keadaan topografi semakin bergelombang dan berbukit-bukit yang merupakan kawasan pertanian, perkebunan hutan lindung, taman margasatwa dan cagar alam. Di bagian selatan yang merupakan sebuah pulau (Pulau Lembeh), keadaan tanahnya cenderung kasar yang ditutupi oleh tanaman kelapa. Oleh karena bagian wilayahnya ada lautan itulah maka Bitung dikenal sebagai daerah pelabuhan dan kota pelabuhan. Berkaitan dengan itu pula matapencaharian sebagian warga Bitung tidak jauh dari yang berhubungan dengan laut, yakni nelayan. Banyaknya warga Bitung bergerak di bidang kenelayanan, dengan sendirinya Bitung jadi dikenal sebagai daerah penghasil ikan. Tidak mengherankan pula maka di Bitung tersebut ada pabrik ikan tuna kemasan kaleng. Berkaitan dengan itu pula warganya menjadi penggemar dan pengkonsumsi ikan. Seperti daerah lainnya di Indonesia, di Kota Bitung juga dikenal hanya dua mesin yakni musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup dimana pada bulan Oktober sampai dengan bulan April biasanya terjadi hujan. Kondisi ini disebabkan karena angin bertiup dari arah Barat Laut yang banyak mengandung air. Pada bulan Juni sampai dengan bulan September biasanya terjadi musim kemarau 30
yang dipengaruhi oleh arus angin dari arah Timur yang tidak banyak mengandung air. Secara umum suhu rata-rata perbulan pada pengukuran Stasiun Meteorologi Bitung pada tahun 2006, suhu terendah (24,60C) terjadi pada bulan Februari dan tertinggi (29,40C) pada bulan September. Sebagai daerah tropis Bitung mempunyai kelembaban udara relatif tinggi, dengan rata-rata per bulan pada tahun 2006 berkisar antara 74 sampai dengan 82 persen. Sebagai suatu wilayah administratif, Kota Bitung merupakan wilayah yang tertata cukup rapih, indah dan bersih. Kondisi tersebut tercermin dari jalan-jalan kota yang dilalui tidak terlihat ada sampah atau kotoran yang mengganggu pemandangan. Malah yang nampak adalah jalan-jalan yang bersih, di tengah-tengah batas jalan ditanami tanaman bunga atau pohon yang berfungsi memberikan kesan teduh. Sehingga lingkungan di sekitar jalan-jalan tersebut menjadi terasa nyaman dan enak dipandang, meskipun udara panas sedang berlangsung berkaitan dengan kota pelabuhan yang disandang. Suasana jalan terasa nyaman dan enak dipandang juga dirasakan di sekitar jalan-jalan di daerah permukiman. Di tepi jalan di sekitar jalan-jalan permukiman kadang ditemui pot agak besar yang ditanami tanaman bunga. Selokan-selokan yang ada di tepi kiri-kanan jalan selalu bersih tidak ada kotoran atau sampah. Dalam lingkungan permukiman tersebut, ada kebiasaan warga secara bersama membersihkan selokan yang dilakukan setiap hari Jumat. Kebiasaan ini merupakan himbauan dari pemimpin Kota Bitung agar Bitung menjadi kota yang bersih dan indah. Untuk itu pemimpin Kota Bitung, yakni walikota tidak segan-segan turun ke lapangan dan diikuti oleh para pimpinan struktural di bawahnya para camat serta lurah. Kota Bitung yang dikenal sebagai kota pelabuhan, memungkinkan kota tersebut menjadi tempat persinggahan. Berbagai prasarana dan sarana yang ada cukup mendukung, terwujud dari jalan yang ada sebagian besar merupakan jalan aspal termasuk jalan-jalan di lingkungan permukiman. Sarana transportasi yang tersedia juga cukup baik, terwujud ada kendaraan umum untuk ke luar kota dan kendaraan umum di dalam kota, seperti ojek maupun lainnya. Sarana kepentingan umum tidak hanya tersedianya kendaraan umum, juga berbagai fasilitas lain yang 31
berfungsi memenuhi kebutuhan warga seperti pasar; lapangan olah raga, tempat beribadat (masjid dan gereja). Bahkan sarana hiburan juga tersedia, yang bersifat positif maupun negatif (karaoke kaki lima, warung-warung wanita penghibur yang ilegal). Adanya sarana hiburan yang berkesan negatif, awalnya tanpa disadari untuk memenuhi kebutuhan awak kapal asing yang singgah di Pelabuhan Bitung. Namun pada perkembangannya sarana hiburan demikian menjadi banyak, dan pemerintah daerah belum cukup tegas untuk menghilangkannya. Sementara itu di lingkungan permukiman penduduk, juga memberi kesan sarana yang ada cukup memadai (seperti ada Puskesmas/Posyandu, pos keamanan). Cukup menarik (di Kelurahan Pateten I), ada hotel/losmen yang menyerupai rumah tinggal yang sengaja disediakan untuk para pendatang/pengunjung tidak menetap. Biasanya losmen atau hotel demikian ditempati oleh pengunjung untuk selama 1 minggu hingga bisa mencapai satu/tiga bulan. Mereka yang biasa menempati adalah para awak kapal nelayan asing yang sedang transit di Pelabuhan Bitung. Rupanya hotel/losmen demikian memang sengaja dibangun/disediakan oleh warga Bitung untuk memperoleh keberuntungan dalam menampung awak kapal yang sedang transit tersebut. Kalau diperhatikan pola permukiman di daerah Bitung/Kecamatan Bitung Timur (Kelurahan Pateten I), memberi kesan mengelompok padat. Antara rumah yang satu dengan yang lain diberi batasan tembok dan tidak selalu ada jarak. Hanya sebagian kecil rumah yang memiliki halaman tanah dan ditanami pohon/pot tanaman dalam jumlah banyak. Sebagian besar rumahrumah tersebut tidak memiliki halaman tanah, karena halamannya itu sudah ditutupi semen dan biasanya hanya diberi hiasan pot-pot tanaman ukuran kecil. Rumah-rumah tersebut sebagian besar bersifat permanen, dan hanya sebagian kecil yang bersifat semi permanen yang biasanya berada di lingkungan permukiman terdalam bukan di lingkungan terluar/dekat dengan jalan umum. Kondisi demikian memberi kesan bahwa warga di Bitung (Kelurahan Pateten I), cukup dapat hidup sejahtera. Munculnya nama Bitung sebagai suatu wilayah, sebenarnya berawal dari perjuangan Simon Tudus yang membuka sebuah huma di kawasan yang terletak di tepian pantai. Di tempat tersebut 32
Simon mendirikan sebuah gubuk di bawah pohon besar (pohon bitung) di antara banyak pohon bitung lainnya yang tumbuh subur di daerah rawa. Pohon besar itu tumbuh di rentang pagar Pos I Pelabuhan Bitung sekarang kurang lebih 30 meter dari tepian pantai saat air pasang naik. Keberadaan gubuk di huma sering menjadi tempat berteduh, apalagi ketika laut kurang bersahabat. Orang yang mencari tempat berteduh selalu diberitahu Simon Tundus di gubuk bawah pohon bitung. Pada waktu Simon Tundus sedang berteduh ia menyaksikan banyak nelayan berdatangan secara bergantian dari berbagai daerah/sukubangsa dan agama termasuk nelayan beragama Islam (orang Papagami). Sementara itu ia juga melihat banyak dan bermacam burung silih berganti hinggap di pohon bitung. Dengan mengalami peristiwa tersebut Simon mempunyai firasat bahwa suatu waktu daerah di sekitar ia berteduh itu akan ditempati banyak orang dari berbagai sukubangsa. Firasat itu menjadi kenyataan berbagai nelayan yang datang singgah untuk berteduh selalu menyebut kata witung (bitung) dengan maksud memaknai suatu tempat bukan lagi sebuah pohon. Pada akhirnya kata bitung mengandung makna tempat/daerah yang berkembang hingga sekarang menjadi sebuah daerah yang bernama Bitung. Melihat kondisi Bitung saat ini sebagai kota pelabuhan, perlu juga diingat atau diketahui sejarah terbentuknya dan berkembangnya pelabuhan Bitung di Kota Bitung tersebut. Pelabuhan Bitung bisa terbentuk tidak lepas dari lokasinya yang aman dari gangguan ombak besar dan arus kuat, atau dengan kata lain kapal dapat berlabuh dengan aman serta faktor sosialnya yang kondusif. Seperti yang dikatakan oleh Freeman Otis bahwa lokasi suatu pelabuhan yang baik meliputi antara lain terlindung, terletak pada jalur perdagangan dan kemudahan pencapaian pelabuhan dari daerah yang merupakan daerah produksi maupun sebagai daerah konsumen barang (Freeman,Otis W, 1949). Awalnya lokasi Pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan nelayan. Bahkan jauh sebelumnya merupakan tempat persinggahan dan peristirahatan sementara para nelayan untuk menghindari besarnya gelombang ombak dari Samudera Pasifik melalui Laut Maluku dan Laut Sulawesi. 33
Dihadapan pesisir Pantai Bitung terdapat pulau bernama Pulau Lembeh, yang sangat aman dan melindungi kapal dan perahu nelayan yang sedang beristirahat. Ketika beristirahat itu para nelayan biasanya menyediakan waktu untuk memperbaiki alat penangkapan ikan yang rusak. Dengan seringnya nelayan mampir atau mensinggahi daerah atau tempat tersebut, lama kelamaan daerah itu mereka jadikan tempat tinggalnya dan berkembang menjadi suatu permukiman nelayan. Oleh karena itu di Pulau Lembeh ini hingga sekarang banyak dihuni oleh para nelayan. Bersamaan dengan itu pesisir Pantai Bitung menjadi tempat pendaratan perahu nelayan yang kemudian dikenal dengan pelabuhan nelayan, sebagai tempat pertukaran barang (sistem barter) diantara sesama nelayan dan penduduk yang bermukim di sekitarnya. Pada saat itu pertukaran barang yang terjadi hanya terbatas pada kebutuhan hidup sehari-hari, seperti hasil kebun dan ikan. Hingga perang dunia kedua Bitung masih merupakan desa nelayan yang belum tercantum dalam peta. Pelabuhan Bitung ini agak berbeda dengan pelabuhan lain yang ada, karena berada di Selat Lembeh yang diklasifikasikan sebagai pelabuhan alam. Di mana faktor lingkungan alamnya yang indah dengan lokasi air tawar yang jernih dikenal sebagai aer prang di Aertembaga. Dikenal dengan sebutan aer prang karena pada waktu dulu di tempat tersebut sering terjadi perkelahian antara nelayan perahu dengan nelayan kapal. Menurut sejarahnya pada masa pemerintahan Belanda, pelabuhan nelayan Bitung ini dimanfaatkan oleh agen pelayaran pantai N.V Nacemo. Agen pelayaran tersebut menangani sebagian besar kapal-kapal niaga angkutan laut yang beroperasi di Bitung sering didatangi oleh agen pelayaran lainnya. Berkaitan dengan itu pelabuhan Bitung mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia untuk dikembangkan menjadi pelabuhan Samudra guna menggantikan pelabuhan Manado yang tidak dapat dikembangkan menjadi pelabuhan Samudera karena tidak lagi memenuhi syarat. Pada saat itu pemerintah memutuskan menjadikan pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan Samudera tidak lepas dari bukti-bukti yang mendukung. Seperti dari hasil penelitian Zeeswalaw yang menyatakan pelabuhan nelayan Bitung memungkinkan untuk dijadikan pelabuhan antar pulau seluruh 34
Indonesia, karena letaknya yang strategis, tidak terdapat muara sungai yang mendangkalkan pantai dan kedalamannya yang dapat menampung kapal-kapal besar berbobot ribuan ton. Dengan demikian secara resmi pada pertengahan bulan Desember tahun 1949 pelabuhan tersebut dibangun untuk dijadikan pelabuhan Samudera. Pada perkembangannya pelabuhan Bitung tersebut menjadi pelabuhan yang terbesar di Provinsi Sulawesi Utara dan merupakan pelabuhan alam yang potensial dan strategis dengan Pulau Lembeh dan Teluk Bitungnya. Oleh karena itu pula Kota Bitung menjadi dikenal sebagai kota pelabuhan. Sebagai daerah administratif Kota Bitung yang juga dikenal sebagai kota pelabuhan ini terdiri dari beberapa kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Bitung Timur. Kecamatan Bitung Timur mempunyai topografi rata dan berbukit. Ketinggian wilayahnya dari permukaan laut kurang lebih lima meter, dan suhu udara yang dimiliki minimum 24 derajat Celcius, maksimum 31 derajat Celcius. Wilayah Kecamatan Bitung Timur tersebut sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bitung Utara. Sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Selat Lembe. Sedangkan sebelah barat dengan Kecamatan Bitung Tengah. Luas areal Kecamatan Bitung Timur kurang lebih 4..690,40 ha. Areal tersebut hanya 10,09% dimanfaatkan untuk pembangunan fisik. Salah satu bangunan fisik yang ada dan bermanfaat di wilayah Kecamatan Bitung Timur adalah Pelabuhan Samudera, Ferri dan Perikanan yang masih dapat dikembangkan serta diharapkan untuk mendorong tumbuhnya sektor ekonomi kota. Sedangkan areal lainnya bersifat non fisik sebagai areal tegalan atau kebun kurang lebih 1400 ha, dan baru 1300 ha dimanfaatkan. Areal ladang/huma 751 ha yang dimanfaatkan 405 ha, dan areal sela perkebunan 265 ha yang dimanfaatkan 125 ha. Dengan kondisi Kota Bitung sebagai kota pelabuhan, terkondisi pula daerah itu sebagai penghasil ikan dan merupakan barang komoditi terutama tercermin di Kecamatan Bitung Timur. Juga ada komoditi ternak, seperti ayam, babi, itik, kuda Selain itu dari lahan yang ada di wilayah tersebut, juga dihasilkan barang komoditi padi, jagung, vanili, kedelai, kacang tanah, kacang merah, kacang hijau, ubi jalar, ubi kayu, sayur-sayuran dan buah-buahan, kelapa, cengkeh, pala. 35
Mengingat wilayah Kota Bitung memiliki alam yang indah, maka wisata alam dan bahari tersedia dan biasanya cukup banyak yang berkunjung. Wisata alam dan bahari di Kota Bitung ini sebenarnya tidak kalah indahnya dengan yang ada di Kota Manado seperti Bunaken. Hanya karena kurang diekspos menyebabkan keindahan alam dan bahari Kota Bitung ini menjadi kurang terdengar. Namun walaupun demkian bila ada yang datang ke Kota Bitung pasti menyempatkan diri untuk mengunjungi wisata alam bahari Kota Bitung tersebut. Kebersihan dan keindahan alam Kota Bitung tidak lepas dari struktur sosial yang ada di daerah tersebut, seperti struktur formal dan non formal. Struktur formal terbentuk dari aturan/kebijakan yang dikeluarkan pihak pemerintah pusat/daerah, yang memunculkan adanya pucuk pimpinan tertinggi (Walikota) dan terendah (Kepala Desa/Lurah). Pucuk pimpinan di Kota Bitung tersebut sering berperan langsung dalam mengontrol/mengawasi aktivitas warga berkenaan dengan kemajuan Kota Bitung. Oleh karena itulah tidak mengherankan bila dari tingkat Walikota sampai Lurah atau Kepala Desa sebagai pucuk pimpinan dalam suatu lingkup wilayah di Kota Bitung ini, turun ke lapangan dengan antusias dalam mengatur warga masyarakatnya agar bisa lebih baik dan maju. Struktur formal dalam tingkat kelurahan/desa di Kota Bitung tersebut, selain Lurah/Kepala Desa ada aparat desa dalam bidang masing-masing yang bertugas membantu Lurah dalam menjalankan kewajibannya. Struktur non formal juga ada dalam mengatur kehidupan masyarakat Kota Bitung, seperti tercermin di wilayah Kelurahan Pateten I. Di Kelurahan Pateten I warga masyarakat memiliki pimpinan non formal di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Biasanya pimpinan non formal itu merupakan warga wilayah bersangkutan yang dianggap mempunyai kelebihan dari warga yang lainnya, seperti orang tua yang dianggap sangat paham dengan adat (tua adat), orang yang dianggap mempunyai pengetahuan agama lebih luas (ustadz/alim ulama dan pastur/pendeta). Mereka ini dalam kehidupan masyarakat dipandang sebagai tokoh yang dapat menjadi panutan dan dapat memimpin atau menjadi pemimpin warga secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itulah bila ada suatu masalah dalam kehidupan warga di Kelurahan Pateten I, tokoh masyarakat ini (tua adat/ustadz/ pastur) 36
akan dapat menyelesaikannya dan warga dapat menerima keputusan tersebut. 2. Penduduk dan Kehidupan Sosial Budaya Penduduk Kota Bitung berdasarkan data monografi tahun 2006, berjumlah 169.562 jiwa. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2000 sekitar 140.270 jiwa, berarti setiap tahun ratarata pertumbuhan penduduk mencapai 3,16 persen. Dilihat dari sebaran penduduknya perkecamatan, sebagian besar penduduk Bitung terkonsentrasi di Kecamatan Bitung Timur dimana 28,18 persen penduduk Bitung tinggal di kecamatan ini. Selebihnya tersebar bervariasi di setiap kecamatan, seperti Kecamatan Bitung Tengah 25,82 persen, Kecamatan Bitung Barat 25,20 persen, Kecamatan Bitung Selatan 10, 85 persen, dan paling sedikit di Kecamatan Bitung Utara 9,94 persen. Kalau dibandingkan luas wilayah dengan kepadatan penduduk Bitung pada tahun 2006 yang mencapai 558 jiwa perkilometer persegi, menunjukan penduduknya padat sebagaimana daerah perkotaan lainnya. Kepadatan penduduk tertinggi terkonsentrasi di Kecamatan Bitung Tengah, yakni 1.796 jiwa per kilometer persegi. Sementara itu kepadatan penduduk terendah dialami Kecamatan Bitung Utara, yakni 124 jiwa per kilometer persegi. Beban penduduk terberat ada di Kecamatan Bitung Tengah, Bitung Barat, dan Bitung Timur, dimana lebih dari 80 persen penduduk Bitung berdiam. Kondisi ini terjadi karena ketiga kecamatan tersebut (khusus Kecamatan Bitung Timur) berkedudukan di daerah pelabuhan dan pusat-pusat pelayanan, jasa, perdagangan, dan pemerintahan. Dengan jumlah penduduk Kota Bitung 169.562 jiwa itu, mereka terdiri dari penduduk lokal/asal dan juga penduduk pendatang. Penduduk lokal/asal merupakan komunitas dari sukubangsa Sangir yang dianggap sebagai penduduk awal wilayah Bitung. Menurut cerita pada abad ke 15/16 Kerajaan Siauw (nenek moyang orang Sangir/Talaud) membantu Minahasa dari serangan Philipina. Sebagai penghormatan kepada kerajaan Siauw, Kerajaan Minahasa memberikan wilayah kekuasaannya yakni Pulau Lembeh dan sekitarnya kepada Kerajaan Siauw. Pada abad 19 orang Siauw 37
berlayar menguasai Minahasa berkaitan dengan perjanjian bahwa orang kerajaan Siauw boleh menguasai daerah laut Minahasa. Oleh karena wilayah itu telah menjadi bagian dari Kerajaan Siauw, maka orang Siauw dan keturunannya (orang Sangir/Talaud) banyak menyeberang dari Kepulauan Sangir Talaud untuk mencari kehidupan yang baru ke Pulau Lembeh dan sekitarnya yang kemudian dikenal sebagai wilayah Bitung. Sementara itu penduduk pendatang yang menempati wilayah Bitung itu, cukup beragam. Mereka bukan hanya komunitas dari wilayah Provinsi Sulawesi Utara saja (orang Minahasa, Boloang Mongondow), tapi juga dari provinsi lainnya seperti orang Gorontalo, orang Bugis/Makasar, orang Jawa dan Bali, Juga ada orang Minangkabau. Mereka-mereka ini sebagai pendatang karena bekerja di instansi pemerintah atau swasta yang ada, atau juga karena untuk mencoba peruntungan usaha di daerah Bitung terutama di sektor informal. Dalam kenyataan sektor informal memang banyak digeluti oleh pendatang-pendatang tersebut. Sehingga keramaian daerah Bitung tidak lepas juga dari aktivitas usaha yang dilakukan mereka. Dengan beragamnya pendatang yang menetap di Bitung, menjadikan daerah tersebut sebagai daerah yang multikultur meskipun penduduk/komunitas lokal tetap lebih dominan/lebih banyak. Sebagai daerah multikultur berarti kehidupan sosial-budaya yang dialami warganya bisa beragam pula. Kondisi ini bisa tercermin dari pola matapencaharian hidup, dimana sebagian besar pendatang adalah pedagang (makanan, barang kelontong/rumah tangga). Sementara itu sebagian komunitas lokal adalah nelayan (pemilik atau buruh) dan sebagian lagi adalah pemilik atau pengusaha hotel/losmen, PNS. Jadi lapangan kerja/usaha yang ada dibuka dengan sendirinya oleh para pendatang dan komunitas lokal itu dalam membaca situasi yang ada/dihadapi. Oleh karena itu di Bitung tidak terdengar adanya konflik antar warga dalam memperebutkan penguasaan bidang usaha. Beragam sukubangsa/komunitas dan beragam pola matapencaharian yang ada, diikuti pula dengan beragamnya agama yang dianut oleh warga masyarakat Bitung. Sebagian besar warga masyarakat Bitung terutama komunitas lokal adalah penganut agama Kristen Protestan/Khatolik, kemudian penganut agama 38
Islam, dan sebagian kecil adalah penganut agama Hindu/Budha. Kehidupan warga antar berbeda agama ini cukup harmonis dan sinergi, karena sebagai warga Bitung mereka selalu menanamkan toleransi dan saling menghargai. Apalagi mereka selalu diberi bimbingan dan memperoleh panutan dari para pemimpin agama di lingkungan masing-masing. Oleh karena itu antar umat berbeda agama ini dapat menjalin hubungan yang mesra, baik dalam lingkup kecil maupun besar. Kondisi ini dapat tercermin pada hari-hari besar agama. Pada waktu hari besar agama Islam (Idul Fitri maupun Idul Adha), seperti yang terjadi di Kecamatan Bitung Timur (Kelurahan Pateten I) tempat-tempat sholat Idul Fitri/Idul Adha baik di lapangan atau di masjid dijaga keamanannya oleh anak-anak muda penganut agama lain (Protestan/Katholik). Begitu sebaliknya bila hari raya umat Nasrani telah tiba para pemuda muslim berusaha menjaga keamanan tempat peribatan yakni gereja yang pada saat itu penuh dikunjungi umat. Kebiasaan demikian sudah berlangsung sejak lama dan hingga kini masih dapat bertahan. Rupanya cara ini merupakan pola/model yang diterapkan oleh para pemimpin agama daerah Bitung dalam mengintegrasikan warga masyarakatnya yang beragam itu. Pemimpin agama Nasrani (pendeta/pastur) seringkali mengadakan pertemuan dengan pemimpin agama Islam (ustadz/kyai/alim ulama) dalam rangka menggalang persatuan umat yang berbeda keyakinan. Upaya yang dilakukan para pemimpin agama tersebut telah menjadi dasar bagi warga masyarakat untuk selalu hidup rukun. Sikap rukun ini belum pernah goyah meskipun ada yang berusaha memprovokasi. Malah para pemimpin agama semakin intensif mengadakan pertemuan untuk menghindari perpecahan dan menghimbau umatnya untuk tetap dapat bertahan tidak terpancing akan isu-isu yang negatif. Dalam kehidupan sehari-hari kerukunan antar warga masyarakat berbeda keyakinan ataupun sukubangsa selalu terwujudkan. Kondisi ini bisa tercermin pada suasana pergaulan dimana satu sama lain saling bersikap bersahabat/akrab dengan gaya bahasa lokal (Sangir) yang mudah dimengerti. Pada saat kedukaan kondisi demikian juga selalu terwujud, biasanya warga akan mendatangi rumah duka dan turun tangan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Secara spontan budaya Mapalus 39
(budaya lokal Sangir) dalam bentuk tolong-menolong tanpa diminta atau diperintah sangat kental dimunculkan warga masyarakat. Demikian pula pada waktu keadaan sukacita (hajatan perkawinan) yang dialami warga, budaya mapalus juga selalu dimunculkan warga masyarakat dengan membantu meringankan pekerjaan yang mempunyai hajat. Pola/ bentuk tolong menolong atau budaya mapalus/ mapaluse yang merupakan budaya masyarakat/komunitas lokal (Sangir) ini, telah menjadi sarana dalam mewujudkan jalinan hubungan akrab/rukun dalam kehidupan warga masyarakatnya. Dengan demikian budaya lokal Sangir telah menjadi budaya umum/publik warga Bitung yang beragam itu. Berarti budaya lokal selalu menjadi acuan warga masyarakat daerah Bitung dalam menjalankan kehidupannya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila warga Bitung yang beragam itu dapat menggunakan dan mengerti bahasa Sangir, bahkan selalu turut serta atau mengadakan upacara tulude sebagai wujud syukur akan tahun lalu dan tahun yang akan dihadapi dalam kehidupannya yang biasa dilakukan oleh komunitas sangir. Apalagi sudah beberapa tahun terakhir ini upacara tulude telah menjadi identitas masyarakat daerah Bitung, dimana setiap tanggal 31 Januari pemerintah daerah telah menetapkannya sebagai waktu upacara tulude yang harus dilakukan pemerintah daerah bersama warga masyarakatnya. Ketentuan pemerintah daerah akan hal tersebut sangat disambut antusias oleh warga masyarakat (komunitas lokal maupun pendatang). Oleh karena itu bila akhir tahun telah tiba, warga masyarakat Bitung mempersiapkan diri untuk melakukan upacara tulude. Kebiasaan komunitas lokal yang dipandang positif selalu dapat dijadikan acuan atau diadaptasi oleh warga pendatang. Namun tidak selalu kebiasaan positif menurut komunitas lokal dianggap juga positif oleh komunitas pendatang. Komunitas lokal Sangir terutama kaum laki-laki mempunyai kebiasaan minumminuman cap tikus (semacam minuman keras) pada saat sukacita atau sedang berkumpul antar sesama. Bagi mereka meminumminuman semacam itu bukan suatu yang negatif, karena minuman tersebut dianggap dapat memberi kesegaran dan ketenangan. Menurut cerita kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang 40
diturunkan oleh nenek moyang mereka pelaut. Pada waktu di laut para pelaut berusaha memperoleh kesegaran dan kehangatan dengan meminum-minuman keras, agar kegiatan menangkap ikan yang dilakukannya dapat berjalan baik dan lancar. Berkaitan dengan hal itu tidaklah mengherankan bila tua dan muda/remaja komunitas Sangir mengenal minuman keras (cap tikus) di lingkungannya sebagai sesuatu yang biasa. Sebenarnya sebagian komunitas Sangir sudah menganggap kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang tidak baik atau buruk, namun mereka sulit untuk menghentikan bila ada warga masyarakat yang bertahan dengan kebiasaan itu. Oleh karena itu mereka hanya berharap setiap warga masyarakat harus mempunyai kesadaran yang tinggi dan berusaha untuk tidak melakukannya lagi, agar generasi penerus tidak akan mengikuti kebiasaan tersebut. Warga masyarakat komunitas Sangir khusus yang beragama Islam biasanya telah meninggalkan kebiasaan tersebut sejak lama, karena ajaran Islam sangat melarang meminum minuman yang mengandung alkohol yang dapat merusak fisik, fikiran dan psikis/jiwa manusia. Oleh karena itulah minuman keras dalam ajaran agama Islam dianggap sebagai makanan/minuman yang haram3. Dalam kehidupan pergaulannya warga masyarakat Bitung, khusus di daerah Kelurahan Pateten I satu sama lain (masyarakat pendatang dan masyarakat lokal) biasa menggunakan bahasa Sangir sebagai bahasa lokal. Bahasa Sangir menjadi sarana/ pengantar komunikasi antar warga, terutama dalam aktivitas yang bersifat non formal. Dalam aktivitas yang bersifat formal dihadiri oleh beragam etnis, biasanya bahasa Indonesialah sebagai pengantar dalam berkomunikasi. Sedangkan penggunaan bahasa suatu etnis/sukubangsa, biasanya akan digunakan oleh warga suatu etnis/sukubangsa bila berhadapan dengan sesama etnis/ sukubangsanya. Kondisi demikian memberi gambaran bahwa beragam etnis/sukubangsa yang ada di daerah Bitung dan sudah menyatu dengan masyarakat/komunitas lokal, tetap selalu berusaha menunjukkan identitas dirinya dari mana ia berasal.
3
Al-Quran Surat Al-Maidah
41
Sikap tersebut sudah merupakan bentuk strategi adaptasi para pendatang agar bisa tetap survive di daerahnya yang baru. Bertemu sesama sukubangsa dengan mewujudkan kebudayaan yang sama di lingkungan masyarakat beragam, dapat memberikan suatu spirit untuk mereka bisa bertahan di lingkungan yang dihadapi. Oleh karena itu para pendatang dari berbagai etnis/ sukubangsa yang ada di Bitung ini, masing-masing mempunyai paguyuban/ perkumpulan daerah asal. Namun demikian tidak terkecuali komunitas lokal Sangir, dalam rangka mempertahankan budayanya agar tetap eksis mereka juga mempunyai paguyuban meskipun mereka adalah warga masyarakat asal Bitung. Paguyuban yang ada bisa paguyuban untuk para remaja dan paguyuban untuk orang tua. Paguyuban remaja biasanya lebih mengarah pada kegiatan kesenian. Para remaja berkumpul di perkumpulan tersebut guna mengembangkan kesenian daerah yang dimilikinya. Sedangkan paguyuban untuk kalangan tua-tua Sangir selain dalam rangka melestarikan budayanya, juga guna mengingatkan dirinya akan daerah/budaya asalnya. Oleh karena itulah dalam perkumpulan kalangan tua itu banyak kegiatan bernuansa budaya yang dilakukan, di samping itu tentunya juga dilakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. D. Tanjung Balai 1. Lokasi, Lingkungan Fisik dan Sosial Tanjung Balai merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara yang paling dekat dengan wilayah Malaysia (Pulau Penang). Secara geografis daerah Tanjung Balai tersebut terletak di pantai bagian timur Provinsi Sumatera Utara, menghadap Selat Malaka. Mempunyai jarak tempuh dengan kota Medan Ibukota Provinsi Sumatera Utara, kurang lebih mencapai 185 km2 ke arah tenggara dan waktu tempuh kurang lebih 5 jam. Kota Tanjung Balai ini dikelilingi wilayah Kabupaten Asahan, yang sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Balai. Sebelah timur dengan Kecamatan Sei Kepayang dan sebelah selatan/ barat dengan Kecamatan Simpang Empat. 42
Secara topografis Kota Tanjung Balai terletak di dataran rendah dengan ketinggian 0-3 meter dari permukaan laut. Kota tanjung Balai mempunyai luas wilayah 60,52 km2 yang secara administratif terbagi dalam enam kecamatan, yakni Kecamatan Datuk Bandar (37,06 km2), Kecamatan Datuk Bandar Timur, Kecamatan Tanjung Balai Selatan (1,98 km2), Kecamatan Tanjung Balai Utara (0,84 km2), Kecamatan Sei Tualang Raso (8,09 km2), Kecamatan Teluk Nibung (12,55 km2), Kondisi Kota Tanjung Balai dialiri oleh 18 sungai, diantaranya yang terbesar adalah Sungai Asahan yang sekaligus menjadi tempat bermuara sungai-sungai yang lain. Sungai tersebut menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Tanjung Balai. Oleh karena itulah keberadaan Sungai Asahan yang langsung bermuara ke Selat Malaka ini menjadikan sebagian masyarakat Tanjung Balai terutama masyarakat Kecamatan Teluk Nibung bermatapencaharian sebagai nelayan. Kecamatan Teluk Nibung yang menjadi bagian Kota Tanjung Balai tersebut, telah berkembang menjadi sebuah perkampungan nelayan dan sekaligus menjadi pelabuhan alam. Bahkan dalam perkembangannya Pelabuhan Teluk Nibung digunakan untuk pelabuhan kapal cepat yang menghubungkan Indonesia-Malaysia. Kalau diperhatikan motto Kota Tanjung Balai yang berbunyi Balayar Satujuan Batambat Satangkahan (berlayar satu tujuan dan berlabuh satu daratan /pelabuhan), mengandung makna yang dalam bahwa masyarakat Tanjung Balai senantiasa bersama-sama untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa masyarakat Kota Tanjung Balai merupakan masyarakat yang terpacu untuk selalu bersama/bekerjasama dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan berkaitan dengan kepentingan masyarakatnya. Mengingat sejarah Tanjung Balai pada empat abad silam hanya sebuah perkampungan kecil di pertemuan Sungai Asahan dan Sungai Silau. Dengan letaknya atau lokasinya yang strategis, yaitu menghadap ke Selat Malaka lama-kelamaan perkampungan nelayan ini berkembang menjadi pelabuhan yang semakin ramai disinggahi para pedagang dan pelaut dari daerah-daerah lain. Perkampungan tersebut berkembang menjadi pusat bandar laut, dengan demikian Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh 43
menginginkan salah seorang putranya bernama Abdul Jalil untuk dijadikan sultan di perkampungan tersebut. Abdul Jalil merupakan putra Sultan Iskandar Muda dengan Putri Ungu dari Kerajaan Air Merah Pinang Awan (sekarang Kota Pinang). Pada tahun 1620 didirikanlah Kesultanan Asahan oleh Sultan Iskandar Muda dan putranya yang bernama Abdul Jalil ditasbihkan menjadi sultan pertama. Sepanjang sejarahnya, Kesultanan Asahan diperintah oleh 11 orang Sultan, dari sultan pertama dan terakhir sultan ke 11. Sultan pertama adalah Sultan Abdul Jalil yang mulai memerintah tahun 1620 Masehi. Sedangkan Sultan terakhir adalah Sultan Syaiful Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933 sampai dengan 1946. Pada tahun 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan RI kekuasaan Kesultanan Asahan menunjukkan tanda akan berakhir, karena diikuti dengan Revolusi Sosial yang mencerai-beraikan keluarga kesultanan. Ketika itu masyarakat menghendaki sultan beserta keluarganya disingkirkan karena dianggap bersekutu dengan Belanda (Arifin, 2004: 16-27). Setelah bergabung dengan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bekas wilayah Kesultanan Asahan berubah status menjadi Kabupaten Asahan yang dipimpin oleh seorang bupati dengan Tanjung Balai sebagai ibukotanya. Pada tahun 1964 Tanjung Balai memisahkan diri dari Kabupaten Asahan, menjadi kota otonom (Kotamadya) hingga sekarang. Setelah Abdul Jalil ditasbihkan sebagai sultan pertama Kesultanan Asahan, di pertemuan Sungai Asahan dan Sungai Silau didirikan sebuah balai sebagai tempat pengawasan pelabuhan dan mengutip upeti dari para pedagang. Tempat mendirikan balai itu oleh masyarakat disebut Balai Tanjung, karena terletak di tanjung pertemuan dua sungai tersebut. Lama-kelamaan terjadi perubahan penyebutan menjadi Tanjung Balai. Nama ini dianggap lebih serasi dan dipakai hingga sekarang. Peristiwa penasbihan sultan pertama pada tahun 1620 ini kemudian dinyatakan sebagai hari jadi Kota Tanjung Balai, yang kemudian dirayakan setiap tanggal 27 Desember. Tanggal 27 Desember itu diambil dari tanggal wafatnya Sultan Iskandar Muda, ayah dari Sultan Abdul Jalil yang dianggap sebagai pendiri Kota Tanjung Balai (Arifin, 2004: 13-14). Hari jadi Kota Tanjung Balai ini ditetapkan dengan Surat Keputusan DPRD Kota Tanjung Balai no 4/DPRD/TB/1986, bulan November 1986. 44
Meskipun Kota Tanjung Balai pada masa silam merupakan pusat Kesultanan Asahan, tetapi memberi kesan sisa-sisa keSultanan tersebut sudah tidak nampak. Kondisi ini mungkin disebabkan kurang dipelihara dan dipertahankan oleh keturunannya maupun oleh pemerintah setempat. Hanya yang masih nampak bekasnya adalah Masjid Raya Tanjung Balai dan makam sultan beserta keluarganya di belakang masjid tersebut. Sementara itu bekas istana yang sebelumnya masih ada terletak di Jalan Pahlawan telah dirobohkan oleh para keturunan sultan sendiri pada tahun 1984, karena kesulitan biaya perawatan/memeliharanya maka tanahnya dijual kepada pengusaha Cina. Pada saat kini tanah bekas istana kesultanan itu berdiri telah menjadi bangunan rukoruko yang berfungsi untuk kegiatan ekonomi. Mempertahankan sisa-sisa kejayaan suatu kerajaan pada masa lalu, mungkin belum menjadi prioritas keluarga maupun pemerintah dan ini berkaitan pula dengan anggaran kebudayaan yang sangat kecil. Sementara itu nampaknya di Tanjung Balai ini tidak hanya tanah bekas kerajaan yang terjual/dijual. Menurut informasi tanah milik warga juga banyak terjual/dijual oleh pemiliknya. Biasanya pembelinya adalah orang Cina dari kota Medan, bahkan orangorang Cina dari negara tetangga Malaysia banyak pula yang membeli tanah-tanah warga tersebut. Kondisi tanah yang banyak dijual warga dan dibeli oleh warga asing tersebut, cukup meresahkan para pemerhati kehidupan sosial budaya Tanjung Balai. Kalau kondisi ini didiamkan dan tidak ada aksi dari pemerintah setempat untuk mengantisipasinya, kecenderungan hasil budaya dan wilayah Tanjung Balai bisa tergadaikan. Tanjung Balai sebagai kota yang memiliki daerah pantai dan pelabuhan (Teluk Nibung), memang sangat dirasakan. Udara pantai pada siang hari cukup terasa menyengat, apalagi ditambah dengan hiruk-pikuk suara di tempat pelelangan ikan sangat mempengaruhi suasana di sekitar lingkungan daerah pantai dan pelabuhan tersebut. Jalan menuju pantai dan pelabuhan tidak terlalu luas dan tidaklah mulus, karena banyak jalan aspal yang sudah berlobang dan kadangkala tergenang air bila hujan. Dengan kondisi demikian memungkinkan kendaraan yang lalu menjadi terhambat dan jalanan menjadi agak macet. Ditambah lagi banyaknya orang yang lalu lalang untuk keperluan membeli ikan dan ke pelabuhan atau yang 45
lainnya. Sementara itu kondisi pelabuhan Teluk Nibung, memberi kesan biasa saja tidak nampak adanya pembangunan sekitarnya yang baru. Masih mencerminkan pembangunan lama yang belum ada perombakan. Suasana di pelabuhan tersebut tidaklah ramai, karena kini tidak banyak lagi berbagai barang komoditi masuk di pelabuhan itu. Kalau melihat masa lalu pelabuhan Teluk Nibung ini merupakan pelabuhan yang banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang yang membawa berbagai macam barang luar negeri dengan tidak kena biaya. Oleh karena itu barang-barang yang diperjual belikan di pasar-pasar sekitar teluk tersebut, atau di sekitar daerah Kota Tanjung Balai di lokasi-lokasi perdagangannya relatif murah. Dengan kondisi demikian daerah Tanjung Balai (Teluk Nibung) menjadi dikenal sebagai daerah yang menjual produk luar negeri (barang elektronik/hp, sandang-pangan) dengan harga murah. Tidak mengherankan konsumen dari luar daerah berdatangan dan mereka terdiri dari para pedagang maupun pembeli biasa. Dengan merebaknya perdagangan produk luar negeri di Teluk Nibung tersebut, berdampak pula bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Banyak anggota masyarakat Tanjung Balai terutama yang menggeluti bidang perdagangan mengalami kejayaan secara materi. Dengan tidak dikenakan biaya dan aturan yang jelas pada waktu itu, memungkinkan mudahnya barang-barang perdagangan masuk ke pelabuhan Teluk Nibung. Namun demikian kondisi ini cenderung memunculkan segi negatif bagi masyarakat dan sektor riil lainnya menjadi kurang berkembang serta pendapatan daerah tidak menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu pemerintah daerah Tanjung Balai mengeluarkan suatu kebijakan ada bea cukai bagi kapal-kapal perdagangan dan menentukan barang-barang asing yang boleh masuk ke pelabuhan Teluk Nibung. Dengan adanya kebijakan demikian, pelabuhan Teluk Nibung tidak lama kemudian mengalami kemunduran. Tidak banyak lagi kapal-kapal dagang yang berlabuh dan hanya barang-barang tertentu yang bisa didapatkan. Sebagai akibatnya suasana perdagangan menjadi agak lesu, dan pendapatan warga masyarakat yang bergerak di bidang inipun menjadi berkurang. Namun demikian laju perdagangan yang berkaitan dengan 46
berlabuhnya kapal di Teluk Nibung menjadi lebih teratur, sektor lain dapat bergerak dengan stabil dan kehidupan masyarakat tidak mengalami ketimpangan. Kini keadaan pelabuhan Teluk Nibung seperti yang sudah dikatakan sebelumnya biasa saja tidak mencerminkan suasana pelabuhan yang hiruk-pikuk. Suasana hiruk-pikuk justru dirasakan di sekitar tempat pelelangan ikan di daerah pelabuhan. Lain halnya dengan di daerah permukiman suasananya tidak ramai, seperti di jalan-jalan di sekitar permukiman Kecamatan Teluk Nibung khususnya di Desa Pematang Pasir. Di Desa Pematang Pasir tersebut jalan yang ada cukup baik dan tidak banyak dilalui kendaraan karena bukan jalan umum. Biasanya di lokasi permukiman tersebut selalu ada masjid/langgar untuk tempat beribadat warga masyarakat. Juga tersedia Puskesmas yang biasa digunakan warga bila sakit. Namun bila ada biaya atau bagi golongan ekonomi kuat kalau sudah berobat di Tanjung Balai tidak sembuh juga, mereka biasanya akan berobat ke Pulau Penang Malaysia. Kecenderungan berobat ke Pulau Penang Malaysia dilakukan oleh warga yang mempunyai ekonomi kuat, karena tidak lepas dari jarak tempuh yang relatif dekat dan tingkat kepercayaan relatif baik pada paramedisnya. Permukiman warga Kota Tanjung Balai, khususnya permukiman warga di Desa Pematang Pasir menggambarkan pola permukiman yang mengelompok tidak padat berjejer di sepanjang jalan. Antara rumah yang satu dengan yang lainnya selalu ada jarak tidak berdekatan. Seringkali rumah yang nampak selalu mempunyai halaman relatif luas. Biasanya juga ditanami tumbuh-tumbuhan yang cukup bermanfaat, seperti pohon kelapa (satu dua pohon), pohon pisang, pepaya. Tanaman tersebut lebih diperlukan untuk kebutuhan sendiri. Warga masyarakat yang bermukim di wilayah Desa Pematang Pasir itu, dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang bertugas sebagai pemimpin wilayah administratif desa. Secara struktural Kepala Desa merupakan pemimpin tertinggi desa yang bersifat formal. Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa dalam struktur formal, yang terdiri dari Sekretaris Desa, Kepala Urusan Pemerintahan, dan lain-lain. Kepala Desa dan para perangkat desa tersebut menjalankan struktur pemerintahan desa sesuai dengan 47
fungsinya. Salah satu fungsi adalah mengatur kehidupan sosial anggota warga masyarakat desa, antara lain diwujudkan dalam mendata penduduk desa yang datang dan pergi, mengurus keamanan desa dengan mengadakan siskamling/ronda di lingkungan permukiman. Selain ada struktur formal, di Desa Pematang Pasir juga ada struktur non formal yang secara sengaja atau tidak sengaja terbentuk dalam kehidupan warga masyarakat. Mereka yang berada dalam struktur non formal itu, adalah warga masyarakat yang terdiri dari golongan pedagang, golongan pegawai negeri, golongan nelayan, golongan cerdik-pandai dan lain sebagainya. Pemimpin dalam struktur non formal yang ada di masyarakat tersebut, biasanya merupakan orang yang dituakan, dihormati dan disegani yang dapat memberi bimbingan kepada warga masyarakat, seperti alim ulama atau guru dari golongan/kalangan cerdik pandai. Oleh warga masyarakat mereka sering dijadikan tempat bertanya, atau sebagai orang yang dapat menyelesaikan atau memberi jalan ke luar/mencarikan solusi akan suatu masalah yang dialami. Oleh karena peranannya ada dalam kehidupan masyarakat, mereka dikenal atau disebut sebagai tokoh masyarakat. 2. Penduduk dan Kehidupan Sosial Budaya Penduduk Kota Tanjung Balai pada tahun 2005 berjumlah 142.994 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 71.272 jiwa dan penduduk perempuan 71.722 jiwa. Penduduk KotaTanjung Balai pada tahun 2005 berdasarkan data survey mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Sehingga pada tahun 2005 tersebut Kota Tanjung Balai semakin padat dengan bertambahnya para pendatang dari berbagai daerah yang bertujuan untuk berdagang atau kepentingan lainnya dan menetap tinggal di Kota Tanjung Balai. Dari sekian jumlah penduduk Tanjung Balai tersebut, mereka tersebar ke lima kecamatan. Salah satunya adalah Kecamatan Teluk Nibung dengan jumlah penduduk 33.457 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 17.479 jiwa dan penduduk perempuan 15.978 jiwa. Sementara itu di Kecamatan Teluk Nibung tersebut penduduknya menyebar di lima kelurahan. Salah satunya Kelurahan 48
Pematang Pasir dengan jumlah penduduk 6.800 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 3.897 jiwa dan penduduk perempuan 2.903 jiwa. Penduduk Tanjung Balai tersebut terdiri dari penduduk asal dan penduduk pendatang. Penduduk asal/asli merupakan komunitas Melayu, yang terdiri dari Melayu asli, Melayu Semenda dan Melayu Resam. Melayu asli adalah komunitas yang mempunyai hubungan keluarga dengan keturunan Kesultanan Asahan (kesultanan Melayu di Tanjung Balai) yang bertahta selama 325 tahun, secara turun-menurun tinggal di Tanjung Balai dan menggunakan adat-istiadat Melayu4. Adat-istiadat Melayu ini berjalan seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, sehingga adat Melayu menyatakan Adat Bersendi Syarak, Syarak bersendi Khitabullah. Melayu Semenda adalah orang dari etnis lain (laki-laki maupun wanita) yang menikah dengan orang Melayu asli, sehingga ia dianggap sebagai orang Melayu. Kata semenda sendiri mengandung arti masuk ke dalam kelompok atau datang ke kelompok. Anak dari perkawinan campuran ini akan dianggap sebagai orang Melayu asli, walaupun salah satu orang tuanya berasal dari etnis lain. Melayu Resam adalah etnis pendatang yang telah lama di Tanjung Balai tanpa melalui perkawinan menyatakan diri sebagai orang Melayu5 karena menggunakan adat-istiadat Melayu dalam kehidupannya dan tentu beragama Islam. Dalam Kenyataannya sebagian masyarakat Melayu di Tanjung Balai bisa diartikan sebagai Melayu Resam, karena sebagian besar berasal dari etnis Toba khususnya daerah Porsea. Menurut cerita mereka banyak berada di daerah ini, karena pada masa lampau terjadi migrasi melalui Sungai Asahan. Setiba di Tanjung Balai, mereka meminta tanah untuk bertempat tinggal dan mencari penghidupan kepada Sultan Asahan. Sultan Asahan mengabulkan permintaan mereka, namun dengan syarat orang Toba tersebut harus menanggalkan marganya dan beralih keagama 4
Berdasarkan wawancara tentang asal-usul nenek moyangnya, dapat disimpulkan bahwa hampir tidak ada orang Melayu yang dapat dikatakan benar-benar asli berdarah Melayu. Orang Melayu di Tanjung Balai dapat dianggap campuran dari etnis pendatang. Seperti Aceh, Toba, Minang dan lain-lain. Sementara itu yang dianggap sebagai pusat kebudayaan Melayu murni adalah daerah Jambi dan Palembang.
5
Kelompok yang menyatakan Islam berarti disebut juga Melayu atau masuk Melayu
49
Islam sebagai identitas orang Melayu. Dengan demikian mereka telah di Me-la-yu-kan dan menyatakan diri sebagai orang Melayu. Sejak itu pula keturunan masyarakat Toba melebur menjadi masyarakat Melayu dan hidup dengan adat-istiadat .tradisi Melayu. Sebenarnya untuk diakui sebagai orang Melayu dan menjadi orang Melayu di daerah Tanjung Balai, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang pertama adalah beragama Islam, dan syarat yang kedua adalah menggunakan adat-istiadat Melayu dalam kehidupannya6. Syarat bahwa seorang Melayu harus beragama Islam inilah yang menjadikan Melayu selalu identik dengan Islam. Oleh karena itu di Tanjung Balai sebagian besar warganya dianggap orang Melayu karena beragama Islam, meskipun mereka berasal dari luar Sumatera (Jawa, Sunda, atau lainnya). Sikap mereka memang menunjukkan ke Melayuan, biasa diwujudkan dari gaya bahasa, berpakaian maupun lainnya. Sebagai komunitas Melayu atau khusus Melayu asli Tanjung Balai, kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari adat-istiadat Melayu. Kondisi ini mereka wujudkan dari kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukannya sejak dulu, seperti berpakaian model baju kurung dan berkerudung, berbahasa Melayu dengan logatnya yang kadangkala dimunculkan pula dengan berpantun. Berpantun biasa dilakukan komunitas Melayu ini, bertujuan untuk memperhalus bahasa dan menghindari ketegangan dalam menjalin komunikasi. Oleh karena itu pula dalam menjalin komunikasi yang baik di suatu peristiwa hajatan misalnya, maka mereka tidak lupa selalu berpantun lebih dulu. Dalam tradisi perkawinan menggunakan bahasa pantun antar keluarga kedua belah pihak (pihak laki-laki dan perempuan) menjadi yang diharuskan. Sebagai penganut Islam, tentu dalam melakukan adatistiadat/tradisinya itu berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Di antaranya dalam upacara kelahiran, memberi nama anak, khitanan,
6
Hal ini pula yang menyebabkan etnis Cina di Tannung Balai tidak dapat dikategorikan sebagai Melayu, karena mereka tetap mempertahankan kepercayaan leluhurnya (dikenal dengan kepercayaan Tri Dharma, gabungan dari Taoisme, Budhisme, dan Konghucu) dan jarang terjadi kawin campur dengan etnis-etnis lain di Tanjung Balai.
50
perkawinan7. Upacara kelahiran seorang anak, dalam ajaran Islam diawali dengan mengadakan syukuran pada waktu anak berusia empat bulan dalam kandungan. Dalam ajaran Islam dikatakan bahwa janin dalam kandungan mulai ada nyawa pada waktu berumur empat bulan. Artinya Allah memberikan kehidupan pada si cabang bayi dengan memberikan nyawa pada waktu ia sudah dikandung empat bulan. Oleh karena itulah pada waktu seorang ibu sudah mengandung empat bulan, yang bersangkutan bersama keluarga mengadakan upacara syukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa agar segala sesuatunya selalu mendapat Ridho Allah SWT. Kehidupan komunitas lokal Melayu yang syarat dengan nuansa Islam itu, seringkali nampak dengan kebiasaan mereka mengadakan pengajian bersama di masjid/langgar atau di tempat tinggal warga tertentu. Sementara itu dalam mendidik anak-anak, sejak dini sudah dikenalkan dengan ajaran/syariat Islam misal tentang wajib sholat, berpuasa dan membaca Al-Quran yang cukup mudah diajarkan dan dijalankan oleh anak-anak. Orang tua yang memiliki waktu biasanya berperan langsung dalam pendidikan tersebut. Namun bagi orang tua yang tidak cukup waktu, biasanya akan memasukan anak-anaknya ke madrasah/sekolah agama atau ke TPA (Tempat Pendidikan Al-Quran). Oleh karena itu sering tercermin pada waktu siang atau menjelang sore hari, anak-anak tingkat TK dan SD baik perempuan maupun laki-laki bersama-sama pergi ke Tempat Pendidikan Al-Quran yang ada di lingkungan permukimannya. Pada saat itu suasana yang nampak cukup mengesankan, karena anak-anak tingkat TK dan SD sudah berbusana muslim dan berbaju koko pula. Pemandangan demikian sebetulnya juga sama dengan di daerah lainnya yang warga masyarakatnya dominan penganut Islam. Hanya perbedaannya anak-anak tersebut pandai menggunakan cakap Melayu, yang kalau kita dengarkan terkesan menyenangkan dan menentramkan. Tidak hanya anak-anak, orang tuapun selalu bercakap Melayu baik di ruang formal maupun non formal yang bisa dimengerti dan enak didengar bila dengan intonasi yang menarik. 7
Dalam perkembangannya upacara-upacara tersebut tidak murni Melayu lagi karena seringkali dikombinasikan dengan adat-istiadat etnis lain, terutama dalam upacara pernikahan antar etnis.
51
Cakap Melayu (bahasa Melayu) yang biasa digunakan komunitas Melayu Tanjung Balai dalam berkomunikasi formal maupun non formal, mencerminkan mereka adalah komunitas yang kental dengan ke Melayuannya. Kekentalan budaya Melayu yang selalu dicerminkan tersebut, tidak hanya diwujudkan dalam penggunaan bahasa juga dalam makanan yang dikonsumsi. Diketahui bahwa komunitas Melayu adalah penyuka ikan, sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya berkaitan dengan kelautan dan kenelayanan. Oleh karena itu ikan menjadi lauk-pauk utama untuk disuguhkan kepada keluarga atau kepada tamu dalam suatu hajatan. Mereka biasa meramu/mengolah ikan dalam pola makanan tradisional Melayu yang konon mempunyai cita rasa. Berbagai menu lauk-pauk dari bahan dasar ikan itu dapat mereka sajikan. Bisa dianggap hampir setiap hari komunitas Melayu itu menyajikan makanan/lauk-pauk tradisional/khas daerahnya untuk keluarga, terutama komunitas Melayu Asal. Bagi komunitas Melayu Resam atau Semenda, makanan tradisional yang disajikan bisa juga dimodifikasi dengan makanan daerah asal orang tua atau nenek moyangnya. Sehingga mengesankan berbagai variasi makanan asal daerah lain bisa saja muncul dalam sajian makanan keluarga, dengan tetap mencerminkan makanan Melayu yang tidak jauh dari rasa pedas dan asam. Ke Melayuan seorang komunitas Melayu Tanjung Balai kadangkala juga tercermin dari sikap ramah yang mereka munculkan dalam berinteraksi, dengan suka menyapa dan tersenyum meskipun kenal selintas atau belum kenal sama sekali. Apalagi kalau sudah saling mengenal keramah-tamahan itu semakin kentara, dan hubungan yang terjadi terkesan akrab. Ramah dan akrab dalam bergaul yang diwujudkan komunitas Melayu itu, sebetulnya tidak lepas dari ajaran Islam tentang silahturahmi atau menjaga/menjalin hubungan antar sesama. Biasanya orang Melayu yang identik dengan Islam itu, berusaha untuk mengikuti ajaran Islam sesuai dengan identitas yang disandang Melayu adalah Islam. Melayu adalah Islam memang selalu tercermin dalam pergaulan sehari-harinya, yang muda memberi salam kepada yang tua, yang di luar rumah memberi salam kepada yang di dalam rumah, yang berdiri memberi salam kepada yang duduk, menjabat tangan didahulukan dengan orang yang berada di sebelah kanan, 52
membungkukkan badan jika hendak lewat di depan orang, begitu seterusnya. Suatu kebiasaan yang mereka lakukan selalu bersandar pada ajaran Islam, baik berdasarkan sunnah Nabi, hadist maupun Al-Quran. Meskipun ini sudah merupakan kebiasaan/ tradisi, tetapi ada kekhawatiran dari kaum tua kebiasaan ini bisa hilang mengingat arus pengaruh asing yang mudah masuk. Oleh karena itu kaum tua Melayu berharap, setiap insan Melayu dapat meningkatkan Ke Melayuannya yang identik dengan Islam itu.
53
BAB III MASYARAKAT PERBATASAN DALAM REALITAS A. Tanjungpinang 1. Batas Budaya Kesukubangsaan Pemahaman orang Melayu (Melayu Riau) di Tanjungpinang sebagai suatu suku bangsa, masih tercermin melalui cerita rakyat yang mereka kenal. Seperti cerita rakyat batu belah, hutan paku. Cerita batu belah ini menggambarkan bagaimana seorang anak yang tidak sayang pada orangtuanya (ibu), dan malah tidak mau mengakui ibunya. Sehingga si anak mendapat kutukan menjadi batu yang terbelah. Setiap daerah mempunyai cerita seperti ini (cerita malin kundang dari Minang), terutama di daerah yang sebagian besar penganutnya beragama Islam. Pada prinsipnya cerita ini mempunyai tujuan untuk menasehati seorang anak harus patuh, sayang, menghormati orang tuanya terutama kepada ibu yang telah sangat berjasa kepada anak-anaknya sejak dalam kandungan hingga dewasa. Cerita ini merupakan gambaran dari aturan Islam bahwa seorang anak wajib menghormati dan menyayangi orang tuanya, kalau tidak ia akan mendapat hukuman dari yang Maha Kuasa. Karena budaya Melayu identik dengan Islam, maka dalam cerita rakyatnya kadangkala ada kaitan dengan ajaran Islam. Sementara itu cerita rakyat mengenai hutan paku, juga berkaitan dengan keadaan wilayah orang Melayu. Dimana dalam cerita digambarkan bahwa daerah orang Melayu ini pada masa lalu merupakan hutan yang penuh dengan paku, sehingga pada waktu itu tidak ada orang yang berani masuk atau menguasai daerah tersebut karena ada penjaga alamnya, yakni hutan paku tadi. Ini sebetulnya merupakan gambaran bahwa daerah Melayu ini tidak boleh diganggu orang atau terutama penjajah yang pada waktu itu gencar menguasai wilayah Melayu Orang Melayu Tanjungpinang dapat memahami akan batasbatas kewilayahannya, terutama dikalangan yang cukup berpendidikan. Batas kewilayahan yang dipahami, yakni batas yang berhubungan dengan wilayah kebangsaan (dengan negara lain). 54
Batas ini ditetapkan berdasarkan hukum internasional, yakni batas teritorial baik di wilayah lautan maupun daratan. Khusus di wilayah perbatasan daratan, biasanya tampak jelas dengan adanya pos pemeriksaan keimigrasiaan; gerbang yang bertuliskan/menjelaskan nama daerah dan negara. Di kalangan rakyat umum batas kewilayahan yang mereka pahami, adalah adanya pembatas baik yang dibangun permanen seperti gerbang, pokok pohon (kelapa) atau hanya sebuah tanda khusus (kayu yang ditancapkan). Di beberapa wilayah kabupaten atau wilayah desa, kadang mereka mengetahui batas wilayah menggunakan tugu yang terbuat dari tembok permanen, ada pula yang berbentuk bendera dengan di cat warna putih, atau dalam bentuk tugu model/disain bambu runcing. Di lingkungan masyarakat Kelurahan Melayu Kota Piring, komunitas lokal (orang Melayu) khususnya di kampung Melayu, batas wilayah yang mereka pahami adalah menyangkut dengan kepemilikan lahan. Pada waktu sebelumnya dan hingga kini batas lahan yang dimiliki warga, masih cukup dengan tanda ada pohon kelapa, karet, kadang ada yang dibatasi dengan kuburan. Namun ada juga lahan yang mereka miliki biasa dibatasi dengan tembok, dan ditandai dengan bukti kepemilikannya disebut dengan surat tebas. Surat tebas ini sebagai tanda bukti kepemilikan lahan disahkan oleh kepala desa atau aparat desa. Pola lama dalam batas pemlikan lahan masih digunakan oleh warga kampung Melayu ini, karena sudah merupakan konvensi bersama antar warga atau penduduk. Sehingga antar mereka masing-masing mengetahui di mana batas tanah kepemilikannya. Pola ini masih mereka pakai, karena memang tidak pernah atau belum pernah terjadi adanya perebutan kepemilikan tanah atau lahan diantara mereka. Namun untuk kenyamanan dan keamanan kepemilikan lahan tersebut, kini dapat dibuat surat tebas (surat kepemilikan tanah/lahan yang disahkan kepala desa). Kalau melihat sejarah sebuah desa di Tanjungpinang, sangat erat kaitannya dengan berbagai peristiwa. Nomenklatur atau penamaannya acapkali dikaitkan dengan sesuatu yang dipandang berharga, bersejarah bagi masyarakat setempat. Kadangkala penamaan suatu daerah sangat dekat dengan mitologi setempat. Di kelurahan Melayu Kota Piring, diindikasi bahwa penamaan daerah 55
berasal dari eksistensi Kesultanan Riau Lingga di daerah tersebut yang konon pada masa jayanya selalu memberikan cenderamata berupa piring kepada tamu-tamunya. Di desa tersebut hingga kini masih terdapat sebagian bangunan tembok bekas Kerajaan Riau Lingga (sudah menjadi BCB). Demikian pula nama-nama yang digunakan oleh desa lainnya, sering dikaitkan dengan peristiwa tertentu atau hal yang khusus dijumpai sebelumnya. Kepemilikan lahan bagi masyarakat Melayu (warga kelurahan Melayu Kota Piring) dianggap cukup penting. Oleh karena itu pewarisan tanah atau lahan tersebut berdasarkan adat yang mengacu pada hukum Islam sesuai dengan ajaran yang dianut masyarakatnya (azas Adat Bersendi Syara’ dan Syara’ Bersendi Kitabullah). Berdasarkan ajaran Islam pembagian warisan bagi anak laki-laki dan perempuan tidak sama, yakni 2/3 untuk laki-laki dan 1/3 untuk perempuan. Ajaran Islam inilah selalu menjadi acuan dari adat Melayu dalam pembagian harta warisan tersebut, baik yang berupa lahan maupun lainnya. Kondisi demikian mencerminkan orang Melayu penganut Islam yang cukup taat. Seperti yang dikemukakan Duarte Barbarossa, bahwa orang Melayu adalah penganut agama Islam (muslim) yang taat dalam menjalankan kehidupan beragama (H. Alatas,1988:49). Meskipun sebagian besar orang Melayu adalah penganut Islam yang taat, bukan berarti mereka tidak toleran dengan agama lainnya. Mereka dapat hidup berdampingan dengan penganut agama Nasrani, Hindu dan Budha. Tidak hanya dengan penganut agama yang berbeda, dengan suku bangsa yang berbedapun mereka dapat hidup berdampingan. Seperti di daerah kelurahan Melayu Kota Piring, selain ada komunitas lokal yang merupakan orang Melayu juga ada orang bersuku Batak, Flores, Bugis, Minang, Jawa, Sunda, Cina yang telah menetap cukup lama di daerah tersebut. Antara mereka bisa berada dalam satu permukiman atau tidak dalam satu permukiman. Biasanya pendatang yang berada di daerah permukiman yang sebagian besarnya adalah orang Melayu (di kampung Melayu), merupakan pendatang yang sudah kawinmawin dengan orang Melayu atau pendatang yang sudah merasa sebagai orang Melayu. Sementara itu sebagian pendatang biasa menempati daerah permukiman yang sebagian besar warganya 56
multikultur. Dengan demikian batas ketetanggaan orang Melayu yang berada di kampung Melayu dengan tetangga pendatang bisa hanya dibatasi antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Kalau dengan tetangga pendatang di luar daerah permukimannya, antara mereka bisa dibatasi dengan jalan atau wilayah ruang permukiman yang berbeda. Sementara itu pendatang tersebut sebagai tetangga komunitas lokal (orang Melayu) tetap memiliki batas kesuku bangsaan, artinya meskipun mereka membaur dengan komunitas lokal di lingkungannya mereka tetap mempertahankan budaya daerah asalnya. Oleh karena itu tidak mengherankan konstruksi sosial budaya selalu terjadi antara masyarakat yang saling berhubungan tersebut. Orang Melayu di Tanjungpinang (Kelurahan Melayu Kota Piring), meskipun memiliki kontak yang mudah dengan pendatang maupun masyarakat negara tetangga (Malaysia dan Singapura) masih tetap selalu mengapresiasi adat-istiadat atau tradisinya. Oleh karena itulah tidak mengherankan apabila mereka masih tetap bertahan dengan kemelayuannya. Seperti tercermin dalam tradisi lingkaran hidup atau daur hidup dari kelahiran hingga kematian, dilakukan suatu upacara ritual yang selalu mengacu pada ajaran (syariat) Islam. Bagi kalangan bangsawan atau atas, biasanya adat-istiadat atau tradisi daur hidup terutama perkawinan biasa mereka lakukan dengan kemeriahan. Setelah melakukan berbagai upacara yang selalu berdasarkan ajaran Islam, mereka mengadakan syukuran dengan menjamu tamu dan menghibur tamu melalui makanan tradisional yang disajikan dan pertunjukkan kesenian Melayu sebagai kekayaan khasanah budaya Melayu. Lain halnya bagi kalangan menengah ke bawah, syukuran perkawinan tidak selalu dapat mereka lakukan dengan meriah berkaitan dengan kondisi ekonomi yang mereka miliki. Biasanya bila aturan atau syariah Islam telah dilakukan dalam adat perkawinan tersebut, syukuran dilakukan dengan sederhana tanpa selalu menampilkan kesenian Melayu. Kondisi ini bukan berarti mereka tidak mengapresiasi tradisi yang ada, karena tradisi tetap selalu dipertahankan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (seperti tatakrama, berbahasa Melayu). 57
Tradisi atau adat-istiadat yang dilakukan komunitas lokal (orang Melayu) juga tidak lepas dengan kegiatan atau matapencaharian yang dilakukannya. Seperti komunitas lokal yang bermatapencaharian nelayan, biasanya selalu melakukan atau menjalankan tradisi melaut dalam bentuk upacara ritual guna keselamatan dan keberhasilan perolehan ikan. Mereka masih percaya dengan tradisi nenek moyang tentang mitologi adanya mahluk gaib di laut, yang disimbolkan sebagai penguasa dunia air yang wajib diberi persembahan agar tidak mengganggu bahkan menjaga keselamatan para nelayan. Hingga kini tradisi dalam bentuk upacara masih banyak yang dijalankan orang Melayu tersebut. Cukup menjadi perhatian yang berkaitan dengan tradisi Islam, yakni perayaan Isra’ Miraj dan Maulid Nabi. Biasanya pada waktu Isra’ Miraj dan Maulid Nabi, orang Melayu biasa melakukan ziarah ke bukit batu di Bintan tempat makam raja-raja Melayu atau orang yang dianggap sebagai wali agama. Mereka membawa berbagai sesaji, antara lain nasi kuning dengan lauknya, bunga, berbagai macam makanan. Dalam ziarah itu dilakukan upacara yang dipimpin oleh seorang tokoh adat atau kepala desa setempat. Siapa saja boleh hadir untuk mengikuti tetapi di luar yang melakukan upacara tersebut. Seringkali masyarakat negara tetangga (Malaysia, Singapura) yang bersuku Melayu menghadiri upacara Isra’ Miraj di bukit batu tersebut. Mereka sengaja datang ke Tanjungpinang untuk menghadiri upacara itu yang dilakukan setiap tahun. Orang Melayu negara tetangga (Malaysia, Singapura) berkenan hadir dalam upacara Isra’ Miraj dan maulid tersebut karena tidak lepas dari keterikatannya dengan adat-istiadat atau tradisi yang dimiliki. Mereka merasakan sebagai orang Melayu yang pusat dan kerabatnya ada di daerah Melayu Tanjungpinang, mengharuskannya secara tidak langsung untuk dapat datang pada waktu acara Isra’ Miraj atau Maulid di bukit batu tempat upacara dilaksanakan. Oleh karena itulah pada waktu acara Isra’ Miraj dan Maulid di bukit batu akan nampak banyak orang Melayu Malaysia dan Singapura hadir mengikuti jalannya upacara tersebut, bisa sebagai penonton atau turut serta dalam prosesinya upacara. Upacara tradisional yang selalu dilakukan ini memerlukan berbagai pelengkapan, selain makanan juga diperlukan 58
perlengkapan lainnya seperti pakaian adat yang harus dikenakan. Untuk kaum perempuan harus mengenakan pakaian adat berupa baju kurung dan kerudung. Sedangkan kaum laki-laki mengenakan pakaian baju koko atau baju khas Melayu dengan celana panjang dan sarung yang dikenakan setengah badan. Kadangkala dalam upacara tradisional lainnya, ada keris yang dikenakan di bagian depan pinggang dan ikat kepala khas tradisi Melayu. Berbagai kelengkapan upacara tradisional yang ada biasanya merupakan milik keluarga bersangkutan dan bisa disimpan sebagai benda pusaka keluarga. Secara lazimnya benda pusaka itu diperoleh secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi orang Melayu upacara tradisional/adat-istiadat yang dilakukan itu tidak lepas dari hubungan kerabat. Mereka menghitung hubungan kerabat berdasarkan sistem bilateral. Artinya mengambil garis kekerabatan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, yang kedudukan pihak laki-laki dan pihak perempuan berada dalam derajat yang sama. Dengan sistem kekerabatan demikian, pola menetap bagi keturunan Melayu setelah menikah bersifat matrilokal bukan bilokal, yakni menetap setelah menikah di pihak keluarga perempuan (Isteri). Namun kini adat atau pola menetap tersebut, tidak selalu bisa dijalankan karena berbagai pertimbangan. Biasanya hanya bisa berlangsung pada waktu tertentu saja, seperti pasangan yang baru menikah akan menetap beberapa waktu di lingkungan pihak keluarga perempuan. Setelah itu mereka akan menetap di rumah yang telah diusahakan sendiri atau disediakan oleh orang tuanya dari pihak perempuan atau laki-laki. Mungkin dalam perkembangan adat menetap itu demikian, keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan bila mampu akan menyediakan tempat tinggal bagi anaknya yang akan menikah. Pada awalnya dengan pola menetap demikian, mereka tinggal dalam bentuk keluarga luas yakni adanya keluarga batih senior dan keluarga batih yunior dalam satu rumah dan kepala keluarganya adalah Bapa’ dari keluarga batih senior. Sebutan Bapa’ bagi orang Melayu merupakan seorang ayah dan merujuk pada istilah seorang laki-laki yang menjadi kepala keluarga. Sementara itu untuk istilah lain dalam kekerabatan orang Melayu, adanya sebutan abang, kakak, emak, macik, dan lain-lain. Istilah ini tidak digunakan dalam hubungan keluarga saja, tetapi juga dalam 59
hubungan pergaulan. Seseorang bisa saja memanggil orang yang lebih tua laki-laki dari dirnya dengan sebutan abang atau kakak. Sedangkan seorang perempuan yang lebih tua atau ibu-ibu, biasa disapa dengan sebutan emak atau macik. Melayu seperti telah diketahui selalu identik dengan Islam, karena cara hidup dan prinsip-prinsip hidup yang dimiliki berdasarkan ajaran Islam maka dalam pewarisan harta keluarga tidak lepas dari aturan/syariah Islam. Namun tidak berarti adat ditinggalkan, adat selalu bersandi syara’ dan syara’ bersandi kitabullah. Jadi adat yang mereka pakai adalah mengacu pada ajaran Islam, berarti hukum harta warisnya adalah hukum adat dan Islam yang notabene sama. Dalam ajaran Islam harta warisan diberikan kepada anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan, yakni 2/3 berbanding 1/3. Anak laki-laki menerima warisan lebih besar dari anak perempuan, bukan berarti anak perempuan diperlakukan tidak adil. Dasar pertimbangannya adalah anak laki-laki mempunyai tanggungjawab yang lebih besar dalam keluarga daripada anak perempuan. Oleh karena itulah acuan ini selalu menjadi dasar dalam pewarisan tersebut. Namun kadangkala tidak mustahil dalam kesepakatan bersama keluarga, bisa terjadi anak perempuan dapat bagian yang sama atau bahkan lebih besar dari anak laki-laki karena pertimbangan tertentu (misal anak perempuan hidup sendiri/lajang atau ditinggal suami). Kondisi ini tidak terlalu menyimpang dan bisa diterima berdasarkan pertimbangan yang telah dikemukakan tadi. Sementara itu untuk harta pusaka diturunkan kepada seorang anak yang sejak dini (masih kecil) sudah diketahui dan ditentukan oleh bapa’ (orang tuanya) kelak yang akan menjaga harta pusaka. Menurut keterangan dari seorang tokoh adat setempat, biasanya seorang anak yang akan mewarisi harta pusaka keluarga mempunyai tanda khusus di bagian belakang kepalanya. Dengan ada tanda di belakang kepala itu, seorang anak tadi dianggap akan mampu menerima dan menjaga harta pusaka keluarga. Berkaitan dengan aturan Islam tersebut, selalu menjadi acuan bagi orang Melayu. Dalam perkawinan mereka selalu ada larangan kawin dengan sedarah (kaitannya dalam hubungan kekerabatan) dan yang tidak seiman. Artinya orang Melayu akan menikah harus dengan yang sesama Islam dan tidak ada hubungan 60
darah. Meskipun dari suku bangsa yang berbeda, tetapi satu iman perkawinan dapat berlangsung. Jadi iman yang sama merupakan syarat yang mutlak dalam suatu perkawinan tersebut. Dengan demikian perkawinan dalam masyarakat Melayu bisa bersifat exogami dalam keluarga dan bisa juga suku bangsa, namun harus seagama yakni agama Islam tanpa selalu melihat asal-usul seseorang. Dapat dikatakan bahwa prinsip Islam telah mengubah sebagian tatanan hidup orang Melayu, khususnya dalam memandang kedudukan seseorang. Kalau masa lalu sebelum Islam menjadi acuan hidup mereka, orang Melayu selalu melihat status atau asal-usul seseorang dari kalangan mana, kalangan raja/bangsawan atau kalangan rakyat biasa. Kalau mereka dari kalangan raja/bangsawan biasanya pasangan hidup dalam perkawinan harus dari kalangan yang sama yakni dari kalangan raja atau bangsawan juga. Oleh karena itulah pada masa lampau sering terjadi perkawinan antara keturunan raja/bangawan yang satu dengan keturunan raja/bangsawan yang lain. Biasanya cara ini dilakukan sebagai upaya untuk melanggengkan garis keturunan raja/bangsawan bersangkutan dan melanggengkan kekayaan yang dimiliki. Hingga kini tanda kebangsawanan seseorang itu masih tetap ada melalui sebutan atau nama meskipun tidak terlalu berfungsi dalam kehidupan perkawinan, seperti adanya sebutan Tengku, Engku, Nik, wan. Seperti yang diuraikan di atas dalam kehidupannya orang Melayu selalu berpegang pada Adat Bersandi Syara’ Syara’ Bersandi Kitabullah, maka dalam menjalankan hidupnya itu mereka selalu berusaha menciptakan harmonisasi. Kalaupun antar mereka dan dengan di luar mereka terjadi konflik atau sengketa akan berbagai masalah atau hal, biasanya dapat diselesaikan dengan musyawarah dan dialog untuk mencapai kesepakatan. Dengan toleransi dan meghormati tinggi pada orang lain persengketaan sebenarnya jarang sekali terjadi di masyarakat Melayu ini, baik dengan yang satu suku maupun di luar suku dan agama. Namun bukan berarti mereka orang yang takut atau lemah secara fisik. Dalam catatan sejarah, orang Melayu banyak melibatkan diri dalam peristiwa heroik pertempuran yang membela kedaulatan negerinya. 61
2. Ruang Publik Dalam Interaksi Ruang publik mengandung pengertian suatu tempat atau arena dimana semua orang dalam berbagai lapisan sosial dapat berinteraksi. Ruang publik yang sering menjadi tempat bagi orang Melayu dalam berinteraksi, yakni pasar, kedai kopi, terminal angkutan darat, laut, rumah sakit, rumah ibadah, lapangan olah raga, gedung pertemuan, yang biasa ada di pusat kota. Sementara itu ruang publik yang terdapat di daerah pinggir kota atau perkampungan (kampung nelayan), biasanya warung, kedai kopi, langgar. Ruang publik ini merupakan ruangan yang ramai dikunjungi orang, memungkinkan setiap orang dapat berinteraksi satu sama lain. Bagi masyarakat Melayu Tanjungpinang (khusus Melayu Kelurahan Kota Piring), keberadaan ruang publik dapat membuka jaringan dalam berbagai hal dengan berbagai suku dan kalangan. Seperti lapangan olah raga sebagai ruang publik, hampir setiap sore selalu dipenuhi oleh anak-anak muda untuk melakukan aktivitas olah raga (bola volley, sepak takraw, sepak bola), maupun mementaskan kreativitas seni di ruang terbuka. Setiap ruang publik biasanya dilengkapi dengan berbagai sarana sesuai dengan kepentingannya. Di pasar selain dibangun kios-kios untuk menampung para pedagang, juga tersedia lahan terbuka untuk menampung pedagang kaki lima, pos pemungutan restribusi, dan pos keamanan pasar. Sementara itu di terminal, tersedia ruangan atau tempat untuk bus atau angkot mangkal guna mendapatkan penumpang. Pada saat ini terminal bus di Tanjungpinang sedang direnovasi, maka terminal sementaranya ada di sepanjang jalan sekitar pasar ditandai dengan banyak bus atau angkot yang mangkal menunggu penumpang dan penumpang banyak yang turun-naik kendaraan di tempat tersebut. Suasana terminal ini cukup hiruk pikuk dengan suara lalu lalang kendaraan dan klakson mobil, juga suara teriakan-teriakan kernet angkot menawarkan penumpang untuk bersedia naik sesuai dengan daerah yang dituju. Aktivitas yang terjadi di pasar, ditandai dengan terbaginya pedagang dalam bentuk pedagang besar dan pedagang kecil. Pedagang besar biasa dikuasai orang Cina, seperti barang yang diperdagangkan berupa batu mulia (emas, platina, perak, dan 62
sebagainya), barang kelontong skala besar, daging dan ikan skala besar. Sementara itu orang Minang, Jawa, Batak, Melayu menjadi pedagang kecil, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Kadangkala pedagang kecil memasok barang dagangannya juga dari orang Cina. Orang Cina di pasar memang terkesan menguasai arena perdagangan yang ada. Mereka sangat dominan dalam semua sektor perdagangan bukan hanya di lingkungan pasar, tetapi juga di luar lingkungan pasar. Oleh karena itulah orang Cina sering dipanggil dengan istilah toke, yang berarti pemegang modal atau lebih umum diartikan sebagai bos. Sebagai pemegang modal seringkali orang Cina tersebut, menjadi tempat para pedagang kecil orang Melayu, Jawa, Batak, Minang pemberi pinjaman modal dalam bentuk uang atau barang. Kondisi ini memberi gambaran bisa terjadi hubungan patron klien antara orang Cina sebagai pedagang besar dengan orang Batak, Minang, Jawa, maupun lainnya sebagai pedagang kecil. Seolah-olah orang Cina tersebut menjadi pelindung terutama secara ekonomi terhadap pedagang kecil tadi. Sementara itu pedagang kecil tersebut menjadi sangat membutuhkan keberadaan pemilik modal orang Cina tadi. Sehingga hubungan antara pedagang kecil dengan orang Cina selalu dijaga, bagaikan hubungan antara pekerja dengan majikannya. Di satu sisi sekelompok orang merasa terlindungi oleh orang Cina dalam hubungan ekonomi, di satu sisi orang Cina merasa nyaman dan bisa survive dalam perekomiannya dengan banyak orang membutuhkannya. Jadi terwujudnya hubungan saling ketergantungan antara orang Cina sebagai pedagang besar dengan orang suku bangsa lain sebagai pedagang kecil. Dalam kondisi ini juga tampak adanya dua kutub perdagangan bersifat superior (orang Cina) dan subordinat (orang Melayu, dan suku lainnya). Orang Cina sebagai pemegang kendali ekonomi di Tanjungpinang, tidak hanya dalam komoditi lokal tetapi juga yang didatangkan dari luar (Singapura, Malaysia). Jaringan perdagangan orang Cina juga ke Singapura dan Malaysia, diawali karena adanya kerabat yang menetap di negara tersebut. Sehingga kerabatnya menjadi jalur atau mediator dalam pembelian barang yang akan diperdagangkan di Tanjungpinang. Peran orang Cina dalam roda perekonomian Tanjungpinang memang sudah tidak dapat disangkal 63
lagi. Malah berkat mereka pula pedagang kecil bisa hidup. Sisi positif tetap bisa dirasakan, meskipun orang Melayu dan pendatang lain berada di bawah pengaruh ekonomi orang Cina tersebut. Perekonomian Tanjungpinang banyak dikuasai Cina, secara selintas terbukti dengan materi yang mereka miliki berupa rumah mewah, kendaraan mewah, pergi ke negara Malaysia dan Singapura terkesan silih berganti menunjukkan skala yang tinggi. Bekaitan dengan itu pula arus barang yang ke luar masuk Tanjungpinang dipegang oleh orang Cina tersebut, termasuk pula penguasaan pelabuhan kecil (pelabuhan Kucing, istilah lokal) yang kapal-kapal kecil mereka bebas ke luar masuk. Sebagai kota jasa dan niaga, Kota Tanjungpinang tempat hunian orang Melayu ini secara umum dapat dianggap merupakan daerah yang memunculkan interaksi antar masyarakat baik dengan yang berbeda suku maupun satu suku bisa bersifat masalah perdagangan (ekonomi) maupun lainnya. Biasanya pembicaraan berkaitan dengan ekonomi dapat dilakukan dimana saja, seperti di kedai kopi. Kadangkala masalah ekonomi inipun diperbincangkan dalam tempat ibadah, yang terwujud dalam bentuk simbol misalnya melalui ceramah selintas mengkaitkan ekonomi dengan agama. Sementara itu masalah politik tidak selalu menjadi bahan pembicaraan terutama di kalangan masyarakat Melayu (nelayan) khusus di Kecamatan Tanjungpinang Timur, bagi mereka politik adalah urusan pemerintah mereka cukup mengetahui urusan keimigrasian berkaitan dengan paspor sebagai tanda kewarganegaraan. Lain halnya untuk kalangan tertentu, misal cerdik pandai orang Melayu terutama mereka yang di Kota Tanjungpinang interaksi yang terjadi bisa juga membahas masalah politik berkaitan dengan pemilihan wali kota KotaTanjungpinang. Seringkali pembicaraan ini dilakukan di kedai kopi, di kantor, di tempat gedung pertemuan. Bahkan secara simbolis pernah terjadi di tingkat kepemimpinan RW/ RT di kampung Melayu Kecamatan Tanjungpinang Timur ada usaha menginformasikan kepemimpinan walikota melalui kegiatan PKK saat ini dianggap baik, sebagai kampanye terselubung yang secara sadar tidak sadar dilakukan. Dengan demikian interaksi yang terjadi antara masyarakat bisa berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, politik maupun 64
keagamaan. Namun yang paling sering dibicarakan adalah masalah perekonomian, misal harga barang yang mahal, ketenaga kerjaan. Berdasarkan wawancara seringkali masalah ekonomi ini menjadi perbincangan sehari-hari dan utama bagi masyarakat bersangkutan. Sementara itu ruang publik yang memberi kesan strategis bagi orang Melayu untuk bincang-bincang berbagai permasalahan itu, adalah kedai kopi. Kedai kopi bagi orang Melayu terutama kaum laki-laki, menjadi tempat pertemuan yang nyaman dan menyenangkan. Di samping tempat untuk bersantai tetapi bisa juga menjadi tempat untuk membicarakan yang bersifat serius. Seperti pada waktu pengamatan berlangsung di kedai kopi itu sambil membicarakan sesuatu mereka bisa juga bermain makyong, merupakan permainan kartu tradisional dengan dadu yang biasa dimainkan orang Melayu. Oleh karena itulah kedai kopi sebagai ruang publik/arena berinteraksi menjadi tempat yang sering dikunjungi orang Melayu untuk kepentingan menambah wawasan dan pergaulan. Di tempat ini pula pembicaraan bisa terfokus sesuai dengan topik pembicaraan. Bagi masyarakat Melayu Tanjungpinang kehidupan ekonomi memang sering menjadi pembicaraan sehari-hari. Apalagi lagi bagi mereka pelaku ekonomi, pembicaraan tidak lepas dari toke (pemilik modal/boss) yang merupakan orang Cina. Toke bagi mereka merupakan pemimpin dalam kegiatan ekonominya, karena melalui toke inilah ekonominya dapat berjalan. Seperti nelayan membutuhkan toke yang mampu membeli hasil tangkapannya dalam partai besar yang kemudian dipasarkan ke luar negeri (Malaysia, Singapura). Atau toke dapat memberikan modal untuk nelayan agar bisa melaut, yang hasilnya dipasarkan oleh toke. Begitu juga dengan perdagangan yang lain. Kondisi ini mencerminkan seorang toke dapat menjadi tempat bergantung para pedagang yang mempunyai hubungan dagang dengannya. Artinya toke tersebut memberi kesan adalah pemimpin ekonomi mereka. Kalau hubungan sudah dekat atau ada kecocokan, biasanya antara mereka dapat menjalin hubungan yang lebih jauh. Artinya hubungan toke dan pedagang bisa bersifar kekeluargaan dan terjadi saling bantu-membantu. Sementara itu kehidupan keagamaan juga kerapkali menjadi pembicaraan masyarakat Melayu, terutama di ruang ibadah yakni 65
masjid/langgar. Di masjid/langgar ini orang Melayu dapat memperoleh wawasan agama dari ceramah yang ada atau dari bincang-bincang sesama jamaah masjid. Penceramah di masjid/ langgar itu biasanya adalah seorang ustadz/kiyai atau lebih dikenal sebagai alim ulama. Bagi orang Melayu ulama yang merupakan ustadz atau kiyai itu adalah pemimpin agama yang selalu ada di lingkungannya. Biasanya seorang ustadz atau kiyai di suatu lingkungan mempunyai peranan besar dalam kehidupan masyarakat, seperti dapat menjadi tempat berkonsultasi berbagai hal yang kemudian juga dapat memberikan solusi akan masalah yang dihadapi masyarakat. Ustadz atau kiyai yang ada di lingkungan masyarakat tersebut memberi kesan sebagai seorang patron (pelindung) bagi masyarakat bersangkutan. Masyarakat bersangkutan dalam hal ini bisa dianggap sebagai klien (yang dilindungi) dari ustadz atau kiyai tadi. Hubungan antara ustadz atau kiyai dengan masyarakat lingkungannya merupakan hubungan patron-klien bersifat moril. Kehidupan keagamaan di Kota Tanjungpinang umumnya atau di Kecamatan Tanjungpinang khususnya sangat erat kaitannya dengan prinsip agama Islam, sesuai dengan sebagian besar komunitas lokalnya adalah penganut agama Islam. Oleh karena itulah peranan pemuka agama atau ulama Islam sangat dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Seringkali pemuka agama/ulama itu juga merupakan tokoh adat dalam kehidupan masyarakat, karena dalam menjalankan adat tidak lepas dari syariah agama Islam sesuai dengan prinsip hidup orang Melayu Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah yang artinya semua dalam kehidupan acuannya adalah Al-Quran. Sebagai pemuka agama/ulama dan juga tokoh adat, apa yang diucapkan dan diwujudkan dalam perilaku menjadi panutan bagi masyarakat. Dari interaksi yang terjadi dalam masyarakat tersebut, nampak adanya pola hubungan jaringan ekonomi yang sangat dominan. Seperti uraian sebelumnya sektor ekonomi didominasi oleh orang Cina. Penguasaan pasar dan arus ke luar masuk uang dan berbagai komoditi sangat bergantung pada mereka. Orang Melayu biasa menggunakan komoditi yang berasal dari negara tetangga (Malaysia, Singapura), dan dalam hal ini orang Cinalah yang berperan sebagai mediator atau pemasok untuk keperluan 66
mereka. Oleh karena itulah tidak mengherankan bila orang Cina dapat dianggap atau memberi kesan yang menghidupkan atau menjadi motor pertumbuhan ekonomi di Tanjungpinang. Petumbuhan ekonomi yang terjadi di daerah Tanjungpinang umumnya, menghasilkan pula berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan masyarakat. Salah satunya dalam wujud rumah ibadah penganut agama Islam, yakni masjid atau langgar. Masjid atau langgar ini banyak terdapat di daerah Kkota Tanjungpinang pada umumnya, atau di Kecamatan Tanjungpinang khususnya. Sesuai dengan dominasi penduduknya beragama Islam, maka rumah ibadah masjid/langgarlah yang terkesan banyak nampak. Tempat ibadah umat Islam ini, bukan hanya digunakan bagi komunitas lokal Melayu tetapi juga suku-suku lain yang pula beragama Islam. Seperti orang Jawa, Sunda, Minang, dan Bugis. Bagi penganut agama Nasrani, mereka juga dapat menjalankan ibadahnya di gereja-gereja yang telah tersedia. Gereja ini dikunjungi oleh penganut agama Nasrani dari berbagai daerah yang merupakan pendatang, seperti orang Batak, Flores, juga Cina Kristiani. Tidak ketinggalan bagi penganut agama Budha, juga tersedia kelenteng dan Vihara yang biasa dikunjungi oleh orang Cina sebagai penganut terbesar agama Budha tersebut. Di wilayah Kepulauan Riau Tanjungpinang ini ada sebuah Kelenteng yang terletak di daerah Senggarang, merupakan kelenteng terbesar di Asia Tenggara tepatnya berada di Kampung Kelenteng Merah namanya. Pada hari-hari besar keagamaan Budha, kelenteng ini banyak dikunjungi masyarakat bukan dari Tanjungpinang saja, tetapi juga masyarakat pendatang dari luar negara (Singapura, Malaysia, Taiwan, Hongkong). Umumnya selain beribadah mereka juga bertujuan wisata. Kelenteng ini memang sudah menjadi objek wisata, yang dibuktikan dengan banyaknya pengunjung dari berbagai daerah maupun negara pada hari-hari libur guna melihat Kelenteng yang terbesar di Asia Tenggara tersebut. Dalam menjalankan ibadahnya baik penganut Islam (Melayu, Minang, Jawa, Sunda, Bugis) maupun penganut Nasrani (Batak, Flores, Cina) dan penganut Budha (Cina), tidak mengkotakkotakkan dirinya di tempat atau rumah ibadah tertentu. Atau tidak terjadi pengelompokan sosial secara sukuisme maupun pelapisan sosial dalam suatu rumah ibadah. Jadi setiap orang dapat 67
mendatangi rumah ibadah yang mana saja sesuai dengan agama yang dianutnya. Biasanya aktivitas keagamaan yang dilakukan di rumah ibadah itu, antara lain dalam bentuk khotbah yang ditujukan untuk para jemaah. Dalam agama Islam masjid bukan untuk aktivitas sholat jamaah, khotbah saja, tetapi juga untuk tempat pernikahan dan berbagai kegiatan hari-hari besar Islam. 3. Simbol Identitas Dalam Proses Sosial Mengingat masa lalu orang Melayu dalam bidang matapencaharian hidup dikenal sebagai masyarakat nelayan. Mereka hidup dari hasil melaut menangkap ikan. Kini identitas sebagai nelayan sudah mulai memudar pada orang Melayu tersebut, karena banyak dari kalangan mereka yang bermatapencaharian dalam bidang jasa, PNS, karyawan swasta, dan pedagang terutama mereka yang tinggal di daerah Kota Tanjungpinang. Jadi kini matapencaharian orang Melayu cukup bervariasi. Kalaupun ada yang menjadi nelayan atau bermatapencaharian sebagai nelayan khususnya di Kecamatan Tanjungpinang Timur, umumnya masyarakat/orang Melayu yang berada/tinggal di sekitar pantai. Di daerah demikian identitas komunitas lokal orang Melayu akan nampak dalam matapencaharian hidupnya sebagai nelayan. Bekerja sebagai nelayan di sini mempunyai dua arti, yakni nelayan pemilik modal dan nelayan buruh. Kalau nelayan pemilik modal, berarti mereka adalah pemilik kapal nelayan dengan segala perlengkapannya dan penyedia akomodasi untuk melaut dan kadang menjadi pemimpin dalam melaut. Biasanya nelayan demikian adalah nelayan besar yang mempunyai ekonomi kuat. Nelayan buruh adalah para pekerja penangkap ikan di kapal-kapal nelayan tersebut. Nelayan di wilayah Kecamatan Tanjungpinang Timur, merupakan nelayan pemilik modal kuat dan lemah, serta nelayan buruh. Bagi nelayan pemilik modal kuat segala hal berkaitan dengan kegiatan nelayan (menangkap ikan) dibiayai sendiri. Lain halnya dengan nelayan pemilik modal lemah, biasanya untuk menjalankan kegiatan nelayan (menangkap ikan) mereka akan mencari pinjaman uang. Pinjaman uang biasa mereka peroleh dari seorang Cina yang disebut dengan toke, dan ada hitungan tertentu bila ikan yang 68
ditangkap telah terkumpul. Untuk nelayan buruh, mereka adalah pekerja yang bertugas menangkap ikan dengan berbagai alat pancingan pada waktu di laut. Dalam bekerja menangkap ikan di laut, para nelayan biasanya mulai berangkat ke laut pada waktu pagi dinihari kurang lebih pukul 03.00 pagi dan berlangsung hingga siang hari pukul 14.00 atau menjelang waktu sholat Ashar. Hasil tangkapan ikan tersebut biasanya langsung mereka jual ke pasar atau ada yang datang ke lokasi atau tempat penampungan ikan untuk membeli. Kalau hasil tangkapan ikan tersebut mereka jual ke pasar, biasanya pada orang tertentu yang telah menjadi pelanggan. Sedangkan pembeli yang datang ke lokasi atau tempat penampungan ikan, juga merupakan pembeli yang telah menjadi pelanggan. Antara mereka nelayan dan pembeli ikan partai besar mempunyai hubungan jual beli yang cukup lama. Sehingga ikan-ikan hasil tangkapan nelayan itu sudah ada penampungnya, penampung inilah yang akan mendistribusikan ikan-ikan tersebut untuk sampai pada konsumen pemakai. Bekerja sebagai nelayan bagi orang Melayu merupakan rutinitas yang harus dijalankan dalam kehidupannya. Dengan identitas diri sebagai nelayan orang Melayu juga mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Islam. Kondisi ini tidak lepas dari azas hidup orang Melayu adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah. Artinya pandangan hidupnya berkiblat kepada hukum-hukum agama Islam. Oleh karena itulah pada waktu dilaut rutinitas keagamaannyapun (sholat) tidak ditinggalkan. Selesai menyelesaikan tugas rutin di laut, aktivitas keagamaan mereka tingkatkan. Pada waktu menjelang sholat Ashar, biasanya para nelayan Melayu itu akan mendatangi masjid atau langgar yang ada di lingkungan tempat tinggalnya untuk sholat berjamaah. Pengajian bersama juga kerap mereka lakukan, pada hari-hari tertentu menjelang waktu Isya atau sesudah waktu Isya. Pada masa lalu kehidupan orang Melayu nelayan ini masih menunjukkan menganut nilai-nilai kepercayaan lama, yang bisa diwarnai dalam kehidupan religius mereka terwujudkan dalam tradisi lisan yang mereka miliki. Misal dalam upacara membuka tanah/kebun ada sumpah yang harus diucapkan berbunyi demikian : 69
” Bismillahirrahmanirrahim Luas sebangkal aku kirim Aku hendak membuka kebun Pu kiri puh kanan Semuanya karena izin engkau hai Mambang Tanah” Mantera atau jampi-jampi tersebut ditujukan kepada ”mambang tanah”, yaitu jin (hantu) yang menguasai tanah walaupun diawali ucapan dengan menyebut nama Tuhan. Namun kini ucapan demikian sudah dihilangkan sesuai dengan kemampuan pemahaman Islam mereka yang semakin dalam. Ajaran Islam yang dianut sebagian orang Melayu Tanjungpinang umumnya bersumber pada aliran ”Syafi’iyah” yakni dari tokoh Imam Syafi’i. Namun demikian juga terdapat pemeluk agama Islam yang tidak terikat aliran-aliran tersebut atau mashab tertentu. Golongan tersebut termasuk golongan Muhammadyah yang dibawa oleh orang Minangkabau dan diikuti oleh orang Melayu. Keyakinan orang Melayu di daerah Kecamatan Tanjungpinang Timur khususnya di Kelurahan Melayu Kota Piring terhadap agama Islam (Sang Pencipta, A-lQur’an, Nabi, dan Hadist) sangat kuat. Banyak kegiatan bernuansa Islam selalu mereka lakukan yang bersumber dari ajarannya, seperti upacara mandi syafar, Maulud Nabi, dan Isra’ Mi’raj. Masih ada unsur-unsur lain yang bersumber dari Islam, misal dalam menetapkan hari perkawinan, mendirikan rumah, naik haji pada bulan haji, menyambut bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Dalam kegiatan kenduri ala Islam selalu diwujudkan melalui pembacaan do’a sebagai aktivitas awal untuk memanjatkan rasa syukur atas rahmat yang telah diberikan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Sebagai komunitas lokal (orang Melayu) yang identik dengan Islam ini, sebagian ada yang keturunan dari raja-raja Melayu jaman dulu yang namanya ditandai dengan gelar kebangsawanan di depannya. Seperti gelar Tengku yang merupakan gelar bagi keluarga Raja pada masa lalu sangat dihormati, karena bagian dari seorang Raja/Sultan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sementara itu juga ada gelar Said yang ditujukan bagi kalangan alim ulama istana masa kesultanan dulu di mana 70
umumnya mereka adalah keturunan dari orang Persia (tanah Arab). Gelar nama Encikpun juga ada pada orang Melayu ini sebagai wujud dari kebangsawanannya dulu. Hingga kini gelar-gelar ini tetap ada dan masih hidup dalam masyarakat Melayu, meskipun penghargaan terhadap mereka tidak lagi seperti dulu. Kalau dulu atau masa lalu mereka yang bergelar ini berada dalam strata paling tinggi dalam struktur sosial masyarakat. Pada masa kini fungsi gelar dipakai pada nama seseorang Melayu, semata-mata hanya untuk mengingatkan kejayaan keluarganya walau mereka kini telah jadi orang biasa dan tidak selalu mempunyai peranan dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka yang bergelar ini tetap berada dalam struktur masyarakat dan cukup dihormati, tetapi tidak lagi selalu berada dalam stratifikasi atas. Struktur sosial lain yang jelas nampak dalam kehidupan masyarakat Melayu ini, khususnya yang ada di Kelurahan Kota Piring yakni kepala desa/lurah, tokoh masyarakat yang biasa dikenal sebagai tokoh/ketua adat/alim ulama, aparat desa/RW/RT. Biasanya seorang kepala desa/lurah di lingkungannya, menjadi pemimpin masyarakat dalam masalah keadministrasian yang dibantu oleh para aparat desa dan RT, RW. Mereka ini cukup berperan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam mengatur dan mengayomi masyarakat. Oleh karena itu bila ada peristiwa berkaitan dengan masalah yang ada dalam masyarakat mereka yang berada dalam struktur tersebut akan menjalankan perannya. Demikian pula tokoh masyarakat/tokoh adat/alim ulama cukup mempunyai peranan dalam kehidupan masyarakatnya. Mereka biasa mengayomi masyarakat dalam masalah adat maupun agama. Kadangkala tokoh masyarakat/tokoh adat/alim ulama tersebut juga berperan dalam menyelesaikan masalah perselisihan yang terjadi di lingkungannya, karena dianggap dapat memberi bimbingan dan arahan serta mampu menjadi teladan masyarakat. Sebagai orang Melayu yang identik dengan Islam para tokoh masyarakat/tokoh adat/alim ulama itu, senantiasa menjadi teladan bagi warganya. Kadangkala tokoh masyarakat/tokoh adat/alim ulama tersebut, mendatangi rumah warga untuk sekedar memberi perhatian atau memberikan pandangan-pandangan tertentu, atau sekedar menyembuhkan penyakit yang sedang diderita seorang 71
warga. Tokoh adat atau tokoh masyarakat itu rupanya juga mempunyai peranan yang berkaitan dengan kesehatan dan tidak sengaja dijalankan. Nampaknya tokoh adat atau tokoh masyarakat tersebut terkesan sering menjadi pelindung warga dan warga selalu berlindung dalam berbagai hal terhadap diri si tokoh adat/ masyarakat tadi. Di Kampung Melayu ada seorang tokoh adat/masyarakat yang menjadi patron dari para warga (klien), biasa dipanggil dengan sebutan ayah. Ayah tersebut memang sangat memberi perlindungan akan berbagai hal pada warga di lingkungannya, dan warganya itu juga merasakan kenyaman dengan perilaku yang diberikan ayah. Oleh karena perlindungan yang diberikan demikian, maka ayah seringkali menjadi acuan dalam berbagai masalah keluarga di kehidupan warga bersangkutan. Hubungan warga dengan para tokoh masyarakat/adat itu, biasanya bersifat non formal warga cukup menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sehari-harinya. Demikian pula hubungan antar warga juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Dalam ruang formal, seperti di kantor-kantor, di kelurahan biasanya masyarakat menggunakan bahasa Indonesia. Kadangkala bahasa Indonesia yang mereka gunakan agak keMelayuan. Umumnya bahasa Melayu di Tanjungpinang memang tidak hanya dipakai dan dipahami oleh masayarakat setempat/komunitas lokal, tetapi juga telah dipakai dan dipahami oleh sebagian besar warga pendatang. Oleh karena itulah para pendatang sudah fasih dengan bahasa Melayu, sehingga mereka sudah terbiasa dengan bahasa tersebut dan juga menjadi bahasa komunikasinya sehari-hari dalam berinteraksi. Bagi komunitas lokal Melayu Tanjungpinang khusus yang berada di kampung Melayu menganggap warga pendatang yang berbeda suku dengan dirinya seperti Jawa, Bugis, Flores, Buton, adalah warga yang baik karena dapat berinteraksi dan saling menghargai. Sehingga hidup berdampingan dengan warga pendatang dapat terwujud harmonisasi. Bahkan dalam hubungan sosial yang terjadi antar mereka dapat mewujudkan saling tolongmenolong ataupun berkerjasama. Batas kesukubangsaan tidak selalu menjadi kendala, apalagi mempunyai keyakinan yang sama. Seringkali orang Melayu di Tanjungpinang ini menganggap 72
pendatang dapat pula membuka pandangan atau cakrawalanya (khusus orang Melayu di kampung Melayu) dalam melihat peluang kerja. Oleh karena itulah di samping sebagai nelayan, mereka komunitas Melayu juga mempunyai oriantasi pekerjaan lain/sampingan seperti berdagang, jasa upahan. Pendatang dari luar negara (negara tetangga) yang berkunjung ke Tanjungpinang, selain untuk kunjungan wisata juga kunjungan kerabat. Kerabat mereka yang berbeda bangsa itu adalah satu rumpun Melayu, sehingga hubungan antar mereka selalu terjaga. Meskipun secara ekonomi orang Melayu Tanjungpinang (kasus di kampung Melayu) berada di bawah ekonomi kerabatnya di Malaysia/Singapura, tidak membuat mereka iri hati atau ingin bersaing atau beroriantasi menjadi warga Malaysia untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Malah kadang mereka mempunyai pandangan bahwa kerabat di malaysia meskipun mempunyai ekonomi baik, tetapi waktunya selalu digunakan untuk bekerja tidak ada istirahat dan biaya hidupnya tinggi8. Lain halnya pandangan orang Melayu Tanjungpinang khusus yang mempunyai matapencaharian sebagai nelayan terhadap masyarakat negara tetangga yang bermatapencaharian nelayan juga, dianggap sebagai pesaing. Seringkali nelayan negara tetangga dengan kapal dan peralatannya yang canggih itu memasuki teritorial Indonesia dalam menangkap ikan, sehingga ikan yang mereka tangkap dalam jumlah relatif besar. Kondisi ini sangat merugikan dan memprihatinkan nelayan Tanjungpinang. Oleh karena itu nelayan Tanjungpinang berharap pemerintah dapat menyikapi masalah nelayan asing ini dengan tegas, agar mereka tidak melanggar teritorial Indonesia dan nelayan Indonesia (khusus Tanjungpinang) dapat melakukan pekerjaannya sebagai nelayan dengan tenang.
8
Berdasarkan wawancara tentang asal-usul nenek moyangnya, dapat disimpulkan bahwa hampir tidak ada orangMelayu yang dapat dikatakan benar-benar asli berdarah Melayu. Orang Melayu di Tanjung Balai dapat dianggap campuran dari etnis pendatang. Seperti Aceh, Toba, Minang dan lain-lain. Sementara itu yang dianggap sebagai pusat kebudayaan Melayu murni adalah daerah Jambi dan Palembang.
73
Bagi orang Melayu Tanjungpinang kerabatnya yang berwarganegara Malaysia atau Singapura, adalah dianggap sama dengan dirinya sebagai orang bersuku Melayu. Beda negara maupun wilayah tidak membatasi hubungan antar mereka, sehingga hubungan silahturahmi selalu dapat terwujud baik dan harmonis. Mereka tidak ada ketertarikan untuk beralih ke wilayah kerabatnya yang berbeda negara dan bangsa itu (Malaysia maupun Singapura). Malah sikap orang Melayu Tanjungpinang (khusus komunitas Melayu Kampung Melayu) cukup tegas dengan masalah kebangsaannya. Artinya mereka sangat sadar dirinya merupakan bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selalu berusaha menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan caranya sendiri. Seperti mempertahankan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki, meminimalkan pengaruh-pengaruh asing yang tidak sesuai dengan kepribadian orang Melayu khususnya maupun Indonesia pada umumnya. Oleh karena itulah kedatangan warga dari dua negara tetangga bukanlah hal yang luar biasa meskipun satu rumpun. Eksistensi keberadaan komunitas Melayu Tanjungpinang memberi kesan lebih unggul daripada komunitas Melayu negara tetangga, karena secara historis akar budaya Melayu adalah di Indonesia/di bagian wilayah Tanjungpinang. Namun meskipun demikian, seringkali komunitas Melayu Tanjungpinang merasa terusik dengan sikap masyarakat negara tetangga (Singapura maupun Malaysia) menyebut mereka dengan istilah Indon yang dianggap mempunyai arti konotatif sebagai pelecehan atau mengecilkan keberadaan orang Melayu. Komunitas Melayu yang merupakan komunitas lokal di Tanjungpinang, dalam menjalankan kehidupan sosialnya dapat mengacu pada pola nasional maupun pola lokal/tradisional. Artinya berbagai masalah sosial yang dihadapi biasa mereka lakukan melalui pola lokal maupun pola nasional yang ada. Pola lokal atau tradisional yang terwujudkan adalah bentuk konsultasi dengan keluarga besar atau tokoh yang dituakan (tokoh adat, alim ulama) sebagai tempat penyelesaian masalah kehidupan yang dihadapinya. Biasanya kondisi ini tidak lepas pula dari acuan mereka akan idiom Melayu, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 74
Sementara itu melalui acuan pola nasional, berbagai aspek kehidupan komunitas Melayu Tanjungpinang itu dapat pula diselesaikannya dengan baik. Seperti dalam menghadapi masalah kesehatan (berkaitan dengan penyakit), mereka (komunitas Melayu) dapat menyelesaikannya ke Puskesmas/Posyandu meskipun kadangkala kalangan atas pergi berobat ke Malaysia atau Singapura. Demikian pula dalam menghadapi masalah kejahatan atau perselisihan, dapat diselesaikan melalui lembaga hukum yang ada. Juga dalam menghadapi peristiwa-peristiwa formal pemakaian bahasa Indonesia merupakan solusi dalam menjalankan komunikasi. Begitu seterusnya pola nasional ataupun tradisional akan selalu dapat menjadi acuan atau pedoman komunitas Melayu dalam menjalankan kehidupannya, yang menjadi ikatan emosionalnya sebagai bagian dari Indonesia. Meskipun dalam kehidupan sosialnya orang Melayu juga selalu mengacu pada pola nasional, tidak berarti identitas komunitas Melayu dalam kehidupan sosialnya tidak dimunculkan/dikemukakan. Malah keMelayuan itu selalu muncul/mengemuka dalam pergaulan sehari-hari, antara lain tercermin dari penggunaan bahasa Melayu yang cenderung dipakai dan pantun yang selalu disampaikan. Bagi orang Melayu dirinya sebagai orang Melayu hendaknya juga diketahui atau dikenal oleh lingkungan sosialnya yang beranekaragam itu. Oleh karena itu mereka selalu menunjukkan dirinya sebagai orang Melayu pada saat tertentu atau lingkungan tertentu. Terwujud pada waktu ada atau mendatangi perhelatan formal, biasanya mereka akan mengenakan pakaian Melayu. Sementara itu ketika orang Melayu tersebut mengadakan perhelatan (perkawinan, sunatan, dan lain-lain), tradisi/adat-istiadat Melayulah yang selalu menjadi acuannya. Sehingga dalam perhelatan tersebut secara tidak langsung mereka telah menunjukkan identitas dan memperkenalkan tradisi/adat-istiadatnya kepada lingkungan sosialnya. Dalam mempertahankan identitas keMelayuannya itu, komunitas Melayu khususnya telah melakukannya dengan berbagai upaya, yakni antara lain menurunkan kepada generasi muda akan adat-istiadat Melayu untuk dikenal, dipahami dan dijalankan baik secara informal maupun formal melalui berbagai wadah. Melalui wadah informal rumah tangga/keluarga, setiap orang Melayu selalu 75
berusaha mendidik anak-anaknya dengan adat-istiadat Melayu misal dalam tatakrama, pola makan dalam bentuk penyajian dan menu makanan, berbahasa, berpakaian. Melalui wadah formal yang terbentuk, seperti Lembaga Adat Melayu (LAM), Sanggar Budaya (kesenian musik atau tari Melayu), Rumpun Melayu Bersatu (RMB), Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), budaya Melayu diupayakan dapat bertahan dan berkembang, agar generasi muda sebagai generasi penerus dapat mengenali, memahami dan memiliki kesadaran tinggi akan kebudayaan Melayu sebagai identitasnya. Lembaga Adat Melayu sebagai wadah untuk melestarikan identitas Melayu, terbentuk atas kesepakatan tokoh budaya Melayu dan tua adat Melayu beserta pihak pemerintah daerah (Dinas Kebudayaan). Oleh karena itu Lembaga Adat Melayu ini ada dalam tingkat provinsi hingga kecamatan. Lembaga Adat Melayu mempunyai peran untuk meningkatkan eksistensi budaya Melayu dalam tingkat lokal maupun nasional. Untuk itu Lembaga adat Melayu telah melaksanakan berbagai program, antara lain penyuluhan, penataran secara berjenjang di semua tingkat wilayah berkenaan dengan penyadaran masyarakat untuk selalu melaksanakan tradisi Melayu dengan tetap berpedoman pada unsur syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu Lembaga Adat Melayu juga menyelenggarakan seminar, pertemuan untuk menggali kembali khasanah budaya Melayu yang hampir punah, seperti busana kebesaran kerajaan Riau, kelengkapan upacara tradisional, tatakrama Melayu, kepada semua lapisan masyarakat. Sementara itu Sanggar budaya/kesenian Melayu, berusaha pula melestarikan budaya Melayu melalui berbagai kesenian (tarian, pantun) yang ditampilkan dalam suatu acara formal di lingkungan pemerintah ataupun masyarakat. Juga membuka peluang bagi generasi muda untuk belajar menari maupun bentuk kesenian lainnya, yang dijalankan oleh sanggar-sanggar budaya yang ada di Tanjungpinang itu. Seperti Sanggar Seni Kledang yang ada di tengah kota Tanjungpinang, yang sangat eksis dan sudah melakukan berbagai pergelaran di tingkat provinsi. Demikian pula dengan wadah Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI), yang diprakasai oleh kalangan pendidikan tinggi (Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum) berupaya untuk pencegahan kepunahan budaya Melayu. Wadah ini bekerjasama dengan 76
pemerintah malaysia dalam memperkokoh bahasa Melayu sebagai bahasa ke lima di dunia, dan merevitalisasi budaya Melayu hingga memperoleh pengakuan dunia. Target yang ingin dicapai dalam hal ini adalah ”Serumpun Melayu Mendunia”. Diketuai oleh Datuk dari Kerajaan Malaka Malaysia yang berperan sebagai Presiden DMDI, dan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) berperan sebagai penasehat. Kebangkitan Melayu ini muncul karena adanya idiom Singapura sebagai Yahudi asia. Wadah ini sangat baik dalam rangka eksistensi budaya Melayu mendunia (bersifat internasional), untuk itu Indonesia melalui kepengurusannya di Tanjungpinang harus peka dan jangan terbawa arus akan kepentingan Malaysia. Sementara itu wadah kebudayaan Melayu lainnya, yakni Rumpun Melayu Bersatu (RMB) juga bekerjasama dengan Malaysia yang bertujuan menyatukan budaya Melayu Indonesia dan Malaysia yang satu rumpun atau akar itu untuk tetap bersinergi dan harmonis, harus berupaya peka juga berkaitan dengan kepentingan Malaysia. Sementara itu peranan pemerintah daerah dalam melestarikan identitas Melayu sebagai budaya masyarakatnya, tercermin melalui kurikulum sekolah muatan lokal yang diberikan kepada siswa. Di sekolah para siswa mendapat pelajaran mengenai bentuk sistem kekerabatan orang Melayu (antara lain bentuk perkawinan), diharapkan mereka generasi muda akan dapat mengenal, memahami, dan memiliki serta mewujudkan identitas Melayu dalam perilaku ke depannya. Sehingga budaya Melayu sebagai identitas sukubangsanya tidak akan menghilang. Meskipun sosialisasi dan internalisasi budaya Melayu pada generasi muda melalui lembaga formal sekolah tersebut sangat terbatas, tetapi usaha pemerintah khususnya pemerintah daerah akan kebudayaan cukup memotivasi masyarakat Melayu khususnya maupun masyarakat daerah Tanjungpinang umumnya untuk menyadari bahwa kebudayaan Melayu sebagai identitas komunitas Melayu khususnya dan identitas bangsa umumnya harus dapat bertahan sampai kapanpun atau tidak hilang ditelan bumi seperti yang selalu didengungkan oleh para tua-tua adat Melayu. Berkaitan dengan itu pula pemerintah daerah membuat peraturan, bahwa setiap siswa-siswi di sekolah dan para pegawai pemerintahan (PNS), BUMN, Perbankan, maupun sektor lainnya (swasta), dianjurkan setiap hari Jumat dan Sabtu mengenakan 77
busana adat Melayu, yakni baju kurung untuk kaum wanita dan baju koko lengkap dengan kain di pinggang bagi kaum pria. Pada saat itu suasana di kota Tanjungpinang akan terasa sangat etnik/ kedaerahan berbeda sekali dengan hari lainnya, karena sebagian besar anak sekolah dan para pekerja di kantor mengenakan busana adat Melayu tersebut. Nampaknya peran pemerintah daerah dalam melestarikan/mempertahankan budaya Melayu dengan cara demikian sangat direspon oleh masyarakat Melayu maupun masyarakat pendatang lainnya. Oleh karena itu mereka dengan sukacita menjalankan anjuran pemerintah daerahnya, sehingga proses pelestarian ini dapat berjalan baik. B. Entikong (Kalimantan Barat) 1. Batas Budaya Kesukubangsaan Secara umum, penduduk mempercayai bahwa nenek moyang mereka berasal dari orang gaib (tidak terlihat) yang secara turun temurun memunculkan komunitas Dayak, nenek moyang ini tinggal di sungai Sontas yang terbagi dalam dua dunia (supranatural dan natural). Keadaan ini kemudian menyebabkan munculnya bentuk-bentuk fisik nyata sebagai orang Dayak dan sebagian tidak nyata. Kemudian perkembangan perwujudan manusia ini terjadi sampai pada keturunan ke tiga, baru wujud manusia dari orang Dayak ini dapat terlihat. Diceriterakan bahwa pada masa lalu, orang-orang dari daerah lain sering datang ke daerah Entikong ini untuk membuka hutan guna perladangan. Di tempat itu para pendatang selalu mendengar berbagai jenis suara seperti kehidupan sebuah kampung. Suara-suara kehidupan ini secara nyata tidak tampak, dan yang tampak hanya tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan, sehingga membuat para pendatang ini mengurungkan niatnya untuk membuka hutan. Begitu seterusnya yang dialami oleh para pendatang, sehingga kemudian pada generasi ketiga orang tanpa wujud ini menampakkan dirinya sebagai sekelompok sosial komunitas Dayak (Dayak Bedayuh) Pada generasi dua sebelumnya tidak tampak wujud kuburnya, dan dipercaya bahwa mereka menghilang (gaib), 78
sedangkan pada generasi ketiga dari keturunan ini dapat dilihat secara nyata. Hubungan antara orang Dayak Dusun Sontas ini dengan leluhurnya yang gaib masih berjalan secara baik dan ini dijembatani oleh adanya tengkorak kepala yang terpajang di tempatnya disebut dengan Panca. Di daerah Panca ini diyakini penuh dengan aura religius yang dikaitkan sebagai arena untuk memulai sebuah upacara siklus hidup orang Dayak. Menurut mitologinya, tengkorak yang terdapat di Dusun Sontas ini berasal dari kepala orang-orang dari Brunei, Serawak yang datang ke Dusun Sontas yang kemudian di’kayau’ oleh orang Dayak. Kepala-kepala tersebut kemudian diabadikan dan dipakai sebagai sarana untuk berhubungan dengan leluhur orang Dayak. Leluhur orang Dayak ini diyakini akan datang membantu keturunannya ketika sedang dalam keadaan ditimpa malapetaka dengan cara berteriak memanggil sang leluhur. Kemudian leluhur akan datang didahului dengan adanya segumpal awan mendung setelah diteriakkan oleh orang yang meminta tolong. Atau sebagai sarana berinteraksi untuk mengabarkan kepada leluhur orang Dayak tentang keberhasilan dan usaha untuk penanaman benih padi di ladang. Pada dasarnya penduduk Dusun Sontas ini tidak dapat menyebutkan jatidiri sebagai sub sukubangsa Dayak. Orang-orang Sontas ini menyebutkan bahwa mereka adalah orang Dayak saja tanpa sebutan suatu sub sukubangsa Dayak. Hal ini disebabkan karena menurut mitologinya mereka sangat berbeda dengan mitologi Dayak lainnya. Sementara orang luar menganggap mereka sub suku Dayak Bedayuh, seperti dalam tulisan Lisyawati dikatakan mereka dianggap sebagai kelompok native, yaitu suku Dayak penduduk asli dimana sejak nenek moyang mereka telah bermukim di wilayah perbatasan. Suku Dayak penduduk asli ini dianggap sebagai Dayak Bedayuh dan Iban. Dayak Bedayuh adalah Dayak yang masih menyimpan hasil mengayau yang di taruh di rumah Panca terdapat di Dusun Sontas (Lisyawati dkk, 13, 2005). Dalam perjalanan sejarah, orang Dayak di daerah ini berkembang secara turun temurun menyebar dalam wilayah yang dihuni sekarang dan bahkan sampai ke luar wilayah (ke wilayah Malaysia). Menurut informasi, keberadaan orang Dayak ini di 79
daerah Malaysia banyak disebabkan pengaruh dari kegiatan penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang penduduk diharuskan membayar pajak kepada pemerintah kolonial dan penjajah, karena penduduk tidak mempunyai uang untuk membayar pajak maka mereka diwajibkan menjadi buruh cangkul bagi pemerintah waktu itu. Akan tetapi karena tidak adanya pengetahuan mencangkul dan juga memburuh, maka banyak orang Dayak yang pergi ke daerah perbatasan untuk sekedar menghindar dari ketentuan pemerintah kolonial waktu itu. Sampai pada masa kemerdekaan, perbatasan kemudian dikuatkan oleh adanya tapal batas negara, sehingga orang Dayak yang tinggal di daerah di Malaysia tersebut otomatis masuk sebagai bagian dari penduduk Malaysia. Bagi orang Dayak di Dusun Sontas wilayah yang menjadi daerah huniannya tersebut, disadari merupakan bagian dari daerah teritorial Indonesia yang berbatasan dengan negara Malaysia. Mereka mengetahui batas antara negara Indonesia dengan Malaysia itu melalui pos lintas batas resmi Indonesia di Entikong dan pos lintas batas resmi Malaysia di Tebedu yang letaknya saling bersebelahan. Sementara itu batas kepemilikan tanah atau lahan yang mereka miliki dalam lingkungan wilayah permukiman dan perladangannya, biasanya dengan ada tanda-tanda tertentu. Misalkan batas pemilikan rumah seorang Dayak dibatasi dengan pagar tanaman, patok kayu atau tembok. Sedangkan batas pemilikan lahan untuk perladangan, biasanya diawali dengan konvensi dan ditandai dengan flora/tanaman yang ada di lingkungan alam setempat. Maksudnya bila seseorang akan membuka, memiliki atau menggarap suatu lahan, biasanya membawa beberapa orang untuk bersaksi bahwa ia akan menjadi pemilik lahan dimaksud yang bisa dibukanya mencapai tiga hektar. Untuk itu lahan tadi yang telah diberi tahu sebagai miliknya, biasanya diberi batasan yang ditandai dengan pohon bambu, atau batu, juga sungai. Begitu seterusnya pola demikian biasa dilakukan oleh seorang Dayak dalam memiliki lahan dan membatasi milik lahannya. Kemudian kepemilikan lahan itu dikomunikasikan kepada keturunannya sampai seterusnya. Di lahan yang tiga hektar itulah mereka melakukan bercocok tanam 80
berpindah-pindah. Bila ada orang lain yang akan mengolah tanaman di lahan tersebut biasanya diperbolehkan oleh yang bersangkutan, tetapi yang meminjam harus tahu betul kepemilikan lahan itu. Sampai sekarang pola pemilikan dan pembatasan lahan demikian masih berlangsung, terutama bila mereka menemukan lahan baru yang belum ada pemiliknya. Berarti orang Dayak Bedayuh di Dusun Sontas yang memiliki tanah atau lahan rumah dan bercocok tanam tersebut, tidak memiliki bukti tertulis dalam bentuk sertifikat atau dokumen. Jadi hanya berdasarkan konvensi saja yang merupakan pranata adat yang telah ada sejak dulu dan bertahan hingga kini. Tanah atau lahan untuk rumah maupun untuk bercocok tanam yang telah menjadi milik seseorang, selalu dikomunikasikan kepada keturunannya. Sehingga keturunan yang bersangkutan cukup mengetahui tanah atau lahan yang dimiliki orang tuanya itu. Orang tua selalu memberikan harta warisan tanah kepada anakanaknya secara merata dengan pembagian yang sama. Artinya sistem pewarisan lahan yang dimiliki seseorang, tidak ada keberpihakan kepada anak laki-laki atau anak perempuan maupun anak tertua dan terkecil (bungsu). Cara pembagian warisan dilakukan demikian, untuk mencegah terjadinya pertikaian antara saudara bila orang tua telah tiada. Sistem pewarisan demikian secara tidak langsung juga bersifat sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupannya membina hubungan keluarga. Orang Dayak Bedayuh di Dusun Sontas yang dianggap sebagai komunitas lokal, juga dapat hidup berdampingan dengan komunitas pendatang yang lebih banyak berada di luar Dusun Sontas. Tepatnya mereka berada di kota Entikong sebagai ibukota kecamatan. Mereka merupakan pendatang yang bersuku Jawa, Sunda, Minang, Bugis, Flores, Batak, dan Melayu Banjar sebagai komunitas pendatang yang berjumlah cukup besar. Batasan yang nampak antara suku Dayak Bedayuh dengan pendatang ini, terutama dalam hal hunian tempat tinggal dimana umumnya pendatang tersebut mengelompok tinggal dengan sesamanya di lingkungan keramaian. Mereka yang menjadi pendatang awal di daerah ini adalah orang Melayu yang secara tradisional dapat berfungsi secara sosial ekonomi dengan orang Dayak. Penduduk Melayu yang semuanya 81
beragama Islam banyak datang dari daerah Banjarmasin sebagai Melayu Banjar. Orang Melayu ini mendiami Desa Entikong yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Mereka mendapatkan tanah secara tradisional dari orang Dayak di Sontas yang kemudian menjadi penduduk lokal di daerah Entikong. Orang Melayu ini mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang kelontong, makanan, dan lainnya. Dari orang-orang Melayu inilah kemudian daerah Entikong berkembang sebagai daerah yang cukup potensial dalam proses perdagangan. Pendatang berikutnya setelah Melayu adalah orang dari Jawa yang menetap sebagai petani sawah dan juga perdagangan, kemudian orang-orang Minangkabau, Bugis dan Flores yang mempunyai oriantasi untuk dapat pergi ke Malaysia. Pendatang berikutnya adalah para tenaga kerja Indonesia yang terusir dari Malaysia yang kemudian banyak menetap di Entikong dengan mendirikan rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu dan atap seng yang menempati sebagian areal bersebelahan dengan lapangan bola. Para pendatang ini memberikan warna sosial budaya bagi penduduk Entikong secara keseluruhan yang tampak mengarah pada bentuk masyarakat heterogen. Kesemua pendatang ini menempati daerah pusat kota Kecamatan Entikong. Sementara itu komunitas lokal orang Dayak tinggal agak jauh dari pusat kota, sebagai penduduk pedesaan dimana mereka mengelompok dengan sesamanya dalam satu hunian wilayah pula seperti di Dusun Sontas yang dekat dengan daerah bercocok tanamnya. Sebagai masyarakat atau komunitas yang masih hidup dengan bercocok tanam berpindah, orang Dayak Bedayuh tersebut sangat konsen dengan adat-istiadat dalam bercocok tanamnya. Biasanya sebelum menanam benih mereka melakukan/ melaksanakan upacara yang disebut Gawai padi, yaitu upacara untuk menanam benih dengan cara mengumpulkan benih padi pulut dan padi biasa ke dalam sebuah cangkir untuk kemudian cangkir tersebut dipersembahkan kepada nenek moyang disertai dengan jenis-jenis makanan lainnya seperti daging babi. Persembahan ini dilakukan di sebuah tempat di dalam dusun yang disebut dengan Panca, suatu tempat yang berupa bangunan dimana terdapat 82
tengkorak manusia yang dianggap sebagai sarana untuk berhubungan dengan nenek moyang generasi sebelum sekarang. Berkaitan dengan ini keyakinan asli pada dasarnya masih melekat dalam pengetahuan budayanya mengenai suatu upacara, yakni upacara atau yang dikenal dengan sebutan Gawai padi tadi. Dalam upacara tersebut peranan keyakinan adat sangat mendominasi, khususnya dalam konteks berhadapan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang atau meminta tolong kepada nenek moyang apabila dalam kesulitan. Dalam konteks berhubungan dengan nenek moyang melalui panca pengetahuan budaya komunitas tentang keberhasilan panen, atau awal penanaman benih untuk ladang segalanya diserahkan keputusannya kepada roh nenek moyang. Simbol-simbol ini tampak dari benda-benda yang dipakai dalam upacara yaitu benih padi pulut dan padi biasa serta peralatan perladangan. Dari sini dapat digambarkan keterkaitan yang erat antara pola mata pencaharian dengan dunia supranatural yang diyakininya sebagai bentuk hubungan antara manusia nyata dengan nenek moyang. Gawai padi yang mereka lakukan sebagai wujud hubungan dengan alam supranatural/nenek moyang untuk bersyukur itu, biasa berlangsung pada tanggal 25 bulan Mei, atau tanggal 25 bulan ke lima. Mereka biasanya mengundang para kerabatnya orang Dayak di Malaysia yang senantiasa datang menghadiri karena keterikatannya dengan Panca. Selama tiga hari perbatasan menjadi bebas bagi penduduk, artinya penduduk Malaysia tidak memerlukan surat izin dari imigrasi untuk melintas batas. Sementara itu kerabatnya di Malaysia tersebut juga akan mengadakan Gawai padi pada tanggal 1 bulan enam (Juni), yang juga dihadiri oleh Dayak Bedayuh Dusun Sontas tersebut. Jadi Gawai padi bagi mereka merupakan rutinitas tahunan yang sudah sejak dulu berlangsung. Oleh karena itulah orang Dayak Bedayuh selalu mempersiapkan berbagai keperluan gawai ini pada waktu sebelumnya, seperti hewan untuk sesaji (babi, ayam) yang telah diternak. Ritual dalam Gawai padi tersebut, dipimpin oleh seorang pastur atau pemimpin gereja yang akan memanjatkan syukur kepada Tuhan dan memohon keberkatan atas benih yang akan ditanam dengan harapan musim panen berikutnya dapat lebih sejahtera. 83
Upacara/Gawai padi yang dilakukan dihadiri pula oleh kerabat di Malaysia, sebetulnya tidak lepas dari ajang silaturahmi kerabat. Menjaga hubungan kerabat bagi mereka sangat penting, yang dihitung berdasarkan hubungan kerabat keluarga luas. Pada dasarnya hubungan kerabat keluarga luas tersebut tidak membatasi apakah berbentuk patrilineal (garis keturunan dilihat melalui garis laki-laki) ataupun matrilineal (garis keturunan dilihat melalui garis perempuan). Dapat diartikan mereka mengambil garis keturunan dari pihak ibu atau pihak ayah. Namun demikian apabila ditelusuri, akan terlihat bahwa hubungan kerabat melalui laki-laki akan sampai pada hitungan sepupu ketiga. Pada tingkat sepupu ke empat sudah dianggap orang lain.
3
2
1
0
1
2
3
Sedangkan kalau mengikuti garis keturunan perempuan, pada hitungan sepupu kedua dianggap sudah jauh. Keadaan ini diasumsikan sebagai kelanjutan dari sistem rumah panjang yang dapat menampung beberapa keluarga batih dalam satu rumah, sehingga bagi sepupu ke empat dianggap sudah melebihi jumlah hubungan sosial yang harus dibina secara bersama (berada di luar kerabat). Bentuk ini mengikuti pola sistem kekerabatan dari kedua belah pihak. 84
Jadi dapat dikatakan bahwa komunitas Sontas pada masa sekarang mempunyai dua bentuk garis keturunan baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan pada masing-masing bentuk kekerabatan, laki-laki tampaknya memegang peranan untuk lebih luas dibandingkan dengan garis keturunan perempuan. Kedua bentuk ini ditampakkan dengan adanya pengakuan hubungan kerabat yang sampai dengan sepupu ketiga sebagai sebuah keluarga luas bagi garis keturunan laki-laki dan sepupu kedua bagi garis hubungan kerabat perempuan. Dengan hitungan kerabat demikian, larangan kawin diberlakukan sampai pada generasi ketiga. Pada generasi keempat dan seterusnya larang kawin (incest taboo) tidak berlaku. Kondisi ini bisa diartikan bentuk perkawinan endogami/indogami. Belakangan ini perkawinan yang terjadi lebih bersifat exogami keluarga maupun suku. Pada masa sekarang sistem kekerabatan ini lebih mengarah pada sistem keluarga batih dimana dalam pola menetap setelah menikah diserahkan kepada pasangan keluarga batih yang baru, apakah tinggal di kerabat si perempuan atau tinggal di kerabat si laki-laki. Akan tetapi secara umum pola tempat tinggal ini mengikuti garis keturunan laki-laki, artinya si perempuan tinggal di rumah keluarga batih suaminya untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu pasangan keluarga batih baru ini dapat membuat rumah tangga sendiri dengan rumah pribadi di lahan yang dipunyai oleh yang menetap di rumah keluarga orang tua dari istri. Dalam keluarga luas atau keluarga batih yang ada pada masyarakat Dayak tersebut, biasanya kepala keluarga sebagai pemimpin disebut dengan istilah amang. Dalam kehidupan orang Dayak Bedayuh kerabat menjadi suatu yang penting. Apabila dalam hubungan kerabat terjadi perselisihan misal berkaitan dengan perkawinan atau harta warisan, kadangkala perselisihan di luar kerabat misal dengan warga suku lain, biasanya dapat diselesaikan dengan musyawarah atau dialog. Tokoh adat sangat berperan dalam menyelesaikan perselisihan tersebut secara adat, dengan mengharuskan pihak yang melanggar atau yang membuat kesalahan menyembelih sejumlah babi sesuai dengan besar kesalahannya dan diberikan kepada orang yang disakiti. Jadi ada sanksi hukum secara adat yang harus dilakukan oleh si pembuat kesalahan, sebagai wujud sanksi moral yang harus 85
diterima dan dijalankan. Namun demikian kalau kesalahan yang dibuat berat, misal pembunuhan atau perampokan hukum positif tetap harus dilakukan dengan menempuh jalur hukum resmi melibatkan kepolisian 2. Ruang Publik Dalam Interaksi Kecamatan Entikong yang merupakan wilayah perbatasan sebagai hunian komunitas lokal Dayak Bedayuh, cukup memiliki fasilitas umum yang diperlukan untuk wilayah perbatasan (darat) tersebut. Seperti adanya pos atau gardu pemeriksaan lintas batas, pasar tradisional, terminal untuk menampung bus antar kota dan provinsi bahkan juga melayani penumpang bus Indonesia ke negara Malaysia. Namun kondisi terminal masih belum memenuhi standardisasi, seperti belum tertata dengan rapi, tergenang air bila hujan, tidak mampu menampung semua bus yang ke luar masuk Entikong. Selain itu juga ada toko dan warung makanan yang sebagian besar ada di kota kecamatan Entikong. Kemudian fasilitas umum lainnya adalah gedung pertemuan (PEGA) milik Departemen Kehutanan yang cukup memadai. Seringkali digunakan untuk pertemuan dengan masyarakat guna keperluan penyuluhan produk-produk pertanian. Berkaitan dengan itu pada tanggal 5 Juli diselenggarakan pameran makanan daerah Indonesia. Tidak luput dari pengamatan adanya fasilitas umum kesehatan, seperti Puskesmas, Posyandu, poskamling, lapangan olah raga, berbagai kedai kecil makanan maupun minuman. Fasilitas umum demikian letaknya lebih mengarah ke daerah wilayah tingkat desa/dusun. Ruang publik, karena sebagai ruang pusat kegiatan warga masyarakat. Di mana warga Entikong (termasuk komuntasi lokal Dayak Bedayuh) dari berbagai desa maupun dusun mendatangi tempat-tempat tersebut untuk berbagai kepentingan/keperluan. Sehingga tempat-tempat tersebut memberi kesan penuh dengan keramaian. Di tempat-tempat tersebutlah antar warga masyarakat saling berinteraksi yang mewujudkan berbagai hubungan sosial. Biasanya hubungan sosial mendalam bisa terjadi antar warga masyarakat berlangsung di kedai-kedai kecil/warung yang letaknya tidak berjauhan dengan wilayah tempat tinggal. Kedai-kedai 86
kecil/warung inilah yang sering dikunjungi orang Dayak Bedayuh Dusun Sontas, sebagai sarana komunikasinya. Sambil melepas lelah dari kepenatan dalam menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga, kaum laki-laki Dayak Bedayuh Dusun Sontas akan mendatangi kedai/warung yang menjadi faforitnya. Kedai atau warung kecil ini bagi orang Dayak Bedayuh merupakan tempat yang sangat menarik dan sering didatangi/dikunjungi sebagai salah satu sarana komunikasi yang efektif dan menyenangkan. Umumnya ruang publik berupa pasar dan terminal yang ada di daerah perbatasan Entikong ini, menjadi wilayah yang secara tidak sengaja terkesan dikuasai orang Melayu dan Dayak Bedayuh. Orang Melayu di pasar dan terminal tersebut bisa sebagai pedagang (kelontong dan makanan) atau pembeli, penjaga dan keamanan pasar maupun terminal. Orang Dayak Bedayuh sebagai komunitas lokal yang memahami situasi pasar, hanya menjadi pedagang kecil sayuran dan umbi berupa daun singkong dan daun pepaya, bumbu dapur, talas, ubi kayu. Sementara itu orang Minang, sebagian besar menguasai jasa kuliner (rumah makan Padang) yang tersebar di seluruh pelosok Entikong. Orang Batak sebagian besar menjadi supir angkutan kota atau antar kota dalam provinsi. Sedangkan sebagain besar orang Jawa bekerja sebagai tukang ojek, tukang bakso, bubur ayam, dan membuka toko dengan komoditi yang beranekaragam dalam skala terbatas atau kecil. Di pasar di daerah Entikong tersebut, juga ada yang menjual emas atau berdagang emas biasa dilakukan sedikit orang Melayu dan orang Jawa. Pedagang barang kelontong, emas, makanan pokok, menempati wilayah di dalam pasar berbentuk kios. Untuk pedagang komoditi terbatas/kecil cenderung mengambil wilayah kaki lima. Sebagian pedagang barang-barang tertentu membeli barang dagangannya ke daerah Serikin atau Serian wilayah bagian negara tetangga Malaysia, karena jarak tempuh yang cukup dekat sehingga transportasi tidak mahal dan harga barang relatif terjangkau. Cukup menarik diamati dalam dinamika penduduk perbatasan di Entikong ini, orang Cina kurang nampak perannya dalam perdagangan. Kondisi ini kemungkinan didukung oleh langkanya orang Cina di wilayah tersebut. Mengapa orang Cina langka di daerah ini tidak seperti di daerah lainnya, nampaknya 87
berkaitan dengan kebijakan politis masa lalu bagi orang Cina. Mereka dianggap sebagai pembawa faham komunis yang memungkinkan menyebarkannya kepada komunitas lokal Dayak yang pada saat itu hidup di rumah panjang secara komunal. Oleh karena latar belakang inilah hingga kini orang Cina merasa riskan untuk menetap di Entikong, sehingga serpak terjangnya tidak kentara. Namun meskipun demikian secara tidak langsung mereka tetap bermain dalam perdagangan tertentu, misal sebagai pemasok tanaman karet dan lada orang Dayak Bedayuh, mememnuhi kebutuhan barang dagangan dari Pontianak, Sanggau, maupun dari daerah Tebedu bagian Wilayah Malaysia. Peran yang dijalankan Orang Cina ini terkesan berusaha tidak mereka munculkan, karena tidak adanya keterikatan pedagang setempat dengan orang Cina itu. Sebagai komunitas lokal, orang Dayak di Entikong khusus di Dusun Sontas sangat menyadari dirinya sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun mereka mempunyai hubungan kerabat yang dekat dengan warga Dayak di Malaysia. Simbol-simbol politis bagi orang Dayak secara sengaja atau tidak sengaja telah diwujudkannya. Seperti untuk mengunjungi kerabat ke negara Malaysia pada waktu tidak tentu mereka harus menggunakan Paspor Lintas Batas sebagai identitas dirinya yang menunjukkan sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada waktu yang sudah ditentukan pula orang Dayak Bedayuh Entikong maupun Dayak dari Malaysia dibolehkan tidak pakai paspor untuk waktu saling kunjung, seperti waktu acara Gawai bulan lima dan bulan enam sebagai komitmen dan keputusan kedua belah pihak negara (Indonesia dan Malaysia) melalui pemerintah daerah masing-masing. Artinya orang Dayak Bedayuh dalam hubungan dengan kerabatnya di Malaysia (dalam suasana kekerabatan) menggunakan simbol politik melalui paspor yang menjadi identitas dirinya sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu gereja sebagai tempat ibadah umat nasrani (Khatolik maupun Protestan) khusus di Dusun Sontas yang juga ruang publik, kadang dapat menjadi ruang yang dapat menyampaikan informasi politik secara simbolis. Ketika pastor/pendeta (pemimpin agama Katolik/Protestan) berkhotbah 88
bisa saja dimunculkan selintas masalah pilkada yang akan berlangsung misalnya tentang kepemimpinan seseorang yang harus mampu memimpin masyarakat dalam kerukunan, sehingga menjadi pemimpin yang berhasil sesuai ajaran agama. Isi khotbah bisa saja menjadi himbauan bagi umat untuk memilih pemimpin yang dianggap baik sesuai apa yang dikatakan pendeta atau pastor. Nuansa politik ada secara selintas dalam ruang ibadah itu tidak selalu disadari masyarakat bersangkutan. Secara sadar kadang masyarakat Entikong khususnya komunitas lokal di Dusun Sontas bisa saja membicarakan aspek yang berkaitan dengan politik, seperti pemilihan pemimpin daerah yang akan berlangsung. Namun ini sifatnya sangat situasional karena pada saat itu berkaitan sedang terjadi promosi atau kampanye tentang seorang calon pemimpin daerahnya. Kalau tidak dalam situasi dan kondisi demikian biasanya pembicaraan cukup menarik bagi mereka dalam interaksi yang berlangsung, adalah masalah berkaitan dengan ekonomi di lingkungannya. Masalah ekonomi yang diperbincangkan tidak saja berkaitan dengan pekerjaannya di ladang, tetapi juga bentuk pekerjaan lainnya seperti tenaga upahan yang kini merebak di daerah perbatasan Entikong maupun di negara kerabatnya Malaysia. Selain itu juga kehidupan ekonomi atau dinamika ekonomi masyarakat Entikong yang dipegang oleh kelompok pendatang. Kelompok pendatang yang dianggap menghidupkan ekonomi di lingkungan masyarakat Entikong, tidak lepas dari pendatang awal yakni orang Melayu yang sebagian besar menjadi pedagang. Mereka ini bisa membuka cakrawala pendatang lain untuk mengikuti jejaknya. Sehingga orang Melayu dapat dikatakan sebagai pemimpin ekonomi di daerah tersebut. Secara sosialpun mereka dapat dianggap pemimpin, karena dalam kenyataannya kegiatan ekonomi yang mereka kembangkan tidak menimbulkan konflik malah cenderung membangkitkan semangat komunitas lokal untuk turut serta9. 9
Dalam tulisan Lisyawati Nurcahyani dkk dikatakan bahwa kehidupan sosial masyarakat perbatasan hakikatnya adalah sebuah kehidupan yang harmonis, dimana komuniti lokal (orang Dayak) tidak merasa terusik dan tidak mengusik meskipun semula daerahnya bersifat monoetnik dengan ada pendatang menjadikan daerahnya multietnik. Malah orang Dayak (ibu-ibu) turut serta dalam kegiatan ekonomi baru yang muncul dihadapannya,
89
Kehidupan ekonomi yang terjadi di Entikong cukup mempengaruhi komunitas lokal Entikong (khusus orang Dayak Sontas) terutama kalangan muda. Mereka kurang tertarik lagi untuk bekerja dengan bercocok tanam di ladang. Oleh karena itu oriantasi mereka beralih ke bidang jasa (tukang ojek, buruh angkut, dan lainlain). Sementara itu kalangan tua juga agak terpengaruh dengan menjadikan kerja upahan sebagai sampingan. Oriantasi kerja kalangan muda Dayak Desa Sontas di bidang jasa, tidak dapat dipungkiri pula karena hubungan yang terjadi dengan kerabat. Dimana kerabat yang datang bercerita akan penghasilannya di bidang jasa di Malaysia menjadi banyak bila dibawa ke Entikong. Oleh karena itu pula sebagian kalangan muda Dayak tersebut tertarik bekerja di bidang jasa di Malaysia, seperti di perkebunan atau lainnya. Namun demikian setelah uang terkumpul akan mereka bawa ke Entikong dan bisa digunakan untuk membangun/ merenovasi rumah. Terbukanya cakrawala ekonomi di daerah perbatasan Entikong yang dimotori oleh orang Melayu itu, sebetulnya juga tidak lepas dari peran awal pemerintah daerah melalui kebijakan yang dikeluarkannya tidak kaku dan sangat menguntungkan masyarakat. Masyarakat perbatasan dengan hanya berbekal surat jalan laksana pasport secara leluasa melintas PPLB tanpa pemeriksaan yang ketat dapat menjual langsung hasil pertanian dan perkebunannya ke wilayah Tebedu, Serikin Malaysia dengan harga jual relatif tinggi jika dibandingkan pasaran di Pontianak (Lisyawati Nurcahyani dkk, 2006). Pengaruh orang Melayu dalam membuka cakrawala ekonomi masyarakat di daerah perbatasan relatif besar, sedikit banyak berdampak pula pada perubahan pandangan sebagian kecil komunitas lokal pada aspek agama/kepercayaan masa lalu dan pada agama yang dibawa missionaris/zending yang kemudian ditinggalkannya. Orang Dayak (komunitas lokal) yang mengalami kondisi demikian biasanya mempunyai hubungan sosial mendalam dengan orang Melayu, sehingga mereka masuk agama Islam dan seperti menjadi tukang pikul atau dorong gerobak dengan masing-masing dapat saling menghargai
90
mengaku sebagai orang Melayu dengan meninggalkan identitas awalnya sebagai orang Dayak. Mereka ini tidak lagi mengelompok tinggal dengan orang Dayak Bedayuh yang secara khusus berada di wilayah Dusun Sontas, dan memberi kesan tidak lagi mengikuti tradisi yang dimiliki sebelumnya namun tetap menjaga hubungan kerabatnya. Sementara itu komunitas lokal yang masih mengaku dirinya orang Dayak, mencerminkan penganut nasrani (protestan atau Katholik) khususnya mereka yang tinggal di dusun Sontas masih cukup kental menjalankan tradisinya yang biasa dipimpin oleh seorang ketua adat. Ketua adat ini merupakan pemimpin adat yang biasa berperan dalam memimpin kegiatan atau peristiwa yang terkait dengan adat-istiadatnya. Sebagai pemimpin adat seringkali ia juga sebagai pastor, bahkan kadang sekaligus bisa menjadi pemimpin/ kepala desa atau dusun. Kalau dikaitkan dengan kehidupan keagamaan yang dianut sekarang, tradisi atau adatistiadat yang tidak logis disarankan oleh ketua adat yang merangkap sebagai pastor pendeta untuk tidak dijalankan lagi. Oleh karena itulah dalam menjalankan adat-istiadatnya orang Dayak (komunitas lokal) selalu dibimbing oleh ketua adat/pastor/ pendeta di lingkungannya. Selain kehidupan ekonomi kehidupan keagamaan orang Dayak di Dusun Sontas ini juga memberi warna cukup kuat. Semula mereka adalah penganut agama nenek moyang, yakni agama lama/Animisme. Kini telah menjadi umat nasrani (Khatolik maupun Protestan) yang rajin dan taat menjalankan ibadahnya. Setiap hari Minggu gereja yang ada di Dusun Sontas penuh dengan umat. Mereka dapat menjadi umat nasrani yang taat karena berkat bimbingan para missionaris/zending yang lama menetap di lingkungannya. Kurang paham dengan ajaran agamanya, mereka akan dapat bertanya atau mendapat bimbingan dengan pemimpin agama pastor atau pendeta. 3. Simbol Identitas Dalam Proses sosial Seperti dalam uraian sebelumnya (bab II) dikatakan komunitas lokal Entikong Orang Dayak (Dayak Bedayuh) tersebut, khusus mereka yang berada di daerah hunian Dusun Sontas 91
sebagian besar mempunyai matapencaharian pokok bertani atau bercocok tanam ladang berpindah dengan lahan pertanian yang dimiliki relatif luas. Biasanya mereka golongan/kaum tua yang cukup serius menekuninya, sedangkan golongan/kaum muda mempunyai kecenderungan tertarik di bidang jasa di kota Entikong maupun di luar Entikong/ negara tetangga. Sebenarnya sistem matapencaharian ladang berpindah ini sudah diperolehnya secara turun-temurun, namun dalam perkembangan sejarah kelompok sosial tersebut harus berhadapan dengan lingkungan budaya lain akibat dari interaksi soial yang berkembang dengan komunitas lainnya (pendatang) sehingga memunculkan matapencaharian pokok lain. Khususnya bidang jasa transportasi seperti ojek, jasa angkut barang seperti kuli upahan, serta pedagang kelontong. Dalam sistem matapencaharian ladang berpindah tersebut, pola tanam dilakukan seakan mengikuti suatu ketetapan yang pasti dimana akhirnya akan berulang di tempat asal dibukanya lahan. Oleh karena itu sering disebut juga dengan ladang berotasi. Berkaitan dengan makanan pokok komunitas ini adalah nasi, maka tanaman utama yang ditanam di ladangnya adalah padi. Selain itu ada jenis tanaman lain yang juga diusahakannya yaitu jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, ketimun, yang selalu dapat dipanen sepanjang tahun dengan pola usaha tanam tumpang sari. Sistem pengelolaan lahan dengan cara tebang bakar, dengan harapan agar tanah dapat lebih subur. Pada dasarnya pola tanam yang dilakukan tidaklah semata-mata bercocok tanam padi saja, biasanya setelah tahun ketiga ladang ditanami dengan pohon karet. Seringkali pohon karet dipakai sebagai penanda atau batas lahan yang akan digarap. Tidak ketinggalan ladapun ditanam sebagai tanaman komoditi sama dengan karet dan kacang tanah. Sementara itu ubi kayu dan ubi jalar serta ketimun biasa dikonsumsi sendiri serta untuk makan ternak. Kalaupun dijual hanya dalam jumlah relatif kecil. Sistem penjualan hasil bumi yang berupa kacang tanah, ketimun dan juga getah karet, serta lada pada dasarnya bersifat menunggu tauke atau perantara yang datang ke desa /dusun Sontas tersebut. Para perantara ini biasanya datang tiga bulan sekali guna mengambil bahan-bahan hasil bumi tersebut untuk dibeli dan dijual lagi. Para perantara ini (tauke) umumnya tidak 92
menentu berasal dari sukubangsa apa, dan kebanyakan berasal dari orang Melayu. Dalam mengolah ladang umumnya masyarakat menggunakan pupuk, baik pupuk anorganik maupun pupuk organik. Hasil pangan yang umumnya diproduksi sekali dalam setahun khususnya padi hampir seluruhnya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, artinya tidak pernah dijual berbeda dengan tanaman pangan lainnya; seperti kacang tanah, lada, karet seperti yang telah dikatakan sebelumnya. Biasanya setelah lahan ditanami lada sampai panen yang memakan waktu sekitar 9 bulan, kemudian ditanami karet. Untuk lada hasilnya dianggap cukup lumayan, karena harga lada masa sekarang adalah sekitar 20.000 rupiah per kilogram. Pekerjaan di ladang umumnya dilakukan bersama antara kepala keluarga dengan ibu rumah tangga, sedangkan anak-anak biasanya dibawa ketika usia anak dibawah usia sekolah. Atau anak sekolah akan diajak ketika hari minggu dan liburan sekolah, mereka membantu ibu dalam kegiatan/pekerjaan menoreh karet. Untuk pekerjaan mengangkut dan menjual karet umumnya dilakukan oleh laki-laki dewasa, sedangkan menjual hasil pangan seperti kacang tanah lebih banyak dilakukan oleh ibu rumah tangga. Pembagian tugas ini sudah berlangsung sebagai adat yang turun temurun. Pada masa lalu ada kebiasaan masyarakat peladang ini membawa senjata api yang berfungsi untuk menjaga ladangnya dari gangguan babi hutan yang suka merusak ladang, dan juga pengganti sumpit untuk berburu binatang hutan lainnya. Namun kemudian karena kebijakan politis mereka dilarang memiliki senjata api tersebut kurang lebih telah berlangsung 10 tahun yang lalu. Kini kebijakan itu telah dicabut, karena ternyata senjata api itu memang diperlukan bagi orang Dayak untuk menjaga ladangnya dan juga berburu. Bagi masyarakat Sontas, padi merupakan komoditas yang wajib ditanam dan tabu bila ditinggalkan. Oleh karena itu disadari atau tidak, usaha tani padi hampir tidak pernah diperhitungkan untung atau ruginya yang penting adalah setiap rumah tangga harus menghasilkan padi guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Sehingga dengan demikian setiap rumah tangga akan selalu tersedia beras. Pada dasarnya cara membuka ladang yang dilakukan oleh masyarakat adalah sama yaitu menebas, tebang, 93
bakar dan tanam. Untuk membuka lahan ladang yang berasal dari berbagai vegetasi awal tidak perlu banyak pertimbangan karena lahan tersebut sudah pernah ditanami padi. Sementara lahan yang berasal dari hutan primer maka pertimbangan dari anggota atau warga desa harus diperhatikan guna sebagai saksi bahwa orang tersebut membuka lahan untuk ladang. Kadang untuk menentukan lokasi ladang memerlukan waktu 1-2 minggu. Setelah lokasi ditemukan dan sesuai maka harus ditunggu waktu yahg tepat untuk mulai menebas pohon-pohon perdu dan ilalang, serta menebang pohon lainnya. Kemudian lahan dibersihkan dari pohon-pohon hutan (ditebang, ditebas), lalu lahan ditinggal untuk waktu 1 sampai 2 minggu sampai bekas tebangan kering. Penebangan dan penebasan dilakukan dalam pola tertentu menurut arah dari kelerengan areal yang akan diperladangkan. Umumnya penebasan dan penebangan dilakukan dari arah yang lebih tinggi kearah yang lebih rendah. Pola penebasan tersebut bertujuan untuk pohon yang ditebang atau ditebas selanjutnya akan menyebabkan pohon berikutnya akan rubuh sebagai akibat gaya berat pohon yang telah ditebang. Penebangan dan penebasan hanya dilakukan oleh lakilaki, namun wanita tidak dilarang ikut serta dalam kegiatan ini, ketidak ikutsertaan wanita dalam kegiatan penebangan dan pembakaran lebih disebabkan karena wanita diharapkan membantu mempersiapkan makanan bagi orang yang bekerja. Tidak dilarangnya wanita dalam proses penebangan dan pembakaran terlihat dari aktivitas ikutan dimana setelah kelompok laki-laki yang melakukan penebasan bergerak maju maka wanita akan ikut dibelakang untuk memotong-motong ranting dan dahan yang layak digunakan sebagai bahan bakar. Untuk masa waktu menunggu tersebut, orang yang mengusahakan ladang beserta anggota keluarga dan dibantu oleh keluarga luasnya akan mendirikan huma ditempat yang telah ditetapkan oleh dukun ketika perencanaan pembukaan lahan dilakukan. Dalam masa tunggu tersebut kayu-kayu dan dahan, ranting pohon dalam ukuran tertentu dikumpulkan dan dijadikan sebagai cadangan bahan bakar baik untuk kepentingan ketika diperladangan maupun ketika di perkampungan. Selanjutnya ketika bekas tebangan telah cukup kering dan mudah dibakar, pemilik 94
ladang dengan dibantu oleh anggota keluarga akan membentuk batas pembakaran dengan cara mendorong/menggeser bekas tebangan yang berada dipinggir hutan kearah tengah perladangan. Setelah pengaturan batas maka kegiatan selanjutnya adalah membakar bekas tebangan. Pembakaran areal perladangan dimulai dengan memperhatikan arah angin, jika angin berhembus dari arah barat maka pembakaran dilakukan dari arah barat, selain memperhatikan arah angin, peladang juga akan memperhatikan kecerahan hari sebelum pembakaran, jika hari sangat cerah dan tidak terlihat mendung maka pembakaran dilakukan. Pembakaran dilakukan baik oleh laki-laki atau wanita, jika pembakaran tidak melibatkan orang banyak diluar kerabat maka tidak terlalu banyak wanita yang akan terlibat dalam pekerjaan pengadaan makanan bagi yang terlibat dalam aktivitas pekerjaan. Namun jika banyak yang terlibat umumnya wanita akan bekerja di dapur untuk memasak dan menyediakan makanan. Umumnya wanita selain membakar juga mengawasi proses pembakaran jangan melewati batas perladangan. Lama pembakaran satu areal perladangan jika hari cerah dan angin agak kencang adalah kirakira 6 jam lamanya. Setelah pembakaran dilakukan maka selanjutnya akan ditindak lanjuti dengan aktivitas penanaman yang sebelumnya dilakukan pembersihan terlebih dahulu. Perladangan pada masyarakat perladangan Dayak dilakukan dengan sistem tugal. Sistem tugal adalah penanaman benih dilakukan dalam lubanglubang sedalam 5 sampai 15 cm. Benih padi tanpa melalui persemaian dimasukkan 5 sampai 10 butir dalam satu lubang tugal. Dalam proses penanaman biasanya laki-laki membuat tugal dan wanita yang memasukkan dan menimbun benih dalam lubang tugal. Aktivitas terakhir dari perladangan yakni proses panen. Sebagaimana dalam masyarakat kebudayaan lainnya, aktivitas panen dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Dalam proses panen laki-laki dan perempuan menuai padi. Bahan pangan dari ladang tidak seluruhnya merupakan bahan pangan yang dapat dimakan dalam kondisi mentah (diambil langsung dimakan). Sebagian besar bahan pangan dari perladangan membutuhkan pengolahan untuk disajikan menjadi makanan. Sistem tebang, bakar dan tanam ini merupakan budaya yang turun temurun diwariskan oleh orang tua 95
mereka dan diterima dari generasi ke generasi berikutnya dan inilah yang disebut budaya ladang berpindah. Demikian juga dengan jenis tanaman yang diusahakan merupakan komoditas yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Dalam sistem ladang berpindah ini terjadi rotasi lahan yang mengandung dua pengertian yang berkesinambungan yaitu menunjukkan perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lain dan kembali ke lokasi semula dalam masa waktu tertentu. Pada dasarnya membuka ladang dirasakan sebagai suatu pekerjaan yang berat namun harus dilakukan karena merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh masyarakat. Oleh karena kesuburannya yang semakin menurun menyebabkan lahan tersebut ditinggalkan dan tidak digarap atau dibiarkan selama masa waktu tertentu. Semakin lama ia menetap di suatu lokasi berarti semakin lama juga ia akan berotasi ke lokasi berikutnya. Seperti yang telah dikemukakan di atas, selain dari mata pencaharian berladang pindah yang merupakan bentuk matapencaharian sebagai ciri yang melekat bagi komunitas lokal, terdapat juga mata pencaharian lainnya yaitu bekerja sebagai kuli upahan dan juga jasa transportasi serta berdagang. Pekerjaan sebagai kuli upahan banyak dilakukan penduduk ketika sedang tidak dalam mengolah ladang, dan untuk jenis pekerjaan ini biasanya mendapatkan upah sebesar 20 ribu rupiah untuk sekali pekerjaan (biasanya mengangkut pemindahan barang dari truk ke truk). Atau sebagai kuli mencangkul tanah bagi pengusahaan ladang penduduk pendatang dengan upah 35 ribu rupiah satu hari. Sebagai penjual jasa transportasi ojek, biasanya dilakukan oleh kaum muda dan ini tentunya tergantung dari kepemilikan kendaraan roda dua. Kendaraan ini diperoleh ketika anggota komunitas mendapatkan modal dengan menjual tanahnya di sekitar jalan raya kepada para pendatang (orang Jawa, Bugis dan sukubangsa lainnya). Uang hasil penjualan tanah ini umumnya dibelikan kendaraan roda dua atau untuk biaya pembuatan rumah di desa. Oleh karena itulah kemudian orang Dayak banyak yang memiliki motor dan menjadi peserta jasa transportasi. Sistem beroperasinya ojek diawasi oleh kapolsek, sehingga keberadaan ojek dapat terkontrol dengan baik. Ojek-ojek yang beroperasi di daerah Entikong ini diorganisasi oleh sebuah 96
kelompok ojek yang dikepalai oleh seorang kepala ojek yang langsung berada di bawah kapolsek. Masing-masing pengojek harus membayar sebesar 2000 rupiah untuk melakukan aktivitas selama satu hari dari pagi sampai sore atau malam. Sistem kerja upahan terwujud dalam kehidupan komunitas lokal itu karena hasil interaksi yang dialami dengan pendatang di sekitar lingkungannya yang telah membawa pola pekerjaan baru dan memberi peluang pula. Sehingga komunitas lokal itu menjadi memiliki relasi sosial dalam bidang pekerjaan. Bentuk-bentuk relasi sosial dalam bingkai pekerjaan ini lebih memperluas jaringan sosial warga Entikong. Perluasan kontak dan jaringan sosial melalui pekerjaan tidak saja terbatas di dalam desa dan di antara kerabat dekat, tetapi meluas ke individu dan kelompok masyarakat bukan kerabat. Selain itu jenis pekerjaan yang dilakukan pun bervariasi; lokasi pekerjaan pun melampaui batas desa dan teritori negara (John Haba,2005) Seperti diuraikan sebelumnya pekerjaan upahan ini menjadi peluang kerja bagi kalangan muda komunitas lokal khusus di Dusun Sontas, atau menjadi sambilan bagi mereka yang telah selesai bekerja di ladang. Meskipun demikian antar warga komunitas lokal di Dusun Sontas ini masih mewujudkan bentuk-bentuk tradisional walau tidak sekental waktu mereka berada dalam satu rumah panjang (keluarga luas), yakni saling membantu atau tolongmenolong/gotong-royong terutama dalam pertanian. Ada kebiasaan dalam mengerjakan ladangnya mereka bekerjasama secara bergiliran dikenal dengan sistem balale. Sistem balale ini bisa diartikan sebagai bentuk menjalin dan menjaga hubungan sesama warga untuk tetap bisa bersama-sama.menjalankan hubungan yang baik. Menjalankan hubungan baik tidak hanya diwujudkan antar sesama warga Dusun Sontas, tetapi juga dengan warga lain di luar lingkungannya. Antar sesama warga Dayak mereka biasa memakai bahasa pengantar bahasa Dayak sebagai simbol jatidirinya, sedangkan dengan orang di luar Dayak mereka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang diucapkan komunitas Dayak dalam berkomunikasi, memberi kesan bahasa Indonesia dengan dialek Dayak. Meskipun demikian bahasa Indonesia yang diucapkannya itu dapat dimengerti. Mampu berbahasa Indonesia 97
mencerminkan mereka tetap menyadari dirinya sebagai orang Indonesia meskipun daerah huniannya jauh dari pusat dan dekat dengan negara tetangga yang menjadi tempat hunian kerabatnya. Selain menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan orang bukan Dayak, bahasa Melayu juga menjadi bahasa pengantar pergaulan komunitas lokal ini. Bahasa Indonesia biasa mereka gunakan pada saat suasana formal di arena perkantoran, pemerintahan. Sementara itu di tempat-tempat umum pasar, terminal, toko, dalam suasana non formal atau santai bahasa Melayu yang sering mereka gunakan. Secara tidak sengaja bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar sehari-hari masyarakat Entikong pada umumnya. Kondisi ini bisa terjadi terkait dengan sejarah kedatangan pendatang yang diawali orang Melayu, mudahnya bahasa Melayu dimengerti dan dipahami, orang Melayu mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Dengan demikian sedikit banyak khusus komunitas lokal/orang Dayak mengenal tiga bahasa pengantar komunikasi di daerahnya, yakni bahasa Dayak, bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu. Bahasa Dayak yang merupakan bahasa komunitas lokal tersebut, rupanya juga bisa dimengerti dan dipahami oleh pendatang terutama pendatang yang telah lama menetap dan pendatang yang kawin mawin dengan orang Dayak. Seperti dalam uraian sebelumnya kehidupan struktur masyarakat di Entikong umumnya, berdasarkan jenjang sosial yang ada dapat diidentifikasi dalam dua bentuk yakni secara formal dan informal yang dibedakan juga menurut jenis pekerjaan, seperti kepala atau aparat desa khusus mengurusi hal-hal yang berkenaan dengan surat-surat resmi penduduk, sedangkan tokoh adat/ketua Adat umumnya berkaitan dengan keadaan sosial penduduk, seperti pertikaian antar penduduk. Kemudian disamping itu terdapat status sosial orang tua yang dianggap dapat membantu orang sakit yang dengan kemampuannya dapat menjadi seorang pengobat sebelum orang sakit tersebut dibawa ke puskesmas atau ke pastoran atau ke rumah sakit di daerah Malaysia. Selain itu terdapat juga seorang kepala dusun yang mengatur masalah-masalah sosial sebelum masalah tersebut diserahkan kepada kepala adat (biasa disebut dengan Tumenggung) atau juga kepala desa. Kepala dusun menjadi status 98
berikutnya setelah kepala adat dan kepala desa. Sehingga kepala dusun dapat diasumsikan sebagai seorang yang mempunyai status sebagai muara dalam percabangan antara adat dan nasional. Hubungan sosial khususnya masalah pertikaian antar penduduk biasanya diselesaikan secara adat yang dipimpin oleh ketua adat. Pelanggaran-pelanggaran adat biasanya akan dikenai denda adat sebesar nilai babi yang berlaku di desa tersebut. Umumnya pelanggaran adat selalu berkaitan dengan kegiatan gawai atau adanya pertengkaran ketika sedang dalam keadaan mabuk. Pemecahan masalah-masalah sosial ini pada dasarnya juga dihadiri oleh pamong pemerintah yang ikut sebagai saksi dalam penyelesaian perkara secara adat. Proses ini menunjukkan bahwa pengaruh adat khususnya dalam hukum adat masih dipegang teguh dan dikuatkan oleh sistem otonomi daerah yang berlaku pada masa kini. Akan tetapi pemberlakuan hukum adat ini hanya berlaku pada komunitas Dayak saja dan tidak dikenakan pada komunitas lainnya seperti pada orang Melayu atau orang Jawa, Bugis dan lainnya. Berbeda halnya dengan struktur sosial yang berkaitan dengan mata pencaharian, khususnya perdagangan barang dan jasa. Pada konteks perdagangan hasil ladang yang berupa kacang, timun, getah karet, penduduk Sontas menyerahkannya kepada para pedagang perantara sebagai pembeli yang selalu mengunjungi desa setiap tiga bulan sekali. Ketergantungan dengan para tauke ini hanyalah ketergantungan fungsional dalam perdagangan yang bukan merupakan mata pencaharian pokok. Sedangkan pada mata pencaharian pokok ladang padi akan dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan akan sayuran diperoleh penduduk dari mencari sayur-sayuran di hutan yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan guna pemenuhan akan sayur selama dua atau tiga hari. Akan tetapi apabila penduduk mempunyai cukup banyak uang darihasil penjualan kacang atau getah karet, biasanya mereka membeli di pasar seperti sayur-sayuran (bayam, tempe, tahu) dari orang-orang Jawa di pasar Entikong sambil membeli kebutuhan sekunder lainnya (baju, sandal dan sebagainya). Bagi komunitas lokal Dayak kehidupannya selalu dikaitkan dengan keagamaan yang dianutnya, seperti yang diuraikan sebelumnya mereka adalah penganut agama Khatolik. Oleh karena 99
itu keterkaitannya dengan gereja sangat kuat khususnya pada pola kehidupan sosial, seperti pada pola perkawinan yang menggunakan aturan agama Khatolik. Peranan pastor ini sangat dominan dalam menentukan pola kehidupan keyakinan asli yang mengarah dan memberi arah pada sistem adat istiadat, banyak adat istiadat yang dihilangkan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama Khatolik/protestan. Penduduk selalu memberikan bahan makanan untuk para pastor yang tinggal di gereja, pemberian ini merupakan pemberian yang selalu berkesinambungan, sehingga hubungan antara gereja, khususnya pastor menjadi hubungan yang erat. Pastor dalam hal ini menjadi patron dalam kondisi keagamaan, dan bahkan dalam pranata kesehatan dalam hal memberikan keputusan untuk pengobatan si sakit. Sehingga pastor bagi komunitas lokal ini sering juga dirasakan sebagai pelindung dan pengayom mereka dalam berbagai hal. Oleh karena bimbingan dari pastor inilah, komunitas lokal Dayak dapat mempunyai pandangan yang positif terhadap warga lain (pendatang) yang berada di wilayahnya. Mereka menganggap pendatang adalah para kawan yang dapat berdampingan hidup dengannya tanpa persaingan. Malah pendatang itu sangat dapat bekerja sama dalam jual beli hasil ladang, dan bahkan secara sengaja atau tidak pendatang itu telah memberikan nuansa baru dalam kehidupan komunitas lokal, khusus dalam aspek ekonomi. Ekonomi/matapencaharian hidup yang mereka tekuni kini tidak hanya berladang berpindah saja, tetapi juga ekonomi bidang jasa meskipun masih tingkat kerja sambilan terutama bagi generasi tua. Bagi generasi muda ekonomi bidang jasa ini menjadi aspek yang cukup menarik untuk dijalankan secara total. Oleh karena itulah generasi muda komunitas lokal Dayak telah banyak yang mempunyai oriantasi kerja di sektor jasa, baik di wilayah Entikong maupun di luar Entikong termasuk di daerah negara tetangga. Daerah negara tetangga (malaysia) menjadi oriantasi ekonomi jasa bagi komunitas lokal Dayak ini, juga karena pengaruh dari TKI yang dikirim melalui Entikong. Mereka biasanya mendapat jalur dari kerabat di Malaysia dan bekerja secara individu tanpa melalui agen yang ada. Oleh karena itu pengalaman bekerja kurang baik atau kurang menyenangkan di Malaysia tidak mereka alami. 100
Namun demikian mereka mempunyai anggapan dapat bekerja di Malaysia hanya untuk mengumpulkan uang dan tidak dibelanjakan di sana karena biaya hidupnya tinggi. Kalau uang sudah terkumpul, biasanya warga komunitas Dayak ini akan kembali ke Entikong untuk membelanjakan uang ringgit yang telah diperoleh. Biasanya uang itu mereka gunakan untuk membangun rumah, atau untuk yang penting lainnya. Menurutnya kerabat yang menjadi warganegara Malaysia juga mempunyai kehidupan tidak jauh berbeda dengan dirinya. Hanya kerabat di Malaysia itu dapat hidup lebih teratur dan mendapat fasilitas lebih baik dari pemerintahnya. Seperti fasilitas kesehatan (sakit dan melahirkan), lingkungan permukiman yang sehat dan rapih. Bahkan di tempat umum, tersedia fasilitas air minum bagi masyarakat. Mereka cukup membuka kran air yang ada dan langsung dapat diminum yang dijamin kebersihan dan kesehatannya. Walaupun kondisi yang ia ketahui demikian atau pola hidup yang dihadapi kerabat berbeda dengan dirinya dan terkesan menyenangkan, tidak mengemuka kecemburuan atau keinginan komunitas lokal Dayak untuk beralih ke Malaysia10. Hanya mereka mempunyai keinginan menikmati fasilitas yang ada di negara kerabatnya itu. Keinginan ini dapat terealisasi bila keluarga ada yang sakit dan berobat ke Puskesmas belum sembuh juga, maka atas bantuan kerabat di Malaysia itu mereka datang berobat ke serian/serikin daerah Serawak-Malaysia tanpa biaya/gratis. Demikian juga bila keluarga Dayak di Dusun Sontas ini ada yang akan melahirkan dan ingin mendapatkan kenyamanan dan gratis pula, maka rumah sakit di daerah wilayah Malaysia itu akan menjadi tujuannya. Namun demikian mereka harus bersedia untuk merelakan anak yang dilahirkan di Malaysia itu berkewargaan negara Malaysia. Sesuai dengan pola pikirnya yang masih
10
Warga Dayak Bedayuh di Entikong (Dusun Sontas) mengatakan mereka tetap mencintai Indonesia sebagai negaranya, tidak pernah ada keinginan mengganti kewarganegaraan meskipun banyak cerita dan pengalaman tentang berbagai kemudahan hidup yang dapat diperoleh di Malaysia. Masih ada dari mereka yang hingga kini belum pernah menginjakkan kakinya ke daerah wilayah Malaysia itu, bahkan daerah Tebedu yang sangat dekat dengan Entikong belum diinjaknya.
101
sederhana, kondisi demikian dianggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Kondisi ini sebenarnya menambah hubungan silahturahmi dengan kerabat semakin intens dan berjalan baik. Ditambah lagi biasa saling kunjung pada peristiwa Gawai yang selalu dilakukan, akan mempererat kekerabatan antar mereka. Sehingga suasana kunjung dalam sakit/melahirkan dan peristiwa Gawai menjadi arena komunikasi antar kerabat yang tidak sengaja terbentuk. Meskipun oriantasi ekonomi, kesehatan (berobat dan melahirkan) ada kecenderungan Ke Malaysia, bukan berarti mereka tidak mengacu pada hal yang bersifat nasional ataupun adatnya. Khusus dalam berobat ke Puskesmas akan selalu mereka lakukan pada saat awal. Kemudian setelah itu akan mengacu pada kebiasaan adat, yakni pada peran seorang yang dianggap pintar dalam hal pengobatan secara tradisional. Langkah mengambil keputusan meminta bantuan kepada orang yang dianggap pintar pengobatan secara adat ini adalah apabila terdapat penyakit yang dianggap penyakit dalam. Sementara itu untuk berobat ke rumah sakit di Pontianak jauh dan relatif biayanya besar. Acuan pada pemerintah baik nasional maupun daerah selalu dilakukan orang Dayak ini dalam kehidupannya sejak dulu hingga kini. Seperti pada waktu masa penjajahan Belanda dan Jepang yang menyebabkan terpecahnya orang Dayak menjadi dua warga negara, dan sampai pada pemerintahan Indonesia Merdeka melalui Departemen Sosial serta Imigrasi yang telah memberi warna kepada pola kehidupan serta hubungan sesama orang Dayak yang seketurunan dapat diterimanya. Pada sentuhan melalui Departemen Sosial tahun 1982, dengan diterapkannya sistem permukiman kembali masyarakat terasing, menyebabkan perubahan kebudayaan, khususnya sistem kekerabatan yang mengarah pada bentuk keluarga batih. Gambaran perubahan ini tampak secara nyata pada pola tempat tinggal yang tadinya berdasarkan pada keluarga luas berubah menjadi keluarga batih dengan sistem rumah-rumah keluarga batih dengan rumah tangga yang satu. Akibat lanjutannya adalah hilangnya rumah-rumah panjang sebagai ciri dari komunitas Dayak Sontas ini. 102
Pada model sosialisasi terhadap keberlangsungan adat istiadat Dayak yang biasanya menggunakan sarana pengolahan lahan guna sosialisasi anak menjadi terputus ketika anak-anak harus sekolah serta mengikuti kegiatan keagamaan pada hari minggu (khatolik). Sosialisasi anak pada umumnya dilakukan di daerah perladangan ketika orangtua mengerjakan ladangnya. Pada kesempatan ini, orangtua (baik perempuan maupun laki-laki) akan mengajak anak-anaknya untuk memberi contoh pekerjaan yang dilakukan oleh mereka dan sekaligus memberi gambaran apa-apa saja yang patut dilakukan oleh perempuan dan laki-laki (pembagian peran). Aktivitas ini masih dilakukan sampai sekarang yang ditujukan pada anak-anak sebelum memasuki usia sekolah yang biasanya mengikuti pekerjaan ibu dan bapaknya. Namun sejak anak-anak usia sekolah, peran sosialisasi ini digantikan oleh sistem nasional dengan adanya sekolah, sehingga menyebabkan terputusnya sosialisasi aktivitas perladangan yang secara turun temurun dilakukan. Sehingga bagi para remaja yang sudah menginjak bangku sekolah, otomatis tidak mengetahui lagi bagaimana orangtuanya mengerjakan ladang. Disamping itu banyaknya jenis-jenis pekerjaan jasa yang menjanjikan hasil yang lebih cepat seperti bekerja di bidang jasa (ojek, kuli, pegawai negeri/swasta) yang memang menjadi sasaran dari adanya pendidikan sekolah. Peranan pemerintah baik pusat maupun daerah sebenarnya sangat luas dalam melestarikan dan memelihara budaya Dayak melalui muatan lokal yang terdapat dalam kurikulum sekolah. Namun demikian dalam kenyataannya muatan lokal yang ada di kurikulum tidak mengajarkan tentang adat istiadat Dayak setempat dan bahkan lebih mengarah pada bentuk-bentuk penghapusan adat istiadat asli, seperti tidak adanya cerita-cerita rakyat Dayak, seni, bahasa apalagi sistem pengetahuan tentang lingkungan sekitar dan pola kehidupan yang ada. Hal ini menyebabkan anak-anak atau generasi muda masa sekarang sudah kurang mengetahui lagi apa saja yang dilakukan oleh orangtuanya berkenaan dengan kebiasaan Dayak yang telah turun temurun diterima oleh generasi sebelumnya. Dalam melestarikan identitasnya sebagai orang Dayak juga terwujud dalam Gawai yang mereka lakukan setiap tahun, di mana berlangsungnya kunjung-mengunjungi kerabat yang berbeda 103
negara memungkinkan proses keberlanjutan hubungan sosial terjaga sangat nampak sebelum tahun 2001. Akan tetapi kini dengan masuknya aturan pemerintah dalam sistem imigrasi yang membatasi waktu kunjung tiga hari serta adanya surat yang dibutuhkan bila mengundang atau mengunjungi kerabat pada pesta adat atau gawai, hubungan sosial yang telah berlangsung menjadi terhambat Berarti sistem yang lebih ketat diterapkan pemerintah dalam masalah kunjung mengunjungi kerabat menjadi penghambat hubungan sosial antar kerabat itu. Terhambatnya hubungan sosial orang Dayak dengan kerabatnya akibat pemberlakuan aturan yang lebih ketat, sebenarnya sebagai akibat andil dari perilaku pendatang daerah lain. Hal ini tergambar dari adanya orang-orang luar Dayak yang menyalahgunakan paspornya untuk berbelanja melebihi batasan yang telah ditentukan oleh Imigrasi. Seringkali identitas orang Dayak Sontas dalam lingkungan sosial yang lebih luas, tidak terlalu nampak atau tergambarkan. Mereka secara selintas bisa sama dengan warga lainnya misal dalam pakaian yang dikenakan. Tetapi apabila di lingkungan sosial itu (ruang publik) ada sekelompok kalangan mereka dan saling berinteraksi, maka identitas Dayaknya akan muncul melalui bahasa Dayak yang mereka gunakan dalam berkomunikasi. Jadi bahasa Dayak yang dikomunikasikan akan menjadi ciri pembeda orang Dayak itu dengan yang lainnya. Namun dalam lingkungan sosialnya sendiri identitas ini akan jelas nampak, seperti pada waktu akan berangkat ke ladang sebagai aktivitas sehari-harinya mereka selalu mengenakan pakaian bekerja dengan segala perlengkapannya. Secara bersama mereka menyusuri jalan menuju ke ladang masing-masing pada pagi hari dengan menjinjing keranjang yang diletakkan atau digantung di kening kepala baik dilakukan wanita atau laki-laki menjadi pemandangan yang sangat menarik. Apalagi dengan raut muka yang terkesan nature/alami, bersikap tenang dan polos mencerminkan itu adalah identitas fisik yang mereka miliki. Kesederhanaan dalam berpenampilan dan bersikap tenang dan polos itulah yang menjadi ciri khas orang Dayak di Dusun Sontas. Pada gambaran lain kehidupan sosial di daerah perbatasan Entikong tersebut, rasa kebangsaan atau jiwa nasionalisme suatu warga baik pendatang maupun komunitas lokal dapat mengemuka 104
dalam suasana atau situasi tertentu. Seperti yang diwujudkan kelompok premanisme ternyata mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi, dimana mereka tergugah ketika terjadi penangkapan orang Indonesia di Malaysia baik oleh polisi maupun oleh penduduknya (di kuching atau daerah lainnya di Serawak). Mereka tidak segan untuk membalaskannya kepada orang Malaysia yang ada di wilayah Indonesia dengan cara menangkap dan melukainya. Meskipun ini cara yang tidak benar, tetapi itu adalah wujud dari rasa nasionalisme kaum preman di Entikong tersebut. C. Bitung 1. Batas Budaya Kesukubangsaan Komunitas lokal Kota Bitung (kecamatan Bitung Timur) yang merupakan orang Sangir tidak selalu paham dengan berbagai cerita rakyat maupun dongeng-dongeng daerahnya sebagai bukti kesukubangsaan dirinya. Kondisi ini terutama dialami anak-anak muda yang berumur di bawah 32 tahun. Dapat terjadi karena orang tua tidak lagi selalu dapat bercerita kepada anak-anak yang waktunya padat untuk sekolah dan orang tua waktunya tersita dengan pekerjaan. Jadi tidak ada ruang waktu yang pasti antara orang tua dan anak dalam proses menurunkan bukti kebudayaan dirinya melalui mitologi yang pernah ada dan dimiliki. Namun demikian generasi di atas usia 32 tahun (generasi tua) masih ada yang dapat mengingat mitologi daerah asalnya tersebut dengan baik. Paling menarik dan mereka ingat adalah cerita tentang Tamamilang yang menjadi penjaga Pulau Siau (Sangir). Konon menurut ceritanya, tamamilang adalah keturunan orang sakti yang memiliki saputangan merah. Saputangan merah itu diberikan atau diturunkan kepada Tamamilang lengkap dengan kesaktiannya. Dengan kesaktiannya melalui saputangan merah itu, Tamamilang akan mengibarkannya bila ada orang yang bermaksud jahat terhadap suku bangsa Sangir dan pihak yang bermaksud jahat itu tidak akan melihat Pulau Sangir yang merupakan wilayah asal orang Sangir. Berkaitan dengan cerita ini pula, pada waktu orang Portugis bermaksud mendatangi pulau tersebut untuk mengambil rempah105
rempah (pala) tidak dapat tercapai karena pulau tersebut tidak nampak oleh mereka. Peristiwa ini terjadi akibat peran Tamamilang dengan sapu tangan merah yang dimilikinya yang mampu menyelamatkan Pulau Sangir dari penjajah Portugis itu. Selain menjaga Pulau Siau (Sangir) dari kedatangan orang yang tidak diundang dan bermaksud tidak baik, Tamamilang juga menjaga Gunung Merapi Karangetang agar tidak mengganggu orang Siau (Sangir) jika gunung tadi meletus. Sementara itu masih ada pula mitologi lain yang menceriterakan asal-usul keturunan Sangir, yakni cerita/dongeng tentang Gumansalangi, Kota Bitung, dimana salah satu kecamatannya Kecamatan Bitung Timur yang mempunyai wilayah Kelurahan Pateten I, pada awalnya diketahui masyarakat merupakan rawa yang sulit ditinggali. Sebelumnya daerah tersebut merupakan bagian dari kelurahan Winenet. Untuk menuju ke tempat lainnya di wilayah tersebut, diperlukan sebuah titian (jembatan) yang dalam bahasa Bitung (Sangir) disebut pateten. Ketika dataran tersebut berubah menjadi wilayah yang layak dihuni, dan kemudian terbentuk wilayah baru, maka penduduk setempat menyebutnya sebagai daerah Pateten hingga sekarang. Sebagai permukiman yang dihuni oleh komunitas lokal Sangir dan berbagai sukubangsa lain pendatang, pada umumnya wilayah Kelurahan Pateten menjadi sebuah hunian yang cukup padat. Batas antara rumah satu dengan lainnya hanya ditandai dengan pagar tanaman, pagar kayu/bambu atau tembok. Dahulu, menurut informan ketika tingkat hunian belum sepadat sekarang, batas kepemilikan berupa sebuah /beberapa pohon kelapa atau pohon tawa’ung sejenis tanaman khas daerah Bitung. Sementara itu batas antara satu wilayah dengan wilayah lain ditandai dengan adanya patung ikan, atau ciri khas daerah bersangkutan. Mayarakat Sangir dianggap sebagai komunitas lokal di daerah Bitung, menurutnya berawal dari kedatangan orang Sangir yang membuka wilayah tersebut. Pada waktu dulu orang Sangir di Pulau Sangir menyeberang ke suatu daerah kosong yang belum ada manusia lainnya, daerah itu dikenal dengan Bitung yang kemudian mereka tempati jadi daerah huniannya. Belakangan baru diketahui daerah tersebut merupakan wilayah dari suku Minahasa. Namun demikian tetap orang Sangir yang menemukannya dan oleh 106
karena itu orang Sangir dianggap sebagai komunitas lokal di wilayah tersebut. Pada saat itu lahan yang ditempati orang Sangir pemula di wilayah tersebut bisa sesuka hati ditentukan menjadi lahan miliknya. Kondisi demikian terjadi karena pada waktu itu daerah tersebut belum banyak penghuni, sehingga setiap orang dapat mengatakan lahan yang ada adalah miliknya. Dengan bertambahnya penghuni dan sudah ada keteraturan dalam pemerintahan daerah itu, maka setiap orang harus mempunyai tanda atau surat pemilikan lahan dari pemerintah setempat (surat dari desa/kepala desa/lurah). Dengan semakin banyak pendatang kepemilikan lahan diatur oleh pemerintah daerah tingkat kota ke dalam surat sertifikat tanah. Lahan yang telah dimiliki oleh warga atau masyarakat komunitas lokal itu, disosialisasikan kepada generasi penerusnya untuk diketahui dan dipelihara dengan baik. Untuk mewariskan tanah yang dimiliki kepada keturunannya, komunitas lokal Sangir biasa membagi secara adil kepada anak perempuan maupun lakilaki. Dengan maksud mencegah terjadinya perselisihan di antara keluarga. Kecuali bila diantara anaknya ada yang mengalami kesulitan yang berarti, orang tua akan memberikan warisan tanah/harta itu kepada bersangkutan lebih dari yang lain setelah dimusyawarahkan dahulu. Komunitas lokal daerah Bitung umumnya atau khususnya di wilayah Kelurahan Pateten di bawah Kecamatan Bitung Timur, juga hidup berdampingan dengan komunitas sukubangsa lainnya yang merupakan pendatang. Mereka membaur satu sama lain di lokasi hunian tersebut dengan tidak membentuk suatu pengelompokan kesukubangsaan. Seolah-olah daerah tersebut menggambarkan Indonesia mini yang penghuninya terdiri dari berbagai komunitas sukubangsa yang tentunya di luar suku Sangir. Mereka selain berasal dari Kepulauan Sulawesi, seperti Minahasa, Gorontalo, juga dijumpai komunitas sukubangsa Bugis Makassar, Ambon, Jawa, Madura, Cina, Batak, dan Padang. Antara mereka memiliki ciri pembeda sebagai wujud dari batas kesukubangsaannya. Misal dalam bahasa, perilaku khas, tradisi. Namun demikian batas kesukubangsaan yang dimiliki masing-masing komunitas sukubangsa tersebut, bukan menjadi batas mereka untuk 107
berhubungan satu sama lainnya. Hubungan ketetanggaan, dalam arti komunitas lokal Sangir dengan tetangganya dari berbagai suku lain dalam suatu lingkungan dapat sangat baik dan harmonisasi. Artinya saling menghargai, toleransi, dan hubungan resiprositas antar mereka selalu terwujud, antara lain dengan bentuk saling berkirim makanan dalam peristiwa khusus. Kalau dilihat secara agama orang Sangir komunitas lokal di Kota Bitung atau khususnya di Kelurahan Pateten, tentu awalnya tidak lepas dari kepercayaan lama yang ada sebelum masuknya agama Kristen dan Islam ke Pulau Siau (Sangir). Kepercayaan lama mereka itu tidak berbeda dengan masyarakat lainnya, yakni sistem kepercayaan yang mengenal adanya kekuatan supranatural atau kekuatan gaib dalam kehidupannya. Hingga kini kepercayaan demikian masih hidup tetapi yang tidak logis sudah dihilangkan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka berbagai upacara adat masih mereka lakukan dan selalu berorientasi pada sistem kepercayaan yang mereka anut saat ini. Oleh karena itu dengan telah memeluk agama Kristen dan Islam orang Sangir tersebut, maka upacara adat disesuaikan dengan tatacara agama Islam atau Kristen yang berlaku di lingkungannya tersebut. Biasanya upacara adat tersebut dilakukan dengan cara yang cukup sederhana. Upacara yang biasa dilakukan misalnya berkaitan dengan lingkaran hidup manusia yakni perkawinan, dan kematian. Selain upacara tersebut ada upacara adat atau tradisi lainnya yang cukup menarik, yakni upacara tolak tahun/meninggalkan tahun lama dan menyambut datangnya tahun yang baru biasa disebut dengan upacara tulude yang waktu pelaksanaan upacara dilakukan setiap tanggal 31 Januari. Upacara tulude tersebut mempunyai makna bahwa dalam melepas tahun yang lalu harus dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan memberikan hasil bumi melimpah, dan menyambut datangnya tahun baru dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar berkenan memberikan hasil bumi yang lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. Upacara tulude ini awalnya dilakukan secara bersama dalam kelompok masyarakat tingkat wilayah permukiman lingkungan komunitas Sangir, yang biasa dipimpin oleh seorang ketua adat. Namun pada perkembangan kemudian upacara tulude ini sangat 108
dirasakan maknanya dan cukup berpengaruh pada masyarakat lebih luas. Berkaitan dengan itu upacara tulude kemudian dilakukan oleh seluruh masyarakat Kota Bitung secara bersama-sama, yang artinya upacara tulude bukan lagi dilakukan oleh orang Sangir saja tetapi juga warga masyarakat suku lainnya, dan berdasarkan instruksi Walikota Bitung. Oleh karena itu kemudian upacara tulude dilaksanakan secara besar-besaran oleh Pemerintah Daerah Kota Bitung, sebagai kalender event tetap setiap tanggal 31 Januari. Upacara tulude yang dilaksanakan secara besar-besaran dengan melibatkan semua anggota masyarakat Bitung sudah berlangsung selama delapan tahun berturut-turut. Peristiwa ini dipimpin langsung oleh pejabat pemerintah yang didampingi oleh tokoh adat komunitas Sangir, yakni Liemenhard Maliogha yang kerap dipanggil dengan Ari (artinya kakak dalam bahasa Sangir). Dalam berlangsungnya upacara sebagai tokoh adat, Ari akan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, kemudian memotong kue temoe11 diserahkan kepada pemimpin daerah tersebut (walikota) sambil berkata jaga daerah ini baik-baik yang berarti adalah Indonesia. Dalam pelaksanaan upacara tulude tersebut, selalu ditampilkan berbagai kesenian Orang Sangir. Antara lain kesenian ma’samper, yakni semacam nyanyian atau berpantun dengan syairsyair khusus dan dilakukan oleh kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Selain kesenian ma’samper, juga ditampilkan tari empat wayer yang dilakukan oleh empat orang penari (laki-laki atau perempuan) dengan cara berpegangan tangan menyerupai sebuah kapal terbang. Sementara itu ditampilkan pula tarian khusus untuk menyambut tamu, yang disebut dengan tarian gunde diiringi alat musik tagonggong (sejenis gendang). Kedua jenis tarian tersebut bisa berlangsung selama beberapa jam tanpa berhenti. 11
semacam tumpeng (berbentuk kerucut) terbuat dari ketan/dodol yang dilengkapi rangkaian buah dan hasil bumi dan diatas kerucutnya ditancapkan bendera merah putih dalam ukuran kecil sebagai simbol NKRI.
109
Selain diikuti oleh para pejabat pemerintah dan tokoh adat, upacara tulude juga diikuti oleh seluruh komunitas atau masyarakat Kota Bitung baik masyarakat lokal Sangir maupun masyarakat pendatang suku lainnya. Pada kesempatan itu selain ditampilkan adat/tradisi Sangir, juga ditampilkan berbagai kesenian daerah lainnya. Pakaian adat kebesaran Sangir hanya dikenakan oleh tokoh adat atau pejabat penting saja. Sedangkan panggung acara akan diberi hiasan janur (daun pohon aren). Upacara tulude yang kini menjadi kalender event pemerintah Kota Bitung, selalu diselenggarakan dengan mengusung tradisi sukubangsa Sangir. Namun demikian seluruh benda-benda yang menjadi kelengkapan upacara tidak lagi sepenuhnya berasal dari budaya sukubangsa Sangir. Ini disebabkan selain perkembangan zaman yang mengubah tatanan kehidupan tradisional, juga tinggalan budaya berupa benda-benda pusaka kini sudah jarang ditemukan. Oleh karena itu setiap upacara tulude dilaksanakan, yang ditampilkan adalah perlengkapan upacara yang mendukung simbol persatuan/kebangsaan seperti kue tamoe yang disebutkan tadi. Dalam upacara tulude tersebut sebagian besar rakyat Kota Bitung turut serta merayakannya dengan bersama-sama datang ke tempat pelaksanaan upacara yang biasa berlangsung di lingkungan kantor walikota. Mereka baik laki-laki maupun perempuan ada yang menjadi peserta upacara sesuai dengan kontribusinya, dan menjadi penonton upacara yang meramaikan upacara tersebut. Tidak ketinggalan remaja dan anak-anak selalu ada untuk menyaksikan upacara itu. Mereka satu keluarga atau satu kerabat bisa terjadi ada di lingkungan pelaksanaan upacara untuk menyaksikan atau menjadi peserta upacara tulude itu. Satu kerabat menyaksikan atau menjadi peserta upacara tulude bagi orang Sangir suatu yang biasa. Hubungan antar kerabat pada komunitas Sangir ini memang cukup akrab, mungkin berkaitan dengan prinsip/sistem kekerabatan yang mereka anut, yakni mengenal prinsip kekerabatan bilateral. Prinsip kekerabatan bilateral yang mereka anut ini, berarti menghitung hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki maupun perempuan yang bersifat hubungan darah dan perkawinan. Dengan prinsip kekerabatannya demikian, pola permukiman yang dilakukan setelah 110
menikah bisa menetap pada keluarga pihak isteri/perempuan maupun pada keluarga pihak suami/laki-laki. Pada masa lalu pola demikian selalu dijalankan oleh pasangan penganten baru, bisa untuk tinggal selamanya atau sementara sampai waktunya mereka bisa mandiri. Kalau saat kini pola demikian dilakukan hanya bersifat sementara dan sebentar sampai mereka memiliki rumah sendiri atau mampu untuk mengontrak rumah, atau hanya menetap beberapa lama untuk mengikuti tradisi dan kemudian ke luar dari rumah kerabat tinggal di rumah sendiri baik di rumah kontrakan atau rumah yang dibangun sendiri. Biasanya bila telah ke luar dari rumah kerabat dan kemudian tinggal di rumah sendiri (kontrak atau membangun), mereka akan tinggal di lingkungan permukiman yang tidak jauh dari tempat tinggal semula. Artinya mereka pasangan baru tetap berusaha mengelompok tinggal dengan kerabatnya meskipun tidak selalu dalam satu rumah. Kondisi ini masih bisa berlangsung kalau lahan/rumah ada yang memungkinkan untuk dibangun atau ditempati. Kalau tidak mereka akan mencari lokasi permukiman lain yang tentu tidak terlalu jauh dengan lingkungan permukiman kerabatnya. Bisa diartikan pola permukiman yang dikenal pada komunitas Sangir adalah mengelompok padat/saling berdekatan. Mereka terbentuk dalam keluarga batih, yakni terdiri dari ibu, ayah dan anak-anaknya. Sebelum membentuk keluarga batih masih tinggal dalam satu rumah dengan pihak keluarga isteri atau pihak keluarga suami (nuclear family/keluarga luas). Dalam kehidupan keluarga orang Sangir, awalnya keluarga yang terbentuk adalah keluarga luas. Kepala keluarga biasa dipanggil dengan sebutan Bu. Papa atau Usi. Kekuasaan seorang kepala keluarga (ayah) adalah mutlak, dan semua perintahnya wajib dipatuhi oleh anggota seluruh keluarga (isteri, dan anak-anak). Berkaitan dengan hal tersebut maka ayah sebagai kepala keluarga menentukan sistem pewarisan harta pusaka atau lainnya yang diberlakukan kepada anak-anaknya berdasarkan prinsip keadilan. Pada sebagian orang Sangir sikap adil harus dipertahankan dalam keluarga agar tidak terjadi konflik. Oleh karena itu jika orang tua mewariskan harta benda atau pusaka kepada anaknya, maka setiap anak baik yang laki-laki maupun perempuan akan memperoleh 111
bagian yang sama, sehingga antara satu dengan yang lain tidak menimbulkan kecemburuan yang bisa menjadi dasar dari konflik. Dalam adat perkawinannya orang Sangir mempunyai kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya, artinya diperbolehkan menikah dengan sukubangsa lain (eksogami). Namun demikian secara adat ada ketentuan, yakni pernikahan yang ideal adalah dengan pasangan yang berasal dari golongan atau derajat yang sama. Perkawinan dengan kerabat bisa saja terjadi apabila sudah melewati lebih dari empat keturunan/generasi, karena ikatan kekerabatan demikian dianggap sudah jauh, misalnya pada keturunan/generasi kelima yang disebut pulung su laede. Sementara itu perkawinan yang dilarang atau sumbang adalah, lakilaki/perempuan/bersaudara cicit, laki-laki dan perempuan bersaudara yang berada dalam keturunan ketiga. Jika terjadi pelanggaran (tabo incest), si pelanggar tadi akan dikenakan sangsi/hukuman dengan membayar denda dalam jumlah yang sangat tinggi (salahoko), atau dikucilkan (iwembang). Pada zaman dahulu jika terjadi tabu incest, si pelanggar akan ditenggelamkan ke sungai atau ke laut sampai meninggal. Bagi orang Sangir adat atau tradisi yang mereka miliki itu adalah acuan atau pedomannya dalam menjalankan hidup. Oleh karena itulah hingga kini adat atau tradisinya masih dipertahankan, yang dapat terwujud dalam berbagai aspek kehidupannya. Seperti dalam penyelesaian berbagai sengketa yang terjadi, biasanya diselesaikan dulu secara adat atau tradisi yang berlaku. Biasanya tokoh adat sangat berperan dalam menanganinya karena ia cukup disegani oleh warga komunitas bersangkutan dan ia akan menyelesaikannya secara adat di mana ada aturan-aturan tertentu yang harus diberlakukan bagi yang dianggap bersalah atau semacam sanksi adat. Bila cara ini tidak bisa diterima atau masingmasing pihak yang bersengketa merasa tidak puas atau menganggap cara adat kurang pas, tokoh adat akan berdialog dulu dengan yang bersangkutan dan kemudian bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut kepada polisi yang berwenang untuk diselesaikan secara hukum positif. Namun demikian biasanya komunitas Sangir yang mengalami sengketa lebih memilih cara adat daripada hukum positif, karena adat yang mereka miliki dianggap masih relevan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 112
2. Ruang Publik Dalam interaksi Kota Bitung yang membawahi beberapa daerah administratif (salah satunya Kelurahan Pateten I sebagai fokus daerah penelitian), adalah sebuah wilayah yang berkembang dengan pesat. Perkembangan pembangunan wilayah juga terjadi karena Kota Bitung merupakan kota pelabuhan yang disinggahi oleh banyak kapal penumpang antar pulau, maupun kapal barang/nelayan yang datang dari Negara Taiwan, Korea, Philipina, dan Singapura. Oleh karena itu, bebagai fasilitas dan sarana yang mendukung majunya sebuah wilayah pelabuhan cukup tersedia. Pasar tradisional berada di pusat kota, bahkan kini telah dibangun dua buah supermarket untuk memenuhi kebutuhan warga dan pendatang. Tidak jauh dari pasar tradisional, berjejer toko-toko yang menjual berbagai barang komoditi. Letak pertokoan ada di tepi jalan raya dan memanjang hampir lima kilometer. Sementara itu ruang publik yang biasa disinggahi penduduk setempat dan pendatang dibuka mulai pukul 7 malam hingga dinihari berada di Pasar Tua. Di tempat tersebut berjejer rumah makan, warung kopi sampai diskotik kelas kaki lima. Setiap malam tempat tersebut selalu hingar bingar oleh suara musik, klakson mobil dan para penjaja makanan. Adapun terminal berada agak ke luar kota. Di terminal tersedia berbagai angkutan umum yang akan mengantar penumpang ke berbagai tujuan di wilayah Bitung atau luar kota hingga ke Manado dan sebagainya. Sebagai tempat yang dikunjungi semua lapisan masyarakat, di tempat tadi tersedia berbagai sarana seperti tempat parkir motor, mobil lengkap dengan petugasnya. Petugas pemungut retribusi dari para pedagang, pos penjagaan dan tempat khusus untuk makan dan minum, sekaligus pertemuan resmi dan tidak resmi. Khusus kota Bitung, sebagai kota pelabuhan yang selalu disinggahi oleh pelaut-pelaut asing tidak dapat dipungkiri jika kemudian hadir tempat transaksi seks, baik yang terselubung maupun terangterangan. Di salah satu jalan (Jalan Samrat) menjadi daerah tempat transaksi seks. Pub dan diskotik berjejer sepanjang jalan tersebut. Siang hari Jalan.Samrat sebenarnya menjadi tempat penjualan baju bekas yang terbilang besar dan ramai, namun jika malam tiba akan berubah seketika menjadi bursa seks. 113
Pasar tradisional yang ada di Kota Bitung khusus di Kelurahan Pateten I, umumnya dikuasai secara ekonomi oleh warga yang berasal dari sukubangsa Gorontalo. Mereka menguasai kehidupan pasar melalui perdagangan komoditi sayur-sayuran, perikanan, dan rumah makan. Sementara itu orang Jawa umumnya menjadi pelaku perdagangan dalam skala kecil yakni menjadi pedagang bakso, mie ayam yang dijajakan secara berkeliling atau menggunakan roda yang diletakkan di depan warungnya. Orang Cina menguasai perdagangan komoditi besar seperti perikanan, logam mulia/emas. Sedangkan sopir angkutan umum dikuasai oleh orang Gorontalo dan Makassar. Setiap komoditi yang diperjualbelikan di pasar atau toko, pada umumnya didatangkan dari luar Kota Bitung seperti Manado, Makassar. Perlengkapan usaha perikanan didatangkan dari negara luar seperti Taiwan, Korea dan Jepang. Sedangkan peralatan rumahtangga konon didatangkan dari Philipina. Sebagai kota pelabuhan yang menghasilkan komoditi perikanan secara besar, Kota Bitung sesungguhnya memiliki peluang untuk menjadi penyedia ikan dalam skala besar yang kemudian dijual ke negara lain setelah diolah terlebih dahulu. Pengusaha pengalengan ikan yang ada di Kota Bitung selain dimliki oleh orang Bitung atau Minahasa, juga ada diantaranya menjalin kerjasama dengan negara lain dengan mempekerjakan tenaga buruh dari Kota Bitung dan sekitarnya. Penduduk Kelurahan Pateten I Kota Bitung, mempunyai pekerjaan sebagai PNS, sektor swasta, nelayan atau petani. Selain itu ada pengusaha pemilik kapal modern. Sementara itu para nelayan menjual ikan hasil tangkapannya langsung di pelelangan, tanpa harus melalui perantara atau broker. Demikian juga mereka yang bekerja sebagai petani (dengan jenis tanaman palawija (umbiumbian, pisang, sayur-sayuran), dan juga kelapa. Petani akan menjual hasil panennya langsung ke pasar, atau kepada tengkulak yang kadang-kadang datang ke kebunnya. Peran pemasok hampir tidak ada dalam kehidupan ekonomi di Kelurahan Pateten I, karena mereka bekerja secara mandiri. Sementara itu untuk urusan pengadaan modal akan dibantu oleh Koperasi Unit Desa atau Bank Perkreditan Rakyat, bahkan kredit yang dikelola oleh perorangan. 114
Dalam kehidupan sosialnya penduduk Kelurahan Pateten I Kota Bitung (khusus orang Sangir) dapat berinteraksi secara baik dengan sesama warga. Mereka dapat membicarakan apa saja, baik ekonomi, sosial maupun politik. Biasanya pembicaraan itu bisa berlangsung di warung makan atau warung kopi antarsesama pengunjung, di pasar antar sesama pedagang. Pembicaraan ekonomi tidak lepas dari masalah pekerjaan dan harga barang yang semakin tinggi. Sedangkan masalah sosial sering menjadi pembicaraan berkaitan dengan pekerja seks komersial yang semakin menjamur dan wilayah pelacuran yang tidak dilokalisasi menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan masyarakat dalam suatu ruang publik tertentu, misal di tempat mereka sedang berkumpul atau lainnya. Sementara itu masalah politik juga menjadi perbincangan masyarakat namun tidak secara ekstrim dibicarakan. Biasanya mereka hanya membicarakan pemilihan walikota Bitung mendatang dengan harapan tetap walikota yang lama. Simbol-simbol politik dalam berinteraksi oleh yang berkepentingan tidak pernah dimunculkan. Hanya pada waktu tertentu simbol politik akan dimunculkan yang biasanya terjadi pada waktu berlangsungnya kampanye Pilkada, diwujudkan dalam bentuk gambar tokoh yang akan menjadi calon pemimpin. Warga dengan arahan para ketua lingkungan sangat menjaga agar tidak ada sentuhan politik yang mengganggu kehidupannya yang sarat dengan keanekaragaman kultur. Demikian juga peranan pimpinan umat beragama (pendeta, imam, penghulu) sangat besar dalam memimpin umatnya untuk menjaga kerukunan, melalui cara saling menjaga keamanan pada saat hari-hari besar keagamaan (Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Natal). Demikian pula isi khotbah tidak pernah memprofokasi umat, bahkan sedapat mungkin bisa menyadarkan umat akan kerugian akibat konflik di daerah lain seperti di Poso. Kota Bitung yang merupakan kota pelabuhan berbatasan dengan negara lain, memiliki banyak ruang publik dan sudah tentu ruang publik tersebut dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat. Seperti di rumah makan, warung, toko atau balai-balai pertemuan itulah warga biasa memperbincangkan berbagai masalah atau topik yang menarik minatnya. Juga di ruang-ruang tersebut masyarakat dapat memperoleh berbagai informasi yang 115
belum diketahui sebelumnya. Dengan demikian bagi masyarakat ruang publik dapat menjadi arena dalam memperkaya atau menambah wawasan pengetahuan. Sebagai wilayah yang multikultur, kepemimpinan di kelurahan Pateten wilayah Kota Bitung ini umumnya dipegang oleh komunitas Sangir yang merupakan komunitas lokal. Terjadinya kepemimpinan yang dipegang oleh orang Sangir tersebut bukan karena konvensi, tetapi terjadi begitu saja. Terwujud dalam kepemimpinan secara adat maupun kepemimpinan formal, namun demikian terdapat pembagian kepemimpinan dengan melibatkan warga dari berbagai komunitas sukubangsa. Di berbagai aspek kehidupan akan dijumpai warga dari berbagai komunitas sukubanga yang menduduki tempat sebagai pimpinan. Sesuai dengan motto Provinsi Sulawesi Utara yakni Torang samua basudara yang kemudian dijabarkan dalam berbagai keputusan daerah, berimplikasi kepada sikap warganya yang selalu mendukung kerukunan dalam berbagai kehidupan sosial. Berkaitan dengan hal ini pula maka upacara Tulude diikuti semua warga Bitung dari semua sukubangsa yang ada, sebagai wujud kerukunan satu kesatuan masyarakat Kota Bitung. Berbagai sisi kehidupan yang dijalankan warga Kota Bitung (khusus warga Kelurahan Pateten I komunitas Sangir) merupakan dinamika kehidupannya. Namun demikian sektor ekonomi menjadi faktor yang dominan bagi semua lapisan masyarakat dan sering menjadi pembicaraan atau perbincangan umum. Dimana kini sebagian kalangan muda Sangir, mempunyai orientasi kerja nelayan di kapal-kapal asing yang dianggap dapat memperoleh penghasilan tinggi. Padahal kalau disimak ada fenomena/gejala sistem penggajian yang dirasakan timpang dalam kehidupan buruh di kapal-kapal asing. Diketahui masyarakat bahwa warga Bitung yang bekerja sebagai buruh nelayan di kapal asing memperoleh gajih/upah yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam upah ketenagakerjaan Internasional. Kondisi ini telah disampaikan kepada pihak pemda terkait yakni Dinas Tenagakerja untuk dapat menanganinya. Hingga kini permasalahan ini belum dapat diselesaikan, karena penanganan standarisasi upah buruh nelayan kapal asing banyak jaringan yang harus dilalui, yakni mediator 116
pemasok tenaga kerja nelayan setempat dan di pusat serta lainnya yang berkecimpung dengan ketenagakerjaan tersebut. Berkaitan dengan masalah ekonomi itu juga warga atau masyarakat yang bekerja sebagai nelayan ataupun petani sering mempermasalahkan cuaca yang sangat mempengaruhi pekerjaan mereka di laut ataupun di bidang pertanian. Kondisi demikian mereka selesaikan dengan cara menunggu cuaca baik dengan mencari informasi dari media cetak atau elektronik (tv dan radio), atau mencari hubungan dengan mereka yang cukup paham akan cuaca dan biasanya adalah orang tua yang paham pengetahuan tradisional tentang cuaca (kearifan lokal). Orang tua ini bagi mereka (orang Sangir) dianggap sebagai orang yang cukup paham dengan adat budaya atau tradisinya, sehingga seringkali menjadi tempat bertanya dan penyelesaian masalah (ekonomi) yang sedang dihadapi. Tidak hanya itu orang tua tersebut juga seringkali menjadi tumpuan bertanya masyarakat akan masalah yang berkaitan dengan agama atau politik. Dalam hal agama sesuai dengan agama yang dianut masing-masing warga, orang tua yang dimaksud bisa alim ulama/ustadz atau pendeta/pastor yang dapat memberi wejangannya sebagai pemimpin agamanya. Biasanya wejangan agama tersebut dapat mereka peroleh melalui interaksi yang terjadi di masjid/mushollah atau gereja. Seperti diketahui di Kelurahan Pateten I Kota Bitung terdapat berbagai agama, antara lain agama Islam, Kristen Katholik dan Protestan yang masing–masing dianut oleh umatnya dengan cukup taat. Komunitas lokal orang Sangir sebagian beragama Islam dan sebagian beragama Nasrani (Kristen). Keimanan mereka itu diwujudkan dalam tempat peribatannya masing-masing, di masjid untuk penganut Islam atau di gereja untuk penganut Kristen. Bagi orang Sangir yang beragama Islam, mereka dapat beribadat di masjid manapun yang ingin ia datangi. Karena masjid tidak milik golongan/kelompok atau suku bangsa tertentu, masjid adalah milik umat Islam. Oleh karena itulah masjid juga menjadi tempat berinteraksi antara mereka sesama muslim dari sukubangsa manapun..Demikian pula dengan gereja juga bukan milik golongan/kelompok atau suku bangsa tertentu, tetapi milik penganut Nasrani. Sehingga seringkali gereja juga menjadi tempat 117
berinteraksi antara sesama penganut agama Nasrani dari berbagai sukubangsa manapun. Dalam kondisi demikian atau dalam beribadat sesuai agama masing-masing, memberi kesan seolah-olah terjadi pengelompokan warga Kota Bitung khusus di Kelurahan Pateten I dalam hal keagamaan. Di mana antar mereka yang satu agama saling bergaul atau menjalin hubungan sosial yang baik di dalam masjid/gereja dan diteruskan atau berlanjut di luar masjid/gereja. Malah antar mereka yang berbeda agama maupun yang berbeda suku selalu mewujudkan hubungan yang harmonis, sehingga khususnya di Kelurahan Pateten I Kecamatan Bitung Timur, Kota Bitung warganya selalu hidup rukun dan saling tolong-menolong. Kondisi ini tercipta karena tiap umat/warga saling menghargai dan menghormati perbedaan dalam keyakinan maupun sukubangsa. Dengan demikian meskipun warga Kota Bitung (khusus warga Kelurahan Pateten I) merupakan warga yang tidak lepas dari masuknya pengaruh-pengaruh asing melalui interaksi yang mereka alami, kehidupan kemasyarakatan yang mereka jalankan tidak terlalu mengalami perubahan seperti terwujud saat ini. Sebenarnya pengelompokan sosial dalam kehidupan warga di Kota Bitung dapat berlangsung di tempat atau ruang tertentu. Biasanya terwujud dalam ruang atau tempat perkumpulan/ paguyuban yang berdasarkan daerah asal atau sukubangsa. Di perkumpulan daerah asal/sukubangsa itulah mereka dapat mengekpresikan kesukubangsaannya atau jatidirinya sebagai sukubangsa tertentu secara total. Seperti perkumpulan yang berlatarbelakang dari suku bangsa Sangir dan Talaud, yang bernama P2IHSAT (Ikatan Keluarga Sitaro, Sangihe, Talaud). Dalam perkumpulan ini mereka yang berasal dari sukubangsa tersebut, dapat menjadi anggota dan mengikuti kegiatan kedaerahan yang biasa dilakukan. Begitu juga dengan warga dari suku lainnya dapat mengelompok pada perkumpulan kedaerahan/ kesukubangsaannya yang ada di wilayah Kota Bitumg 3. Simbol identitas dalam proses sosial Komunitas lokal atau penduduk asal di Bitung yang merupakan orang Sangir ini, adalah komunitas yang awal 118
mendatangi atau menempati wilayah Bitung. Artinya merekalah pembuka awal wilayah Bitung tersebut meskipun daerah itu bukan merupakan bagian atau milik dari sukubangsa atau komunitasnya. Oleh karena mereka sebagai pembuka dan penghuni awal daerah tersebut, maka orang Sangir dianggap sebagai komunitas asal/asli daerah setempat. Mereka menjadi masyarakat /penduduk /komunitas yang mayoritas di Kota Bitung tersebut..Sebagian besar dari mereka mempunyai mata pencahaian sebagai nelayan, dan sebagian kecil mempunyai matapencaharian sebagai petani, menjadi Pegawai Negeri Sipil, swasta dan bergerak di bidang jasa. Orang Sangir yang sebagian besar bermatapencaharian pokok sebagai nelayan itu, biasanya terdiri dari nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah pemilik modal, yang artinya sebagai pemilik kapal dan biaya, serta memiliki pekerja (buruh). Sedangkan nelayan buruh, adalah mereka yang bekerja menangkap ikan atau anak buah /pekerja dari nelayan pemilik. Sebagai nelayan pemilik biasanya ia juga menjadi pemimpin dalam pekerjaan menangkap ikan dan penjualan ikan. Dalam urusan matapencahariannya itu selalu terjadi hubungan kerja antara pemimpin dengan para pekerja-pekerjanya atau anak buah/buruh nelayan. Terjadi bentuk hubungan antara majikan dan buruh yang saling timbal balik. Majikan (nelayan pemilik) sangat membutuhkan pekerja-pekerja penangkap ikan dan pekerja-pekerja itu membutuhkan majikan karena yang akan memberikan upah (perlindungan ekonomi). Hubungan ini terkesan memunculkan hubungan saling ketergantungan, artinya buruh bergantung secara ekonomi kepada majikan (nelayan pemilik) dan nelayan pemilik juga bergantung kepada buruh untuk menjalankan perekonomiannya. Bentuk hubungan patron klien juga dapat muncul antara buruh dan majikan tersebut, karena buruh mendapat perlindungan ekonomi dari majikan dan majikan mendapat perlindungan jasa dari buruh. Artinya buruh akan dapat terbantu ekonominya oleh majikan (pada saat situasional buruh dapat meminjam uang pada majikannya), dan majikan terbantu dengan jasa yang diberikan buruh tersebut. . Hubungan dengan pemasok ikan dengan nelayan penangkap ikan (majikan maupun buruh) juga terjadi. Biasanya berkaitan dengan pendistribusian atau pemasaran ikan yang telah ditangkap itu. Para pemasok ikan akan mendatangi tempat 119
penjualan ikan atau langsung ke pelabuhan ketika kapal nelayan mengeluarkan ikan-ikan yang ditangkap. Di tempat penjualan ikan atau di pelabuhan itulah terjadi transaksi jual beli antara pemasok sebagai konsumen besar dan nelayan pemilik. Sebenanya prosesnya tidak sesederhana ini, banyak aturan yang harus dilakukan kedua belah pihak. Setelah ikan diperoleh pemasok, kemudian ikan-ikan tersebut didistribusikannya kepada pedagang besar maupun kecil. Dari para pedagang inilah. Ikan-ikan tersebut akan sampai kepada konsumen pemakan ikan atau konsumen penjual makanan ikan. Ikan yang selalu ditangkap atau dihasilkan oleh para nelayan Bitung ini cukup banyak atau dalam jumlah besar. Oleh karena itulah tidak mengherankan bila di daerah Bitung ini cukup dikenal dengan makanan ikannya, karena daerah penghasil ikan dan banyak orang yang suka ikan. Sebagai akibatnya warung makan yang menyajikan ikan bertebaran di daerah Bitung. Bagi warga Bitung (khusus orang Sangir), ikan menjadi lauk utama yang selalu disajikan dalam makanan keluarga. Artinya ikan sering menjadi lauk utama mereka yang disajikan dalam berbagai macam menu. Warung makan atau rumah makan yang khusus menyajikan ikan itu selalu ramai dikunjungi pembeli terutama mereka yang gemar dengan panganan ikan laut. Berkaitan dengan ikan sering menjadi lauk utama orang Sangir, sengaja atau tidak sengaja mereka (orang Sangir) menjadi pelanggan pedagang ikan. Sebagai pembeli ikan dengan penjual ikan terjadi hubungan yang baik, meskipun mereka berbeda sukubangsa. Namun demikian tidak terjadi hubungan yang spesifik antara mereka.. Hubungan yang terjalin hanya sebagai pembeli/pelanggan dan penjual. Penjual ikan itu selalu menyediakan/menyiapkan ikan yang sering dibeli konsumen pelanggan tersebut. Orang Sangir yang sebagian besar pengkonsumsi ikan tersebut, menyadari ikan makanan/lauk yang cukup sehat untuk tubuh. Apalagi agama yang mereka anut membolehkannya untuk mengkonsumsi ikan. Agama yang dianut sebagian besar orang Sangir itu, adalah agama Nasrani (Kristen Khatolik dan Kristen Protestan). Namun demikian orang Sangir yang menganut agama Islam juga ada. Hanya berjumlah relatif lebih kecil atau hanya sebagian kecil orang Sangir yang menganut agama Islam. 120
Meskipun berbeda agama, tetapi antar mereka tetap merupakan kesatuan dan menjalin persaudaraan sebagai sesama orang Sangir. Oleh karena itu pula dalam peristiwa hari-hari besar agama Kristen dan Islam, antara mereka saling menghormati, menghargai, bahkan berperanserta. Bila sedang berlangsung Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, maka orang Sangir dan juga komunitas pendatang yang beragama Kristen bersama-sama menjaga keamanan lingkungan (khususnya di Kelurahan Pateten I Bitung). Mereka sengaja menjaga lingkungan tetap aman, agar penganut agama Islam dapat menjalankan ibadahnya dengan tenang. Begitu sebaliknya bila Hari Raya Natal dan Paskah agama Kristen tiba, maka orang Sangir dan pendatang yang beragama Islam akan sama-sama menjaga lingkungannya agar situasi dan kondisi selalu aman. Kondisi demikian menggambarkan bahwa hubungan antar umat berbeda agama sangat baik. Sehingga aktivitas keagamaan yang dilakukan oleh para penganut agama-agama tersebut selalu dapat berjalan baik. Bahkan selalu mendapat dukungan secara moril maupun materil. Antara lain terwujud dalam pembangunan dan penjagaan masjid atau gereja, pihak penganut agama yang berbeda tidak segan-segan untuk memberi bantuannya. Bila ada kedukaan yang dialami masing-masing penganut agama yang berbeda itu (Kristen dan Islam), biasanya masing- selalu dapat berperanserta pada keluarga yang berduka. Perilaku yang diterapkan orang Sangir yang saling berbeda agama tersebut, sebenarnya tidak lepas dari kepemimpinan penganut agama Kristen maupun Islam yang masing-masing dipimpin oleh orang yang sangat konsisten dan memegang komitmen untuk selalu menjaga keharmonisan. Selain aktivitas keagamaan berlangsung di gereja atau masjid, banyak pula kegiatan lainnya yang dilakukan oleh kalangan tua maupun remaja yang tergabung dalam suatu organisasi keagamaan, seperti GEMIM (Kristen) maupun Majelis Taklim (Islam). Berkaitan dengan hal tersebut dalam berbagai peristiwa keagamaan yang mereka lakukan, umat yang berbeda keyakinan tesebut melalui organisasinya selalu saling menjaga dan mengamankan acara secara bergantian. Nampaknya sistem resiprositas antar umat yang berbeda berjalan dengan baik, artinya masing-masing saling memberi dan menerima. 121
Berbeda agama dan berada dalam satu sukubangsa bagi orang Sangir bukan masalah, yang penting kehidupan sinergi harus dijaga dan berjalan baik. Demikian pula dengan yang berbeda sukubangsa dan agama, juga harus sinergi atau harmonisasi. Seperti terwujud di Kelurahan Pateten I Bitung, yang terdiri dari warga komunitas lokal Sangir dan warga pendatang beragam dari berbagai sukubangsa yang ada di Indonesia. Untuk menunjukkan kesatuannya, dalam kehidupan atau pergaulan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Namun demikian ada pula bahasa Melayu Manado yang juga dipahami dan dikuasai oleh sebagian besar lapisan masyarakat. Oleh karena itu seringkali dalam pergaulan sehari-hari, mereka juga biasa menggunakan bahasa Melayu Manado di samping bahasa Indonesia yang sudah tak asing lagi. Sedangkan dalam kehidupan keluarga atau dengan sesama suku biasanya mereka menggunakan bahasa daerah asal. Bahasa daerah tersebut biasa digunakan juga ketika salah satu sukubangsa melakukan kegiatan adat, misalnya upacara tradisional (perkawinan atau lainnya), tetapi untuk berbicara dengan para tamu atau para undangan (berbeda suku) bahasa Indonesia atau bahasa Melayu Manadolah yang biasa mereka gunakan. Kehidupan komunitas Sangir atau warga Kelurahan Pateten I Bitung tidak lepas dari struktur sosial yang ada. Artinya mereka mengacu pada struktur yang telah terbangun di Kelurahan Pateten I Kota Bitung, yakni administrasi pemerintahan secara umum berupa lapisan pimpinan formal yang diangkat oleh pemerintah ( lurah dan jajarannya). Tugas mereka adalah mengurus tata tertib dan administrasi kemasyarakatan, sosial, ekonomi dan pembangunan masyarakat. Di Kelurahan Pateten I Kota Bitung, fungsi-fungsi tersebut sudah berjalan dengan baik, bahkan Lurah sendiri setiap hari melakukan pengawasan untuk ketertiban masyarakat dengan berkeliling wilayahnya. Setiap pengurus lingkungan wajib melakukan pengawasan terhadap kebersihan wilayahnya, motto Budayakan kebersihan dan sehat lingkungan telah benar-benar diwujudkan di kelurahan ini. Setiap hari petugas kebersihan akan berkeliling untuk mengambil tumpukan sampah dari setiap rumah, hingga kebersihan sangat terjaga. Tidak heran jika Kota Bitung 122
secara keseluruhan sangat bersih dan rapi, serta penghargaan sebagai Kota Adipura memang pantas diperoleh. Dengan ketekunan pimpinan desa atau kelurahan dalam memperhatikan warga dan lingkungannya secara langsung, membuat warga termotivasi pula dan saling mendukung untuk dapat menjaga, memelihara lingkungan sosial maupun fisik di sekitarnya. Oleh karena itu antar warga tidak terjadi atau muncul persaingan maupun konflik dalam berbagai aktivitas baik sosial maupun ekonomi. Seperti diketahui wilayah Pateten I Kota Bitung selain dihuni oleh komunitas lokal Sangir juga dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah, sehingga menggambarkan bagaikan Indonesia mini. Mereka dalam bidang ekonomi mewujudkan berbagai pekerjaan dan usaha. Sebagian besar semua sektor pekerjaan bisa saja dimasuki setiap warga dari sukubangsa manapun. Namun demikian biasanya masing-masing sukubangsa memiliki spesifikasi bidang ekonomi yang dapat ditekuninya. Dengan demikian secara ekstrim persaingan tidak pernah terjadi, karena spesifikasi yang dimilikinya itu. Orang Jawa umumnya berusaha di sektor perdagangan riel seperti membuka warung makan, menjual bakso, atau makanan kecil lainnya. Orang Gorontalo menguasai hampir semua aspek perekonomian rakyat, dari perikanan, perdagangan di pasar. Sementara itu orang Sangir adalah nelayan yang ulet dan banyak yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal asing. Menurut keterangan lurah hingga saat ini tidak pernah terjadi konflik kepentingan antarkomunitas sukubangsa yang sama-sama hidup di Kota Bitung. Justru di kalangan pengusaha besar (pengusaha pengalengan ikan, minyak goreng) yang terjadi persaingan. Menurut warga Pateten I Kota Bitung khususnya komunitas lokal Sangir, pendatang yang ada di daerahnya baik pendatang dari luar daerah maupun pendatang dari luar negara dianggap sesuatu yang biasa saja. Artinya ada pendatang di sekitar lingkungannya bukan sesuatu yang mengganggu atau sesuatu yang penting. Malah merupakan sesuatu yang wajar bila mengingat Kota Bitung sebagai kota pelabuhan, sebagai tempat orang datang/singgah dan pergi dari berbagai penjuru. Mereka warga Kelurahan Pateten I Kota Bitung, sudah terbiasa bergaul dengan macam-macam suku. Bahkan dengan orang asing terutama pelaut dari Jepang, Korea, 123
Taiwan dan Phillipina merekapun biasa bergaul. Beberapa hotel yang ada di wilayah Kelurahan Pateten I Kota Bitung juga sudah biasa menerima tamu/pelaut dari negara-negara tadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Para pelaut tadi biasanya menginap tidak kurang dari satu atau dua bulan, menunggu kapal mereka doking atau dalam perbaikan. Warga tidak pernah mengusik keberadaan para tamu selama tidak mengganggu ketentraman lingkungannya. Bagi orang Sangir yang pelaku ekonomi, kedatangan pendatang luar negara ke daerahnya menjadi lahan ekonomi yang menguntungkan. Hotel-hotel yang mereka miliki penuh terisi dengan waktu lama dan harga tinggi. Toko-toko dan warung-warung makan milik mereka yang menjual berbagai kebutuhan dan aneka makanan tentu menjadi bertambah pembelinya. Bahkan kerjasama ekonomipun dapat mereka lakukan, terwujud dalam mencari tenaga kerja (ABK) untuk kapa-kapal asing. Biasanya dalam aktivitas ekonomi demikian, pelaku (pencari pekerja) akan mendatangi berbagai wilayah yang ada di Bitung dan menawarkan kepada anak-anak muda untuk menjadi nelayan di kapal asing dengan iming-iming peghasilan lebih tinggi dari nelayan lokal. Seringkali dengan peran pelaku ekonomi demikian, pekerja-pekerja yang dibutuhkan dapat diperoleh. Sementara itu pelaku pencari pekerja mendapat fee, dan biasanya menjadi jaringan kerja kapal asing dalam merekrut tenaga kerja. Adanya warga Bitung atau warga Kelurahan Pateten I yang bekerja sebagai nelayan atau anak buah kapal asing, kadangkala dipandang membawa dampak negatif terhadap kehidupan lingkungan masyarakat. Terutama dalam pergaulan yang bertentangan dengan norma masyarakat dan agama. Secara sadar atau tidak sadar pergaulan yang diperoleh di kapal asing itu mereka munculkan pula ketika berada di Bitung. Sehingga secara langsung atau tidak langsung pola pergaulan anak muda Bitung lainnya mendapat pengaruh. Oleh karena itulah para orang tua (khususnya orang Sangir) yang sangat paham dengan adat-istiadatnya, tidak selalu mendukung anak muda untuk bekerja di kapal asing. Apalagi mereka mengetahui pula warga yang bekerja di kapal asing itu, mendapat perlakuan finansial yang tidak benar. Artinya gaji atau upah yang mereka terima tidak sesuai dengan perjanjian berdasarkan aturan dari ILO, yakni 500 US. Biasanya mereka hanya 124
menerima upah sebesar Rp. 750.000,00, sisanya dinikmati oleh broker dan pengusaha setempat. Walaupun demikian masih banyak saja anak muda warga Bitung yang tertarik bekerja di kapal asing. Kedatangan warga asing yang cukup lama menetap di daerah Bitung, sengaja atau tidak telah memunculkan suatu pola perkawinan yang tidak umum yakni perkawinan kontrak. Menurut informasi umumnya mereka yang melakukan kawin kontrak itu adalah para perempuan muda yang ingin memperoleh kehidupan lebih baik. Artinya perkawinan itu berlandaskan ekonomi, dimana ada kesepakatan finansial antara perempuan yang akan kawin dengan laki-laki asing tersebut. Meskipun hanya menjadi isteri pekerja asing untuk beberapa bulan saja, kesannya perempuan muda yang berorientasi ekonomi cenderung tertarik untuk dapat menjadi isteri kontrak. Kalau memiliki nasib baik, menjadi isteri kontrak bisa berlanjut pada perkawinan sesungguhnya dan memiliki anak. Tidak menutup kemungkinan sang isteri dibawa ke negara suaminya yang orang asing itu. Biasanya hubungan dengan keluarganya di Bitung akan tetap terjaga melalui kunjungan atau telekomunikasi. Mereka akan tetap ingat identitas asalnya sebagai warga Kelurahan Pateten I Kota Bitung yang merupakan bagian dari Indonesia. Berkaitan dengan identitas tersebut sebagian besar warga Kota Bitung khususnya Kelurahan Pateten I orang Sangir, sangat konsen dengan jati dirinya sebagai suatu komunitas lokal dan bagian dari Indonesia. Begitu juga dengan pendatang yang beraneka ragam itu mereka juga cukup konsen dengan identitas daerah asalnya. Oleh karena itulah dalam kehidupan sosialnya, mereka selalu mengacu pada pola lokal atau tradisional dan nasional yang ada. Seperti dalam menghadapi masalah/persoalan kesukuan, biasanya tokoh adat dari tiap sukubangsa akan berperan sebagai mediator. Jika masalah tersebut secara adat/tradisional tidak bisa diselesaikan, pola nasional akan menjadi acuan. Artinya persoalan tersebut akan dibawa ke tingkat pemerintahan setempat secara berjenjang. Mulai dari tingkat Kelurahan, kecamatan dan seterusnya disesuaikan menurut hirarki yang berlaku. Dengan demikian ada dua sisi yang diperhatikan yakni, peranan adat dan pemerintahan. 125
Komunitas lokal Kelurahan Pateten I Bitung (orang sangir) telah hidup membaur dengan komunitas pendatang lainnya. Pada saat ini sebagian besar komunitas Sangir di Kelurahan Pateten I Kota Bitung secara fisik tidak terlalu nampak berbeda dengan masyarakat lainnya. Kondisi ini terwujud karena dalam pergaulan antar masyarakat berlaku sistem pergaulan nasional, yakni idiom atau simbol-simbol nasional selalu dipakai dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti dalam upacara perkawinan, pasangan pengantin akan mengenakan pakaian kebaya panjang dan jas yang merupakan busana nasional. Oleh karena itulah pakaian adat/tradisional orang Sangir kini tidak selalu dikenal oleh generasi mudanya. Biasanya mereka akan mengenal dan mengetahui hanya pada waktu peristiwa upacara tulude sebagai kegiatan nasional masyarakat Bitung, dimana pakaian adat Sangir dikenakan oleh para peserta upacara tersebut. Biasanya latar belakang etnisitas atau kesukubangsaan orang Sangir, akan nampak pada bahasa daerah yang mereka gunakan di lingkungan keluarga atau sesama sukubangsa. Namun demikian sebenarnya identitas sukubangsa Sangir secara tidak sengaja telah dimunculkan/dikemukakan dan terpelihara melalui kebijakan pemerintah daerah dengan mengangkat upacara tulude yang merupakan budaya sangir menjadi budaya nasional masyarakat Bitung. Sehingga upacara tulude yang merupakan upacara syukuran meninggalkan tahun yang lama dan menyambut tahun baru dalam kehidupan orang Sangir, dilakukan setiap tahun oleh seluruh masyarakat Bitung. Melalui upacara tulude ini pula sengaja atau tidak sengaja, proses melestarikan identitas budaya orang Sangir sebagai komunitas lokal sebenarnya sedang berlangsung. Barangkali ini tidak lepas dari upaya orang Sangir yang membuka wilayah Bitung sebagai wilayah hunian. Menurut cerita, orang Sangir yang pertama kali membuka Bitung bernama Dotus Simon Tudus. Kata Bitung ia ambil dari suatu pohon yang di atas pohon itu banyak burung berkicau. Pohon tersebut ditemukan di wilayah Kecamatan Bitung Barat di daerah Pertamina. Identitas orang Sangir dilestarikan melalui suatu upaya upacara tulude itu, antara lain tercermin dari pakaian yang dikenakan. Para peserta biasanya diharuskan menggunakan 126
pakaian tradisional/adat Sangir. Untuk kaum laki-laki memakai paporong (topi), bakiang (baju khas Sangir), kerise (keris) biasa dipakai oleh/untuk pemimpin Kota Bitung. Untuk perempuan memakai londe (konde), bakiang (baju khas Sangir). Sementara itu tahapan acara dalam upacara tulude tidak lupa pula ditampilkan kesenian orang Sangir, yakni tarian ma’samper dan gunde. Tidak ketinggalan dalam acara penutupan selalu dipakai kata-kata dari bahasa Sangir, yakni sangsiote sang pote-pote artinya semua dalam keadaan yang baik tidak baku marah. Rupanya budaya Sangir yang dimiliki orang Sangir sebagai komunitas lokal, seringkali menjadi acuan seluruh masyarakat Kota Bitung yang beraneka ragam tersebut. Seringkali budaya lokal orang Sangir menjadi budaya nasional masyarakat Kota Bitung umumnya. Oleh karena itu tidak mustahil sebagian besar warga Kota Bitung yang berasal dari berbagai daerah itu cukup mengerti dan paham dengan bahasa Sangir. Berkaitan dengan itu pula proses memelihara identitas kedaerahannya (orang Sangir) telah berlangsung melalui bahasa Sangir yang biasa mereka gunakan dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sesama sukubangsa, serta di luar sukubangsanya. Selain itu juga mendorong pemerintah daerah untuk memasukan bahasa daerah tersebut menjadi kurikulum muatan lokal. Selalu melaksanakan tradisi yang mereka dukung seperti upacara tulude dengan ma’samper, tari empat wayer dan tari gunde dalam setiap peristiwa adat (perkawinan, kematian dan sebagainya). Mendirikan lembaga sosial-budaya Sangir, yakni Ikatan Kekeluargaan Sangir dan Sitaro yang selalu mengangkat tradisi kedaerahannya, seperti selalu memunculkan dan mengangkat budaya mapalus (budaya gotong-royong) dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu untuk memberi ruang kepada generasi muda agar dapat mengekspresikan seni budaya Sangir, didirikan sanggar-sanggar seni budaya tradisional. Seperti diketahui orang Sangir di Kota Bitung khususnya di Kelurahan Pateten I yang bermatapencaharian nelayan sebagai pelaku budaya maritim, juga berupaya melestarikan tradisi maritim yang dimilikinya. Antara lain ada atau dikenalnya peran Boy-boy dalam dunia kenelayanan orang Sangir. Boy-boy adalah seseorang yang mempunyai kemampuan secara turun-temurun untuk 127
mendeteksi/melihat keberadaan ikan di laut hingga satu atau dua mil. Biasanya boy-boy itu akan mendeteksi keberadaan ikan di laut dengan cara meletakkan sebelah tangan di atas alis, dan sebelah lagi dibawah mata. Kemudian ia akan mengetahui berapa jauh keberadaan ikan-ikan di laut tersebut dan setelah itu para nelayanpun akan bergerak menuju wilayah laut yang sudah dideteksi boy-boy tadi. Hingga kini peran boy-boy sangat besar dalam kehidupan nelayan Sangir, mereka selalu memakai pengetahuan boy-boy (bersifat tradisional) di samping pengetahuan modern lainnya. Kondisi ini mencerminkan secara sadar nelayan Sangir selalu mempertahankan tradisi kenelayanannya, dengan mengingat manfaat yang telah dirasakan dari dahulu hingga kini dalam kelangsungan kehidupannya. D. Tanjung Balai (Sumatera Utara) 1. Batas Budaya Kesukubangsaan Komunitas lokal Tanjung Balai, yang merupakan orang Melayu (Melayu Asli, Melayu Semenda, Melayu Resam) sebagian masih cukup mengenal berbagai cerita rakyat atau mitologi yang dimiliki dalam kehidupannya, terutama di kalangan generasi tua. Cerita rakyat yang cukup mereka kenal antara lain mengenai kisah si Mardan. Adapun ceritanya demikian, bahwa sebelum Kota Tanjung Balai berdiri, daerah itu masih ditumbuhi hutan belantara dengan sungainya yang cukup luas dan dalam yang sumbernya berasal dari Danau Toba. Di sekitar Danau Toba orang sudah ada yang bertempat tinggal, dengan matapencaharian bercocok tanam dan menangkap ikan. Di daerah tersebut ada seorang keluarga yang mempunyai seorang anak laki-laki bernaman si Mardan. Ia tinggal bersama ibunya mendiami sebuah pondok ladang/rumah sawah, sedangkan ayahnya telah lama tiada. Setiap hari ibu dan anak itu bekerja keras, namun penghasilan mereka hanya pas-pasan. Ketika si Mardan remaja ia berpikir untuk memperbaiki hidupnya dan berkeinginan untuk merantau, dan ibunya memberi ijin dengan memberi nasehat agar tidak lupa dengan ibunya dan kalau sudah 128
berhasil cepar pulang. Untuk itu ia ikut rombongan yang akan ke Bandar Pulau berbelanja. Sampai di Bandar Pulau, rombongan tadi berbelanja dan kemudian kembali ke kampungnya. Namun demikian si Mardan tidak kembali, ia bekerja menjadi buruh pelabuhan bertahun-tahun lamanya. Setelah itu ia ikut berlayar ke Malaka. Dengan ketekunan, kerajinan, dan kepandaiannya kemudian ia dipercaya untuk menjadi nakhoda kapal ke berbagai daerah maupun negeri lain. Dengan bekerja demikian kehidupan ekonomi si Mardan telah mapan, ia kemudian kawin dengan anak gadis pemilik kapal. Kehidupannya semakin meningkat dan ia dikenal sebagai orang kaya mantu juragan kapal terkenal di Kota Malaka. Ditambah lagi dengan meninggal mertuanya si Mardan bertambah kaya karena harta warisan diturunkan untuk isterinya anak semata wayang juragan kapal tersebut. Isteri si Mardan hamil dan menginginkan bertemu dengan keluarga Si Mardan, untuk itu ia dengan terpaksa berangkat bersama isteri dengan kapal pesiar yang mewah. Kapal itu berlabuh di sekitar pertemuan Sungai Silau dengan Sungai Asahan. Berlabuhnya kapal si Mardan dipertemuan sungai-sungai tersebut, sampai ke Bandar Pulau dan ke daerah ibu si Mardan. Ibu si Mardan sangat rindu dengan anaknya dan berharap bahwa saudagar kaya yang kapalnya berlabuh itu adalah si Mardan sesuai dengan mimpinya. Oleh karena itu ia berangkat ke Bandar Pulau ditemani keponakannya, lalu dengan perahu kecil menyeberangi sungai menghampiri kapal mewah si Mardan. Ibu tersebut dihadang oleh para pengawal kapal, namun diijinkan setelah ibunya menjelaskan si Mardan adalah anaknya dengan memberikan ciricirinya. Namun setelah dipertemukan si ibu dengan anaknya (Si Mardan) oleh pengawal itu, malah dihina dan tidak diaku ibu oleh si Mardan. Ibu si Mardan sangat sedih dan sakit hati, sehingga ia mengeluarkan sumpah untuk anaknya itu sambil menengadah kelangit: ”Oh Tuhan, jika benar aku ini ibu kandung si Mardan yang sombong ini, kutuklah ia agar menjadi contoh pengajaran bagi anak manusia dimasa mendatang”. Setelah si ibu pergi meninggalkan kapal itu tidak lama kemudian terjadi hujan dan langit gelap, halilintar/petir sambung-menyambung, badai yang dasyat 129
menyambar kapal megah itu menjadi porak-poranda, tenggelam dan terdampar yang lama kelamaan menjadi pulau yang bernama Pulau Simardan. Sementara itu si Mardan dan isterinya menjelma menjadi sepasang kerah putih. Legenda/cerita rakyat ini di samping mencerminkan identitas daerah Tanjung Balai, juga memberi pelajaran kepada anak-anak agar menghormati dan menyayangi seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anaknya. Cerita seperti ini juga ada pada komunitas/suku bangsa lain yang mengandung unsur pendidikan terlepas dari benar atau tidaknya cerita. Namun demikian masyarakat menganggap kuburan keramat yang ada di Bandar Pulau adalah bukti kuburan ibu si Mardan, yang waktu itu meninggal setelah mengalami duka lara tidak diaku sebagai ibu oleh anaknya sendiri. Di samping itu adanya sebuah pulau yang dianggap sebagai bekas kapal Si Mardan tenggelam/karam, makanya bernama Pulau Simardan dan menjadi bagian dari wilayah Tanjung Balai. Bisa diartikan cerita ini juga berkaitan dengan terbentuknya asal mula bagian daerah Tanjung Balai ini. Bagian wilayah Tanjung Balai lainnya terbentuk awalnya juga tidak lepas dari sebuah legenda, misalnya tentang Pulau Pandan. Konon pada masa lalu ada seorang puteri raja dengan seorang pemuda bernama Bongsu Alang dari kalangan rakyat jelata saling jatuh cinta. Si pemuda Bongsu Alang mempunyai benda semacam suling yang pada waktu itu dikenal dengan nama bangsi. Kalau bangsi itu ditiup oleh Bongsu Alang, suaranya terdengar merdu sekali dan orang yang mendengar akan berdecak kagum. Begitu pula dengan si puteri raja, sangat mengaguminya dan apalagi yang memainkan adalah pemuda yang ia cintai. Rupanya cinta puteri terhadap Bongsu Alang peniup suling itu diketahui sang raja/ayahnya dan membuat raja murka. Raja mengeluarkan perintah untuk mengusir Bongsu Alang dari negerinya, atau kalau tidak akan dihukum pancung. Oleh karena perintah itu Bongsu Alang meninggalkan negerinya agar keluarganya tidak mengalami kesusahan. Sementara itu puteri raja sangat sedih, ia lalu pergi ke pantai untuk melihat Bongsu Alang yang telah jauh di tengah laut sambil membunyikan bangsinya. Meskipun jauh suara bangsi semakin terdengar mendayu-dayu membuat hati puteri semakin sedih dan 130
menangis, serta meloncat ke laut sambil berjalan mengikuti suara bangsi dan perahu yang digunakan Bongsu Alang. Setiap air laut yang diinjak sang puteri itu berubah menjadi daratan. Akhirnya sang Puteri kehabisan tenaga, terjatuh terkubur di dasar laut. Sementara itu jalur yang dilalui sang puteri menjadi daratan yang menjorok ke tengah laut, disebut Tanjung Bangsi yang merupakan bagian wilayah Tanjung Balai. Sedangkan Bongsu Alang dalam pelayarannya mengalami tertelan gelombang dan tenggelam. Kemudian tempat Bongsu Alang dan kapalnya tenggelam itu menjadi daratan sebuah pulau yang banyak ditumbuhi pohon pandan, sehingga bernama Pulau Pandan yang menjadi bagian dari wilayah Tanjung Balai. Wilayah Tanjung Balai dengan demikian juga meliputi pulau dan laut di sekitarnya. Pengetahuan tentang cerita rakyat yang dimiliki oleh orangorang tua tersebut kini tidak selalu dikenalkan atau disosialisasikan kepada generasi berikut, karena keterbatasan waktu dari pihak orang tua yang bekerja maupun generasi muda yang sibuk dengan urusan sekolah dan sosialisasi dengan lingkungannya. Kalaupun dikenalkan biasanya hanya selintas dan tidak mendalam, sehingga pengetahuan generasi muda akan cerita rakyat sukubangsanya tersebut menjadi terbatas. Menurut informasi yang diperoleh asal mula orang Melayu di Tanjung Balai, berawal dari kedatangan Sultan Iskandar Muda dari Aceh yang berkenan membangun Kesultanan Asahan untuk putranya Abdul Jalil di daerah tersebut. Tepatnya di suatu wilayah (sekarang daerah Tanjung Balai) tempat pertemuan Sungai Asahan dan Sungai Silau, yang dianggap strategis sebagai kota pelabuhan untuk jalur perdagangan. Kesultanan Asahan tersebut mengalami sebelas kali pergantian pimpinan (sultan) secara turun-temurun, yang diawali oleh Abdul Jalil sebagai sultan pertama pada tahun 1620 dan Syaiful Abdul Jalil Rahmadsyah sebagai sultan terakhir (ke 11) pada tahun 1933. Dari keluarga dan keturunan kesultanan Asahan itulah kemudian muncul komunitas lokal Melayu Tanjung Balai, dimana terjadi kawin-mawin dengan pendatang berbagai daerah secara Islam dan masuk Islamnya pendatang khusus dari Toba yang ingin menetap di Asahan (Tanjung Balai sekarang). Oleh karena itulah di Tanjung Balai ini, kemudian muncul tiga istilah untuk orang Melayu, 131
yakni Melayu Asli, Melayu Semenda, dan Melayu Resam seperti yang telah diuraikan di bab 2. Awal mula komunitas lokal Melayu Tanjung Balai menempati lahan yang dimilikinya, adalah dengan mendapat bagian dari raja atau penguasa wilayah pada saat itu. Kemudian oleh pemiliknya lahan itu diberi batasan dengan ditanami pohon bambu dan pohon pinang, biasanya batas lahan yang dimiliki itu dikenalkan kepada generasi penerus atau keturunannya. Namun kini lahan yang dimiliki komunitas Melayu sebagian besar biasanya telah memiliki surat kepemilikan atau sertifikat agar mempunyai kekuatan hukum. Dengan ada surat kepemilikan itu luas lahan berapa meter jelas tertera dalam surat. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, biasanya tetap lahan itu diberi batasan pagar bambu atau tanaman sekelilingnya. Malah mereka yang mempunyai biaya bisa membatasi lahannya dengan memagari sekelilingnya menggunakan kawat. Lingkungan permukiman komunitas Melayu Tanjung Balai, seperti di Kelurahan Pematang Pasir juga dihuni oleh sebagian kecil pendatang dari berbagai daerah. Mereka ada yang berasal dari Jawa, Minangkabau, Medan, Bugis dan lain sebagainya. Pada awal kedatangannya mereka dianggap sebagai tetangga karena berbeda sukubangsa atau daerah asal, sehingga diantara mereka terjadi hubungan yang terbatas. Ditambah lagi letak rumah antar mereka cukup berjarak, biasanya dibatasi dengan lahan yang ditanami tumbuhan/pepohonan yang semakin mendukung keberadaannya kurang menyatu dengan komunitas lokal. Namun demikian kondisi itu mengalami perubahan setelah pendatang di lingkungan tersebut mengalami kawin-mawin dengan orang Melayu Tanjung Balai dan beradat-istiadat Melayu pula, dimana istilah tetangga/pendatang (berbeda sukubangsa) tidak terlalu penting atau tidak ada lagi karena mereka sudah dianggap sebagai orang Melayu. Oleh karena itu seperti yang diuraikan sebelumnya muncul istilah Melayu Semenda dan Melayu Resam Tetangga bagi mereka adalah orang dari daerah lain yang tidak ada Kemelayuannya, artinya tidak mengalami kawin mawin dan tidak beradat-istiadat Melayu. Biasanya yang dianggap tetangga dalam batasan demikian, kenyataan memang tidak selalu bisa membaur 132
optimal dengan komunitas Melayu (seperti orang Cina dan mereka yang beragama Nasrani). Dalam kehidupan kekerabatannya komunitas Melayu Tanjung Balai ini, menghitung garis keturunan dari pihak laki-laki dan perempuan atau bersifat bilateral. Biasanya dihitung hingga generasi keempat, artinya hitungan keturunan satu darah sampai generasi keempat dari kedua belah pihak. Meskipun garis keturunannya mempunyai kedudukan yang sama antara pihak lakilaki dan perempuan, namun dalam menurunkan warisan ditujukan untuk anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Sesuai dengan sistem pewarisan ajaran Islam, yakni 2/3 berbanding 1/3 yang biasanya terwujud pada benda tidak bergerak seperti lahan/tanah dan sawah. Sistem pembagian harta waris tersebut lebih besar untuk anak laki-laki dibanding anak perempuan, karena berdasarkan pertimbangan bahwa anak laki-laki adalah bertanggungjawab terhadap keluarganya. Sehingga seorang anak laki-laki perlu diberi modal harta (lahan/sawah) yang lebih luas untuk dapat dikelola sebagai sumber penghidupan keluarga. Sementara itu anak perempuan mendapat bagian yang lebih sedikit, karena beranjak dari anggapan bahwa ia akan dibawa dan tinggal serta dihidupi/dibiayai oleh suaminya. Biasanya dalam kekerabatan komunitas Melayu Tanjung Balai itu, seorang perempuan yang menikah dengan seorang laki-laki tidak akan langsung meninggalkan rumah orang tuanya untuk membentuk keluarga sendiri. Sepasang pengantin itu dianjurkan untuk tinggal lebih dulu di rumah orang tua pihak perempuan kurang lebih selama satu tahun. Namun kini biasanya pasangan pengantin itu mempersingkat waktu tinggal dengan orang tuanya cukup dengan tiga bulan saja, guna menjalankan tradisi yang harus dilakukan/dijalankannya sebagai wujud keluarga luas yang dimiliki. Perkawinan ideal dalam komunitas Melayu ini, adalah saudara sepupu yang orang tuanya bersaudara laki-laki dan perempuan. Bila anak saudara perempuan akan menikah dengan perempuan dari luar keluarganya atau tidak mengikuti perkawinan ideal, saudara perempuan itu harus minta ijin lebih dulu dengan saudara laki-lakinya. Demikian pula bila anak laki-laki dari saudara perempuan menginginkan anak perempuan dari saudara laki133
lakinya, maka saudara perempuan itu harus meminta ijin dulu dengan saudara laki-lakinya. Biasanya perkawinan demikian untuk mempererat hubungan kekerabatan yang sudah ada dan juga bertujuan untuk menjaga harta warisan. Namun demikian kini perkawinan yang bersifat endogami kerabat ini, tidak selalu dijalankan lagi atau sudah ditinggalkan oleh para anak muda. Mereka lebih cenderung mencari pasangan dari luar lingkungan keluarga/kerabat yang artinya bersifat eksogami kerabat/keluarga. Walaupun demikian aturan atau tradisi yang menjadi prinsip hidupnya tidak ditinggalkan, yakni menikah harus dengan orang yang seiman atau seagama (agama Islam) sesuai dengan ajaran/syariat Islam yang berlaku. Oleh karena itu syarat utama orang Melayu akan menikahi pasangannya adalah beragama Islam, tanpa harus sama daerah asal atau sukubangsanya. Bagi komunitas Melayu itu kehidupan berumah tangga harus dapat dipertahankannya. Oleh karena itu mereka satu sama lain tidak suka berkonflik biasa disebut dengan tidak mau bisingbisinglah. Sehingga dalam rumah tangganya itu harus ada saling mengalah dan toleransi. Kalau ternyata terjadi juga sengketa, biasanya secara budaya diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Kedua belah pihak dipertemukan dan masalahnya diputuskan secara musyawarah. Pada saat itu yang memimpin adalah tokoh masyarakat, seperti imam masjid atau alim ulama. Seorang tokoh ulama ini biasa memiliki figur yang lengkap, artinya satu sosok itu mempunyai kemampuan di bidang agama maupun budaya, sehingga keputusannya sangat dihormati oleh warga masyarakat. Adat-istiadat yang dijalankan komunitas Melayu tidak hanya pada sistem kekerabatan berkaitan dengan sistem pewarisan maupun perkawinan, namun juga lainnya seperti dalam lingkaran hidup atau daur hidup. Dalam lingkaran hidup ini sama dengan lainnya, acuan yang selalu dijadikan pedoman adalah ajaran Islam. Dalam ajaran Islam kelahiran seorang bayi harus diazankan di kuping sebelah kanan dan diqomatkan di kuping sebelah kiri. Maksudnya agar si bayi sadar bahwa ia adalah Makhluk Allah dan Allah yang wajib disembah sebagai pemilik langit/bumi dan segala isinya. Ajaran ini selalu dijalankan oleh orang Melayu yang sedang menunggu proses kelahiran putra/putrinya. Ada kepercayaan bahwa dalam usia kandungan empat bulan si jabang bayi/janin sudah 134
diberi nyawa atau ditiupkan nyawa oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, biasanya orang Melayu mengadakan upacara syukuran/ucap syukur kepada Allah Taa’la atas karunia Nya. Dengan mengadakan doa dan pengajian bersama yang diselingi makan dan minum ala kadarnya untuk mereka yang turut serta mengikuti upacara syukuran itu. Sementara itu dalam tradisi perkawinan yang dilakukan, nuansa Melayu sangat tercermin dan memberikan suatu gambaran bahwa orang Melayu selalu menunjukan budayanya dan tentu tidak lepas dari syariat Islam. Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam adat perkawinannya itu, diantaranya yang cukup menarik dan unik upacara jumpa besan. Upacara jumpa besan tersebut merupakan suatu bentuk simbolis penghormatan orang tua/keluarga mempelai wanita kepada orang tua/keluarga mempelai pria yang biasa dilakukan setelah prosesi perkawinan lainnya telah dilakukan. Untuk itu keluarga mempelai wanita datang berkunjung kepada keluarga mempelai pria dengan membawa berbagai macam makanan yang dimasak oleh mempelai wanita, yang bahan makanan itu diberi oleh keluarga mempelai pria. Pada saat itulah terjadi pertemuan yang akrab antara keluarga kedua belah pihak. Sebelumnya upacara jumpa besa, pihak keluarga mempelai perempuan belum bisa bersikap akrab serta menghormati pihak keluarga mempelai pria, mengingat pada waktu prosesi perkawinan berlangsung sikap dan pikiran keluarga wanita hanya tertuju kepada kedua mempelai yang dianggap sedang menjadi raja. Oleh karena itulah diadakan tradisi/upacara jumpa besan sebagai wujud penghormatannya. Ada pula tradisi/kebiasaan yang dijalankan komunitas Melayu untuk menunjukkan identitas ke Melayuan Tanjung Balai, yakni upacara kerang. Upacara kerang ini mencerminkan identitas komunitas Melayu Tanjung Balai yang tidak jauh dari kenelayanan. Merupakan bentuk ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus permohonan agar pekerjaan menangkap ikan yang mereka lakukan dapat memperoleh hasil yang melimpah. Oleh karena upacara kerang ini berkaitan dengan identitas Tanjung Balai, maka pemerintah daerah setempat mengambil alih menjalankan upacara itu sebagai kalender event wujud mempertahankan budaya dan melestarikan budaya masyarakatnya sekaligus untuk memperingati hari jadi Kota Tanjung Balai yang berlangsung pada 135
tanggal 27 Desember. Hari jadi Kota Tanjung Balai ini didasari pada peristiwa pengangkatan sultan pertama Kesultanan Asahan pada tanggal 27 Desember 1620. Dalam upacara itu juga ditampilkan berbagai seni budaya Melayu, baik pertunjukan kesenian maupun makanan tradisional khas Melayu. Komunitas Melayu Tanjung Balai memiliki rasa kesamaan rumpun dengan komunitas Melayu Malaysia. Ditandai dengan kesamaan adat-istiadat/budaya antara Melayu Tanjung Balai dengan Melayu Malaysia. Namun demikian secara budaya komunitas Melayu Tanjung Balai merasa daerahnya lebih menjadi pusat kebudayaan Melayu dibandingkan dengan Malaysia, yang ditandai dengan asal-usul kesenian dan upacara tradisional berada di daerah Tanjung Balai dan Asahan. Di samping itu pusat-pusat kesultanan Melayu berada di wilayah-wilayah Indonesia, seperti Kesultanan Deli Serdang di Kota Medan, Kesultanan Siak Indrapura di Riau, Kesultanan Riau Lingga di Kepulauan Riau, Kesultanan Asahan di Tanjung Balai, dan lain-lain. Namun meskipun merupakan salah satu pusat kebudayaan Melayu di Indonesia, secara ekonomi tingkat kesejahteraan komunitas Melayu di Tanjung Balai berada di bawah komunitas Melayu di Malaysia. 2. Ruang Publik Dalam Interaksi Kota Tanjung Balai mempunyai banyak ruang publik yang sering menjadi tempat pertemuan para warganya, baik warga komunitas lokal maupun komunitas pendatang menetap atau tidak menetap. Bahkan warga pendatang dari luar negara juga bisa ada di ruang publik tersebut. Ruang publik yang banyak mempertemukan atau menjadi akses masyarakat umum, antara lain adalah pasar, terminal, tempat pelelangan ikan, pelabuhan Teluk Nibung. Juga warung/kedai makan ataupun toko kelontong meskipun hanya sedikit dapat mengakses masyarakat umum, tetapi tetap menjadi tempat pertemuan antar warga yang saling bertukar informasi dan mendapatkan penambahan wawasan. Kalau diperhatikan di ruang publik itu, peran-peran masingmasing pihak berdasarkan latar belakang sukubangsa bisa tercermin. Komunitas lokal Melayu di ruang publik pelelangan ikan jelas menonjol, sebagian besar mereka adalah para nelayan yang 136
menawarkan ikan hasil tangkapannya. Sementara itu para pembeli ikan bisa jadi adalah para pendatang dari sukubangsa Minang, Jawa yang telah ke Melayuan. Mereka biasanya membeli ikan bisa untuk dikonsumsi sendiri atau untuk memenuhi lauk-pauk di rumah makannya, terutama ini berlaku bagi suku Minang. Bagi suku Jawa ikan yang dibeli bisa pula untuk lauk-pauknya di warung makan see food yang mereka buka. Lain halnya kalau di pelabuhan Teluk Nibung, pemilik kapal bisa orang Melayu atau orang Cina. Sementara itu buruh kapal atau orang yang menurunkan barang-barang dari kapal sebagian adalah orang Jawa, dan sebagian lagi bisa dari berbagai sukubangsa. Kapal-kapal yang datang ke pelabuhan Teluk Nibung selain kapal penangkap ikan, juga kapal yang pengangkut barang dari Malaysia (pelabuhan Port Kelang) antara lain berupa susu, makanan ringan. Sementara itu kapal dari Teluk Nibung yang akan menyeberang ke Pelabuhan Port Kelang Malaysia selain membawa ikan, juga sayuran dan buah-buahan. Pada saat kedatangan dan keberangkatan kapal dari Port Kelang ke Teluk Nibung atau dari Teluk Nibung ke Port Kelang, suasana pelabuhan sangat ramai dengan lalu-lalang orang yang menurunkan dan menaikkan barang serta hiruk-pikuk bunyi suara orang maupun benda yang ada. Di sini masing-masing orang dari suku bangsa tertentu menjalankan perannya seperti yang diuraikan di atas. Namun bila tidak ada kapal yang berlabuh atau berangkat, biasanya suasana pelabuhan tidak terlalu ramai dengan lalu-lalang orang dan hiruk pikuk suara. Keramaian dan hiruk pikuk pelabuhan akan dialami pula pada waktu memberangkatkan para TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang akan bekerja di Malaysia. Mereka ini adalah para pendatang yang sebagian besar dari Jawa, sengaja datang ke Tanjung Balai agar mudah berangkat bekerja ke Malaysia. Tanjung Balai menjadi tempat transit mereka untuk memperoleh kemudahan. Namun dibalik kemudahan yang didapat mereka juga banyak mendapat kesulitan akibat agen-agen pekerja yang tidak bertanggungjawab, yang biasanya diperankan oleh orang Cina atau orang Melayu Tanjung Balai sendiri yang ingin memperoleh keuntungan tidak halal. 137
Kini pengiriman TKI (Tenaga Kerja Indonesia ) ini melalui pelabuhan Teluk Nibung sudah mulai berkurang dan peraturan yang diberlakukan cukup ketat. Berbeda dengan keadaan beberapa tahun yang lalu (tahun 2004) yang tidak ada peraturan ketat, pelabuhan Teluk Nibung menjadi orientasi para pekerja ilegal ke negara tetangga Malaysia. Oleh karena itu mereka berbondongbondong ke Tanjung Balai untuk mendapat kesempatan yang memudahkan tersebut, meskipun banyak kasus yang juga menyakitkan selalu dialaminya. Sehingga pada waktu itu pelabuhan Teluk Nibung mengalami keramaian yang luar biasa. Ditambah lagi dengan berlangsungnya dan diberlakukannya perdagangan bebas di Tanjung Balai, semakin meramaikan pelabuhan Teluk Nibung Khususnya dan Kota Tanjung Balai pada umumnya. Sebagian warga Tanjung Balai baik komunitas lokal maupun pendatang berperanserta dalam bidang perdagangan itu. Mereka berlomba-lomba ke Malaysia untuk membeli barang-barang produk Malaysia, terutama elektronik dan pakaian bekas yang kondisinya bagus12, susu tanpa terkena bea dan kemudian dijualnya di Tanjung Balai yang pembelinya dari berbagai daerah. Dalam kondisi ini terjadi arus migrasi antara penduduk Tanjung Balai dengan penduduk Malaysia, menyebabkan ada sebagian warga Tanjung Balai yang tinggal di Malaysia dan sebaliknya ada pula orang Malaysia yang tinggal di Tanjung Balai. Ini pun tidak lepas berkaitan dengan lapangan kerja yang terbuka luas di Malaysia menyerap banyak tenaga kerja Indonesia. Adanya kapal cepat antara Teluk Nibung dan Port Kelang sehari tiga kali pemberangkatan dengan waktu tempuh 4-5 jam, semakin mengkondisikan terbukanya kontak dengan masyarakat Malaysia dalam berbagai sektor kehidupan, seperti dalam bidang budaya, ekonomi, dan sosial (termasuk kesehatan). Di bidang kesehatan warga masyarakat menengah ke atas mempunyai kecenderungan berobat ke Malaysia, karena pelayanan medisnya lebih baik dan jarak tempuh relatif dekat daripada di Medan. Pada waktu itu Tanjung Balai menjadi dikenal sebagai daerah yang menjual berbagai produk luar dengan harga murah. Berasal dari kata second dalam bahasa Inggris, yang berarti di ”tangan orang kedua” 12
138
Untuk barang elektronik hand phone (HP) saja, pembeli dapat membeli dengan harga kiloan. Oleh karena itu tidak mengherankan para pembeli tidak hanya berasal dari daerah Sumatera saja, tetapi juga dari luar Sumatera yakni antara lain dari Pulau Jawa. Akibat terbuka luasnya perdagangan di Tanjung Balai itu, kehidupan ekonomi sebagian warga menjadi lebih baik. Sementara itu dengan kondisi mudahnya orang membawa barang dagangan dari negara Malaysia melalui pelabuhan Teluk Nibung itu, memberi peluang mudah pula membawa barang yang bersifat negatif seperti senjata, kaset/dvd porno, obat terlarang (narkoba) yang sangat memberi pengaruh rusaknya moral dan mental masyarakat setempat. Mereka biasa menyebut dengan istilah semongkel dalam membawa barang-barang negatif itu. Sebagai akibatnya di lingkungan Tanjung Balai atau khususnya di sekitar pelabuhan Teluk Nibung muncul generasi muda yang bersifat ugal-ugalan atau premanisme. Kondisi demikian cukup meresahkan warga setempat, apalagi bila sikap anak muda itu tidak bisa bersahabat dan cukup mengganggu kenyamanan dan ketentraman lingkungan. Oleh karena adanya pengaruh yang tidak baik itu, maka pemerintah daerah setempat memberlakukan aturan bahwa barang yang masuk ke pelabuhan Teluk Nibung dibatasi pada barang tertentu dan dikenakan biaya (pajak). Peraturan ini dibuat selain untuk mencegah pengaruh negatif, juga untuk meningkatkan sektor industri rakyat yang kalah bersaing dengan produk dari negara tetangga dan juga untuk meningkatkan pendapatan belanja daerah melalui bea dan cukai. Dengan adanya peraturan tersebut pelabuhan Teluk Nibung kini menjadi sepi, dan ekonomi sebagian warga menjadi lesu atau terpuruk terutama bagi mereka yang berperan dalam perdagangan barang-barang produk Malaysia tersebut. Terjadinya kelesuan ekonomi demikian, bagi sebagian warga masyarakat Tanjung Balai cukup disesalkan. Artinya mereka agak kecewa dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, karena mengganggu kemapanan ekonomi yang telah dimiliki sebelumnya dan menimbulkan pengangguran. Namun demikian sebagian beranggapan bahwa sikap pemerintah cukup bijaksana, karena kalau kondisi dulu tetap berlangsung warga 139
masyarakat Tanjung Balai bisa cenderung menjadi lupa diri dan tidak bisa membedakan mana yang positif dan negatif. Interaksi yang dialami warga masyarakat Tanjung Balai baik komunitas lokal maupun pendatang di pelabuhan Teluk Nibung pada waktu itu, cenderung mempengaruhi warga masyarakat dalam tatanan kehidupannya. Antara lain munculnya oriantasi kerja di bidang perdagangan, jasa. Bidang jasa yang menarik mereka adalah bekerja di negara tetangga (Malaysia) sebagai tenaga kerja upahan di perkebunan atau bangunan, yang dianggap mendapat bayaran tinggi. Ini berkaitan pula dengan berkembangnya lapangan kerja di malaysia yang menyerap tenaga kerja dari Indonesia13. Oleh karena itu kini banyak warga masyarakat Tanjung Balai berkeinginan bekerja di Malaysia, baik mereka yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah. Mereka yang berpendidikan tinggi mempunyai orientasi kerja jasa di sektor formal, seperti sebagai tenaga pengajar (guru) atau pegawai/karyawan di suatu perusahaan. Kondisi demikian memang telah dialami beberapa warga masyarakat Tanjung Balai. Mereka yang telah tamat kuliah atau sudah S1 berusaha untuk bekerja ke Malaysia, dan memang mendapat bayaran yang lebih besar dibanding mereka bekerja di negaranya (di Tanjung Balai). Apalagi untuk mendapatkan pekerjaan di daerah Tanjung Balai tidak mudah dan seringkali tidak terbuka lowongan. Keadaan demikian memberikan peluang besar bagi warga masyarakat Tanjung Balai yang potensial akan beralih ke negara tetangga Malaysia untuk menjual jasa/kemampuan yang dimilikinya. Kondisi ini dialami pula oleh beberapa seniman dan budayawan Tanjung Balai (Melayu) yang menjual kemampuan berkeseniannya di Malaysia. Mereka sangat dihargai dan mendapatkan fasilitas yang memadai dengan kemampuan yang dimilikinya itu. Kini seniman dan budayawan Melayu Tanjung Balai itu telah menetap di Malaysia dan karya berkesenian serta wawasan budaya Melayu yang dimilikinya telah ditransfer dan diterima serta dihargai oleh orang Melayu Malaysia. 13
Data Migrant CARE menyebutkan bahwa sampai pada tahun 2006 jumlah TKI ke berbagai negara di dunia mencapai 6,9 juta orang. Sebanyak 1,8 juta di antaranya berada di Malaysia (Buruh Migran: Seandainya Sumarmi bukan seorang TKI, Kompas, Kamis 30 Agustus 2007, hlm. 18).
140
Biasanya warga masyarakat Tanjung Balai yang telah lama bekerja di Malaysia melakukan kawin-mawin dengan warga setempat (Malaysia) dan mereka menjadi tinggal menetap di Malaysia, meskipun perkawinan demikian tidak mudah dilakukan karena adanya undang-undang perkawinan yang membatasi perkawinan antarwarga. Hanya waktu-waktu tertentu mereka pulang ke Tanjung Balai bersilahturahmi dengan keluarga, seringkali keluarganya di Tanjung Balai yang berkunjung ke Malaysia untuk bersilahturahmi pula. Mereka yang telah lama tinggal di Malaysia enggan untuk kembali ke daerah asal berkaitan dengan kemudahan yang telah diperoleh dan pola kehidupan yang lebih teratur, meskipun mereka harus bekerja keras. Menurut informasi bayaran yang diterima bekerja di Malaysia dibandingkan dengan di Tanjung Balai memang lebih besar kalau dirupiahkan karena mereka dibayar dengan uang ringgit. Apalagi kalau uang ringgit yang diterima itu dibelanjakan di Tanjung Balai/Indonesia relatif menjadi lebih besar, karena dapat dibelanjakan berbagai barang. Namun kalau uang ringgit yang diterima itu digunakan/dibelanjakan di Malaysia menjadi standar, apalagi kalau dikaitkan dengan waktu kerja mereka yang ketat dan padat. Oleh karena itu bagi mereka yang mempunyai kebiasaan malas tidak akan mudah beradaptasi dengan suasana kerja di negara tetangga tersebut. Kebiasaan malas yang terkondisi dalam kehidupan sebagian masyarakat Tanjung Balai khususnya komunitas lokal/asal Melayu, sebenarnya tidak lepas dari sejarah masa lampau. Pada masa lalu sebagian besar orang Melayu ini termasuk orang dari Porsea yang datang ke Tanjung Balai dan mau masuk Islam selalu mendapat hadiah dari sang Raja, antara lain dalam bentuk tanah. Pemberian hadiah tersebut membuat mereka menjadi memiliki harta kekayaan/kaya raya, dan dikenal dengan sebutan sebagai Orang Kaya atau OK. Oleh karena harta yang dimiliki itu banyak, orang tua menjadi lupa mendidik anak dengan baik untuk rajin bekerja. Malah mereka melarang atau tidak membolehkan seorang anak untuk bekerja, karena masih banyak harta yang bisa digunakan untuk memenuhi kehidupannya kelak. Atas dasar pengaruh hal tersebut memungkinkan karakter malas pada sebagian masyarakat Melayu menjadi terbentuk. 141
Apalagi kalau kemalasan ini dikaitkan dengan komunitas nelayan Melayu Tanjung Balai terutama sebagian remaja/generasi mudanya, interaksi yang mereka alami di tempat umum yang bersifat ekonomi seperti di Pelabuhan Teluk Nibung tidak cenderung mempengaruhi tatanan kehidupan ekonominya, karena mereka mempunyai bidang kehidupan ekonomi lainnya. Kehidupan ekonomi yang menarik mereka adalah memungut ikan yang jatuh di sekitar tempat pelelangan ikan atau di sekitar pelabuhan. Biasanya ini dilakukan oleh anak-anak remaja yang berusia antara 11 tahun hingga 20 tahun. Ikan yang dipungut itu akan dijual lebih murah dan biasanya sehari-hari mereka bisa mendapatkan uang sebesar Rp 20.000,00 – Rp 30.000,00. Mudahnya mendapat uang dengan cara demkian, mengkondisikan mereka untuk memilih bekerja memungut sisa ikan yang jatuh. Oleh karena itu hingga kini mereka yang mencari uang cara demikian selalu ada dan mungkin semakin bertambah. Akibat merasa mudah mendapatkan uang, sebagian dari mereka menjadi malas sekolah dan bahkan tidak lagi melanjutkan sekolah hingga selesai. Kondisi demikian cukup meresahkan para kaum pendidik, karena mereka merupakan generasi muda sebagai aset yang kelak akan membangun negerinya. Oleh karena itu berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak yang berkepentingan namun belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak pimpinan lingkungan seperti guru, alim ulama atau tokoh masyarakat lainnyapun (tokoh budaya) telah turut berperan untuk memotivasi generasi muda itu, namun masih belum mencerminkan perbaikan yang signifikan. Budaya malas yang dialami sebagian remaja/generasi muda nelayan Tanjung Balai atau khususnya di Kecamatan Teluk Nibung, memberi gambaran bahwa interaksi yang dialaminya di ruang publik yang ada tidak selalu mempengaruhi keinginannya untuk memacu diri. Sebagai anak nelayan dan komunitas Melayu, peranannya dalam kehidupan ekonomi terkesan tidak lepas dari kegiatan menangkap ikan. Oleh karena itu tidak pergi melautpun mereka masih bisa mencari ikan di darat yang berserakan. Kalau kondisi ini berlanjut terus memungkinkan generasi muda nelayan tidak pandai lagi melaut dan identitas Tanjung Balai yang cukup dikenal dengan kenelayanannya akan memudar, mengingat tidak ada generasi 142
penerus yang serius dan konsentrasi lagi dalam bidang kenelayanan. Sebagai komunitas Melayu yang jelas beragama Islam, kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari keIslaman. Oleh karena itu masjid ataupun langgar sering menjadi tempat interaksi antar warga. Biasanya selain membicarakan masalah keagamaan antar mereka juga membicarakan berbagai hal. Salah satunya tentang pemerintah daerah yang dianggap kurang memberi perhatian terhadap masalah kebudayaan di Tanjung Balai. Warga Tanjung Balai khususnya para seniman dan budayawan, beranggapan kehidupan budaya di Tanjung Balai kurang didukung karena hingga kini pemerintah daerah belum juga membangun gedung kesenian sebagai tempat seniman dan budayawan berkumpul dan mengekspresikan dirinya. Sebagai akibatnya sudah ada budayawan dan seniman yang pergi ke Malaysia mengekspresikan kemampuannya dan mendapat apresiasi. Bagi komunitas Melayu Tanjung Balai, kondisi ini sangat disayangkan/ memprihatinkan karena seniman dan budayawan itu adalah aset Tanjung Balai sementara pemerintah daerah tidak berusaha untuk memanggil mereka kembali ke daerahnya. Seringkali pembicaraan di masjid tersebut, menghasilkan suatu wacana para tokoh masyarakat (tokoh adat/budaya, alim ulama, atau lainnya) yang bisa berkaitan dengan kebudayaan atau ekonomi bahkan bisa juga politik misalnya tentang Walikota Tanjung Balai yang beristerikan Pujakusuma (Putra Jawa kelahiran Sumatera). Dimana isteri walikota itu diangkat sebagai ketua Masyarakat Adat Budaya Melayu (MABMI), menimbulkan suatu wacana agar identitas Jawa dari ibu walikota melebur menjadi identitas Melayu putra daerah. Dengan demikian jelas terkesan pemimpin politik di Tanjung Balai adalah dari golongan orang Melayu asli, seperti walikota dan pembantunya. Sementara itu ekonomi sebagian besar dikuasai oleh para pendatang yang telah menjadi Melayu (Melayu Resam ataupun Melayu Semenda), terwujud banyak dari mereka yang berhasil di bidang perdagangan. Bidang keagamaan dan kebudayaan, biasanya yang selalu menjadi pemimpin adalah dari komunitas Melayu lokal/asal. Mereka adalah orang yang menjadi 143
panutan dan berhasil menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan kegiatan ekonomi yang dikuasai oleh pendatang itu, biasanya tercermin di pusat perdagangan seperti pasar, pelabuhan, terminal bus. Sementara itu kehidupan politik yang dikuasai oleh komunitas Melayu asal, biasanya cenderung tercermin di kantor pemerintahan seperti di kantor dinas pemda, kecamatan, maupun kelurahan. Tidak ketinggalan kehidupan keagamaan yang dipimpin komunitas Melayu, cenderung tercermin di masjid atau langgar. Kadangkala juga tercermin di lingkungan pengajian di rumah-rumah, di mana yang memimpin do’a selalu orang Melayu lokal/asal. Jarang sekali tercermin komunitas pendatang yang memegang peranan keagamaan di lingkungan permukimannya. Dalam menjalankan aktivitas keagamaan tersebut, di masjid/langgar ataupun di lingkungan permukiman/perumahan antar warga baik komunitas lokal ataupun pendatang dapat bersamasama. Artinya tidak ada pemisahan antara golongan komunitas lokal dengan pendatang atau berdasarkan golongan sukubangsa tertentu dalam beribadah di suatu masjid atau langgar itu. Siapa saja dari golongan manapun beragama Islam dapat menjalankan ibadahnya di setiap masjid atau langgar yang ada di Tanjung Balai atau khususnya di Kecamatan Teluk Nibung. Biasanya pada waktu menjalankan ibadah di masjid/langgar itu antar mereka saling membaur. Interaksi yang terjadi tidak mencerminkan ada pengelompokan sosial, artinya tidak selalu terjadi interaksi antara sekelompok orang dari komunitas tertentu atau sukubangsa tertentu saja. Malah antar mereka saling berinteraksi tanpa memperhatikan dari golongan atau sukubangsa mana berasal. Perbedaan pada waktu itu dianggap tidak ada, yang ada adalah kesamaan sebagai kaum muslim yang harus menjaga silahturahmi satu sama lain. Sementara itu biasanya pengelompokan sosial berdasarkan sesama seniman/budayawan Melayu (Melayu Asal, Resam, maupun Semenda) akan terjadi di ruang tertentu. Dapat tercermin di sebuah pondokan/mirip kedai yang berada di tepi jalan raya, beberapa seniman/budayawan berkumpul memperbincangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu. Seringkali muncul wacana budaya dari perbincangan yang terjadi, seperti 144
usulan mereka kepada pemerintah daerah bersangkutan untuk mendirikan gedung kesenian/budaya sebagai tempat seniman/budayawan mengekspresikan karya seni dan budayanya sekaligus dalam rangka mempertahankan kebudayaan Melayu. Juga usulan untuk dikeluarkannya Undang-undang Kebudayaan, dengan harapan kebudayaan dapat menjadi perhatian pemerintah secara optimal. Namun demikian meskipun hal ini sudah menjadi pembicaraan publik, hingga kini realisasi dari wacana tadi belum bisa terwujud. 3. Simbol Identitas Dalam Proses Sosial Seperti diuraikan sebelumnya komunitas Melayu pada awalnya sebagian besar bermatapencaharian pokok sebagai nelayan. Hal ini tidak berbeda jauh dengan komunitas Melayu lain di luar Tanjung Balai. Sebagai nelayan mereka bisa merupakan nelayan pemilik maupun nelayan buruh. Kalau mereka adalah nelayan pemilik, berarti kehidupan yang mereka alami akan lebih baik dari mereka yang nelayan buruh. Dalam kenyataan memang demikian, nelayan pemilik adalah yang memilki kapal dan mengatur aktivitas menangkap ikan kepada para awak/buruhnya. Juga mengatur dalam mendistribusikan hasil tangkapan ikan yang dilakukan para pekerjanya. Sebagai nelayan pemilik tentu hasil yang mereka peroleh lebih besar dari para pekerja/buruhnya. Berarti para nelayan buruh itu memperoleh penghasilan jauh di bawah nelayan pemilik, karena mereka hanya mendapatkan upah dari majikannya (nelayan pemilik). Oleh karena itu kehidupannya memberi kesan sangat sederhana atau bisa diartikan kurang sejahtera. Kondisi ini antara lain bisa tercermin dari rumah-rumah yang mereka tempati juga sangat sederhana. Meskipun demikian para nelayan buruh itu terkesan dapat menikmati kesederhanaannya. Kehidupan nelayan memang sudah melekat pada dirinya. Apalagi lokasi permukimannya selalu berada di sekitar lingkungan pantai menambah suasana kehidupan alam laut senantiasa mereka alami. Kehidupan demikian tidak hanya dialami dan dirasakan orang-orang tua nelayan, juga kalangan anak-anak yang tentu sudah terinternalisasi dan tersosialisasi. Terwujud dalam berbagai 145
aktivitas yang dilakukan anak-anak tersebut, antara lain mandi bersama di laut dangkal pantai pada pagi dan sore hari. Meskipun air tersebut terkesan kotor/tidak bersih, anak-anak yang mandi itu sangat senang dan menikmatinya. Orang tua nelayan tidak melarang karena sudah demikian adanya/terkondisi. Lagipula anakanak tersebut jarang sekali mengalami suatu penyakit karena mandi di laut. Oleh karena itu pula mandi di laut yang dilakukan oleh anakanak itu hingga kini tetap ada dan bertahan, serta menjadi kebiasaan bagi keluarga nelayan. Komunitas Melayu Tanjung Balai yang bermatapencaharian pokok nelayan tersebut, mempunyai kehidupan rutinitas agak berbeda dengan komunitas berprofesi lainnya. Pada waktu menjalankan profesinya sebagai nelayan, biasanya mereka mulai melaut pukul 02.00/03.00 pagi dan berakhir di laut pada siang hari sesudah waktu Lohor. Oleh karena itu pada waktu siang menjelang sore hari, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sudah penuh dengan ikanikan yang dijual dan dikunjungi oleh konsumen biasa (penyuka ikan) dan konsumen penjual. Konsumen penjual di sini diartikan sebagai pembeli ikan dalam partai banyak yang mendistribusikan ikan sampai kepada warga masyarakat. Mereka ini bisa juga dianggap sebagai agen-agen penyalur ikan tangkapan para nelayan tersebut. Selesai menangkap ikan dan mendistribusikan ikan yang sudah diperolehnya, waktu istirahat bagi nelayan dapat berlangsung kira-kira pada sore menjelang malam hari. Biasanya waktu istirahat penuh lepas dari aktivitas lainnya, baru bisa mereka peroleh selesai waktu Isya. Pada waktu itu mereka sudah mulai tidur untuk mempersiapkan diri keesokan harinya menghadapi lautan yang penuh resiko. Kondisi demikian sudah merupakan milik dirinya dan menjadi identitas orang Melayu sebagai nelayan. Nelayan Melayu Tanjung Balai, tentu merupakan komunitas muslim atau penganut agama Islam. Sebagai penganut Islam mereka selalu menjalankan ajiaran/syariat Islam itu dalam kehidupannya. Oleh karena itu pula para isteri nelayan selalu menunjukan dirinya sebagai identitas muslim dengan berpakaian muslimah. Identitas keIslaman mereka juga tercermin dari berbagai kegiatan/aktivitas yang mereka lakukan. Sebagian besar ibu-ibu nelayan mengikuti pengajian yang diadakan pada waktu tertentu. 146
Begitu pula para bapak atau nelayan itu sendiri, bila ada waktu mereka juga mengikuti pengajian yang waktunya berbeda. Kadangkala di masjid/langgar lingkungan permukiman, diadakan pula pengajian bersama untuk para warga masyarakat seperti yang berlangsung di Kelurahan Pematang Pasir, Kecamatan Teluk Nibung. Dalam pengajian bersama itu, biasanya para warga dapat mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh seorang ustadz/kyai/alim ulama. Ceramah yang diberikan untuk penyegaran rohani guna mengisi kembali keimanan warga yang mungkin saja telah menurun, atau kalau tidak untuk meningkatkan keimanan warga masyarakat Tanjung Balai, khususnya warga masyarakat Kecamatan Teluk Nibung. Oleh karena itulah komunitas nelayan Tanjung Balai, selalu berusaha untuk menghadiri aktivitas pengajian yang ada di lingkungan permukimannya. Aktivitas/kegiatan keagamaan yang mereka lakukan tidak hanya itu, juga aktivitas keagamaan yang bersifat perayaan seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan Muharam. Perayaan hari penting keagamaan tersebut sangat mereka nikmati bersama-sama. Pada hari Maulid Nabi SAW, sebagian besar warga masyarakat merayakan bersama di masjid atau langgar dipimpin oleh seorang ustadz. Ustadz akan mengawalinya dengan doa bersama untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kemudian biasa dilanjutkan dengan taushiyah/ ceramah tentang keteladanan Nabi Muhammad SAW, yang selalu diiringi dengan mengucapkan Salawat Nabi sebagai bukti cinta dan kasih kaum muslim kepada Nabinya. Dalam aktivitas keagamaan yang mereka lakukan itu, antarwarga masyarakat khusus komunitas Melayu mewujudkan interaksi yang baik. Interaksi berlangsung dengan menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu atau cakap Melayu itu memang menjadi bahasa pengantar dalam pergaulannya sehari-hari sebagai orang Melayu Tanjung Balai, dan melekat dalam diri sebagai identitas orang Melayu14. Bahasa atau cakap Melayu itu tidak hanya 14
Melayu dalam perwujudannya mempunyai tiga konsep yang masing-masing mengacu pada bentuk yang berbeda, yakni ras sebagai suatu ciri-ciri fisik secara biologis yang membedakan dengan ras lain dengan ciri-ciri fisik dari kelompok lain; sukubangsa sebagai suatu jatidiri yang lebih mengacu pada ciri-ciri fisik, gaya bicara yang pada akhirnya sebagai perwujudan dalam tingkat sosial dengan dasar askriptif; kemudian
147
menjadi bahasa pengantar komunitas Melayu, tetapi juga menjadi bahasa pengantar komunitas pendatang dari berbagai daerah. Sebagian besar pendatang itu memang sudah lancar cakap maupun logat Melayunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila orang berasal dari Jawa, sudah pandai berbahasa Melayu dengan logatnya pula. Sebenarnya bahasa Melayu15 ini sudah merupakan identitas masyarakat Tanjung Balai. Apalagi bila mereka adalah komunitas asal/asli/lokal, dari sejak dini sudah mendengar dan berinteraksi dengan lingkungannya berbahasa Melayu. Sementara itu bahasa Indonesia biasa mereka kenal dan pergunakan terutama di ruang formal yang sifatnya multikultur. Artinya di ruang tersebut banyak orang dari luar daerah lain yang kurang memahami bahasa Melayu, barulah bahasa Indonesia mereka pergunakan. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda, karena bahasa Melayu adalah dasar dari bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia merupakan perkembangan dari bahasa Melayu. Oleh karena itu bila bahasa Melayu tersebut digunakan dalam berkomunikasi, biasanya komunitas yang sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia tidak mengalami kesulitan untuk memahaminya. Dalam ruang keluarga interaksi berbahasa Melayu atau cakap Melayu, semakin jelas intensif digunakan oleh para anggotanya. Suami dengan isteri, orang tua dengan anak, antar kerabat selalu menggunakan cakap Melayu dalam suatu interaksi. Oleh karena itu bahasa Melayu dalam kehidupan komunitas asal/asli Tanjung Balai dapat dianggap sebagai bahasa yang komunikatif, karena dapat dimengerti dan dipahami oleh sebagian besar warga masyarakatnya serta bisa diwujudkan dalam ruang formal maupun non formal.
kebudayaan yang mengacu pada model-model dan cara memahami serta menginterpretasi lingkungan yang kemudian dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan dan benda-benda budaya (Budi Utomo, 2007) 15
Berbagai kelompok etnik di Indonesia dan juga di luar Indonesia ada yang berbahasa Melayu, atau dialek tertentu dari bahasa Melayu, bahkan ada yang telah mengembangkan bahasa tersendiri ysng tidak lagi disebut dialek atau bahasa Melayu. Namun bahasa-bahasa tersebut termasuk rumpun atau keluarga bahasa Austronesia atau Melayu Polinesia.
148
Kehidupan masyarakat lokal/asli Tanjung Balai tidak lepas dari struktur sosial masyarakatnya. Struktur sosial masyarakat Tanjung Balai terdiri dari struktur formal dan informal/non formal. Struktur formal dapat dilihat dalam struktural pemerintahan Kota Tanjung Balai, yakni struktural pucuk atau lapisan paling atas adalah walikota pemimpin seluruh daerah/wilayah Tanjung Balai, kemudian camat adalah pemimpin bagian wilayah Tanjung Balai dalam lingkup kecamatan, lurah/kepala desa pemimpin bagian wilayah Tanjung Balai dalam lingkup kelurahan/desa yang merupakan struktur terendah dalam struktur pemerintahan di Tanjung Balai. Namun demikian di wilayah lingkup kelurahan/desa tersebut seperti di Kelurahan Pematang Pasir, Tanjung Balai, lurah atau kepala desa merupakan pemimpin formal yang berada dalam lapisan atas di wilayah pemerintahannya. Artinya lurah/kepala desa tersebut secara formal berada dalam kedudukan paling atas, dan para aparat kelurahan/desa yang membantunya dalam mengatur kehidupan sosial warga masyarakat, berada pada kedudukan di bawahnya. Sementara itu secara formal pula warga masyarakat berada di bawah kedudukan/struktur pemerintahan Kelurahan Pematang Pasir. Artinya warga masyarakat Pematang Pasir, harus tunduk dengan aturan/kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kelurahan berkenaan dengan kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam struktur informal/non formal, Lurah Pematang Pasir dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tidak berperan atau tidak menjalankan perannya sebagai lurah melainkan sebagai rakyat/warga masyarakat biasa (warga masyarakat Pematang Pasir). Namun demikian bagi warga masyarakat peran yang diwujudkan lurah di luar struktur formal itu, tetap sebagai sosok yang memimpin. Oleh karena itu kedudukan lurah di ruang struktur informal/non formal tetap berada pada lapisan atas sama dengan kedudukan para tokoh masyarakat, yakni tua adat, alim ulama/ustadz/kyai, guru. Artinya Lurah Pematang Pasir dalam struktur informal/non formal dianggap sebagai tokoh masyarakat. Sementara itu warga masyarakat lainnya berada di bawah kedudukan para tokoh masyarakat tersebut. Struktur sosial masyarakat yang bersifat informal/non formal tersebut, terutama yang berada pada lapisan atas yakni para tokoh 149
masyarakat dapat menjalankan perannya dalam memimpin/ mengayomi warga. Bila warga masyarakat ada yang bermasalah, sebagai orang yang ditokohkan dan dipandang mereka dianggap mampu untuk menyelesaikannya. Artinya para alim ulama/ustaz/kyai maupun tua adat atau pendidik, selalu dianggap mampu menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Bila masalah tidak dapat diselesaikan, biasanya dilanjutkan melalui jalur hukum positif seperti kasus Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami penipuan di Malaysia. Struktur sosial masyarakat Tanjung Balai khususnya di Kelurahan Pematang Pasir yang berada di tingkat kalangan biasa/rakyat, yakni para warga masyarakat dapat menjalankan perannya masing-masing. Mereka yang secara keseluruhan terdiri dari komunitas lokal/asal dan pendatang itu, dapat terintegrasi dengan baik. Masing-masing sesuai dengan kemampuan dan latar belakang sukubangsa maupun kebudayaannya dapat menjalankan perannya dalam kehidupan masyarakat. Orang Melayu yang merupakan komunitas lokal/asal sebagian menjalankan perannya dalam bidang kenelayanan. Sebagian lagi ada yang berperan dalam pertanian, perdagangan, pegawai negeri maupun swasta. Demikian pula dengan pendatang, mereka menjalankan perannya sebagai pedagang, pegawai negeri maupun swasta dan bidang jasa lainnya. Bidang yang diperankan komunitas lokal/asal maupun pendatang itu meskipun ada yang sama, tetapi tidak mengambil bagian dari komunitas lokal. Artinya antar mereka mempunyai bidang masing-masing pula atau mereka dapat bersaing secara positif. Dalam bidang perdagangan, pendatang banyak berperan sebagai pedagang barang kelontong, barang elektronik maupun lainnya. Sementara itu komunitas lokal/asal, biasa membuka warung makanan dan minuman maupun toko bangunan. Kondisi demikian jelas mencerminkan proses identitas peran yang dijalankan masing-masing pihak dapat berjalan baik meskipun hal tersebut harus ada saling pengertian baik sebagai komunitas lokal maupun pendatang. Kondisi ini didukung pula oleh disatukannya komunitas lokal dengan pendatang dalam suatu organisasi yang bernama FORKALA, yakni Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat. Melalui forum komunikasi inilah berbagai permasalahan masyarakat dari berbagai daerah asal dapat diselesaikan. 150
Aktivitas ekonomi yang mereka alami tersebut, secara nyata tidak menunjukkan persaingan yang berarti. Artinya sesama komunitas Melayu dan dengan komunitas pendatang tidak mengemuka suatu persaingan yang berarti dalam perebutan sumberdaya yang ada. Sektor ekonomi informal seperti buruh upahan yang digeluti sebagian pendatang dari Jawa, tidak selalu mempengaruhi komunitas lokal Melayu untuk mengambil kesempatan itu. Demikian pula dengan banyaknya pendatang menjadi TKI ke Malaysia, tidak mengkondisikan komunitas lokal Melayu untuk berpaling pada pekerjaan tersebut. Kalaupun ada jumlah mereka tidak sebesar para pendatang itu. Biasanya komunitas Melayu itu tertarik untuk bekerja di Malaysia sebagai tenaga profesional, seperti guru/pengajar. Oleh karena itu mereka yang banyak bekerja di Malaysia adalah tenaga kerja yang cukup terdidik. Demikian pula secara sosial dalam kehidupan kemasyarakatan, antarkomunitas Melayu dengan komunitas pendatang dapat dianggap tidak muncul suatu persaingan atau konflik yang mengemuka. Kalaupun ada menurut informasi dapat diselesaikan secara musyawarah. Antarkomunitas suku bangsa mereka cukup saling bertoleransi, meskipun rasa kurang nyaman selalu dapat terjadi. Seperti dengan orang Cina ketidaknyamanan semakin terjadi bila tanah dan rumah banyak dibeli oleh orang Cina. Kondisi demikian kalau tidak dibatasi akan berdampak buruk karena memungkinkan Tanjung Balai akan dikuasai oleh orang Cina. Apalagi bila pemerintah daerah mengabaikan dan tidak mengeluarkan suatu kebijakan. Sementara itu pula pendatang luar negara (Malaysia), juga ada yang membeli lahan tetapi dianggap tidak mengganggu kenyamanan warga Tanjung Balai. Lagi pula antara warga Tanjung Balai dengan warga Malaysia tersebut terjadi hubungan yang bersifat kerabat hubungan darah maupun kerabat karena perkawinan. Biasanya hubungan demikian secara tatap muka bisa berlangsung pada waktu tertentu, seperti pada waktu Idul Fitri atau lainnya dalam wujud saling kunjung-mengunjungi. Oleh karena itu pula warga Malaysia oleh sebagian Melayu Tanjung Balai dipandang cukup ramah-tamah. Namun demikian ada sebagian warga Melayu Tanjung Balai yang beranggapan warga Malaysia 151
tidak ramah, karena berkaitan dengan kasus tenaga kerja Indonesia yang dianiaya. Ditambah lagi orang Indonesia disebut dengan istilah Indon yang mengandung arti melecehkan. Bagi komunitas Melayu Tanjung Balai, warga Malaysia merupakan warga serumpun Melayu16 yang artinya banyak kesamaan dimiliki seperti dalam adat istiadat, makanan tradisional dan dalam berkesenian. Namun demikian kesamaan kebudayaan Melayu yang dimiliki itu, tetap mencerminkan Melayu di bagian wilayah Indonesia khususnya di Tanjung Balai adalah sebagai centernya. Hal itu dibuktikan sisa peninggalan kerajaan Melayu (benda-benda budaya) di Tanjung Balai. Selain itu tokoh budaya Melayu, tua adat Melayu adalah orang Tanjung Balai yang sangat menguasai kebudayaan Melayu dan perkembangannya. Ada beberapa tokoh budaya Melayu itu migrasi ke malaysia dan mereka sangat dihargai. Sementara itu tokoh budaya Melayu di Tanjung Balai kurang mendapat penghargaan dari pihak pemerintah (pemda). Komunitas Tanjung Balai beranggapan negara tetangga Malaysia, adalah negara yang mempunyai ekonomi lebih baik atau lebih maju dari Indonesia (khusus di Tanjung Balai). Terwujud dengan mampunya mereka menerima pekerja Indonesia dalam berbagai bidang. Pekerja Indonesia terbanyak adalah di bidang jasa kasar (buruh upahan) yang dapat menerima upah lebih besar dibandingkan bekerja di negaranya sendiri. Oleh karena itu itu ketetarikan bekerja di bidang jasa oleh tenaga kerja Indonesia ke Malaysia tidak berkurang meskipun berbagai kasus ketidaknyamanan sering terjadi. Ketetarikan warga Tanjung Balai akan negara tetangga bukan hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang kesehatan. Oleh karena itu warga Tanjung Balai terutama golongan menengah ke atas cenderung berobat ke Malaysia bila mengalami suatu penyakit. Mereka menganggap pelayanan yang diperoleh sangat nyaman, dan fasilitas yang tersedia memadai di samping 16
Sebagai sesama bangsa Melayu, baik yang ada di Asia Tenggara daratan (termasuk semenanjung) maupun di Nusantara, mempunyai banyak kesamaan yang mendasar, di antaranya, pertanian sawah, rumah panggung teknologi alat angkut air tradisional, serta teknologi menenun dan hasil tenunnya (Budi Utomo, Ragam Pesona seni-budayapariwisata Indonesia: 02/1-November 2007)
152
tenaga medisnya yang profesional. Kondisi demikian terjadi juga didukung oleh faktor kedekatan jarak tempuh dan jarak waktu lebih singkat dibanding harus berobat ke Medan atau Jakarta. Namun demikian kondisi ini bertolak belakang dari kenyataan bahwa para dokter di Malaysia banyak yang menyelesaikan pendidikannya di Medan melalui Universitas Kedokteran Sumatera Utara. Artinya banyak warga Malaysia yang berminat untuk belajar kedokteran di Indonesia terutama di Universitas Sumatera Utara yang berlokasi di Medan. Kondisi ini cukup membanggakan karena warga Malaysia di satu sisi menganggap pendidikan kedokteran di Medan lebih baik dibandingkan pendidikan kedokteran di negaranya. Persoalan kesehatan yang dialami oleh warga masyarakat Tanjung Balai sebenarnya dapat diselesaikan melalui Puskesmas yang merupakan pola nasional (pemerintah). Namun demikian mereka yang mengacu pada Puskesmas hanya sebagian warga masyarakat, yakni golongan menengah ke bawah. Kalau tidak ke Puskesmas mereka juga tertarik menjalankan kesehatan melalui pola tradisional, yakni pengobatan yang dilakukan oleh orang pintar yang dianggap dapat menyembuhkan. Biasanya pengobat tradisional itu adalah orang tua yang sejak dulu dipercaya warga masyarakat mampu mengobati. Namun awal pengobatan warga cenderung pergi ke Puskesmas, tidak bisa sembuh baru pergi ke orang pintar. Tidak sembuh juga barulah mereka berangkat berobat ke Malaysia bila kondisi memungkinkan. Berarti pola kesehatan yang dilakukan warga masyarakat Tanjung Balai, diawali dengan mengacu pada pola nasional yang kemudian diikuti dengan pola lokal. Kalau kondisi memungkinkan artinya bila ada uang barulah berobat ke Malaysia. Namun bagi mereka yang memiliki uang, paling awal dilakukan adalah berobat ke Malaysia. Kehidupan sosial yang berlangsung pada masyarakat Tanjung Balai, khususnya komunitas lokal Melayu mencerminkan juga mengacu pada pola nasional. Artinya budaya yang jadi acuannya tidaklah budaya lokal saja tetapi juga budaya nasional. Seperti tercermin dalam peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, kantor-kantor pemerintah daerah maupun swasta, sekolah-sekolah mengadakan upacara resmi penaikan bendera Merah Putih. Selain itu pelajaran di sekolah-sekolah mengacu pada kurikulum nasional, namun kadangkala belum semua bisa diterapkan seperti muatan 153
lokal/pelajaran kebudayaan daerah yang tidak bisa optimal direalisasikan. Oleh karena ini pula anak didik di sekolah kurang mendapat informasi yang luas mengenai kebudayaan daerahnya. Kondisi demikian memberi peluang identitas kesukubangsaan komunitas lokal Melayu Tanjung Balai mengalami hambatan karena proses informasi dan komunikasi yang kurang berjalan. Dalam suatu lingkungan sosial tertentu sering identitas kesukubangsaannya dapat dimunculkan/mengemuka, seperti pada waktu di ruang keriaan/hajatan perkawinan, sunatan, ditampilkan tata cara adat Melayu Tanjung Balai. Terwujudkan dalam prosesi perkawinan atau sunatan itu berlangsung. Biasanya dalam prosesi itu pula dikenalkan pakaian adat Melayu dengan segala perlengkapannya dan disajikan berbagai makanan khas Melayu bagi para tamu. Identitas tersebut dimunculkan pula melalui perilaku/ tatakrama dan gaya bahasa sehari-hari di ruang publik. Ada kebiasaan mereka yang muda lebih dulu menegur yang tua, masuk ke dalam rumah harus menyebutkan Assalamualaikum, dan gaya berbahasa kadangkala dapat diselingi dengan berpantun. Kondisi demikian bisa diartikan secara sengaja atau tidak komunitas Melayu Tanjung Balai berusaha mempertahankan identitas ke-Melayuannya melalui berbagai wujud. Oleh karena sukubangsa dan budaya Melayu adalah identitasnya, maka mereka berusaha pula untuk melestarikannya dengan berbagai cara. Dalam lingkungan keluarga anak-anak selalu dikenalkan dengan adat-istiadat/ tradisi Melayu, bisa melalui makanan dan kebiasaan dalam berpakaian. Dalam lingkungan masyarakat proses pelestarian tersebut, diwujudkan dengan terbentuknya berbagai organisasi Melayu. Antara lain organisasi MABMI (Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia) dengan lingkup wilayah se-Sumatera Utara. Pada saat ini ketua MABMI dijabat oleh Bupati Langkat. Sedangkan untuk cabang di Kota Tanjung Balai dijabat oleh isteri Walikota Tanjung Balai. Tujuan dari organisasi MABMI tersebut adalah untuk membina orang Melayu agar menjaga adat budaya Melayu tidak punah. Di bawah organisasi MABMI tersebut terdapat organisasiorganisasi bagi generasi muda, yang bertujuan agar generasi muda dapat melanjutkan peran generasi tua dalam melestarikan budaya-nya supaya sampai pada generasi-generasi penerus Melayu berikutnya yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Organisasi tersebut antara lain adalah Gerakan Angkatan Muda Melayu Indonesia (GAMMI), Forum Kesultanan Asahan, dan Himpunan Anak Melayu 154
Kesultanan Asahan (HAMKA). Organisasi-organisasi tersebut biasanya mempunyai berbagai program kegiatan yang berkaitan dengan adatistiadat Melayu, seperti upacara adat Melayu dan kesenian Melayu. Oleh karena konsennya organisasi tersebut dalam melestarikan adat-istiadat budaya Melayu, maka pemerintah daerah berusaha mengikutsertakan organisasi tersebut untuk berperan dalam peristiwa pesta adat daerahnya yakni Upacara Pesta Kerang. Upacara Pesta kerang tersebut berkaitan dengan identitas komunitas Melayu Tanjung Balai yang sebagian besar adalah Nelayan dan berkaitan pula dengan sejarah Melayu dari Kesultanan Asahan. Upacara Pesta Kerang yang merupakan identitas Melayu Tanjung Balai itu dilestarikan oleh pemerintah daerah melalui kegiatan event daerah setiap tanggal 27 Desember yang mengacu pada pengangkatan sultan pertama Kesultanan Asahan. Peran pemerintah daerah Tanjung Balai dalam melestarikan budaya daerahnya tersebut tidaklah berlebihan, mengingat kebudayaan maupun sejarah Melayu kurang/tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah sehingga mengkondisikan generasi muda kurang memahami dan mengapresiasi sejarah daerahnya sendiri. Ditambah lagi dengan belum juga disediakan/dibangun sanggar seni budaya Melayu Tanjung Balai oleh pemerintah daerah, sebagai wadah ekspresi budaya/seni generasi muda. Memprihatinkan kalau kondisi demikian berlangsung terus, karena pengetahuan kebudayaan suatu masyarakat bisa hilang apabila tidak ditransferkan kepada generasi muda. Apalagi peran orang tua tidak dapat optimal dalam mensosialisasikannya, sementara itu generasi muda memiliki waktu terbatas dengan berbagai kegiatan yang dimilikinya. Oleh karena itu jalur pendidikan formal/ non formal (sekolah/ sanggar) merupakan ruang yang kondusif dalam memberi wawasan kebudayaan kepada generasi muda. Untuk itu pemerintah daerah Tanjung Balai harus berupaya memasukkan muatan lokal dalam kurikulum sekolah lebih detail dan optimal lagi. Juga dapat memberikan perhatian yang maksimal dalam bidang kebudayaan, antara lain mendengarkan keinginan para tokoh budaya untuk mendirikan sanggar seni budaya Melayu guna kepentingan generasi muda dalam mengekspresikan kebudayaannya sebagai jatidiri/ identitas daerah maupun bangsanya.
155
BAB IV ANALISIS PENGUATAN DAN PEMAHAMAN BUDAYA MASYARAKAT DI DAERAH PERBATASAN A. Tanjungpinang 1.
Faktor Menguatkan Budaya
Komunitas lokal di Tanjungpinang, merupakan orang Melayu yang bisa mendapat pengaruh dari negara lain, pemerintah, maupun suku bangsa lain. Secara geografis wilayah huniannya dibatasi oleh laut dengan wilayah negara Malaysia maupun Singapura. Secara politis orang Melayu tersebut berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang artinya mereka adalah bangsa Indonesia dan warga negara Indonesia. Mereka berbeda dengan bangsa diseberang lautan itu, yakni bangsa Malaysia dan Singapura. Bangsa mengandung pengertian objektif dan subjektif mengacu dari tulisan Tatang Muttaqin dan kawan-kawan yang mengutip dari David Miller, mengatakan bahwa bangsa atau nasionalitas adalah suatu komunitas yang 1) dibentuk dari keyakinan bersama dan komitmen yang saling menguntungkan, 2) mempunyai latar belakang sejarah, 3) berkarakter aktif, 4) berhubungan dengan suatu wilayah tanah air tertentu, 5) dibedakan dari komunitas lain melalui budaya publiknya yang khas (Tatang Muttaqin dkk, 20, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut, maka bangsa Indonesia dengan Malaysia/Singapura merupakan suatu bangsa yang berbeda meskipun dalam bangsa yang berbeda itu warga masyarakatnya memiliki kesamaan sukubangsa. Meskipun berbeda wilayah dan bangsa dengan komunitas Melayu Malaysia maupun Singapura, tetapi antara mereka (Melayu Tanjungpinang dan Malaysia/Singapura) merupakan satu rumpun sukubangsa atau satu sukubangsa (terutama suku Melayu). Apalagi kalau ditelaah secara historis, mereka adalah satu nenek moyang satu keturunan. Artinya antara mereka berada dalam sukubangsa yang sama. Dengan demikian dapat dikatakan batas geografis dan 156
politis, membelah etnisitas atau sukubangsa yang sama tadi, dan membuat perilaku, persepsi, cara hidup yang berbeda. Seperti yang dikatakan Riwanto Tirtosudarmo perbatasan sebagai sebuah negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Ia bahkan membelah etnisitas yang sama, karena dialaminya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama (Riwanto Tirtosudarmo, iv, 2002). Oleh karena itulah tidak mengherankan bila antara mereka (Melayu Tanjungpinang dengan Melayu Malaysia maupun Singapura) memiliki hubungan kerabat, yang kekerabatannya bisa dihitung sampai tiga atau empat generasi. Memiliki hubungan kerabat ini memungkinkan antara mereka saling silahturahmi. Orang Melayu Tanjungpinang sewaktu-waktu datang ke Malaysia atau Singapura untuk mengunjungi dan menjalin hubungan kerabat. Demikian pula sebaliknya orang Melayu Malaysia atau Singapura juga datang ke Tanjungpinang (Indonesia) guna menjalin hubungan kerabat pula. Khususnya orang Melayu Malaysia atau Singapura datang ke Tanjungpinang, juga karena ada rasa ikatan adat yang kuat akan daerah asal nenek moyangnya orang Melayu. Kondisi ini memberi cerminan bahwa orang Melayu Malaysia maupun Singapura mendapat pengaruh budaya (adat dan upacara) yang kuat dari Melayu Tanjungpinang. Dapat nampak pada upacara Isra Miraj yang dilakukan kelompok sosial Melayu Tanjungpinang di Gunung Bintan dengan berbagai tahapan ritual dihadiri oleh orang Melayu Malaysia maupun singapura yang bisa bersifat pelaku atau hanya sebagai penonton. Setiap satu tahun sekali ritual ini dilakukan, setiap satu tahun sekali juga orang Melayu Malaysia dan Singapura akan mengikuti ritual tersebut. Artinya orang Melayu Tanjungpinang sebagai kelompok sosial yang bersuku bangsa dan berbudaya Melayu, memiliki sifat superior budaya dibanding orang Melayu Malaysia atau Singapura yang bersifat inverior. Kalau dilihat secara politis orang Melayu Tanjungpinang yang merupakan bangsa Indonesia, berada dalam kedudukan yang kuat secara budaya. Memberi kesan penguatan dan pemahaman orang Melayu Tanjungpinang terhadap budayanya cukup baik, meskipun mereka dapat pengaruh dari luar negara. 157
Terukurnya dapat dikatakan dalam bentuk bertahan atau tetap kuat dengan adat-istiadat yang dimiliki. Adat-istiadat yang dimiliki orang/suku Melayu dikuatkan pula melalui ruang nasional, dapat dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah (pemerintah daerah) yang bertujuan agar budaya Melayu dapat dipahami dan dikembangkan pada generasi selanjutnya sehingga budaya Melayu tidak hilang ditelan bumi. Seperti setiap sekolah dan perkantoran (khusus kantor pemerintah), mewajibkan para siswa dan guru; para pegawai mengenakan pakaian adat Melayu pada hari tertentu. Juga dalam kurikulum sekolah muatan lokal, diisi bahasa Melayu dan sistem kekerabatan Melayu. Tidak kalah pentingnya didirikan Lembaga Adat Melayu (LAM) dari tingkat kecamatan, kota/kabupaten, sampai dengan tingkat provinsi, dan adanya organisasi masyarakat Rumpun Melayu Bersatu (RMB). Sementara itu pemuka adat bersama dengan pemerintah daerah, turut serta ambil bagian dalam dibentuknya DMDI (Dunia Melayu Dunia Islam) bersatu yang diprakarsai oleh Malaysia. Berkaitan dengan lembaga ini, hendaknya pemerintah daerah harus peka akan tujuan meningkatkan kekuatan budaya Melayu dan jangan terkecoh akan unsur-unsur dan kepentingan lain. Seperti yang tejadi pada waktu masa Soekarno, yang tetap bertahan dengan Indonesia Rayanya daripada Melayu Raya yang dianggap atau dipersepsikan ada kepentingan lain (Budi Utomo, 7-8, 2007). Komunitas Melayu sendiri selalu mengadaptasikan kehidupan budayanya dengan ruang nasional (melalui kebijakan pemda). Adanya berbagai perlombaan kesenian Melayu dari tingkat kecamatan, kabupaten, Provinsi, Nasional, mendorong kalangan generasi muda mendirikan sanggar-sanggar seni yang ada di tingkat kecamatan, kota/kabupaten, dan provinsi yang turut dalam ajang perlombaan. Kondisi ini memberi gambaran budaya Melayu berusaha dipertahankan oleh kalangan masyarakatnya sebagai pelaku dan penerus kebudayaan. Komunitas Melayu juga terkesan berusaha mempertahankan budaya kesukubangsaannya melalui pengetahuannya tentang cerita rakyat Melayu misal batu belah dan hutan paku, tentang lahan (kepemilikan dan pewarisan lahan secara tradisional), tentang kelompok kerabat dan lain sebagainya yang diperoleh dari orang 158
tua. Namun kini pengetahuan ini tidak selalu dapat disosialisasikan ke generasi berikut, karena keterbatasan waktu yang dimiliki orang tua dan anak mengikuti pendidikan formal (sekolah) dengan waktu yang panjang. Disinilah ruang nasional dapat berperan dalam mentransfer pengetahuan tersebut kepada anak-anak sekolah, tetapi tidak bisa maksimal dengan terbatasnya muatan lokal dalam kurikulum. 2. Faktor Melemahkan Budaya Ruang nasional dalam kehidupan masyarakat (komunitas Melayu) selalu diusahakan mempunyai peranan, misal dalam kesehatan (pemerintah menyediakan Puskesmas; Posyandu), permukiman (pemerintah menyediakan BTN). Bagi masyarakat (komunitas Melayu) fasilitas kesehatan yang ada pada awalnya dapat mereka manfaatkan, terutama bagi kalangan ekonomi lemah. Namun bila tidak sembuh mereka mencoba cara tradisional, atau pergi berobat ke Malaysia/ Singapura dengan bantuan kerabat di Malaysia/ Singapura. Sementara itu kalangan ekonomi kuat mempunyai kecenderungan untuk selalu berobat ke negara tetangga tersebut. Dapat dianggap komunitas Melayu kurang mengadaptasikan dirinya dengan ruang nasional dalam bidang kesehatan. Artinya ruang nasional dalam bidang kesehatan (Puskesmas) kurang diyakini atau dipercayai masyarakat sebagai jalan keluar untuk berobat. Disini masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap pelayanan atau fasilitas kesehatan yang tersedia di Tanjungpinang (Indonesia). Sehingga bidang kesehatan di Tanjungpinang berada dalam inverior dibanding dengan negara tetangga yang superior. Dalam bidang ekonomi komunitas Melayu cukup mendapat pengaruh negara tetangga (Malaysia/Singapura). Kalangan ekonomi lemah (generasi muda) relatif banyak bekerja di bidang jasa, baik yang bekerja di Malaysia/Singapura (buruh, pembantu rumah tangga, supir) maupun yang tetap bekerja di Tanjungpinang (tukang ojek, tukang di pelabuhan, buruh kapal penyeberangan). Pelaku kerja di bidang jasa tersebut, telah berorientasi pada ekonomi uang (segala sesuatu dasarnya adalah uang). Peluang kerja di bidang jasa menjadi terbuka, karena akibat pengaruh 159
masyarakat negara tetangga yang datang berkunjung ke Tanjungpinang untuk berlibur, mengunjungi kerabat, menghabiskan uang, dan lain-lain. Sementara itu negara tetangga membutuhkan tenaga kerja murah, yang dapat diperoleh dari Tanjungpinang (Indonesia). Kondisi ini memberi cerminan bahwa orang/suku Melayu di Tanjungpinang mempunyai kedudukan inverior di bidang ekonomi dibanding orang/suku Melayu di negara tetangga. Secara ekonomi tidak dipungkiri mereka yang bekerja di Malaysia/Singapura kembali ke Tanjungpinang mampu membangun rumah, dan membeli barang-barang berharga lain yang belum tentu diperoleh bila bekerja di Tanjungpinang (Indonesia). Namun kalau dikaji lebih dalam kenapa ini bisa terjadi dengan mengingat tenaga kerja kita dibayar relatif rendah. Rupanya kondisi ini berkaitan dengan uang ringgit yang nilainya berada di atas rupiah. Oleh karena itu uang ringgit kalau dibelanjakan di Tanjungpinang (Indonesia) relatif berjumlah besar. Berkaitan dengan ini pula maka mereka yang bekerja di negara tetangga tidak akan membelanjakan uang yang diperolehnya di negara tersebut, karena biaya hidup yang dialami cukup tinggi. Begitu pula yang dirasakan orang Malaysia/Singapura uang yang mereka peroleh dari hasil kerja hanya habis untuk biaya hidup di negaranya. Sementara itu uang yang diperolehnya kalau dibelanjakan di Tanjungpinang sangat berharga, karena dapat digunakan untuk bermacam keperluan. Ruang nasional dalam ekonomi tidak mampu mempunyai peranan luas, karena keterbatasannya dalam menciptakan lapangan kerja formal yang dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itulah banyak yang memanfaatkan sektor informal sebagai peluang untuk memperoleh hasil relatif memuaskan ( terutama di negara tetangga). Kondisi ini menggambarkan bahwa keadaan ekonomi di negara tetangga (Malaysia/Singapura) bersifat superior dibanding ekonomi Tanjungpinang (Indonesia) yang inverior. Artinya kehidupan ekonomi masyarakat Tanjungpinang (khususnya orang Melayu), dapat dipengaruhi oleh ekonomi negara tetangga (terutama dalam faktor lapangan kerja). Dengan demikian faktor lapangan kerja menjadi daya tarik yang kuat beroriantasinya mereka ke negara tetangga. Kehidupan orang Melayu juga dipengaruhi oleh berbagai informasi yang mudah mereka peroleh dari negara tetangga, 160
sementara itu informasi dari Indonesia (pusat) sulit mereka peroleh terutama melalui media elektronik (kalaupun bisa hanya RRI dan stasion TV SCTV). Oleh karena itulah mereka cukup tahu akan keadaan politik di Malaysia/Singapura dibanding di Indonesia, mereka menjadi tahu dunia fashion yang terjadi di sana, dan lainlain yang bisa diserap dalam kehidupannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya proses transformasi budaya, yakni perubahan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Artinya orang Tanjungpinang (Melayu) bisa saja menjadi orang yang sangat terbuka dengan dunia luar/negara lain. Sebenarnya kalau ditelaah proses informasi yang dialami masyarakat di Tanjungpinang (orang Melayu), berjalan dengan sendirinya tanpa disengaja. Sebagian besar mereka hanya bisa menonton TV Malaysia/Singapura dan tidak bisa menonton TV dari siaran Indonesia (pusat) karena pengaruh satelit. Padahal mereka juga ingin sekali dapat menonton TV siaran Indonesia agar memperoleh informasi yang cukup akan keadaan negaranya. Dengan kondisi inilah orang Tanjungpinang akan lebih dulu mengetahui keadaan negara lain, sementara itu pemerintah tidak bisa mencari solusi. Sehingga memberi kesan ruang nasional dalam menangani informasi sangat lemah kurang menunjukkan peranannya. Wilayah informasi di Tanjungpinang jadi lebih dikuasai negara Malaysia/Singapura, yang artinya masyarakat cenderung mengadaptasikan proses informasi ke luar negara. B. Entikong 1. Faktor Menguatkan Budaya Daerah Entikong merupakan wilayah perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia (daerah Tebedu), atau daerah borderline dan menjadi daerah PPLB (Pos Penjagaan Lintas Batas). Komunitas lokal (masyarakat asli) di Entikong adalah orang Dayak (orang luar menganggap Dayak Bedayuh). Merekalah secara turuntemurun yang telah menempati daerah hunian ini sejak awal. Sejak awal pula mereka merupakan satu suku bangsa dan satu nenek moyang dengan orang Dayak Malaysia. Namun karena suatu peristiwa terbentuknya batas negara, maka antara mereka secara 161
politis menjadi berbeda bangsa. Berbeda bangsa bukan berarti menjadi berbeda suku bangsa, suku bangsa tetap sama hanya masing-masing berada di wilayah Indonesia dan Malaysia. Orang Dayak Entikong (tepatnya di Dusun Sontas) dengan kerabatnya orang Dayak Malaysia, selalu menjalin hubungan melalui saling mengunjungi. Rutin kunjung adalah pada saat Gawai Dayak (Gawai Padi) yang setahun sekali dilakukan baik di Entikong (Dusun Sontas) maupun di daerah malaysia. Pada bulan Mei Gawai padi di Entikong dihadiri kerabat di Malaysia. Bulan Juni Gawai padi di Malaysia dihadiri oleh orang Dayak di Entikong. Ini merupakan suatu tradisi orang Dayak yang tidak pernah ditinggalkan. Tradisi ini seolah-olah sudah menyatu dalam kehidupannya yang tidak lepas dari bertani ladang berpindah. Dalam tradisi ini ritual (bersifat kristiani) di rumah Panca (tempat tengkorak manusia hasil kayauan nenek moyang Dayak) selalu dilakukan. Rumah Panca ini bagi orang Dayak (Entikong maupun Malaysia) sebagai sarana penghubung dengan nenek moyang yang berada di alam supranatural dan merupakan lambang keperkasaan nenek moyang (komunitas Sontas masa lalu). Oleh karena merasa ada ikatan dengan rumah Panca tersebutlah orang Dayak Malaysia selalu menyempatkan diri untuk datang ke Entikong (Dusun Sontas). Kondisi ini memberi kesan orang Dayak Malaysia memiliki orientasi adat-istiadat suku bangsanya (tradisinya) kepada Dayak di Entikong. Artinya Dayak di Entikong (Dusun Sontas) berada dalam kondisi superior dalam adat-istiadat/tradisinya. Orang Dayak Dusun Sontas cenderung sangat mengapresiasi budayanya secara turun-temurun, dengan tetap menjalankan tradisi nenek moyang meskipun mereka sebagai penganut Nasrani dan keterkaitannya dengan kepercayaan lama sudah semakin menghilang. Adat-istiadat/tradisi yang mereka miliki masih bisa bertahan meskipun pengaruh-pengaruh luar telah masuk dalam kehidupannya. Artinya orang Dayak di Entikong dalam kehidupan budaya suku bangsanya masih dapat dikatakan menguat, yang diwujudkan dalam mempertahankan simbol-simbol kulturalnya tadi. Ada kecenderungan adat-istiadat/tradisi orang Dayak di Dusun Sontas berjalan sendiri, tanpa campur tangan yang dalam dari pemerintah setempat. Seperti tercermin dalam kurikulum 162
sekolah tidak ada muatan lokal yang mengenalkan budaya Dayak secara rinci. Kondisi ini bisa memberi peluang kultural mereka berangsur-angsur kurang dikenal oleh generasi Dayak berikut. Apalagi orang tua tidak memiliki kesempatan lagi untuk menurunkan kepada anak-anak, karena waktu anak padat dengan sekolah dan orang tua sibuk berladang. Sehingga pranata sosial lama tidak dapat lagi mereka jalankan dengan baik. Namun demikian tidak berarti penguatan atau ketahanan budaya yang mereka miliki menipis, karena adat-istiadatnya dalam kehidupan sehari-hari selalu mengemuka (seperti dalam bercocok tanam ladang berpindah). Berkaitan dengan bercocok tanam itu, kawasan peladangan orang Dayak tersebut dapat menjadi kawasan lokasi pertanian menetap dengan memperhatikan beberapa persyaratan yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu: (1) kemiringan lahan tidak lebih dari 15%, idealnya maksimal 8 %, (2) hamparan cukup luas, (3) dikerjakan sepanjang tahun dengan pola tumpang sari dan tumpang gilir, dan (4) menggunakan tanaman penyangga erosi berupa tanaman cover crop dari jenis kacang-kacangan. Frekuensi pindah lokasi baru kembali ke lokasi semula. Disini ditemui ada enam keadaan yaitu: 1. Satu kali siklus kembali ke lokasi awal setelah melakukan lima kali rotasi, dengan asumsi 5 tahun di satu lokasi maka waktu yang digunakan baru kembali ke lokasi awal adalah 25 tahun dan dapat dipastikan bahwa lokasi hutan tersebut sudah menjadi hutan primer kembali. 2. Kembali ke lokasi awal setelah melakukan rotasi 4 kali, maka ia kembali ke lokasi awal sekitar 20 tahun. 3. Dengan asumsi yang sama, jika 3 kali pindah sudah kembali ke lokasi awal maka dapat dibayangkan vegetasi lahannnya sudah berupa pohon muda atau hutan sekunder. 4. Jika pindah setelah dua kali rotasi maka baru kembali ke lokasi awal maka ia kembali ke lokasi awal adalah 10 tahun dengan kondisi hutan mendekati hutan sekunder. 5. Petani berladang tidak pindah-pindah berarti menjadikan ladangnya sebagai lahan pertanian menetap. Untuk masa yang akan datang nampaknya pola inilah yang selayaknya 163
dikembangkan melalui pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat. 6. Pindah tetapi tidak kembali ke tempat asal, ini menunjukkan bahwa petani ini berorientasi pada bisnis dalam arti berpikiran maju, yaitu mengharapkan lahan perkebunan karetnya semakin luas dengan bertambahnya lahan yang dapat digarap. Menanam padi hanya sebagai batu loncatan untuk menbuka kebun karet, yang nantinya diharapkan sebagai mata pencaharian atau sumber keluarga. Seperti dikatakan sebelumnya kehidupan orang Dayak di Dusun Sontas mendapat pengaruh dari luar, yakni pemerintah (pusat maupun daerah), pendatang dari luar daerah di sekitarnya dan masyarakat negara tetangga (Malaysia) yang merupakan kerabat. Pengaruh dari pemerintah/budaya nasional yang sangat nampak secara fisik dan dialami secara sosial budaya oleh orang Dayak itu, adalah pemindahan lokasi permukiman mereka yang semula berada di pedalaman (hutan) menjadi ke arah luar dekat dengan fasilitas publik (yang merupakan resettlement Depsos) mengakibatkan kehidupan komunalnya mulai memudar. Seperti tingkat solidaritas yang tinggi/kebersamaan tidak dapat maksimal di wujudkan, karena kehidupan keluarga yang sudah terpecah menjadi keluarga inti bukan keluarga luas lagi. Kondisi ini seakan dapat memberi kesan ruang nasional berperan dalam proses memudarnya identitas Kultural orang Dayak di Dusun Sontas. Sementara itu dalam kondisi demikian seolah orang Dayak tersebut mampu mengadaptasikan dirinya dengan ruang nasional atau pola nasional tadi, sebagai wujud solidaritasnya menjadi bagian dari identitas warga Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun pengetahuan budayanya tidak mudah mengadaptasikan dengan pengetahuan budaya kota yang diterapkan pemerintah tersebut. Artinya ruang nasional kadangkala memaksa suatu komunitas untuk selalu mampu menyesuaikan diri tanpa memperhatikan pengetahuan budaya yang dimiliki suatu komunitas sebelumnya. Dalam hal ini ruang nasional menunjukkan mampu atau kuat mendominasi dalam menata kehidupan masyarakat Dayak Dusun Sontas. 164
2. Faktor Melemahkan Budaya Masyarakat Entikong, khusus komunitas lokal (orang Dayak Bedayuh) di daerah perbatasan ini telah mengalami keterbukaan budaya sejak permukiman mereka dipindahkan ke lokasi luar yang lebih dekat dengan transportasi dan informasi. Mau tidak mau mereka banyak mendapat pengaruh dari lingkungan luar, baik masyarakat pendatang luar daerah maupun masyarakat negara tetangga. Keterbukaan budaya yang mereka alami, mengakibatkan adanya kecenderungan perubahan budaya dan identitas. Seperti tercermin dalam kehidupan ekonomi, banyak generasi muda komunitas lokal (orang Dayak Bedayuh) kini mempunyai orientasi kerja di bidang jasa, yakni sebagai pegawai, pedagang; tukang ojek, buruh, money changer kaki lima. Lebih tertarik lagi bila di bidang jasa ini mereka mempunyai kesempatan bekerja di negara tetangga (Serawak Malaysia) dengan menerima upah mata uang Ringgit. Uang Ringgit mempunyai nilai lebih tinggi daripada Rupiah, bisa ada kecenderungan atau ada peluang mereka akan lebih mengenal dan menyenangi Ringgit daripada Rupiah. Ditambah lagi di lingkungannya tersebut uang Ringgit dapat digunakan (ada beberapa toko di Entikong menerima pembayaran belanja dengan mata uang Ringgit). Oleh karena ini pula ada pernyataanpernyataan yang tak resmi mengemuka, Ringgit uangku Indonesia Negaraku. Oriantasi bekerja ke negara Serawak Malaysia untuk mengejar uang Ringgit, sebenarnya tidak luput dari kesulitan ekonomi di daerah Entikong tersebut.. Artinya peluang bekerja di bidang jasa sebagai sasaran generasi muda yang ada di daerah tersebut tidak selalu dapat menjanjikan. Seperti untuk menjadi pegawai negeri atau swasta tidak mudah, atau bidang informal upah yang diterima sangat rendah. Sementara itu ruang nasional (pemerintah daerah maupun pusat) tidak mampu menjalankan peranannya secara maksimal dalam menangani masalah ekonomi masyarakat. Atau dominasi pemerintah tidak terjadi dalam mengatur masalah perekonomian masyarakat tersebut. Nilai-nilai budaya masyarakat dalam kaitan dengan ekonomi tidak mampu mengadaptasikannya dengan nilai-nilai budaya nasional (pemerintah), sehingga memberi kesan ekonomi masyarakat 165
seakan-akan berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini kalau bertahan memberi peluang (terutama generasi muda) komunitas lokal (Dayak Bedayuh) berubah identitas, yakni tidak lagi dikenal sebagai komunitas bercocoktanam berpindah melainkan sebagai masyarakat dengan matapencaharian yang lain17. Dengan keterbukaannya pula, kini komunitas lokal Entikong (Dayak Bedayuh) telah mengenal penyembuhan penyakit secara medis. Bila sakit mereka bisa datang ke Puskemas. Namun kini ada kecenderungan masyarakat Entikong tersebut (Dayak Bedayuh), bila sakit pergi berobat ke daerah negara tetangga (Serawak Malaysia) tepatnya ke daerah Serian. Di Serian mereka mendapat pengobatan gratis dan fasilitas yang memuaskan, seperti obat yang paten dan pelayanan yang baik. Tidak hanya untuk penyembuhan penyakit, untuk melahirkanpun mereka juga mendapat fasilitas dalam bentuk pelayanan dan perawatan yang baik serta gratis pula. Oleh karena alasan itulah mereka lebih senang pergi berobat dan melahirkan ke Serian (Serawak Malaysia) daripada ke Puskesmas, meskipun anak yang dilahirkan menjadi berkewarganegaraan Malaysia. Puskesmas yang ada di daerah Entikong seolah tidak mampu memberikan fasilitas kesehatan terbaik bagi masyarakat. Sehingga memberi kesan masyarakat mempunyai pandangan kurang percaya atau krisis kepercayaan terhadap fasilitas kesehatan yang ada di daerahnya sendiri. Kondisi ini seolah-olah mengemukakan bagaimana lemahnya peranan lembaga kesehatan yang ada dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat. Sementara itu keadaan inipun dapat memberi peluang bagi kepentingan politik Malaysia, dalam requitment atau menarik masyarakat menjadi warganegaranya yang mungkin kelak dapat berfungsi untuk mempertahankan wilayah teritorialnya 17
Beberapa dari penduduk Dusun Sontas mempunyai anak yang sudah bekerja di Kuching Malaysia dan sering memberikan uang kepada orangtuanya di desa Sontas ini. Hal ini disebabkan di daerah Kuching yang khususnya di bidang jasa seperti banyaknya pabrikpabrik serta swasta lainnya di bidang jasa yang tersedia di Kuching. Sehingga ini membuat daya tarik bagi para pemuda untuk mencari kerja di Kuching karena pengetahuannya yang telah ditempuhnya di sekolah mengarah pada bidang jasa. Sedangkan untuk bekerja di daerahnya sendiri, lapangan kerja jasa ini sangat kurang yang mengandalkan pengetahuan jasa
166
Kehidupan ekonomi dan bidang kesehatan yang dialami masyarakat Entikong beroriantasi ke negara tetangga Serawak Malaysia, mencerminkan kondisi ekonomi dan kesehatan yang ada di Entikong (Indonesia) dalam keadaan kurang baik apabila dibandingkan dengan keadaan di Malaysia. Artinya negara Malaysia seolah-olah oleh masyarakat Entikong (Dayak di Sontas) dipandang superior dalam ekonomi dan kesehatan. C. Bitung 1. Faktor Menguatkan Budaya Kota Bitung merupakan daerah pelabuhan yang secara tidak langsung berbatasan laut dengan negara Philipina, menjadikan daerah ini sangat terbuka dengan unsur budaya asing. Meskipun demikian masyarakat daerah Bitung (komunitas lokal) orang Sangir masih dapat bertahan dengan adat-istiadat atau tradisi yang dimiliki. Adat-istiadat atau tradisi yang dikenal dan mengemuka adalah tradisi tulude. Tradisi tulude ini sangat diapresiasi oleh masyarakat, tidak hanya komunitas Sangir, tetapi juga komunitas lainnya (Talaud, Minahasa, Gorontalo, Jawa, Bugis, dan lain-lain). Tradisi tulude, merupakan bentuk wujud syukur komunitas Sangir terhadap Yang Maha Kuasa akan tahun lalu yang telah ditinggalkan dan menghadapi tahun baru yang telah tiba. Oleh karena itulah tradisi ini dilakukan pada tiap tanggal 31 Januari secara bersama-sama, yang kini telah menjadi event pemerintah daerah setempat dan bahkan telah menjadi event di tingkat provinsi. Dalam tradisi tulude selalu dipertunjukkan berbagai kesenian, diantaranya adalah ma’samper dan gunde. Tradisi tulude sangat mencerminkan kekuatan budaya masyarakatnya, dimana masyarakat Sangir sebagai komunitas lokal pemilik awal tradisi Tulude dapat menarik masyarakat lainnya untuk mengenal, memahami dan mengapresiasi tradisi tersebut. Di ruang pemerintah (pemerintah daerah tingkat II maupun tingkat I ) tradisi tulude menjadi simbol identitas masyarakat Bitung dan Sulawesi Utara secara keseluruhan, dan simbol identitas masyarakat Sangir secara khusus. Sementara itu tradisi tulude selalu dimasukkan ke ruang nasional (pemerintah pusat), sebagai simbol identitas budaya 167
bangsa (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Seperti ditaruhnya bendera merah putih di atas/di pucuk kue tamoe (tumpeng dari ketan/dodol berbentuk kerucut) pada waktu berlangsungnya upacara tulude. Kondisi ini mencerminkan peranan pemerintah (pemerintah daerah) sangat besar atau dominan dalam mempertahankan budaya masyarakatnya, khusus dalam adat-istiadat atau tradisi suku bangsa Sangir yang mendominasi daerah Bitung tersebut. Peran ruang nasional (pemerintah pusat) juga tidak luput dalam rangka mempertahankan budaya setempat, melalui kurikulum sekolah dalam bentuk muatan lokal yang dikenalkan kepada para siswa. Muatan lokal menjadi andalan dalam rangka mengenalkan budaya setempat pada generasi muda yang akan menjadi pelaku dan penerus kebudayaannya. Sementara itu peranan masyarakat melalui lembaga kebudayaan/adat setempat yang ada, seperti Persatuan Insan Sangir dan Pemuda-Pemudi Sangir, sanggar Tang kasih, cukup besar dalam mempertahankan budayanya. Melalui lembaga adat/kebudayaan tersebutlah, khusus generasi muda akan dapat mengenal, paham dan mengapresiasi budaya/adat-istiadat maupun kesenian daerahnya lebih luas lagi. Lembaga kebudayaan ini dan ruang nasional dalam kurikulum muatan lokalnya dapat mengganti pranata sosial lama yang telah hilang, seperti kebiasaan orang tua mendongeng atau bercerita pada anak-anak pada waktu senggang. Sehingga lembaga adat atau sanggar kesenian yang ada itu cukup mampu untuk mengenalkan dan mensosialisasikan budaya Sangir kepada generasi muda. Adat istiadat atau tradisi Sangir masih cukup kental dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, mungkin bisa berkaitan pula dengan faktor informasi dunia luar yang tidak selalu dapat mereka akses baik melalui media elektronik tv maupun radio. Siaran tv yang dapat diakses masyarakat di daerah kota pelabuhan Bitung ini, sebagian besar merupakan siaran tv nasional. Seperti siaran tv SCTV, RCTI, Global, Trans, Antv. Kalaupun ada siaran asing yang dapat diakses biasanya hanya melalui Indovision. Tidak mudahnya informasi asing diperoleh melalui media elektronik, memberi peluang pengaruh budaya asing masih bisa ditekan dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat. Sementara itu 168
mudahnya warga dalam memperoleh informasi pemerintah setempat, seperti kebijakan bersih lingkungan dan menanam tanaman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan mencerminkan besarnya ruang pemerintah dalam kehidupan sosial budaya (adatistiadat) masyarakat Bitung umumnya dan masyarakat Sangir khususnya. Dengan kondisi demikian kekuatan atau pertahanan budaya orang Sangir dalam adat-istiadatnya yang menjadi bagian dari budaya Indonesia memberi kesan akan dapat terjaga. 2. Faktor Melemahkan Budaya Komuniti lokal Bitung orang Sangir (masyarakat Desa Pateten) dengan keterbukaannya sangat mudah dimasuki unsurunsur budaya asing berkaitan dengan kondisi wilayahnya sebagai kota pelabuhan. Dalam aspek ekonomi misalnya, kini banyak generasi muda warga setempat (juga orang Sangir yang merupakan komunitas lokal) mempunyai orientasi kerja sebagai awak kapal nelayan asing. Mereka menjadi pekerja kapal nelayan asing tersebut, karena memperoleh pendapatan atau penghasilan lebih tinggi daripada menjadi pekerja di kapal nelayan pribumi. Namun demikian kalau dikaitkan dengan perjanjian ILO mengenai upah ketenagakerjaan nelayan itu tidak fair. Rupanya pembayaran upah tenaga kerja ini selalu berkaitan dengan peran broker ketenagakerjaan. Aspek ekonomi menjadi peluang pula dalam kegiatan ekonomi terselubung yang dilakukan kalangan warga tertentu, yakni merebaknya protistusi yang memunculkan pekerja sex komersial. Mereka melayani kebutuhan para pekerja kapal asing yang singgah di Pelabuhan Bitung. Awalnya kapal asing yang singgah di Pelabuhan Bitung bertujuan untuk mencari pekerja atau tenaga kerja, di samping itu juga mencari hiburan. Melalui kondisi inilah terbentuk prostitusi terselubung yang bisa bersifat kentara tetapi samar yang bertujuan melayani para pesinggah tadi. Mereka secara sengaja atau tidak sengaja terjun ke prostitusi mempunyai pandangan yang ekonomis bahwa pemilik kapal asing yang datang akan memberikan uang dengan pelayanan mereka dalam memberikan jasa sex sebagai cara mudah untuk memperoleh uang. Oleh karena itulah di daerah tersebut 169
mengemuka istilah kawin kontrak. Kawin kontrak yang mereka wujudkan sebetulnya tidak sah karena tidak ada proses pernikahan resmi (secara agama atau sipil) yang dilakukannya, bisa diartikan mereka melakukan kumpul kebo atau hidup bersama. Biasanya ini dilakukan oleh para juragan kapal dengan wanita setempat. Sementara itu awak kapal mendapat hiburan pelayanan sex dari prostitusi jalanan yang ada di tempat tertentu. Sebagai daerah pelabuhan, bayang-bayang pengaruh negatif cenderung masuk ke lingkungan masyarakat sekitar Bitung berkaitan dengan bersinggahnya kapal-kapal nelayan asing tersebut. Kehadiran mereka memang sangat berpengaruh pada masyarakat setempat, seperti munculnya perilaku ekonomi yang negatif. Munculnya perilaku ekonomi demikian, bisa memberi peluang terganggunya tatanan nilai adat dan agama yang dimiliki khususnya bagi komunitas lokal (orang Sangir) terutama bagi kalangan generasi muda. Secara selintas nampak generasi muda kaum laki-laki telah mengenal prostitusi, mereka memberi kesan menjadi relasi para pekerja sex komersil tersebut. Selain itu muncul pengayaan ekspresi/perilaku yang cenderung menjadi negatif kalau tanpa kontrol, seperti minum-minuman keras (cap tikus) yang berlebihan meskipun berawal dari tradisi yang ada, penampilan cenderung berlebihan terutama penggunaan anting dan pengecatan rambut yang berwarna dalam keseharian. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah berkaitan dengan kesehatan masyarakat, terutama mereka yang mempunyai kebiasaan bergaul dengan prostitusi berkecenderungan bisa terkena gejala HIV-AIDS. Ini berkaitan dengan telah adanya warga Bitung terjangkit penyakit tersebut (menurut data dari LSM setempat kurang lebih ada 1850 orang yang terjangkit HIV-AIDS). Kondisi demikian cukup memprihatinkan kalau tidak diwaspadai dengan lemahnya peranan pemerintah setempat dan pengaruh tua adat dalam mengatur warganya yang berperangai. Apalagi kalau diperhatikan wilayah kota Bitung yang tidak terlalu luas dan adanya daerah pelabuhan sebagai transit kapal-kapal asing, memang menjadi peluang akan mudahnya aspek-aspek yang cenderung negatif diterima warga sekitar. Kondisi kota Bitung yang mungkin kurang tersentuh atau diperhatikan oleh pemerintah daerah tingkat provinsi dan pemerintah pusat terutama dalam hal kebijakan 170
ekonomi, akan dapat memberi peluang pula kota ini sebagai daerah yang kondusif menjadikan kehidupan budaya lama memudar.. D. Tanjung Balai 1. Faktor Menguatkan Budaya KotaTanjung Balai merupakan wilayah berbatasan laut dengan Pulau Penang bagian dari wilayah teritorial Malaysia. Kota Tanjung Balai yang memliki pelabuhan Teluk Nibung, sebagai jalur perdagangan dengan Malaysia melalui pelabuhannya yang bernama pelabuhan Port Kelang. Dari pelabuhan inilah unsur-unsur budaya asing mudah masuk melalui interaksi yang berlangsung. Namun demikian komunitas lokal Melayu di daerah Tanjung Balai (Khususnya di daerah Kecamatan Teluk Nibung) berusaha mempertahankan budaya Melayu dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tercermin dalam bahasa pergaulan atau pengantar dalam berinteraksi yang menggunakan bahasa Melayu. Dalam ruang resmi bahasa Melayu yang digunakan lebih cenderung ke Indonesiaan (logat Melayu dengan tata bahasa Indonesia). Tidak hanya itu dalam peristiwa lingkaran hidup (kelahiran, perkawinan, kematian), adat-istiadat yang sudah ada berusaha mereka jalankan yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Artinya yang bersifat bertentangan dengan Ajaran Islam mereka hilangkan. Mempertahankan budaya Melayu bagi masyarakat Tanjung Balai merupakan suatu keharusan, sesuai dengan pepatahnya Melayu takkan hilang ditelan bumi; sampai kiamat tidak hilang budaya Melayu; selagi berkembang tidak berhenti di dunia. Oleh karena itu masyarakat Tanjung Balai, melalui tua adat, tokoh adat, tokoh seni budaya, dan tokoh pemerintah mendirikan Masyarakat Adat Budaya Melayu (MABMY). Organisasi ini didirikan untuk mempersatukan adat Melayu agar tidak terpecah, membina orang Melayu dalam tatakrama kehidupan Melayu, menjaga seni budaya Melayu agar budaya Melayu tidak kehilangan induknya. Agar organisasi ini memasyarakat, rantingnya didirikan sampai tingkat kecamatan. Generasi muda sebagai penerus dan pelaku kebudayaannya yakni kebudayaan Melayu harus memiliki bekal. Untuk itu didirikan Gerakan Anak Muda Melayu (GAMY). Dalam 171
organisasi ini generasi muda dikenalkan akan berbagai budaya Melayu (adat istiadat/tradisi, kesenian) yang harus diapresiasi dan dipahami sebagai identitas orang Melayu khususnya dan identitas Indonesia umumnya. Adanya organisasi Himpunan Adat Melayu Kesultanan Asahan (HAMKA), juga menjadi wujud nyata budaya Melayu di Tanjung Balai berusaha dijaga dan dipertahankan oleh kalangan masyarakat. Oleh kalangan masyarakat pula didirikan sanggar tari, sanggar penganten, dan berusaha untuk mampu berpantun sebagai wujud khas dari budaya Melayu. Dalam ruang pemerintah Tanjung Balai, budaya Melayu selalu diangkat dan diapresiasi melalui suatu kegiatan tahunan bernama Pesta Kerang yang berlangsung setiap tanggal 27 Desember. Pesta kerang menjadi event pemerintah daerah setiap tahun dalam rangka merayakan hari jadi Kota Tanjung Balai. Dinamakan Pesta Kerang berkaitan dengan daerah Tanjung Balai sebagai penghasil kerang, berbagai seni budaya Melayu dimunculkan, seperti kesenian dalam bentuk tari-tarian (serampang dua belas), makanan tradisional Melayu, pakaian adat Melayu. Bagi masyarakat pesta kerang menjadi ajang mengenal, mengingat dan mengapresiasi budaya Melayu yang merupakan miliknya. Sekaligus untuk mengenalkan dan megingatkan pada generasi muda agar mereka paham untuk dapat menjaga dan melestarikan budaya Melayu sebagaimana mestinya. Kebudayaan dalam wujud kesenian melalui ruang pemerintah (pemerintah daerah) dianjurkan diisi di sekolah-sekolah dalam kegiatan ekstra kurikuler. Untuk itu setiap sekolah berusaha mendirikan sanggar-sanggar kesenian, yang anggotanya adalah para murid sekolah bersangkutan yang mempunyai minat pada kesenian. Dengan cara ini generasi muda (khusus orang Melayu) jadi lebih mengenal dan menyenangi kesenian daerahnya. Dalam meningkatkan apresiasi terhadap kesenian itu, dapat diadakan lomba berkesenian di kalangan generasi muda. Meskipun belum semua sanggar di sekolah mempunyai program lomba dalam berkesenian, namun setidaknya sudah ada yang mengarah ke sana. Ini bisa diartikan generasi muda cukup peduli dengan kelangsungan kesenian Melayu sebagai wujud identitas budayanya maupun bagian dari budaya Indonesia. 172
2. Faktor Melemahkan Budaya Komunitas lokal Tanjung Balai adalah orang Melayu, yang wilayah huniannya terletak berbatasan laut dengan negara tetangga Malaysia di Pulau Penang. Antara Tanjung Balai melalui pelabuhan Teluk Nibungnya dengan Pulau Penang melalui pelabuhan Port Kelang, telah membuat daerah ini menjadi jalur perdagangan antar kedua negara (Indonesia dan Malaysia). Sebagai daerah jalur perdagangan, mengkondisikan daerah tersebut dikunjungi oleh kelompok pendatang dari berbagai daerah dan negara Malaysia yang bersifat menetap atau sementara. Sehingga sebagai akibatnya komunitas lokal orang Melayu semakin mengalami keterbukaan budaya, ditambah lagi adanya hubungan kerabat dengan komunitas Melayu di Malaysia memungkinkan dapat mempengaruhi tatanan kehidupan yang dimiliki sebelumnya. Secara sadar ataupun tidak sadar keterbukaan budaya yang mereka alami, telah mengakibatkan terjadinya perubahan atau pergeseran budaya dan identitas yang mereka miliki sebelumnya. Dalam bidang perekonomian awalnya orang Melayu Tanjung Balai sebagian besar mempunyai dan berorientasi pada matapencaharian nelayan. Dimana aktivitas kenelayanan (misal cara menangkap ikan) yang mereka miliki diturunkan kepada generasi berikut dan menjadi identitas bahwa nelayan milik atau bagian dari hidup orang Melayu. Namun dalam perkembangan kemudian budaya melaut tidak lagi selalu dapat diturunkan atau diterima oleh generasi berikut, dan identitas mereka tidak selalu dikenal sebagai nelayan. Kini generasi muda, terutama dari kalangan ekonomi lemah mempunyai orientasi kerja di bidang jasa. Oleh karena itulah kemudian muncul tenaga kerja upahan di kapal bongkar muat yang dimasuki orang Melayu, tenaga kerja upahan (misal buruh kelapa sawit di Malaysia) dikenal dengan sebutan TKI sebagai sasaran yang cukup menarik bagi mereka dengan iming-iming upah yang tinggi. Sehingga banyak dari mereka beroriantasi kerja upahan ke Malaysia dengan harapan mendapatkan upah yang tinggi. Padahal harapan ini tidak selalu dapat mereka peroleh, malahan berbagai permasalahan muncul antara lain tuduhan pekerja yang bersifat ilegal, penganiayaan terhadap pekerja. Kondisi ini mencerminkan lemahnya 173
perekonomian Tanjung Balai khususnya dan Indonesia umumnya, yang tidak bisa menampung warganya bekerja di daerah atau negeri sendiri dengan upah tinggi. Dalam kondisi inilah kemudian orang Malaysia mempunyai anggapan masyarakat Indonesia memiliki ekonomi di bawah mereka. Dengan demikian secara ekonomi Malaysia berada dalam kedudukan superior yang mengesankan berada di atas Indonesia, memunculkan suatu sikap orang Malaysia yang sering menyebut orang Indonesia dengan istilah Indon. Istilah Indon ini memberi kesan suatu bentuk pelecehan terhadap Indonesia. Istillah Indon yang muncul ini dapat memberi peluang sebagai pemicu munculnya konflik yang masih bisa terkendali. Dengan keterbukaannya, dalam bidang pendidikan orang Melayu Tanjung Balai khususnya ada juga yang berorientasi untuk bersekolah ke Malaysia terutama di bidang ilmu keguruan. Padahal pada masa lalu Indonesia menjadi orientasi pendidikan keguruan bagi orang Malaysia. Banyak guru-guru di Malaysia yang pada awalnya adalah mendapat pendidikan di Indonesia atau tenaga pengajar pendidkan di Malaysia didatangkan dari Indonesia. Sementara itu pada perkembangannya kini, tenaga pengajar di Indonesia atau Tanjung Balai banyak yang menuntut ilmu lebih dulu ke Malaysia dan kemudian kembali menjadi tenaga pengajar di daerahnya. Bahkan kadang kala tetap berada di Malaysia untuk menjadi tenaga pendidik di sekolah Malaysia yang mendapat penghasilan lebih tinggi. Tenaga pengajar yang ada khususnya di Tanjung Balai hendaknya diapresiasi agar kecenderungan menjadi guru dan bersekolah guru di Malaysia menurun. Sementara itu dengan keterbukaannya, bidang kesehatan di Tanjung Balai mendapat pengaruh. Masyarakat kurang percaya atau memiliki apresiasi yang rendah terhadap ruang nasional dalam bentuk Puskesmas, Posyandu khususnya masyarakat golongan ekonomi kuat atau golongan atas. Mereka mempunyai kecenderungan untuk berobat ke negara Malaysia, karena adanya kenyamanan dan kepercayaan yang tinggi dapat sembuh dari suatu penyakit. Sementara itu biasanya golongan ekonomi lemah dapat datang pergi berobat ke Puskesmas atau memeriksakan bayinya ke Posyandu. Namun kadangkala bila penyakit yang dialami tidak 174
sembuh dan juga tidak sembuh melalui pengobatan alternatif, biasanya dapat sembuh setelah berobat ke Malaysia atas bantuan keluarga bersangkutan. Kondisi ini mengkondusifkan masyarakat Tanjung Balai sering berorientasi berobat ke luar negeri (Malaysia). Bisa diartikan Tanjung Balai khususnya atau Indonesia secara umum dalam bidang kesehatan berada dalam kedudukan inverior dibanding Malaysia yang berada dalam kedudukan superior. Keterbukaan budaya yang dialami masyarakat Tanjung Balai, secara tidak sadar juga berpengaruh dalam sikap mempertahankan adat-istiadat Melayu yang mereka miliki. Seperti sikap pemerintah daerah yang kurang tegas dalam merealisasikan kurikulum dari Diknas dalam bentuk muatan lokal budaya Melayu di sekolah-sekolah. Hingga kini dalam kenyataannya sekolah-sekolah yang ada di Tanjung Balai belum mendapat pelajaran mengenai budaya Melayu yang merupakan materi kurikulum muatan lokal. Akibatnya dalam struktur formal generasi muda kurang mengenal, memahami budaya Melayu sebagai identitas dirinya. Peluang generasi muda Tanjung Balai kurang menyadari budaya Melayu sebagai identitas diri dan bagian dari identitas budaya Indonesia dapat berlangsung bila kondisi demikian bertahan terus. Apalagi bila sikap pemerintah daerah atau nasional dalam mempertahankan dan mengembangkan adat-istiadat Melayu semakin berkurang. Seperti tidak adanya atau didirikannya sanggar kebudayaan bersifat umum yang bisa menjadi tempat para budayawan maupun seniman Melayu Tanjung Balai dalam mengekpresikan dan mensosialisasikan budaya Melayu sebagai jati dirinya. Ditambah lagi di ruang keluarga kurangnya orang tua mengenalkan budaya Melayu kepada anak-anaknya, semakin mengkondusifkan budaya Melayu bisa tidak dikenal sebagai identitas dirinya bagi generasi berikut.
175
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Permasalahan yang berkaitan dengan wilayah perbatasan bagi bangsa Indonesia nampaknya tidak mudah diselesaikan dalam waktu yang singkat. Selain belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas dan pasti, Juga NKRI merupakan negara kepulauan terluas di dunia. Posisinya yang strategis di antara dua benua ( Asia dan Australia) dan dua samudera besar (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik), memiliki sejumlah kerawanan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya maupun pertahanan negara. Dalam dasawarsa terakhir ini, tercatat sejumlah masalah yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan pelanggaran wilayah, human traficking, illegal logging, bahkan lepasnya beberapa wilayah kepada pihak asing. Dimyati Hartono seorang ahli hukum laut internasional mengatakan bahwa ”sejumlah wilayah perbatasan yang belum mencapai kesepakatan dan rawan konflik antara Indonesia dan 10 negara tetangga, disebabkan antara lain, penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia, Indonesia-Singapura, Indonesia Phillipina dan sebagainya belum disepakati”. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar warga di desa-desa di wilayah perbatasan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dan menjadi trigger yang memicu masalah yang lebih kompleks. Seperti api dalam sekam, bila sumber konflik tersebut tidak segera diselesaikan bukan tidak mungkin beberapa daerah di wilayah perbatasan akan lepas dari NKRI. Penelitian tentang penguatan budaya di wilayah perbatasan yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan selama kurun waktu tahun 2007, merupakan salah satu upaya kongkrit bahwa sesungguhnya permasalahan di wilayah perbatasan tidak semata-mata dalam aspek ekonomi, pertahanan ataupun sosial, kebudayaan adalah faktor yang teramat langka dikaji, padahal melalui sudut pandang kebudayaan dapat difahami dengan 176
baik bagaimana masyarakat menanggapi kehidupan berbangsa, dan bernegara. Artinya, bahwa urusan wilayah perbatasan tidak hanya menegaskan garis batas wilayah negara, tetapi juga sikap masyarakat dalam merespon situasi yang berkembang di lingkungannya. Dari empat kota yang berada di wilayah perbatasan dan dilakukan penelitian, dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Kota Tanjungpinang di wilayah Provinsi Kepulauan Riau merupakan daerah yang berada di ujung pulau Bintan dan berhadapan langsung dengan negara tetangga Singapura dan Malaysia. 2. Kota Entikong berada di Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah yang berada di borderline dan langsung membatasi wilayah NKRI dengan Malaysia 3. Kota Bitung di Provinsi Sulawesi Utara merupakan daerah pelabuhan yang berhadapan dengan negara Phillipina 4. Kota Tanjung Balai berada di Provinsi Sumatera Utara berhadapan langsung dengan negara Malaysia. Masing-masing daerah penelitian mempunyai karakteristik yang berbeda, namun pada intinya menghadapi persoalan yang relatif sama yakni, sebagai daerah di perbatasan mempunyai persoalan sosial, budaya, ekonomi, hukum dan keamanan. Beberapa indikator dalam persoalan pokok di kawasan itu adalah antara lain, belum adanya kepastian garis batas baik garis batas darat maupun laut, kondisi masyarakat di wilayah perbatasan umumnya masih didominasi oleh masyarakat yang kurang mampu, tingkat pendidikan dan kesehatan masih rendah hingga menyebabkan masyarakat lebih suka berobat ke negara tetangga dengan alasan lebih murah dengan pelayanan yang baik, adanya kesenjangan sosial masyarakat asli dan pendatang yang berusaha membuka usaha dan kegiatan ekonomi di sekitar perbatasan, rendahnya kesediaan infrastruktur dasar yang menunjang kegiatan ekonomi pelintas batas dan masyarakat sekitar perbatasan, belum dimanfaatkannya potensi sumberdaya alam yang terdapat di wilayah perbatasan, lemahnya penegakkan hukum menyebabkan 177
maraknya pelanggaran di wilayah perbatasan, belum sinkronnya pengelolaan perbatasan yang mencakup kelembagaan, program maupun kejelasan wewenang. Selain sejumlah persoalan di atas, tidak dipungkiri pemerintah pusatpun berupaya membangun berbagai fasilitas umum yang menunjukkan ciri keIndonesiaan seperti : sekolah dan institusi pendidikan yang memberlakukan kurikulum nasional, rumah sakit dan unit kesehatan, kantor-kantor pemerintahan, pos penjagaan. Fasilitas-fasilitas tersebut dilengkapi dengan atribut resmi yang bersifat nasional seperti bendera merah putih, lambang garuda dan Pancasila, photo presiden dan wakilnya, dan simbol lain yang menandakan ke Indonesiaan. Sementara itu simbol budaya yang bersifat intangible seperti Lagu Indonesia Raya, Bahasa Indonesia tetap menjadi lagu wajib dan bahasa pengantar untuk semua lapisan masyarakat. Tanpa mengenyampingkan peran bahasa daerah setempat, kini bahasa Indonesia telah dikuasai oleh hampir semua penduduk di wilayah perbatasan. Selain persoalan di atas, dan upaya pemerintah pusat merangkul masyarakat di wilayah perbatasan, masyarakat setempatpun juga melaksanakan berbagai aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai penguatan budaya melalui tradisi masingmasing daerah sebagai berikut : a. Di Kota Tanjungpinang, penguatan budaya yang dilakukan antara lain oleh sejumlah tokoh masyarakat dan budayawan dengan mendirikan Lembaga Adat Melayu (LAM) dengan tujuan utamanya menanamkan adat dan tradisi Melayu kepada generasi muida. Dari mulai tingkat kelurahan sampai dengan tingkat profinsi, kini gencar dilakukan berbagai diskusi, workshop, prosesi upacara tradisional, hingga ke pergelaran kesenian Melayu. Sekalipun masih terdapat perbedaan pendapat di antara para tokoh tadi, penanaman adat dan tradisi Melayu tetap dlaksanakan. Setiap harui Jumat, semua murid sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi di wilayah Kota Tanjungpinang, diwajibkan mengenakan pakaian adat Melayu. Di kalangan intelektual atau cerdik pandai, dan kalangan akademisi dengan dipelopori oleh Perguruan Tinggi 178
Muhamadiyah, telah menjalin kerjasama dengan Pemerintah Johor Malaysia untuk merevitalisasi kebudayaan Melayu dalam sebuah wadah yang bernama Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI). Cita-cita DMDI yang utama adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ke-5 di dunia. Dengan demikian Melayu takan musnah di dunia akan terwujud. Setiap hari besar Islam, berbagai upacara tradisional dilaksanakan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat Melayu, dari semua tingkatan umur. Karena Melayu identik dengan Islam, maka peranan agama dalam setiap kehidupan manusia menjadi sangat penting, dan dalam lingkaran kehidupan manusia selalu diperingati dengan menjunjung tinggi agama Islam. Di beberapa wilayah perkotaan, juga ditemui kalangan muda yang mendirikan sanggar-sanggar seni budaya dengan upaya untuk menanamkan kecintaan anak muda terhadap ksenian daerah khususnya tarian Melayu. Di antara sekian banyak sanggar ada satu yang diakui eksistensinya oleh pemerintah daerah setempat yaitu Sanggar Seni Kledang. b. Kota Entikong, sebagai borderline antara Indonesia dengan Malaysia, dan dihuni oleh sebagian besar komunitas Dayak Bedayuh. Selain mempertahankan tradisi Gawai padi yang merupakan upacara terbesar di komunitas suku Dayak Bedayuh pada saat pasca panen, merekapun menampilkan busana dan kelengkapan upacara tradisional dengan hidangan makanan yang berasal dari leluhur mereka. Dalam upacara tersebut, tari-tarian adat akan hadir memeriahkan suasana. Dalam kesempatan gawai tadi, semua warga komunitas suku Dayak Bedayuh yang tinggal di berbagai wilayah, baik di pedalaman Entikong, maupun di wilayah Malaysia akan hadir karena adanya ikatan darah yang kuat di antara mereka. Penguatan budaya lain yang dilakukan oleh komunitas Dayak Bedayuh dalam melanggengkan tradisinya adalah pemujaan terhadap roh atau jiwa leluhur yang ditandai dengan sebuah panca bangunan untuk menyimpan tengkorak, yang menjadi pusat kehidupan 179
komunitas Dayak Bedayuh, hingga menjadi penting dikunjungi dalam waktu-waktu tertentu. Pada prinsipnya keberadaan panca tadi mampu mengikat seluruh komunitas Dayak Bedayuh untuk setia kepada asal-usulnya. Sementara itu, para pendatang dari luar Entikong dan bekerja pada berbagai sektor berusaha untuk melestarikan budaya daerah yang didukungnya, namun dalam keseharian berbagai komunitas yang ada di Entikong mengaku tetap mencintai Indonesia, jika mereka kerap bepergian ke Malaysia alasannya hanya untuk mencari uang. Menyadari sebagai wilayah lintas batas, dan dikunjungi oleh manusia dari berbagai jurusan dan macam-macam kepentingan, pemerintah daerah setempat berusaha untuk melakukan penjagaan yang ketat untuk mengurangi pelanggaran dalam bebagai bentuk. Usaha lain untuk menanamkan kecintaan kepada Indonesia, acapkali diselenggarakan kegiatan yang menampilkan keragaman budaya Indonesia, seperti pameran makanan daerah, pergelaran kesenian daerah seluruh Indonesia bekerjasama dengan dinas-dinas terkait. c. Kota Bitung di ujung Provinsi Sulawesi Utara, adalah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh nelayan dari berbagai negara (Phillipina, Korea, Jepang dan Taiwan). Selain menghadapi banyak persoalan seperti masuknya nilai-nilai asing yang dibawa oleh nelayan, persoalan lain adalah rapuhnya ketahanan budaya masyarakat yang ditandai dengan merebaknya kehidupan malam di setiap sudut kota. Pelayanan terhadap nelayan asing yang berlebihan telah melahirkan dekadensi moral yang menjurus pada penyakit masyarakat. Melalui organisasi remaja yang tergabung dalam gereja masing-masing, kini banyak dilakukan advokasi tentang bahaya HIV/AIDS dan kesehatan secara gratis. Dalam aspek kebudayaan, berbagai kalangan yang dipelopori pemerintah daerah berusaha melestarikan : 180
-
-
-
Tradisi mapalus yaitu kegiatan gotongroyong dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat khususnya dalam menghadapi kematian seseorang. Tanpa diminta masyarakat akan langsung membantu keluarga yang kena musibah dengan macam-macam kegiatan. Melestarikan tradisi tulude, sebuah tradisi komunitas sukubangsa Sangir Talaud yang kini diambil alih oleh Pemda Bitung menjadi tradisi tahunan bahkan menjadi Calender of Event kota Bitung. Tulude adalah sebuah upacara yang melibatkan seluruh suku dan komunitas di Bitung. Dalam upacara tersebut dilakukan tradisi masamper yaitu semacam acara berbalas pantun yang dilakukan oleh beberapa pasangan. Selain masamper, peserta tulude juga bisa menari empat wayer yaitu tarian yang berasal dari sukubangsa Sangir. Tarian ini pada dasarnya melambangkan adanya persatuan di antara komunitas yang ada di kota Bitung. Upacara tulude diselenggarakan di pusat kota Bitung dengan menyuguhkan berbagai makanan tradisional daerah yang ada di Bitung. Selain kegiatan di atas, pemerintah daerah Bitung memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan sanggar-sanggar seni budaya dengan tujuan untuk menampung keinginan masa yang mempunyai bakat dan minat dalam mengembangkan kesenian dari berbagai daerah.
d. Kota Tanjung Balai di Provinsi Sumatera Utara, pada dasarnya merupakan pusat kebudayaan Melayu dibanding dengan Malaysia, karena asal-usul kesenian dan upacara tradisional Melayu berada di wilayah Tanjung Balai dan Asahan. Demikian juga kesultanan Deli Serdang, Kota Indrapura, Kesultanan Asahan berada di wilayah Tanjung Balai.Sebagai kota yang berada di wilayah perbatasan (dengan Malaysia), sangat disadari bahwa pengaruh kontak budaya sangat intensif. Masyarakat di Tanjung Balai mengupayakan berbagai cara seperti mendirikan MABMI ”Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia” dengan 181
ruanglingkup seluruh Sumatera Utara. Di bawah MABMI ada juga organisasi GAMMI ”Gerakan Angkatan Muda Melayu Indonesia” , HAMKA ”Himpunan Anak Melayu Kesultanan Asahan”. Semua organisasi di atas bertujuan sama yakni memperkuat kebudayaan Melayu, dan mengurangi dampak dari nilai budaya asing karena kontak budaya yang intensif dengan dunia luar. Seperti daerah lain yang berada di perbatasan, masyarakat di Tanjung Balai, meskipun banyak melakukan hubungan dalam banyak aspek kehidupan sosial, ekonomi dan budaya, namun pada dasarnya mereka tetap mengakui sebagai bangsa Indonesia, dan kecintaan kepada NKRI ini ditandai dengan melakukan berbagai aktivitas yang bersifat nasional. Demikianlah upaya untuk memperkuat ketahanan budaya (Indonesia) telah banyak dilakukan oleh masyarakat di wilayah perbatasan, akan tetapi masih banyak persoalan yang harus diperhatikan oleh semua pihak termasuk pemerintah. Persoalan tersebut antara lain, yang menyangkut garis batas kedua negara yang disinyalir selalu berubah dan merugikan bangsa Indonesia, sistem keamanan wilayah yang masih kurang hingga mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran termasuk keluar masuknya tenaga kerja ilegal, serta persoalan lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pemerintah yang jelas, dapat dilaksanakan di lapangan dan merupakan satu sistem dan pola kerja yang efektif dan efisien. Mengutip pernyataan Dimyati Hartono, diperlukan Pita Pengamanan Nasional sebagai bentuk pengamanan yang meliputi daerah-daerah yang ditetapkan sebagai titik-titik nasional NKRI. Pita Pengamanan Nasional mempunyai nilai intrinsik yang berfungsi sebagai berikut; 1. Sebagai pagar yuridis keutuhan NKRI; 2. Menjaga keutuhan wilayah nasional; 3. Memberdayakan penyelenggaraan negara di daerah perbatasan dan daerah tertinggal; 4. Memberdayakan potensi daerah perbatasan; 5. Sebagai pintu gerbang NKRI, sekaligus sebagai titik pemantauan dini daerah perbatasan. 182
Tiap titik pengaman merupakan sentra kegiatan lokal dan penyelenggaraan negara yang meliputi berbagai bidang, termasuk sarana bantu pendidikan, sosial dan budaya B. REKOMENDASI 1. Pemerintah perlu memberi ruang hidup yang seluas-luasnya bagi komunitas, sukubangsa yang hidup di wilayah perbatasan atau pulau terluar , dan memberi kesempatan untuk mempertahankan corak kebudayaannya sendiri. 2. Pemerintah perlu segera memiliki data sejarah yang lengkap untuk menghindari klaim dari pihak asing. Pengumpulan data sejarah harus menjadi prioritas untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 3. Pemerintah harus mengindentifikasi seluruh aset di wilayah perbatasan termasuk pulau terluar Indonesia, sekalipun belum memberi nama, dan membuat pemetaan yang lebih akurat terhadap wilayah tersebut. 4. Pemerintah harus memaksimalkan kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan dan pulau terluar, serta memberi akses agar masyarakat dengan mudah bisa berhubungan/ berkomunikasi dengan masyarakat di luar daerahnya. 5. Penegakkan hukum harus ditegakkan atas pelanggaran dalam pengelolaan wilayah, terutama yang membahayakan posisi wilayah perbatasan dan pulau terluar.
183
KEPUSTAKAAN Monografi dan Hasil Penelitian Badan Pusat Statistik Kota Bitung. Bitung Dalam Angka 2007. Kecamatan Bitung Timur. Monografi Pemerintah Kecamatan Bitung Timur, 2006. Kecamatan Entikong. Monografi Kecamatan Entikong, 2006. Kelurahan Melayu Kota Piring, Tanjungpinang. Monografi Kelurahan Melayu Kota Piring Kecamatan Tanjungpinang Timur, 2006. Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tanjung Balai. Pemetaan Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kota Tanjung Balai tahun 2005. Tanjung Balai: Program Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan Pencatatan Sipil dan Kependudukan. Nurcahyani, Lisyawati, dkk. Kajian Perdagangan Lintas Batas dan Dampaknya Bagi Masyarakat Indonesia. Hasil Penelitian Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Pontianak, 2005. Rawis, J. Ketahanan Budaya Masyarakat Daerah Perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud: Suatu Tinjauan Perubahan Sosial Masyarakat di Era Otonomi. Hasil Penelitian Balai Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional Manado, 2005. Seksi
Integrasi Pengolahan dan diseminasi Statistik (ed.). Kecamatan Teluk Nibung Dalam Angka 2006. Tanjung Balai: Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Balai.
Sumarauw, Magdalena J, dkk. Dinamika Kehidupan Buruh Pelabuhan Bitung. Hasil Penelitian Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Manado, 2003. Walukow, A, dkk. Upacara Tradisional ”Tulude” Daerah Sangihe Talaud Provinsi Sulawesi Utara. Hasil Penelitian Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Manado, 1998/1999. 184
Buku Abubakar, Mustafa. Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik. Jakarta: Kompas, 2006. Li, Tania. Orang Melayu di Singapura: Budaya, Ekonomi, dan Ideologi. Selangor: Forum,1995. Melalatoa, Junus. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995. Muttaqin, Tatang, dkk. Membangun Nasionalisme Baru: Bingkai Ikatan Kebangsaan Indonesia Kontemporer. Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, Dan Olahraga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006. Taib Osman, Mohd. Masyarakat Melayu: Struktur, Organisasi, dan Manifestasi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1989. Jurnal Tirtosudarmo, Riwanto. “Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan: Sebuah Pengantar”. Antropologi Indonesia, XXVI, NO. 67, Januari-April 2002. Utomo, Budi. “Indonesia Raya Vs Melayu Raya Ditinjau Dari Kesukubangsaan”. Ragam Pesona Seni Budaya Pariwisata Indonesia, NO. 02/1, November 2007.
185
TIM PENELITI KAPOKJA Ernayanti (Puslitbang Kebudayaan) TENAGA PENELITI 1. Bambang Rudito (ITB) 2. Siti Dloyana Kusumah (Puslitbang Kebudayaan) 3. Bambang Hendarta Suta Purwana (Puslitbang Kebudayaan) 4. Damardjati Kun Mardjanto (Puslitbang Kebudayaan) 5. Budiana Setiawan (Puslitbang Kebudayaan) 5. Nelyta (Puslitbang Kebudayaan) 6. Sudjana (Puslitbang Kebudayaan) 7. Wawan Gunawan (Puslitbang Kebudayaan) TENAGA PENDAMPING PENELITI 1. Arif Widjaya (Direktorat Nilai Sejarah) 2. Syahrial (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang) 3. Ikhsan (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak) 4. Lily (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado) 5. Jacky (Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado) 6. Agus (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bitung) 7. Benson (Balai Arkeologi Medan) 8. Nurmalia (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanjung Balai) TENAGA ADMINISTRASI 1. Merlisya (Puslitbang Kebudayaan)
186