MENGENAL BEBERAPA MODEL SILVOFISHERI DAN FUNGSINYA ( KASUS REHABILITASI MANGROVE DI KABUPATEN PEMALANG DAN BREBES) Identifying Silvofishery Models and It’s Fungtionality (Case Study Mangrove Rehabilitation in Pemalang and Brebes Region)
Heru Salam dan Windrati Kaliman Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper Yogyakarta ABSTRACT Mangrove is known as type of ecosystem has such of multifunction. what more has strategic function service, it is able to support and stabilice strong coastal and land ecosystem. Therefore, in every single handling,especially in the effort on rehabilitation,it should focus on the needs of all stake holders involving in the use of mangrove.The application of silvofishery model in rehabilitation purpose is assumed to fullfil the multifunction criteria,so it has been applied and developed by most of the community.But on the other side it is worried that the less of peoples optimally support the achievement of rehabilitation purpose.Under this condition, modification of silvofishery should be planned without obeying the need of people and other institutions to the use of mangrove. Keywords: silvofishery model ,rehabilitation
PENDAHULUAN Benturan kepentingan antara berbagai pihak dalam pemanfaatan kawasan mangrove terutama yang dipicu oleh perbedaan pandangan tenyata berdampak negatif terhadap keberadaan mangrove. Banyak areal mangrove yang dikonversi menurut kepentingan masing-masing pihak seperti untuk pemukiman, perluasan tambak intensif dan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemanfaatannya, keberadaan kawasan mangrove dengan segala fungsinya belum dipandang sebagai satu kesatuan sistem, sehingga ada pihak yang merasa dirugikan dan
diuntungkan. Pihak yang menghendaki kawasan
mangrovre lestari, sering dirugikan oleh pihak lain yang berkepentingan dengan pengembangan tambak. Bahkan dampak lain yang tidak banyak diperhitungkan adalah terjadinya perbedaan pandangan dalam masyarakat sendiri (Salam,2002). Isu lingkungan global yang semakin gencar diberitakan dan menjadi agenda publik dunia serta beberapa pengalaman pemanfaatan mangrove yang cenderung merugikan bagi semua pihak, diduga
menjadi pendorong untuk merumuskan sebuah solusi adil agar
kepentingan semua pihak dapat diakomodasikan. Pemanfaatan kawasan mangrove yang proporsional terutama antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial
yang
78 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
menguntungkan semua pihak, akan menjadi modal dasar untuk mengembangkan model pengelolaan yang dinilai mampu menyelesaikan berbagai problem pengelolaan kawasan mangrove. Model silvofisheri dengan segala bentuknya terbukti pada beberapa daerah dapat menyelesaikan masalah. Akan tetapi tidak berarti semua daerah/lokasi menerima model ini. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya aktivitas yang sengaja diarahkan untuk merusak model-model silvofisheri. Oleh karena itu untuk mengantisipasi meluasnya kerusakan, modifikasi model yang dilakukan atas ide masyarakat perlu diberi ruang gerak yang memadai sehingga masyarakat merasa berperan.
BAHAN DAN METODE A. Pendekatan Model silvofisheri yang diharapkan adalah model yang memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan baik dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan silvikultur. Model, sebagai penyederhanaan sistem, tentunya tidak dapat dipisahkan dari sistem lain seperti masyarakat yang memanfaatkan mangrove untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik subsistem maupun komersial, perlindungan bagi kehidupan satwa lain, siklus ketersediaan pakan alami bagi budidaya ikan, penahan angin, serta mengurangi pencemaran air sebelum dimasukkan ke tambak silvofisheri
B. Metode Penelitian dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam penelitian ini sengaja dipilih metode “banyak melakukan pengamatan” ( Bachtiar, 1981). Berdasarkan teori tersebut, aspek yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Berdasarkan pihak yang terlibat Data penelitian dikumpulkan dengan beberapa cara yaitu: a). Konsultasi awal dengan pihak terlibat seperti kelompok tani hutan, LSM, dan masyarakat di luar kelompok tani. b). Interview baik terstruktur maupun tidak terstruktur. c). Mencatat beberapa data yang menggambarkan jenis mangrove, jarak tanam, umur tanaman dan penggunaan kayu. 2. Berdasarkan subsistem penyusun kawasan mangrove a). Subsistem kawasan dan lingkungan, yang diambil: model-model silvofisheri, keunggulan model, hasil dari model dan keairan (pH,salinitas). b). Subsistem manusia dan kelembagaan yang meliputi data/informasi: harapan masyarakat terhadap pengembangan mangrove dan peran tokoh. 79 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
3. Berdasarkan subsistem budidaya dan teknologi. Data /informasi yang diperlukan adalah cara menanam, pemeliharaan dan pola tanam mangrove.
C. Analisis Cara analisis dilaksanakan dengan memperhatikan karakterisitik data/informasi yang terkumpul dari hasil banyak pengamatan. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan 2 (dua) cara analisis yaitu : - Pertama : Analisis laboratorium terhadap data kondisi perairan dalam tambak - Kedua : Analisis deskriptif untuk menggambarkan kondisi aktual silvofisheri melalui pemetaan beberapa model sehingga keunggulan dan kelemahannya dapat dipelajari dan dibedakan dari aspek. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejak awal, pesisir Kabupaten Pemalang dan Brebes cukup dikenal sebagai kawasan bermangrove. Ketika harga udang windu dan bandeng cukup tinggi, banyak kelompok bermodal meminati kawasan tersebut sehingga dalam waktu tidak terlalu lama, kawasan bermangrove dialihfungsikan menjadi tambak intensif. Akibat alih fungsi tersebut, tanaman mangrove ditebang habis di beberapa wilayah. Walaupun demikian, masih ada beberapa tokoh masyarakat misalnya di Desa Pesantren yang memiliki perhatian terhadap pentingnya fungsi mangrove sehingga bersedia mengawalinya dengan menanam lahannya seluas 3 Ha dengan jenis Rhizophora sp. Dan setelah berhasil, diikuti oleh anggota masyarakat lainnya (Kompas 27 Desember 2007). Itulah sebabnya di Desa Pesantren masih dijumpai beberapa jenis mangrove dan jenis tanaman ikutan lain yang berkembang baik dengan kondisinya sebagai berikut ( Salam dan Kaliman, 2002) : a. b. c. d. e.
Keadaan vegetasi Penutupan lahan Umur tanaman Salinitas air pH air
: cukup baik : kurang : menunjukkan tidak seumur : rata-rata 25-49 ppm : 6,4 – 7
Dalam perkembangannya, tanaman-tanaman inilah yang kemudian digunakan sebagai sumber benih untuk pengembangan lebih lanjut. Tercatat melalui pengamatan, masih dijumpai beberapa jenis mangrove maupun tanaman ikutannya di Pemalang sebagaimana susunan dalam Tabel 1.
80 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Tabel 1. Jenis Tanaman Mangrove dan Tanaman Ikutan di Kabupaten Pemalang No
Nama Lokal
Nama Latin
1
Bakau
Rhizopora mucronata
2
Api-api
Avicenia marina
3
Siroh siroh
Avicenia officinalis
4
Cemara laut
Lantana camara
5*
Beluntas
Plucea indica
6*
Krokot merah
Sesuvium portulacastrum
7*
Krokot kuning
Portulaca oleracea
Keterangan : tanda * = jenis ikutan
A. Silvofisheri di Kabupaten Pemalang Sebagai kawasan uji coba silvofisheri, Kabupaten Pemalang memiliki berbagai model silvofisheri yang dikembangkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat di Desa Pesantren misalnya, memiliki model yang berbeda dengan di daerah Tasikrejo, Kaliperahu maupun Mojo. Walaupun modelnya berbeda beda, tetapi secara umum dapat dikategorikan sebagai model empang parit. Kalaupun ditemukan/ada bentuk lain (tambak terbuka), jumlahnya tidak banyak. Beberapa model silvofisheri yang berkembang di beberapa daerah sebaran di Kabupaten Pemalang dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Model Silvofisheri di Desa Pesantren Salah satu ciri utama silvofisheri di Desa Pesantren adalah memiliki greenbelt cemara laut di sepanjang pantainya. Sementara pada saluran masuk dari laut ke tambak, memiliki sabuk pengaman mangrove dengan jarak antar tanaman 0,5 m yang difungsikan sebagai pengaman saluran, pemasok sumber bahan pakan alami ikan hasil dari guguran daun mangrove di sepanjang saluran, serta habitat jenis hewan lain (kerang-kerangan), sehingga mengkayakan hasil tambak. Selain ciri tersebut, pada bagian tengah tambak terdapat pelataran yang ditanami mangrove dengan jarak 1x2 m. Untuk memperoleh gambaran yang lebih detil/jelas terhadap kombinasi tambak dan mangrove, disajikan pada Gambar 1.
81 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Pematang tambak
-----------tambak
Pelataran
----------------------------
Gambar 1. Model Silvofisheri di Desa Pesantren yang memiliki ciri hampir semua hamparan pelatarannya ditanami mangrove, sehingga jumlah tanaman dalam satuan luas tambak cukup banyak
2. Model Silvofisheri di Desa Tasikrejo dan Sekitarnya Pengembangan silvofisheri di Desa Tasikrejo memiliki model sedikit berbeda dengan Pesantren terutama dalam pemanfaatan pelataran. Masyarakat di Pesantren lebih meminati tanaman mangrove sebagai pengisi pelataran tambaknya, sedang di Tasikrejo banyak dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura seperti pisang, melati, dan sayuran. Sebagai pembeda lainnya adalah pelataran dibuat dengan ukuran rata-rata 50% dari luas tambak. Dan di pematangnya, tanaman mangrove ditanam dengan kombinasi dari beberapa umur yaitu umur 1, 3 dan 5 tahun. Kombinasi berbagai umur sengaja dipilih oleh masyarakat supaya kebutuhan kayu dapat berlangsung secara kontinyu (memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan). Untuk memberikan gambaran terinci tanaman mangrove di pematang, disajikan pada Gambar 2.
>5Th
3Th
1Th
Gambar 2. Sebaran tanaman mangrove yang ditanam di pematang tambak dengan berbagai kelompok umur ( 1, 3 dan lebih dari 5 tahun ) di Desa Tasikrejo, Kabupaten Pemalang 82 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Beberapa hal yang perlu dicermati pada model silvofisheri di Desa Tasikrejo adalah: a. Pelataran tambak dibuat agak lebar sehingga tambaknya menyerupai parit yang mengelilingi pelataran. b. Pelataran ditanami tanaman hortikultura seperti pisang dan sayuran untuk kebutuhan sehari-hari, dan tanaman melati untuk memenuhi kebutuhan industri teh. c. Mangrove di pematang dimanfaatkan kayunya untuk keperluan kayu bakar sehingga tata- tanamnya dirancang untuk memenuhi keberlanjutan.
Gambaran silvofisheri yang dikembangkan masyarakat di Desa Tasikrejo dan sekitarnya disajikan pada Gambar 3. c
a
pematang tambak
-------------------------tambak
b
pelataran
a ------------------------tambak
Gambar 3. Model silvofisheri di Tasikrejo lebih variatif karena pelataran tambaknya ditanami berbagai tanaman hortikultura seperti pisang (a), melati/sayuran (b)
B. Silvofisheri di Kabupaten Brebes Selain Pemalang dan Tegal, Kabupaten Brebes juga memiliki kawasan mangrove cukup baik. Beberapa jenis mangrove yang cukup dikenal masih tampak terpelihara dengan baik. Keadaan vegetasi dan keairannya tercatat sebagai berikut : a. b. c. d.
Keadaan vegetasi Penutupan lahan Salinitas pH air
: cukup baik : cukup : 31-49 ppm : 7,1 – 7,6
Selain jenis-jenis umum yang dapat dijumpai pada beberapa daerah, ditemukan pula jenis tanaman yang termasuk langka seperti Ceriops tagal di beberapa halaman rumah penduduk. Rincian beberapa jenis mangrove yang dikembangkan dapat dipelajari pada Tabel 2. 83 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Tabel 2. Jenis Tanaman Mangrove dan Tanaman Ikutan di Kabupaten Brebes No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Lokal Bakau Api-api Siroh-siroh Waru Krokot merah Krokot kuning Tidak jelas
Nama Latin Rhizopora sp Avicenia marina Avicenia officinalis Hibiscus tilliaceus Sesuvium portucalastrum Portulaca oleracea Ceriops tagal
Beberapa jenis mangrove yang masih bertahan dan digunakan sebagai pengisi pada silvofisheri dan saluran air masuk di Kabupaten Brebes terutama Desa Grinting adalah : a). kombinasi bakau dan api-api di sepanjang saluran air masuk, b). pada silvofisheri, hanya ditemukan satu jenis yaitu bakau. c). memiliki petak penjernih yang diisi rumput laut sebagai filter. Untuk mendalami gambaran silvofisheri tersebut disajikan pada Gambar 4.
a
------aaaa-----------------------------------aaaa---------------------------------Tambak Pelataran Tambak b
b
Gambar 4. Silvofisheri di Desa Grinting (Kabupaten Brebes) memiliki tanaman mangrove di pelataran cukup banyak daripada di pematangnya, yang difungsikan selain untuk menciptakan habitat ikan, juga sebagai penahan angin
84 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Sebagai gambaran lengkap, silvofisheri di Desa Grinting tersebut ditampilkan pandangan dari atas sebagai berikut : U Saluran masuk xaxaaxaxxaxa
xaxaxaaaxxaxax
Petak penjernih x xxxxx
xxxxx x
x x xxxx x xxxx
x
sungai
x pelataran xxxx x xxxx
x
xxxx x
Keterangan: x: bakau a: api-api
x
xxxxxxxxxxxxxxx x
Gambar 5. Silvofisheri di Desa Grinting dan Posisinya Terhadap Sumber Air
Walaupun model silvofisherinya sama dengan di Pemalang yaitu empang parit, tetapi pembeda yang cukup menonjol adalah adanya tanaman bakau
(Rhizopora sp)
dalam tambak yang dibangun tegak lurus dari pematang (dalam gambar 4 diberi tanda “aaaa”). Barisan tanaman ini difungsikan sebagai tanaman pelindung tambak dari pengaruh angin kencang, kendati di depan silvofisheri telah ada bangunan
greenbelt
mangrove jenis Rhizopora sp dan Avicenia sp di sepanjang saluran air masuk. Yang patut dipuji adalah kepeloporan seorang tokoh yang membuat petak penjernih untuk menjamin air yang masuk dalam tambak menjadi jernih dan mencoba mengadopsi teknologi mina padi pada silvofisherinya untuk mempermudah memanen ikan (pada Gambar 4 diberi tanda “b” ). Kreativitas ini pada tahun 2003 pernah memperoleh perhatian tim evaluasi dari Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan, tetapi belum ada tindak lanjut.
C. Multi Fungsi Mangrove Banyak penelitian membuktikan bahwa antara partisipasi masyarakat dengan target rehabilitasi dan kelestarian mangrove, memiliki kaitan cukup erat. Bahkan, kesediaan masyarakat untuk mengambil peran, banyak dipengaruhi oleh terakomodasikannya kearifan lokal dalam kebijakan rehabilitasi (Salam, 2006). Dengan menggunakan logika tersebut, maka peran silvofisheri menjadi penting karena dapat diposisikan sebagai alat 85 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
(entry point) bagi gerakan rehabilitasi selanjutnya, untuk mencapai target/tujuan kelestarian mangrove. Dengan demikian upaya mengenalkan fungsi-fungsi mangrove dapat berjalan sehingga menjadi dorongan/pemicu bagi tumbuhnya kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi. Beberapa fungsi mangrove dari berbagai aspek dapat dijelaskan pada Tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3. Tinjauan Fungsi-Fungsi Mangrove Pada Silvofisheri dari Berbagai Aspek No
1
Aspek Fungsi
Ekologi
2
Ekonomi
3
Sosial
4
Silvikultur
Output a. Air tambak lebih jernih b. Plankton tumbuh lebih tebal c. pH air sesuai untuk lingkungan kehidupan ikan d. Pengaruh angin terhadap tambak berkurang e. Bagian dasar tambak lebih gembur sehngga cukup ideal bagi pertumbuhan plankton a. Produksi ikan lebih stabil b. Ada produk sampingan kepiting dan kerang-kerangan c. Adanya kepastian usaha bagi petambak dan masyarakat lain a. Aktivitas masyarakat meningkat b. Aktivitas lembaga berkembang c. Kesejahteraan masyarakat meningkat a. Kelestarian mangrove b. Pengembangan jalur hijau c. Rencana pohon induk d.Program pemeliharaan mangrove
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dikenalinya banyak variasi model silvofisheri yang dilakukan oleh masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki kearifan lokal dalam merespon masukan/input yang berkaitan dengan rehabilitasi mangrove. Tentunya hal tersebut dapat dinilai sebagai masih adanya kemauan masyarakat untuk berperan dalam melakukan rehabilitasi mangrove walaupun dengan kreasi masing-masing. B. Saran Banyak kebijakan yang dibuat pemangku seringkali mengabaikan kearifan lokal sehingga tujuan dari kebijakan itu tidak memenuhi sasaran. Oleh karena itu ketika masyarakat masih memiliki kemauan untuk berpartisipasi walaupun dengan kreasi masingmasing, hendaknya hal tersebut dapat dimasukkan dalam perencanaan awal untuk merumuskan kebijakan lanjut sehingga masyarakat merasa dilibatkan. 86 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2002. Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Makalah dalam Pelatihan dan Workshop Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. Institut Pertanian Stiper. Yogyakarta, 24-30 September 2002. Bachtiar, H.W. 1981. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian. Dalam Koentjaraningrat : Metode Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia, 127-160. Salam, H. 2002. Fungsi Kelembagaan Dalam Rehabilitasi Kawasan Mangrove. Makalah Pada Pelatihan Tokoh Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove. Kerjasama Ditjen RLPS dengan INSTIPER Yogyakarta, Tanggal 8-13 September 2002. ______ 2006. Kajian Aspek Ekonomi Rehabilitasi Mangrove Dengan Pola Silvofisheri di Kabupaten Pemalang. Dalam : Buletin Ilmiah Instiper Vol 13 No.1 April 2006. Salam, H. dan Windrati, K. 2002. Modifikasi Model Silvofisheri, Kasus di Kabupaten Pemalang dan Brebes. Dalam : Buletin Mangrove N0.01 Tahun 2002. INSTIPER Yogyakarta dan Balai Pengelolaan DAS Pemali-Jratun Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
87 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN JATI (STUDI KASUS DI KECAMATAN KEDUNGJATI, KABUPATEN GROBOGAN, JAWA TENGAH) The Contribution of Society in Teak Plantation Forest Management (The Case Study in Kedungjati Sub-district, Grobogan District, Central Java)
Karti Rahayu Kusumaningsih Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper Yogyakarta ABSTRACT In management of teak plantation forest, as a matter of fact, society who live around the forest have active role in many activities such as preparing land, planting, harvesting, etc. However, society often still face discrimination or not confessed their contribution in forest management activity. It is due to the stereotype that the contribution of society around the forest is only to prevent forest disturbing by them. Hence, the purpose of this research is to know the contribution of society (men and women) in management of teak plantation forest and management of land under the forest. Result of the research showed that all society around the teak plantation forest contributed in forest management activities with percentage of contribution was 100%. Contribution of women in teak plantation forest management was comparable to men, but they didn’t involved in Forest Farmer Group. Farming in forest was the main job for society, so it was necessary to increase their welfare. Keywords : Teak plantation, Forest management, Society PENDAHULUAN Keberadaan hutan selalu tidak lepas dari masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, secara langsung maupun tidak langsung akan terlibat dalam pengelolaan, pemanfaatan, maupun pelestarian hutan tersebut. Sistem pengelolaan hutan dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek dan berorientasi pada ekonomi kerakyatan, telah diprioritaskan dalam kebijakan kehutanan. Sistem pengelolaan pada hutan tanaman jati merupakan salah satu wujud pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pengelolaan hutan tanaman jati menurut kenyataan di lapangan, masyarakat desa hutan turut berpartisipasi dan berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan, misalnya dalam kegiatan penanaman, pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman, pemanenan, dan sebagainya. Partisipasi aktif
masyarakat desa hutan dalam konteks
pengelolaan hutan, di satu sisi ikut memberikan andil yang cukup besar pada setiap kegiatan yang ada, dan di sisi lainnya akan memberikan kontribusi terhadap pendapatan 88 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
keluarga. Di sini terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara pihak pengelola hutan (Perum Perhutani) dan masyarakat di sekitarnya. Menurut Laksono et al. (2000), pada umumnya masyarakat desa di kawasan hutan secara turun-temurun telah memanfaatkan lingkungan hutan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumber itu dapat berasal dari kayu dan non kayu, bahkan kawasan hutan dapat pula dijadikan tempat untuk berladang, berkebun, atau untuk tambak. Di antara aktivitas tersebut merupakan pekerjaan keseharian kaum wanita Menurut Astuti (1998), peranan wanita dalam pengelolaan hutan sebenarnya tidak dapat dianggap ringan, karena mereka mempunyai banyak sumbangan dalam berbagai bidang. Wanita dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk pemenuhan kebutuhan dan prioritas. Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan harus dimulai dari usaha mengintegrasikan wanita dalam pelaksanaannya. Meskipun pada kenyataannya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan cukup besar, namun masyarakat sebagai bagian atau pelaku dalam pengelolaan hutan tersebut seringkali belum sepenuhnya diakui peranan atau keterlibatannya. Hal ini karena adanya anggapan bahwa
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan hanyalah
sekedar untuk mencegah gangguan terhadap keamanan hutan oleh masyarakat Menurut Sabarnurdin (1998), dorongan Perum Perhutani mengadakan Perhutanan Sosial masih lebih banyak didasarkan pada usaha mengamankan hutan dari kegiatan penduduk yang destruktif (bersifat defensif), dan bukan didorong oleh keinginan berpartisipasi dalam memakmurkan masyarakat yang menjadi sebagian dari tanggung jawabnya (bersifat ofensif). Apabila dorongannya bersifat ofensif, maka penempatan kepentingan masyarakat seharusnya menjadi paket yang tidak terpisahkan dari pengelolaan hutan itu sendiri. Reformasi dalam pengelolaan hutan sudah seharusnya memikirkan masalah “tree tenure” bagi masyarakat pesanggem. Sistem bagi hasil kayu pada akhir daur perlu lebih serius dipertimbangkan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi lebih jauh tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan tanaman jati yang dikelola oleh Perum Perhutani BKPH Kedungjati, KPH Semarang. Dengan demikian potensi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan dapat diidentifikasi lebih jauh. Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data tentang aktivitas kerja dan keterlibatan masyarakat sekitar hutan yang terdiri atas laki-laki (suami) dan wanita (istri) dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati dan pengelolaan lahan di bawah tegakan. Dengan demikian diharapkan dapat
89 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait untuk lebih meningkatkan pembinaan, pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yaitu di Desa Kedungjati, Ngombak, dan Prigi yang mayoritas penduduknya terlibat secara langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati yang dikelola oleh Perum Perhutani BKPH Kedungjati, KPH Semarang. Pengambilan sampel responden dilakukan terhadap responden laki-laki dan wanita yang bertempat tinggal di sekitar hutan tanaman jati yang terlibat secara langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati dan pengelolaan lahan di bawah tegakan. Selain itu lahan tersebut tidak dikelola secara monokultur tetapi dikelola dengan pola multiple cropping, dengan sistem pembuatan tanaman tumpang sari. Pengambilan sampel responden dilakukan dengan cara purposive random sampling, dengan jumlah responden sebanyak 80 responden atau 40 keluarga (KK), yang terdiri atas 40 orang laki-laki (suami) dan 40 orang wanita (istri). Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu suatu metode yang digunakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara atau interview terhadap responden terpilih dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuisioner atau daftar pertanyaan dan melakukan observasi lapangan. Proses pengambilan kesimpulan didasarkan pada data yang diperoleh pada saat penelitian yang meliputi informasi tentang kondisi sosial ekonomi responden, aktifitas dan keterlibatan responden dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati serta pengelolaan lahan di bawah tegakan.
Sedangkan untuk data sekunder, analisis data dilakukan secara
deskriptif analitis untuk memberikan gambaran secara umum mengenai lokasi penelitian, yaitu berupa deskripsi atau karakteristik wilayah penelitian, yang meliputi letak geografis, luas wilayah, serta penduduk dan mata pencaharian.
90 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Penelitian Kecamatan Kedungjati adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan ini merupakan daerah yang menghubungkan antara Salatiga dengan Purwodadi melalui jalan darat, juga menghubungkan antara Semarang dengan Surakarta melalui jalur kereta api. Luas wilayah Kecamatan Kedungjati adalah 13034 Ha, terdiri atas tanah sawah seluas 388,226 Ha dan tanah tanah kering seluas 12646,216 Ha. Hutan negara, yaitu areal hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani di wilayah Kecamatan Kedungjati, merupakan jenis penggunaan lahan yang terluas yaitu sebesar 10.027,7 Hektar.
B. Penduduk dan Mata Pencaharian Jumlah penduduk di Kecamatan kedungjati berdasarkan data pada tahun 2006 adalah 43.122 jiwa, terdiri atas 20.878 laki-laki dan 22.244 wanita, yang terbagi menjadi 11.563 kepala keluarga (KK). Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah wanita lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Kepadatan penduduk adalah 3,30 orang per Ha atau 330,84 orang per Km2. Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Kedungjati adalah sebagai petani, buruh tani, buruh industri, buruh bangunan, pedagang, PNS, pensiunan, dan lain-lain. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan secara lengkap pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah penduduk Kecamatan Kedungjati menurut mata pencaharian (jiwa) Mata pencaharian 1. Petani 2. Buruh tani 3. Pedagang 4. Buruh industri 5. Buruh bangunan 6. Angkutan 7. PNS/TNI/POLRI 8. Pensiunan 9. Lain-lain Jumlah Sumber : Laporan Desa tahun 2006
Jumlah (jiwa) 16.584 2.329 3.033 458 2.182 552 1.021 534 2.144 28.847
Berdasarkan data mata pencaharian penduduk menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kecamatan Kedungjati memiliki mata pencaharian sebagai petani, yaitu berjumlah 16.584 jiwa. Mereka merupakan petani yang menggarap lahan di lahan milik pribadi maupun lahan milik Perum Perhutani. Mayoritas penduduk yang menggarap lahan
91 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
milik Perum Perhutani (para pesanggem) adalah penduduk yang bertempat tinggal di Desa Kedungjati, Ngombak, dan Prigi.
C. Kondisi Sosial Ekonomi Responden 1. Komposisi luas lahan garapan (andil) Komposisi luas lahan garapan responden berupa andil, yaitu lahan milik Perum Perhutani dengan luas dan batas tertentu yang digarap oleh responden atau pesanggem, disajikan pada Tabel 2. Pengelompokan luas lahan garapan (andil) tersebut adalah untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi responden. Tabel 2. Komposisi luas lahan garapan (andil) responden Luas andil (Ha) Jumlah pesanggem 0,25 11 0,5 8 0,75 5 1 9 1,5 - 2 5 >2 2 Jumlah 40
Persentase (%) 27,5 20 12,5 22,5 12,5 5 100
Berdasarkan data komposisi luas lahan garapan (andil) responden menunjukkan bahwa luas andil yang digarap responden bervariasi antara 0,25 sampai dengan di atas 2 Hektar, meskipun luas andil yang ditetapkan oleh Perum Perhutani sebenarnya adalah 0,25 Hektar untuk tiap pesanggem atau keluarga. Namun demikian untuk lokasi-lokasi hutan tanaman jati yang jumlah penduduk di sekitarnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan luas lahan garapan yang ada, maka diperbolehkan menggarap andil dengan luas lebih dari 0,25 Hektar tergantung pada kesanggupan dan kemampuan pesanggem. 2. Komposisi umur Komposisi umur responden disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi umur responden Wanita Umur (tahun) 20 – 30 31 - 40 41 - 50 > 50 Jumlah
Jumlah 13 15 10 2 40
Laki-laki % 16,25 18,75 12,5 2,5 50
Jumlah 6 15 16 3 40
% 7,5 18,75 20 3,75 50
Berdasarkan komposisi umur responden menunjukkan bahwa masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan hutan tanaman jati sebagian besar berumur 20 – 50 tahun, yaitu 92 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
merupakan usia produktif. Dengan demikian kegiatan mengelola hutan tanaman jati maupun tanaman palawija di bawah tegakan jati, pada umumnya dapat dilakukan sendiri oleh suami dan istri tanpa memerlukan tenaga tambahan (buruh). Berdasarkan hasil pengamatan, kegiatan produktif responden pada umumnya hanya dilakukan oleh suami dan istri tanpa melibatkan anak, meskipun usia anak telah cukup dewasa dan mampu membantu orang tua mereka. Hal ini menunjukkan tidak adanya alih pengetahuan dan ketrampilan dari orang tua kepada anak-anaknya dalam kegiatan produktif. Hal ini dapat terjadi karena generasi muda setempat tidak tertarik untuk mempelajari dan meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai pesanggem. Di sisi lain, kebutuhan tenaga untuk terlibat dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani masih akan terus berlanjut, sehingga kemungkinan pada waktu-waktu yang akan datang kebutuhan tenaga dari masyarakat sekitar hutan tersebut tidak dapat terpenuhi lagi karena tidak adanya alih generasi. D.
Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Jati Keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan tanaman jati
khususnya adalah dalam kegiatan penanaman hutan kembali (reboasasi) setelah terjadinya penjarahan kayu oleh masyarakat secara besar-besaran mulai tahun 1997 sampai dengan 2001. Sistem pembuatan tanaman yang dilakukan adalah sistem tumpang sari dengan tanaman pokok jati, tanaman pengisi mahoni, tanaman tepi secang, serta tanaman palawija utama adalah jagung dan tanaman palawija tambahan adalah pisang, kacang tanah dan ketela pohon. Keterlibatan responden pada masing-masing jenis kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati, disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut : Tabel 4. Keterlibatan responden dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati Jenis kegiatan 1. Penyiapan lahan 2. Penanaman tanaman pokok 3. Pemeliharaan tanaman pokok 4. Penebangan (pemanenan) 5. Penggembalaan ternak 6. Kelompok Tani Hutan Rata-rata
Wanita Jumlah % 40 50 40 50 40 50 0 0 13 16,25 0 0 27,71
Laki-laki Jumlah % 40 50 40 50 40 50 26 32,5 13 16,25 40 50 41,46
Jumlah (%) 100 100 100 32,5 32,5 50
Berdasarkan data keterlibatan responden dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati menunjukkan bahwa seluruh responden yang terdiri atas wanita dan laki-laki terlibat dalam kegiatan penyiapan lahan, penanaman tanaman pokok dan pemeliharaan tanaman pokok dengan jumlah keterlibatan 100%. Sedangkan pada kegiatan penebangan dan penggembalaan ternak hanya 32,5% responden yang terlibat, dan pada kegiatan 93 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Kelompok Tani Hutan hanya melibatkan 50% responden yang terdiri atas seluruhnya lakilaki. Terlihat bahwa keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati cukup besar, dan ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan hutan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan pelatihan-pelatihan untuk mengoptimalkan ketrampilan masyarakat khususnya dalam bidang pengelolaan hutan. Di sisi lain, responden wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam Kelompok Tani Hutan, padahal keterlibatan mereka dalam kegiatan pengelolaan hutan sebanding dengan laki-laki. Adanya stereotipe bahwa wanita sebagai “ibu rumah tangga” sangat merugikan mereka. Akibatnya jika wanita hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti Kelompok Tani Hutan, dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat wanita, meskipun potensi dan keterlibatan mereka cukup besar dan sebanding dengan laki-laki. Informasi pengetahuan dan pelatihan yang diperoleh pesanggem melalui kegiatan Kelompok Tani Hutan dalam kaitannya dengan peluang dan peningkatan ketrampilan dalam pengelolaan hutan, seharusnya tidak membedakan masalah jender. Diharapkan dengan semakin bertambahnya pengetahuan wanita dalam pengelolaan hutan yang didukung oleh kedekatannya dengan alam, akan dapat meningkatkan kontribusi mereka dalam pengelolaan hutan tanaman jati. E. Keterlibatan Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan Lahan di Bawah Tegakan Dalam sistem tumpangsari, masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan hutan diberi kesempatan untuk menanam tanaman palawija. Jenis tanaman palawija yang paling banyak ditanam adalah jagung, karena sesuai dengan kondisi lahan yang ada dan hasilnya cukup menguntungkan. Keterlibatan
responden dalam kegiatan pengelolaan lahan di
bawah tegakan yaitu berupa pengelolaan tanaman palawija, disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Keterlibatan responden dalam kegiatan pengelolaan lahan di bawah tegakan Jenis kegiatan 1. Penyiapan lahan 2. Penanaman tanaman palawija 3. Pemeliharaan tanaman palawija 4. Pemanenan tanaman palawija 5. Pasca panen tanaman palawija 6. Pemasaran tanaman palawija Rata-rata
Wanita Jumlah % 36 45 40 50 36 45 40 50 40 50 40 50 48,33
Laki-laki Jumlah % 40 50 40 50 40 50 40 50 40 50 35 43,75 48,96
Jumlah (%) 95 100 95 100 100 93,75
Berdasarkan data keterlibatan responden dalam kegiatan pengelolaan lahan di bawah tegakan menunjukkan bahwa hampir semua responden terlibat dalam berbagai kegiatan yang ada dengan persentase keterlibatan 93,75% sampai dengan 100%. Hal ini 94 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
menunjukkan bahwa kegiatan bertani di lahan hutan merupakan mata pencaharian utama responden, sehingga ketergantungan mereka terhadap Perum Perhutani sangat tinggi, yaitu untuk memperoleh penghasilan dari pengelolaan tanaman palawija (jagung). Dengan demikian sudah selayaknya apabila pihak pengelola hutan lebih meningkatkan kesejahteraan mereka. Rata-rata keterlibatan wanita dalam kegiatan pengelolaan lahan di bawah tegakan adalah sebesar 48,33%, sedangkan laki-laki 48,96%. Dengan demikian keterlibatan wanita dalam kegiatan pengelolaan tanaman palawija, sebanding dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wanita mempunyai peranan yang besar dalam kegiatan produktif untuk menopang kebutuhan dan ekonomi keluarga, disamping tugas domestik sebagai ibu rumah tangga. KESIMPULAN 1. Masyarakat di sekitar hutan tanaman jati terlibat seluruhnya dalam kegiatan pengelolaan hutan yang berupa penyiapan lahan, penanaman tanaman pokok, dan pemeliharaan tanaman pokok dengan persentase keterlibatan 100%. 2. Keterlibatan wanita dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman jati, sebanding dengan laki-laki. Namun demikian wanita sama sekali tidak dilibatkan dalam Kelompok Tani Hutan. 3. Kegiatan bertani di lahan hutan merupakan mata pencaharian utama masyarakat yaitu untuk memperoleh penghasilan dari pengelolaan tanaman palawija (terutama jagung). Dengan demikian sudah selayaknya apabila pihak pengelola hutan lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2007. Kecamatan Kedungjati dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik. Kecamatan Kedungjati, Grobogan, Jawa Tengah. Astuti, M. 1998. Pengantar Analisis Gender. Pelatihan Teknik Analisis Gender. Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fakih, M. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hermawan, A. dan S. Sugiarti. 2006. Petunjuk Teknis : Teknik Penentuan Sampel Responden. Departemen Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS. Surakarta. Lahjie, A. 2003. Pengusahaan Hutan Bagi Masyarakat. Universitas Mulawarman. Samarinda. 95 | J u r n a l W a n a T r o p i k a
Laksono, P.M., Sumijati, T. Gandarsih, M. Pakpahan, A. Rianty, dan A.B. Hendrijani. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove, Kearifan Ekologis Masyarakat Papua. Galang Press. Yogyakarta. Nugraha, A. dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Tangerang, Banten. Sabarnurdin, S. 1998. Menempatkan Kepentingan Masyarakat di dalam Pengelolaan Hutan. Proceeding Diskusi Reformasi Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani. Aditya Media. Yogyakarta. Suhardi, S.A. Sudjoko, Minarningsih, S. Sabarnurdin, Dwidjono, dan A. Widodo.2002. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Kanisius. Yogyakarta.
96 | J u r n a l W a n a T r o p i k a