KEBERADAAN MANGROVE DAN PRODUKSI IKAN DI DESA GRINTING, KECAMATAN BULAKAMBA, KABUPATEN BREBES
EDI FAJAR PRAHASTIANTO C24050625
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2010
Edi Fajar Prahastianto C24050625
ii
RINGKASAN Edi Fajar Prahastianto. C240505625. Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan Sigid Hariyadi. Ekosistem mangrove merupakan komunitas pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis vegetasi mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove tersebut memiliki beberapa manfaat, namun manfaat yang paling penting adalah kaitannya terhadap perikanan pesisir, baik budidaya maupun nonbudidaya (tangkap). Tujuan penelitian ini untuk mengkaji kondisi mangrove, produksi ikan di kawasan mangrove dan kemungkinan adanya hubungan antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan dan produksi ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Grinting yang merupakan sebuah desa pesisir yang terletak di Pantai Utara Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Penelitian dilakukan selama lima bulan, yaitu mulai dari bulan Juli – November 2009. Data yang dikumpulkan berupa vegetasi mangrove dominan, kualitas perairan dan produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya). Analisis data diamati dengan uji statistik F untuk melihat perbedaan secara nyata antar Kanal. Kemudian dilakukan analisis komponen utama (principle componenet analysis/PCA) untuk melihat kedekatan hubungan dari parameter yang diuji dan mereduksi variabel yang paling berpengaruh. Berdasarkan hasil uji, kondisi mangrove di tiap Kanal memperlihatkan perbedaan yang nyata dan sebagian besar didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Produksi ikan nonbudidaya juga memiliki perbedaan yang nyata pada tiap Kanal dan memiliki korelasi positif terhadap keberadaan mangrove. Hal ini berarti peningkatan ukuran mangrove akan diikuti pula oleh peningkatan dari produksi ikan nonbudidaya. Diduga pada lingkungan perairan pesisir yang bermangrove, kesediaan makanan dan nutrient (kesuburan) tinggi sehingga mampu menunjang produksi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Sementara produksi ikan budidaya tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata tiap Kanal dan memiliki korelasi negatif terhadap keberadaan mangrove. Hal ini diduga keberadaan mangrove dapat menyebabkan penutupan dasar tambak sehingga menghalangi tumbuhnya klekap yang menjadi makanan alami ikan bandeng di tambak. Sedangkan pembukaan lahan mangrove untuk kegiatan budidaya dapat mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove. Selain itu terdapat adanya hubungan yang menjelaskan kondisi mangrove yang mampu menghasilkan produksi ikan secara optimal. Namun perbandingan luasan mangrove dengan tambak perlu adanya kajian lebih lanjut. Melihat perbedaan antara kedua hubungan tersebut, perlu adanya suatu pengelolaan mangrove yang dapat menunjang kegiatan perikanan di kawasan pesisir baik budidaya maupun nonbudidaya. Pengelolaan tersebut terkait mengenai luasan areal mangrove yang dapat dikonversi atau ditambahkan, agar manfaat yang diperoleh dari keberadaan mangrove dapat dioptimalkan secara ekonomis dan ekologis.
iii
KEBERADAAN MANGROVE DAN PRODUKSI IKAN DI DESA GRINTING, KECAMATAN BULAKAMBA, KABUPATEN BREBES
EDI FAJAR PRAHASTIANTO C24050625
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
Nama Mahasiswa
: Edi Fajar Prahastianto
Nomor Pokok
: C24050625
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil NIP. 19611211 198703 1 003
Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc NIP. 19591118 198503 1 005
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 22 Maret 2010
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga Novenber 2009 dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta yang telah mendoakan serta mengeluarkan biaya agar penulis dapat menyelesaikan masa perkuliahan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku komisi pendidikan S1 dan dosen pembimbing pertama serta Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua dan pembimbing akademik atas bimbingan, masukan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini agar bermanfaat untuk berbagai pihak. .
Bogor, April 2010
Penulis
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan dan pembimbing skripsi I. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku pembimbing skripsi II dan pembimbing akademik yang telah bersabar dan memberikan banyak arahan serta masukan kepada penulis hingga penyelesaian skripsi.
2.
Bapak H. subandi (Dinas Kehutanan Kabupaten brebes), bapak Dadi fakur (Penyuluh Lapang Dinas Kehutanan kabupaten Brebes), bapak Masruri (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes), bapak Warsud (Ketua kelompok Nelayan “Saprana Jaya” Desa Grinting) dan bapak H. Zaenal (Ketua Kelompok Tani Hutan “SPKP” desa Grinting) atas kerja sama yang diberikan serta bapak Saroni (Kepala Desa Grinting) atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian di desa Grinting.
3.
Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Adik-adikku (Sari dan Ruli) serta saudarasaudara keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan serta motivasi yang diberikan.
4.
Para staf Tata Usaha Manajemen Sumberdaya Perairan terutama Mba Widar, Bagian Produktivitas dan Lingkungan (Bu Ana, Kak Budi dan Mas Adon) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
5.
Fredrik Tambunan, Arif Syaichu dan Yayan (Charmid) yang telah membantu dalam melakukan sampling penelitian. Teman-teman MSP 42, adik-adik kelas MSP 43 dan 44 atas doa, bantuan, kerja sama, dan semangatnya selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta teman-teman kostan “Wisma Baut” (Acank, Nota, Aryo, Fuad, Jawe, Ivan, Gilang, Kibo dan Agus) atas dukungan dan motivasinya.
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa tengah pada tanggal 17 Juni 1987 dan penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Isnaeni Edi Djumantoro dan Faizah. Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN Mangkukusuman 7 Kota Tegal (1999), SMP Negeri 2 Kabupaten Brebes (2002) dan SMU Negeri 1 Kabupaten Brebes (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Setelah melewati Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Ekologi Perairan dan Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Perikanan periode 2007/2008. Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota divisi Minat dan Bakat HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Peraiaran) periode 2006/2007 dan 2007/2008. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes”.
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xiii
1.
PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 1.3. Tujuan ......................................................................................
1 1 2 3
2.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1. Karakteristik Ekosistem mangrove di Jawa Tengah ................. 2.2. Mangrove dan Perikanan Nonbudidaya (Tangkap) .................. 2.3. Mangrove dan Perikanan Budidaya ......................................... 2.5. Kondisi Lingkungan ................................................................. 2.5.1. Suhu ............................................................................... 2.5.2. Kecerahan ..................................................................... 2.5.3. Salinitas ......................................................................... 2.5.4. Derajat kemasaman (pH) ............................................... 2.5.5. Oksigen terlarut (DO) .................................................... 2.5.6. Klorofil-a .......................................................................
4 4 5 7 9 9 10 10 11 12 12
3.
METODE PENELITIAN ............................................................. 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 3.2. Alat dan Bahan ......................................................................... 3.3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 3.3.1. Pengumpulan data vegetasi mangrove .......................... 3.3.2. Pengumpulan data produksi ikan ................................... 3.3.3. Pengumpulan data kualitas air ....................................... 3.5. Analisis data ............................................................................. 3.5.1. Uji statistik F ................................................................. 3.5.2. Analisis komponen utama .............................................
14 14 16 16 16 17 18 18 18 19
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 4.1. Kondisi Umum ........................................................................ 4.1.1. Letak dan Luas ............................................................... 4.1.2. Kependudukan ............................................................... 4.1.3. Perekonomian ................................................................ 4.1.4. Status Pengelolaan tambak dan mangrove di Desa Grinting ...............................................................
21 21 21 21 22
ix
23
4.2. Hasil ......................................................................................... 4.2.1. Kondisi vegetasi mangrove ........................................... 4.2.2. Produksi ikan ................................................................. 4.2.3. Kondisi lingkungan (kualitas air dan kesuburan) .......... 4.2.4. Analisis komponen utama ............................................. 4.2.5. Hubungan mangrove terhadap produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya) ......................................... 4.3. Pembahasan .............................................................................. 4.3.1. Kondisi mangrove dan perikanan .................................. 4.3.2. Implikasi penelitian bagi pengelolaan Ekosistem di kawasan pesisir Desa Grinting ...................................... 4.3.2.1. Rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove .... 4.3.2.2. Rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove ………………………………………
27 27 28 30 34
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 6.1. Kesimpulan ............................................................................ 6.2. Saran ......................................................................................
48 48 48
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
49
LAMPIRAN ............................................................................................
53
6.
x
36 37 37 45 46 46
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air ...
16
2.
Luas angrove pada tiap Kanal .................................................................
28
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Produksi ikan pantai dilihat berdasarkan perbedaan kondisi ekosistem mangrove .............................................................................
3
2.
Beberapa manfaat keberadaan mangrove ...........................................
6
3.
Aliran energi pada ekosistem mangrove .............................................
7
4.
Bentuk tambak ramah lingkungan (pola silvofishery) ........................
8
5.
Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery ...............................
9
6.
Peta lokasi penelitian di Desa Grinting ...............................................
14
7.
Lokasi titik sampling di Kanal I, II dan III .........................................
15
8.
Tata cara pengamatan vegetasi mangrove ..........................................
17
9.
Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan .....
22
10. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan mata pencaharian .......
22
11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting ...................
25
12. Kondisi vegetasi mangrove di areal pertambakan ...............................
25
13. Struktur organisasi Kelompok Tani Hutan Desa Grinting ...................
26
14. Jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal .....................
28
15. Produksi ikan rata-rata yang diperoleh petani tambak dan nelayan di kawasan pesisir Desa Grinting ............................................................
29
16. Kondisi lingkungan (kualitas air) di dalam tambak ............................
32
17. Kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) ........................................
33
18. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan dalam tambak dan produksi ikan budidaya ......................
35
19. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak dan produksi ikan nonbudidaya ...............
36
20. Hubungan keberadaan mangrove terhadap produksi ikan ..................
37
1.
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian .........................................
53
2.
Lokasi penelitian di Kanal I ................................................................
54
3.
Lokasi penelitian di Kanal II ...............................................................
55
4.
Lokasi penelitian di Kanal III .............................................................
56
5.
Lokasi plot (transek) pengamatan vegetasi mangrove ........................
57
6.
Lokasi titik sampling pengukuran kualitas air ....................................
58
7.
Gambar beberapa kegiatan yang terdapat di lokasi ............................
59
8.
Hasil analisis PCA dan matriks korelasi antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di dalam tambak dan produksi ikan budidaya .....
60
Hasil analisis PCA dan matriks korelasi antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) dan produksi ikan nonbudidaya ........................................................................................
61
9.
10. Hasil analisis uji statistik terhadap perbedaan jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal di kawasan pesisir Desa Grinting, Kabupaten Brebes ...............................................................................
62
11. Hasil analisis uji statistik terhadap produksi budidaya dan nonbudidaya di Desa Grinting, Kabupaten Brebes .............................
63
xiii
1.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu jenis Rhizopora spp. Oleh karena itu, hutan mangrove kemudian ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Nuhman, 2004). Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen, 2001). Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem utama penyusun wilayah pesisir tropis selain pelagis estuaria, padang lamun dan terumbu karang. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya hutan mangrove yang besar. Sekitar 61.250 km2 atau sepertiga mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara, dimana 42.550 km2 terdapat di Indonesia (Spalding et al., 1997 in Setyawan et al., 2003). Namun keberadaan hutan mangrove tersebut mengalami penurunan dari segi kualitas maupun kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982 hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada tahun1993 menjadi 3,73 juta ha, sehingga dalam kurun waktu 11 tahun tersebut hutan mangrove telah berkurang seluas 0,52 juta ha (Onrizal & Kusmana, 2008). Sumber lain mengatakan bahwa kecepatan penurunan hutan mangrove mencapai 530.000 ha per tahun (Anwar dan Gunawan, 2006). Dahuri (2003) menyebutkan bahwa faktor penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak memberikan kontribusi terbesar bagi penurunan luas dan kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pusat Penelitian Pengembangan Oseanografi (P3O) LIPI dan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatja) LAPAN (2000) in Nur (2002), yang memperlihatkan adanya penurunan luas hutan mangrove sejalan dengan pertambahan luas areal pertambakan.
2
Di Indonesia pembuatan tambak pada awalnya dimulai di pantai utara jawa, dimana mendorong perusakan mangrove secara besar-besaran. Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran pantai utara jawa menyebabakan perubahan vegetasi muara secara nyata. Sehingga keberadaan ekosistem mangrove hanya tersisa pada tempat-tempat yang sangat terisolasi atau ditanam di tepi tambak. Hal ini terjadi pada daerah Indramayu, Brebes, Pekalongan, Demak, Pati, Rembang, Lamongan, Gresik dan Situbondo (Setyawan, 2003). Sejalan dengan hal di atas perlu diupayakan pengelolaan hutan mangrove yang memperhatikan lingkungan, karena peranan hutan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan sangat nyata. Hutan mangrove memiliki manfaat yang penting bagi sumberdaya ikan, mangrove sebagai tempat untuk memijah (spawning), peremajaan (nursery) dan mencari makan (feeding) bagi beberapa jenis sumberdaya ikan. Sehingga keberadaan dan kelestarian hutan mangrove perlu dijaga agar manfaat yang diberikan dapat dioptimalkan dan terhindar dari kerusakan yang lebih besar.
1.2
Rumusan Masalah
Mangrove melalui serasah yang dihasilkannya merupakan landasan penting bagi keberadaan sumberdaya ikan di kawasan pesisir. Produksi sumberdaya ikan pesisir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan budidaya dan nonbudidaya. Produksi ikan kawasan pesisir tidak terlepas pengaruh dengan produktifitas perairan daerah tersebut. Produktifitas yang tinggi tentunya akan menghasilkan produksi yang tinggi pula. Produktifitas perairan dapat dilihat dari beberapa parameter kondisi lingkungan (kualitas perairan), sedangkan keberadaan mangrove diindikasikan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di daerah tersebut. Secara ilmiah nilai ekologi dari suatu ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa komponen, yaitu komponen biotik (vegetasi mangrove itu sendiri dan sumberdaya ikan baik budidaya maupun nonbudidaya) dan komponen abiotik (kualitas air baik fisika, kimia maupun biologi). Namun keberadaan mangrove saat ini telah banyak mengalami penyusutan dari tahun ke tahun, sehingga akan mempengaruhi nilai ekologi dari mangove tersebut. Disuatu tempat yang terdapat
3
mangrove dengan kondisi yang berbeda (rapat, sedang dan jarang) baik kerapatan maupun penutupannya, diduga akan memiliki nilai atau pengaruh yang berbeda terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Sehingga pengelolaan terhadap ekosistem mangrove perlu dilakukan agar manfaat yang diberikan pohon mangrove tersebut dapat terjaga dan diharapkan dapat meningkatkan produtifitas perairan sekitar. Berdasarkan ilustrasi di atas secara diagramatik rumusan masalah tersebut disajikan pada gambar 1 di bawah ini. Rapat Kondisi Mangrove
Sedang
kualitas air dan kesuburan
Budidaya Produksi ikan
Nonbudidaya
Jarang Gambar 1. Kerangka pemikiran bagaimana mangrove mempengaruhi produksi ikan di kawasan pesisir 1.3
Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
a. Mengkaji kondisi ekosistem mangrove di Desa Grinting b. Mengkaji produksi ikan kawasan mangrove di Desa Grinting c. Mengkaji kemungkinan hubungan kondisi mangrove, kondisi lingkungan dan produksi ikan di Desa Grinting
2.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah
Macnae (1968) in Noor, et al., (1999), mengatakan bahwa mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Tomlinson (1986) in Setyawan (2003) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi. Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi, zonasi tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut (Noor et al., 1999). Secara umum ekosistem mangrove di Indonesia terbagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan sebagian besar terletak di Papua, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Jawa-Bali dan Nusa Tenggara (Setyawan, 2003). Ekosistem mangrove di Jawa tersebar di pesisir Jawa barat, jawa Tengah dan Jawa timur. Sebagian besar ekosistem mangrove tersebut termasuk ekosistem mangrove di pantai utara Jawa Tengah, terbentuk pada dataran lumpur di muaramuara sungai. Namun nilai penting ekosistem mangrove di kawasan pantai utara Jawa Tengah lebih kecil dibanding pada pantai utara kedua propinsi tetangganya. Hal ini dikarenakan luas wilayahnya yang jauh lebih sempit dan pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai (Setyawan, 2003). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyawan et al (2005), secara umum terdapat 55 spesies tumbuhan mangrove, yang tergolong kedalam 27 familia. Jumlah terbanyak adalah Rhizophoraceae (9), Avicenniaceae (3), Sonneratiaceae (3), Meliaceae (3), Verbenaceae (3), Cyperceae (3) dan Gramineae (3). Keanekaragaman mangrove pantai utara Jawa Tengah tertinggi ditemukan di Wulan, Demak. Namun di luar kawasan tersebut keanekaragaman ekosistem mangrove mulai menurun, hal ini disebabkan karena banyaknya habitat mangrove yang dikonversi menjadi lahan tambak.
5
2.2
Mangrove dan Perikanan Nonbudidaya (Tangkap)
Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang spesifik, hal ini disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang saling berkaitan. Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove. Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan produksi udang tersebut (Martosubroto & Naamin, 1977). Kemudian Kawaroe et al (2001), menjelaskan bahwa keberadaan mangrove dengan kondisi yang baik memberikan kontribusi yang besar terhadap keberadaan juvenil ikan. Sehingga menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Hal ini juga diungkapkan oleh Purwoko (2005) in Onrizal dan Kusmana (2008), bahwa kerusakan mangrove dapat menyebabkan penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang berada disekitar hutan mangrove. Primavera dan Lebata (1995) menambahkan bahwa lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang, hal ini memberikan kenyamanan bagi udang karena pada jenis tertentu seperti Metapenaeus monoceros memiliki kebiasaan maenggali (burrowing). Sedangkan kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak. Beberapa jenis dari fitoplankton merupakan makanan yang penting bagi beberapa jenis ikan, khususnya udang. Dinoflagellata dan diatom merupakan makanan yang penting bagi udang, khususnya dari jenis Metapenaeus sp (Rathod & Kusuma, 2006). Sementara dalam kolam budidaya jenis fitoplankton tersebut dimanfaatkan ikan bandeng sebagai pakan alaminya (Vannucci, 1998). Berdasarkan beberapa penelitian di atas dapat dijelaskan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal memiliki fungsi dan manfaat yang besar (Gambar 2). Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting dalam memainkan peranan sebagai mata
6
rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menampung kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Pramudji, 2001). Terkait manfaatnya secara ekologis, di dalam ekosistem mangrove terdapat adanya aliran energi yang tersusun berupa rantai makanan (Gambar 3). Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, melainkan serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dan lain sebagainya) (Bengen, 2001). Bagian-bagian partikel daun yang kaya akan protein ini akan dirombak oleh koloni-koloni bakteri dan seterusnya akan dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut terus sampai menjadi partikelpartikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan selanjutnya akan dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustecea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari reruntuhan mangrove sebagian akan dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi akan diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan (Soeroyo, 1987). Sementara kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton (Nontji, 1984 in Zuna, 1998).
Gambar 2. Beberapa manfaat keberadaan mangrove (www.wetland.or.id)
7
Gambar 3. Aliran Energi Pada Ekosistem Mangrove (Lear and Tunner, 1977 in Soeroyo, 1987) 2.3
Mangrove dan Perikanan Budidaya Dalam kegiatan budidaya salah satu manfaat mangrove adalah dapat
digunakan untuk tandon yang difungsikan sebagai biofilter alami. Mangrove dapat menjebak dan mendaur ulang berbagai bahan organik, logam berat dan bahan kimia lainnya. Mangrove juga dapat menstabilkan konsentrasi NO3-N dan PO4-P dan juga mampu menghambat Vibrio spp (Gunarto et al, 2003). Sehingga mangrove
dapat
memperbaiki
kualitas
air
tambak.
Namun
dalam
perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk dijadikan kegiatan budidaya, yaitu untuk memperluas lahan pertambakan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan budidaya.
8
Pada dasarnya konversi hutan mangrove menjadi tambak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tambak terbuka dan tambak hutan (Natharani, 2007). Sistem tambak terbuka merupakan suatu sistem tambak dengan hutan mangrove seluruhnya ditebang. Sedangkan sistem tambak hutan merupakan sistem pertambakan yang mengkombinasikan konservasi hutan mangrove dengan pembukaan lahan tambak. Sistem tambak hutan ini merupakan suatu aplikasi pemanfaatan ekosistem mangrove untuk dijadikan area tambak ramah lingkungan (Gambar 4) yang memadukan pohon atau hutan (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Tambak silvofishery dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas tanpa mengurangi manfaatnya secara ekonomi (www.wetland.or.id). Manfaat
mangrove dalam tambak
silvofishery diantanya
adalah,
memperkuat kontruksi pematang tambak oleh akar-akar mangrove, petambak dapat menggunakan daun mangrove sebagai pakan ternak, kualitas air tambak dapat menjadi lebih baik, pematang nyaman dipakai para pejalan kaki, meningkatkan keanekaragaman hayati (termasuk bibit ikan alami dan kepiting) dan terciptanya sabuk hijau di kawasan pesisir (www.wetland.or.id). Menurut Sofiawan (2000) in Puspita et al (2005), terdapat beberapa tipe tambak pada sistem silvofishery. Diantaranya adalah (1) tipe empang parit tradisional, (2) tipe komplangan, (3) tipe empang terbuka, (4) tipe kao-kao dan (5) tipe tasik rejo. Namun kegiatan rehabilitasi dengan pola tersebut tentunya tergantung dari kondisi lahan yang akan dikonversi, sebab tiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bentuk tipe atau model tambak pada sistem silvofishery dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar
4.
Bentuk tambak ramah (www.wetland.or.id)
lingkungan
(pola
silvofishery)
9
(1) Tipe empang tradisional
(2) Tipe Komplangan
(3) Tipe empang terbuka
(4) Tipe kao-kao
(5) Tipe tasik rejo Gambar 5. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Puspita et al, 2005) Keterangan : A. B. C. D.
Pintu air (inlet/outlet) Empang Saluran air Pelataran tanaman lain
2.4
Kondisi Lingkungan
2.4.1
Suhu
Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme. Pada perairan tropika suhu relatif tinggi (> 250C) sepanjang tahun dengan demikian suhu relatif stabil dan umumnya jarang menunjukkan
gejala
stratifikasi
(Nur,
2002).
Peningkatan
suhu
dapat
10
menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10 0C menyebabkan konsumsi oksigen meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sebesar 20 0C - 30 0C (Effendi, 2003). Sedangkan untuk kehidupan ikan budidaya, dalam hal ini adalah komoditi bandeng, pada stadia juvenil dan dewasa batas maksimum suhu perairan adalah sebesar 39 0C dan 43 0C (Vannucci, 1998).
2.4.2
Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Sementara kekeruhan merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang terlarut maupun yang tersuspensi, seperti lumpur, pasir halu atau plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003). Sehubungan dengan kekeruhan tersebut, salah satu kekeruhan yang diharapkan di tambak adalah kekeruhan oleh kepadatan plankton. Apabila jenis yang dominan campuran Chlorella (warna air menjadi hijau) dan Diatomae (warna air coklat) sehingga keseluruhan warna air tambak menjadi coklat muda (hijau kecoklatan) akan sangat baik bagi kehidupan ikan yang dipelihara. Air dengan warna tersebut (kecerahan 30-40 cm) membuat ikan merasa aman, dan plankton-plankton nabati akan membantu menyerap senyawa yang berbahaya bagi ikan antara lain ammonia secara langsung dan nitrit secara tidak langsung (Buwono, 1992).
2.4.3
Salinitas
Salinitas didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion yang terlarut dalam air (Boyd, 1991). Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh terhadap fitoplankton. Sementara konsentrasi nutrien dalam ekosistem mangrove memiliki hubangan tehadap salinitas yang timbul akibat pasokan dari air sungai, air laut maupun air dari dalam ekosistem mangrove itu sendiri (Wong, 1984). Salinitas yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan
11
organisme air menjadi lambat. Karena sebagian besar energinya digunakan untuk proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh dengan lingkungan (Poernomo, 1978 in Gunarto et al., 2003). Menurut Kinne (1964) in Nur (2002), keragaman dan jumlah spesies organisme di perairan samudera akan mencapai maksimum pada kisaran salinitas 31-40%. Keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturut-turut menurun pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0,5‰), perairan payau (salinitas 0,530‰), hypersaline (salinitas 41-80‰) dan brine water (salinitas lebih besar sari 80‰). Untuk larva udang dalam air hidup dengan salinitas antara 28-35 ppt (Boyd, 1991). Sedangkan untuk ikan bandeng bereproduksi pada perairan dengan salinitas antara 32-33 ppt. Namun ikan budidaya jenis bandeng mampu hidup pada salinitas yang tinggi yaitu pada kisaran nilai salinitas mencapai 87,25 ppt (Vannucci, 1998)
2.4.4
Derajat Kemasaman (pH)
Istilah pH berarti konsentrasi ion hidrogen di dalam air, lebih spesifik pH merupakan kondisi asam atau basa suatu perairan (Boyd, 1991). Dibidang perikanan derajat kemasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi, 2003). pH juga dapat mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. pH sering pula dipakai sebagai petunjuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. Air yang agak basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pH ikut berperan dalam menentukan produktivitas primer perairan (Soeseno, 1974 in Nur, 2002). Perairan payau merupakan penyangga yang baik terhadap perubahan pH, dan pH jarang berada di bawah 6,5 atau diatas 9 (Boyd, 1991).
12
2.4.5
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Effendi, 2003). Sumber oksigen di perairan dapat berasal dari difusi udara dan fotosintesis fitoplankton. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan alami yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme serta sebagai indikator kualitas perairan. Selain itu kandungan oksigen terlarut di perairan dapat memberikan petunjuk tentang tingginya produktivitas primer suatu perairan (Nielsen,1979 in Nur, 2002). Sementara fungsi oksigen di dalam tambak selain untuk pernafasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak (Buwono, 1992). Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Hampir semua organism akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi, 2003).
2.4.6
Klorofil-a Klorofil-a adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan (fitoplankton)
yang mempunyai peran penting dalam berlangsungnya proses fotosintesis di perairan (Prezelin, 1981 in Sediadi & Edward, 2000). Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga konsentrasi fitoplankon sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a. Semakin tinggi kandungan klorofil-a dalam perairan mengindikasikan bahwa semakin besar pula biomassa fitoplankton dalam perairan tersebut. Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor fisika-kimia air dan tipe komunitas perairan merupakan faktor yang sangat menentukan. Cahaya matahari dan suhu merupakan kebutuhan fisiologis untuk pertumbuhan dan reproduksi, sedangkan sejumlah unsur hara dan bahan organik tertentu berperan terhadap kelimpahan fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983 in Nur, 2002).
13
Keberadaan fitoplankton dalam perairan berhubungan erat terhadap keberadaan organisme perairan lainnya. Dalam budidaya komoditi bandeng pada saat larva memakan fitoplankton dari jenis diatom dan pada saat juvenil (yang berukuran kurang lebih 20-200 mm) cenderung memakan fitoplankton dari jenis dinoflagellata dan diatom (Vannucci, 1998). Sementara golongan fitoplankton dari jenis dinoflagellata dan diatom tersebut juga merupakan pakan alami yang penting dari sumberdaya ikan lainnya, termasuk udang dan khususnya dari jenis Metapenaeus sp (Rathod & Kusuma, 2006).
3.
3.1
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di pesisir utara Kabupaten Brebes, yaitu di
kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba. Secara geografis letak Kabupaten Brebes berada pada 108041’37’’ - 109011’92’’BT dan 6044’56’’ 7020’51’’LS. Sedangkan letak lokasi penelitian dijasikan pada Gambar 6. Pengambilan data kualitas air dan kuisioner sebagai data penunjang dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2009. Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2009. Sedangkan pengambilan data produksi perikanan dilakukan selama dua bulan yaitu pada bulan Oktober dan November 2009. Secara
umum
wilayah
Kabupaten
Brebes
memiliki
batas-batas
administrasi yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Cirebon dan kabupaten Kuningan (Jawa Barat), sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Cilacap dan kabupaten Banyumas serta di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Tegal dan kota Tegal. Peta keseluruhan lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6 di bawah ini.
15
Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Desa Grinting
Gambar 7. Lokasi titik sampling di Kanal I, II dan III
16
3.2
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan selama penelitian meliputi tali rafia untuk
membuat petak pengamatan (10x10 m2) vegetasi mangrove, meteran, penggaris, alat tulis dan kamera. Sedangkan alat dan bahan dalam pengambilan data parameter kualitas air disajikan pada Tabel 1 dibawah ini (Lampiran 1). Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air Parameter Satuan Alat/Metode Keterangan ⁰ Kecerahan cm Secchi disk in situ Suhu C Termometer Hg in situ pH pH stick in situ Salinitas ‰ Refraktometer in situ DO mg/liter Titrasi winkler in situ Klorofil-a mg/cm³ Spektrofotometer ex situ
3.3
Teknik Pengumpulan Data
3.3.1.
Pengumpulan data vegetasi mangrove
Pelaksanaan pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan pada saluran air (selanjutnya disebut sebagai Kanal) yang terdapat di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Pada lokasi tersebut terdapat tiga Kanal yang membagi areal pertambakan, dimana Kanal tersebut berfungsi sebagai irigasi pertambakan. Beberapa lokasi titik sampling penelitian disajikan pada Lampiran 2, 3 dan 4. Dalam setiap Kanal dibuat tiga plot (transek) pengamatan untuk dijadikan ulangan, setiap plot dibuat dengan menggunakan tali rafia berukuran 10x10 m2. Sehingga terdapat sembilan buah total plot amatan untuk pengumpulan data vegetasi mangrove. Secara skematis penentuan lokasi plot amatan untuk pengumpulan data vegetasi mangrove disajikan pada Lampiran 5. Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan metode observasi lapangan (data primer), dengan cara mengamati vegetasi mangrove dominan yang terdapat di sepanjang Kanal. Kemudian setelah diketahui jenis pohon mangrove dominan di kawasan tersebut, selanjutnya dihitung jumlah tegakan tiap plot pengamatan. Sementara perhitungan luasan mangrove yang terdapat di sepanjang Kanal dilakukan dengan menggunakan bantuan software ArcView GIS 3.2 terhadap citra landsat Kabupaten Brebes tahun 2008. Citra tersebut diperoleh dari
17
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tata cara pengamatan vegetasi mangrove dalam transek (Gambar 7). Untuk vegetasi mangrove tingkat pohon diamati pada luasan 10x10 m2, untuk vegetasi mangrove tingkat anakan diamati pada luasan 5x5 m2 dan untuk vegetasi mangrove tingkat semai diamati pada luasan 2x2 m2. Sementara vegetasi mangrove tingkat pohon merupakan mangrove dengan ciri-ciri dengan diameter batang ≥ 10 cm dan tinggi ≥ 1,5 meter. Vegetasi mangrove tingkat anakan merupakan mangrove dengan diameter batang < 10 cm dengan tinggi ≥ 1,5 meter. Sedangkan vegetasi mangrove tingkat semai merupakan mangrove dengan tinggi < 1,5 meter (Onrizal & Kusmana, 2008).
Gambar 7. Tata cara pengamatan vegetasi mangrove
3.3.2.
Pengumpulan data produksi ikan
Pengumpulan data produksi perikanan di Desa Grinting dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan kuisioner. Pengumpulan produksi ikan di lokasi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu produksi ikan budidaya dan produksi ikan nonbudidaya. Data produksi ikan budidaya diambil pada akhir musim panen dan merupakan komoditas yang dipelihara di dalam tambak. Sedangkan produksi ikan nonbudidaya merupakan komoditas yang ditangkap di sepanjang Kanal dan di sekitar kawasan mangrove secara alami serta biasanya dilakukan setiap hari.
18
Produksi nonbudidaya secara umum dilakukan pada daerah saluran air masuk (inlet) dalam tambak dengan menggunakan perangkap (bubu) atau langsung ditangkap dengan menggunakan jaring di sepanjang Kanal dan kawasan sekitar mangrove.
3.3.3.
Pengumpulan data kualitas air
Berbeda halnya dengan pengumpulan data vegetasi mangrove, jumlah plot pengamatan pada pengambilan data kualitas air berjumlah delapan belas plot. Dimana pada setiap Kanal diambil tiga plot dan tiga petak tambak contoh untuk dijadikan ulangan. Dengan demikian terdapat delapan belas lokasi pengumpulan data kualitas air yang dibedakan menjadi kondisi kualitas air di dalam tambak dan kondisi kualitas air di luar tambak (di sepanjang Kanal). Secara skematik penentuan lokasi pengumpulan data kualitas air disajikan pada Lampiran 6. Parameter yang diukur dalam kedelapan belas plot tersebut adalah parameter kualitas air yang meliputi kecerahan, suhu, salinitas, DO, pH, klorofil-a dan kedalaman. Dalam penelitian ini pengumpulan data DO dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 05.30-06.30 WIB dengan menggunakan metode titrasi winkler. Kegiatan dilaksanakan pada pagi hari dengan tujuan untuk mendapatkan data kisaran DO minimum di lokasi penelitian. Sedangkan pengumpulan data kecerahan, suhu, salinitas, pH dan penyaringan sampel air (klorofil-a) dilaksanakan pada pukul 07.00-09.00 WIB. Selanjutnya analisis parameter klorofi-a dilakukan di Laboratorium Produktifitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.4
Analisis Data
3.4.1
Uji statistik F
Untuk melihat perbedaan penutupan mangrove dan produksi ikan di tiap Kanal, dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik F. Uji statistik F dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang nyata pada tiap perlakuan (Kanal). Berikut disajikan cara perhitungan uji statistik F (Walpole, 1992):
19
Fhitung =
=
keterangan : JKK JKG k n
= = = =
jumlah kuadrat kolom (perlakuan) jumlah kuadrat galat jumlah perlakuan jumlah ulangan
hipotesis Ho : α1 = α2 = . . . = αk = 0 H1 : sekurang-kurangnya satu αi tidak sama dengan nol kriteria uji : Fhitung > Ftabel Fhitung < Ftabel 3.4.2
Tolak Ho Gagal tolak Ho
Analisis komponen utama (Principal Component Ananlysis/PCA)
Prosedur analisis komponen utama atau PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk
menyederhanakan
variabel
yang diamati
dengan cara
menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Salah satu keunggulan pengguanaan PCA dibanding dengan metode lain adalah dapat digunakan untuk segala kondisi data dan digunakan tanpa harus mengurangi jumlah variabel asal. Tujuan utama dalam penggunaan analisis komponen utama dalam suatu matriks data berukuran cukup besar diantaranya adalah (Bengen, 2000) : a.
Mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel atau matriks data yang besar.
b.
Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi.
c.
Mempelajari suatu tabel atau matriks dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel.
Secara umum informasi yang diberikan dari hasil PCA dari sudut pandang variabel adalah didapat matriks korelasi antar semua variabel, akar ciri dari setiap sumbu faktorial berkaitan dengan jumlah inersi dari setiap sumbu, vektor ciri yang menjelaskan koefisien variabel dalam persamaan linear yang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama dan grafik bidang yang menvisualisasikan variabel terhadap
20
sumbu. Sedangkan dari sudut pandang individu, analisis PCA didapat koordinat pada setiap sumbu, kualitas representasi titik individu dalam setiap grafik bidang dan grafik bidang yang memperlihatkan kemiripan antar titik individu. Perhitungan dalam analisis komponen utama (PCA) dapat dibantu dengan mengunakan software xl-stat di dalam Microsoft excel 2003. Dalam analisis PCA terdapat pula matriks korelasi. Analisis korelasi biasanya digunakan dalam pengujian hipotesis yang bersifat asosiatif, yaitu dugaan adanya hubungan antar variabel dalam populasi. Korelasi merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antar dua variabel atau lebih. Arah dinyatakan dalam bentuk hubungan positif dan negatif, sedangkan kuatnya hubungan dinyatakan dalam nilai besarnya koefisien korelasi. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai -1, kuatnya hubungan antar variabel dinyatakan dalam koefisien korelasi positif sebesar 1 dan koefisien korelasi negatif sebesar -1 sedangkan yang terkecil adalah 0 (nol) (Sugiyanto, 2004). Untuk melihat kekuatan hubungan dalam korelasi digunakan kriteria sebagai berikut (Hasan, 2003) : •0
: Tidak ada korelasi antara dua variabel
• 0 – 0,25
: Korelasi sangat lemah
• 0,25 – 0,5
: Korelasi cukup
• 0,5 – 0,75
: Korelasi kuat
• 0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat •1
: Korelasi sempurna
4.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
4.1.1 Letak dan luas Lokasi penelitian terletak di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Desa Grinting merupakan salah satu desa yang berlokasi di kawasan pesisir Pantai Utara Kabupaten Brebes. Sumber data mengenai letak dan luas, kependudukan serta perekonomian Desa Grinting diperoleh berdasarkan laporan monografi data statis dan dinamis Kabupaten Daerah Tingkat II Brebes Kecamatan Bulakamba tahun 2009. Berdasarkan data tersebut Desa Grinting memiliki luas daerah sebesar 1.469,100 hektar, yang terbagi atas tanah sawah, tanah kering dan lain-lain. Untuk luas kawasan mangrove total di Desa Grinting diperkirakan sebesar kurang lebih sekitar 180,75 hektar atau sebesar 25,93% dari luas kawasan mangrove total di Kabupaten Brebes yaitu sebesar 697 hektar. Dengan kondisi 80,75 hektar berupa hamparan dan 100 hektar berupa wanamina. Keberadaan mangrove di Kabupaten Brebes terbagi di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung dan Losari, dengan luasan terbesar berada di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba (25,93%). Sebagai salah satu desa yang berada di kawasan pesisir Pantai Utara Jawa, maka Desa Grinting memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang perikanan, baik perikanan budidaya tambak maupun perikanan nonbudidaya. Luas kawasan daerah pertambakan tersebut sebesar 596,340 ha atau sebesar 40,59% dari luas total wilayah desa.
4.1.2 Kependudukan Jumlah penduduk di Desa Grinting pada tahun 2009 adalah sebesar 15.317 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebesar 7.791 dan perempuan sebesar 7.526. serta jumlah kepala keluarga di desa ini sebesar 5.183 kepala keluarga. Menurut tingkat pendidikan di Desa Grinting, tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah yaitu sebanyak 5.716 orang atau sebesar 33% orang yang belum tamat SD dan
22
sebanyak 2.783 orang atau sebesar 16% yang tidak tamat SD. Sedangkan tingkat pendidikan tertinggi yang paling banyak dimiliki penduduk Desa Grinting adalah lulusan SD yaitu 6.504 orang atau sebesar 38%. Selain itu, dilihat dari jenis mata pencahariannya penduduk Desa Ginting didominasi oleh buruh tani sebanyak 4.339 orang atau sebesar 40% serta petani dan peternak sebanyak 2.883 orang atau sebesar 27% (Gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 10. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan mata pencaharian 4.1.3 Perekonomian Kegiatan perekonomian yang ada di Desa Grinting adalah industri sedang (12 buah), industri kecil (6 buah) dan industri rumah tangga (14 buah). Selain itu terdapat kegiatan perekonomian lainnya yang berupa pertanian, perikanan tambak, peternakan, perdagangan dan lain-lain.
23
Berdasarkan data di atas, jumlah penduduk Desa Grinting didominasi oleh buruh tani dan petani atau peternak. Maka kegiatan usaha tani sebagian besar adalah lahan pertanian dengan berbagai jenis tanaman. Tanaman yang terdapat di Desa Grinting dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tanaman primer dan sekunder. Tanaman primer sebagian besar berupa bawang merah dengan luas tanaman sebesar 13,105 hektar. Sayuran dengan luas tanaman 1,050 hektar, buahbuahan 0,75 hektar, ketela pohon 0,420 hektar dan jagung 0,370 hekar. Sedangkan tanaman sekunder hanya berupa tanaman kelapa, dengan jumlah 772 pohon dan jumlah produksinya sebanyak 10.057 buah kelapa. Sementara kegiatan pertambakan merupakan usaha tani utama di daerah tersebut, mengingat luas lahan pertambakan merupakan yang terbesar yaitu mencapai 40,59% dari luas total wilayah desa.
4.1.4 Status Pengelolaan Tambak dan Mangrove di Desa Grinting Pada awalnya produksi perikanan budidaya masyarakat Desa Grinting didominasi oleh komoditas ikan bandeng, dengan pencapaian produksi rata-rata sekitar 3-5 kuwintal per hektar. Kemudian sekitar tahun 1984-1986 masyarakat Desa Grinting diperkenalkan dengan jenis komoditas udang windu. Saat itu terjadi pencapaian produksi budidaya udang windu yang sangat pesat, baik melalui pola semi intensif maupun tradisional. Sehingga pada masa itu pencapaian produksi udang windu sangat mengesankan dan mengalami blooming dengan produksi ratarata sebesar 1 ton per hektar melalui pola semi intensif pada tahun pertama. Kemudian seiring berjalannya waktu produksi udang windu mengalami penurunan, yaitu pada tahun 1988 didapat hasil rata-rata sebesar 7,5 kuwintal per hektar dan pada tahun 1989 hanya didapat produksi rata-rata sebesar 3 kuwintal per hektar. Hingga akhirnya pada tahun 1990 produksi budidaya udang windu mengalami gagal panen. Menurut masyarakat sekitar hal ini disinyalir oleh adanya pencemaran yang disebabkan oleh pemaikaian obat-obatan dan juga kegiatan budidaya yang melupakan kaidah-kaidah daya dukung lingkungan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas tanah pertambakan. Hal ini membuat para petani tambak resah dan beralih kembali pada komoditas ikan bandeng, namun hasil yang diperoleh
24
ternyata ikan bandeng yang dibudiayakan tidak dapat mencapai ukuran yang diinginkan. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk menangani kendala tersebut, agar kondisi lingkungan di sekitar menjadi subur kembali. Pada tahun 1992, masyarakat melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah melakukan berbagai kegiatan guna menanggulangi berbagai kendala tersebut. Kegiatan yang dilakukan adalah rehabilitasi lingkungan dengan penghijauan. Ada dua sasaran utama kegiatan, yaitu rehabilitasi lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat dan rahabilitasi kawasan tambak menjadi tambak wanamina atau tumpangsari. Pola tambak tumpangsari merupakan kombinasi antara tambak dengan kegiatan konservasi hutan mangrove. Sistem tambak tumpangsari pada prinsipnya bertujuan untuk perlindungan terhadap vegetasi mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan bersama masyarakat melakukan kegiatan penanaman vegetasi mangrove. Target awal penanaman vegetasi mangrove yaitu berada pada pesisir pantai, sungai, saluran air dan pelataran tambak. Namun hingga saat ini masih terdapat pro dan kontra mengenai keberadaan mangrove dipelataran tambak. Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman terkait dengan ekosistem mangrove. Sedangkan penanaman vegetasi mangrove di pesisir pantai hingga saat ini masih belum berhasil dan mangalami kendala. Pada dasarnya bentuk sistem tumpangsari akan bervariasi menurut keadaan lokasi yang direhabilitasi. Dalam hal ini vegetasi mangrove ditanam di bagian tepi tambak atau tanggul. Pada mulanya posisi penanaman pohon mangrove dilakukan di tepi tambak dan di tengah, namun seiring berjalannya waktu keberadaan pohon mangrove yang berada di tengah tambak sudah tidak ada lagi. Hal ini dikarenakan adanya keluhan dari para pemilik tambak yang mengalami kendala ketika panen. Sehingga kondisi vegetasi mangrove yang ada saat ini terdapat pada tepian tambak atau tanggul, di sepanjang sungai dan saluran air. Berikut merupakan bentuk dan gambaran ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes (Gambar 11 dan 12).
25
Gambar 11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting
Gambar 12. Kondisi vegetasi mengrove di areal pertambakan
Untuk menjaga keberadaan ekosistem mangrove agar tetap terjaga maka diperlukan suatu pengelolaan. Pemerintah daerah beserta instansi terkait dan masyarakat setempat harus terlibat dalam upaya tersebut agar keberhasilan dapat dicapai. Karena keberhasilan atau kegagalan dari suatu kegiatan sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari seluruh stakeholder yang ada khususnya masyarakat setempat. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan adalah dengan dibentuknya kelompok Tani Hutan (KTH), yang terbentuk pada tahun
26
2007 dibawah binaan Dinas Kehutanan dengan nama Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Desa Grinting. Kelompok Tani Hutan ini sebagian besar beranggotakan para pemilik tambak. Tujuan utama dibentuknya Kelompok Tani Hutan ini adalah untuk melestarikan ekosistem hutan mangrove di kawasan pertambakan. Selain itu juga dengan dibentuknya kelompok tersebut diharapkan dapat menciptakan penyuluhpenyuluh swadaya mengenai ekosistem mangrove dan dapat mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menghijaukannya. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut hingga kini diantaranya adalah penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh lapang dari Dinas Kehutanan, pengawasan terhadap ekosistem mangrove dari penebang liar, pembuatan papan larangan yang berkaitan terhadap ekosistem mangrove dan lain sebagainya (Lampiran 7). Kemudian seiring berjalannya waktu kelompok tersebut bersama Pemerintah
Daerah,
Pemerintah
Desa
dan
Lembaga
Hukum
(Polsek)
mengeluarkan suatu peraturan desa yang berkaitan dengan kelestarian ekosistem mangrove, yaitu Peraturan Desa (Perdes) No.III/01/2007. Perdes tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sehingga dalam pelaksanaannya hingga kini diharapkan kelompok tersebut mampu memperlihatkan kemajuan dan keberhasilan dalam upaya pelestarian lingkungan khususnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove. Skema struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) SPKP Desa Grinting dapat dilihat pada Gambar 13.
Ketua BPD
Kepala Desa Ketua
Penyuluh kehutanan
LPMD
Wakil Ketua Sekertaris
Bidang Penyuluhan
Bendahara
Bidang Kerjasama
Bidang Bina usaha
Bidang Keamanan
Bidang Pariwisata
Gambar 13. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Desa Grinting
27
4.2
Hasil
4.2.1 Kondisi vegetasi mangrove Vegetasi mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Selain itu terdapat juga Avcennia marina dan Acanthus illicifolius, akan tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Sehingga data yang digunakan berupa vegetasi mangrove dominan yaitu vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata. Keberadaan vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata yang mendominasi diduga karena jenis ini mampu memanfaatkan sumberdaya atau lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Sehingga jenis ini mampu tumbuh lebih cepat khususnya pada daerah berlumpur yang tergenang (Suryawan, 2007). Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah. Sementara untuk jenis A. marina mempunyai propagul berupa biji yang berkecambah, sehingga ketika matang dan jatuh ke tanah akan mengalami perkembangan sendiri atau menyebar karena terbawa air saat pasang. Pada lokasi penilitian, penanaman vegetasi mangrove jenis R. mucronata lebih ditujukan untuk memperkuat tanggul-tanggul sungai atau saluran air (Kanal) serta tambak yang ada di lokasi tersebut. Vegetasi mangrove diamati pada transek yang terbuat dari tali plastik, dengan luas 100 meter persegi (10x10 m). Vegetasi mangrove tingkat pohon pada Kanal I, II dan III berturut-turut diperoleh jumlah tegakan dengan rata-rata sebanyak 33, 37 dan 17 individu tiap luas pengamatan. Vegetasi mangrove tingkat anakan pada Kanal I, II dan III diperoleh jumlah tegakan rata-rata sebanyak 16, 28 dan 20 individu tiap luas pengamatan. Dan vegetasi mangrove tingkat semai pada Kanal I, II dan III diperoleh jumlah tegakan rata-rata sebanyak 75, 692 dan 233 individu tiap luas pengamatan. Selain itu berdasarkan citra landsat mengenai data Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008, pada Kanal II merupakan lokasi dengan kondisi luas mangrove tertinggi yaitu seluas 4,566 Ha. Sedangkan pada Kanal I dan III memiliki luasan mangrove sebesar 3,991 dan 3,329 Ha, dengan luasan terendah terdapat pada Kanal III. Kondisi vegetasi mangrove pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 14 dan Tabel 2.
28
Gambar 14. Jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal (individu/100m2). Tabel 2. Luas mangrove tiap Kanal
Lokasi Kanal I Kanal II Kanal III
Luas Mangrove (Ha) 3,991 4,566 3,329
Panjang Kanal (meter) 835,69 881,85 921,89
4.2.2 Produksi ikan Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini terdapat dua jenis produksi ikan, yaitu produksi ikan budidaya dan produksi ikan nonbudidaya. Produksi ikan budidaya merupakan komoditas yang dipelihara di dalam tambak, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah jenis ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan budidaya dipanen pada satu musim tertentu, tergantung ukuran yang diinginkan oleh pemilik tambak. Dalam penelitian ini tambak yang diambil data produksinya merupakan tambak yang memiliki masa pemeliharaan sekitar kurang lebih enam bulan. Sedangkan produksi ikan nonbudidaya atau ikan tangkapan merupakan komoditi yang ditangkap di alam dan tidak dipelihara di dalam tambak serta biasanya ditangkap setiap hari atau pada hari-hari tertentu oleh pemilik tambak maupun nelayan, dalam penelitian ini data yang diambil adalah jenis udang api-api (Metapenaeus spp). Udang ini ditangkap dengan menggunakan bubu yang dipasang disekitar pintu air atau ditangkap langsung oleh nelayan dengan menggunakan jaring disekitar Kanal atau kawasan mangrove. Hasil produksi ikan rata-rata pada tiap Kanal dapat dilihat pada Gambar 15.
29
Berdasarkan data yang diperoleh, produksi ikan budidaya rata-rata terbesar berada pada tambak yang terletak di Kanal III, dengan jumlah produksi rata-rata sebesar 232,67 Kg/Ha/musim. Sedangkan pada tambak yang terletak di Kanal I dan II diperoleh produksi rata-rata sebesar 202,22 Kg/Ha/musim dan 183,33 Kg/Ha/musim dengan produksi terendah berada pada tambak di Kanal II. Sementara untuk produksi ikan nonbudidaya yaitu komoditi udang api-api, pada kawasan sekitar Kanal I, II dan III diperoleh produksi rata-rata sebesar 2,70 Kg/hari, 3,99 Kg/hari dan 1,94 Kg/hari, dengan produksi rata-rata terbesar berada di Kanal II dan yang terendah berada di Kanal III. Berdasarkan hasil tersebut maka pada Kanal I, II dan III potensi produksi ikan budidaya total mencapai 604,67 Kg/ha/musim, 550 Kg/ha/musim dan 700 Kg/ha/musim. Sedangkan untuk ikan nonbudidaya memiliki potensi produksi sebesar 13,48 Kg/hari, 19,94 Kg/hari dan 9,70 Kg/hari.
Gambar 15. Produksi ikan rata-rata yang diperoleh petani tambak dan nelayan di kawasan pesisir Desa Grinting.
30
4.2.3 Kondisi lingkungan (kualitas air dan kesuburan) Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali selama lima bulan masa penelitian dan dilakukan di dua tempat, yaitu pada lingkungan pertambakan (di dalam tambak) dan pada saluran air atau Kanal (di luar tambak). Pengambilan data kualitas air ditujukan untuk mengetahui kondisi lingkungan pada saat masa pemeliharaan komoditas budidaya. Parameter kualitas air yang diukur meliputi kecerahan, salinitas, suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan klorofila. Kondisi kualitas air pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Kecerahan rata-rata di dalam tambak berkisar antara 25,33 - 45,86 cm. Nilai kecerahan tertinggi terdapat pada tambak di Kanal II dengan rata-rata sebesar 45,86 cm, sedangkan kecerahan terendah terdapat pada tambak di Kanal III dengan rata-rata sebesar 25,33 cm. Adapun kisaran nilai kecerahan rata-rata dalam tambak pada Kanal I, II dan III yaitu sebesar 16 - 43 cm, 29 - 56 cm dan 22,8 - 26,8 cm untuk tambak yang berada pada Kanal III. Sementara untuk kondisi di luar tambak nilai kecerahan rata-rata berkisar antara 17,78 - 20,56 cm, dengan nilai kecerahan rata-rata tertinggi berada di Kanal III, sedangkan yang terendah berada di Kanal II. Salinitas rata-rata di dalam tambak pada tiap Kanal selama penelitian berkisar antara 42,33 - 50,44 ‰. Nilai rata-rata salinitas tertinggi terdapat pada tambak di Kanal I yaitu sebesar 50,44 ‰, sedangkan nilai rata-rata salinitas terendah berada pada tambak di Kanal II yaitu sebesar 42,33 ‰. Nilai salinitas rata-rata di dalam tambak pada Kanal I, II dan III selama penelitian berkisar antara 48,7 - 51,3 ‰, 39,3 - 44,7 ‰ dan 37,3 - 49,3 ‰. Sementara untuk kondisi di luar tambak, Kanal I memiliki nilai salinitas rata-rata tertinggi sebesar 36,33‰ dan Kanal III memiliki nilai salinitas rata-rata terendah sebesar 31,11‰. Selama penelitian fluktuasi suhu air tidak terlalu besar, yaitu berkisar antara 26,22 - 26,78 0C di dalam tambak dengan suhu rata-rata tertinggi berada pada tambak di Kanal II dan terendah berada pada tambak di Kanal I. Untuk kondisi diluar tambak, Kanal II memiliki suhu rata-rata tertinggi selama penelitian sebesar 27,28 0C dan suhu terendah terdapat di Kanal I sebesar 26,22 0C. Kondisi tersebut sesuai dengan kondisi pada daerah tropis dengan suhu rata-rata > 25 0C dan umumnya jarang menunjukkan stratifikasi.
31
Kisaran nilai DO rata-rata selama penelitian untuk kondisi di dalam tambak yang berada pada Kanal I, II dan III adalah sebesar 1,90 - 3,79 mg/liter, 1,35 - 2,30 mg/liter dan 1,49 - 2,71 mg/liter. Dengan DO rata-rata tertinggi terdapat dalam tambak di Kanal I sebesar 2,62 mg/liter dan nilai rata-rata DO terendah terdapat dalam tambak di Kanal II sebesar 1,85 mg/liter. Sementara pada kondisi di luar tambak kisaran nilai DO rata-rata tertinggi terjadi pada Kanal II sebesar 2,76 mg/liter dan nilai terendah terdapat pada Kanal I sebesar 1,99 mg/liter. Nilai DO yang rendah diperoleh karena pada penelitian pengukuran kandungan DO dalam perairan dilakukan saat pagi hari (pukul 05.00 – 05.30). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai DO minimum, dengan asumsi bahwa ketersediaan oksigen di perairan telah dikonsumsi untuk proses repirasi pada saat sore hari menjelang malam hingga malam hari menjelang pagi. Nilai pH air rata-rata di dalam tambak maupun di luar tambak selama penelitian pada tiap Kanal tidak menunjukkan perubahan yang besar dan memiliki kisaran pH rata-rata yang sama baik kondisi di dalam maupun di luar tambak, yaitu sebesar 7,44 - 7,72. Dengan nilai pH tertinggi terdapat dalam tambak di Kanal I dan terendah terdapat dalam tambak di Kanal III. Sedangkan untuk kondisi di luar tambak pH tertinggi terdapat pada Kanal I dan terendah terdapat pada Kanal II. Nilai rata-rata kandungan klorofil-a dalam tambak selama penelitian memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Nilai rata-rata kandungan klorofil-a dalam tambak berkisar antara 11,30 - 15,55 mg/cm3, dengan kandungan klorofil-a tertinggi terdapat pada tambak di Kanal III dan terendah terdapat pada tambak di Kanal I. Adapun kisaran kandungan klorofil-a rata-rata dalam tambak selama penelitian pada Kanal I, II dan III adalah sebesar 6,42 - 15,26 mg/cm3, 6,74 22,34 mg/cm3 dan 9,45 - 25,04 mg/cm3. Untuk kondisi di luar tambak kandungan klorofil-a berkisar antara 11,67 - 19,64 mg/cm3. Kanal II memiliki kandungan klorofil-a rata-rata tertinggi dan Kanal I memiliki kandungan klorofil-a rata-rata terendah. Kandungan klorofil-a dalam perairan dalam menggambarkan kandungan biomassa fitoplankton dalam perairan tersebut.
32
Gambar 16. Kondisi lingkungan (kualitas air) di dalam tambak
33
Gambar 17. Kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal)
34
4.2.4 Analisis komponen utama Untuk melihat hubungan atau keterkaitan antara keberadaan mangrove terhadap hasil produksi budidaya beserta kondisi lingkungan di dalam tambak dapat digunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Dalam melihat hubungan tersebut digunakan sebanyak sembilan variabel, diantaranya adalah produksi budidaya (PB), luas mangrove (LM), kecerahan, salinitas, suhu, DO, pH, Klorofil-a dan kedalaman. Kualitas air yang digunakan merupakan kondisi lingkungan yang diukur di dalam tambak. Hasil analisis dari PCA dapat menjelaskan kualitas informasi yang dijelaskan oleh dua komponen utama berdasarkan pada nilai eigenvaleu (akar ciri), eigenvalue merupakan besarnya keragaman data pada setiap komponen utama. Komponen utama pertama memberikan kontribusi sebesar 55% dalam menjelaskan keragaman data yang diamati dengan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 4,94. Sedangkan komponen utama kedua memberikan kontribusi sebesar 45% dalam menjelaskan keragaman data yang diamati dan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 4,06 sehingga kedua komponen tersebut memberikan kontribusi sebesar 100% dari keragaman total, yang berarti bahwa PCA dapat menjelaskan data yang ada hingga 100% (Lampiran 7). Gambar 18 menyajikan hubungan antar variabel-variabel yang diuji. Semakin dekat posisi variabel terhadap sumbu komponen utama (dengan sudut ≤ 450), maka variabel tersebut memiliki korelasi terhadap variabel lainnya yang juga berdekatan dengan sumbu komponen utama yang sama atau sudut yang dibentuk antar variabel ≤ 900. Sedangkan perbedaan posisi atau koordinat (kuadran) menggambarkan arah korelasi (positif dan negatif). Berdasarkan Gambar 18 tampak bahwa keberadaan mangrove memiliki korelasi yang kuat terhadap hasil budidaya, akan tetapi arahnya berlawanan (korelasi negatif). Hal ini berarti apabila kegiatan budidaya meningkat maka akan mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga mengakibatkan penurunan luas mangrove. Hasil produksi budidaya juga memiliki korelasi negatif terhadap kecerahan dan pH. Dengan meningkatnya kecerahan dan pH maka akan menurunkan produksi dalam tambak. Sedangkan hasil budidaya dan kandungan klorofil-a di dalam tambak menggambarkan korelasi positif. Meningkatnya kandungan
35
klorofil-a yang dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam tambak, dapat meningkatkan produksi budidaya yaitu sebagai pakan alami. Sementara itu keberadaan vegetasi mangrove dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa variabel lingkungan. Matriks korelasi memberikan nilai hubungan antar variabel yang diuji (Lampiran 8).
Biplot on axes 1 and 2 (100% )
2 Kanal I
1.5
pH
1
Kecerahan
Salinitas DO
0.5
-- axe 2 (45% ) -->
Kanal II
LM Kedalaman suhu
0 -0.5 -1
Klorofil-a
PB
-1.5 -2 -2.5 Kanal III
-3 -3.5 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
-- axe 1 (55% ) -->
Gambar 18. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di dalam tambak dan produksi ikan budidaya Selain itu, analisis komponen utama juga menggambarkan hubungan antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) dan produksi ikan nonbudidaya. Hasil analisis PCA memberikan kualitas informasi yang didapat dari dua komponen utama berdasarkan nilai eigenvaleu (akar ciri). Komponen utama pertama didapat dengan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 5,57 dan memberikan kontribusi informasi sebesar 62%. Sementara komponen utama kedua diperoleh dengan nilai eigenvaleu sebesar 3,43 dengan memberikan kontribusi informasi sebesar 38% sehingga kedua komponen utama tersebut dapat menjelaskan data yang ada sebesar 100% yang berarti PCA dapat memberikan informasi dari data sebesar 100% (Lampiran 9). Dari Gambar 19 tampak bahwa keberadaan vegetasi mangrove memiliki hubungan atau korelasi yang sangat kuat terhadap produksi ikan nonbudidaya. Yang berarti bahwa semakin tinggi ukuran mangrove maka makin tinggi pula
36
produksi ikan nonbudidaya. Selain itu terlihat adanya hubungan antara produksi ikan nonbudidaya, kandungan oksigen terlarut (DO) dan klorofil-a. Tingginya produksi ikan nonbudidaya dapat dipengaruhi oleh kandungan DO dan klorofil-a dalam perairan. Karena kedua parameter tersebut dapat menggambarkam kesuburan atau produktifitas suatu perairan.
Sementara kandungan DO dan
klorofil-a dalam perairan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang berasal dari dekomposisi serasah yang dihasilkan pohon mangrove di daerah tersebut. Maka keberadaan mangrove dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, matriks korelasi menggambarkan nilai hubungan antar variabel yang disajikan pada Lampiran 9. Biplot on axes 1 and 2 (100% ) 3 Kanal III
2.5
-- axe 2 (38% ) -->
2 1.5
Kecerahan
1
Kedalaman suhu DO Klorifil-a
0.5 0
pH
-0.5
Salinitas
-1 -1.5
PN LM
Kanal II
Kanal I
-2 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
-- axe 1 (62% ) -->
Gambar 19. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak dan produksi ikan nonbudidaya 4.2.5 Hubungan mangrove terhadap produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya) Berdasarkan data-data di atas dapat pula digambarkan mengenai hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan budidaya maupun nonbudidaya (Gambar 20). Pada Gambar tersebut data produksi ikan yang digunakan merupakan data produksi ikan rata-rata tiap tahun. Sementara data luasan mangrove tiap Kanal diplotkan terhadap luasan areal kawasan pesisir yang diperkirakan masih dipengaruhi oleh keberadaan mangrove di kawasan tersebut.
37
Penetuan luasan kawasan tersebut dibantu dengan menggunakan software Arc View GIS 3.2 terhadap citra landsat Kabupaten Brebes tahun 2008. Berdasarkan Gambar 20, peningkatan luasan mangrove akan diikuti oleh peningkatan produksi ikan nonbudidaya. Sementara peningkatan kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksi dapat menyebabkan terjadinya tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga luas mangrove akan berkurang. Gambar tersebut mencoba memberikan ilustrasi mengenai luas mangrove yang optimum bagi kegiatan perikanan pesisir baik budidaya maupun nonbudidaya. Terlihat bahwa luas mangrove sekitar kurang lebih 4 hektar merupakan kondisi mangrove yang baik untuk menghasilkan produksi ikan secara optimum.
Gambar 20. Hubungan keberadaan mangrove terhadap produksi ikan 4.3
Pembahasan
4.3.1 Kondisi mangrove dan perikanan Kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Desa Grinting sebagian besar didominasi oleh vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata (Lamk) dari suku Rhizophoraceae. Selain itu terdapat juga vegetasi mangrove jenis Avicennia marina (Forsk) dari suku Avicenniaceae dan Acanthus ilicifolius (Lamk) dari suku Acanthaceae namun dalam jumlah yang relatif sedikit. Data vegetasi mangrove yang dikumpulkan adalah jenis mangrove yang mendominasi di daerah tersebut, yaitu dari jenis Rhizophora mucronata. Berdasarkan uji statistik F yang dilakukan, diperoleh nilai Fhitung sebesar 13 dan
38
Ftabel sebesar 5,14 (Fhitung > Ftabel). Hal ini memberikan kesimpulan bahwa jumlah tegakan mangrove memiliki perbedaan yang nyata di tiap Kanal (Lampiran 10). Berdasarkan Gambar 14, vegetasi mangrove pada tingkat pohon, anakan dan semai tertinggi terdapat pada Kanal II. Sementara mangrove tingkat pohon terendah dijumpai pada Kanal III, sedangkan mangrove tingkat anakan dan semai terendah dijumpai pada Kanal I. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap perbedaan luasan mangrove pada Kanal tersebut. Berdasarkan Tabel 2, kondisi pada Kanal II memiliki luas mangrove tertinggi sebesar 4,566 hektar. Sedangkan Kanal III memiliki luas mangrove terendah sebesar 3,329 hektar. Luasan mangrove tersebut diperoleh dari analisis Arc View terhadap citra landsat mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008, yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes. Kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh vegetasi jenis R. mucronata. Secara umum ekosistem mangrove memperlihatkan adanya pola zonasi yang berkaitan erat dengan tipe tanah, keterbukaan, salinitas serta pengaruh pasang surut. Tipe tanah dengan substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata dan diduga tekstur tanah di lokasi penelitian merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembanagan tegakan R. mucronata. Selain itu R. mucronata mampu tumbuh pada salinitas yang tinggi hingga 55‰ (Noor, et al., 1999). Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah (Suryawan, 2007). Gunawan dan Anwar (2005) menambahkan, perbedaan kondisi hutan mangrove pada tiap lokasi dapat disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman, gangguan ternak, gangguan manusia, tingkat kesuburan serta kesesuaian tempat tumbuh. Akan tetapi keberadaan mangrove di Desa Grinting diduga lebih didominasi oleh pengaruh gangguan manusia. Tidak bisa dihindrai bahwa tiap kalangan masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda terhadap ekosistem mangrove. Hal ini diindikasikan akibat adanya faktor pemahaman yang rendah dari masyarakat terhadap peran dan manfaat keberadaan mangrove. Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh Fakur (2008) yang juga dilakukan di Desa Grinting, faktor tingkat pendidikan dan pemberian bantuan sarana insentif sangat
39
mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi dan keberadaan hutan mangrove di Desa Grinting. Selain itu gambaran umum lokasi penelitian merupakan kawasan pertambakan yang berasal dari tanah timbul, yang kemudian dilakukan kegiatan penghijauan dengan menanam pohon mangrove, meskipun tanah timbul yang terdapat di pesisir pantai sebenarnya merupakan habitat bagi tumbuh kembang vegetasi mangrove. Akan tetapi, ternyata tidak semua pemilik tambak di kawasan tersebut terlibat terhadap kegiatan tersebut. Sebagian para pemilik tambak menolak keberadaan mangrove di areal atau pelataran tambak mereka, karena dirasa akan mengganggu kegiatan budidaya. Sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi beberapa areal tambak untuk kegiatan wanamina dan lahan-lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat. Hal tersebutlah yang diduga mengakibatkan adanya perbedaan kondisi mangrove pada lokasi penelitian. Padahal tidak bisa dipungkuri bahwa ekosistem mangrove memberikan manfaat dan potensi yang besar bagi kegiatan perikanan pesisir. Beberapa penelitian lain telah dilakukan terkait fungsi atau manfaat keberadaan mangrove yang penting bagi sumberdaya ikan pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan mangrove disinyalir dapat meningkatkan produktifitas lingkungan
sekitarnya,
sehingga
akan
memberikan
kontribusi
terhadap
peningkatan produksi ikan pesisir. Perikanan pesisir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perikanan budidaya dan perikanan nonbudidaya. Terkait dengan perikanan budidaya, dalam perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk kegiatan perikanan budidaya yaitu pembukaan lahan mangrove untuk dijadikan areal pertambakan. Kegiatan budidaya tambak di Desa Grinting pada awalnya berasal dari tanah timbul di pesisir pantai, yang kemudian dilakukan kegiatan pemetakan dan pembuatan tambak. Sebagian besar tambak didominasi oleh komoditi bandeng dan pada tiap Kanal kondisi tambak memiliki pola pengelolaan yang berbedabeda, yaitu ada tambak yang dikelola secara tradisional dan ada tambak yang dikelola secara semi intensif. Berdasarkan data hasil penelitian produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi berada kawasan tambak di Kanal III sebesar 232,67
40
kg/ha/musim, sedangkan yang terendah berada pada kawasan tambak di Kanal II sebesar 183,33 kg/ha/musim. Namun berdasarkan uji statistik F yang dilakukan, diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,52 sedangkan Ftabel sebesar 5,14 (Fhitung < Ftabel), yang berarti bahwa hasil produksi ikan budidaya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap Kanal (Lampiran 11). Selain produksi budidaya, dalam kawasan mangrove di Desa Grinting diperoleh juga produksi ikan nonbudidaya (tangkapan). Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan pada pintu air tambak dengan dipasang bubu atau langsung ditangkap oleh nelayan disekitar Kanal dengan menggunakan jaring. Berbeda halnya dengan produksi ikan budidaya, hasil uji statistik F yang dilakukan memberikan nilai Fhitung sebesar 9,61 sedangkan Ftabel sebesar 4,26 (Fhitung > Ftabel), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap produksi tangkapan pada tiap Kanal (Lampiran 11). Produksi tangkapan terbesar terdapat pada Kanal II dengan rata-rata produksi sebesar 3,99 kg/hari dan produksi terendah terdapat pada Kanal III dengan rata-rata produksi sebesar 1,94 kg/hari. Namun ada satu faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pasang surut air laut. Karena sumberdaya ikan yang berada di daerah mangrove merupakan ikan yang terbawa oleh arus saat pasang dan kembali ke laut saat air surut. Melihat perbedaan antara produksi ikan budidaya dan nonbudidaya tiap Kanal yang memiliki kondisi mangrove yang berbeda mengindikasikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan baik budidaya maupun nonbudidaya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada lokasi yang terdapat mangrove dengan kondisi yang berbeda, mengindikasikan adanya perbedaan kondisi
lingkungan
yang berpengaruh terhadap
produktifitas
lingkungan sekitar. Produktifitas kawasan pesisir tersebut khususnya lingkungan perairan, tentunya akan memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya ikan di lingkungan tersebut. Berdasarkan Gambar 19 dan hasil uji statistik, produksi ikan nonbudidaya memperlihatkan kondisi yang berbeda nyata pada tiap Kanal dan memiliki korelasi positif terhadap keberadaan mangrove. Produksi ikan nonbudidaya tertinggi berada pada Kanal II dengan luasan mangrove tertinggi dan produksi
41
terendah berada pada Kanal III yang memiliki luasan mangrove terendah. Hal ini menggambarkan hubungan berbanding lurus, dimana produksi meningkat seiring peningkatan ukuran dari mangrove. Melihat kondisi tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan di tiap Kanal memiliki tingkat kesuburan yang berbeda. Berdasarkan beberapa studi pustaka yang dilakukan, perairan yang ditumbuhi pohon mangrove memiliki kesuburan yang tinggi karena banyaknya bahan organik yang dihasilkan. Bahan organik berasal dari serasah pohon mangrove yang jatuh ke perairan dan mengalami perombakan. Substansi organik tersebut merupakan sumber unsur hara (nutrien) yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Sementara kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton (Nontji, 1984 in Zuna, 1998), yang kemudian menjadi landasan penting bagi produksi perikanan di sekitarnya. Produksi ikan nonbudidaya dalam hal ini adalah jenis udang api-api (Metapenaeus spp) memiliki kelimpahan yang tinggi di lokasi yang subur dengan ukuran mangrove yang tinggi yaitu pada Kanal II. Diduga daerah perairan yang memiliki mangrove yang baik menyediakan tempat bernaung serta menyedikan bahan makanan yang melimpah bagi larva ikan maupun udang. Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove. Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan produksi udang tersebut (Martosubroto & Naamin, 1977). Hal ini dapat dijelaskan pula oleh kandungan klorofil-a dan oksigen terlarut (DO) yang tinggi pada lokasi tersebut (Kanal II). Kandungan klorofil-a dapat menggambarkan besarnya biomasa fioplankton dan hanya fitoplankton yang memiliki klorofi-a, sementara fitoplankton merupakan mata rantai pertama dalam rantai makanan. Sehingga keberadaan fitoplankton sangat berpengaruh terhadap kelimpahan populasi hewan yang ada di perairan sekitarnya (Nur, 2002) dan
42
semakin tinggi biomasa fitoplankton akan semakin tinggi kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan karena proses fotosintesis yang dilakukannya. Menurut Soeroyo (1987), keberadaan udang di daerah mangrove disebabkan banyaknya ketersediaan pakan. Keberadaan udang tersebut tidak terlepas kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton. Karena dalam siklus hidupnya udang memiliki hubungan terhadap keberadaan fitoplankton yang juga melimpah di Kanal II yaitu sebagai pakan alami. Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), bahwa Diatomae dan Dinoflagellatae merupakan makanan bagi udang pada saat stadium zoea, kemudian pada stadium mysis udang memakan plankton dari jenis Protozoa, Rotifera, Balanus dan Copepoda. Dan fitoplankton dari jenis Cyanophyceae merupakan makanan yang baik bagi larva udang. Rathod dan Kusuma (2006) menambahkan, Dinoflagellata dan diatom merupakan makanan yang penting bagi udang khususnya dari jenis Metapenaeus sp. Kemudian Primavera dan Lebata (1995) juga menambahkan bahwa lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang. Kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak, hal ini memberikan kenyamanan bagi udang terkait kebiasaan dan cara makannya. Karena beberapa jenis udang seperti Metapenaeus spp memiliki kebiasaan menggali (burrowing), sehingga substrat di mangrove sangat cocok bagi kebiasaan udang tersebut. Akan tetapi berbeda halnya dengan kondisi di atas, berdasarkan Gambar 18 dan hasil uji menggambarkan bahwa produksi budidaya tambak tidak memiliki perbedaan yang nyata di tiap Kanal dan memiliki hubungan atau korelasi yang negatif terhadap keberadaan mangrove. Produksi ikan budidaya rata-rata tertinggi terdapat pada tambak di Kanal III yang memiliki ukuran mangrove terkecil dan produksi terendah terdapat pada tambak di Kanal II dengan ukuran mangrove terbesar. Sehingga kondisi tersebut memberikan penjelasan bahwa peningkatan kegiatan budidaya tambak baik secara intensif maupun semi intensif dalam rangka pencapaian peningkatan produksi, akan mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove. Sebab peningkatan produksi budidaya dapat dilakukan dengan pembuatan tambak yang lebih besar dan peningkatan padat penebaran benih dengan cara membuka areal mangrove, sehingga luasan mangrove menjadi
43
lebih sempit. Sehingga keberadaan mangrove sebagian besar dapat dijumpai hanya pada daerah di sepanjang sungai atau saluran air (Kanal). Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Natharani (2007), yang menjelaskan bahwa keberadaan mangrove tidak selamanya berpengaruh terhadap produksi ikan budidaya. Pada dasarnya terdapat beberapa faktor lain yang sangat menentukan terhadap keberhasilan kegiatan budidaya tambak. Diantaranya adalah padat penebaran dan kualitas benih, sumberdaya manusia (SDM) dan sarana serta prasaran yang menunjang kegiatan budidaya tambak. Tidak lupa pula pengelolaan tambak yang ada sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan produksi budidaya. Berdasarkan Gambar 18, produksi ikan budidaya memiliki hubungan atau korelasi positif dengan kandungan klorofil-a dalam perairan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kandungan klorofil-a dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam perairan. Sementara keberadaan fitoplankton dalam tambak dibutuhkan sebagai pakan alami dari ikan budidaya (Vannucci, 1998). Berdasarkan data, tambak yang berada pada Kanal III memiliki produksi ikan yang tinggi, hal ini dikarenakan di dalam tambak tersebut terdapat adanya klekap yang melimpah sebagai pakan alami dari komoditi budidaya yaitu ikan bandeng. Sementara klekap merupakan campuran berbagai jasad renik yang tumbuh di dasar tambak dan penyusun utama dari klekap tersebut adalah Diatom dan Cyanophyceae yang merupakan jenis dari fitoplankton (Soeseno, 1983). Namun keberadaan klekap tidak serta merta disebabkan oleh keberadaan mangrove.
Menurut
penuturan
salah
seorang
pemilik,
tambak
untuk
menumbuhkan klekap di dalam tambak memerlukan suatu upaya, yaitu dengan pemberian pupuk dan pengeringan dasar tambak yang memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Sementara keberadaan mangrove di pelataran tambak dapat menjadi penghalang bagi penyinaran matahari ke dalam tambak. Dengan demikian pengelolaan tambak yang baik juga berperan dalam keberadaan klekap di dalam tambak. Pada saat penelitian, dalam kegiatan budidaya tambak memperlihatkan adanya suatu fenomena yaitu salinitas dalam tambak yang relatif sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh para pemilik tambak yang jarang melakukan pergantian
44
air tambak dan karena adanya proses penguapan yang mengakibatkan salinitas menjadi sangat tinggi. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan nilai salinitas di dalam tambak berkisar antara 42,33 - 50,44 ‰. Pada kisaran nilai salinitas tersebut kondisi di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam perairan hypersaline (Effendi, 2003). Nilai salinitas yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan organisme air yang di dalamnya, yaitu dapat memperlambat laju pertumbuhannya. Karena sebagian besar energinya banyak digunakan untuk proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh dengan lingkungannya (Poernomo, 1978 in Gunarto et al, 2003). Hasilnya berdasarkan penuturan sebagian para pemilik tambak, produksi budidaya yang diperoleh untuk jenis bandeng memiliki ukuran yang kerdil pada saat panen, sekitar kurang lebih 6 -7 bulan masa pemeliharaan. Melihat adanya perbedaan hubungan antara produksi ikan budidaya dan nobudidaya terhadap keberadaan mangrove, tentunya dibutuhkan suatu pemikiran mengenai bagaimana mengelola ekosistem mangrove agar menunjang kedua kegiatan perikanan tersebut. Keberadaan mangrove perlu dilestarikan agar dapat dimanfaatkan secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis keberadaan mangrove dapat meningkatkan produktifitas perairan
yang memberikan
kenyamanan bagi sumberdaya ikan. Hal ini akan diikuti pula oleh meningkatnya produksi sumberdaya ikan tersebut, sehingga akan mendatangkan keuntungan bagi manusia sebagai konsumen dari segi ekonomis. Berdasarkan data yang diperoleh, luasan mangrove pada tiap Kanal hanya berkisar sebesar 3,329 – 4,566 hektar dengan panjang Kanal rata-rata sebesar 879,81 meter dan lebar rata-rata mangrove ke arah kanan kiri Kanal hanya sebesar kurang dari 20 meter. Hal ini membuat kondisi mangrove kurang ideal dan optimal secara ekologi. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove, terdapat penentuan sebesar 50 meter bagi sempadan sungai mangrove ke arah kanan kiri dari garis pasang tertinggi air sungai yang masih dipengaruhi pasang air laut. Sehingga kondisi saat ini di sepanjang Kanal hanya memberikan kondisi penutupan mangrove sebesar 47,76% (Kanal I), 51,78%
45
(Kanal II) dan 36,11% (Kanal III) dari kriteria baku. Sehingga terlihat hanya Kanal II yang memiliki kriteria dengan kondisi mangrove yang baik. Gambar 20 memperlihatkan kondisi gabungan antara keberadaan mangrove terhadap produksi ikan budidaya dan nonbudidaya. Pada Gambar tersebut terlihat adanya perpotongan dari kedua kurva. Perpotongan tersebut merupakan titik keseimbangan (equilibrium) dimana diperoleh kondisi mangrove untuk menghasilkan produksi ikan budidaya dan nonbudidaya secara optimum. Keadaan optimum merupakan keadaan yang baik bagi faktor lingkungan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup. Sehingga pada gambar tersebut diperoleh suatu ilustrasi mengenai optimasi rasio antara lahan mangrove dengan lahan pesisir. Berdasarkan Gambar 20, luasan mangrove tiap Kanal kurang lebih sekitar 4 hektar merupakan kondisi dengan produksi ikan yang optimum, baik dari segi budidaya maupun nonbudidaya. Namun kondisi tersebut tidak bisa untuk dijadikan suatu pedoman atau dasar dalam penentuan luas mangrove optimum. Mengingat ukuran atau kawasan yang menjadi objek penelitian serta kajian yang dilakukan relatif sempit. Karena masih terdapat suatu kajian yang berperan penting dalam penentuan luas optimum mangrove, yaitu dilihat dari aspek ekonomi. Sehingga penilitian ini hanya berusaha mengilustrasikan mengenai optimasi kondisi mangrove yang harus dipertahankan atau ditambahkan agar didapat keuntungan dari keberadaan mangrove baik secara ekonomis maupun ekologis. Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 tahun 2004, kriteria baku kondisi penutupan mangrove yang baik bagi sempadan sungai mangrove yaitu 50 meter ke arah kiri kanan dari garis pasang tertinggi air sungai, dengan penutupan sebesar ≥ 50% dan jumlah tegakan ≥ 1000 pohon/hektar. 4.3.2 Implikasi penelitian bagi pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Desa Grinting Melihat kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian yaitu di Desa Grinting, menggambarkan kondisi yang masih jauh dari ideal. Sebab luasan penutupan total hutan mangrove yang terdapat di Desa Grinting hanya sebesar < 50% dari luas kawasan pesisir rata-rata tiap Kanal. Hal yang perlu dilakukan adalah diadakannya kegiatan rehabilitasi untuk memperbaiki dan menambah
46
luasan hutan mangrove agar ideal. Secara garis besar teknik rehabilitasi kawasan mangrove terbagi dalam dua lokasi sasaran, yaitu rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove (Onrizal, 2002). 4.3.2.1 Rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada areal jalur hijau mangrove harus mendukung fungsi lindung kawasan mangrove tersebut. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah reboisasi atau penghijauan dengan jarak yang cukup rapat (1 x 1 m) dan ditanam dengan jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik kawasan tersebut. Pada areal tersebut tidak dibenarkan adanya kegiatan selain kegiatan yang berhubungan dengan penanaman (reboisasi atau penghijauan). Pada lokasi penelitian keberadaan mangrove pada sungai utama dan saluran air atau Kanal merupakan mangrove yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya. Sehingga keberadaan mangrove tersebut dapat dapat dikategorikan kedalam kawasan atau areal jalur hijau mangrove. 4.3.2.2 Rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove Berdasarkan fungsinya, areal di luar jalur hijau mangrove dapat berupa hutan budidaya. Rehabilitasi terhadap lokasi ini harus memperhatikan kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat sekitar dan status kawasan. Agar tidak terjadi tumpang tindih pihak yang berwenang dalam melakukan pengelolaan terhadap suatu kawasan. Pengelolaan untuk kawasan tersebut dapat dilakukan dengan sistem silvofishery. Perbandingan luasan antara mangrove dan tambak pada sistem silvofishery didasarkan pada status kawasan mangrove, kondisi tegakan dan tujuan pengelolaan. Berdasarkan Perum Perhutani terdapat dua macam perbandingan antara mangrove dan lahan tambak yang dianggap dapat menjamin kelestarian ekosistem mangrove dan kelangsungan usaha tambak, yaitu sebesar (1) 80:20 diamana 80% areal berupa mangrove dan 20% berupa tambak dan (2) 30:70 dengan 30% berupa mangrove dan 70% berupa tambak. Perbandingan 80:20 diterapkan pada ekosistem mangrove yang masih utuh, sedangkan perbandingan 30:70 diterapkan
47
pada ekosistem mangrove yang telah dibuka atau banyak digarap guna peruntukan lain. Berbagai penelitian lain dilakukan terkait dengan perbandingan yang optimum antara mangrove dan tambak, seperti yang dilakukan oleh Zuna (1998) yang menghasilkan rasio empang parit sebesar 54:46 yang mencoba melihat dari segi ekonomi dan ekologi walaupun dalam lingkup yang masih terbatas. Kemudian penelitian lain dilakukan oleh Nur (2002) yang menghasilkan optimasi rasio empang parit dengan lahan hutan mangrove sebesar 50:50 dan 60:40 yang menghasilkan nilai optimum bagi pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari untuk tambak tumpangsari. Berbagai perbedaan pendapat pada beberapa penelitian tersebut memberikan penjelasan bahwa perlu adanya kajian lebih lanjut untuk menentukan luas mangrove dan tambak yang optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kondisi pertambakan di Desa Grinting sebagian besar hanya berupa hamparan tambak. Sehingga hal yang perlu dilakukan adalah melakukan kegiatan budidaya ramah lingkungan dengan sistem silvofishery. Secara umum terdapat beberapa bentuk dalam sistem tersebut, untuk menunjang kegiatan perikanan budidaya sistem silvofishery dengan bentuk komplangan merupakan alternatif yang tepat untuk dilakukan di kawasan pertambakan Desa Grinting. Selain itu, untuk menunjang keberhasilan budidaya perlu adanya peningkatan kualitas air dengan cara normalisasi irigasi tambak mengingat kondisi kualitas perairan di lokasi yang kurang baik.
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Kondisi vegetasi mangrove di tiap Kanal memperlihatkan perbedaan yang nyata. Kondisi dengan jumlah tegakan dan luas mangrove tertinggi berada pada Kanal II, sedangkan terendah terdapat pada Kanal III.
2.
Produksi perikanan nonbudidaya tertinggi diperoleh pada kawasan Kanal II dan terendah pada Kanal III serta memperlihatkan perbedaan yang nyata. Sementara untuk produksi budidaya memperlihatkan keadaan yang sebaliknya, produksi tertinggi terdapat pada Kanal III dan terendah pada Kanal II, tetapi tidak memiliki perbedaan yang nyata tiap Kanal.
3.
Hasil tersebut memperlihatkan adanya suatu hubungan atau korelasi positif yang kuat antara produksi ikan nonbudidaya dengan keberadaan mangrove. Kondisi mangrove yang baik akan menghasilkan produksi ikan nonbudidaya yang tinggi. Karena mangrove dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, dengan kandungan klorofil-a yang relatif lebih tinggi, pH yang stabil dan DO yang relatif lebih baik. Sementara produksi budidaya tambak menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Karena keberhasilan produksi ikan budidaya lebih ditentukan oleh pengelolaan tambak.
6.2.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kajian optimasi rasio antara
luas mangrove dengan lahan di kawasan pesisir, sehingga didapat manfaat mangrove secara lestari. Saran bagi pengelolaan mangrove di kawasan pertambakan adalah dengan diterapkannya sistem silvofishery dengan pola komplangan. Karena pola tersebut diindikasikan mampu mempertahankan kelestarian mangrove serta kelangsungan kegiatan budidaya tambak.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C & Hendra G. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian.[terhubung berkala]. http://www.dephut.go.id/files/chairil_hendra.pdf [1 Februari 2010] Bengen, D. G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. vi + 88 p. Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. xii + 60 p. Boer, M. 2001. Perancangan Percobaan – Edisi 1. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 52p. Boyd, C E. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming [bibliografi]. Pusat Penelitian & Pengambangan Perikanan. Jakarta. Buwono, I. D. 1992. Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta. xii + 151p. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia. Jakarta. xxxiii + 412 p. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius. 258 hlm. Fakur, D. 2008. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Petani yang Berhubungan dengan Keberhasilan Rehabilitasi Hutan Mangrove Pola Wanamina (Kasus di Kabupaten Brebes Jawa Tengah) [skripsi]. Program Studi Agribisnis. Fakultas Pertanian, Universitas Swadaya Gunung Jati. Cirebon. 110 hlm Gunarto, Suharyanto, Muslimin & Abdul M T. 2003. Budidaya Udang Windu Menggunakan Tandon Mangrove dengan Pola Resirkulasi Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(2): 57-63
50
Gunawan, H & Chairil A. 2005. Analisis Keberhasilan Rehabilitasi Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah. Hutan dan Konservasi Alam. 2(4): 239-248 Hasan, M.I. 2003. Pokok-pokok materi statistik 1 (statistik deskriptif). Bumi aksara: Jakarta. xvii + 297 hlm. Kawaroe, M., Dietriech G. B, M. Eidman & M. Boer. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir & Lautan. 3(3): 13-26 Mahendra, P O. 2007. Tingkat Pendapatan Masyarakat dalam Pengelolaan Tumpangsari Empang Parit di Hutan Mangrove (Kasus di desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat) [skripsi]. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 54 hlm. Martosubroto, P & Naamin, N. 1977. Relationship Between Tidal Forests (Mangrove) and Commercial Shrimp Production in Indonesia. Marine Research in Indonesia. No 18: 81-86 Monografi Desa grinting. 2009. Data Statis dan Dinamis Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes Natharani, C. 2007. Penurunan Luasan Ekosistem Mangroove dan Keterkaitannya dengan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Tanggerang [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Noor, Y. R, M. Khazali, & I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/Wi-IP, Bogor. viii + 220 p. Nuhman. 2004. Fungsi Mangrove dalam Budidaya Perikanan. Jurnal Perikanan. 1(1): 31-33 Nur, S. H. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk Tambak Tumpang Sari di Kabupaten Indramayu Jawa Barat [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 173 hlm Onrizal. 2002. Evaluasi kerusakan mangrove dan alternatif rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. [terhubung berkala]. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan_onrizal.pdf [29 Maret 2010]
51
Onrizal & Cecep K. 2008. Studi Ekologi Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara. Biodiversitas. 9(1): 25-29 Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya sebagai Habitat Berbagai Fauna Aquatik. Oseana. 26(4): 13-23 Primavera, J. H. 1995. Mangrove and Brackishwater Pond Culture in the Philippines. Hydrobiologia. 295: 303-309. Primavera, J. H & J. Lebata. 1995. Diel Activity Pattern in Metapenaeus and Penaeus Juveniles. Hydrobiologia. 295: 295-302 Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N. Suryadiputra, & A. A. Meutia. 2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia. Wetlands Internasional Indonesia Programme. Bogor. xxiii + 261 p. Rathod, J. L & N. Kusuma. 2006. Food of the shrimp Metapenaeus dobsoni (Meirs, 1878) along Karwar waters, central west coast of India. Environment and Ecology. Abstrak. [terhubung berkala]. http://www.cababstractsplus.org/abstracts/Abstract.aspx?AcNo=20073068 939 [11 Februari 2010] Romimohtarto, K & Sri J. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambata, Jakarta. xi + 540 p Sediadi, A & Edward. 2000. Kandungan klorofil-a fitoplankton di perairan pulaupulau Lease Maluku Tengah. Seminar nasional pendayagunaan sumberdaya hayati dalam pengelolaan lingkungan hidup. [terhubung berkala]. http://www.coremap.or.id/downloads/0415.pdf [17 Januari 2010] Setyawan, A D. 2003. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro. 2(1): 25-40 Setyawan, A. D, K. Winarno & P. C Purnama. 2005. Ekosistem Mangrove di Jawa: Kondisi Terkini. Biodiversitas. 4(2): 130-142 Soeroyo. 1987. Aliran Energi pada Ekosistem Mangrove. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta. Oseana. 12(2): 52-59 Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak. PT. Gramedia. Jakarta. xii + 148 hlm.
52
Sugiyanto. 2004. Analisis Statistika Sosial. Bayumedia. Malang. xvii + 227 p. Suryawan, F. 2007. Keanekaragaman vegetasi mangrove pasca tsunami di kawasan pesisir pantai timur Nangroe Aceh Darussalam. Biodiversitas. 8(4): 262 – 265 Vannucci, M (Ed). 1998. Manual of Fish Eggs and Larvae from Asian Mangrove Waters. Jeyaseelan, M. J. P, et al. Paris, France. p. 50-54. Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri (penerjemah). PT gramedia. Jakarta. xiii + 517 hlm. Wong, C.H. 1984. Mangrove Aquatic Nutrinent [abstark]. In: Ong, J.E & Gong, W.K, editor. Productivity of The Mangrove Ecosystem: Management Implication. Proceeding of a Workshop held 4-6 October 1983. School of Biological Science, University sains Malaysia: Penang. Abstr no 1. Hlm 60-67. www.wetland.or.id. Menghijaukan Tambak-Tambak di Aceh: Menyelamatkan Pesisir. [terhubung berkala]. http://www.wetland.or.id/pdf/profil silvofishery.pdf [11 Februari 2010] Zuna, H Y. 1998. Analisis Ekologi Ekonomi Sistem Tambak Tumpangsari [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hlm.
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Botol BOD
Sentrifuse
Kertas Saring
Tissue
Meteran
Gelas Ukur Secchi disk
Penggerus
Refraktometer
Hand Pump
Kertas Label
pH stick
Erlenmeyer
Spektrofotometer
Penggaris
Lemari Pendingin
Tali Rafia
Aluminium Foil
55
Lampiran 2. Lokasi penelitian di Kanal I
56
Lampiran 3. Lokasi penelitian di Kanal II
57
Lampiran 4. Gambar lokasi penelitian di Kanal III
58
Lampiran 5. Lokasi plot (transek) pengamatan vegetasi mangrove
Keterangan : plot pengamatan (transek) vegetasi mangrove vegetasi mangrove
59
Lampiran 6. Lokasi titik sampling pengukuran kualitas air
Keterangan : pengukuran kualitas air di dalam tambak pengukuran kualitas air di luar tambak vegetasi mangrove tambak
60
Lampiran 7. Gambar beberapa kegiatan yang terdapat di lokasi
Lampiran 8. Hasil analisis PCA dan matriks korelasi antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di dalam tambak dan produksi ikan budidaya Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) : Eigenvalues 1 Value 4.9422 % of variability 0.5491 Cumulative % 0.5491 Correlations matrix : PB PB LM Kecerahan Salinitas suhu DO pH Klorofil-a Kedalaman
1 -0.9956 -0.8864 -0.0725 -0.2629 0.0923 -0.8487 0.5430 -0.5965
2 4.0578 0.4509 1.0000
3 0.0000 0.0000 1.0000
4 0.0000 0.0000 1.0000
5 0.0000 0.0000 1.0000
6 0.0000 0.0000 1.0000
LM Kecerahan Salinitas -0.9956 -0.8864 -0.0725 1 0.9259 -0.0213 0.9259 1 -0.3974 -0.0213 -0.3974 1 0.3522 0.6796 -0.9432 -0.1852 -0.5427 0.9864 0.7953 0.5075 0.5891 -0.4619 -0.0926 -0.8769 0.6691 0.9003 -0.7572
suhu -0.2629 0.3522 0.6796 -0.9432 1 -0.9850 -0.2872 0.6674 0.9312
DO 0.0923 -0.1852 -0.5427 0.9864 -0.9850 1 0.4484 -0.7861 -0.8542
7 0.0000 0.0000 1.0000
8 0.0000 0.0000 1.0000
9 0.0000 0.0000 1.0000
pH Klorofil-a Kedalaman -0.8487 0.5430 -0.5965 0.7953 -0.4619 0.6691 0.5075 -0.0926 0.9003 0.5891 -0.8769 -0.7572 -0.2872 0.6674 0.9312 0.4484 -0.7861 -0.8542 1 -0.9050 0.0817 -0.9050 1 0.3501 0.0817 0.3501 1
61
Lampiran 9. Hasil anailisis PCA dan matriks korelasi antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) dan produksi ikan nonbudidaya Eigenvalues and eigenvectors (based on the correlations matrix) : Eigenvalues 1 Value 5.5745 % of variability 0.6194 Cumulative % 0.6194 Correlations matrix : PN PN LM Kecerahan Salinitas suhu DO pH Klorifil-a Kedalaman
1 0.9822 -0.8568 0.3790 0.3948 0.6485 -0.5559 0.8199 0.2736
2 3.4255 0.3806 1.0000
3 0.0000 0.0000 1.0000
4 0.0000 0.0000 1.0000
5 0.0000 0.0000 1.0000
6 0.0000 0.0000 1.0000
LM Kecerahan Salinitas 0.9822 -0.8568 0.3790 1 -0.9383 0.5459 -0.9383 1 -0.8019 0.5459 -0.8019 1 0.2154 0.1355 -0.7006 0.4942 -0.1631 -0.4586 -0.3901 0.0476 0.5585 0.6979 -0.4072 -0.2191 0.0883 0.2616 -0.7864
suhu 0.3948 0.2154 0.1355 -0.7006 1 0.9554 -0.9832 0.8497 0.9917
DO 0.6485 0.4942 -0.1631 -0.4586 0.9554 1 -0.9933 0.9675 0.9096
7 0.0000 0.0000 1.0000
8 0.0000 0.0000 1.0000
9 0.0000 0.0000 1.0000
pH Klorifil-a Kedalaman -0.5559 0.8199 0.2736 -0.3901 0.6979 0.0883 0.0476 -0.4072 0.2616 0.5585 -0.2191 -0.7864 -0.9832 0.8497 0.9917 -0.9933 0.9675 0.9096 1 -0.9317 -0.9516 -0.9317 1 0.7750 -0.9516 0.7750 1
62
63
Lampiran 10. Hasil analisis uji statistik perbedaan jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal di kawasan pesisir Desa Grinting, Kabupaten Brebes.
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Column 1 Column 2 Column 3
Count 3 3 3
Sum 130 240 60
ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 5488.8889 1266.6667
df 2 6
Total
6755.5556
8
Average Variance 43.33333 233.3333 80 100 20 300
MS 2744.444 211.1111
F 13
P-value F crit 0.006592 5.143253
64
Lampiran 11.
1.
Hasil analisis uji statistik terhadap produksi budidaya dan nonbudidaya di Desa Grinting, Kabupaten Brebes.
Produksi Budidaya
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Column 1 Column 2 Column 3
Sum Average Variance 3 606.6666667 202.2222222 4014.8148 3 550 183.3333333 3333.3333 3 698 232.6666667 3401.3333
ANOVA Source of Variation SS Between Groups 3717.432099 Within Groups 21498.96296 Total
2.
df
MS F P-value 2 1858.716049 0.5187365 0.619731 6 3583.160494
25216.39506
8
Produksi Nonbudidaya
Anova: Two-Factor With Replication SUMMARY
kanal I
Kanal II
Kanal III
Total
1
Count Sum Average Variance
5 5 5 15 13.06814 19.12879 19.86818 52.06511 2.613628 3.825758 3.973636 3.471007 1.09512 1.133896 2.771709 1.826487 1
Count Sum Average Variance
5 5 5 15 11.92468 11.78819 11.01825 34.73112 2.384935 2.357637 2.203651 2.315408 0.871973 0.112908 0.266231 0.364285 Total
Count Sum Average Variance
10 10 10 24.99282 30.91697 30.88644 2.499282 3.091697 3.088644 0.888791 1.152851 2.220431
ANOVA Source of Variation Sample Columns Interaction Within
SS 10.01558 2.327712 3.335738 25.00735
Total
40.68637
df 1 2 2 24 29
MS F P-value F crit 10.01558 9.612131 0.004883 4.259677 1.163856 1.116973 0.343693 3.402826 1.667869 1.600684 0.222559 3.402826 1.041973
F crit 5.14325285