Potensi Produksi Ikan dan Status………….. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)
POTENSI PRODUKSI IKAN DAN STATUS PERIKANAN DI WADUK MALAHAYU, KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH Andri Warsa dan Kunto Purnomo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 2 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 5 September 2011
ABSTRAK Waduk Malahayu di Kabupaten Brebes - Jawa Tengah dengan luas 620 ha mempunyai fungsi utama sebagai penyedia air baku untuk kebutuhan air minum dan irigasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga potensi produksi ikan dan status perikanan di Waduk Malahayu. Penelitian dilakukan pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan Oktober 2010 dengan metode survei berstrata. Potensi produksi ikan dihitung berdasarkan produktivitas primer fitoplankton dan survey sumberdaya ikan dilakukan dengan pemasangan jaring insang percobaan serta pengumpulan data hasil tangkapan nelayan oleh enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan yang tertangkap di Waduk Malahayu adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus), beunteur (Puntius binotatus), sili (Macrognathus aculeatus), nila (Oreochromis niloticus), gabus (Channa striata), dan sepat (Trichogaster pectoralis). Rata – rata nilai produktivitas primer kotor Waduk Malahayu adalah 3,3 mgC/m3/jam dengan rata – rata potensi produksi ikan sebesar 1.337 kg/ha/tahun atau 828 ton/tahun. Jumlah nelayan yang beroperasi di Waduk Malahayu setiap hari berkisar 27 – 70 orang dengan tangkapan per satuan usaha adalah 5,8 kg/orang/ hari dengan rata – rata produksi mencapai 157,3 ton/tahun sehingga tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya sekitar 40 % dari total potensi produksi ikan. KATA KUNCI :
produktivitas primer, potensi produksi, ikan, perikanan, Waduk Malahayu
ABSTRACT:
Estimation of the fish potential yield and state of fisheries of Malahayu Reservoir, Brebes Regency, Central Java Province by Andri Warsa and Kunto Purnomo
Malahayu Reservoir in Brebes Regency, Central Java, a total water surface area of 620 ha has main function as source of drinking water and irrigation. The aim of this study was to estimate the fish potential yield and state of fisheries of the reservoir. The study was conducted in May, July, August, and October 2010 using stratified survey method. Fish potential yield was estimated based on phytoplankton primary productivity and survey of fisheries resources was conducted using experimental gillnets and fish catch data collected by enumerator. The result showed that fish species caught were mozambique tilapia (Oreochromis mossambicus), spotted barb (Puntius binotatus), lesser spiny eel (Macrognathus aculeatus), nile tilapia (Oreochromis niloticus), striped snakehead (Channa striata) and snakeskin gourame (Trichogaster pectoralis). Average of gross primary productivity of the reservoir was 3.3 mg C/ m3/hour with an average fish potential yield was 1,337 kg/ ha/ year or 828 tons/year. An average of fishermen operated were between 27-70 people per day with an average catch per unit of effort was 5.8 kg/person/day and fish production reached 157.3 tons/year, so that fish resources exploitation was about 40 % of the total fish potential yield. KEYWORDS:
primary productivity, fish potential yield, fish, fisheries, Malahayu Reservoir
PENDAHULUAN Estimasi potensi produksi ikan sangat penting untuk pengelolaan sumberdaya ikan di suatu badan air agar tetap lestari (Anonim, 1999; Bramick, 2002). Banyak rumus sederhana yang telah digunakan untuk menduga potensi produksi ikan di waduk dan danau (Ryder, 1965; Moreau & de Silva, 1991). Dasar teori dari beberapa model pendugaan potensi produksi ikan tersebut didasarkan atas produktivitas primer suatu badan air (Oglesby, 1977). Produktivitas primer kotor telah digunakan untuk menduga potensi tangkapan ikan pada beberapa danau di Afrika (Melack, 1976).
Jones & Hoyer, (1982) menghubungkan antara biomassa jenis – jenis ikan untuk keperluan pemancingan (sport fish) dengan konsentrasi klorofila di waduk dan danau di Amerika Serikat. Liang et al. (1981) dalam MRAG (1995) melakukan pendugaaan potensi produksi ikan bersih (dikurangi dengan berat juvenil ikan yang ditebar) dengan produktivitas primer kotor di danau dan kolam di Cina. Waduk Malahayu yang terletak di Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah dibangun pada tahun 1930 dengan luas 620 ha. Fungsi utama waduk ini sebagai penyedia air baku untuk kebutuhan air minum
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152 Tlp. 0264-208768
229
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237
dan irigasi. Selain fungsi tersebut, waduk ini juga digunakan untuk pariwisata, transportasi dan perikanan tangkap sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Waduk Malahayu merupakan badan air yang subur atau eutrofik dengan kelimpahan fitoplankton berkisar 1.006 – 9.772 sel/l di mana genera Pediastrum dari kelas Chlorophyceae mempunyai kelimpahan tertinggi (Sugianti & Purnomo, 2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga potensi produksi ikan dan mendeskripsikan status perikanan di Waduk Malahayu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Perhitungan produktivitas primer fitoplankton berdasarkan botol gelap – terang menggunakan rumus Wetzel & Likens, (2000), sebagai berikut:
( BT − BG ) 0,375 x1000 x t PQ
=
keterangan: GPP
= produktivitas primer kotor (mg 3 C/m /Jam) = konsentrasi oksigen terlarut dalam botol terang (mg/L) = konsentrasi oksigen terlarut dalam botol gelap (mg/L) = lamanya waktu inkubasi (jam) = faktor konversi dari oksigen terlarut ke karbon = rasio antara oksigen yang dihasilkan terhadap karbon yang digunakan (photosynthetic quotient=1,2)
BT
BAHAN DAN METODE
BG
Penelitian dilakukan di Waduk Malahayu Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Gambar 1) pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan Oktober 2010 dengan metode survey berstrata (Johnson & Nielson, 1985). Pengukuran produktivitas primer dilakukan pada dua lokasi yaitu daerah Dam dan Karacak dengan menggunakan metode oksigen (Botol gelap – terang). Contoh air diambil pada kedalaman 0,5m, 2m dan 4m dengan menggunakan Kemmerer Water Sampler bervolume 5 L. Contoh air yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol gelap - terang dan diinkubasi selama 4 jam sesuai dengan kedalaman pengambilan contoh air atau zona eufotik yang diukur berdasarkan nilai kecerahan badan air tersebut. Nilai parameter kecerahan diukur secara in situ dengan menggunakan sechi disk. Kedalaman eufotik (Zeufotik) dihitung dengan persamaan Viner (1984) dalam An & Jones, (2000) dengan rumus:
t 0,37 5 PQ
Pendugaan potensi produksi ikan menggunakan rumus (Alamazan & Boyd dalam Boyd, 1990) sebagai berikut: Y = 166,64 + 354,6Xp – 18,06 Xp2 keterangan: Y Xp
= =
Potensi produksi ikan (kg/ha/tahun) Produktivitas primer kotor 2 (gC/m /hari)
Z eufotik = 2,3 x Kecerahan (m)
Cawiri Desa Malahayu
DAM
Penanggapan Karacak Stasiun penelitian
Gambar 1. Figure 1.
230
Peta Waduk Malahayu dan stasiun penelitian Map of Malahayu Reservoir and research station
Potensi Produksi Ikan dan Status………….. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)
Produksi ikan hasil tangkapan nelayan dihitung berdasarkan data hasil pencatatan oleh empat orang enumerator selama 10 bulan yang berlangsung dari bulan Januari sampai Oktober 2010. Pencatatan hasil tangkapan dilakukan setiap hari di empat lokasi pendaratan ikan yaitu Desa Karacak, Pananggapan, Cawiri, dan Malahayu/daerah Dermaga (Gambar 1).
keterangan:
Percobaan penangkapan dilakukan dengan memasang jaring insang percobaan ukuran mata jaring 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5; 2,75; dan 3 inci. Ikan yang diperoleh diukur panjangnya dengan menggunakan papan ukur ketelitian 0,1 cm dan ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan ketelitian 0,1 g. Ikan contoh yang diperoleh diawetkan dengan formalin 10% dan diidentifikasi berdasarkan Kottelat et al. (1993) dan Robert, (1986) di Laboratorium Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur serta dicocokan dengan data dari Fishbase. Nilai relatif penting jenis ikan yang tertangkap dihitung berdasarkan bobot total, jumlah total dan frekuensi tertangkapnya untuk setiap jenis ikan dengan persamaan Kolding dalam De Silva, (2001):
Informasi tentang keberadaan fitoplankton akan memberikan kontribusi penting yang mengindikasikan biomassa energi yang tersedia untuk semua sumberdaya hidup lainnya pada badan air tersebut. Hal ini karena fitoplankton merupakan dasar dari suatu rantai makanan dan sumber makanan primer di suatu sistem akuatik. Kajian potensi produksi ikan merupakan konsep dasar dalam mendiskripsikan sumberdaya ikan yang akan diekploitasi (Rahardjo et al. 2007). Hasil penelitian yang dilakukan di sembilan waduk yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tahun 2003 memperlihatkan bahwa potensi produksi di badan air tersebut berkisar antara 1.617 - 1.903 kg/ha/tahun dengan tingkat pemanfaatan sekitar 38 – 53% (Kartamihardja et al. 2003). Welcomme, (2001) menyatakan bahwa umumnya potensi produksi ikan di perairan waduk adalah 573,1 kg/ha/tahun.
% IRI = 100* [(%Wi + % Ni)%Fi]/[Σ((%Wi + %Ni)% Fi)] keterangan: IRI = indeks relatif penting Wi = persentase berat dari spesies ke i dalam total tangkapan Ni = persentase jumlah dari spesies ke i dalam total tangkapan Fi = frekwensi keberadaan spesies ke i dalam total tangkapan Untuk mengetahui tekanan pada suatu komunitas ikan yang diakibatkan oleh introduksi suatu jenis ikan dilakukan dengan menggunakan kurva perbandingan kelimpahan dan biomassa ikan (The Abundance/ Biomass Comparison Curve, ABC Curve) (Rocha & Freire, 2009). Kurva ABC dihitung berdasarkan Warwick, (1986) dan nilai W dihitung dengan persamaan Clarke (1990):
Bi = biomassa species ke i (%) Ai = kelimpahan species ke i (%) S = jumlah species
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai kecerahan di Waduk Malahayu berkisar 1,5 – 1,8 m dengan kedalaman eufotik berkisar 3,5 – 4,2 m. Berdasarkan kedalaman eufotiknya maka pemasangan botol gelap terang dilakukan pada kedalaman 0,5; 2,0 dan 4,0 m. Nilai produktivitas primer kotor dan rata – rata potensi produksi ikan di Waduk Malahayu disajikan pada Tabel 1. Rata – rata potensi produksi ikan Waduk Malahayu adalah 1.337 kg/ha/tahun atau 828 ton/tahun. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan potensi produksi ikan di Danau Limboto yang berkisar 210,5 – 589,7 kg/ha/ tahun (Warsa et al. 2009) dan di Waduk Darma, Jawa Barat yang berkisar 67,6 – 124,1 kg/ha/bulan atau 811,2 – 1489,2 kg/ha/tahun (Tjahjo, 2004), namun lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dikemukakan Kartamihardja et al. (2003). Hal ini disebabkan di Danau Limboto memiliki kecerahan yang lebih rendah yaitu 10 – 90 cm (Krismono et al. 2009) jika dibandingkan dengan Waduk Malahayu yaitu 29 – 160 cm (Purnomo, 2010). Potensi produksi tangkapan ikan pada suatu badan air dipengaruhi oleh produktivitas primer sedangkan produktivitas primer sendiri dipengaruhi oleh intensitas cahaya (Karlsson et al. 2009).
231
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237
Tabel 1. Table 1.
Rata – rata produktivitas primer dan potensi produksi ikan di Waduk Malahayu Average of primary productivity and fish potensial yield at Malahayu Reservoir
Kedalaman (m) Depth (m) 0 2 4
Produktivitas primer 3 (mgC/m /jam) Primary productivity 3 (mgC/m /hour) 4,2 3,3 2,4
Produktivitasprimer 2 (gC/m /hari) Primary productivity 2 (gC/m /day) 4,2 6,6 4,8
Jenis ikan yang tertangkap di Waduk Malahayu selama penelitian dengan menggunakan jaring insang percobaan adalah ikan nila (Oreochromis niloticus), mujair (Oreochromis mossambicus), beunteur (Puntius binotatus), sili (Macrognathus aculeatus), gabus (Channa striata) dan sepat (Trichogaster pectoralis). Ikan nila, mujair, dan sepat memanfaatkan fioplankton sebagai makanan alaminya (Purnomo, 2010). Jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil tangkapan jaring insang percobaan. Jenis ikan yang umumnya tertangkap oleh nelayan antara lain nila, beunteur, gabus, keting (Mystus nigriceps), paray (Stigmatogobius sp), mas (Cyprinus carpio) dan udang (Caridina sp). Hal ini disebabkan nelayan menggunakan berbagai macam alat tangkap yaitu jaring insang, pancing (hook), jala (cash net), bubu (trap) dan tangkul (lift net). Perbedaan alat tangkap yang digunakan akan menyebabkan perbedaan jenis
Gabus 1,13%
dan jumlah ikan yang tertangkap (Andersson et al. 2007; Medeiros et al. 2010). Ikan yang tertangkap dengan biomassa tertinggi adalah ikan nila (44%) dan mujair (38%) (Gambar 2). Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Purnomo, (2010) dimana ikan nila merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap di Waduk Malahayu. Perhitungan menggunakan indeks relatif penting juga menunjukkan hal yang sama, dimana ikan nila (50,65%) dan mujair (42,34%) adalah jenis ikan yang dominan tertangkap baik dari segi jumlah, berat total maupun frekwensi tertangkapnya (Tabel 2). Hasil penghitungan berdasarkan jumlah individu, berat total dari spesies ikan dan frekwensi tertangkapnya suatu jenis ikan menunjukkan bahwa kedua jenis ikan tersebut memiliki nilai indeks relatif penting yang lebih tinggi dibanding jenis ikan lainnya yang menggambarkan bahwa kedua jenis ikan tersebut mendominasi hasil tangkapan.
Sepat 0,10%
Sepat 0,28
Gabus 9,02 %
Mujaer 43,06%
Nila 39,09%
Potensi produksi ikan (kg/ha/tahun) Fish potensial yield (kg/ha/year) 1337,4 1720,3 1452,6
Mujaer 38,18%
Nila 44,20%
Sili 0,57%
Sili Beunteur 0,91% 7,58%
Beunteur
15,86%
A. Jumlah individu (Number of individu)
Gambar 2. Figure 2.
232
B. Berat Total (Total Weight)
Komposisi hasil tangkapan ikan di Waduk Malahayu Composition of fish catch at Malahayu Reservoir
Potensi Produksi Ikan dan Status………….. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)
Nama lokal Lokal name Mujair Beunteur Sili Nila Gabus Sepat
Indeks relatif penting ikan yang tertangkap di Waduk Malahayu Important relative index of fish species caught at Malahayu Reservoir Nama ilmiah Scientific name Oreochromis mossambicus Puntius binotatus Macrognathus aculeatus Oreochromis niloticus Channa striata Trichogaster pectoralis
Berat weight (g)
Jumlah Number (individu)
frekuensi
%berat
%jumlah
%frekuensi
IRI (%)
frequency
% weight
% number
%frequency
IRI (%)
3633,9
152
6
38,18
43,06
28,57
42,34
721,7
56
2
7,58
15,86
9,52
4,07
86,5
2
2
0,91
0,57
9,52
0,26
4207
138
7
44,20
39,09
33,33
50,65
858,8
4
3
9,02
1,13
14,29
2,65
9,6
1
1
0,10
0,28
4,76
0,03
Ikan mujair merupakan jenis ikan yang mempunyai kemampuan tumbuh yang cepat, mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi lingkungan, dan merupakan jenis ikan introduksi yang dominan di beberapa badan air tawar di Australia (Canonico et al. 2005), serta yang dominan tertangkap dari perairan waduk di Sri Lanka (70%) (Pullin et al. 1997). Dominansi ini dapat terjadi karena ikan ini mempunyai karakteristik penginvasi (invander) sukses antara lain tidak bergantung pada makanan tertentu, mempunyai rentang habitat asli yang luas (Meffe et al. 1997; Helfman, 2007; Corfield et al. 2008). Ikan nila yang merupakan ikan introduksi tertangkap pada semua waktu dan lokasi penelitian. Hal ini menandakan bahwa jenis ikan ini sudah menyebar ke seluruh bagian perairan tersebut. Ikan nila juga merupakan jenis ikan introduksi dan ikan dominan tertangkap di beberapa waduk di Cote d’ Ivoire (26%) serta beberapa badan air di Sri Lanka dan Philipina (de Morais, 2002; Da Costa et al. 2002, Kolding & Zwiete, 2006; Wijeyanake et al. 2007; Taabu & Munyaho, 2004). Ikan ini mampu hidup pada kualitas air yang buruk, mempunyai kemampuan beradaptasi dengan pakan alami yang tersedia dan mampu tumbuh dengan cepat dan mampu bertahan pada konsentrasi oksigen rendah (Quiros & Mari, 1999; Njiru et al. 2004; Offem et al. 2007; Shipton et al. 2008). Hasil analisa menggunakan kurva perbandingan biomassa dan jumlah individu menunjukkan bahwa komunitas ikan di Waduk Malahayu berada dalam tingkat sedang (moderate condition) dengan nilai W statistik (-0,011) (Gambar 3). Hal ini menandakan bahwa ikan yang terdapat di Waduk Malahayu mempunyai ukuran yang kecil namun dengan jumlah individu yang banyak (Yemane et al. 2005). Ikan nila dan mujair mempunyai nilai persentase biomassa
lebih besar jika dibandingkan dengan persentase jumlah dengan nilai W statistik masing – masing adalah 0,03 dan 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis ikan introduksi tersebut dapat berkembang dengan baik (Rocha & Freire, 2009). Pada ikan sepat, sili dan beunteur terjadi hal yang sebaliknya dengan nilai W statistik masing – masing adalah -0,0007; -0,02 dan -0,02. Nilai W Statistik negatif menunjukkan adanya tekanan terhadap spesies ikan asli yang ada di Waduk Malahayu oleh ikan nila dan mujair. Hal yang sama juga terjadi di Danau Victoria dimana ikan nila yang merupakan ikan introduksi menjadi ikan yang dominan tertangkap dan menekan keberadaan ikan asli danau tersebut (Njiru et al., 2005).
100
% kumulatif (% Cumulative)
Tabel 2. Table 2.
90 80 70 60 50 40
Biomassa
30 20
Jumlah
10 0 1
Gambar 3. Figure 3.
2
3 4 5 Urutan indeks relatif penting (Ranking species)
6
Grafik perbandingan biomassa – kelimpahan jenis ikan Graphic of abundance-biomass comparison of fish species
233
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237
13,03%
1,98%1,98% 5,1% 4,53%
1.00 1.25 20,68%
1.50 1.75 2.00 2.25 43,34%
2.50
9,35%
3.00
Gambar 4.
Hasil tangkapan jaring insang percobaan Composition of fish caught using experimental gillnets
Figure 4.
Secara umum ikan – ikan di Waduk Malahayu tertangkap pada ukuran mata jaring 1,0 - 1,75 inci (Gambar 4) dengan persentase 10 – 43 %. Ikan nila tertangkap pada jaring insang percobaan dengan ukuran mata jaring 1,25 – 3 inci, namun tangkapan tertinggi terdapat pada ukuran mata jaring 1,25 dan 1,75 inci dan mujair tertangkap pada ukuran mata jaring 1 – 2,25 inci (paling banyak di ukuran 1,25 inci). Hal yang sama juga diperoleh Purnomo et al. (2009) di mana ikan di Waduk Malahayu dominan tertangkap pada ukuran mata jaring 1 – 1,5 inchi dengan persentase 6,9 – 50,2% yang menandakan bahwa ikan yang ada di Waduk Malahayu banyak yang berukuran kecil. Ukuran ikan yang tertangkap pada ukuran mata jaring tertentu proposional dengan ukuran panjang maksimal ikan sehingga dapat digunakan untuk monitoring distribusi ukuran stok ikan pada suatu badan air (Millar & Holst, 1997; Porch et al. 2002; Ozekinci, 2005).
Tangkapan (Kg)
500 400 300 200 100
Mendo
Udang
Keting
Gabus
Mas
Mujaer
Beunteur
Figure 5.
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Nila
Gambar 5.
234
Februari
Januari
0
Paray
Rataan hasil tangkapan ikan (kg) di Waduk Malahayu Average of fish catch (kg) in Malahayu Reservoir
Perikanan tangkap di Waduk Malahayu merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat setempat. Hasil tangkapan nelayan di Waduk Malahayu tertinggi terdapat pada bulan Oktober (Gambar 5), dimana tangkapan didominasi oleh ikan nila. Ikan ini merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap pada setiap bulannya dan hasil tangkapan tertinggi terdapat di lokasi Dermaga dan Penanggapan. Jumlah nelayan yang beroperasi di Waduk Malahayu setiap hari rata – rata berkisar 27 – 70 orang dengan tangkapan per satuan usaha adalah 5,8 kg/orang/hari dengan produksi rata – rata tahun 2010 mencapai 157,3 ton/tahun. Produksi ini mengalami penurunan jika dibandingkan produksi tahun 2009 yang mencapai 318,4 ton/tahun (Purnomo et al. 2010). Hal ini karena adanya penurunan hasil tangkapan ikan nila yang merupakan jenis ikan dominan tertangkap. Penurunan ini sebagai akibat dari benih ikan nila yang ditebar pada tahun 2009 lebih sedikit yaitu 250.000 ekor dibandingkan tahun 2008 yaitu 325.000 ekor. Jika dibandingkan antara potensi produksi ikan dan produksi maka tingkat pemanfaatannya adalah 40 %. Apabila produksi lestari yang dialokasikan adalah sebesar 60% dari potensinya (Kartamihardja et al. 2008) atau sebesar 496,8 ton/tahun, maka produksi perikanan tangkap di Waduk Malahayu dapat ditingkatkan sebesar 25 % atau 125 ton. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan nelayan setempat untuk meningkatkan hasil tangkapan adalah dengan melakukan penebaran benih ikan antara lain nila, mujair dan mas. Penebaran ini telah dilakukan secara berkala oleh nelayan, dimana dana untuk pembelian benih diperoleh dari iuran nelayan (Purnomo et al. 2009). Jumlah benih yang ditebar di Waduk Malahayu antara tahun 2005, 2006, dan 2007 masing – masing adalah 324.500; 263.000 dan 311.00 ekor dengan produksi ikan adalah 545; 688 dn 754 ton/ tahun (Kustanto, 2008). Penebaran atau intoduksi suatu jenis ikan merupakan cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan produksi ikan pada perairan waduk atau danau (Moreau & De Silva, 1991). Penebaran benih ikan pada 15 Waduk di Sri Lanka dapat meningkatkan hasil tangkapan berkisar 42,8 – 134% dengan kepadatan benih yang ditebar berkisar 217 – 870 ekor/ha/tahun (Pushpalatha & Chandrasoma, 2010). CBF yang dilakukan diperairan waduk yang berukuran besar di Cina dapat menghasilkan produksi ikan sebesar 1.165.075 Mt (De Silva, 2001). Kegiatan CBF sebenarnya telah dilaksanakan di Waduk Malahayu namun hasilnya belum optimal. Hal ini disebabkan jumlah benih yang ditebar belum maksimal sesuai dengan daya dukung perairan. Jumlah benih optimal yang dapat ditebar dalam
Potensi Produksi Ikan dan Status………….. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)
kegiatan CBF untuk jenis ikan planktivora misalnya patin (Pangasianodon hypopthalmus) adalah 261.253 – 813.679 ekor/tahun dengan rata – rata 352.412 ekor/ tahun (Purnomo et al. 2010) atau dengan kepadatan benih yang ditebar berkisar 421 – 1.312 ekor/ha/tahun dengan rata – rata 568 ekor/ha/tahun. Jumlah benih yang ditebar akan menentukan produksi ikan pada suatu badan air (Cowan et al. 1997), semakin tinggi padat tebar maka akan semakin besar produksi ikan yang dihasilkan sehingga mendekati daya dukungnya yang ditentukan berdasarkan produktivitas primer (Quiros, 1999). KESIMPULAN Jenis ikan yang dominan tertangkap di Waduk Malahayu selama penelitian adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus) dan nila (Oreochromis niloticus). Potensi produksi ikan diduga sebesar 1.337 kg/ha/tahun atau 828 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatannya sebesar 40 % dan produksi ikan dapat ditingkatkan sebesar 125 ton (25%) melalui penebaran (perikanan berbasis budidaya) dengan jumlah benih yang ditebar berkisar adalah 261.253 – 813.679 ekor/tahun dengan rata – rata 352.412 ekor/ tahun.
native biodiversity. Aquatic conserv: Mar. Freshw. Ecosyst 15. 463 – 483. Clarke, K. R. 1990. Comparison of dominance curve. J. Exp. Mr Biol. Ecol 138. 143 – 157. Corfield J., B. Diggles, C. Jubb, R. M. McDowall, A. Moore, A. Richards D. K. Rowe, 2008. Review of the impacts of introduced ornamental fish species that have established wild populations in Australia.Commonwealth of Australia. 284 pp. Cowan. V., M. Aeron-Thomas & I Payne. 1997. An evaluation of floodplain stock enhancement. MRAG. 116 pp. Da Costa K.S, K Traore & W. Yte. 2002. Potential species for fishery enhancement in Lake Fae, Cote d’ Ivore. Edite by Cowx I.G. Management and Ecology of lake and reservoir fisheries. Blackwell Science. Iowa. 344-366. De Morais, L.T. 2002. Fish population structure and its relation to fisheries yiled in small reservoirs in Cote d’ Ivoire. Edited by Cowx I.G. Management and Ecology of lake and reservoir fisheries. Blackwell Science. Iowa. 112-122.
DAFTAR PUSTAKA Andersson, M. H., M, Gullstrom., M. E Asplund, & M. C. Ohman. 2007. Importance of using multiple sampling methodologies for estimating of fish community composition in offshore wind power construction areas of the Baltic Sea. Ambio 36 (8). 634 – 636. Anonim. 1999. Estimation of fish biomass in Laguna de Bay based on primary productivity. National Statistical Coordination Board. Philipinas. 42 pp. An, K.G & J.R. Jones. 2000. Factors regulating bluegreen dominance in a reservoir directly influenced by the Asian monsoon. Hydrobiologia 432: 37–48. Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Birmingham Publishing Co. Birmingham, Alabama. 482 pp. Bramick. U. 2002. Estimation of the fish yield potential of lake in north-east Germany. Edited by Cowx I.G. Management and Ecology of lake and reservoir fisheries. Blackwell Science. Iowa. 26 – 33. Canonico, G.C., A. Arthington., J.K Mc Crary & M.L Thieme. 2005. The effects of introduced tilapia on
De Silva, S S. 2001. Reservoir and culture-based fisheries: biology and management. Proceedings of an International Workshop held in Bangkok, Thailand from 15–18 February 2000. ACIAR Proceedings No. 98. 384 pp. Helfman, G. S. 2007. Fish conservation: A guide to understanding and restoring global aquatic biodiversity and fishery resources. Island press. Washington. 584 pp. Johnson, D. L & L. A Nielson. 1983. Sampling consideration in Fihseries tecniques. Nielson, L. A & D. L Johnson (ed). American fisheries society. Maryland. 1 – 21. Jones. J.R & Hoyer, M.V. 1982. Sportfish harvest predicted by summer chlorophyll a concentration in mid-western lake and reservoir. Trans. Am. Fish. Soc. 111: 176-179. Karlsson, J., P. Bystrom., J. Ask., P. Ask,. L Persson & M. Jansson. 2009. Light limitation of nutrienpoor lake ecosystem. Nature 460. 506 – 600. Kartamihardja, E.S. K. Purnomo. D.W.H. Tjahjo. C. Umar. M.T. D. Sunarno. & S. Koeshendrajana. 2008. Petunjuk teknis: Pemulihan sumberdaya
235
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237
ikan di perairan umum daratan, Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap – Departemen Kelautan dan Perikanan. 65 pp. Kolding, J. & Zwieten, P.A.M. van, 2006. Improving productivity in tropical lakes and reservoirs. Challenge Program on Water and Food - Aquatic Ecosystems and Fisheries Review Series 1. Theme 3 of CPWF, C/o WorldFish Center, Cairo, Egypt. 139 pp. Kottelat, M., Whitten, A. J, Kartikasari, S. N & Wirjoatmodjo, S. 1993. Freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi (Ikan air tawar Indonesia bagian barat dan Sulawesi). Periplus Editions. Hongkong. 293 pp. Krismono, L. P. Astuti & Y. Sugianti. 2009. Karakteristik kualitas air Danau Limboto. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 15 (1). 59 – 68 pp. Kustanto, H. 2008. Sukses story pemacuan sumberdaya ikan di Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes. Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Brebes. Materi presentasi pada Lokakarya Pemacuan sumber daya Ikan di Perairan Umum. Hotel Saphir Yogyakarta 4 – 7 November 2008. Lorenzen, K. 2001. Usng population models to assess culture-based fisheries: a brief review with an application to the analysis of stocking experiments. In: Reservoir and culture-based fisheries: Biology and management. De Silva, S. S (Ed). ACIAR Proceeding 98. Canberra: ACIAR. 257–265 pp. Medeiros, E. S. F., M.J Silva., B. R. S Figueredo., T. P. A Ramos & R. T. C Ramos. 2010. Effect of fishing technique on assessing species composition in aquatic system in semi-arid Brazil. Braz. J. Biol 70(2). 255-262 Meffe, G. K., C. R Caroll & Contributors. 1997. Principles of conservation biology. 2nd edition. Sinauer Associates, Inc. Sunderland. 7291 pp. Melack J.M. 1976. Primary productiviy and fish yield in tropical lakes. Trans Am. Fish. Soc 105: 575-580. Millar, R.B & R Holst. 1997. Estimation of gillnet and hook selectivity using log-linier models. ICES Journal of Marine Science 54. 471 – 477. Moreau, J & De Silva, S, S. 1991. Predictive fish yield models for lakes and reservoirs of the Philipines, Sri Lanka and Thailand. FAO Fish. Tech. 319 pp.
236
MRAG, 1995. A synthesis of simple empirical models to predict fish yield in tropical lakes and reservoirs. Fisheries Management Science Programe of the Overseas Development Administration. Project report R. 6178 (MRGA). 109 pp. Njiru. M, E. Waithaka, M. Muchiri, M. van Knaap & I. G. Cowx. 2005. Exotic introductions to the ûshery of Lake Victoria: What are the management options?. Lakes & Reservoirs: Research and Management 10: 147–155. Njiru, M.,Okeyo-Owuor, J. B, Muchiri, M., & Cowx I.G., 2004. Shift in feeding ecology of Nile tilapia in Lake Victoria, Kenya. African Journal of Ecology 42, 163-170. Offem, B. O., Y. Akegbejo-Samsons and I. T. Omoniyi. 2007. Biological assessment of Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae; Linne, 1958) in a tropical floodplain river. African Journal of Biotechnology 6 (16), 1966-1971. Oglesby, R.T. 1977. Relationship of fish yield to lake phytoplankton standing crop, prodaction, and morphoedaphic factors. J. Fish. Res. Board Can, 34:2271-2279. Ozekinci, U. 2005. Determination of the selectivity of monofilaments giinets used for catch the Annular Sea Bream (Diplodus annularis L., 1758) by lenghtgierth relatioships in Izmir Bay (Aegean Sea). Turk J Vet Anim Sci. 29. 375-380. Porch. C.E., M.R Fisher & L.W. McEachron. 2002. Estimating abundance from gillnet samples with application to red drum (Sciaenops ocellatus) in Texas bays. Can. J. Fish. Aquat. Sci. (59). 657-668. Pullin, R.S.V., Palomares, M.L, Casal, C.V., Dey, M.M & D. Pauly. 1997. Environmental impact of tilapias. 554-570. in K. Fitzsimmons (Ed) Tilapia Aquaculture. Proceddings from the Fourth International Symposium on Tilapia in Aquaculture, Volume 2. Northeast Regional Agricultural Engineering Service (NRAES) Coorperative Extention, Ithaca. New York. 808 pp. Purnomo K., E.S Kartamihardja. A Nurfiarini & Z. Nasution. 2009. Penelitian perikanan berbasis budidaya (Culture based fisheries, CBF) di perairan waduk/danau di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pusat Riset Perikanan Tangkap (tidak dipublikasi). 47 pp. Punomo, K. 2010. Potensi sumber daya ikan di Waduk Malahayu (Jawa Tengah) dan Situ
Potensi Produksi Ikan dan Status………….. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)
Lengkong (Jawa Barat). Syamsudin, S., Y. H Sipahutar., Saifurridjal, A. Basith., S. Z. Nubani., Suharto., A. N Siregar., S. Rahardjo., R. S. Hadi & V. Sanova (ed). Prosiding seminar Nasional Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan. 396-402. Purnomo, K., E. S Kartamihardja, Z. Nasution., A. Warsa., Y. Sugianti & S. Romdon. 2010. Penelitian perikanan berbasis budidaya (Culture-Based fisheries, CBF) di Waduk Malahayu (Kabupaten Brebes) dan Situ Panjalu (Kabupaten Ciamis). Laporan akhir. Balai Riset Pemulihan Sumbedaya ikan.(Tidak dipublikasi). 66 pp. Pusphalatha, K. B. C & J. Chandrasoma. 2010. Culture-based fisheries in minor perenial reservoirs in Sri Lanka: Variability in production, stocked species and yield implication. J. Appl. Ichthyol 26: 99 – 104. Quiros, R. 1999. The relatioships between fish yield and stocking density in reservoirs from tropical and temperate regions. Tundisi, J. G & M. Straskraba (ed). Theoritical reservoir ecology and its applications. 67 – 83 Quiros, R & Mari, A. 1999. Factor contributing to outcome of stocking programmes in Cuban reservoirs. Fisheries management and ecology 5. 241 – 254. Rahardjo, M.F., E.S Kartamihardja & A.D. Utomo. 2007. Identifikasi dan karakterisasi potensi perikanan perairan umum daratan. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke – 3. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 1-17. Roberts, T.R. 1986 Systematic review of the Mastacembelidae or spiny eels of Burma and Thailand, with description of two new species of Macrognathus. Jap. J. Ichthyol. 33(2): 95-109. Rocha, G. R. A & K. M. Freire. 2009. Biology and dominance relationship of the main fish species in teh Lake Encantada, Ilheus, Brazil. Acta Limnol, Bras 21(3). 309 – 316. Ryders, R.A. 1965. A method for estimating the potential fish production of North-Temperate lakes. Tras.am.Fish.Soc. 84:154-164. Shipton, T. D. Tweddle & M. Watts. 2008. Introduction of the Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) into the Eastern Cape. The Eastern Cape Development Corporation. 29 pp.
Sugianti. Y & K. Purnomo. 2009. Inventarisasi jenis plankton di Waduk Malahayu, Jawa Tengah. Djumanto., Dwiyitno., E. Chasanah., E. S Heruwati., H. E Irianto., H. Saksono., I. Y. B. Lelana., J. Basmal., Murniyati., Murwantoko., N. Probosunu., R. Peranginangin., Rustadi., Ustadi (ed). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI. Jilid 2 Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas pertanian UGM: 1-6 Tjahjo, D.W.H. 2004. Kemantapan hasil tangkapan, keterkaitannya dengan sintasan, pertumbuhan dan intensitas penangkapan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) yang ditebarkan di Waduk Darma, Kuningan-Jawa barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor: 149 pp. (tidak dipublikasi) Taabu & A. Munyaho, 2004. Assessment of the status of the stock and fishery of nile perch in lake victoria, uganda. Final project. The United Nationals University. 53 pp. Warwick, R. M. A new method for detecting pollution effects of marine macrobenthic communities. Mar. Biol 92. 557 – 562. Warsa A. Krismono & L.P Astuti. 2009. Pendugaan potensi produksi perikanan dan hasil tangkapan di Danau Limboto, Gorontalo. A. Permadi., Y. H Sipahutar., A. Basith., E. Sugriwa., A.N Siregar., E. A thaib., R Surya & S. Wulandari (Ed). Seminar Nasional Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan. 84-89. Welcomme. R.L . 2001. Inland fisheries: Ecology and management. Blackwell science. United Kingdom. 358 pp. Wetzel, R.G. & G. E. Likens. 2000. Limnological analyses. 3rd edition. Springer - Verlag New York, Inc. USA. 429 pp. Wijenayake, W.M.H.K, U.S. Amarasinghe & SS. De Silva. 2007. Performance of GIFT strain of Oreochromis niloticus in culture-based fisheries in non-perennial reservoirs, Sri Lanka. Sri Lanka J. Aquat. Sci. 12. 1-18. Yemane, D. J.G Field & R. W. Leslie. 2005. Exploring the effect of fishing on fish assemblages using abundance biomass comparison (ABC) curves. ICES Journal of Marine Science (62). 374 – 379.
237
Struktur Komunitas dan Biomassa ………. Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)
STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA STOK IKAN DI DANAU SEMBULUH DAN PAPUDAK, KALIMANTAN TENGAH Endi Setiadi Kartamihardja,1) Kunto Purnomo2) dan Zulkarnaen Fahmi1) 1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan 2) Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 2 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal: 29 November 2011
ABSTRAK Danau Sembuluh (luas 9.612 ha) dan Papudak (luas 247 ha) adalah danau banjiran (flood lake) yang terletak di bagian tengah DAS Seruyan, Kalimantan Tengah merupakan sentra penangkapan ikan. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan struktur komunitas dan besaran stok ikan serta karakteristik perikanan tangkap di ke dua danau tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode survey, pengambilan sampel ikan dengan menggunakan gill net percobaan dan pencatatan data hasil tangkapan ikan harian oleh enumerator. Besaran stok ikan dianalisis menggunakan metode akustik dengan alat Echo sounder portable EY-60, transducer model ES120-7 dengan frekuensi 120 Khz dan alat dioperasikan pada pulsa durasi 0,512 ms. Komposisi jenis ikan yang tertangkap di Danau Sembuluh dan Papudak terdiri dari 29 jenis yang didominasi oleh jenis ikan dari famili Cyprinidae. Beberapa jenis ikan yang populasinya menurun dan jarang tertangkap adalah ikan jelawat (Leptobarbus hoevenii), patin (Pangasius spp), bakut (Oxyeleotris marmorata) dan pipih (Notopterus spp). Biomassa stok ikan berkisar antara 64-1.628 kg/ha dengan rata-rata 461,8 kg/ha atau total biomasa stok ikan 4.552,4 ton. Hasil tangkapan ikan berkisar antara 10.212– 9.649 kg/bl dengan rata-rata 39.608 kg/bl, sedangkan rata-rata hasil tangkapan udang galah 1.046 kg/bl. Hasil tangkapan ikan dan udang galah berfluktuasi menurut musim dan fluktuasi permukaan air danau. Produksi ikan di Danau Sembuluh masih dapat ditingkatkan melalui penebaran ikan asli (restocking) yang populasinya sudah menurun sedangkan Danau Papudak sangat potensial untuk dijadikan kawasan suaka produksi ikan. KATA KUNCI :
struktur komunitas ikan, biomassa stok, perikanan tangkap, Danau Banjiran, Kalimantan Tengah
ABSTRACT:
Structure of fish community and biomass of Sembuluh and Papudak Lakes at Central Kalimantan. By Endi Setiadi Kartamihardja, Kunto Purnomo and Zulkarnaen Fahmi.
Sembuluh (9,612 ha) and Papudak (247 ha) lakes, a type of flood lake located at central part of Seruyan river basin, is a main fishing area at Central Kalimantan. A study to investigate structure of fish community, fish biomass and characteristics of fisheries of the both lakes has been conducted. A survey method, sampling by using experimental gillnet and daily data of fish catches collected by enumerators were carried out. Fish biomass was analyzed by using hydroaccoustics method with a portable Echo sounder EY-60, transducer model ES120-7 with the frequency of 120 KHz and its operated at pulse duration of 0,512 ms. The results showed that structure of fish community of the Sembuluh and Papudak lakes composed of 29 species which is dominated by species of the cyprinids. Some degraded and rare species are carp (Leptobarbus hoevenii), catfish (Pangasius spp), sand goby (Oxyeleotris marmorata) and feather back (Notopterus spp). Fish stock kibiomass ranged between 64-1,628 kg/ha with an average of 461.8 kg/ha or the total biomass 4,552.4 tones. The actual fish yield was between 10,212– 79,649 kg/month with an average of 39,608 kg/month, while the actual giant prawn yield was 1,046 kg/ month. The fish and giant prawn yield fluctuated by monsoon and water surface fluctuation. The fish production of the Sembuluh lake can be increased through restocking of degraded fish population while the Papudak lake was highly potential and suitable for conservation area. KEYWORDS :
structure of fish community, fish biomass, fisheries, flood lakes, Central Kalimantan
PENDAHULUAN Danau Sembuluh dengan luas 9.612 ha merupakan danau terbesar yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Seruyan, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. DAS Seruyan dikelilingi oleh
anak-anak sungai, hutan rawang, dataran banjiran dan beberapa danau tapal kuda (oxbow lakes). Danau Sembuluh merupakan sentra usaha perikanan tangkap di Kabupaten Seruyan yang telah berjalan sejak dahulu kala. Danau Papudak dengan luas 247 ha merupakan danau banjiran yang terletak
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
239
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 239-245
berdampingan dengan Danau Sembuluh. Pada waktu permukaan air tinggi, Danau Papudak dan Sembuluh bersatu sehingga sumberdaya ikan di ke dua danau ini terdistribusi di perairan yang terbentuk. Danau Sembuluh dan Papudak sebagai danau banjiran juga merupakan tempat konsentrasi jenis-jenis ikan rawa (black fishes) pada waktu permukaan air surut sehingga ke danau tersebut merupakan daerah penyangga stok ikan dan umumnya layak dijadikan sebagai daerah suaka perikanan (Kartamihardja et al., 2000; Hartoto et al., 2000). Dewasa ini, hasil tangkapan ikan di perairan umum Kalimantan Tengah cenderung menurun dan terdapat beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti jelawat (Leptobarbus hoeveni), tangkalasa atau arwana (Sclerophages formosus), dan pipih/belida (Notopterus chitala) yang sudah mulai langka. Penurunan hasil tersebut selain disebabkan penangkapan yang intensif juga disebabkan oleh pembangunan di luar sektor perikanan (pertambangan, kehutanan, reklamasi lahan gambut dsb) yang menyebabkan degradasi lingkungan perairan. Sebagai contoh, penurunan hasil tangkapan ikan yang sangat drastis terjadi di perairan umum sekitar Proyek Pembukaan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten Kapuas. Hasil tangkapan pada usaha perikanan “beje” yang merupakan usaha perikanan tangkap yang utama menurun drastis dari kisaran 500-1.500 kg/beje/th sebelum proyek PLG dilaksanakan menjadi 50-150 kg/beje/th setelah 4 tahun proyek PLG dilaksanakan (Kartamihardja, 2002). Data dan informasi mengenai struktur komunitas dan biomassa/besaran stok ikan di suatu badan air sangat penting dalam rangka optimasi pemanfaatan dan pengelolaan perikanan. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan struktur komunitas, biomassa stok ikan dan karakteristik perikanan tangkap di Danau Sembuluh dan Papudak. BAHAN DAN METODE Penelitian stusktur komunitas dan potensi produksi ikan dilakukan di Danau Sembuluh dan Papudak, DAS Seruyan, Kalimantan Tengah. Danau Sembuluh
240
terletak pada koordinat 02 o 38’30.1" LS dan 112o12’52.4" BT, sedangkan Danau Papudak terletak pada koordinat 02o48'54.1" LS dan 112o15'34.6" BT dengan elevasi 20 m diatas permukaan laut (Gambar 1). Data dikumpulkan melalui metoda survei (stratified sampling method) (Nielsen & Johnson, 1985) wawancara (Participatory Rural Appraisal dan atau Rapid Rural Apraisal) dengan nelayan, dan analisis di laboratorium. Kunjungan lapangan ditentukan berdasarkan pertimbangan musim, yaitu musim hujan, peralihan antara musim hujan-kemarau, musim kemarau, dan peralihan antara musim kemarau-hujan. Data komposisi jenis ikan, frekwensi panjang-berat diperoleh dari hasil percobaan penangkapan ikan memakai jaring insang berbagai ukuran mata jaring (dari ukuran mata 1 inci sampai dengan 4 inci dan selang ukuran mata jaring 0,5 inci) dan alat tangkap ikan yang digunakan nelayan, yaitu jaring rempa (encircling net), bubu, dan pancing rawei. Mofometri ikan yang meliputi panjang diukur dengan papan ukur dan berat dengan timbangan. Data morfometri ikan juga diukur dari ikan sampel yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan. Identifikasi jenis ikan menggunakan buku identifikasi Kottelat et al. (1993). Analisis makanan dan kebiasaan makan ikan dillakukan dengan metode volumetrik dan prosentase frekuensi kejadiannya menggunakan metode Hyslop, (1980). Total hasil tangkapan ikan diestimasi berdasarkan data komposisi jenis, hasil tangkapan ikan dan hasil tangkapan per upaya (CPUE) yang dikumpulkan oleh enumerator di tempat pendaratan ikan. Pengkajian stok ikan dilakukan dengan metode Hydroacoustics menggunakan Echo Sounder portable EY-60, Transducer model ES120-7 dengan frekuensi 120 kHz dan alat dioperasikan pada pulsa durasi 0,512 ms. Pelaksanaan pengkajian stok dilakukan pada waktu permukaan air danau tertinggi sehingga kedalaman air yang diliput lebih besar dari 3 meter. Alur perjalanan perahu dilakukan secara “zig-zag” sehingga meliput seluruh luas permukaan danau. Data hasil rekaman akustik kemudian dianalisis di laboratorium.
Struktur Komunitas dan Biomassa ………. Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)
Gambar 1. Figure 1.
Peta Daerah Penelitian Danau Sembuluh dan Papudak Map of Sembuluh and Papudak Lakes
Kegiatan utama di laboratorium adalah analisis citra satelit secara digital dengan peralatan komputer dan ditunjang analisis data secara visual. Analisis visual dimaksudkan untuk mengetahui kondisi fisik dan lingkungan wilayah kajian secara umum. Analisis digital dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang biomassa ikan, kondisi fisik alami tipe ekosistem danau Sembuluh dan Papudak untuk kemudian data tersebut ditumpang susun sehingga membentuk peta distribusi biomassa ikan di ke dua danau tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Ikan Jenis ikan yang dominan tertangkap dan kelimpahan relatifnya di perairan DAS Seruyan terdiri dari 29 jenis ikan dan 1 jenis udang galah (Tabel 1).
Secara umum, jenis-jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh jenis ikan yang termasuk ke dalam famili Cyprinidae. Diantara 29 jenis ikan tersebut, hanya 3 jenis ikan, yaitu ikan biis, betutung dan benangin yang paling dominan tertangkap. Populasi ke tiga jenis ikan tersebut, nampaknya masih cukup tinggi. Populasi ikan ekonomis penting seperti jelawat, pipih, dan bakut sudah menunjukkan penurunan. Berdasarkan makanan dan kebiasaan makannya, jenis-jenis ikan yang ditemukan di Danau Sembuluh dan Papudak didominasi oleh ikan karnivora dan omnivora hanya beberapa jenis ikan termasuk ikan planktivora dan detritrivora (Table 1). Keseimbangan antara populasi ikan karnivora sebagai ikan pemangsa dengan populasi ikan mangsa akan menentukan produktivitas sumber daya ikan di perairan tersebut.
241
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 239-245
Tabel 1. Table 1.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Jenis-jenis ikan yang ditemukan di Danau Sembuluh dan Papudak Fish species found at Sembuluh and Papudak lakes Kebiasaan makan/ Food habit
Kelimpahan relatif/ Relative abundance
Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae
Karnivora Omnivora Planktivora Omnivora Detritivora Omnivora Omnivora Karnivora
++ + +++ ++ ++ ++ +++ ++
Thynnichthys thynnoides Thynnichthys polylepis Botia macracantha Rasbora borneensis Channa striata Channa micropeltes Channa pleurophthalmus Channa melasoma Oxyeleotris marmorata Mystus nemurus Mystus nigriceps Helestoma temminckii Wallago leeri Kryptopterus apogon Kryptopterus lais Belodontichthys dinema Pangasius nasutus Pristolepis fasciatus Mastacembelus erythrotaenia Parambasis macrolepis Parambasis wolffii
Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Cyprinidae Channidae Channidae Channidae Channidae Oxyeleotridae Bagridae Bagridae Anabantidae Siluridae Siluridea Siluridea Siluridea Pangasidae Nandidae Mastacembelidae Chandidae Chandidae
Omnivora Omnivora Omnivora Planktivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Planktivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Karnivora Detritivora Karnivora Karnivora
+++ +++ ++ +++ ++ ++ ++ ++ + ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ +++ ++ ++ ++
Macrobrachium rosernbergii
Crustacea
-
Nama Lokal/ Local name
Nama Ilmiah/ Scientific name
Adungan Jelawat Kepras Kelabau Bantak Sanggang Betutung Parangparang Benangin Biis Papunti Seluang Aruan Toman Kerandang Kemacung Bakut Baung Senggiringan Biawan Tapah Lais bamban Lais bulu Tabiring Lawang Sepatung Tilan Baga-baga Baga-baga laut Udang galah
Hampala macrolepidota Leptobarbus hoevenii Cyclocheilichthys apogon Osteochilus melanopleura Osteochilus waandersii Barbodes schwanenfeldii Puntioplites wandeersi Macrochirichthys macrochirus
Famili/ Family
++
Keterangan/Remarks: + = lebih kecil dari 25% total tangkapan/less than 25% of total catch; ++ = antara 26-50% total tangkapan/ between 26-50% of total catch; +++ = lebih dari 50% total tangkapan/more than 50% of total catch
Biomassa Stok Ikan Hasil kajian stok ikan dengan menggunakan akustik menunjukkan bahwa distribusi biomasa ikan di Danau Sembuluh dan Papudak berkisar antara 641.628 kg/ha dengan rata-rata 461.76 kg/ha (Gambar 2). Berdasarkan luas permukaan air Danau Sembuluh sebesar 9.612 ha dan danau Papudak 247 ha, maka total biomasa ikan di kedua danau ini adalah 4.552,4
242
ton. Danau Papudak yang merupakan bagian dari Danau Sembuluh mempunyai biomassa ikan yang tinggi yaitu 1.628 kg/ha. Biomassa ikan di kedua danau ini jauh lebih tinggi dari biomassa ikan di Danau Toba (Wijopriono et al., 2010). Perbedaan ini disebabkan danau Papudak dan Sembuluh merupakan tipe danau banjiran yang subur sedangkan danau Toba merupakan tipe danau tekto-vulkanik yang miskin hara.
Struktur Komunitas dan Biomassa ………. Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)
Gambar 2. Figure 2.
Distribusi Biomassa Ikan di Danau Sembuluh dan Papudak Distribution of fish biomass of Sembuluh and Papudak lakes
Potensi produksi ikan di beberapa perairan danau di belahan Asia berkisar antara 1–5.937 kg/ha/th dengan rata-rata 573,1 kg/ha, sedangkan apabila danau tersebut ditebari ikan dengan jenis yang sesuai maka potensi produksinya akan meningkat berkisar antara 6–1.625 kg/ha/th dengan rata-rata 365 kg/ha/ th (Welcomme, 2001). Dengan demikian biomasa ikan di Danau Sembuluh dan Papudak termasuk perairan danau dengan biomasa ikan yang tinggi diatas ratarata potensi biomassa ikan perairan danau di Asia. Potensi produksi ikan Danau Sembuluh yang dihitung dari produktivitas primernya berkisar antara 113-487 kg/ha/th atau 8.588–37.012 ton/th (Kartamihardja & Purnomo, 2011). Potensi produksi ikan tersebut akan meningkat jika danau tersebut ditebari dengan jenis ikan asli (restocking) yang populasinya sudah mulai menurun, seperti ikan jelawat, bakut dan udang galah. Danau Papudak dengan potensi biomassa ikan yang tinggi dan keanekaragaman jenis ikannya dapat dijadikan kawasan suaka perikanan. Di Danau Sembuluh suaka perikanan dapat ditetapkan di daerah
teluk Lampasa, Batu Berjanggut dan Bejakau yang mempunyai biomassa ikan tinggi (Gambar 2). Pertimbangan penetapan suaka di kawasan tersebut didukung dengan karakteristik limnologisnya seperti yang dikemukakan oleh Kartamihardja & Purnomo (2011). Penetapan suaka perikanan di perairan tawar harus dilakukan secara terintegrasi dan secara ekologis mempunyai konektivitas dengan perairan sekitarnya (Abell et al., 2007; Geist, 2011). Kawasan suaka yang diusulkan di Danau Sembuluh maupun Danau Papudak harus selalu berhubungan dengan sungai Seruyan meskipun air danau dalam keadaan surut sehingga benih ikan yang dihasilkan dari kawasan tersebut dapat memasok peremajaan ikan ke perairan sekitarnya (kawasan penangkapan ikan). Karakteristik Perikanan Tangkap Komposisi jenis ikan yang tertangkap nelayan di Danau Sembuluh didominasi oleh ikan Biis, yang kemudian disusul oleh ikan Baung, Sanggang,
243
90000
50
80000 70000
Series1
60000
Series2
40
30
50000 40000
20
30000 20000
10
10000 0
0 J
F
Gambar 4.
Selama periode Januari sampai dengan Desember 2005, hasil tangkapan udang galah di Danau Sembuluh berkisar antara 381–1.972 kg dengan ratarata 1.046 kg (Gambar 5). Seperti halnya ikan, fluktuasi hasil tangkapan udang galah juga sangat berkaitan erat dengan fluktuasi permukaan air danau. Ukuran rata-rata udang galah yang tertangkap berkisar antara 53–68 g per ekor dengan rata-rata 58 gram/ ekor. Ukuran udang galah yang tertangkap ini berkaitan erat dengan pola migrasi udang galah untuk melakukan pemijahannya di muara Sungai Seruyan. Pada periode migrasi pemijahan, ukuran rata-rata udang galah yang tertangkap akan menurun karena udang dewasa yang berukuran besar akan meninggalkan danau masuk ke sungai untuk kemudian melakukan pemijahan di muara.
244
J
J
A
S
O
N
D
80 70
2000 60 50
1500
40 1000
30
500
0 J
Gambar 5. Figure 5.
F
M
A
M
J
J
Prosentase
Hasil tangkapan ikan yang dicatat oleh enumerator di Danau Sembuluh selama periode Januari sampai dengan Desember sangat berfluktuasi dan berkisar antara 10.212–79.649 kg/bl dengan rata-rata 39.608 kg/bl (Gambar 4). Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September, sedangkan hasil tangkapan terrendah terjadi bulan Februari, Maret dan April. Kondisi seperti ini berkaitan erat dengan fluktuasi permukaan air danau, dimana tangkapan tertinggi terjadi pada waktu permukaan air rendah dan sebaliknya hasil tangkapan terendah terjadi pada waktu permukaan air tinggi. Dari Gambar 4 juga terlihat bahwa rata-rata hasil tangkapan nelayan berkisar antara 2,5–19,5 kg/nelayan/hari dengan ratarata 9,6 kg/nelayan/hari.
M
2500
Total Hasil Tangkapan (kg)
Figure 3.
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan (% total berat) di Danau Sembuluh. Fish catch composition (in % of total weight) of Sembuluh lake.
A
Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan di Danau Sembuluh 2005 Fluctuation of fish catch of Sembuluh lake in 2005
Figure 4.
Gambar 3.
M
25.0
20
Total Berat 20.0
10
Rata-rata Berat Individu (g)
Total Hasil Tangkapan (kg)
Betutung, Benangin, dan Tabiring (Gambar 3). Jenisjenis ikan tersebut termasuk kelompok ikan putihan (white fish) yang keberadaannya di danau sangat dinamis dan jika tinggi permukaan air danau menurun serta kualitas airnya juga memburuk maka ikan-ikan tersebut akan melakukan ruaya ke sungai.
Rata-rata Hasil Tangkapan (kg/nelayan/hari)
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 239-245
Berat Individu
A
15.0 S
0 O
N
D
10.0
Hasil tangkapan 5.0 Udang Galah di Danau Sembuluh 2005 0.0 Giant prawn catch of Sembuluh lake in 2005
Berbagai jenis alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di Danau Sembuluh dan Papudak adalah alat tangkap gillnet, pancing rawei dan banjur serta bubu. Untuk menangkap udang galah, sebagian besar nelayan menggunakan tamba (trap) yang diberi umpan berupa potongan daging kelapa. Jumlah Rumah Tangga (RTP) Nelayan di Danau Sembuluh adalah sebesar 226 RTP dengan rata-rata nelayan yang beroperasi selama periode Januari sampai dengan Desember 2005 adalah 138 RTP. Jumlah nelayan yang khusus menangkap udang galah berkisar antara 25–56 orang dengan rata-rata jumlah nelayan yang beroperasi selama tahun 2005 adalah sebanyak 41 orang.
Struktur Komunitas dan Biomassa ………. Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)
KESIMPULAN Struktur komunitas ikan di Danau Sembuluh dan Papudak tersusun atas 29 jenis ikan yang didominasi oleh jenis-jenis yang termasuk famili Cyprinidae dan udang galah serta empat jenis ikan ekonomis penting, yaitu ikan jelawat, bakut, dan pipih sudah jarang tertangkap sehingga perlu upaya pelestariannya. Potensi biomasa ikan di Danau Sembuluh dan Papudak termasuk tinggi dengan hasil tangkapan aktualnya berfluktuasi menurut fluktuasi tinggi muka air. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada waktu permukaan air rendah dan hasil tangkapan terrendah terjadi pada waktu permukaan air tinggi. Pelestarian sumberdaya ikan dapat dilakukan dengan menetapkan Danau Papudak dan beberapa teluk di Danau Sembuluh sebagai kawasan suaka perikanan. DAFTAR PUSTAKA Abell, R., D.J. Allan & B. Lehner. 2007. Unlocking the potential of protected areas for freshwaters. Biological Conservation, 134 (2007):48–63. Geist, J. 2011. Integrative freshwater ecology and biodiversity conservation. Ecological Indicators, 11 (2011): 1507–1516 Hartoto, D.I., A.S. Sarnita, D.S. Sjafei, A. Satya, Y. Syawal, Sulastri, M.M. Kamal & Y. Siddik. 2000. Kriteria Evaluasi Suaka Perikanan Perairan Darat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi, LIPI. Hyslop, E.J. 1980. Stomach content analysis: a review of methods and theirs application. Journal of Fish Biology, 17: 411-429.
Kartamihardja, E.S. 2000. Identifikasi dan karakterisasi sumberdaya perikanan perairan umum di sekitar lahan rawa bukaan, Kecamatan Kapuas Murung, Kalimantan Tengah untuk pengembangan beje dan suaka produksi ikan. Pros. Seminar Hasil Penel. Perikanan 1999/2000. Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan, SekJen DKP. Jakarta. Kartamihardja, E.S. 2002. Pengaruh reklamasi lahan rawa terhadap penurunan produksi dan perubahan komposisi jenis ikan pada usaha perikanan beje di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. JPPI, 8 (4). Kartamihardja, E.S. & K. Purnomo. 2011. Aspek Limnologi dan Potensi Produksi Ikan di Danau Sembuluh, Kalimantan Tengah. Pros. Seminar Nasional Penelitian Perikanan VIII. UGM. Yogjakarta. Kottelat, M, A.J. Whitten, S.R. Kartikasari & S. Wirjoatmojo. 1993. Freshwater Fishes Of Western Indonesia and Sulawesi, Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat Dan Sulawesi. Periplus edition (HK) Ltd. 293 hal + 84 plate. Nielsen, L.A. & D.L. Johnson.1985. Fisheries Techniques. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. 468 pp. Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries: Ecology and Management. FAO. Blackwell Sci., Fishing News Books. 358 pp. Wijopriono, K. Purnomo, E.S. Kartamihardja & Z. Fahmi. 2010. Fishery Resources and Ecology of Toba lake. Ind. Fish. Res. J. 16 (1).
245
Perkembangan Perikanan Pelagis Kecil……….di Perairan Barat Sumatera (Hartati. T. et al.)
PERKEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KECIL HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN DAN BAGAN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA Tuti Hariati1) dan Khairul Amri2) 1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal: 23 Agustus 2011
2)
ABSTRAK Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan target utama pukat cincin dan bagan yang beroperasi di perairan barat Sumatera. Penelitian pada periode Maret sampai November 2008 di Sibolga bertujuan untuk memperoleh informasi perkembangan perikanan pelagis kecil di barat Sumatera meliputi perkembangan jumlah pukat cincin dan bagan, jumlah trip, lama trip, indeks kelimpahan dan panjang ikan pertama kali tertangkap (lc). Data yang dikumpulkan adalah hasil tangkapan pukat cincin dan bagan per jenis ikan per trip tahun 2007-2008, jumlah trip, lama trip serta frekuensi panjang ikan pelagis kecil dominan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan aktivitas penangkapan (jumlah trip) pukat cincin dari tahun 2002 sampai 2008, sedangkan jumlah trip bagan meningkat sampai tahun 2007 disusul dengan penurunan tajam pada tahun 2008. Indeks kelimpahan (CPUE) ikan pelagis dari pukat cincin tahun 2007 dan 2008 berkisar 500-600kg/hari, naik dari tahun 2003 (400-500 kg/hari). Diduga indeks kelimpahan ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera pada tahun 2008 masih tetap karena meluasnya daerah penangkapan. Penurunan CPUE ikan pelagis kecil bagan perahu dari 590 kg/hari (2007) menjadi 340 kg/hari (2008), diduga merupakan indikasi turunnya kelimpahan jenis-jenis ikan tersebut di perairan pantai yang relatif sempit. Lc ikan layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma) dan banyar (Rastrelliger kanagurta) pada tahun 2008 cenderung turun dibanding tahun 2003-2004, sedangkan nilai Lc ikan layang biru (D. macarellus) cenderung tetap. Untuk mempertahankan kelestarian sumber daya ikan pelagis kecil, perlu dilakukan pengelolaan jumlah kapal pukat cincin dan bagan yang beroperasi di perairan pantai barat Sumatera KATA KUNCI :
ikan pelagis kecil, alat tangkap, pukat cincin, bagan, perairan barat Sumatera
ABSTRACT :
The development of small pelagic fishery of purse seiner and boat lift net in the western Sumatera waters, Sibolga. By Tuti Hariati and Khairul Amri
Small pelagic resources is the main target of both purse seine and boat lift net fisheries operated in the western Sumatera waters . This research was conducted in the period of March until November 2008. The objective is to obtain some information on development of small pelagic fishery in the western Sumatera waters including the number of purse seine and boat lift net, number and duration of trip, index of abundance (CPUE), and fish length of first catch (Lc). Data collected consist of number of purse seine and boat lift net, number of trip catch by species per trip during 2007-2008, and length frequency distribution of several dominant species. The results indicated decreasing of trip number during years 2004 to 2008. The CPUE of purse seine in 2007 and 2008 were 500-600 kg/day, relatively similar with in 2003 (300-400 kg/day). Index of abundance of small pelagic fish caught by purse seine supposed to be stable by expansion of fishing ground toward off shore. The CPUE of boat lift net decreased from 590 kg/day (2007) to 340 kg/day (2008), indicated of decreasing small pelagic fish abundance in the fishing ground of the coastal area. Compared with the length of first catch (Lc) of Decapterus russell, D. macrosoma and Rastrelliger kanagurta in years 2003-2004, Lc values of those species in 2008 decreased, while Lc values of D. macarellus were relatively constant. For maintaining sustainable of small pelagic fishes resources, management the number of both purse seine and boat liftnet is needed. KEYWORD :
small pelagic, purse seine, boat lift net, west Sumatera waters
PENDAHULUAN Perairan barat Sumatera, bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia (TLSH) merupakan perairan yang kaya akan sumber daya ikan pelagis kecil. Berbagai jenis ikan pelagis kecil hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di perairan ini, umumnya
didaratkan di beberapa lokasi pendaratan utama, salah satunya adalah Sibolga. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera dilakukan dengan berbagai jenis alat tangkap. Dua jenis alat tangkap yang berperan sebagai penghasil ikan pelagis kecil adalah
___________________ Korespondensi penulis: Komplek Pelabuan Perikanan Samudera, Jln. Muara Baru Ujung Jakarta-14440. Email:
[email protected], Email:
[email protected]
247
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 247-253
pukat cincin dan bagan. Sejak tahun 2003 kapal pukat cincin Sibolga didominasi oleh kapal ukuran besar (50-130 GT) dengan persentase mencapai 85% dan sisanya (15%) merupakan kapal berukuran 20 – 49 GT (Hariati, 2005). Sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera selain dari jenis oseanik juga dari neritik dengan migrasi yang tidak terlalu jauh dibandingkan dengan kelompok pelagis besar.
v Jumlah trip kapal pukat cincin tahun 2000-2008 dan bagan tahun 1998-2007 dari kantor ADPEL Sibolga v Sebaran frekwensi panjang beberapa jenis ikan pelagis kecil yang didaratkan pada saat 3 kali pengamatan menggunakan kertas ukur yang khusus. Analisis Data
Armada pukat cincin maupun bagan Sibolga telah mengalami perkembangan yang berarti untuk meningkatkan produksi ikan pelagis kecil. Perkembangan yang tampak selain menyangkut peningkatan bobot kapal juga penambahan kekuatan mesin, dimensi jaring dan ukuran mata jaring, alat bantu penangkapan, serta penggunaan teknologi terbaru baik untuk navigasi maupun penjejak ikan. Kapal pukat cincin yang telah memperbesar bobot dan dimensinya tidak diizinkan lagi beroperasi di perairan pantai, melainkan harus beroperasi di perairan yang lebih jauh. Saat ini perairan pantai telah menjadi daerah penangkapan bagan perahu dan pukat ikan (Hariati, 2005). Perluasan daerah penangkapan bagan perahu yang semula di dalam Teluk Tapian Nauli ke perairan pantai pada tahun 1997 menyebabkan hasil tangkapan lebih bervariasi. Selain ikan teri, juga tertangkap juwana dari ikan pelagis yang bernilai ekonomis seperti ikan tongkol dan tenggiri. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi perikanan pelagis kecil di perairan barat Sumatera dari alat tangkap pukat cincin dan bagan pada tahun 2008. terutama perkembangan jumlah alat tangkap dan jumlah trip, indeks kelimpahan, dan ukuran ikan pelagis kecil yang dominan.
Hasil tangkapan pukat cincin dan bagan tiap trip menurut jenis ikan (A) serta lama trip/day at sea (B) selama periode tahun 2007 dan 2008 ditabulasi per bulan. Komposisi hasil tangkapan tiap jenis ikan dinyatakan dalam % dari total. Indeks kelimpahan masing-masing jenis alat tangkap (C) tiap bulan : C=A/B. Jumlah kapal dan jumlah trip dari pukat cincin dan bagan perahu tiap tahun dinyatakan dalam bentuk grafis. Nilai-nilai Lc diperoleh dari akumulasi data sebaran frekwensi panjang tiap jenis ikan kemudian dihitung dengan rumus ogif selectivity : S(L)=1/(1+exp(S1-S2 * L)), di mana S(L) adalah jumlah ikan dengan panjang L dalam kantong dibagi dengan jumlah ikan dengan panjang L dalam kantong dan dalam penutup, L merupakan interval titik tengah panjang; S1 dan S2 adalah konstanta. Lc=S2/S1(Sparre & Venema, 1999). HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Upaya Pukat Cincin dan Bagan Perahu
BAHAN DAN METODE Tempat, Waktu dan Jenis Data Penelitian dilakukan di Sibolga pada bulan Maret, Agustus, dan November 2008. Data yang dikumpulkan meliputi : v Hasil tangkapan pukat cincin dan bagan tiap trip menurut jenis-jenis ikan pada tahun 2007-2008 dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga. v Jumlah unit kapal pukat cincin dan bagan perahu dari Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Utara maupun Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Sibolga tahun 1985 sampai tahun 2007
248
Dalam Gambar 1a, jumlah pukat cincin Sibolga dan sekitarnya meningkat dan mencapai puncak pada tahun 2000. Pada tahun 1992-1994 daerah penangkapan tersebar di atas paparan dari Kepulauan Banyak di Aceh Selatan sampai ke Pulau Pini dan P Telo di perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Dari tahun 2000 sampai 2003 jumlah kapal bertahan pada sekitar 200 unit dan daerah penangkapan telah meluas sampai ke perairan wilayah Aceh, juga ke wilayah Sumatera Barat. Antara tahun 2005 dengan 2007 jumlah kapal yang aktif turun (Gambar 1a ), antara lain karena beberapa kali terjadi kenaikkan harga BBM .
Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)
STANDARDISASI UPAYA PENANGKAPAN PUKAT CINCIN DI LAUT JAWA Mahiswara, Mohamad Natsir dan Tri Wahyu Budiarti Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Agustus 2011
ABSTRAK Pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh armada pukat cincin. Pukat cincin merupakan jenis alat tangkap yang efektif yang dalam kajian stok sumber daya ikan pelagis sering dijadikan sebagai alat tangkap standard. Oleh karena armada pukat cincin memiliki variasi karakteristik teknis, maka untuk menghindari bias perlu dilakukan standardisasi upaya. Standardisasi upaya penangkapan kapal pukat cincin di Laut Jawa periode 2006-2008 dilakukan menggunakan metode analisis komponen utama dari karakteristik teknis; panjang kapal, lebar kapal, dalam kapal, tonase, tenaga penggerak, daya lampu, dimensi jaring, kapasitas palka, dan jumlah ABK. Tiga komponen utama telah dapat menjelaskan lebih dari 60 % total varians yang difungsikan untuk menghitung fishing power masing-masing kapal. Metode analisis komponen utama menghindarkan ketergantungan terhadap satu karakter sehingga memungkinkan untuk melakukan penghitungan nilai fishing power bagi kapal pukat cincin baru yang masuk ke dalam armada pukat cincin. Berdasarkan hasil analisis diperoleh fungsi hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) CPUE = 353.4 * 16.95.Ci dan Fishing Power Indeks (FP) = 1 +(16.59) * (353.4)-1. Ci. KATA KUNCI :
standardisasi, upaya penangkapan, pukat cincin, Laut Jawa
ABSTRACT :
Standardization of purse seine fishing effort in Java Sea. By: Mahiswara, Moh. Natsir and Tri Wahyu Budiarti
Exploitation of small pelagic fish resources in Java Sea was dominated by purse seiners fishery. Purse seine is an effective type of fishing gear, this gear was often used as standard fishing gear for pelagic fish stock assessment. Since purse seiners has a variety of technical characteristics, standardization efforts need to be done to avoid the bias during analysis. Catch effort of purse seiners in Java Sea on the period of 2006-2008 was standardized using principal components analysis method of the boat characteristics, boat length, boat width, boat depth, gross tonnage, engine propulsion, light power, net dimensions, fish hold capacity and total number of crews. Three new major components have explained more than 60% of the total variance which enabled to calculate the fishing power of each boat. Principal components analysis method was used to avoid dependence on a single character to allow the calculation of the value of fishing power for new purse seine fleet. Based on the results obtained by analyzing the function of catch per unit effort formula was CPUE = 353.4 * 16.95.Ci and Fishing Power Index (FP) = 1 + (16.59) * (353.4) -1. Ci. KEYWORDS :
standardization, fishing effort, purse seiner, Java Sea
PENDAHULUAN Kajian tentang besaran stok dan distribusi sumber daya ikan merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kajian stok meliputi proses pengumpulan dan analisis data dan informasi biologi dan statistik untuk menentukan berbagai perubahan dalam kelimpahan sejumlah stok ikan dalam merespon kegiatan penangkapan, dan sejauh mungkin memprediksi berbagai kecenderungan mendatang atas kelimpahan stok. Data statistik tangkapan ikan dari armada kapal komersial biasanya digunakan sebagai basis pendugaan stok di berbagai jenis perikanan. Karena hasil tangkapan adalah fungsi dari upaya penangkapan dan kelimpahan populasi ikan. Kecenderungan hasil
tangkapan sepanjang periode waktu merefleksikan perubahan proporsi populasi yang dieksploitasi, perubahan kelimpahan, atau keduanya. Namun demikian, kajian stok dengan menggunakan secara langsung data mentah (raw data) hasil tangkapan dan upaya penangkapan akan menghasilkan prediksi yang bias oleh karena efisiensi dari upaya penangkapan berubah dari waktu ke waktu dan antar kapal penangkap. Diperlukan standardisasi upaya penangkapan untuk mereduksi bias dengan memperhitungkan faktor-faktor efisiensi penangkapan (Sparre et al, 1989). Kajian dengan prosedur dan metode yang memperhitungkan faktor-faktor ini akan menghasilkan time series hasil dan upaya penangkapan (CPUE) yang lebih mewakili kecenderungan dari kelimpahan populasi.
___________________ Korespondensi penulis: Komplek Pelabuan Perikanan Samudera, Jln. Muara Baru Ujung Jakarta-14440
255
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263
Pada pertengahan tahun 1970, jenis alat tangkap pukat cincin diperkenalkan pertama kali di Batang, Jawa Tengah. Dalam waktu relatif singkat, sejak pasca pelarangan trawl (tahun 1980), perikanan pukat cincin mengalami perkembangan yang sangat pesat ke arah perikanan semi-industri (Potier, 1998). Perkembangan tersebut terus berlangsung hingga kini. Kondisi ini tercermin diantaranya : (a) peningkatan fishing capacity, yakni ukuran kapal beserta kekuatan propulsi mesinnya, (b) perubahan taktik penangkapan, berupa penggunaan lampu fluorecent (merkuri dan halogen) sebagai alat bantu pengumpul ikan (menggantikan peranan rumpon), (c) modernisasi teknologi alat bantu penangkapan seperti radio komunikasi, alat penentu posisi (GPS) dan fish finder (echosounder) dan (d) ekspansi daerah penangkapan (Muhamad & Susilo, 1998). Oleh karena konstribusi produksinya yang besar terhadap produksi ikan pelagis di Laut Jawa, maka unit penangkapan pukat cincin dijadikan sebagai unit penangkapan standard dalam kajian stok. Keanekaragaman karakteristik setiap individu unit penangkapan pukat cincin membutuhkan standardisasi untuk menghindari bias yang bisa terjadi dalam kajian stok sumberdaya ikan. Perlunya standardisasi upaya penangkapan telah disadari sejak lama. Berbagai metode telah diterapkan untuk keperluan tersebut. Metode-metode tersebut menghitung faktor-faktor standar dengan membandingkan rata-rata laju tangkap kapal-kapal kelas ukuran tertentu dengan kelas kapal-kapal standar. Prosedur dan metode-metode lainnya juga banyak digunakan seperti linier model dengan least squares atau maximum likelihood dan multiplicative model untuk menghitung power factor . Perikanan pukat cincin telah menyebar di hampir seluruh perairan Indonesia, dengan bagian terbesar berpangkalan di utara Jawa. Sekitar 51% diantaranya terdapat di Jawa Tengah, dengan dua basis utama yaitu Pekalongan dan Juwana, Pati. Oleh karena konstribusinya yang demikian besar maka dalam penelitian standardisasi upaya penangkapan difokuskan terhadap unit penangkapan pukat cincin yang berada Jawa Tengah, khususnya yang berbasis di Pekalongan. Tujuan penelitian adalah menentukan model upaya (effort) penangkapan standard pada armada perikanan pukat cincin. BAHAN DAN METODE Sumber dan jenis data Data dan informasi dihimpun dari dari berbagai sumber terutama dari lembaga yang yang terkait
256
dengan pengelolaan perikanan pukat cincin, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Verifikasi dan konfirmasi data juga dilakukan dengan pengelola/pelaku perikanan pukat cinicn. Data sekunder berasal dari data statistik perikanan dan data primer hasil wawancara dengan nelayan. Data yang dikumpulkan dan divalidasi adalah karakteristik kapal yang meliputi; GT, panjang kapal, lebar kapal, dalam kapal, kekuatan tenaga penggerak (HP), kapasitas palkah, dimensi jaring pukat cincin, daya lampu yang digunakan dan jumlah ABK. Jenis data upaya penangkapan dalam hal ini adalah trip kapal (jumlah hari), dan data hasil tangkapannya (baik dalam harian, bulanan dan tahunan). Data hasil tangkapan dikumpulkan dari buku laporan tahunan perikanan dan buku bakul di tempat pendaratan ikan. Dalam studi ini diambil 113 unit penangkapan pukat cincin yang aktif beroperasi pada periode 2006 – 2008. ANALISIS DATA Metode analisis komponen utama (Principal Component Analysis = PCA) (Pieleau, 1984) digunakan untuk menganalisis karakteristik teknis armada pukat cincin di Laut Jawa, yang beroperasi antara tahun 2006–2008. Informasi karakeristik kapal pukat cincin sebagai basis analisis secara ringkas disajikan dalam Table 1. Tabel 1.
Table 1.
Nilai rataan, simpangan baku dan kisaran kapal pukat cincin yang berbasis di Pekalongan Mean, standard deviation and range values of purse seiner based in Pekalongan N
Mean
Std. Deviation
GT (Ton)
Karakteristik
113
79.96
12.07
59
Panjang (m)
113
22.49
2.99
20.68
Lebar (m)
113
6.88
0.41
1.8
Dalam (m)
113
2.22
0.2
1.22
Dayamesin (pk)
Range
113
283.98
51.42
230
Luas Jaring (1000m )
113
50.68
5.06
24.6
Jumlah ABK
113
31.98
3.04
15
Daya Lampu (kilowatt)
113
27.35
6.22
34
Kapasitas Palka (ton)
113
12.63
2.29
11
2
Nilai karakteristik sampel kemudian digunakan untuk menghitung komponen utama (principal component, Ci) (Garcia & Victor, 1992) yang merupakan kombinasi linier dari karakteristik kapal (Xj) , dengan formula sbb.: Ci =∑ j âij . (Xj - Xj ) . Sj-1.............................(1
Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)
dimana: Âij adalah eigenvector ke j dari komponen prinsipal Ci; yang merepresentasikan kontribusi tiap karakteristik Xj (dengan rata-rata dan nilai variance Sj 2). Dari komponen prinsipal Ci yang menjelaskan total variabilitas dan korelasi dengan CPUE, untuk memperoleh standardisasi upaya penangkapan digunakan persamaan: m
CPUE = a0 + ∑ ai . Cii…..……….........……….(2 i =1
Gambar 1.
Fishing Power Index (FP) untuk tiap kapal dihitung berdasarkan persamaan: Figure 1. -1
FP = CPUE. CPUE(standar) = 1 + ai . a0 . Ci..
Penyebaran (dalam %) armada pukat cincin di Indonesia menurut wilayah perairan Percentage distribution of purse seiner according to FMA in Indonesia (Keterangan: I-Barat Sumatera, IISelatan Jawa, III-Selat Malaka, IVTimur Sumatera, V-Utara Jawa, VIBali-Nusatenggara, VII-Selatan/Barat Kalimantan, VIII-Timur Kalimantan, IXSelatan Sulawesi, X-Utara Sulawesi, XI-Maluku-Papua) Sumber: Atmaja, 2004
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis korelasi antar karakteristik kapal. Berdasarkan hasil analisis korelasi, program principle component diaplikasikan guna memperoleh nilai-eigen karakteristik kapal dan persen varians. Akumulasi persen varians ( > 60 %) dari beberapa komponen ditetapkan sebagai komponen yang paling berperan dalam unit penangkapan pukat cincin. Diantara komponen yang berperan utama akan dilihat yang paling signifikan berkorelasi dengan CPUE. Setelah diketahui komponen yang berkontribusi secara signifikan dengan CPUE maka komponen tersebut akan difungsikan dalam persamaan regresi linear bagi perhitungan CPUE standard. HASIL DAN BAHASAN Pada tahun 2007 dilaporkan bahwa pukat cincin telah menyebar di hampir seluruh perairan Indonesia, dengan jumlah armada terbanyak (sekitar 30%) terdapat di utara Jawa. Dari jumlah yang ada di utara Jawa sebanyak 51% diantaranya terdapat di Jawa Tengah (Gambar 1). Armada pukat cincin yang berbasis di Pekalongan terbanyak adalah kapal pukat cincin medium dan besar yang berukuran > 30 GT dengan mesin penggerak 120- 370 HP. Jumlah ABK antara 25-50 orang pada tiap kapalnya. Karakteristik armada pukat cincin yang berbasis di Pekalongan disajikan pada Tebel 1. Kemampuan tangkap kapal pukat cincin yang direpresentasikan oleh hasil tangkapan per satuan upaya (ton/tawur), menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Tahun 1998 kemampuan tangkap rata-rata kapal pukat cincin mencapai 1.433 ton/tawur/kapal, kemudian menurun hingga tinggal 0.528 ton/tawur/ kapal pada tahun 2008 (Tabel 2).
Gambar 2. Figure 2.
Struktur armada pukat cincin di Pekalongan Stucture of purse seiner in Pekalongan
Dalam satu dekade terakhir, juga telah terjadi penurunan jumlah armada pukat cincin di Pekalongan. Pada tahun 2005 terdapat 357 unit, kemudian menurun menjadi 218 unit pada tahun 2007. Struktur armada pukat cincin sampai dengan tahun 2008 disajikan pada Gambar 2. Rentang ukuran kapal pukat cincin di Laut Jawa adalah 20 -140 GT, persentasi terbesar adalah kelas 81 – 120 GT (40%), dan yang terkecil kelas 20 – 40 GT (1%). Ukuran kapal yang besar merupakan dampak dari pengembangan armada pukat cincin yang dimulai pada tahun 80-an.
257
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263
Tabel 2.
Table 2.
Laju tangkap rata-rata kapal pukat cincin keseluruhan yang berbasis di Pekalongan tahun 1998-2007. Mean of catch rate of purse seiner in Pekalongan from 1998 to 2007
Year
Catch (ton)
Effort (setting)
Mean of catch rate (ton/setting)
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
76 979 76 821 62 379 61 003 67 514 47 553 50 758 54 535 38 739 18817 13502
53 711 63 763 54 415 57 941 57 839 60 527 56 912 71 441 70 489 34 400 25 556
1.433 1.205 1.146 1.053 1.167 0.786 0.892 0.763 0.550 0.547 0.528
Tabel 3. Table 3.
Berdasarkan data karakteristik armada pukat cincin yang berhasil dihimpun, analisis standardisasi upaya dilakukan melalui beberapa tahapan. Hasil analisis korelasi antar karakteristik kapal pukat cincin secara umum memberikan nilai positif, seperti hubungan antara; tonase kapal (GT) dengan mesin kapal (HP) daya lampu yang digunakan, dan ukuran jaring. Nilai korelasi tertinggi ditemukan antara tonase kapal dengan jumlah anak buah kapal (ABK). Nilai ini mengindikasikan bahwa, perikanan pukat cincin masih bersifat manual dalam operasinya. Kapal dengan tonase besar cenderung mengoperasikan jaring (pukat cincin) yang besar, sehingga dalam operasinya membutuhkan banyak tenaga kerja (ABK). Nilai korelasi positif ditemukan hampir pada seluruh hubungan antar karakteristik. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh variabel secara sinergi memberikan kontribusi dalam menentukan efisiensi dan efektivitas unit penangkapan pukat cincin. Nilai korelasi negatif yang relatif kecil ditemukan hanya pada hubungan antara panjang kapal dengan dalam kapal. Nilai-nilai korelasi antar karakteristik kapal pukat cincin selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Matrik korelasi antar karakteristik kapal pukat cincin yang berbasis di Pekalongan Matrix correlation between characteristic of purse seiner based in Pekalongan Karakteristik
GT
GT Panjang Kapal
1.000
Lebar Kapal Dalam Kapal
Panjang Kapal 0.470 1.000
Lebar Kapal 0.304 0.002
Dalam Kapal 0.200 -0.019
Daya Mesin 0.285 0.141
1.000
0.430
0.218
1.000
Daya Mesin Luas Jaring Jumlah ABK Daya Lampu Kapasitas Palka
Penerapan analisis komponen utama dari 9 karakteristik kapal pukat cincin menghasilkan komponen baru yang dibentuk berdasarkan kombinasi dari keseluruhan karakteristik yang terlibat dalam analisis komponen utama. Pada Tabel 4 dapat dilihat nilai-nilai eigen dan nilai persentase varians yang dijelaskan untuk masing-masing komponen. Berdasarkan nilai-eigen dan persentase varians yang dijelaskan dapat dilihat komponen 1 memiliki eigen tertinggi sebesar 3,63 dan menjelaskan 40% dari keseluruhan varians. Pada analisis selanjutnya hanya akan digunakan 3 komponen utama dari komponenkomponen yang dihasilkan. Proses penentuan 3
258
komponen ini dilakukan dengan melihat persentase varians dari masing-masing komponen, dimana terlihat komponen ke 4 dan selanjutnya hanya menghasilkan persentase varians dibawah 10%. Tiga komponen pertama secara kumulatif sudah menjelaskan 66,14 % varians keseluruhan data. Proses ekstraksi eigen-vektor ketiga komponen untuk sembilan karakteristik kapal disajikan pada Tabel 5. Kombinasi vektor tiga komponen pertama inilah yang akan menjadi dasar dalam analisis selanjutnya. Dengan mengunakan ekstraksi eigenvector dari ketiga komponen, dapat diketahui peran
0.106 1.000
J
Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)
dari masing-masing karakteristik kapal dalam membangun kombinasi linier untuk masing-masing komponen, seperti disajikan dalam Tabel 5.
Table 4.
Nilai-eigen dari komponen-komponen hasil dari analisis komponen utama dan persentase total variance yang dijelaskan oleh masing-masing komponen utama Eigen values of components resulted from PCA and the percentage of total variance explained by the principal component associated with them
Initial Eigenvalues 3.63
% of Variance 40.30
Cumulative % 40.30
3
1.36 0.97
15.10 10.74
55.40 66.14
4
0.82
9.16
75.30
5
0.64
7.06
82.36
6
0.53
5.85
88.22
7
0.49
5.46
93.68
8 9
0.40
4.44
98.12
0.17
1.88
100.00
Component 1 2
Tabel 5. Table 5.
CPUE = 353,4 x 16,95.Ci Nilai Fishing Power Indeks (FP) adalah sebagai berikut: FP = 1 +(16,59) * (353,4)-1. Ci Dengan menggunakan formula FP maka dapat diperoleh nilai-nilai upaya penangkapan (fishing effort) yang terstandard untuk seluruh sampel kapal seperti disajikan pada Lampiran 1. Dalam Lampiran 1 tampak bahwa nilai upaya penangkapan, dalam hal ini jumlah trip (hari) yang sudah terkoreksi (distandardkan) mengalami perubahan, Untuk perbedaan nilai yang muncul pada masing-masing kapal sampel ditentukan oleh karakteristik kapal yang dimiliki. Secara umum dengan nilai R2 sebesar 0.46 mengindikasikan bahwa model yang dibangun dari kombinasi linear beberapa karakteristik kapal pukat cincin sudah menjelaskan 46,6 % dari keseluruhan hubungan antara data jumlah kombinasi faktor (Ci) dengan CPUE. Dengan menggunakan model tersebut dapat diperoleh nilai Fishing Power untuk masing-masing kapal dan selanjutnya dilakukan standarisasi upaya penangkapan.
Eigen-vektor dari tiga komponen prinsipal pertama Eigenvector of the first three principal components 3
1,200 1,000 y = 16.95x + 353.4 R² = 0.4666 800 CPUE
Tabel 4.
yang diperoleh. Dengan menggunakan formula (2) maka diperoleh CPUE standard yang didasarkan persamaan linear regresi sebagai berikut :
600
1
2
GT (Ton)
0.909
-0.083
0.010
400
Panjang (m)
0.579
-0.452
0.150
200
Lebar (m)
0.434
0.709
0.007
-
Dalam (m)
0.312
0.741
-0.212
-20.00 -15.00 -10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
Ci
0.356
0.228
0.703
Luas Jaring (1000m )
0.713
-0.127
0.185
Jumlah ABK
0.831
-0.092
0.021
Daya Lampu (kilowatt)
0.800
-0.075
-0.212
Kapasitas Palka (ton)
0.462
-0.121
-0.571
Dayamesin (pk) 2
Keseluruhan 3 komponen utama (Tabel 4) digunakan untuk menentukan nilai kombinasi linear (Ci) guna memperoleh persamaan regresi linear untuk CPUE seperti disajikan pada dalam Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3 diperoleh nilai korelasi (R2) sebesar 0,466, yang menggambarkan bahwa data yang digunakan untuk keperluan analisis sebagain besar (> 40%) dapat dijelaskan melalui persamaan
Gambar 3. Figure 3.
Hubungan antara CPUE dengan nilai kombinasi linear (Ci) Correlation between purse seiner CPUE with linear combination (Ci)
Metode analisis komponen utama telah diterapkan pada kajian standardisasi upaya penangkapan pada armada perikanan pukat cincin tuna di Meksiko. Sejumah 51 unit kapal pukat cincin tuna dianalisis. Karakteristik unit penangkapan yang digunakan dalam analisis adalah; tahun pembuatan, tonase (GT dan NT), panjang total (LoA), lebar dan dalam kapal, daya muat dukung (carryng capacity), tenaga pengerak dan
259
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263
luas jaring. Hasil analisis menunjukkan bahwa 3 komponen utama pertama telah dapat menjelaskan 85 % varians data yang dianalisis. Untuk keperluan penentuan formula standardisasi upaya (day/trip) pukat cincin tuna meksiko, dipilih satu komponen utama yang menjelaskan 66 % varians data yang ada (Garcia & Victor, 1992). Melalui persamaan yang diperoleh maka untuk standardisasi upaya, dalam hal ini jumlah hari per trip bagi setiap unit penangkapan dapat dilakukan. Model persamaan yang diperoleh dapat diterapkan untuk standardisasi armada yang telah ada sebelumnya, maupun bagi armada baru yang masuk sepanjang memiliki karakteristik yang sesuai. KESIMPULAN Kajian stok sumberdaya ikan berbasis upaya penangkapan armada pukat cincin yang bersifat dinamis membutuhkan standardisasi upaya untuk menghasilkan nilai/angka stok ikan yang akurat. Analisis terhadap karakteristik armada pukat cincin di Laut Jawa telah menghasilkan persamaan yang dapat dijadikan sebagai standar upaya penangkapan guna perhitungan stok ikan pelagis kecil yaitu; Catch Per Unit Effort (CPUE) = 353,4 * 16,95.Ci dan Fishing Power Indeks (FP) = 1 +(16,59) * (353,4)-1. Ci. PERSANTUNAN Makalah ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan penelitian “Standardisasi Upaya Penangkapan (Fishing Effort) Armada Perikanan Pelagis Kecil Di Laut Jawa”, yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Hibah Penelitian Bagi Peneliti Dan/Atau Perekayasa, Tahun Anggaran 2009.
260
DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 2004. Pendugaan hasil tangkapan lestari ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitarnya setelah penggunaan lampu sorot sebagai taktik penangkapan pukat cincin. In: Ngurah N. Wiadnyana, Endang Sriyati & Dian Oktaviani. Prosiding Hasil-hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. Garcia, S.O., & Victor, M. Gomes, 1992. Standardization of Fishing Effort Using Principlal Component Analysis of Vessel Characteristic. Sci. Mar. 56 (1). Muhamad, S. & Susilo, 1998. East Java fishermen’s attitudes towards new fishing technologies. In: Roch, J., S. Nurhakim, J. Widodo & A. Purnomo (eds): Seminar Sosekima. Proceedings of Socioeconomics, Innovation and Management of the Java Sea Pelagic Fisheries. Bandungan, 4 – 7 December 1995. AARD/EEC/ ORSTOM. Pielou, E.C., 1984. The interpretation of Ecological Data. A Primer on Clasification and Ordination. John Wiley & Sons, New York, 263 pp. Potier, M., P. Petitgas & D. Petit, 1997. Tentative relation between acoustics and dynamics. A case study: The purse seine fishery of the Java Sea. Proseeding of Acoustics. Seminar Akustikan 2. AARD/EEC/ORSTOM. Sparre, P., E. Ursin & S.C. Venema. 1989. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. FAO Fisheries Technical Paper.
Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)
Lampiran 1. Lampiran 1.
Kapal
Nilai Fishing Power Indeks (FPI), upaya penangkapan nominal dan upaya penangapan terstandard (jumlah hari) kapal pukat cincin di Jawa. Fishing Poser Index (FP), nominal effort and standardized effort (number of day) of the java seiners
Ci
FP
Upaya Sebelum Standarisasi 2006
2007
Upaya Setelah Standarisasi
2008
2006
2007
2008
1
-9.511
0.544
203
198
298
110
108
162
2
-2.852
0.863
276
260
56
238
224
48
3
-4.617
0.779
308
43
107
240
33
83
4
-0.794
0.962
56
242
0
54
233
0
5 6
-7.944 -4.609
0.619 0.779
100 259
79 209
206 160
62 202
49 163
128 125
7
2.701
1.130
312
225
84
352
254
95
8
-3.727
0.821
226
289
120
186
237
99
9
-6.910
0.669
291
192
194
195
128
130
10 11
-5.831 1.298
0.720 1.062
113 232
64 269
71 164
81 246
46 286
51 174
12
1.494
1.072
72
220
82
77
236
88
13
-2.479
0.881
80
174
102
70
153
90
14
-11.008
0.472
110
318
168
52
150
79
15
-5.744
0.724
193
256
88
140
185
64
16 17
2.376 2.565
1.114 1.123
241 122
308 276
69 277
268 137
343 310
77 311
18
-6.409
0.693
63
180
56
44
125
39
19
0.973
1.047
247
319
84
259
334
88
20
-1.898
0.909
47
229
182
43
208
165
21 22
-9.331 -6.971
0.552 0.666
77 72
257 176
0 79
43 48
142 117
0 53
23
-6.649
0.681
103
170
306
70
116
208
24
-2.223
0.893
279
128
0
249
114
0
25
1.214
1.058
180
178
136
190
188
144
26 27
-1.860 4.690
0.911 1.225
10 67
81 168
276 261
9 82
74 206
251 320
28
-15.890
0.238
114
179
56
27
43
13
29
-4.560
0.781
306
243
269
239
190
210
30
-0.467
0.978
212
187
0
207
183
0
31 32
-7.728 -3.993
0.629 0.809
213 176
93 107
55 226
134 142
59 87
35 183
33
4.502
1.216
157
118
291
191
143
354
34
-5.681
0.728
57
70
232
41
51
169
35
-3.930
0.811
138
156
291
112
127
236
36
0.968
1.046
193
211
160
202
221
167
37 38
-4.258 -4.290
0.796 0.794
128 148
33 144
113 232
102 118
26 114
90 184
39
-3.397
0.837
134
104
72
112
87
60
261
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263
262
40
12.199
1.585
84
83
80
133
132
127
41 42
-2.300 -2.004
0.890 0.904
43 82
188 86
232 110
38 74
167 78
206 99
43 44
2.997 2.200
1.144 1.106
244 244
163 163
193 241
279 270
186 180
221 266
45 46
1.793 -0.007
1.086 1.000
281 154
199 144
122 63
305 154
216 144
132 63
47 48
-4.828 -2.637
0.768 0.874
278 157
253 106
247 47
214 137
194 93
190 41
49 50
-2.409 1.119
0.884 1.054
293 220
376 224
147 211
259 232
333 236
130 222
51 52
3.430 1.552
1.165 1.074
288 244
306 221
279 48
335 262
356 237
325 52
53 54
9.513 6.852
1.456 1.329
290 174
300 278
180 0
422 231
437 369
262 0
55 56
6.916 5.466
1.332 1.262
195 288
211 241
10 65
260 364
281 304
13 82
57 58
0.961 0.925
1.046 1.044
100 236
67 154
67 114
105 246
70 161
70 119
59 60
-2.010 6.192
0.904 1.297
90 79
247 84
0 290
81 102
223 109
0 376
61 62
1.020 2.742
1.049 1.132
80 237
88 195
212 0
84 268
92 221
222 0
63 64 65
11.622 11.996 7.816
1.557 1.575 1.375
285 222 213
256 231 243
176 157 0
444 350 293
399 364 334
274 247 0
66 67
-0.278 -2.409
0.987 0.884
146 321
216 286
176 57
144 284
213 253
174 50
68 69
8.186 -2.786
1.393 0.866
284 224
267 96
138 193
396 194
372 83
192 167
70 71
-8.029 -2.338
0.615 0.888
71 309
90 162
128 43
44 274
55 144
79 38
72 73
-1.716 -0.939
0.918 0.955
280 401
192 220
244 281
257 383
176 210
224 268
74 75
-6.347 -6.347
0.696 0.696
118 282
126 173
220 0
82 196
88 120
153 0
76 77
4.700 11.492
1.225 1.551
174 311
88 208
244 290
213 482
108 323
299 450
78 79
-6.999 -3.931
0.664 0.811
307 86
230 84
174 100
204 70
153 68
116 81
80 81
-10.255 8.117
0.508 1.389
56 34
69 154
0 149
28 47
35 214
0 207
82 83
-7.515 2.891
0.640 1.139
89 89
71 347
25 80
57 101
45 395
16 91
84 85
-3.005 -3.879
0.856 0.814
105 214
84 168
213 146
90 174
72 137
182 119
86
5.168
1.248
34
88
0
42
110
0
Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)
87 88
-2.887 -3.369
0.862 0.838
63 333
69 277
284 224
54 279
59 232
245 188
89 90
11.382 5.928
1.546 1.284
146 150
56 182
71 85
226 193
87 234
110 109
91 92
7.506 12.546
1.360 1.602
168 58
193 50
108 260
228 93
262 80
147 416
93 94
11.554 -5.462
1.554 0.738
134 54
310 54
228 43
208 40
482 40
354 32
95 96
11.818 -3.683
1.567 0.823
177 314
185 228
242 223
277 259
290 188
379 184
97
-3.640
0.825
314
267
289
259
220
239
98 99
12.371 -6.611
1.593 0.683
272 294
221 298
0 143
433 201
352 204
0 98
100 101
12.965 1.718
1.622 1.082
122 237
282 248
87 318
198 257
457 268
141 344
102 103
-3.997 0.139
0.808 1.007
293 188
329 108
256 308
237 189
266 109
207 310
104 105
4.916 4.752
1.236 1.228
306 100
298 76
276 180
378 123
368 93
341 221
106 107
-0.702 -0.677
0.966 0.968
286 143
266 167
319 229
276 138
257 162
308 222
108 109
1.332 -9.581
1.064 0.540
312 57
241 82
260 257
332 31
256 44
277 139
110 111
-4.041 1.782
0.806 1.085
192 204
404 111
128 178
155 221
326 120
103 193
112 113
9.143 12.682
1.439 1.608
312 87
185 107
81 70
449 140
266 172
117 113
263
Pengaruh Episode La Nina dan El Nino ……yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)
PENGARUH EPISODE LA NINA DAN EL NINO TERHADAP PRODUKSI BEBERAPA PELAGIS KECIL YANG DIDARATKAN DI PANTAI UTARA JAWA Kamaluddin Kasim , Agustinus Anung Widodo, dan Andhika Prima Prasetyo Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Teregistrasi I tanggal: 11 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011
ABSTRAK Sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa telah dimanfaatkan secara intensif sejak dekade tahun 1980-an dan merupakan kegiatan perikanan utama di Indonesia. Beberapa famili ikan pelagis dominan yang tertangkap diantaranya dari famili Clupeidae, Carangidae dan Scombridae. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode La Nina dan El Nino terhadap produksi beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap di Pantai Utara Jawa. Penelitian dilakukan selama bulan April sampai dengan September 2010 dengan mengumpulkan data pendaratan ikan melalui enumerator di beberapa lokasi pendaratan ikan yakni PPN Pekalongan; PPI Bajomulyo II dan Bajomulyo I – Juwana; serta PPI Rembang. Data Southern Oscilation Indiex (SOI) diperoleh dari situs resmi Badan Metereologi pemerintah Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puncak produksi ikan layang, banyar dan tongkol yang didaratkan di Pantai Utara Jawa relatif lebih panjang pada periode La Nina dibandingkan pada periode El Nino. Rata-rata produksi ikan selar berbeda nyata (P<0,05) antara periode El Nino dan Periode La Nina sedangkan jenis layang, banyar dan tongkol tidak berbeda nyata (P>0,05). KATA KUNCI : La Nina, El Nino, ikan pelagis, produksi, utara Jawa ABSTRACT:
Effect of La Nina and El Nino periodes to the production of some pelagic fish landed in the North Coast of Java. By : Kalaluddin Kasim, Agustinus Anung Widodo and Andhika Prima Prasetyo
Pelagic fish resources in the Northern Coast of Java has been exploited since early 1980’s as the most intensive fishery in Indonesia. Several families of pelagic fish that commonly exploited in Java Sea are Clupeidae, Carangidae, and Scombridae. The study was conducted from March to September 2010 by compiling fish landing data from field enumerators in the several fish landing locations such as PPN Pekalongan, PPI bajomulyo I and Bajomulyo II at Juwana, and PPI Rembang. The Current work aims to determine the production of small pelagic fishery affected by El Nino or La Nina evidence. Southern Oscillation Index (SOI) parameter was used as an indicator of climate change parameter. The results show that the peak of season production of russel’s scad (Decapterus russelli), indian mackerel (Rastrelliger kanagurta), and frigate mackerel (Auxis thazard) were more longer during the periode of La Nina than those of the periode of El Nino. Average production values of yellowstrip trevally (Selaroides leptolepis) were significantly different during La Nina periodes compared to El Nino periodes (P<0,05) while russel’s scad, indian mackerel, and frigate mackerel did not show significantly different. KEYWORDS: La Nina; El Nino; small pelagic, production; north coast of Java PENDAHULUAN Produksi perikanan pelagis di Indonesia sebagian besar didaratkan di Pantai Utara Jawa dan telah dieksploitasi secara intensif pada awal dekade tahun 1980 an sejak diperkenalkannya mekanisasi alat-alat penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap purse
seine. Durand et al. (2003) berpendapat bahwa dengan kondisi wilayah perairan yang relatif dangkal dan masih mendapat pengaruh daratan, maka perairan di sekitar Pantai Utara Jawa memiliki potensi perikanan pelagis yang besar. Ikan-ikan pelagis cenderung banyak ditemukan di perairan dangkal yang masih mendapat pengaruh daratan, dimana tingkat
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
265
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272
kesuburan perairan yang tinggi sebagai penyedia sumber makanan. Menurut Widodo, (2003) beberapa jenis ikan pelagis kecil yang dominan ditangkap di perairan Laut Jawa antara lain banyar (Rastrelliger kanagurta), layang (Decapterus russeli), selar (Selaroides leptolepis) dan bentong (Selar crumenopthalmus). Ditambahkan oleh Atmaja et al, (2003) bahwa sumber daya ikan-ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa telah dieksploitasi sejak tahun 1980-an dimana sejak munculnya alat tangkap purse seine, eksploitasi menjadi semakin intensif dan berpengaruh terhadap perubahan komposisi jenis ikan yang tertangkap dan bergesernya area fishing ground. Perubahan iklim telah nyata berimplikasi pada ancaman ketersediaan dan keberlangsungan sumber daya. Menurut Cochrane, (2009), perubahan iklim dapat berdampak terhadap perubahan musiman proses-proses biologi organisme perairan, merubah rantai makanan, sehingga berdampak pada sulitnya memperkirakan produksi sumber daya ikan. Studi tentang dampak ekologi perubahan iklim terhadap perikanan telah dilakukan Barange, (2009) yang menggambarkan bahwa ikan-ikan pelagis mengalami perubahan tingkah laku dengan kecenderungan menjauhi permukaan perairan yang cenderung menghangat. Beberapa teori sebagaimana yang dikemukakan oleh Cushing dalam Barange, (2009) yang dikenal dengan teori match-mismatch hypothesis untuk proses recruitment organisme perairan menjelaskan bahwa terdapat kemungkinan ketidaksesuaian tersedianya makanan dan larva ikan pada waktu bersamaan. Match and mismatch antara larva dan makanan tersebut sangat dipengaruhi oleh proses-proses fisika perairan yang selanjutnya proses fisika ini sangat pula ditentukan oleh variabilitas iklim. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain oleh Hendiarti et al. (2005) yang menjelaskan variasi musiman ikan pelagis di Laut Jawa namun tidak menggambarkan pengaruh variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Widjopriono, (2001) lebih banyak membahas mengenai musim penangkapan beberapa pelagis kecil namun data yang disajikan dalam rentang tahun yang sempit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode La Nina dan El Nino terhadap produksi ikan pelagis kecil yang didaratkan di Pantai Utara Jawa sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2010. Merujuk pada hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, informasi tentang pengaruh perubahan variabilitas iklim La Nina dan El Nino terhadap produksi sumber daya perikanan pelagis di Indonesia khususnya di Pantai Utara Jawa sebagai
266
lokasi pendaratan ikan pelagis terbesar di Indonesia, masih belum tersedia. Informasi tentang hal ini sangat penting untuk diketahui sebagai langkah awal dalam mitigasi perubahan iklim dalam kaitannya terhadap kegiatan perikanan pelagis. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan melalui survei lapangan selama periode Mei, Juni, dan Agustus tahun 2010 di beberapa lokasi pendaratan ikan yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan, PPI Bajomulyo II dan Bajomulyo I – Juwana; dan PPI Rembang. Cakupan lokasi penelitian meliputi wilayah operasi kapal penangkapan purse seine di sepanjang Pantai Utara Jawa yang menjadi lokasi pendaratan hasil tangkapan (Gambar 1). Informasi mengenai daerah penangkapan (fishing ground) dan data teknis kapal diperoleh melalui nakhoda kapal. Data harian jumlah ikan yang didaratkan diperoleh dengan mencatat langsung dari kapal purse seine yang bersandar dan membongkar muatan untuk selanjutnya diverifikasi dengan data yang telah dikumpulkan sebelumnya oleh para enumerator lapangan di masing-masing PPI. Data pendaratan ikan oleh enumerator diperoleh sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2010. Data statistik perikanan tahun 1996 sampai dengan 2008 juga digunakan sebagai data pendukung. Data enumerator yang dikumpulkan antara lain data produksi bulanan, daerah penangkapan, komposisi hasil tangkapan, dan upaya penangkapan oleh kapal purse seine. Data lainnya berupa informasi tentang SOI (southern oscillation index) didapatkan dari Biro Metereologi Pemerintah Australia. SOI adalah nilai indeks yang menyatakan perbedaan Tekanan Permukaan Laut (SLP) antara Tahiti dan Darwin-Australia, yang secara matematika dirumuskan sebagai berikut:
SOI = 10.
( Pdiff − Pdiffav) (SD( Pdiff ))
.................................... 1)
dimana: Pdiff = selisih antara rata-rata satu bulan SLP Tahiti dan rata-rata SLP Darwin; Pdiffav = rata-rata jangka panjang Pdiff di bulan yang dimaksud; SD(Pdiff) = Standar Deviasi jangka panjang dari Pdiff di bulan yang dimaksud,
Pengaruh Episode La Nina dan El Nino ……yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)
Data produksi bulanan selama periode 1996 sampai dengan 2009 untuk spesies banyar (Rastrelliger kanagurta), layang (Decapterus russeli), selar (Selaroides leptolepis), dan tongkol (Auxis sp) kemudian diplot mengikuti pengelompokan data SOI, Apabila SOI yang diperoleh bernilai negatif maka
terindikasi sebagai periode El Nino dan sebaliknya, nilai SOI positif mengindikasikan terjadinya periode La Nina. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney test melalui software SPSS ver 14 pada selang kepercayaan 95%.
Lokasi Penelitian
Gambar 1. Figure 1.
Peta lokasi kegiatan penelitian Range of survey location
Sumber :
Laporan akhir dampak pada perikanan pelagis dalam kaitannya dengan perubahan dalam tahun 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data Southern Oscilation Indiex (SOI), maka berturut-turut tahun 1996, 1999, 2001, 2007, dan 2008 dikategorikan sebagai fase La Nina dengan nilai index rata-rata masing-masing sebesar positif 5,69, 7,95, 7,80, 0,52, 1,45, dan 10,16, Sedangkan tahun 1997, 1998, 2000, 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, dan 2009 dikategorikan sebagai fase El Nino. Nilai SOI dihitung berdasarkan fluktuasi bulanan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Nilai negatif SOI mengindikasikan episode El Nino, sedangkan nilai positif mengindikasikan terjadinya episode La Nina (Tabel 1).
Nilai negatif SOI sering diikuti oleh suhu perairan laut yang hangat di bagian timur dan tengah Samudera Pasifik, rendahnya pergantian angin di daerah tersebut dan berkurangnya curah hujan sepanjang bagian timur dan selatan Australia. Periode El Nino yang berdampak luas tercatat terjadi pada tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 dimana menyebabkan terjadinya kemarau panjang di sebagian besar wilayah Indonesia. Sedangkan nilai SOI positif menggambarkan periode La Nina yang ditandai dengan pertukaran angin di wilayah Pasifik cenderung lebih kuat, suhu laut di bagian utara Australia cenderung hangat namun bersamaan dengan itu massa air di wilayah timur dan tengah Samudera Pasifik cenderung lebih dingin. Akibatnya, bagian timur dan utara Australia terjadi curah hujan yang lebih tinggi dari keadaan normal.
267
Pengelompokan tahun berdasarkan nilai SOI untuk menentukan episode La Nina dan El Nino. Grouping years based on SOI values to determine La Nina and El Nino episode.
Nilai SOI Bulanan Setiap Tahun 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jan
8,4
4,1
-23,5
15,6
5,1
8,9
2,7
-2
-11,6
1,8
12,7
2007 -7,3
Feb
1,1
13,3
-19,2
8,6
12,9
11,9
7,7
-7,4
8,6
-29,1
0,1
-2,7 -1,4
Mar
6,2
-8,5
-28,5
8,9
9,4
6,7
-5,2
-6,8
0,2
0,2
13,8
Apr
7,8
-16,2
-24,4
18,5
16,8
0,3
-3,8
-5,5
-15,4
-11,2
15,2
-3
May
1,3
-22,4
0,5
1,3
3,6
-9
-14,5
-7,4
13,1
-14,5
-9,8
-2,7
Jun
13,9
-24,1
9,9
1
-5,5
1,8
-6,3
-12
-14,4
2,6
-5,5
5
Jul
6,8
-9,5
14,6
4,8
-3,7
-3
-7,6
2,9
-6,9
0,9
-8,9
-4,3
Aug
4,6
-19,8
9,8
2,1
5,3
-8,9
-14,6
-1,8
-7,6
-6,9
-15,9
2,7
Sep
6,9
-14,8
11,1
-0,4
9,9
1,4
-7,6
-2,2
-2,8
3,9
-5,1
1,5
Oct
4,2
-17,8
10,9
9,1
9,7
-1,9
-7,4
-1,9
-3,7
10,9
-15,3
5,4
Nov
-0,1
-15,2
12,5
13,1
22,4
7,2
-6
-3,4
-9,3
-2,7
-1,4
9,8
Dec rataan
7,2
-9,1
13,3
12,8
7,7
-9,1
-10,6
9,8
-8
0,6
-3
14,4
5,692 La Nina
-11,667 El Nino
-1,083 El Nino
7,950 La Nina
7,800 La Nina
0,525 La Nina
-6,100 El Nino
-3,142 El Nino
-4,817 El Nino
-3,625 El Nino
-1,925 El Nino
1,450 La Nina
SOI : Southern Oscillation Index Sumber : Australian Government Beareu of Metereology
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272
268
Tabel 1. Tabel 1.
Pengaruh Episode La Nina dan El Nino ……yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)
Hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan terhadap hasil produksi beberapa jenis ikan pelagis yang didaratkan seperti layang (Decapterus russeli), selar (Selaroides leptolepis), tongkol (Auxis thazard), dan banyar (Rastrelliger kanagurta) di Pantai Utara Jawa selama periode El Nino dan periode La Nina menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan puncak musim penangkapan dan terjadinya fluktuasi produksi. Menurut Hendiarti et al. (2005), terdapat dua musim puncak penangkapan yang terjadi di Laut Jawa sepanjang tahun yakni maksimum penangkapan terjadi pada September sampai dengan November sedangkan puncak minimum penangkapan terjadi pada Maret sampai dengan April. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wijopriono, (2001) yang menyatakan bahwa terdapat dua musim puncak penangkapan ikan pelagis di Pantai Utara Jawa yakni antara bulan Maret sampai dengan April dan Oktober sampai dengan Nopember. Menurut Gambar 2, diketahui bahwa pada periode La Nina, puncak musim penangkapan ikan layang terjadi pada bulan September sedangkan pada periode El Nino puncak musim penangkapan terjadi bulan Agustus. Fenomena ini menggambarkan dua puncak musim penangkapan ikan layang yang berbeda antara periode La Nina dan periode El Nino. Musim penangkapan ikan layang relatif lebih lama satu bulan pada periode La Nina dibandingkan dengan puncak musim penangkapan pada periode El Nino.
Gambar 2.
Figure 2.
Perbedaaan musim puncak penangkapan ikan Layang (Decapterus russeli) yang terjadi di perairan Laut Jawa selama episode La Nina dan El Nino. Different seasonal catch of russel’s scad (Decapterus russeli) during El Nino and La Nina Episodes in the Java Sea.
Perbedaan puncak musim penangkapan diduga dipengaruhi oleh perubahan perilaku sumber daya ikan itu sendiri, dimana faktor ketersediaan makanan
diduga ikut mempengaruhi. McKinnon et al. (2008) melaporkan bahwa telah terjadi perubahan struktur komunitas kopepoda yang disebabkan oleh pengaruh El Nino dan La Nina di wilayah Barat Laut Cape Samudera Hindia. Blanchot et al. (1991) melaporkan bahwa pada fase setelah terjadinya El Nino di wilayah Samudera Pasifik sebelah barat, mengakibatkan meningkatnya populasi fitoplankton dan melimpahnya klorofil pada lapisan permukaan perairan. Perubahan iklim juga berdampak langsung terhadap perilaku penangkapan oleh nelayan, dimana pola musim yang tidak menentu akan berakibat pada fluktuasi produksi dan perubahan musim puncak penangkapan. Dalam kegiatan perikanan, salah satu pengaruh perubahan iklim dapat terlihat dengan jelas pada pola perubahan puncak musim penangkapan dan selanjutnya berpengaruh pada fluktuasi produksi. Hasil uji Mann-Whitney test terhadap nilai produksi ikan layang antara Periode El Nino dan Periode La Nina tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, menurut Gambar 2 dapat terlihat bahwa produksi ikan layang yang didaratkan di Pantai Utara Jawa cenderung lebih rendah pada periode El Nino dibandingkan dengan produksi ikan layang pada periode La Nina. Hasil uji t menunjukkan bahwa produksi ikan layang yang didaratkan di Pantai Utara Jawa selama bulan September pada periode La Nina berbeda secara signifikan terhadap produksi pada bulan Agustus dalam periode El Nino. Hal ini berarti bahwa terjadi perbedaan produksi ikan layang selama periode La Nina dan El Nino dimana puncak produksi ikan layang untuk periode La Nina terjadi pada September sedangkan puncak produksi ikan layang untuk periode El Nino terjadi pada Agustus. Nilai produksi ikan Selar (Selaroides leptolepis) selama periode La Nina dan El Nino digambarkan dalam bentuk grafik pada Gambar 3. Terlihat bahwa produksi ikan Selar yang didaratkan di Pantai Utara Jawa mengalami fluktuasi musiman sepanjang tahun selama periode El Nino dan La Nina. Fluktuasi nilai produksi antara periode El Nino dan periode La Nina terlihat berbeda nyata. Produksi ikan Selar di bulan Mei pada periode El Nino cenderung menurun, namun sebaliknya, pada periode La Nina, produksi ikan selar justru mengalami peningkatan. Pada Juni, produksi semakin meningkat semasa periode El Nino, namun justru menurun signifikan dalam periode La Nina. Fenomena ini menggambarkan bahwa nilai produksi ikan selar mengalami fluktuasi yang sangat berbeda antara periode El Nino dan periode La Nina. Dapat pula dikemukakan bahwa pada bulan yang sama, jika
269
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272
nilai produksi ikan selar meningkat pada periode La Nina, maka sebaliknya akan menurun pada periode El Nino.
(2000) mengemukakan bahwa larva ikan pelagis Engraulis mordax cenderung terkonsentrasi pada perairan yang lebih dingin dimana kelimpahan jenis ikan tersebut juga meningkat pada periode El Nino yang disebabkan oleh meningkatnya proses upwelling selama periode El Nino di wilayah Teluk California. Hasil analisis uji Mann whitney menunjukkan bahwa nilai produksi ikan selar berbeda secara sangat nyata antara periode La Nina dan periode El Nino. Hal ini menunjukkan bahwa periode El Nino dan La Nina memberikan pengaruh secara sangat nyata terhadap fluktuasi nilai produksi ikan selar yang didaratkan di Pantai Utara Jawa.
Gambar 3.
Figure 3.
Grafik produksi yang mengindikasikan pergeseran musim puncak penangkapan ikan Selar (Selaroides leptolepis) yang terjadi di perairan Laut Jawa selama periode La Nina dan El Nino. Different seasonal catch of yellowstrip trevally (Selaroides leptolepis) during El Nino and La Nina Episodes in the Java Sea.
Secara umum terlihat bahwa nilai produksi ikan selar yang didaratkan pada periode La Nina relati lebih besar dibandingkan dengan produksi ikan yang didaratkan pada periode El Nino. Pamela (2001) melaporkan bahwa jumlah spesies kopepoda mengalami peningkatan secara signifikan pada masa El Nino namun total kelimpahan kopepoda jauh lebih besar selama periode non El Nino di Lepas Pantai Utara Perairan Chile selama tahun 1997 dan 1998. Kopepoda merupakan jenis zooplankton yang memegang peranan penting dalam daur rantai makanan antara phytoplankton sebagai produsen primer dan ikan sebagai konsumer pada rantai makanan perairan laut. Selain dugaan pengaruh El Nino dan La Nina terhadap kelimpahan makanan, faktor lain yang diduga menjadi penyebab fluktuasi produksi ikan pelagis adalah kemungkinan gagalnya proses recruitment sebagai akibat dari gagalnya fase larva untuk untuk menjadi populasi ikan dewasa. Hasil penelitian Velaso
270
Puncak musim penangkapan ikan tongkol pada periode La Nina juga berbeda dengan puncak musim penangkapan pada periode El Nino (Gambar 4). Pada periode El Nino, puncak musim terjadi pada bulan Oktober, sedangkan pada periode La Nina cenderung terjadi pada bulan November. Hal ini berarti pula bahwa terjadi pergeseran musim penangkapan sebulan lebih awal pada periode El Nino. Nilai produksi ikan yang didaratkan cenderung lebih tinggi pada periode La Nina jika dibandingkan dengan periode El Nino sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 4. Meskipun demikian, hasil uji Mann-Whitney test menunjukkan bahwa produksi bulanan ikan tongkol yang didaratkan di Pantai Utara Jawa antara Periode La Nina dan Periode El Nino tidak berbeda nyata (P>0.05). Fenomena musim produksi pendaratan ikan tongkol di Pantai Utara Jawa yang lebih panjang pada periode La Nina dibandingkan dengan periode El Nino diduga dipengaruhi pula oleh distribusi kelimpahan makanan ikan itu sendiri. Kelimpahan makanan sangat dipengaruhi oleh variabilitas sifat fisika dan kimia perairan laut dimana faktor ini juga sangat dipengaruhi oleh anomali iklim seperti El Nino dan La Nina. Hal ini sependapat dengan Raskoff (2001) yang menyatakan bahwa terjadinya El Nino berhubungan dengan perubahan sifat fisika perairan samudera yang berdampak pada distribusi, kelimpahan, pertumbuhan dan reproduksi organisme laut.
Pengaruh Episode La Nina dan El Nino ……yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)
Gambar 4.
Figure 4.
Pergeseran puncak musim penangkapan ikan tongkol (Auxis thazard) yang terjadi di perairan Laut Jawa selama episode La Nina dan El Nino Different seasonal catch of frigate mackerel (Auxis thazard) during El Nino and La Nina Episodes in the Java Sea.
Jenis ikan pelagis lainnya yang mengalami pergeseran puncak musim penangkapan adalah ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) sebagaimana yang di sajikan pada Gambar 5. Musim penangkapan ikan banyar pada periode El Nino terjadi pada bulan Agustus sampai dengan Oktober, dimana puncak musim penangkapan terjadi pada bulan September. Sementara itu pada periode La Nina, musim penangkapan cenderung terjadi hampir sepanjang tahun namun puncak musim terjadi pada bulan Agustus. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran puncak musim penangkapan ikan banyar yang cenderung terjadi pada Agustus sampai dengan September. Meskipun produksi ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) cenderung lebih tinggi pada periode El Nino dibandingkan dengan periode La Nina, hasil uji Mann-Whitney test mengindikasikan bahwa nilai produksi tersebut tidak berbeda nyata antara Periode El Nino dan Periode La Nina (P>0,05). KESIMPULAN Telah terjadi perubahan puncak musim penangkapan beberapa jenis ikan pelagis seperti layang, banyar, selar dan, tongkol yang didaratkan di Pelabuhan Pantai Utara Jawa selama Periode El Nino dan La Nina. Musim penangkapan sepanjang tahun untuk jenis layang, banyar dan tongkol cenderung berdurasi lebih lama pada periode La Nina dibandingkan selama periode El Nino.
Gambar 5.
Figure 5.
Pergeseran musim puncak penangkapan ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) yang didaratkan di Pantai Utara Jawa selama episode La Nina dan El Nino. Different seasonal catch of indian mackerel (Rastrelliger kanagurta) during El Nino and La Nina Episodes in the Java Sea.
Rata-rata produksi ikan selar yang didaratkan di Pantai Utara Jawa berbeda nyata antara periode La Nina dan periode El Nino, sedangkan nilai produksi untuk jenis ikan layang, banyar, dan tongkol tidak berbeda nyata antara periode La Nina dan periode El Nino. PERSANTUNAN Kegiatan dari dampak pada perikanan kaitannya terhadap perubahan iklim, T.A 2010, Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). Ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan atas dukungan yang diberikan selama ini serta rekan-rekan peneliti lingkup P4KSI. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S.B., Sadhotomo B., & Suwarso. 2003. Reproduction of main small pelagic species. Biodynex. Ecology, Dinamics, Exploitatio, of the small pelagic fishes in the Java Sea. Australian Government Beaureu of Metereology. 2011. Climate Glosary. http://www.bom.gov.au/climate/glossary/soi.shtml. Diakses tanggal 20 Maret 2011.
271
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272
Barange, M., Ian Perry. 2009. Physical and Ecological Impacts of Climate Change Relevant to Marine and Inland Capture Fisheries and Aquaculture. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. Climate Change Implication for Fisheries and Aquaculture. Overview of Current Scientific Knowledge. Rome Blanchot, J., M. Rodier, A. L. Boutellier. 1991. Effect of El Niño Southern Oscillation events on the distribution and abundance of phytoplankton in the Western Pacific Tropical Ocean along 165°E . Journal of Plankton Research. http:// plankt.oxfordjournals.org/content/14/1/137.short. Diakses tangal 20 Juli 2011. Cochrane, K., Cassandra De Young, Doris Soto, & Tarub Bahri. 2009. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. Climate Change Implication for Fisheries and Aquaculture. Overview of Current Scientific Knowledge. Rome. Durand, J.R., D. Petit. 2003. The Java Sea Environment. Reproduction of main small pelagic species. Biodynex. Ecology, Dinamics, Exploitatio, of the small pelagic fishes in the Java Sea. Ministry of Agriculture Agency for Agriculture Research and Development. Hendiarti N., Suwarso, et. al. 2005. Seasonal Variation of Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography, a Quarterly. Journal of Oceanography Society. Rockville. USA. 18 (4). McKinnon, A.D., Samantha D., John H. Carleton., & Ruth B. Shnack. 2008. Summer Planktonic Copepod Communities of Australia’s North West Cape (Indan Ocean) During the 1997-99 El Nino/ La Nina. Journal of Plankton Research. 30 (7). 839-855.
272
Pamela, H., & R. Escribano. 2001. Hydrobiologia. Succession of Copepod Species in Coastal Waters Off Northern Chile: The Influence of The 1997-98 El Nino. Copepoda: Developments in Ecology, Biology, & Sistematics. Kluwer Academic Publisher. Netherland. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi SDI. 2011. Dampak Pada Perikanan Pelagis Dalam Kaitannya dengan Perubahan Iklim. Laporan Akhir. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 3 pp. Raskoff K. A., 2001. The Impacts of El Nino Events on Populations of Mesopelagic Hidromedusae. Hydrobiologia 451. Kluwer Academic Publishers. Netherland. 121-129. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2008. 2009. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. ISSN :18580505. Jakarta. Velaso, L.S., B. Shirasago, M. A. C. Mata, and C. A. Garcia. 2000. Spatial Distribution of Small Pelagic Larvae in The Gulf of California and Its Relation To The El Nino 1997-1998. Short Comminication. Journal of Plankton Research. 22. 1611-1818. Wijopriono & A. Samad Genisa. 2001. Perikanan Pelagis Diperairan Pantai Utara Pekalongan Jawa Tengah. Widodo, J & Burhanuddin. 2003. Systematics of The Small Pelagic Fish Species. Biodynex. Ecology, Dinamics, Exploitatio, of the small pelagic fishes in the Java Sea.
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)
HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA PERIKANAN RAWAI TUNA DI SAMUDERA PASIFIK Agustinus Anung Widodo, Budi Iskandar Prisantoso dan R Thomas Mahulette Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 28 Juli 2011 ; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Agustus 2011 Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011
ABSTRAK Masalah umum yang dihadapi dalam operasi penangkapan ikan terhadap sumberdaya yang sifatnya multi spesies dan multi-cohort di daerah tropis adalah diperolehnya hasil tangkapan bukan spesies target yang biasa disebut hasil tangkap samping (HTS) atau by-catch. Saat ini informasi mengenai HTS pada perikanan rawai tuna di Indonesia yang beroperasi di Samudera Pasifik masih terbatas. Disisi lain informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pengelelolaan sumberdaya tuna yang memadai. Penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan infomasi tentang HTS pada perikanan rawai tuna di Samudera Pasifik dilakukan di Bitung bulan Mei sampai Juli 2010. Penelitian dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengambilan contoh di pusat pendaratan armada rawai tuna (port sampling) dan observer di kapal rawai tuna (onboard observer). Port sampling dilakukan setiap hari pada minngu keempat selama bulan Mei sampai Oktober 2010. Onboard observer dilakukan sebanyak dua trip operasi penangkapan rawai tuna. Data yang dikumpulkan meliputi aspek operasional rawai tuna, jenis ikan HTS dan ukuran panjang cagak ikan HTS. Hasil riset menunjukkan bahwa rata-rata laju pancing HTS selama Mei sampai Oktober 2010 adalah 19,6 kg/100 mata pancing per tawur. Sebanyak 16 spesies HTS rawai tuna dapat diidentifikasi yang didominasi oleh ikan setuhuk hitam atau black marlin (Makaira indica). Ukuran low jaw fork length (LJFL) ikan ikan setuhuk hitam dan ikan meka secara berturut-turut adalah 97-198 cm (modus 141-160 cm), 94-241 cm (modus 161-180 cm) dan ukuran fork length ikan tikusan adalah 96-190 cm (modus 121-140 cm). KATA KUNCI :
hasil tangkapan sampingan, rawai tuna, Samudera Pasifik
ABSTRACT :
Bycatch of tuna long line fishery in Pacific Ocean, By : Agustinus Anung Widodo, Budi Iskandar Prisantoso and Thomas Mahulette.
The common fishing operation problematic in tropical waters which characterized by multispecies and multi-cohort resource is the numbers of bycatch exploited. Currently, the information of bycatch in the longline fishery especially operated in the Pacific Ocean is limited. On the other hand, this information is necessary for the implementation tuna fisheries management framework. The objective of this research is to collate the information of Pacific tuna longline bycatch landed in Bitung during the period of May until July 2010. Research conducted in two ways i.e. through port sampling at the central landing of tuna longline and observer onboard. Port sampling was conducted in the forth week during May until October 2010, whilst observer onboard was conducted in two trips within that period. Data collected consists of operational aspects of tuna longliners, species composition of bycatch and its fork length. Results of this research showed that the average of hook rate during the period of May-October 2010 was 19.10 kg/100 hooks per set. Sixteen species of tuna longline bycatch have been identified and showed that black marlin (Makaira indica) was predominant. Size of Low Jaw Fork Length (LJFL) of black marlin, swordfish and thresher shark were 97-198 cm (mode 141-160 cm), 94-241 cm (mode 161-180 cm) and 96190 cm (121-140 cm) respectively. KEYWORD :
bycatch, tuna long line, Pacific Ocean
PENDAHULUAN Asosiasi antar spesies ikan pada area penangkapan (fishing ground) yang sama merupakan ciri menonjol sumber daya perikanan di perairan tropis, seperti yang terjadi di perairan Indonesia. Pada umumnya berbagai jenis ikan membentuk kelompok
yang biasa disebut fish schoaling. Hal tersebut diindikasikan pada hasil tangkapan pukat cincin yang dioperasikan di perairan Indonesia. Sebagai contoh, pukat cincin tuna di Samudera Pasifik terutama ditujukan untuk menangkap ikan cakalang. Kenyataan menunjukkan bahwa pukat cincin tersebut juga menangkap spesies ikan rainbow runner,
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
273
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284
mahimahi, ocean triggerfish, mackerel scad, and silky shark sebagai bycatch (Coan et al., 2000). Hasil tangkap sampingan (HTS) atau bycatch dapat diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non target pada suatu perikanan tangkap tertentu (Pauly, 1984 ; Alverson et al, 1994). Ikan non target dapat berupa bukan spesies tujuan atau spesies tujuan tapi ukurannya di bawah standar yang diinginkan yaitu berupa ikan muda atau yuwana. Ikan cucut, pari, setuhuk, layaran, dan mahi-mahi sering tertangkap sebagai HTS rawai tuna. Pada perikanan pukat cincin tuna tertangkap ikan-ikan tuna muda (baby tuna). Saville, (1980) dalam Pascoe, (1997) mengatakan bahwa dampak dari tertangkapnya yuwana atau ikan muda sebagai HTS mengakibatkan terjadinya penurunan populasi ikan. Akibat selanjutnya adalah hilangnya pendapatan nelayan di masa mendatang. Sejauh ini, penelitian terkait HTS banyak dilakukan pada perikanan demersal, khususnya perikanan trawl udang (Hall et al.,2005). Aspek lingkungan, biologi maupun ekonomi HTS perikanan demersal telah banyak dibahas. Hal ini berbeda dengan perikanan pelagis besar terutama perikanan tuna, di Indonesia yang informasinya masih sangat langka. Beberapa riset HTS pada perikanan tuna di Indonesia 120°
kebanyakan subjeknya adalah spesies ’endangereous’ terutama penyu (Chan,1988). Spesies lain seperti setuhuk, cucut, dan pelagis besar lainnya pada perikanan tuna belum banyak diteliti. Padahal informasi tersebut sangat diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan. Dalam rangka medeskripsikan tentang laju pancing (hook rate), jenis (spesies) dan ukuran ikan HTS pada perikanan rawai tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik maka telah dilakukan suatu penelitian tahun 2010. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Bitung, Sulawesi Utara yang merupakan basis utama kapal rawai tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik (Gambar 1) pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Data dikumpulkan melalui kegiatan enumerasi di tempat pendaratan kapal rawai tuna dan observasi di kapal rawai tuna yang beroperasi. Enumerasi dilakukan oleh empat enumerator di dua lokasi pedaratan kapal rawai yaitu di dermaga milik PT. Bitung Mina Utama dan PT. Nutrindo Freshfood International. Observasi dilakukan oleh satu observer yang mengikuti dua kapal rawai tuna milik PT. Nutrindo Freshfood International. 123°
126°
2°
2°
INDONESIAN PACIFIC OCEAN
4°
4°
1°
1°
Bitung
N W
E S
120°
Gambar 1. Figure 1.
123°
Lokasi penelitian di Bitung Research location of Bitung.
Pengumpulan data oleh enumerator dilakukan setiap hari pada minggu terakhir setiap bulan terhadap seluruh kapal rawai tuna yang mendarat. Data yang dikumpulkan enumerator meliputi aspek perikanan yang terdiri dari nama kapal, daerah operasi penangkapan, lama operasi di laut, jumlah pancing
274
126°
per tawur (setting), jumlah ikan yang tertangkap, jenis (spesies) dan ukuran (panjang) ikan yang tertangkap serta ukuran ikan (panjang dan berat). Pengumpulan data oleh obsever dilakukan sebanyak 2 trip operasi penangkapan. Data yang dikumpulkan adalah nama kapal, posisi daerah penangkapan, jumlah hari operasi,
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)
jumlah pancing/setting, jumlah dan jenis ikan yang tertangkap serta ukuran panjang ikan. Identifikasi jenis ikan adalah merujuk pada Collete & Nauen, (1983), Compagno (1999) dan Sainsbury et al. (1985). Jumlah dan ukuran (panjang dan berat) ikan HTS berukuran besar seperti halnya ikan cucut (shark) dan ikan berparuh (billfish) dihitung dan diukur satu per satu atau secara sensus. Jumlah dan ukuran ikan HTS berukuran kecil seperti halnya lemadang, opah dan bawal batu tidak dihitung jumlahnya namun
90 75 60 45 30 15 > 180
0 151-180
dimana HR = laju pancing (ekor/100 pancing) JI = jumlah ikan (ekor) atau berat (kg) JP = jumlah pancing A = 100 pancing
Armada rawai tuna yang tercatat atau teregister di Bitung adalah mencapai 274 kapal (Anonimus, 2010). Ukuran kapal antara 30-200 GT yang didominasi oleh kelompok ukuran 61-90 GT yaitu mencapai 90 kapal. (32.8 %), disusul dengan kapal kelompok ukuran 30-60 GT yaitu mencapai 79 kapal (28.8 %). Gambar 3 menyajikan struktur ukuran armada rawai tuna.
121-150
...................................(1)
Struktur Armada Penangkapan
91-120
JI xA JP
Perikanan Rawai Tuna di Bitung
61-90
HR =
HASIL DAN BAHASAN
30-60
Jenis dan ukuran panjang cagak ikan HTS terkumpul dikompilasi dan dianalisis secara deskriptif, selanjutnya hasil analisis disajikan secara naratif, tabel dan grafik. Upaya (effort) penangkapan rawai tuna dinyatakan dalam jumlah pancing yang digunakan dalam suatu operasi tertentu atau suatu area tertentu yang biasa disebut laju pancing atau hook rate. Laju pancing atau hook rete dihitung sebagai jumlah atau berat ikan yang tertangkap per 100 atau 1.000 pancing (Klawe, 1980). Laju pancing atau hook rate hasil tangkapan utama (tuna) dan HTS berukuran besar dihitung berdasakan berat (KG) dan jumlah ikan (ekor) per 100 pancing. sedangkan HTS berukuran kecil hanya berdasarkan berat (KG) karena banyak HTS yang hanya dicatat beratnya saja. Rumus laju pancing atau hook rate adalah sebagai berikut:
< 30
Figure 2.
Pengukuran panjang cagak rahang bawah (LJFL) pada ikan paruh panjang dan panjang cagak (FL) pada ikan cucut. Lower jaw fork length (LJFL) on billfish and fork length (FL) on shark measurement.
Jumlah Kapal
Gambar 2.
hanya diukur bobotnya secara keseluruhan. Ukuran panjang ikan adalah ukuran panjang cagak (fork length-FL) dan ukuran berat (kg). Pada ikan berparuh (billfish) panjang cagak diukur dari rahang bawah atau lower jaw fork length (LJFL) karena umumnya ikan berparuh yang didaratkan telah dipotong paruh bagian atasnya untuk efisiensi penyimpanan di palkah. Adapun HTS jenis lain yaitu seperti halnya ikan cucut atau shark diukur panjang cagak (FL) yang mengacu Siriraksopon et al. (2004) sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Ukukran Kapal (GT)
Gambar 3. Figure 3.
Struktur armada rawai tuna yang berbasis di Bitung tahun 2010. Fleet structure of tuna long line based in Bitung in 2010.
275
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284
Sejak dua tahun terakhir banyak dioperasikan kapal kelompok ukuran 30-60 GT dengan mesin penggerak utama berkekuatan 240-300 HP. Kelompok ukuran 30-60 GT diduga akan berkembang dan menggeser armada berukuran >60 GT. Armada kelompok ukuran >60 GT akan cenderung berkurang jumlahnya disebabkan tingginya biaya eksploitasi operasi penangkapan yang harus dikeluarkan. Armada kelompok ukuran >60 GT umumnya menggunakan mesin penggerak relatif besar yaitu >300 HP dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) lebih tinggi dibanding mesin penggerak yang berkekuatan lebih kecil pada kelompok kapal 30-60 GT. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini harga BBM relatif tinggi sehingga sangat membebani laju kegiatan operasi penangkapan. BBM merupakan komponen termahal dari biaya ekploitasi kegiatan operasional penangkapan yang harus dikeluarkan. Semakin berkembangnya armada rawai tuna berukuran 30-60 GT juga karena jarak antara basis operasi (Bitung) dengan daerah penangkapan rawai tuna di Samudera Pasifik tidak terlalu jauh yaitu sekitar 10-20 jam perjalanan dengan lama operasi 20-25 hari. Kondisi tersebut sangat memungkinkan dioperasikannya armada rawai tuna kelompok ukuran 30-60 GT. Kapal kelompok ukuran 30-60 GT mampu menyimpan tuna hasil tangkapan antara 15-30 ton dengan pengawet es dikombinasikan dengan mesin refigerasi pada suhu sekitar -5oC untuk mempertahankan es tetap beku selama trip penangkapan. Teknologi Rawai Tuna Terkait HTS Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah pancing yang umumnya dioperasikan di laut lepas. Bagian utama dari alat rawai tuna adalah tali utama (main line), tali cabang (branch line), tali pelampung (buoy line), pelampung (buoy) dan mata pancing (hook). Bahan utama tali temali rawai tuna yang berbasis di Bitung adalah tali nylon monofilament. Wawancara (Pers Comm, 2010) dengan nakoda kapal KM. Nutrindo 3 milik PT.Nutrindo Freshfood International diperoleh informasi bahwa satu unit rawai tuna biasanya menggunakan 900–1.200 mata pancing setiap kali tawur (setting). Gambar 4 menunjukkan disain dan konstruksi rawai tuna yang banyak beropersi di Samudera Pasifik dan berbasis di Bitung yang mengadopsi sistem yang dikembangkan perikanan rawai tuna Taiwan. Jenis umpan yang digunakan umumnya ikan pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.), layang (Decopterus sp.), kembung (Rastrelliger sp.), bandeng (Chanos chanos) dan cumi-cumi (Loligo sp).
276
Gambar 4.
Figure 4.
Disain dan konstruksi umum rawai tuna yang dioperasikan di Samudera Pasifik Design and construction of tuna long line gear operated in Pacific Ocean
Disain dan konstruksi rawai tuna sebagaimana disebutkan di atas adalah katagori rawai tuna permukaan (pelagic tuna long line) dengan kedalaman mata pancing maksimum <150 meter pada saat rawai dioperasikan di laut. Kedalaman tersebut merupakan lapisan kedalaman perairan laut dimana banyak terdapat jenis ikan non target rawai tuna seperti halnya ikan marlin mencari makan (Block et al., 1992). Pada kedalaman tersebut ikan tuna juga banyak berasosiasi dengan spesies lain non target rawai tuna seperti halnya lumba-lumba (Au, 1991). Jenis umpan yang digunakan juga mempunyai andil terhadap jumlah hasil tangkapan sampingan pada rawai tuna. Hampir semua jenis umpan yang digunakan merupakan preferensi umpan ikan marlin terutama kelompok cephalopoda (termasuk cumi-cumi) yang mencapai 74% dari jenis makanan lainnya dan ikan bertulang belakang (layang, kembung, bandeng dsb) yang mencapai 15% (Gromi et al., 2011). Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) Laju Pancing (Hook Rate) Laju pancing (hook rate) hasil tangkap sampingan (HTS) terendah terjadi pada bulan Juni yaitu 9,58 kg/ 100 mata pancing, laju pancing tertinggi terjadi pada bulan Mei yaitu 38,30 kg/100 mata pancing per tawur dan rata-rata 19,6 kg/100 mata pancing per tawur (Tabel 1). Laju pancing ikan taget (tuna) terendah
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)
adalah 40,51 kg/100 mata pancing per tawur yang terjadi pada bulan Juni dan tertinggi adalah 56,87 kg/ 100 mata pancing per tawur yang terjadi pada bulan September. Berdasarkan jumlah individu (ekor) ikan, laju pancing beberapa jenis ikan HTS ukuran besar adalah sebagai berikut: jenis ikan berparuh (billfish) didominasi oleh ikan setuhuk hitam atau black marlin dengan rata-rata 0,0668 ikan/100 mata pancing per tawur. Jenis ikan cucut (shark) didominasi oleh jenis ikan cucut tikusan atau smalltooth thresher shark dengan rata-rata laju pancing mencapai 0,0259 ekor/ 100 mata pancing per tawur. Jenis HTS yang memperoleh perhatian besar yaitu penyu laut tertangkap dengan rata-rata laju pancing sebesar 0,008 ekor/100 mata pancing per tawur. Laju pancing ikan taget (tuna)1,07ekor/100 mata pancing per tawur (Tabel 2). Dibandingkan laju pancing HTS ikan meka atau swordfish rawai tuna Korea yang beroperasi di Samudera Pasifik tahun 2005-2006 yaitu sebesar 1,0 per 1.000 mata pancing atau 0,1 per 100 mata pancing (Kim et al., 2007), maka rawai tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik yang berbasis di Bitung mempunyai rata-rata laju pancing HTS ikan meka yang lebih kecil yaitu 0,0582 ekor per 100 mata Tabel 1. Table 1.
Bulan (Month)
May
June
July
August
September
October Rata-Rata (Average)
pancing per tawur. Jika diasumsikan bahwa kondisi sumber daya ikan meka di Samudera Pasifik menyebar merata karena sebagai highly migratory species, maka tingkat selektivitas rawai tuna Indonesia yang beroperasi di Samudera Pasifik terhadap ikan meka atau swordfish lebih baik dibanding rawai tuna Korea tersebut. Huang, (2011) menyampaikan bahwa selama tahun 2002-2006 penyu laut yang tertangkap rawai tuna Taiwan pada posisi 0o-10oU dan 130o-150oB yang terdiri dari jenis oliveridley (Lepidochelys olivacea), leatherback, green turtle (Chelonia midas) dan loggerhead turtle (Caretta caretta) sebanyak 0,015 per 1000 mata pancing atau 0,0015 per 100 mata pancing. Rata-rata jumlah penyu yang tertangkap di Samudera Pasifik oleh armada rawai tuna yang berbasis di Bitung adalah 0,0008 per 100 mata pancing (Tabel 2). Jumlah tersebut lebih kecil dibanding penyu yang tetangkap oleh armada rawai tuna Taiwan di Samudera Pasifik sebagaimana disampaikan Huang, (2011) tersebut. Kecilnya jumlah penyu yang tertangkap rawai tuna menunjukkan bahwa armada rawai tuna yang beroperasi di Samudera Hindia yang berbasis di Bitung cukup aman terhadap keberadaan sumber daya penyu.
Laju pancing (hook rate) rawai tuna yang mendarat di PT. Nutrindo F.I. Bitung Mei sampai Oktober 2010. Hook rate of tuna the long lines landing in Nutrindo F.I.Co.Ltd, Bitung on May until October 2010. Jumlah Kapal (Number of Vessel)
1
1
1
2
2
1
1
Jumlah Tawur (Number of Setting)
36
35
36
71
72
34
47
Jumlah Mata Pancing (Hook Number)
43,200
42,000
43,200
81,300
72,100
37,200
53,167
Jumlah Hasil Tangkapan (Catch) HTS (Bycatch)
Unit
21,794
16,545
KG (KG)
599
-
17,013
4,023
477
-
20,225
12,116
428
-
39,590
9,120
Tuna
826
-
41,005
11,600
719
-
19,300
5,320
379
-
26,488
9,787
571
-
Ekor (fish) KG (KG) Ekor (fish) KG (KG) Ekor (fish) KG (KG) Ekor (fish) KG (KG) Ekor (fish) KG (KG) Ekor (fish) KG (KG) Ekor (fish)
Laju Pancing Tuna (Tuna Hook Rate)
Laju Pancing HTS (Bycath Hook Rate)
50
38
1 41
10
1 47
28
1 49
11
1 57
16
1 52
14
1 50
18
1
277
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284
Tabel 2. Table 2.
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
Laju pancing (hook rate) HTS rawai tuna yang mendarat di PT. Nutrindo F.I. Bitung Mei sampai Oktober 2010. Hook rate of bycatch on tuna the long lines landing in Nutrindo F.I.co.Ltd, Bitung on May until October 2010.
Jenis ikan (Species)
Unit
Meka/Swordfish (Xiphias gladius) Setuhuk hitam/Black marlin (Makaira indica) Setuhuk loreng/Striped marlin (Tetrapturus audax) Layaran/Sailfish (Istiophorus sp.) Setuhuk biru/Blue marlin (Makaira nigrican) Layaran tumbuk/Short bill spearfish (Tetrapturus angustirostri) Cucut mako/Shortfin mako (Isurus oxyrinchus) Cucut lanyam/Silky shark (Carcharhinus falciformis) Cucut pahitan/Bigeyed thresher shark (Alopias superciliosus) Cucut tikusan/Smalltooth thresher shark (Alopias pelagicus) Pari hantu/Manta rays (Mobula japonica) Penyu hijau/Green turtle
Fish HR Fish HR Fish HR Fish HR Fish HR
(Chelonia midas)
HR
Fish HR Fish HR Fish HR Fish HR Fish HR Fish HR Fish
Hasil tangkapan per bulan-Catch (ekor-fish) dan Laju pancing-hook rate (fish/100 hook) May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
58 0.1343 87 0.2014 1 0.0023 12 0.0278 49 0.1134
31 0.0738 16 0.0381 0 0.0000 3 0.0071 0 0.0000
46 0.1065 34 0.0787 5 0.0116 13 0.0301 36 0.0833
28 0.0344 19 0.0234 18 0.0221 7 0.0086 22 0.0271
0 0.000 0 0.0000 0 0.0000 11 0.0153 28 0.0388
0 0.0000 22 0.0591 4 0.0108 11 0.0296 13 0.0349
9
2
19
8
8
0
0.0208 1 0.0023 1 0.0023
0.0048 0 0.0000 0 0.0000
0.0440 1 0.0023 1 0.0023
0.0098 13 0.0160 5 0.0062
0.0111 8 0.0111 7 0.0097
0.0000 2 0.0054 5 0.0134
3
2
6
3
1
3
0.0069
0.0048
0.0139
0.0037
0.0014
0.0081
26
2
22
18
1
6
0.0602 3 0.0069 0
0.0048 0 0.0000 0
0.0509 4 0.0093 1
0.0221 0 0.000 0
0.0014 6 0.0083 0
0.0161 1 0.0027 1
12.5 0.0259 2.3 0.0045 0.3
0.0000
0.0000
0.0023
0.000
0.0000
0.0027
0.0008
Jenis Ikan HTS Selama penelitian bulan Mei sampai Oktober 2010 teridentifikasi sebanyak 18 (delapan belas) spesies hasil tangkapan rawai tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik yang mendarat di Bitung. Dari 18 spesies tersebut dua spesies merupakan target penangkapan dan 16 spesies non target atau hasil tangkapan sampingan (HTS). Dua spesies target yaitu tuna jenis madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus) dengan rata-rata persentase masing-masing sebesar 57,2 % dan 15,8 % dari total bobot hasil tangkapan. Adapun 16 spesies HTS yang teridentifikasi selama penelitian didominasi oleh ikan setuhuk hitam atau black marlin (Makaira indica) dan ikan meka atau swordfish (Xiphias gladius) dengan rata-rata persentase masing-masing sebesar 5,4 dan 5,1 % dari total bobot hasil tangkapan. Jenis lain yang juga banyak tertangkap adalah ikan setuhuk biru atau blue marlin (Makaira nigrcans), bawal batu dan layaran atau sailfish (Istiophorus sp.) dengan persentase masing-masing 3,1%, 3,1% dan 1,8% dari total hasil tangkapan. Pada kegiatan onboard observer dicatat juga bahwa pada bulan Juli dan
278
RataRata Average 27.2 0.0582 29.7 0.0668 4.7 0.0078 9.5 0.0197 24.7 0.0496 7.7 0.0151 4.2 0.0062 3.2 0.0057 3.0 0.0065
Oktober tertangkap penyu hijau atau green turtle (Chelonia midas) masing-masing satu ekor ukuran 14 dan 17 kg atau total 31 kg (0,01%) dari total hasil tangkapan (Tabel 3). Kedua penyu tersebut dilepas kembali ke laut dalam keadaan hidup. Sejauh ini hasil penelitian mengenai ikan berparuh (billfish) sebagai HTS pada rawai tuna belum banyak dilakukan. Widodo et al.(2011) menyampaikan hasil penelitiannya yang dipresentasikan pada IOTC-Ninth Working Party on Billfish, di Seychelles, 4–8 July 2011 bahwa ada 6 spesies berparuh tertangkap sebagai HTS pada rawai tuna yang beroperasi di Samudera Hindia yaitu swordfish, blue marlin, black marlin, sailfish, shortbill spearfish dan striped marlin yang secara keseluruhan mencapai 1,08% dari total tangkapan. Dibandingkan jumlah HTS jenis ikan berparuh (billfish) pada rawai tuna di Samudera Hindia tersebut, maka HTS jenis ikan berparuh (billfish) pada rawai tuna di Samudera Pasifik menunjukkan jumlah yang lebih besar yaitu mencapai >17%. Perbedaan jumlah ini diduga karena perbedaan jenis teknologi rawai tuna yang digunakan, yaitu rawai tuna dalam (deep tuna longline) di Samudera Hindia dan rawai tuna pelagis (pelagic tuna longline) di Samudera
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)
Pasifik. Di Indonesia belum ada pengelolaan sumber daya secara khusus yang dilakukan terhadap jenis ikan berparuh. Disisi lain, organisasi-organisasi perikanan regional telah begitu serius mengatur sumber daya jenis ikan berparuh. Sebagai contoh di Hawaii telah ditutup pengoperasian rawai ikan berparuh (billfish long line) sejak tahun 2002 (Gilman et al., 2006). Telah tertangkapnya penyu pada rawai tuna yang berbasis di Bitung, walaupun jumlahnya hanya 0.01%, namun dampaknya cukup serius karena penyu hijau yang tertangkap tersebut merupakan salah satu dari enam spesies penyu yang dilindungi (IUCN, 2003). Karena tertangkapnya penyu terutama oleh rawai tuna permukaan (pelagic tuna long line) sehingga beberapa grup pecinta lingkungan mengusulkan larangan dioperasikannya jenis rawai tersebut secara global (Anonimus, 2003). Upaya mengurangi jumlah penyu yang tertangkap telah dilakukan antara lain dengan menggunaan mata pancing jenis circle hook ukuran 18/0 sehingga mengurangi sekitar 75% tangkapan penyu pada rawai tuna permukaan (Waston et al., 2002; 2003a;2003b). Guna menguragi tangkapan penyu pada rawai tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik Indonesia, sejak sekitar tahun 2007 WWF telah melakukan ujicoba penggunaan circle hook pada rawai tuna yang berbasis di Bitung. Belum ada laporan resmi mengenai hasil ujicoba tersebut, namun wawancara pribadi (Pers comm., 2010) dengan beberapa nakoda menyampaikan bahwa circle hook telah efektif meniadakan tangkapan penyu laut pada alat tangkap rawai tuna yang mereka operasikan. Tertangkapnya dua penyu selama penelitian adalah pada rawai tuna yang tidak menggunakan circle hook, karena saat ini circle hook tidak tersedia di pasar Indonesia. Hasil wawancara pribadi juga diperoleh informasi bahwa para nakoda kapal rawai mempunyai keinginan menggunakan circle hook. Hal ini merupakan indikasi positif dalam rangka upaya menyelamatkan penyu dari kepunahan di masa mendatang.
Ukuran Ikan HTS Hasil penelitian pertengahan Juli sampai Oktober 2010 tidak berbeda dengan hasil penelitian Mei sampai Oktober 2010. Ukuran panjang cagak rahang bawah (lower jaw fork length-LJFL) dan panjang cagak (fork length-FL) beberapa spesies ikan HTS yang dominan tertangkap rawai tuna yaitu setuhuk hitam atau black marlin (Makaira indica), meka atau swordfish (Xiphias gladius) dan ikan hiu tikusan atau thresher shark (Alopias vulpinus). Ukuran LJFL ikan setuhuk hitam yang tertangkap antara 97-198 cm dengan modus pada ukuran 141-160 cm. Ukuran LJFL ikan meka yang tertangkap antara 94-241 cm dengan modus pada ukuran 161-180 cm. Ukuran FL ikan cucut tikusan antara 96-190 cm dengan modus pada ukuran 121-140 cm. Gambar 5, 6 dan 7 menyajikan sebaran ukuran dan kurva seleksi ikan setuhuk hitam, meka dan cucut tikusan yang tertangkap rawai tuna selama penelitian. Widodo et al. (2011) menyatakan bahwa ukuran ikan setuhuk hitam atau black marlin ((Makaira indica) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia mempunyai ukuran LJFL 113-234 cm dan terbanyak (modus) pada selang ukuran 130 cm. Ikan meka atau swordfish (Xiphias gladius) mempunyai ukuran LJFL 71-243 cm dan terbanyak pada selang ukuran 125 cm. Dibanding ukuran LJFL ikan setuhuk hitam di Samudera Hindia, ukuran LJFL ikan setuhuk hitam yang tertangkap rawai tuna di Samudera Pasifik mempunyai ukuran dan maksimum yang lebih kecil, namun mempunyai modus yang lebih besar yaitu pada selang ukuran LJFL 141-150 cm. Adapun ukuran ikan meka yang tertangkap rawai tuna di Samudera Pasifik mempunyai ukuran minimum, maksimum dan modus lebih besar dibandingkan yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia. Kedua kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi sumber daya ikan setuhuk hitam dan meka di Samudera Pasifik masih cukup baik.
279
Jenis ikan spesies target (tuna) dan HTS rawai tuna bulan Mei dan Juni 2010 yang didaratkan di PT. Nutrindo F.I. Target and bycatch species of tuna long lines landing in Nutrindo F.I.Co.Ltd on May and June 2010. Hasil tangkapan per bulan (Catch per month)
NO A 1
2 B 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jenis ikan (Species)
Unit (Unit) May
June
July
August
September
October
15320
13159
16720
31400
34140
13700
437
376
354
655
599
269
6474
3854
3505
8190
6865
5600
162
101
74
171
120
110
2620
1719
2241
1248
2408
950
58
31
46
28
40.13
3885
708
1986
1104
2805
17 1230
87
16
34
19
51
63
0
349
1008
1230
1
0
5
18
22
424
132
508
395
627
12
3
13
7
11
2098
0
2016
1310
790
49
0
36
22
28
397
169
1290
445
406
9
2
19
8
8
30
0
51
890
445
1
0
1
13
8
37
0
44
466
433
1
0
1
5
7
215
110
305
189
54
5 114
3
2
6
3
1
3
Spesies Target (Tuna) Madidihang / Yellowfin tuna
KG (KG)
(Thunnus albacares)
Ekor (Fish)
Tuna Mata Besar / Big Eye tuna
KG (KG)
(Thunnus obesus)
Ekor (Fish)
Spesies Nontarget (HTS) Meka/Swordfish
KG (KG)
(Xiphias gladius)
Ekor (Fish)
Setuhuk hitam/Black marlin
KG (KG)
(Makaira indica)
Ekor (Fish)
Setuhuk loreng/Striped marlin
KG (KG)
(Tetrapturus audax)
Ekor (Fish)
Layaran/Sailfish
KG (KG)
(Istiophorus sp.)
Ekor (Fish)
Setuhuk biru/Blue marlin
KG (KG)
(Makaira nigrican)
Ekor (Fish)
Layaran tumbuk/Short bill spearfish
KG (KG)
(Tetrapturus angustirostri)
Ekor (Fish)
Cucut mako/Shortfin mako
KG (KG)
(Isurus oxyrinchus)
Ekor (Fish)
Cucut lanyam/Silky shark
KG (KG)
(Carcharhinus falciformis)
Ekor (Fish)
Cucut pahitan/Bigeyed thresher shark
KG (KG)
(Alopias superciliosus)
Ekor (Fish)
22 202 4 580 11 640 13 0 0 109 2 231
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284
280
Tabel 3. Table 3.
10
12
13
14
15
16
KG (KG)
(Alopias pelagicu)
Ekor (Fish)
Bawal Batu/Casper/Angelfish
KG (KG)
-
Ekor (Fish)
Lemadang/Common dolphinfish
KG (KG)
(Delphinus delphi)
Ekor (Fish)
Opah/Opah
KG (KG)
(Lampris reguis)
Ekor (Fish)
Pari hantu/Manta rays
KG (KG)
(Mobula japonica)
Ekor (Fish)
1744
118
1006
735
42
238
26
2
22
18
1
3262
446
980
446
905
6 805
-
-
-
-
-
84
0
61
0
76
2
0
4
0
5
328
40
122
178
288
-
-
-
15
-
190
0
154
0
277
3
0
4
0
6
1168
582
1003
706
814
1 123
0 0 52 46
Ikan setan (Gindara) /Escoler
KG (KG)
(Lepidocybium sp.)
Ekor (Fish)
-
-
-
-
-
-
Penyu hijau/Green turtle
KG (KG)
0
0
14
0
0
17
(Chelonia midas)
Ekor (Turtle)
0
0
1
0
0
1
281
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)
11
Cucut tikusan/Smalltooth thresher shark
Figure 6.
Sebaran ukuran LJFL ikan meka atau swordfish (Xiphias gladius) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Pasifik Indonesia. FJFL distribution of swordfish caught by tuna long line in Pacific Ocean.
Makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian berjudul : “Jenis dan distribusi ukuran ikan hasil tangkap sampingan (bycatch) pada perikanan tuna di Samudera Pasifik” yang dibiayai oleh kegiatan proyek kerjasama penelitian antara Dewan Riset NasionalKementerian Negara Riset dan Teknologi dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada enumerator : Mistun Rois, Grace Wantah, Wine Sargian 35 dan Gatot Wiranto serta Mutakin yang telah 10 =29 76 melakukan enumerasi 68 dan obsevasi hingga ===41 nnnn =nn 30 =43 111 8 tersediannya data dengan sangat baik. Diucapkan 25 6 kasih kepada jajaran Manajemen PT. Nutrindo 20 terima F.I di 15 4Bitung yang telah memberikan ijin kepada para 10 enumerator dan observer untuk melakukan kegiatan 2 5 enumerasi dan observasi di tempat pendaratan dan 0 kapal 0rawai tuna milik PT. Nutrindo F.I. DAFTAR PUSTAKA
181-200 181-200 > 200 > 200
Gambar 6.
PERSANTUNAN
161-180 161-180
Figure 5.
Sebaran ukuran LJFL ikan setuhuk hitam yang tertangkap rawai tuna di Samudera Pasifik Indonesia. FJFL distribution of black marlin caught by tuna long line in Indonesian Pacific Ocean.
141-160
Gambar 5.
121-140
FL (cm)
1. Rata-rata laju pancing HTS selama Mei sampai Oktober 2010 adalah 19,6 kg/100 mata pancing. Rata-rata jumlah HTS terhadap hasil tangkapan tuna 27,04: 72,06 %. Sebanyak 16 spesies HTS rawai tuna dapat diidentifikasi yang didominasi oleh ikan setuhuk hitam atau black marlin (Makaira indica), ikan meka dan ikan cucut tikusan. Ukuran lower jaw fork length (LJFL) ikan setuhuk hitam dan ikan meka secara berturut-turut adalah 97198 cm (modus 141-160 cm), FL 94-241 cm (modus 161-180 cm) dan ukuran fork length (FL) ikan tikusan adalah 96-190 cm (modus 121-140 cm).
100-120 100-120
181-200
161-180
141-160
121-140
100-120
5 0
KESIMPULAN
100 << 100
nnn===98 72 103
Jumlah ikan(Ekor) (ekor) Julah kan
35 30 25 20 15 10
< 100
Jumlah Ikan (ekor)
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284
FL (cm) (cm) FL
Anonimus, 2003. An International Call for a Moratorium in the Pacific Ocean on Pelagic Longline and Gillnet Fishing. Open Letter to United Nation Secretary General Kofi Annan. Available at http://www.seaturtles.org/pdf/ UN_Moratorium_letter_doc.pdf. Anonimus, 2010. Kapal yang terdaftar beroperasi di Samudera Pasifik tahun 2010. PSDKP-Bitung, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bitung. Gambar 7.
Figure 7.
282
Sebaran ukuran LF ikan cucut tikusan atau thresher shark (Alopias vulpinus) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Pasifik Indonesia. FL distribution of thresher shark caught by tuna long line in Pacific Ocean
Au, D.W. 1991. Polyspecific nature of tuna schools: Shark, dolphin, and seabird associates. Fish. Bull. NOAA-NMFS 89: 343-354.
Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)
Alverson, D.L., Freeberg, M.H., Pope, J.G., & Murawski, S.A. 1994. A global assessment of fisheries bycatch and discards. FAO Fisheries Technical Paper. No. 339. Rome. FAO. 233 pp. Block, Barbara A., David Booth & Francis G.Carey, 1992. Direct Measurement Of Swimming Speeds And Depth Of Blue Marlin. J. exp. Biol. Printed in Great Britain © The Company of Biologists Limited. 166. 267-284. Chan, E.H., H.C. Liew & A.G. Mazlan, 1988. The incidental capture of sea turtles in ûshing gear in Terengganu, Malaysia. Biological Conservation 43.1–7. Coan, Atilio L., Jr, Gary T. Sakagawa, Doug Prescott, Peter Williams, Karl Staish & Gordon Yamasaki 2000. The 1999 U.S. Central-Western Pacific Tropical Tuna Purse Seine . Document prepared for the annual meeting of parties to the South Pacific Regional Tuna Treaty, 3-10 March 2000, Niue Fishery. Administrative Report LJ-00-10. 16 pp. Compagno. L.J.V.1999. The Living Marine Resource of the Western Central Pacific. FAO. Rome. 3.1398-1529 pp. Gilman, E., Erika Zollett, Stephen Beverly, Hideki Nakano, Kimberly Davis, Daisuke Shiode, Paul Dalzell & Irene Kinan, 2006. Reducing the Turtle by-catch in Pelagic Longline Fisheries. Fish and Fisheries, 2006,7, p2-23. Blackwell Publishing Ltd. Gorni G.R., S. Loibel, R. Goitein & A.F. Amorim, 2011. Stomach Contents Analysis Of White Marlin (Tetrapturus Albidus) Caught Off Southern And Southeastern Brazil: A Bayesian Analysis. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 66(4): 1779-1786 (2011). SCRS/2010/162. Hall, Stephen J. & Brooke M.Mainprize, 2005. Managing by-catch and discards: how much progress are we making and how can we do better? FISH and FISHERIES. 6,134–155. Blackwell Publishing Ltd. 22p. Huang, Hsiang-Wen, 2011. Bycatch of high sea longline fisheries and measures taken by Taiwan: Actions and challenges. Marine Policy. <journal homepage: www.elsevier.com/ locate/marpol>. 35 (2011) 712–720.
IUCN, 2003. 2003 IUCN Red List of Threatened Species. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, Species Survival Commission, Red List Programme, Cambridge, UK and Gland, Switzerland. Kim, Soon-Song, Doo-Hae An, Dae-Yeon Moon & Seon-Jae Hwang, 2007. Comparison of circle hook and J-hook catch rate for target and bycatch species taken in Korean tuna longline fishery during 2005-2006. WCPFC Scientific Committee Third Regular Session 13-24 August 2007 Honolulu, United States Of America. Klawe,W.L.1980. Long-lines catches of tunas within the 200-mile Economic Zones of the Indian and Western Pacific Oceans. Dev. Rep. Indian Ocean Prog. (48): 83 pp. Pascoe,S., 1997. Bycatch management and economics of discarding. FAO Fisheries Technical Paper No. 370. Rome, FAO. 137 pp. Pauli,D., 1984. Fish population dynamics in tropical waters: A manual for use with programmable calculators. ICLARM Studies and Review. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila-Philippines. 8, 325 pp. Sainsbury,K.J., P.J. Kailola & G.G.Leyland (1985). Continental Shelf Fishes of Nothern and NorthWestern Australia. CSIRO Division of Fisheries Research-Canbera-Autralia. 375 pp. Siriraksopon, S., et.al., (2004). Standard Operation Procedures for MV.Seafdec 2. Researh Division. Southern Asian Fisheries Development Center, Training Departmen. Samut Prakarn-Thailand. 93 pp. Waston,J., D.Foster, S.Epperly & A.Shah, 2002. Experiment in the Western Atlantic Northeast Distant Water to Evaluate Sea Turtle Mitigation Measures in the Pelagic Longline Fishery. Report on Experiments Conducted in 2001. US National Marine Fisheries Service. Pascagoula, MS, USA. Waston,J., D.Foster, S.Epperly & A.Shah, 2003. Experiment in the Western Atlantic Northeast Distant Water to Evaluate Sea Turtle Mitigation Measures in the Pelagic Longline Fishery. Report on Experiments Conducted in 2001 and 2002. US National Marine Fisheries Service. Pascagoula, MS, USA.
283
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284
Waston J.,B.Hattaway & C. Bergmann, 2003. Effect of Hook Size on investigation of Hooks by Loggerhead Sea Turtle. US National Marine Fisheries Service. Pascagoula, MS, USA.
284
Widodo, A.A., Budi Nugraha, Fayakun Satria & Abram Barata, 2011. Species composition and size distribution of billfish caught by Indonesian tuna long-line vessels operating in the Indian Ocean. Presented on IOTC-Ninth Working Party on Billfish, di Seychelles, 4–8 July 2011.
Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)
KERAGAMAN GENETIK IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI SAMUDERA HINDIA Budi Nugraha, Dian Novianto dan Abram Barata Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa Teregistrasi I tanggal: 11 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 September 2011; Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011; ABSTRAK Informasi kondisi populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia belum banyak diketahui. Hal ini dapat diprediksi melalui pendekatan dengan menggunakan analisis DNA. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dan struktur populasi ikan tuna mata besar dari perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara, dan barat Sumatera. Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret sampai November 2010 berlokasi di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara, dan barat Sumatera. Pengumpulan sampel jaringan (sirip) ikan tuna mata besar dilakukan oleh observer di atas kapal tuna longline. Nilai keragaman haplotipe (genetik) yang diperoleh adalah 0,8267 untuk kelompok sampel 1 dan 0,7766 untuk kelompok sampel 2 dengan nilai rata-rata keragaman genetik adalah 0,8017. Jarak genetik antara kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 0,0038. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik menunjukkan bahwa kelompok sampel ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi menjadi dua kelompok populasi (subpopulasi), yaitu kelompok pertama terdiri dari ikan tuna mata besar yang berasal dari Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan kelompok kedua yang berasal dari Samudera Hindia barat Sumatera.
KATA KUNCI:
keragaman genetik, ikan tuna mata besar, Samudera Hindia
ABSTRACT:
Genetic Diversity of Bigeye Tuna (Thunnus obesus) in Indian Ocean. By: Budi Nugraha, Dian Novianto and Abram Barata
Information of bigeye tuna population condition in Indian Ocean has been not known. This can be predicted through the approach of using DNA analysis. This study aimes to obtain information on genetic diversity and population structure of the bigeye tuna from the Indian Ocean south of Java and Nusa Tenggara, and West Sumatra. Sampling bigeye tuna conducted in March until November 2010 is located in the Indian Ocean south of Java and Nusa Tenggara, and West Sumatra. The samples (fin) of bigeye tuna was collected by the observers on board tuna longline. Value of haplotype diversity (genetic) obtained was 0.8267 for the sample group 1 and 0.7766 for sample group 2 with an average was 0.8017. Genetic distance between sample groups of bigeye tuna in the Indian Ocean was 0.0038. Dendrogram established based on genetic distance shows that the group of bigeye tuna observed can be divided into two groups of populations (subpopulations), the first group consisted of bigeye tuna from the Indian Ocean south of Java and Nusa Tenggara, while the second group was from the Indian Ocean west of Sumatra.
KEYWORD:
genetic diversity, bigeye tuna, Indian Ocean
PENDAHULUAN Keragaman hayati mencakup area yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi sampai dengan spesies. Keragaman genetik merupakan cerminan keragaman di dalam spesies yang secara umum disebut subspesies. Terminologi sumber daya genetik diartikan untuk merefleksikan adanya keragaman genetik di dalam satu spesies sampai pada tingkat DNA (Soewardi, 2007). ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Jln. Pelabuhan Benoa-Bali
Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini dikarenakan setiap gen memiliki respon yang berbedabeda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Ryman & Utter, 1987).
285
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292
Klarifikasi tentang struktur populasi di alam merupakan informasi yang penting untuk pendugaan pengelolaan populasi. Pengumpulan informasi atau data dasar genetik dari suatu spesies merupakan syarat awal yang diperlukan untuk menentukan keragaman (variasi) genetik atau kekerabatan yang dimiliki. Dengan diketahuinya keragaman genetik masing-masing spesies, akan sangat membantu baik untuk membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan maupun konservasi dari sumber-sumber genetik di alam, termasuk ikan tuna. Klarifikasi tentang kondisi populasi ikan tuna mata besar yang ada di perairan Samudera Hindia masih sangat sedikit. Penelitian mengenai kondisi populasi ikan tuna mata besar yang berasal dari perairan Samudera Hindia telah dilakukan oleh Appleyard et al. (2002) dan Chiang et al. (2008), namun hanya ada satu penelitian mengenai kondisi populasi ikan tuna mata besar yang telah dilakukan oleh Indonesia, khususnya di perairan Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara yaitu pada tahun 2009 (Nugraha, 2009). Informasi kondisi populasi ikan tuna mata besar dapat diprediksi melalui pendekatan dengan menggunakan analisis DNA, sehingga akan memberikan informasi yang valid dan membantu pemerintah dalam pengelolaannya.
ikan tuna mata besar dari perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara dan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret sampai November 2010 berlokasi di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara (WPP 573), dan Samudera Hindia barat Sumatera (WPP 572). Lokasi daerah penangkapan kapal tuna longline yang diamati berada di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara pada posisi geografis 8,962o15,035o LS – 110,150o-120,475o BT dan Samudera Hindia barat Sumatera pada posisi geografis 2,035o3,263o LS – 97,209o-100,503o BT (Gambar 1). Pengumpulan sampel sirip ikan tuna mata besar dilakukan oleh observer di atas kapal tuna longline. Sampel ikan tuna mata besar yang diperoleh dipotong bagian ujung sirip ekornya (caudal fin) kemudian disimpan ke dalam botol sampel yang telah diisi larutan pengawet (alkohol 96%). Setiap satu botol untuk satu ekor ikan sampel. Adapun sampel yang dianalisis berjumlah 144 sampel.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dan struktur populasi
5°
200 m
Latitude
0°
LAUT JAWA
-5°
50 m 200 m
WPP 572
-10°
SAMUDERA HINDIA WPP 573 -15° 95°
100°
105°
110°
115°
120°
Longitude
Gambar 1. Figure 1.
286
Lokasi pengambilan sampel ikan tuna mata besar. Sampling sites bigeye tuna.
125°
Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)
Analisis Sampel
Jab
Analisis sampel dilakukan dengan menggunakan metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) DNA mitokondria. Metode RFLP umumnya menggunakan bantuan enzim restriksi (Sianipar, 2003). Ada beberapa tahapan dalam melakukan analisis sampel, yaitu (1) ekstraksi DNA, (2) amplifikasi daerah mtDNA dengan menggunakan primer Pro-5 (CAC GAC GTT GTA AAA CGA CCT ACC YCY AAC TCC CAA AGC), dan primer 12SAR (GGA TAA CAA TTT CAC ACA GGG CAT AGT GGG GTA TCT AAT CC), (3) restriksi mtDNA dengan menggunakan enzim-enzim TaqI, Hin6 I, Mbo I dan Rsa I, dan (4) visualisasi hasil restriksi diamati dengan UV illuminator dan dicetak gambarnya dengan polaroid. Analisis Data
n h = n (1− ∑ X i2) n −1 i = 1
……………………(1
dimana : h = keragaman haplotipe n = jumlah sampel Xi = frekuensi haplotipe sampel ke-i Kekerabatan antar populasi ditentukan berdasarkan parameter Jarak Genetik (Nei, 1972) dan analisis statistik terhadap perbedaan situs restriksi. Jarak Genetik dihitung menurut Nei (1978) dengan persamaan:
Jab D=−ln[ ] 0 , 5 {(JaxJb) } dimana : D = jarak genetik
-
…..............................(2
Derajat perbedaan molekuler haplotipe di antara populasi diduga dengan menggunakan Analysis of Moleculer Varians (AMOVA) dan uji jarak berpasangan (Fst) dengan persamaan:
Fst = 1− ( H w ) Hb
…..…………………………(3
dimana : Fst = indeks diferensiasi Hw = rata-rata perbedaan intra populasi Hb = rata-rata perbedaan antar populasi -
Data komposit haplotipe dianalisis untuk mendapatkan parameter genetik, struktur populasi dan hubungan filogenetik antar populasi: - Tingkat keragaman genetik diukur berdasarkan indek keragaman haplotipe (h) dihitung dengan memanfaatkan data distribusi-frekuensi haplotipe (nukleomorf) berdasarkan Nei &Tajima (1981) dengan persamaan:
-
= frekuensi haplotipe pada lokus dengan populasi yang sama Ja & Jb = frekuensi haplotipe pada populasi A dan B
Hubungan filogenetik di antara populasi digambarkan dalam bentuk dendrogram melalui clustering nilai jarak genetik menurut metode jarak rata-rata.
Perhitungan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak TFPGA (Tools for Population Genetics Analysis) (Miller, 1997). HASIL DAN BAHASAN Amplifikasi dan Pemotongan dengan Enzim Restriksi Hasil amplifikasi D-Loop mtDNA pada ikan tuna mata besar dengan menggunakan primer Pro-5 (CAC GAC GTT GTA AAA CGA CCT ACC YCY AAC TCC CAA AGC), dan primer 12SAR (GGA TAA CAA TTT CAC ACA GGG CAT AGT GGG GTA TCT AAT CC) menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 1.500 bp (base pairs) pada semua sampel ikan tuna mata besar (Gambar 2). Keragaman jumlah situs dan ukuran fragmen restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil restriksi mtDNA dengan empat enzim adalah 12 tipe restriksi yaitu Taq I dengan enam tipe restriksi A, B, C, D, E dan F (Gambar 3a), Hin6 I dengan satu tipe restriksi A (Gambar 3b), Mbo I dengan dua tipe restriksi A, B (Gambar 3c) dan Rsa I dengan tiga tipe restriksi A, B, C (Gambar 3d).
287
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292
1.500 bp
1.000 bp 500 bp
100 bp
Gambar 2. Figure 2.
Fragmen tunggal mtDNA hasil amplifikasi PCR ikan tuna mata besar. Single fragment of mtDNA results of PCR amplification of bigeye tuna.
a
Gambar 3. Figure 3.
b
d
Tipe restriksi dengan enzim Taq I: A B C D E F (a), Hin6 I: A (b), Mbo I: A, B (c) dan Rsa I: A, B, C (d). Type of restriction with the enzyme Taq I: A B C D E F (a), Hin6 I: A (b), Mbo I: A, B (c) and Rsa I: A, B, C (d).
Penggunaan empat enzim restriksi dalam penelitian ini guna mengukur keragaman genetik suatu populasi telah menunjukkan suatu variabilitas yang tinggi, walaupun idealnya lebih banyak enzim lebih baik. Hasil pemotongan yang menunjukkan ukuran panjang fragmen berbeda akan memberikan tipe pemotongan (haplotipe) yang berbeda pula. Tipe pemotongan yang berbeda pada setiap individu dalam suatu populasi maupun antara populasi dapat disebabkan oleh terjadinya pergantian, penambahan
288
c
atau hilangnya basa tertentu pada urutan pasangan basa, D-Loop region mtDNA-nya sehingga enzim tertentu tidak memotong pada situs yang sama. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran situs pemotongan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan urutan pasangan basa pada individu yang mempunyai tipe pemotongan basa yang berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman genetik di dalam populasi dan antara populasi. Menurut Sumantadinata, (1982) keragaman genetik
Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)
antar populasi merupakan hasil interpretasi dari isolasi secara fisik dan terhalang secara ekologis, terpisah jauh secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah. Secara umum keragaman genetik suatu populasi akan mempengaruhi respon populasi terhadap seleksi alam dan seleksi buatan yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik. Hal ini dikarenakan setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari individu-individu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang sangat dekat (Ryman & Utter, 1987). Keragaman Haplotipe (Haplotype Diversity) Hasil pemotongan produk PCR dengan menggunakan empat enzim restriksi menghasilkan 12 komposit haplotipe mtDNA D-Loop region dimana 10 komposit terdapat pada kelompok sampel 1 dan 8 pada kelompok sampel 2. Tipe komposit haplotipe yang diperoleh tersaji pada Tabel 1. Hasil penelitian keragaman genetik ikan tuna mata besar yang dilakukan oleh Bremer et al. (1998) di perairan Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menunjukkan bahwa ikan tuna mata besar dari tiga perairan tersebut memiliki 13 komposit haplotipe, dimana pada Samudera Hindia memiliki 5 komposit haplotipe. Hasil analisis komposit haplotipe di perairan Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara oleh Nugraha, (2009) menghasilkan 23 komposit haplotipe pada seluruh kelompok sampel. Jumlah terendah yang diamati adalah 7 komposit haplotipe dan jumlah tertinggi 12 komposit haplotipe. Komposit haplotipe AAAA, AAAB, AAAC, AACA, ABAB dan AAAD terdistribusi pada semua kelompok sampel. Keenam komposit haplotipe tersebut dapat dikatakan sebagai komposit haplotipe utama (major composite haplotypes) karena keduanya terdapat pada kedua kelompok sampel tersebut. Komposite haplotipe AABA, AACB, AABB dan ABAA hanya terdistribusi pada kelompok sampel 1, sedangkan komposite haplotipe AAAE dan AAAF hanya terdistribusi pada kelompok sampel 2. Keenam komposite haplotipe tersebut merupakan haplotipe umum (common haplotype) karena hanya terdapat pada masing-masing kelompok sampel.
Komposit haplotipe AAAB merupakan komposite haplotipe tertinggi dan ditemukan pada kelompok sampel 2 sebesar 36% dan kelompok sampel 1 sebesar 29%. Komposit haplotipe AAAA ditemukan pada kelompok sampel 2 sebesar 29%, sedangkan pada kelompok sampel 1 sebesar 26%. Tabel 1.
Table 1.
Frekuensi haplotype dari mt-DNA Dloop region ikan tuna mata besar yang direstriksi dengan menggunakan 4 enzim yaitu Taq I, Hin6 I, Mbo I dan Rsa I. Haplotype frequency of mt-DNA D-loop region of bigeye tuna by using 4 enzymes namely Taq I, Hin6 I, Mbo I and Rsa I.
Tipe komposit haplotipe 1 AAAA 2 AABA 3 AAAB 4 AAAC 5 AACA 6 AACB 7 AABB 8 ABAB 9 ABAA 10 AAAD 11 AAAE 12 AAAF Jumlah tipe komposit haplotipe Keragaman haplotipe
No
Frekuensi haplotipe (%) Kelompok sampel 1 Kelompok sampel 2 0,26 0,29 0,08 0,29 0,36 0,03 0,04 0,03 0,04 0,03 0,10 0,05 0,11 0,05 0,08 0,11 0,04 0,04 10
8
0,8267
0,7766
Nilai keragaman haplotipe yang diperoleh adalah 0,8267 untuk kelompok sampel 1 dan 0,7766 untuk kelompok sampel 2 (Tabel 1) dengan nilai rata-rata keragaman genetik (haplotipe) adalah 0,8017. Tingkat keragaman genetik, yang ditunjukkan dengan jumlah maupun keragaman haplotipe, pada ikan tuna mata besar yang diamati setara dengan jumlah haplotipe ikan laut lainnya yang berjumlah antara 6-17 dengan nilai keragaman 0,600-0,900 (Nugroho, 2001). Nilai keragaman genetik rata-rata adalah 0,8017. Nilai ini sedikit lebih rendah dibandingkan nilai keragaman rata-rata ikan tuna sirip kuning yaitu 0,857 (Permana et al., 2007), namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nugraha, (2009) dimana keragaman genetik rata-rata yang diperoleh adalah 0,6937. Relatif tingginya keragaman haplotipe pada ikan tuna mata besar ini memberikan indikasi bahwa keadaan populasinya belum banyak terganggu khususnya kelompok sampel 1 (Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara). Selain itu, keadaan ini juga menunjukkan bahwa ikan tuna mata besar
289
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292
mempunyai tingkat migrasi yang lebih tinggi dibandingkan ikan air laut lainnya sehingga peluang untuk adanya persilangan dengan populasi yang lainnya semakin besar pula (Wild, 1994). Keragaman haplotipe terkecil, yaitu 0,7766 terdapat pada ikan tuna mata besar kelompok sampel 2 (Samudera Hindia barat Sumatera). Fenomena ini mengindikasikan bahwa ikan tuna mata besar dari kelompok sampel 2 mempunyai keragaman genetik yang sedikit rendah dan memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan kelompok sampel lainnya. Leary et al., (1985), menyatakan bahwa rendahnya keragaman genetik akan mengakibatkan munculnya sifat-sifat negatif, antara lain menurunnya pertumbuhan, keragaman ukuran, kestabilan perkembangan organ, tingkat kelangsungan hidup, serta adaptasi terhadap perubahan lingkungannya.
Table 3. Table 3.
Kelompok Sampel 1 Kelompok Sampel 2
Jarak genetik antara ikan tuna mata besar di Samudera Hindia. Genetic distance between bigeye tuna in Indian Ocean. Kelompok Sampel 1
Kelompok Sampel 2
xxxxxxxxx
0,0038 xxxxxxxxx
Jarak Genetik Berdasarkan uji perbandingan nilai Fst antar kelompok sampel dengan menggunakan program TFPGA tercatat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok sampel 1 dengan kelompok sampel 2. Hasil uji keragaman antara dua kelompok sampel ikan tuna mata besar dengan metode jarak berpasangan (Fst) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Table 2.
Kelompok Sampel 1 Kelompok Sampel 2
Uji berpasangan (Fst) antara kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia. Fst test between sample groups of bigeye tuna in Indian Ocean. Kelompok Sampel 1
Kelompok Sampel 2
xxxxxxxxx
0,0212* xxxxxxxxx
Keterangan : *= beda nyata pada taraf p<0,05
Jarak genetik dan dendrogram hubungan kekerabatan antar kelompok sampel (filogeni) pada dua kelompok sampel ikan tuna mata besar menurut metode UPGMA menggunakan program TFPGA disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 4. Jarak genetik antara kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 0,0038.
290
Gambar 4.
Figure 4.
Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) dua kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia. Phylogeny dendrogram of two groups of samples bigeye tuna in Indian Ocean.
Jarak genetik dan dendrogram hubungan kekerabatan antar kelompok sampel (filogeni) pada dua kelompok sampel ikan tuna mata besar menurut metode UPGMA menggunakan program TFPGA disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 4. Jarak genetik antara kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 0,0038. Makin kecil nilai jarak genetik yang diperoleh, maka makin dekat pula keragaman kedua kelompok sampel tersebut, demikian juga sebaliknya. Ikan tuna mata besar dari kelompok sampel 1 (Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara) memiliki jarak genetik yang sangat rendah dengan kelompok sampel 2 (Samudera Hindia barat Sumatera). Nilai jarak genetik yang rendah antara kelompok sampel 1 dan 2, menunjukkan kedekatan kelompok-kelompok sampel tersebut. Diduga kedua kelompok sampel tersebut secara geografis tidak terbatas antara satu dengan yang lainnya. Keadaan ini menyebabkan proses migrasi dan pertukaran gen antar kelompok sampel terjadi. Nilai jarak genetik pada ikan tuna mata besar ini relatif lebih setara dibandingkan jarak genetik antara ikan dari populasi yang terdiri dari sub-spesies yang sama, seperti pada king fish (Nugroho et al., 2001).
Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)
Struktur Populasi
pertama terdiri dari ikan tuna mata besar yang berasal dari Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan kelompok kedua yang berasal dari Samudera Hindia barat Sumatera (Gambar 5). Perbedaan nilai jarak genetik antar kelompok sampel menunjukkan hal tersebut.
Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik menunjukkan bahwa kelompok sampel ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi menjadi dua kelompok populasi (subpopulasi), yaitu kelompok
5°
200 m
Latitude
0°
LAUT JAWA
-5°
50 m 200 m
-10°
SAMUDERA HINDIA
-15° 95°
100°
105°
110°
115°
120°
125°
Longitude
Gambar 5. Figure 5.
Struktur populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia berdasarkan jarak genetik. Population structure of bigeye tuna in Indian Ocean based on genetic distances.
Nilai jarak genetik kelompok sampel 1 sangat dekat dengan kelompok sampel 2 (Tabel 3). Struktur populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia ini ditunjukkan oleh nilai-nilai Fst yang diperoleh melalui metode jarak berpasangan. Kelompok sampel 1 berbeda nyata dengan kelompok sampel 2 (Tabel 2). Terdapatnya dua kelompok populasi (subpopulasi) ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia diduga karena ikan tuna mata besar yang ada di perairan tersebut berasal dari dua perairan, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Subpopulasi yang terdapat di perairan Samudera Hindia barat Sumatera diduga merupakan stok yang berasal dari Samudera Hindia, sedangkan subpopulasi yang terdapat di perairan Samudera Hindia diduga merupakan stok yang berasal dari Samudera Pasifik. Studi struktur populasi berdasarkan analisis mtDNA pada sepesies yang sama di perairan Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menunjukkan bahwa populasi ikan tuna mata besar di perairan-perairan tersebut terbagi menjadi 2
populasi; yaitu populasi 1 berasal dari Samudera Atlantik, sedangkan populasi 2 berasal dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Bremer et al. 1998; Chiang et al. 2006; 2008). Data yang diperoleh dari penandaan (tagging) ikan tuna mata besar menunjukkan beberapa spesies tersebut melakukan perjalanan jauh tetapi tidak menunjukkan perjalanan lintas samudera (Appleyard et al. 2002). Perjalanan lintas Samudera Atlantik ikan tuna mata besar telah dicatat oleh Pereira (1995), diacu dalam Appleyard et al. (2002), namun sejauh ini diketahui bahwa tidak ada bukti ikan-ikan tuna mata besar yang telah diberi penandaan berenang di antara Samudera Atlantik dan Samudera Hindia. KESIMPULAN 1. Dua kelompok sampel ikan tuna mata besar di Samudera Hindia berhasil dianalisis menunjukkan bahwa keragaman genetik yang dimiliki relatif tinggi. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa populasi ikan tuna mata besar belum banyak mengalami gangguan.
291
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292
2. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik menunjukkan bahwa kelompok sampel ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi menjadi dua kelompok populasi (subpopulasi), yaitu kelompok pertama terdiri dari ikan tuna mata besar yang berasal dari kelompok sampel Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan kelompok kedua yang berasal dari kelompok sampel Samudera Hindia barat Sumatera. Kedua subpopulasi Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara dan barat Sumatera diduga masing-masing merupakan populasi yang berasal dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. DAFTAR PUSTAKA Appleyard SA, RD Ward, & PM Grewe. 2002. Genetic stock structure of bigeye tuna in the Indian Ocean using mitochondrial DNA and microsatellites. Journal of Fish Biology 60:767-770. Chiang HC, CC Hsu, GCC Wu, SK Chang, & HY Yang. 2006. Population structure of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the South China Sea, Philippine Sea and western Pacific Ocean inferred from mitochondrial DNA. Fisheries Research 79:219225. Chiang HC, CC Hsu, GCC Wu, SK Chang, HY Yang. 2008. Population structure of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Indian Ocean inferred from mitochondrial DNA. Fisheries Research 90:305312. Leary, R. F., F. W. Allendorf & K. L. Knudsen. 1985. Development instability and high meristic counts in interspecific hybrid of salmonid fishes. Evolution 39(6):1318-1326. Miller, M.P. 1997. Tools for Population Genetic Analyses (TFPGA} version 1.3. Department of Biological Sciences-Box 5640. Northern Arizona University. Nei, M. 1972. Genetic distance between populations. American Nature 106:283-292. Nei, M. 1978. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press.
292
Nei, M. & F. Tajima. 1981. DNA Polymorphism detectable by restriction endonucleases. Genetics 97:145-163. Nugraha, B. 2009. Studi tentang genetika populasi ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) hasil tangkapan tuna longline yang didaratkan di Benoa. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Nugroho, E., Ferrel D.J., Smith P. & Taniguchi N. 2001. Genetic divergence of Kingfish from Japan, Australia and New Zealand Inferred by microsatellite DNA and mitochondrial DNA control region markers. Journal Fisheries Science 67:843850. Permana, G.N., J.H. Hutapea, Haryanti & S.B.M. Sembiring. 2007. Variasi genetik ikan tuna sirip kuning, Thunnus albacares dengan analisis elektroforesis Allozyme dan Mt-DNA. Jurnal Riset Akuakultur 2(1):41-50. Ryman, N. & F. Utter. 1987. Population Genetics and Fishery Management. London: Washington Sea Grant Program. Sianipar, N. F. 2003. Penggunaan marker RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dalam pemuliaan tanaman. Makalah Pribadi. Pengantar ke Falsafah Sains. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soewardi, K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumber daya Perikanan dan Kelautan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sumantadinata, K. 1982. Population genetics analysis of black sea beam using biochemical markers. Tesis. Department of Cultural Fisheries, Faculty of Agriculture Kochi University. Suda, A. 1971. Tuna fisheries and their resources in the IPFC area. IPFC Procs. 14(2):36-61. Wild, A. 1994. A review of the biology and fisheries for yellowfin tuna, Thunnus albacares, in the eastern Pacific Ocean. FAO Fish. Tech. Pop. 336:52-107.
Percobaan Penangkapan Ikan Karang………………. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)
PERCOBAAN PENANGKAPAN IKAN KARANG DENGAN MENGGUNAKAN FYKE NET MODIFIKASI DI PERAIRAN SELAYAR Syawaluddin Soadiq1, Ari Purbayanto2, Indra Jaya2 1
Dosen pada Jurusan Perikanan dan Tim Peneliti Pusat Kajian Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Muhammadiyah Makassar 2 Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Teregistrasi I tanggal: 22 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 29 November 2011
ABSTRAK Fyke net umumnya dioperasikan di sungai dan danau memerangkap ikan yang tergiring oleh jaring pemandu disaat ikan berusaha berenang melawan arus. Fyke net yang dioperasikan di terumbu karang disesuaikan dengan sifat ikan yang secara sukarela masuk kantong fyke net sehingga modifikasi bagian-bagiannya perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas fyke net modifikasi untuk menangkap ikan target dan menganalisis hasil tangkapan terkait dengan aspek keramahan lingkungan. Penelitian dilakukan dengan uji coba penangkapan ikan menggunakan 2 tipe disain fyke net modifikasi yaitu tipe A (sayap dengan serambi) dan tipe B (sayap tanpa serambi). Jumlah individu ikan hasil tangkapan total (ekor) berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A dan tipe B (A > 2,96*B). Berat total (gram) ikan hasil tangkapan juga berbeda sangat nyata antara tipe fyke net A dan tipe B (A > 5,19*B). Jumlah individu hasil tangkapan ikan karang target berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A dan tipe B (A > 15,50*), demikian pula berat ikan karang hasil tangkapan berbeda sangat nyata antara tipe fyke net A dan tipe B (A > 10,56*B), akan tetapi hasil tangkapan ikan non-target antara fyke net tipe A dan B tidak menunjukkan perbedaan. Modifikasi bagian sayap fyke net dengan menambahkan serambi telah meningkatkan hasil tangkapan secara nyata baik dari segi jumlah (ekor) maupun berat (gram). Rancangan fyke net sayap dengan serambi telah meningkatkan hasil tangkapan berdasarkan jumlah individu dan berat ikan karang target namun tidak menunjukkan peningkatan secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan ikan non-target yang merupakan komponen tangkapan sampingan (by-cacth). Penggunakan fyke net modifikasi efektif menangkap ikan karang target dan selektif terhadap ikan non-target. KATA KUNCI :
percobaan penangkapan, modifikasi fyke net, sayap berserambi, efektivitas, ikan karang
ABTRACT :
Experiment on Reef Fish Capture by Using Modified Fyke Nets in Selayar Waters. By : Syawaluddin Soadiq, Ari Purbayanto and Indra Jaya
Fyke net as a passive gear is commonly operated stationary or moved in river, lake and estuarin waters. Fish to become entrapped by using net leader that guiding fish when swimming againts current and finally move into bunt end of fyke net. Reef fish have different characteristic on fyke net interaction which was voluntary trapped on gear, then for this reason the modification of fyke net to catch reef fish is properly needed. This research is to determine effectiveness of modified fyke net on target catch of reef fish and to analyze catch of modified fike net in order to achieve friendly environmental level. This experiment was using two designs of modified fyke net (type-A of chambered wing, type-B of nonchambered wing). Both fyke nets used was simultaneously operated at 25 m distance to sample reef fish in two locations. The fyke nets fished 24 hours then repeated 7 times for each location. The result showed that the reef fish as the target catch was dominant in their weight. While, the reef fish as the non-target catch was dominant in their number. Total catch of fyke net A was significantly higher (2.96 times) than that fyke net B. Moreover, the number of reef fish as the target catch of fyke net A was significantly higher (15.50 times) than that fyke net B. The weight of reef fish as the target catch of fyke net A was significantly higher (10.56 times) than fyke net B. But, there was no significantly different between fyke net A and B on reef fish as non-target catch. Design of modified fyke nets A was effective to catch reef fish as target catch and selective to catch non-target reef fish. KEYWORD :
fishing experiment, modified fyke nets, target catch, chambered wing, effectiveness, reef fish
PENDAHULUAN Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang _____________________ Korespondensi Penulis : Jl. Sultan Alauddin 259, Makassar, Sulawesi Selatan Telepon: (0411) 866972. Faks.: (0411) 86558
tropis yang terdapat di Taman Nasional Laut Taka Bonerate. Terumbu karang tropis tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan interaksi antar spesies yang beragam, juga merupakan daerah potensial untuk tereksploitasi dari berbagai kegiatan
293
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300
manusia. Keberadaan beberapa spesies ikan karang target dengan nilai ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, ekor kuning, kakap, lencam, ikan hias merupakan faktor penyebab tingginya upaya eksploitasi ekosistem ini. Pada batas yang tidak terkendali eksploitasi di kawasan terumbu karang akan mengakibatkan kerusakan serius pada konsistensi koloni dan biodiversitasnya. Upaya eksploitasi di kawasan terumbu karang diantaranya adalah aktivitas penangkapan ikan yang berpotensi secara nyata terhadap kerusakan pada terumbu karang melalui penggunaan bahan peledak dan bahan pembius ikan (potassium sianida). Pratt (1996) melaporkan ion sianida di air laut menjadi penghambat penyerapan oksigen ke sel polyp karang, anakan ikan, indukan yang siap memijah dan oleh karena itu menjadi sangat rentan mengalami kematian. Hasil penelitian P2O-LIPI menunjukkan terumbu karang di Indonesia rusak berat 39,5 %; rusak sedang 33,5 %; baik 21,7 % dan 5,3% sangat baik (COREMAP, 2001). Degradasi terumbu karang di Indonesia cenderung mengalami penurunan biodiversitas generik dengan penyebab utama adalah polusi dari daratan dan kegiatan penangkapan yang merusak (destructive fishing) (Edinger et al., 1998). Salah satu upaya untuk mengurangi laju kerusakan terumbu karang akibat penggunaan bahan peledak dan sianida adalah dengan merancang alat dan metode penangkapan alternatif yang dapat menjamin konsistensi koloni karang dan kelestarian biodiversitasnya. Uji coba penggunaan alat tangkap fyke net yang dimodifikasi diharapkan dapat menjadi metode alternatif mengingat prinsip pengoperasiannya yang bersifat pasif dan selektif. BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Data diperoleh melalui interview tentang keadaan umum masyarakat, pengukuran parameter umum oseanografi perairan di sekitar lokasi penelitian, dan pengukuran ikan hasil tangkapan fyke net. Selain itu data deskriptif proses setting dan hauling yang terkait dengan keramahan fyke net terhadap terumbu karang selama pengoperasiannya juga dicatat. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2009 bertempat di perairan sekitar Desa Parak Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Lokasi pemasangan alat tangkap berada pada posisi 6º05’21" sampai 6º05’24" LS dan 120º23’24" sampai 120º23’54" BT. Percobaan penangkapan dilakukan dengan membuat 2 rancangan fyke net modifikasi yaitu tipe A (sayap dengan serambi) dan tipe B (sayap tanpa serambi).
294
Pengoperasian fyke net terdiri atas 3 tahap yaitu: (1) penarikan fyke net dari tepi pantai menuju ke daerah penangkapan ikan (fishing ground); (2) pemasangan alat (setting) pada tubir karang, dan (3) pengangkatan alat (hauling) untuk mengambil hasil tangkapan atau memindahkan ke fishing ground lain. Trip operasi penangkapan dengan fyke net pada lokasi yang sama secara bersamaan dengan jarak pemasangan antar fyke net sejauh 25 m. Pengoperasian fyke net dilakukan pada dua lokasi fishing ground. Trip dilakukan selama 24 jam (1 hari) dengan perincian 1 jam perjalanan, ½ jam pemasangan alat (setting), ½ jam penarikan alat (hauling) untuk mengambil hasil tangkapan, dan 22 jam lama perendaman (soaking time) di lokasi penangkapan. Pemasangan fyke net di kedua lokasi dilakukan sebanyak 7 kali trip sehingga trip keseluruhan diperoleh sebanyak 14 kali. Analisis Data Data hasil tangkapan dianalisis secara statistik dengan menggunakan F-test two sample untuk membandingkan hasil tangkapan setiap trip fyke net tipe A dan tipe B dengan bantuan program Microsoft Excel 2003. Uji F dilakukan pada hasil tangkapan setiap trip fyke net tipe A dan tipe B menggunakan data jumlah individu dan berat ikan keseluruhan. Selanjutnya Uji F dilakukan pada hasil tangkapan setiap trip fyke net tipe A dan tipe B menggunakan data jumlah individu dan berat ikan karang target, dan ikan non-target. HASIL DAN BAHASAN Keadaan Umum Perairan di Lokasi Penelitian Perairan lokasi penelitian terdiri atas padang lamun yang menyebar sekitar 10 - 500 m dari garis pantai. Terumbu karang menyebar sekitar 100 - 700 m dari garis pantai dengan tubir pada kedalaman 5 – 25 m. Perairan relatif subur sehingga memungkinkan kelimpahan ikan tinggi. Penangkapan ikan oleh nelayan setempat dengan menggunakan sero, jaring insang, rawai dasar, pancing tonda dan tombak. Pengoperasian Fyke Net Modifikasi Disain fyke net yang dioperasikan adalah modifikasi fyke net pada sayap dengan membuat ruang tambahan sehingga membentuk serambi berbentuk huruf V (Gambar 1). Dimensi serambi terdiri atas rangka depan 3 buah (kanan, tengah dan kiri) yang berukuran tinggi 180 cm dan lebar 150 cm. Pertimbangan tinggi rangka serambi tersebut berdasarkan sifat ikan karang yang berenang pada kisaran 0 m sampai kurang dari 2 m dari dasar perairan
Percobaan Penangkapan Ikan Karang………………. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)
(Holzman et al., 1997) sehingga peluang ikan untuk berenang di sekitar cakupan celah serambi sangat besar dan memperkecil peluang ikan berenang di atas fyke net. Bagian serambi dilengkapi dengan celah yang membentuk corong mengarah ke dalam dengan lebar 20 cm dan tinggi 150 cm. Celah ini berfungsi untuk mengarahkan ikan masuk ke dalam serambi dan sulit untuk keluar kembali (Atar et al., 2002). Modifikasi pada bagian mulut kantong fyke net dilakukan dengan menambahkan rigi-rigi (Gambar 1) yang berukuran panjang 60 cm dan tinggi 40 cm dipasang pada rangka ke-2 kantong. Rigi-rigi dipasang agar menyulitkan ikan untuk meloloskan diri keluar dari kantong. Material utama penyusun fyke net yang berat dan keberadaan fouling (material penempel) pada jaring berdampak terhadap pengoperasian fyke net terutama saat setting dan hauling yang
membutuhkan tenaga yang besar untuk mengangkat, menarik dan memindahkan fyke net. Oleh karena itu, penggunaan material penyusun fyke net yang terbuat dari bahan yang ringan dan mengurangi fouling perlu dipertimbangkan. Dimensi fyke net yang relatif besar dengan ukuran panjang 9 m, tinggi 1,8 m dan lebar 2 m membutuhkan penanganan khusus dalam pengoperasiannya. Fyke net sebelum di-setting terlebih dahulu ditarik dari pantai menuju ke fishing ground. Demikian pula pengoperasian yang dilakukan secara berpindahpindah, fyke net ditarik dengan posisi di bawah perahu yang menimbulkan gesekan pada air yang dapat memperlambat laju dan olah-gerak perahu penarik. Posisi penarikan alat di bawah perahu memperbesar resiko kapal tersangkut karena membutuhkan jarak lebih besar terhadap dasar perairan.
Celah masuk ikan Serambi
C
A
Sayap
B
Gambar 1. Figure 1.
Ilustrasi (dari atas) fyke net dengan serambi (A), tanpa serambi (B), rigi-rigi (C) Illustration (top view) of fyke net with chamber (A), without chamber (B), frame (C)
Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dipertimbangkan penelitian lanjutan yang memodifikasi fyke net yang dapat dibongkar-pasang (portable). Konstruksi fyke net portable diharapkan lebih mempermudah dalam pengoperasian dan dapat menjadi pilihan nelayan yang masih menggunakan metode penangkapan ikan yang merusak karang. Ikan karang yang tertangkap oleh fyke net modifikasi pada bagian sayap dan mulut kantong berhubungan dengan sifat ikan karang. Pada pengoperasian fyke net diduga keberadaan ikan masuk ke serambi karena mendeteksi keberadaan alat sebagai tempat berlindung (shelter), mekanisme ini serupa dengan sifat ikan karang yang memutuskan untuk masuk ke bubu sebagai tempat berlindung seperti yang dikemukakan oleh Furevik (1994).
Keberhasilan pengoperasian fyke net selain ditentukan oleh modifikasi konstruksi juga pemilihan lokasi yang tidak pada koloni karang melainkan pada tubir karang yang memiliki areal lebih landai. Dasar perairan tubir karang tidak terdapat koloni karang sehingga ikan dapat mendeteksi keberadaan fyke net sebagai shelter. Ikan karang target dengan sifat migrasi horizontal dan vertikal pada terumbu karang menurut Spotte (1992) juga akan mudah mendeteksi keberadaan fyke net sebagai shelter (tempat berlindung) kemudian masuk ke dalam serambi dan akhirnya tertangkap. Migrasi horizontal dilakukan oleh jenis ikan karang non-target yang umumnya bersifat herbivor dan pemakan plankton yang juga ditemukan tertangkap oleh fyke net. Hal ini diduga karena ikan ini mendeteksi keberadaan fyke net juga sebagai shelter.
295
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300
Hasil Tangkapan Fyke Net Komposisi ikan tangkapan fyke net selama 14 trip terdiri atas 21 spesies yang terbagi ke dalam 11 famili dengan jumlah total ikan sebanyak 269 ekor 30 25
dengan berat total 10.535 g. Hasil tangkapan fyke net berdasarkan famili dengan berat dominan adalah Lutjanidae 2.148 g (20,39%) selanjutnya famili dengan jumlah dominan adalah Leioghnatidae 65 ekor (24,16 %) (Gambar 2).
Individu Berat
20
Persentase
15 10 5
Se rra ni da H e ae m ul id N ae em ip te rid ae M ul lid ae Le th rin id ae Lu tja ni Le da io e gh na tid A ae po go ni H da ol e oc en tri da e Pl ot os id ae Sc ar id ae
0
Famili
Persentase jumlah individu dan berat hasil tangkapan fyke net Percentage of individu number and weight of fyke net catch
Ikan target yang tertangkap dominan lebih berat (famili Lutjanidae, Lethrinidae, Serranidae, Nemipteridae, Haemullidae) karena ukurannya relatif besar dan bersifat predator (Gambar 3). Diduga ikan karang target masuk ke fyke net untuk mencari mangsa, sedangkan ikan non-target yang dominan tertangkap dengan jumlah individu dominan (famili Leioghnatidae, Apogonidae, Scaridae, Plotosidae, Holocentridae) diduga masuk ke fyke net untuk mencari perlindungan (shelter). Hal lain yang mendukung jumlah individu ikan non-target lebih dominan adalah sifat ikan ini yang membentuk kawanan (famili Leioghnatidae, Apogonidae, Plotosidae) (Allen & Swaiston, 1984) yang dalam kenyataan menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap terdiri atas 5-16 ekor dalam 7 hauling. Ikan karang target seperti jenaha (Lutjanidae), lencam (Lethrinidae), kuniran (Mullidae) diduga tertangkap karena sifat ikan yang bermigrasi keluar karang secara horizontal untuk mencari makan sehingga dapat berinteraksi dengan fyke net yang terpasang di luar karang. Interaksi ikan setelah berada di sekitar fyke net berhubungan dengan sifat tigmotaxis ikan yang cenderung mendekati bendabenda asing yang padat. Proses inilah yang kemudian menuntun ikan untuk menemukan celah menuju serambi yang akhirnya terkurung dalam kantong.
296
80
Individu
70
Berat
60
Pe rsentase
Gambar 2. Figure 2.
50 40 30 20 10 0
Ikan karang target
Gambar 3.
Figure 3.
ikan nontarget
Persentase jumlah individu dan berat ikan karang target dan non-target hasil tangkapan fyke net. Percentage of individu number and weight of targeted reef fish and nontargeted catch of fyke net
Ikan karang target tertangkap pada kisaran panjang 198-322 mm dengan berat pada kisaran 155-420 g. Hal ini menunjukkan fyke net menangkap ikan karang target pada ukuran yang layak dikonsumsi. Ikan non-
Percobaan Penangkapan Ikan Karang………………. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)
Perbandingan Hasil Tangkapan Fyke Net Tipe A dan Tipe B Fyke net tipe A (sayap dengan serambi) memperoleh tangkapan sebanyak 20 spesies yang tergolong dalam 10 famili, jumlah individu 201 ekor (74,72%) dengan berat 8.835 g (83,86 %) sedangkan fyke net tipe B (sayap tanpa serambi) memperoleh tangkapan sebanyak 8 spesies yang tergolong dalam 6 famili, jumlah individu 68 ekor (25,28%) dengan berat 1.700 g (16,14 %). Jumlah individu hasil tangkapan ikan karang berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A dan tipe B (A > 2,96*B) (Gambar 4). Selanjutnya berat ikan karang hasil tangkapan juga berbeda sangat nyata antara tipe fyke net A dan tipe B (A > 5,19*B).
Perbedaan hasil tangkapan ikan karang tipe A dan B ditinjau dari jumlah individu dan berat individu diduga berkaitan dengan perbedaan disain sayap. Disain sayap pada fyke net tipe A memiliki serambi sedangkan tipe B tidak memiliki serambi. Disain serambi pada tipe A memiliki celah pemasukan (entrance) untuk ikan dapat dengan mudah berenang masuk serambi tanpa menyadari bahwa telah terkurung pada serambi, sedangkan serambi adalah ruang yang terbentuk di dalam fyke net yang memudahkan ikan berenang-renang mengitari dinding serambi yang berakhir pada mulut kantong. Jumlah individu hasil tangkapan ikan karang target berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A dan tipe B (A > 15,50*B) (Gambar 5). Berat ikan karang hasil tangkapan juga berbeda sangat nyata antara tipe fyke net A dan tipe B (A > 10,56*B). 100 90 Individu
80
Berat
70 Persentase
target tertangkap pada kisaran panjang 71-137 mm dengan berat pada kisaran 9-155 g. Hal ini menunjukkan ikan tertangkap yang relatif berukuran kecil dengan nilai ekonomis rendah dan merupakan komponen tangkapan sampingan (by-catch) sehingga disarakan untuk memperbesar ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar dari ¾ inci (2 cm). Penggunaan ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar diharapkan akan mengurangi komponen bycatch hasil tangkapannya sehingga tetap menjaga konsistensi ekologis biodiversitas terumbu karang.
60 50 40 30
90
20 80
10
Individu
70
0
Berat
Persentase
60
A
50
Gambar 5.
40 30
Figure 5.
20 10 0 A
Gambar 4. Figure 4.
B
Persentase jumlah individu dan berat tangkapan fyke net tipe A dan B Percentage of individu number and weight of fyke net (A and B type) catch
B
Persentase jumlah individu dan berat tangkapan ikan karang target fyke net tipe A dan B Percentage of individu number and weight of targeted reef fish catch
Perbedaan hasil tangkapan ikan karang target tipe A dan B ditinjau dari jumlah individu dan berat diduga juga berkaitan dengan disain sayap. Disain sayap pada fyke net tipe A memiliki serambi sedangkan tipe B tidak memiliki serambi. Ikan karang target seperti kerapu (Serranidae) jenaha, tanda-tanda (Lutjanidae), lencam (Lethrinidae), biji nangka, kuniran (Mullidae) adalah ikan predator yang bermigrasi secara horizontal mencari mangsa di luar terumbu karang sehingga memudahkan ikan-ikan tersebut menemukan fyke net yang berada di tubir karang. Proses selanjutnya adalah interaksi ikan karang target tersebut dengan
297
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300
bagian-bagian sayap fyke net. Tipe A dengan sayap memiliki serambi membentuk area pelolosan ikan (escapement area) lebih kecil di banding dengan tipe B yang tidak memiliki serambi. Area pelolosan ikan pada tipe A hanya terdapat pada celah horizontal dengan lebar 20 cm, sedangkan area pelolosan ikan pada tipe B lebih besar yaitu pada bagian atas sayap yang tidak memiliki serambi atau ikan berenang berbalik arah menjauhi mulut kantong fyke net. Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa disain serambi lebih baik untuk menangkap ikan karang target. Hasil tangkapan ikan karang non-target fyke net tipe A dan B tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini diduga berhubungan dengan lokasi penempatan fyke net yang terletak diluar koloni karang dan sifat ikan karang non-target yang umumnya herbivora dan berenang serta mencari makan hanya di sekitar koloni karang sehingga interaksi dengan fyke net lebih rendah jika dibanding dengan ikan karang target. Dengan demikian menunjukkan bahwa penempatan fyke net di luar koloni karang tergolong upaya selektif terhadap tertangkapnya ikan karang non-target ditinjau dari segi metode pengoperasian. Ikan non-target adalah komponen tangkapan sampingan (by-catch) seperti pepetek, capungan dan kakatua yang umumnya berukuran kecil dan secara ekonomis bernilai rendah. Jika dihubungkan ikan karang non-target dengan disain fyke net menunjukkan bahwa modifikasi fyke net tidak mempengaruhi peningkatan jumlah tangkapan ikan karang non-target sehingga modifikasi yang dilakukan tergolong ramah terhadap konsistensi ekologis terumbu karang. Kriteria keramahan alat tangkap yang dikemukakan Monintja (2000) yang diacu Arifin (2008) berdasarkan hasil tangkapan sampingan menunjukkan bahwa fyke net masih menangkap ikan by-catch dengan jumlah individu 66,33 %. Optimasi dapat dilakukan dengan memperbesar ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar dari ¾ inci (2 cm). Penggunaan ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar diharapkan akan mengurangi komponen by-catch hasil tangkapannya sehingga tetap menjaga konsistensi ekologis biodiversitas terumbu karang. Kriteria keramahan Fyke Net Bila ditinjau dari segi selektivitas seperti kriteria yang dikemukakan Purbayanto et al. (2010), menunjukkan bahwa fyke net adalah alat tangkap yang masih menangkap ikan dengan jumlah 21 spesies dan variasi ukuran pada kisaran dengan
298
rentang panjang yang jauh (71-322 mm) dan rentang berat yang jauh (9-420 g). Dengan demikian optimasi yang dilakukan diarahkan kepada penurunan jumlah spesies yang tertangkap dan pada ukuran yang relatif seragam. Upaya optimasi untuk mengurangi jumlah ikan kurang dari 3 spesies hasil tangkapan fyke net agak sulit dilakukan mengingat atribut biodiversitas yang tinggi pada terumbu karang. Optimasi yang lebih memungkinkan dapat dilakukan adalah upaya menyeragamkan hasil tangkapan fyke net dengan memperbesar ukuran mata jaring > 2 cm. Kriteria keramahan alat tangkap berdasarkan hasil tangkapan sampingan menunjukkan bahwa fyke net masih menangkap ikan non-target (by-catch) dengan jumlah individu 63,20 %(Gambar 3). Kriteria keramahan fyke net masih jauh dari harapan karena menangkap dengan jumlah lebih 3 spesies dan tidak laku/harga sangat rendah di pasar seperti capungan (Apogonidae), pepetek (Leioghnathidae), kakatua (Scaridae). Keramahan fyke net dapat ditingkatkan dengan memperbesar ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar dari ¾ inci (2 cm). Penggunaan ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar diharapkan akan mengurangi komponen by-catch hasil tangkapannya sehingga tetap menjaga konsistensi ekologis biodiversitas terumbu karang. Pengoperasian fyke net dalam menangkap ikan karang dilakukan pada tubir karang yaitu daerah landai yang berada di depan tubir karang dengan variasi kedalaman 5 – 25 m. Berdasarkan observasi dengan melakukan penyelaman menunjukkan bagian-bagian fyke net dan alat bantu penangkapan tidak terjadi interaksi fisik dengan koloni terumbu karang. Hal ini didukung pula dengan pemanfaatan karung pasir sebagai pengganti jangkar untuk menahan fyke net sehingga kerusakan karang dapat dihindari. Bila ditinjau dari dampak pengoperasian alat tangkap seperti kriteria yang dikemukakan Purbayanto et al. (2011), menunjukkan bahwa fyke net adalah alat tangkap yang tidak menimbulkan kerusakan terhadap habitat terumbu karang. Oleh karena itu, pengoperasian alat tangkap fyke net untuk menangkap ikan karang berdasarkan hasil penelitian dianggap ramah terhadap lingkungan. Prinsip penangkapan fyke net adalah tergolong alat tangkap yang pasif dan memiliki serambi dan sayap untuk mengarahkan ikan masuk ke kantong. Berdasarkan hasil tangkapan fyke net menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap dalam posisi terkurung dalam kantong yang mulutnya di beri rigi-rigi penghalang. Ikan hasil tangkapan fyke net tertangkap dalam keadaan hidup dan dipindahkan ke palka sirkulasi pada perahu saat hauling. Kriteria keramahan alat tangkap yang dikemukakan
Percobaan Penangkapan Ikan Karang………………. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)
Purbayanto et al. (2010) berdasarkan kualitas ikan hasil tangkapan menunjukkan bahwa fyke net tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan karena hasil tangkapan dalam keadaan hidup yang tentunya memiliki kualitas yang tinggi. Dengan demikian pengoperasian fyke net dengan disain konstruksinya yang menjaga hasil tangkapan tetap hidup dapat dipertahankan.
menunjukkan kelemahan fyke net dari dimensi yang cukup besar untuk dilakukan operasi secara berpindah-pindah sehingga perlu penelitian lanjutan untuk merancang konstruksi yang dapat dibongkar pasang (portable). Ukuran mata jaring fyke net untuk memperkecil peluang tertangkapnya ikan karang target muda perlu diperbesar. PERSANTUNAN
Ikan hasil tangkapan dalam keadaan hidup dan tidak menimbulkan kerusakan habitat dan kematian bagi individu lain yang bukan target penangkapan. Hal ini disebabkan oleh pengoperasian fyke net yang pasif sehingga interaksi fisik bagian-bagain alat dengan terumbu karang tidak terjadi dan penempatan terumbu karang pada bagian tubir yang berada di luar terumbu karang menjamin biodiversitas terumbu karang. Rigirigi pada mulut kantong fyke net berfungsi untuk menghalangi penyu untuk tertangkap, sehingga konstruksi fyke net dapat menjamin tidak tertangkapnya hewan-hewan yang dilindungi seperti penyu. Oleh karena itu kriteria keramahan alat tangkap yang dikemukakan Purbayanto et al. (2010) berdasarkan dampak kepada biodiversitas dianggap telah ramah lingkungan ditinjau dari pengoperasian fyke net.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN
Pengadaan fyke net sebagian di bantu oleh Lembaga Pusat Kajian Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Muhammadiyah Makassar, perampungan tulisan dibantu melalui program bantuan penulisan tesis pada program Mitra Bahari COREMAP II tahun anggaran 2008. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas dukungannya.
DAFTAR PUSTAKA Allen, G.R. & R. Swainston. 1984. The Marine Fishes of North-Western Australia. A Field Guide for Anglers and Divers. Western Australian Museum. Perth. Atar HH, M. Olmez, S. Bekcan, & S. Secer. 2002. Comparison of Three Trap for Catching Blue Crap (Callinectes sapidus Rathbun 1896) in Beymelek Lagoon. Turkey. Turkish Journal Veteriner Animal Science, 26:1145-1150 http://www.tubitak.com/ turk.jour/Anim.sci/26(2002).pdf[20 Februari 2008]
1. Modifikasi bagian sayap fyke net dengan menambahkan serambi meningkatkan hasil tangkapan secara nyata dari segi jumlah dan berat. 2. Disain fyke net sayap dengan serambi meningkatkan hasil tangkapan berdasarkan jumlah individu dan berat ikan karang target dan tidak menunjukkan peningkatan secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan ikan non-target yang umumnya berukuran kecil dan merupakan komponen tangkapan sampingan (by-cacth). 3. Hasil tangkapan ikan karang target dengan menggunakan fyke net modifikasi adalah dominan berdasarkan berat terhadap ikan non-target.
Arifin, F 2008. Optimasi alat penangkapan ikan pada ikan layang (Decapterus spp) di Kabupaten Kepulauan Selayar. Tesis. IPB. Bogor.
SARAN
Holzman R, M. Ohavia, M. Vaknin, & A. Genin, 2007. Abundance and Distribution of Nocturnal Fish Over A Coral Reef During The Night. M a r. E c o l . P r o g . S e r. ( h t t p : / / www.repositories.cblib.org/postprint/3260) [14 Januari 2009]. 342. 205-215.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa kesulitan teknis dalam pengoperasian fyke net yang dimodifikasi yaitu bahan penyusun fyke nett lebih besar sehingga disarankan untuk mengganti bahan penyusun dengan bobot yang lebih ringan seperti pipa paralon yang diberi semen pengeras. Hasil penelitian
COREMAP. 2001. Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia. Coral Reef Rehabilitation and Management Program I. Jakarta. 8-21 pp. Edinger EN, J. Jompa, GV. Limmon, W. Widjatmoko, & MJ. Risk. 1998. Reef Degradation and Coral Biodiversity in Indonesia: Effect of Land-based Pollution, Destructive Fishing Practices and Changes Overtimes. Mar.Poll.Bull. 36: 617-630.
299
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300
Purbayanto A, M. Riyanto, ADP. Fitri, 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada Perikanan Tangkap. PT. IPB Press, Bogor.
Strategies to Combat it. Coastal Management in Tropical Asia. http://en.wikipedia.org/wiki/Cyanide fishing.html [27 Maret 2008]. 5:9-11.
Pratt VR. 1996. The Growing Threat of Cyanide Fishing in the Asia Pacific Region and the Emerging
Spotte S. 1992. Captive Seawater Fishes Science and Technology. A Wiley Interscience Publication. John Wiley & Sons.Inc. New York. 1-25 pp.
300