MENGENAL AL QUR’AN
1. Turunnya Wahyu Al Qur’an dan apabila engkau (Muhammad) tidak menyampaikan ayat mereka berkata: Mengapa tidak engkau Membuat sendiri ayat itu? Katakanlah (pada mereka itu): Sesungguhnya aku hanyalah mengikuti Apa yang diwahyukan kepadaku oleh Rabbku (Al Qur‟an) ini adalah bashirah (pandangan) dari Rabbmu, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Qs. 7:203) kebijakan Allah a. Allah menurunkan al qur‟an dalam dua tahap. (Qs. 27:6) Tahap yang pertama sekaligus dari Lauh Mahfud ke Baitul „Izzah (langit dunia) pada suatu malam yang disebut “malam qadar” (Qs. 97:1) atau malam yang penuh berkah (Qs. 44: 2-3). Dalam bulan Ramadhan Allah mulai menurunkan al qur‟an (Qs. 2:185). Tahap kedua secara berangsur – angsur, sedikit demi sedikit (Qs. 76:23) dari Baitul „Izzah kepada nabi Muhammad saw. Berdasarkan suatu perencanaan yang telah dipersiapkan (Qs. 17: 105-106). b. Mengutus nabi dan rasul kepada umatnya (Qs. 2:213, 16:36, 21:25, 10:47). c. Wahyu Al Qur‟an dibawa turun oleh Ruhul Amin (Qs. 26:191-192) atau Ruhul Kudus (Qs. 16:101). d. Wahyu Allah diberikan menggunakan bahasa yang dipakai oleh rosul dan kaumnya dengan maksud agar rasul-Nya bisa memberikan keterangan secara jelas dan tepat (Qs. 14:4). Dan Allah menjadikan “bahasa manusia” menjadi ayat bagi orang yang memiliki ilmu (Qs. 30:22). e. Wahyu Allah dijaga kesucian dan kemurniannya oleh Allah (Qs. 15:9) dengan mengutus nabi – nabi sebagai satu kesatuan secara berkesinambungan (Qs. 3:81). Pengetahuan Allah a. b. c. d.
Setiap ayat diturunkan dengan ilmu Allah (Qs. 4:166, 11:13-14). Al Qur‟an dijaga kebenaran isinya dan cara diturunkannya (Qs. 17:105). Setiap ayat diturunkan berdasarkan suatu perencanaan Allah (Qs. 17:106, 6:37). Setiap ayat diturunkan secara berangsur – angsur, dengan maksud agar daya tangkap Rasulullah saw. Mampu menerimanya (Qs. 25:32) sehingga tidak ada satu ayatpun yang telah dibacakan kepadanya terlupakan (Qs. 87:6) e. Allah menjadikan bahasa manusia sebagai ayat bagi orang – orang yang memiliki ilmu (Qs. 30:22).
2. Penyusunan Kembali Al qur’an a. Allah melarang manusia tergesa – gesa mengeluarkan pendapatnya tentang al Qur‟an (Qs. 75:16).
b. Allah yang menyusun kembali al Qur‟an berdasarkan atas bacaan yang Dia ajarkan kepada Rasul-Nya. Dan Rasul supaya mengikuti bacaan yang telah diajarkan kepadanya (Qs. 75:17-18) c. Al Qur‟an tidak disusun kembali berdasarkan atas catatan yang dibuat oleh para sahabat Rasulullah saw. Inilah yang membedakan al Qur‟an dengan kitab – kitab yang diturunkan Allah sebelumnya.
3. Allah yang Menerangkan Al Qur’an Allah bukan hanya menurunkan ayat – ayat al qur‟an dan menyusunnya kembali dalam satu kesatuan yang terdiri dari “seratus empat belas surat” tetapi setelah Dia menjelaskan bahwa al qur‟an itu Aku pulalah yang menyusunnya kembali, langsung Allah menjelaskan bahwa Aku pulalah yang memberikan keterangan mengenai al Qur‟an-Ku itu. Bagaimana keterangan yang diberikan Allah? Diantara keterangan yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut: 3.1. a. Qs. 15:9 al Qur‟an dijaga kesucian dan kemurniannya oleh Allah b. Qs. 3:81 Allah mengambil janji dari nabi – nabi untuk melakukan “mushaddiq” yaitu pembenaran, dan seluruh nabi – nabi merupakan satu kesatuan secara berkesinambungan dan berlanjut, sampai diutus-Nya nabi terakhir atau penutup kenabian (Qs. 33:40) yaitu nabi Muhammad saw. c. Allah mengadakan koreksi atas wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya, karena ada ayat yang perlu dikoreksi terkait dengan perkembangan dalam kehidupan dan sikap yang disebut “mushaddiq” yaitu pembenaran, kemudian dengan adanya ayat yang dihapuskan ber5lakunya dan diturun-Nya ayat kepada nabi yang kemudian, maka terjadilah apa yang disebut “Nasikh dan Mansukh” nasikh artinya ayat yang menghapus dan mansukh artinya ayat yang dihapuskan (Qs. 2:106, 13:37-39). Dengan jalan demikian itulah wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya akhirnya mencapai suatu titik akhir yang disebut “tamam dan kamal” (Qs. 5:3). 3.2.
Penggunaan kata wahyu dalam al Qur‟an Allah berbicara kepada manusia dengan jalan wahyu (isarat yang cepat) atau dari belakang tabir dengan mengutus utusan (malaikat) (Qs. 42:51). a. Wahyu kepada manusia biasa: kepada ibu nabi Musa (Qs. 20:38, 28:7), kepada murid – murid nabi Isa (Qs. 5:111). b. Wahyu kepada langit (benda alam) (Qs. 41:12). c. Wahyu kepada lebah (Qs. 16:68). d. Wahyu kepada malaikat (Qs. 8:12). e. Wahyu yang digunakan oleh “setan manusia dan jin” QS. 6:112, 121).
f. Wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya yaitu yang disebut “wahyu matlu” artinya wahyu yang ditilawatkan oleh rasul-Nya kepada umatnya (Qs. 2:151-152, 3:164). Dengan mentilawat ayat – ayat yang telah diajarkan dan ditilawatkan oleh rasulNya kepada umatnya, maka manusia bisa mengerti “iman” (Qs. 2:121). 3.3.
Mengenal beberapa pengertian yang terkait dengan al-Kitab a. Al-Kitab mengandung tiga pengertian yaitu 1) Kumpulan wahyu Allah yang diajarkan oleh rasul-Nya kepada umatnya (Qs. 4:105, 2:213). 2) Catatan amal manusia yang dikerjakan oleh malaikat atas perintah Allah (Qs. 36:12, 17:14-15). 3) Kumpulan tulisan yang dibuat oleh manusia itu sendiri tetapi dikatakan bahwa dari Tuhannya (Qs. 2:77-79, 3:77-79, yesaya, 28:14-16, 2.Korintus 5:14-20, 1.Timotius 1:12-17). b. Utul-al-Kitab ialah umat yang kedatangan rasul-Nya. Karena Allah menurunkannya wahyu al-kitab dengan jalan mengutus rasul kepada umatnya (Qs. 10:47, 2:213) c. Utunashiban minalkitab – umat yang hanya menerima sebahagian al-kitab, maksudnya tidak genap atau utuh. Hal itu bisa terjadi karena Allah telah mengambil janji dari “utulkitab” agar mereka menyampaikan kepada manusia apa yang telah mereka terima dari rasulnya dan dilarang menyembunyikan petunjuk wahyu-Nya (Qs. 3:187). Tetapi kemudian diantara utul-kitab ada yang beriman dan ada yang kafir (Qs. 29:47). Akibatnya terjadilah ada umat yang hanya menerima sebagian dari alkitab (utu nashiban-minal-alkitab) (Qs. 3:23-24, 4:44, 51) d. Ahli-alkitab suatu sebutan bagi utul-alkitab yang kafir pada ayat – ayat wahyu Allah (Qs. 3:70, 98), yang talbisu-alhak bil baathil yakni mengganti kebenaran dengan kebathilan (Qs. 3:71). Ahli-al kitab dipanggil supaya kembali pada janji Allah pada Ibrahim (kalimatin sawa) (Qs. 3:64) orang – orang yang membantah terhadap kebenaran janji Allah pada Ibrahim dalam al Qur‟an (Qs. 3:65) menghalang – halangi manusia dari jalan Allah (Qs. 3:99). Mengaku iman kepada nabi Isa setelah kematiannya (Qs. 4:159). Melampaui batas dalam agama yang mereka ada – adakan sendiri (Qs. 4:171, 5:77). Tidak menegakkan Taurat dan Injil yang mereka adakan sendiri (Qs. 5:68). e. Ummul-al-kitab yaitu Kitab Induk Kepunyaan Allah (Qs. 13:38, 43:2-4), yang tersimpan di Laul al-Mahfud yakni papan yang terpelihara (Qs. 85:2122). Atau sebagai sebutan bagi surat al-Fatikhah, yang disebut juga sebagai “ummul-al-Qr‟an” induk al Qur‟an atau disebut juga bagi “ayat muhkamat” yaitu ayat yang sudah jelas kandungan artinya. Kebalikan ayat muhkamat adalah “ayat mutasyabihat” yaitu ayat yang kandungan artinya masih belum jelas maka memerlukan pentakwilan (Qs. 3:7).
3.4.
3.5.
Arti menjadikan atau menciptakan Bahwa Allah adalah alkhollaaqu al‟alim (Qs. 15:86, 36:81) artinya pencipta yang mendalam ilmunya. Maka terkait dengan pengertian dalam bahasa Indonesia perlu ada keterangan mengenai arti menjadikan atau menciptakan menurut keterangan yang diberikan dalam al Qur‟an: a. Ansyaa – artinya menjadikan perencanaan atau membuat rencana (Qs. 11:61). b. Ibtida‟ menetapkan atau membuat modelnya (Qs. 2:117). c. Ja‟ala artinya menjadikan atau menetapakan fungsinya (Qs. 16:78). Diantara satu dengan yang lain. d. Fathara artinya menjadikan atau menetapkan adanya unsur – unsur yang harus dipenuhi agar apa yang diharapkan bisa terwujud atau terjadi (Qs. 21:56). e. Kholaqa artinya merubah bentuk sesuatu menjadi sesuatu yang lain, sesuai yang dimaksud (Qs. 23:12-16, 35:11). f. Shana‟a menunjuakan adanya keterkaitan diantara satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan, sehingga seluruhnya merupakan satu kesatuan yang saling menunjang dan bersikap proporsional. Maka alam raya disebut oleh Allah sebagai “sun Allah” (Qs. 27:88). g. Shana‟a menunjukan adanya keterkaitan. Mushaddiq dan nasikh dan mansukh a. Mushaddiq adalah tugas para nabi dalam menjaga kesucian dan kemurnian petunjuk wahyu Allah. Maka seluruh para nabi merupakan satu keatuan secara berkesinambungan dan berlanjut, sampai diutusnya nabi terakhir atau penutup kenabian (khotimul anbiyyin) (Qs. 33:40). b. Nasikh ialah ayat yang menghapus berlakunya petunjuk yang telah diturunkan kepada nabi yang sebelumnyaoleh kedatangan nabi yang kemudian. Dasar pengertian tersebut karena adanya petunjuk wahyu Allah bahwa ada ayat yang dihapuskan berlakunya (Qs. 16:101). Sehingga ada ayat yang dibatalkan berlakunya dan ada ayat yang tetap berlaku (Qs. 2:106, 13:39). c. Mansukh ialah ayat yang dihapuskan berlakunya. Karena telah diturunkanNya ayat yang baru kepada nabi yang kemudian. Dengan memahami tentang mushaddiq, nasikh dan mansukh, hal tersebut terkait dengan konsekuensi logis bahwa seluruh nabi – nabi merupakan satu kesatuan secara berkesinambungan dan berlanjut (Qs. 3:81). Sehingga wahyu Allah sampai pada titik optimum sesuai dengan rencana dan kehendak Allah, dengan diutus-Nya penutup kenabian pada diri nabi Muhammad saw (Qs. 33:40). Maka wahyu Allah mencapai apa yang disebut “taamam dan kamal” (Qs. 5:3).
3.6.
Penggunaan kata ilmu dalam al Qur‟an Ada beberapa hubungan pengertian penggunaan kata ilmu dalam al qur‟an. Semuanya itu dijelaskan dalam petunjuk wahyu-Nya.
3.7.
a. Kata ilmu digunakan Allah bagi Allah Allah memberitahukan dalam petunjuk wahyu-Nya bahwa Dia adalah Al khallaaqu Al‟alim – pencipta yang mendalam ilmunya (Qs. 15:86, 36:81). Allah menurunkan petunjuk wahyu-Nya kepada para nabi dan rasulNya dengan ilmu-Nya (Qs. 4:166, 11:13-14). b. Kata ilmu digunakan Allah bagi manusia yang disebut “al‟ulama” (Qs. 35:27-28). Yang dimaksud dengan al‟ulama ialah orang yang beriman pada alkitab wahyu Allah dan dapat memahami serta menghayati nilai – nilai petunjukNya (Qs. 35:27-28). Kata “khosyia” artinya bisa menangkap pengertian yang terkandung dalam ayat wahyu-Nya yang diajarkan oleh rasul-Nya. c. Kata ilmu digunakan oleh manusia menurut manusia. Dalam hubungan ini ada kemungkinan bisa manusia memahami dan menerima kebenaran petunjuk wahyu Allah (Qs. 3:190-191, 41:52-53). Dan bisa juga orang tidak mengakui kebenaran petunjuk Allah dan menganggap bahwa apa yang mereka sebut sebagai ilmu adalah hasil usaha mereka sendiri (Qs. 28:78). Allah mengajarkan asma yaitu nama atau lambang, inilah langkah awal manusia memasuki kehidupan yang disebut budaya atau tsaqofah, kultur dan sebagainya (Qs. 2:31). Memang Allah menyuruh agar manusia mengembangkan kemampuannya yang bisa menghasilkan apa yang disebut budaya. Karena dalam bentuk budaya itulah perbuatan atas amal manusia bisa diketahui atau dimengerti : apakah sesuai dengan petunjuk wahyu-Nya atau tidak (Qs. 17:84). Dan sikap Al-Islam atau agama Allah terhadap hasil perbuatan manusia yang disebut budaya ada tiga yaitu 1. Bisa diterima 2. Dibenarkan 3. Harus ditolak dan ada yang perlu disempurnakan Dan menurut al Qur‟an bahwa hidup adalah kesempatan untuk beramal yang sebaik – baiknya (ikhsan) (Qs. 67:2). Dan “amal” adalah sebagai wasilah (sarana) untuk meraih : keberhasilan (Qs. 5:35), untuk meraih kebaikan (Qs. 16:97) dan untuk meraih kemajuan (Qs. 20:75). Oleh karena itu setiap amal supaya diperhatikan dan dipikirkan : bagaimana caranya, kaaefa takmalun (Qs. 10:14). Dan atsarnya atau dampaknya (Qs. 36:12), dan setipa amal yang menimbulkan fasad atau kerusakan dilarang, tidak boleh dikerjakan (Qs. 28:77). Kemungkinan Allah mengajarkan adanya kemungkinan bahwa orang yang bersedia menerima petunjuk wahyu-Nya adalah termasuk orang pilihan Allah. Namun demikian bisa terjadi diantara mereka itu ada yang zalim pada diri mereka sendiri dan ada yang menjadi seperti halnya kaum Yahudi dan Nasrani (muktasidun) dan ada pula yang sabiqun bil-khoirat bi idnillah(Qs. 35:32). Kalau demikian yang perlu kita perhatikan adalah mengapa dan bagaimana bisa terjadi yang demikian itu? Al Qur‟an tidak membiarkan manusia meraba – raba dalam kegelapan,
membiarkan angan – angan dirinya terbang melayang berputar – putar mengikuti keinginan dirinya. a. Mengapa zalim pada diri sendiri? Allah mengingatkan bahwa manusia bila tidak mengikuti petunjuk-Nya tentu akan mengikuti Hawa yaitu keinginan diri sendiri (Qs. 6:56). Bila keinginan diri sendiri dijadikan sebagai pangkal berpijak dalam memahami petunjuk wahyu-Nya, maka yang akan terjadi timbulnya kerusakan yang menimpa segala yang ada di langit dan di bumi seisinya (Qs. 23:71). Maka dengan tegas Allah menyatakan bahwa Dia sedikitpun tidak pernah berbuat zalim kepada manusia, tetapi manusia itu yang berbuat zalim pada diri mereka sendiri. Maka manusia supaya hanya mengikuti petunjuk wahyu-Nya (Qs. 7:203). Dan petunjuk wahyu-Nya adalah untuk membatasi manusia, bukan untuk membatasi Allah. Maksudnya bahwa dengan berpegang pada petunjuk-Nya, sudah cukup bagi manusia, maka dilarang lupa pada Allah (Qs. 5:101). Mempersoalkan apa yang tidak dinyatakan dalam petunjuk wahyu-Nya, karena dengan begitu manusia akan mengalami kesulitan. Sekiranya apa yang mereka persoalkan itu muncul ketika ayat – ayat al Qur‟an belum selesai diturunkan, tentu akan diberi keterangan oleh Allah. Oleh karena itu Allah telah memaafkan bagi orang – orang yang tidak menjumpai saat masih diturunkannya ayat – ayat al Qur‟an (Qs. 5:101). b. Muktasidun Allah memberi keterangan bahwa muktasidun adalah suatu keadaan sikap dan tingkah laku manusia, tatkala menghadapi bahaya, kapalnya diterpa oleh gelombang laut, mereka ingat pada Allah dan mendekatkan diri serta berserah diri kepada-Nya, mengharap pertolongan-Nya. Tetapi setelah diselamatkan sampai di darat, mereka lupa pada Allah, itulah yang disebut “muktasidun” (Qs. 31:31-32). Dan muktasidah ialah sifat bagi orang – orang yang mengaku berpegang pada Taurot dan Injil tetapi tidak mengamalkan ajarannya. Itulah yang disebut “Ahli Alkitab” (Qs. 5:65-66). c. Sabiqu bil-khoirat bi idnillah Dalam menjelaskan pengertian tersebut, Allah memberikan suatu contoh tentang adanya “siang dan malam” oleh Allah dijadikan sebagai ayat bagi manusia (Qs. 36:37). Dan terjadinya adanya siang dan malam adalah karena matahari dan bulan taat pada aturan Allah, masing – masing berjalan pada garis orbitnya yang ditetapkan Allah (Qs. 36:38-39, 10:5, 39:3). Oleh karena itu “malam tidak akan mendahului siang” (Qs. 36:40) pengertian tersebut menjadi “ibrah”: yaitu memberikan gambaran bagi kehidupan manusia. Bahwa Allah tidak memberikan beban yang melampaui batas kemampuan masing – masing hamba-Nya (Qs. 2:286), dan manusia supaya berbuat secara optimal atas kemampuan yang ada pada masing – masing mereka (Qs. 64:16). Dan mukminin yakni orang – orang yang beriman adalah orang yang telah diatukan qolb-nya oleh Allah (Qs. 8:62-63). Maka mereka disebut “umatan wahidatan” (Qs. 21:92, 23:51-52). Jadi manusia yang terbatas kemampuannya, mereka disatukan karena iman mereka pada
3.8.
Allah. Dan amar Allah yaitu hukum dan aturan Allah yang sifatnya universal supaya dikelompokan dalam bidang – bidang, sehingga manusia bisa mengambil peran serta sesuai dengan kemampuan yang ada pada masing – masing mereka (Qs. 21:93). Inilah yang disebut “Fardu „ain dan Fardu kifayah” Fardu „ain adalah kewajiban apabila dilihat dari pelakunya. Dan fardu kifayah dalah kewajiban apabila dilihat dari volume pekerjaan yang hendak dilaksanakannya. Bila setiap mukmin disiplin sesuai dengan batas kemampuan dan bakatnya dalam melaksanakan petunjuk Allah dalam kehidupan umat, seperti halnya perjalanan matahari dan bulan, maka akan nilai – nilai kebaikan bagi kehidupan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inilah yang dimaksud dengan “sabiqu bil-khoirat bi idznillah”. Nilai historis turunnya wahyu al Qur‟an Sudah dijelaskan bahwa Allah menurunkan wahyu al Qur‟an atas kebijakan dan pengetahuan-Nya (Qs. 27:6). Al Qur‟an diturunkan dalam dua tahap yaitu sekaligus dari Laukh Mahfud ke Baitul-„izzah dalam satu malam yang disebut “malam qadar dan malam yang penuh berkah”. Kemudian secara berangsur – angsur, sedikit demi sedikit, dari Baitul-„izzah kepada nabi Muhammad saw (Qs. 76:23). Diturunkannya al Qur‟an dengan cara demikian itu mengandung nilai historis yang memberikan arti dan makna bagi al Qur‟an, yang membedakan al Qur‟an dengan kitab macam apapun yang ada di dunia ini. Adapun nilai historis tersebut bisa dituturkan sebagai berikut: a. Allah menurunkan wahyu al Qur‟an kepada nabi Muhammad saw dengan cara sedikit demi sedikit (Qs. 76:23), maka Allah memberikan peringatan agar manusia jangan tergesa – gesa mengeluarkan pendapatnya sebelum petunjuk wahyu-Nya selesai diturunkan selesai diturunkan seluruhnya (Qs. 20:114). Petunjuk tersebut mengandung arti bahwa petunjuk wahyu-Nya agar dipahami sebagai satu kesatuan (Qs. 3:119). Oleh karena itu dilarang : memotong hubungan pengertian yang terdapat dalam petunjuk ayat – ayat wahyu-Nya (Qs. 15:89-93). b. Kemudian ayat – ayat al Qur‟an yang diturunkan secara yang berangsur – angsur itu disusun kembali dalam dalam satu kesatuan al Qur‟an oleh Allah berdasarkan atas “bacaan yang diajarkan kepada rasul-Nya” (Qs. 75:16-18). Maka Allah memperingatkan agar manusia jangan mempersoalkan atau mempertanyakan apa yang tidak dinyatakan dalam ayat wahyu-Nya, karena cara yang demikian akan mempersulit mereka sendiri. Sekiranya hal tersebut dipersoalkan ketika ayat – ayat belum selesai diturunkan tentu akan diberi penjelasan. Oleh karena itu Allah telah memaafkan bagi mereka yang tidak menjumpai saat ayat – ayat al Qur‟an belum selesai diturunkan. Petunjuk tersebut memberikan pengertian agar manusia “mentadabbur ayat – ayat al Qur‟an, sehingga ulil-albab mendapat pengertian yang benar” (Qs. 38:29). Karena dalam al Qur‟an tidak terdapat adanya ikhtilaf yaitu perbedaan pendapat atau kontradiksi petunjuk ayat – ayatnya (Qs. 4:82). Maka ayat – ayatnya supaya ditadabbur agar manusia memperoleh “titik temu dalam
hubungan pengertian yang terdapat dalam petunjuk ayat – ayat-Nya” (Qs. 4:82). Pengertian tersebut (a dan b) kemudian secara metodis dan sistimatis diungkapkan Allah dalam petunjuk wahyu-Nya mengenai diturunkannya al Qur‟an, sebagi berikut: Bulan Ramadhan adalah bulan yang didalamnya (MULAI) diturunkan al Qur‟an, petunjuk bagi manusia dan setiap petunjuknya diberi penjelasan (secara jelas dan tepat) dan apabila (petunjuknya diterima lengkap beserta dengan penjelasannya) menjadikan manusia memiliki kemampuan menganalisa secara cermat dan akurat (furqanan). Maka dari itu barang siap berada (hadir) dalam bulan Ramadhan hendaklah shiam, tapi barang siapa dalam keadaan sakit atau safar (boleh tidak shiam) tetapi wajib membayar sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu. Maka dari itu genapkanlah bilangan hari bulan Ramadhan dan agungkanalah Allah atas petunjuk-Nya kepada kamu agar kamu bersyukur (Qs. 2:185). Petunjuk – petunjuk ayat – ayat tersebut diatas memberikan pengertian bahwa al Qur‟an adalah bisa sebuah alkitab yang memiliki “asas” yakni landasan dan pangkal berpijak untuk memahami petunjuk-Nya. Asas al Qur‟an tersebut secara redaksional dapat diutarakan sebagai berikut: a. Bahwa setiap hudan al Qur‟an diberi bayyinat yaitu penjelasan secara jelas dan tepat. b. Bila petunjuk al Qur‟an diterima lengkap beserta dengan penjelasannya, menjadikan manusia memiliki kemampuan menganalisa yakni memilah – milah mana yang hak dan mana yang bathil. c. Dalam al Qur‟an tidak ada petunjuknya yang ber-ikhtilah, berbeda pendapat atau kontradiksi. Oleh karena itu petunjuk al Qur‟an supaya dipahami sebagai satu kesatuan, diantara satu dengan yang lain. d. Karena petunjuk al Qur‟an merupakan satu kesatuan, maka dilarang memotong hubungan pengertian yang terdapat pada ayat – ayatnya. Dengan memahami dan menghayati asas al Qur‟an sebagaimana telah dijelaskan di atas, insya Allah menusia akan mendapatkan kemudahan dalam memahami petunjuk wahyu-Nya. Dan dengan tegas Allah menyatakan bahwa al Qur‟an itu mudah difahami petunjuknya (Qs. 54:17, 22, 32, 40).. Adapun arti muda yang dimaksud oleh Allah adalah karena Allah memberikan bayyinat atas setiap petunjuk wahyu-Nya (Qs. 2:183-185). Maka di dalam Al-Islam yaitu Agama Allah (Qs. 3:19) tidak ada kesempitan (kharoj) (Qs. 22:78).