1
Berinteraksi dengan al-Qur`an Dr. Nashruddin Syarief
A
l-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan Allah swt untuk kemashlahatan umat manusia. Al-Qur`an merupakan rujukan utama dalam memecahkan setiap persoalan kehidupan manusia. Ia menjadi sumber pertama dan utama ajaran Islam, termasuk dalam hal penentuan hukum. Semua umat Islam sepakat bahwa al-Qur`an memiliki posisi yang sentral dalam keberagamaan. Siapa saja yang tidak merujuk pada al-Qur`an dalam mengatasi persoalan kehidupannya, bisa dipastikan orang atau aliran yang dimaksud “sesat” dan “menyimpang”. Meskipun demikian, semua aliran keagamaan yang sudah terang-terangan sesat pun ternyata menjadikan al-Qur`an sebagai rujukan utamanya. Sebut misalnya: Syi’ah, Khawarij (Neo-Khawarij), Ahmadiyah, Inkarsunnah, Lia Eden, LDII, Islam Liberal/Progresif dan semacamnya. Mereka semua merasa berkepentingan untuk merujukkan ajaran dan pemikirannya pada al-Qur`an guna memperoleh pembenaran atas ajaran dan pemikirannya tersebut. Sebagian orang awam tentu akan mudah terkecoh oleh aliran-aliran sempalan tersebut sebab dikiranya mereka sudah benar dengan merujukkannya pada al-Qur`an. Padahal cara merujuk dan memahami alQur`an mereka benar-benar menyimpang dari yang sudah digariskan oleh Nabi Muhammad saw. Tulisan di bawah ini akan mencoba mengulas bagaimana beritneraksi dengan al-Qur`an secara benar sebagaimana diajarkan Nabi saw, agar kemudian tidak menyimpang dalam memahami dan mengamalkannya. Dalam tulisan ini akan dikaji ulang seputar hakikat al-Qur`an, cara belajar al-Qur`an, memahami (tafsir) al-Qur`an, dan mewaspadai para peragu al-Qur`an. Memahami Hakikat al-Qur`an
Al-Qur`an berasal dari kata qara`a-yaqra`u-qira`atan/qur`anan ( – أ-أ ءا/ )اءةyang bermakna asal ‘mengumpulkan dan menghimpun’. Makna yang kemudian umum digunakan adalah ‘membaca’, sebab membaca adalah mengumpulkan huruf dan kalimat untuk diucapkan. Secara istilah, al-Qur`an adalah kalam (firman) Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dimulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas. Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan, tidak perlu definisi khusus untuk al-Qur`an ini, sebab al-Qur`an lebih jelas untuk tidak didefinisikan.1 Al-Qur`an bermakna membaca dan bacaan sekaligus. Baik itu keseluruhan ayatnya atau hanya ayat-ayat tertentu saja, tetap disebut al-Qur`an.2 Sebagian ulama berpendapat bahwa penamaan al-Qur`an itu merujuk pada kandungan al-Qur`an yang mencakup semua persoalan, termasuk semua kandungan yang ada dalam kitab-kitab 1
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil-Qur`an, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, cet. XI, hlm. 15. 2 Lihat QS. Al-Qiyamah [75] : 17-18 dan al-A’raf [7] : 204.
2 sebelumnya.3 Sementara jika dilihat dari sejarah panjang al-Qur`an, bisa diketahui bahwa penamaan al-Qur`an itu bisa juga disebabkan standar pokok al-Qur`an adalah “bacaan” bukan tulisan. Bukan “bacaan” yang harus merujuk pada tulisan, melainkan tulisan yang harus merujuk pada “bacaan” yang diriwayatkan secara mutawatir dari sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang.4 Dalam pengamatan Dr. Wahbah az-Zuhaili, sebagaimana dituangkannya dalam kitab Ushulul-Fiqhil-Islami, al-Qur`an memiliki tiga karakteristik khusus yang tidak dimiliki kitab/buku lainnya di dunia, tidak pula dimiliki oleh khabar lainnya yang bersumber dari Nabi saw, yaitu: Pertama, al-Qur`an adalah kalam (firman) Allah swt secara verbatim (lafazh dan makna). Dalilnya adalah i’jaz al-Qur`an (kemukjizatan al-Qur`an) yang terbukti dengan ketidakmampuan manusia dan jin untuk menyamai atau menandingi gaya bahasa al-Qur`an. Al-Qur`an ini beda dengan hadits yang maknanya dari Allah swt, sementara lafazhnya dari Nabi saw. al-Qur`an, baik makna ataupun lafazh, duaduanya bersumber dari Allah swt.5 Cukup banyak ayat al-Qur`an yang menyatakan bahwa al-Qur`an adalah firman Allah swt, bahwa ia bukan perkataan Muhammad saw, demikian juga bukan perkataan ahli sya’ir, dukun, apalagi perkataan setan.6 Jika ada yang meragukannya sebagai bukan kalam Allah swt, al-Qur`an menantang mereka untuk membuat yang semisal al-Qur`an, baik secara utuh 30 juz, 10 surat, atau bahkan 1 surat saja. Akan tetapi terbukti sampai hari ini tidak ada seorang manusia pun yang bisa membuat kitab yang serupa dengan al-Qur`an apalagi menandinginya.7 Kedudukan al-Qur`an sebagai kalam Allah swt sempat memancing perdebatan teologis yang berujung pada dikeluarkannya kebijakan mihnah (pengujian aqidah) terhadap para ulama oleh penguasa Dinasti ‘Abbasiyyah, dimana yang tidak lulus mendapatkan hukuman cambuk dan penjara. Saat itu, penguasa ‘Abbasiyyah yang terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah,8 menguji aqidah para ulama di seputar alQur`an dengan standar pengujian khalqul-Qur`an (al-Qur`an adalah makhluk). Menurut Mu'tazilah, jika al-Qur`an dikatakan sebagai kalâm (firman) Allah, berarti al-Qur`an ini qadîm. Itu artinya berkeyakinan adanya dua zat yang qadîm; Allah dan al-Qur`an. Itu artinya pula bahwa keyakinan tersebut sudah tidak tauhîd (meng-Esakan Allah). Oleh karena itu, menurut Mu'tazilah, siapa saja yang berkeyakinan seperti itu berarti ia sudah musyrik dan harus dihukum. Mu'tazilah menegaskan bahwa alQur`an itu makhluk, semua perbuatan (af'âl) Allah juga makhluk, tidak boleh dikatakan sebagai sifat Allah yang qadîm (seperti al-Qur`an yang diyakini sebagai kalâm Allah). Paham Mu'tazilah dalam hal sifat dan terkhusus lagi "kemakhlukan alQur`an" ini terpengaruh oleh paham Kristen tentang "firman Allah". Menurut Kristen antara Tuhan sebagai zat yang khusus dengan firman-Nya adalah dua hal yang berbeda. Tuhan oleh Kristen diyakini sebagai Tuhan Bapak, dan firman-Nya diyakini 3
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil-Qur`an, hlm. 15, merujuk pada QS. An-Nahl [16] : 89 dan al-An’am [6] : 38. 4 Bisa dirujuk pada buku penulis, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispers, 2011, bab Konsep Wahyu dan Kenabian subbab Kodifikasi al-Qur`an. 5 Wahbah az-Zuhaili, Ushulul-Fiqhil-Islami, Damaskus: Darul-Fikr, 1986, jilid 1, hlm. 421-422 6 Lihat QS. As-Syura [42] : 51, al-Haqqah [69] : 43-47, as-Syu’ara` [26] : 210-212. 7 QS. At-Thur [52] : 33-34, Al-Isra` [17] : 88, Hud [11] : 13, Yunus [10] : 38, Al-Baqarah [2] : 23-24. 8 Khalifah al-Ma`mun, al-Mu'tashim dan al-Watsiq, yang memerintah pada tahun 827 M s.d 847 M
3 sebagai Yesus. Senada dengan paham Kristen ini maka Mu'tazilah beranggapan bahwa yang meyakini al-Qur`an sebagai kalâm Allah sama halnya dengan Kristen yang meyakini Yesus sebagai firman Tuhan dan menjadikan kedudukannya sederajat dengan Tuhan walau lebih rendah. Atau dengan kata lain telah musyrik dan tidak bertauhid.9 Akan tetapi paham khalqul-Qur`an (kemakhlukan al-Qur`an) ini ditentang oleh para ulama dan umat Islam mayoritas, sehingga kemudian menjadikan Mu’tazilah divonis sebagai aliran sesat yang menyimpang dari Islam.10 Kedua, bahasa al-Qur`an adalah bahasa Arab sepenuhnya. Wahbah az-Zuhaili dalam hal ini mengutip bantahan Imam as-Syafi’i kepada orang-orang yang berpendapat bahwa dalam al-Qur`an ada bahasa non-Arab, yang dikutip dari kitab arRisalah hlm. 41. Imam as-Syafi’i dengan tegas menyatakan bahwa al-Qur`an tidak ada satu pun kata dan kalimatnya yang merupakan bahasa non-Arab, sebab Allah swt sendiri yang menyatakan dengan tegas bahwa kitab-Nya tersebut semua ayatnya berbahasa Arab yang jelas (mengutip QS. As-Syu’ara [26] : 192-195, az-Zumar [39] : 28, an-Nahl [16] : 103). Maka dari itu, terjemahan al-Qur`an tidak bisa dikategorikan al-Qur`an, sebab jelas tidak berbahasa Arab. Bahkan bahasa Arab yang merupakan sinonim atau penjelasan terhadap al-Qur`an juga tidak bisa dikategorikan al-Qur`an.11 Ketiga, al-Qur`an diriwayatkan dari generasi ke generasi secara mutawatir. Maksud dari mutawatir itu sendiri adalah berturut-turut dan melibatkan orang banyak dari setiap generasinya, baik secara lisan atau tulisan. Jumlah yang sangat banyak dan melibatkan setiap generasi di setiap penjuru negeri dalam membaca dan menjaga tulisan al-Qur`an ini menjadikan al-Qur`an sangat terpelihara dan otentik, sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah swt dalam QS. Al-Hijr [15] : 9. Masuk dalam kategori mutawatir ini qira`at sab’ah (tujuh ragam bacaan)12 yang secara mutawatir diriwayatkan dari Nabi saw. Sementara tiga qira`at lainnya—sehingga ada yang juga mengategorikannya qira`at ‘asyrah (sepuluh ragam bacaan)13—tidak termasuk, sebab tidak mutawatir. Demikian juga qira`ah-qira`ah syadzdzah (bacaan salah dan diriwayatkan oleh jalur periwayatan yang lemah) yang tidak diriwayatkan secara mutawatir, tidak masuk dalam bagian al-Qur`an.14 Cara Belajar al-Qur`an Terdapat banyak istilah yang digunakan al-Qur`an untuk menggambarkan amal berinteraksi dengan al-Qur`an yang kesemuanya merupakan perintah dan menjadi wajib untuk diamalkan, yaitu: iqra` (bacalah)15, tadabbur (menggali makna)16, iddikar 9
Ahmad Mahmud Shubhi, Fî 'Ilm al-Kalâm: Dirâsah Falsafiyyah li Ârâ` al-Firaq alIslâmiyyah fî Ushûl al-Dîn. Dar an-Nahdlah al-Islamiyyah, t.th., jilid 1, hlm. 259-262; Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, terj. Zaimul Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2002, Cet. II, hlm. 15-14 dan 72 10 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, hlm. 23-24. 11 Wahbah az-Zuhaili, Ushulul-Fiqhil-Islami, 1 : 422-423 12 Abu ‘Amr, Nafi’, ‘Ashim, Hamzah, al-Kisa`i, Ibn Katsir, dan Ibn ‘Amir. 13 Ya’qub, Abu Ja’far dan Khalf. 14 Wahbah az-Zuhaili, Ushulul-Fiqhil-Islami, hlm. 424-426. 15 QS. Al-‘Alaq [96] : 1-3. Makna iqra` adalah membaca melalui teks atau membaca lewat hafalan (‘an zhahri qalbin). Pada zaman Nabi saw iqra` dipraktikkan dengan cara membaca lewat hafalan. 16 QS. An-Nisa` [4] : 82, Muhammad [47] : 24. Tadabbur asal katanya adalah dubur; ujung sesuatu. Maksudnya, menurut al-Biqa’i adalah “merenungkan akibatnya dan kesudahan perkaranya” (Nazhmud-Durar fi Tanasubil-Ayat was-Suwar, QS. 4 : 82). Makna tadabbur menurut az-Zuhaili
4 (mengambil pelajaran)17, tartil (membaca dengan perlahan sambil dihayati)18, dan tilawah (membaca dan mengikuti kandungannya).19 Dari kelima istilah yang digunakan di atas, dapat diambil satu kesimpulan bahwa belajar al-Qur`an itu dimulai dari membaca (tajwid/tahsin), menghafal (tahfizh, plus mendengarkan/tasmi’), dan memahami kandungan (tafsir) al-Qur`an. Ketiga amal ini harus sama-sama diperhatikan, sebab sama-sama diwajibkan. Jangan sampai ada yang “terperkosa” salah satunya, seperti terlalu fokus pada tajwid/tahsin sehingga abai dari tafsir, atau terlalu fokus pada tafsir sehingga abai dari tahsin dan tahfizh. Memahami (Tafsir) al-Qur`an Memahami al-Qur`an adalah dengan cara menyimak penjelasan al-Qur`an, atau tafsir al-Qur`an. Dalam level yang lebih tinggi adalah dengan cara menafsirkan alQur`an secara langsung. Dalam hal ini ada dua istilah yang biasa digunakan oleh para ulama, yaitu: tafsir dan ta`wil. Tafsir asal katanya fasrun, bermakna ibanah (menjelaskan), kasyf (menyingkap), dan izhharul-ma’na (memperlihatkan makna). Menurut Ibn Manzhur dalam kitabnya Lisanul-‘Arab, tafsir adalah kasyful-murad ‘anil-lafzhil-musykil; mengungkap maksud sebuah lafazh yang tidak jelas.20 Sementara ta`wil, makna asalnya adalah ‘kembali’. Dalam istilah al-Qur`an dan hadits, makna ta`wil ini, menurut al-Hafizh Ibn Katsir, ada dua: Pertama, tafsir atau penjelasan sesuatu. Contohnya, pernyataan para penghuni penjara kepada Nabi Yusuf: Beritahukanlah kepada kami ta`wil mimpinya,21 yang dimaksud adalah penjelasannya. Demikian juga do’a Nabi saw kepada Ibn ‘Abbas: Ya Allah, pahamkanlah ia dalam agama dan ajarkanlah kepadanya ta`wil,22 yang dimaksud kemampuan menjelaskan al-Qur`an. Makna kedua, ta`wil dalam arti mengetahui hakikat sesuatu. Contohnya yang disebutkan Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 7, dimana Dia menyatakan bahwa
adalah ta`ammul ma’anihi wat-tabasshur bi ma fihi; merenungkan maknanya dan menghayati kandungannya (Tafsir al-Munir, QS. 4 : 82). 17 QS. Al-Qamar [54] : 17, 22, 32, 40. Asal katanya idztikar, dari dzikr; peringatan. Berdasarkan kaidah sharaf, huruf dza dan ta diidghamkan menjadi dal, jadilah iddikar. Maknanya, merenungkan peringatan dan pengajaran al-Qur`an, dengan kata lain mengambil pelajaran dan menjadikannya ibrah. 18 QS. Al-Muzzammil [73] : 4. Asal katanya ratl, bermakana menyusun dan merangkai sesuatu dengan baik. Maksud dari tartil al-Qur`an adalah mengeluarkan kalimat dari mulut dengan ringan dan benar (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, entri ratala). Berdasarkan QS. Al-Muzammil [73] : 1-4, tartil dipraktikkan pada waktu shalat malam dengan penuh penghayatan. Sehingga dengan sendirinya, amal tartil ini mencakup: membaca, menghafal dan memahami isinya. 19 QS. Al-Baqarah [2] : 121. Asal katanya tala, berarti mengikuti (lihat QS. As-Syams [91] : 2). Tilawah biasa diartikan membaca sebab membaca adalah mengikuti huruf per huruf untuk dilantunkan. Akan tetapi menurut ‘Allamah ar-Raghib, tilawah itu bermakna juga mengikuti dengan tubuh, sikap, atau hukum. Dalam hal ini, Ibn Mas'ud menjelaskan: “Demi Allah, sesungguhnya tilawah yang sebenarnya itu adalah menghalalkan yang halalnya, mengharamkan yang haramnya, membacanya sebagaimana yang diturunkan Allah, tidak mengubah-ubah firman dari tempatnya, dan tidak mena`wilkannya sedikit pun dengan pena`wilan yang tidak benar” (Tafsir Ibn Katsir QS. Al-Baqarah [2] : 121). 20 Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil-Qur`an, hlm. 316. 21 QS. Yusuf [12] : 36 22 Musnad Ahmad no. 2397
5 tidak mungkin ada yang mengetahui ta`wil ayat mutasyabihat kecuali Allah swt. Maksudnya hakikat yang sebenarnya dari ayat mutasyabihat hanya diketahui oleh Allah swt. Dalam hal inilah maka Ibn ‘Abbas menjelaskan, tafsir itu ada empat tingkatan: (1) Tafsir yang tidak susah untuk dipahami oleh siapapun, (2) tafsir yang hanya diketahui oleh orang Arab dari aspek linguistik/ilmu kebahasaannya, (3) tafsir yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya [ar-rasikhun fil-‘ilm], dan (4) tafsir yang hanya diketahui oleh Allah swt.23 Dalam memahami/menafsirkan al-Qur`an, terdapat beberapa rambu-rambu yang harus diperhatikan: Pertama, teks al-Qur`an adalah kalam Allah swt yang masih murni dan tidak dialihbahasakan oleh manusia. Konsekuensinya, al-Qur`an punya otoritas penuh untuk diyakini dan diterima sepenuhnya (taken for granted), sami'na wa atha'na, tanpa mempertanyakan mengapa begini dan kenapa tidak begitu. Setiap penafsiran dengan sendirinya hanya sebatas “menjelaskan” bukan “mempertanyakan”. Kaifiyyah “menjelaskan” itu sendiri adalah sebagaimana dijelaskan pada rambu-rambu selanjutnya. Kedua, al-Qur`an adalah kitab yang diturunkan Allah swt dalam keadaan mutasyabih.24 Menurut Mujahid, yang dimaksud mutasyabih dalam ayat ini adalah: “Sebagiannya membenarkan/menguatkan yang lainnya.”25 Ibn Hajar menjelaskan lebih lanjut: “Sebagian ayatnya mirip dengan sebagiannya lagi dalam keindahan susunan bahasanya.”26 Maka dari itu, dalam memahami satu ayat al-Qur`an tidak bisa dilepaskan dari ayat lainnya yang mutasyabih. Dengan sendirinya, memahami alQur`an haruslah dengan menyandingkannya dengan ayat-ayat lainnya yang semakna. Ketiga, Al-Qur`an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw yang Nabi saw sendiri diberi wewenang oleh Allah swt untuk menjelaskan maksud dari wahyu-Nya tersebut,27 yang kemudian mewujud menjadi hadits-hadits Nabi saw dan ijma' (kesepakatan umum) para shahabat. Kedudukan ijma' shahabat ini adalah sebuah indikator yang jelas adanya pengajaran yang sama dari Nabi saw. Keberadaan ijma’ shahabat layak menjadi rujukan juga disebabkan mereka para pelaku sejarah ketika turunnya al-Qur`an. Kesaksian mereka tentang maksud ayat-ayat al-Qur`an merupakan kesaksian sejarah yang valid untuk dijadikan rujukan. Di samping itu mereka mendapatkan jaminan kepastian benar dari Nabi saw
23
Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 7. Dalam konteks QS. Ali ‘Imran [3] : 7 tersebut, ada yang membaca waqaf sampai Allah: Tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dalam hal ini, ta`wil yang dimaksud adalah ta`wil dalam arti mengetahui hakikat sesuatu, atau tafsir tingkatan keempat dalam kategorisasi Ibn ‘Abbas. Akan tetapi ada juga yang membaca waqaf sampai arrasikhun fil-‘ilm: Tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Dalam bacaan ini, maka yang dimaksud ta`wil adalah tafsir. Sebab orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmunya pasti mengetahui tafsir dari ayat-ayat mutasyabihat meski tentu tidak sampai hakikat yang sebenarnya (Rujuk Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 7) 24 QS. Az-Zumar [39] : 23. Ada dua ayat yang menyebut istilah mutasyabih dalam al-Qur`an; QS. Az-Zumar [39]: 23 dan QS. Ali ‘Imran [3] : 7. Mutasyabih dalam QS. 39 : 23 adalah mutasyabih ‘am, sementara dalam QS. 3 : 7 adalah mutasyabih khash. Mutasyabih ‘am artinya saling menyerupai/menguatkan. Mutasyabih khash artinya samar/tidak jelas maksudnya. 25 Shahih al-Bukhari kitab tafsir al-Qur`an bab minhu ayat muhkamat. 26 Fathul-Bari kitab tafsir al-Qur`an bab minhu ayat muhkamat 27 QS. An-Nahl [16] : 44
6 melalui sabdanya: “(Berpegang teguhlah pada) apa yang aku dan para shahabatku ada padanya.”28 Ijma' shahabat ini membawa konsekuensi adanya ijma' tabi'in dan tabi'ut-tabi'in yang mereka semuanya biasa disebut salaf. Benar memang ada penafsiran yang berbeda di kalangan salaf, tapi jangan dilupakan pula banyak penafsiran salaf yang seragam, inilah yang mutlak harus jadi rujukan. Sebab penafsiran salaf adalah sebuah indikator yang jelas seperti itulah pemahaman al-Qur`an yang diajarkan Nabi saw. Keempat, Al-Qur`an dari sejak awal diturunkannya masih otentik (asli) berbahasa Arab dan terus permanen sampai sekarang. Bahasa Arab itu sendiri adalah bahasa yang memiliki aturan linguistik (kebahasaan) dan semantik (imu tentang makna) yang sangat permanen dan tidak berubah-ubah. Untuk mengetahui makna suatu kata bisa dirujuk pada para pemakai bahasa tersebut di zaman lampau yang masih terpelihara dalam bentuk sya'ir dan prosa atau pada pola perubahan kata yang permanen (sharaf), sehingga makna dari suatu kata dapat ditemukan dengan pasti dan tidak spekulatif. Tafsir bir-Ra`yi dan Hermeneutika Penjelasan di atas tidak berarti bahwa tafsir harus “kaku” dengan sebatas menukil penjelasan al-Qur`an, Nabi saw, para shahabat, tabi’in, dan para pakar bahasa (tafsir bil-ma`tsur/manqul), dengan tidak membebasakan nalar (ra`yu) untuk berkreasi, atau yang disebut dengan tafsir bir-ra`yi. Sebab al-Qur`an dan hadits sendiri sudah memerintahkan agar anugerah pikiran dari Allah swt digunakan untuk merenungkan makna ayat-ayat-Nya.29 Akan tetapi, tafsir bir-ra`yi ini tidak boleh sebatas ra`yu saja tanpa dasar ilmu (mujarradur-ra`yi). Jika itu yang ditempuh maka hukumnya haram.30 Sebab alQur`an telah mengharamkan semua perkataan dan sikap yang tidak didasarkan pada ilmu.31 Maka dari itu, Fahd ar-Rumi memberikan definisi tafsir bir-ra`yi ini dengan: 28
Sunan at-Tirmidzi bab ma ja’a fi iftiraqi hadzihi al-ummah no. 2565 Lihat misalnya perintah untuk tadabbur dalam QS. An-Nisa` [4] : 82, Muhammad [47] : 24. Atau perintah untuk ber-i’tibar; mengambil ibrah atau pelajaran dengan menggunakan pikiran dalam QS. Al-Hasyr [59] : 2 (Arti asal i’tibar adalah menyeberang). Nabi saw sendiri membenarkan ta``wil dengan mendo’akan Ibn ‘Abbas agar diberi pemahaman ta`wil, yakni kemampuan menjelaskan alQur`an dengan pikiran (Musnad Ahmad no. 2397). Dari sejak era salaf terdapat ikhtilaf dalam makna suatu ayat. Ini juga menunjukkan adanya aktivitas tafsir bir-ra`yi dari sejak awal Islam, sebab kalau bil-ma`tsur/manqul sedikit sekali memunculkan perbedaan pendapat. 30 Di antara ulama yang tegas menyatakan haram tersebut adalah Ibn Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit-Tafsir, Beirut: Maktabah al-Hayah, 1980, jilid 2, hlm. 43. 31 Rujuk misalnya QS. Al-Baqarah [2] : 169 dan al-Isra` [17] : 36. Demikian juga hadits: 29
ﻨﺎ ﹺﺭﻦ ﺍﻟ ﻣ ﻩ ﺪ ﻌ ﻣ ﹾﻘ ﻮﹾﺃ ﺘﺒﻴﻋ ﹾﻠ ﹴﻢ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻴ ﹺﺮﻐ ﻥ ﹺﺑ ﺮﺁ ﻓﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ ﻦ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻣ Barangsiapa yang mengatakan tentang al-Qur`an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka (Musnad Ahmad bab hadits ‘Abdullah ibn ‘Abbas no. 2069, 2469, 2976; Sunan at-Tirmidzi kitab tafsir al-Qur`an bab alladzi yufassirul-Qur`an bi ra`yihi no. 2950. Imam atTirmidzi menilainya hasan shahih). Atau pendapat Mujahid dan Qatadah:
ﺧ ﹶﻄﹶﺄ ﺪ ﹶﺃ ﺏ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺻﺎ ﻪ ﹶﻓﹶﺄ ﺮﹾﺃﹺﻳ ﻥ ﹺﺑ ﺮﺁ ﻓﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ ﻦ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﻣ Barangsiapa yang berkata tentang al-Qur`an dengan ra`yunya, lalu ternyata tepat benar, maka tetap saja salah (Sunan at-Tirmidzi kitab tafsir al-Qur`an bab alladzi yufassirul-Qur`an bi ra`yihi no. 2952; Sunan Abi Dawud kitab al-‘ilmi bab al-kalam fi kitabil-‘Llah bi ghairi ‘imin no. 3652. Menurut al-Albani hadits ini shahih sanad maqthu’ matan pada Mujahid dan Qatadah [ta’liq Sunan at-Tirmidzi])
7 menafsirkan al-Qur`an dengan ijtihad.32 Ijtihad itu sendiri bukanlah usaha istinbath (mengambil rumusan) hukum tanpa argumentasi dalil, melainkan sebuah usaha yang ekstra keras dalam mengistinbath hukum dengan berdasar pada dalil-dalil yang tafshiliyyah (rinci/menyoroti kasus per kasus hukum) dan zhanniyyah (tidak qath’i maknanya). 33 Satu hal lain yang pasti, tafsir bir-ra`yi ini tidak boleh bertentangan dengan penjelasan al-Qur`an dan hadits Nabi saw yang sharih dan shahih.34 Masuk dalam tafsir bir-ra`yi yang haram ini adalah hermeneutika. Sebagaimana dijelaskan oleh Syamsuddin Arif, hermeneutika pada intinya mengajarkan dua hal: Pertama, hermeneutika menganggap semua teks sama, semuanya merupakan karya manusia sebagai 'produk sejarah'. Bila diterapkan pada al-Qur`an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status al-Qur`an sebagai kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, sekaligus menggugat kemutawatiran mushhaf 'Utsmani. Asumsinya bisa karena itu dipaksakan oleh penguasa waktu itu, akibat hegemoni bangsa Arab, dan lain sebagainya. Kedua, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya, dan terus menerus terperangkap dalam apa yang disebut 'lingkaran hermeneutis', di mana makna senantiasa berubah. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut sebagian orang, mungkin salah menurut orang lain. Karena kebenaran sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat tertentu.35 Konsekuensinya, al-Qur`an menjadi susah untuk diamalkan karena semuanya menjadi direlatifkan. Padahal al-Qur`an dari sejak awal menolak skeptisisme dan relativisme. Al-Qur`an hadir membawa haqq dan hudan untuk dijadikan pegangan dan diamalkan manusia. Oleh karena itu, bagi cendekiawan mukmin, tegas Syamsuddin Arif, hermeneutika lebih tepat kalau dikategorikan sebagai musibah ketimbang hikmah.36 Terlebih pada kenyataannya ilmu tafsir yang dikembangkan oleh para ulama sudah mendahului teori-teori yang dikemukakan dalam hermeneutika. Hanya tentu bedanya, ilmu tafsir berawal dari keyakinan bahwa al-Qur`an kalam Allah swt dan kebenaran dalam al-Qur`an ada serta dapat ditemukan, sementara hermeneutika
32
Fahd ibn ‘Abdurrahman ar-Rumi, Dirasat fi ‘Ulumil-Qur`anil-Karim, Riyadl: Maktabah atTaubah, 2000, hlm. 159. 33 Wahbah az-Zuhaili, Ushulul-Fiqhil-Islami, 2 : 327. Dalam pembukaan pembahasan definisi ilmu fiqh, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa fiqh mengandung pengertian mengkaji dalill-dalil tafshiliyyah untuk membedakannya dari ilmu para muqallidin (Ushulul-Fiqhil-Islami, 1 : 32). Para ulama ushul dalam hal ini sudah menjelaskan persyaratan ijtihad, dimana yang pokoknya menguasai ‘ulumul-Qur`an/ushulut-tafsir, ‘ulumul-hadits, bahasa Arab, dan penguasaan terhadap kitab-kitab turats. 34 Rujuk misalnya QS. Al-Ahzab [33] : 36. Juga hadits Mu’adz yang diizinkan Nabi saw untuk berijtihad jika tidak ditemukan dalilnya dari al-Qur`an dan hadits. Artinya ijtihad tidak boleh melebihi al-Qur`an dan hadits (Sunan Abi Dawud kitab al-aqdliyah bab ijtihadir-ra`yi fil-qadla no. 3594; Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli kaifa yaqdli no. 1327. Riwayat ini meski dinilai da’îf oleh para ulama hadits, tetapi cenderung diterima oleh para fuqaha, disebabkan kedla’ifannya tidak parah [Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, al-Talkhîsh al-Habîr, no. 2557]. Menurut Wahbah al-Zuhaili, hadits ini memang mursal, tetapi statusnya shahîh, karena rawi-rawinya tsiqât/terpercaya [Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh wa Madâris al-Bahts Fîhi, Damaskus: Dar al-Maktabi, 1420 H/2000 M, hlm. 14]. 35 Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 181182 36 Ibid.
8 berawal dari kesangsian al-Qur`an sebagai kalam Allah dan keraguan yang tiada akhir akan ditemukannya kebenaran dalam al-Qur`an.37 Mewaspadai Peragu al-Qur`an Sesudah mengetahui bagaimana memahami al-Qur`an dengan benar, maka selanjutnya perlu diwaspadai usaha-usaha yang dilancarkan oleh segelintir orang dalam menimbulkan keraguan terhadap al-Qur`an. Mereka melakukan hal seperti itu karena memang motif dalam hatinya sudah tidak lurus dalam mengimani al-Qur`an. Dalam hal ini, Nabi saw dari sejak awal sudah mengingatkan umatnya bahwa kelak akan ada orang-orang yang meragukan al-Qur`an dan menyebarkan doktrin-doktrin peraguannya terhadap al-Qur`an, maka dari itu mesti diwaspadai:
tΑt“Ρr& ü“Ï%©!$# uθèδ}
ﻳ ﹶﺔﻩ ﺍﻟﹾﺂ ﺬ ﻫ ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺗﻠﹶﺎ ﺖ ﺎ ﻗﹶﺎﹶﻟﻨﻬ ﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ﺭ ﺸ ﹶﺔ ﺋﺎﻦ ﻋ ﻋ
’Îû tÏ%©!$# $¨Βr'sù ( ×M≈yγÎ7≈t±tFãΒ ãyzé&uρ É=≈tGÅ3ø9$# ‘Πé& £èδ ìM≈yϑs3øt’Χ ×M≈tƒ#u çµ÷ΖÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã ª!$# āωÎ) ÿ…ã&s#ƒÍρù's? ãΝn=÷ètƒ $tΒuρ 3 Ï&Î#ƒÍρù's? u!$tóÏGö/$#uρ ÏπuΖ÷GÏø9$# u!$tóÏGö/$# çµ÷ΖÏΒ tµt7≈t±s? $tΒ tβθãèÎ6®KuŠsù Ô÷ƒy— óΟÎγÎ/θè=è% {É=≈t6ø9F{$# (#θä9'ρé& HωÎ) ã©.¤‹tƒ $tΒuρ 3 $uΖÎn/u‘ ωΖÏã ôÏiΒ @≅ä. ϵÎ/ $¨ΖtΒ#u tβθä9θà)tƒ ÉΟù=Ïèø9$# ’Îû tβθã‚Å™≡§9$#uρ 3
ﻪ ﻰ ﺍﻟﱠﻠﺳﻤ ﻦ ﻳﻚ ﺍﱠﻟﺬ ﺌﻪ ﹶﻓﺄﹸﻭﹶﻟ ﻨﻣ ﻪ ﺑﺎﺗﺸ ﺎﻮ ﹶﻥ ﻣﺘﹺﺒﻌﻳ ﻦ ﻳﺖ ﺍﱠﻟﺬ ﻳﺭﹶﺃ ﻪ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺖ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎﹶﻟ ﻢ ﻫ ﻭﺣ ﹶﺬﺭ ﻓﹶﺎ Dari 'Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw membaca ayat ini: "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata; Kami beriman kepada Al Qur'an, seluruhnya dari Rabb kami. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang memiliki akal pikiran." (QS. Ali 'Imran [3] : 7) Aisyah berkata: Kemudian Rasulullah saw bersabda: "Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat, maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, maka waspadalah kalian terhadap mereka!" 38 37
Untuk lebih jelasnya, bisa dirujuk pada buku penulis, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispers, 2011, bab Konsep Wahyu dan Kenabian. 38 Shahih al-Bukhari kitab tafsir al-Qur`an bab minhu ayat muhkamat no. 4547; Shahih Muslim kitab al-'ilm bab an-nahy 'anit-tiba'i mutasyabihil-Qur`an no. 6946; Sunan Ibn Majah kitab iftitah bab ijtinabil-bida’ wal-jadal no. 47; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24256, 24973, 25048, 26240. Muhkam ada dua bagian; muhkam ‘am dan muhkam khash. Muhkam ‘am maksudnya ayat-ayat al-Qur`an muhkam secara keseluruhan, sebagaimana diisyaratkan QS. Hud [11] : 1. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan muhkam adalah: Sempurna dalam susunan, dan bahwasanya semuanya haq dari sisi Allah (Fathul-Bari kitab tafsir al-Qur`an bab minhu ayat muhkamat). Sementara muhkam khash adalah ayat-ayat yang jelas maknanya dan merupakan kebalikan dari mutasyabih sebagaimana disebutkan QS. Ali ‘Imran [3] : 7. Artinya tidak semua ayat al-Qur`an muhkam, ada beberapa di
9 Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani mengutip penjelasan para ulama yang menjelaskan bahwa adanya ayat-ayat yang mutasyabihat di antaranya untuk menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia di hadapan pengetahuan Allah swt, sehingga manusia sudah semestinya merendah di hadapan keagungan Allah swt. Hampir sama dengan seorang ulama yang menulis kitab dengan menyisakan beberapa masalah yang sengaja tidak diulas secara rinci agar muridnya bersemangat belajar langsung darinya (Fathul-Bari kitab tafsir al-Qur`an bab minhu ayat muhkamat). Imam Ibn Katsir menjelaskan, adanya ayat-ayat mutasyabihat sama sekali tidak menjadi masalah untuk al-Qur`an, sebab Allah swt sudah memberitahu cara untuk memahaminya, yaitu dengan merujukkannya pada ayat-ayat muhkamat yang merupakan ummul-kitab (pokok al-Qur`an). Contohnya, para pendeta Kristen Najran pernah mempersoalkan ayat-ayat tentang ‘Isa ibn Maryam yang disebutkan al-Qur`an sebagai kalimah-Nya dan ruh-Nya yang langsung ditiupkan pada Maryam (QS. AnNisa` [4] : 171). Menurut mereka ini menjadi dalil yang kuat bahwa antara ‘Isa (Yesus) dengan Allah satu zat; ‘Isa bagian dari Allah dan Allah bagian dari ‘Isa. Meskipun tidak pernah ditemukan tafsir langsung dari Nabi saw tentang maksud ‘Isa ibn Maryam kalimah Allah dan ruh-Nya, tetapi sudah menjadi hal yang muhkam bahwa Allah swt Esa/Ahad, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Tentang ‘Isa, QS. Az-Zukhruf [43] : 59 dengan jelas menyebutnya sebagai hamba Allah swt bukan anak Allah swt, dan tentang penciptaannya tidak jauh beda dengan penciptaan Adam, diciptakan dari tanah lalu diputuskan “kun” maka jadi (QS. Ali ‘Imran [3] 59). Demikian semestinya ayat-ayat mutasyabihat dipahami (Rujuk Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 7). Nabi saw dalam hadits di atas mengingatkan umatnya untuk mewaspadai orangorang yang mempersoalkan ayat-ayat mutasyabihat dengan niat menimbulkan fitnah (kekacauan, kerisauan dan kegelisahan) di kalangan umat, juga berusaha mengetahui hakikat sebenarnya dari ayat-ayat mutasyabihat. Mereka layak diwaspadai karena pasti di dalam hatinya ada zaighun; keraguan dan penyimpangan dari kebenaran. Orang-orang yang seperti ini adalah orang-orang yang tidak total beriman kepada kitab Allah swt. Kita jangan sampai terpengaruh oleh mereka, meskipun ada beberapa hal yang mutasyabihat dalam al-Qur`an kita tetap harus beriman, sebab semuanya
antaranya yang tidak muhkam yakni mutasyabih. Masuk dalam kategori ayat-ayat muhkam ini, menurut Ibn ‘Abbas, adalah ayat-ayat yang me-naskh, yang menjelaskan halal dan haram, hukum-hukum had dan faraidl, dan ayat-ayat yang diimani juga diamalkan (Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 7). Sebagaimana halnya muhkam, mutasyabih ada dua pengertian; mutasyabih ‘am dan mutasyabih khash. Mutasyabih ‘am sebagaimana dimaksud QS. Az-Zumar [39] : 23 adalah ayat-ayat al-Qur`an seluruhnya mutasyabih, yakni serupa kandungannya dan saling menguatkan. Adapun mutasyabih khash sebagaimana diisyaratkan QS. Ali ‘Imran [3] : 7 adalah sebagian ayat-ayat al-Qur`an ada yang mutasyabih. Dalam konteks ini, mutasyabih bermakna samar/tidak jelas bagi pendengar (Fathul-Bari kitab tafsir al-Qur`an bab minhu ayat muhkamat). Masuk dalam kategori ini ayat yang di-mansukh, matsal, sumpah, ayat yang diimani tapi tidak diamalkan, dan huruf-huruf muqaththa’ah (terputus) pembuka surat seperti Alif Lam Mim, dan lainnya (Tafsir Ibn Katsir QS. Ali ‘Imran [3] : 7). Di kalangan para ulama sendiri tidak ada kesepakatan untuk memberikan batasan yang jelas ayat-ayat mana saja yang termasuk mutasyabih. Ini artinya tergantung para pembaca al-Qur`an itu sendiri. Ketika menemukan ada ayat yang samar maknanya, itu bisa dikategorikan mutasyabih. Fenomena munculnya sekte liberalisme dalam Islam dengan mempersoalkan ayat-ayat yang sudah qath’i penafsirannya di kalangan para ulama bisa dijadikan salah satu kasus. Sebab mereka memandang ada aspek-aspek tertentu dari ayat-ayat tersebut yang samar dan memungkinkan adanya penafsiran lain. Kasus ayat-ayat semacam ini bisa dikategorikan ayat-ayat mutasyabih. Dalam tulisan ini kajian akan difokuskan pada muhkam dan mutasyabih khash sebagaimana dimaksud oleh QS. Ali ‘Imran [3] : 7 yang menjadi tema pembicaraan Nabi saw dalam hadits di atas.
10 juga diturunkan dari sisi Allah swt (amanna bihi kullun min ‘indi Rabbina). Kekurangpahaman kita terhadap beberapa ayat yang mutasyabihat tidak boleh menyebabkan kita ragu dengan al-Qur`an, sebab pokok al-Qur`an ada pada ayat-ayat yang muhkamat. Ibn Katsir merinci bahwa di antara mereka yang selalu mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat adalah Khawarij; sebuah aliran keagamaan yang menilai bahwa para shahabat dan kaum muslimin seluruhnya berdosa besar dan halal darahnya disebabkan sudah melanggar hukum Allah swt ketika menyerahkan urusan hukum kepada utusan ‘Ali dan Mu’awiyah. Menurut Khawarij kaum muslimin sudah melanggar firman Allah swt: Hukum hanya milik Allah (QS. Al-An’am [6] : 57, Yusuf [12] : 40, 67). Ini adalah di antara bentuk penyimpangan dalam memahami ayat Allah swt yang terdapat padanya kesamaran (isytibah/mutasyabih) sedikit. Di belakang Khawarij kemudian bermunculan Qadariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan kelompok-kelompok ahli bid’ah lainnya yang selalu mengutak-atik ayat-ayat Allah yang sedikit isytibah dan dinilai condong kepada pendapat mereka. Mereka semua adalah sekte-sekte yang memahami agama tidak memakai panduan Nabi saw dan para shahabat. Seandainya Ibn Katsir hidup di zaman sekarang, pasti Ibn Katsir akan menyebut juga para orientalis dan pengekornya dari kalangan liberalis sebagai kelompok alladzina fi qulubihim zaighun. Mereka sudah bukan lagi mempersoalkan ayat-ayat tertentu yang menurut mereka mutasyabih—seperti ayat waris, kepemimpinan rumah tangga, dan pakaian yang membedakan laki-laki dan perempuan; ayat yang yang membeda-bedakan manusia berdasar agama; dan lainnya—tetapi juga sudah mempersoalkan otentisitas wahyu/al-Qur`an itu sendiri. Orang-orang seperti inilah yang disebut oleh Nabi saw sudah diberi nama/stempel oleh Allah swt: alladzina fi qulubihim zaighun; orang-orang yang hatinya menyimpang. Maka dari itu berhatihatilah terhadap mereka, jangan sampai kita terbawa ragu terhadap al-Qur`an. ___________________ Daftar Pustaka Ahmad ibn 'Ali ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (alMaktabah as-Syamilah) ______, al-Talkhîsh al-Habîr (al-Maktabah as-Syamilah) Ahmad Mahmud Shubhi, Fî 'Ilm al-Kalâm: Dirâsah Falsafiyyah li Ârâ` al-Firaq alIslâmiyyah fî Ushûl al-Dîn. Dar an-Nahdlah al-Islamiyyah, t.th Al-Biqa’i, Nazhmud-Durar fi Tanasubil-Ayat was-Suwar (al-Maktabah as-Syamilah) Fahd ibn ‘Abdurrahman ar-Rumi, Dirasat Maktabah at-Taubah, 2000.
fi ‘Ulumil-Qur`anil-Karim, Riyadl:
Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushulit-Tafsir, Beirut: Maktabah al-Hayah, 1980. 'Imaduddin Abul-Fida` Isma'il ibn Katsir, Tafsir al-Qur`an al-'Azhim (al-Maktabah as-Syamilah) Majid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, terj. Zaimul Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Bandung: Mizan, 2002, Cet. II.
11 Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil-Qur`an, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, cet. XI. Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispers, 2011 Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an (al-Maktabah asSyamilah) Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, Jakarta: Gema Insani, 2008. Wahbah az-Zuhaili, Ushulul-Fiqhil-Islami, Damaskus: Darul-Fikr, 1986. _____, Tafsir al-Munir (al-Maktabah as-Syamilah) _____, Ushûl al-Fiqh wa Madâris al-Bahts Fîhi, Damaskus: Dar al-Maktabi, 1420 H/2000 M
ERROR: syntaxerror OFFENDING COMMAND: --nostringval-STACK: /Title () /Subject (D:20111117144035+07’00’) /ModDate () /Keywords (PDFCreator Version 0.9.5) /Creator (D:20111117144035+07’00’) /CreationDate (nashruddin syarief) /Author -mark-