MENGEMBANGKAN MUTU MADRASAH MENUJU MADRASAH BERTARAF INTERNASIONAL Siswanto Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan email:
[email protected]
Abstrak: Ada dua tantangan yang dihadapi madrasah baik bersifat internal maupun eksternal. Dari segi internal, menyangkut rendahnya mutu pendidikan dan mutu pendidik, belum memenuhi standar isi dan standar kompetensi lulusan minimal, pengelolaan yang belum profesional, dan sebagainya. Secara eksternal, menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung diskriminatif, bahkan ada yang menganggap sebagai pendidikan “kelas dua” setelah sekolah. Untuk itu, madrasah harus melakukan reaktualisasi guna meningkatkan kuantitas dan kualitas lulusan, mencapai dan/atau secara bertahap mampu melampaui delapan standar nasional pendidikan, dan mengembangkan program unggulan untuk meningkatkan citra madrasah di kalangan masyarakat maupun pemerintah. Salah satu langkah yang diambil adalah mendorong pendirian madrasah bertaraf internasional. Kata kunci: Mutu, madrasah, madrasah bertaraf internasional Abstract: Madrasa face two challenges, both internal and external. The internal challenges regard to the low quality of education and quality educators. it does not meet the content standard and minimum competency standards, unprofessional management, and so forth. While the external challenges deal with the public and government descrimanating perceptions that is considered to be "second class" education after public school. For this reason, madrasa has to reactualize to improve the quantity and quality of graduates, gradually exceed the eight national education standards, and develop exempleay program to improve the image of madrasa in society and government. The step taken was to encourage the establishment of an international standard madrasa. Keywords: quality, madrasa, international standard madrasa.
Pendahuluan Setiap lembaga pendidikan berperan sebagai wahana strategis dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas bagi pembangunan bangsa. Demikian pula lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah turut menjalankan berbagai aktivitas kependidikan di pentas pendidikan nasional. Sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah, sekolah agama, pesantren dan perguruan tinggi agama Islam (PTAI) harus dikelola secara terencana agar mampu menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM)1 yang memiliki kualitas keimanan, ketakwaan, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memelihara dan mengembangkan eksistensi bangsa.2 Dalam masa yang cukup panjang, lembaga pendidikan madrasah di Indonesia berada di persimpangan jalan antara mempertahankan tradisi lama dan mengadopsi perkembangan baru. Upaya mempertahankan sepenuhnya tradisi lama berarti status quo yang menjadikannya terbelakang meskipun memuaskan secara emosional dan romantisme dengan identitas pendidikan Islam masa lalu.3 Sementara itu, 1Pengembangan
sumberdaya manusia tidak semata terfokus pada peningkatan sektor keterampilan (fisik), tetapi non-fisik seperti tata nilai, norma-norma keagamaan dan nilai-nilai moralitas. Salah satu penyebab krisis multidimensi yang dihadapi Indonesia yang bersumber dari kesalahan manusia Indonesia yang lebih mengutamakan pengembangan fisik dibandingkan pengembangan non-fisik harus dapat dijadikan pelajaran berharga, bahwa modal fisik yang besar seperti kekayaan alam yang melimpah tidak menjadi jaminan mampu mencegah dan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan bilamana sisi non-fisik sumber daya manusia tidak menjadi prioritasnya. Krisis yang dialami Indonesia tidak lepas dari pelaksanaan pendidikan yang lebih condong berorientasi pada masalah fisik, sementara masalah tata nilai seperti penguatan dan pemberdayaan aspek moral kurang mendapat perhatian. Lihat Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 59. 2Syafarudin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 1. 3Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih massif, populis dan mencerminkan suatu gerakan masyarakat bawah. Karena itu, madrasah lebih banyak di pedesaan dan daerah pinggiran, dan lebih dimotivasi secara instrinsik bahwa belajar itu sebagai suatu kewajiban dan kerja tanpa pamrih atau li Allah Ta'ala. Motivasi agama ini didukung pila oleh ajaran wakaf yang memberi dorongan bahwa tanah/sarana yang telah diwakafkan akan terus mengalir amalnya walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Maka tidak heran jika hamper seluruh tanah madrasah adalah wakaf. Lihat Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 139.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
281
mengadopsi perkembangan begitu saja berarti mengesampingkan akar sejati dan nilai autentik dari sejarah pendidikan Islam, walaupun berhasil memenuhi kebutuhan pragmatis untuk menjawab tantangan sesaat dari lingkungan sekitarnya. Situasi ini tercermin dalam kebingungan, maju mundur, dan ketidakjelasan arah dan paradigma pendidikan madrasah selama ini. Sehingga diperkirakan masih banyak lembaga pendidikan madrasah yang kurang berdaya menghadapi tuntutan perubahan dan tantangan yang semakin hari semakin kompleks,4 apalagi menghadapi berbagai munculnya berbagai jenis dan jenjang sekolah berpredikat unggul/plus sebagai competitor (pesaing) bahkan lembaga pendidikan luar negeri yang ada dalam lingkungannya. Jadi diperkirakan keterbatasan sumber daya kependidikan masih menyelimuti sosok lembaga pendidikan madrasah. Akibatnya, lembaga pendidikan madrasah seakan kurang berdaya untuk menghadapi perubahan eksternal5 baik 4Kompleksitas
masalah dan tantangan tersebut setidaknya ada dua, yaitu sebagai berikut: pertama, tantangan yang hadir dari luar dan biasa disebut sebagai tantangan global. Tantangan ini tidak bisa dihindari begitu saja. Justru sebaliknya kita harus merebut peran dan bisa mengikuti perkembangan globalisasi. Karena dalam era globalisasi, perkembangan teknologi dan informasi sangat cepat dan canggih sekali. Dalam konteks semacam ini, maka pendidikan Islam harus ikut serta dan secara aktif merespons dengan menawarkan segala hal sesuai dengan tuntutan zaman. Kedua, masalah dan tantangan otonomi pendidikan. Tantangan ini muncul seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang pada akhirnya berimplikasi pada pendidikan dengan lahirnya otonomi pendidikan. Pada satu sisi, tentu saja hal ini adalah sesuatu yang positif, tetapi di sisi lain kita harus menyadari bahwa di era ini persaingan semakin ketat antara satu lembaga pendidikan dengan lainnya. Maka jelas diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan sumber pendanaan yang kuat dan besar. Tantangan-tantangan di atas, tentu saja perlu segera direspon secara positif, manakala tidak segera direspon, lambat laun pendidikan Islam pasti ditinggal. Lihat Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 55-56. 5Secara eksternal, masa depan pendidikan Islam--termasuk di dalamnya madrasah-dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi Islam. Globalisasi tidak semata-mata mempengaruhi sistem pasar, tetapi juga sistem pendidikan. Penetrasi budaya global terhadap kehidupan masyarakat Indonesia akan direspon secara berbeda oleh kalangan pendidikan, yakni (1) permisif: cenderung menerima begitu saja pola dan model buadaya global yang dialirkan melalui teknologi informasi, tanpa memahami nilai dan substansinya. (2) defensif: apriori terhadap capaian budaya dan peradaban global, semata-mata karena ia tidak datang dari tradisi
282
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
dari segi sumber daya personil, sumber daya material maupun penguasaan IPTEK untuk melakukan akselerasi pembelajaran menuju keunggulan mutu lulusannya.6 Kondisi Objektif Pendidikan Madrasah Dunia pendidikan mempunyai kompleksitas masalah, dari masalah dasar filosofis, gagasan, visi, misi, institusi, program, manajemen, sumber daya manusia, bidang kependidikan, lingkungan pendidikan, pembiayaan, kepercayaan, dan partisipasi masyarakat, kualitas out put pendidikan, serta relevansinya dengan dinamika masyarakat dan tuntutan sosio kultural sekitarnya.7 Tidak ada satu negara dan satu bangsa pun di dunia sampai sekarang ini yang tidak terlibat dalam kompleksitas masalah pendidikan tersebut, sampai-sampai PBB juga terlibat di dalamnya, dengan melalui UNESCO-nya perlu memberikan arahan dengan visi kependidikan. Seperti yang terakhir dengan visi pendidikan global memasuki abad ke-21 dengan empat pilarnya,8 yaitu: 1) learning to know (belajar yang diikutinya selama ini, dan (3) transformatif: berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya lokal sehingga terjadi sintesis budaya yang dinamis dan harmonis. Sedangkan demokratisasi mengarah pada sistem pengelolaan berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Jika sebelumnya sistem pendidikan bersifat sentralistik, seragam, dan dependen, maka belakangan berkembang tuntutan pengelolaan pendidikan yang lebih otonom dan beragam, disamping tuntutan partisipasi masyarakat semakin meningkat serta menggeser paradigma pendidikan sehingga lebih menekankan pada peran siswa secara aktif. Sementara itu, liberalisasi Islam dalam pengertian ekstrim, diartikan mengabaikan sama sekali teks-tels suci ketika membahasa isu-isu yang memang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalamnya. Sedangkan perspektif yang moderat menyadari perlunya penafsiran yang bebas terhadap teks-teks suci sejauh konsisten dengan nilai dasar yang dikandungnya, sehingga isu baru apapun yang berkembang pada dasarnya memiliki relevansi dengan esensi ajaran agama. Lihat Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam, hlm. 14-16. 6Syafaruddin, Manajemen Lembaga, hlm. 12. 7Muchsin dan Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, hlm. 56. 8Hal ini berawal dari asumsi bahwa pendidikan di abad ke-21 diprediksi akan jauh berbeda dari pendidikan yang sekarang. Sehingga UNESCO mulai tahun 1997 sudah mulai menggali kembali dan memperkenalkan the Four Pillars of Education tersebut untuk mengantisipasi perubahan yang bukan hanya linier tetapi mungkin eksponensial yang diantisipasi akan terjadi dalam masyarakat yang mengglobal. Keempat kemampuan ini dimulai dari belajar untuk mengetahui. Setelah dapat belajar untuk mengetahui diharapkan dapat menerapkannya. Eksplorasi lebih detail lihat Wuri
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
283
untuk mengetahui, berfikir, bersikap kritis dan rasional), 2) learning to do (belajar untu berbuat, untuk bekerja profesional, dan untuk meningkatkan skill, 3) learning to be (belajar menjadi diri sendiri, belajar menyadari jati diri, untuk berkepribadian) dan 4) learning to live together (belajar hidup bersama orang lain, hidup dalam suasana pluralis, saling mengenal dan menghormati). Dinamika yang demikian juga dialami oleh lembaga pendidikan Islam di mana saja. Demikian pula dengan pendidikan madrasah, masalah klasik yang menjadi problem pokok adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia pengelola pendidikan. Hal ini terkait dengan program kependidikan yang masih lemah dan pola rekrutmen tenaga kependidikan yang kurang selektif. Namun demikian, trend dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa penyelesaian atas masalah sumberdaya manusia itu mengalami penanganan yang semakin baik.9 Dalam sosialisasi kebijakan tentang Pembinaan dan Peningkatan Mutu Madrasah pada Rapat Koordinasi Pengembangan Kurikulum Madrasah, pada tanggal 14-16 November 2007, di Cisarua Bogor, Dirjen Pendidikan Islam menyatakan adanya beberapa tantangan yang dihadapi oleh madrasah baik bersifat internal maupun eksternal. Dari segi internal, tantangan yang dihadapi adalah menyangkut: pertama, mutu; penyelenggaraan dan pengelolaan madrasah umumnya belum dapat melahirkan lulusan yang berkualitas. Kedua, pendidik; sebagian besar tenaga pendidik dan kependidikan di madrasah belum berkualifikasi sesuai dengan tuntutan perundangan-undangan. Ketiga, kurikulum; sebagian besar madrasah belum dapat mengimplementasikan standar isi dan belum sepenuhnya dapat mencapai standar kompetensi lulusan minimal. Keempat, manajemen; penyelenggaraan dan pengelolaan madrasah yang 91,4 % swasta, umumnya belum dikelola dengan manajemen yang profesional. Kelima, sarana dan prasarana; belum memadainya sarana dan prasarana pada sebagian besar madrasah, dan keenam, Status; belum sepenuhnya percaya diri Soedjatmiko, “Pendidikan Tinggi dan Demokrasi” dalam Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, ed. Sindhunata (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 55-58. Lihat juga Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 132135. 9Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam, hlm.14.
284
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
dalam pengelolaan dan penyelenggaraan dan terbatasnya peluang penegerian sehingga madrasah negeri yang umumnya telah memenuhi standar minimal, hanya berjumlah 8,6%.10 Secara eksternal, tantangan yang dihadapi madrasah adalah menyangkut persepsi masyarakat dan pemerintah yang cenderung diskriminatif, sehingga madrasah kurang mendapatkan perhatian, termasuk dalam penyediaan anggaran, bahkan ada yang menganggap sebagai pendidikan “kelas dua” setelah sekolah.11 Persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap madrasah tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” mungkin juga ada benarnya. Indikasinya dapat dilihat dari out put-nya, gurunya, sarana, dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah langkanya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan tinggi, serta yang memiliki kedudukan dan jabatan memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut.12 Namun demikian, kenyataan sejarah menunjukan bahwa pada periode H.A. Mukti Ali menjadi Menteri Agama RI, ia menawarkan konsep alternatif pengembangan madrasah melalui kebijakan SKB 3 10Muhaimin,
Rekonstruksi Pendidikan Islam, dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 23. Hingga saat ini 91,4% jumlah madrasah yang ada di Indonesia adalah milik swasta, sedangkan sisanya (8,6%) adalah bersatus negeri. Dari data statistik madrasah di jawa Timur tahun 2006 misalnya, menunjukkan bahwa dari 6.671 MI hanya ada 2,16% (143) yang berstatus negeri, sisanya 97,84% (6.474) berstatus swasta. Dari sejumlah MI tersebut dapat menampung peserta didik sebanyak 868.065 peserta didik, dengan rincian 27.862 peserta didik MIN dan 840.203 peserta didik MIS. Untuk MTs, dari 2.678 MTs hanya 6,72% (180) yang bersatus negeri, sedangkan sisanya 2.498 (93,27%) berstatus swasta. Dari sejumlah MTs tersebut dapat menampung peserta didik sebanyak 429.159 peserta didik, dengan rincian 96.138 peserta didik MTsN dan 333.021 peserta didik MTsS. Untuk MA, dari 1.037 MA hanya 8,1% (84) yang bersatus negeri, sedangkan sisanya 953 (91,9%) berstatus swasta. Dari sejumlah MA tersebut dapat menampung peserta didik sebanyak 165.916 peserta didik, dengan rincian 50.863 peserta didik MAN dan 115.053 peserta didik MAS. Lihat Data Madrasah di Lingkungan MAPENDA Kanwil Depag Propinsi Jawa Timur, 2006. 11Ibid. Bandingkan dengan Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 30. 12Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 185.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
285
Menteri, yang berusaha mensejajarkan kualitas madrasah dengan sekolah dengan porsi kurikulum 70 % umum dan 30% agama.13 Pada periode Menteri Agama Munawir Sadzali menawarkan konsep Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), dan pada periode Menteri Agama RI H. Tarmizi Taher menawarkan konsep sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam,14 yang sedang berlangsung hingga sekarang.15 Dilihat dari isu sentralnya, Mukti Ali rupanya ingin mendobrak pemahaman masyarakat yang bernada sumbang terhadap eksistensi madrasah, di mana ia selalu didudukkan dalam posisi marginal, karena ia hanya berkutat pada kajian masalah keagamaan Islam dan miskin pengetahuan umum, sehingga out put-nya pun berkurang diperhitungkan oleh masyarakat.16 Dengan munculnya SKB 3 menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) pada tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, rupanya masyarakat mulai memahami eksistensi madrasah tersebut dalam konteks pendidikan nasional. Di dalam bab II pasal 2 dinyatakan, bahwa: 1) ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; 2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas; dan 3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.17 Upaya tersebut dapat dibaca sebagai upaya “mengintegrasikan pendidikan tradisional ke dalam sistem pendidikan modern”. Asumsinya adalah dengan berintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional, madrasah sebagai lembaga pendidikan yang selama ini masih dipan-
13Lihat
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 152. 14Penjelasan lebih lanjut yang berkaitan dengan hal ini, lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 183-189. 15Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 175-176. 16Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo, 2009), hlm. 198. 17Muhaimin, Wacana Pengembangan, hlm. 176.
286
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
dang tradisional, dapat menyerap unsur-unsur pendidikan modern yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional.18 Hanya saja ruh dari SKB tersebut rupanya belum banyak dtangkap dan dipahami oleh para pembina dan pengelola madrasah itu sendiri. Porsi 70 % pengetahuan agama dan 30% pengetahuan agama rupanya dipahami secara simbolik--kuantitatif dan bukan substansial -kualitatif, sehingga lagi-lagi out put-nya menjadi mandul, pengetahuan umum masih dangkal dan pengetahuan agamanya tidak jauh berbeda.19 Reaktualisasi Pendidikan Madrasah Untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, madrasah harus berusaha melakukan reaktualisasi guna memenuhi hal-hal berikut: pertama, meningkatkan kuantitas dan kualitas lulusan dengan indikator-indikator: a) siswa dapat berprestasi dalam menempuh ujian nasional dan lulusan dari madrasah dengan predikat minimal baik, sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada satuan pendidikan yang unggul/favorit; b) meningkatnya jumlah siswa yang berprestasi di bidang akademik, terutama dalam mengikuti Olimpiade, serta bidang nonakademik (seperti olah raga, seni dan sebagainya) pada tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan/atau nasional bahkan internasional; c) lulusan madrasah dapat berkompetensi dengan lulusan sekolah umum; dan d) lulusan madrasah dapat memenuhi harapan stakeholders, dapat memenuhi harapan dan kebutuhan orang tua, masyarakat, dunia kerja, pemerintah, dan sebagainya.20 18M.
Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), hlm. 121. Sebagai konsekuensinya, maka masuknya madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini mengindikasikan: 1) dimulainya pola pembinaan mengikuti satu ukuran yang mengacu pada sekolah-sekolah pemerintah; 2) mengikuti kurikulum nasional; dan 3) mengikuti Ujian Nasional dan berbagai peraturan yang diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Kementerian Pendidikan, pen.). Lihat Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarata: LKiS, 2008), hlm. 206. 19Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, hlm.176. 20Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, hlm. 24. Sementara itu, H.A.R. Tilaar memandang perlu dilakukan reaktualisasi madrasah menuju ke arah: (1) pendidikan yang berbasis masyarakat, yaitu dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penye-
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
287
Kedua, mencapai dan/atau secara bertahap mampu melampaui delapan standar nasional pendidikan sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, yang diikuti dengan beberapa Permendiknas sebagai penjabaran dari PP tersebut. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI yang terdiri atas delapan standar, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.21 lenggaraan dan pengelolaan pendidikan; (2) keterakaran pada nilai-nilai luhur budaya; dan (3) otonomi daerah. Lihat H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 174-176. 211) Standar isi merupakan materi dan tingkat kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap peserta didik di dalam berjenis tingkat dan jenis pendidikan. Di dalam standar isi termasuk kompetensi dasar para tamatan, kompetensi mata pelajaran, kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan/akademik dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 2) Standar proses meliputi pelaksaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. 3) Standar kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan merupakan standar tentang kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental serta pendidikan dalam jabatan dari tenaga guru serta tenaga kependidikan lainnya. 5) Standar sarana dan prasarana, mengenai kriteria minimal tentang ruang belajar, perpustakaan, tempat olah raga, tempat ibadah, tempat bermain dan rekreasi, laboratorium, bengkel kerja, sumber belajar lainnya yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Dalam standar ini termasuk pula penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. 6) Standar pengelolaan meliputi perencanaan pendidikan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, pengelolaan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pada tingkat nasional. Tujuan standar ini ialah meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 7) Standar pembiayaan merupakan standar nasional yang berkaitan dengan komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama satu tahun. 8) Standar penilaian pendidikan merupakan standar nasional penilaian pendidikan tentang mekanisme, prosedur, instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Lihat H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 169-170. Untuk menggambarkan kondisi riil atau profil sekolah/madrasah tentang tingkat pencapaiannya terhadap delapan standar tersebut dapat menggunakan beberapa instrumen dan data pendukung tertentu. Untuk uraian lebih lanjut berkaitan dengan hal tersebut lihat Muhaimin, et.al. Manajemen Pendidikan, Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 235-341. Lihat juga
288
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
Dengan demikian, setiap madrasah dituntut untuk memenuhi standar tersebut untuk selanjutnya berusaha meningkatkan kualitasnya ke standar yang lebih tinggi.22 Ketiga, mengembangkan program-program unggulan yang dapat meningkatkan citra madrasah di kalangan masyarakat maupun pemerintah.23 Upaya tersebut akan dapat terwujud jika madrasah melakukan perubahan, inovasi, atau pembaruan sebagai “kata kunci” yang perlu dijadikan titik tolak dalam mengembangkan madrasah. Untuk memanaj perubahan tersebut, perlu bertolak dari visi yang jelas, kemudian dijabarkan dalam misi, dan didukung oleh skill, insentif, sumber daya (fisik dan nonfisik, termasuk SDM), untuk selanjutnya diwujudkan dalam rencana kerja yang jelas. Perubahan dan inovasi itu sendiri hanyalah sebagai alat bukan tujuan. Apa yang dituju oleh perubahan dan inovasi itu adalah peningkatan mutu pendidikan, sehingga masing-masing madrasah dituntut menyelenggarakan dan mengelola pendidikan secara serius dan tidak sekedarnya, ia harus mampu memberikan quality assurance (jaminan mutu), mampu memberikan layanan yang prima, serta mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada peserta didik, orang tua, masyarakat dan stakeholders lainnya.24 Jadi, upaya melakukan reaktualisasi diperlukan adanya perubahan madrasah dari pengelolaan seadanya menuju ke perhatian pada mutu, pengembangan dan pemberdayaan SDM yang berkualifikasi dan berkompetensi, serta melakukan sinkronisasi dengan kebijakan nasional dengan cara memenuhi standar-standar nasional yang ada, bahkan meningkatkannya ke standar yang lebih tinggi, sehingga eksistensinya diakui di tingkat nasional, regional maupun internasional.25 Arah Pengembangan Madrasah Sejalan dengan perkembangan dunia yang semakin maju, masyarakat dihadapkan dengan berbagai pilihan menyangkut berbagai Muhaimin, et.al. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 15. 22Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, hlm. 22-23. 23Ibid, hlm. 24. 24Ibid, hlm. 25. 25Ibid.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
289
aspek dan dimensi kehidupan. Masyarakat pun, dengan tingkat rasionalitas yang memadai, sudah demikian cerdas untuk menentukan pilihan. Pilihan-pilihan mereka tidak lagi bersifat emosional dan mengandalkan primordialisme. Akan tetapi, pilihan-pilihan yang lebih rasional dan berwawasan ke depan. Fenomena seperti ini juga dengan sendirinya menyentuh bidang pendidikan, misalnya, dalam memilih lembaga pendidikan untuk menyekolahkan anak-anak mereka pun sangat rasional dan mempertimbangkan prospektif ke depan. Mereka yang berpeluang memilih, akan menentukan pilihan kepada lembaga pendidikan yang dipandangnya ideal, yakni lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan potensi sipritual dan akhlak para siswa, yang mampu mengembangkan aspek intelektual, dan lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan potensi sosial maupun keterampilan anak didiknya.26 Madrasah secara kelembagaan perlu dikembangkan dari sifat “reaktif” dan proaktif terhadap perkembangan masyarakat menjadi rekonstruksionistik-sosial. Menjadi rekonsionistik berarti pendidikan madrasah perlu aktif ikut memberi corak dan arah terhadap perkembangan masyarakat yang dicita-citakan. Untuk memiliki kemandirian menjangkau keunggulan, filosofi ini perlu dijabarkan dalam strategi pengembangan pendidikan madrasah yang visioner, lebih memberi nilai tambah stategis, dan lebih meningkatkan harkat dan martabat manusia. Strategi pengembangan pendidikan madrasah perlu dirancang agar mampu menjangkau alternatif jangka panjang, mampu menghasilkan perubahan yang signifikan, ke arah perncapaian visi dan misi lembaga, sehingga akan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif terhadap bangsa-bangsa lain.27 Pengembangan madrasah, di satu pihak, tidak boleh apriori terhadap trend pendidikan yang dibawa oleh proses globalisasi, internasionalisasi dan universalisasi, seperti komputerisasi, vokasionalisasi dan ekonomisasi. Tetapi di fihak lain, pengembangan madrasah harus tetap tegar dengan karakteristik khas yang dimilikinya sebagai bum-
26Imam
Suprayogo, Quo Vadis Madrasah, Gagasan, Aksi dan Solusi Pembangunan Madrasah (Yogyakarta: Hikayat, 2007), hlm. 55-56. 27http://www.infogue.com/viewstory/2009/05/04/strategi_mewujudkan_madrasah _unggul/?url:http://ahmadma
290
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
per kehidupan masyarakat dari persoalan-persoalan moral dan spritual.28 Salah satu sikap yang diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas madrasah adalah pengembangan sikap kreativitas, yakni suatu sikap untuk memilih dan memilah informasi yang tepat, saling menyebarkan informasi dalam suatu networking atau rangkaian sehingga terciptalah berbagai ide-ide baru. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dari lautan informasi yang ada merupakan sesuatu yang perlu dikembangkan di dalam sistem pendidikan.29 Oleh sebab itu, gagasan pengembangan dalam pendidikan merupakan refleksi pemikiran untuk melakukan berbagai perubahan dengan perubahan-perubahan komprehensif sebagai respon terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi, dan atau hasil analisis prediktif yang dilakukan secara seksama dan cermat serta holistik.30 Gagasan seperti ini menjadi titik awal yang mendasari restrukturisasi pendidikan, yakni memperbaharui pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan pemerintah, pola pengembangan perencanaan serta pola pengelolaan manajerialnya, pemberdayaan guru dan restrukturisasi model-model pembelajaran. Maka dari itu, gagasan ini pula harus direspons oleh lembaga pendidikan Islam, tidak terkecuali oleh madrasah, sehingga kemudian muncul beberapa kebijakan Departemen Agama dalam mengembangkan madrasah.31 Dari sinilah lahir istilah lembaga pendidikan integra28
Ibid.
29Suwardi,
“Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra sebagai Wahana Penciptaan Masyarakat Madani,” Cakrawala Pendidikan, 2 (Mei, 1999), hlm. hlm. 66. 30Decker F. Walker and Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims (New York: Teacher College Press, 1997), hlm. 77. 31Kebijakan pengembangan madrasah yang dilakukan oleh Departemen Agama selama ini mengakomodasikan tiga kepentingan. Pertama, kebijakan itu memberikan ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi umat Islam, yakni menjadi madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup Islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif dan sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan. Lihat Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 164.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
291
tif, sekolah/madrasah terpadu, sekolah/madrasah model, sekolah/madrasah berstandar nasional, sekolah/madrasah bertaraf internasional, dan bentuk sekolah/madrasah unggulan lain yang penyebutannya menggambarkan sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan kualitas.32 Madrasah Bertaraf Internasional Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50, ayat 3 dinyatakan bahwa "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional". Dan secara implisit amanat tersebut telah dimuat dalam Cetak Biru Pendidikan Nasional 20062025, dan secara eksplisit telah dimuat dalam rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Untuk memenuhi amanat UUSPN 20/2003 tersebut, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) mulai dirintis tahun 2006. Tujuan utama penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional adalah upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional, khususnya supaya eksistensi pendidikan nasional Indonesia diakui di mata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya.33 Ada tiga alasan yang menjadi latar belakang rintisan penyelenggaraan SBI: (1) Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk dan meningkatkan mutu produk; keunggulan manajemen akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi; sedangkan keunggulan SDM dianggap sebagai kunci daya saing yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan dan kemenangan dalam persaingan. (2) Rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yang dimuat dalam UU No 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat 3 serta pada pasal 50 ayat 7 tentang sistem pendidikan nasional dan ketentuan untuk membuka SBI. (3) Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme 32Suprayogo,
Quo Vadis Madrasah, hlm. 56.
33http/www.satriadharma.wordpress.com.
292
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
yang berkeyakinan bahwa pendidikan harus mampu menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan, kreatif inovatif, eksperimentatif, menumbuhkan bakat, minat, kemampuan, dan kecakapan peserta didik; menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan tingkat kecerdasan; dan memberi perlakuan yang maksimal untuk mengaktualisasikan potensi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik. Dalam rangka memenuhi penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasiona tersebut maka pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (2007) menerbitkan Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional. Pedoman ini memberikan makna bahwa madrasah memiliki peluang sama untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan bertaraf internasional.34 Sehingga pada gilirannya mutu pendidikannya dapat bersaing secara kompetitif dengan mutu lulusan sekolah menengah umum. Maka dari itu, Departemen Agama (Depag) telah menunjuk empat MA di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera sebagai pilot project Madrasah Bertaraf Internasional (MBI). Madrasah Bertaraf internasional (MBI) adalah sebuah penghargaan yang dimandatkan kepada madrasah yang dinilai representatif dalam menjalankan mandat ini, karena sekolah yang dibebani menjadi madrasah yang unggul dan kurikulumnya bertaraf internasional ini adalah sekolah yang dianggap mampu memberi hasil yang tidak mengecewakan sekolah. Secara konstitutional, kedudukan madrasah dan sekolah adalah sama. Hal ini dapat dilihat dari dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1975 yaitu memberikan kesetaraan lulusan madrasah dan sekolah. Kedudukan madrasah semakin kuat setelah diberlakukannya UU. No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 28 dan 29 Tahun 1990, serta Keputusan Menteri Agama No,373 dan 374. Intinya madrasah merupakan sekolah umum yang berciri khas Islam. Ketentuan ini berlaku untuk madrasah di semua tingkatan. Sejak tahun 2003 kedudukan semakin kuat setelah diundangkannya UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dilihat dari aturan penyelenggaraan pendidikan diatas, kedudukan madrasah dan sekolah sama, sehingga para siswa dan alumninya memiliki peluang yang sama untuk bersaing masuk dunia kerja dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Lihat Supiana, Sistem Pendidikan, hlm. 2. Lihat juga A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 7. 34
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
293
Salah satunya adalah MA Nurul Jadid (MANJ) Paiton Probolinggo, yang mengadopsi sistem pendidikan di Singapura.35 Sedangkan untuk program keagamaan, akan mengacu pada kurikulum negara-negara di Timur Tengah seperti Mesir, Maroko, dan Sudan. Perlu disadari, bahwa menjadi madrasah yang bertaraf internasional, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh kerja keras berkait dengan manajemen kurikulumnya, kesiswaannya, dan hal-hal yang berkait dengan administrasi di dalamnya baik dari kepala madrasah, pengurus, dan pengelola. Karena itu, Madrasah Bertaraf internasional (MBI) merupakan sebuah penghargaan yang dimandatkan kepada madrasah yang dinilai representatif dalam menjalankan mandat ini, karena sekolah yang dibebani menjadi madrasah yang unggul dan kurikulumnya bertaraf internasional ini adalah sekolah yang dianggap mampu memberi hasil yang tidak mengecewakan sekolah. Namun kita tidak boleh menutup mata terhadap sekolah yang sudah ditunjuk menjadi sekolah/madrasah bertaraf internasional ini. Benarkah madrasah yang ditunjuk menjadi madrasah bertaraf internasional sudah memenuhi syarat? Ini pertanyaan yang jujur dan objektif karena mempertanyakan kualitas dan kuantitas madrasah tersebut. MBI yang sudah diangkat oleh Departemen Agama, merupakan tantangan yang harus disikapi dengan cerdas dan seksama. Sudah saatnya pengelola madrasah ini adalah orang-orang yang berkualitas dan visioner serta mempunyai semangat gerak untuk mewujudkan madrasah ini sesuai dengan harapan Departemen Agama. Tidak cukup hanya menyediakan fasilitas belajar yang memadai, tetapi perlu meningkatkan disiplin kerja bagi semua elemen yang terkait dengan madrasah ini. Pengelola madrasah ini adalah orang35www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=295802.
MANJ adalah satu-satunya madrasah swasta yang berada di lingkungan pondok pesantren di Jawa Timur yang ditunjuk Departemen Agama (Depag) sebagai Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) sejak tahun pelajaran 2006/2007. Surat ikatan kerja antara Direktur Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dan MANJ resmi diteken pada tahun ajaran baru 2007/2008. Artinya, MANJ telah memiliki izin resmi operasional MBI. MANJ pun mendapat suntikan dana Rp 750 juta untuk tahun pertama. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas menjadi target utama.
294
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
orang yang mampu mengeluarkan ide dan bisa membuat trik dan semangat bagus. Yang paling diperlukan saat ini adalah kurikulum standar untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar. Sangat ironis jika kurikulumnya amburadul dan asal-asalan padahal sebuah madrasah sudah digiring menjadi MBI. Tentu harus ada penilaian sebelum memutuskan sebuah madrasah menjadi MBI. Di antaranya madrasah ini mempunyai prestasi yang unggul dan secara sosial madrasah ini harus menguasai bahasa internasional. Sehingga penunjukan sebagai MBI bukan anugerah melainkan tantangan. Maka dari itu, Pendidikan bertaraf internasional mempunyai karaktertistik khusus dan berbeda dengan pendidikan non internasional. Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional Departemen Pendidikan Nasional (2007) menjelaskan bahwa sekolah bertaraf internasional adalah Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan, serta mengacu pada standar pendidikan salah satu negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu di bidang pendidikan sehingga mempunyai daya saing di forum internasional. Pada prinsipnya, Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional harus memberikan jaminan mutu pendidikan dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Nasional Pendidikan. Esensi dari rumusan pendidikan yang bertaraf internasional ialah pemenuhan delapan standar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, peningkatan keunggulan bertaraf internasional melalui cara adaptasi36 dan adopsi,37 serta peningkatan daya saing internasional.38 Ini berarti lulusannya dapat melanjutkan pendidikan pada sa36Adaptasi
adalah penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/ negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. 37Adopsi adalah penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam Standar Nasional Pendidikan dengan mengacu pada pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. 38Daya saing di forum internasional memiliki makna bahwa siswa dan lulusan Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional antara lain dapat: (a) melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
295
tuan pendidikan bertaraf internasional, mengikuti sertifikasi internasional dan meraih medali tingkat internasional, serta dapat bekerja pada lembaga internasional. Menurut Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional Depdiknas (2007), terdapat sembilan komponen penjaminan mutu pendididikan bertaraf internasional yang perlu dipenuhi oleh satuan-satuan pendidikan. Pertama, komponen Akreditasi. Satuan pendidikan yang bertaraf internasional adalah sekolah yang telah memenuhi persyaratan pengelolaan pendidikan yang bermutu, dengan ketentuan memiliki akreditasi minimal A, serta akreditasi dari salah satu negara OECD dan/negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Kedua, komponen kurikulum. Kurikulum merupakan acuan dalam penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), memenuhi standar isi, dan menerapkan standar kompetensi lulusan (SKL) melebihi sekolah yang memenuhi standar nasional. Di samping itu, sekolah tersebut harus dapat menerapkan sistem administrasi akademik yang berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), serta memberikan muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara OECD dan/ negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Ketiga, komponen proses pembelajaran. Pembelajaran bersifat interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. Satuan pendidikan bertaraf internasional juga merupakan sekolah yang telah memenuhi standar proses pembelajaran yang menjadi teladan bagi sekolah/nadrasah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi luar negeri; (b) mengikuti sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu negara OECD dan/ negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (c) meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olahraga; dan (d) bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain.
296
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa enterpreneural, jiwa patriot, dan jiwa inovator. Proses pembelajaran ini juga diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa Asing, harus menggunakan bahasa Indonesia. Keempat, komponen penilaian. Penilaian dilakukan untuk mengendalikan mutu pendidikan sebagai bentuk akuntabilitas kinerja pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penilaian terhadap peserta didik dilakukan oleh guru untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara kesinambungan. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi standar penilaian. Selain itu, juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu memperkaya penilaian kinerja pendidikan dengan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan. Kelima, komponen pendidik. Semua gurunya mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK. Khusus untuk guru mata pelajaran kelompok sains, matematika dan kejuruan, dipersyaratkan mampu menggunakan pembelajaran berbahasa Inggris. Di samping itu, pada sekolah bertaraf internasional jenjang SLTA, minimal 30% guru-gurunya dipersyaratkan berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A. Keenam, komponen tenaga kependidikan. Mutu setiap sekolah/madrasah bertaraf internasional dijamin dengan kepala sekolah/madrasah yang menunjukkan kinerja yang optimal sesuai dengan tugas profesionalnya, yaitu sebagai pemimpin manajerial-administratif dan manajerial-edukatif. Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A, dan telah menempuh pelatihan Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
297
kepala sekolah dari lembaga pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh pemerintah, mampu berbahasa Inggris secara aktif, dan memiliki visi internasional, yaitu mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta memiliki jiwa kepemimpinan dan enterpreneural yang kuat. Ketujuh, komponen sarana dan prasarana; setiap ruang kelas dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK, perpustakaan digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia, serta dilengkapi dengan ruang multimedia, ruang seni budaya, fasilitas olahraga, klinik, dan lainnya. Kedelapan, komponen standar pengelolaan. Satuan pendidikan diharapkan dapat meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan merupakan sekolah multi-kultural. Sekolah ini menjalin hubungan "sister school" dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri, bebas narkoba dan rokok, bebas kekerasan (bullying), menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam segala aspek pengelolaan sekolah, dan meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olahraga. Kesembilan, komponen pembiayaan. Mutu setiap sekolah/madrasah bertaraf internasional dijamin dengan pembiayaan yang sekurangkurangnya terdiri atas biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal. Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu menerapkan model pembiayaan yang efesien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan. Penutup Lahirnya madrasah--sebagai institusi pendidikan Islam--yang semula didorong oleh semangat keagamaan dan dakwah, serta dikelola seadanya, saat ini menghadapi tuntutan baru baik menyangkut kontribusinya dalam merespons berbagai tantangan kepemimpinan bangsa di bidang pendidikan maupun menyangkut pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Dalam rangka menyiapkan kader-kader kepemimpinan bangsa ke depan, pendidikan Islam perlu melakukan reaktualisasi terutama aspek manajerialnya yang lebih profesional dan mengutamakan peningkatan mutu pendidikan, mampu memberikan quality 298
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
assurance (jaminan mutu), layanan yang prima serta mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada peserta didik, orang tua, dan masyarakat sebagai stakeholders. Berdasarkan harapan dan kenyataan tersebut maka visi madrasah ke depan sesuai dengan khittah awalnya adalah populis, islami, dan berkualitas. Populis merupakan gambaran bahwa madrasah lahir dan dibesarkan oleh masyarakat. Populis dalam visi ini ingin mengembalikan posisi bahwa madrasah miliki masyarakat, karena itu tidak boleh menjadi “eksklusif” atau “menara gading” tapi tetap mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat. Islami, mencerminkan pendidikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang suasana dan kehidupan para siswa, pendidik dan penghuni lainnya mengamalkan ajaran Islam. Ciri islami ini tercermin dalam kurikulum, aktifitas madrasah, pola tingkah laku penghuni madrasah, dan suasana lingkungan madrasah. Berkualitas atau dengan kata lain ‘berorientasi pada mutu’ dicerminkan pada kegiatan dan nilai akademik yang diperoleh madrasah. Berkualitas tampak dengan hasil belajar siswa berupa nilai ulangan, kenaikan kelas, maupun ujian akhir dan banyaknya prestasi yang dcapai siswa madrasah baik dalam bidang seni bahasa, komputer, olahraga, keterampilan, dan sebagainya. Sisi lain dari berkualitas adalah kemampuan siswa dan lulusan madrasah masuk dan bersaing dalam dunia global. Upaya Kementerian Agama untuk meningkatkan kualitas dan kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat telah dilakukan dengan pengembangan berbagai bentuk madrasah seperti lembaga pendidikan integratif, sekolah/madrasah terpadu, sekolah/madrasah model, sekolah/madrasah berstandar nasional, sekolah/madrasah bertaraf internasional, dan bentuk sekolah/madrasah unggulan lain yang penyebutannya menggambarkan sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan kualitas. Dengan kondisi seperti ini—barangkalisekolah/madrasah dapat dikatakan sudah mencapai kondisi tinggal landas, untuk selanjutnya ditingkatkan misinya ke arah tuntutan yang bersifat internasional. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.*
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
299
Daftar Pustaka Daulay, Haidar Putra, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2009. ----------. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009. Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, 2007. Fajar, A. Malik . Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1999. --------. Holistika Pemikiran Pendidikan, ed. Ahmad Barizi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Hasan, M. Ali dan Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003 Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarata: LKiS, 2008. Hasbullah. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. http/www.satriadharma.wordpress.com. http://www.infogue.com/viewstory/2009/05/04/strategi_mewujud kan_madrasah_unggul/?url:http://ahmadma Khaeruddin dan Mahfud Junaidi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Konsep dan Implementasinya di Madrasah. Yogyakarta: Pilar Media, 2007. Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004. Mastuhu. ”Universitas Islam di Tengah Kompetisi Global” dalam ed. M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha, Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespons Dinamika 300
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
Masyarakat Global. Yogyakarta: Aditya Media Bekerja sama dengan UIN Press, 2004. Misyanto. “Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community Based Education) Menuju Madrasah Unggul” dalam http:media_diknas.go.id/media/document/5679.pdf. Muchsin, Bashori dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2009. Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam, Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. ----------. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. ----------. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2009. ----------, et.al. Manajemen Pendidikan, Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kencana, 2009. ----------. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009. Mulyasa, E. Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001. Nata, Abuddin. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo, 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Qamar, Mujamil. Manajamen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga, 2007. Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
301
Soedjatmiko, Wuri. “Pendidikan Tinggi dan Demokrasi” dalam Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, ed. Sindhunata. Yogyakarta: Kanisius, 2000. Supiana, Sistem Pendidikan Madrasah Unggulan di Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Tangerang, Madrasah Aliyah Negeri 1 Bandung, dan Madrasah Aliyah Negeri Darussalam Ciamis (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008. Suprayogo, Imam. Quo Vadis Madrasah, Gagasan, Aksi dan Solusi Pembangunan Madrasah. Yogyakarta: Hikayat, 2007. Suwardi, “Demokratisasi Pendidikan dalam Pengajaran Pragmatik Sastra sebagai Wahana Penciptaan Masyarakat Madani,” Cakrawala Pendidikan, 2 (Mei, 1999). Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, 2005. Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. ---------. Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tengan Sistem Pendidikan Nasional Walker, Decker F. dan Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims. New York: Teacher College Press, 1997. www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=295802
302
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011