Mengembangkan Institusi HAM Berbasis Kampus Bagi Upaya Penguatan Peran dan Fungsi PUSHAM Bagi Pemenuhan dan Penegakan HAM Oleh : Artidjo Alkostar♦
I. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai Konstitusi Kehidupan HAM merupakan Hak Kodrati, yang merupakan anugerah dari Allah Yang Maha Kuasa, sehingga sejalinnya HAM, bukan pemberian dari : Penguasa Rezim Pemerintah Undang – undang Pihak lain, dan sebagainya Dengan anugerah HAM, pada hakekatnya agar manusia dapat hidup bermartabat, untuk itu setiap manusia dituntut untuk memiliki apresiasi dan terus menegakan HAAM. Dengan posisi HAM yang sangat sentral danlam makrikosmos maupun mikrikosmos kehidupan bangsa manusia, maka tidak ada seorang atau pihak laain (penguasa) dapat merampas atau mengurangi hak dasar manusia. Perjuangan penegakan HAM merupakan kewajiban asasi dan tugas suci serta menjadi sumbangan bagi perjalanan kemanusiaan dan peradaban manusia. Kemerdekaan Persamaan Nilai HAM Otonomi Keamanan Inti nilai HAM adalah martabat kemanusiaan. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan, secara sosial dan kenegaraan, memiliki posisi yang strategis dalam memberikan kontribusi peran ilmiahnya bagi perjalanan peradaban bangsa. Dengan kacamata teori ilmiahnya, perguruan tinggi akan lebih peka dan lebih
♦
disampaikan pada workshop yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway, Tanggal 26 April 2004
akurat dalam merasakan dan merespon fenomena sosial politik seperti ketidakadilan, pelanggaran HAM dan sejenisnya. Dalam arti pula Perguruan Tinggi akan berlangsung bereaksi, bersuaram berteriak, jika dalam kehidupan sosial politik terjadi hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang digeluti dan dijunjung tinggi oleh perguruan tinggi yang berpredikat lembaga ilmiah. Lebih jauh Perguruan Tinggi dapat merespon fenomena yang tidak sesuai dengan nilai kehidupan masyarakat beradaab itu dengan amal ilmiahnya. Terutama terhadap munculnya hal-haal yang bertentangan dengan nilaai logis yang akan menjadi kuman pembasmi habitat akal sehat. Betapapun usahaa kita untuk memberkati dunia dengan tatanaan baru, tidaklah dapat mengabaikan kekuatan kecintaan pada pengakuan yang berakar dalam ego manusia. Bila kita mengabaikannya tak ubahnya kita mencoba menyambut sebuah ledakan gunung berapi dari naluri masnusia yang tak terkendalikan. Karena setiap usaha yang diajukan, namun tak mendasarkan diri pada hakekat manusia, maka ia akan diruntuhkan oleh hakekat kemanusiaannya sendiri dan itulah yang senantiasa berlaku untuk menata kembali suatu bentuk baru (Rahmaan Azzam 1983;246)1. munculnya krisis kemanusiaan seperti perang, genosida, kejahatan kemanusiaan dengan segala bentuk dan variasinya demi untuk mencapai tujuan tertentu yang pada dasarnya bertentangan dengan hakekat keberadaan bangsa manusia selalu runtuh, karena tidak sesuai dengan konstitusi kehidupan manusia itu sendiri. Individu dan kelompok sosial selalu memiliki kebutuhan pokok t\rokhania, yaitu: Keadilan Keturunan Keamanan Suatu masyarakat tidak dapat eksis dan berkembang dengan baik tanpa hukum, karena isi pokok hukum adalah keadilan. Terwujudnya keadilan diperankan oleh pengadilan. Peran utama pengadilaan adalah menegakkan hukum dan membangun peradabaan. Dalam upaya membangun masyarakat beradab, diperlukan adanya hukum yang bersukma keadilan, hukum yang bermoral dan berspirit kerakyatan.
1
Abdur Raahman Azzam, 1983;246
Untuk itu suatu hukum harus: -
rasionaal
-
humanistik, daan
-
universal dalam proses pembentukan hukum yang berwatak elegiter tersebut,
Perguruan Tinggi selalu memiliki peluang untuk memberikan kontribusi peran. Peran ini dalam rangka kerangka penegakkan hukum secara integral. Dalam konteks reatifikasi, adopsi, dan penerimaan hukum kebiasaan internsional, maka interaksi antara hukum nasional dengan hukum internasional akan dapat memperkaya kajian hukum. Prinsip-prinsip umum dan keadilan (kewajaran) dalan diskursus hukum internaional mengacu pada: 1. The principal of law “recognized by civilized nations” 2. General principles of law “derived from the spesific nature of the international community” 3.
Principles “intrinsic to the idea of law and basic to all legal system”
4. principles “valid though all kinds of societies in relationshp of hierarchy and coordination” 5. principles of justice founded on the very nature of man as a rational and social being”2 seleksi sosial dan alamiah keberadaan aturan hukum itu tidak lepas dari prinsip-prinsip yang diakui oleh bangsa- bangsa beradab, berasal dari sifat dasar tertentu dari komunitas internasional, gagasan hakiki dari hukum dalam semua sistem hukum, dapat diberlakukan dalam semua masyarakat, juga keadilan sebagai kebutuhan dasar manusia yang berakal dan masyarakat. Kesaksian sejarah menyatakan setiap ada krisis HAM selalu ada revolusi sosial. Setelah ada revolusi sosial selalu diikuti munculnya dokumen HAM, seperti: Charters Documents Declarations Treaties
yang berkorelasi dengan krisis HAM
Munculnya dokumen-dokumen HAM sebagai manifestsi dari kosmos, merupakan konsekuensi etis dari adanyaChaaos, berupa pelanggaran HAM, konflik politik, revolusi sosial dan sejenisnya. Setelah itu lalu diperlukan adanya logos berupa perangkat hukum. Kemudian muncul kebutuhan tentang noema bagaimana hukum itu dilaksanakan yang berupa teknologos. Dalam rangka proses pembentukan logos dan teknologos ini pula perguruaan tinggi memiliki kewajibaaan moral untuk membrikan kontribusi peran konsep akademiknya.
Dokumen-dokumen Sejarah tentang HAM : -
Piagam Madinaah
: 632
-
Magna Charta
: 1215
-
Declaration of Independence
: 1776
-
Declaration L’Homme Et du Citoyen
: 1789
-
UUD 1945
: 1945
-
Deklarasi Umum HAM – PBB
: 1948
-
Dsb Dokumen-dokumen HAM tersebut menjadi
bahan kaajian berbagai
perguruan tinggi. Kajian-kajian tersebut dapat memberikan umpan balik bagi eksistensi dan peran dokumen sejarah bagi raakyat di suatu negara dan masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Perguruan tinggi akan selalu berpeluang dan dituntut moralitas keilmuannya untuk memberikan pengabdiannya bagi khazanah perkembangan ilmu pengetahuaan. Peradaban selalu berkoreksi dengan Penegak Hukum Yang Agung, seperti :
2
-
Hammurabi (± 1750 SSM)
-
Solomon (± 1000 SM)
-
Confucius (± 500 SM)
-
Agustus (± 44 M)
-
Mohammed (567 – 632 M)
-
Charlemagne (724 – 814)
-
King John (1199 – 1216)
-
St. Louis (1226 – 1270)
-
Blackstone (1769 – 1821)
Steiner, Henry J, International Human Rights in Court, Oxford University Press, New York, 2000,
-
John Marshall (1755 – 1835)
(lihat Kluger, dalam SIMPLE JUSTICE) Perjalanan umat manusia tidak bisa dilepaskan dari peran para “Great Lawgiver” tersebut diatas. Dalam buku Great Religion of The World yang mengelaborasi Hinduisme, Buddhism, Judaism, Islam dan Christianity3, di kupas kearifan-kearifan agama dalam mengarahkan kehidupan manusia.
II. Proses Pengembangan HAM Proses Perkembangan HAM : Evolusi HAM
Institusi
Waktu
Dimensi Struktur
Kedaulatan Negara
Jurisdiksi Pengadilan Internasional
Hubungan antara individu dan negara Dalam krisis HAM di suatu tempat negara yang ditakuti upaya mengadili pejabat tinggi pelanggar HAM selalu dimunculkan isu nasionalisme atau kedaulatan negara secara sempit. Dalam posisi ini munculnya kajian-kajian yang jernih dari perguruan tinggi akan sangat membantu memberikan pemahaman kedaulataan negara bagi rakyat banyak.
Page 90.
Instumen-instrumen HAM
Hukum HAM
Hukum Humaniter
- Universal Declaration of Human Rights (UDHR) - International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) - International Convenant on Economic Social and Cultur Rights (ICESCR)
- Konvensi Jeneva 1949 Army v. Army Army v. Civilian
Bill of Rights
Kejahatan Perang
Pengungsi
Convention 1951
- Protocol 1,2/1977 - Belligerent - Combatant
Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Hukum HAM : Individu Hukum Internasional : Negara Perguruan tinggi ini sebagai komponen sosial dari Bangsa Indonesia dapat memberi alternatif prediksi masa depan tentang kemungkinan terbentuknya Pengadilan HAM regional ASIA dan ASEAN.
3
Gilbert M Grosvenarr, et al, (National Geograaphic Society) Great Relegion of The World, 1978.
Perbandingan Rejim Penyelesaian Perkara HAM 1. Rejim Eropa 2. Rejim Amerika 3. Rejim Afrika 4. Asia…?
1 Council of Eropa
2 Organization of American States (OAS)
3 Organization of African Union (OAU)
European Court of Human Rights
Inter American Court of Human Rights
African Commission of Human Rights
Kemungkinan pengembangan pengembangan institusi pengadilan HAM rejim ASEAN dapat dimulai dari kajian-kajian budaya bangsa-bangsa ASEAN. Perguruan tinggi merupakan salah satu komponen masyarakat yang memiliki posisi strategis untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, selain pers dan LSM. Alternatif kehadiran lembaga Pengadilan HAM rejim ASEAN, sejatinya merupakan konsekuensi logis dari pejabat tinggi Indonesia yang menjadi sorotan nasional maupun internasional dan tidak mau diadili di Pengadilan Internasional. Negara Indonesia, Kamboja, Filipina, Myanmar, merupakan negara yang banyak disoroti dalam hal pelanggaran HAM. Tampilnya perguruan tinggi di negaranegara tersbut untuk memberikan alternatif-alternatif yang akurat terhadap penyelesaian dan pecegahan HAM, merupakan hal yang sangat memungkinkan.
III. Alternatif Peran dan Fungsi PUSHAM di Perguruan Tinggi Sebagaimana digambarkan oleh John pace, permasalahan HAM menyangkut perlindungan dan pencegahan.
Perlindungan
Pencegahan
Saling terkait Treaty UDHR ICCPR CAT
1948 : Commission of Human Rights (CHR) as Inter – governmental bodies
CHR : 1967 Ad Hoc Team 1978 Palestina South Africa Chile Guatemala, etc.
Conventional
Extra Conventional System by Special Rapporteur
- assist the state - support infra structure of UN
Pencegahan + Perlindungan
obstacles are lack of understanding and education of HR information education instructional building
more active
1980 - 1990
Dalam masa tradisional justice, peran Perguruan Tinggi semakin ditantang karena banyak variabel-variabel terkait dengan pelanggaran HAM. Mixed Prevention + Protection
Traditional Justice
= Retroactive
kembar
Pengadilan HAM Ad hoc
Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR)
pelengkap bukan pengganti
Yaitu : ICTY ICTR
Law No. 26 of 2000
Pengadilan HAM
Seperti di : -
South Africa Guatemala Salvador dll Indonesia…?
= islah
Perguruan Tiggi dapat melakukan kegiatan penyadaran dalam upaya memperjelas konsep-konsep hukum HAM dan prosedur-prosedur penerapan hukum HAM, institusi-institusi HAM serta hubungan antara lembaga satu dengan lembaga lain. Begitu pula tentang hak-hak dasar dari korban kejahatan HAM. Proses penyadaran ini berarti pula mempererat interaksi antar elemen sumber daya pendidikan yaitu tenaga kependidikan dan masyarakat.
Individual responsibility Responsibility of Law Command resposibility
War Crime 1942
terpisah antara Crime against Humanity
ICTY ICTR
Kejahatan perang
menyatukan
War Crime + Crime Against Humanity
dapat dilakukan oleh
Sipil
konflik vertical konflik horizontal
Pemberian pemahaman secara utuh tentang Declarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) seperti yang digambarkan oleh Cassin akan dapat memompa spirit mahasiswa untuk memberikan apresiasi mendalam tentang HAM.
“Cassin’s Partico”4
Memompa spirit mahasiswa dan warga perguruan tinggi pada umumnya, menurut penggunaan metodologi dalam merespon kebradaan dan operasionalisasi DUHAM dalam realita kehidupan sosial. termasuk juga metode menafsirkan setiap
konstuksi
hipotesis
DUHAM)berkonvensi
atau
aturan-aturan
yang
instrumen-instrumen
ada HAM
dalam
kosmos
lainnya.
Upaya
pelaksanaan perguruan tinggi ini tidak lepas dari fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (vide pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003). Dari kendala yang dirasakan PBB yaitu redanya pemahaman dan pendidikan tentang HAM di dunia, maka Perguruan Tinggi di Indonesiaa dapat berlomba dan memaacu pemahaman dan pendidikan HAAM bagi masyarakat di Indonesia yang manjemuk secara etnis, agama, bahasa dan lataar belakang sosial politik. Dengan demikian pemahaman dan pendidikan HAM akan menjadi perekat kohesi nasional. Sebab dari itu akan menunjang kepercayaan diri sebagai bangsa dalam hubungan dunia internasional. Dalam arti pula, upaya peningkatan pemahaman dan pendidikan HAM oleh perguruan tinggi ini sejatinya merupakan bagian dari tugas bangsa dalam menulis risalah peradaban banggsa Indonesia dan bangsa manusia. Upaya perguruan tinggi untuk memulai dan meningkatkan proses pemahaman dan pendidikan HAM dapat melakukan melalui jalur formal yaitu menjadikan HAAM sebagai mata kuliah formal, dan juga dapat melaksanakan melalui jalur non formal (vide pasal 26 UU No. 20 Tahun 2003). Proses belajar mengajar tentang HAM ini juga menuntut para pengajar untuk mempergunakan metode yang merangsang peserta didik untuk tetpanggil dalam menerapkan HAM sebagai kewajiban asasi. Karena ilmu huku HAM adalah ilmu amaliah yang dapat dilakukan oleh setiap orang (formal dan non formal). Pada gilirannya peserta didik akan menjadikan pelaksanaan HAM sebagai amal ilmiah kerana yakin hal itu memiliki nilai yang luhur.
4
Glendon, Mary Ann, A World Made New, Random House, New York, 2001, page 172
Komitmen PUSHAM di Perguruan Tinggi sebagai bagian dari manifestasi sikap dasar masyarakat yang beradab yang tidak menginginkan kejahataan HAM yang mrupakan musuh bersama seluruh umat manusia (hostis humanis generis) yang menuurut hukum HAMInternasional menuntut pertanggungjawaban negara untuk mengadili pelaku dan menghukum pelakunya secara benar. Penghukuman bagai pelaku kejahatan HAM ini menjadikan kewaajiban baggi masyarakat internasional secara keseluruhan (obligatio ergga omnes). Dan negara Indonesiaa merupakan bagian dar komunitas negara-negara di dunia internasionaal. Lebih dari itu kejahatan HAM dari rejim otoriter banyaak yang berbanding lurus dengan korupsi politik yang dilakukan rejim tersebut, seperti yang dilakukan oleh Reza Pahlevi di Iran, Marcos di Filipina , Chun do Hwan di Korea Selatan, Soeharto di Indonesia, dan lain-lain. Disamping metode dialog dalam kuliaah, juga dapat disampaikan pemahaman HAM dengan VCD, lalu peserta didik diwajibkan merespon baaik dalam kuliah maupun dalam menjawab pertanyaan ujian. Pertanyaan dalam ujian atau evaaluasi akan lebih menentang jika dihadapkaan pada kasus-kasus konkrit seperti pengadilan terhadap Slobodan Milosevic, kasus Timor Timur, kasus Taanjung Priok, dan sejenisnya. PUSHAM di perguruan tinggi utnuk tampil sesuai predikatnya yang berwatak serat nilaai, sehingga akurasi isu dan respon sosialnya akan lebih berbobot dari yang ada di luar kampus. Apalagi perguruan tinggi memiliki model intelektual yang tidak pernah habis. Akulasi data tentang HAM yang dimiliki dan dikaji oleh PUSHAM seharusnya
lebih
valid
dan
lebih
meyakinkan
statemen
serta
solusi
penyelesaiannya. Untuk itu manajemen organisasi PUSHAM tidak bisa lin untuk dikelola oleh personal yang memiliki komitmen dan empati terhadap permasalahan HAAM yang terjadi di Indonesia. Lebih dari itu kejelasan visi dan misi organisasi PUSHAM merupakan keniscayaan. Profeionalisme personal pengelola dan diri kelembagaan merupakan syarat utama bagi eksistensi dan efektifitas peran PUSHAM. Darri organisasi PUSHAM profesional akan melahirkan alumni-alumni pengelola, aktivis dan mitra PUSHAM yang beridentitas dan merasa memiliki PUSHAM serta komitmen HAM yang berkelanjutan.
Begitu luasnya domaain kajian HAM, maka akan lebih efektif jika PUSHAM memiliki fokus kajian tertentu yang ditonjolkan sesuai dengan potensi organisasi PUSHAM, serta objek kajian daan fenomena sosial politik masalaah HAM yang dapat dijangkau. Misalnya fokus kajian tentang hak-haak wanita, masyarakat adat tertentu, haak-hak anak, hak-haak buruh, dan lain sebagaaainya. Tetapi hal itu tidak boleh menghalangi pelaksanaan peran PUSHAM sebagai lembaga HAM yang berwataak universal. Pemberian perhatian pada fokus tertentu dalam
kerangka
efektifitas
dan
efisiensi
peran
PUSHAM,
memiliki
keterbatasannya tersendiri. Kepemilikan fokus garaapan setiap PUSHAM ini juga dapat merangsang munculnya semangat kerjasama antar PUSHAM di Indonesia, karena PUSHAM yang satu membutuhkan PUSHAM yang lain yang
tidak melakukan bidang
garaap tertentu yang lengkap, misalnya PUSHAM yang membuat kajian, dokumentasi, dan publikasi lengggkap tentang women rights dengan segala aspeknya.kepemimpinan fokus kajian ini juga menghindari adanya duplikasi yang tidak perlu. Fokus bidang garap bagi masing-masing PUSHAM ini juga akan membantu memperjelas prioritas-prioritas kerja PUSHAM sesuai dengan modal dan kemampuan. Pada gilirannya hal ini akan memberikan gambaran peta sosiaal dunia HAM secara nasional. Dalam aktivitas membuat deskripsi, analisis dan kesimpulan tentang fenomena sosial pelanggaran HAM, PUSHAM seharusnya lebih tajam dan utuh memotret realitaa sosial politik. Hal yang demikian akan dapat menggambarkan latar belakang fraksis politik kekuasaan rejim yang melanggar HAM jika memiliki jarak pengamataan yang pas. Ketepatan jarak yang pas itu dituntut sesuai dengan karakter kasus yang digarap, misalnya Timor Timur, Tanjung Priok, Aceh, Papua, daan lain sejenisnya. Posisi lembaga advokasi akan lebih akurat dalam mengelaaborasi suasana batin atau kondisi psikologis masyarakat yang menderita karena kejahatan HAM. Jika tidak dalam posisi memberikan advokasi maka personil pembuat laporan dan analisis dari PUSHAM tersebut dituntut untuk melakukan “observasi terlibat” atau memenuhi tingkat ketrampilan metodologi tertentu agar laporan atau publikasi yang diterbitkannya memiliki bobot produk perguruan tinggi segbagai lembagaa ilmiah. Alternatif lain adalah adanya jalinan hubungaan kelembagaan dengan lembagaa litigasi yang akan dapat membantu memberi informmassi dan data
akurat dari wargaa masyarakat korbaan kejahataan HAM. Para korbaan kejahatan HAM ini biasanya mengidap trauma dan memiliki sikap resistensi tertentu, sehingga mereka hanya akan percaya memberikan informasi atau pengalaman paaahitnya kepada pihak yang benar-benar dipercayainyaa. Dalam korelasi ini, posisi aaktivis litigasi merupakan salah satu pihak yang dapat dipercayainya. Hal ini mengisyaratkan bahwa kegiatan PUSHAM menuntut adanya komunikasi yang luas dan jaringan kerjasama yang erat dengan lembaga advokasi dan lembaga litigasi. Relevansi tentang fokus kajiaan tertentu dalam PUSHAM dapaat direspon dengan penyediaan divisi-divisi tertentu dalam struktur organisasi PUSHAM, sehingga divisi tersebut akan berkiprah mewarnaai kinerja lembaga PUSHAM tersebut. Apalagi jika personil yang mengoperasikaan divisi tersebut merupakan orang yang memaang memiliki kemampuan dari segi knowledge, skill daan tersevvia dari sumber daya manusia (SDM) dari kaampus maupun dari luar kampus, karena kepeduliaan terhadap HAM ini menuntut latar belakang, pemahaman dan spirit kejuangan yang memadai.
Yogyakarta, 26 April 22004
IV.