MENGAPA KITA TERTINGGAL? : Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat1 Agus Pakpahan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor
PENDAHULUAN Dalam kondisi ketidaksempurnaan pengalaman dan pengetahuan, saya menyaksikan bahwa kondisi kita sebagai bangsa dan negara, sedang berada dalam "persimpangan jalan". “Persimpangan jalan" ini bukanlah sebagai suatu sebab, melainkan merupakan akibat. Akibat dari kelemahan sikap kedirian, yaitu tidak paham, baik karena lalai atau karena sebab lain, akan diri kita sendiri, akan kelemahan dan kelebihan diri sebagai bangsa. Kalau saya berkata bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang besar, maka saya dapat merasakan bahwa pembaca mungkin akan melihat saya sebagai seorang utopis. Karena dalam pengamatan, saya melihat bahwa sikap kita pada umumnya terhadap bangsa kita sendiri sudah sangat sinis atau bahkan lebih dari itu, sudah banyak orang merasa malu menjadi Bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin kita merasa besar apabila orang menilai kita sebagai salah satu bangsa yang terkorup di dunia, bangsa yang miskin tetapi utangnya sangat besar, bangsa yang sudah tega membakar hidup-hidup manusia? Saya tidak membantah bahwa hal tersebut sudah menjadi cerita sehari-hari dewasa ini. Tetapi saya berdasarkan data yang ada juga ingin mengatakan bahwa bangsa kita masih memiliki harapan besar untuk kembali menjadi bangsa yang besar dan terhormat. Semuanya itu tergantung kepada kita semua. Pernahkan kita berpikir bahwa perubahan besar pernah diajarkan oleh para pendahulu kita? Pelajaran yang paling besar adalah kerukunan dalam keanekaragaman. Kerukunan umat antaragama, kerukunan antar asal-usul kita semua, kerukunan antarsemua pernah diajarkan oleh kerajaan-kerajaan besar pada masa lalu. Di desa dimana saya dilahirkan dan dibesarkan, pernah kuwunya (kepala desa) yang terkenal berasal dari Batak, padahal ia hidup dan memimpin desa di tanah Pasundan, yang sebagian besar penduduknya waktu itu tidak dapat berbahasa Indonesia. Ini pun dapat dijadikan contoh kebesaran jiwa rakyat kita. Saya pikir kasus tersebut juga banyak terjadi di daerah lain. Kerukunan ini merupakan pelajaran utama dari para leluhur kita yang melahirkan semboyan 1
Tulisan disampaikan sebagai bahan diskusi pada Diskusi Panel “Arah Pembangunan Sektor Pertanian dan Implikasinya terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani”, Jakarta, Selasa 1 Juli 2003, STEKPI, Jalan Kalibata Pasar Minggu, Jakarta 12760.
MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
101
Bhinneka Tunggal Ika. Karena kerukunan ini pula telah melahirkan negara ciptaan yang dasarnya adalah keanekaragaman nilai, yaitu Indonesia. Kerukunan dalam keanekaragaman nilai adalah suatu hakekat kemanusiaan yang dasarnya sangat kuat dan dalam, dan implikasinya sangat dahsyat pula. Kerukunan itu juga tidak datang dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil pembelajaran dan kedisiplinan serta komitmen yang tinggi dalam memegang teguh nilai kesamaan dan persamaan dalam keanekaragaman. Ini memerlukan cakrawala pandangan dan penghargaan serta keikhlasan atas perbedaan-perbedaan. Perbedaan dipandang sebagai anugrah, bukan kendala, apalagi sebagai masalah. Bahkan sebaliknya, perbedaan ini menjadi sumber interpretasi, re-interpretasi dalam proses rekreasi. Keunikan dihargai lebih penting dari relativitas. Karena itu, semua memiliki tempat dalam iklim kehidupan yang saling menghormati, tanpa ada paksa memaksakan. Karena itu pula, evolusi atau revolusi nilai, hanya terjadi sebagai hasil dari proses pembelajaran bersama. Akarnya adalah kebudayaan. Yang dimaksud dengan kebudayaan adalah sangat sederhana tetapi mendasar, yaitu: "the way of thinking, feeling, believing and behaving". Kebudayaan yang saling menghargai, simpati dan empati terhadap orang lain yang berbeda dari diri kita. Atas pengertian ini, maka ciri dari kebudayaan itu terletak pada manusia dan masyarakatnya, bukan kepada kebendaan belaka. Memang benda-benda hasil ciptaan manusia seperti bangunan, jalan, kendaraan, nyanyian, lukisan, drama, dan semuanya menggambarkan artifak dari suatu kebudayaan, namun hal tersebut perlu dipandang sebagai bagian dari gambaran kapabilitas manusia dan masyarakatnya. Kalau dibalik argumennya, kita dapat memperoleh gambaran yang sebaliknya. Misalnya, kita katakan apabila masyarakat itu sudah menggunakan telepon genggam tetapi penggunaannya hanya sebatas untuk membicarakan gosip atau "ngerumpi" maka kita tidak dapat mengatakan bahwa masyarakat tersebut sudah berbudaya maju. Atau, walaupun seseorang mengendarai Mercedes Benz New Eyes, tetapi ia membuang kulit pisang di jalan raya, maka ini pun bukan gambaran suatu kemajuan budaya. Apalagi kalau sudah menyangkut hal yang besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu apabila para pemimpin melihat rakyat kebanyakan atau para petani, misalnya, sebagai orang bodoh atau tak bisa diajak bicara. Cara memandang seperti ini pun adalah bagian dari kebudayaan. Kerukunan adalah bagian dari kebudayaan. Dalam kebudayaan tersebut ada kandungan yang dapat mengusik kerukunan masyarakat dimana secara riil keanekaragaman merupakan karakter dari masyarakat yang dibicarakan. Kandungan yang dapat mengusik tersebut adalah nilai kemerdekaan dan keadilan. Kedua nilai dasar ini satu dengan lainnya bersenyawa. Kemerdekaan adalah wujud keadilan dan keadilan juga adalah makna dari kemerdekaan. Kemerdekaan di sini tidak hanya berarti secara politik, tetapi bermakna lebih dalam lagi. Kemerdekaan berarti minimalnya kendala dari segala kesulitan hidup sebagai manusia. Kemiskinan, karena itu, sebagai wujud ketidakmerdekaan dalam mengatasi kebutuhan fisik-biologis untuk hidup normal sebagai manusia, termasuk di AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
102
dalamnya adalah kemampuan regenerasi secara sehat. Makin miskin suatu masyarakat, maka makin besar kendala yang dihadapi, maka semakin pula tidak merdeka. Adapun kesenjangan yang lebar menganga antara masyarakat yang mayoritas miskin dan minoritas yang kaya merupakan wujud ketidakadilan. Ketidakadilan ini pada hakekatnya juga merupakan wujud ketidakmerdekaan bagi kedua belah pihak mengingat pihak yang miskin akan menjadi kendala atau bahkan gangguan dan ancaman bagi pihak yang kaya, sedangkan pihak yang kaya menjadi sumber pemicu dan pemacu rasa makin miskin bagi golongan miskin, yang pada derajat tertentu menjadi juga sumber berkembangnya rasa tertindas. Rasa tertindas ini pada akhirnya menjadi pemicu dan pemacu revolusi sosial. Kerukunan tidak akan terwujud apabila kemerdekaan dan keadilan tidak dijadikan dasar dalam membangun suatu masyarakat atau negara. Dalam bahasa ekonomi, kerukunan sebagaimana dimaksud di atas adalah cultural capital atau sering juga dinamakan social capital. Kapital jenis ini sering luput dari perhatian kita semua. Kapital yang menjadi sumber perhatian kita pada umumnya terbatas pada kapital dalam arti fisik (Physical capital) seperti barang modal, sumberdaya alam, atau hal yang sejenis. Modal manusia dalam artian keterampilan dan keahlian baru-baru saja menjadi perhatian, namun ini juga sering diterjemahkan secara sempit. Cultural capital sebenarnya merupakan pondasi dari segala proses yang akan menghasilkan benda ekonomi baik dalam bentuk barang maupun bentuk jasa. Bahkan, cultural capital inilah yang mendefinisikan segala kesempatan ekonomi dalam suatu masyarakat. Sebagai ilustrasi, apa yang kita maksud dengan pangan pada dasarnya ditentukan oleh kebudayaan, mengingat pangan itu merupakan bagian dari kebudayaan. Misalnya tiwul merupakan pangan pokok bagi saudara-saudara kita di daerah Gunung Kidul; sagu merupakan makanan pokok di Maluku dan Papua; sedangkan ubi merupakan makanan pokok saudara kita di Papua pegunungan. Adapun beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia mengingat adanya intervensi kebudayaan pangan dari Jawa ke daerah-daerah lain (ricezation). Hal lainnya juga sama, misalnya alat-alat pertanian secara indigenous diciptakan oleh kebudayaankebudayaan masyarakat yang beraneka ragam. Oleh karena itu, gugus pilihan (opportunity sets) baik yang dihadapi produsen maupun konsumen tak terlepas dari ruang lingkup kebudayaan masyarakat. Dalam bentuk yang lebih abstrak cita-cita, harapan, tujuan, kemajuan, kesejahteraan, kedamaian, dan tanggung jawab bersama juga merupakan Cultural capital. Common values semacam itu merupakan landasan komunikasi dan proses pembelajaran yang maha penting dalam mewujudkan masa depan bersama yang lebih baik. Adanya common values tersebut membuat interaksi sosial menjadi lebih lancar, lebih mudah dan lebih murah untuk mencapai common goals atau common goods. Sejalan dengan pemikiran ini maka efisiensi, keadilan, kemerdekaan, fairness dan equality merupakan nilai sebagai instrumen sekaligus tujuan untuk mencapai the common goods, yang juga menjadi bagian dari kebudayaan. MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
103
Setiap ciptaan manusia selalu tidak sempurna, termasuk di dalamnya adalah dimensi- dimensi nilai dan kebudayaan. Ibarat sebuah pohon besar yang akarnya kuat, pada akhimya ia akan "dimakan" usia juga. Akhirnya pohon tersebut akan mati juga pada suatu saat. Keberlanjutan pohon tersebut hanya dimungkinkan apabila terjadi regenerasi. Demikian pun halnya dengan ciptaan manusia. Ia akan usang dan akhirnya ditinggalkan apabila tidak ada proses penciptaan ulang yang melahirkan proses regenerasi. Karena itu, mewarisi saja tidaklah cukup karena waktu terus berjalan, dunia terus berputar dan bumi terus bergulir. Cultural capital yang diwariskan oleh para leluhur perlu dijaga, dipelihara dan direinterpretasi yang akhirnya menghasilkan ciptaan baru yang lebih sesuai dengan kondisi zaman. Ini adalah re-creation yang merupakan proses noogenetic yang tiada berujung, tiada akhir, dan terus akan menghasilkan "hybrid-hybrid" baru yang tetap mengakar pada asal-mula kita sebagai bangsa Indonesia. Kurangnya atau lambannya proses penciptaan ulang inilah yang selama ini kurang mendapat perhatian. Nilai-nilai luhur budaya bangsa kurang mendapat tempat untuk mendapatkan reinterpretasi dan rekreasi. Yang dilanggengkan adalah mitos-mitos lama yang kehilangan sukma. Mitos adalah sangat penting mengingat hal tersebut juga banyak memberikan inspirasi terhadap akar darimana kita berasal. Namun, tanpa adanya reinterpretasi dan rekreasi, ia tidak banyak memberikan arti bagi kehidupan di alam baru. Hal inilah yang menjadi penyebab utama ketertinggalan kita hampir dalam setiap segi dibandingkan dengan saudarasaudara kita di Thailand, Korea Selatan, atau Malaysia sekalipun. Apa yang dikemukakan di atas adalah sebuah penegasan bahwa kita tidak boleh lupa akan nilai-nilai yang mengakar dan telah terbukti menjadi "senjata" ampuh para leluhur kita dalam menciptakan Indonesia. Di sinilah kita perlu mencipta ulang, bukan mendaur ulang nilai-nilai tersebut sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi tatanan masyarakat dunia yang secara keseluruhan sudah berbeda. Kata mencipta ulang, atau re-creation merupakan kata kunci untuk keberlanjutan idealisme, gagasan atau kehidupan alam pikiran dan perasaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dengan proses mencipta ulang tersebut maka jiwa dan semangat kita akan hidup menyala menerangi alam pikiran dan perasaan kita semua. Proses mencipta ulang inilah yang selama ini mengendur dan yang berkembang adalah proses fotokopi atau formalitas dalam berbangsa dan bernegara. Lebih buruk lagi yang terjadi sekarang ini adalah proses nihilisasi diri kita sendiri. Akibatnya adalah berkembangnya iklim frustasi. Iklim frustasi ini berkembang akibat ketidakmampuan diri mencari jalan keluar dari perangkap yang kita buat sendiri berupa nilai-nilai yang mengingkari jati diri, nilai-nilai yang keluar dari akar budaya sendiri, atau nilai-nilai yang didominasi oleh kebudayaan asing yang ditempatkan lebih tinggi dari diri kita sendiri. Para leluhur kita menamakan hal ini sebagai mental inlander yang seharusnya dibasmi.
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
104
Mentalitas inlander adalah sikap mental rendah diri. Tapi, dalam melihat rakyat sendiri, ia tinggi hati. Apabila ia melihat petani, misalnya maka yang ada dalam pikirannya adalah bahwa petani itu orang bodoh yang tak mengerti. Tidak seperti halnya Bung Karno sewaktu bertemu Pak Marhaen, Bung Karno mendapatkan inspirasi, maka sebaliknya kita melakukan nihilisasi dan penghinaan terhadap saudara sendiri. Kita selalu mendengar bahwa "our strategic partner itu adalah investor luar negeri". Sedangkan bangsa sendiri dipandang pantas hanya menjadi kuli. Bayangkan berapa besar subsidi bunga yang diberikan kepada konglomerat yang saat ini hutangnya harus menjadi tanggungan anak negeri. Dari rekapitalisasi bank senilai Rp 600 triliun subsidi bunganya per tahun sudah berapa. Jumlah tersebut sudah cukup memberikan pelayanan pendidikan bagi anak negeri. Yang lebih fundamental lagi adalah cara pandang terhadap anak negeri. Seperti telah dikemukakan, anak negeri hanya cocok untuk menjadi kuli baik di negeri sendiri maupun di luar negeri. Mungkin ini tak disadari, tetapi dari garis kebijaksanaan yang dilaksanakan itu dapat menjadi reinterpretasi dan bukti nihilisasi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan rasa harga diri terusik dan kerukunan terancam. Akhirnya secara keseluruhan Indonesia sebagai hasil ciptaan juga berada di persimpangan jalan. Uraian berikut ini mencoba menyampaikan pemikiran untuk mencari jalan keluar, khususnya untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Secara khusus pula disampaikan pemikiran untuk membangkitkan pertanian dalam arti seluas-luasnya sebagai alternatif solusi masa depan Indonesia. Thesis saya sebagai jawaban atas permasalahan tersebut adalah kita tertinggal karena kita lalai akan dinamika dan kekuatan rakyat dan kekuatan sendiri, sebagai cultural capital yang sangat penting, dalam membangun perekonomian bangsa ini. KEKUATAN ITU TERLETAK DALAM DIRI KITA Dimana kekuatan itu berada, baik sebagai individu maupun bangsa? Kekuatan itu terletak pada diri kita sendiri, bukan berada pada diri orang lain atau bangsa dan negara lain. lni adalah hal yang sangat prinsipil. Memang benar bahwa kita berada dan hidup saling berdampingan dengan bangsa dan negara lain, terlebih-lebih dalam era global ke depan. Namun, meletakkan kekuatan atas kekuatan diri sendiri tidak boleh diabaikan. Hal ini merupakan sikap mental kemandirian yang harus tetap menjadi karakter diri kita, bukan sebaliknya, meletakan nasib diri kita atas dasar ketergantungan Saling ketergantungan hanya mungkin terwujud apabila didahului oleh kemandirian, tanpa itu yang terjadi adalah ketergantungan. Sekali ketergantungan menjadi karakter kita, maka pada saat itulah kita menjadi makhluk yang lemah. Ibarat seekor burung da1am sangkar, kehidupannya tergantung pada pemelihara burung tersebut. Setelah sekian lama dikurung, akhirnya dibuat tergantung, maka MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
105
kalaupun dilepas ke alam bebas, ia tak akan mampu hidup. Manusia pun demikian, kalau sudah sikap mental ketergantungan menjadi suatu kebudayaan, maka kita pun tak akan mampu hidup di alam bebas. Artinya, kita tidak dapat menjadi orang dan bangsa yang merdeka.
POTENSI BESAR HASIL INVESTASI PETANI Kurang lebih dalam 30 tahun terakhir ini, kita kurang melihat dan mencari jati diri. Kita kurang mengkaji dan mendalami kekuatan kita yang mengakar dan hidup dalam alam perasaan dan pikiran diri kita sendiri. Kita tidak mencari rahasia atau misteri dibalik terwujudnya kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Ibarat dalam persilatan, kita tidak dapat menemukan dan menggunakan "tenaga dalam", yang kekuatannya dahsyat itu. Bahkan, "tenaga dalam" yang kita miliki itu tanpa kita sadari dimanfaatkan oleh pihak-pihak luar dalam berbagai bentuk pemanfaatan, yang pada umumnya tak dapat dibedakan dengan penghisapan. Kita mulai dari komoditas yang klasik, yaitu perkebunan. Gula pada zaman Belanda adalah hasil ekspor nomor satu. Kopi dan teh juga komoditas yang membuat pengusaha Eropa kaya dan konsumen di negara maju menikmatinya. Pala dan lada juga demikian. Karet dalam bentuk ban dan produk lainnya merupakan ciri peradaban negara maju. Kakao dengan ragam coklat merupakan bahan makanan dan minuman yang sudah menjadi simbol konsumsi masyarakat negara maju. Turunan produk kelapa sawit juga demikian. Siapa yang menanam pabrik-pabrik biologis yang menghasilkan produk-produk tersebut? The real investors-nya adalah para petani. Petani menanamkan investasinya dalam kebun karet seluas 3,5 juta hektar; kebun kelapa 3,7 juta hektar dan jutaan hektar perkebunan komoditas lainnya. Investasi ini triliunan nilainya dan mereka mengembangkan semua ini tanpa dana BLBI. ltu semua dengan modal sendiri yang terdiri dari "beras, garam, cangkul dan bibit sendiri". Hasil ekspornya saja berkisar US$ 5 milyar per tahun. Nilai ini rendah karena memang belum diolah. Tetapi kalau diolah nilainya itu luar biasa. Kita ambil contoh tembakau, yang setelah menjadi rokok, memberikan cukai lebih dan Rp 20 triliun atau sekitar US$ 2,35 milyar dari areal tembakau sekitar 170 ribu hektar. lni baru cukainya saja, belum manfaat yang lain. Bandingkan dengan pajak dan dividen dan PTPN I s/d PTPN XIV, per tahunnya kurang lebih Rp 1 triliun, belum dipotong likuidasi atau hutang-hutang yang menjadi tanggungannya. Data ini menunjukkan kepada kita bahwa petani perkebunan telah melakukan investasi yang sangat besar tetapi belum dilanjutkan oleh industriawan lainnya. Dalam hal pangan juga sama. Para petani mencetak sawah jutaan hektar dengan produksi jutaan ton gabah. Kalau dihitung dengan nilai proyek, mencetak sawah jutaan hektar itu berapa besar nilai dananya. Tetapi, investasi petani ini kurang diberi arti. Nilai beras diberi sebatas nilai pasar, yang mana pasar ini sering AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
106
sekali sudah terdistorsi. Petani jagung dan gandum di negara maju menikmati subsidi, terutama yang sifatnya terselubung. Karena itu harga pasar intemasional sering mencerminkan artificial surplus. Selanjutnya, kita jarang mengingat dan tidak memasukkan unsur nilai selain harga pada komoditas pangan. Padahal, nilai pangan itu harusnya terdiri atas: exchange values, instrumental values dan intrinsic values. Exchange values ini merupakan hasil mekanisme pasar dimana pasar itu sendiri, sebagaimana telah dikemukakan tak pernah sempurna atau terdistorsi. lnstrumental values adalah values yang diberikan oleh beras atau pangan untuk menghasilkan the common goods seperti kesehatan dan dimensi quality oj life yang lain; sedangkan intrinsic values adalah nilai yang memang ada karena keberadaannya itu sendiri. Di sinilah letaknya persoalan, kalau kita hanya melihat satu dimensi saja. Karena dengan begitu kita akan menihilkan peran petani. "Lebih baik impor saja”, misalnya, menjadi statement yang menyesatkan. Kita tidak belajar dari bangsa-bangsa yang sudah maju, mengapa mereka sangat kuat pembelaannya terhadap pangan, petani dan pertaniannya. Dalam bidang-bidang lainnya pun petani berada dalam barisan terdepan sebagai investor utama di negeri ini. Kalau pertanian itu tidak berkembang, penyebabnya bukan kesalahan petani, tetapi kekeliruan dari pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi lainnya yang tak dapat mensyukuri dan melanjutkan hasil petani tersebut. Kalau kita periksa secara seksama, maka dari kelapa sawit dapat dihasilkan ratusan produk, demikian juga dari kelapa, karet, tebu, kakao, kopi dan sebagainya. Produk ini diolah di luar negeri dan kita hanya menjadi pengekspor bahan baku. Kemudian kita sendiri membangun industri, tetapi bergantung dari bahan baku hasil di luar negeri. Ini adalah suatu bukti adanya paradox atau tak melihat kemampuan sendiri. Indonesia ini penduduknya besar. Kita tidak mungkin dapat menyelesaikan persoalan tanpa partisipasi sebagian besar penduduknya dalam kegiatan perekonomian. Kalau mereka menganggur, apalagi menganggurnya itu akibat dari suatu kebijakan yang keliru, maka kerukunan akan terganggu. Terganggunya kerukunan merupakan awal dari deteriorisasi cultural capital yang akan mengubah dan saling sayang menjadi saling benci, saling iri, saling curiga, dan ratusan saling buruk lainnya. Sebaliknya yang akan terjadi apabila kita mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan yang layak bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kekuatan besar rakyat sebagaimana diungkapkan di atas, dewasa ini tersumbat atau mencari jalan sendiri dalam masing-masing kosmologinya. Ibarat butiran air hujan, ia langsung mengalir ke laut teras tanpa ada waktu untuk kita memanfaatkannya, atau ia masuk bendungan, tetapi bendungannya bocor, atau ia terperangkap dalam lubang besar dan tergenang tak termanfaatkan. Ekonomi itu seperti air, ia merupakan interaksi antara stock dan flow resources. Kalau MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
107
alirannya terganggu, tak termanfaatkan, maka nilainya juga tidak meningkat. Barang yang kita hasilkan, langsung masuk ke "lautan pasar" tanpa kita olah dulu. Yang mengolah adalah pihak-pihak lain yang menguasai "bendungan-bendungan" berupa storage dan industri pengolahannya. Akibatnya, flow yang lebih besar dan bernilai tinggi ada di sana, di dunia lain. Kemudian kita beli kembali dengan mengimpornya. Arus ini harus kita balik, agar kita mendapatkan manfaat yang lebih besar.
MEMBALIK ARUS DAN GELOMBANG SEJARAH Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, termasuk di dalamnya betapa dahsyatnya kekuatan dari dalam yaitu kekuatan rakyat. Pada bulan Maret 1602, atau 401 tahun yang lalu. Belanda melakukan reinterpretasi dan rekreasi institusi perdagangannya dengan menciptakan VOC. Institusi ini merupakan jalan dan sekaligus kendaraan untuk Belanda menjadi besar dengan sumber kekuatan yang ada ribuan mil dari Netherland yaitu Nusantara. Dengan segala kekuatan yang ada, Belanda berhasil memonopoli perdagangan hasil bumi yang nilainya waktu itu luar biasa. ltu semua adalah hasil kerja petani. Falsafah merchantilism menjadi dasar operasional perdagangan. Mengangkut barang mentah sebanyak-banyaknya dan mengolah di negeri Belanda yang menjadi tujuan perdagangan. Kita dapat menyaksikan bahwa hingga sekarang masih berlaku falsafah tersebut, yaitu bekas negara-negara jajahan hanyalah sebagai pemasok bahan baku saja. Kelihatannya ini pula yang masih menjadi falsafah perdagangan global dewasa ini. Wujud nyata dari falsafah tersebut adalah dapat kita baca dari institusi perdagangan dunia. Unilever, Monsanto, Cargill, Nestle dan sejenisnya merupakan institusi perdagangan internasional yang mengolah hasil petani, termasuk hasil pertanian dari negara-negara berkembang. Indofood, merupakan perusahaan multinasional Indonesia, yang mengolah juga hasil pertanian, namun bahan bakunya gandum didatangkan dari luar negeri. Adapun BUMN di bidang pertanian, seperti PTPN menghasilkan produk yang sama dengan yang dihasilkan petani, atau hanya menghasilkan industri primer saja. Asosiasi perdagangan hasil pertanian seperti AEKI, AELI, GAPKINDO, dan sejenisnya juga belum banyak memberikan kontribusi terhadap para petani dimana mereka mendapatkan keuntungan dan menjual hasil para petani. Pola perdagangan kita juga dapat dikatakan masih tertinggal. Bahkan, para pedagang luar negeri masuk ke desadesa untuk membeli bahan baku dan kita kalah bersaing dengan mereka. Investasi di bidang agroindustri juga dapat dikatakan belum sepadan. Karena itu, ekonomi tidak mengalir, atau hanya mengalir tapi langsung ke laut lepas. Data selama puluhan tahun atau lebih lama lagi menunjukkan bahwa harga-harga riil produk primer, termasuk produk primer pertanian cenderung AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
108
menurun terus dengan tingkat fluktuasi yang relatif besar. Tidak demikian halnya dengan produk hasil olahan, harga riilnya relatif stabil atau kecenderungannya meningkat. Banyak peneliti telah memperlihatkan kondisi ini, misalnya Barnett dan Morse (1963), Nordhaus (1974), Proudley (1987), Trengove (1986) dan Grilli dan Yang (1988). Bahkan Grilli dan Yang menunjukkan bahwa harga-harga relatif dari produk primer terhadap produk olahan menurun dengan laju 0,5 persen per tahun selama 1870-1980. Pola ini menyebabkan divergensi kemakmuran antara penghasil produk primer yang hampir seluruhnya petani dengan para pedagang atau prosesor, dan divergensi antara negara-negara berkembang sebagai pengekspor bahan baku dengan prosesor dan pedagang di negara maju. Jeff Sachs secara kuantitatif telah menunjukkan fenomena ini, yaitu telah terjadi kesenjangan yang makin lebar antara pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang pada umumnya berada di daerah iklim tropika dengan negara maju yang hampir seluruhnya berada di daerah dengan iklim temperate. Fenomena di atas telah menunjukkan kepada kita tentang situasi dunia dalam kurun waktu yang relatif lama. Cita-cita dunia untuk menjadi satu masyarakat dunia yang tingkat kesejahteraannya relatif adil belum terwujud, bahkan kecenderungan yang sebaliknya akan terjadi. Secara agregat memang tingkat kesejahteraan meningkat, namun pada saat yang bersamaan juga kemiskinan meningkat, kesenjangan meningkat dan ditambah lagi dengan kerusakan lingkungan hidup yang makin parah. Keseluruhan karakter buruk (badness) dari masyarakat tersebut sebagian terbesar berada di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika. Fenomena ini juga sudah menjadi perhatian dunia dan mencari upaya untuk mengatasinya, misalnya, MIT secara khusus membentuk sebuah Tim untuk mencari solusi masalah ini. Atas dasar realitas sebagaimana diuraikan, maka kita tidak dapat mengikuti flow atau arus gerak ekonomi dunia apabila kita ingin mendapatkan nilai tambah dari misi kehidupan di tanah Nusantara ini. Ketertinggalan kita selama ini dalam kacamata global adalah karena kita tidak dapat keluar dari orbit yang ada, melainkan ikut arus dunia yang secara nyata merugikan kita. Bangsa lain juga berlomba untuk menjadi "trend setter" bagi bangsa-bangsa lainnya. Dalam hal ini kita dapat merasakan betapa beratnya beban yang harus kita pikul, mengingat memang kita ini sudah tertinggal. Dapat dibayangkan, dari dua indikator saja kita sudah berat: pertama, kemampuan teknologi yang dicerminkan oleh jumlah paten yang diterima, seluruh negara tropis pada tahun 1995 hanya menerima kurang dari 2 persen dari paten yang dikeluarkan dunia; kedua, pendapatan per kapita kita sekarang sekitar US $ 600, atau 20 tahun tertingga1 dari Thailand, 30 tahun tertinggal dari Malaysia atau 50 tahun tertinggal dari Korea Selatan, hal ini pun dengan dasar asumsi apabila kita tumbuh ekonominya 5 persen per tahun. Dengan tingkat pendapatan USA lebih dari US$ 30.000/kapita dapat dibayangkan betapa terbatasnya kemampuan kita itu. Secara umum dimensi kehidupan sudah jauh sekali berbeda dengan ketika Indonesia baru merdeka, bahkan dibandingkan dengan situasi 30 tahun yang lalu MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
109
sekalipun. Kalau kita gunakan istilah "kehampaan" atau "kekosongan" dan ini harus diisi maka kehampaan itu adalah "cara pandang" kita yang salah terhadap petani dan pertanian serta reinterpretasi dan rekreasi nasionalisme kita. Dalam ruangan yang hampa udara, berteriak sekuat apapun orang lain tak akan dapat mendengarnya. Ibarat seperti itu, berteriak sekuat tenagapun, apabila bangsa ini tidak melakukan reinterpretasi dan rekreasi terhadap jiwa "nasionalisme" dan "kerakyatan", maka suara itu tak akan terdengar oleh siapa pun. Kekosongan itu disebabkan oleh tarikan reinterpretasi dan rekreasi jiwa oleh apa yang namanya globalisasi. Jiwa kita terganggu oleh istilah itu, sehingga kita kehilangan pijakan seolah-olah globalisasi tak mengenal jiwa nasionalisme. Kita ambil saja istilah internasional, dimana di sini ada kata nasional. Artinya adalah bahwa kata nasional itu sendiri tak terlepas dari interpretasi globalisasi atau kehidupan antarbangsa yang karakternya saja sekarang ini makin mengglobal. Untuk meyakinkan diri, kita dapat belajar dari "champion" pasar bebas atau demokrasi, yaitu Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam ini jumlah petani sudah tinggal 2 persen saja, tetapi petani Amerika secara umum dapat menghidupi dunia. Surplus berkembang di sana. Pada tahun 1940-an seorang petani kira-kira dapat memberi makan lebih dari 50-an orang. Sekarang sudah ratusan orang. Tetapi petaninya tidak menjadi sengsara dengan surplus tersebut. Sebaliknya di Indonesia, asal panen harga turun dan waktu paceklik harga naik, tetapi yang menikmati kenaikan harga itu bukanlah para petani. Artinya apa? negara melindungi petani dan pertanian, dan ini berlaku untuk semua negara maju. Hal ini merupakan bagian dari "nasionalisme-nya" Amerika Serikat. Apakah kita harus melakukan hal yang sama? Menurut pendapat saya, prinsipnya, ya, tetapi cara dan mekanismenya mungkin berbeda. "Nasionalisme" yang harus kita bangun adalah "cara pandang" bahwa kita ini akan selamat hanya apabila dapat memanfaatkan apa yang kita miliki sebaik-baiknya. Saya kembali kepada argumen yang telah saya katakan pada bagian terdahulu, yaitu mengenali diri sendiri dan memanfaatkan keunggulan ini. Kopi, teh, lada, tebu, kelapa sawit dan seterusnya, sebagai tanaman daerah tropis tidak dapat dikembangkan di daerah temperate, kecuali dengan biaya yang sangat mahal. Keunikan ini menjadi modal kita, tetapi apabila sikap mental kita sama saja seperti dahulu kala, maka ini hanya akan menjadi sumber derita atau sebatas cerita saja. Sekali lagi, keunikan dari wilayah iklim tropika harus menjadi sumber kesejahteraan kita. Garis pikiran ini akan sulit disubstitusi dengan pikiran lain mengingat kita akan unggul dalam daya saing, bukan hanya alasan comparative advantage, tetapi yang lebih penting adalah alasan keunikan itu sendiri. Dalam wujud apa nasionalisme tersebut harus kita laksanakan? Sebagaimana telah dikemukakan, petani sudah ada di depan, yaitu dengan investasinya berupa berbagai jenis tanaman yang luasnya jutaan hektar. Karena itu, napas nasionalisme ekonominya akan terletak pada kebijaksanaan yang mampu AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
110
mengarahkan investasi besar-besaran untuk mengolah dan menanam berbagai jenis tanaman tropika. Pengalaman dalam pengembangan kelapa sawit dapat dijadikan pelajaran dengan segala penyempurnaannya. Pada tahun 1970-an, luas kebun kelapa sawit di Indonesia tidak lebih dari 200 ribu hektar. Sekarang, luas kebun kelapa sawit sudah lebih dari 3,5 juta hektar. Artinya, kebun kelapa sawit ini sudah meningkat dengan laju 1.650 persen dalam kurun waktu kurang-lebih 30 tahun, atau meningkat per tahun 55 persen. Mengapa hal ini terjadi? Karena adanya kebijakan yang sangat terfokus sehingga dapat mensinergiskan seluruh potensi yang ada yang akhirnya terwujud suatu kekuatan baru yang mengandalkan iklim tropika ini. Pengalaman ini dapat dijadikan pelajaran untuk pengembangan komoditas lainnya, tentu dengan segala penyempurnaannya. MENGGESER TREND HARGA RIIL MENURUN MENJADI SEJAJAR Telah diuraikan bahwa mengandalkan pada kekuatan diri sendiri adalah kunci. Kunci tersebut sebagian besar berada pada potensi petani yang sudah terlebih dahulu melakukan investasi, dengan segala daya upaya yang ada padanya. Adapun keunikan sumberdaya yang dimiliki Indonesia tidak kalah pentingnya dengan keunggulan komparatif, bahkan dapat dikatakan posisi strategisnya melebihi itu, mengingat keunikan tidak dapat disubstitusi. Selanjutnya, secara panjang-lebar juga telah disampaikan bagaimana selama ratusan tahun, desain dan trend yang terjadi akibat desain tersebut, telah membuat negara-negara berkembang yang pada umumnya berada pada wilayah iklim tropika makin miskin, tertinggal dan tak berdaya dalam percaturan dunia. Kemiskinan yang meningkat, kesenjangan yang makin lebar dan kerusakan lingkungan hidup yang makin parah menambah beban negara-negara di daerah tropika, seperti Indonesia, untuk menjalani kehidupannya pada masa mendatang. Menggantungkan diri pada hutang luar negeri sebagaimana yang telah terjadi ternyata kurang tepat untuk kita sebagaimana diperlihatkan oleh besarnya hutang yang dipikul oleh generasi yang harus membayarnya. Sedangkan pada saat yang bersamaan kapasitas sumberdaya untuk dapat digunakan membayar hutang tersebut makin menipis. Minyak bumi, hutan dan laut sebagai sumberdaya alam yang selama ini menjadi harapan dalam menghasilkan dana jangka pendek, termasuk untuk membayar hutang, kondisinya sudah tidak memadai lagi. Urusan hutang luar negeri ini mestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pembangunan mendatang, bukan sebaliknya yaitu sebagai hal yang dulu dipandang membanggakan, sebagai ukuran kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia. Yang akan sangat terasa beratnya adalah menghadapi terus menurunnya harga riil produk primer, termasuk pertanian, dibandingkan dengan produk MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
111
olahannya. Kondisi ini membangun rangkaian yang merugikan tetapi tak terelakkan karena kelemahan kultural dan struktural yang ada. Salah satu dilemanya adalah bahwa kita ingin meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan produksi, tetapi harga turun terus, maka bukannya pendapatan riil yang lebih tinggi yang didapat oleh para petani. Tetapi yang didapat adalah kerugian demi kerugian yang lebih besar, termasuk di dalamnya pengurasan atau eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Kalau yang kita bicarakan ini adalah produk ekspor, maka kita mendapatkan bahwa ekspansi ekspor untuk mengejar pendapatan yang lebih baik ternyata dibayar oleh kerugian yang lebih besar karena selain harganya turun terus, juga ditambah dengan kerugian lain sebagai akibat alokasi sumberdaya untuk pengembangan komoditas ekspor yang akan mengurangi produksi komoditas lainnya, misalnya pangan. Rendahnya harga-harga komoditas primer pertanian di pasar internasional memberikan pelajaran yang sangat berharga dan menjadi tantangan utama. Dalam perjalanannya makin tampak bahwa organisasi internasional seperti WTO tidak dapat menjadi harapan bagi bangsa-bangsa di negara berkembang untuk dapat menyelesaikan persoalan perdagangan global. Dari perkembangan lima tahun terakhir dapat dikatakan telah terjadi kesadaran dari negara-negara berkembang untuk mengikuti pola yang telah dikembangkan oleh negara-negara penghasil minyak bumi yang bergabung dalarn OPEC. Tahun lalu terbentuklah kerjasama antara Thailand, Indonesia dan Malaysia dalam hal penanganan karet alam. Walaupun hasilnya masih harus diuji oleh waktu, yang terpenting di sini adalah adanya atau bangkitnya kesadaran untuk bekerja sarna. Tiga negara tersebut kurang lebih menghasilkan 70-80 persen karet alam dunia. Selanjutnya, dalam perkembangan baru-baru ini, lima negara produsen gula terbesar dunia berkumpul di Thailand untuk menyampaikan tuntutan kepada WTO atas perlakuan Uni Eropa terhadap gula produksi dalam negerinya. Fenomena ini tentu dapat memberikan gagasan atau inspirasi membangun dunia perdagangan yang lebih adil pada masa mendatang. Fokus kita adalah bagaimana menggeser kurva harga-harga komoditas primer pertanian yang terus menurun itu, menjadi sejajar dengan produk olahannya. Artinya, kita tidak ingin sama apalagi lebih tinggi harga komoditas primer dibandingkan dengan harga komoditas olahan, tetapi kita mengharapkan adanya margin yang fair. Hal ini sangat penting untuk membangun kondisi masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk negara-negara berkembang saja, tetapi untuk kehidupan dunia yang lebih baik. Dengan meningkatnya kehidupan masyarakat di negara-negara berkembang, yang jumlahnya jauh Iebih besar daripada penduduk negara maju, maka nilai penambahan kesejahteraan secara keseluruhan akan sangat besar pengaruhnya secara keseluruhan pula. Menggeser harga produk pertanian primer, yang telah makin melebar selama ratusan tahun ini, menjadi sejajar dengan harga riil produk olahan, tentunya akan menjadi sumber yang tak ternilai untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk negaraAKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
112
negara berkembang yang pada umumnya menjadi penghasil produk-produk tersebut. Tentu hal ini harus menjadi agenda utama bagi negara-negara berkembang. Inti dari uraian di atas adalah bahwa kita harus dapat membangun institusi baru yang menjalin kerjasama yang riil dalam mengatasi kendala-kendala atau persoalan-persoalan dalam perdagangan internasional, khususnya yang menyangkut persoalan perdagangan komoditas pertanian. Sejarah menunjukkan bahwa selama negara-negara berkembang berjalan sendiri-sendiri, hasil yang dicapai tidak optimal. Bahkan sebaliknya, apabila berjalan sendiri dan produksi nasional meningkat, tetapi pasar internasional tidak bersahabat, maka upaya peningkatan produksi dalam negeri hanya akan menghantam balik, membuat kesulitan yang makin besar. lnstitusi ini pula perlu ditingkatkan dalam rangka mencari jalan keluar untuk mengembangkan pemikiran, konsep atau model-model yang dapat menjadi bahan diskusi, dialog atau hal lain yang senada. Dari proses ini diharapkan dapat terbangun suatu kerangka baru untuk mengatasi persoalan-persoalan sebagaimana dikemukakan di atas dalam level multilateral atau bilateral.
KEKUATAN BARGAINING PETANI SEBAGAI INSTRUMEN MENGGESER KURVA Kecenderungan trend yang menurun sejak ratusan tahun yang lalu menandakan bahwa negara-negara penghasil bahan baku atau produk primer selalu menjadi subordinat dari pasar atau posisi industri pengolahannya. Petani yang jumlahnya jutaan yang tersebar di negara bekas jajahan pada umumnya memang berada dalam posisi yang lemah. Pada masa penjajahan, terjadinya over supply diatasi dengan mudah, misalnya, hancurkan saja tanaman dengan membakarnya, maka produksi akan turun dan harga akan naik kembali. Tetapi tidak demikian halnya dengan keadaan sekarang. Selain cara-cara tersebut tidak tepat juga akan sulit sekali pelaksanaannya. Secara umum, over supply komoditas pertanian ini memang sangat sulit untuk dikoreksi. Kita dapat melihatnya apa yang terjadi di negara-negara maju. Over supply gula, misalnya, tidak membuat subsidi dikurangi. Akibatnya, gula dunia mengalami surplus yang sifatnya artificial. Sehingga yang merugi adalah negara-negara berkembang. Memang harga bahan baku atau komoditas primer yang rendah juga tidak selalu menggambarkan fenomena over supply. Fenomena rendahnya harga komoditas primer sering berkaitan dengan struktur pasar yang bersifat monopolis. Hal ini sangat jelas terlihat untuk komoditas pertanian. Petani di negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dua hal. Pertama, kondisi over supply dunia seperti pada kasus gula, dan kedua, struktur MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
113
pasar monopoli pada saat petani menjual produknya. Kedua hal ini menekan harga produk yang dihasilkan petani. Pola terakhir ini juga sudah terjadi selama ini, sehingga sering menimbulkan petani putus harapan dalam menyongsong masa depannya. Persoalan lain ditambah dengan masuknya produk impor yang harganya murah karena memang merupakan produk dumping atau akibat dari over supply di negara-negara maju. Impor produk pertanian yang tidak terkendali ini menyebabkan kapasitas nasional terkuras. Karena kita tidak paham atau tidak mau memahami struktur perdagangan internasional dengan karakter di atas, maka petani dibiarkan menghadapi persaingan tidak sehat tersebut sendirian. Tentu saja petani tidak akan mampu karena mereka berhadapan dengan pola perdagangan dan produksi dunia yang penuh akan subsidi dan dukungan bagi saingannya, yaitu petani-petani di negara lain, khususnya di negara maju. Tidak ada cara lain untuk dapat mengkoreksi situasi ini kecuali dengan membangun organisasi yang dapat meningkatkan bargaining bagi petani. Apa yang terjadi di negara maju, yang pertaniannya juga maju, bukan sekedar hasil dari penerapan teknologi atau investasi. Yang terjadi adalah akibat dari kuatnya institusi petani dan besarnya perhatian serta dukungan pemerintah terhadap petani dan pertanian di negara tersebut. Keseluruhan elemen, mulai dari industri hingga perbankan serta pendidikan dan riset di negara-negara yang pertaniannya maju, telah berevolusi sejak lama mendukung dan membesarkan pertanian di negara tersebut. Sebaliknya yang terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan kondisi pasar internasional yang tidak berpihak pada pertanian, dan dengan struktur pasar dan organisasi industri di dalarn negeri yang juga tidak berpihak pada pertanian, serta dengan kebijakan pemerintah yang juga kurang bersahabat dengan pertanian, maka tidak ada jalan lain kecuali para petani membangun dan memberdayakan dirinya sendiri untuk menolong dan mengangkat nasibnya sendiri. Pada dasarnya proses ini juga hanyalah merupakan replikasi dari evolusi yang pernah dan terus berlangsung bagi para petani di negara maju. Jadi, hal ini bukanlah hal yang baru dalam sejarah perkembangan pertanian dunia. Hanya saja di Indonesia kita harus memulainya sekarang. Dari pengalaman yang ada di dalam negeri, kita dapat belajar dari perkembangan yang baru saja terjadi selama 4 tahun terakhir. Mulai tahun 1999, di antara berbagai organisasi yang terkait dengan petani, tumbuh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Dalam proses evolusinya dalam usianya yang muda, kita dapat menyaksikan bagaimana proses bargaining baik terhadap pedagang, industri maupun pemerintah telah berhasil digalang oleh asosiasi ini. Walaupun banyak pihak menyampaikan sikap sinis terhadap organisasi ini, secara fakta kita tidak dapat menolak bahwa APTRI telah bekerja keras untuk dapat memperbaiki nasibnya. Bahkan dengan perjalanan yang cukup panjang, APTRI tak dapat disangkal memiliki peran besar dalam membalik pola kebijakan dari perdagangan bebas yang dilancarkan pada tahun 1998 menjadi pola perdagangan terkendali, khususnya impor, pada tahun 2002, yaitu dengan terbitnya SK Menperindag No. 643 tanggal 23 September 2002. Dengan upaya APTRI juga AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
114
pola pemasaran gula di dalam negeri telah berhasil memberikan jaminan harga bagi petani/produsen gula sebesar Rp 3410 /kg. Proses ini dapat menghasilkan output tersebut karena petani memiliki kekuatan bargaining melalui organisasi yang dibangunnya sendiri. Hal yang serupa harus tumbuh dan berkembang pada organisasi-organisasi petani yang lainnya, yang pada umumnya juga menghadapi permasalahan sebagaimana diungkapkan di atas. REINVESTASI, REKAPITALISASI SOCIAL CAPITAL DAN SUMBER PERTUMBUHAN MENDATANG Investasi petani sebagaimana yang tergambar dalam kapasitas pertanian sekarang, merupakan indikator bahwa petani dalam proses sejarahnya merupakan investor yang secara individu memang kecil, tetapi secara keseluruhan menghasilkan nilai investasi besar. Kapital yang telah dihasilkan melalui proses evolusi yang lama tersebut akan menurun nilai dan kapasitasnya apabila tidak dilakukan reinvestasi baru. Reinvestasi ini hanya akan memberikan manfaat yang besar apabila investasi yang dilakukan kompatibel dengan social capital yang sudah hidup, atau bahkan investasi tersebut dilakukan sekaligus pula untuk merekapitalisasi social capital yang kondisinya memang pada saat ini sedang menghadapi erosi. Reinvestasi dan rekapitalisasi social capital ini merupakan syarat untuk membangun sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan pada mendatang. Untuk mendapatkan ilustrasi, kita dapat belajar dari pengalaman membangun kelapa sawit. Secara agregat pembangunan kelapa sawit telah memberikan output yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 1970 luas areal perkebunan kelapa sawit kurang dari 200 ribu hektar, tetapi sekarang luasnya sekitar 3,5 juta hektar. Semuanya ini terjadi karena adanya fokus kebijakan dengan segala unsur pendukungnya. Kelapa sawit sekarang sudah menjadi andalan perekonomian Indonesia. Namun demikian, kelapa sawit juga memberikan pelajaran dari sisi lain, yaitu konflik sosial sebagai manifestasi rasa ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari pembukaan lahan dalam skala besar dan dalam tempo singkat. Pola yang dikembangkan juga pola perkebunan besar yang menjadi andalan konglomerat yang dewasa ini banyak yang tak dapat mengembalikan hutangnya akibat dari usaha lain yang dikembangkannya sehingga perusahaan perkebunan ini menjadi kembali ke negara melalui BPPN. Ditambah lagi adalah efeknya terhadap kelapa yang hampir seluruhnya dimiliki oleh petani kecil. Munculnya sawit mengalahkan kopra sehingga efek sosial ini perlu juga menjadi perhatian kita. Atas dasar pemikiran di atas, kelapa sawit ini perlu menjadi sumber inspirasi pada saat kita menghadapi kesulitan dari berbagai hal dalam bidang MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
115
pertanian. Sebagaimana telah disebutkan, langkah awal dari pengembangan kelapa sawit ini adalah apa yang saya namakan langkah "nasionalisme". Baik disadari atau tidak, pengembangan kelapa sawit mengangkat persoalan diplomasi internasional dalam bidang perdagangan yang menghadapkan antara kelapa sawit yang berasal dari tropika dengan kedelai yang berasal dari temperate. Di pasar global keduanya berhadapan, bersaing dan saling menjatuhkan. Bahkan kadangkadang dengan cara-cara tidak fair. Salah satu di antaranya dimana saya terlibat langsung adalah rencana pengenaan label trans fatty acid bagi setiap makanan yang menggunakan lemak. Perlu disampaikan bahwa minyak sawit mengandung zero trans fatty acid. Trans fatty acid ini merupakan salah satu penyebab jantung koroner. Kita sependapat untuk pelabelan tersebut, tetapi kita minta untuk yang menggunakan minyak sawit diberi label zero. Karena kalau tidak, pelabelan tersebut akan mengaburkan informasi bagi konsumen, seolah-olah makanan yang menggunakan minyak sawit mengandung trans fatty acid. Tetapi hal tersebut ditolak oleh pihak-pihak yang kompeten di Amerika Serikat. Selanjutnya, negaranegara maju juga sangat terbatas atau bahkan tidak akan memberikan bantuannya apabila kita akan mengembangkan produk pertanian yang akan menjadi saingannya. Inipun adalah salah satu nasionalisme yang kita tak pemah merasakan itu sebagai nasionalisme. Dari kelapa sawit kita juga dapat belajar mengenai kerakyatan dalam dimensi ekonomi. Pengembangan model perkebunan besar yang dulu menjadi prototype ideal, juga menghadapi gugatan. Gugatan tersebut berwujud tentangan dari masyarakat di sekitar perkebunan besar berada. Penjarahan, pencurian hasil hingga konflik sosial yang berkepanjangan telah menimbulkan kerugian besar, baik secara materiil maupun immateriil. Kerugian dalam bentuk menurunnya kerukunan merupakan hal yang menjadi inti persoalan yang harus diselesaikan dengan perspektif jangka panjang. Dalam perkembangan sejarah perkebunan, era reformasi ini memberikan pelajaran pokok bahwa "license to operate" ternyata tidak lagi hanya tergantung pada izin usaha dan HGU, tetapi lebih banyak tergantung pada masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya harus menjadi seperti ikan dengan air, apabila perkebunan tersebut ingin menguntungkan secara berkelanjutan. Pengalaman ini sebenarnya telah pernah dialami oleh Shell Companies, sehingga mereka mengubah haluan dalam mencari jalan "license to operate", yaitu dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Bahkan lebih luas lagi Shell mengenalkan 3-P, yaitu Planet, People and Profit, sebagai dasar usahanya. Hal lain yang dapat dijadikan pelajaran di dari kejadian di negara lain adalah LULU, yaitu "Locally Unwanted Land Use". Pegalaman kita dan pengalaman negara lain juga sama, yaitu bahwa usaha ekonomi berbasis lahan atau sumberdaya alam memerlukan values baru, yaitu values yang menyejahterakan rakyat atau masyarakat, menjaga planet bumi agar tetap baik, dan menguntungkan dari kacamata ekonomi sempit. Dari kaca mata kesejahteraan maka ada satu hal lagi yang perlu menjadikan berkembangnya nasionalisme kita di bidang ini, yaitu keadilan dan AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
116
akses terhadap kesempatan investasi serta surplus ekonomi yang dihasilkannya. Dengan luas lahan yang terbatas maka tidaklah mungkin petani sejahtera dengan menggarap lahan seluas satu atau dua hektar. Apalagi dengan petani gurem yang luasnya di bawah dua hektar. Namun, ada potensi untuk membangun kerukunan atas dasar keadilan ekonomi ini, yaitu berbagi surplus. Sudah merupakan kenyataan bahwa harga riil produk primer itu menurun dan rendah serta fluktuatif, sebaliknya untuk produk olahan. Dalam kasus kelapa sawit, misalnya, bahwa harga tandan buah segar yang menjadi barang perdagangan milik petani itu lebih rendah dari CPO, dan tentunya harga CPO ini lebih rendah dari harga produk olahannya. Dengan pola petani memiliki saham 20 persen dalam perusahaan perkebunan yang mengolah minyak sawit ini, pendapatan petani akan meningkat 5 kali dari pola sebelumnya. Hal yang sama juga akan berlaku untuk petani karet dimana petaninya memiliki 20 persen saham dalam perusahaan pengolahan crumb rubber seperti yang dapat dijumpai di Mesuji, Sumatera Selatan. Bukan hanya itu saja manfaat yang dapat meningkatkan rasa keadilan sehingga kerukunan terwujud yaitu harkat petani juga meningkat. Dalam kasus Mesuji ini, salah seorang direkturnya berasal dari petani, Pak Murlin namanya. Ia mendapatkan amanah dan fasilitas tidak berbeda dengan direktur lainnya, tentu dengan peran dan fungsi yang tidak kalah. Masih banyak "ruang kosong" itu dapat diisi melalui inovasi institusi sebagaimana telah diuraikan. Dan uraian di atas disampaikan bahwa sumber pertumbuhan itu pada hakikatnya terletak pada tiga hal: (1) apakah kita bisa dan kuat menjadi pelita yang menerangi kehidupan perekonomian bangsa yang sedang berada dalam kegelapan, (2) apakah kita memiliki sifat dan sikap yang selalu membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara, dan (3) apakah kita menyadari bahwa kita memang harus bergerak cepat untuk maju tetapi tetap mengingat bahwa di belakang "si lumpuh" ingin hidup. Kita hanya akan bisa mengejar ketertinggalan kita dengan menerapkan pandangan ini dalam proses evolusi mendatang. PENUTUP Kenapa kita tertinggal sebagaimana ditulis sebagai judul tulisan ini adalah karena kita telah lalai dalam mengenali dan menggunakan kekuatan sendiri sehingga apa yang kita kerjakan membangun perangkap ketergantungan kepada pihak-pihak lain yang mendapatkan manfaat dari ketertinggalan kita. Akibatnya adalah kita berhadapan dengan kadar kelangkaan dalam berbagai hal sehingga ruang kehidupan kita terasa semakin sempit, terutama kelangkaan dalam kemampuan reinterpretasi dan rekreasi untuk mengatasi berbagai macam persoalan mendatang. Hal tersebut ditambah dengan terjadinya depresiasi atau disfungsi dari social atau cultural capital yang melemahkan kerukunan dalam keanekaragaman. Melemahnya cultural capital ini meyebabkan investasi dan distribusi manfaatnya memperparah kondisi kerukunan, yang menjadi prasyarat MENGAPA KITA TERTINGGAL ? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat Agus Pakpahan
117
keutuhan kesatuan dan persatuan kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu pula, aspek keadilan dan kemerdekaan, kedua nilai dasar yang membangun kerukunan, harus menjadi dasar dalam setiap kebijaksanaan dan implementasinya, khususnya di bidang ekonomi. Untuk itu diperlukan "blue print” dan energi yang besar agar arus gelombang globalisasi dan kecenderungan yang ada, yang akan membawa perangkap kesulitan lebih dalam, dapat diatasi. Hal inilah tema besar kita ke depan, yaitu menggunakan kekuatan sendiri sebagai bagian dari rasa syukur terhadap Allah SWT, kita mengandalkan dinamika dan kekuatan rakyat sebagai social atau cultural capital; keunikan iklim tropika serta struktur kepulauan; dan semua asset yang ada untuk dapat digunakan dalam membalik arus dan gelombang sejarah masa lalu.
AKP. Volume 2 No. 2, Juni 2004 : 101-118
118