Mengapa Harus Menolak Dana Aspirasi Oleh: Rafli Zulfikar
Dana aspirasi yang rencananya dianggarkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016 mendapat reaksi yang beragam. Editorial Suarakebebasan.org dalam rilis menghentikan dana aspirasi DPR untuk transparnsi dana publik misalnya mempersoalkan usulan dana aspirasi sebesar 11,2 Triliun atau dengan presentase 20 miliar per anggota dengan dalih menggunakan mandat UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD (MD3) Pasal 80 ayat j bahwa setiap anggota parlemen wajib memperjuangkan aspirasi pembangunan di daerahnya. Kecurigaan terhadap dana aspirasi berdasar pada relasi sosial politik masyarakat yang masih klientelistik dimana struktur patron-klien masih sangat dominan (Aspinall, 2015; Anung 2014). Edward Aspinall melakukan riset tentang perilaku kandidat dan konstien di pemilu legislatif 2014 yang rilis dalam buku “Politik Uang di Indonesia” (Aspinall, 2015) menemukan bahwa relasi yang klientelistik tidak dapat dipisahkan dalam realitas politik Indonesia. Aspinall mengidentifikasi menguatnya politik uang salah satunya karena dibatalkanya sistem proporsional daftar tertutup pada sistem penentuan kursi di parlemen menjadi proporsional daftar terbuka oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Perubahan sistem penentuan kursi membuat kandidat memiliki kesempatan yang sama satu sama lain dalam satu partai, sehingga memaksa kandidat bersaing. Implikasinya adalah politik uang untuk membeli suara konstituen. Sejalan dengan kuatnya politik uang di Pilihan legislatif 2014 yang salah satu bentuknya adalah proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu atau dana aspirasi (pork barel) akan berdampak pada semakin terlembaganya dan menguatnya politik patronase. Studi politik patronase banyak melacak pada kondisi negara berkembang. Aspinall membangun Tesis Patronase sebagai transfer materi atau keuntungan dalam bentuk lain oleh politisi kepada konstituen, sedangkan untuk klientelisme lebih pada karakter relasi antara patron dan klien (Aspinall, 2015 : 4) Merujuk pada karya terbaru Francis Fukuyama dalam The Origins of Political Order: Prehuman Times to The French Revolution (2012) bahwa kestabilan politik dibangun atas pondasi negara yang kuat (Strong State), Penegakan Hukum (Rule of Law) dan Negara yang Akuntabel (Accuntability of the Governance). Realisme politik yang berlandaskan pada patronase politik
akan mengalami kendala pada perwujudan negara yang akuntabel dan akan menghasilkan pembusukan politik (Political Decay). Francis Fukuyama menjelaskan pembusukan politik karena munculnya atau kembalinya politik patrimonial yang didefinisikan sebagai “the favoring of family or friends whith whom one has exchanged resiprocal favors is a natural from of sociability and is a default manner of human interaction”. (Fukuyama, 2012 : 453) Penelitian Aspinall dalam buku “Politik Uang di Indonesia” (2014) menjelaskan politik patronase dan klientilisme di Indonesia massif hampir semua provinsi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Muhammad Mahsun (dalam Aspinall, 2014 : 183) di Kota Palembang merupakan betapa mengkhawatirkan dana aspirasi dan politik klientilisme. Calon legislatif petahana di Palembang menggunakan akses dana reses untuk membangun ikatan klientilistime untuk kepentingan electoral, seperti pembangunan fisik, bantuan sosial kepada ikatan entitas keagamaan dan lainya.
Belajar dari Filipina: Kasus Priority Development Assistance Fund (PDAF). Merujuk pada temuan Andreas Ufen dalam Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between Politik Aliran and 'Philippinisation' bahwa pembangunan sistem politik Indonesia mengikuti jalan pembangunan politik di Filipina terutama pada transformasi partai politik pasca reformasi. Partai politik membentuk formasi seperti yang terjadi di Filipina dengan indikasi menguatnya sistem partai presidensial, tumbuhnya otoritarianisme dalam partai, menguatnya politik uang, lemahnya identitas kepartaian, menguatnya kartel dan munculnya elit lokal baru (Ufen, 2006 1728). Pembentukan Filipinisasi dalam partai dikarenakan transformasi relasi aktor politik baru, yaitu pengusaha, politik dan negara. Simbiosis mutual antara aktor politik baru ditopang dengan stuktur sosio-politik yang klientilistik yang sama-sama dialami oleh Filipina maupun Indonesia. Relasi baru tersebut dibentuk dengan mekanisme alat politik dan pengusaha membutuhkan legitimasi masyarakat dengan membeli suara, salah satunya dengan dana aspirasi. Dalam kasus pembusukan politik dengan dana aspirasi, Filipina menjadi referensi berharga bagi Indonesia. Dana aspirasi di Filipina disebut Priority Development Assistance Fund (PDAF) atau juga sering disebut “gentong babi” (Pork Barrel) merupakan dana aspirasi dari parlemen yang digunakan untuk pembangunan daerah pilihan. PDAF dirancang untuk memungkinkan legislator untuk
mendanai infrastruktur berskala kecil atau proyek-proyek masyarakat yang tidak terdaftar dalam program infrastruktur nasional. PDAF sangat rentan dijadikan kegiatan korupsi dan kepentingan politik anggota parlemen untuk membangun relasi patron-klien dalam masyarakat Filipina. Skandal PDAF era Presiden Arroyo melibatkan elit partai dan konglomerasi, yaitu Janet Lim Napoles, konglomerasi Filipina. Setidaknya alur dari PDAF dapat di gambarkan dari alur gambar berikut:
Gambar 4.4. Modus operandi politik PDAF Sumber : Daily Inquirer dalam http://www.inquirer.net/napoles/what-is-pdaf Modus dari politik PDAF menggunakan mekanisme pencucian uang. Manuel Mogato dalam Aquino’s Mr Clean Image Skewered By Philippines Pork Barrel Politic menjelaskan bahwa Skandal PDAF era Presiden Arroyo melibatkan elit partai dan konglomerasi yaitu Janet Lim Napoles, konglomerasi Filipina. Janet menerima dana pork barel anggota parlemen sejak tahun 2007 dan sejak 2013 ditangkap dan didakwa dengan penjarahan pada bulan September, bersama dengan 30 orang lain termasuk tiga senator dan lima mantan anggota kongres. Sistem pemerintahan Filipina memberikan lembaga legislatif kekuasaan yang salah satunya adalah menentukan anggaran. Kongres mendapatkan dana aspirasi atau PDAF yang berfungsi sebagai umpan balik (feedback) dari anggota parlemen kepada konstituen melalui pembangunan
yang tidak terdaftar dalam anggaran nasional, realitasnya politik PDAF digunakan senator dan anggota parlemen sebagai arena dari beroperasinya politik yang klientilistik serta korupsi yang sistematis. Menolak Dana Aspirasi Seperti pada penjelasan tentang Priority Development Assistance Fund (PDAF) atau pork barrel menjelaskan bahwa hampir semua aktor (anggota parlemen dan senator) memanipulasi dan mengkorupsi dana PDAF. Kondisi yang demikian yang menjadikan demokrasi di Filipina mengalami apa yang disebut Fukuyama sebagai pembusukan politik. Hasilnya, karena begitu kuatnya politik patronase demokrasi di Filipina, menjadi sarat dinasti, bossisme, dan korupsi. Hasil temuan Aspinall dan Ufen setidaknya memberikan warning kepada kita bahwa kondisi demokratisasi kita hari ini hampir mirip dengan yang terjadi di Filipina. Menguatnya politik patronase dan klientilisme memberikan kekhawatiran bahwa pembusukan politik mengancam proses berdemokrasi kita. Gambaran yang terjadi di Filipina setidaknya memberikan pelajaran bahwa pelembagaan politik patronase berupa dana aspirasi tidak hanya memberikan mimpi buruk pada kelanjutan demokratisasi kita, namun juga menjadikan proses transisi demokrasi yang tak kunjung selesai (fledgling democracy). Setidaknya konsekuensi logis semakin menguatnya politik klientilistik seperti pada kasus Filipina akan berujung pada beberapa kondisi sebagai berikut. Pertama, patronase politik berupa politik dinasti akan semakin menguat. Selain politik dinasti yang beroperasi melalui partai politik dimana jabatan penting dalam partai adalah berdasarkan hubungan kerabat, ini juga karena pemanfaatan partai politik sebagai alat politik resmi dalam membangun relasi yang asimetris. Seperti situasi partai di Filipina yang sebagian besar dipimpin oleh politik dinasti. Misalnya dinasti politik Arroyo, dinasti politik Conjuangco dan dinasti politik Marcos yang notabene juga pemimpin partai politik. Arroyo pemimpin partai LakasKampi CMD, Conjuangco Jr pemimpin partai Nationalista Party Coalition (NPC) dan Imelda Marcos merupakan pemimpin Bagong kilusang lipunan (KBL) begitu juga yang terjadi pada politik parlemen. Sirkulasi elit di parlemen juga mengalami kemandekan kerena salah satunya politik PDAF yang semakin menguatkan calon petahana. Anggota parlemen memanfaatkan PDAF sebagai instrumen
semakin menguatkn patronase. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, partai politik hampir sebagian besar di akusisi oleh elit dinasti, seperti Demokrat, Gerindra, PDIP, dan lainya. Begitu juga pada situasi politik parlemen yang memiliki karakteristik yang sama. Anggota parlemen sebagian besar adalah orang-orang lama. Sirkulasi elit di Parlemen mengalami kemandaekan terjadi karena elit mempunyai strategi dan akses terhadap hajat hidup rakyat sehingga relasi yang dibangun adalah patrimonial. Situasi tersebut yang menjadikan basis legitimasi dari rakyat bawah. Kedua, semakin menguatnya korupsi seperti pada penyelewengan dana PDAF di Filipina. Proyek-proyek dana aspirasi tidak hanya berguna untuk menguatkan patronase tetapi juga berpotensi menjadi “kue ekonomi” yang menguntungkan patron. Potensi ini sangat bersar terjadi karena seperti dalam tesis Pramono Anung bahwa calon legislatif menghabiskan dana rata-rata di kisaran 5-6 Miliar untuk terpilih sebagai anggota legislatif (Anung, 2013 : 175). Situasi demokrasi yang mahal memerlukan pembiayaan yang salah satunya berasal dari proyek dana aspirasi. Kondisi Filipina mengajarkan kita bahwa besarnya potensi korupsi dalam proyek dana aspirasi. Apalagi secara konstitusional penyelenggaraan negara yang akuntabel sangat disangsikan bisa terjadi di parlemen mengingat pasca revisi UU No. 17 tentang MPR, DPR, DPR dan DPRD (MD3) Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dihapuskan, sehingga Parlemen tidak memiliki badan pengawas internal (CNN Indonesia, 22/06/2015). Situasi demikian yang diindikasikan Fukuyama sebagai pembusukan politik. Ketiga, indikasi bahwa Pemerintah akan isyaratkan menolak dana aspirasi menjadi kabar baik. Selain argumen pemerintah bersandar pada fungsi DPR yang hanya bertugas mengawasi jalannya pemerintahan, membahas anggaran, dan fungsi legislasi, pemerintah juga menyoroti permasalahan akuntabilitas. Formasi yang demikian menjadi penting karena proses pembusukan politik melalui simbiosis mutual antara elit politik, pebisnis dan pemerintah sepeti dalam argumen Ufen setidaknya tidak terjadi dalam kasus dana aspirasi. Memang relasi yang demikian akan sangat mungkin untuk terjadi Kondisi demokratisasi di Indonesian yang semakin memburuk inilah, sudah saatnya pelajaran Filipina menjadi pelajaran kita. Penolakan dana aspirasi menjadi proyek masyarakat sipil dalam mengontrol proses bernegara. Ketika mengikuti konsep demokrasi liberal yang mengandaikan partisipasi politik dari masyarakat dalam pengambilan keputusan, memberi gambaran sebuah
relasi dalam tatanan tata kelola pemerintahan yang baik (good goverment). Dalam konsepsi good goverment, penguatan keseimbangan relasi ketiga komponen, yaitu negara, pasar, dan masyarakat menjadi penting. Selebihnya memastikan proses demokratisasi berjalan dengan baik dengan meminimalisasi politik dinasti, akuntabilitas negara, memberantas korupsi sebagai perjuangan lanjutan yang perlu kita kawal dan pastikan berjalan dengan baik. Rafli Zulfikar adalah Lulusan Hubungan Internasional, Universitas Jember. Peneliti di Politica Research Centre dan Koordinator Lembaga Kajian Social Science and Humanities (Societies). Bisa dihubungi melalui email:
[email protected] dan twitter: @raflizulfikr