MENERAPKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES UNTUK MENINGKATKAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP
Indra Siregar STKIP Sebelas April Sumedang E-mail:
[email protected] ABSTRAK: Penelitian ini diawali dari dilaksanakannya pendidikan berbasis karakter. Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan penelitian “Apakah pembelajaran matematika menggunakan pendekatan model-eliciting activities dapat lebih meningkatkan self-confidence siswa SMP dibandingkan dengan pembelajaran matematika konvensional?”. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Cipanas pada semester II (genap) tahun ajaran 2011/2012. Disain penelitian ini adalah disain eksperimen, berbentuk disain kelompok. Hasil penelitiannya adalah Penerapan pendekatan modeleliciting activity dalam pembelajaran matematika dapat lebih meningkatkan selfconfidence siswa SMP dari pada pembelajaran konvensional. Kata kunci: self-confidence, model-eliciting activities.
Berdasarkan undang-undang No 20 tahun 2003 (mendiknas,2010), jalur pendidikan terdiri atas jalur formal, nonformal dan informal. Pendidikan informal merupakan pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat, termasuk keluarga. Pendidikan informal memegang peranan lebih penting, karena sebagian besar waktu siswa berada di lingkungan masyarakat dan keluarga. Seiring dengan maraknya pemberitaan kerusakan moral seperti tauran dan narkoba, menimbulkan paradigma bahwa peran pendidikan informal sudah kehilangan pengaruhnya. Orang tua lebih sibuk dengan pekerjaannya karena tuntutan ekonomi yang terus meningkat. Hal ini menyebabkan karekter siswa di Indonesia kurang terperhatikan. Satu-satunya cara untuk membina karakter siswa adalah dengan membina mereka melalui jalur formal, maka dari itulah pada tahun 2010, menteri pendidikan mencanangkan pendidikan karakter. Salah satu aspek yang harus dikembangkan
dalam pendidikan berbasis karakter adalah percaya diri (self-confidence) (mendiknas, 2010). Self-confidencesangat penting untuk dikembangkan. Persaingan global, membuat siswa kita dituntut untuk tidak hanya pintar dari segi ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki keyakinan dan keberanian untuk menghadapi setiap tantangan global, terlebih pada anak SMP. Siswa SMP pada umumnya berada pada masamasa puber. Pada masa ini siswa akan mengalami kekurangan rasa percaya diri, karena pada masa ini siswa mulai mengalami perubahan secara fisik, sehingga mempengaruhi rasa percaya dirinya. (Hurlock,1980) Pengembangan self-confidence diekolah masih belum nampak. Hal ini didukung oleh fakta yang dikemukakan oleh Rohayati (2011), yaitu masih banyak siswa Indonesia kurang memiliki rasa percaya diri. Siswa akan merasa gugup dan tegang jika dihadapkan pada masalah.
525
Siregar, Model-Eliciting Activities, 526
Sesungguhnya, masalah self confidence merupakan masalah psikologi yang menjadi tugas dari guru bimbingan konseling (BK). Guru bimbingan konseling (BK) harus melakukan usaha untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa. Namun jumlah guru BK saat ini sangat kurang. Dari satu sekolah terkadang guru BK hanya ada satu untuk siswa lebih dari dua ratus. Padahal standar guru BK satu guru untuk seratus siswa. Kurangnya guru BK menyebabkan penanganan masalah psikologi, termasuk masalah rendahnya self confidence, di sekolah masih jauh dari harapan. Atas dasar inilah, peneliti ingin meningkatkan percaya diri (selfconfidence) siswa SMP. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan selfconfidence. Salah satu caranya adalah melalui pembelajaran matematika di kelas. Lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia tentu tidak tinggal diam. Peningkatan dua hal ini sudah menjadi salahsatu tujuan dalam kurikulum. Seperti yang tertera dalam tujuan pendidikan nasional (Sisdiknas, 2003) yaitu mengembangkan potensi diri diantaranya cakap dan mandiri. Dalam pelaksanaan pembelajaran dikelas, pada umumnya menggunakan pembelajaran model konvensional yaitu metode ekspositori.Metode ekspositori mirip dengan metode ceramah, namun dominasi guru banyak berkurang. Murid tidak hanya mendengarkan, siswa memiliki kesempatan untuk berbicara, bertanya, dan berdiskusi. Murid belajar lebih aktif, metode ini baik untuk pembelajaran dikelas (Suherman, 1993).Namun metode ini belum cukup untuk meningkatkan selfconfidence siswa SMP.Hal itu dikarenakan dalam ekspositori siswa masih mendapatkan materi langsung dari guru. Selain itu dalam mengerjakan masalah matematika, siswa sudah diberi tahu cara
penyelesaian masalahnya, siswa hanya melaksanakan sesuai cara yang diberikan oleh guru. Hal semacam ini membuat selfconfidence siswa tidak berkembang, karena untuk meningkatkan kemampuan self-confidence siswa. Siswa harus diberikan kesempatan untuk bereksplorasi mengenai materi dan menemukan hal-hal baru yang dapat membuat pikiran siswa berkembang. Dalam upaya meningkatkan selfconfidence. Perlu pendekatan pembelajaran yang memberi keleluasaan lebih bagi siswa dalam bereksplorasi saat belajar. Untuk meningkatkan self-confidence perlu kegiatan yang didalamnya terdapat dinamika atau interaksi kelompok (Suhardita, 2011). Maka dari itu, Peneliti mencoba sebuah pendekatan pembelajaran yang menurut peneliti cocok untuk digunakan dalam upaya meningkatkan kemampuan self-confidence, yaitu pendekatan ModelEliciting Activities. Sebuah pendekatan yang melatih siswa untuk membuat model sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Model yang dibuat adalah rumus matematika dan langkah-langkah yang digunakan dalam menyelesaikan masalah matematika. Pedekatan ini mengharuskan membentuk sebuah kelompok, sehingga dalam pelaksanaannya, setiap siswa harus berkerja sama untuk bereksplorasi dalam memunculkan ide yang diyakininya benar, serta berani menentukan ide yang dianggap paling benar dan orisinil. Orisinil karena dituntut untuk bisa membuat model sendiri. Pembelajaran menggunakan pendekatan ini diyakini dapat meningkatkan self-confidence. Berdasarkan paparan di atas, Peneliti melakukan penelitian dengan judul “Menerapkan Pembelajaran Matematika dengan Model-Eliciting Activities untuk Meningkatkan Self-Confidence Siswa SMP”.
527, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
KAJIAN PUSTAKA Self-confidence Secara etimologi, self-confidence terdiri dari dua kata, yaitu “self” dan “confidence”. Self artinya diri, sedangkan confidence artinya kepercayaan. Sehingga dapat diartikan sebagai kepercayaan akan diri (percaya diri). Self-confidence (kepercayaan diri) diartikan sebagai suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh dengan mengacu pada konsep diri (Rakhmat dalam Sudrajat, 2008). Lauster(Sutisna,2010) menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakantindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain, memiliki dorongan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangannya. Kepercayaan diri kadang-kadang diwujudkan secara berlebihan oleh seseorang. Menurut Bandura (Sudrajat, 2008), kepercayaan diri adalah percaya terhadap kemampuan diri dalam menyatukan dan menggerakkan motivasi dan sumber daya yang dibutuhkan, dan memunculkannya dalam tindakan yang sesuai dengan apa yang harus diselesaikan, atau sesuai dengan tuntutan tugas. Kepercayaan terhadap kemampuan diri dapat mempengaruhi kinerja dan prestasi seseorang. Seseorang dengan kepercayaan diri yang rendah tidak dapat mencapai apa yang seharusnya dapat dilakukannya. Ia jarang berhasil dalam tugasnya karena kurangnya kemampuan menggerakkan motivasi dan sumber daya yang dimilikinya. Keperca-
yaan diri yang rendah ditandai dengan adanya rasa takut gagal. James Neill (Ubaedy, 2011) mengemukakan bahwa self-confidence merupakan gabungan dari self-esteem dan self-efficacy. Artinya self-confidence merupakan kepercayaan akan keyakinan positif terhadap diri dan keyakinan akan kemampuan diri. Coopersmith (Sherlina, 2011) menjelaskan bahwa self-esteem adalah penilaian akan diri sendiri, anggapan bahwa dirinya berharga, berarti dan memiliki kemampuan. Santrock (Shelarina, 2011) mengatakan penilaian akan dirinya bisa berupa penilaian yang baik atau penilaian yang buruk. Bandura dan Wood (Mustaqim, 2009) mengatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan diri dalam memunculkan motivasi, kecerdasan, dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk meng-hadapi masalah. Maddux (dalam Mustaqim, 2009:21) mengatakan self-efficacy merupakan keyakinan individu mampu melakukan sesuatu, bukan kepercayaan mengenai apa yang akan dilakukan.Self-efficacy bukanlah keyakinan umum tentang diri sendiri melainkan sebuah keyakinan khusus yang mengarah pada suatu tugas tertentu (Widiatmojo,2004). Self-efficacy dapat dipandang sebagai persepsi seseorang tentang kemampuan dirinya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan pada situasi khusus yang tidak pasti lebih khusus lagi, Wood(Widiatmojo,2004) menyatakan self-efficacymenunjuk kepada keyakinan akankemampuannya untuk menggerakkan motivasi,sumber-sumber kognitif dan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan situasi. Berikut adalah contoh perbeda-an self-confidence dan self-efficacy. Misalkan dalam kelas ada dua orang anak diperintahkan mengerjakan soal matematika yang cukup sulit dan mempresen-
Siregar, Model-Eliciting Activities, 528
tasikannya di depan kelas. Anak pertama terlebih dahulu menggerjakan di buku, lalu setelah selesai, baru presentasi didepan kelas. Anak kedua, saat diberi soal langsung mengerjakan di depan kelas sekaligus presentasi. Semua kegiatan menghitung, termasuk mengkotret, dilakukan di depan kelas. Anak pertama merupakan contoh self-efficacy, sedangkan anak kedua merupakan contoh dari selfconfidence. Ada beberapa teori terkait upaya meningkatkan self-confidence. Untuk meningkatkan self-confidence perlu kegiatan yang didalamnya terdapat dinamika atau interaksi kelompok (Suhardita, 2011). Selain itu Walgito (Sutisna, 2010) mengemukakan bahwa kepercayaan diri (selfconfidence)terbentuk melalui proses perkembangan manusia pada umumnya, khususnya dalam interaksi dengan lingkungan. Saranson (Sutisna,2010) juga berpendapat bahwa kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melaui proses belajar secara individual maupun sosial. Dari ketiga pendapat ini dapat disimpulan bahwa self-confidencedapat ditingkatkan melalui kegiatan yang mengandung interaksi sosial di dalamnya. Lautser (Sutisna,2010) mengungkapkan bahwa orang yang memiliki kepercayaan diri, memiliki ciri-ciri berikut: a) tidak mementingkan diri sendiri, b) cukup toleran, ambisius, c) tidak perlu dukungan orang lain, d) tidak berlebihan, e) selalu optimis, f) mau bekerja secara efektif g) dan bertanggung jawab atas pekerjaanya. Guilford (Sutisna,2010)mendasari penilaian kepercayaan diri dalam tiga aspek: a) Bila seseorang merasa dapat melakukan segala sesuatu
b) Merasa bahwa orang lain menyukainya c) Bila seseorang percaya pada dirinya sendiri serta memiliki ketenangan sikap, yaitu tidak gugup bila melakukan atau mengatakan sesuatu secaran tidak sengaja. Dan ternyata hal itu salah. Raghunathan (2000) menjelaskan bahwa percaya diri adalah kepercayaan seseorang pada diri sendiri, pengetahuan seseorang, dan kemampuan seseorang. Percaya diri adalah satu hal yang jauh lebih penting daripada kemampuan dan sifat-sifat lainnya. Jika seseorang tidak memiliki kepercayaan diri, apa yang orang itu lakukan tidak akan pernah menjadi berbuah sama sekali. Buah dari apa yang dia lakukan tanpa kepercayaan diri akan hilang. Raghunatan(2000) juga berpendapat bahwa kepercayaan diri yang sejati adalah pelopor dari prestasi.Percaya diri adalah langkah pertama untuk kemajuan, prestasi pembangunan, dan kesuksesan. Ada beberapa hal yang dapat meningkatkan rasa percaya diri (selfconfidence), yaitu : a. Meningkatkan Self-esteem yaitu meningkatkan penerimaan diri, konsep diri, dan citra diri seseorang. b. Menjaga citra diri yang baik. c. Berpikir dan Bertindak Positif d. Berbaur diri dengan orang yang optimis, positif dan aktif. e. Bertindak dan berbicara dengan yakin. f. Membantu orang lain sepenuh hati tanpa mengharapkan apapun. g. Jadilah bahagia, tersenyum, ramah dan mudah didekati. h. Berperilaku sesuai dengan perilaku stereotip orang-orang yang percaya diri. i. Jadilah aktif dan antusias.
529, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Suhardita (2011) menyatakan bahwa konsep percaya diri adalah suatu keyakinan dalam menjalani kehidupan, menentukan pilihan dan membuat keputusan. Kepercayaan diri datang dari pengalaman hidup dan kebiasaan melakukan sesuatu dengan baik. Percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa apa yang ia buat berdasarkan keputusan yang ia pilih. Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya Angelis (Suhardita,2011) mengelompokkan rasa percaya diri kedalam tiga aspek. yaitu: a. Tingkah laku Indikatornyaadalah melakukan sesuatu secara maksimal, dapat membantu orang lain, dan mampu menghadapi segala kendala, b. Emosi Indikatornyaadalah memahami perasaan sendiri, mengungkapkan perasaan sendiri, memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan, memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada orang lain, c. SpiritualIndikatornya adalah meyakini keberadaan Tuhan. Berdasarkan paparan yang dijelaskan Raghunathan (2000), Suhardita (2011), dan Angelis (Suhardita, 2003) diatas, dapat disimpulkan bahwa self-confidence (percaya diri) adalah sikap yang selalu menjaga citra diri yang baik, berpikir dan bertindak positif, berbaur diri dengan orang yang optimis, positif dan aktif, bertindak dan berbicara dengan yakin, membantu orang lain sepenuh hati tanpa mengharapkan apapun serta aktif dan antusias.Dari definisi ini dapat dibuat indikator, yaitu:
a. Menjaga citra diri yang baik. b. Berpikir dan bertindak positif. c. Berbaur diri dengan orang yang optimis, positif dan aktif. d. Bertindak dan berbicara dengan yakin. e. Membantu orang lain sepenuh hati tanpa mengharapkan apapun. f. Aktif dan antusias. Model- Eliciting Activities Pada bagian ini akan dipaparkan pengertian mengenai pendekatan modeleliciting activities, penerapannya serta pengaruhnya terhadap peningkatan kemampuan berpikir kretif dan selfconfidence. Secara epistimologi, ada tiga kata yang dapat dikaji, yaitu model, eliciting dan activity. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia modeldapat diartikan sebagai rumus atau langkah langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika. Eliciting artinya membangun/ membentuk. Activity artinya aktivitas. Dari tiga kata tersebut jelas bahwa modeleliciting activity adalah kegiatan membangun/ membentuk rumus atau langkahlangkan untuk menyelesaikan masalah matematika. Chamberlin (2008) memaparkan sedikit tentang Pendekatan model-eliciting activities(MEAs). Pendekatan ini muncul pada pertengahan 1970. Dalam pendekatan ini siswa dihadapkan pada masalah yang dalam penyelesaiannya siswa diharuskan membuat model sendiri dan diterapkan dalam bentuk kelompok. Permana (2010) juga menyatakan bahwa pendekatan model-eliciting activities merupakan pendekatan yang mengharapkan siswa untuk dapat mengkontruksi model matematis. Model yang dibuat tidak harus berupa konsep baru dalam matemaitka. Yang penting benar-benar asli hasil pemikiran siswa dan merupakan sesuatu yang baru bagi siswa.
Siregar, Model-Eliciting Activities, 530
Chamberlin dan Moon (2005) menyatakan enam prinsip yang harus diterapkan dalam penerapan pendekatan ini, yaitu model construction principle, the reality principle, the self-assessment principle, the construct documentation principle, the construct shareability and reusability principle,danthe effective prototype principle. Selain itu Lesh dan Diefes-Dux, et al., (Cynthia dan Leavitt, 2007) juga menyatakan enam prinsip desain MEA, yaitu: the personal meaningfulness principle, the model construction principle, the self-evaluation principle, the modeldocumentation principle, the simple prototype principle, dan the model generalisation principle. Dari pendapatChamberlin dan Moon (2005) dan Lesh dan Diefes-Dux, et al diatas, bisa disimpulkan bahwa MEA memiliki prinsip-prinsip berikut: a. Bermakna, pembelajaran yang dilakukan harus bermakna bagi siswa artinya memberikan pengalaman dan selalu diingat oleh siswa. b. Penilaian diri, memberikan kesempatan bagi siswa untuk menanggapi dan menilai hasil pekarjaan yang telah dibuat c. Realistis, skenario yang disajikan sebaiknya dapat terjadi atau benar-benar terjadi dalam kehidupan siswa. d. Membangun model, siswa harus dapat membuat modelnya sendiri untuk menyelesaikan masalah. e. Menggeneralisasi model, model yang telah dibuat dapat diterapkan pada permasalahan lain yang sejenis f. Membuat dokumentasi, ada dokumentasi yang dibuat. g. Kebersamaan, dilaksanakan berkelompok h. Prototype, dapat menggunakan alat bantu.
Selain itu Chamberlin dan Moon (2005) menjelaskan pula tentang langkahlangkah pembelajaran menggunakan pendekatan ini. Dua langkah pertama untuk membangun pemahaman siswa tentang konteks. Dan dua langkah terakhir adalah pemecahan masalah. Langkah–langkah pembelajarannya adalah: a. Siswa mengkaji informasi mengenai hal yang terkait dengan masalah yang akan diberikan terhadap siswa. b. Para siswa menjawab pertanyaan kesiapan yang didasarkan pada informasi mengenai hal yang terdapat dalam masalah. c. Guru memberikan masalah kepada siswa dan memastikan masing-masing kelompok memahami apa yang ditanyakan d. Para siswa kemudian mencoba untuk memecahkan masalah dan menghadirkan model mereka didepan kelas. Chamberlin dan Moon (2005) menjelakan bahwaPada dua langkah pertama dalam pendekatan model-eliciting activities, hanya sedikit memberikan pengaruh terhadap peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis dan selfconfidence. Pada dua langkah terakhir, barulah usaha peningkatan berpikir kreatif matematis dan self-confidence terjadi.Pada tahap ini siswa bereksplorasi ,mengeluarkan gagasan, sebanyak mungkin. Dari gagasan itu siswa mencari berbagai cara untuk menyelesaikan masalah (mulai membuat model). Karena tujuannya adalah membuat model sendiri, maka siswa juga diharuskan memilih gagasan dan cara-cara yang orisinil, secara tidak langsung kemampuan berpikir kreatif matematis bisa terbentuk. Sudah dijelaskan bahwa selfconfidencedapat ditingkatkan melalui kegiatan yang mengandung interaksi sosial di dalamnya. Dengan mengharuskan siswa mengemukakan pendapatnya sendiri di-
531, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
dalam kelompok, secara tidak langsung self-confidence siswa terlatih di tahap ini. Siswa berbaur diri dengan orang lain, yaitu kelompoknya. Siswa berpikir dan bertindak positif agar bisa mengeluarkan gagasan yang bagus. Siswa aktif bertindak dan berbicara dengan yakin dalam diskusi kelompok. Siswa menjaga citra diri yang baik dengan cara tidak mengeluarkan pendapat yang asal-asalan.Agar kelompoknya sukses maka mereka harus aktif dan saling membantu. Penelitian yang relevan Penelitian pertama yang terkait dengan self-confidenceadalah penelitian yang dilakukan oleh Suhardita pada tahun pada tahun 2011 dengan judul “efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tehnik permainan dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rohayati pada tahun 2011 dengan judul “program bimbingan teman sebaya untuk meningkatkan percaya diri siswa”. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pembelajaran teman sebaya dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa. Dalam teknik permainan dan program bimbingan sebaya memiliki persamaa dengan bagian dari pendekatan model-aliciting activities. Tehnik permainan dan program bimbingan teman sebaya memiliki kegiatan interaktif dengan rekan lain yang terdapat pula dalam pendekatan model-aliciting activities. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilkukan oleh Cucu Sutisna pada tahun 2010. Penelitian tersebut dituangkan dalam tesis yang berjudul “peningkatan kepercayaan diri siswa melalui strategi pelayanan bimbingan kelompok”. Hasil dari penelitian tersebut adalah
layanan bimbingan kelompok efektif meningkatkan kepercayaan diri siswa. Keterkaitan penelitian yang dilakukan oleh Cucu Sutisna dengan model-eliciting activities adalah kegiatan kelompok yang terjadi dalam bimbingan kelompok. Prayitno (Sutisna, 2010) menjelaskan bahwa bimbingan kelompok merupakan kegiatan yang memanfaatkan dinamika kelompok. Dalam pendekatan model-elicitng activities, siswa dibentuk dalam kelompok, memungkinkan siswa melakukan interaksi dalam kelompok. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil Angketself-confidence dalam penelitian ini merupakan hasil pengolahan skor dari angket awal dan angket akhir yang diberikan kepada kelas kontol dan eksperimen. Skor tersebut diolah dan dikaji sesuai dengan pengolahan data yang telah dirancang dalam metode penelitian. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran hipotesis dan menganalisa penyebab dan hal-hal yang terkait. Sebelum pembuktian hipotesis dilakukan, terlebih dahulu akan disajikan rangkuman skor yang diperoleh dari angket awal dan angket akhir pada kedua kelas, serta gain yang diperoleh seteleh dikonversi sebelumnya. Berikut data skor yang diperoleh berdasarkan perhitungan menggunakan SPSS 16 :
Daftar Rekapitulasi Skor Angket Self-Confidence Angket N Xmin Xmaks 𝑋 S
Kelas Konvensional Angket Awal
Angket Akhir
38 52,78 101,65 83,37 9,42
38 81,42 112,67 96,47 8,74
0,25
0,14
Kelas Model-Eliciting Activity Angket Akhir 41 41 59,66 82,32 0,35 105,22 124,99 83,34 101,80 8,75 10,64 0,21
Angket Awal
Siregar, Model-Eliciting Activities, 532
Keterangan: Skor maksimal ideal N Xmin Xmaks 𝑋
= 135 = Jumlah siswa = Skor terkecil dari seluruh = Skor terbesar dari seluruh siswa = Rata-rata s = Deviasi standar
Bila kita perhatikan perbandingan rata-rata angket awal dan angket akhir akan terlihat perbedaan peningkatannya untuk setiap kelas. Jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut: 120
Terlihat dari rata-rata angket awal kelas kontrol dan kelas kesperimen tidak berbeda,sama-sama 83. Skor tertinggi dan skor terendahnyapun, dari masing-masing kelas, tidak jauh berbeda. Sehingga dapat di simpulkan secara kasat mata bahwa kedua kelas memiliki tingkat selfconfidence yang sama. Bila dicermati skor rata-rata sudah melebihi setengah dari skor total. Artinya sudah mencapai taraf selfconfidence yang cukup tinggi. Dalam tabel terlihat rata-rata (mean) angket akhir self-confidence terdapat perbedaan antara kelas kontol dan eksperimen. Kelas kontrol medapatkan rata-rata (mean) 96,47. Kelas eksperimen mendapatkan rata-rata (mean) 101,80. Dapat disimpulkan secara kasat mata bahwa hasil angket akhir kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.
Objek Angket awal
Gain
100 80
Skor Angket
rata-rata angket awal
60
rata-rata angket akhir
40 20 0 Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
Perbandingan rata-rata angket awal dan akhir secara deskriptif
Berdasarkan hasil pengolahan gain, walaupun rata-rata menunjukan kelas kontrol berkategori rendah, sedangkan kelas eksperimen berkategori sedang Selain itu gain siswa kelas eksperimen lebih banyak mendapat kategori sedang keatas dari pada kelas kontrol. Namun itu saja tidak cukup. Untuk membuktikan hipotesis, perlu perhitungan statistik. Perhitungan statistik yang dilakukan dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel Uji-uji untuk mengukur self-confidence Taraf signifikansi yang Uji yang diperolah tiap kelas Alat Uji dilakukan Kelas Signifikansi Kontrol 0,200 KolmogorovUji Normalitas Smirnov eksperimen 0,200 Homogenity of kontrol dan Uji Homogenitas 0,803 variance eksperimen Uji kontrol dan perbandingan Uji t 0,991 eksperimen rata-rata Uji Normalitas Kolmogorovkontrol 0,200 Smirnov eksperimen 0,067 Uji Homogenitas Homogenity of kontrol dan 0,041 variance eksperimen Uji t’ kontrol dan 0,0115 perbandingan eksperimen rata-rata Hipotesis diterima Tolak H0 jika taraf signifikansi < 0,05
Keterangan Normal Normal Homogen Tidak ada perbedaan Normal Normal Tidak Homogen Kelas esperimen lebih tinggi
533, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Perhitungan statistik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan bantuan alat SPSS 16. Perhitungannya melalui tahap-tahap berikut. 1. Menentukan tingkat selfconfidence awal Skor yang dihasilkan dari angket awal self-confidence diperlukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan diri awal siswa, baik siswa pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Ingin diketahui apakah ada perbedaan kemampuan antara siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen. Namun, sebelumnya skor tersebut terlebih dahulu dikonversi dan diuji normalitas dan homogenitasnya. Konversi menggunakan bantuan program Excel Succesive Detail. Perhitungan statistic diawali dengan uji normalitas dan homogenitas. Untuk menguji normalitasnya,digunakan uji Komolgrov-Smirnov (KSZ), dengan bantuan SPSS 16. Diperoleh hasilnya sebagai berikut: 1. Kelas kontrol memperoleh harga KSZ sebesar 0,095 dan signifikansi sebesar 0,20. taraf signifikansi (0,20) lebih besar dari taraf signifikansi yang diperbolehkan, yaitu 0,05. artinya data dari kelas kontrol normal 2. Kelas eksperimen memperoleh harga KSZ sebesar 0,086 dan taraf signifikansi sebesar 0,20. teraf signifikansinya (0,20) lebih besar dari taraf signifikansi yang diperbolehkan yaitu 0,05. artinya data dari kelas eksperimen normal. Selanjutnya uji homogenitas, menggunakan uji Homogeneity of Variance. Dibantu SPSS 16. Hasilnya taraf signifikansi yang diperoleh adalah 0,803, lebih besar dari taraf signifikansi
yang diperbolehkan 0,05. artinya data homogen. Uji dilanjutkan dengan uji perbandingan dua rata-rata. Uji ini diawali dengan hipotesis. Hipotesisnya adalah: H0 = Tidak ada perbedaan tingkat selfconfidence awal yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. H1 = Ada perbedaan tingkat selfconfidence awal yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Tolak H0 jika taraf signifikansi yang diperoleh lebih kecil dari taraf signifikansi yang diperbolehkan (0,05). Pengujian dibantu SPSS 16. Taraf signifikansi yang diperoleh adalah 0,991, lebih besar dari taraf signifikansi yang diperbolehkan (0,05). H0 diterima, artinya tidak ada perbedaan tingkat selfconfidence awal antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Artinya kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki tingkat self- confidence yang sama. 2. Pengujian Hipotesis Hipotesis penelitian dalam penelitian ini adalah ”Penerapan pendekatan model-eliciting activities dalam pembelajaran matematika lebih meningkatkan self-confidence siswa SMP dibandingkan pembelajaran matematika konvensional”. Maka hipotesis statistiknya adalah sebagai berikut: H0 : β1 = β2, H1 : β1>β2, β = rata-rata self-confidence Pertama, uji yang dilakukan adalah uji normalitas dengan menggunakan uji Komolgrov-Smirnov, dengan bantuan SPSS 16. Hasil ujinya sebagai berikut: 1. Kelas kontrol memperoleh harga KSZ sebesar 0,101 dan taraf signifikansi sebesar 0,200, lebih
Siregar, Model-Eliciting Activities, 534
besar dari taraf signifikansi yang di perbolehkan yaitu 0,05. ini artinya data dari kelas kontrol berdistribusi normal. 2. Kelas eksperimen memperoleh harga KSZ sebesar 0,133 dan taraf signifikansi 0,067. taraf signifikansi yang diperoleh lebih bear dari taraf signifikansi yang diperbolehkan, yaitu 0,05. ini artinya data dari kelas eksperimen berdisitribusi normal. Selanjutnya uji homogenitas, menggunakan uji Homogeneity of Variance. Dibantu SPSS 16. Hasilnya taraf signifikansi yang diperoleh adalah 0,041, lebih kecil dari taraf signifikansi yang diperbolehkan 0,05, artinya data tidak homogen. Uji dilanjutkan dengan uji t’. uji ini diawali dengan hipotesis. Hipotesisnya adalah: H0 : β1 = β2, H1 : β1>β2, Tolak H0 jika signifikansi yang diperoleh lebih kecil dari signifikansi 0,05 Uji hipotesis yang dilakukan, adalah uji satu pihak (1-tail). Sedangkan Output SPSS menggunakan uji dua pihak, maka perlu dilakukan perhitungan lanjutan untuk uji satu pihak. Dari perhitungan yang dilakukan menggunakan bantuan SPSS, diperoleh nilai signifikansi 0,023. Karena uji yang digunakan uji satu pihak, maka signifikansi yang diperoleh dibagi dua, menjadi 0,0115. H0 ditolak, artinya peningkatan self-confidence kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Dengan demikian hipotesis penelitan diterima. Artinya terbukti bahwapenerapan pendekatan modeleliciting activitiesdalam pembelajaran matematika lebih meningkatkan self-
confidence siswa SMP dibandingkan pembelajaran matematika konvensional. Pembahasan Diterimanya hipotesis, tidak terlepas dari proses pelaksanaan penelitian di lapangan. Kegiatan belajar pembelajaran tidak pernah lepas dari faktor guru, siswa, materi, dan interaksi antara ketiganya. Namun dalam penelitian ini faktor yang lebih diamati adalah siswa, materi dan interaksi antara keduanya yang mendukung terhadap peningkatan self-confidence. Untuk meningkatkan selfconfidence perlu kegiatan yang didalamnya terdapat dinamika atau interaksi kelompok (Suhardita, 2011). Interaksi siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen sama-sama baik. Siswa begitu antusias terhadap materi yang diberikan. Semangat siswa begitu tinggi. Terlihat dari keaktifan mereka dalam memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan tugas, serta dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat. Penerapan pendekatan pembelajaran yang berbeda pada kedua kelas memberikan dampak yang cukup signifikan pada kedua kelas. Penerapan pendekana model-eliciting activities pada kelas eksperimen memberikan suasana yang berbeda. Ada beberapa hal yang menjadi temuan dari data hasil angket selfconfidence. Pada tabel terlihat tingkat rata-rata self-confidence awal siswa dari kedua kelas 83 lebih tinggi dari setengah skor ideal (135) yaitu 67,5. Hal ini berarti pada kondisi awal sebelum diberikan perlakuan self-confidence siswa sudah baik. Berdasarkan diskusi dengan guru bimbingan konseling di sekolah baiknya self-confidence siswa diantaranya disebabkan oleh adanya kegiatan ekstrakurikuler yang diwajibkan oleh sekolah. Adanya kegiatan tersebut
535, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
memungkinkan terjadinya interaksi sosial sehingga memupuk self-confidence siswa. Pembelajaran konvensional yang saya gunakan adalah ekpositori, di dalam pembelajaran ini siswa mengalami interaksi sosial. Interaksi tersebut terjadi antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa. Interaksi siswa dan guru terjadi dalam bentuk Tanya jawab, sedangkan interaksi siswa dengan siswa terjadi dalam bentuk diskusi dengan teman sebangku,ada kalanya dalam
kelomok. Namun, porsi interaksinya masih terbatas. Interaksi akan terjadi hanya pada saat-saat guru memberikan kesempatan. PENUTUP Kesimpulan Penerapan pendekatan modeleliciting activities dalam pembelajaran matematika dapat lebih meningkatkan self-confidence siswa SMP dari pada pembelajaran konvensional.
DAFTAR PUSTAKA Chamberlin, S.A., Moon, S. M. (2005). Model-Eliciting Activities as a Tool to Develop and Identify Creatively Gifted Mathematicians. Journal of Secondary Gifted Education, Vol. XVII, No. I (pp. 37-47). [online]. Tersedia:http://www.eric.ed.gov/ER ICWebPortal/custom/portlets/record Details/detaimini.jsp?_nfpb=true&_ &ERICExtSearch_SearchValue_0= EJ746044&ERICExtSearch_Search Type_0=no&accno=EJ746044[24 November 2011] Chamberlin, S.A, (2008)How Does the Problem Based Learning Approach Compare to the Model-Eliciting Activity Approach in Mathematics? Dalam International Journal for Mathematic and Learning(ISSN 1473 – 0111) [Online], Tersedia: http://ijmtl.net [ 11 desember 2011] Cynthia. A, Leavitt, D. (2007). Implementation Strategies for Model Eliciting Activities: A Teachers Guide. [online]. Tersedia: http:// site. educ. indiana. edu/Portals/161/Public/ Ahn%20&%20Leavitt.pdf[24 November 2011]
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Hurlock, E. B. (1980). Development Psycology: A Life-Span Approach, fifth edition. Mendiknas. (2010). Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta. Mustaqim, R.(2009). Hubungan antara kemandirian dengan self efficacy pada mahasiwa. Skripsi UPI: tidak diterbitkan. Permana, Y. (2010). “mengembangkan kemampuan pemahaman, komunikasi, dan disposisi matematis siswa sekolah menengah atas melalui model-eliciting activities”. Tesis PPs UPI Bamdung: tidak diterbitkan. Raghunatan, A. (2000).”Self Cofidence”. Psychology4all.com. [Online]. Tersedia: http://www.Psychology4all.com. [24 November 2011] Rohayati, I. (2011). Program Bimbingan Sebaya Untuk Meningkatkan Perca-
Siregar, Model-Eliciting Activities, 536
ya Diri Siswa. Jurnal UPI, Edisi Khusus. [online]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu. [24 November 2011] Sherlina, R. (2011). Hubungan antara Sumber-sumber Self Esteem pada Tipe Kepribadian Introvert dengan Perceived Social Support Pecandu Narkoba dalam Masa Penyulihan di Lingkungan Yayasan Insane Hamdani Rumah Cemara. Skripsi UPI Bandung: tidak diterbitkan. Sudrajat, D. (2008). Program Pengembangan Self-Efficacy Bagi Konselor di SMA Negeri Se-Kota Bandung. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan. Suhardita, K. (2011). Efektifitas Penggunaan Tkenik Permainan dalam
Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa. Jurnal UPI, Edisi Khusus. [online]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu. [24 November 2011] Sutisna C. (2010).Peningkatan Kepercayaan Diri Siswa Melalui Strategi Layanan Bimbingan Kelompok. Tesis PPS UPI; bandung, tidak diterbitkan. Ubaedy, A. (2011). Total Confidence. Jakarta: Bee Media. Widiatmojo, B. (2004). Peranan Pola Asuh Orangtua dan Bimbingan Belajar tehadap Self- Efficacy dan Prestasi Belajar Siswa, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol.10 no.2.18.