PENGGUNAAN KONTEKS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA SMP
Kadir dan La Masi FKIP Kampus Hijau Bumi Tridharma, Unhalu, FKIP Kampus Hijau Bumi Tridharma, Unhalu E-mail:
[email protected],
[email protected] ABSTRAK: Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika di SMP masih merupakan suatu masalah. Permasalahan tersebut disebabkan oleh kurangnya bahan ajar yang tersedia bagi guru untuk mengaitkan matematika dengan konteks keseharian siswa dan kurangnya kreativitas guru dalam membuat atau menggunakan konteks yang tepat dalam proses pembelajaran. Pada penelitian ini diungkap keragaman konteks yang digunakan guru untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas VIII SMP di Kota Kendari. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP sampel yang mewakili sekolah level sedang dan rendah. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam menggunakan konteks dalam pembelajaran matematika masih kurang. Konteks hanya digunakan pada awal pembelajaran matematika untuk menarik perhatian siswa, tetapi belum digunakan untuk membangun konsep matematika dan belum dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Konteks yang sering digunakan adalah ikan, mangga, dan kelapa. Guru menyadari bahwa penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika diyakini dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa.. Kata kunci: konteks dalam pembelajaran matematika, pembelajaran berbasis masalah kontekstual, keterampilan sosial
Keberhasilan guru matematika dalam melaksanakan pembelajaran dapat diketahui dari keberhasilan siswa memahami, menerapkan, dan mengembangkan materi pelajaran yang diajarkan baik pada matematika itu sendiri, mata pelajaran lainnya, maupun pada kehidupan seharihari. Keberhasilan siswa tersebut tidak dapat dicapai dengan baik jika pembelajaran guru kurang bermakna dan kurang memberi semangat inovasi dan kreativitas berpikir pada diri setiap siswa. Pembelajaran matematika seharusnya menarik dan menantang proses berpikir siswa sehingga dapat melatih kemampuan pemecahan masalah siswa secara kreatif. Penggunaan masalah kontekstual yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa dan 786
perkembangan teknologi yang dapat dipahami siswa pada setiap pembelajaran akan berpengaruh terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran. Di samping itu, penggunaan contoh dan soal latihan yang tidak rutin (non routine) juga akan melatih siswa berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah matematik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada berbagai satuan pendidikan di kota Kendari menggunakan buku paket sebagai satusatunya rujukan dan sangat jarang mengaitkan materi matematika dengan penggunaannya pada dunia nyata atau untuk memecahkan masalah sehari-hari baik pada aspek ekonomi, lingkungan, pergaulan, ataupun budaya dan teknologi. Soal-soal yang
787, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
digunakan guru secara umum hanya menggunakan soal-soal matematika sederhana. Soal-soal seperti ini tidak dapat melatih potensi berpikir siswa pada berpikir matematika tingkat tinggi (high-order mathematical thinking skills). Soal-soal matematika sederhana hanya digunakan pada aspek tertentu dari matematika. Hasil penelitian Kadir (2011) menunjukkan bahwa soal-soal rutin masih dominan digunakan guru matematika SMP Negeri di kota Kendari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa guru matematika di Kota Kendari kurang mampu merancang atau memodifikasi soal-soal matematika yang ada pada buku paket menjadi soal-soal kontekstual yang lebih terkait dengan kehidupan siswa sehari-hari di kota Kendari atau lebih menantang proses berpikir siswa. Padahal, soal-soal seperti ini sangat menarik untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran dan untuk menantang pola berpikir matematik siswa. Penggunaan masalah kontekstual sangat menarik dan dapat memancing kemampuan komunikasi siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya atau dengan guru. Artinya, penyajian soal-soal kontekstual dan problem solving akan menarik siswa mengikuti proses pembelajaran dan menantang proses berpikir siswa untuk secara kreatif memecahkan masalah yang diberikan atau dihadapinya baik secara inidividu maupun secara kelompok melalui komunikasi yang efektif dan difasilitasi oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Kemampuan siswa berinteraksi yang dilatih selama pembelajaran matematika yang bermakna dan kontekstual akan menjadikan siswa mampu beradaptasi, saling memberi dan menerima secara harmonis. Keterampilan seperti ini dikenal dengan istilah keterampilan sosial (social skills). Situasi pembelajaran matematika yang efektif-interaktif mesti senantiasa diupayakan guru di Kota
Kendari agar problematika potensi kota Kendari menjadi dikenal dan sedapat mungkin dapat dipecahkan dengan metode-metode matematika yang dipelajari. Sayangnya keterampilan sosial ini kurang dilatihkan guru di kelas sehingga beberapa penelitian pendahuluan peneliti menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa rendah. Kurangnya penggunaan konteks keseharian siswa ketika guru mengajarkan matematika berdampak pada semakin menjauhkan siswa dari matematika dan pada rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika berbentuk cerita atau soal-soal problem solving. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP dapat dilihat dari hasil penelitian Kadir tahun 2008, 2009, dan 2010 di kelas VIII dan kelas IX SMP di provinsi Sulawesi Tenggara. Meskipun pada penelitian Kadir (2011 dan 2012) menunjukkan hasil bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pesisir di kota Kendari telah dapat ditingkatkan tetapi bahan ajar yang digunakan adalah bahan ajar berbasis potensi pesisir sehingga belum menyentuh permasalahan kota Kendari pada umumnya. Potensi pesisir hanya satu dari sekian banyak potensi yang dimiliki kota Kendari yang juga mempunyai masalah yang hendaknya juga dapat dipecahkan dengan metode matematika atau disajikan dalam bahan ajar matematika. Bahkan pada peneltian Kadir (2012) tentang penggunaan konteks palem (palmae) seperti kelapa, aren, sagu, rotan, pinang, kelapa sawit, dan palem tanaman hias dalam pembelajaran matematika menunjukkan bahwa konteks palem kurang begitu dikenal siswa sehingga dibutuhkan konteks-konteks lainnya. Padahal Indonesia merupakan pusat keanekaragaman palem dunia (Witono, 2005). Hasil penelitian Kadir (2012) juga menunjukkan bahwa para guru matematika
Kadir dan Masi, Penggunaan Konteks, 788
sangat membutuhkan bahan ajar kontekstual yang terkait langsung dengan potensi kota Kendari dan permasalahannya. Buku paket matematika yang selama ini digunakan guru tidak terkait langsung dengan permasalahan potensi kota Kendari dan berdampak pada kurangnya partisipasi siswa dalam pembelajaran matematika di kelas. Uraian di atas menunjukkan perlunya merancang suatu pembelajaran matematika yang dapat memberi manfaat langsung bagi pembentukan pola pikir siswa secara teratur, logis, dan kreatif. Pembelajaran seperti ini dapat diwujudkan jika guru menggunakan bahan ajar yang dapat memfasilitasi dan mendorong siswa untuk berpikir. Bahan ajar tersebut harus menarik dan menantang proses berpikir siswa. Bahan ajar seperti ini dapat dikemas melalui pemanfaatan berbagai masalah baik yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa, maupun yang terkait dengan matematika itu sendiri, pengetahuan lain, kepentingan umum, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pemanfaatan konteks dan permasalahannya dalam pembelajaran dengan mengemasnya dalam bahan ajar matematika merupakan langkah tepat untuk melatih kemampuan berpikir kreatif matematik, keterampilan sosial siswa, dan menanamkan pentingnya pengetahuan tentang permasalahan setiap konteks tersebut. KAJIAN PUSTAKA Pemanfaatan Masalah Kontekstual dalam Kurikulum dan Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika sebagaimana amanah kurikulum harus mampu mewujudkan peserta didik yang problem solver, berpikir logis, sistematis, produktif, reflektif, kritis, kreatif, berkarakter, dan terampil bersosial. Generasi seperti ini hanya bisa diwujudkan melalui pembelajaran yang bermakna (meaningfull learning)
yang didukung oleh bahan ajar yang tepat, guru yang profesional, dan sistem pendidikan yang bermutu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pengintegrasian nilai-nilai kehidupan dan budaya serta potensi alam dalam pembelajaran matematika merupakan kegiatan yang mesti dilakukan guru di kelasnya. Menurut Adam (2004), ruang kelas merupakan bagian dari suatu komunitas yang mendefinisikan praktek budaya. Ketika siswa memasuki sebuah sekolah, mereka membawa berbagai nilai, norma, dan konsep yang merupakan bagian dari perkembangan mereka. Menurut Bishop (1994), beberapa di antara yang mereka bawa itu adalah matematika (Adam, 2004). Adam melanjutkan, sayangnya, konsep matematik dari kurikulum sekolah disajikan dalam suatu cara yang tidak berkaitan dengan budaya matematika siswa. Padahal aspek budaya memberi kontribusi penting untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa di kelas. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Bishop (1988), Boaler (1993), dan Zavlasky (1991, 1996), bahwa aspek budaya berkontribusi untuk mengenal matematika sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mengembangkan kemampuan koneksi secara bermakna, dan memperdalam pemahaman matematika (Adam, 2004). Keterampilan Sosial Seorang siswa dikatakan terampil bersosial jika siswa dapat berinteraksi secara harmonis dengan orang lain di sekitarnya. Menurut Cartledge & Milburn (1992), keterampilan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki siswa untuk menempatkan diri dan mengambil peran yang sesuai di lingkungannya. Keterampilan sosial merupakan bagian dari domain psikomotor yang mempunyai hubungan dengan domain kognitif dan afektif (Sasongko, 2001; Kadir, 2009b). Combs &
789, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Slaby (1997) menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu konteks sosial dengan cara yang spesifik sehingga dapat diterima atau dinilai menguntungkan bagi dirinya, mutu kehidupannya, dan orang lain. Keterampilan sosial juga merupakan salah satu dari tiga keterampilan yang dikemukakan oleh Sukmadinata (Syaodih, 2007), yaitu keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan motorik. Menurut Gresham, Sugai, & Horner (2001), keterampilan sosial adalah tingkat kemampuan siswa untuk membangun dan memelihara hubungan interpersonal yang tepat, dapat diterima oleh orang lain, membangun dan memelihara pertemanan, dan mengakhiri hubungan interpersonal yang negatif atau jahat (Bremer & Smith, 2004). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Arends (2008b), bahwa keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku yang mendukung kesuksesan hubungan sosial dan memungkinkan individu untuk bekerja bersama orang lain secara efektif. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada tiga keterampilan yang kurang pada banyak anak dan pemuda, yaitu keterampilan berbagi, keterampilan berpartisipasi, dan keterampilan komunikasi (Arends, 2008b). Kurangnya keterampilan sosial siswa akan berdampak pada rendahnya prestasi akademik siswa tersebut, cenderung kesepian dan menampakkan self-esteem yang rendah, dan ada kemungkinan akan droptout dari sekolah (Muijs dan Reynolds, 2008). Menurut Hair et al. (2001), mengembangkan keterampilan sosial berhubungan dengan memiliki kepribadian yang hangat dan ramah, kecerdasan nonverbal yang baik, pola asuh orang tua yang responsif, dan kontak reguler dengan kakak/adik kandung (Muijs dan Reynolds, 2008). Pendapat ini mengisyaratkan perlunya penggunaan pembelajaran kelom-
pok kecil atau kooperatif sebagai salah satu cara melatih keterampilan sosial siswa. Eksperimen Stevens & Slavin (1995) menunjukkan bahwa sekolah dan kelas dapat diorganisasikan dengan program dan proses yang mengimbangi dampak kemiskinan dan kelas sosial (Arends, 2008). METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri di kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara yang dapat dibagi ke dalam dua level sekolah (sedang dan rendah). Pembagian level sekolah didasarkan pada gabungan akreditasi sekolah dan hasil ujian nasional matematika dalam lima tahun terakhir. Pemilihan kedua SMP Negeri di kota Kendari ini didasarkan pada pertimbangan bahwa analisis kebutuhan masalah pembelajaran matematika, dan keterampilan sosial siswa harus mewakili permasalahan umum yang terjadi pada SMP Negeri di kota Kendari. Oleh karena itu, pada setiap level sekolah dipilih satu sekolah secara acak untuk dijadikan sekolah sampel penelitian. Perbedaan karakteristik siswa kedua level sekolah dipertimbangkan agar dapat diketahui konteks yang tepat dalam mengajarkan matematika pada siswa dengan berbagai kemampuan matematik. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian survey eksploratif terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas. Instrumen penelitian disusun untuk mengungkap kualitas guru dalam menggunakan konteks untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa pada pembelajaran matematika. Instrumen dimaksud berupa lembar observasi aktivitas guru dan siswa, wawancara, dan dokumentasi. Data penelitian dianalisis secara deskriptif naratif. Makalah ini menyajikan hasil penelitian awal tentang kualitas pembelajaran matematika dan analisis berbagai problemat-
Kadir dan Masi, Penggunaan Konteks, 790
ikanya khususnya penggunaan masalah kontekstual berbasis potensi kota Kendari. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis hasil observasi dan wawancara dengan guru-guru pada dua SMP yang diteliti ditemukan berbagai karakteristik pelaksanaan pembelajaran matematika di kota Kendari. Guru matematika yang diwawancarai sebanyak lima orang berkualifikasi sarjana. Hasil observasi dan wawancara tersebut disajikan sebagai berikut. 1. Guru belum maksimal menggunakan masalah kontekstual dalam pembelajaran. 2. Masalah kontekstual hanya muncul secara spontan tanpa ada perencanaan, dan tidak termuat dalam RPP dan LKS. 3. Kualitas interaksi dan aktivitas siswa dalam pembelajaran menjadi lebih baik ketika guru menggunakan masalah kontekstual dalam pembelajaran. 4. Guru hanya menggunakan masalah kontekstual untuk menarik perhatian siswa, belum memanfaatkan masalah kontekstual untuk mengembangkan kemampuan berpikir lanjut. 5. Konteks yang biasa digunakan guru adalah permasalahan ikan, jambu, mangga, dan kelapa. Penggunaan konteks palem sagu kurang menarik karena telah banyak siswa yang tidak mengenalnya. Padahal sagu merupakan salah satu bahan makanan yang sering dikonsumsi masyarakat. 6. Penggunaan masalah kontekstual disadari sangat membantu guru untuk menarik perhatian siswa tetapi kemampuan berbahasa siswa rendah sehingga siswa mengalami kesulitan memahami atau menterjemahkan soal ke dalam model matematika.
7. Pembelajaran guru belum mengaktifkan siswa untuk saling berinteraksi secara harmonis dengan guru dan siswa lainnya. 8. Pembelajaran guru belum maksimal dalam melatih keterampilan sosial siswa. 9. Soal cerita masih merupakan soal yang sulit siswa pecahkan. 10. Siswa kurang mampu melakukan operasi hitung matematika dasar khususnya yang berkaitan dengan pecahan dan bilangan bulat negatif. 11. Kemampuan berbahasa siswa rendah sehingga proses pembelajaran berjalan lamban dan siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan soalsoal matematika. 12. Guru masih dominan dalam membimbing dan mengarahkan siswa untuk aktif berinteraksi di kelas serta aktif memecahkan masalah yang diberikan. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa guru telah mengupayakan terwujudnya pembelajaran yang efektif meskipun masih perlu banyak perbaikan. Disadari bahwa pembelajaran matematika menjadi lebih baik jika disajikan contoh kontekstual berupa masalah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan atau bendabenda yang sering siswa jumpai atau gunakan. Tetapi, konteks seperti ini hanya untuk menarik perhatian siswa karena hanya dimunculkan secara spontan tanpa perencanaan. Buku-buku yang digunakan guru juga belum maksimal memuat berbagai konteks dan permasahannya yang dapat membantu guru merencanakan pembelajaran, membuat contoh atau masalah yang dapat membuat siswa tertarik belajar, aktif berinteraksi, berkomunikasi matematika, membangun karakter, dan melatih pola berpikir alternatif. Materi pada buku paket matematika masih merupakan rujukan utama. Beberapa masalah yang disajikan
791, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
tidak kontekstual. Hal ini mengurangi kualitas interaksi antar komponen pembela-jaran di kelas sehingga juga kurang melatih keterampilan sosial siswa. Hal ini berarti penggunaan konteks untuk menarik perhatian siswa di kelas sangat penting dilakukan dalam pembelajaran matematika. Di samping untuk menarik perhatian siswa, penggunaan masalah kontekstual dalam pembelajaran juga harus menantang proses berpikir siswa. Menurut Hughes & Hughes (2003), upayakan siswa belajar melalui aktivitas praktek yang secara intrinsik menarik, memberikan mereka suatu masalah yang menantang untuk diselesai-kan, dan memilih materi pelajaran yang memiliki daya tarik terhadap ketertarikan alami mereka. Hal ini dapat diwujudkan melalui penggunaan berbagai model atau pendekatan pembelajaran seperti pendekatan CTL (contextual teaching and learning) dan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) melalui aktivitas diskusi. Menurut Brenner (1998) melalui aktivitas diskusi dengan guru dan pasangannya, siswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap konsep dasar matematika dan menjadi pemecah masalah yang kreatif. Menurut Muijs dan Reynolds (2008), setelah menyelesaikan tugas kelompok, hasil-hasilnya perlu dipresentasikan kepada seluruh kelas dan sebuah debriefing yang difokuskan pada proses kerja kelompok harus dilaksanakan. Dalam kegiatan kelompok ini, aspek budaya mesti diperhatikan guru. Menurut Adam (2004), aspek budaya berkontribusi untuk mengenal matematika sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mengembangkan kemampuan koneksi secara bermakna, dan memperdalam pemahaman matematika. Komunikasi tersebut dapat memperlancar proses pemeca-
han masalah dan penanaman konsepkonsep matematika kepada siswa. Berdasarkan uraian pentingnya penggunaan konteks dalam pembelajaran maka dipandang penting untuk mengembangkan bahan ajar kontekstual dan mengembangkan model pembelajaran yang merupakan gabungan model pembelajaran barbasis masalah (Problem Based Learning) dengan pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Penggabungan kedunya disebut model pembelajaran berbasis masalah kontekstual (Contextual Problem Based Learning). Bahan ajar kontekstual adalah bahan ajar yang menyajikan materi matematika secara kontekstual. Konteks yang digunakan adalah konteks yang sudah dikenal siswa karena terkait dengan kehidupan siswa sehari-hari, dibutuhkan, dikenal, atau dapat dipahami siswa. Konteks tersebut di samping digunakan untuk menarik perhatian siswa, juga untuk melatih kemampuan komunikasi dan berbahasa siswa dalam memahami masalah, berinteraksi dengan orang lain secara terampil, memecahkan masalah secara kreatif, dan memperoleh informasi tentang masalah yang terkait dengan konteks tersebut. Penggunaan konteks dalam bahan ajar ini menjadi penting karena siswa menjadi lebih mengenal manfaat matema-tika bagi kehidupan dan untuk membangun pola berpikir logis, alternatif, produktif, sistematis, kritis, dan kreatif. Penggunaan konteks seperti ini akan mengurangi kebosanan siswa mempelajari matematika yang selama ini serba simbol, kering dari makna dan manfaatnya bagi kehidupan. Penggunaan simbol matematika dalam bahan ajar kontekstual disajikan secara bermakna sehingga siswa menjadi terbiasa dan memahami arti dari setiap simbol atau model matematika yang dihasilkan untuk memecahkan suatu masalah.
Kadir dan Masi, Penggunaan Konteks, 792
Pembelajaran berbasis masalah kontekstual (CPBL) adalah model pembelajaran berbasis masalah kontekstual. Pembelajaran dengan model ini menggunakan langkah-langkah atau sintaks pembelajaran berbasis masalah (PBL) tetapi masalah yang digunakan adalah masalah kontekstual. Adapun langkah-langkahnya adalah: (1) orientasi siswa pada masalah kontekstual; (2) mengorganisasi siswa un-tuk belajar; (3) membimbing penyelidikan kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; dan (5) mengana-lisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Langkah-langkah pembelajaran tersebut menekankan pentingnya pembe-rian masalah kontekstual dalam pembela-jaran matematika. Adapun langkah-langkah pembelajaran CPBL secara umum dibagi dalam tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Ketiga kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut. a. Kegiatan pendahuluan Pada tahap ini, guru menyampaikan model pembelajaran yang digunakan serta aturan mainnya, tugas-tugas yang akan diberikan, dan penilaiannya. Di samping itu, guru juga menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan motivasi dan apersepsi, yaitu mengajukan pertanyaan lisan kepada siswa untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep matematika yang akan dipelajari. b. Kegiatan inti 1) Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk berkelompok (anggota kelompok sudah ditentukan sebelumnya oleh guru berdasarkan data pengetahuan awal matematika dan informasi dari guru tentang karakteristik siswa di kelas itu). Anggota kelompok diupayakan heterogen dengan anggota seba-
2) 3)
4)
5)
6)
7)
nyak 4 – 5 orang tergantung pada banyak siswa di kelas tersebut Siswa duduk bersama di kelompoknya masing-masing. Guru memberikan LKS pada setiap siswa, yang disajikan dalam masalah kontekstual dan latihan soal yang harus didiskusikan. Guru meminta salah satu siswa membaca masalah dalam LKS dan siswa lain memperhatikan. Guru menanyakan hal-hal yang belum dimengerti kepada siswa terkait tugas di LKS yang akan dikerjakan. Guru mengarahkan siswa untuk memahami materi yang ada di LKS sebelum berdiskusi dengan anggota kelompok lainnya. Siswa menyelesaikan masalah secara mandiri. Hasilnya didiskusikan bersama di kelompoknya untuk sharing idea terkait tugas-tugas yang ada pada LKS.
8) Pada saat siswa menyelesaikan masalah di LKS dan berdiskusi, guru berkeliling pada setiap kelompok dan memberikan bantuan apa adanya pada kelompok yang mengalami kesulitan. Bantuan yang diberikan guru kepada kelompok yang mengalami kesulitan berupa teknik scaffolding, yaitu guru memberikan pertanyaan-pertanyaan arahan secara lisan untuk menggiring kelompok itu pada pencapaian solusi. Guru memberikan bantuan kepada siswa secukupnya hanya pada saat siswa mengalami kesulitan. 9) Hasil pekerjaan siswa di kelompok disajikan di depan kelas atas arahan guru. 10) Setiap kelompok berkesempatan menyajikan hasil kerjanya secara bergilir. Kesempatan pertama diberikan kepada kelompok yang sudah siap. Jika tidak ada kelompok yang siap, guru menunjuk salah satu kelompok
793, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
secara acak (yang dianggap bisa) untuk menuliskan hasil kerjanya di papan tulis. 11) Pada saat seorang siswa menuliskan hasil kerjanya ke papan tulis, anggota kelompok dan kelompok lainnya mengamati dan membandingkan hasil kerja yang dituliskan itu dengan hasil kerja kelompoknya. 12) Sebelum diskusi kelas, guru juga meminta kelompok lain untuk menuliskan jawabannya di papan tulis jika secara prinsip berbeda dengan jawaban kelompok penyaji pertama. Maksimal kelompok penyaji adalah tiga kelompok dengan jawaban yang berbeda. 13) Jawaban kelompok lain (yang tidak menyajikan jawabannya) dibahas pada saat diskusi kelas untuk disesuaikan dengan jawaban yang sudah disajikan kelompok penyaji sehingga diperoleh jawaban yang benar, efektif, dan efisien terhadap masalah yang dibahas. 14) Setelah semua jawaban disajikan di papan tulis, guru memimpin diskusi kelas. 15) Kelompok lain (selain penyaji) memberikan tanggapan terhadap apa yang disajikan. Kelompok penyaji menanggapi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari siswa atau dari kelompok lainnya. Demikian pula, dipersilahkan apabila ada kelompok lain yang mau membantu menjawab atau menambahkan jawaban. 16) Diskusi dilaksanakan dengan membahas satu per satu sajian tiap kelompok yang telah dituliskan di papan tulis. 17) Selama diskusi berlangsung, guru bertindak sebagai fasilitator dan moderator jalannya diskusi agar siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi pengetahuannya terkait masalah yang dikaji.
18) Guru bersama siswa melakukan refleksi, yaitu menganalisis dan memeriksa kembali proses pemecahan masalah yang telah disajikan. 19) Jika proses pemecahan masalah sudah benar, guru kemudian mengajukan pertanyaan kepada siswa, misalnya: ”Bagaimana jika ...? Apakah ada cara lain? Dari ketiga jawaban, mana yang lebih efisien? Mengapa?”. 20) Hasil akhir diskusi adalah penyamaan persepsi siswa terhadap konsep yang terkandung dalam masalah yang dibahas agar dapat diterapkan untuk menyelesaikan soal-soal latihan. Melalui latihan soal, setiap siswa dapat melakukan proses refleksi diri terhadap proses dan cara pemecahan masalah yang telah dilakukan. c. Kegiatan penutup 1) Guru melakukan review terhadap konsep matematika yang telah dipelajari, kemudian mengarahkan siswa untuk membuat rangkuman materi yang dianggap penting. 2) Guru juga senantiasa mengingatkan siswa tentang pentingnya pelestarian dan pemanfaatan berbagai konteks yang disajikan secara bertanggung jawab untuk kelanjutan kehidupan dan pentingnya belajar matematika untuk melatih kemampuan berpikir. 3) Guru memberikan informasi apa yang akan dipelajari pada pertemuan berikutnya dan menyampaikan bahwa pada pertemuan selanjutnya akan selalu diberikan soal-soal untuk dikerjakan secara berkelompok dan salah seorang anggota kelompok akan tampil ke depan kelas. Untuk itu setiap siswa harus mempersiapkan diri. 4) Guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan di rumah secara individu.
Kadir dan Masi, Penggunaan Konteks, 794
Demikian garis-garis besar langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran CPBL. Pembelajaran ini dilaksanakan melalui kegiatan kelompok yang didahului oleh kegiatan siswa secara individu untuk menyelesaikan masalah kontekstual. Pembelajaran kelompok dan menggunakan masalah kontekstual diyakini dapat menarik perhatian siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Aktivitas tersebut menjadi modal awal guru untuk memaksimalkan posisinya sebagai fasilitator. Posisi yang demikian menjadi sangat bermakna untuk melatih keterampilan sosial siswa dan menanamkan berbagai karakter jujur, adil, mandiri, bertanggung jawab, bekerja sama, dan lain-lain yang saat ini sudah menjadi agenda nasional. Artinya, guru atau peneliti perlu lebih mendalami proses interaksi tersebut agar dapat menjadi aktivitas yang bermakna bagi siswa di kelas. Ketika siswa hadir di kelas, berbagai keinginan dan tujuan mereka bawa dari rumah. Jika guru tidak memenuhi keinginan ini selama proses pembelajaran, hanya mementingkan penanaman konsep abstrak matematika atau tanpa penggunaannya atau kaitannya dengan kehidupan siswa atau perkembangan ekonomi, hukum, sosial, politik, lingkungan, dan teknologi informasi atau bidang lainnya, maka pembelajaran tersebut tidak akan bermakna bagi siswa. Hal ini menjadi tantangan besar bagi setiap guru atau peneliti untuk mengembangkan berbagai inovasi dalam pembelajaran. Inovasi tersebut dapat berupa pengembangan bahan ajar, teknik pembelajaran, dan strategi mengaktifkan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal. Pencapaian tujuan pembelajaran tidak hanya pada tujuan jangka pendek
tetapi sekaligus dapat melatih potensi berpikir siswa menjadi lebih optimal dan menjadi pemikir yang kreatif. Penggunaan konteks di samping dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa, juga dapat mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: kemampuan guru dalam menggunakan konteks dalam pembelajaran matematika masih kurang. Konteks hanya digunakan pada awal pembelajaran matematika untuk menarik perhatian siswa, tetapi belum digunakan untuk membangun konsep matematika dan belum dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Konteks yang sering digunakan adalah ikan, mangga, dan kelapa. Guru menyadari bahwa penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa. Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan agar: guru lebih kreatif menyusun masalah atau bahan ajar kontekstual baik dengan berinovasi sendiri maupun memodifikasi model atau soal atau masalah yang ada pada buku paket secara kreatif agar pembelajaran menjadi lebih menarik dan menantang proses berpikir matematik siswa. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah model pembelajaran berbasis masalah kontekstual (Contextual Problem Based Learning). Melalui model ini, guru perlu memanfaatkan ketertarikan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran untuk melatih keterampilan sosial dan kemampuan siswa memecahkan masalah secara kreatif.
795, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
DAFTAR RUJUKAN Adam, S. 2004. Ethnomathematics Ideas in The Curriculum. Mathematics Education Research Journal, 2004, 16(2): 49 – 68. Arends, R.I. 2008a. Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Satu. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arends, R.I. 2008b. Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Dua. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bremer, C. D. & Smith, J. 2004. Teaching Social Skills. Information Brief, Addressing Trends and Developments in Secondary Education and Transition. October 2004. 3(5). Brenner, M. E. 1998. Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Language Minority Students. Bilingual Research Journal, 22:2, 3, & 4 Spring, Summer, & Fall. Combs, M. L. & Slaby, D. A. 1997. Social Skill Training with Children. New York: Plennun Press. Hughes, A. G. & Hughes, E. H. 2003. Learning and Teaching. New Delhi: Sonali Publication. Kadir. 2008. Kemampuan Komunikasi Matematik dan Keterampilan Sosial Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 28 November 2008, ISBN 978-979-16353-1-8: 339 -350.
Kadir.
2009a. Evaluasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas VIII SMP. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan II2009, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, FKIP Universitas Lampung, 24 Januari 2009, ISBN 978-979-18755-1-6: 113-122.
Kadir. 2009b. Mengembangkan Keterampilan Sosial Siswa SMP melalui Penggunaan Masalah Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, 16 Mei 2009, ISBN 978-979-96880-5-7: 439-446. Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai Upaya Peningkatan Kemam-puan Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi pada SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan. Kadir. 2011. Pengembangan Bahan Ajar Matematika SMP Berbasis Potensi Pesisir untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa. Laporan Hasil Penelitian. Kendari: Lemlit Unhalu Kadir. 2012. Pengembangan Bahan Ajar Matematika Berbasis Potensi Palem untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik siswa SMP. Kendari: Lemlit Unhalu. Muijs, D. & Reynolds, D. 2008. Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua. Terjemah oleh: Drs. Helly Prajitno Soetjipto, M.A. dan Dra. Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kadir dan Masi, Penggunaan Konteks, 796
Sasongko, R.N. 2001. Model Pembelajaran Aksi Sosial untuk Pengembangan Nilai-nilai dan Keterampilan Sosial. Disertasi Doktor pada PPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Syaodih, E. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial
Siswa. (Studi pada Mata Pelajaran IPS di SD). Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. Witono, J.R. 2005. Keanekaragaman Palem (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan Tengah. Biodiversitas. 6(1): 22-30. Januari 2005.