p-ISSN : 0852-0151 e-ISSN : 2502-7182
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22(2): 81-90, 2016
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS MATEMATIS DAN SIKAP POSITIF SISWA SMP Kms. Muhammad Amin Fauzi Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar Psr. V Medan,Sumatera Utara, 20221, Email :
[email protected] Diterima 6 Juni 2016, disetujui untuk publikasi 29 Juli 2016
Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran dan instrumen kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa SMP melalui ModelPembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif (Model-PDPM) di Sumatera Utara. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Menganalisa penalaran di level kualitatif, aditif, pra-multiplikatif, multiplikatif implisit, dan multiplikatif dan sikap positif dalam setiap pokok bahasan matematika di tingkat sekolah menengah pertama (2) Mengembangkan Model-PDPM berdasarkan Kurikulum KTSP di tingkat sekolah menengah pertama menggunakan model Plomp dengan tahapan menginvestigasi masalah, mendesain model-PDPM, membuat draft model-PDPM, memvalidasi model-PDPM, merevisi model-PDPM, mengujicoba model-PDPM, merevisi model-PDPM, dan Prototipe Final model-PDPM (3) Implimentasi rancangan Model-PDPM dan menyusun panduan untuk guru dan siswa dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif siswa di tingkat sekolah menengah pertama dan (4) Menghasilkan Grounded Theory terkait/ berdasarkan ketekunan pengamatan, pengecekan jawaban hasil tes, kecukupan referensial dan penelusuran teori dan pengalaman lapangan.Subyek penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Kelas VIII Negeri dan Swasta di Sumatera Utara yang diambil secara acak proporsional yaitu SMPN 27, SMPN 35, MTsn 2 dan SMP Swasta Karya Bunda. Hasil penelitian ditemukan ada lima level penalaran proporsional beserta karakteristiknya, yaitu level kualitatif, aditif, pramultiplikatif, multiplikatif implisit, dan multiplikatif. Masing-masing level diisi oleh minimal dua siswa. Level hitungan tidak terpola ada 2 siswa, level Algoritma proporsi tanpa dasar konseptual ada 5 siswa, level Aditif ada 2 siswa, level Pramultiplikatif ada 2 siswa, level Multiplikatif Implisit ada 2 siswa, dan level Multiplikatif ada 4 siswa. Dibandingkan dengan level yang dikemukakan Piaget, temuan penelitian ini menambah satu level, yaitu level pra-multiplikatif. Selain itu terdapat perbedaan pada karakteristik level aditif dan karakteristik level kualitatif. Dibandingkan dengan level yang dikemukakan Lesh dan Doerr, perbedaan temuan ini terletak pada karakteristik level kualitatif, level aditif, dan level primitif multiplikatif. Untuk lebih jelas, pada tabel berikut dapat dilihat perbedaan karakteristik level penalaran yang menjadi temuan penelitian dengan pelevelan Piaget dan Lesh & Doerr. Rerata skor sikap positif siswa untuk kelompok ModelPDPM cenderung lebih tinggi dari kelompok PB. Komponen kognitif (C) memiliki perbedaan yang paling besar diantara komponen sikap lainnya. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan
Kata kunci : pengembangan, pendekatan, metakognitif, berpikir logis, sikap positif
81
Kms. Muhammad Amin Fauzi
Dari analisis jawaban siswa terhadap kemampuan penalaran logis matematis sebagian besar belum paham dan belum terstruktur dalam bernalar logis, masih lemah dalam membuat modelnya, serta masih salah pengambilan kesimpulan dan melakukan prediksi hal ini diduga belum terbiasanya siswa dengan soal-soal penalaran logis terkait dengan permodelan. Dengan demikian dibutuhkan pembelajaran dengan pendekatan berpikir tentang pikiran dengan materi berpikir logis matematis yang bagi kalangan siswa masih lemah. Padahal penalaran merupakan bagian terpenting dalam matematika. Penalaran logis dibutuhkan dalam: 1) kehidupan sehari-hari seperti dalam berbelanja, memasak, dan bertukang; dan 2) karir, seperti kedokteran (misalnya dalam mencampurkan obat); teknologi (misalnya dalam membuat miniatur bangunan atau dalam membuat peta); kependudukan (misalnya dalam menentukan kepadatan penduduk). Namun, menyelesaikan masalah penalaran logis termasuk sulit bagi siswa (Marpaung, 1992 dan Hart, 1984). Penalaran merupakan masalah kompleks bagi anak karena penalaran merupakan salah satu bentuk dalam matematika yang melibatkan pemahaman co-variation (perubahan nilai secara bersama-sama) dan komparasi multipel antarkuantitas serta kemampuan menyimpan dan memproses beberapa informasi (Lest, Post, dan Behr, 1988; Holmes, 1995; dan Walle, 1990). Dalam upaya untuk mendorong munculnya penalaran siswa dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan seperti : - Apakah ada cara lain? (What’s another way to solve this problem?) - Apa yang terjadi jika .....? (What if......?). Yaitu jika informasi yang diberikan diubah - Apa yang salah? (What’s wrong?). Yaitu siswa menemukan kesalahan solusi dan membetulkannya
82
Apa yang akan dilakukan selanjutnya? (What would you do?). Yaitu berkenaan dengan pengambilan keputusan NCTM (2000a) menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengetahui penalaran siswa adalah sebagai berikut. What do you think it is true? Does any one think the answer is different, and why do you think so? -
Pendahuluan
Pertanyaan-pertanyaan metakognitif ini yang mungkin ditindaklanjuti oleh siswa menyebabkan adanya proses metakognitif dalam diri siswa yang akan berpengaruh terhadap perilaku matematisnya. Seperti yang dikemukakan oleh Goos (1995: 300) bahwa proses-proses metakognitif mempengaruhi perilaku matematis siswa yaitu cara dan strategi para siswa dalam memilih dan menyebarkan pengetahuan metakognitifnya dan strategi yang mungkin akan dipertahankan dengan keyakinannya tentang matematika dan bagaimana metematika itu dipelajari. Strategi siswa memang hanya ada dalam pikiran siswa sendiri. Oleh sebab itu, penting bagaimana seorang guru dapat membimbing mereka untuk menggunakan strategi yang dipilih siswa sendiri dalam memecahkan masalah matematika. Dengan demikian dibutuhkan Model Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif (Model-PDPM) suatu pendekatan yang mengikuti perubahan pandangan pada proses pembelajaran yaitu dari pandangan mengajar ke pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pendekatan berpikir tentang pikiran dengan materi berpikir logis matematis yang bagi kalangan siswa masih lemah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain, kemampuan awal siswa (input), minat belajar, motivasi belajar, kemampuan guru (baik penguasaan materi atau penyampaian materi), alat mengajar, metode atau strategi, sikap positif dan bahan-bahan ajar yang diterapkan guru. Bahan ajar merupakan inti
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Matematis dan Sikap Positif Siswa SMP
utama dalam proses belajar mengajar. Bahan ajar juga menunjukkan kompetensi dan keterampilan yang dicapai dan dikuasi oleh siswa. Ini menunjukkan bahwa dari sekian banyak komponen dalam proses pembelajaran, kelihatannya, peranan dan fungsi pembelajaran menjadi sesuatu yang utama dan central dalam proses pembelajaran, asesmen untuk memunculkan penalaran matematis, dan bahan ajar dirancang yang akan dicapai oleh siswa dalam pembelajaran. Pada sisi lain, bahan ajar yang dirancang secara baik dan benar juga akan mampu meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam proses pembelajaran. Hasil yang ditargetkan adalah ingin membandingkan dengan model Pembelajaran Biasa (PB) temuan penelitian berdasarkan tujuan penelitian di atas diharapkan dapat juga digunakan guru untuk mengetahui level penalaran siswa. Berdasarkan ini, guru diharapkan dapat menyusun strategi pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan level penalaran siswa menuju level yang lebih tinggi. Di samping itu tersusun dalam Buku Siswa, Lembar Aktivitas Siswa, Buku Panduan Guru dan perangkat penilaian dengan pendekatan metakognitif serta ditemukan Grounded Theory terkait/ berdasarkan ketekunan pengamatan, pengecekan jawaban hasil tes, kecukupan referensial dan penelusuran teori dan pengalaman lapangan. Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif (Puskur, 2005). Di samping itu, siswa diharapkan dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika.
Ditinjau dari pembelajaran yang biasa dilakukan guru di kelas (Model-PB), proses pembelajaran dilaksanakan dengan langkahlangkah: menjelaskan materi, memberikan contoh, dan memberikan latihan soal, dan kurang memfasilitasi terjadinya diskusi, mengajukan pertanyaan beserta solusinya terhadap hasil kerjanya, sangat mustahil tujuan pembelajaran di atas dapat tercapai. Contoh dan soal latihan yang dikerjakan siswa berupa contoh soal rutin dan sedikit sekali menggunakan soal-soal non rutin. Penggunaan berbagai model pembelajaran yang ada masih kurang variatif. Materi matematika yang diberikan juga masih kurang terkait dengan kegiatan siswa seharihari atau situasi yang dapat dibayangkan siswa. Hal yang sama juga dikemukakan Fauzi (2011), Saragih (2013) aktivitas pembelajaran konvensional mengakibatkan terjadinya proses penghafalan konsep atau prosedur, akibatnya pemahaman konsep matematika rendah, tidak dapat menggunakannya jika diberikan permasalahan yang agak kompleks, siswa menjadi robot yang harus mengikuti aturan atau prosedur yang berlaku sehingga terjadilah pembelajaran mekanistik, akibatnya pembelajaran bermakna yang diharapkan tidak terjadi. Menyadari pentingnya suatu strategi dan pendekatan pembelajaran untuk dapat mengembangkan potensi berpikir atau kemampuan bernalar matematis siswa serta mendorong sikap positif siswa yang dilakukan melalui tahapan perencanaan, memilih strategi yang tepat, memonitor dan merefleksi maka mutlak diperlukan adanya pembelajaran matematika yang lebih banyak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlibatan siswa secara aktif dalam merespon kesadaran metakognisinya. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif merupakan salah satu yang diduga mampu mengembangkan potensi berpikir atau kemampuan bernalar matematis
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
83
Kms. Muhammad Amin Fauzi
siswa serta mendorong sikap positif siswa. Sebagai contoh soal yang diberikan kepada siswa kelas 2 SMP misalnya “Selidiki apakah garis y = 2x + 1 sejajar dengan garis y = 2x – 4. Dari soal ini diharapkan pada siswa muncul beberapa konsep yang mendukung solusi dari permasalahan ini. Misalnya apa konsep gradien sebuah garis lurus, bagaimana kedudukan gradien dari dua garis sejajar, syarat dua garis berpotongan dan kapan dua garis mempunyai himpunan penyelesaian ? Dengan melakukan pengkaitan sebagaimana ilustrasi di atas maka konsep-konsep dalam matematika terlihat menjadi satu kesatuan yang utuh. Model-PDPM merupakan suatu pendekatan yang mengikuti perubahan pandangan pada proses pembelajaran yaitu dari pandangan mengajar ke pandangan belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perubahan tersebut membawa pergeseran pandangan terhadap pengertian tentang pengetahuan matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana kedudukan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Menurut pandangan pembelajaran yang berpusat pada siswa, pengetahuan matematika tidak disajikan dalam bentuk hasil jadi (a ready-made product) yang siap untuk ditransfer kepada siswa dengan cara meniru, pengulangan praktek dan hapalan, melainkan suatu proses menjadi, yang dilakukan secara aktif oleh siswa sendiri. Karenanya diharapkan siswa harus dapat membangun sendiri konsep dan prosedur matematika melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan dunia nyata atau real world. Untuk itu diperlukan suatu pengembangan materi pelajaran matematika yang difokuskan kepada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan disesuaikan dengan tingkat kognitif siswa, serta penggunaan metode evaluasi yang terintegrasi pada proses pembelajaran tidak hanya berupa tes pada akhir pembelajaran (formatif atau sumatif). Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif mengarahkan perhatian siswa 84
pada apa yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang tepat untuk menyelesaikan soal-soal melalui bimbingan scaffolding (pertanyaanpertanyaan arahan) (Cardelle, 1995). Di bawah pengaruh teori pembelajaran kognitif, pemecahan masalah (problem solving) berkembang menjadi sebuah sarana untuk merepresentasikan aktivitas mental yang kompleks (complex mental activity) yang merupakan keragaman kemampuan kognitif dan actions. Pemecahan masalah sendiri meliputi kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti visualization, association, abstraction comprehension, manipulation, reasoning, analysis, synthesis, generalization, yang dari tiap-tiap point tersebut membutuhkan suatu pengaturan dan pengkoordinasian (Kirkley, 2003; Garofalo dan Lester, 1985). Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa metakognisi memiliki peranan penting dalam merancang (planning), memonitor (monitoring) serta mengevaluasi (evaluation) proses-proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir, sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang menjadi lebih efektif dan efisien. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Berpikir juga merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikkan kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan jika seseorang dihadapkan pada suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertianpengertian, kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya dan setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau mencari solusi dari situasi tersebut. Diperkuat oleh pendapat Copi (1982) menjelaskan bahwa “reasoning is a special kind of thinking in which
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Matematis dan Sikap Positif Siswa SMP
inference takes place, in which conclusions are drawn from premisses”. Maksud kutipan tersebut adalah bernalar merupakan jenis khusus dari berpikir yang berkenaan dengan pengambilan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis. Pada bagian lain ditegaskan oleh Copi bahwa tidak semua berpikir adalah bernalar. Kegiatan berpikir yang bukan bernalar seperti mengingat sesuatu atau membayangkan sesuatu (melamun). Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud dengan penalaran adalah proses berpikir yang berkenaan dengan pengambilan kesimpulan. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berpikir logis dapat dirujuk beberapa pendapat antara lain: Plato, berpikir adalah berbicara dalam hati, sedangkan Gieles mengartikan bahwa berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, dan mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain (Mukhayat, 2004). Dalam matematika, kata logis erat kaitannya dengan penggunaan aturan logika. Poedjawijatna (1992) mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika. Logika berasal dari kata Yunani Logos, yang berarti ucapan, kata, dan pengertian. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturanaturan atau patokan-patokan yang harus diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh suatu kebenaran. Dengan demikian berpikir logis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan berpikir untuk memperoleh suatu pengetahuan menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu (Suriasumantri, 1990). Sikap positif siswa terhadap matematika dimaksudkan ialah kecenderungan tindakan mereka terhadap matematika sebagai obyek yang didasarkan pada pengetahuan dan perasaan mereka terhadap obyek tersebut. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide
abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Hollander (1971) mengemukakan ada sikap yang lain yang di munculkan siswa terhadap matematika, disebutnya sebagai salah satu ketidakkonsistenan di dalam sikap seseorang, seseorang kadang-kadang melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang diucapkannya. Hal ini mungkin salah satu penyebabnya, adanya sikap yang saling bertentangan dalam diri seseorang. Sebagai contoh, siswa yang memiliki rasa antipati pada salah satu mata pelajaran, akan menimbulkan sikap yang bertentangan dengan sikapnya yang lain yang harus taat pada guru. Dengan demikian ia seolah-olah antusias terhadap mata pelajaran tersebut. Untuk mengukur sikap seseorang terhadap matematika dapat digunakan angket tentang sikap dengan skala Likert. Mengacu kepada yang dikemukakan oleh Fennema dan Sherman (Ruseffendi, 1986) sikap dapat diukur berdasarkan indikator-indikator berikut: (a) aspek afektif, (b) aspek emosional, (c) aspek kognitf, (d) sikap orang tua terhadap matematika, (e) behavioral, (f) hubungan guru dan siswa dalam proses pembelajaran matematika, (g) motivasi orang tua terhadap siswa, (h) mitos jenis kelamin. Dengan demikian sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa tujuan pendidikan matematika salah satu diantaranya adalah penekanan pada pembentukan sikap siswa, maka dalam proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap matematika.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan. Richey dan Nelson (1996) mengidentifikasikan bahwa penelitian pengembangan (Developmental Research) ini berorientasi pada pengembangan produk dimana proses pengembangannya dideskripsikan seteliti mungkin dan produk akhirnya dievaluasi. Di dalam pembelajaran matematika, penelitian pengembangan ini diterapkan dalam aktivitas berulang dari
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
85
Kms. Muhammad Amin Fauzi
pendesainan dan pengujian terhadap produk material pembelajaran matematika (Gravemeijer, 1999). Hasil penelitian ini berupa produk yang berkualitas secara teoritis, prosedural metodologi, dan empiris. Produk yang dihasilkan adalah RPP, Buku Siswa, LKS, Skala Sikap Positif, dan Tes Penalaran Logis.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka
dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Berpikir juga merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikkan kesimpulan. Seperti yang telah diuraikan di atas, temuan penelitian ini memuat dua kasus menarik (karakteristik penalaran), seperti contoh berikut :
. Perhatikan pola gambar kelereng berikut:
... pola 1
pola 2
pola 3
pola 4
Jumlah kelereng pada gambar ke 10 adalah .... A. B. C. D.
90 100 110 121
Siswa 1. Menjawab benar, tetapi melakukan hitungan yang tidak terpola dalam menentukan kuantitas yang belum diketahui karena siswa hanya menebak cara memperoleh jawaban, seperti perkalian dua kuantitas yang diberikan. Siswa 2. Belum memahami masalah, artinya tidak dapat menjelaskan lebih lanjut alasan siswa menebak cara memperoleh jawaban selain alasan kualitatif. Jika dikaitkan dengan pendapat Piaget (dalam Keret, 1999), siswa ini dapat dikatakan “tidak dapat mengkoordinasikan variabel dan menyandarkan pada intuisi”. Siswa 3. Proses penalaran sudah benar dan jawabannyapun benar serta, Siswa 4, hampir sama dengan siswa 3, tetapi siswa 3 lebih lengkap dengan memodelkan dalam bentuk gambar. Dalam penelitian ini menyangkut hambatan-hambatan dalam menyelesaikan masalah proporsi yang tidak terkait langsung dengan penalaran, seperti hambatan dalam membagi atau mengali. 86
Dari 21 siswa yang dianalis dalam penelitian ini hanya ditemukan satu siswa yaitu siswa 2 bahwa selain memberikan masalah mencari satu nilai yang belum diketahui tidak dapat mengkoordinasikan variabel dan menyandarkan pada intuisi”. Masalah ini hanya diberikan kepada siswa yang menggunakan strategi yang betul dalam menyelesaikan masalah mencari satu nilai yang belum diketahui, karena tujuannya adalah untuk mengetahui lebih jelas “apakah siswa memahami kapan prosedur cocok digunakan”. Oleh karena itu, penalaran siswa dalam menyelesaikan masalah non-proporsional ini tidak eksplisit dijadikan sebagai karakteristik pelevelan. Berdasarkan analisis data, ditemukan bahwa siswa yang berada pada level multiplikatif (menggunakan algoritma dengan pemahaman hubunganonal) dapat mengenal bahwa pada masalah nonproporsional berlaku hubungan aditif, bukan multiplikatif. Siswa ini dikatakan “tidak terkecoh” dalam mengenal hubungan
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Matematis dan Sikap Positif Siswa SMP
antarkuantitas pada masalah nonproporsional. Sedangkan siswa level kualitatif sub level b, yaitu menggunakan algoritma dengan pemahaman instrumental, tidak mengenal bahwa pada masalah nonproporsional berlaku hubungan aditif, sehingga siswa ini tetap menggunakan algoritma proporsi dalam menyelesaikan masalah non-proporsional. Selanjutnya siswa yang berada pada level pra-multiplikatif dan level multiplikatif implisit ada yang dapat mengenal bahwa pada masalah nonproporsional berlaku hubungan aditif (bukan multiplikatif), dan ada yang tidak dapat
No. 1.
2. 3. 4. 5.
mengenal bahwa pada masalah nonproporsional berlaku hubungan aditif, sehingga siswa menerapkan penalaran multiplikatif. Siswa yang menyelesaikan masalah non-proporsi dengan menggunakan hubungan multiplikatif atau menggunakan algoritma proporsi dikatakan “terkecoh” dalam mengenal hubungan antarkuantitas pada masalah non-proporsional. Pada tabel berikut dapat dilihat kaitan level penalaran logis siswa dalam menyelesaikan masalah proporsional dalam menyelesaikan masalah non-proporsional.
Tabel 1. Penalaran Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Non-Proporsional Level Penalaran Siswa Penyelesaian masalah non- Keterangan proporsional proporsional Kualitatif a. Hitungan tidak Siswa 5 terpola Siswa 10 b. Algoritma proporsi Siswa 7 Algoritma proporsi Terkecoh tanpa dasar Siswa 9 Algoritma proporsi Terkecoh konseptual Siswa 11 Algoritma proporsi Terkecoh Siswa 15 Algoritma proporsi Terkecoh Siswa 20 Algoritma proporsi Terkecoh Aditif Siswa 9 Siswa 19 Pra-multiplikatif Siswa 8 Hubungan aditif Terkecoh Siswa 14 Algoritma proporsi Terkecoh Multiplikatif Implisit Siswa 16 Hubungan aditif Tidak terkecoh Siswa 17 Algoritma proporsi Terkecoh Multiplikatif Siswa 10 Hubungan aditif Tidak terkecoh Siswa 12 Hubungan aditif Tidak terkecoh Siswa 18 Hubungan aditif Tidak terkecoh Siswa 21 Hubungan aditif Tidak terkecoh
Dari Tabel 1. di atas terlihat bahwa dari 21 siswa ditemukan 7 siswa (siswa 7, 9, 11, 15, 20 dan 17) yang menggunakan prosedur dalam menyelesaikan masalah proporsional (menggunakan algoritma proporsi) untuk menyelesaikan masalah nonproporsional. Temuan ini sesuai dengan temuan Cramer, Post dan Currier (1993) bahwa sebanyak 32 dari 33 mahasiswa calon guru sekolah dasar menggunakan prosedur dalam menyelesaikan masalah proporsional untuk menyelesaikan masalah nonproporsional. Salah satu penyebabnya adalah
siswa kurang terbiasa menganalisis permasalahan sebelum menerapkan prosedur yang telah mereka ketahui. Hanya satu siswa (siswa 14) terkecoh dengan hubungan aditif untuk menyelesaikan masalah nonproporsional. Pengaruh model-PDPM terhadap sikap positif siswa di lihat dari sebaran angket yang diberikan kepada siswa setelah proses pembelajaran. Rerata skor sikap untuk setiap komponen sikap disajikan pada Tabel 2 dan diagram garisnya seperti pada Gambar 1.
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
87
Kms. Muhammad Amin Fauzi
Tabel 2. Rerata Skor Sikap Berdasarkan Komponen Sikap KOMPONEN
PEMBELAJARAN MODEL-PDPM
A 3,5
B 3,3
C 4,0
D 3,7
E 3,4
F 3,7
G 2,5
H 3,4
PB
2,7
2,3
2,1
2,5
2,4
2,3
2,2
2,6
Dari Tabel 2. diperoleh bahwa rerata skor setiap komponen sikap terhadap matematika berkisar di titik 3,00. Ini berarti bahwa sikap subyek terhadap matematika cenderung cukup. Untuk komponen hubungan guru dan siswa dalam proses pembelajaran (C) mempunyai rerata skor tertinggi untuk kelompok Model-PDPM (4,0). Hal ini menunjukkan bahwa siswa memiliki sikap lebih positif dan menyadari akan aspek kognitif dalam proses pembelajaran. Sedangkan rerata skor terendah pada
komponen motivasi orang tua terhadap siswa (G) untuk kelompok Model-PDPM yaitu (2,5). Sikap siswa terhadap matematika diperoleh dengan menggunakan angket sikap dengan skala Likert yang terdiri dari sembilan komponen yaitu: (a) afektif; (b) emosional; (c) kognitif; (d) sikap orang tua terhadap matematika; (e) behavioral; (f) hubungan guru dan siswa dalam proses pembelajaran matematika; (g) motivasi orang tua terhadap siswa, dan (h) mitos jenis kelamin.
Gambar 1. Diagram Garis Rerata Skor Sikap untuk Setiap Komponen Menurut Model-PDPM dan Model-PB Dari Gambar 1. dapat dibaca bahwa rerata skor sikap siswa untuk kelompok Model-PDPM cenderung lebih tinggi dari kelompok Model-PB. Komponen kognitif (C) memiliki perbedaan yang paling besar diantara komponen sikap lainnya. Di samping melihat Pengaruh Model-PDPM terhadap Sikap Positif Siswa, juga dilihat pengaruh dengan Kemandirian Belajar Siswa. Untuk mengetahui ini peneliti mewancarai beberapa orang siswa diperoleh gambaran bahwa semua pernyataan dapat dipahami dengan baik oleh siswa, meskipun masih dilakukan perbaikan seperlunya, terutama dalam struktur kalimat untuk setiap pernyataan, namun pernyataan yang dipilih 88
oleh siswa tidak begitu ekstrem, misalnya pilihan siswa sedikit yang memilih sangat setuju atau sangat tidak setuju. Pilihannya lebih cendrung setuju atau tidak setuju. Hal ini diduga penyebabnya adalah faktor budaya yaitu belum berani secara ekstrem dan tegas tetapi lebih mencari jawaban aman.
Simpulan dan Saran Ada lima level penalaran proporsional beserta karakteristiknya, yaitu level kualitatif, aditif, pra-multiplikatif, multiplikatif implisit, dan multiplikatif. Masing-masing level diisi oleh minimal dua siswa. Level hitungan tidak terpola ada 2 siswa, level Algoritma proporsi tanpa dasar
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Matematis dan Sikap Positif Siswa SMP
konseptual ada 5 siswa, level Aditif ada 2 siswa, level Pra-multiplikatif ada 2 siswa, level Multiplikatif Implisit ada 2 siswa, dan level Multiplikatif ada 4 siswa. Dibandingkan dengan level yang dikemukakan Piaget, temuan penelitian ini menambah satu level, yaitu level pramultiplikatif. Selain itu terdapat perbedaan pada karakteristik level aditif dan karakteristik level kualitatif. Dibandingkan dengan level yang dikemukakan Lesh dan Doerr, perbedaan temuan ini terletak pada karakteristik level kualitatif, level aditif, dan level primitif multiplikatif. Untuk lebih jelas, pada tabel berikut dapat dilihat perbedaan karakteristik level penalaran yang menjadi temuan penelitian dengan pelevelan Piaget dan Lesh & Doerr. Rerata skor sikap positif siswa untuk kelompok Model-PDPM cenderung lebih tinggi dari kelompok PB. Komponen kognitif (C) memiliki perbedaan yang paling besar diantara komponen sikap lainnya. Temuan penelitian ini dapat digunakan bagi guru untuk mengetahui penalaran proporsional siswa, sehingga dalam proses pembelajaran guru diharapkan dapat merancang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sesuai untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan level penalaran proporsional siswa menuju level yang lebih tinggi. Perlu dilakukan penelitian replikasi atau penelitian pengembangan lebih lanjut untuk memperkuat dan memperkaya temuan penelitian ini bahkan memunculkan penelitian-penelitian lanjutan yang berdampak pada perluasan dari sisi materi, model pembelajaran dan objek siswa dari sisi budaya dan konteks lokal.
Ucapan Terima Kasih Kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Lanjutan Nomor : 054/SP2H/ LT/ DRPM/ II/2016, tanggal 17 Februari 2016.
Daftar Pustaka Albrecht, K. (1992). Daya Pikir. Dahar Prize : Semarang. Audiblox (2006). Logical Thinking: Helping Children to Become Smarter. [Online]. Tersedia: http://www.audiblox.com/math_prob lems.htm [06 Februari 2016]. Carroll, William M and Porter, Denise. (1998). Alternative algorithms for wholenumber operations. In The Teaching and Learning of Algorithms in School Mathematics, The 1998 NCTM Yearbook, edited by Lorna J. Morrow and Margaret J. Kenney. Reston, Virginia: NCTM. Fauzi, A (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif Di Sekolah Menengah Pertama. Disertasi. UPI Bandung : Tidak diterbitkan. Fauzi, A, dan Sabandar, J (2010). “Pembentukan Lanjut Kemandirian Belajar dalam Mengembangkan Kebiasaan Berpikir Siswa SMP dengan Pendekatan Metakognitif. Pedagogik” : Jurnal Ilmu Kependidikan Kopertis Wilayah I NAD-Sumatera Utara; ISSN N0. 1907-4077 : Kopertis Wilayah I NAD-Sumatera Utara. Fauzi, A, Lestari, Arnah. 2015. Pengembangan Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis dan Sikap Positif Siswa SMP. Laporan Hibah Bersaing Tahun I. Unimed. Medan Johar, Rahmah. (2005) . Pengembangan Level Penalaran Proporsional Siswa SMP. Disertasi. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya. Lesh, R., Post, T.& Behr, M. (1988) Proportional Reasoning dalam Hiebert, J. & Behr, M. (Edt). Number Concepts and Operations in the Middle Grades. 93 – 118. Reston, VA: Lawrence Erlbaum & National Council of Teachers of Mathematics. http://education.
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016
89
Kms. Muhammad Amin Fauzi
umn.edu/ rationalnum berproject/ 88_8. html. Marpaung, Y. (2001). Implementasi Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik pada Sekolah dan Madrasah, tgl 5 Nopember 2001, Medan: Tidak Diterbitkan. Mukhayat, T. (2004). Mengembangkan Metode Belajar yang Baik pada Anak. FMIPA. UGM : Yogyakarta. National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Poedjawijatna (1992). Logika Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Puskur. (2005). Kurikulum dan Hasil Belajar. Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Balitbang, Depdiknas : Jakarta Ruseffendi, E.T. (1986). Evaluasi Pembudayaan Berpikir Logis Serta Bersikap Kritis dan Kreatif melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Makalah disampaikan pada Lokakarya di Yogyakarta. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan. Saragih, S. (2013). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik, Disertasi Doktor pada PPS UPI. Tidak Diterbitkan. Suriasumantri, J. S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.
90
Jurnal Penelitian Bidang Pendidikan Volume 22 Nomor 2 September 2016