MENELAAH KORUPSI DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.2|Juli 2012 Indra Fauzan

ISSN: 0216-9290 Menelaah Korupsi dan Demokrasi di Indonesia

MENELAAH KORUPSI DAN DEMOKRASI DI INDONESIA INDRA FAUZAN Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email: [email protected]

Diterima tanggal 17 Mei 2012/Disetujui tanggal 24 Juni 2012 Corruption is a big problem in coutries around the world. Corruption is a issues which are prevalent in developing countries and country’s transition to democratie. In many research studies claim that Indoensia is one of the most corrupt countries. After reform, Indonesian democration have made much progress, unfortunetly, in the body of democratie, corruption grow and flourish, and thus causing the country suffered great losses. This study explore about relation between corruption and democracy. Collecting data is using library research. The finding is the corruption occurs in every agency of government or non government, even occurs in the institution of the democracy itself, namely political parties and representative institutions of the people. Democracy is supposed to be a way out for the creation of a corruption-free country, but now democracy even an entrance for corruption. Strong need for comprehensive reform and strengthen the democratic system a clean and healty, and reduce the corruption of democracy in the body. Keywords: Corruption, democracy, political system.

Pendahuluan Korupsi berada dalam sistem dan bentuk pemerintahan apapun jenisnya, baik demokrasi, sosialis, atau bentuk pemerintahan lainnya bahkan dalam Negara agama sekalipun korupsi tetap ada. Sehingga banyak rezim runtuh karena korupsi, kolusi dan juga nepotisme, penyakit moral yang menjangkit dibanyak negara terutama pada negara diktator, negara berkembang, negara transisi demokrasi dan Negara-negara yang tidak menganut asas keterbukaan. Tumbuh kembangnya korupsi yang semakin subur dan menjadi penyakit banyak negara termasuk Indonesia membuat laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan pembangunan menjadi tersendat, timpangnya kondisi ekonomi masyarakat dan rusaknya tatanan dan sistem politik suatu negara, sehingga negara tidak bisa memberikan

kesejahteraan karena uang pembangunan di korupsi dan diambil untuk menguntungkan sebahagian kecil orang yang mencuri uang rakyat. Pada era reformasi atau masa transisi demokrasi di Indonesia telah banyak studi dan penelitian tentang korupsi, bahkan banyak tumbuh lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun nasional yang menjadikan korupsi sebagai objek penelitian dan menjadi musuh bersama, akan tetapi korupsi tetap saja marak dan uang Negara yang dicuri tidak sedikit, mulai dari puluhan juta, ratusan juta, miliaran bahkan ratusan miliar. Pelaku korupsi juga bukan sembarang orang, adalah orangorang yang menerima amanah untuk menjadi pemimpin dan wakil rakyat di tingkat daerah bahkan pusat sekalian, sungguh ironis

77



memang, akan tetapi itulah faktanya dan tidak bisa terbantahkan.

Memahami Korupsi dan Demokrasi

Orang atau kelompok organisasi yang bertujuan memberantas korupsi tentunya akan mendapat dukungan dan persetujuan dari orang-orang yang secara umum menganggap bahwa korupsi itu adalah merugikan dan menjadi musuh bersama dan dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Akan tetapi ditentang oleh orang-orang yang mendapat keuntungan dari praktik korupsi tersebut, baik orang perorang ataupun sekumpulan orang baik dalam sebuah sistem pemerintahan ataupun organisasi pemerintahan, swasta atapun organisasi agama sekalipun. Ada beberapa politisi yang salah memperhitungkan disaat mereka ingin memberantas korupsi, karena pemberantasan korupsi sangat bergantung pada jenis korupsi dinegara mereka, pemberian uang “tips” dibeberapa negara atau daerah telah menjadi biasa dan dianggap sebagai kedermawanan seseorang, pemberian hadiah dan jamuan terhadap sebuah tim penilai pun dianggap biasa, sementara di sebagian negara atau daerah itu malah menjadi biang-biang munculnya korupsi atau suapmenyuap. Dalam kasus semacam ini, korupsi telah menjadi bagian yang alami dari budaya masyarakat. Perang strategis melawan korupsi merupakan sebuah perang yang melibatkan banyak uang dan pengaruh.1 Tidak mudah untuk memberantas korupsi dan tidak mudah pula membangun sebuah sistem politik dan hukum yang kuat untuk memberantas korupsi di masyarakat, karena terkadang hal-hal yang dianggap korup merupakan bagian dari budaya tempatan yang turun menurun dan sudah dianggap biasa. Pendekatan dan Metode Studi ini menjelaskan tentang Korupsi dan Demokrasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem politik, pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka dan dokumen. Analisis menggunakan diskursus analisis.

Korupsi telah ada semenjak manusia itu ada, ketika manusia hidup bermasyarakat disitulah mulai tumbuhnya korupsi, dalam sejarah pula kita banyak menemukan catatan-catatan penting mengenai korupsi. Di India, Korupsi telah menjadi permasalahan serius sejak 2300 tahun yang lalu, hal ini terbukti dengan adanya tulisan seorang perdana menteri Chandragupta tentang 40 cara untuk mencuri kekayaan negara. Dalam catatan lain di kerajaan China, pada ribuan tahun yang lalu telah menerapkan kebijakan yang disebut Yang-Lian, yaitu hadia untuk pejabat negara yang bersih sebagai insentif untuk menekan korupsi.2 Tujuh abad silam, Dante menyebutkan bahwa para koruptor akan tinggal di kerak neraka dan Shakespear mengangkat tema-tema korupsi dalam karya-karyanya, sedangkan di Nusantara sendiri Korupsi terjadi semenjak zaman Kerajaan, bahkan bangkrutnya VOC diakibatkan oleh korupsi yang menggila didalamnya. Pasca proklamasi kemerdekaan ditubuh Orde Lama pun menjangkit penyakit korup, ketika posisi – posisi jabatan yang lowong ditinggalkan oleh para orang-orang Belanda, maka posisi tersebut disi oleh orangorang pribumi dan korupsi mulai merajalela, karena posisi – posisi tersebut memungkinkan untuk terjadinya korupsi dilatarbelakangi keadaan yang tidak pasti secara politik, sosial dan juga ekonomi. Menjangkitnya korupsi di zaman orde lama tertular pula ke zaman Orde Baru, walaupun diawal pemerintahannya presiden Soeharto berupaya untuk memberantas korupsi itu sendiri, walaupun pada akhirnya Presiden Soeharto tumbang oleh korupsi itu sendiri, dan hingga saat ini di Indoensia korupsi menjadi musuh nomor satu dan sepertinya sangat sulit untuk ditumpas dan dihabiskan, karena korupsi sudah menjadi gaya hidup dan juga mungkin sudah menjadi karakter orang- orang di Indonesia akibat warisan dari masa lalu. Secara umum korupsi bisa digambarkan dengan perilaku dengan melibatkan pen2

1

Peter Schroeder, Strategi Politik: Politische Strategien, (Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2004), hal. 7.

78

Wijayanto (dkk.), Korupsi Mengkorupsi Indonesia Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 4.



yalahgunaan jabatan publik, atau sumbersumber kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Tapi apabila kita membuka dari situs Wikipedia Korupsi (bahasa latin): corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.3

lewengan kekuasaan oleh para pejabat publik, seperti banyak kasus dinegara Indonesia ini antaranya kasus Bank Century yang tak pernah selesai atau kasus suap Bank Indonesia yang melibatkan banyak pejabat publik dan juga politisi.

Defenisi lain yang juga banyak dirujuk adalah dari World Bank dan UNDP menyatakan bahwa “the abuse of public office for private gain”. Dalam artian yang lebih luas adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.4 Walaupun secara umum bisa dilihat bahwa apabila penyelewengan–penyelewengan tersebut selagi tidak melibatkan pejabat-pejabat publik berarti tidak melakukan tindakan korupsi karena dalam defenisi tersebut korupsi terjadi apabila publik dirugikan oleh para pejabat publik yang mencari keuntungan pribadi lewat cara cara penyelewengan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dari definisi diatas mungkin agak sedikit bias apabila kita melihat kedalam sistem politik suatu negara, bagaimana negara tersebut menyelenggarakan pemerintahan mereka, kerajaankah atau Negara demokratis, dibanyak Negara kerajaan atau absolute monarchi kerajaan berhak menggunakan fasilitas publik, uang kerajaan ataupun bentuk-bentuk keuntungan yang melibatkan para pejabat publik kerajaan tersebut, raja berhak mengatur distribusi kekayaan Negara, lalu lintas keuangan negara diatur oleh raja, karena tidak ada pemisahan antara kekayaan negara dengan raja, dalam kasus ini mungkin kita bisa melihat kerajaan Arab Saudi ataupun Brunei Darussalam. Akan tetapi akan berbeda kasusnya apabila kita menelusuri kasus tersebut dinegara demokrasi, maka hal-hal yang dilakukan oleh raja atau kerajaan adalah tindakan penye“Korupsi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada 16 juli 2012. 4 Wijayanto, op.cit., hal. 6. 3

Menurut Transparency Internasional menyatakan korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi.5 Dalam defenisi ini bisa kita lihat bahwa penyalahgunaan wewenang ataupun kekuasaan yang bisa jadi merugikan orang lain terutama negara untuk kepentingan pribadi dan juga kelompok merupakan bentuk dari korupsi itu sendiri, meskipun tindakantindakan tersebut harus diuraikan kembali dan diperjelas tindakan-tindakan apa saja yang merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara di Indonesia, perspektif korupsi secara hukum telah dituangkan dalam 13 buah pasal dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi telah dirumuskan kedalam 30 bentuk dan jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal tersebut menjelaskan secara terperinci menegenai perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi.6 Dalam spektrum yang lain, Shah & Schacter berpendapat, korupsi bisa meliputi tiga jenis kategori luas, yaitu: pertama Grand Corruption, yaitu sejumlah pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sejumlah besar sumber daya publik. Kedua, State or Regulatory Capture, yaitu kolusi yang dilakukan oleh sejumlah lembaga publik dengan swasta untuk melakukan sejumlah kecurangan untuk kepentingan pribadi, dan ketiga, Beauraucratic or Petty Corruption, yaitu keterlibatan sejumlah besar pejabat publik dalam men-

5

Lihat situs Transparency Internasional berikut: http://cpi.transparency.org/cpi2011/results/, diakses pada 16 juli 2012. 6 M. Syamsa Ardisasmita, Defenisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement untuk Tata Kelola Pemeritnahan yang Lebih Terbuka, Transparan dan Akuntabel. [Makalah seminar nasional Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa], (Jakarta: 2006), hal. 4.

79



yalahgunakan jabatan untuk mendapatkan sogokan kecil atau uang semir.7

kebijakan public dan peraturan-peraturan yang sangat tidak berpihak kepada rakyat, kebijakan perundang-undangan lebih mempengaruhi nominal uang yang besar dan lagi hanya menguntungkan segelintir pihak yang mampu bermain dengan kebijakan-kebijakan tersebut, sehingga dalam jangka menengah dan panjang Grand Corruption akan merusak sistem dan tatanan hukum yang berlaku, karena sistem telah rusak dan struktur politik yang korup, lembaga-lembaga Negara yang menjadi roda demokrasi dan pemerintahan akan terindakasi korup, terutama lembaga-lembaga keuangan, pajak, perbankan dan juga lembaga-lembaga hukum terjebak dalam korupsi, suap menyuap dan lain sebagainya.

Grand Corruption dan State or Regulator Capture biasanya dilakukan oleh pejabat elit, para elite-elite politik atau para pejabat-pejabat senior yang memegang dan merancang kebijakankebijakan atau pengaturan perundang-undangan yang diarahkan untuk kepentingankepentingan mereka sendiri dan atau kronikroni mereka yang memungkin bagi para pejabat-pejabat atau pemangku kebijakan tersebut mendapat keuntungan dan pendapatan yang besar serta fasilitas-fasilitas umum serta menerima suap dari perusahaan-perusahaan berlevel nasional atau transnasional. Korupsi jenis ini akan mengakibatkan Negara mengalami kerugian yang sangat besar secara financial maupun non-finansial. Ada pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan kebijakankebijakan dalam beberapa sektor, ada kekuatan-kekuatan politik yang sangat berpengaruh sehingga mampu memainkan kebijakan – kebijakan, penguasaan-penguasaan kebijakan di sektor elit misalnya, ketika ada pembahasan anggaran atau aturan -aturan yang melibatkan perusahaan- perusahaan besar maka potensi-potensi korupsi terjadi, suap menyuap atau pengambilan fee proyek yang menguntungkan para politisi atau para pengambil kebijakan tersebut. State capture dapat terjadi dalam berbagai bentuk, world bank dalam bukunya AntiCorruption in Transition 2 menjelaskan beberapa bentuk state capture, yaitu: (1).Suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundang; (2).Suap kepada pejabat Negara untuk mempengaruhi kebijakn public; (2).Suap kepada lembaga peradilan untuk mempengaruhi keputusan terkait dengan kasuskasus besar; (3).Suap kepada pejabat Bank sentral untuk mempengaruhi kebijakan moneter, (4).Sumbangan kampanye illegal untuk partai politik.8 Kerugian Negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh hilangnya jumlah uang dalam jumlah yang banyak, akan tetapi juga orientasi A. Shah (dkk.), “Combating Corruption: Look Before You Leap”, Finance and Development 4 (Volume 41, December), hal. 40. 8 Wijayanto, op.cit. hal. 18. 7

80

Telah terjadi kolusi antar lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan, antara politik, hukum dan ekonomi terjadi kerjasama yang sukses untuk mempermainkan aturan-aturan di tingkat eksekutif, legislatif dan juga yudikatif sehingaa state capture akan menjadikan demokrasi seperti kerajaan, saat tidak ada pembedaan antara kekayaan/kepentingan elite dengan kekayaan/kepentingan Negara. Banyak contoh korupsi besar seperti privatisasi asset Negara yang tidak tranparan. Pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam kepada kelompok – kelompok kepentingan tertentu, tender – tender proyek berskala besar yang tidak transparan, terjadinya suap menyuap dalam pemenangan tender pengadaan barang dan jasa dan menguntungkan sebagian kecil pihak saja, keringan sector pajak dan permainan pajak terhadap beberapa sector dan kelompok-kelompok tertentu sehingga terdapat beberapa petugas penghitung pajak yang sangat -sangat kayak arena memainkan pajak-pajak perusahaan-perusahaan besar dan pajak-pajak orang kaya, juga keringanan-keringanan hukuman terhadap para pelaku-pelaku korupsi dengan skala besar bahkan dalam beberapa kasus banyak pelaku korupsi yang bebas. Sementara itu, Bureaucratic/Petty Corruption biasanya dilakukan oleh pegawai negeri sipil biasa sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan. Korupsi seperti ini biasanya terjadi pada sector-sektor pelayanan public, misalnya terjadi dilayanan imigrasi, polisi, rumah sakit,



pajak, sekolah dan perizinan.9 Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi dibanyak Negara dan banyak sector dan ini lazim terjadi pada sector – sektor pelayanan public, tidak berjalannya good governance atau clean governance menyebabkan maraknya korupsi kecil ini, ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan pelayanan/kesejahteraan yang layak mengakibatkan terjadinya praktik – praktik ini, gaji yang kecil, sistem yang tidak kuat, pengawasan yang kurang dan banyak sebab lainnya sehingga korupsi kecil terus menerus terjadi.

hanya slogan dan bukan hanya sekedar alat kampanye politik semata, karena penguatan sektor politik dan hukum akan berdampak positif pula terhadap iklim ekonomi di berbagai sektor.

Korupsi kecil ataupun korupsi besar sama berbahayanya dan sama rusaknya, korupsi kecil walaupun tidak begitu “meledak” akan tetapi tetap saja memberikan efek yang buruk terhadap sistem Negara, korupsi kecil kalu terjadi berbagai banyak sector dan melibatkan banyak orang akan mengakibatkan kerugian yang banyak pula terhadap Negara dan rakyat, karena hal tersebut menyangkut kebutuhan banyak orang, seperti pembuatan kartu identitas ataupun kartu keluarga, pembuatan paspor, pembuatan izin dan lain sebagainya, karena hanpir semua orang membutuhkan kartu dan izin tersebut, dan pelaku praktik penyalahgunaan tersebut tentunya akan melakukan hal tersebut berulang-ulang dan juga akan mencari keuntungan – keuntungan yang lebih besar lagi seiringa dengan kebutuhan-kebutuhan yang semakin banyak dan meningkat. Dilain pihak kenaikan gaji pegawaipun bukanlah menjadi solusi yang baik, kalau tidak diikuti dengan penguatan sistem politik dan hukum, sevagai contoh kebijakan dari pemerintah Republik Indonesia dengan menaikkan gaji pegawai Departemen Keuangan sebagai tindak lanjut dari upaya pemberantasan korupsi ternyata tidak berimplikasi positif, ternyata masih banyak pegawai departemen keuangan terutama disektor pajak yang menjadi pelaku korupsi. Perlu penguatan sistem politik dan hukum untuk menindak pelaku-pelaku korupsi, tidak hanya sekedar menaikkan gaji pegawai, dan tentu juga perlu itikad baik dari pemangku kebijakan untuk benar-benar memiliki keberanian untuk memberantas korupsi, bukan 9

Ibid., hal. 41.

Pasca reformasi 1998 bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang demokratis dan tujuan utamanya adalah penguatan berbagai sektor termasuk menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Boleh dikatakan bahwa demokratis adalah sistem politik yang terbaik saat ini, hampir banyak negara mengkalim diri mereka sebagai negara yang demokratis. Dalam demokrasi modern saat ini sistem yang dipakai adalah demokrasi perwakilan (parlementerianisme), karena sememangnya tidaklah mungkin untuk melaksanakan demokrasi langsung, untuk menentukan wakil–wakil politik. Pemilihan umum adalah bagaian dari demokrasi. Dalam proses ini terjadi rekrutmen dan seleksi politik, sehingga terjadilah proses yang rumit dan berliku, dan proses inilah bisa terjadi jual beli, suap menyuap, korupsi dan lain sebagainya. Dalam demokrasi, pemungutan suara warga negara untuk memilih wakil-wakil distrukturkan oleh sebuah sistem politik. Sistem partai dalam pemerintahan demokrasi pada dasarnya adalah sistem dua partai atau sistem multi partai dan jelas tidak ada demokrasi yang efektf tanpa kompetisi partai politik.10 Proses demokrasi menjadi lebih variatif walaupun sistem seleksi politik menjadi lebih rumit dan berliku dikarenakan prosedur rekrutmen dan seleksi politik seringkali tidak hanya mereduksi kedaulatan rakyat melainkan politisi sering mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan segolongan elite, sehingga demokrasi bukan pemerintahan oleh rakyat, melainkan pemerintahan atas nama rakyat.11 Walaupun dalam banyak referansi bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Implementasinya memang tidak mungkin rakyat yang sangat banyak berkuasa di sebuah pemerintahan, maka diperluakan perawakilan-perwakilan dan juga pemimpin yang dipilih oleh rakyat. 10

Carlton Clymer Rodee (dkk.), Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 219. 11 Wijayanto, op.cit., hal. 449.

81



Korupsi dan Demokrasi di Indonesia

Kamboja, Laos dan Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia.14

Perkembangan Demokrasi di Tanah Air sangat mengagumkan dan memberikan sedikit harapan tentang masa depan politik Indonesia, pasca tumbangnya rezim orde baru 14 tahun silam, pintu kebebasan politik menjadi lebih terbuka dan memberikan peluang kepada siapa saja untuk berpartisipasi didalam demokrasi di Indonesia, sistem demokrasri yang bebas memberikan efek nyata terhadap peluang – peluang terjadinya persaingan terutama dalam pemilihan umum dan partai politik. Ketika reformasi terjadi ada harapan dan ekspektasi yang tinggi dari masyarakat bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) didalam rezim orde baru mampu terkikis habis dan dimatikan, nyatanya jauh panggang daripada api korupsi terus tumbuh dan berkembang dengan subur di Negara ini, tidak ada satu lembagapun yang tidak terindikasi korupsi.12 Dalam surveynya pada Desember 2011 Transparency International (TI) meluncurkan Corruption Perception Index 2011 menempatkan Indonesia pada posisi ke 100.13 Mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai 10, dimana 0 diindakasikan bahwa Negara tersebut sangat korup, sedangkan 10 dipersepsikan sebagai Negara yang bersih. Dua pertiga dari Negara yang diukur memiliki skor dibawah lima, termasuk Indonesia. Dalam CPI 2011 skor Indonesia adalah 3.0 bersama dengan 11 negara lain yang mendapatkan skor 3.0. Negara – Negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname dan Tanzania. Indonesia dan Negara – Negara tersebut menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur. Dikawasan Asean, skor Indonesia berada dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. Sementara Vietnam,

Kalau dilihat antara Negara yang sama dengan Indonesia menempati posisi 100 tersebut adalah Negara-negara demokrasi dan berkembang, sayang memang kalau demokrasi tidak bisa menjawab tantangan korupsi, sementara demokrasi sendiri menawarkan kebebasan untuk mengakses informasi, terbukanya informasi-informasi transaksi keuangan publik dan lain sebagainya, tapi itupun tidak bisa menjawab keresahan masyarakat tentang maraknya praktik korupsi di Indonesia. Dalam kondisi ideal, instrument – instrument demokrasi (pemilihan umum, kebebasan informasi, kebebasan berserikat, peradilan yang bebas, dan lain-lain) dapat menciptakan masyarakat yang ideal dan terbuka dan tidak memberikan sedikitpun ruang untuk manipulasi. Lebih jelasnya demokratisasi memungkin media massa untuk membuat politik lebih mudah diakses sehingga tidak ada cara atau alasan bagi siapapun untuk menyalahgunakan kekuasaan, penyelewengan keuangan, manipulasi anggaran dan lain sebagainya. Mencuatnya banyak kasus korupsi di Indonesia terutama oleh anggota partai-partai politik yang duduk di dewan menjadi tanda tanya besar kenapa bisa terjadi, pun ditempat lain para walikota dan bupati banyak yang tertangkap karena kasus-kasus korupsi, ironis memang melihat fakta seperti itu, produk-produk demokrasi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan, padahal ketika reformasi 1998 terjadi ada harapan bahwa partai-partai politik dan produk yang hasilkan akan menjadi figure-figur penting dalam skema dan strategi pemberantasan korupsi, sayangnya sampai saat ini mereka adalah actor-aktor utama pelaku korupsi itu sendiri. Reformasi telah mengubah sistem pemerintahan, adminsitrasi dan merevisi hukum untuk menuju kesempurnaan demokrasi, ada beberapa revisi undang-undang dan juga pembentukan lembaga-lembaga yang ber-

12

Baca pada situs: http://www.ti.or.id/index.php/news/2012/07/26/citra-dpr-ri-makin-buruk, diunduh pada 26 juli 2012. 13 Lihat http://www.ti.or.id/media/documents/2011/12/01/f/i/file_1.pdf diunduh pada 26 juli 2012.

82

14

Lihat Teten Masduki, dalam http://www.ti.or.id/index.php/publication/2011/12/01/Corrupt ion-perception-index-2011, di unduh pada 26 juli 2012.



komitmen dalam pemberantasan korupsi sebagai bentuk dari mengakomodir semangat reformasi yang mengarah kepada keterbukaan. Rakyat berperan aktif dalam setiap pemilihan umum baik itu pemilihan umum legislative maupun memilih pemimpin dari pusat sampai tingkat daerah. Otonomi daerah memberikan kesempatan kepada tiap – tiap daerah untuk mandiri dan mengelola diri mereka sendiri, sehingga banyak pula kesempatan bagi setiap rakyat untuk menjadi pemimpin didaerahdaerah mereka. Dalam hal ini rakyat diberikan kebebasan untuk memilih siapa pemimpin mereka sesuai dengan selera mereka walaupun disisi yang lain ada peluang untuk meraih suara para calon pemimpin harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit bahkan untuk kalah sekalipun.

Hal ini bisa jadi didasari oleh rekrutmen politik yang tertutup terutama melekat pada sistem pemilu yang digunakan untuk merekrut wakilwakil rakyat, dimana penentuan anggota lembaga perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung kepada pimpinan partai, rakyat hanya memilih gambar-gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh pengurus parpol berdasarkan nomor urut yang dapat disusun berdasarkan posisi, transaksi, atau kedekatan politik.16

Dalam kasus di Indonesia, tidak mengherankan bahwa banyak calon-calon pemimpin yang mengeluarkan biaya puluhan sampai ratusan miliar rupiah hanya untuk menjadi pemimpin disuatu daerah, kalau ditelaah lebih jauh modal politik yang mahal seperti itu tidak berbanding lurus dengan pendapatan atau gaji yang harus diterima oleh para pemipin tersebut seandainya mereka menang dalam pemilihan umum kepala daerah, tentunya ada indikasi bahwa banyak para pemimpin tersebut akan memulangkan modal mereka atau membayar hutang ongkos politik mereka yang mahal, melalui proyekproyek pengadaan barang dan jasa, juga proyek-proyek pembangunan yang bahkan tidak mengena langsung dengan kehidupan rakyat daerah tersebut. Dalam hal ini bisa jadi rakyat menjadi alat eksploitasi politik dari partai politik ataupun calon kepala daerah, hubungan antara rakyat pemilih dan politisi biasanya ditandai dengan lemahnya kapasitas politik dikedua belah pihak. Dalam kasus di Indonesia, meskipun antusiasme masyarakat tinggi untuk turut serta dalam pemilihan umum akan tetapi pemilih tidak tahu bagaimana meminta akuntabilitas para pejabat yang mereka pilih. Para pemilih juga tidak memiliki cukup pengetahuan untuk membuat penilaian tentang politisi yang baik karena kurangnya informasi tentang sistem politik baru dan track record politisi.15 Budi Setiyono, “Korupsi, Transisi Demokrasi dan Peran Organisasi Civil Society (CSO) Sebuah 15

Hal tersebut memang meresahkan dan agak sedikit mengherankan karena demokrasi memberikan tempat untuk bersaing bebas dan berkompetisi, kebebasan bersaing yang sehat itulah yang menyebabkan demokrasi menjadi sistem yang baik, akan tetapi politik transaksional yang terjadi telah menyebabkan oligarki politik, karena demokrasi sendiri telah dirampok oleh para elite yang berkuasa didalam partai politik, perputaran uang begitu besar apalagi transaksi keuangan partai politik begitu tertutup. Maka jangan heran apabila kemudian hukum tidak responsive dan dunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.17 Pada pemilihan umum kepala daerah ataupun pemilhan umum legislative perputaran uang sangatlah besar, ongkos politikpun sangat besar, transaksi – transaksi untuk menjadi calon pemimpin dari partai politik tertentu memiliki ongkos yang mahal terutama partai politik yang memiliki kursi yang cukup signifikan di dewan perwakilan, belum lagi tiba waktu berkampanye dan sosialisasi maka dan yang dikeluarkanpun makin bertambah. Sehingga pemilihan umum yang sangat mahal bisa jadi salah satu pemicu terjadinya korupsi dalam demokrasi itu sendiri, para calon kepala daerah yang berpotensi tapi tidak memiliki dana yang besar tentulah memiliki donatur – donatur politik yang memiliki dana melimpah dan tentu saja mereka para donator tersebut dengan Tinjauan”, Jurnal Politika 1, (Volume I, April 2010), hal. 10. 16 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 79-80. 17 Ibid. hal. 80.

83



senang hati memberikan bantuan kepada sang calon, tentu politik transaksional terjadi kembali, tarik menarik kepentingan yang kemudian berujung dengan terjadinya kongkalikong terhadap proyek – proyek pembangunan.

MD18 dominasi pemain lama masih kental terasa yang dimasa lalu ikut membangun sistem yang korup, untuk terus menguasai panggung politik di era reformasi ini. Bertolak dari keinginan untuk membagun demokrasi dengan niat baik, maka tidak ada alasan untuk melarang orang tetap aktif dipanggung politik meski dimasa lalu termasuk getol ikut membangun sistem yang korup.

Sementara itu, partai-partai politik di negaranegara demokrasi baru seperti Indonesia cenderung haus akan kekuasaan. Banyak dari kalangan partai berusaha bergabung di pihak eksekutif dan gagal mengembangkan budaya oposisi yang kuat di parlemen, sehingga membuat control mekanisme antara parlemen dan pemerintah tidak berfungsi. Lebih lanjut, para politisi diparlemen juga cenderung kurang memperhatikan untuk mengumpukan informasi secara sistematis tentang kinerja lembaga pemerintahan yang akan meningkatkan akuntabilitas mereka. Pada saat bersamaan, kelompok-kelompok reformis, masyarakat bisnis, dan media pada umumnya lemah, sehingga kegiatan untuk memantau pemerintah menjadi sulit jika tidak mustahil. Kondisi ini memungkinkan pembentukan sistem monopoli dalam struktur pemerintahan, dan membuat korupsi menjadi dilembagakan dalam aktifitas politik dan ekonomi. Di Indonesia sendiri lembaga anti korupsi yaitu KPK sebenarnya menjadi corong untuk pemberantasan korupsi yang melibatkan kasus-kasus megakorupsi. Akan tetapi KPK tidak bisa sendiri menumpas kasus-kasus megakorupsi tersebut. Banyak skandal dan banyak tangan-tangan yang tak terlihat (invisible hand) yang bermain dibalik kasus-kasus mega korupsi tersebut dan banyak pengaruhpengaruh politik yang kuat yang bisa menekan sampai hilang kasus-kasus tertentu. Sayangnya transisi demokrasi Indonesia tidak berjalan dengan baik, reformasi birokrasi dengan jargon-jargon anti korupsi tidak berjalan dengan baik, karena kebanyakan jargon-jargon tersebut hanya didengungkan ketika kampanye politik, tetapi ketika pemimpin telah terpilih tidak ada tindakan nyata yang dilakukan, bahkan banyak kader-kader partaipartai koalisi ataupun oposisi yang terjebak dalam korupsi. Selain itu menurut Mahfud

Selain dominannya pemain lama yang terus berusaha menutupi kesalahan masa lalu, banyak para politisi baru yang hadir kepanggung politik melalui partai politik tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir kepanggung politik karena tibatiba mendapat peluang dalam wadah yang harus mereka isi tanpa syarat kualitas tertentu selain memiliki masa pendukung, mereka tidak punya keahlian tekhnis politik atau pemahaman dibidang politik dan pemerintahan sehingga mudah terseret kedalam pola-pola lama.19 Belum lagi banyak dari kontestan politik tersebut yang menjadi anggota partai politik dan kemudian duduk di dewan perwakilan adalah pengusaha-pengusaha yang biasa bermain dengan proyek-proyek pemerintahan, mereka yang terbiasa bergerak dalam bidang pengadaan barang dan jasa tentunya memiliki akses yang kuat kedalam politik pemerintahan, proyek – proyek pembangunan fisikpun menjadi garapan mereka, tidak mengherankan apabila banyak para politisi koruptor adalah mereka yang bermain pada mega proyek yang beromset ratusan miliar sampai triliunan. Walaupun sebenarnya ada harapan-harapan dan usaha-usaha yang telah dibangun untuk memberantas korupsi seperti lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Komisi Yudisial dan lembaga-lembaga independen lainnya, bahkan banyak juga NGONGO yang bergerak dalam anti korupsi seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) dan beberapa NGO-NGO lainnya, tapi sayangnya korupsi tetap marak, para politisi, wakil rakyat, para hakim, jaksa, petugas pajak tetap getol

18

Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara, Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), hal. 157. 19 Ibid., hal. 158.

84



menjadi aktor-aktor utama tindak pidana korupsi.

Korupsi tidak bisa diberantas dalam sekejap mata, dalam kasus Negara Indonesia dimana korupsi telah menjadi suatu yang biasa, maka diperlukan usaha-usaha antaranya: (1).Melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan komprehensif untuk menutup peluang korupsi dalam proses perijinan usaha, pajak, dan bea cukai; (2).Melakukan perbaikan menyeluruh pada institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan, untuk menghapus terjadinya mafia peradilan, mafia kasus dan kartel-kertel politik; (3).Melakukan penegakan dan penguatan perangkat-perangkat hukum yang keras terhadap politisi, mafia hukum dan pejabat publik tingkat tinggi yang terlibat korupsi.

Pilihan bangsa Indonesia untuk membangun tatanan politik yang demokratis sungguh tepat, ketika reformasi terjadi maka ada cetusancetusan harapan untuk menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang bersih dari praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sistem politik yang dipilih sebenarnya adalah tata kelola pemerintahan yang bersih dan kuat secara hukum dan berlandaskan dengan nilainilai dan etika serta peradaban untuk membangun masyarakat yang bermartabat. Untuk saat ini, membagun sebuah sistem politik yang kuat tentulah tidak mudah dan penuh dengan hambatan dan tantangan, juga memerlukan daya tahan yang luar biasa dari warga bangsa karena membangun demokrasi sesungguhnya membangun sebuah harapan dan peradaban. Sayangnya, pada masa transisional justru musuh utama dan paling menakutkan adalah terjadinya korupsi pada lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri, terutama lembagalembaga perwakilan rakyat dan partai politik. Masa-masa transisi ini sebenarnya adalah menuju terminal akhir dari amanat reformasi yaitu membangun sebuah peradaban yang demokratis, tapi sayangnya tujuan awal dari reformasi bisa jadi berbelok arah menjadi oligarkis dan bisa jadi akan kembali mundur kebelakang sebagai negara yang korup. Dalam hal pemberantasan korupsi yang diperlukan adalah niat baik dari para pemimpin, mereka yang memangku kebijakan dan memiliki kekuatan politik dan hukum untuk membuat aturan-aturan dan sistemsistem politik dan hukum yang kuat, tidak sekedar slogan-slogan pemanis bibir saja. Reformasi birokrasi lebih diperkuat lagi, sector-sektor yang rawan akan korupsi harus diawasi dengan lebih ketat. Karena ketika sistem politik diperkuat maka hal-hal lain seperti hukum, ekonomi, sosio-kultural akan baik, sehingga penguatan sistem menjadi tugas utama, karena saat ini sistem politik masih lemah, hukumpun lemah. Hukum ibarat jaring laba-laba hanya mampu menjaring mangsa yang kecil saja akan tetapi mangsa yang besar dan berkelas sangat sulit ditangkap, bahkan jaringnyapun akan koyak akibatnya.

Penguatan perangkat hukum merupakan langkah awal terhadap kasus-kasus korupsi, setidaknya tidak ada lagi koruptor yang dihukum dibawah lima tahun, ironis sekali ketika Negara dirugikan puluhan bahkan ratusan miliar, pelaku korupsi hanya menerima hukuman penjara dua sampai lima tahun, apalagi para koruptorpun ketika ditangkap mereka menganggap hanya sial belaka, dan yang lucunya mereka masih mau mencalonkan diri kembali kekancah politik, baik sebagaia anggota dewan ataupun kepala daerah. Perlu keberanian untuk menindak para koruptor, memiskinkankah ataupun hukuman seumur hidup dipenjara menjadi resiko yang harus ditanggung oleh para koruptor, apalagi korupsi dianggap bukan sesuatu yang menjijikan akan tetapi korupsi merupakan seperti barang mewah yang mahal dan eksklusif. Penutup Demokrasi sebenarnya adalah jalan keluar dari usaha untuk mengurangi bahkan menghilangka korupsi. Dalam demokrasi kebebasan akan informasi apa saja menjadi salah satu senjata utama, media masa dan lembaga swadaya masyarakat menjadi corong kebebasan pemberi akses informasi kepada publik. Tapi untuk menembus benteng korupsi begitu sulit sekali, para pelaku korupsi semakin kreatif dalam usahausaha membebaskan diri dari jeratan hukum. Pada masa transisi demokrasi lembagalembaga yang korup adalah lembaga-

85

Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.2|Juli 2012 Indra Fauzan lembaga penunjang demokrasi seperti lembaga perwakilan rakyat, partai politik, institusi hukum, birokrat bahkan sampai ke istitusi agama. Daftar Pustaka Schroeder, Peter. 2004. Strategi Politik: Politische Strategien. Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung. Wijayanto (dkk.). 2009. Korupsi Mengkorupsi Indonesia Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. “Korupsi”. 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada 16 juli. http://cpi.transparency.org/cpi2011/results/, diakses pada 16 juli 2012. Ardisasmita, M. Syamsa. 2006. Defenisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan EAnnouncement untuk Tata Kelola Pemeritnahan yang Lebih Terbuka, Transparan dan Akuntabel. [Makalah seminar nasional Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa]. Jakarta. Shah, A. (dkk.). “Combating Corruption: Look Before You Leap”, Finance and Development 4 (Volume 41, December). Rodee, Carlton Clymer (dkk.). 2008. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. http://www.ti.or.id/index.php/news/2012/07/26/citra-dpr-ri-makin-buruk, diunduh pada 26 juli 2012. http://www.ti.or.id/media/documents/2011/12/01/f/i/file_1.pdf diunduh pada 26 juli 2012. http://www.ti.or.id/index.php/publication/2011/12/01/Corruption-perception-index-2011, di unduh pada 26 juli 2012. Setiyono, Budi. 2010. “Korupsi, Transisi Demokrasi dan Peran Organisasi Civil Society (CSO) Sebuah Tinjauan”, Jurnal Politika 1, (Volume I, April). Mahfud MD. Moh.. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers. ___________.. 2009. Perdebatan Hukum Tata Negara, Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia.

86


MENELAAH KORUPSI DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Recommend Documents