Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai tugas akhir perkuliahan di UIN Jakarta untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh:
Saidiman
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006
Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan
Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh:
Saidiman NIM: 0033118814
Di Bawah Bimbingan
Drs. Fakhruddin, M.Ag. NIP: 150231347
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu: Kritik Isaiah Berlin terhadap Universalisme Pencerahan telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 November 2006. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam Program Strata I (SI) pada Jurusan Aqidah Filsafat.
Jakarta, 27 November 2006 Sidang Munaqasah,
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP. 150262447
Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag. NIP. 150254185
Anggota,
Penguji
Pembimbing,
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. NIP. 150240483
Drs. Fakhruddin, M.Ag. NIP. 150231347
KATA PENGANTAR
Sejak Isaiah Berlin diperkenalkan kepada publik Indonesia melalui terjemahan karya terkenalnya, Four Essays on Liberty, oleh Freedom Institute dan LP3ES, Berlin telah menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi perkembangan intelektual penulis. Daya tarik terhadap Berlin mendapat dukungan dari bidang ilmu yang penulis geluti di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Jakarta, di samping memang penulis memiliki minat terhadap kajian filsafat politik secara umum. Diterimanya tema skripsi ini sekaligus sebagai legitimasi bagi penulis untuk mengembangkan pemikiran ini lebih jauh. Kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini, perkuliahan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta secara umum, adalah karunia yang sangat besar. Selama kurang lebih enam tahun, penulis berinteraksi dengan banyak kalangan di kampus UIN tercinta juga dengan pelbagai komunitas di seputar Jakarta dan Yogyakarta. Pelbagai kalangan dan komunitas itulah, baik langsung maupun tidak, telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis untuk mengangkat tema dan menyelesaikan penulisan tugas akhir perkuliahan di UIN ini. Penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Prof. Dr. Amsal Bachtiar, beserta jajarannya yang telah begitu banyak membantu penulis dalam menempuh dan menyelesaikan perkuliahan di UIN Jakarta. Terima kasih juga kepada Bapak Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M.Fils., dan Sekretaris Jurusan, Drs. Ramlan A. Gani, M.Ag., yang mau menyibukkan diri
melayani penulis selama penyelesaian akhir perkuliahan di UIN. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ketua dan Sekretaris Jurusan AF yang lalu, Drs. Syamsuri, M.Ag. dan Drs. Masri Mansur. Bapak Pembimbing, Drs. Fakhruddin, M.Ag., yang dengan segala perhatian dan ketekunan membaca dan memberi catatancatatan terhadap skripsi penulis, terima kasih banyak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), tempat penulis mengenal dunia yang sebenarnya. Kawan Zezen (terima kasih atas printer gratisnya), Herman, Seif, Ridwan, Adry, Akib, Didi, Bre, Agus, Zaim Rofiqi, Husni, Hudri, Acun, Fa’at, Soleh, Mustafa, Nugie, Evi, Reza, Gyn, Ajid, Ilham, Linda, Ayi, Yayang, Hafni, Hanif, Bana, Mahmudin, Nana, Syukron, Iqbal, Biyah, Towik, Nanang, Muhammad Ja’far dan kawan-kawan Formaci lainnya yang begitu banyak, kalian semua adalah teman yang baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan saya di pelbagai organisasi: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan BEM UIN 2004, Mujahid, Eky, Apep, Faisal, Amel, Risha, Uep, Muhajir dan yang lainnya, juga kawan-kawan di Teater Altar, Forkot, PMII, IMM, teater Syahid dan lain-lain. Ucapan terima kasih juga buat kawan-kawan di Jaringan Islam Liberal Kampus (lembaga pertemuan ide kaum muda Islam liberal seluruh Indonesia), kawan Slamet Thohari, Hatim Ghazali dan lain-lain. Teman-teman AF angkatan 2000 juga banyak berjasa kepada penulis, merekalah kawan-kawan perdana penulis di UIN Jakarta. Terima kasih juga patut saya sampaikan kepada kawan-kawan saya sesama perantauan: kawan-kawan saya seangkatan dari MAKN Makassar, Echa, Nahar dan
Adlan; kawan-kawan alumnus Ponpes DDI Mangkoso dan MAKN Makassar, Muid, Adlan Nawawie, Syahrullah, Syawaluddin dan lainnya; serta kawan-kawan dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Penulis bersyukur bisa berinteraksi dengan pelbagai komunitas: Komunitas Utan Kayu, Jaringan Islam Liberal (JIL), Freedom Institute, Lembaga Survey Indonesia (LSI), PPIM UIN Jakarta, INCIS, Kapal Perempuan dan terutama Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), tempat penulis beraktivitas saat ini. Ucapan terima kasih juga kepada person-person di pelbagai komunitas di atas yang berinteraksi secara pribadi dengan penulis: Saiful Mujani (intelektual-peneliti yang banyak memberi dukungan dan berlaku layaknya kakak yang sangat penyayang), Ahmad Sahal, Nong Darol Mahmada, Neng Dara Affiah, Sirojuddin Abbas, Budhis Utami, Anick HT, Ace Hasan Syadzily dan M. Dawam Rahardjo (orang tua yang idealis dan bersemangat). Ibuku terkasih, Rosni, terima kasih telah memberiku kasih sayang yang tak terkira. Ayahku, Achmad Bora, yang tidak pernah lelah untuk mendukungku sejak awal. Adik-adikku, Swarni, Didi Suhardi, Maman Suratman, juga almarhumah Masniar. Dukungan keluarga ini adalah ruh bagiku untuk tetap bertahan. Teman sejati yang kurang lebih lima tahun ini berbagi begitu banyak hal dengan penulis, Indri Sri Sembadra, tari warna pelangiku, tudung sutra senjaku, terima kasih. Denganmu, dunia seolah selalu mengalun bergelut senda. Kepada semua pihak dan kawan yang membantu penulis dalam menempuh studi yang tidak mudah ini, terima kasih untuk semuanya.
Ciputat, 14 November 2006
Saidiman
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………….……………. i DAFTAR ISI……………………………………………………..……………… iv BAB I
PENDAHULUAN…...................................................................... 1 Latar Belakang………………………………………………. 1 Batasan dan Rumusan Masalah……………………………. 12 Tinjauan Kepustakaan……………………………………… 13 Tujuan Penelitian……………………………………………. 15 Metode Penelitian…………...……………………………….. 16
Sistematika Penulisan……………………………………….. 17 BAB II
RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN………………………. 20 A. Riwayat Hidup………………………………………………. 20 B. Pemikiran……………………………...…………………….. 28 C. Karya-karya…………...…………………………………….. 34
BAB III
TIGA PENGKRITIK
PENCERAHAN………………………... 37 A. Giambattista Vico…………………………………………… 37
B. Johann Georg Hamann……………………………………... 43 C. Johann Gottfried Herder…………………………………… 45 BAB IV
PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME………………… 48 A. Dua Konsep Kebebasan……………………………………… 48 B. Value Pluralism……………………………………………….. 57 C. Liberalisme Pluralis………………………………………….. 63 D. Gagasan Kebebasan dalam Islam…………………………… 69
BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 74 A. Kesimpulan……………………………………………………. 74 B. Evaluasi Kritis………………………………………………… 76 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………79
BAB I
PENDAHULUAN
C. A. Latar Belakang
Rasanya sulit diterima nalar, bahwa serangan Israel ke Palestina dan Libanon (2006), juga serangan Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan (2002), adalah misi pembebasan. Tapi juga adalah fakta bahwa berkali-kali Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, menyebut serangannya sebagai misi pembebasan. Pasca-serangan teroris (11 September 2001) yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC), Amerika Serikat gencar melancarkan serangan militer terhadap Afganistan dan Iraq, merencanakan menyerang Iran, dan mendukung agresi militer Israel terhadap Palestina dan Libanon. Dengan dalih perluasan liberalisme, Amerika Serikat merasa berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada Afganistan, Irak, dan dunia secara umum. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan liberalisme? Sampai batas mana ia benar-benar membebaskan? Lalu kenapa justru kerapkali mengungkung dan memaksa? Lalu seberapa valid klaim pembebasan yang dilakukan oleh AS dan Israel, ketika harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa dampak perang yang mereka kobarkan demikian memilukan?
Pertengahan tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengundang kontroversi, yakni tentang haramnya paham liberalisme (kebebasan). Lagi-lagi muncul pertanyaan besar, apa sebetulnya yang salah dalam paham liberalisme, paham yang juga dipercaya mendasari kehendak bebas bangsa Indonesia dari penjajahan? Salah satu pemikir yang terkenal liberal, Friedrich A. Hayek, mulai mencoba mendefinisikan liberalisme dengan ungkapan Abraham Lincoln yang diplomatis:
“The world has never had a good definition of the word liberty, and the American people just now are much in need one. We all declare for liberty: but in using the same word, we do not mean the same thing…Here are two, not only different but incompatible things, called by the same name, liberty.”1
(Dunia tidak pernah memiliki satu definisi yang baik mengenai kata kebebasan (liberty), dan masyarakat Amerika sekarang ini menginginkan persatuan. Kita semua mendeklarasikan kebebasan: dengan menggunakan kata yang sama, tapi kita tidak bermaksud sama…Di sini ada dua, bukan hanya sesuatu yang berbeda bahkan tidak kompatibel, yang disebut dengan nama yang sama, kebebasan.) 1
Abraham Lincoln, The Writings of Abraham Lincoln, ed. A. B. Lapsley, dikutip oleh Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), h. 1.
Persoalan definisi yang mengganggu Hayek di atas menemukan penegasannya pada beragam peristiwa dunia yang dilatarbelakangi oleh konsep liberalisme. Ide kebebasan individu dalam liberalisme ternyata telah menjadi momok menakutkan bagi kebebasan itu sendiri. Perang Dunia I dan II adalah buah dari liberalisme. Pembantaian kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II adalah puncak pembelengguan kebebasan individu oleh liberalisme. Munculnya rezim diktator komunis di Uni Sovyet dan Cina juga adalah buah liberalisme. Mewabahnya kemiskinan di Dunia Ketiga yang diyakini banyak orang sebagai akibat invasi dominasi ekonomi kapitalis adalah dampak nyata liberalisme. Munculnya rezim ultranasionalis dan politik aliran juga adalah buah perjuangan liberalisme. Merebaknya terorisme pun tidak bisa dilepaskan dari liberalisme. Tentu saja liberalisme juga banyak mendatangkan manfaat bagi ummat manusia, misalnya progresifitas, kemajuan peradaban, perdamaian, demokrasi, runtuhnya totalitarianisme, dan sebagainya. Tapi paradoks liberalisme yang terjadi di dunia nyata tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang salah dalam liberalisme yang dianut oleh banyak orang itu? Kenapa banyak contoh justru menunjukkan bahwa liberalisme membunuh kebebasannya sendiri? Isaiah Berlin adalah salah satu pemikir besar Abad 20 yang berusaha mencari akar persoalan dalam liberalisme, sembari mengemukakan bagaimana
mengkonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang bisa bunuh diri ini. Kendati ada persoalan, bukan berarti liberalisme (kebebasan) tidak bisa didefinisikan atau harus dibiarkan liar dan menjadi instrumen politik-ekonomi siapa saja yang berkepentingan. Isaiah Berlin adalah salah satu tokoh yang berusaha memperkenalkan konsep liberalisme secara genuin. Kegelisahan Berlin berawal dari kenyataan sejarah, begaimana liberalisme melahirkan fasisme, komunisme, politik identitas, dan Nazisme. Suatu ketika, Berlin menulis sejarah pemikiran Karl Marx, Karl Marx: His Life and Environment.2 Sebetulnya, Marx bagi Berlin tidak begitu menarik, karena dari awal ia menentang ide totalitariannya. Berlin terpukau ketika menemukan bahwa ide totalitarian Marx ternyata berangkat dari tradisi pemikiran liberal Pencerahan, terutama dari filsafat Pencerahan Perancis pada abad ke-18. Para pendahulu Marx itu adalah orangorang yang membuka mata dunia dengan pembebasan dari kegelapan, yakni perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayul, kebodohan, dan ketertindasan.3 Dobrakan para filsuf Pencerahan diakui oleh Berlin sebagai prestasi yang sungguh luar biasa, tetapi menimbulkan pertanyaan besar ketika ide Pencerahan bermuara pada totalitarianisme. Pertanyaan besar tentang muara totaliter Pencerahan inilah yang ingin dipecahkan oleh Isaiah Berlin. Bukan berarti Berlin keluar dan menolak sepenuhnya
2 3
Lihat Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment, (New York: A Galaxi Book, 1963) Lihat Isaiah Berlin, The Powers of Ideas, (London: Pimlico, 2001), h. 4.
ide Pencerahan, melainkan dia menjadi pengikut yang tidak penurut.4 Berlin menyimpulkan bahwa inti kisruh Pencerahan adalah klaim universalisme yang diembannya. Pencerahan, betapapun memperjuangkan pengejawantahan diri individu melalui rasionalisme, tetapi ia mengklaim absolutisme dan universalisme rasio atau kemampuan manusia. Menyandarkan segala kebenaran kepada rasionalitas secara langsung telah melakukan klaim kebenaran absolut, sesuatu yang sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri, melalui perlawanannya terhadap klaim kebenaran absolut metafisika, agama, tradisionalisme, dan sebagainya. Dengan demikian, Rasionalisme Pencerahan adalah bentuk baru dari Monisme. Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang dikembangkan para pemikir sejak Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh beberapa ciri pemikiran. Pertama, kaum monis meyakini bahwa semua pertanyaan yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran
4
Ahmad Sahal menggambarkan kondisi ini dengan ungkapan: "Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan, tapi dia tetaplah seoarang liberal. Dia, betapapun, tetaplah anak kandung yang sah dari Pencerahan, meski bukan anak yang penurut.” Lihat Ahmad Sahal, Isaiah Berlin dan Liberalisme Tanpa Universalisme, dalam Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004), h. X.
diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.5 Kebenaran diandaikan tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah yang sama: Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran, Aristoteles meyakini Biologi sebagai jalannya, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci, Rousseau percaya bahwa kebenaran itu terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani biasa, dan lain-lain.6 Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.7 Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan bagi ide pembebasan itu sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh satu konsep tertentu yang rigid yang terpola. Berlin menolak itu semua, sebab dunia, terutama manusia, bukanlah benda mati yang bisa diukur dengan menggunakan pola perhitungan yang bersifat pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin memulai kritiknya terhadap universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran. Dalam buku The Hedgehog and The Fox, Berlin mengindetifikasi bahwa dalam sejarah pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis dan monistik. Berlin mengutip satu bait syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani, Archilochus, yang menyatakan: “The fox knows many things, but the hedgehog
5
Ahmad Sahal, h. xiii. Lihat juga Berlin, The Power, h. 5. Berlin, The Power, h. 6. 7 Berlin, The Power, h. 8. 6
knows one big thing” (rubah mengetahui banyak hal, sedangkan landak mengetahui satu hal besar).8 Syair ini ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang mengetahui banyak strategi penyerangan, bisa dikalahkan oleh satu sistem pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin, syair itu diartikan bahwa landak dan rubah adalah tipologi pemikiran: di satu sisi, ada orang yang menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal, satu sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya; di sisi lain, ada jenis pemikir yang mengandaikan banyaknya tujuan, yang kerapkali tidak berhubungan bahkan berkontradiksi.9 Landak adalah tipologi yang pertama dan rubah adalah yang kedua. Berlin menulis:
“…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust are, in varying degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.”10
(“…Dante termasuk kategori pertama, Shakespeare masuk kategori kedua; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust, dalam
8
Dikutip oleh Isaiah Berlin, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, (New York: Simon and Schuster, 1953), h. 1. 9 Berlin, The Hedgehog, h. 1. 10 Berlin, The Hedgehog, h. 2.
tingkat yang berbeda, adalah landak; Herodotus, Aristoteles, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce adalah rubah.)
Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung jatuh pada kategori pertama, landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir kedua, rubah. Berlin terutama terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan langsung ke titik pusatnya, ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan peran vital matematika sebagai ilmu pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar dari kemanusiaan. Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang mengetahui manusia, melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia, oleh karenanya, hanya bisa diketahui segala detailnya oleh penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia hanya mungkin dipelajari dengan mengapresiasi segala motivasi, tujuan, harapan, ketakutan, kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada
manusia.11 Vico dengan tegas mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa direduksi ke dalam pola-pola tertentu. Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan yang paling baik bagi tradisi rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa semua kebenaran itu partikular, tidak pernah bersifat umum. Rasio, bagi Hamann, tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu, dia hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu, yang sebetulnya tidak pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan realitas.12Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme Pencerahan, bagi Hamann dan diamini oleh Berlin, mencoba membatasi sesuatu yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan mungkin tanpa batas. Dari Hamann, Berlin menyimpulkan, bahwa “what is real is individual” (apa yang riil itu bersifat individual).13 Artinya, segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda dengan yang lain. J. G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang universalisme Pencerahan. Herder memperkenalkan konsep keragaman budaya, dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah. Herder percaya bahwa untuk memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas dan pembangunannya. Untuk itu, diperlukan kapasitas Einfühlung (feeling into atau 11
Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 246. 12 Berlin, The Proper, h. 249. 13 Berlin, The Proper, h. 250.
empati) kepada pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra, organisasi sosial, masyarakat, budaya, atau tahapan-tahapan sejarah.14 Herder menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris15, sebab tidak ada budaya yang benar-benar sepenuhnya bisa diterapkan kepada yang lain. Herder mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan masing-masing budaya, meskipun perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin. Pernyataan tentang budaya yang satu adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya, kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak (mankind was not one but many).16 Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya sendiri.17 Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara konsep pluralisme dan liberalisme. Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala sesuatu tumbuh, bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin saling berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit. Tepatnya, Berlin adalah seorang pluralis liberal. Penulis biografi pemikiran Isaiah Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara pluralisme dan
14
Berlin, The Proper, h. 253. Paris diyakini sebagai pusat pemikiran Pencerahan. 16 Berlin, The Power, h. 9. 17 Berlin, The Proper, h. 255. 15
liberalisme.18 Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi juga liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi. Untuk menjernihkan posisi liberalismenya, Berlin menulis esai panjang, Two Consepts of Liberty.19 Dalam esai “Two Consept of Liberty,” Berlin mengemukakan dua konsep kebebasan yang bertolak belakang. Pertama, konsep kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty). Positive liberty diartikan sebagai kebebasan yang mengarah ke luar. Jenis kebebasan ini adalah adopsi dari nalar Pencerahan yang menempatkan rasionalisme sebagai unsur terpentingnya. Sementara itu, negative liberty diartikan sebagai terbebasnya seseorang dari halangan-halangan. Dalam kebebasan negatif, individu menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Pada akhirnya, kebebasan positif dikenai beban moral untuk melakukan ekspansi kebebasan. Kebebasan harus disebarluaskan demi tercapainya sebuah kehidupan yang baik. Persoalannya, bagaimana mendefinisikan kebaikan itu sendiri? Bagi penganut kebebasan positif, prinsip kebebasan bertumpu kepada rasionalitas. Masalahnya, apa yang kita sebut sebagai rasionalitas, atau keberakalan, ternyata tidak tunggal. Dari sinilah kemudian muncul keyakinan monistik, bahwa pasti ada satu kebenaran rasio yang mengatasi kebenaran rasio yang lain yang beragam. Perbedaan dalam tingkat rasionalitas bukan karena kebenaran itu beragam, melainkan tingkat
18
Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 143. Esai itu juga menjadi ceramah Berlin di Universitas Oxford pada tahun 1958. Lihat Isaiah Berlin, Empat Esai, h. 227 – 301.
19
capaian rasiolah yang beragam. Dalam hal ini, tingkat yang lebih tinggi bisa memberikan penerangan terhadap yang lebih rendah. Kerapkali hanya karena kurangnya pengetahuan, orang tidak menyadari kebutuhan dan kepentingannya. Atas dasar ini, pemaksaan atas dasar kebebasan dijustifikasi. Dengan demikian, sebagaimana diakui oleh Berlin, totalitarianisme ternyata tidak berasal dari konsep lain, ia justru berasal dari konsepsi kebebasan itu sendiri. Atas nama pembebasan dan kebaikan umum, Hitler membantai jutaan orang. Sementara itu, konsep kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mencari siapa yang menindas kebebasannya, melainkan sejauh mana ia dikontrol. Orang bisa dikatakan bebas ketika semakin banyak hal yang dia bisa kerjakan secara bebas dan di luar kontrol orang lain. Konsep ini mirip dengan konsepsi kuno mengenai hidup zuhud, bahwa orang akan semakin bebas ketika ia mampu meredam sebanyak mungkin keinginannya. Keinginan adalah sumber penderitaan. Oleh karenanya, kebebasan sempurna adalah ketika seseorang telah mati.20 Berlin tentu tidak memaksudkan kehidupan seperti ini dengan konsepsi kebebasan negatifnya. Sebab apalah artinya hidup tanpa keinginan. Model kebebasan negatif Berlin sekaligus meneguhkan bahwa dia adalah seorang liberal dan penganut setia Pencerahan, tapi tanpa universalisme. Liberalisme negatif Berlin juga menjadi bantahan serius terhadap model liberalisme yang dikembangkan para pendahulunya, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan tentu saja Imanuel Kant. Landasan rasionalitas yang menjadi tumpuan konsep 20
Berlin, The Power, h. 15.
liberalisme Kant jelas tertolak melalui penjelasan di atas, bahwa rasionalitas tidak bisa dipakai sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran, ia bisa sangat menindas. Bentham mendefinisikan kebebasan sebagai tiadanya halangan untuk terpenuhinya hasrat manusia. Dengan demikian, bagi Bentham, manusia akan semakin bebas ketika hasratnya dikurangi. Konsepsi seperti ini ditentang oleh Mill, yang menganggap bahwa kebebasan justru adalah terpenuhinya kapasitas individu untuk memenuhi segala hasrat yang ia inginkan.21 Kritikan Berlin terhadap dua pemikir utilitarian itu adalah karena dicantumkannya tujuan dalam konsep liberalisme mereka. Tujuan yang dimaksud adalah terpenuhinya hasrat bagi Bentham atau kemaslahatan bagi Mill. Liberalisme bertujuan atau positif liberty mengandaikan bahwa liberalisme penting bukan pada dirinya sendiri, melainkan adalah instrumen bagi kepentingan yang lain, yakni utility. Melalui negative liberty, Berlin ingin menegaskan bahwa liberalisme atau kebebasan penting pada dirinya sendiri. Di sinilah Berlin menjadi penganut liberalisme dan Pencerahan sejati dengan menganulir tendensi universalisme di dalamnya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Berangkat dari pendahuluan di atas, penulis menemukan hal menarik dalam pemikiran Isaiah Berlin. Berlin mengembangkan konsep baru mengenai kebebasan untuk
membersihkan
proyek
Pencerahan
dari
tendensi
universalisme
dan
totalitarianisme. Tulisan ini akan masuk ke dalam persoalan pokok dalam pemikiran 21
Lihat Rirhard Bellamy, Rethinking Liberalism, (London: Pinter, 2000), h. 26.
Berlin, yakni bagaimana memformulasikan konsep kebebasan tanpa harus mematok diri pada rasionalitas yang menindas. Penulis akan membatasi tulisan ini pada kritika utama Berlin terhadap universalisme Pencerahan. Dengan demikian, penulis tidak akan terlalu jauh mengemukakan semua bentuk pemikiran Berlin, seperti kajian-kajian sejarahnya, yang sebetulnya juga begitu dominan dalam karya-karya Berlin. Untuk itu, beberapa hal yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini adalah: pertama, pandangan Berlin mengenai konsepsi Pencerahan secara umum; kedua, konsep kebebasan menurut Berlin; ketiga, tawaran pluralisme sebagai kritik terhadap universalisme Pencerahan; dan keempat mengenai posisi kritis Berlin ketika berhadapan dengan konsep liberalisme dan pluralisme. Untuk lebih memperjelas, penulis akan menyinggung beberapa percikan pemikiran lain yang berkaitan dengan tema ini, terutama dari para tokoh yang berpengaruh kepada pemikiran Berlin. Secara ringkas, tulisan ini ingin menjawab rumusan pertanyaan: pertama, bagaimana Berlin mendefinisikan Pencerahan, hubungannya dengan konsep monisme? Kedua, bagaimana Berlin bergerak di antara dua ekstrim: tendensi monistik dalam liberalisme dan tendensi relativis dalam pluralisme? Rumusan pertanyaan di atas akan menjadi titik soal penulis dalam keseluruhan pembahasan ini.
C. Tinjauan Kepustakaan Isaiah Berlin adalah pemikir yang terkenal melalui karya-karya sejarah pemikirannya. Berlin mendokumentasi sejarah pemikiran dengan sangat baik, terutama karena ia memberikan gambaran yang cukup jauh terhadap implikasi pemikiran maupun asal muasal pemikiran dari pemikir yang ia kaji. Tokoh seperti Karl Marx dan Leo Tolstoy menjadi begitu berbeda di tangan Berlin. Karl Marx digambarkan sebagai hasil eksperimen filsafat Pencerahan yang pada mulanya memperjuangkan individualisme, sesuatu yang kemudian bertentangan dengan pemikiran Marx yang memperjuangkan kolektivisme. Di tengan Berlin, Leo Tolstoy menjadi pemikir Sovyet yang anti filsafat Pencerahan tetapi juga tidak tunduk kepada komunisme Sovyet. Dari pemikiran seperti ini, Berlin menjadi inspirasi bagi banyak pemikir kontemporer khususnya mereka yang bergelut dalam tema-tema seperti liberalisme, pluralisme dan multikulturalisme. Berlin juga memicu kontroversi pemikiran antara liberalisme dan pluralisme. Berlin termasuk pemikir yang mengawali penemuan cacat di dua pemikiran yang sedang digemari pemikir kontemporer tersebut. Ada beberapa karya yang penulis temukan yang menjadikan konsep Berlin mengenai liberalisme dan pluralisme sebagai landasan pemikirannya. Penulis-penulis itu antara lain adalah John Gray, Isaiah Berlin, yang membahas secara detail tentang implikasi relativis dari pemikiran pluralisme Berlin; William A. Galston, Liberal Pluralism, menulis tentang implikasi konsep Berlin mengenai value pluralism terhadap praktik dan teori politik; George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, menulis tentang konsepsi
Berlin mengenai liberalisme dan pluralisme yang menuguhkan bahwa Berlin bukanlah seorang relativis, melainkan pluralis yang liberal; Richard Bellamy, Rethinking Liberalism, membahas kisruh antara pemikiran Berlin, John Struart Mill dan T. H. Green mengenai konsep liberalisme; juga banyak esai-esai tentang pemikiran Berlin yang ditemukan di pelbagai jurnal. Sayangnya, penulis tidak menemukan satu karya utuh mengenai pemikiran Berlin di Indonesia. Penulis hanya menemukan satu terjemahan karya Berlin berjudul Four Essays on Liberty yang kemudian diterjemahkan menjadi Empat Esai Kebebasan oleh A. Zaim Rofiqi dan diterbitkan oleh Freedom Institute dan LP3ES tahun 2004. Penulis juga hanya menemukan satu esai yang ditulis oleh Ahmad Sahal yang berjudul Isaiah Berlin dan Liberalisme tanpa Universalisme di Harian Kompas tahun 2004, yang sekaligus dijadikan pengantar dalam buku terjemahan yang telah disebutkan di atas. Sejauh pengetahuan penulis, memang tidak ada lagi karya berbahasa Indonesia yang membahas pemikiran Isaiah Berlin selain yang telah disebutkan di atas. Kelangkaan buku berbahasa Indonesia yang membahas karya Isaiah Berlin ini pulalah yang sedikit menyulitkan penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat terbantu sebab beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Perpustakaan Freedom Institute dan Perpustakaan CSIS menyediakan buku-buku Isaiah Berlin maupun pemikiran tentang liberalisme dan pluralisme dengan sangat lengkap. Perpustakaan-perpustakaan itu tidak hanya menyediakan
buku, melainkan juga jurnal-jurnal ilmiah yang membahas perdebatan mutakhir mengenai tema yang sedang penulis kerjakan.
D. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum mengenai pemikiran Isaiah Berlin, khususnya konsep liberalisme, pluralisme serta objek kritikannya terhadap universalisme Pencerahan. Di samping itu, penulis juga ingin memperkenalkan lebih jauh pemikiran Isaiah Berlin ke publik intelektual Indonesia. Penulis menyadari bahwa pemikir seperti Isaiah Berlin belum terlalu terkenal di Indonesia, dilihat dari minimnya pemikiran Berlin yang menjadi objek kajian intelektual Indonesia. Melalui tulisan ini, penulis juga ingin mengajak berbagai kalangan untuk mengkaji liberalisme dan pluralisme yang kerapkali diperdebatkan secara tidak proporsional dan keluar dari konteks pemikiran itu sendiri.
E. Metode Penelitian Sebagaimana lazimnya sebuah kajian filsafat, apalagi itu menyangkut percikan pemikiran dari salah satu tokoh, kajian ini murni menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Studi pustaka yang dimaksud meliputi pengumpulan informasi, baik dari buku, majalah, koran, jurnal, makalah-makalah, maupun informasi-informasi yang sifatnya personal dengan narasumber ternama. Pengumpulan bahan-bahan pustaka itu meliputi pustaka primer dan sekunder. Penulis
tidak menutup kemungkinan memperoleh informasi dari manapun, termasuk bahanbahan diskusi di berbagai forum, sebab buku-buku mengenai Isaiah Berlin yang beredar di Tanah Air demikian minim sehingga butuh usaha ekstra untuk mengumpulkan segala informasi tersebut. Bahan-bahan yang terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa deskriptif analitis. Deskriptif analitis digunakan sebagai instrumen untuk menggambarkan fokus penelitian sambil mengajukan posisi kritis peneliti. Penulis tidak berpretensi untuk untuk melakukan kajian kausalitas, yakni mencari secara lebih jauh kenapa pemikiran ini muncul, melainkan sekedar memaparkan bagaimana pemikiran ini apa adanya. Di samping itu, penulis juga tidak mau terjebak dalam belenggu pesona pemikiran Isaiah Berlin, tetapi lebih jauh mengambil posisi kritis.
F. Sistematika Penulisan Untuk memenuhi sistematika standar penulisan, tulisan ini akan dimulai dengan Bab I, Pendahuluan. Di Bab I, penulis mengurai latar belakang persoalan yang ingin dikemukakan penulis dalam tulisan ini. Bab ini juga akan mengemukakan Rumusan dan Batasan masalah, Tinjauan Kepustakaan, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab ini penting untuk mengurai secara umum keseluruhan isi tulisan. Pembahasan umum diperlukan agar tercipta pengetahuan yang utuh mengenai keterkaitan antara satu bagian dengan bagian lain di dalam tulisan ini.
Bab II akan bicara tentang riwayat hidup, pemikiran, dan karya-karya Isaiah Berlin. Bab ini penting untuk mengetahui konteks kehidupan Berlin di mana ia melahirkan pemikirannya. Bab ini akan menunjukkan bahwa pemikiran Berlin benarbenar memiliki akar dalam perjalanan hidup Berlin, termasuk dengan pilihan-pilihan hidup yang ia ambil. Di samping itu, Bab ini akan menjadi semacam sarana untuk menunjukkan konteks sosial di mana pemikiran Berlin muncul. Sebelum membahas lebih jauh pemikiran Berlin, bagian penting diajukan menjadi Bab II karena akan memberikan konteks bagi pemikiran Berlin. Pada Bab III, penulis akan mengurai sekelumit pemikiran tiga tokoh yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Berlin. Ketiga tokoh itu adalah Giambattista Vico, Johann Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Ketiganya, menurut Berlin, adalah pengkritik Pencerahan yang paling utama. Vico dan Hamann adalah pengkritik utama Pencerahan yang langsung menggugat klaim kebenaran rasional dan semua fondasi logika yan diandaikan oleh Pencerahan. Herder kemudian akan melakukan gugatan terhadap implikasi logika Pencerahan pada interaksi budaya. Bab ini mendahului pembahasan mengenai inti pemikiran Berlin yang dibahas dalam tulisan ini sebagai semacam konteks geneologi pemikiran yang muncul pada diri Berlin. Bab IV berisi konsep utama Isaiah Berlin mengenai kebebasan. Bab ini akan menunjukkan bagaimana kepiawaian Berlin mencari konsep baru mengenai kebebasan (liberalisme) untuk menyerang konsep kebebasan lama yang dianut oleh Imanuel Kant, Bentham, John Struart Mill, dan para pengikutnya. Di Bab ini juga akan dibahas konsep value pluralism yang menjadi instrumen Berlin menolak universalisme Pencerahan dan
tradisi berpikir monis secara umum. Pada bagian ketiga dari Bab ini, penulis mencoba mengajukan penyelesaian pengenai perdebatan tentang bagaimana Berlin memposisikan liberalisme dan pluralisme dalam konsepsinya, dan sebetulnya Berlin berada pada posisi mana pada dua perdebatan besar itu. Di Bab ini, penulis mencoba memberikan beberapa jawaban terhadap keraguan banyak komentator terhadap validitas semua konsep Berlin dalam upayanya menyerang universalisme Pencerahan. Sengaja pembahasan inti pemikiran Berlin ini ditempatkan pada Bab IV, setelah pendahuluan, riwayat dan percik pemikiran tiga tokoh pengkritik Pencerahan yang melandasi pemikiran Berlin secara umum, untuk memberikan semacam keterangan bagaimana Berlin mengajukan gugatan terhadap universalisme Pencerahan. Di akhir bab ini, dikemukakan sekelumit gagasan kebebasan yang berkembang dalam pemikiran pemikir Islam. Tentu saja penjelasan pada bagian ini tidak terlalu detail, sebab penulis hanya ingin menunjukkan bahwa gagasan kebebasan individu yang diperjuangkan oleh Berlin, kendatipun kerapkali terlihat tidak konsisten dan dilematis, sebetulnya gagasan telah muncul dan diterapkan dalam pemikiran Islam liberal, yang juga bermuara pada penolakan terhadap absolutisme dan otoritarianisme. Bagian ini tentu bisa dikembangkan lebih jauh, tetapi penulis sengaja membatasinya, karena pembahasan ini memang berfokus kepada pemikiran Isaiah Berlin. Bagian ini hanya untuk memberikan satu contoh bagaimana gagasan itu diterapkan dalam kondisi riil masyarakat tertentu. Tulisan ini akan diakhiri dengan Bab Penutup. Pada Bab ini, penulis mencoba mencari benang merah dari semua perdebatan yang ada dalam pemikiran Berlin mengenai konsep kebebasan dan kritiknya terhadap universalisme Pencerahan. Di
samping itu, penulis juga memberikan beberapa saran dalam membaca pemikiran Berlin.
BAB II RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN
A. Riwayat Hidup Isaiah Berlin dikenal sebagai pemikir yang berdiri pada posisi kritis antara monisme dan pluralisme. Kendati ia menaruh perhatian serius kepada pluralisme, tapi ia tidak pernah benar-benar meninggalkan monisme. Itulah sebabnya, pluralisme yang dianut oleh Berlin adalah pluralisme yang tidak terjebak kepada relativisme atau nihilisme. Banyak komentar yang meneguhkan posisi Berlin tersebut, sebagai pluralis yang bukan relativis. Penegasan banyak komentator itu dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman sejumlah kalangan yang menganggap Berlin adalah seorang relativis. Di usia 88 tahun, Isaiah Berlin meninggal dunia di Oxford, Inggris, 6 November 1997. Kepergian Berlin meninggalkan luka, ia adalah seorang filsuf dan sejarawan ide yang merekam dengan baik perkembangan dan masa depan intelektual Barat. Berlin bahkan bisa dikatakan sebagai ensiklopedi pemikiran. Berbagai karya dan buah pemikiran pelbagai tokoh begitu hidup di tangan Berlin.22 Berlin lahir dari keluarga Yahudi di sebuah apartemen bernama Albertsrasse, lantai 4, di pinggiran ibu kota Latvia atau Livonia, Riga, 6 Juni 1909. Silsilah keluarga
22
Lihat Michael Ignatief, Isaiah Berlin: A Life, (New York: Henry Holt and Company, 1988), h. 10.
Berlin berasal dari Chabad Hasidim, yang sekarang disebut sebagai Lubavich. Keluarga Berlin adalah kaum Yahudi yang taat, terutama kakeknya. Awalnya, kelahiran Isaiah Berlin tidak terlalu diharapkan. Ibu Isaiah Berlin, Mussa Marie Berlin, sebelumnya mengalami trauma ketika ia melahirkan anak pertama tahun 1907, anak itu meninggal. Ibu Berlin bahkan dikatakan tidak akan mungkin melahirkan lagi. Religiusitas keluarga Berlin tampak ketika ibunya mengandung. Di tengah kepanikan akan bahaya melahirkan, keluarga Berlin selalu mengunjungi rumah ibadah untuk berdo’a agar proses melahirkan tidak membawa bencana. Mereka juga menjadikan kisah-kisah Bible sebagai pegangan.23 Livonia pada masa itu adalah salah satu provinsi imperium Tsar Rusia. Riga adalah kota yang unik, ia masuk wilayah Imperium Rusia, tapi secara budaya dekat ke Jerman. Warga Riga berkebangsaan Rusia, tapi menggunakan bahasa Jerman.24 Irisan dan pertemuan antar budaya membaur dalam keramaian kota. Riga juga menjadi salah satu pusat pengembangan gereja atau catedral Ortodox. Di kota dengan budaya yang unik inilah Berlin menghabiskan masa kecilnya, sampai akhirnya ia pindah ke Andreapol tahun 1915.Berlin mengalami pahitnya berada di kota perbatasan ketika Rusia dan Jerman meningkatkan kekuatan militer, saling mengancam, dan akhirnya Jerman menduduki Livonia pada tahun 1914, ketika Berlin berusia 5 tahun.25
23
Ignatief, Isaiah Berlin, h. 10 Ignatief, Isaiah Berlin, h. 11. 25 Situasi perang dan eskalasi politik global bisa dibaca secara lebih detail dalam Ignatief. 24
Masa-masa itu adalah pergolakan revolusi Rusia. Berlin tumbuh di tengah pergolakan revolusi. Kelak ia akan menjadi penetang komunisme yang sangat cerdas. Tahun 1917, ketika revolusi Rusia benar-benar dimulai untuk pertama kalinya, Berlin, sebagaimana keluarga yang lain, mengalami guncangan dan harus menyelamatkan diri. Situasi buruk itu diperparah oleh invasi Jerman yang telah menjadi sangat anti-Semit. Berlin kemudian dibawa serta keluarganya pindah ke Petrograd. Pelajaran pertama tentang agama diperoleh Berlin ketika ia masuk sekolah Hebrew, sebuah sekolah untuk anak-anak Yahudi. Di sekolah ini, Berlin secara serius mengikuti pelajaran tentang agama dan budaya Yahudi. Dari para rabbi, Berlin mendengarkan tulisan-tulisan dalam bahasa asli Hebrew. Suatu ketika, rabbi mengatakan, “anak-anak sekalian, ketika kamu beranjak dewasa, kalian akan menyaksikan bagaimana setiap lembar tulisan ini adalah darah dan airmata Yahudi.” Bertahun-tahun kemudian Berlin akan mengatakan bahwa kaum Yahudi memang diliputi oleh trauma darah dan airmata.26 Di sekolah pertama ini, Berlin sudah membaca War and Peace dan Anne Karenina karya Leo Tolstoy, pemikir dan sastrawan yang pemikirannya diidentikkan dengan pemikiran Berlin. Karena situasi yang selalu tidak bersahabat, bahkan cenderung mengerikan, bagi kaum Yahudi, keluarga Berlin kemudian berusaha pindah ke London, Inggris. London menjadi pilihan karena di kota ini, kaum Yahudi tumbuh subur dengan aman. 3 Februari 1921, keluarga Berlin benar-benar pindah ke kota kecil di pinggiran 26
Ignatief, Isaiah Berlin, h. 21.
London, Surbiton, tepatnya di St James Road. Berlin kemudian melanjutkan sekolah di Arundel House School di Surbiton. Di London, keluarga Berlin hidup berpindahpindah. Tahun pertama, keluarga penuh cerita ini berpindah tempah sebanyak tiga kali: St James Road, Surbiton; 8 Barrylands Road, Surbiton; dan Effingham Road, Long Ditton, Surrey.27 Angan-angan keluarga Berlin tentang London yang damai dan ramah kepada Yahudi ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Berlin bersusah payah menyesuaikan diri dengan budaya dan bahasa yang relatif baru tersebut. Kendatipun di Petrograd Berlin telah lulus bahasa Inggris, ia tetap kesulitan ketika harus menggunakan bahasa tersebut sehari-hari di lingkungan yang berbahasa Inggris asli. Bahasa Inggris Berlin yang tidak memadai itu kerapkali menjadi bahan cemoohan teman-teman Berlin. Tapi lambat laun, Berlin berhasil mengatasi rasa inferior. Suatu ketika Berlin diejek oleh teman-temannya dengan sebutan “dirty jew”, ia menjawab dengan rasa percaya diri, “no, dirty German,”28 Pada musim gugur 1928, Berlin pindah ke Oxford. Kota ini kemudian akan menjadi sangat berarti bagi Berlin. Berlin menyebut Oxford sebagai kota pembebasan. Kota ini memperkenalkan Berlin kepada dunia yang sebenarnya. Berlin mulai harus belajar berdansa dan bergaul dengan banyak kalangan. Tahun 1920-an adalah tahun emas bagi para homoseksual. Berlin menyimak Harold Acton membaca Sea and Sardinia karya D.H. Lawrence dalam sebuah ‘very oily, buttery voice dan
27 28
Ignatief, Isaiah Berlin. Ignatief, Isaiah Berlin, h. 40.
sedang tenggelam dalam permainan erotik homo. Berlin pun bergaul dengan dunia homoseksualitas ini. Pada masa itu, homoseksualitas adalah style dan menjadi semacam bentuk perlawanan terhadap anti-intelektualisme di sekolah-sekolah publik.29 Tahun 1930, Berlin semakin jauh masuk ke dalam pergaulan intelektual di mana ia menjadi editor Oxford Outlook, sebuah penerbitan mahasiswa. Sekitar tahun itu pula, Oxford menjadi pusat perhatian dunia filsafat. Di sana muncul nama-nama terkenal seperti Bertrand Russell dan Wittgenstein. Bukan hanya intelektualisme, tapi juga kesenian menjadi semacam instrumen Berlin untuk melakukan perlawanan terhadap kampanye anti-Semitisme yang dilancarkan Nazi Jerman. Di Oxford Outlook, Beethoven dan Schubert menjadi musik perlawanan. Berlin sendiri sangat terpukau kepada Bach, Mozart, Beethoven, Schubert, Rossini, dan Donizeti. Kecintaan Berlin kepada musik piano pertengahan abad ke-19, membuatnya tidak mudah untuk berpaling dari tokoh seperti Wagner. Berlin kagum kepada Wagner, meskipun ia tidak sepakat dengan gagasan kekerasan dan hasrat seksualnya.30 Sebagaimana umumnya diketahui, Wagner adalah musikus yang menginspirasi Nietzsche. Sementara Nietzsche dipahami sebagai sumber idiologi totaliter NAZI. Hari-hari selanjutnya dilewatkan Berlin di sebuah lembaga pendidikan yang bernama All Soul College. Berlin mendaftar ke All Soul tahun 1932. Sebagai seorang Yahudi, Berlin tidak cukup percaya diri untuk masuk ke All Soul. Teman-teman
29 30
Ignatief, Isaiah Berlin, h. 43. Ignatief, Isaiah Berlin, h. 55.
dekat Berlinlah yang meyakinkan bahwa All Soul adalah salah satu pilihan terbaik. Teman-teman Berlin di All Soul memanggilnya Shaya, nama kecil Berlin yang diambil dari Isaiah. Darah keluarga Yahudi yang saleh ternyata tetap diwarisi secara kreatif oleh Berlin. Kendati ia bergaul secara bebas, Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan kesalehan sebagai seorang Yahudi. Identitas Yahudi yang masih dipegangnya barangkali sebagai akibat dari represi terhadap kaum Yahudi ketika itu. Berlin bahkan menjadi pengikut Zionis, sebuah sekte Yahudi yang memperjuangkan berdirinya negara Israel di Palestina. Kendati Berlin mengaku sebagai Zionis, dia menolak anggapan umum bahwa seluruh hidupnya diabdikan kepada kelompok ini. Berlin sendiri masih bingung dengan mitos yang berkembang di kalangan kaum Zionis bahwa Palestina yang merupakan tanah tanpa rakyat itu harus diberikan kepada rakyat tanpa tanah. Akhirnya, Berlin memilih sebuah rekonsiliasi, bahwa tanah Yahudi di Palestina harus menjadi awal bagi integrasi ekonomi seluruh bangsa Arab. Tapi setelah mengamati secara bijak, ternyata pendirian negara Israel menyimpan banyak masalah yakni munculnya sinkretisme, korupsi, dan fasisme. Tahun 1934, Berlin membatalnya kunjungannya ke Tanah Yang Dijanjikan (the Promised Land), Palestina, ia memilih berkunjung ke Italia.31 Dalam pengertian intelektual, Berlin dipengarhi oleh kehidupan ganda: pertama, Rachmilievitch – sebagai pengembara, sejarahwan, yang dipenuhi oleh literatur Rusia, Jerman, dan Yahudi, yang berada dalam kesatuan bahasa yang unik; 31
Ignatief, Isaiah Berlin, h. 72.
kedua, oleh kolega-kolega filosofis di Oxford – yaitu Anglo-Saxon, prosedural dan rasionalis.32 Berlin menemukan sahabat akrab yang gagah, seorang berdarah setengah Yahudi, A.J. Ayer, yang akrab ia panggil Freddie. Mereka berdua menjalin persahabatan yang kompetitif selama 50 tahun. Keduanya begitu dekat, tapi juga begitu berbeda dalam banyak hal. Perbedaan pandangan itu, misalnya, terlihat ketika mereka mendefinisikan keyahudian yang mengalir dalam darah mereka. Bagi Ayer, keyahudian adalah warisan atavistik dimana pemikiran rasional akan membuangnya; sementara Berlin memandang keyahudian sebagai satu identitas yang dapat dipertanyakan tetapi tidak pernah benar-benar bisa dibuang. Persaingan keduanya memuncak ketika mereka berkompentisi mendapatkan tiket masuk ke All Soul, di mana Berlin berhasil masuk, sementara Ayer tidak. Mereka berpisah: Berlin ke All Soul, Ayer melanjutkan studi ke Vienna.33 Ayer kemudian muncul sebagai seorang yang sangat terpengaruh positivistik, sebuah aliran filsafat yang sangat kuat di Vienna. Mazhab Vienna lambat laun merasuk ke dalam pemikiran Berlin. Sahabatnya, Ayer, telah mempopulerkan doktrin-doktrin mazhab Vienna secara umum dan terutama pemikiran Wittgenstein. Sebetulnya, Wittgenstein tidak murni menjadi bagian lingkaran Vienna (Vienna Circle), ia menjadi begitu terkenal ketika karyanya, Tractatus, dipublikasikan pada tahun 1921. Di semua tempat, Wittgenstein dibicarakan. Wittgenstein menjadi bahan utama perbincangan di kafe-kafe, kendati
32 33
Ignatief, Isaiah Berlin, h. 81. Ignatief, Isaiah Berlin, h. 82.
tidak begitu banyak orang yang benar-benar mengerti dan pernah membaca karyanya. Ayer dan Berlin berada di antara sekian pengagum Wittgenstein. Mereka kerapkali mengulang-ulang diktum Wittgenstein, “whereaof one cannot speak, thereof one must silent” (ketika seseorang tidak bisa berbicara, maka sebaiknya ia diam). Berlin memang telah membaca Tractatus, tapi kalimat yang selalu terngiang di kepalanya adalah “death is not an event in life” (mati bukanlah satu fase dari kehidupan).34 Di samping A.J. Ayer, sahabat lain yang begitu dekat dengan Berlin adalah J.L. Austin. Austin terpilih masuk ke All Soul satu tahun setelah Berlin. Berlin dan Austin melewatkan hari-harinya di All Soul bersama-sama. Mereka saling mempengaruhi, dan kerapkali saling mengunjungi kamar masing-masing. Austin kerapkali membisikkan sesuatu kepada Berlin:
“they all talk about determinism and say they believe in it. I’ve never met a determinist in my life, I mean a man who really did believe in it, as you and I believe than men a mortal. Have you?” 35 (mereka bicara tentang determinism dan mereka mengatakan bahwa mereka mempercainya. Saya belum pernah bertemu dengan seorang determinis dalam hidup saya, yang saya maksud adalah orang yang benarbenar mempercainya, sebagaimana kamu dan saya yang percaya bahwa manusia itu fana. Bukankah demikian?) Kata-kata itu untuk menggambarkan komitmen mereka untuk ide tentang kebebasan yang tak mungkin dihindarkan dalam kehidupan manusia. Pada akhirnya, Berlin tampak berusaha menggabungkan kecenderungan pemikiran dua sahabat
34 35
Ignatief, Isaiah Berlin, h. 83. Lihat Henry Hardy (Ed.), Personal Impressions, dikutip oleh Michael Ignatief, Isaiah Berlin, h. 84.
karibnya: antara positivisme logis (logical positivism) dari Ayer dan filsafat bahasa yang skeptis dari Austin. Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari di mana Berlin terlibat aktif dalam dua arus pemikiran, antara kecenderungan universalistik dan pluralistik, antara skeptisisme dan determinisme, antara antara kebebasan dan ketergantungan, dan seterusnya. Semuanya itu terjadi dalam sebuah forum diskusi di Brethrem.
B. Pemikiran Perhatian Berlin terhadap filsafat dimulai ketika ia menjadi mahasiswa pada akhir 1920-an dan awal 1930-an di Oxford. Saat itu memang kebanyakan mahasiswa begitu terpesona dengan filfasat. Perhatian terhadap filsafat akhirnya membawa Berlin kepada arus empirisme yang begitu kuat saat itu, terutama yang dibawakan oleh G.E. Moore dan Betrand Russell. Pertama-tama, Berlin tertarik dengan konsep mengenai dunia kebermaknaan, yang dihubungkan dengan paradigma kebenaran dan kesalahan, pengetahuan dan opini, dan terutama mengenai kemungkinan satu preposisi dapat diverifikasi ketika dia diekspresikan. Pandangan seperti ini dianut dan dikembangkan oleh kelompok pemikir yang dikenal sebagai Vienna School (Mazhab Wina): mereka adalah murid-murid Russell, antara lain Carnap, Wittgenstein, dan Schlick. Pandangan mereka kira-kira adalah, bahwa makna sebuah preposisi adalah cara di mana ia diverifikasi. Jika tidak ada cara dalam memverifikasi satu ungkapan, maka hal itu bukanlah statement yang kapabel bagi analisa kebenaran atau kesalahan, tidak faktual,
dan oleh karenanya tidak bermakna. Barangkali itu hanyalah ungkapan hasrat, imajinasi sastrawi, atau ekspresi lain yang tidak layak berada dalam klaim kebenaran empiris.36 Kendatipun Berlin dipengaruhi oleh Mazhab Wina, ia tidak pernah benarbenar menjadi pengikut setianya. Bagi Berlin, posisi Mazhab Wina berbahaya, karena pada akhirnya semua preposisi akan dipertanyakan. Menyatakan bahwa semua angsa itu putih adalah generalisasi yang bukan tanpa makna. Jika berpegang teguh pada verifikasionalisme, maka keseluruhan konsep tentang angsa yang putih akan runtuh jika ada satu saja angsa yang berwarna hitam. Semua preposisi dan kesimpulan akan memiliki cacat verifikasional. Satu preposisi, bagi Berlin, sudah memiliki makna sejak awal, kendatipun ada yang kurang dan ada yang sedikit lengkap.37 Sebagaimana yang telah diceritakan pada bagian awal Bab ini, Berlin juga sempat bergaul dengan filsuf-filsuf semacam A.J. Ayer, J.L. Austin, dan Stuatr Hampshire yang berada dalam bayang-bayang Oxford Empirisism, dan dalam beberapa tingkat oleh Oxford Realism—yaitu kepercayaan bahwa ada dunia external yang independen dari observasi manusia. Kendati demikian, Berlin masih percaya bahwa pengalaman empiris adalah semua kata yang dapat diekspresikan, tidak ada dunia yang lain. Dalam hal ini, verifikasi bukan hanya kriteria pengetahuan, kepercayaan, atau hipotesis. Preposisi, pada dirinya sendiri, memiliki kebenaran. Berlin
juga
bersentuhan
dengan
arus
pemikiran
fenomenalisme
(phenomenalism). Fenomenalisme berbicara seputar pertanyaan mengenai apakah
36 37
Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 2. Berlin, The Power.
pengalaman manusia dibatasi kepada apa yang diberikan oleh pengertian, sebagaimana yang dipikirkan oleh filsuf Inggris, Berkeley dan Hume, ataukah di sana ada satu entitas independen dari pengalaman. Bagi filsuf seperti John Lock dan pengikutnya, di sana ada realitas, kendatipun tidak mungkin kita tidak bisa rasakan secara langsung, namun ia menjadi penyebab atas pengalaman atas perasaan tersebut. Filsuf lain menyatakan bahwa dunia eksternal adalah realitas material yang bisa dicecap secara langsung. Pandangan semacam ini biasanya disebut sebagai realisme, sebagai lawan dari pandangan bahwa dunia diciptakan oleh kecakapan-kecakapan kemanusiaan, seperti akal imajinasi dan semacamnya. Penolakan terhadap realisme ini muncul dari mereka yang disebut rasionalis maupun idealis. Berlin menyatakan bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa percaya kepada semua klaim kebenaran metafisis—baik dari kebenaran kaum rasionalis, yang dipelopori oleh Descartes, Spinoza, Leibniz dan, pada beberapa bentuk, Kant, juga kebenaran dari penganut idealisme, yang dikomandoi oleh Fichte, Friedrich Schellling dan Hegel.38 Dunia eksternal ini menyita perhatian Berlin: ia banyak membicarakan dan menuliskan topik-topik ini. Hidup Berlin yang dilatarbelakangi ancaman otoritarianisme membawanya kepada pemikiran kontra-otoritarianisme tersebut. Ia menemukan bahwa sejarah pemikiran Perancis berujung pada otoritarianisme. Ketika menulis buku Karl Marx: His Life and Environment (1963), Berlin menyatakan bahwa sebetulnya bukan Marx yang begitu menarik perhatiannya, melainkan ia ingin menginvestigasi para 38
Berlin, The Power, h. 4.
pendahulu Marx, terutama pemikir-pemikir pencerahan Perancis. Berlin mengakui dan memberikan apresiasi terhadap pemikiran Perancis yang telah melakukan pembebasan dari kegelapan dan yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayyul (superstition), kebodohan, tekanan, dan semacamnya. Keberatan Berlin terhadap pemikiran Pencerahan Perancis terletak pada konsekuensinya yang berakhir pada dogmatisme baru. Karl Marx adalah dogmatisme baru yang lahir dari pemikiran Pencerahan Perancis. Semasa perang, Berlin menjadi pegawai pemerintahan Inggris. Ketika ia kembali ke Oxford untuk mengajar filsafat, ia terjebak ke dalam dua persoalan: pertama, tentang monisme, tradisi pemikiran yang mempengaruhi semesta pemikiran sejak Plato sampai saat itu; kedua, persoalan makna dan aplikasi pemikiran liberal. Kedua masalah inilah yang akan mewarnai perjalanan intelektual Isaiah. Para pemikir Pencerahan yang terpesona oleh kesuksesan ilmu pengetahuan alam mengambil kesimpulan simplistis bahwa metode investigatif terhadap dunia luar telah memperoleh kemenangan. Yang lain menyatakan bahwa metode saintifik adalah satu-satunya kunci bagi pengetahuan. Saat itu, terjadi perdebatan sengit tentang apakah metode ilmu alam bisa juga masuk ke dalam ranah kemanusiaan.39 Muncul pemikiran bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan satu metode. Inilah dasar monisme modern.
39
Saat itu terjadi apa yang disebut methodenstrait, perdebatan tentang metode. Perdebatan ini menyangkut tentang apakah metode ilmu alam bisa diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial.
Tesis umum dari kaum monis adalah bahwa semua pertanyaan yang benar pasti memiliki jawaban satu jawaban yang benar dan hanya satu, sementara jawabanjawaban lain pasti salah. Pasti ada satu cara yang mengarahkan pemikir-pemikir cemerlang untuk sampai kepada jawaban yang benar itu. Pada intinya, kaum monis memercai satu solusi final bagi semua persoalan, baik sosial, moral, maupun politik. Penjelasan lebih jauh mengenai monisme akan kita bahas pada Bab IV. Pemikiran monistik, bagi Berlin, sungguh berbahaya. Dari bentuk pemikiran inilah muncul kediktatoran dan otoritarianisme. Untuk itu, Berlin berusaha mencari pemikiran alternatif sebagai counter terhadap tradisi monistik. Berlin kemudian menemukan pluralisme sebagai jawaban. Pertama-tama, Berlin menggali kembali tradisi pemikiran pluralis yang berkembang di masa-masa awal Pencerahan. Di sana, Berlin menemukan pemikiran seperti Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder, dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir ini, oleh Berlin, disebut sebagai pemikir pluralis murni. Giambattista Vico melancarkan serangan terhadap motode matematis yang dikampanyekan oleh Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Bagi Vico, kemanusiaan tidak bisa direduksi ke dalam pengetahuan matematis. Bukan hanya manusia, yang nota bene memiliki hasrat dan keinginan yang tak bisa ditebak, melainkan keseluruhan alam. Pengetahuan hanya mungkin valid ketika ia berangkat dari alasan kenapa dan bagaimana sesuatu itu ada. Pengetahuan, bagi Vico, identik dengan penciptaan.40
40
Lihat Isaiah Berlin, Vico and Herder, dalam Isaiah Berlin, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Haman, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 32.
Di samping Vico, Berlin juga membaca dengan serius pemikiran Herder dan Hamann. Pada Herder, Berlin menemukan pemikiran yang bisa menolak tradisi monisme. Herder mengembangkan apa yang disebut perbedaan dan keunikan masingmasing budaya. Herder percaya bahwa setiap budaya memiliki jawaban yang berbeda-beda terhadap satu pertanyaan utama. Bagi Herder, setiap budaya menempati kedudukan di pusat grafitasinya masing-masing, dengan rujukan tradisi yang berbeda. Herder menegaskan, bahwa toleransi universal memang mungkin, tapi univikasi budaya adalah destruksi yang berbahaya.41 Sementara Hamann menunjukkan kepada Berlin bahwa semua pengetahuan dan kebenaran adalah partikular. Rasio tak mampu menangkap realitas secara utuh. Sebab realitas menyimpan banyak kejutan. Setiap realitas selalu berbeda karena mereka memiliki individualitasnya masing-masing. Yang paling riil adalah individualitas, bukan kesimpulan deduktif yang reduktif.42 Dari sinilah kemudian Berlin percaya kepada pluralisme. Teori yang muncul dari pemahaman pluralisme ini, oleh Berlin, disebut value pluralism. Value pluralism ingin menunjukkan bahwa adalah nilai-nilai yang beragam. Masing-masing nilai berbeda, tidak mungkin dimusnahkan tapi juga tidak mungkin dipersatukan. Bukan berarti Berlin kemudian jatuh ke dalam relativisme, sebab pada akhirnya Berlin akan berdiri sebagai seorang liberal. Sebagai bentuk kritikan terhadap tradisi Pencerahan, maka bentuk liberalisme Berlin cukup unik. Berlin menolak keras liberalisme model Pencerahan yang universalistik (atau disebut juga sebagai pisitive liberty), melainkan 41
Berlin, The Power, h. 9. Lihat Isaih Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 250. 42
liberalisme pluralis (Berlin senang menyebut negative liberty untuk mewakili pendiriannya ini). Posisi liberalisme Berlin yang unik, oleh John Gray, disebut sebagai agonistic liberalisme.43 Perdebatan mengenai pluralisme dan liberalism akan hadir secara lebih detail pada Bab V.
C. Karya-karya Kebanyakan karya Berlin berbentuk esai panjang. Tapi karena esai-esai itu begitu panjang, akhirnya kemudian terbit dalam bentuk buku utuh. Di antara karya-karya Berlin itu adalah: 1. Karl Marx: His Life and Environment, ditemukan beredar pada tahun 1939. Edisi keempat buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1978. 2. The Age of Enlightenment: The Eighteenth-Centure Philosphers (New York: New American Library, 1956). Buku ini berisi kumpulan esai tentang uraian karya-karya para filsuf abab ke-delapan belas. 3. Four Essays on Liberty (London: Oxford University Press, 1969). Buku ini berisi empat esai tentang kebebasan. Esai-esai itu adalah Political Ideas in the Twentieth Century, Historical Inevitability, Two Concepts of Liberty, dan John Stuart Mill and the Ends of Life. Inilah satu-satunya buku Berlin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Empat Esai Kebebasan, diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi (Jakarta: Freedom Institute, 2004). 43
Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1996), h. 141-168.
4. Vico and Herder: Two Studies in the History of Ideas (London: Hogarth Press, 1976). Buku ini berisi dua esai yang membahas dua pemikir kontra Pencerahan, Giambattista Vico dan Johann Gottfried Herder. 5. Russian Thinkers (London: Hogarth Press, 1978). Buku ini adalah kumpulan esai panjang. Salah satu esai yang sangat terkenal dari Berlin di buku ini adalah The Hedgehog and the Fox: on Tolstoy’s View of History. Esai tersebut kemudian diterbitkan menjadi buku utuh dengan judul yang mirip, The Hedgehog and the Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History (New York: Simon and Schuster, 1953). 6. Concepts and Nategories: Philosophical Essays (London: Hogarth Press, 1978). Buku ini berisi kumpulan esai filosofis yang berisi gugatan terhadap berbagai konsep filsafat, yang menurut Berlin berafiliasi terhadap tradisi monisme, seperti verifikasinisme, empirisisme, positivisme, logika matematis, rasionalisme dan lain sebagainya. 7. Against the Current: Essays in the History of Ideas (London: Hogarth Press, 1979). Ini adalah buku kumpulan banyak esai tentang tokoh-tokoh yang berdiri di garis perlawanan terhadap universalisme Pencerahan. Buku ini juga memuat satu esai mengenai Machiavellli yang diyakini oleh Berlin sebagai salah satu tokoh yang melawan tradisi Pencerahan, di samping tokoh-tokoh lain seperti Hamann dan Herzen.
8. Personal Impressions (London: Hogarth Press, 1980). Buku ini berisi kumpulan esai lepas tentang profil berbagai tokoh dunia, baik tokoh pemikir maupun tokoh politik. 9. The Croocked Timber of Humanity: Chapters in History of Ideas (London: John Murray, 1990). Buku ini juga berisi esai-esai tentang kritik terhadap Pencerahan dan kultur pemikiran Barat. 10. The Magus of the North: J.G. Hamann and the Origins of Modern Irrationalism (London: John Murray, 1993). Buku ini merupakan buku sejarah pemikiran Hamann, satu tokoh yang sangat berpengaruh di dalam perjalanan intektual Berlin. Setelah Berlin meninggal pada tahun 1997, muncul beberapa buku yang merupakan kumpulan esai maupun kumpulan karya Berlin. Penerbit Pimlico, London, yang mengambil inisiatif menerbitkan kembali karya-karya dalam bentuk yang berbeda. Kumpulan karya dan esai Berlin yang terbit setelah ia meninggal adalah The Power of Ideas (2001), The Proper Study of Mankind (1998), The Roots of Romanticism (2000), The Sense of Reality (1997), Three Critics of The Enlightenment: Vico, Hamann, Herder (2000), Freedom and It’s Betrayal: Six Enemies of Human Liberty (Princeton: Princeton University Press, 2002), dan Liberty (Oxford: Oxford University Press, 2002).
BAB III TIGA KRITIK UNTUK PENCERAHAN
Berlin hidup di sebuah masa di mana superioritas Pencerahan, dengan rasionalisme sebagai ujung tombaknya, sedang menunjukkan borok busuknya dengan tampilnya Nazisme dan fasisme yang begitu mengancam peradaban dunia. Berlin adalah anak kandung Pencerahan yang berusaha dengan sangat kritis menemukan cacat epistemologis dari tradisi Pencerahan. Tanpa ragu, Berlin membuka kembali risalah-risalah masa lalu yang telah dengan sangat tajam melakukan kritik terhadap Pencerahan. Setidaknya, Berlin begitu terpukau kepada tiga pemikir kontraPencerahan yang telah melakukan teoretisasi menggugat langsung kepada intik konsep Pencerahan yang dikumandangkan para founding fathersnya. Tak ayal, tokoh seperti Rene Descartes, Imanuel Kant dan pengikut Barat sentris menjadi para pesakitan yang seolah tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan para penggugat. Tradisi rasionalisme, empirisisme, positivisme dan saintisme merupakan titik pusat kritikan. Tiga tokoh pengkritik Pencerahan, yang mendapat apresiasi dari Berlin dengan sangat mencolok, adalah Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder dan Johann Georg Hamann.
A. Giambattista Vico Gugatan utama Vico terfokus kepada klaim kebenaran subjektif yang dideklarasikan oleh kaum Pencerahan, dalam hal ini diwakili oleh Rene Descartes. Descartes telah mendaku menemukan satu pendasaran bagi kebenaran yang pasti melalui apa yang dia sebut sebagai kesangsian metodis atau metode kesangsian (le doute methodique).44 Untuk mencapai kebenaran, mula-mula kita harus meragukan segala sesuatu. Keraguan harus ada sebab jangan-jangan semua kebenaran yang kita andaikan adalah tipuan belaka dari semacam iblis yang begitu cerdik (genius malignus), khayalan-khayalan yang tak berdasar, atau bahkan Tuhan itu sendirilah yang telah menipu, bahkan tipuan itu sendiri. Metode kesangsian menjadi penting bagi dasar kepastian adalah bahwa dengan menyangsikan segala sesuatu, maka akan ditemukan satu kepastian, yakni kesangsian itu sendiri. Yang pasti dari semua kesangsian adalah kesangsian itu sendiri. Dari sana kemudian ditemukan bahwa aku yang sangsi benar-benar ada. Semakin kita menyangsikan, termasuk menyangsikan bahwa kita sangsi, maka kita semakin nyata. Menyangsikan adalah satu bentuk kegiatan berpikir, maka berpikir adalah proses mengada. Descartes mengatakan je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).45
44
Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 38. 45 Budi Hardiman, Filsafat Modern.
Descartes kemudian menemukan apa yang disebut res cogitans sebagai ide bawaan yang melekat pada manusia sejak semula. Tapi pada kenyataannya, manusia tidak hanya terdiri dari pikiran, melainkan juga sesuatu yang bisa diraba dan dirasakan. Oleh karenanya, kejasmanian adalah sesuatu yang nyata. Kejasmanian ini juga adalah ide bawaan. Descartes menyebut kejasmanian dengan istilah res axtensa. Pada akhirnya, Descartes juga menemukan bahwa aku juga memiliki ide kesempurnaan yang juga merupakan bawaan sejak lahir. Allah adalah ide bawaan. Kendatipun Descartes mengakui bahwa bukan hanya res cogitans yang menjadi ide bawaan, melainkan juga res extensa dan Allah, tetapi tampak nyata bahwa res cogitans memiliki otoritas yang lebih tinggi. Aspek pikiran cenderung mendominasi dalam filsafat Descartes, itulah sebabnya ia masuk dalam aliran rasionalisme. Aliran ini berkeyakinan bahwa kebenaran pengetahuan diperoleh dari rasio, bukan dari kenyataan di luarnya. Pada titik inilah Vico masuk untuk melakukan gugatan terhadap Descartes. Keyakinan Descartes pada kebenaran matematis dari realitas digugat, karena hal ini mengabsolutkan kebenaran manusia atau subjek. Dualisme subjek-objek benar-benar merupakan reduksi terhadap kebenaran sejati. Bagi Vico, manusia tidak serta merta bisa mengetahui segala sesuatu dengan melakukan kesimpulan secara clear and distinct karena realitas adalah proses yang terus berjalan.
Kriteria kebenaran bagi Descartes adalah sejauh klaim kebenaran itu berada dalam kategori clear and distinct.46 Kemajuan intelektual sejati tergantung, sebagaimana pandangan natural science, kepada reduksi atas sesuatu yang dipelajari ke dalam clear and distinct, konsep dan keputusan yang bersifat matematis. Vico mengatakan, jika begitu, maka para sejarawan dan ahli purbakala bisa menyampaikan kepada kita tahun-tahun sejarah Republik Romawi hanya dengan informasi tidak lebih dari pembantu Cicero. Inikah yang disebut science?47 Awalnya Vico menerima pandangan semacam ini, tapi kemudian dengan sangat berani menyerangnya. Bagi Vico, pengetahuan sempurna hanya diperoleh melalui kasus-kasus, dalam bahasa Vico disebut per caussas. Mengetahui sesuatu secara sempurna hanya jika, dan hanya jika, kita tahu kenapa ia ada sebagaimana adanya, bagaimana ia datang untuk ada, untuk apa ia ada, atau apa dia, bukan semata-mata karena dia ada dengan segala atributnya. Pemahaman tentang per caussas adalah ide kuno yang telah ditemukan dalam filsafat skolastik.48 Dari sini kemudian Vico menghubungkan pengetahuan dengan proses penciptaan. Francisco Sanchez, dalam Quod Nihil Scitur (1581), dalam satu diskusi mengenai sukarnya mengetahui alam dan kekuatan jiwa, menyebutkan bahwa jika manusia ingin memiliki pengetahuan ini dalam tingkat yang sempurna maka
46
Lihat Isaiah Berlin, Three Critics of the Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, (London: Pimlico, 2000), h. 30. 47 Berlin, Three Critics. 48 Berlin, Three Critics, h. 31
hendaklah ia menjadi seperti Tuhan, atau menjadi Tuhan itu sendiri.49 Vico mengatakan: “Kita mendemonstrasikan geometri karena kita memakainya.”50 Tuhan mengetahui dunia karena Ia yang membuatnya dengan cara dan alasan yang hanya Ia yang tahu, sementara kita tidak pernah mengetahuinya secara sempurna, karena bukan kita yang membuatnya – karena kita menemukannya siap pakai – dia telah terberi sebagai sebuah ‘brute fact.’51 Hal yang sama bisa diajukan bagi para pengarang novel, bahwa yang paling mengerti maksud dan tujuan satu novel adalah pengarangnya sendiri. Tapi tidak semua apa yang dibuat oleh novelis atau composer atau pematung benar-benar baru, ada saja hal yang ia ambil dari sesuatu yang terberi. Berarti, dalam karya manusia selalu ada unsur ‘brute fact’nya. Manusia hanya bebas menentukan pilihannya, tapi pilihan itu terbatas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, semakin kita memahami per caussas, maka pengetahuan kita semakin memiliki kemungkinan benar (the more we can be said to understand per caussas, the more we truly know).52 Thomas Hobbes dalam De Corpore mengungkapkan: “Si physica demonstrare possemus, faceremus” (if we could demonstrate physics, we would make it). Jika kita mampu menunjukkan kebenaran dan rahasia fisika, maka kita akan menggunakan dan menciptakannya. Tetapi kita tidak pernah bisa, karena hanya Tuhan yang mengetahuinya secara sempurna, dan Tuhan itu sendiri adalah kebenaran 49
Lihat Benedetto Crooce, The Philosophy of Giambattista Vico, (New York: Russel & Russel Inc, 1964), h. 4. 50 Crooce, The Philosophy.. 51 Crooce, The Philosophy, h. 32. 52 Crooce, The Philosophy.
sempurna. Isaiah Berlin menyebut hal ini adalah bentuk Platonisme Kristian atau Neoplatonisme.53 Doktrin Pencerahan mengatakan bahwa mengetahui sesuatu haruslah menjadi dirinya, atau setidaknya mendominasinya. Bukan hanya Hobbes yang mendukung keyakinan Vico mengenai keidentikan pengetahuan dan penciptaan, Patrizi mengatakan: “mengetahui haruslah disatukan dengan apa yang diketahui,” Campanella juga menegaskan: “mengetahui haruslah menjadi apa yang diketahui.”54 Tidak diragukan bahwa, dalam Vico, doktrin pengetahuan sempurna identik dengan penciptaan. Bagi Vico, hanya Allah yang bisa mengetahui realitas dengan sebenar-benarnya,
manusia
tidak
bisa
melakukannya,
mereka
tidak
dapat
mengkontemplasikan (merenungkan) esensi Platonik. Vico tidak sepakat, misalnya dengan Leonardo, bahwa akal menyingkirkan kebutuhan bagi pengalaman. Bahkan pada dasarnya, Vico melampaui pandangan Hobbes yang mengatakan bahwa pengetahuan matematika tidak identik dengan pengetahuan dengan dunia riil.55 Vico terutama menolak matematika sebagai sebuah alat bagi pengetahuan terhadap alam, fisika, dan kemanusiaan. Matemetika, bagi Vico, hanya mungkin dipakai bagi dirinya sendiri. Vico menegaskan, “The true (verum) and the made (factum) are convertible” (kebenaran dan penciptaan dapat dipertukarkan).56 Isaiah Berlin tidak hanya terpengaruh oleh pemikiran Vico, pemikiran itu juga dijadikan sebagai instrumen untuk menyerang tradisi berpikir modern yang
53
Crooce, The Philosophy, h. 33. Crooce, The Philosophy. 55 Crooce, The Philosophy, h. 34. 56 Crooce, The Philosophy, h. 35. 54
universalistik. Titik berat kebenaran kepada kemanusiaan adalah reduksi habishabisan terhadap realitas yang memiliki beragam nuansa yang berlapis-lapis. Adanya realitas tidak mungkin dikurung dalam kategori-kategori simplistis. Realitas memiliki latar belakang dan motivasi keberadaan yang terlalu panjang untu disimpulkan dengan menggunakan kategori subjektif. Dari sini Berlin juga menyerang pangkal totalitarianisme modern yang muncul secara sangat kejam dalam bentuk Nazisme, fasisme dan anti-semitisme. Rasionalitas yang dikembangkan Descartes telah merambah jauh membelenggu realitas dan kemanusiaan secara umum.
B. Johann Georg Hamann Ketika Vico melakukan gugatan terhadap tradisi Pencerahan dengan menggoncangkannya, maka teolog dan filsuf Königsberg, Johann Georg Hamann, telah membanting tradisi universalistik itu. Isaiah Berlin menggambarkan peran pemikir ini dalam menyerang tradisi pencerahan dengan berapi-api:
“The most passionate, consistent, extreme and implacable enemy of the Enlightenment and, in particular, of all forms of rationalism of his time (he lived and died in the eighteenth centure) was Johann Georg Hamann. His influence, direct and indirect, upon the romantic revolt against universalism and scientific method in any guise was considerable and perhaps crucial.”57 (Musuh yang paling bernafsu, konsisten, ekstrim dan berkepala dari Pencerahan dan, terutama, dari semua bentuk rasionalisme pada masanya (dia hidup dan
57
Lihat Isaiah Berlin, The Magus of the North: J. G. Hamann and the Origins of Modern Irrationalism, dalam Three Critics of The Enlightenment, h. 255.
meninggal di abad ke-delapan belas) adalah Johann Georg Hamann. Pengaruhnya, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap pemberontakan romantik melawan universalisme dan metode saintifik dalam banyak bentuk sungguh krusial).
Penegasan utama dari Hamann adalah “all truth is particular, never general” (semua kebenaran itu partikular, tidak pernah berlaku umum).58 Hamann adalah seorang penganut agama yang taat. Ia penganut sekte Luteran. Awalnya, Hamann adalah murid setia Pencerahan, tapi ketika terjadi goncangan spritual di dalam dirinya, ia balik haluan menjadi penentang tradisi Pencerahan, bahkan ia dikenal sebagai seorang anti-rasionalis yang sangat gigih. Hamann mengkampanyekan bahwa rasio tidak kuasa mendemonstrasikan seluruh kenyataan, rasio hanya satu instrumen untuk mengklasifikasi dan menyusun data dalam satu pola tertentu, tetapi tidak pernah benar-benar bisa menunjukkan kenyataan yang sebenarnya secara utuh.59 Alam semesta, bagi Hamann, sebagaimana yang dipercai oleh kaum mistikus Jerman kuno, hanyalah semacam bahasa. Segala sesuatu, tumbuhan atau binatang pada dirinya hanyalah simbol dimana Tuhan berkomunikasi dengan ciptaannya. Hamann membuat satu ungkapan yang sangat baik untuk menggambarkan pemikirannya, “God-intoxicated man” (manusia yang dimabuk Tuhan). Bagi Hamann, semua hal—semua yang ada dan yang mungkin
58
Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Onthology of Essays, (London: Pimlico, 1998), h. 249. 59 Berlin, The Proper.
ada—tidak hanya diciptakan oleh Tuhan, melainkan juga berbicara kepada kita. Semua hal adalah wahyu. Segala sesuatu adalah keajaiban.60 Oleh karena itu, segala pengetahuan tidak bisa diperlakukan secara umum. setiap entitas memiliki alasan keberadaan yang berbeda. Setiap sesuatu memiliki keunikannya masing-masing. Pengetahuan tentang kebenaran hanyalah persepsi langsung dari entitas individual. Semua konsep tidak akan pernah bisa merepreksikan semua pengalaman individual. Hamann menegaskan, sebagaimana yang dibahasakan oleh Berlin, “what is real is individual” (yang riil adalah yang individual).61 Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa setiap nilai memiliki keunikannya sendiri-sendiri, mereka berbeda dari bentuknya, peristiwanya, pemikirannya, dan tidak ada nilai yang berlaku umum. Hamann sedikit memberi perhatian terhadap pelbagai teori dan spekulasi tentang dunia eksternal, dia hanya peduli terhadap kehidupan personal individu, yaitu kesenian, pengalaman religius, perasaan dan hubungan personal. Bagi Hamann, Tuhan itu adalah penyair, bukan matematikawan yang bisa mereduksi dan membawa kita ke dalam satu konstruksi verbal tanpa makna, sesuatu yang sangat rapuh tapi dianggap seolah-olah pasti (dalam bahasa Goenawan Mohamad: “sesuatu yang kelak retak dan kita membuatnya abadi”).
C. Johann Gottfried Herder
60 61
Berlin, Three Critics, h. 253. Berlin, The Proper, h. 250.
Jika pada Vico dan Hamann Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan pada fondasi konseptualnya, maka Herder menampilkan gugatan pada implikasi cara berpikir Pencerahan yang universalistik. Implikasi universalistik ala Cartesian itu tampak nyata dalam interaksi budaya dan peradaban manusia. Sebagaimana dua tokoh terdahulu, keseluruhan pemikira Herder bermuara pada serangan terhadap universalisme Pencerahan yang terrepresentasi dalam keunggulan budaya Barat. Doktrin Pencerahan yang datang dari para pemikir Perancis benar-benar telah memuakkan dan merangsang hasrat intelektual Herder menghancurkan pengandaian-pengandaian Pencerahan yang menurutnya rapuh itu. Herder dengan tegas menolak doktrin Pencerahan Perancis yang mengklaim diri memiliki kebenaran universal, tak lekang oleh waktu dan merupakan kebenaran yang tak perlu dipertanyakan serta berlaku bagi semua orang, di manapun dan kapanpun. Herder meyakini bahwa budaya-budaya yang berbeda memiliki jawaban yang berbeda terhadap persoalan utama yang mereka hadapi.62 Herder begitu peduli terhadap aspek kemanusiaan, apa yang hidup dalam sebuah masyarakat, daripada mencari esensi dunia eksternal yang tidak jelas dan membingungkan. Herder percaya bahwa apa yang baik bagi orang Portugis, mungkin tidak begitu baik bagi orang Persia. Menurut Berlin, Montesquieu telah menyatakan hal yang mirip dengan menyatakan bahwa manusia dan kemanusiaan terbagi menurut lingkungannya. Dia menyebut istilah ‘climate’ untuk menggambarkan kematian universalisme budaya.
62
Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2000), h. 8.
Tentu saja perbedaan budaya dan nilai secara umum harus membawa konsekuensi perpecahan dan benturan. Jauh sebelum Samuel P. Huntington meramalkan tentang akan terjadinya benturan antar-peradaban yang dilatarbelakangi, terutama, oleh budaya dan nilai kemanusiaan tertentu, Herder telah menegaskan perbeda-bedaan budaya yang tak mungkin disatukan. Kemungkinan terjadinya benturan memang ada, tapi itu bisa diatasi dengan toleransi. Kendati toleransi universal itu mungkin, tetapi unifikasi adalah destruksi. Dan sebenarnya, tidak ada yang lebih jelek daripada imperialisme.63 Herder terus mempertahankan pendapatnya bahwa setiap periode sejarah, aktivitas, situasi dan peradaban memiliki karekter uniknya sendiri-sendiri. Oleh karenanya, percobaan untuk mereduksi fenomena itu ke dalam serangkaian elemen yang terpola, dan menggambarkan serta menganalisis mereka dalam term aturan universal, cenderung memberangus perbeda-bedaan krusial yang telah membangun kualitas spesifik dari objek yang dipelajari, baik itu alam maupun sejarah.64 Lebih daripada itu, Herder juga menolak distingsi radikal antara metode yang diterapkan kepada ilmu pengetahuan fisik dan ilmu yang mempelajari sprit kemanusiaan, atau ilmu sosial. Baginya, segala sesuatu memiliki keunikan, kita harus menciptakan metode yang berbeda terhadap segala keunikan itu. Barangkali kita bisa mengajukan kesimpulan, tetapi jangan pernah bermimpi kesimpulan yang berhasil ditarik dari sebuah realitas yang unik benar-benar memotret realitas.
63 64
Berlin, The Power, h. 9. Berlin, Three Critics, h. 168.
Pada titik ini, dapat dipahami bahwa sebetulnya Herder adalah bapak nasionalisme budaya. Tentu Herder bukanlah seorang nasionalis yang politis, tetapi ia percaya dan meyakini pentingnya kemerdekaan budaya dan kebutuhan untuk menjaga keunikannya. Bagi Herder, kemanusiaan itu tidak satu, melainkan banyak.65 Sumbangan paling besar yang diberikan ketiga tokoh di atas kepada Berlin adalah munculnya amunisi yang sangat jitu untuk menggugat klaim kebenaran universal yang diperjuangkan kaum Pencerahan. Keberserakan nilai kebenaran membuat konsep kebenaran tunggal menjadi tidak relevan. Demikian juga, setiap klaim kebenaran tidak bisa diabsolutkan, sebab selalu ada celah untuk dibantah dan dihancurkan.
65
Berlin, The Power, h. 9.
BAB IV PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME
Kendati begitu terpengaruh oleh tiga pengkritik Pencerahan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, Isaiah Berlin mengaku tidak total menjadi pengikutnya. Berlin mengambil jarak dengan tidak menjadi pluralis relativis sebagaimana ketiga gurunya tersebut. Dua konsep kebebasan yang dirumuskan oleh Berlin menjadi satu tanda bagaimana Berlin begitu berhati-hati menempatkan posisi. Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan Pencerahan kendati ia menegaskan tentang nilai yang berserak atau value pluralism. Akhirnya, Berlin, setidaknya menurut kebanyakan komentatornya, berdiri pada posisi liberalis pluralis. Artinya, Berlin tidak serta merta membuang keseluruhan universalisme. Berlin masih mengandaikan universalisme, hanya saja universalisme yang diandaikan itu bersifat pluralis. Mari kita bahas beberapa konsepsi yang sekaligus sebagai penegas posisi Berlin dalam perdebatan ini.
A. Dua Konsep Kebebasan Berlin menulis satu esai khusus mengenai dua konsep kebebasan yang ia andaikan. Dua konsep kebebasan ini dipakai untuk menunjukkan bahwa kendati Berlin menolak Universalisme Pencerahan dan ide kebebasan yang menjadi
konsekuensinya, setidaknya tidak semua konsepsi itu ditinggalkan. Di awal tulisan ini telah dijelaskan bahwa Berlin sesungguhnya memberikan apresiasi yang begitu besar kepada tradisi Pencerahan yang telah mendobrak dogmatisme, feodalisme, teologisme, dan kekakuan berpikir abad pertengahan. Berlin kagum terhadap prestasi Pencerahan yang benar-benar telah membuka pintu bagi kemajuan dunia. Eksistensi manusia yang telah terkubur, berhasil dibangkitkan oleh para pejuang Pencerahan dan menciptakan sebuah peradaban dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Kendati demikian, Berlin kemudian kecewa terhadap tradisi Pencerahan itu yang terlalu mengagungkan rasionalitas. Rasionalitas menjadi sangat berbahaya ketika ia diabsolutkan. Sebab ternyata dalam kenyataannya, rasionalitas menjadi semacam belenggu yang demikian kejam. Rasionalitas menjadi semacam legitimasi bagi segelintir diktator untuk mengklaim diri paling rasional, lalu memiliki hak untuk melakukan proses rasionalisasi bagi yang lain, bahkan dengan cara-cara kekerasan. Sebetulnya, sebagaimana yang diakui oleh Berlin sendiri, semua pemikir bersepakat tentang kebebasan manusia. Manusia harus dibebaskan dari bentuk-bentuk kekangan yang membelenggu. Tapi di sisi yang lain manusia juga diharapkan patuh kepada aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Para pemikir kemudian berselisih pada persoalan tentang seberapa besar kebebasan harus diberikan dan seberapa besar pula kepatuhan yang diterapkan. Sampai batas mana manusia dikatakan bebas? Lalu bagaimana pula bentuk kebebasan tersebut? Apa landasan kebebasan? Tradisi pemikiran Barat hampir sepakat bahwa ukuran kebebasan terletak pada rasionalitas. Hal ini kemudian digugat ketika kebebasan berdasar rasionalitas itu telah menjadi legitimasi
totalitarianisme dan kediktatoran. Di titik ini, Berlin menyatakan bahwa identitas rasional yang diletakkan kepada prinsip kebebasan menyimpan masalah, karena ia cenderung menuju kepada totalitarianisme. Untuk mendukung sikap oposisinya terhadap model kebebasan rasional, Berlin membedakan dua bentuk kebebasan: kebebasan positif (positive liberty) dan kebebasan negatif (negative liberty). Kebebasan positif adalah bentuk jawaban terhadap pertanyaan “Apa, atau siapa, yang merupakan sumber kontrol atau campur tangan yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau menghendaki satu hal, hal ini dan bukan hal itu?” Kebebasan negatif merupakan jawaban atas pertanyaan, “Dalam wilayah apa suatu subjek—seorang manusia atau sekelompok manusia—harus dibiarkan bertindak dan berkehendak sebagaimana yang ia sendiri ingin dan mampu lakukan, tanpa campur tangan dari yang lain?”66 Kebebasan negatif biasa juga disebut sebagai freedom from (kebebasan dari). Yang dimaksud dengan “kebebasan dari” adalah terciptanya satu kondisi di mana tak ada orang atau sekelompok orang yang ikut campur atau mengintervensi apa yang saya lakukan. Saya dinyatakan bebas dalam pengertian kebebasan negatif adalah ketika saya tidak dihalang-halangi oleh orang lain. Berlin menyebut batas minimum kebebasan yang tidak bisa diintervensi. Berlin menyatakan: “If I am prevented by others from doing what I could otherwise do, I am to that degree unfree; and if this area is contracted by other men beyond a
66
Lihat Isaiah Berlin, Four Esssays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, (Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2004), h. 231.
certain minimum, I can be described as being coerced, or, it may be, enslave.”67 (Jika saya dihalang-halangi oleh orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka pada tingkat tertentu saya bisa disebut sebagai orang yang tidak bebas; dan jika wilayah ini semakin dipersempit oleh orang lain melebihi satu batas minimum, maka saya bisa dianggap sebagai orang yang dikekang, atau, mungkin, diperbudak). Sementara kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang mengarah ke luar, tentang bagaimana manusia bisa menentukan apa yang ingin ia lakukan. Pengertian positif dalam kebebasan berasal dari keinginan yang ada dalam diri individu untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri (self mastery).68 Kebebasan positif adalah suatu kondisi di mana individu merasa bebas untuk menentukan sendiri apa yang terbaik untuk ia putuskan dan lakukan bagi dirinya sendiri. Keputusan-keputusan itu tidak bergantung kepada orang lain atau sekelompok orang lain. Individu menjadi subjek atas dirinya sendiri, bukan menjadi objek. Individu kemudian memiliki otoritas penuh untuk bertindak sesuai dengan rasionalitas, akal sehat, dan tujuan-tujuan hidupnya sendiri. Dua gagasan kebebasan di atas, yakni gagasan kebebasan berdasarkan prinsip tuan atas dirinya sendiri (positif) dan tiadanya kekangan dari pihak luar (negatif), secara sepintas tampak bisa berjalan beriringan bahkan saling mengandaikan. Akan tetapi, menurut Berlin, pada kenyataannya, kedua gagasan itu menempuh jalur yang berbeda bahkan berkontradiksi dan saling berbenturan.
67
Lihat Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty, dalam Michael J. Sandel (ed.), Liberalism and Its Critics, (New York: New York University Press, 1984), h. 16. 68 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 244.
Berlin mencontohkan momen kemerdekaan sebagai bentuk yang bisa menipu konsep kebebasan. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, diandaikan bahwa individu memperoleh momentumnya untuk menjadi tuan bagi diri sendiri. Tetapi, kata Berlin, bukankah manusia kemudian jatuh lagi ke dalam perbudakan politik, nasionalisme, spritualisme, dan keberakalan tertentu?69 Ketika kita menjadi tuan bagi diri sendiri, maka sebetulnya kita kemudian bisa diperbudak oleh nafsu-nafsu atau hasrat-hasrat pribadi dan bahkan oleh rasionalitas individual kita. Jika rasionalitas menjadi ukuran, maka bukankah jika mengatakan bahwa pilihan hidup tertentu lebih rasional daripada pilihan hidup yang lain adalah sebuah represi bahkan eksklusi terhadap apa yang disebut tidak rasional atau kurang rasional tersebut? Lalu individu akan mencoba melakukan rasionalisasi terhadap pilihan perbuatannya berdasar kepada kategori-kategori yang ia buat sendiri. Kenaifan mungkin bisa dihindari dengan mengatakan bahwa pilihan “rasional” diperlukan demi kebaikan individu. Sebelum melangkah jauh, ada baiknya disinggung sedikit objek kritikan Berlin atas konsep kebebasan positif ini. Sebetulnya kriteria kebebasan positif yang, bagi Berlin, berbahaya ini dilekatkan kepada semua arus pemikiran rasional yang mendiminasi jagad pemikiran Barat. Salah satu yang paling dominan adalah mereka yang disebut sebagai pemikir utilitarian. Utilitarianisme, dalam berbagai variannya, telah mendominasi pemikiran liberal Barat. Utilitarianisme sendiri bisa ditelusuri sampai pada akar Pencerahan Eropa. 69
Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 245.
Dengan ditemukannya individu atau manusia sebagai subjek oleh para penggagas Pencerahan, terutama Descartes, manusia kemudian menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Keputusan-keputusan manusia kemudian tidak lagi harus berdasarkan mitos-mitos atau berasal dari hasrat di luar dirinya, melainkan berdasar sepenuhnya kepada kebutuhan individual itu sendiri. Kebebasan yang dicanangkan oleh Pencerahan kemudian disimpulkan dalam bentuk terpenuhinya hasrat individual manusia. Hal ini disistematisasi oleh para pemikir utilitarian awal seperti James Mill dan Jeremy Bentham. Hal itu terjadi mungkin karena euforia terbebasnya manusia dari belenggu agama yang begitu lama mengekang dan membatasi kebebasan manusia secara ekstrim. Secara umum, kaum utilitarian memaknai kebebasan dengan terpenuhinya hasrat kemanusiaan individu. Will Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai walfare hedonism (hedonisme kesejahteraan). Ini adalah bentuk utilitarianisme paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi.70 Akan tetapi, model utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, nonhedonistic mental-state utility (utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi hedonis). Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan
70
Lihat Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, (Oxford: Clarendon Press, 1990), h. 12.
kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, darimanapun hal itu berasal.71 Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai preference satisfaction (pemenuhan pilihan). Utilitarianisme tahap ini mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas.72 Pada tahap terakhir, utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut. Utilitarianisme ini disebut informed preference (pilihan yang berbasis informasi).73 Perkembangan ini juga menandai bagaimana utilitarianisme bergerak dari pendefinisian manusia yang awal diidentikkan dengan binatang menjadi manusia yang seutuhnya. Aspek rasionalitas menjadi begitu penting dalam utilitarianisme. Utilitarianisme sebagai pemenuhan hasrat pada Jeremy Bentham telah mensejajarkan manusia dengan binatang. Sementara aspek happiness dalam pengertian rasionalitas yang dikembangkan John Stuart Mill telah memanusiakan manusia dan membedakannya secara jenius dari binatang.
71
Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 13. Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 15. 73 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 16. 72
Akan tetapi, persis proyek pemanusiaan manusia dengan rasionalitas inilah yang mengusik ketenangan Berlin. Proyek pemanusiaan manusia, bagi Berlin, menyimpan bibit petaka yang demikian besar. John Stuart Mill sendiri, oleh Berlin, dimasukkan ke dalam kategori pemikir liberalisme positif. Utilitarianisme secara umum, kendatipun awalnya sebagai proyek pembebasan manusia, telah menetapkan satu tujuan tertentu dalam proyek pembebasannya, yaitu kebahagiaan atau utility. Demikianlah kenapa J. S. Mill disebut sebagai pemikir liberal negatif di permulaannya, akan tetapi masuk ke kubangan liberal positif di akhir proyeknya. Sebetulnya, fondasi awal yang dibangun oleh orang semacam Bentham dan J. S. Mill adalah tegaknya individualisme. Keduanya mengutuk dengan sangat setiap bentuk kekangan terhadap kebebasan individu. Yang paling berharga dari para pemikir utilitarian ini adalah penolakannya terhadap klaim moral religius dalam kebebasan individu. Mereka menyatakan bahwa setiap manusia merupakan hakim terbaik bagi kebahagiaannya sendiri.74 Tak mungkin mungkir, bahwa utilitarianisme menjadi semacam proyek teleologis yang mengejar satu pengandaian masa depan.75 Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak
74 75
Berlin, Empat Esai, h. 309. Lihat Richard Bellamy, Rethingking Liberalism, (London & New York: Pinter, 2000), h. 32.
mungkin orang).76 Aspek mayoritarianisme adalah ancaman lain yang mungkin muncul dari utilitarianisme, dan tradisi liberalisme positif secara umum. Paradoks kebebasan ini terus ada dalam masyarakat modern yang memproklamirkan kebebasan positif. Segelintir orang kemudian merasa berhak melakukan “rasionalisasi” terhadap mereka yang tidak dianggap tidak atau kurang rasional. Proyek modernisasi dan demokratisasi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya kepada Dunia Ketiga adalah bentuk penerapan model kebebasan positif. Berlin mengusulkan dipakainya model kebebasan negatif untuk menghindari paradoks kebebasan yang ditimbulkan kebebasan positif. Kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mengejar satu nilai tertentu dari proyek kebebasannya. Jika pada pengertian positif kebebasan diletakkan sebagai instrumen untuk mengejar tujuan dalam kategori tertentu, maka pengertian negatif dari kebebasan adalah menjadikan kebebasan sebagai instrumen sekaligus tujuan. Utilitarianisme dengan sangat baik menerapkan konsep kebebasan positif di dalam dirinya. Mill sendiri, menurut Berlin, seringkali tampak membela kebebasan dengan alasan bahwa tanpanya kebenaran tidak dapat ditemukan. Dengan demikian, bagi Mill, kebebasan bernilai sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan.77 Kebebasan tidak hanya penting sejauh ia berguna untuk tujuan tertentu, akan tetapi kebebasan penting pada dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa model kebebasan positif atau positive liberty adalah bentuk monisme baru.
76 77
Kymlicka, Contemporary Political Philophy, h. 12. Berlin, Empat Esai, h. 312.
B. Value Pluralism Sebagai pemikir yang berusaha menentang dominasi pemikiran monisme, tapi tetap berada dalam arus Percerahan minus universalisme, Berlin mensistematisasi sebuah konsep yang ia sebut value pluralism. Sekalipun istilah ini dianggap oleh para komentator otentik dari Berlin,78 tetapi tampak jelas bahwa pemikiran ini adalah buah dari pembacaan dan ketertarikan dia kepada para pengkritik Pencerahan di abad ke18, yakni Giambattista Vico, Johann Gottfried Herder dan Johann Georg Hamann. Ketiga pemikir yang dibahas pada Bab III itu adalah pemikir yang mengembangkan gagasan pluralisme, terutama pluralisme nilai (value pluralismi). Gagasan value pluralism Berlin ditemukan dalam esai terkenalnya, Two Concepts of Liberty. Berlin sangat percaya bahwa nilai itu beragam. Keragaman manusia selalu mengejar nilai-nilai yang beragam pula. Keberagaman itu tidak memiliki batas, atau setidaknya batasannya tidak terprediksi. Musuh utama pluralisme adalah monisme, suatu gagasan kuno yang mengandaikan satu harmoni kebenaran yang tunggal.79 Menurut Berlin, monisme, dan keyakinan akan adanya suatu standar-standar tunggal, senantiasa merupakan suatu sumber kepuasan baik
78
Lihat John Gray, Isaiah Berlin, (New Jersey: Princeton University Press, 1984) lihat juga George Crowder, Liberalism and Value Pluralism, (London & New York: Continuum, 2002), bandingkan dengan William A. Galston, Liberal Pluralism: The Implications of Value Pluralism for Political Theory and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). 79 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, (London: Pimlico, 2001), h. 14.
bagi akal pikiran, maupun bagi emosi.80 Dengan demikian, pemikir jenis monis senantiasa mengabsolutkan kategori-kategori dan kriteria kebenaran yang mereka buat. Andai saja kategori-kategori itu dibuat lentur, maka mereka akan menemui perkembangan manusia yang tak terduga, yang boleh jadi meruntuhkan kategorikategori yang mereka yakini sebelumnya. Berlin menyatakan:
”To preserve our absolut categories or ideals at the expense of human lives offends equally against the principles of science an of history; it is an attitude found in equal measure on the right and left wings in our days, and is not reconciliable with the principles accepted by those who respect the facts.”81 (Melindungi kategori-kategori dan tujuan-tujuan absolut kita dengan mengorbankan kehidupan manusia tidak ada bedanya dengan melawan prinsipprinsip ilmu pengetahuan dan sejarah; inilah sikap, dalam tingkat yang sama, yang bisa ditemukan baik pada diri kaum sayap kanan maupun sayap kiri, dan tidak dapat didamaikan dengan prinsip-prinsip yang diyakini oleh mereka yang memberikan penghargaan kepada fakta).
Harus ditegaskan bahwa value pluralism adalah sebuah proyek yang memang diperuntukkan untuk menentang dominasi gagasan monisme, khususnya monisme moral.82 Bukan hanya utilitarianisme (seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya) yang menjadi contoh paling jelas dari monisme moral, melainkan juga imperatif kategoris Kant dan ide tentang hukum alam. Menurut Berlin, pemikiran monis adalah dasar bagi pemikiran otoritarianisme politik, dan menemukan puncak daya rusaknya pada abad ke-20. Satu garis antara monisme dan otoritarianisme 80
Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind, (London: Pimlico, 1998), hlm. 241. Berlin, The Proper. 82 Lihat Isaiah Berlin, The Power of Ideas, hlm. 11 – 14 dan The Proper Study of Mankind, h. 6-16. 81
adalah utopianisme. Monisme dan otoritarianisme membayangkan pengejawantahan angan-angan utopis tentang sebuah masyarakat yang sempurna di mana akan terjadi persetujuan universal pada jalan hidup yang tunggal. Itulah kepercayaan dan mimpi tokoh seperti Plato, Rousseau, Hegel dan Marx. Bagi Berlin, monisme tidak hanya berbahaya, tapi juga salah.83 Penting untuk dikatakan bahwa, menurut Berlin, ada nilai-nilai tertentu yang mungkin diciptakan oleh satu generasi tertentu dan itu tidak ditemukan sebelumnya: seperti ide tentang keragaman sesuatu yang dianggap baik, bahwa suatu masyarakat di mana banyak opini tentang kebaikan itu muncul, lalu semuanya bisa hidup dalam toleransi, itu lebih baik daripada masyarakat monolitik yang hanya mengakui satu pendapat tentang kebaikan dari satu orang atau sekelompok orang saja. Ide seperti ini tidak ditemukan sebelum abad ke-18, di mana pemikiran yang berkembang adalah bahwa kebenaran itu tunggal, variasi kebenaran yang lain itu salah dan bertentangan dengannya.84 Singkretisme juga adalah ide yang baru. Akhirnya, keragaman nilai adalah fakta yang tak mungkin dihindari. Beberapa komentator Berlin mencoba mensistematisasi dan mendefinisikan konsep value pluralism ini. William A. Galston menyebut sedikitnya empat ciri value pluralism: pertama, value pluralism bukanlah relativisme. Pembedaan antara kebaikan (good) dan keburukan (bad), juga antara kebaikan (good) dan kejahatan (evil), adalah sesuatu yang objektif dan secara rasional dapat dipertahankan. Kedua, 83
Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003). 84 Berlin, The Power, h. 13.
segala sesuatu yang objektif tidak dapat diurut berdasarkan tingkatan. Ini bermakna bahwa semua hal yang objektif tidak memiliki takaran umum, karena mereka secara kualitatif heterogen. Oleh karena itu, semua nilai berlaku individual dan unik pada dirinya sendiri. Tidak ada nilai tertinggi atau nilai pertama yang menjadi acuan bagi nilai-nilai yang lain. Ketiga, tiap-tiap nilai bisa menjadi dasar bagi individu untuk menentukan pilihan hidup, yang itu bisa sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Keempat, melampaui upaya untuk membuat klasifikasi nilai berdasarkan pada kualitas tertentu, maka ada satu ruang yang luas yang memberikan legitimasi bagi keragaman nilai untuk hidup dan berkembang. Kelima, tentu saja value pluralism dibedakan dari berbagai macam varian nilai yang disebut monisme. Monisme, kira-kira, melegitimasi reduksi terhadap nilai ke dalam satu takaran umum dan menciptakan hirarki dan aturan yang komprehensif bagi semua nilai.85 Sementara itu, George Crowder menyebut ada empat elemen dalam value pluralism: pertama, universal values (nilai-nilai universal). Elemen pertama ini ingin mengatakan bahwa ada nilai-nilai tertentu yang universal dan objektif. Pandangan ini tampak tidak mendukung gagasan umum Isaiah Berlin yang menolak universalisme Pencerahan, hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada bagian sub bab berikutnya. Yang bisa dikatakan di sini adalah bahwa universalitas value pluralism adalah instrumen bagi adanya distingsi yang jelas antara value pluralism dan relativisme. Pembedaan dengan relativisme sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa value pluralism mengakui adanya nilai-nilai yang bersifat transhistoris dan bergerak melampaui 85
Galston, Liberal Pluralism, h. 5 – 6.
batas-batas kultural. Arti lain dari universalitas value pluralism adalah bahwa nilai ini sangat objektif. Pengertian objektif di sini tidak hanya dalam arti bahwa nilai-nilai itu benar-benar adalah nilai, tetapi memang bernilai bagi keberadaan manusia dan perkembangannya.86 Kedua, Pluralitas. Meskipun bersifat universal, gagasan value pluralism juga mengandung unsur pluralitas. Berlin sendiri selalu menekankan adanya variasi nilai, tujuan dan arti hidup. Banyak komentator lain yang menegaskan adanya variasi nilai ini dalam beragam klasifikasi. Thomas Nagel menganalisisi “the fragmentation of values” (fragmentasi nilai-nilai) ke dalam empat tipe fundamental: specific obligation (kewajiba khusus), general rights (hak-hak umum), utility (utilitas), perfectionist ends or values (tujuan atau nilai-nilai perfeksionis), dan commitments to one’s own projects (komitmen kepada proyek pribadi).87 Pluralitas yang ada dalam value pluralism menunjukkan bahwa pada dirinya, secara inheren, nilai-nilai itu kompleks dan mengandung banyak komponen.88 Ketiga, segala komponen yang kompleks yang terkandung dalam nilai-nilai begitu berbeda, sehingga pada tingkat yang radikal nilai-nilai itu tidak bisa diperbandingkan atau incommensurable. Incommensurability setidaknya memiliki tiga makna: incomparable, immeasurable, dan unrankable.89 Makna pertama adalah bahwa nilai-nilai tidak bisa diperbandingkan, cannot be compared. Kita tidak
86
Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 45. Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 47. 88 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 2. 89 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 49 – 54. 87
mungkin melakukan perbandingan terhadap nilai-nilai yang memang berbeda. Karena perbedaan itu, maka nilai-nilai juga tidak bisa ditakar dengan menggunakan ukuran dan kategori nilai tertentu. Jika ingin menakar nilai, maka takaran harus dibuat menurut prinsip-prinsip yang dimiliki oleh nilai-nilai itu. Tapi karena semuanya berbeda, maka takaran menjadi tidak relevan. Karena menakar nilai adalah sesuatu yang tidak relevan, maka mencoba mengklasifikasi nilai berdasarkan mutu dan kualitas tertentu juga menjadi tidak relevan. Keempat, karena nilai-nilai itu berbeda, maka konflik adalah konsekuensi yang kerapkali tidak bisa dihindarkan. Nilai-nilai yang berbeda itu, pada tingkat tertentu, akan masuk dalam kancah konflik antara satu dengan yang lainnya.
90
Konflik antar nilai tidak hanya terjadi pada tataran objektif di luar individu, tetapi konflik nilai terlah terjadi ketika seseorang akan menjatuhkan pilihan nilai yang akan dianut atau digunakan. Di dalam diri individu, telah ada nilai yang rasional, yang kurang rasional, yang emosional, dan lainnya, mereka berebut posisi untuk mendominasi kehidupan individu. Konflik antar nilai adalah sebuah keniscayaan dalam value pluralism. Pluralisme secara umum memiliki banyak sumber yang bervariasi. Diantara variasi sumber itu dapat ditarik benang merah bahwa kaum pluralis percaya kepada adanya keragaman nilai, baik moral maupun non moral, yang tidak kompatibel secara
90
Crowder, Liberalism and Value Pluralism.
inheren dan berkesinambungan, bahkan tidak bisa dibandingkan.91 Menurut Bellamy, perbedaan nilai serta konfliknya adalah bentuk pengetahuan bagi kita: mereka adalah sesuatu yang objektif.
D. C. Liberalisme Pluralis Upaya Berlin untuk menjernihkan posisinya dengan mengemukakan gagasan value pluralism dan penolakannya terhadap universalisme atau monisme ternyata tidak tanpa masalah. Persoalan posisi ini bahkan menjadi sangat rumit. Pelbagai komentator berdebat serius tentang bagaimana memposisikan Berlin dalam ranah perdebatan kaum pluralis dan kaum liberalis. Persoalan ini rumit karena ketika Berlin ingin ditempatkan sebagai kaum liberal, maka ia akan masuk ke dalam labirin universalisme yang dikritik sendiri oleh Berlin. Kita telah membahas bagaimana Berlin menemukan tendensi monis dalam upaya memberikan otonomi bagi individu atau liberalisme. Tetapi memasukkan Berlin ke dalam kubu pluralis akan rentan terseret arus relativisme. Ketiadaan nilai universal yang diandaikan kaum pluralis adalah ungkapan yang bisa menjebak ke dalam kesimpulan relativisme. Hal ini diperparah oleh ungkapan Berlin yang selalu menolak disebut sebagai universalis atau monis tapi juga menolak disebut relativis. Ada ketegangan yang sangat kuat, kendati juga sangat tipis, di antara kedua konsep ini.
91
Lihat Richard Bellamy, Liberalism and Pluralism: Toward a Politics of Compromise, (London and New York: Routledge, 1999), h. 3.
Dalam pelbagai kesempatan, terutama ketika membahas pluralisme atau value pluralism, Berlin selalu menegaskan bahwa ia bukanlah seorang relativis. Berlin mengatakan, “I am not a relativist; I do not say ‘I like my coffee with milk and you like it without; I am in favour of kindness and you prefer concentration camps’—each of us with his own values, which cannot be overcome or integrated” (saya bukanlah seoarang relativis; saya tidak mengatakan bahwa saya suka kopi dengan susu saya dan kamu menyukai kopi tanpa susu; saya senang dengan kesenangan dan kamu memilih kamp konsentrasi’—setiap kita memiliki nilai masing-masing yang tidak bisa diatasi atau diintegrasikan).92 Tampaknya
Berlin
sadar
betul
bahwa
gagasan
pluralismenya
bisa
menjerumuskan ia ke dalam relativisme, dan ini adalah makanan empuk bagi para kritikusnya. Gagasan pluralisme yang dikembangkan oleh Berlin bukanlah relativisme. Bagi Berlin, nilai-nilai itu objektif, yakni bahwa mereka memiliki karakter dan menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan ini adalah sesuatu yang terberi secara objektif. Fakta bahwa laki-laki adalah laki-laki dan perempuan adalah perempuan, bukan anjing, kucing, meja, sepatu atau yang lainnya adalah sebuah fakta objektif; dan bagian dari fakta objektif ini adalah bahwa ada nilai tertentu yang bisa dicapai oleh manusia.93 Jika saya adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki imajinasi yang memadai, maka saya bisa masuk ke dalam sistem nilai yang sebetulnya bukan milik saya. Hal ini mungkin, menurut Berlin, karena ada
92 93
Berlin, The Power, h. 11. Berlin, The Power, h. 12.
komunikasi dan dengan itulah toleransi menjadi mungkin. Dengan demikian, pluralisme ala Berlin jelas bukanlah relativisme. Kendati Berlin berusaha menjelaskan bahwa konsep pluralismenya atau penolakannya terhadap monisme dan universalisme bukan relativisme, tetapi Berlin ternyata tidak cukup mampu memberikan keyakinan yang utuh kepada para komentatornya. John Gray mencoba melacak konsistensi Berlin mengenai liberalisme dan value pluralism yang diandaikannya. Menurut Gray, jika Berlin konsisten dengan value pluralism, di mana semua nilai memiliki unsur incommensurability atau tidak bisa diperbandingkan, maka sebetulnya liberalisme, juga dalan pengertian liberalisme negatif, hanyalah merupakan produk budaya tertentu. Dengan demikian, liberalisme tidak bisa dibandingkan dengan equality (kesamarataan), misalnya. Jika konsisten dengan value pluralism, seharusnya Berlin tidak cenderung mengafirmasi nilai tertentu, yakni liberalisme dan pluralisme, sementara nilai yang lain dieksklusi.94 Keyakinan seperti ini memiliki implikasi yang cukup jauh sampai kepada level kebijakan negara. Jika value pluralism membenarkan pendapat bahwa nilai kejahatan dan kebaikan adalah sesuatu yang tidak bisa diperbandingkan, maka negara seharusnya tidak bisa mengambil satu justifikasi rasional untuk melakukan klasifikasi nilai yang ada di masyarakat. Akibatnya, negara juga seharusnya bisa memberikan peluang bagi munculnya nilai-nilai otoritarian atau mengeluarkan kebijakankebijakan yang tidak membebaskan.
94
Gray, Isaiah Berlin, h. 144.
John Gray mengakui kebenaran konsep value pluralism yang dikembangkan oleh Berlin, tetapi konsep itu memiliki sebuah ‘enormous subversive force’ (kekuatan subversif yang amat besar).95 Dalam hal ini, bagi Gray, pluralisme tidak hanya gagal mendukung liberalisme, bahkan secara positif ia merusak banyak bentuk pemikiran politik liberal. Kontradiksi pluralisme dan liberalisme terletak pada pokok klaim pluralisme yang mengatakan bahwa nilai itu tak dapat diperbandingkan (incommensurability)
yang
berimplikasi
secara
langsung
kepada
culture
incommensurability. Oleh karenanya, pluralisme meniadakan formula universal bagi tingkatan kebaikan seperti kebebasan dan equality. Akhirnya, semua budaya memiliki kearifan lokal sesuai dengan takarannya masing-masing, dan mereka hanya mungkin dievaluasi melalui standar-standar yang ditetapkan oleh masing-masing budaya itu. Budaya liberal, dengan demikian, dipahami berasal dari budaya tertentu, yang belum tentu baik bagi budaya yang lain. Bagi Gray, Berlin memang berangkat dari liberalisme, tapi ia jatuh ke dalam pluralisme, yang dipahami sebagai relativisme, sesuatu yang berulangkali ditegaskan oleh Berlin tidak dianut. Pembacaan Gray terhadap Berlin tentu bukan satu-satunya bacaan. Ada banyak komentator lain yang mencoba menjelaskan penegasan Berlin mengenai penolakan ia disebut sebagai relativis. Di samping penolakannya disebut sebagai relativis, ada beberapa fakta yang tidak boleh diabaikan. Di satu sisi Berlin memperkenalkan konsep value pluralism sebagai bentuk perlawanan terhadap monisme. Berlin juga membuat dikotomi dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan 95
Gray, Isaiah Berlin, h. 1.
positif dan kebebasan negatif, di sisi lain. Dua fakta ini tentu tidak hadir begitu saja tanpa ada rasionalisasi yang jelas. Menurut George Crowder, kritikan Gray terhadap model liberalisme Berlin menyimpan kesalahan yang cukup mendalam. Gray tampak tidak bisa secara jernih membedakan antara value pluralism dan cultural relativism (relativisme kultural). Cultural relativism adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip atau nilai-nilai moral yang dapat diterapkan secara universal, yang ada hanya keputusan-keputusan moral tertentu yang berasal dari kode moral budaya tertentu. Interaksi antar budaya tidak dimungkinkan, sebab standar budaya luar dianggap sebagai asing dan tidak kapabel untuk budaya sendiri. Cultural relativism mengandaikan bahwa budaya-budaya memiliki otoritas moralnya masing-masing. Dengan begitu, liberalisme, dalam pandangan ini, tidak lebih dari suara politis dari budaya tertentu, yang tidak memiliki makna apa-apa bagi budaya lain. Bagi Crowder, pendapat Gray ini menyesatkan sebab Berlin sendiri menegaskan bahwa pluralisme dan relativisme adalah dua gagasan yang sungguh berbeda.96 Sementara Gray mengatakan bahwa gagasan pluralisme Berlin memiliki implikasi relativisme.97 Crowder berusaha mempertahankan keyakinannya bahwa liberalisme dan value pluralism atau pluralisme yang dianut oleh Berlin tidak harus dipertentangkan. Gagasan pluralisme Berlin, bagi Crowder, bukanlah gagasan final, gagasan ini justru berimplikasi atau mengandaikan liberalisme. Crowder menyatakan bahwa argumen
96 97
Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin. Gray, Isaiah Berlin, h. 63 – 65.
Berlin mengenai ‘dua konsep kebebasan’ sebetulnya memiliki dua fondasi utama dari pertautan antara pluralisme dan liberalisme. Pertama, ada argumen yang sangat eksplisit dalam pluralisme, yaitu bahwa kita diberi alasan bagi pilihan nilai, yang oleh karenanya kebebasan memilih menjadi niscaya, sesuatu yang sangat ditekankan oleh kaum liberal. Kedua, penegasan Berlin mengenai konflik antar nilai dan incommensurability membutuhkan pendekatan politik yang anti-utopianisme.98 Bagi kaum pluralis, skema-skema politik yang bertujuan pada realisasi harmonis dari semua kebaikan manusia harus dicurigai dan memang mengandung utopianisme. Yang dengan demikian, anti-utopianisme mencermintan penolakan terhadap rival tradisional liberalisme, yaitu Marxisme dan anarkhisme. Bagi Berlin, menurut Crowder, jika nilai-nilai itu plural dan tidak bisa diperbandingkan, maka kita harus membuat pilihan serius di antara nilai-nilai yang berkonflik itu, lalu dengan demikian kita musti menempatkan sebuah nilai spesial yang kita pilih secara bebas.99 Pada titik ini, pengorbanan menjadi satu hal yang niscaya. Bagi Crowder, Berlin bukanlah relativis karena ia menekankan klaim moral legitimate yang dibingkai oleh serangkaian kebaikan universal. Variasi tujuan manusia tidak bisa tidak dibatasi, karena bagaimanapun kodrat manusia itu selalu berbeda dan memiliki tujuan-tujuan hidup yang beragam.100 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Berlin adalah seorang liberal pluralis. Pertentangan pluralisme dan liberalism menjadi tidak relevan dalam pemikiran 98
Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 78 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 79 100 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 80 99
Berlin. Pilihan liberalisme negatif dan value pluralism bukan tanpa alasan. Berlin seolah-olah ingin mengatakan bahwa pilihan liberalisme dan pluralisme secara tajam menyimpan masalah yang besar. Oleh karena itu, Berlin berdiri pada posisi yang tragis. Berlin masuk ke dalam dunia remang yang di sana terdapat irisan yang sangat tipis antara liberalisme dan pluralisme. Ketika mengkritik liberalisme, Berlin bisa tampak seperti seorang pluralis tulen. Tetapi ketika menolak pluralisme, Berlin berlagak liberal. Akhirnya, Berlin bisa disebut sebagai seorang liberal pluralis. Berlin adalah penganut liberalisme pluralis. Pluralisme nilai yang ia andaikan bersifat universal. Akan tetapi nilai universal yang ia andaikan juga harus bersifat pluralis.
Gagasan Kebebasan dalam Islam Gagasan kebebasan model Isaiah Berlin mungkin adalah gagasan yang sangat unik, karena ia menolak universalisme Pencerahan dengan memakai logika dasar Pencerahan itu sendiri, yakni kebebasan individu. Fakta bahwa Berlin bergelut dengan dilema antara liberalisme yang cenderung universalis dan pluralisme yang kerap dinilai relativis menyimpan semangat untuk menolak segala bentuk pengkultusan atau absolutisme terhadap satu nilai. Sebab, setiap nilai memiliki cacat dan potensi yang sangat berbahaya jika nilai-nilai itu tidak diantisipasi. Universalisme dalam liberalisme bisa membawa kepada otoritarianisme, sementara relativisme
dalam
pluralisme
cenderung
melegitimasi
anarkisme.
Baik
otoritarianisme maupun anarkisme adalah dua hal yang begitu mengganggu kehidupan modern. Berlin seolah-olah ingin mengatakan bahwa mari kita menjalani
hidup dengan sebuah kewaspadaan. Kita harus mampu mengantisipasi kecenderungan otoritarianisme dan anarkisme yang mungkin muncul dari pilihan sistem kehidupan yang kita pakai, apapun itu. Dalam konteks pemikiran Islam, gagasan ini memperoleh legitimasi ketika kita membaca bagaimana gagasan liberalisme itu mulai tumbuh dalam pemikiran Islam. Menurut M. Dawam Rahardjo, gagasan liberalisme Islam telah dimulai oleh dua ulama besar Islam, Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani.101 Dari kedua tokoh ini, menurut Dawam, terutama Abduh, lahir rentetan pemikir Islam yang mengawal gagasan liberalisme. Di antara murid Abduh yang paling terkenal adalah Ali Abd al-Raziq. Raziq, misalnya, telah mempertanyakan tentang apakah kekhalifahan itu perlu? Raziq juga menggugat bahwa apakah memang ada konsep atau sistem pemerintahan yang islami? Bagi Raziq, beberapa bentuk kekuasaan politik memang diperlukan, tetapi tidak mesti dalam bentuk khusus. Bahkan, umat pun tidak harus dipersatukan secara politik. Raziq meyakini bahwa Islam tidak menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri: Islam justru memberi kebebasan sepenuhnya untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi dengan pertimbangan tuntutan sosial dan perkembangan zaman.102
101
Dawam Rahardjo mengemukakan hal itu dalam ceramah diskusi Jejak-jejak Liberalisme di Indonesia, Jakarta, 16 November 2006 (hasil ceramah belum dipublikasikan). 102 Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 193 – 195.
Menurut Dawam, Gagasan liberalisme dari murid-murid Abduh itulah yang nantinya menginspirasi para pemikir Islam liberal di Indonesia. Para pemikir liberal awal Indonesia itu adalah Haji Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara dan yang lainnya. Dawam menegaskan bahwa sebetulnya gagasan Islam liberal bahkan liberalisme itu sendiri sebetulnya dipelopori oleh Soekarno, meskipun secara verbal Soekarno menolak istilah liberalisme. Di antara gagasan liberal Soekarno adalah wacana pengembangan kesetaraan gender dan penolakannya terhadap gagasan negara Islam. Jejak liberalisme Islam juga bisa ditemukan dalam pemikiran Haji Agus Salim ketika ia menolak pemisahan tempat duduk antara perempuan dan laki-laki dalam acara-acara pertemuan umum.103 Tentu saja, puncak gagasan liberalisme Islam di Indonesia ada di tangan Nurcholish Madjid. Gagasan pemikiran Islam liberal Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) dideklarasikan ketika ia menulis artikel berjudul, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”, yang disampaikan pada pertemuan silaturrahmi para aktivis Persami, HMI, GPI, dan PII yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta di Jakarta, 3 Januari 1970.104 Dalam artikel tersebut, Cak Nur memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah kemajuan dan integrasi umat Islam yang mulai dilemahkan oleh keterpecahbelahan karena paham-paham dan kepartaian politik. Melalui ide sekularisasi dan Islam Yes,
103
Dawam Rahardjo, Jejak-jejak LIberalisme. Lihat Budhy Munawar-Rachman (ed.), Ensiclopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran di Kanvas Peradaban, (Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006), h. Lx – lxi.
104
Partai Islam No?105 Cak Nur hendak mengajak ummat Islam untuk memecahkan kebuntuan pemikiran dan kreativitas ummat Islam yang terpasung oleh pelbagai bentuk kejumudan. Karena itulah Cak Nur mengumandangkan pentingnya kebebasan berpikir, the idea of progress (ide tentang kemajuan), sikap terbuka, serta kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan apa yang menurut istilah Cak Nur psikological striking force (daya tonjok psikologis) yang akan menumbuhkan pemikiran-pemikiran segar.106 Setelah Cak Nur, gagasan liberalisme Islam itu terus berkembang bahkan semakin mencapai titik radikal. Muncul tokoh seperti Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ulil Abshar-Abdallah dan yang lainnya. Radikalisasi pemikiran Islam liberal itu tampak pada penegasan mereka tentang liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Abdurrahman Wahid, misalnya, tidak lagi ragu untuk mengakui keberadaan kelompok-kelompok lain. Gus Dur (panggilan akrab Abdurrahman Wahid) tanpa sungkan dan bahkan sangat rajin melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tertindas, sesuatu yang cukup sulit ditemukan dalam kehidupan Cak Nur. Jika Cak Nur berusaha menghindari sekularisme dalam gagasannya, lalu ia menawarkan konsep sekularisasi yang dinilai lebih halus, maka tokoh seperti M. Dawam Rahardjo malah menegaskan konsep
105
Islam Yes, Partai Islam No? Menjadi salah satu sub bab dalam artikel Cak Nur tersebut. Lihat Rachman. H. Lxi, lihat juga Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Soucebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 485. 106 Rachman, Ensiklopedi.
sekularisme.107 Bagi Dawam, bukan sekularisme yang harus ditolak, melainkan kita harus mencari konsep atau model sekularisme yang bisa diterapkan di Indonesia. Secara umum, gagasan kebebasan yang diusung oleh Isaiah Berlin memperoleh legitimasi dalam kancah pemikiran liberal Islam. Para pemikir liberal Islam begitu kuat menentang segala bentuk dogmatisme tradisional, tetapi juga tidak terjebak dalam perangkap absolutisme pemikiran Barat. Posisi seperti inilah yang diharapkan
muncul
oleh
Berlin.
Berlin
jelas
menolak
dogmatisme
atau
otoritarianisme tradisional, tetapi juga begitu takut dan melawan kemungkinan munculnya absolutisme modernitas. Dilema harus selalu ada sebab dengan begitu kritisisme akan selalu hadir. Sementara jika satu konsep telah ditetapkan absolut, maka pada saat itu pula kemungkinan sikap kritis menjadi tertutup. Berlin tidak hendak menjadi kaum utopis yang membayangkan kehidupan harmoni tanpa celah. Dilema pemikiran Berlin justru sebagai penegas bahwa kehidupan ini memang dipenuhi dengan duri dan konflik. Meskipun demikian, kita tetap bisa menata kehidupan itu, agar dampak luka dan konfliknya tidak terlalu besar. Mari mengatur kehidupan ini secara alamiah, tanpa harus membayangkan sesuatu yang tampak indah namun utopis.
107
Dawam Rahardjo menegaskan pendiriannya itu dalam pelbagai forum, sayang hasil publikasinya belum maksimal.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pengalaman hidup Berlin yang diwarnai peristiwa-peristiwa besar dunia seperti Perang Dunia dan munculnya idiologi-idiologi totalitarian membuatnya menjadi pemikir yang sangat kritis terhadap semua pemikiran yang berkembang di dunia modern. Berlin tidak larut dalam euforia kemenangan modernitas dengan rasionalisme sebagai panglimanya. Berlin tumbuh sebagai pemikir rasional yang tidak penurut. Ia mengkritik secara rasional rasionalitas yang ia miliki sendiri. Pertama-tama, Berlin mengungkap ketidaksahihan kebenaran yang diandaikan oleh rasionalitas dan semua pengandaikan kebenaran yang berasal dari eksplorasi kecakapan kemanusiaan. Melalui tiga pengkritik Pencerahan, Vico, Hamann dan Herder, Berlin menemukan bahwa klaim kebenaran kaum Pencerahan, yang merayakan kemanusiaan (subjektivitas), menyimpan tendensi universalistik atau monisme, sesuatu yang sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri. Manusia sangat tidak valid bicara kebenaran, apalagi kebenaran yang kemudian diabsolutkan, karena manusia memiliki banyak kelemahan dan terutama karena manusia bukanlah pencipta.
Sebagai anak kandung Pencerahan, Berlin kemudian tumbuh menjadi pemikir liberal. Akan tetapi, liberalisme yang ia anut harus bersih dari tendensi universalisme. Berlin kemudian membuat dua ketegori liberalisme: liberalisme positif (positive liberty) dan liberalisme negatif (negative liberty). Berlin mengatakan bahwa hampir semua pengendaian kebebasan yang dianut dalam tradisi Pencerahan mengadopsi model kebebasan positif. Kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang menempatkan individu sebagai subjek yang bebas mengekspresikan diri sesuai dengan keinginannya. Refleksi diri inilah yang ditolak oleh Berlin, karena ia akan menjadi legitimasi bagi praktek dominasi, dan pada tingkat yang ekstrim akan menjadi alasan bagi otoritarianisme. Sementara kebebasan negatif sekedar ingin menyatakan bahwa seseorang dikatakan bebas ketika ia tidak terhalangi dalam mencapai apa yang ia inginkan. Jika kebebasan positif ingin menjawab pertanyaan “apa atau siapa yang menentukan atau menjadi kontrol terhadap apa yang ingin dilakukan oleh individu?,” maka kebebasan negatif menjawab pertanyaan, “sampai batas mana individu bebas bertindak sesuai dengan apa yang ia inginkan?” Penolakan keras Berlin terhadap universalisme Pencerahan adalah ketika ia mengkonsepsikan value pluralism. Value pluralism mengandaikan bahwa ada banyak nilai yang satu sama lain tidak bisa diperbandingkan (incommensurabity). Nilai-nilai ini memiliki karakter yang unik dan berada pada wilayah yang berbeda-beda, sehingga kita tidak mungkin melakukan klasifikasi dan perbandingan. Di sana tidak ada klaim baik dan buruk. Tetapi bukan berarti bahwa dengan demikian Berlin
menjadi penganut relativisme. Value pluralism bukan relativisme, sebab value pluralism diandaikan belaku universal dalam sebuah budaya dan nilai yang ada. Dengan demikian, negative liberty dan value pluralism adalah wilayah abuabu yang bergerak antara liberalisme dan pluralisme. Berlin menolak tendensi universalisme dalam liberalisme, tetapi juga berhati-hati terhadap kecenderungan relativisme dalam pluralisme. Berlin adalah seorang liberal yang pluralis.
B. Evaluasi Kritis Membaca karya seorang pemikir, kendatipun begitu luar biasa hebat, tidak mesti membuat pembaca larut dan kehilangan jati dirinya. Hemat penulis, pemikiran tokoh seperti Berlin memang kerapkali begitu memukau, tetapi dengan itu pula pembaca seringkali terjebak dalam penjara taklid. Oleh karena itu, sikap kritis harus selalu muncul dalam proses pembacaan ini. Penulis menyarankan agar hati-hati dengan perangkap inkonsistensi yang sengaja dipasang oleh Berlin dalam karya-karyanya. Umumnya, kritikan utama yang diajukan kepada Berlin adalah bahwa ia tampak tidak konsisten terhadap pilihan konsep yang ia ajukan, yakni pilihan liberalisme yang tidak universalis tapi juga pluralisme yang bukan relativis. Posisi ini, meski sangat unik, sangat rentan menjadi pintu masuk para kritikus untuk membongkar pengandaian-pengandaian dasar dari semua bangunan konsepsi Berlin. Argumentasi Berlin untuk menolak universalisme Pencerahan dengan memakai alat Pencerahan yang ditolaknya adalah paradoks yang luar biasa. Bagaimana mungkin menolak pengejawantahan diri rasional dengan
melakukan pengejawantahan diri yang lain? Argumen utama dari tradisi Pencerahan adalah penolakannya terhadap dogmatisme, absutisme dan universalisme. Bukankah penolakan Berlin terhadap universalisme Pencerahan adalah bentuk kerja Pencerahan itu sendiri? Perangkap lain yang sengaja diciptakan oleh Berlin adalah mengenai dikotomi dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Berlin seolah tidak cukup mampu memberikan penjelasan yang jernih mengenai dua pembedaan konsep kebebasan itu. Freedom to dan freedom from tampak menjadi sesuatu yang identik belaka. Kebebasan individu untuk melakukan sesuatu atau untuk mengejawantahkan diri menjadi mungkin jika ia tidak terhalangi. Konsepsi ini bisa diterima jika kita sadar bahwa proyek utama Berlin adalah untuk menolak tendensi monisme dan ingin agar kebebasan menjadi suatu konsep yang tidak terlalu ideal kemudian jatuh ke dalam utopianisme. Tetapi, sebagai konsep, pembedaan itu tampak tetap rapuh. Ketidak-jelasan posisi Berlin terhadap pluralisme dan liberalisme tentu menjadi kritikan yang cukup besar bagi Berlin. Penolakannya terhadap universalisme kebebasan dan relativisme pluralisme menjadikannya pemikir yang seolah tanpa pijakan. Berlin menyerang universalisme dengan menggunakan logika relativisme, tetapi menolak relativisme dengan menggunakan pengandaian universalisme. Faktanya, kedua-duanya ditolak, dan pada saat yang sama juga diafirmasi. Dengan demikian, semua konsepsi Berlin menjadi sangat politis. Konsepkonsep itu dipergunakan pada saat menghadapi hal-hal tertentu. Konsep Berlin tidak
mungkin diambil secara utuh untuk menyelesaikan problem yang berbeda. Kita hanya mungkin mengambil salah satu konsep Berlin untuk menyelesaikan persoalan tertentu, sambil mencoba menyembunyikan konsep lain agar tidak menjadi perusak, demikian sebaliknya. Akhirnya, bisa dikatakan, bahwa sebetulnya Berlin tidak berdiri pada posisi manapun. Sekalipun demikian, tingkat ketajaman berpikir dan kritisisme yang dikembangkan oleh Berlin tetap merupakan sumbangan yang sangat berarti. Berlin menjadi penganut Pencerahan dalam pengertian yang sebenarnya. Berlin selalu diliputi keraguan, sehingga tidak ada konsep yang bisa berdiri utuh di hadapannya, karena akan selalu ia periksa dan, jika perlu, dihancurkan. Penghancuran itu sendiri akan menjadi konsepsi baru yang akan diperiksa kembali oleh Berlin. Kemudian, ia mungkin akan melakukan rekonstruksi atau pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rujukan Primer Berlin, Isaiah, Concepts and Categories: Philosophical Essays, London: Pimlico, 1999. ---------, Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press, 1992. ---------, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004. ---------, Freedom and It’s Betrayal: Six Enemies of Human Liberty, Princeton: Princeton University Press, 2002. ---------, Karl Marx: His Life and Environment, New York: A Galaxi Book, 1963. ---------, Liberty, Oxford: Oxford University Press, 2002. ---------, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, New York: Simon and Schuster, 1953. ---------, The Magus of The North: J. G. Hamann and The Origins of Modern Irrationalism, London: John Murray, 1993. ---------, The Power of Ideas, London: Pimlico, 2001. ---------, The Proper Study of Mankind, London: Pimlico, 1998. ---------, The Roots of Romanticism, London: Pimlico, 2000. ---------, The Sense of Reality, London: Pimlico, 1997. ---------, Three Critics of The Enlightenment: Vico, Hamann, Herder, London: Pimlico, 2000.
B. Rujukan Sekunder Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, terj. Alois A. Nugroho dan J. M. Subijanta, Asal-usul Totalitarianisme: Jilid II, Imprealisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. ---------, The Origins of Totalitarianism, terj. J. M. Subijanta, Asal-usul Totalitarianisme: Jilid III, Totalitarianisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Beiser, Frederick C., The Cambridge Companion to Hegel, Cambridga: Cambridge University Press, 1993. Bellamy, Richard, Rethinking Liberalism, London & New York, Pinter, 2000. ---------, Liberalism and Pluralism: Towards a Politics of Compromise, London dan New York: Routledge, 1999. Bertens, K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981. Binder, Leonard, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Keritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Boaz, David (ed.), The Libertarian Reader: Classic and Contemporary Readings from Lao-tzu to Milton Friedman, New York: The Free Press, 1997. Cohen, Marshall, The Philosophy of John Stuart Mill: Ethical, Political, and Religious, New York: The Modern Library, 1961. Crowder, George, Liberalism and Value Pluralism, London & New York: Continuum, 2002. ---------, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin, (esai yang dipresentasikan di Universitas Tasmania, Hobart, 29 September – 1 Oktober 2003). Flatman, Richard E., Toward A Liberalism, Ithaca and London: Cornell University Press, 1989.
Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992. ---------, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order, terj. Masri Maris, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Galston, William A., Liberal Pluralism: The Implikations of Value Pluralism for Political Theory and Practice, Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Gray, John, Isaiah Berlin, New Jersey: Princeton University Press, 1995. ---------, Post Liberalism: Studies in Political Thought, London and New York: Routledge, 1993. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Hayek, Friedrick A., The Constitution of Liberty, Chicago: The University of Chicago Press, 1960. Jerry Z. Muller, The Mind and The Market: Capitalism in Modern European Thought, New York: Alfred A. Knope, 2002. Kurzman, Charles (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003. Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosphy: A Introduction, New York: Oxford University Press, 1990. ---------, Multicultural Citizenship, New York: Oxford University Press, 1995. ---------, The Rights of minority Cultures, New York: Oxford University Press, 1995. Lilla, Mark dkk. (ed.), The Legacy of Isaiah Berlin, New York: New York Review Book, 2001. Mendos, Susan, Toleration and The Limits of Liberalism: Issues in Political Theory, London: The MIT Press, 1995. Mill, John Stuart, On Liberty, New Haven: Yale University Press, 2003.
---------, Utilitarianism, Oxford: Oxford University Press, 2001. ---------, Willful Liberalism: Voluntarism and Individuality in Political Theory and Practice, Ithaca & London: Cornell University Press, 1992. Nozick, Robert, Anarchy, State, and Utopia, New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1974. Rapar, J. H., Filsafat Politik: Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Rachman, Budhy Munawar (ed.), Ensoklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006. Rawls, John, A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press, 2000. ---------, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1996. Ruggiero, Guido de, The History of European Liberalism, Oxford: Oxford University Press, 1927. Sandel, Michael J., Liberalism and The Limits of Justice, Cambridge: Cambridge University Press, 1982. --------- (ed.), Liberalism and It’s Critics, New York: New York University Press, 1984. Sen, Amartya, Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, New York: Oxford University Press, 1982. ---------, Development as Freedom, New York: Alfred A. Knop, Inc., 2000. Straus, Leo and Joseph Cropsey (ed.), History of Political Philosphy, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1987. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. Williams, Robert R. (ed.), Beyond Liberalism and Communitarianism: Studies in Hegel Philosphy of Right, New York: State University of New York Press, 2001.
Zakaria, Fareed, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, New York: W. W. Norton and Company, 2003.