Sutam, Mendidik Insan Berilmu yang Berhati Teduh, ...
151
MENDIDIK INSAN BERILMU YANG BERHATI TEDUH, BERPIKIR SOLUTIF DAN BERTINDAK ETIS: MENCARI SEBUAH HUMANISME INTEGRAL DI TENGAH KRISIS ANTROPOLOGIS Inosensius Sutam Program Studi Pendidikan Teologi, STKIP St. Paulus Jl. Ahmad Yani, No. 10, Ruteng 86508 e-mail:
[email protected]
Abstract: To Educate a Human Having Science, Calm Heart, Solutive Thought, and Ethical Action: To Search an Integral Humanism in the Midst of an Antrhopological Crisis. To educate is the whole efforts of transforming someone, that he/she becomes a qualified human being, or human of a golden heart. The golden human is a scientific person, having a calm heart, having a solutive thought, and ethical action. Having a science, or to possess a science is very important to support human existence. Here, we often face with agitation between to have and to be. Therefore, we need harmony in three centres of power within human’s self, namely heart, thought, and action. A calm heart becomes the source of beauty (beautiful-ugly), and spirituality (sanctity-wicked). The thought becomes the source for rationality (rightwrong), that can give way out toward all problems that are faced by human. The contents of heart and mind are expressed in action. Human’s activity (actus humanus) is sourced on ethics (good–evil). Humans with a calm heart, solutive mind, ethical action, will be the integral human, and that matter will yield/ result an integral humanism, namely the holistic notion/understanding on human, where all one’s life facets/aspects get the same and equal attention. Keywords: to educate, having a calm heart, having a solutive thought, having ethical action, integral humanism Abstrak: Mendidik insan berilmu yang berhati teduh, berpikir solutif dan bertindak etis: mencari sebuah humanisme integral di tengah krisis antropologis. Mendidik adalah seluruh upaya untuk mentransformasikan seseorang, sehingga ia menjadi manusia bermutu atau manusia (berhati) emas. Manusia emas adalah orang yang berilmu, berhati teduh, berpikir solutif dan bertindak etis. Berilmu atau memiliki ilmu sangat penting untuk mendukung keberadaan manusia. Di sini sering kita berhadapan dengan ketegangan antara memiliki dan ada. Karena itu kita membutuhkan keharmonisan dalam tiga pusat kekuatan dalam diri manusia, yaitu hati, pikiran, dan tindakan. Hati yang teduh menjadi sumber keindahan (indahjelek) dan spiritualitas (suci-jahat). Pikiran menjadi sumber rasionalitas (benar-salah), yang dapat memberi jalan keluar terhadap semua masalah yang dihadapi manusia. Isi hati dan pikiran diungkapkan dalam tindakan. Tindakan manusiawi (actus humanus) bersumberkan etika (baik-buruk). Manusia yang mempunyai hati teduh, pikiran solutif, dantindakan etis akan menjadi manusia integral, dan hal itu akan menghasilkan sebuah humanisme integral, yaitu pemahaman yang menyeluruh tentang manusia, di mana semua aspek kehidupannya mendapat perhatian yang sama dan seimbang. Kata Kunci: berhati teduh, berpikir solutif, bertindak etis, humanisme integral
PENDAHULUAN Setiap tahun, keluarga besar Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) St. Paulus Ruteng menghasilkan sarjana, yang adalah insan berilmu, dan hal itu tentu membuat lembaga ini
merasa bangga, gembira dan bahagia. Keluarga besar STKIP layaknya seperti seorang ibu yang melahirkan: seiring dengan usianya yang semakin dewasa dan matang, rahim Alma Mater STKIP semakin lebar, besar dan kuat untuk melahirkan
151
152
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 151–160
anak-anak (insan berilmu) yang semakin banyak dengan kualitas yang semakin bagus. Menjadi rahim secara intelektual, moral dan spiritual mungkin itulah yang ditunjukkan oleh oleh judul tulisan ini: Mendidik insan berilmu yang berhati teduh, berpikir solutif dan bertindak etis yang diambil dari motto (visi) ketua STKIP St. Paulus Ruteng, Dr. Yohanes Servatius Boy Lon, MA. Judul ini tentu menjadi pesan dan roh bagi semua civitas akademika STKIP St. Paulus Ruteng. Para sarjana yang menyelesaikan studinya setiap tahun dapat dianggap sebagai anak-anak sukses. Sepenggal doa bijak yang diucapkan orang Manggarai pada kesempatan wuat wa’i (pada saat seseorang merantau termasuk juga pada saat melanjutkan pendidikan) cocok dikenakan pada mereka: Mori kudut kolé tanan tai hia ba emas ta’ay, kolé cé’éy hia kékép emas té’éy; kolé béon lérong emas ndérosy; kolé lakon ba emas bakok; kolé long ba emas mongko (Tuhan semoga pulang ke tanah kelahirannya ia membawa emas hijau, pulang ke sini dia membawa emas murni; pulang kampung dia membawa emas elok; pulang perjalanan dia membawa emas putih; pulang dari tanah rantauan ia membawa emas batangan). Semua sarjana diharapkan menjadi pembawa emas, lebih dari itu menjadi manusia emas, dan bukan patung emas atau robot emas, sehingga mereka menjadi manusia yang bijaksana dan kaya arti yang digambarkan oleh ungkapan Manggarai yang lain: lema emas, luju mu’u, emas lampi(ng) atim (lidahmu seperti emas, mulutmu seperti rantai emas; hatimu seperti emas murni). Mereka diharapkan menjadi emas kehidupan, sehingga ruang di mana mereka hidup disebut tanah emas, dan waktu di mana hidup adalah zaman emas. Artinya mereka menjadi anak zaman dan bukannya menjadi hamba zaman. Mereka menjadi anak zaman berarti mereka ingin melawan arus zaman (agere contra) dengan membentuk arus zaman yang baik dengan memanusiakan manusia. Hal itu bisa dilakukan dengan mendidik insan yang berilmu. MENDIDIK INSAN YANG BERILMU: SEBUAH MISI Mendidik insan yang berilmu adalah sebuah misi. Apa itu mendidik? Siapa itu insan berilmu?
Mendidik: Sebuah Proses Melahirkan Ada banyak pandangan tentang pendidikan. Secara simbolis mungkin, kita dapat merangkum saja dengan kalimat berikut: mendidik adalah kegiatan untuk melahirkan manusia atau dalam bahasa yang lebih teknis, memproduksikan manusia. Karena itu panti pendidikan seperti STKIP St. Paulus adalah sebuah rahim, ia sama seperti seorang ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat. Karena itu kita mengenal ungkapan dalam bahasa latin alma mater. Kata alma (dari bentuk maskulin almus) mempunyai banyak arti bergizi, memberi makan, keibuan, berbuat baik, bebas, lembut, baik, kudus, mulia, agung, luhur, yang pantas disembah, dipuja (bdk. Gaffiot, 2001:105). Sedangkan kata mater artinya ibu atau mama (bdk. Gaffiot, 2001:964). Kalau STKIP ini, kita sebut alma mater, itu berarti dia telah menjadi ibu yang lembut, mulia dan luhur yang telah berbuat baik dan memberi kita makanan bergizi. STKIP ini adalah seorang Ibu atau sebuah rahim. Dalam perspektif pendidikan yang bersifat dialogis dan partisipatif, kita semua bisa sekaligus menjadi ibu dan anak, menjadi rahim dan calon bayi yang hidup di dalamnya. Bagaimana kita menjadi rahim? Tentu, dengan tugas-tugas kita, dengan bakat-bakat kita, dengan keunikan dan talenta kita masing-masing. Ruang-ruang kuliah itu bisa menjadi ibu dan rahim, yang memelihara kehidupan, mengandung dan melahirkan. Kalau pun dosen-dosen, khususnya yang laki-laki secara fisik tidak mempunyai rahim, tetapi mata, mulut, hati dan gerak-gerik mereka bisa menjadi rahim. Ada yang pandangan matanya teduh…rahim ada pada matanya; ada yang gerak-geriknya memukau… gerakannya itu adalah rahim… Karena itu waktu, jam kuliah menjadi waktu dan saat keselamatan untuk kita semua. Pada gilirannya para sarjana yang dihasilkan oleh lembaga STKIP juga diharapkan menjadi rahim kehidupan pada tempat dan waktu di mana mereka diutus untuk berkarya. Sebagai insan berilmu yang terdidik, dalam seluruh interaksi sosialnyaa dengan masyarakat, para sarjana diharapkan menjadi rahim yang melahirkan generasi cerdas dan cemerlang kini dan di masa mendatang. Insan yang Berilmu Dengan itu, frase insan berilmu pada judul di atas, berarti insan yang mau menjadi rahim, yang
Sutam, Mendidik Insan Berilmu yang Berhati Teduh, ...
melahirkan orang lain dan mau dilahirkan oleh orang lain melalui proses pendidikan yang dialogis dan partisipatif, di mana berlangsung hominisasi dan humanisasi melalui sirkulasi ilmu pengetahuan dan interaksi kemanusiaan. Dalam hal ini, insan berilmu berarti manusia yang siap membentuk sesamanya dan dibentuk olehnya secara personal dan sosial dalam sebuah ziarah intelektual, akademis, moral dan spiritual untuk memperoleh makna hidup yang sejati. Rumusan indah ini tentu harus dikonfrontasikan dengan kenyataan hidup riil. Pertanyaannya ialah apa relasi antara ilmu pengetahuan dan kehidupan riil masyarakat, khususnya di tempat di mana para sarjana berkarya? Apa kaitan antara ilmu pengetahuan dan skripsi yang ditulis para sarjan dengan kehidupan masyarakat miskin yang sedang terpinggir? Apa relasi antara seluruh prosesi dan ritus dalam wisuda setiap tahun dengan para petani yang sedang berada di sawah, ladang atau yang sedang putus asa karena panennya gagal? Apakah kegagalan panen mereka diikuti juga dengan kegagalan anakanak mereka dalam dunia pendidikan? Apakah anak-anak petani miskin dan yang terpinggir ini, yang sedang berada di panti pendidikan di mana para sarjana mengajar atau akan mengajar, akan mengalami nasib yang sama dengan orang tua mereka ataukah mereka dapat mengubah masa depannya berkat sentuhan para sarjan? Pertanyaan ini menantang profesionalisme para sarjana sebagai pendidik. Jawaban akan pertanyaan ini menentukan apakah para sarjana menjadi rahim yang melahirkan anakanak dan masyarakat dari berbagai kekurangan ataukah menjadi peti mayat dan kubur yang mematikan, atau mungkin para sarjana sendiri menjadi mayat berjalan yang menakutkan dan tak berelasi dengan dunia kehidupan di sekitarnya? Di sini muncul pertanyaan reflektif, apa artinya berilmu? Awalan ber pada kata berilmu berarti memiliki atau mempunyai ilmu atau berusaha untuk memilikinya. Seorang filsuf Perancis, Gabriel Marcel (1889–1973) dalam karyanya Être et avoir (To be and To Have; Ada dan Memiliki, 1935), menjelaskan dengan baik kaitan dan perbedaan antara Memiliki dan Ada. Memiliki adalah salah satu cara atau wujud dari Ada. Karena itu memiliki tak boleh menggantikan Ada. Manusia, kita semua dikandung dan dilahirkan telanjang, tak memiliki apaapa, juga dalam arti tertentu, tidak berilmu, seperti kata filsuf Inggris John Locke (1632–1704) dalam perspektif empirismenya. Tetapi dalam arti tertentu memiliki dapat menyentuh ada. Karena itu amat
153
perlu bagi kita untuk membedakan tingkatan memiliki : memiliki harta, makanan, pakaian, rumah, kuasa, popularitas, kemuliaan, negara tentu berbeda dengan memiliki ilmu, memiliki semangat, memiliki hak, kewajiban, martabat dan tanggung jawab ; dan semuanya itu berbeda dengan memiliki iman, memiliki cinta, memiliki badan, memiliki hati, memiliki hidup, memiliki diri dan memiliki ADA itu sendiri, sebagaimana terbersit dalam salah satu arti dari awalan ber- pada kata BERada. ADA merupakan harta milik dasar dari setiap manusia. BerADA adalah sebuah realitas terberi, sebuah faktisitas yang tidak dapat dipilih dan ditolak. ADA merupakan sebuah rahmat terberi (gabe) sekaligus sebuah tanggung jawab dan tugas dasar sebagai manusia (aufgabe). Karena ADA tak diprogramkan dan tak dipilih dalam jangkauan historis, maka dalam keasliannya ia bersifat abadi dan metahistoris, tetapi karena ADA juga merupakan sebuah tanggung jawab dan tugas dasar, maka ia harus direalisasikan dalam sejarah. Dalam hal ini, maka ADA membutuhkan atau berkaitan dengan MEMILIKI, yang merupakan sebuah realitas yang direncanakan, dipilih dan dievaluasi dalam horizon sejarah. MEMILIKI adalah sebuah perwujudan riil dari ADA dalam ruang dan waktu. Hal ini amat penting, sebab dalam arti signifikatif ADA terlihat dari MEMILIKI. Apakah kita ADA, kalau kita tak MEMILIKI nasi, sayur, lauk dan air setiap hari? Maka dalam arti konkrit, berADA selalu berarti MEMILIKI nasi, sayur, lauk dan air. Di sini, harus ada dialog, korelasi dan interaksi positif dan dinamis antara ADA dan MEMILIKI. Karena itu MEMILIKI ilmu atau BERILMU selalu berarti menopang ADA lewat kepemilikan syarat-syarat dasar, baik yang bersifat meterial maupun immaterial, untuk keber-ADA-an manusia. Aplikasi jauhnya, memiliki ilmu selalu harus dibarengi dengan kemampuan untuk mewujudkannya dalam kehidupan konkrit untuk memperoleh syaratsyarat dasar tadi. Dengan kata lain, berilmu atau memiliki ilmu harus bertitik pijak dari situasi konkrit spatio-temporel. Ketidakmampuan untuk MEMILIKI syarat-syarat dasar tadi atau MEMILIKI secara salah atau berlebihan apa yang dibutuhkan, akan mengakibatkan ketersesatan dalam cara BERADA. Tanda-tandanya dapat kita lihat dalam marginalisasi dan alienasi dalam setiap bidang kehidupan, termasuk dalam kehidupan intelektual dan akademis. Alienasi dan marginalisasi adalah
154
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 151–160
kehilangan identitas, tidak dapat memposisikan diri di tengah transisi dan perubahan yang sedang berlangsung. Rm. Mangunwijaya dalam karyanya yang berjudul Putri Duyung yang Mendamba menggambarkan ketidakmampuan kaum intelektual Indonesia untuk menempatkan dirinya dalam perubahan masyarakat, mereka digambarkan seperti seekor ikan duyung, yang berkepala manusia dan berekor ikan. Karena itu sang ikan tak bisa tinggal di laut sebab ia berkepala manusia, tetapi ia juga tidak bisa keluar dari laut dan tinggal di darat, sebab ia masih berbadan dan berekor ikan. Sebagian besar dari kita yang hadir pada kesempatan ini berkebudayaan Manggarai, Ngada, Nagekeo, dan mungkin satu-dua orang yang berkebudayaan lain, pertanyaan untuk kita: apakah kita memahami kebudayaan di mana kita berasal dan tinggal? Pada sisi yang lain, kita sudah pada sebuah sisi zaman yang berputar tanpa kita kehendaki, yaitu zaman modern, tetapi apakah kita betul seorang modern? Kita menghadapi krisis gmereka: budaya tradional kita mengalami krisis dan budaya modern yang menjemput kita juga mengalami krisis. Karena itu berilmu berarti mentransformasi diri dan masyarakat serta ilmu pengetahuan itu sendiri secara dialogis dan dinamis. Di sini, hal yang patut diwaspadai dalam berilmu adalah dogmatisme intelektual dan metodologis, yang nampaknya benar dan rational, tetapi sudah bertentangan dengan prinsip keterbukaan, dialogis dan dialektis dari ilmu pengetahuan. Akhir dari sebuah konsep atau teori tidak pernah ditutup dengan tanda titik (.), tetapi dengan tanda koma (,) atau tanda tanya (?). Ilmu pengetahuan tidak untuk pengetahuan itu sendiri tetapi untuk keselamatan umat manusia, karena itu seluruh konsep dan teori berikut metodenya, serta hukum-hukumnya bisa dilampaui demi manusia, seperti bunyi sebuah ungkapan bijak Perancis, celui qui veut sauver l’homme et l’humanité ne viole aucune règle ou loi (Barangsiapa ingin menyelamatkan manusia dan kemanusiaan tidak melanggar aturan atau hukum apapun). Jika dengan pendidikan dan ilmu yang kita miliki, kita dapat menyelamatkan atau mengubah hidup kita, anak-anak dan keturunan kita, sedangkan yang lain tak pernah berubah, maka aspek solidaritas dan soteriologis dari ilmu patut dipertanyakan. Ilmu bisa menjadi sebuah instrumen atau jalan untuk memiliki atau menjadi apa saja, termasuk menjadi perampok dan pencuri, bahkan pembunuh berdarah dingin. Karena itu berilmu harus dibatasi atau lebih tepatnya dilandasi dengan hati yang teduh, pikiran yang solutif dan tindakan etis.
BERHATI TEDUH, BERPIKIR SOLUTIF DAN BERTINDAK ETIS: MELAHIRKAN SEBUAH HUMANISME INTEGRAL Dalam hal ini, berilmu atau memiliki ilmu selalu berarti memiliki hati yang teduh, memiliki pikiran yang solutif dan memiliki tindakan yang etis. Kriteria ini mengindikasikan bahwa prinsip ilmu untuk ilmu, teknologi untuk teknologi yang menekankan neutralitas dan obyektifitas ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) harus diterima, tetapi perlu dikoreksi dengan pertanyaan: apakah yang BISA dalam perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi BOLEH dalam perspektif moral dan antropologis? Apakah ADA manusiawi harus bersubordinasi/bertekuk-lutut terhadap MEMILIKI ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)? Dalam hal ini, perlu sebuah pemahaman integral tentang manusia. Krisis Modernitas Meminta Sebuah Pemahaman yang Integral tentang Manusia IPTEK adalah salah satu, bukan satu-satunya, jalan atau instrumen penggali misteri manusia, tetapi ia bukan pengganti misteri manusia. Krisis modernitas yang ditandai dengan dua perang dunia dan masalah dalam setiap bidang kehidupan manusia (ekonomi, ideologis, ekologis, dll.) adalah sebuah indikasi jelas dari kegagalan IPTEK-isme. Dalam hal ini, humanisme atau antropologi modern dengan dasar rationalisme (filsafat rationalis) dan IPTEK yang bersifat antroposentris ternyata tidak absolut. Seiring dengan itu, soteriologi filosofis, sientifik dan teknologis yang berhasrat mengganti soteriologi religius dan spiritual ternyata terbatas. IPTEK dan filsafat tidak boleh dibenci dan ditolak, tidak boleh ada orang yang tersenyum dengan kegagalan mereka, sebab kelahiran dan kesuksesan mereka, mungkin karena kegagalan agama, dan kegagalan mereka belum tentu kesuksesan agama. Kegagalan modernitas yang awalnya merupakan sebuah kritik dan jawaban atas kegagalan kristianisme abad pertengahan mendorong semua pihak untuk berpikir solutif. Karena itu, amat penting untuk mengetahui tahap-tahap besar dalam sejarah Barat dalam tegangan relasi antara alam, Tuhan dan manusia. Kita melihat pertama-tama kosmosentrisme yang menempatkan alam sebagai pusat sangat mendominasi Eropa pre-zaman Yunani-Romawi kuno (periode sebelum tahun 500 SM). Kosmosentrisme sempat dikritik dengan munculnya rationalisme
Sutam, Mendidik Insan Berilmu yang Berhati Teduh, ...
klasik oleh para pemikir Yunani (500 SM-500M). Kemudian muncul kristianisme dengan teosentrismenya : Tuhan sebagai pusat segalanya. Ketika alam dan Tuhan menjadi pusat maka manusia belum muncul. Lahir kemudian antropsentrisme yang menandai zaman modern (akhir abad 16-sekarang): dunia adalah milik manusia, Tuhan ditolak (ateisme) dan alam dieksploitasi (krisis ekologis). Menjawabi kekurangan ini, muncul pikiran post-modern yang melihat manusia sebagai makhluk yang bersifat dinamis dan dialogis (bdk. GS 12-21, 91-92): dialog/ relasi dengan dirinya, sesamanya, alam dan Tuhan. Dalam dirinya, manusia adalah makhluk yang bersifat multidimensional atau bersegi banyak, karena itu manusia tidak boleh direduksi ke dalam salah satu dari dimensi hidupnya, perlu ada korelasi dialogis dan proporsional antara semua dimensi manusiawi itu. Keluar dari dirinya, manusia adalah makhluk yang bersifat relasional: orang lain, sesama, alam dan Tuhan adalah mitra dialog seorang manusia. Manusia tidak boleh direduksi hanya pada satu relasi dialogis ini. Perlu dicatat bahwa krisis apa pun di dunia selalu mengacu pada satu krisis yaitu krisis antropologis atau humanisme, dan hal ini disebabkan oleh pandangan yang partial, sektoral, yang tidak komprehensif tentang manusia: manusia sering direduksi dalam salah santu dimensi atau relasinya. Jacques Maritain, dalam karyanya Humanisme integral (Maritain, 1936:36–42), sudah menggarisbawahi krisis humanisme dalam tripel tragedi : tragedi manusia, tragedi budaya dan tragedi Tuhan. Ketiga tragedi disebabkan oleh di satu pihak dampak negatif modernisme dengan IPTEK sebagai pilarnya, dan di pihak lain, oleh ideologi komunis dan kapitalis, yang melihat manusia secara partial. Manusia harus dilihat dalam seluruh aspeknya, sambil menyadari bahwa ia adalah sebuah misteri, tetapi misteri yang terbuka (Kleden, 1996). Hati mampu menangkap getaran-getaran misteri manusia. Karena itu pikiran solutif dan tindakan etis harus berangkat dari hati yang teduh. Berhati teduh Apa itu hati yang teduh? Teduh tidak berarti pasif; sesuatu yang nampak teduh, memang kelihatannya pasif tetapi ia aktif: aktif dalam kepasifan, tetapi pasif dalam keaktifan. Dalam hal ini, sifat teduh hampir sama dengan konsep Cina, wu wei (Kebung, 1996): tiang-tiang rumah itu nampaknya pasif, tetapi tanpa mereka rumah akan ambruk; laut
155
atau samudra yang teduh nampaknya pasif, tetapi ia aktif bergerak dan milyaran makhluk hidup ada di dalamnya. Ia seperti sebuah rahim yang mengandung dan melahirkan kehidupan. (1) Hati yang teduh pertama-tama adalah hati yang membawa keharmonisan. Blaise Pascal (1623–1662), filsuf Perancis, secara khusus berefleksi tentang hati. Menurut Pascal dalam bukunya Pensées sur la religion et sur quelques autres sujets (versi on line) ada tiga ordo yang mengatur hidup manusia, yaitu ordo fisik/tubuh, ordo pikiran atau akal budi, dan ordo hati atau cinta kasih (https:// www.ub.uni-freiburg.....). Setelah malang melintang dengan kegiatan filsafat dan ilmu matematika yang mengedepankan fungsi ratio/akal budi dan kurang memperhatikan agama, sang filsuf akhirnya menemukan bahwa agama kristen amat penting, dan ia mengangkat satu kekuatan yang luput dari perhatian banyak orang, yaitu hati. Hati adalah titik simpul dari kekuatan manusia dan instansi yang membawa keseimbangan dan keharmonisan dalam hidup manusia. Dengan hati, kita dapat mengerti dan mengenal realitas yang tertutup bagi mata dan akal budi. Hati dapat membawa akal budi lebih jauh. Hati adalah tempat perjumpaan dengan semua realitas, yang kelihatan dan tak kelihatan. (2) Karena itu hati yang teduh adalah hati yang mempunyai mata untuk melihat. Ada mata kepala, yang dengannya dunia nampak pada manusia dan berkontak dengannya; ada juga mata kaki yang dapat menggiring langkah kita, tetapi kita juga mempunyai mata hati yang memberi arti dan makna pada diri kita dan pada dunia. Penulis Perancis, Antoine de Saint-Exupéry (1900–1944) dalam romannya yang berjudul Le Petit Prince (Sang Pangeran kecil/mungil, 1943:84) menulis: « On ne voit bien qu’avec le cœur. L’essentiel est invisible pour les yeux » (Kita hanya dapat melihat dengan baik lewat hati. Yang hakikat/ esensial tidak nampak pada mata). Sang penulis ingin mencari arti tindakan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan pada masyarakat modern yang tak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk orang Manggarai, empedu yang ada di hati dianggap sebagai mata hati, karena itu orang yang bertingkah laku buruk disebut orang yang tidak mempunyai empedu (ata toe manga pesu), atau orang tak melihat dengan hati (ata buta sempula) yang dianggap lebih kompleks dan rumit dari pada buta mata dan buta huruf. Mata hati
156
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 151–160
untuk orang Manggarai amat ditentukan oleh letak dari empedu. Orang yang tidak baik tingkah lakunya dianggap karena empedunya bergeser atau « terkilir », ata nggéso pesu, yang dianggap lebih kompleks dari tangan atau kaki yang terkilir (nggéso limé, nggéso wa’i). Pendidikan bertujuan supaya mata hati (empedu) dapat berfungsi dengan baik dan berada pada tempatnya yang memang dikhususkan baginya. Hati menjadi teduh, jika empedu dapat berfungsi dengan baik, dan berada pada tempatnya. (3) Hati yang teduh adalah hati yang murni dan bening. Ného waé nggéreng kéta ati agu naim, kudut palong ata bakok, kudut ahir nabit, coga momang (Kiranga hati dan napasmu seperti air bening di daun talas, supaya [hati dan napasmu] dapat mengalirkan yang putih, membagi rahmat dan menuangkan cinta). Hati yang teduh adalah lautan cinta yang terbuka dan siap menerima dan menampung semua, yang menumbuhkan dan melahirkan kehidupan di atas kemarau dan kekeringan. Dalam hati yang teduh penuh cinta, air mata kesedihan menjadi lautan kegembiraan. Dalam hati yang teduh penuh cinta, air mata kegembiraan menjadi lautan solidaritas dengan mereka yang bersedih, cemas, takut, miskin dan terpinggir. (4) Dengan itu, hati yang teduh adalah hati yang solider dengan orang lain: pati nai, cahir ati (membagi napas, membelah hati; membagi dan memberi napas dan hati). (5) Akhirnya, dalam perspektif teologis, hati yang teduh adalah hati nurani yang menyuarakan hukum cinta dan mentaatinya (bdk. GS 16). Hati nurani adalah inti manusia yang paling rahasia; hati nurani adalah sanggar dan mesbah suci, di mana manusia berada secara intim dengan dirinya sendiri, sesama, alam dan Tuhan. Dalam hati nuraninya, manusia menemukan hukum yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, yang ditulis Tuhan dan yang harus ditaatinya, karena martabatnya terletak pada kepatuhannya akan hukum ini, yang tak lain, cinta kasih (bdk. GS 16). Dengan melihat beberapa makna hati tadi, maka hati yang teduh bukanlah hati yang pasif, tetapi hati yang kreatif, inovatif, inspiratif dan produktif. Karena itu hati yang teduh menjadi cermin, rahim dan inspirasi kebenaran dengannya banyak masalah dipecahkan (bdk. GS 16). Hati yang demikian dapat menjadi landasan untuk berpikir solutif.
Berpikir solutif Berpikir solutif berarti mencari dan menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Itu berarti masalah harus diketahui, dan menyadari bahwa secara langsung atau tidak, setiap anggota masyarakat adalah bagian dari masalah itu. Apa masalah masyarakat kita (Manggarai)? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, kita menghindari kesalahan logika berbahasa orang Manggarai yang secara serampangan menjadikan semua hal masalah. Kembali ke pertanyaan tadi, ada banyak banyak masalah: berdasarkan sebabnya, ada sebab internal, dari sendiri, dan ada sebab eksternal dari luar, entah sistem sosio-politik, entah struktur kultural (bdk. Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, 2014:51–58). Semua masalah mesti dipetakan, dan dicari tahu apa yang menjadi akarnya. Tadi telah disebut salah satunya, yaitu masalah krisis pandangan tentang manusia, yang bisa disebut sebagai krisis antropologi atau humanisme. Max Scheler seorang pemikir Jerman pernah mengatakan bahwa “manusia menjadi problem bagi dirinya sendiri”. Masalah lain adalah masalah kemiskinan, masalah ekologis, masalah rendahnya SDM, masalah perasaan inferioritas terhadap kebudayaan sendiri, dll. Kita tidak bermaksud membicarakan masalah-masalah ini satu per satu berikut solusinya di sini. Dengan melihat masalah ini, kita menjadi yakin bahwa berpikir solutif itu sangat penting, karena kita dikelilingi masalah, dan setiap kita secara faktual atau potensial bermasalah, tetapi juga menjadi jalan keluarnya (solusinya). Hidup adalah sebuah masalah, dan semua manusia menjadi dewasa dan menjadi manusia dalam arti sesungguhnya dengan dan melalui masalah. Para mahasiswa dalam penyusunan skripsi mencari masalah dan solusinya apa. Orang dan masyarakat berjiwa besar selalu memberikan solusi yang berimbang dan sepadan dengan sebuah masalah; masalah besar membutuhkan solusi besar, masalah sedang dan kecil juga membutuhkan solusi sepadan. Sikap ekstrim sering ditunjukkan dalam sikap reaktif berlebihan dan indiferent/masa bodoh. Sikap reaktif berlebihan ditunjukkan dengan memberi solusi yang besar dan berlebihan terhadap sebuah masalah yang sebenarnya kecil; dan sikap masa bodoh ditunjukkan dengan memberi solusi kecil secara kuantitatif dan kualitatif terhadap masalah besar, atau tidak mau tahu dengan masalah yang secara ril ada.
Sutam, Mendidik Insan Berilmu yang Berhati Teduh, ...
Jadi, yang paling penting dalam hidup ini bukan soal bagaimana menghindari masalah, tetapi bagaimana menghadapinya dan memberi jalan keluarnya? Aristoteles tidak terutama mengajar Aleksander Agung muridnya bagaimana menghindari masalah, tetapi bagaimana caranya dia menghadapi dan memecahkan masalah. Sebagai makhluk peziarah (homo viator), manusia berjalan dalam ruang dan waktu sambil membangun jalan yang dilewatinya, dan dengan itu, mau atau tidak, ia berhadapan dengan masalah. Kemajuan dalam membangun jalan hidup pribadi dan koléktif, hanya terjadi, ketika manusia mengetahui masalah hidupnya. Berhadapan dengan masalah, manusia bertanya dan berusaha menjawab. Jawaban-jawaban manusia terhadap pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan masalah hidupnya mula-mula muncul dan diolah dalam pikiran, perasaan dan kehendak, kemudian direalisir dalam bentuk ide, konsep, nilai, aktifitas dan tindakan berpola dan benda-benda. Semuanya ini membentuk kebudayaan. Karena itu dari proses terjadinya, kebudayaan adalah akumulasi dari seluruh jawaban manusia terhadap masalah hidupnya yang mula-mula diolah dalam jiwanya (perasaan, kehendak, pikiran), lalu dikonkritisasi dalam bentuk ide, tindakan berpola dan benda-benda (Sutam, 1998:4). Dalam budaya Manggarai, seorang pemuda yang memasuki usia dewasa akan diberi parang, dalam upacara sélék kopé, dan seorang pemudi akan diberi sebuah pisau atau roto (keranjang) dalam upacara yang disebut (tipa lading) atau éko roto. Pemberian parang disertai kata-kata: “Ho’o dé kopé kudut ndapu ramut, cako karot, tetas cengkang” (Inilah parang untuk membersihkan semak, memotong semua duri yang menghalangi jalan, meretas jalan di tengah belukar). Pesan ini mengharuskan seorang pemuda Manggarai untuk mampu memberi solusi terhadap setiap masalah yang dihadapinya dalam perjalanan atau ziarah hidupnya. Ilmu pengetahuan yang para sarjana peroleh ibarat parang dalam budaya Manggarai tadi yang memampukan mereka berpikir solutif untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial. Solusi dari sebuah masalah menghasilkan kebudayaan dan menunjukkan identitas, kebijaksanaan dan kematangan dari satu orang dan suatu masyarakat. Semakin benar dan tepat seseorang dan satu masyarakat menyelesaikan masalahnya, semakin
157
sedikit dampak negatif dan semakin banyak dampak positif yang dihasilkan semakin bijaksana dan matang seorang indvidu dan masyarakat, dan semakin kuat identitasnya. Yang dimaksudkan dengan identitas sebenarnya bukan saja soal keunikan (partikularitas dan singularitas) yang menyebabkan seseorang dan satu masyarakat berbeda dari masyarakat yang lain, tetapi juga perwujudan diri dalam bentuk pengaruh yang positif bagi orang lain dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan universal. Identitas adalah kekuatan atau kematangan kepribadian seseorang dan masyarakat yang ditunjukkan melalui kesuksesan dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan dalam tingkat lokal, nasional dan internasional, sehingga orang atau masyarakat itu menjadi contoh, model dan panutan bagi orang atau masyarakat lain, dengan demikian ia mempunyai pengaruh dan kuasa secara intelektual, sosial, historis, kultural, moral dan mungkin spiritual. Salah satu faktor penting dalam membangun identitas ini adalah pengelolaan ruang dan waktu, karena manusia adalah makhluk spatio-temporal, yang meruang dan mewaktu. Dalam hal ini, berpikir solutif berarti berpikir retrospektif (masa lalu), introspektif (masa kini) dan prospektif/proyektif (datang) sambil memperhatikan relasi dialogis secara horizontal dan vertikal dalam ruang yang bersifat eksistensial, sosial, kultural, politis, ekonomis, ekologis, etis dan spiritual/religius. Retrospektif artinya mampu membuat evaluasi, merefleksi masalah lalu dengan jujur, benar dan tepat. Hal ini membawa manusia pada sebuah instrospeksi diri di sini dan kini, sehingga ia dapat membuat satu proyeksi yang benar dan tepat untuk masa depan. Dengan ini, berpikir solutif berarti berpikir antisipatif dan alternatif, sehingga kita bisa menghindari beberapa masalah atau mengantipasi jawabannya. Dengan itu, berpikir solutif bukan sebuah disposisi untuk bersikap pasif dan menunggu masalah, tetapi sebuah cara berpikir kreatif dan inovatif: bagaimana menghindari masalah, bagaimana memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positif dari satu tindakan, bagaimana mempersiapkan lebih dari satu jawaban untuk satu masalah. Untuk seorang yang berpikir solutif, kreatif, inovatif dan alternatif, satu masalah bisa mempunyai sepuluh jalan keluar, sebaliknya, bagi seorang yang berpikir kerdil: sepuluh masalah hanya mempunyai satu jalan keluar. Amat jelas, berpikir solutif berarti memberikan jalan keluar: jalan keluar dari sebuah masalah, dari
158
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 151–160
sebuah kemandekkan berpikir, hal ini berujung pada jalan keluar dari diri, dari egoisme dan ketertutupan diri. Jalan keluar dari diri berarti ingin menjadi jalan bagi orang lain dan mau jalan bersama dengan orang. Di sini kita bertemu dengan konsep tua yunani sinode (syn = bersama; (h) odos= jalan) yang kemudian diadopsi oleh Gereja. Sinode adalah sebuah konsep dinamis; ia menggambarkan masyarakat yang berjalan atau berziarah secara terbuka dan dinamis: ia berjalan sekaligus membangun jalan yang dilewatinya. Dalam cara pandang orang Indonesia, sinode ini bisa diterjemahkan dengan konsep musyawarah untuk mufakat, dan dalam konsep Manggarai diterjemahkan dengan konsep lonto léok, réjé lélé bantang cam, berarti berdialog, berdiskusi, bertukar pikiran. Jalan bersama atau musyawarah ini tentu mempunyai ramburambu, aturan dan cara, sehingga bisa sukses. Di sini kita bertemu dengan konsep Yunani yang lain, yaitu metode (meta = seberang; odos = jalan) berarti sebuah cara, petunjuk atau tahap-tahap yang membawa kita ke akhir atau tujuan dari jalan bersama kita. Dalam dunia akademis (Perguruan Tinggi) dan intelektual, kata atau konsep metode tidak asing, tetapi seturut teolog Perancis-Jerman, Christoph Theobald, metode bukan saja cara kerja ilmiah berkaitan dengan penyusunan makalah, skripsi atau tesis, metode adalah sebuah cara hidup dan perwujudan diri sesuai dengan konteks riil masyarakat (Theobald, 2007:9). Dalam dua pengertian metode ini, yang berkaitan satu dengan yang lainnya, dapat dipetik dua point penting: pertama, harus ada keselarasan antara ilmu yang diperoleh dengan tingkah, cara hidup atau perwujudan diri di tengah masyarakat. Kedua, harus ada keselarasan antara ilmu yang diperoleh dengan inovasi khusus seperti penulisan makalah, skripsi, tesis dengan situasi atau masalah riil masyarakat. Di sini para sarjana dituntut untuk memberikan solusi, artinya mereka harus berpikir solutif. Konsep sinode dan metode bisa dikaitkan dengan satu konsep Yunani yang lain, yaitu paidagogia yang berasal dari kata paidos (anak) dan agia (ogos, agein) yang artinya membimbing, menemani dan mendidik. Pada zaman klasik, pedagog adalah seorang hamba yang menemani seorang anak ke sekolah, yang membawa barang-barang kebutuhannya dan membantunya mengulang pelajaran dan mengerjakan tugas-tugasnya. Jika kita meminjam konsep substansi (isi) dan forma (bentuk,
cara) dari Aristoteles, kita dapat mengatakan bahwa sinode adalah sebuah substansi: sinode atau jalan bersama mengandung makna ada bersama dan memiliki bersama. Sedangkan metode adalah forma: cara dan bentuk dari jalan bersama, ada bersama dan memiliki bersama yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu. Pedagogi adalah seperti sebuah konsep dinamis yang bergerak antara sinode (isi, substansi) dan metode (forma, bentuk, cara). Ketiga konsep ini bisa dihubungkan dengan konsep sanskaerta dan Jawa guru, yaitu seseorang yang digugu dan ditiru. Dalam bahasa sanskerta dan dalam kebudayaan India, kata guru mengacu kepada seorang pendidik anak, seorang pembimbing spiritual dan seorang master atau magister. Dalam kebudayaan India, predikat guru diberikan oleh masyarakat kepada seseorang berdasarkan contoh hidupnya, ajaran, kebijaksaannya dan kharisma hidupnya. Karena itu tidak ada yang memperkenalkan dirinya sebagai guru dan tidak ada juga sekolah untuk menjadi guru. Seorang menjadi murid dari seorang guru berdasarkan kepercayaannya pada seseorang, tentu setelah melihat kualitas pribadinya yang memenuhi kriteria seorang guru seperti dijelaskan tadi. Dalam bahasa Jawa, kata guru dibentuk oleh dua kata gugu dan tiru. Seorang guru adalah seorang yang pantas digugu (dipercayai, dituruti dan diindahkan) dan pantas ditiru (diteladani, dicontohi). Guru adalah pengajar, pendidik dan pembentuk. Semua konsep tadi bisa dan seharusnya menjadi prinsip dan orientasi dalam berpikir solutif dan bertindak etis. Bertindak etis Sebuah tindakan diperam dalam hati yang teduh dan dipikirkan secara solutif dalam akal budi akan muncul dan berkembang sebagai sebuah tindakan etis. Bertindak secara etis berarti bertindak secara manusiawi: tindakan etis adalah tindakan manusiawi (actus humanus). Sebuah tindakan disebut manusiawi (etis) kalau pribadi yang melakukannya menjadi tuan, subyek dan bertanggung jawab secara sadar dan penuh akan tindakan itu. Artinya ia merancang atau memprogramkan tindakan itu, melaksanakannya secara sadar dan bebas, tanpa intimidasi, dan menerima atau bertanggung jawab atas konsekuensi, hasil atau akibat yang ditimbulkannya. Bertindak etis bukan saja soal ketaatan akan aturan, norma atau tatakrama yang berlaku pada
Sutam, Mendidik Insan Berilmu yang Berhati Teduh, ...
masyarakat; tindakan etis bukan saja soal bagaimana menghindari apa yang buruk dan melakukan apa yang baik, tetapi bagaimana mewujudkan diri lewat aturan dan tatakrama itu, dan dengan itu membentuk identitas diri dan masyarakat. Dalam hal ini, tindakan etis selalu dikaitkan dengan kebajikan manusiawi seperti kebijaksanan, keadilan, keberanian dan pengendalian diri (Katekismus Gereja Katolik, n° 1804–1809). Di sini kita melihat bahwa tindakan etis selalu berkorelasi dengan tindakan profetis: keberanian untuk menyurakan keadilan dan perdamaian, membawa damai pada konflik dan membawa “konflik” pada damai palsu. Tetapi tindakan profetis harus dibarengi dengan sebuah tindakan mistik (masuk dalam diri), karena manusia adalah misteri: makhluk yang terwujud/ terlihat tetapi belum selesai. Manusia adalah horizon tak terbatas, atau deretan pintu yang tak pernah selesai dibuka. Dengan ini tindakan etis menemukan akarnya pada tindakan mistik yang bersinergi dengan eksistensi atau ADA dari manusia, dan menemukan bentuk, bunga dan buahnya pada tindakan profetis yang bersinergi dengan hasrat kodrati MEMILIKI dari manusia sesuai dengan konteks spatio-temporel (ruang dan waktu) yang berubah dan berbeda. Tindakan etis dengan itu bersifat terbuka terhadap eksistensi manusia dan perkembangan perwujudan dirinya sesuai dengan perubahan zaman (tandatanda zaman, bdk. GS 4, 11). Dengan demikian, tindakan etis akan bersifat dinamis dan dialogis dalam ketegangan antara dunia manusiawi dan manusia duniawi. Dunia manusiawi adalah hidup atau dunia ideal yang harus dan seharusnya dimiliki oleh manusia, sedangkan manusia duniawi adalah realitas manusia yang bisa diperoleh dan dibentuk secara riil dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya. Sebagai makhluk berziarah yang ingin menembus horizon keterbatasannya, manusia selalu ingin melampaui diri dan dunianya yang riil kini dan di sini. Karena itu tindakan etis yang dinamis dan dialogis selalu dibimbing oleh etika pelampauan diri di mana manusia ingin menjadi sungguh manusiawi, lebih manusiawi, dan mencapai kesempurnaan dalam kemanusiaannya (Sutam, 2012:95). Tindakan etis berdasarkan konsep pelampauan diri ini menyebabkan kita selalu mencari jalan tengah dan menghindari segala sesuatu ekstrim. Misalnya, dalam konteks masyarakat Manggarai yang berada pada masa transisi, bagaimana kita mencari jalan tengah antara moral otonom yang cendrung individual dan moral heteronom yang cendrung koléktifist
159
menuju sebuah otonomi dan identitas pribadi yang terbuka, dinamis, dialogis dan partisipatif. Hal ini membutuhkan sebuah tindakan pelampauan. Berinspirasikan pandangan antropologis dan etis Konsili Vatikan II, khususnya Gaudium et spes, kita mencatat tiga ide pelampauan (Sutam, 2012: 92–96): pertama, pelampauan dari keinginan untuk menjadi sama seperti Tuhan, narcisisme, megalomania, autopromosi, pemuliaan diri, dosa menuju situasi yang sungguh manusiawi (GS 1 ; 26,2 ); kedua, ide pelampauan dari semua yang serba kecil, sederhana ke yang lebih besar, lebih kompleks, lebih baik, sehingga manusia menjadi lebih manusiawi (GS 26,3; 29,3), dan akhirnya pelampauan dari dunia yang kelihatan ke dunia yang tak kelihatan, dari yang terbatas ke yang tak terbatas, dengan itu manusia mencapai kepenuhan kemanusiaannya (GS 11,1; 74,1). Karena itu melampaui berarti mentransendensi diri, bertobat, pembaharuan, transformasi diri menuju kebaikan, kekudusan (GS 32, 1; 34, 1), kesempurnaan (GS 6, 3; 15, 2) dan akhirnya mencapai bumi baru dan langit baru (GS 39). Ini berarti penyangkalan dan penghampaan diri, beralih dari egoisme ke pemberian diri untuk melayani yang lain. Pergi ke sisi lain dari jalan yang sama. Dalam pandangan seperti ini, STKIP dan para sarjana yang dihasikannya adalah pelayan dan rahim yang ingin melahirkan diri dan masyarakat secara baru dengan pandangan yang baru tentang diri dan manusia. KESIMPULAN Dengan demikian, judul tulisan ini secara kontekstual mengajak setiap insan berilmu untuk memikirkan sebuah antropologi atau sebuah humanisme integral, holistik, total, dan universal di tengah krisis antropologi dewasa ini. Sebuah humanisme yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang multidimensional, relasional, historis dan metahistoris. Untuk mewujudkan humanisme yang demikian, kata-kata bijak skolastik berikut ini patut diingat: sit in necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas: hendaklah dalam hal-hal penting persatuan meraja, dalam hal-hal yang bimbang kebebasan meraja, dan dalam segala-galanya cinta kasih meraja, sebab Allah adalah kasih (Deus caritas est). DAFTAR RUJUKAN Dokumentasi dan Penerangan KWI. 2012. Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta, Obor.
160
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 8, Nomor 1, Januari 2016, hlm. 151–160
Gaffiot, F. 2001, Dictionnaire Latin-Français, Nouvelle Édition revue sous direction de Pierre Flobert, et al., Paris, Hachette-Livre. Jacques MARITAIN, 1936, Humanisme intégral. Problèmes temporels et spirituels d’une nouvelle chrétienté, Paris, Aubier. Mangunwijaya, Y.B., 1987, Putri Duyung yang Mendamba. Renungan Filsafat Hidup Modern. Jakarta: Obor. Marcel, G. 1991, Être et avoir, Nouvelle édition annotée et préfacée par Jeanne Parain-Vial, Paris, Universitaires. Kleden, L. ºFilsafat Manusiaº (ms), STFK Ledalero, 1996. Konrad Kebung. ”Filsafat Cina”, (ms), STFK Ledalero, 1996. Theobald, C. 2007, Le christianisme comme style. Une manière de faire de la théologie en postmodernité, tome 1, Paris, Cerf.
Sutam, I. 1998. “Pandangan Asli Orang Manggarai tentang Manusia” (Skripsi), Maumere, STFK Ledalero. Sutam, I. “Nonnisi per culturam: Étude sur le role mediateur de la culture dans. Gaudium et spes’’. 2012. ( Tesis Doktorat), Institut Catholique de Paris. Panitia Sinode III Keuskupan Ruteng, Buku Materi Sinode III Keuskupan Ruteng, sesi I.2014. Para Waligereja Regio Nusa Tenggara. 1998. Katekismus Gereja Katolik, terj. P. Herman Embuiru, SVD. Ende: Nusa Indah. Pascal, Blaise, Pensées sur la religion et sur quelques autres sujets, https://www.ub.uni-freiburg.de/fileadmin/ub/referate/04/ pascal/ pensees.pdf Saint-Exupéry, Antoine de, 1943, Le Petit Prince, New York, Reynal and Hitchcock. http://www.cmls.polytechnique.fr/perso/tringali/documents/st_exupery_le_petit_princ e.pdf