Menapaki Jejak Khalifah Andalusia
5
Goyangan Budaya Catalan
20
Lumpuh dalam Kebekuan
39
A.Tan.Dos
60
Terjun Tandem
77
Robot – robot Nakal
99
Gugur Dua
117
Paella dan Palamos
134
EuroSummer
156
... Cuplikan buku selanjutnya: Trois
184
4
Pagi ini rasanya berat sekali untuk bangun, ingin terus meringkuk dibalik selimut karena udara terasa sangat dingin. Tapi mau tak mau aku harus bangun karena ada kelas pagi ini. Aku segera bangkit dan beranjak menyingkap tirai jendela kamar. Sontak aku terperanjat dan berulang kali mengucek mata melihat pemandangan tak lazim di halaman belakang residens. Ah, mungkin aku masih bermimpi. Aku mengucek – ngucek mataku lagi. Lalu, aku cubit lenganku, ternyata sakit. Oh, berarti ini bukan mimpi! Apa penglihatanku salah? Kenapa turun salju dengan sangat deras? Tunggu, ini di Spanyol „kan yang notabene tidak atau jarang bersalju saat musim dingin sekali pun? Padahal kemarin cuacanya sangat terik dengan matahari yang bersinar terang dan bersuhu dua puluh derajat. Kenapa tiba – tiba hari ini turun salju? Sekarang sudah bulan Maret, aneh sekali! Dengan mengenakan pakaian musim dingin lengkap, aku berjalan ke kampus di tengah hujan salju. Sampai di kelas, baru beberapa orang yang masuk karena sama sepertiku – sepertinya mereka masih kaget akan „kejutan‟ di pagi ini dan bingung harus memakai kostum apa ke kampus? Hampir semua dari kami tidak membawa pakaian musim dingin lengkap ke Spanyol mengingat iklimnya yang pasti akan jauh lebih hangat dibandingkan Edinburgh. Tak lama kemudian, Neda, Gabriella, dan Lemaitre datang sambil mengeluhkan cuaca yang mendadak aneh ini. “When I looked at the weather forecast today, they said that it will be snow. And I just like… Ohhhh…. WHAT the hell is going on with Spanish forecast?!!” Gabriella terus meracau dengan suara lantangnya.
sisten Narcisus kali ini menggiring kami ke Parc Technologica, pusat riset dan teknologi yang masih dinaungi kampus tetapi terletak di luar lingkungan kampus. Kami, segerombol pasukan dari bermacam ras, berjalan di belakang asisten Narcisus menuju Parc Technologica. Jalanan yang kami tempuh lumayan jauh, membelah padang ilalang sampai kami bisa melihat perbukitan jauh disana. Lalu berganti dengan hutan berpohon jarang mengapit jalan. “Follow me!” asisten Narcisus memimpin kami untuk mengikutinya menuju lab underwater robotics. Kami memasuki sebuah gedung berdesain minimalis yang di depannya terdapat kolam renang besar. Cuaca yang menghangat dibawah terik matahari ditambah peluh yang membanjir setelah mendaki-bukit-turunilembah menuju kesini, benar – benar membuatku ingin sekali menceburkan diri di depan kolam renang lab underwater robotics. “Don’t jump! You’re not allowed to swim in this pool!” pernyataan asisten Narcisus seakan bisa membaca pikiranku. Kolam berair jernih kebiruan itu berukuran setengah lapangan bola dan aku masih belum bisa menebak seberapa dalamnya. Ada beberapa robot yang „berenang‟ di kolam itu dan sebentar lagi akan berkenalan dengan kami semua. Aku mengikuti asisten Narcisus, si rambut keriting, untuk masuk ke dalam ruang kerja lab ini. Ada sebagian wajah yang kukenal bekerja disana, seperti Oscar si asisten gembul, para mahasiswa doctor, dan senior yang sedang mengerjakan tesis. Kami lalu menuruni tangga ke bawah tanah untuk menyaksikan ruang kendali. Kaca besar menggantikan dinding depan ruang kendali, yang langsung berbatasan dengan kolam renang para robot sehingga kami bisa melihat robot – robot itu berenang dibawah air dengan jelas. Suasana di dalam ruang kendali benar – benar menyenangkan, selain bersih, modern, juga mendapatkan pantulan cahaya dari birunya air 2
kolam renang. Aku merasa seperti berada di terowongan Sea World, mengasyikkan mendapati kami bekerja di bawah permukaan air kolam. Sekarang aku bisa tahu seberapa dalam kolam robot itu dan mensyukuri keputusanku untuk tidak menceburkan diri ke dalam sana tadi. Huffff… Asisten Narcisus – atau yang biasa aku dan Emma sebut menjadi asisten „atan dos’ mulai memperkenalkan satu per satu robot di dalam kolam. Tentunya kami harus ekstra perhatian agar bisa menangkap bahasa Inggris logat Spanyolnya. Ia menunjuk pada robot merah berbentuk kotak dengan actuator didasarnya dan berkaitkan tali panjang disisinya, “Ini adalah AUV – Autonomous Underwater Vehicle, kami yang terbaru. Dua bulan lagi akan kami ikutkan di kompetisi underwater robot di Itali. Setiap tahun tim kami selalu menang dan kami harap akan menang lagi tahun ini. Robot ini masih dalam proses pengujian sehingga masih dipasangkan kabel agar gampang mengendalikannya melalui tele-operation. Jika sudah lolos uji, ia akan bisa berenang sendiri secara autonomous.” Pergerakan robot merah itu memang lamban dan masih belum sempuran trajektorinya. Narcisus beralih pada satu robot yang berwarna oranye, lebih mungil, dan berbentuk ramping seperti pesawat ulang alik mini, yang di bagian belakang dan sisi depannya terdapat sayap kecil penyeimbang. “Robot ini masih termasuk AUV, pemenang kompetisi underwater robot se-Eropa tahun lalu. Ia dinamakan Sparus, yang dilengkapi dengan sensor sonar.” Kami juga tertegun pada salah satu robot yang terlihat kokoh, garang, dan berbentuk seperti torpedo. Asisten Narcisus dengan semangat menceritakan mengenai robot itu, “Yang ini merupakan underwater robot untuk militer, juga beroperasi secara autonomous – tidak perlu dikendalikan oleh manusia. Robot ini didanai oleh kementrian Spanyol. Kalian lihat itu, lengan robotnya sangat kuat, sudah bisa mencengkeram objek di dasar laut dan membawanya ke permukaan. Robot ini juga tidak akan tersesat, selalu mengikuti peta yang kita buat, dan selalu bisa menghindari jebakan. Ini berkat kecanggihan computer vision yang kita tanamkan di dalamnya. Sekarang, robot militer ini ada di kolam ini untuk ditambahkan fitur pada tangan robotnya, juga memperbarui sistem navigasi pada visual tracking robot ini.” 3
Para pria di kelompok kami semakin antusias mendengar dongeng robot Narcisus dan melihat bagaimana robot serupa torpedo berlengan itu mendemonstrasikan keahliannya dalam mengambil objek – objek di dasar kolam dan menaruhnya ke kotak kecil yang terapung di permukaan kolam. Asisten Narcisus juga memperkenalkan kami pada AUV lain, yang baru saja diterjunkan ke kedalaman air bendungan Girona untuk mendeteksi keretakan pada dinding bendungan tua itu. Memang berjasa sekali robot – robot AUV jika bisa dimanfaatkan dengan baik oleh manusianya. “Ayo ikut aku!” kami kembali mengekor asisten Narcisus meninggalkan ruangan yang seperti akuarium robot itu. Sampai juga kami di sebuah ruangan yang satu kolam yang lebih kecil, hanya seukuran meja pingpong dan sepertinya tidak begitu dalam, hanya satu meter. Kolam itu berlapiskan kaca sehingga kami bisa mengamati robot – robot di dalamnya. “Selamat datang di kolam Biologically Inspired Robotics. Dalam kolam ini yang kalian lihat bukan robot – robot AUV yang bertubuh kaku, tapi robot – robot berukuran lebih kecil yang terinspirasi oleh hewan – hewan laut.” Nampaknya aku lebih menikmati kolam Biorobot ini dibandingkan kolam raksasa milik robot UAV. Asisten Narcisus menunjuk robot berwarna hitam yang sedang berjalan dengan kedelapan kakinya di dasar kolam, “Ini adalah robot lobster. Kedelapan kakinya memang terinspirasi dari cara berjalan lobster, bisa kau lihat „kan bagaimana robot itu bermanuver. Robot ini akan dimanfaatkan untuk remote-sensing di dasar sungai atau laut karena keahliannya berjalan dengan seimbang.” Robot berikutnya yang diterangkan oleh asisten Narcisus malah membuatku bergidik geli, sebab bentuknya menyerupai belut. Rupanya tidak licin dan menggelikan seperti belut asli, tapi lebih besar, berwarna selang – seling hitam-putih seperti zebra, dan seperti silinder yang tersusun oleh banyak bagian – menandakan banyaknya sendi terpasang yang memungkinkan robot berenak layaknya belut. Aku terkesima juga melihat robot belut ini bisa berenang cepat dengan trajektori meliuk – liuk dan bisa berbelok – belok dengan luwes. “Kalian lihat „kan, robot belut ini memiliki manuver yang tinggi. Aktuator, sensor, dan kontrol neuromekanis yang 4
melengkapinya membuat robot belut ini juga bisa berenang secara autonomous.” Asisten Narcisus tidak disangka – sangka mencelupkan tangannya ke dalam air dan mengambil satu robot yang paling imut disana, “I’ll show you. Kalian bisa lihat bagian – bagian dari robot ikan ini,” ia lalu menjelaskan satu per satu fungsinya. “Lokomotor dalam robot ikan ini memang lumayan kompleks sehingga ia bisa berenang ke depan, ke belakang, berputar, sampai berbalik badan. Robot ikan ini dilengkapi sensor yang peka terhadap cahaya, sentuhan, dan air. Kontrol navigasinya juga sudah autonomous, saat mencapai dinding akuarium ia akan otomatis memutar dan berenang ke arah lain. Okay, selamat berenang lagi, fish!” asisten Narcisus melepaskan robot ikan agar kembali berenang. *** Modul – modul lab autonomous robot kami jalani dengan gelora baru setelah kunjungan ke lab underwater robotics. Ladybug – sebuah robot bulat berdiameter 6 cm, bersensorkan infrared, dan masih berjalan dengan dua roda tersembunyi di dasarnya. Permukaan Ladybug bukan hitam-merah, melainkan transparan sehingga kita bisa melihat komponen – komponen elektronik didalam robot mini itu. Tantangan pada modul kali ini adalah Ladybug harus bisa berjalan sesuai navigasi peta dan berhasil menghindari rintangan. Simulasi sudah berhasil kulakukan di komputer dengan berbaris – baris kode yang sederhana namun cukup tricky. Aku tinggal mendesain lintasan dan menaruh beberapa rintangan, seperti penghapus atau pensil di depan Ladybug. START! Ladybug yang imut itu bisa berjalan mengikuti lintasan dengan baik. Tiba saatnya ia harus memutari kotak. Pelan tapi pasti, Ladybug bisa mengenali dinding kotak dan mengitarinya dengan sempurna. Ladybug kembali berjalan ke arah yang ia mau, sekarang mendekati rintangan penghapus. Gugup juga aku melihat reaksi Ladybug. Ia menyentuh permukaan penghapus dan anehnya, tidak menghindar mencari jalur lain dari rintangan itu, malah tetap disana dan tersendat. Macet ia tertumbuk disana. Putaran roda Ladybug semakin kencang tetapi tetap tidak bergerak. Ia malah menaiki rintangan penghapus, kehilangan 5
keseimbangan, dan akhirnya terguling terbalik. “Oh no!” aku kecewa mengapa tidak sesuai dengan simulasi. Secepatnya aku matikan Ladybug agar tidak rusak dan kembali mengecek kesalahan yang ada pada program atau sensornya. Kukira aku bisa menyelesaikan modul ini dengan cepat, ternyata tidak. Baru saja aku duduk tiba – tiba saja terdengar desingan „Wuzzzzzhh….‟. BeeBot, si robot lebah melintas di depan hidungku dengan kencang dan mendarat tidak mulus di atas mejaku. “Gosh!! Oh no way!” Rudolf berseru dengan frustasi dan langsung berlari dari mejanya ke arahku. Cowok Jerman itu memang tampak sedang heboh berkutat dengan si Beebot, “Come to papa, Beebot!” ia meraih robot mungil yang ukurannya tak jauh dari Ladybug. Sayap transparan Beebot masih mengepak – ngepak pelan di dalam genggaman tangan Rudolf. Mata Beebot dilengkapi dengan sensor optical flow, untuk mendeteksi dan estimasi pergerakan objek. “Aku membuat kesalahan pada program maneuver terbangnya. Oh sepertinya juga sensor UV-nya tidak kuatur dengan benar,” entah Rudolf berbicara padaku atau berbicara sendiri sembari lewat. Kini, ia sudah asik di depan komputernya dan berusaha menyelesaikan modul hari ini dengan benar. *** Siang ini, aku kebagian jatah untuk berkutat dengan si robot paling besar, yang berada di dalam kerangkeng. Robot KUKA KRX-760 ini berwarna hitam-jingga dan termasuk jenis industrial manipulator berbentuk robotic arm. Rangkanya begitu kokoh karena memang di desain untuk heavy payload, bisa mengangkat sampai 300 kilogram, dan jangkauan memutarnya mencapai 4 meter. Tinggi si KUKA ini pun kurang lebih sama dengan tinggiku. Aku tidak sendiri, tapi berdua dengan Emma akan menangan si lengan robot raksasa ini. Kami masuk ke dalam kerangkeng, mengambil papan controller otomatis yang dilengkapi dengan tombol dan layar sentuh untuk mengendalikan robot dengan interaksi fleksibel – namun terbatas. Dalam modul kali ini, kami ditantang membuat program efektif untuk memindahkan beban yang tergolong ringan bagi si KUKA ini, hanya seberat 50 kilogram – harus melalui trajektori, langkah, dan titik – titik lokasi yang sudah ditentukan. Aku langsung 6
beraksi di depan layar komputer, mengikuti beberapa prosedur yang tertulis. Aku dan Emma berusaha keras agar bisa mensimulasikan program kami dengan benar dalam praktikum berdurasi dua jam itu. “Ok, siap!” aku mengangkat ibu jariku, menandakan bahwa simulasi sudah benar dan saatnya mengimplementasikannya pada robot KUKA. Emma mengendalikan di depan computer, sedangkan aku meraih papan controller untuk mengendalikannya secara langsung. “Start now, Emma!”. Lengan KUKA mulai bergerak dan memutar ke arah beban tujuan, ujung genggamannya membuka dan turun meraih beban. Beban berhasil tergenggam dan dibawa ke posisi semula untuk dipindahkan ke sisi sebaliknya. Kami bersorak gembira. Kami lalu memodifikasi kode untuk perintah selanjutnya. Lalu, kami mencobakan simulasi program langsung pada KUKA. Seperti sebelumnya, KUKA membawa beban itu dengan lengannya yang bergerak ke atas. Namun, seketika saja dalam hitungan detik, KUKA memutar ke sisi kanan dengan kecepatan tinggi, lalu membuka genggamannya sehingga beban terhempas ke atas meja dengan kencang. Emma memekik ketakutan, “Oh NO!! No.. No.. No…!!” . Seharusnya sesuai dengan program yang sudah dibuat, KUKA akan berhenti setelah ia melepas beban, tapi kali ini KUKA tidak berhenti sampai disitu. KUKA kembali mengulang proses, seolah mengambil beban lalu memutar ke sisi sebaliknya, menggerakkan lengannya ke atas, dan membuka genggamannya. KUKA menghempaskan lengannya ke atas lalu ke bawah seolah sedang tersulut amarah. Semua proses dilakukan KUKA dengan kecepatan maksimum. Wuzzz….!!! Aku benar – benar panik. Aku malah hanya memandangnya dengan takjub sekaligus cemas. Kepalaku ikut menoleh ke kanan lalu ke kiri dengan cepat mengikuti pergerakan lengan raksasa KUKA berseliweran di hadapanku. “Fira! Press the button! Come on!!” Emma sepertinya sudah mau meledak memarahiku. Bagai tersengat listrik, aku buru – buru tersadar mencari – cari tombol di papan controller untuk menghentikannya. Aku seperti sedang bertarung melawan si tangan baja di dalam jeruji besi. 7
“Press that Emergency Button!!” Emma berteriak lagi dari kursinya. Akhirnya aku ingat untuk menekan tombol merah di bagian bawah controller untuk menghentikan si robot KUKA secara darurat. Telunjukku dengan yakin menekan tombol Emergency dan saat itu pula KUKA bak dibekukan. Ia sudah berhenti total. Namun, kami belum bisa bernapas lega. Kekacauan ini berdampak pada retaknya meja kayu dan hancurnya kotak kardus target akibat tertindas beban yang berat. Kami melihatnya dengan rasa bersalah dan khawatir. “Yeah, we set the wrong velocity – guess what? Ten times higher than the proposed velocity! Haha… and of course, improper bracket for looping the program,” aku dan Emma akhirnya menemukan kesalahan kami yang bisa berujung fatal. Alhamdulillah, untung saja bukan diri kami yang terkena amukan lengan raksasa KUKA. Tak lama kemudian, si asisten gembul, Oscar muncul di luar kerangkeng sambil mengunyah kacang dan meneguk Coke, “Hey, girls… is everything okay with KUKA?”. Kami hanya berpandangan, meringis, dan tersenyum masam. Lesson for today: don’t mess with big robot, no no no.. *** Sudah hari Jumat hari ini, teman – teman dijadwalkan akan pulang dari liburan. Baru kali ini aku merasa senang saat liburan akan usai, karena itu berarti residens tidak akan sepi lagi. Pagi ini, aku lihat Bok, Jeffrey, Omar, dan Nawaf sudah kembali berada di kamar masing – masing, mengakhiri liburan mereka di Italie. Malamnya, baru aku bisa mendengar suara geretan koper Emma memasuki kamarnya. Aku langsung menyambutnya hangat seakan – akan sudah bertahun – tahun tidak bertemu, “How’s your holiday in Andalucia, Emma?”. Gadis Cina itu langsung bercerita tak henti, sesekali terkikik, sambil menata isi koper kecilnya. “Ayo kita mampir ke tempat Neda, sepertinya ia punya lebih banyak cerita seru!” Emma segera bangkit dan menggandengku untuk turun ke basement menuju kamar Neda. Baru saja kami sampai di lorong kamar, ternyata Neda sedang ada di luar kamarnya bersama Omar, Bok, dan Nawaf. Mereka tampak sedang 8
kebingungan dan panik di depan kamar Jeffrey, yang terletak tepat disebelah kamar Neda. Suara Omar sudah bisa terdengar dari jauh, Bok hanya diam terpaku, sedangkan gaya tangan mengayun khas Nawaf sekarang juga terlihat lebih cepat. Perasaanku tidak enak, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Aku dan Emma mendekati mereka. BRUUKK!!! Kursi belajar melesat terbang keluar dari kamar Jeffrey dan jatuh dengan keras menghantam lantai lorong, tepat di depan kakiku dan Emma. Aku terkesiap. Nyaris saja aku tertimpa kursi! Kini aku bisa mendengar jelas teriakan frustasi Jeffrey, “I want to explode!! I don’t want to be here… No!!!” selebihnya teriakan dan raungan Jeffrey berbahasa Cina sehingga hanya Emma yang mengerti. Nawaf dan Omar masih berusaha mencegah Jeffrey dari tindakan vandalisme dan penghancuran barang – barang lain. Mereka mencoba memegangi kedua tangan Jeffrey tapi selalu gagal. Jeffrey kembali menepis pegangan mereka dan tambah mengamuk. Ia menjambaki rambutnya dan menabrak – nabrakkan tubuhnya ke dinding. Aku berkali – kali beristighfar memandangnya. Emma ribut meracau dalam bahasa Cina. Neda sudah sampai serak berteriak, “Don’t do that, Jeffrey!!! Oh please…!!” Bok mungkin adalah orang yang paling tidak bergeming menyaksikan kejadian itu. Jantungku berdegup kencang seperti laju TGV saking tegangnya dan terlalu lemas untuk berteriak. Sementara yang lain berusaha menenangkan Jeffrey, aku langsung bergegas ke lobby residens untuk melapor dan mencari bala bantuan. Beruntung kali ini yang menjaga adalah Sr. Raquel, “Help us!” dengan cepat aku ceritakan kronologis kejadian. Aku bersama Sr. Raquel lalu berlari ke basement dan mendapati teman – temanku masih berkumpul di depan kamar Jeffrey. Jeffrey masih mengerang dan berteriak histeris seperti orang kesurupan. Emma balas berteriak dengan emosi dalam bahasa Cina. Bok berseru padaku dan Sr. Raquel, “He’s trying to suicide!” Aku terperanjat mendengar pernyataannya. Bayangan akan Mister Misterius kembali berkelebat dalam benakku.
9