MENANGGULANGI STRES MENURUT KONSEP AL-QUR’AN Oleh: Musfirotun Yusuf
Abstract: Qur’an is God’s saying that is valued as a miracle, revealed to the last prophet through angel Gabriel, told to us handed down from person to person for generations, and valued as worship to God if it is read. It is began by sūrah al-Fātihah and ended by sūrah an-Nās. Allah revealed the Qur’an in order to be life guidance for Muslim community and direction for His creatures. Qur’an is a very effective medicine to eliminate heartsick like stress, and depression, and to improve human morals. There are so many human beings who suffer that sickness, either in low or heavy level. For those who have little faith and piety, they will difficultly overcome it.
اﻟﻘﺮآن اﻟﻜﺮﯾﻢ ھﻮ ﻛﻼم ﷲ اﻟﻤﻌﺠﺰ اﻟﺬى ﻧﺰل ﺑﮫ ﺟﺒﺮﯾﻞ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻰ آﺧﺮ اﻷﻧﺒﯿﺎء ھﻮ اﻟﻤﻨﻘﻮل اﻟﯿﻨﺎ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ وﯾﺘﻌﺒﺪ ﺑﺘﻼوﺗﮫ واﻟﻤﺒﺪوء ﺑﺴﻮرة اﻟﻔﺎﺗﺤﺔ.ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم أﻧﺰﻟﮫ ﷲ ﻟﯿﻜﻮن دﺳﺘﻮرا ﻟﻠﻨﺎس ﻓﻰ ﺣﯿﺎﺗﮭﻢ ﯾﮭﺘﺪون ﺑﮭﺪاه ﺣﺘﻰ.واﻟﻤﺨﺘﻮم ﺑﺴﻮرة اﻟﻨﺎس ﯾﻨﺎﻟﻮا ھﺪاﯾﺘﮫ ورﺿﺎه ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺜﻞ اﻹﺟﮭﺎد واﻻﻛﺘﺌﺎب و ﻛﺬاﻟﻚ، وﻛﺎن أﯾﻀﺎ دواء ﺟﯿﺪا ﻟﻌﻼج اﻷﻣﺮاض اﻟﻘﻠﺒﯿﺔ ﻟﺘﺤﺴﯿﻦ اﻷﺧﻼق اﻹﻧﺴﺎﻧﯿﺔ و ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ.وﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺎس اﻟﺬﯾﻦ ﻟﺪﯾﮭﻢ ھﺬا اﻟﻤﺮض ﺳﻮاء ﻛﺎن ﺷﺪﯾﺪة أو ﺧﻔﯿﻔﺔ ﻟﮭﺆﻻء اﻟﺬﯾﻦ ﻟﺪﯾﮭﻢ اﻟﺘﻘﻮى و اﻹﯾﻤﺎن اﻟﻘﻮى أﻧﮭﻢ ﺳﯿﻜﻮن ﻗﺎدرة ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻐﻠﺐ ﻋﻠﯿﮫ ﻟﻤﻦ ﻋﻨﺪھﻢ اﻟﺘﻘﻮى واﻻﯾﻤﺎن اﻟﻀﻌﯿﻒ ﺳﯿﻜﻮن ﻣﻦ اﻟﺼﻌﺐ اﻟﺘﻐﻠﺐ، و ﺧﻼف ﻋﻠﻰ ذﻟﻚ ﻋﻠﯿﮫ
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang bernilai mu’jizat, yang diturunkan kepada nabi akhir zaman dengan perantaraan malaikat Jibril, yang diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya terhitung ibadah. Diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Allah menurunkan al-Qur’an adalah sebagai pedoman tata kehidupan umat dan merupakan petunjuk bagi makhluk, al-Qur’an merupakan way of life bagi manusia supaya dalam menjalani kehidupan di dunia memperoleh hidayah dan ridho-Nya. Al-Quran juga merupakan obat yang sangat manjur untuk menghilangkan penyakit hati antara lain stres, depresi dan memperbaiki akhlak manusia. Banyak sekali manusia yang mengalami penyakit tersebut, apakah dalam tingkatan yang ringan atau berat. Bagi orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuatlah mereka dapat dengan cepat untuk mengatasinya, sebaliknya bagi orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang rendah, sulit untuk mengatasinya. Kata kunci: al-Quran, Stres, Iman, Takwa PENDAHULUAN Kondisi zaman seperti sekarang ini, hampir semua manusia di dunia, khususnya di Indonesia terkena penyakit stres. Dunia yang serba sibuk, terjadinya krisis global,
pemutusan hubungan kerja hampir setiap saat terjadi dimana-mana. Peristiwa-peristiwa tersebut dan perubahan-perubahan yang berhubungan dengan fisik dan psikis seseorang dapat menyebabkan stres. Sebenarnya stres merupakan akumulasi dari reaksi tubuh terhadap situasi atau lingkungan sekitar yang tampak berbahaya atau sulit. Kondisi jiwa yang tertekan, dapat membuat sirkulasi darah dan metabolisme menjadi tidak sempurna sehingga manusia sakit. Namun sebagai manusia yang beragama, kita tidak perlu khawatir karena sebenarnya Alloh telah memberikan pedoman kepada manusia untuk mengatasinya. Untuk itu perlu pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya sangat penting diketahui oleh siapapun agar kehidupan ini tetap sehat. Di antara sekian banyak konsep yang terkandung dalam kitab suci al-Qur’an adalah konsep yang mempunyai relevansi dengan stres atau keputusasaan. Berkaitan dengan penanggulangan stres yang terjadi pada diri manusia, al-Qur’an memberikan beberapa konsep pengobatan. Yang dengan konsep tersebut, manusia akan terbangun dari buaian stres dan kembali kepada jiwa optimis dan progresif. Sehingga akan terciptalah manusia yang berkualitas. Tulisan ini akan mendeskripsikan tentang bagaimana manusia memanaj dan mengatasi stres.
PEMBAHASAN A. Pengertian Dan Gejala Stres Menurut Charles D, Spielberger, stress adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga dapat diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar seseorang. Gejala stres dapat berupa: 1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. 2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.
3. Watak dan kepribadian,yaitu sikap hati-hati menjadi cermat berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri, marah yang meledak-ledak. Sedang penyebab stress antara lain: 1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal. 2. Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. 3. Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam group, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik antar individu, interpersonal dan intergrup. 4. Indivual Stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu, seperti pola kepribadian, kontrol personal, learned helplessness, self efficacy, dan daya tahan psikologis. (http://agungpia,multiply.com/journal/item/35/stresskerjapengertian dan pengenalan Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang berat yang membahayakan dapat berdampak pada depresi dan pada akhirnya sakit jiwa. B. Menanggulangi Stres 1. Keimanan dan Ketaqwaan Seperti kita ketahui bersama, bahwa yang menjadi sentral keimanan seseorang adalah keyakinan kepada Allah SWT. Maka satu hal yang wajar, bila setiap ada kegiatan keagamaan selalu ada stressing terhadap peningkatan keimanan. Hal ini disebabkan adanya pasang surut keimanan seseorang. Iman akan pasang manakala hubungan dengan Allah tidak pernah putus. Sebaliknya iman akan surut manakala tali hubungan dengan Allah sering terputus. Kita telah mengetahui bersama, bahwa salah satu dari sekian banyak indikator yang dimiliki oleh manusia adalah adanya ambivalensi dalam menjalankan agama. Pemahaman mereka terhadap agama terkadang didominasi oleh perasaan, terkadang juga didominasi oleh daya pikir. Kondisi seperti ini sangat mudah membawa seseorang kepada ketidakstabilan iman atau keyakinan. Apabila kestabilan sudah tidak terjaga lagi maka tidaklah mustahil orang akan mudah jatuh ke lembah stres.
Keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana tata aturan agama adalah mencakup keyakinan bahwasanya Allah Sang Pencipta, penata dan pemelihara alam semesta. Hidup, mati, kemuliaan, kelapangan serta kesempitan tergantung atas iradahNya. Di tangan-Nyalah keberhasilan dan kegagalan kita, bahkan menyangkut masalah jodoh atau mitra hidup kita. Berangkat dari sinilah, maka bagi seseorang yang benar-benar meyakini sederetan sifat dan kekuasaan Allah di atas, ketenangan jiwa, rasa aman dan kedamaian akan mudah terealisir. Ia tidak mudah putus asa atas kegagalannya. Hal ini karena dalam jiwa seorang mukmin telah terpatri sebuah keyakinan bahwasanya Allah adalah sandaran dalam kehidupan, Allah adalah Sang Penolong, juga Dzat yang menentukan keberhasilan dan kegagalan, inilah yang dikehendaki dengan keimanan. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang mengalahkan Tuhan kami adalah Allah, kemudian tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS. Al-Ahqaf: 13). Ayat di atas merupakan janji Allah SWT terhadap orang-orang yang telah berikrar bahwa Allah-lah Tuhan mereka, kemudian ikrar tersebut tetap mereka pegang dalam setiap gerak langkahnya. Janji Allah terhadap mereka adalah berupa penafian atau pelenyapan kekhawatiran dan kedukaan. Sejalan dengan Surat al-Ahqaf 13 di atas, Rasulullah SAW juga mengisyaratkan kondisi orang mukmin, manakala menghadapi sebuah kegagalan atau musibah. Sebagaimana termaktub dalam hadist yang artinya sebagai berikut: ”Tidaklah berkumpul harapan dan kekhawatiran dalam hati seorang mukmin kecuali Allah yang Maha Perkasa dan Mulia memberinya harapan dan mengamankannya dari kekhawatiran.” (HR. Thabrani). (Jalaludin Abdurahman Ibnu Abu Bakar As-Suyuti, t.th: 141). Manusia yang benar-benar beriman tidak merasa khawatir serta gentar dalam menghadapi bencana dan cobaan. Ia tidak merasa takut tertimpa penyakit. Ia secara totalitas meyakini qadla dan qadar Allah. Ia juga meyakini bahwa kesenangan atau musibah yang menimpanya adalah semata-mata batu ujian dari Allah untuk mengetahui
siapakah di antara mereka yang mensyukuri nikmat, dan siapa yang bersabar atas musibah yang menimpanya. Selanjutnya keimanan dalam prakteknya mesti disertai ketakwaan. Dalam arti memelihara kondisi jiwa dan raga untuk tetap istiqamah melaksanakan perintahperintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Takwa juga dapat berarti kesadaran diri untuk patuh akan perintah yang menguntungkan dirinya, juga sadar untuk meninggalkan larangan yang apabila dilanggar akan mendatangkan madlarat baginya. Di samping itu, dalam takwa itu sendiri terkandung pemeliharaan dan pengendalian diri dari motif-motif dan emosi serta penguasaan nafsu sesuai dengan batas ajaran Islam. (Muhtarom, 1995: 21). Hal ini mengandung maksud bahwa manusia yang bertakwa akan senantiasa mengisi dirinya dengan amal-amal saleh yang dengannya terpancar nur atau cahaya Allah. Dengan cahaya Allah ini maka ia akan melangkah dengan penuh optimis dan dinamis. Dengan kata lain manusia yang bertakwa hatinya akan selalu hidup dan lapang menghadapi kegagalan yang ada. Sejalan dengan hal di atas, dalam kitab Ihya’ Ulumudin Imam Al-Ghazali dengan indah mengibaratkan hati yang takwa laksana bumi nan subur, artinya bahwa sesungguhnya hati tatkala kosong dari (sesuatu) yang tercela, maka (hati tadi) akan penuh dengan (sesuatu) yang terpuji. Dan bumi apabila bersih dari rerumputan, maka tumbuh di dalamnya berbagai macam. Tanaman (benih) dan berbagai macam tumbuhtumbuhan yang harum baunya (bunga) (Al-Ghazali, t.th: 40). Pendapat di atas memiliki arti bahwa takwa dapat memotivasi manusia muttakin untuk selalu memperbaiki diri dan mengembangkan potensi yang dimiliki dengan maksud agar dapat berbuat yang terbaik. Takwa yang seperti inilah yang menjadi kekuatan penggerak dan pengarah ke arah pengembangan diri yang lebih baik dan menjadi monitor terhadap perilaku yang kemungkinan menyimpang dari garis-garis agama. Jika konsep takwa seperti di atas direalisasikan dalam kehidupan, maka seorang manusia niscaya akan mempunyai kepribadian yang mantap, matang dan seimbang. Ia tidak akan mudah stres lantaran sebuah kegagalan karena ia mempunyai tujuan lebih utama yakni mardlatillah, bukan fasilitas-fasilitas duniawi semata. Hilangnya fasilitas hidup dari diri manusia muttakin tidak akan menimbulkan dirinya stres, hal ini dikarenakan sudah menjadi ciri orang yang bertakwa, yakni bersabar atas barang yang hilang. Sebagaimana dikatakan dalam Risalah Al-Qusyayri
bahwa takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap, yaitu: tawwakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuas diri dengan apa yang telah dianugerahkan dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang (Al-Qusyayri, 1994: 26). Seperti penulis katakan di atas bahwa manusia yang benar-benar bertakwa akan senantiasa bercahaya hatinya dengan cahaya Allah, ini berarti bahwa Allah berkenan menyertai dalam setiap gerak langkahnya. Bila manusia tersebut dalam keadaan kehilangan, maka Allah akan berkenan menghibur bahkan menggantinya. Bila ia mengalami kesulitan dan kegagalan, maka Allah berkenan hadir membawa jalan keluar atau solusi. Ini karena ia telah berusaha dan beramal sesuai dengan rambu-rambu Allah, sehingga Allah-pun senang kepadanya. Dan sebagai bias dari rasa senang Allah terhadap manusia muttaki, Allah yang penepat janji berjanji memberinya jalan keluar dalam setiap problem yang ada.
Artinya : …. Dan barangsiapaberiman kepada Alloh dan hari akhir, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia (Allah) akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. Ath-Thalaq: 2).
Artinya : … Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath-Thalaq : 4). Dari tinjauan di atas maka dapat ditegaskan di sini bahwa barang siapa ingin mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan atau dimudahkan segala urusannya, maka ada satu jalan yanng mesti ia tempuh, yakni jalan ketakwaan kepada Allah. Selanjutnya perlu dikemukakan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Allah menjadi modal dasar bagi konsep-konsep al-Qur’an selanjutnya. 2. Kesabaran Islam sebagai pembawa kedamaian tidak menghendaki semua hal di atas. Islam tidak ingin melihat manusia mati dalam kehidupan, namun sebaliknya Islam menghendaki manusia mempunyai jiwa yang tegar dalam menghadapi segala musibah yang menimpa. Islam juga ingin melihat manusia memiliki jiwa yang progresif.
Sejalan dengan keinginan-keinginan yang dikehendaki Islam di atas, Dr. Ahmad Faried mengatakan : “Di dalam jiwa manusia tersimpan dua kekuatan, yaitu kekuatan ingin maju (progresif) dan kekuatan untuk bertahan (defensif). Dan akibat sabar ialah menjadikan kekuatan progresif untuk diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat dan kekuatan defensif digunakan untuk menahan diri dari hal-hal yang membahayakan. (Al-Qusyayri, 1994: 26) Oleh sebab itu, untuk masalah ini, al-Qur’an datang dengan konsep kesabaran. Dengan kesabaran, al-Qur’an mengajak manusia untuk menyadari bahwa mati, jodoh dan lainnya ada di tangan Allah. Dengan kesabaran, al-Qur’an mengajak kita untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT.
Artinya : Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orangorang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan : Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. (QS. Al-Baqarah : 155-156). Dari ayat tadi dapat diambil sebuah pemahaman, bahwa jika seseorang dengan penuh kesadaran sudah mengatakan : sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali saat mendapat musibah, maka ia akan mendapat kabar gembira seperti tersurat dalam kalimat :
Berawal dari sinilah maka manusia yang bersabar ketika tertimpa musibah tidak akan mengalami stres. Hal ini disebabkan adanya kabar gembira “
“ yang dapat dijadikan pelipur hati yang berduka cita. Seperti
kita ketahui bahwa orang yang berduka cita sangat membutuhkan hiburan, perhatian dan motivasi yang kesemuanya itu dimaksudkan agar ia tidak larut dalam kesedihan. Di
samping itu, kabar gembira akan membawanya kepada keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya milik Allah. Bahkan lebih dari itu, kesabaran akan mengantarkan dia untuk mendapatkan rahmat serta petunjuk Allah. Sebagaimana ayat selanjutnya:
Artinya : Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk. (QS. Al-Baqarah : 157) Selain itu, kabar gembira tadi juga akan menjadikan manusia menjadi orang yang berkepribadian yang kuat. Sehingga ia tabah menghadapi musibah, Ia tidak lagi lemah, ambruk dan stres. Akan tetapi sebaliknya, ia akan menganggap musibah yang menimpanya sebagai awan yang berlalu. Di samping itu, manusia yang sabar dalam musibah tidak akan mencari kambing hitam dan terlalu menyalahkan diri, ia akan selalu berpikir positif dan selalu mencari hikmah yang ada di balik musibahnya. Tidak selamanya kemuliaan dan kemewahan mengandung kesenangan dan kedamaian. Sebaliknya, kesengsaraan tidak selamanya identik dengan penderitaan atau kesusahan, tapi justru kadang mengandung hikmah atau faedah yang manusia tidak menyangka sebelumnya. Selain musibah, stres juga terkadang disebabkan adanya tekanan dan kegagalan. Namun bagi manusia yang sabar yang dibarengi iman yang kuat tidak akan mengalami stres atas tekanan dan kegagalan. Baik kegagalan yang disebabkan faktor individu maupun sosial. Hal ini karena kesabaran senantiasa mengajari manusia akan ketangguhan dalam bekerja dan berupaya untuk merealisasikan tujuan-tujuan praktis dan ilmiah. (Utsman Najati,1985: 324) Manusia yang sabar tentu akan berpikir panjang, ia tidak akan duduk di sudut kamar, mengurung diri dan stres. Namun sebaliknya ia akan berfikir saya masih punya kesempatan, kegagalan bukanlah akhir perjalanan tapi awal dari keberhasilan. Di samping itu kesabaran dan ketangguhan erat kaitannya dengan kehendak yang kuat. Sedangkan kehendak yang akan senantiasa mengarahkan manusia untuk terus dan terus berusaha mencapai harapan atau tujuan, ia selalu berfikir bahwa suatu saat ia pasti akan berhasil. Kesabaran akan mengarahkan manusia kepada tindak tawakal. Hal ini mempunyai nilai yang cukup mendasar, dalam arti seseorang yang tawakal secara implisit telah mempunyai sandaran dalam melangkahkan kakinya mencapai tujuan.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 153). Dari sini dapat diambil kesan bahwa seseorang yang sabar akan selalu disertai dan ditemani oleh Allah dalam setiap gerak langkahnya. Kemudian kata-kata menyertai dan menemani mengisyaratkan bahwa Allah akan siap membantu manusia yang sabar itu kapan dan dimanapun ia berada. Inilah yang peneliti maksudkan dengan sandaran yang kuat dan mendasar. Demikianlah eksistensi kesabaran sebagai alat penyembuh bagi stres yang dialami oleh manusia. Dan sebagai akhir dari sub bab ini peneliti mengajak pembaca untuk sejenak merenungkan dua pendapat di bawah ini: “Orang yang sabar akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan akhirat, sebab mereka telah menjadi manusia yang disertai oleh Allah” (Al-Qusyayri, 1994: 148). “Sabar dalam mencari pemenuhan hasrat adalah tanda kemenangan dan sabar dalam kesukaran adalah tanda keselamatan.” (Al-Qusyayri, 1994: 149). 3. Ingat Akan Allah (Dzikir) Dzikir atau dzikrullah merupakan cara yang paling esensial untuk menyembuhkan lemah iman. Yang juga merupakan upaya untuk membersihkan hati dan mengobatinya tatkala manusia sakit serta merupakan ruh amal yang shalih. Sebagaimana firman Allah:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al-Ahzab: 41).
Artinya : Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS. Al-Anfal : 4)
Dzikrullah merupakan sesuatu yang diridhai-Nya, menjauhkan syetan, menyingkirkan kesusahan, mendatangkan rizki, membuka pintu ma’rifah, merupakan tanaman sorga, bisa mengenyahkan perkataan yang tergelincir, hiburan bagi orangorang fakir yang menderita karena tidak mendapatkan shodaqoh, lalu Allah menggantinya dengan dzikir, dan sekaligus merupakan cermin ketaatan seseorang. Sedangkan tidak mau melaksanakan dzikrullah bisa menimbulkan kekerasan hati. Dikatakan dalam sebuah syair: Melalaikan dzikrullah adalah kematian hati. Tubuh mereka adalah kuburan sebelum terbujur di kubur. Roh mereka berada di bilik-bilik badan. Namun tiada tempat kembali tatkala untuk kembali. Maka orang yang hendak mengobati imannya yang lemah, dia harus banyak dzikrullah, sebagaimana firman Allah:
Artiny: Dan ingatlah Rabbmu jika kamu lupa. (QS. Al-Kahfi: 24). Allah juga berfirman seraya menjelaskan pengaruh dzikir terhadap hati:
Artinya : Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ArRa’d: 28). Ibnul Qayim Rahimahullah berkata tentang penyembuhan dengan cara dzikir, Di dalam hati itu terdapat kekerasan yang tidak bisa mencair kecuali dengan dzikrullah. Maka seseorang harus mengobati kekerasan hatinya itu dengan dzikrullah. Selanjutnya secara totalitas dzikir berorientasi pada perbuatan mengingat Allah dan kebesaran-Nya yang wilayahnya melingkupi segala aspek ibadah dan perbuatan baik, seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca al-Qur’an dan berdoa. Juga menghindari perbuatan-perbuatan yang jahat atau keji. Dengan pendek kata dzikir merupakan manifestasi dari iman dan takwa. Urgenitas dari pada dzikir itu diketahui dari pelaku yang merasakan ketenangan dan ketentraman dalam jiwanya. Teknik ini sudah tidak diragukan lagi, sebab
kegelisahan dan kecemasan yang dirasakan oleh seseorang ketika merasa lemah, teratasi saat mendapat sandaran atau penolong baginya (Utsman Najati,1985: 326). Suatu keadaan jiwa yang dapat dipastikan tentang diri seseorang adalah sarat akan goncangan (Zakiyah Darajat, 1975: 13). Kondisi jiwa seperti ini disebabkan adanya tekanan yang begitu berat yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap sosial-psikologisnya yang akhirnya dapat menyebabkan kegoncangan jiwa. Kegoncangan jiwa ini akan bertambah frekuensinya manakala orang tersebut merasakan sebuah kegagalan atau musibah. Sehingga tidak dipungkiri lagi akan muncul ketidakstabilan jiwa emosi yang tidak jarang menimbulkan stres. Pada saat-saat seperti inilah seseorang sangat membutuhkan suatu sandaran yang dapat dijadikan kekuatan batin dalam menghadapi sebuah kegagalan dan musibah. Hubungan hati dengan organ-organ tubuh yang lain laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi oleh para punggawanya. Seluruh punggawa akan bergerak sesuai dengan perintah dan larangannya. Dengan kata lain hati merupakan reaktor pengendali atau remote kontrol sekaligus sebagai pemegang komando terdepan (Ahmad Faried, 1993: 84). Pendapat ini mempunyai maksud bahwa hati adalah sumber dari segala sikap dan perilaku. Bermula dari kondisi seperti inilah, maka Al-Qur’an menawarkan pada manusia yang mengalami stres dengan konsep dzikir atau mengingat Allah yang Maha Kuasa. Dengan konsep dzikir ini diharapakan suatu kondisi jiwa yang tenang dan damai, tidak kecewa dan stres. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya : (Yaitu) orang0orang yang beriman dan hati mereka emnjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar-Raad: 28). Seperti penulis katakan bahwa seseorang yang stres sangatlah membutuhkan tongkat penyangga jiwa atau sandaran. Kebutuhan akan sandaran ini akan terpenuhi manakala manusia tersebut mau mengingat dan terus mengingat Allah dengan berbagai jalan yang ada. Seperti halnya yang termaktub dalam kitab Al-Adzkar (An-Nawawi, tth: 182):
Ada lima hal obat (penyakit) hati: membaca Al-Qur’an dengan memikirkan (isinya), kosongnya perut (tidak banyak makan), mendirikan (shalat) malam, mendekatkan diri (kepada Allah) saat sahur, menemani duduk orang-orang yang saleh. Keberadaan dzikir sebagai sarana mendapatkan sandaran jiwa tidak lain karena dzikir dapat menghadirkan perasaan dekat dengan Allah dan perasaan berada dalam perlindungan serta penjagaan-Nya. Dengan demikian lahirlah jiwa yang penuh percaya diri optimis, tenang dan progresif. Simuh (1996: 113) menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan Allah (hablullah), prinsip timbal balik ada di dalamnya. Bila seseorang selalu dzikir (mengingat Allah), maka ia akan menjadi orang yang dekat dan dicintai oleh Allah. Selanjutnya Simuh (1996: 114) memperkuat ungkapannya bahwa tujuan dari pada dzikir adalah untuk menjalin ikatan batin, (kejiwaan) antara hamba dengan Allah (hablullah) sehingga timbul rasa cinta hormat dan jiwa muroqobah (merasa dekat dan diawasi oleh Allah). Dan sebagai bias dari rasa cinta Allah ini maka Allah pun akan selalu berkenan mengingat manusia tersebut. Sebagaimana firman-Nya:
Artinya : Maka ingatlah kamu niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152). Kecintaan Allah yang merupakan janji-Nya pada ayat di atas terdapat pada kata-kata ““ yakni bahwa Aku akan mengingatmu. Dan adanya kata adzkurkum didahului oleh kata fadzkuruuni ini mengisyaratkan bahwa Allah akan mengingat seseorang manakala ia mau mengingat Allah SWT. Inilah yang peneliti kehendaki dengan prinsip timbal balik atau hubungan dua arah. Sebagai kelanjutan dari kecintaan Allah atas manusia yang mau berdzikir adalah berkenannya Allah memberikan pertolongan atas kesulitan atau musibah yang ia hadapi. Dan sekalipun Allah tidak langsung menurunkan pertolongan pada saat itu juga, namun paling tidak dengan dzikir (mengingat Allah), manusia tadi berarti telah kembali mengingat kekuasaan dan kehendak Allah. Di satu sisi ia juga mengakui keterbatasandan kedla’ifan dirinya selaku manusia. Dengan demikian ia menjadi sadar dan bangkit dari belaian kekecewaan. Sejalan dengan hal ini dalam keterangan yang disitir oleh Widodo Priyono dan Abdul Wahib (1997: 37) dari KH. A. Mustafa Bisri
mengatakan ketenangan hidup tidak saja karena berpikir mengejar rasional hidup semata, akan tetapi juga karena tidak meninggalkan fitrah mengingat Tuhan. Berkait erat dengan masalah ini Allah kembali menegaskan dalam Surat Thaha ayat 124:
Artinya: Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan dan kondisi buta besok di hari kiamat bagi mereka yang berpaling dari peringatan (mengingat) Allah SWT. Dari kandungan ayat tersebut, dapat diambil mafhum mukhalafah bahwa orang yang senantiasa memperhatikan peringatan atau rambu-rambu Allah, dalam arti selalu mengingat Allah beserta perintah dan larangan-Nya, akan memiliki kehidupan yang lapang. Baik dalam sudut rizki maupun pemikiran. Ia akan menemukan kemudahankemudahan dalam menghadapi kehidupan, tidak mudah gelisah dan kecewa. Hidup sangatlah identik dengan bergerak dan dinamis. Sesuatu yang hidup cenderung untuk bergerak dan aktif. Sedangkan sesuatu yang mati cenderung diam dan pasif. Bila pendapat ini kita kaitkan dengan pembahasan kita, maka akan didapat titik terang bahwa manusia yang mau berdzikir (mengingat Allah) tidak akan menjadi stres lantaran ia mengalami tekanan dan kegagalan atau musibah. Hal ini karena ia memiliki cahaya kehidupan yang dapat memancarkan jiwa yang aktif, penuh optimis dan harapan. Ia tidak akan larut dalam suasana kedukaan, ia tidak akan mudah menyerah dan lemah saat menghadapi kegagalan dan musibah. Sebaliknya, ia akan terus dan terus bergerak dan maju sampai kemuliaan atau keberhasilan berada dalam genggamannya. Ia juga akan selalu mengharap ganti yang lebih baik dari sesuatu yang hilang. Manusia yang terus menerus berdzikir, dengan sendirinya akan melupakan segala problem yang dihadapi. Yang ada dalam hatinya hanyalah Allah. Terjadinya pengalihan ingatan inilah yang kemudian menjadikan ia berkawan dengan Allah, tidak lagi berkawan dengan stres. Dari sini, maka ia akan kembali merasakan keseimbangan jiwa dan kegairahan hidup. 4. Menyimak Al-Quran Karena stres juga termasuk penyakit lemah iman, maka yang selanjutnya untuk mengobatinya, dengan banyak menyimak Al-Quran Allah berfirman dalam Surat Yunus ayat 57 yang berbunyi:
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dalam surat Al-Israa’ ayat 82 Allah juga berfirman :
Artinya: Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Menyimak kandungan al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah SWT sebagai penerang bagi sesuatu dan cahaya yang ditunjukkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Tidak dapat diragukan bahwa di dalam al-Qur’an ini terkandung cara penyembuhan yang agung dan obat yang mujarab. (Muhammad Sholih al-Munajjid, 1416 H: 59). Allah berfirman dalam surat al-Israa’ ayat 282:
Artinya : Dan Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
KESIMPULAN Al-Quran merupakan firman Allah yang memiliki kandungan sangat lengkap, yang salah satunya adalah sebagai syifa (obat). Utamanya adalah obat bagi orang-orang yang memiliki penyakit hati. Diantara penyakit hati yang pada saat sekarang banyak muncul di masyarakat adalah stres. Oleh karena itu mempertebal iman dan takwa, sabar, banyak ingat kepada Allah (dzikir) dan membaca al-Quran, manusia akan terlepas dari penyakit yang sangat berbahaya tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA
A. Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Semarang: Toha Putra, 1989. Abdul Karim Ibnu Hawazin Al-Qusyayri, Risalah Sufi Al-Qursyayri, Terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994. Ahmad Faried, Mensucikan Jiwa Konsep Ulama Salaf, Terjemah M. Azhari Hatim, Surabaya: Risalah Gusti, 1993. Jalaludin Abdurahman Ibnu Abu Bakar As-Suyuti, Al-Jami’ush Shaghir, Juz II, Syirkah An-Nur Asia. Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, Dar Ihyail Kutubil Arabiyah, Indonesia, Muhtarom, Peran Agama Dalam Penanggulangan Stres, Semarang: Makalah disampaikan pada sarasehan mengatasi stres secara positif 22 April 1995. Muhammad Sholih al-Munajjid, Obat Lemahnya Iman, Jakarta: Darul Falah, 1416 H Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Ibnu Syarif An-Nawawi, Al-Adzakar, Surabaya: Bengkulu Indah. Utsman Najati, Al-Qur’an Dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka, 1985. Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Widodo, dan Abdul Wahib, ”Elemen-elemen Psikologi” dalam Tasawuf Edukasi, XII. Zakiah Daradjat, Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.