Menanam Padi: Kajian Pengambilan Keputusan Petani dalam Menentukan Varietas Padi 1 Semiarto Aji Purwanto (Universitas Indonesia) Abstract
Rice farmers in Sidamukti, West Java plant several varieties of rice, sometimes planting two or three varieties together in one plot of land. The decision to plant a specific variety is strongly influenced by farmers’ agricultural knowledge, such as knowledge of varieties of rice, periods of maturation, tastes, characteristic of specific varieties, as well as knowledge of environmental conditions, including soil conditions, the need of fertilizer and seasonal changes. The author suggest that this knowledge, as a basis for decision making is at a pre-attentive stage that has become patterned, and its nearly or perhaps entirely out of conscious consideration. In fact, external situational factors operating at the start of planting play a dominant role in the decision to plant a specific variety of rice. A multitude of factors – such as pressure from village authorities to plant certain varieties in keeping with development programs; to supply of grain, fertilizers and water for irrigation; the desire to experiment, and the demands of land owners – often become significant determinants. The author arrives at the conclusion that studies of decision making processes that view knowledge systems as recipes or patterns for behavior must be supplemented by close observation and understanding the context and situation in which behavior is generated.
Pendahuluan Seluruh rangkaian program pertanian Indonesia pada masa Orde Baru diarahkan kepada swasembada beras. Cara utama untuk mencapai tujuan itu adalah dengan pemakaian varietas unggul. Dengan demikian maka penanaman varietas lokal yang tidak mendukung usaha ini karena produktifitasnya 1 Tulisan ini merupakan versi ringkas dari skripsi S1 saya pada Jurusan Antropologi FISIP-UI. Data untuk skripsi tersebut diperoleh dalam penelitian lapangan di desa Sidamukti, Kecamatan Baros, Serang, Jawa Barat, bulan Januari_Juni 1991. Saya berterima kasih kepada Dr. Iwan Tjitradjaja dan Drs. Anto Achadiyat, MA. Yang bertindak sebagai supervisor lapangan dan pebimbing skripsi.
rendah tidak lagi dianjurkan. Sekalipun begitu, pemakaian varietas unggul ini ternyata tidak menggantikan varietas lokal yang telah ditanam sejak dulu di beberapa daerah. Kenyataan lain yang menarik perhatian di lapangan adalah adanya beberapa varietas padi yang ditanam dalam tempat dan waktu yang sama dalam satu musim, suatu hal yang sangat bertentangan dengan prinsip bertani modern dengan bibit unggul. Di Indonesia pada dasarnya dikenal dua varietas padi, yaitu varietas lokal dan varietas unggul. Literatur tentang pertanian menyebut varietas tradisional atau traditional variety
untuk varietas lokal. Saya mengartikannya dengan varietas lokal karena lebih sesuai dengan jenis yang ditemui di tingkat lokal atau daerah. Varietas lokal adalah varietas padi asli yang terdapat pada setiap daerah, jenisnya dengan demikian bermacam-macam menurut daerahnya. Sedangkan varietas unggul seringkali disebut dengan varietas modern atau modern variety. Saya memakai istilah unggul yang merujuk pada sifat unggul varietas tersebut dibanding dengan varietas lokal. Walaupun penggunaan varietas padi unggul sangat penting dalam rangka peningkatan produksi, sepengetahuan saya belum ada satu kajian antropologis yang secara khusus melihat bagaimana petani di Indonesia memutuskan untuk memilih satu varietas padi tertentu. Kajian tentang pemilihan varietas padi ini mencakup pengetahuan tentang varietas itu sendiri dan faktor-faktor lain yang muncul saat petani membuat keputusan. Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan apa yang sebenarnya mendasari pertimbangan petani sampai akhirnya memutuskan untuk menanam satu varietas padi tertentu, sehingga dalam satu blok bahkan satu petak sawah bisa terdapat lebih dari satu varietas padi. Dalam pembahasannya saya akan menempatkan terlebih dahulu faktor pengetahuan petani mengenai varietas padi dan pertanian pada umumnya, kemudian memperhatikan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pertimbangan petani dalam mengambil keputusan untuk menanam satu varietas tertentu, serta kemungkinan adanya kaitan antara pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Pendekatan dan studi pengambilan keputusan Dengan menguraikan pengetahuan petani Sidamukti mengenai varietas padi secara khusus dan pertanian pada umumnya, saya berharap dapat menjelaskan fenomena
penanaman beberapa varietas padi dalam satu blok atau pun satu petak sawah. Sekali pun begitu, pilihan untuk menanam satu varietas seringkali ditentukan juga oleh situasi saat keputusan akan diambil. Larson (1980:436) merekomendasikan kepada siapa pun yang melakukan studi tentang penggunaan pengetahuan atau knowledge utilization untuk lebih memberikan perhatian kepada pertimbangan situasional yang muncul dan akhirnya menentukan apakah pengetahuan itu akan langsung membimbing satu tingkah laku yang diharapkan, atau justru faktor lain yang melandasi terjadinya tingkah laku tersebut. Bahwa pengetahuan tidak secara langsung menentukan sebuah tindakan, telah disadari oleh para ahli antropologi. Machlup (1979) misalnya mengatakan bahwa pengetahuan yang berhubungan langsung dengan satu tindakan adalah p r a c t i c a l k n o w l e d g e , sementara itu masih ada intelectual knowledge yang hanya menunjukkan kepandaian seseorang tanpa harus diwujudkan dalam tindakan. Berkaitan dengan itu, saya akan menerangkan lebih dulu pengetahuan petani Sidamukti tentang pertanian, kemudian baru mengetengahkan pertimbangan-pertimbangan situasional yang muncul dalam menentukan varietas yang akan ditanam. Seperti yang disarankan ahli antropologi Nancy Williams (1985:242), saya mengartikan pengambilan keputusan sebagai sebuah proses yang paling tidak meliputi pengenalan dan penentuan pilihan-pilihan atau alternatifalternatif tertentu, penetapan kriteria pemilihan dan penilaian mengenainya. Ada beberapa syarat yang membuat proses tersebut bisa disebut sebagai suatu hal yang rasional. Syaratsyarat tadi adalah keinginan yang kuat untuk menentukan satu pilihan diantara ini dan itu, informasi yang cukup mengenai pilihan tadi, waktu untuk mempertimbangkannya dan kepercayaan diri yang tinggi untuk
memilihnya. Dalam pembahasan, pilihan-pilihan yang menjadi alternatif bersumber pada banyaknya varietas padi yang tersedia dan dikenal petani. Seorang petani bisa memilih salah satu varietas dengan pertimbangan-pertimbangan yang ia anggap sesuai dengan keinginannya. Pengetahuan petani mengenai varietas padi yang akan ia tanam dan pengetahuannya tentang pertanian pada umumnya serta keadaan pada saat ia akan menanam padi diharapkan dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa petani memutuskan menanam varietas padi tertentu. Sumodiningrat (1982) pernah menjelaskan alasan-alasan ekonomi berupa fluktuasi harga pupuk di pasar dan harga jual gabah yang dipanen nantinya sebagai pertimbangan bagi petani untuk menanam varietas padi unggul di Indonesia. Dengan memperhatikan variabel harga (yaitu harga padi kering, bibit, pupuk, sewa hewan dan upah tenaga kerja), variabel kekayaan (yaitu luas sawah, luas areal panen, luas genangan air irigasi dan distribusi sawah) dan variabel sosial ekonomi (yaitu umur dan lama pendidikan), ia menyimpulkan bahwa bila harga pupuk urea murah, petani akan memilih varietas unggul yang responsif terhadap pupuk. Sebaliknya apabila harga pupuk urea naik, maka petani cenderung mengganti varietas unggul dengan varietas lokal, yang tidak memerlukan pupuk. Variabel yang lain ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bagi perubahan pemilihan varietas sehingga dianggap tidak menunjukkan pemilihan varietas. Saya melihat studi tersebut belum bisa dianggap sebagai kesimpulan akhir bahwa pemilihan varietas padi tertentu dipengaruhi oleh fluktuasi harga pupuk. Ada dua alasan yang mendasari pendapat saya tersebut. Pertama, asumsi bahwa petani hanya mungkin menanam satu varietas dalam satu petak sawah
dalam satu musim, tidaklah selalu benar. Kenyataannya, ada juga petani yang menanam lebih dari satu varietas. Kedua, pertimbangan Sumodiningrat hanya cocok untuk petani dengan orientasi ekonomi pasar Petani dengan orientasi ekonomi subsistensi yang hanya memproduksi untuk konsumsi sendiri seringkali tidak memakai pupuk (kimia) sama sekali. Siregar dan Nasution (1984:135) secara selintas juga menyinggung adanya hubungan antara faktor harga pupuk dan harga gabah di pasaran sebagai alasan petani menanam satu jenis varietas padi. Selanjutnya dikatakan bahwa para petani, di tujuh desa dari tiga propinsi di Jawa yang menjadi sampel, memilih varietas lokal karena rasanya lebih enak dibanding varietas unggul. Sedangkan varietas unggul dipilih karena adanya penyuluhan petugas Departemen Pertanian dan adanya subsidi harga pupuk. Secara umum pertimbangan-pertimbangan tersebutlah yang nampaknya menjadi alasan pemilihan varietas. Tetapi, penjelasan tentang situasi dan kondisi yang memunculkan alasan tersebut belum terlihat. Ada dua keberatan saya terhadap studistudi tentang pemilihan padi yang sudah pernah dilakukan. Pertama, studi itu hanya merupakan bagian dari sebuah laporan mengenai penerimaan program inovasi pertanian. Dalam analisanya, perhatian hanya ditekankan pada latar belakang diterimanya varietas unggul di suatu daerah, tanpa memberi perhatian yang setimpal untuk kasus tetap dipilihnya varietas lokal. Kedua, studi-studi yang ada nampaknya lebih menekankan faktor ekonomi sebagai dasar pertimbangan petani menanam satu varietas tertentu. Faktor ekonomi memang penting, tetapi hanya menentukan sebagian dari proses pengambilan keputusan. Selanjutnya faktor ekonomi dan faktor sosial akan saling terkait dan
berpengaruh dalam proses tersebut (Wells 1991:766). Seperti dikemukakan Sumakto (1985), ada sejumlah pertimbangan lain di luar ekonomi yang turut menentukan pengambilan keputusan petani di Bali untuk memilih satu varietas. Petani Bali tidak menanam varietas unggul karena bibitnya tidak tersedia di pasar dan memilih menanam varietas lokal yang bibitnya mereka punya dan rasanya lebih cocok dengan selera mereka.
Memutuskan menanam sebuah varietas padi di Sidamukti Beberapa motif produksi petani seperti yang dikemukakan Wolf (1985) yaitu untuk pemenuhan kebutuhan kalori minimum, penyediaan bibit bagi musim tanam berikut, penyediaan dana sosial dan penyediaan dana bagi upacara-upacara yang harus dilaksanakan petani, nampaknya harus dipertimbangkan. Di lapangan, saya menemukan hal yang sama dikemukakan Wolf, di samping pertimbangan selera dan ekologis sebagai pertimbangan untuk memilih varietas padi tertentu. Pengetahuan tentang rasa seperti yang saya sebut di atas bisa menjadi penentu keputusan untuk menanam satu varietas tertentu. Orang Indonesia, yang makanan utamanya beras, umumnya menyukai rasa nasi yang pulen, mengembang dan tidak lengket. Nasi tersebutlah yang disebut enak. Selera tentang rasa nasi ini berbeda-beda. Orang Indonesia seperti juga Filipina, Malaysia dan Thailand umumnya menyukai nasi dengan kadar asam amilosa sedang yaitu sekitar 2024%. Orang Korea, Laos dan Jepang lebih suka nasi dengan kadar amilosa rendah yaitu 1019%. Sedangkan orang Burma, Vietnam dan India lebih suka nasi dengan kadar amilosa tinggi sampai sekitar 25-30% (Suwarno et al. 1982). Kadar asam amilosa, di samping asam amilopektin, suhu glutinasi, gel konsistensi, pengembangan setelah ditanak dan aroma
adalah hal-hal yang mempengaruhi rasa pulen dari nasi (Hanarida et al. 1985). Kita mesti memahami bahwa konsumen beras di Indonesia benar-benar merupakan pencicip makanan yang ahli dalam memilih jenis beras. Beras dari varietas Rojolele di Jawa Tengah bisa tersedia di Jakarta yang jaraknya lebih dari 500 km hanya untuk memenuhi selera warga Jakarta. Walaupun demikian ada kecenderungan pada golongan ekonomi menengah ke bawah untuk tidak terlalu menunjuk rasa sebagai pertimbangan memilih beras tertentu (Mears 1982:91-99). Nasi yang memenuhi syarat seperti itu berasnya harus mengandung asam amilosa dengan kadar sekitar 23%. Varietas-varietas unggul yang tidak disukai kebanyakan berkadar asam amilosa di bawah angka tersebut seperti IR 29 yang kadarnya hanya 4-7%, sedangkan Cisadane yang paling disukai mempunyai kadar 19-22% (Hanarida et al. 1985). Faktor sosial yang menjadi salah satu penentu dalam pembuatan keputusan untuk menanam satu varietas padi tertentu dalam hal ini mengacu pada bentuk-bentuk hubungan antara petani penggarap dengan sesama rekannya dan antara petani penggarap dengan pemilik sawahnya. Dengan sesama rekannya, seorang petani bisa mencocokkan varietas padinya sehingga waktu tumbuhnya menjadi sama. Waktu tumbuh yang sama, bisa mencegah padi terkena hama. Sementara ini, ada pendapat di kalangan petugas penyuluh lapangan (PPL) yang mengatakan bahwa bila usia tanaman padi tidak sama, maka kemungkinan akan terjadi migrasi hama dari satu sawah ke sawah yang lain. Dengan pemilik sawah, yang biasanya menjadi patronnya, seorang petani penggarap akan menghadapi dua situasi berkenaan dengan kebebasan menentukan pilihan padi yang akan ditanam. Kalau dia dibebaskan untuk memilih varietas apa pun yang dia sukai
maka tidak ada masalah baginya. Tetapi, bila pemilik sawah ingin varietas padi yang tidak cocok dengan pilihan petani penggarap, maka biasanya kepentingan pemilik sawah yang diutamakan. Di luar hubungan antar sesama petani, seorang petani juga berhubungan dengan penguasa yang membawahinya dalam struktur masyarakatnya, misalnya dengan kepala desa. Kepala desa bisa menentukan jenis varietas yang harus ditanam oleh warganya atas nama kepentingan pembangunan desa, atau sekedar memenuhi sebuah program yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa. Selain menjaga hubungan vertikal dengan penguasa, seorang petani juga harus menjaga hubungan sosial dengan sesamanya. Salah satu caranya adalah dengan upacara-upacara sosial atau religi yang melibatkan tetangga-tetangga atau relasi petani itu. Terdapat kasus bahwa ada varietas padi tertentu, misalnya Kewal dan Cere Beureum, berasnya menunjukkan gengsi bila disuguhkan pada saat upacara tadi. Di samping itu, makanan yang disajikan dalam upacara tersebut biasanya terbuat dari bahan yang memakai padi ketan, sehingga seorang petani yang berhasrat mengadakan upacara akan menanami sawahnya dengan varietasvarietas tadi. Faktor lain yang ikut menentukan adalah faktor ekologis seperti jenis tanah, curah hujan dan tersedianya air yang cukup untuk mengolah tanah. Berdasarkan faktor ekologi ini, terutama kaitannya dengan air, sawah dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, sawah teknis yaitu yang mendapat air dari irigasi seratus persen. Kedua, sawah yang hanya sebagian saja airnya tercukupi dari saluran irigasi atau sawah setengah teknis. Ketiga, sawah yang cuma mengandalkan air hujan untuk pengairannya atau sawah tadah hujan. Ada dua jenis pembedaan sawah menurut keadaan airnya, yaitu sawah ranca yang airnya selalu ada dan sawah darat yang airnya hanya
ada saat musim hujan. Petani mengenal varietas padi yang berbeda untuk ditanam di sawahsawah tersebut. Pada sawah darat, petani akan menanam Padi Merah yang tahan terhadap kekeringan air. Dia tidak akan menanam Padi Kewal yang tidak tahan terhadap kekurangan air, sekalipun rasanya lebih enak. Pertimbangan-pertimbangan situasional seringkali juga menjadi alasan kuat untuk memutuskan menanam varietas tertentu. Sebagai contoh, keputusan untuk menanam Varietas Cisadane, selain didasarkan karena rasanya enak dan umurnya pendek, juga didasarkan pada situasi saat seorang petani menanam padi itu. Dapat terjadi dia menanam varietas unggul tersebut, karena paksaan dari pihak kelurahan yang ingin mendapatkan penilaian baik saat inspeksi dinas dari kecamatan atau kabupaten datang. Dapat pula terjadi, seorang petani menanam Padi Super dalam petak yang sama dengan Padi Merah karena kurangnya bibit Padi Merah saat dia menanam, sehingga dia harus meminjam bibit dari petani lain yang kebetulan cuma mempunyai bibit Padi Super.
Pendapat dan alasan menanam satu varietas padi Data yang saya peroleh menunjukkan bahwa para petani menanam satu varietas padi karena adanya keinginan tertentu sesuai dengan pengetahuan tentang varietas padi yang mereka tanam. Keinginan tersebut tercermin pada pendapat-pendapat yang mereka ungkapkan sebagai alasan mengapa mereka menanam satu varietas. Pendapat-pendapat mengenai varietas yang mereka tanam pada satu musim tanam (seorang petani dapat mengungkapkan lebih dari satu pendapat) dapat dilihat pada tabel 1. Data tentang pendapat petani mengenai varietas yang ditanam petani Sidamukti menunjukkan bahwa varietas Cisadane dipilih
Tabel 1: Pendapat Petani tentang Varietas yang Ditanamnya (N=29) Alasan
Jenis Padi Cisadane
Rasa
Umur
Air
Pupuk Cara Panen**
IR/Super
Cere
Lainlain*
Enak
Tidak
Enak
Tidak
Enak
Tidak
Enak
29
0
2
27
29
0
7
Tidak 22
Cepat
Lama
Cepat
Lama
Cepat
Lama
Cepat
Lama
29
0
29
0
0
29
23
6
Mudah
Susah
Mudah
Mudah
Mudah
Mudah
Mudah
Mudah
21
8
14
15
29
0
7
22
Perlu
Tidak
Perlu
Tidak
Perlu
Tidak
Perlu
Tidak
25
9
25
9
1
28
18
11
Mudah
Susah
Mudah
Susah
Mudah
Susah
Mudah
Susah
29
0
8
21
29
0
7
22
* Varietas lain-lain adalah Cisanggarung, Cikapundung, Pelita dan Cere Malati. ** Cara panen yang dianggap mudah adalah dengan menggunakan etem, sedangkan yang susah adalah cara panen dengan arit dan digebot yang dianggap merepotkan.
karena rasanya enak (100%), umurnya singkat (100%) dan cara panennya mudah (100%). Selain itu Cisadane juga dianggap mempunyai keunggulan dalam hal kemudahan pengairan dan kebutuhan pupuk yang lebih sedikit dibanding Pare Super dan varietas lain-lain. Varietas P a r e S u p e r dipilih dengan pertimbangan utama umur yang paling singkat dibanding semua varietas yang ada. Seratus persen petani berpendapat Pare Super berumur singkat. Varietas lokal Cere Beureum dipilih petani karena rasanya yang enak (100%), tahan terhadap kekurangan air (100%), cara panennya mudah (100%) dan tidak membutuhkan dukungan pupuk untuk pertumbuhannya (96.55%). Cere Malati yang mempunyai sifat-sifat mirip Cere Beureum dipilih dengan alasan-alasan yang sama dengan Cere Beureum. Varietas lain-lain, yang berupa varietas baru, dipilih berdasarkan pertimbangan umur (79.31%) dan situasional (lihat penjelasan tentang situasi di bawah). Batasan-batasan yang menyebabkan petani tidak menanam varietas tertentu adalah sifat-sifat varietas tersebut yang tidak menguntungkan. Sifat-sifat itu adalah rasa yang tidak enak, umur yang panjang, kebutuhan air dan pupuk yang tinggi dan cara panen yang
susah. Pare Super tidak akan dipilih kalau seorang petani mempertimbangkan rasa beras yang dihasilkan. Terdapat 93.10% pendapat yang menyatakan bahwa Pare Super tidak enak. Cere Beureum juga tidak akan ditanam kalau seorang petani menginginkan umur padi yang singkat, mengingat ada 100% pendapat yang menyatakan Cere Beureum berumur lama. Apabila pertimbangan seorang petani memilih satu varietas padi karena ingin memperoleh panen yang cepat, tanpa mempedulikan rasanya, mempunyai benih dan pupuk untuk membantu pertumbuhan padinya, keadaan air di sawahnya bagus (ranca) dan memanen padinya dengan cara apa saja (etem maupun arit) maka petani tersebut akan menanam Varietas Pare Super. Mengacu pada Gladwin (1983:63), saya akan menjelaskan proses pengambilan keputusan tersebut dengan pohon pengambilan keputusan (decision tree), dalam bentuk diagram. Pohon pengambilan keputusan merupakan cara sederhana dalam menggambarkan hubungan yang logis antara pilihan-pilihan yang ada, kriteria atau batasan dalam memutuskan dan hasil yang berupa keputusan. Cabang-cabang dari pohon pengambilan keputusan itu diisi pertanyaan-
Bagan 1 : Pohon Pengambilan Keputusan Babak Pertama
permintaan
apakah anda mengkonsumsi padi yang anda tanam atau menjualnya ke pasar? ya
cuaca / tanah
tidak
jangan tanam padi
apakah tanaman padi cocok dengan keadaan cuaca dan tanah di sawah anda?
tidak
ya jangan tanam padi
pengairan
apakah anda mendapatkan air yang cukup untuk sawah anda?
tidak
ya jangan tanam padi
pengairan
apakah anda tahu cara penanaman padi?
tidak
ya jangan tanam padi
modal / kredit
apakah anda mempunyai modal untuk keperluan menanam padi?
tidak
ya jangan tanam padi lanjutkan babak kedua
pertanyaan yang menjadi kriteria atau batasan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, hubungan-hubungan yang logis antara pilihan-pilihan yang ada, kriteria pengambilan keputusan dan hasil atau keputusan yang diambil akan terlihat. Pohon pengambilan keputusan ke 1 (bagan 1)
merupakan alur proses pengambilan keputusan pada babak pertama, yang berisi pertimbangan untuk menanam satu jenis tanaman pangan tertentu. Dalam hal ini saya membatasi pada pertanian padi di sawah. Pohon pengambilan keputusan ke 2 (bagan 2) merupakan contoh untuk pengambilan keputusan babak kedua
Tabel 2: Alasan Situasional yang Muncul Saat Memutuskan Menanam Varietas (N=12) No. 1 2 3 4 5 6
Alasan Hanya memiliki benih tersebut Dapat bibit dari petani lain Menyamakan usia tanam dengan petani lain Keinginan petani pemilik Coba-coba Merasa tidak enak dengan pejabat desa Total
F 3 4 1 2 1 1 12
% 25 33 8 16 8 8 100
Sumber: Data Penelitian (Angka persen setelah pembulatan)
yang berisi pilihan untuk menanam varietas padi tertentu. Dalam hal ini saya akan mengambil contoh keputusan untuk menanam padi Cisadane. Kriteria yang saya pergunakan untuk mendapatkan satu jenis tanaman pangan yang dipilih untuk ditanam sama dengan kriteria yang dibuat Gladwin (1980:50-51) dengan menghilangkan satu batasan tambahan tentang nilai investasi dari tanaman pangan yang lama (empat-lima tahun). Kriteria ini saya hilangkan karena umur padi yang singkat (tiga-enam bulan). Proses pengambilan keputusan babak pertama berlangsung setiap kali petani hendak mulai menanam, sehingga proses pemilihan jenis tanaman tersebut tidak lagi disadari sepenuhnya oleh para petani. Ini adalah tahap pre-attentive, yang dilalui petani secara cepat, seakan-akan sudah otomatis dan tidak perlu dipikirkan lagi. Namun demikian, agar sampai pada babak kedua, satu jenis tanaman pangan harus lolos dari proses seleksi yang ada di babak penyisihan ini. Satu jawaban “tidak ” pada kriteria yang diajukan akan membuat petani tidak lagi memilih jenis tanaman pangan tersebut. Seandainya hal ini terjadi, maka petani kembali akan menyeleksi jenis tanaman pangan yang lain melalui proses seperti di atas (lihat bagan 1). Pada babak kedua (lihat bagan 2), petani
mulai memilih jenis varietas tanaman pangan– dalam hal ini padi–yang akan ditanam pada musim tertentu.Aspek-aspek yang paling menguntungkan dari setiap varietas yang ada dan kesesuaiannya dengan situasi pada saat akan ditanam, merupakan dasar pertimbangan petani dalam memilih varietas tertentu. Rasa, usia tanaman, kondisi pengairan, pemupukan, dan cara panen, merupakan sejumlah aspek yang selalu diperhitungkan oleh petani Sidamukti untuk menetapkan jenis varietas yang akan ditanam. Sedangkan persediaan benih, seringkali menjadi alasan situasi yang muncul pada saat akan menanam. Alasan persediaan benih ini saya tampilkan khusus dalam pohon pengambilan keputusan untuk menanam jenis varietas tertentu, karena presentasenya yang paling besar yaitu 58% dari keseluruhan alasan situasional yang muncul. Pada pohon pengambilan keputusan ke 2, digambarkan seorang petani yang akhirnya mengambil keputusan untuk menanam Varietas Cisadane. Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan aspek rasa yang enak, ketersediaan benih, usia tanaman yang lebih pendek dari Cere Beureum, persediaan air yang cukup, serta kemampuan membeli pupuk dan menuai padi dengan etem. Selain pengetahuan tentang keunggulan satu varietas dari varietas lainnya, keadaan yang memaksa di mana hanya varietas tertentu saja
Bagan 2: Pohon Pengambilan Keputusan Babak Kedua Keputusan Menanam Pare Sadane
rasa
benih
apakah anda ingin rasa padi yang enak?
tidak
ya
jangan tanam padi
apakah anda mempunyai benih pare sadane?
tidak
ya jangan tanam padi
usia
apakah anda ingin cepat panen?
tidak
ya jangan tanam padi
air
apakah sawah anda banyak airnya (ranca)?
tidak
ya jangan tanam padi
pupuk
apakah anda mempunyai uang untuk membeli pupuk?
tidak
ya jangan tanam padi
panen
apakah anda menanam padi dengan memakai etem?
ya tanam pare sadane
tidak
jangan tanam padi
yang bisa ditanam, juga menjadi dasar pertimbangan petani dalam menentukan jenis varietas yang ia tanam. Alasan-alasan situasional yang muncul pada saat petani memutuskan akan menanami sawahnya dengan varietas tertentu dapat dilihat pada tabel 2. Pada kasus-kasus penanaman satu varietas padi yang didasarkan atas pertimbangan situasional, alasan persediaan benih untuk dijadikan bibit nampak lebih menonjol dibanding alasan-alasan lain. Alasan-alasan lain yang muncul mengisyaratkan adanya dinamika dalam proses pengambilan keputusan menanam satu varietas padi. Dinamika itu menunjukkan kaitan antara pertimbangan pengetahuan dengan situasi yang menyangkut hubungan petani dengan orang lain.
Memilih satu varietas: pengetahuan atau situasi? Data di atas menunjukkan bahwa pengetahuan seorang petani di Sidamukti mengenai pertanian, menentukan pilihan varietas padi yang akan ditanamnya. Riwayat petani menanam Cere Beureum di Batukoneng, misalnya, didasarkan atas pengetahuan bahwa varietas tersebut lebih tahan terhadap kekurangan air dari pada varietas lain. Pengetahuan mengenai rasa Cere Beureum yang lebih enak dibanding varietas lain, dapat diperjelas dengan contoh kasus Salatin. Menurut Salatin, pupuk yang tepat akan membantu menambah produksi, tetapi ia tidak mampu membeli pupuk dalam jumlah yang banyak sesuai dengan sawah yang digarapnya. Keunggulan di bidang rasa menjadi pertimbangan utama Salatin untuk menanam varietas tertentu, karena ia menanam padi untuk konsumsi sendiri. Pilihannya akhirnya jatuh pada Cere Beureum, yang berdasarkan pengetahuannya mempunyai keunggulan rasa dan kemampuan untuk tetap
memberikan hasil yang optimal meskipun tidak diberi pupuk. Namun, data yang saya peroleh juga menunjukkan bahwa pengetahuan pertanian semata, dalam hal-hal tertentu bukan merupakan pedoman untuk memutuskan memilih satu varietas padi. Adakalanya pertimbangan situasional sangat menentukan varietas apa yang akan ditanam. Seringkali, pertimbangan situasional ini bisa mengalahkan keinginan atau permintaan (demands) dan pertimbangan yang berdasarkan pengetahuan pertanian semata. Badrul (28 tahun) saya temui ketika sedang nyebar benih sadane di Batukoneng. Ketika saya tanya kenapa ia menanam sadane, ia menjawab, ‘…dulu Pak Lurah nyuruh tanam sadane, yang nggak tanam dicabuti sama Eros (Sekretaris Desa), sekarang nggak enak kalau nggak nanam sadane .’ (Sawah garapan Badrul berada sekitar duapuluh meter dari halaman belakang rumah Lurah Agung).
Kasus Badrul ini menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak ingin menanam Pare Sadane, tetapi Kepala Desa memerintahkan warganya menanam Varietas Cisadane semua. Sanksi pencabutan jika petani menanam varietas selain Cisadane, menyebabkan Badrul menuruti kehendak Kepala Desa. Perintah itu sebenarnya dikeluarkan sudah sekitar lima tahun yang lalu dalam rangka memberikan kesan pertanian yang baik pada orang luar. Usaha tersebut dilakukan oleh Desa Sidamukti dalam rangka mencapai target menjadi desa swasembada. Walaupun sekarang sanksi itu sudah tidak dilaksanakan lagi, tetapi masih tetap ada rasa tidak enak di hati Badrul bila tidak menanam Varietas Cisadane. Dua kasus di atas merupakan contohcontoh ekstrim dari penggunaan pengetahuan dan keadaan situasional dalam memutuskan sesuatu. Pada kenyataannya, kedua aspek tersebut saling mempengaruhi dan sulit untuk menentukan mana yang paling berperan dalam
mengarahkan tindakan. Pada kasus Abdullah, misalnya, tujuannya menanam padi adalah keinginannya untuk mendapatkan rasa yang enak. Dengan pertimbangan ini, maka yang pertama kali terlintas dalam benaknya adalah menanam Cere Beureum. Ketika hendak melaksanakan keputusan tersebut, ternyata persediaan beras Cere Beureum y a n g dimilikinya sudah habis. Benih yang ada hanya Cisadane. Seandainya Abdullah tetap akan menanam Cere Beureum maka yang harus dilakukannya adalah menukar benih Cisadanenya dengan benih Cere Beureum petani lain. Tetapi, hal itu tidak dilakukan karena ia tahu bahwa Varietas Cisadane juga menghasilkan beras yang rasanya enak, meskipun tidak seenak Cere Beureum. Kasus lain yang menarik adalah adanya seorang petani yang pada musim tanam basah tahun 1991 mencoba menanam Varietas Cisadane di sawahnya “Saya baru sekali ini nanam Sadane. Biasanya selalu tanam Cere …ya coba-coba saja sekarang ….Lagi punya modal, katanya Sadane bagus kalau dipupuk seperti Lurah Agung …hasilnya banyak …sekarang saya mau coba, kata Pak Jali (45 tahun). Ketika saya tanya apakah ia pernah pakai pupuk, ia bilang baru sekali ini mau dicoba. Alasannya karena ia selalu tanam Cere yang tidak butuh pupuk dan karena tidak selalu punya uang buat beli. Sekarang ia tanam Cisadane dan baru panen mantang (ubi) sehingga punya modal beli pupuk.
Pada kasus Jali ini, petani menanam satu varietas berdasarkan pengetahuannya tentang aspek-aspek varietas tersebut yang belum pernah ia buktikan sendiri. Jali hanya tahu bahwa Varietas Cisadane akan menghasilkan padi yang lebih banyak dari Cere Beureum apabila diberi pupuk yang cukup. Maka ketika ia mempunyai modal dari hasil menanam mantang (ubi), ia memutuskan untuk mencoba menanam varietas Cisadane. Kasus Jali ini menunjukkan kaitan yang erat antara
adanya pengetahuan (yang belum pernah dipraktekkan) dan alasan situasional dalam memutuskan memilih satu varietas padi. Setiap kali menanam padi dalam satu musim, seorang petani akan mempertimbangkan pula untuk menanam varietas ketan, yang banyaknya disesuaikan dengan kebutuhan si petani. Apabila petani membutuhkan ketan hanya untuk persediaan sehari-hari, maka ia akan menanam ketan dalam jumlah sedikit (dua-tiga gantang ). Jumlah benih padi ketan yang sedikit, cukup ditanam dalam satu petak yang sama dengan varietas padi lainnya. Petani akan menanam ketan dalam jumlah banyak (satu petak sawah atau lebih) apabila ia merencanakan membuat hajatan. Dari data yang menunjukkan bahwa alasan situasional lebih banyak berperan daripada pengetahuan pertanian dalam menentukan pemilihan satu varietas, diperoleh dua kesimpulan. Pertama, satu varietas ditanam petani karena ia tidak mempunyai pilihan untuk menanam varietas yang lain. Pada kesimpulan pertama ini, petani menanam satu varietas karena keterbatasan-keterbatasan yang ada padanya. Diantaranya adalah: kurangnya bibit yang di tandur sehingga petani terpaksa memakai bibit apa saja, dapat pula karena bibit yang ia punyai hanya satu, selain itu juga adanya kehendak pihak-pihak yang secara struktural lebih tinggi (petani pemilik atau pejabat desa). Kedua, satu varietas tertentu ditanam petani karena kreativitas yang ada padanya, yaitu ingin mencoba varietas lain yang belum pernah ditanam dan untuk menyamakan usia tanamannya dengan tanaman petani lain yang sudah ditanam lebih dahulu. Uraian-uraian tadi memperlihatkan adanya kecenderungan bahwa pemilihan satu varietas padi untuk ditanam pada suatu musim ditentukan oleh pengetahuan petani mengenai
varietas padi yang ingin ditanamnya. Di pihak lain, ada pula kecenderungan yang tidak kalah kuatnya dengan kecenderungan yang pertama, yaitu pemilihan satu varietas padi dipengaruhi oleh situasi saat petani akan menetapkan pilihan. Pertanyaan mengenai apa yang mendasari pengambilan keputusan petani menanam satu varietas padi tertentu, dengan demikian dapat dijawab dengan mengungkapkan kaitan antara pengetahuan pertanian dengan keadaan situasional. Di Sidamukti, keunggulan sifat dari satu varietas padi dibandingkan dengan varietas padi lainnya, merupakan aspek penting dalam pertimbangan petani memilih varietas padi tertentu. Dalam pelaksanaan keputusan untuk menanam varietas padi yang telah dipilih, seorang petani masih harus mempertimbangkan keadaan situasi saat ia akan menanamnya. Pertimbangan itu dilakukan untuk menghadapi kendala situasi seperti kekurangan bibit, keadaan ekologi sawah dan campur tangan pemerintah desa dalam menentukan varietas yang akan ditanam. Pada akhirnya seorang petani mungkin akan menanam satu varietas lain yang kebetulan memiliki sifat sesuai dengan varietas yang direncanakan petani, atau menanam varietas padi yang tidak direncanakan sama sekali dan tidak sesuai dengan keinginan petani. Penanaman lebih dari satu varietas padi dalam satu petak sawah karena kehabisan bibit varietas yang diinginkan, adalah salah satu bentuk kompromi petani dalam mengatasi situasi. Dengan demikian, dapat saya simpulkan bahwa pembicaraan mengenai domain pertanian tidaklah cukup dengan hanya mmperhatikan faktor pengetahuan pertanian, (agricultural knowledge), tetapi perlu pula
memperhatikan kegiatan pertanian (farming activity) itu sendiri. D’Andrade (1987:112) mengatakan bahwa sebuah model kebudayaan (c u l t u r a l model atau f o l k m o d e l ) b e r i s i sejumlah obyek konseptual lain yang saling berkaitan. Satu kegiatan dalam domain tertentu akan melibatkan sejumlah obyek lain di luar domain tersebut sebagai latar belakangnya. Dalam tulisan ini saya telah menjelaskan bahwa kegiatan bertani, dalam hal ini pengambilan keputusan menanam satu varietas tertentu, selain dikerangkai oleh pengetahuan pertanian petani, juga ditentukan oleh keadaan situasional saat petani akan memutuskan memilih satu varietas padi untuk ditanam.
Beberapa implikasi studi pengambilan keputusan Penelitian antropologi mengenai pengambilan keputusan telah menjadi trend dalam studi antropologi ekonomi di Amerika Serikat pada dasawarsa 1970 dan 1980. Pangkal kajian penelitian ini menurut Barlett (1980:1) adalah isyu tentang kekurangan pangan dunia dan cara mengatasinya dengan teknologi pertanian modern. Lebih jauh Barlett (1980) mengatakan bahwa sumbangan yang bisa diberikan dari penelitian tersebut memang belum sampai pada kata kuncinya. Namun satu hal yang harus ditonjolkan adalah pandangan yang dihasilkan dari penelitian tentang pengambilan keputusan. Pandangan tersebut menegaskan kompleksitas dan heterogenitas petani, komuniti petani, keputusan-keputusan yang diambilnya dan kebijaksanaan yang seharusnya ditujukan kepada mereka (Barlett 1980:2). Kompleksitas dan heterogenitas seperti itu dapat diperoleh dengan menekankan studistudi antropologi pada individu-individu pelaku sebagai unit analisisnya. Penekanan pada individu pelaku ini sekaligus juga akan merubah pandangan kita terhadap petani,
sehingga menjadi lebih manusiawi. Asumsi utama bahwa petani sendirilah yang berwenang menentukan apa yang akan ia lakukan telah menyejajarkan mereka dengan individu lain dalam komuniti yang lain. Pemahaman bahwa petani bukan merupakan pelaku pasif tetapi justru pelaku yang aktif dalam memelihara dan/ atau mengubah sistem komunal atau moral ekonomi mereka ini, erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Dalam pembuatan kebijaksanaan untuk pembangunan pertanian (pedesaan), studi pengambilan keputusan memang tidak dapat dijadikan sebagai pedoman langsung (Berry 1980:333). Pengetahuan kita tentang keputusan yang siambil seorang petani untuk menanam satu varietas padi pada satu musim, tidak dapat meramalkan petani tersebut akan melakukan
hal yang sama pada musim berikutnya. Berbagai pertimbangan selalu berubah menurut kondisi yang juga berubah setiap saat. Studi dengan individu sebagai unit analisis juga tidak memungkinkan kita untuk meramalkan reaksi satu kelompok sasaran (target group) dalam paket program pembangunan. Padahal, sebuah kebijaksanaan dibuat dengan perkiraanperkiraan reaksi dan jangkauan yang luas sifatnya. Namun demikian, semua kekurangan itu tidak akan mengurangi signifikansi dari studi pengambilan keputusan bila kita melihatnya sebagai masukan untuk mempertimbangkan pembuatan kebijaksanaan pembangunan. Studi seperti ini juga akan berguna sebagai penelitian evaluatif terhadap sebuah program yang ditujukan kepada petani, misalnya pada kasus introduksi dan adopsi varietas padi unggul.
Kepustakaan Barlett, P. F. 1980 ‘Introduction: Development Issues and Economic Anthropology’, dalam P.F. Barlett (peny.) Agricultural Decision Making: Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press. Hal. 1-17. Berry, S.S. 1980 ‘Decision Making and Policy Making in Rural Development’, dalam P.F. Barlett (peny.) .Agricultural Decision Making: Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press. Hal. 321-336. D’Andrade, R. 1987 ‘A Folk Model of the Mind’, dalam D. C. Holland dan N. Quinn (peny.) Cultural Models in Language and Thought. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 112-148. Gladwin, C.H. 1980 ‘A Theory of Real-life Choice: Application to Agricultural Decisions’, dalam P.F. Barlett (peny.) Agricultural Decision Making: Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press. Hal. 45-85. 1982 Survival Strategies of Florida’s Small Scale, Part Time Family Farmer. Makalah untuk Pertemuan Tahunan American Anthropological Association di Washington. Larson, J. 1980 ‘Knowledge Utilization. What Is It?’, Knowledge: Creation, Diffusion, Utilization 1(3):421-442.
Machlup, F. 1979 ‘Uses, Values and Benefits of Knowledge’, Knowledge: Creation, Diffusion, Utilization 1(1):62-81.
Siregar, M. dan A. Nasution 1984 ‘Perkembangan Teknologi dan Mekanisasi di Jawa’, dalam F. Kasryno (peny.) Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 131-158.
Sumakto, Y. 1986
‘Penguasaan Tanah dan Pelaksanaan Intensifikasi Pertanian di Bali: Perubahan-perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Banjar Lepang Berita Antropologi 22(44): 47-65.
Sumodiningrat, G. 1982 ‘Pemilihan Varietas dan Permintaan Input dalam Pertanian Padi di Indonesia’, Agro Ekonomi 13(9):51-78.
William, N. 1985 ‘Aboriginal Decision Making’, dalam D. Barwick dkk. (peny.) Metaphor of Interpretation: Essays in Honour of W.E.H. Stanner. Syd ANU Press. Wolf, E. 1985 Petani: Suatu Tinjauan Antropologi. Jakarta: CV Rajawali.