MEMPERTIMBANGKAN FUNGSI WACANA JURNALISTIK DALAM TANGGAP BENCANA1
St. Sunardi
Dua atau tiga minggu setelah gempa di DIY-Jateng, banyak pihak berhasil mengumpulan banyak bantuan, relawan, dan data di berbagai daerah. Akan tetapi dalam proses penyaluran bantuan ada sejumlah penyalur bantuan yang terpaksa pulang karena tidak tahu jalan. Mereka lalu membawa pulang lagi bantuan. Namun disinyalir ada juga yang "malu" membawa pulang bantuan, maka bantuan itu diberikan entah pada siapa dan di mana. Jadi, orang yang sudah dijanjikan akan dikirimi bantuan gagal menerimanya. Bayangan saya waktu itu: andaikan saja ada media yang memuat peta daerah bencana (syukur sampai jalan-jalan di desa!) seperti saat koran memuat peta perjalanan menjelang lebaran! Tapi, siapa yang harus buat? Kalau dalam bencana ada relawan untuk mengumpulkan dan membagi kan b antuan, mengapa ki ta tidak juga memiki rkan pembentukan relawan untuk kepentingan pemberitaan (termasuk bikin peta) supaya masyarakat mendapatkan? Dari sinilah saya waktu itu sempat mencoba-coba menulis "Standar Minimum Pemberitaan dalam Bencana". Dari judul (rencana) tulian ini sudah bisa diduga bahwa idenya saya ambil dari Humanitarian Charter and Minimum Standards in Disaster Response (1997)-satu-satunya manual penanggulangan bencana yang saya punyai waktu itu. Karena satu dan lain hal, tulisan itu tidak saya teruskan dan baru saya lanjutkan untuk keperluan "Workshop Media Tanggap Bencana" ini. Singkatnya, dari pengalaman bencana di DIY-Jateng dua tahun lalu saya mengalami betapa vitalnya peran wartawan dalam penanggulangan bencana. (Apa jadinya tanggap darurat kalau tidak ada para reporter radio?) Namun dari sisi lain betapa sulitnya menjalankan tugas peliputan dal am bencana sesuai dengan k e b utu h a n ma sy ar ak at ( ko r b a n , p em e ri nt a h, r e l aw a n , da n sebagainya), kalau peliputannya bagus tidak dipuji, kalau tidak bagus dicaci maki. Oleh karena itu kepada teman-teman sekantor saya pernah berseloroh: daripada terjun ke lapangan tidak tabu apa yang dikerjakan dan mungkin malah merepotkan orang lain, barangkali lebih baik para mahasiswa diminta membantu para wartawan saja. Dari pengalaman bencana dua tahun lalu saya melihat ada tiga "beban" yang dihadapi oleh korban: penderitaan langsung akibat b e n c a n a , p e n d e r i t a a n t a m b a h a n k a r e n a k e m i s k i n a n d a n keterbelakangan yang sudah dialami sejak sebelum terjadi bencana, dan potensi konflik paska bencana. Dr. St. Sunardi, Lic., adalah Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 1 Disampaikan dalam "Media Workshop Jurnalisme Tanggap Bencana. Sarasehan dan Workshop Kesadaran Pengurangan Risiko Bencana (PRB) bagi Jurnalis" yang diselenggarakan oleh CIRCLE Indonesia di Yogyakarta, Sabtu 28 Juni 20o8.
Jadi, seperti sudah disinyalir oleh banyak orang, penanggulangan bencana sesungguhnya mencakup banyak bidang dan kompleks. Dalam kompleksitas penanggulan bencana ini, saya melihat tiga jenis wacana yang bisa disumbangkan oleh media: wacana informatif, wacana empatik, dan wacana kritis-' emansipatif. Ketiga wacana tersebut sejalan dengan kebutuhan masyarakat akan informasi yang tepat, kebutuhan akan ketulusan moral dalam membantu, dan kebutuhan transparansi dalam penanggulangan bencana. (Ketiga wacana ini barang kali bisa dipertimbangkan sebagai dasar penentuan behtuk tulisan berita. Namun di sini saya sama sekali tidak mengarah ke sana karena hal itu berada di luar kemampuan saya untuk mengusulkan.) Berikut ini saya paparkan tiga jenis dan fungsi wacana junalistik yang saya buat bukan berdasarkan penelitian melainkan sematamata pengalaman serta keinginanan kuat untuk melihat sinergi antara media dan kelompok-kelompok lain dalam penanggulangan bencana. 1. Fungsi informatif Informasi dib utuhkan ol eh semua pihak untuk memb angun p e n d a p a t t e n t a n g s u a t u b e n c a n a , p e n e n t u a n s i k a p , d a n memutuskan langkah-langkah yang tepat. Berkaitan dengan fungsi informatif, sejauh ini salah satu cara yang banyak diperdebatkan adalah cara "membuktikan" bencana dengan fotojurnalistik bahwa suatu bencana benar-benar terjadi dengan tingkat kerusakan tertentu. Kritik yang sering muncul (seperti disebut dalam pengantar diskusi ini): menyeramkan, horrific. Kalau kejadiannya memang mengerikan, apa salahnya kita menunjukkan kebenaran yang ngeri itu? Kalau situasinya memang berdarah, apa salahnya kita menunjukkannya pada publik? Namun dari sisi lain memang harus diakui bahwa ada saat-saat di mana para pembaca tidak sanggup melihat suatu foto yang mengerikan. Bukan b e ra rt i b a hw a p e mb a c a ti d ak p e r c a ya ak a n k e j adi a n ya n g disampaikan oleh foto itu melainkan hanya karena pembaca tidak sanggup menanggung beban kengerian suatu gambar. Karena tidak sanggup, maka bisa menimbulkan efek traumatic. (Malah pernah ada anak yang tidak bisa tidur karena terus dibayangi oleh suatu foto dalam sebuah koran). Sekali lagi, bukankah kenyataannya memang seperti itu? Kenyataan akan suatu peristiwa bagaimanapun dikonstruksi, juga kenyataan suatu bencana. Foto jurnalistik dalam jurnalisme bencana juga dimaksudkan untuk merekonstruksi kenyataan bencana. Fungsi foto jurnalistik dalam bencana mempunyai dua tujuan: membuktikan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi dan akibatnya bisa dilihat lewat foto, dan membantu untuk menimbulkan sense of being there pada para pembaca. 2 Dua fungsi fotojurnalistik inilah yang kemudian bisa mendukung para pembaca untuk membangun pendapat dan sikap atas suatu bencana. Apa yang biasanya dialami oleh para wartawan yang berada di lokasi bencana dan harus memberitakannya? Pengalaman yang paling mencolok 2
Nigel Warburton "Ethical Photojournalism and Electronic Darkroom" dalam Matthew Kieran (1998), Media Ethics, London - N.Y.: Routledge, 133.
biasanya adalah pengalaman akan kemustahilan bahwa peristiwa yang dihadapi itu benar-benar terjadi. Orang tidak percaya dan tidak manupercaya bahwa apa yang dihadapi itu benar-benar terjadi. Setiap orang termasuk wartawan mengalami kepanikan untuk memberi nama (memberitakan) setepat mungkin. Secara semiotik bisa dikatakan demikian: kita langsung bertemu dengan signified namun tidak menemukan (karena tidak ada) signifiers yang mewakilinya. (Situasi ini berkebalikan dengan pandangan posmodern tentang floating signifiers. Orang bisa menulis atau bicara apa saja namun tidak jelas signifiednya. Saya ingat foto Dian Sastrowardoyo yang sering muncul di Kompas) Itulah situasi yang dihadapi orang yang hendak menceritakan bencana. Pengalaman akan kemustahilan namun benar-benar terjadi inilah yang hares dibuktikan antara lain dengan foto jumalistik. Foto jurnalistik yang horrific adalah salah satu medianya. Namun pembaca kiranya tidak harus terancam trauma seperti para korban dan para wartawan yang ada di tempat bencana. Wartawan memang berada dalam dua pendulum dilematis: mentraumatisasi publik dan mendatarkan pengalaman akan kemustahilan namun benar-benar terjadi. Untuk sementara saya mengusulkan logika metonimik: logika yang memungkinkan para pembaca mengimajinasikan sendiri kengerian bencana lewat foto jurnalistik yang tidak harus horrific. Infrastruktur yang hancur dan nasib anak-anak biasanya (paling tidak ini menurut pengalaman saya) bisa membuktikan bahwa di suatu tempat telah terjadi bencana. Lebih daripada itu, pembaca bisa membayangkan kengerian kemandegan kehidupan. Sebaliknya, orang takut membayangkan jejak yang sudah mengerikan, sehingga mereka tidak lagi membayangkan melainkan dikuasai bayangan kengerian. Sesuatu disebut horrific karena orang tidak sanggup lagi mengembangkan images yang mereka hadapi. Membayangkan sendiri ini perlu untuk membangun pendapat dan sikapnya sendiri. Di sampi ng b erperan untuk memb ukti kan b ahw a suatu peristiwa benar-benar terjadi (walaupun bagaimana itu terjadi berada di luar perhitungan manusia, oleh karena itu disebut bencana), foto jumalistik juga bisa berfungsi untuk membangkitkan sense of being there di kalangan pembaca. Seorang ahli etika media, Claude-Jean Bertrand, mengatakan: "Bahkan [berita tentang] kematian massal, baik yang disebabkan oleh manusia maupun alam, kalau berita itu terjadi di tempat yang cukup jauh dan tidak memberikan sesuatu yang berfaedah dan baru, akan dikonsumsi sebagai hiburan" ("[E]ven mass deaths, caused by man or nature, if they take place far away enough and do not reveal anything useful and new, will be consumed as entertainment." 3) Komentar ini terkesan tidak manusiawi, memang. Namun dalam dunia popular visuality yang terjadi memang seperti itu. Berita tentang banjir di Jakarta, misalnya, bisa dikonsumsi sebagai entertainment oleh orang-orang di Yogya. Apalagi foto tentang bahaya bencana Merapi! Bukan karena pembaca atau pemirsa "kurang ajar" melainkan ada realitas media yang menggiring ke sana. Justru karena bahaya inilah, fotojurnalistik sebagai cara untuk membangkitkan sense of being there perlu kita perhatikan. Foto jumalistik yang memadahi dan dikombinasi teks yang memadahi pula pasti bisa menggugah pembaca untuk seolah-olah hadir di tempat kejadian. 3
Claude-Jean Bertrand "Quitting the Service of the Enemy".
Dari kerusakan, korban, dan respon terhadap bencana 2oo6 di DIY-Jateng kita semua sadar bahwa kita buta dengan lingkungan sekitarnya. Di tengah-tengah orang bergumul untuk mengatasi kerusakan dan menolong korban pasti ada pertanyaan dasar yang terus menggema: mengapa ini bisa terjadi? Pertanyaan ini penting bukan untuk korban yang sedang kalut namun juga menjadi pertanyaan strategic dalam pengurangan resiko bencana. Saya melihat ada dua jenis jawaban yang bersaing: jawaban ilmiah-geologis dan jawaban "teologis". Media sebagai penyedia informasi pun berhadapan dengan bahan-bahan berita semacam ini dan harus ambil sikap. Kalau kita setuju dengan peringatan Claude-Jean Bertrand, kita bisa memberitakan jawaban "mengapa ini bisa terjadi" dengan kriteria useful and new. Berkaitan dengan jawaban ilmiah-geologis, saya melihat bahwa masyarakat (termasuk saya) masih membutuhkan informasi yang paling dasar tentang asalusul gempa. Ini memang betul-betul useful and new. Masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan harus berterima kasih pada media yang memberi informasi tentang situasi geologic di Indonesia dan DIY-Jateng pada khususnya. Informasi itu ternyata tidak hanya menarik bagi orang-orang dewasa melainkan juga dengan anak-anak. Informasi yang memadahi dan meyakinkan tentang ini sangat membantu masyarakat untuk bernegosiasi tentang jenis konstruksi rumah yang akan dibangun. Informasi serupa juga berlaku dengan tsunami dan gunung berapi. Berbeda halnya dengan informasi tentang penyebab banjir (seperti di Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan). Orang kurang butuh informasi tentang penyebab banjir karena kebanyakan orang sudah tabu. Pendapat seorang ahli lingkungan tentang penyebab banjir tidak jauh berbeda dengan pendapat orang kebanyakan. Informasi itu bisa menjadi lebih useful a n d n e w k a l a u d i k a i t k a n d e n g a n o r a n g a t a u p i h a k y a n g b e r t a n g g u n g j a w a b a t a s p e r u sa k a n a l a m da n k e c e r o b o h a n managemen lingkungan. Hanya saja, untuk memberikan informasi situasi geologis itu para wartawan memang mau tidak mau harus bekerja keras karena harus menjadi semacam seorang ahli geologi! Berkaitan dengan jawaban teologis tentang bencana (secara kusus gempa dan gunung berapi), permasalahannya sedikit sensitif. (Sejauh saya tahu sudah ada teologi bencana) Saya tidak menduga bahwa minat media dan masyarakat pada jawaban teologis itu cukup besar. Ada semacam rituals of reproduction wacana teologis tentang terjadinya bencana baik di media maupun dalam kehidupan sehari hari. Ritual ini diperkuat dan dimistifikasi dengan lagu Ebied yang terus mengalun hampir selama dua puluh empat jam sehari. Saya khawatir semuanya ini menjadi semacam self-fulfilment prophecy. Saya juga khawatir orang yang tidak setuju dengan wacana teologis ini bisa dianggap sebagai musuh masyarakat. Di mana kita harus menempatkan gejala ini dalam pengurangan resiko bencana dan bagaimana sebaiknya media memberitakannya? Jawaban teologis atas bencana sesungguhnya bisa ditafsirkan dengan banyak cara: dari cara klenik, teologi beneran (sudah ada teologi bencana), antropologis, sampai dengan politik. Sejauh ini nuansa pemberitaan ke arah ini: gempa dan meletusnya gunung berapi merupakan hukuman Tuhan dan/atau pudarnya penguasa. Saya menafsirkan menguatnya wacana ini sebagai gejala masyarakat yang mendapatkan kesempatan mengartikulasikan
ketidakpercayaan mereka pada tatanan sosial dan kepemimpinan yang ada. Bencana menjadi semacam bahasa impersonal untuk mendeligitimasi tatanan sosial dan kepemimpinan. Akibatnya bencana sebagai gejala geologis cepat dispiritualisasi dan dipolitisasi. Dalam tingkat tertentu respon semacam ini barang kali berfaedah secara "psikologis". Wacana teologis ini pula yang kemudian menjadikan Mbah Marijan menjadi salah satu tokoh sentral dan menjadi bintang iklan! (Sayang belum ada politisi baru yang dilahirkan oleh wacana bencana!) Saya berpendapat sejauh wacana ini membuat orang lebih bersikap arif terhadap alam dan lingkungan serta masyarakat, wacana ini perlu di k e m b a n gk a n . A k a n t e t a p i , ka l a u w a c a n a i n i c e n d e r u n g mengekslusikan wacana lainnya, ini berbahaya. Berkaitan dengan wacana informatif secara umum saya tidak banyak bicara tentang apa yang perlu diinformasikan melainkan bagaimana informasi ini didapatkan dan diolah. Seperti sudah saya singgung dalam awal tulisan ini, sejauh media bersinergi dengan kelompok-kelompok lain dalam penanggulangan bencana, saya yakin media tidak akan pernah kekurangan wacana informatif yang dibutuhkan oleh masyarakat. Lebih daripada itu, saya yakin bahwa media di Indonesia (yang kaya akan gempa) akan melahirkan model wacana informatifnya sendiri. 2. Membangun rasa empati Wacana empatik dalam media bertujuan untuk: 1) membangkitkan sikap etis yang tepat pada orang-orang untuk untuk memberikan bantuan dan, 2) mempertahankan rasa empatik sampai bahaya itu tidak mengancam kemanusiaannya lagi. Tujuan ini saya tarik dari landasan etis dalam penanggulangan bencana: orang yang kena bencana mempunyai hak untuk ditolong. Jadi ini alasan kemanusiaan. Tanggung jawab negara pun juga harus kits tempatkan dalam konteks ini (walaupun ini bukan satu-satunya konteks). Landasan etis itu perlu dibangun untuk menghindarkan kesalahpahaman dalam mendefinisikan hubungan (dan interaksi) antar berbagai pihak. Praktiknya memang pelik namun prinsip moralnya cukup jelas: membantu orang yang sedang terancam kemanusiaannya adalah suatu kewajiban. Tanpa landasan moral semacam ini hubungan antara pemberi dan penerima bantuan dengan cepat berubah menjadi tidak sejajar lagi. Penerima bantuan merasa menjadi pengemis, sementara pemberi atau penyalur bantuan merasa menjadi Sinter Klaus dadakan. Jadi rasa simpati menjadi dominasi. Barang kali perlu juga masyarakat diberi informasi tentang penyalur bantuan dan asal-usulnya. Rasa empati yang benar bisa merelativisasi kemungkinan interaksi yang dibebani oleh berbagai bendera seperti agama, ideologi, maupun politik. Saya membayangkan bagaimana orang tidak alergi dengan simbol-simbol karena yakin bahwa mereka membantu karena murni empati. Ini pasti sul i t. Namu n pen anggul a ngan b enca na b i sa men ja di kesempatan belajar bersama. Mengingat pentingnya rasa empati sejati, dengan caranya sendiri media barangkali perlu mengangkat kode etik dalam penanggulangan bencana. Kalau ini berhasil, bencana bisa menjadi blessing in disguise dalam mengatasi berbagai persoalan di masyarakat. Pengalaman solidaritas kemanusiaan tanpa m e m a nd a ng l a ta r b e l ak a ng k ad a ngk a da ng t e r ur ai d al am pengalaman mengatasi bencana.
Di samping membangkitkan rasa empati yang tulus, media perlu juga mempertahankan "stamina". Jangan sampai orang menolong hanya karena merasa kasihan. Ini tantangan besar bagi media. Berapa banyak orang yang tahu bahwa sekian bulan setelah bencana orang-orang masih tinggal di luar rumahnya sendiri? Namun kita juga maklum betapa sulitnya mengemas situasi ini menjadi berita. Bahkan, pemberitaan "bencana" Lumpur Lapindo pun kini rasanya tidak lagi menarik perhatian orang apa lagi menimbulkan rasa empati. Barangkali yang perlu diberitakan adalah kerja orang-orang yang tidak padam rasa empatinya yang masih terus terlibat dalam pengurangan beban penderitaan para korban. Dalam kasus gempa di DIY-Jateng, media sempat lebih tertarik dengan gunung Merapi yang sedang "batuk". Saya yang tinggal tidak jauh dari Merapi sempat merasa bersalah karena sebagian bantuan untuk daerah Bantul dan sekitarnya dialihkan ke Merapi, padahal (menurut pengakuan Bupati Sleman) pemerintah sudah siap menanggulangi para pengungsi Merapi. Merapi memang termasuk khusus, di samping mempunyai dimensi bencana juga mempunyai dimensi "estetik". 3. Fungsi kontrol Fungsi kontrol dimaksudkan agar penanggulangan bencana bisa dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang sudah menjadi kesepakatan umum. Dari pengalaman bencana dua tahun lalu, saya melihat betapa pentingnya peran media dalam menjalankan fungsi kontrol pada pemerintah. Dari media pula (ditambah dengan pengalaman l a ng su n g ) , sa y a m e n g e t a h u i b e t a pa l e m a h n y a k o o r d i n a si pemerintahan kita dalam penanggulangan bencana. Semuanya seakan-akan mulai dari nol dan spontan. Gejala spontanitas ini antara lain tampak dari keputusan pemberian bantuan tunai yang jadi masalah (sampai sekarang?). Keputusannya terkesan tidak matang dan lebih banyak didorong oleh rasa empati berlebihan sehingga tidak realistik. Pernah dalam satu hari seorang ketua RT harus mendata jumlah kerusakan. Tidak realistis. Saya tidak tahu apakah sudah ada semacam tajuk yang mengulas hal ini supaya para pengambil keputusan itu berfi kir ulang dalam melontarkan keputusan. Yang terjadi adalah bahwa keluhan, sindiran, kemarahan tentang ini begitu luas. Ini sayang! Berapa uang yang habis untuk marah-marah. Pihak lainnya yang perlu dikontrol adalah lembaga-lembaga internasional dan para perwakilannya. Kontrol bukan untuk mencurigai melainkan untuk mempercepat proses saling pengenalan antara lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan pihak yang mau ditolong. Ini pasti tidak mudah karena seorang wartawan juga harus mempunyai pengetahuan dan informasi memadahi tentang fungsi, t u g a s , d a n k e w e n a n g a n l e m b a g a - l e m b a g a b e se r t a p a r a representatifnya. Ini bukan soal kita tidak setuju dengan bantuan internasional melai nkan justru soal keterlibatan kita untuk meningkatkan kualitas lembaga-lembaga internasional sambil menghindarkan hal-hal yang tidak perlu terjadi seperti salah sasaran, insensitivity, dan sebagainya.
~~~~~