Memori Sebagai Komoditas: Suatu Kajian Tentang Reproduksi Masa Lalu (Studi Kasus Pada White Shoes & The Couples Company) Penulis: Audra Syah Rasjid Pembimbing: Iwan Meulia Pirous Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia Abstract Media such as television, radio, mass media, music, film and the Internet is a tool that supports the exchange or movement within the cultural flow in globalization. In it there is a variety of information, narratives and an overview of the state of space and time. There is one thing that is highly influenced by the media and globalization, which is music. In getting the source of inspiration for its aesthetic music, especially indie is heavily influenced by the media. This study reveals one indie band’s process in producing creative works that have a feel of the past without having to have a memorial character. All the facts and data are generated from a research conducted on the indie band White Shoes & the Couples Company, through a series of observations and in-depth interviews. With this research, it was revealed that White Shoes & the Couples Company was strongly influenced by the media in obtaining artificial memory, which in turn were translated into their work. By absorbing memories that are available in the media, they represented images and narratives from those memories into their reality as a band—namely audio and visual aspects that look like their authentic experiences. Not only that, many aspects such as the variation of sounds, clothes, and record packaging were also a creation that is overflowing with retro fashion. I argue that White Shoes & the Couples Company is a group that has received various commodified memories. These memories are then used to serve as their personal memory, and to be represented back to others in a different form. Abstrak Media seperti televisi, radio, media massa, musik, film, dan internet merupakan sarana yang mendukung terjadinya pertukaran atau pergerakan arus budaya di dalam globalisasi. Di dalamnya terdapat berbagai informasi, narasi, dan gambaran mengenai suatu keadaan ruang dan waktu. Terdapat salah satu hal yang sangat terpengaruh oleh media dan globalisasi, yaitu musik. Musik, khususnya musik indie, sangat terpengaruh oleh media dalam mendapatkan sumber inspirasi dalam estetikanya. Penelitian ini mengungkapkan proses salah satu band indie dalam memproduksi karya cipta yang memiliki nuansa masa lalu tanpa harus memiliki pengalaman yang bersifat memorial. Data dihasilkan dari penelitian pada band indie White Shoes & the Couples Company dengan melakukan pengamatan dan wawancara mendalam. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa White Shoes & the Couples Company sangat terpengaruh oleh media dalam memperoleh memori buatan, yang pada akhirnya dapat dituangkan ke dalam karyanya. Dengan menyerap memori-memori yang tersedia dalam media, mereka mempresentasikan kembali gambaran dan narasi dari memori tersebut menjadi realitas mereka sebagai band—yakni aspek audio dan visual yang terlihat seperti pengalaman otentik mereka. Tidak hanya itu, berbagai aspek seperti variasi jenis suara, pakaian yang dikenakan, dan pengemasan album merupakan karya-karya yang sangat kental dengan mode retro. Saya beragumen bahwa White Shoes & the Couples Company merupakan pihak yang telah menerima berbagai memori yang terkomodifikasi. Memori ini lalu diolah untuk dijadikan sebagai memori pribadi mereka, dan disuguhkan kembali kepada pihak lain dengan wujud yang berbeda. Keywords/Kata Kunci: media; retro; indie music; commodity
4 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Pendahuluan Dewasa ini sering muncul pernyataan bahwa kita hidup di dalam dunia yang bergerak. Di dalam dunia tersebut kita bisa melihat dan merasakan peristiwa-peristiwa di mana manusia, kapital, komoditas, gambar-gambar, dan ideologi tersambung atau saling menjalin dan melintasi batas-batas geografis (Inda & Rosaldo 2002). Dunia yang bergerak tersebut dapat disebut sebagai dunia globalisasi. Globalisasi juga mempengaruhi ruang dan waktu. Ini mengacu pada suatu ciri bahwa semakin cepatnya arus ekonomi dan proses sosial telah menyusutkan dunia secara pengalaman. Waktu yang digunakan dalam melakukan sesuatu menjadi semakin singkat. Maka dari itu, dunia seakan menyusut dan jarak tidak lagi menjadi masalah—sebagaimana suatu kejadian di suatu tempat mempengaruhi tempat lainnya yang jauh dengan waktu singkat. Hal ini tidak lepas dari adanya dukungan media. Media memiliki peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi globalisasi. Media seperti televisi, radio, media massa, musik, film, dan internet merupakan sarana yang mendukung terjadinya pertukaran atau pergerakan arus budaya. Melihat hal tersebut, ada salah satu hal yang sangat dipengaruhi oleh globalisasi, yaitu musik. Bagi band-band indie Indonesia, peran media tersebut menciptakan dampak untuk lebih maju dan dapat lebih kreatif dalam berkarya. Dalam mencari hal-hal yang segar untuk disuguhkan kepada penikmat musik, banyak para musisi indie yang memutar otak. Mereka mencari ide-ide yang bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Ide yang akhirnya muncul merupakan ide yang cukup sederhana dalam penerapannya. Mereka menghadirkan kembali musik yang memiliki nuansa masa lalu. White Shoes & the Couples Company merupakan salah satu band indie yang muncul pada awal dekade 2000. White Shoes & the Couples Company juga merupakan salah satu grup band yang hidup di dunia globalisasi. Selama beberapa tahun terakhir, mereka merupakan salah satu grup band yang telah menjadi wajah bagi scene indie di Indonesia, khususnya Jakarta. Dengan menyuguhkan karya yang sebegitu rupa dan gambaran mereka mengenai masa lalu, mereka telah menjadi band yang sangat digemari oleh para penikmat musik di Indonesia. Dengan usaha-usahanya, White Shoes & the Couples Company merupakan band yang memanfaatkan kekuatan dari globalisasi tersebut. Di dalam era ini, kita memiliki berbagai keuntungan untuk mengakses informasi dengan sangat mudah. Dengan adanya keuntungan ini, White Shoes & the Couples Company memiliki cara dan tujuan tersendiri dalam membentuk image dan identitasnya. Di dalam bentuk formasi band, mereka memilih untuk menghadirkan suatu gambaran dan suara mengenai masa lalu. Tentu, masa lalu yang mereka hadirkan kembali adalah periode yang spesifik. Hal yang menarik di sini adalah, mereka bukanlah pihak yang memiliki memori dari
5 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
periode spesifik tersebut. Walaupun jika mereka hidup di dalam periode tertentu tersebut, mereka merupakan individu yang masih tumbuh ataupun masih berusia balita. Dari hal tersebut, saya memiliki pandangan bahwa mereka memiliki suatu cara tersendiri dalam menghadirkan nostalgia. Permasalahan Melalui aksi panggung, rekaman, dan videoklip, White Shoes & the Couples Company terlihat seperti melakukan penampilan yang selayaknya seperti band atau musisi dari masa lalu dengan periode tertentu. Seolah mereka memiliki suatu pengalaman otentik terhadap apa yang mereka lakukan dengan aksi panggung dan rekamannya. Ini memberi gambaran bahwa, ada suatu pemunculan kembali mengenai masa lalu. Dari permasalahan tersebut, terdapat pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana mereka membangun gambaran panggung dan rekaman yang seakan berasal dari periode tertentu, sedangkan mereka bukan pihak yang hidup di periode tersebut? 2. Mengapa mereka mereproduksi karya yang memiliki gaya dan suara yang terdengar berasal dari periode tertentu? Proses apa saja yang mereka lalui? 3. Periode berapa yang mereka reproduksi? Sejarah Singkat White Shoes & The Couples Company White Shoes & the Couples Company mulai berdiri sejak tahun 2002 di sebuah sekolah seni, yakni Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pelopor berdirinya band ini adalah Aprilia Apsari (Sari) dan Yusmario Farabi (Rio), yang keduanya merupakan mahasiwa Fakultas Seni Rupa. Mereka pun mengajak teman dekat satu fakultas yang bernama Saleh Husein (Ale). Ini merupakan formasi awal dari White Shoes & the Couples Company sebelum menjadi formasi lengkap seperti sekarang. Atas dasar kebutuhan, maka tiga personil tersebut mengajak teman mereka yaitu Ricky Surya Virgana (Ricky) untuk mengisi posisi bass dan cello, dan Aprimela Prawidyanti (Mela) untuk mengisi posisi keyboard, piano, dan Biola. Kedua personil ini merupakan mahasiswa dari Fakultas Seni Pertunjukan, dengan jurusan musik. Tidak lama kemudian, Ricky mengusulkan untuk mengajak teman satu fakultasnya bernama John Navid (John) untuk mengisi posisi drum. Selain itu, mereka telah merilis berbagai album. Album perdana yang berjudul sama dengan nama band mereka dirilis pada tahun 2005 oleh label indie Jakarta Aksara Records, dan didistribusikan oleh Universal Music Indonesia. Kemudian mini album (EP) pertama
6 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
yang berjudul “Skenario Masa Muda” dirilis pada tahun 2007 oleh Aksara Records. Album kedua mereka yang berjudul “Album Vakansi” dirilis pada tahun 2010, oleh PuraPura Records. Terakhir mini album berjudul “Six Live Selection”, berisikan lagu-lagu live yang diambil dari beberapa pertunjukan di dalam dan luar negeri, dirilis pada tahun 2012. Selain itu, mereka juga mengisi soundtrack beberapa film, dan beberapa lagunya telah masuk di berbagai rekaman kompilasi. Pencapaian yang perlu diperhatikan lainnya adalah, album mereka turut dirilis oleh Minty Fresh, yakni label asal Chicago, Amerika Serikat. Ini memperlihatkan bahwa White Shoes & the Couples Company memiliki pengakuan oleh dunia. Mereka tidak hanya menyuguhkan sebuah penampilan yang unik saja, tetapi juga musik yang menjadi sebuah “bahasa” universal bagi para pendengar di seluruh dunia. Karena memang, musik adalah sebuah artefak dan hal yang dapat terus dinikmati dalam eksistensinya di dunia. Hal ini membawa kita kepada bagaimana White Shoes & the Couples Company dapat mengemas suguhan audio dan visual tersebut dengan sedemikian rupa, dan membawa kita kepada kesan masa lalu. Representasi Audio Secara sadar atau tidak sadar, kita akan merasakan kesan nostalgia ketika mendengarkan lagu-lagu White Shoes & the Couples Company. Di dalam karyanya, mereka merangkum berbagai inspirasi tersebut, lalu memposisikan diri mereka untuk disejajarkan dengan—baik itu—musisi masa lalu dan musisi masa kini. Menurut Cohen (1995), musik merupakan hal yang dapat direpresentasikan dan diinterpretasi, dirasakan, didengar, dan dialami. Berkenaan dengan itu, White Shoes & the Couples Company seakan-akan menciptakan berbagai lagu yang terinspirasi dari kehidupan masa lalu seseorang. Mereka seolah mendapatkan pengalaman yang otentik, dan menuangkan pengalaman tersebut ke dalam lagu-lagunya. Dalam proses penciptaan karya, mereka banyak mengambil dan mendapatkan berbagai sumber sebagai inspirasinya. Dalam hal ini, mereka sangat terpengaruh soundtrack dari film-film populer nasional dan keadaan sosial pada masa lalu. Tidak hanya itu, ketika mendengar lagu-lagu mereka, kita akan merasa ada beberapa sentuhan musik jazz, swing, hingga disko. Begitu juga ketika kita mendengar lirik yang dinyanyikan, terdapat rangkaian kata yang puitis dan penggunaan tata bahasa lama. Mereka seolah merupakan sebuah band yang berasal dari 40 hingga 50 tahun lalu. Tetapi, inilah yang menurut saya membuat mereka menjadi unik. Mereka merepresentasikan apa yang pernah ada sebelumnya. Hal ini pula yang mereka gunakan sebagai taktik untuk menarik minat berbagai pihak untuk mendengarkan lagu-lagunya, yaitu nostalgia.
7 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Bagi White Shoes & the Couples Company, ada sesuatu yang menggugah mereka untuk membawakan lagu-lagu yang berkesan lampau tersebut. Mereka mengapresiasi dan menyukai (adore) masa lalu. Dengan rasa tergugah tersebut, pada akhirnya mereka berusaha untuk menceritakan keadaan yang terjadi pada masa lampau. Pembayangan diri mereka seakan-akan berada pada masa lampau merupakan suatu cara yang dilalui dalam pembuatan lagu-lagunya. Dalam membangun karyanya, White Shoes & the Couples Company mendapatkan berbagai sumber inspirasi dan referensi. Pihak-pihak seperti keluarga, teman, orang tua, saudara, turut membantu mereka dalam mendapatkan referensi dan inspirasi dalam bermusik. Begitu juga dengan media-media seperti film, majalah, dan tentunya internet. Dengan melihat asal usul inspirasi dan referensi yang di dapat White Shoes & the Couples Company dalam membuat lagu, kita juga bisa melihat bahwa inspirasi tersebut juga merambah kepada penulisan lirik. Dalam penulisan lirik, mereka sangat mementingkan sebuah pembayangan. Eksplorasi mereka mengenai penulisan lirik sangat terbantu oleh referensi-referensi yang didapatkan. Pembayangan ini sangat kental terasa ketika kita membaca dan mendengarkan lirik tersebut. Seolah mereka telah mengalami kejadian yang ada di dalam lirik. Dengan medium ini pula mereka bisa menceritakan berbagai kejadian imajinasi. Terdapat suatu temuan yang menarik ketika saya menyaksikan pertunjukan White Shoes & the Couples Company. Saya melihat bahwa Sari selalu menggunakan tata bahasa yang baku ketika berkomunikasi dengan para penonton. Ini menunjukkan, tidak hanya dari segi lirik ataupun ketika ia menyanyi saja menggunakan tata bahasa yang baku, tetapi juga ketika ia sedang berbicara dan berkomunikasi dengan para penonton. Ini menunjukkan terdapatnya keselarasan di dalam White Shoes & the Couples Company. Ketika berada di panggung, seolah mereka memang sebuah band yang berasal dari masa lalu. Menulis lirik tidak jauh berbeda dengan menulis sebuah cerita. Dengan mendengar lirik, kita lebih mengetahui seperti apa karakter dari pemusik atau band tersebut. Begitu juga dengan gambaran pengemasan, pakaian, dan video klip yang ditampilkan. Hal ini tidak kalah pentingnya untuk dicermati. Representasi Visual Tidak hanya musik yang seakan terdengar dari masa lampau, tetapi suguhan visual yang ditampilkan oleh White Shoes & the Couples Company pun memiliki nuansa tersebut. Inspirasi dan referensi yang didapat pun datangnya dari masa lampau. Mereka sangat terinspirasi dari era-era 1960-an, 1970-an, hingga 1980-an. Jika dilihat, pakaian yang dikenakan tidak berbeda dengan apa yang pernah dikenakan oleh masyarakat luas pada era
8 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
tersebut. Begitu juga dengan pengemasan (packaging) album mereka. Di dalamnya terdapat gambar dan foto yang seakan-akan itu adalah gambar dan foto lama. Ini merupakan faktor yang cukup penting dalam melihat White Shoes & the Couples Company secara satu kesatuan. Musik White Shoes & the Couples Company sendiri banyak terinspirasi dari soundtrack film-film populer pada masa lalu. Tidak hanya itu, gaya berpakaian mereka pun terinspirasi dari film-film tersebut. Mereka menjadikan gaya berpakaian yang ada di dalam film tersebut sebagai representasi visual. Semua kreasi visual ini dijadikan sebagai kepuasan dan tujuan artistik. Bagi White Shoes & the Couples Company, terdapat film-film khusus yang sangat mempengaruhi mereka dalam berpakaian di atas panggung, dan di dalam video klip. Filmfilm tersebut adalah karya Teguh Karya yang berjudul Cinta Pertama dan Badai Pasti Berlalu pada tahun 1970-an. Tidak hanya itu, film yang muncul pada tahun 1950-an turut memberi inspirasi, seperti film yang berjudul Tiga Dara dan Asrama Dara karya Usmar Ismail. Mereka mengakui bahwa visual yang menjadi referensi adalah film dari era 1950-an dan 1970-an. Selain itu, di dalam sebuah musik harus ada keselarasan antara audio dengan visual. Pereplikasian tidak hanya terdapat pada segi pakaian saja, tetapi juga video klip. Video klip menjadi penting, karena suatu musik dewasa ini adalah musik yang dapat direpresentasikan dengan sebuah gambaran, dalam konteks ini adalah video klip. Video klip ini pun menjadi medium alternatif untuk menunjukkan penampilan mereka. Dengan adanya video klip ini, mereka dapat merepresentasikan gambaran dari lagu yang disuguhkan. Video klip merupakan salah satu representasi sebuah musik. Karena, tidak hanya untuk didengar, musik juga merupakan hal yang dapat dilihat. Di dalam video klip, seorang musisi dapat menuangkan representasi visual dari musik yang diciptakan. Hal ini tidak lepas dari berkembangnya teknologi pada saat ini. Jika dulu seseorang hanya dapat mendengar sebuah musik—walaupun, dulu seseorang dapat melihat musik dengan cara langsung (pertunjukan musik)—saat ini seseorang sudah dapat menyaksikan musik yang memiliki sebuah gambaran dan cerita, tanpa harus menonton langsung pertunjukan musik. Mediamedia yang menjadi wadah tersebut semakin bertambah. Seperti contohnya televisi, komputer dan internet, dan lain sebagainya. Video klip merupakan salah satu faktor pendukung bagi musik yang menjadikannya lebih menarik untuk didengar dan dilihat. White Shoes & the Couples Company sangat memanfaatkan keadaan ini. Mereka memanfaatkan video klip untuk memaksimalkan representasi visualnya. Walaupun, terdapat berbagai video klip yang hanya berbentuk ilustrasi abstrak, ataupun gambaran-gambaran
9 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
yang tidak menginterpretasikan lirik, White Shoes & the Couples Company memanfaatkan video klip ini untuk bercerita. Mereka menuangkan sebuah video yang memiliki cerita. Di dalam video klip yang memiliki cerita tersebut, White Shoes & the Couples Company seolah sedang mendokumentasikan kehidupannya. Jika dilihat, seakan-akan video tersebut adalah video yang direkam pada masa lalu. Tetapi, hal ini hanyalah sebuah rekayasa belaka. Mereka menampilkan hal tersebut untuk mendukung kesan lampau mereka. Dengan melihat video klipnya, dapat disaksikan mereka seperti sedang melakukan adegan klise, yang biasa terdapat di dalam film-film masa lalu. Mereka nyatanya sedang menirukan (simulate) kegiatan-kegiatan tersebut. Mereka menirukan kegiatan tersebut, dan membuatnya—tanpa disadari—menjadi lebih sempurna. Maksud saya adalah, membuatnya lebih sempurna dengan menggunakan teknologi masa kini. Jika kita lihat film-film masa lalu, kita akan menyaksikan sebuah tampilan gambar yang memiliki campuran (tone) warna yang memang pudar. Sedangkan, apa yang White Shoes & the Couples Company lakukan adalah merekam adegan-adegan di dalam video klip tersebut dengan perangkat alat rekam dengan teknologi yang sudah canggih. Mereka mengkondisikan dan merubah berbagai elemen video tersebut untuk dapat terlihat lebih berkesan lampau. Di lain sisi, terdapat video klip yang memang menggunakan perangkat rekam kuno. Seperti di dalam video klip yang berjudul “Sunday Memory Lane”, mereka menggunakan kamera 8mm. Kamera 8mm merupakan perangkat rekam pribadi (home video) yang sempat populer pada tahun 1960-an hingga 1980-an. Di dalam video klip ini, mereka menceritakan sebuah adegan bertamasya, dengan latar belakang berbagai tempat seperti pasar, taman bermain, dan sebagainya. Seolah video klip ini adalah sebuah dokumentasi tamasya mereka. Pada dasarnya, penggunaan kamera ini adalah semata untuk menambah nilai estetika yang ingin ditampilkan. Mereka mengetahui betul bahwa kamera ini adalah teknologi yang terhitung kuno. Dengan teknologi yang kuno tersebutlah mereka memanfaatkannya untuk mendapatkan kesan retro. Dengan kamera tersebut, mereka dapat menampilkan sebuah rekaman yang memang memiliki kualitas rendah. Berbeda dengan video klip “Windu Defrina”, video klip ini tidak menggunakan pengubahan campuran warna dan sebagainya. Bersangkutan dengan representasi visual tersebut, ada sebuah kecenderungan yang ingin ditampilkan oleh White Shoes & the Couples Company, yakni kesan retro. Berbagai elemen yang terdapat di dalam tubuh White Shoes & the Couples Company memiliki unsur retro. Tidak hanya di dalam musiknya saja, tetapi juga representasi visual memiliki kesan retro. Berbagai representasi visual ini kemudian dapat dilihat tidak hanya dalam unsur pakaian dan video klip, tetapi juga pengemasan. Pengemasan merupakan suatu faktor
10 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
pendukung lainnya yang dapat dijadikan medium representasi visual. Dalam hal ini, adalah sebuah pengemasan rekaman, baik itu CD (compact disc), kaset, ataupun piringan hitam. Sama seperti pakaian yang dikenakan dan video klip yang ditampilkan, foto-foto yang ada di dalam pengemasan album-album mereka merupakan replikasi yang pernah ada pada masa sebelumnya. Mereka seolah seperti mengalami kejadian tersebut pada masa lalu. Seperti ada memori khusus dari masa lalu yang mereka dapatkan, sehingga mereka seolah bernostalgia dengan melakukan penyuguhan seperti musik dan tampilan yang dipertunjukan. Mediascapes Memberikan Gambaran dan Narasi Mengenai Masa Lalu Globalisasi tidak hanya membawa perubahan terhadap keterhubungan global, tetapi juga membawa perubahan kepada cara seseorang merasakan ruang dan waktu. Ini mengacu kepada suatu ciri bahwa bertambah cepatnya arus ekonomi dan proses sosial, sehingga menyusutkan dunia secara pengalaman. Bagi Appadurai (1996) hal ini tidak lepas dari adanya global cultural flows. Arus global, khususnya media dan teknologi memberikan kita gambaran-gambaran mengenai suatu keadaan di berbagai ruang dan waktu. Dalam hal ini, media dan teknologi merupakan suatu “kendaraan” yang dapat membawa kita ke berbagai ruang dan waktu. Apabila dilihat keterkaitannya, segala sesuatu yang disuguhkan oleh White Shoes & the Couples Company—baik itu gambaran panggung ataupun rekaman—memiliki suatu nuansa yang berasal dari periode tertentu. Hal ini tidak lepas dari adanya sebuah ketersediaan gambaran-gambaran mengenai masa lalu. Dengan semakin berkembangnya teknologi dan semakin mudah untuk mengaksesnya, maka akan semakin muda pula untuk mencari berbagai informasi, narasi, dan gambaran mengenai suatu periode waktu. Para personil White Shoes & the Couples Company merupakan pihak yang mengkonsumsi berbagai gambaran yang memang tersedia di berbagai media. Media seperti televisi, radio, film, majalah, dan internet menjadi sebuah sarana yang digunakan oleh White Shoes & the Couples Company dalam mendapatkan gambaran-gambaran tersebut. Dalam hal ini, saya ingin menyebut bahwa tidak hanya gambaran saja yang di dapatkan oleh White Shoes and the Couples Company, tetapi juga berbagai “memori” mengenai masa lalu. Dalam kasus White Shoes & the Couples Company, terdapat media khusus yang memang menjadi sarana pengambilan memori, yakni film. Walaupun memang, memori merupakan hal yang dapat diturunkan melalui orang tua kepada anaknya, melalui kakek kepada cucunya, dan seterusnya. Namun, di waktu yang sama, perkembangan teknologi seperti film—bersamaan dengan munculnya budaya massa yang dikomodifikasi— memperbolehkan kita untuk mengakses berbagai gambaran dan narasi mengenai masa lalu. Dalam hal ini, tidak hanya memori yang bersifat kolektif saja yang dapat kita akses, tetapi
11 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
juga memori yang sifatnya pribadi (personal) pun dapat kita akses. Dengan kata lain, perkembangan teknologi di era globalisasi ini menjadikan gambaran atau memori tertentu menjadi lebih tersedia dan dapat mudah diakses. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh White Shoes & the Couples Company kemudian dapat memberikan pemahaman bahwa konstruksi media seperti film, musik, majalah, dan arsip foto pribadi turut serta dalam membangun sebuah image tertentu pada masyarakat. Dalam hal ini, image tersebut pada akhirnya dapat merasuki dan mempengaruhi suatu memori pribadi seseorang. Landsberg (2004) melihat bahwa film dapat mentransportasi seseorang untuk bepergian ke suatu tempat dan waktu, yang pada akhirnya dapat menciptakan suatu keadaan di mana orang tersebut menerima suatu memori dan image tertentu. Adapun image yang dimaksud di sini adalah perolehan gambaran-gambaran dan memori yang akhirnya mempengaruhi White Shoes & the Couples Company dalam berpakaian, menciptakan karya seninya—baik itu musik dan gambar—dan juga gerak-gerik yang dilakukan di atas panggung. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Appadurai (1996): “Mediascapes, whether produced by private or state interests, tend to be image-centered, narrative-based accounts of strips of reality, and what they offer to those who experience and transform them is a series of elements (such as characters, plots, and textual forms) out of which scripts can be formed of imagined lives, their own as well as those of others living in other places.” (1996: 35) Retro: Kritik dan Pereplikasian Masa Lalu Dengan kuatnya suntikan berisi gambaran dan narasi yang ditampilkan oleh media elektronik maupun cetak, White Shoes & the Couples Company pada akhirnya dapat mereplikasi masa lalu. Masa lalu tersebut merupakan masa lalu yang dihadirkan kembali pada masa sekarang. Hal ini dapat terlihat sebagai mode retro. Secara umum, retro adalah istilah mengenai suatu pergerakan fundamental di dalam hubungan dengan masa lalu. Selain itu, ‘retro’ mempunyai arti yang cukup spesifik: ini mengacu pada fetis yang disadari diri sendiri terhadap gaya dari periode tertentu—gaya dalam musik, berpakaian, dan desain—yang diekspresikan melalui pastiche dan kutipan-kutipan (Reynolds 2011: xii). Jika melihat ungkapan Guffey (2006) mengenai sinonim dari retro, kita dapat melihat bahwa White Shoes & the Couples Company “dibungkus” dengan berbagai macam hal yang kuno (old fashioned), sesuatu yang tua (old), abadi (timeless), dan juga klasik (classic). Karena, hal tersebut dapat kita lihat pada aspek visual dan audio yang ditampilkan oleh White Shoes & the Couples Company. Bagi Reynolds (2011), terdapat empat kerangka yang dapat menjelaskan retro. Pertama, ia mengungkapkan bahwa ada satu hal yang dapat membedakan retro dengan mode
12 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
lain yang berhubungan dengan masa lalu, yaitu waktu. Menurutnya, retro merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu yang tidak terpaut terlalu jauh dengan masa sekarang. Dengan kata lain, masa lalu tersebut dapat ditarik dari era pasca Perang Dunia Ke II. Dalam hal ini, saya mengungkapkan bahwa pereplikasian yang dilakukan oleh White Shoes & the Couples Company tidak terpaut jauh, yakni sekitar tahun 1950-an hingga 1980-an. Contohnya dapat dilihat dari pakaian dan musik mereka. Pakaian yang mereka kenakan merupakan suatu pakaian yang dapat dilihat dalam mode berpakaian pada tahun 1950-an hingga 1970-an. Kedua, retro melibatkan sebuah elemen mengenai suatu kenangan: ketersediaan akan arsip dokumentasi (foto, video, rekaman musik, internet) memberikan sarana untuk mereplikasi gaya di masa lalu, baik itu penggalan genre dari musik, fashion, dan segala sesuatu yang berhubungan gambar (lukisan, film, dan lain sebagainya). Kerangka ke dua ini merupakan suatu cara yang terdapat di dalam mode retro untuk mendapatkan berbagai gambaran di masa lalu. Ini merupakan hal yang terlihat jelas di dalam White Shoes & the Couples Company. Salah satu sumber utama yang menjadi referensi mereka adalah albumalbum foto keluarga dan orang tua mereka. Begitu juga dengan rekaman-rekaman musik yang didapatkan dari koleksi keluarga. Mereka menggunakan metode tersebut untuk mereplikasi berbagai elemen dan ditampilkan kembali ke dalam aspek audio maupun visual. Ketiga, retro secara umum juga melibatkan berbagai artefak yang berasal dari budaya populer. Tetapi, retro tidak menekankan sebuah kegiatan untuk mengoleksi barang-barang yang bersifat langka atau antik berharga mahal. Seperti misalkan barang-barang yang dijual di rumah lelang dengan harga tinggi. Retro lebih kepada barang-barang yang dijual di berbagai pasar loak, pasar bekas, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, White Shoes & the Couples Company melakukan hal-hal retro sebagai sesuatu yang melibatkan berbagai artefak dalam budaya populer. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa pakaian yang dikenakan oleh personil White Shoes & the Couples Company banyak didapat dari teman, keluarga, dan tentunya pasar loak atau bekas. Keempat, retro cenderung untuk tidak mengidealkan atau tidak adanya hubungan sentimental kepada masa lalu. Tetapi, di dalam kasus White Shoes & the Couples Company, hal ini dapat dilihat sebagai hal ironi. Saya beragumen bahwa White Shoes & the Couples Company memiliki cara tersendiri untuk dapat bernostalgia. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa mereka merupakan generasi yang hidup di masa perkembangan teknologi. Mereka dapat bernostalgia tanpa harus mengalami suatu kejadian pada masa lalu. Dalam hal ini, mereka mendapatkan berbagai gambaran, narasi, dan memori yang berasal dari media.
13 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Dengan begitu mereka seolah sedang bernostalgia. Tetapi nostalgia di sini adalah nostalgia yang didapat dari pengalaman orang lain, dan dihadirkan kembali untuk orang lain. Simulasi dan Simulakrum White Shoes & the Couples Company Sama seperti retro, terjadinya simulasi dan adanya simulakrum yang dihasilkan tidak lepas dari kuatnya dukungan media. Dalam hal ini, dapat kita lihat ciri-ciri yang dapat mendukung adanya simulasi: perkembangan informasi sangat pesat baik volume maupun ragamnya. Ini tentu berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh Appadurai (1996) mengenai mediascapes. Hal ini membawa konsekuensi akses informasi menjadi semakin mudah dan dapat dilakukan di manapun dan kapanpun dengan kecepatan luar biasa. Baudrillard (1983) beragumen bahwa perkembangan media dan berbagai mediasi yang berbeda—“simulasi”—telah memburamkan dikotomi antara yang nyata dengan simulacrum, antara yang autentik/asli dengan tidak autentik/palsu, antara alamiah dengan buatan. Dengan bentuk-bentuk baru dari media di abad ke 20, ia mengatakan, hubungan seseorang dengan kejadian asli—“pengalaman autentik”—telah menjadi sangat termediasi dan sulit untuk membedakan antara yang asli/sesungguhnya, sesuatu yang dapat dipetakan, dan dengan yang hyperreal: “the generation by models of a real without origin or reality” (1983: 2). Tentu, proses simulasi ini dapat kita lihat pada White Shoes & the Couples Company dalam menghadirkan masa lalu kepada masa kini. Tidak hanya menghadirkan saja, tetapi mereka seolah seperti sedang melakukan sebuah nostalgia dengan kejadian-kejadian pada masa lalu. Perlakuan nostalgia tersebut seolah merupakan nostalgia dari pengalaman autentik mereka. Namun, seperti yang sudah dibahas, bahwa mereka menjadikan pengalaman orang lain sebagai pengalaman autentik mereka dalam bernostalgia. Hal ini membawa kita untuk melihat bahwa ada suatu simulasi di dalam White Shoes & the Couples Company. Saya menyebutkan bahwa para personil White Shoes & the Couples Company memiliki cara tersendiri dalam mendapatkan “pengalaman”nya. Film-film yang mereka saksikan merupakan sebuah sumber yang menampilkan berbagai gambaran dan narasi mengenai masa lalu. Tetapi, yang membuat unik adalah, film-film tersebut merupakan film yang diproduksi pada masa lalu. Dengan kata lain, film-film seperti Tiga Dara (1956), Asrama Dara (1958), Cinta Pertama (1973) dan Badai Pasti Berlalu (1977) merupakan film yang merepresentasikan sebuah keadaan masa lalu. Film tersebut tidak sepenuhnya sebuah fakta, atau dengan kata lain film tersebut adalah fiksi. Dalam konteks ini, White Shoes & the Couples Company telah melakukan sebuah reduplikasi atau reproduksi mengenai masa lalu. Mereka mengambil berbagai tanda, citra, dan model yang ada di dalam film-film tersebut.
14 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Saya beragumen bahwa di dalam kasus ini terdapat representasi dan simulasi. Pertama, film-film tersebut merupakan sebuah representasi. Representasi merupakan sebuah simbol atau tanda yang berfungsi sebagai presentasi dari sebuah realitas. Dengan kata lain, representasi merupakan sebuah perlakuan dalam mempresentasikan kembali realitas ke dalam rupa yang lain. Film-film seperti Tiga Dara (1956), Asrama Dara (1958), Cinta Pertama (1973) Badai Pasti Berlalu (1979) merupakan film populer Indonesia pada masa lalu yang memiliki cerita fiksi. Film tersebut mengambil tema latar mengenai sebuah kejadian yang memiliki referensi pada kejadian sosial pada masyarakat masa itu. Namun, film tersebut bukan film yang menceritakan sebuah realita, namun hanya menceritakan sebuah kejadian fiktif: presentasi realitas menjadi rupa yang lain. Kedua, White Shoes & the Couples Company adalah sebuah simulasi. Baudrillard (1983) menjelaskan bahwa simulasi merupakan perlakuan untuk mempresentasikan sebuah rupa yang lain menjadi sebuah realitas. Dalam hal ini, White Shoes & the Couples Company sangat terinspirasi dengan gambaran dan narasi yang ditampilkan dalam film tersebut. Dengan kekagumannya, pada akhirnya mereka mereduplikasi apa yang ada di dalam film tersebut, mulai dari segi pakaian, tingkah laku, hingga musik-musik yang menjadi soundtrack di dalamnya. Mereka mereproduksi apa yang ada di dalam film tersebut dengan wujud yang berbeda dan dijadikan pengalaman “otentik” mereka: presentasi rupa lain menjadi realitas. Dengan kata lain, White Shoes & the Couples Company telah melakukan simulasi dan menghasilkan simulakra yang dapat kita lihat pada aspek audio dan visualnya. Kemudian, saya beragumen bahwa, aspek audio dan visual yang diproduksi oleh White Shoes & the Couples Company adalah hal yang dapat saja diciptakan oleh berbagai musisi dari duapuluh, tigapuluh, ataupun empatpuluh tahun yang lalu. Namun, perbedaan yang dapat dilihat adalah proses-proses yang dilalui oleh White Shoes & the Couples Company. Mereka telah mempresentasi rupa lain dari masa lalu menjadi realitas pribadinya. Namun, realitas ini kemudian dapat dilihat telah dikondisikan menjadi sesuatu yang lebih sempurna. Dalam hal ini, White Shoes & the Couples Company adalah pihak yang hidup pada masa kini. Dengan begitu, terdapat aspek-aspek teknologi yang membedakan masa kini dengan masa lalu. Mereka menyajikan musik yang lebih sempurna ketimbang dengan masa lalu. Sempurna di sini adalah sempurna yang dihasilkan karena teknologi. Seperti contohnya musisi masa lalu merekam musik dengan menggunakan teknologi pita rekaman, sedangkan White Shoes & the Couples Company merekam menggunakan teknologi digital. Kemudian dapat kita lihat juga pada segi prekaman video klip. Di dalam video klip “Windu & Defrina” mereka menggunakan teknologi digital untuk merekamnya. Tetapi, pada akhirnya mereka mengkondisikan elemen-elemen di dalam video tersebut agar terlihat kesan masa lalunya.
15 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Pengkondisian ini merupakan sebuah perlakuan dalam menyempurnakan yang sudah pernah ada. Membuat yang real menjadi hyperreal. White Shoes & the Couples Company merupakan salah satu contoh pihak yang telah menyajikan masa lalu atau nostalgia menjadi sesuatu yang lebih sempurna. Mereka telah merenovasi pengalaman-pengalaman orang lain menjadi pengalaman yang tidak ada cacat. Mereka mendapatkan berbagai gambaran dan narasi yang memang sudah sempurna dari berbagai film. Dengan mendapatkan gambaran dan narasi sempurna, pada akhirnya mereka menyuguhkan kembali menjadi realitas yang lebih sempurna dari yang sudah ada. Artinya, hiperrealitas (hyperreality) merupakan sebuah simulasi yang lebih nyata dari yang nyata, lebih sempurna dari yang sempurna. Baudrillard (1983) mengatakan bahwa saat ini kita sudah sangat sulit untuk menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan kenyataan, semu dan nyata; yang ada hanyalah pencampuran kesemuanya. Memori Sebagai Komoditas Sebagai produk dari sistem kapitalis, berbagai gambaran dan narasi mengenai masa lalu yang disediakan oleh media merupakan hal yang dapat dikatakan sebagai komoditas. Marx (1977) pada awalnya memperkenalkan hal ini dengan penjelasannya mengenai fetisisme komoditas (commodity fetishism). Tidak hanya komoditas menyebabkan kerja manusia menjadi teralienasi, tetapi komoditas juga tersedia untuk memanipulasi ideologi. Berbagai kritik mengenai komodifikasi seringkali berisi argumen bahwa komoditas merupakan hal yang diimbuhi oleh ideologi tertentu, yang mana pada akhirnya dikonsumsi oleh para pembeli bersamaan dengan produk itu sendiri. Namun, hal ini telah disadari bagi para pengikut Marx, bahwa komoditas sebagai agen makna sosial (agents of social meaning) merupakan hal yang lebih sulit diprediksi dibandingkan jika diasumsi. Untuk mengembangkan pemikiran ini, Appadurai (1986) mengeksplorasi bagaimana komoditas dapat menyimpang dari jalur tertentu, dan dalam hal itu, menerima makna yang baru. Untuk dapat mengerti proses ini, ia menyatakan “means looking at consumption (and the demand that makes it possible) as a focus not only for sending social message…but for receiving them as well” (1986: 31). Dalam hal ini, konsumsi bukan hanya sebagai hal yang dapat memungkinkan kita mengirim pesan sosial, namun juga menerimanya. Lebih jauh lagi, ia beragumen bahwa komoditas yang dikemas dalam proses produksi—termasuk ideologi di dalamnya—tidak memiliki efek determinasi yang dapat diprediksi ketika bagaimana produk itu dikonsumsi. Dalam hal ini, kebudayaan dan politik yang ada membuat sesorang memiliki caranya tersendiri dalam menerima pesan-pesan yang dibawa oleh komoditas. Miller (1987: 190 dalam Landsberg 2004: 144) menjelaskan mengenai penerimaan dan penggunaan komoditas:
16 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
“is the start of a long and complex process, by which the consumer works upon the object purchased and recontextualizes it, until it is often no longer recognizable as having any relation to the world of the abstract and becomes its very negation, something which could be neither bought nor given.” Ketika berbagai macam komoditas yang tersebar melalui media massa merupakan wujud komoditas yang berbeda dengan komoditas tradisional, keduanya dapat dianalisis dengan cara yang sama. Ini dapat kita lihat pada White Shoes & the Couples Company. Mereka pada awalnya sudah memutuskan untuk menggunakan cara tersendiri untuk mendapatkan berbagai gambaran dan narasi—atau dalam hal ini komoditas—yaitu dengan menonton film-film produksi masa lalu. Kemudian, setelah menyaksikan film-film tersebut, mereka menginterpretasi pengalaman menonton film tersebut ke dalam konteks dunia mereka. Dalam hal ini, Stuart Hall (1993 dalam Landsberg 2004: 145) mendeskripsikan berbagai tindakan pemaknaan yang terjadi di dalam penerimaan komoditas yang termediasi massa (mass mediated). Ia menekankan bahwa: “There are always several possible readings of given cultural text; some reinforce the existing power structures and status quo while other, more oppositional ones, challenge it.” Bahkan di dalam kasus komoditas yang berada dalam budaya massa dan globalisasi, penerimaan (reception) terkondisikan oleh dan termediasi melalui keadaan budaya, politik, dan keadaan sosial dari para konsumen itu sendiri. Kita dapat melihat penggunaan atau pengaplikasian komoditas di dalam perolehan memori yang terjadi pada White Shoes & the Couples Company. Dalam hal ini, mereka merupakan pihak yang menerima berbagai gambaran dan narasi dari berbagai sumber. Dalam kegiatan itu mereka melihat dan mendengarkan bagaimana kejadian-kejadian pada masa lalu dengan sudut pandang mereka. Mereka memposisikan diri dan membayangkan kejadian yang terdapat di dalam film, album-album foto, majalah, dan sebagainya terjadi pada diri mereka. Ketika mereka menonton film, atau melihat album-album foto, mengkonsumsi cerita masa lalu tersebut, mereka telah terlibat dalam penciptaan makna. Dalam hal ini, semua hal tersebut menghubungkan narasi dan gambaran kepada dunia yang dimiliki oleh White Shoes & the Couples Company, lalu kemudian narasi dan gambaran tersebut dihubungkan kembali kepada narasi dan gambaran yang ditampilkan oleh media-media tersebut. Dengan kata lain, White Shoes & the Couples Company memposisikan gambaran dan narasi tersebut di dalam dirinya, lalu disuguhkan kembali dengan gambaran yang telah diolah di dalam diri mereka. Karena White Shoes & the Couples Company merupakan pihak yang aktif dalam penciptaan makna, dan dalam hal ini, mereka secara aktif menerima informasi, pada akhirnya mereka memiliki suatu hubungan yang lebih intim terhadap kejadian-kejadian yang tidak
17 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
mereka alami sendiri. Ini bukan berarti mereka melupakan siapa diri mereka masing-masing, namun “pengalaman” yang diterimanya tersebut telah merubah persepsi mereka. Dengan begitu, mereka memiliki cara dan pandangan tersendiri dalam menghadirkan masa lalu tersebut kepada masa sekarang. Kesimpulan Segala hal yang disuguhkan oleh White Shoes & the Couples Company memiliki sesuatu yang seolah berasal dari masa lalu atau periode spesifik. Hal ini dapat dilihat dalam gambaran panggung dan rekamannya. Melalui aksi panggung, suara musik, pengemasan album rekaman, dan videoklip, White Shoes & the Couples Company terlihat seperti melakukan penampilan yang selayaknya seperti band atau musisi dari masa lalu dengan periode tertentu. Seolah-olah mereka memiliki suatu pengalaman otentik dari periode tertentu tersebut. Namun, perlu ditekankan, mereka bukanlah pihak yang memiliki memori ataupun pengalaman dari periode tertentu/spesifik tersebut. Mereka memiliki cara-cara tersendiri untuk dapat menghadirkan masa lalu tersebut. Hal di atas tidak terlepas dari adanya media. Media memiliki suatu kekuatan yang dapat membawa kita kepada berbagai ruang dan waktu. Dalam hal ini, media menyediakan berbagai gambaran dan narasi mengenai suatu kejadian di berbagai tempat dan waktu. Dengan kuatnya media yang dipengaruhi oleh arus global, White Shoes & the Couples Company dapat memperoleh berbagai gambaran dan narasi tersebut. Hingga pada akhirnya mereka dapat menyuguhkan kembali gambaran dan narasi tersebut dengan cara mereka pribadi. Media seperti film, musik, majalah, arsip foto dan sebagainya membantu mereka untuk dapat melihat keadaan dan suasana pada masa lalu. Tidak terhenti pada menampilkan dan mereplikasi masa lalu saja, White Shoes & the Couples Company seolah seperti melakukan sebuah nostalgia. Nostalgia pada umumnya merupakan segala sesuatu yang dilingkupi oleh pengalaman yang bersifat memorial. Namun, apa yang terjadi pada White Shoes & the Couples Company adalah nostalgia yang bukan berdasarkan pengalaman mereka. Dengan kata lain, mereka seolah melakukan berbagai nostalgia yang berdasarkan pengalaman orang lain. Gambaran dan narasi pengalaman orang lain tersebut tentunya didapatkan dari media yang mereka konsumsi. Media seperti film, khususnya, memberikan mereka gambaran mengenai masa lalu yang dikondisikan kembali oleh mereka. Begitu pula musik, majalah, dan arsip-arsip atau album foto keluarga mereka pada masa lalu, telah memberikan sebuah gambaran mengenai periode tertentu. Dari sini, mereka mereproduksi kembali apa yang telah mereka lihat dan dengarkan, lalu dijadikan sebagai nostalgia. Tidak hanya sebagai nostalgia pribadi saja, tetapi mereka juga memberikan sebuah nostalgia bagi orang lain.
18 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Proses, kegiatan, dan segala hal yang terdapat pada White Shoes & the Couples Company di atas dapat dilihat sebagai mode retro. Reynolds (2011) mengatakan bahwa retro selalu mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu. Mereka merupakan band yang “dibungkus” dengan berbagai macam hal yang kuno, sesuatu yang tua, dan klasik. Di dalam proses produksinya, mereka menggunakan sebuah metode atau cara dalam mendapatkan gambaran dan narasi mengenai masa lalu, yakni dengan melihat berbagai arsip dokumentasi. Mereka juga menggunakan berbagai teknologi yang sudah usang di dalam sebagian proses produksinya. Walaupun begitu, mereka adalah band yang berasal dari masa kini, dan tetap menggunakan teknologi dan metode modern di dalam proses produksinya. Namun, mereka telah mengkondisikan teknologi dan metode tersebut untuk mendapatkan estetika mengenai kesan masa lalu. Selain itu, saya menyebutkan bahwa White Shoes & the Couples Company merupakan sebuah pihak yang melakukan sebuah simulasi dan telah menghasilkan simulakra. Dalam hal ini, mereka mengkonsumsi film-film tertentu yang menginspirasi karya cipta dan produksinya. Dengan film-film tersebut, mereka mempresentasikan kembali rupa lain—yakni film—menjadi realitas mereka sebagai band—yakni aspek audio dan visual yang terlihat seperti pengalaman otentik mereka. Kemudian, saya beragumen bahwa, aspek audio dan visual yang diproduksi oleh White Shoes & the Couples Company adalah hal yang dapat saja diciptakan oleh berbagai musisi dari duapuluh, tigapuluh, ataupun empatpuluh tahun yang lalu. Namun, perbedaan yang dapat dilihat adalah proses-proses yang dilalui oleh White Shoes & the Couples Company. Teknologi yang digunakan di dalam proses produksi tidak sepenuhnya usang. Dalam hal ini, mereka menggunakan teknologi modern yang sudah dikondisikan, hingga dapat menyempurnakan berbagai kekosongan yang pernah dilakukan oleh musisi masa lalu. Dengan kata lain, mereka telah melakukan sebuah simulasi masa lalu tanpa ada cacat atau dapat dikatakan sebagai hyperreality. Saya menyimpulkan bahwa dewasa ini, sebuah memori merupakan hal yang dapat dikomodifikasi. Karena, dengan mengkonsumsi gambaran dan narasi mengenai masa lalu, kita pun sudah mengkonsumsi komoditas yang terdapat memori di dalamnya. Dengan kata lain, komoditas merupakan hal yang diimbuhi oleh ideologi tertentu, yang mana pada akhirnya dikonsumsi oleh para pembeli bersamaan dengan produk itu sendiri. Namun, hal ini bergantung bagaimana seseorang mengkonsumsi dan memaknai produk tersebut. Dalam hal ini, White Shoes & the Couples Company merupakan sebuah pihak yang telah menerima sebuah memori yang terkomodifikasi, lalu diolah kembali untuk dijadikan sebagai memori pribadi dan disuguhkan kembali kepada orang lain dengan wujud yang berbeda.
19 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.
Daftar Pustaka Appadurai, Arjun. (Ed.) 1986. The Social Life of Things. Cambridge: Cambridge University Press. Appadurai, Arjun. 1996. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization. Minneapolis: University of Minnesota Press. Baudrillard, Jean. 1981. Simulacra and Simulations. (Translated by Sheila Faria Glaser). Michigan: University of Michigan Press. 1983. Simulations. (Translated by Paul Foss, Paul Patton, and Philip Beitchman). New York: Semiotext(e). Cohen, Sara. 1995. Sounding Out the City: Music and the Sensuous Production of Place. Transaction of the Institute of British Geographers, New Series, Vol. 20, No. 4, pp. 434-446. Guffey, Elizabeth E. 2006. Retro: The Culture of Revival. London: Reaktion Books Ltd. Inda, Jonathan Xavier and Renato Rosaldo. (Ed.) 2002. The Anthropology of Globalization: A Reader. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Landsberg, Alison. 2004. Prosthetic Memory: The Transformation of American Remembrance in The Age of Mass Culture. New York: Columbia University Press. Marx, Karl. 1977. Capital. Vol. 1. (Translated by Ben Fowkes.) New York: Vintage Books. Reynolds, Simon. 2011. Retromania: Pop Culture’s Addiction to Its Own Past. New York: Faber and Faber, Inc.
20 Memori sebagai..., Audra Syah Rasjid, FISIP UI, 2013.