MEMERANGI KORUPSI DENGAN HUKUM PIDANA Oleh: M. Arief Amrullah 1
A. PENDAHULUAN Korupsi sebagai bagian dari permasalahan kejahatan pada umumnya, telah menjadikannya sebagai suatu komuditi. Betapa tidak, ketika berlangsungnya kampanye partai politik sampai dengan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden, korupsi merupakan barang yang layak untuk dijual ke publik. Karena itu, mereka yang berkampanye ramai-ramai mengusung isu korupsi, dan jika tidak maka seolah kampanye mereka tidak abdol. Ini berarti, kendati korupsi sudah merupakan barang tua, tapi selalu aktual untuk dibicarakan. Tidak hanya sekedar konsumsi untuk diperbincangkan, tapi justru korupsi merupakan penyakit yang harus dienyahkan dan diberantas. Kalimat seperti itu, merupakan kalimat yang kerap diucapkan oleh para kandidat persiden dan wakil presiden ketika berkampanye, termasuk Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang sekarang menjadi Presiden RI. Bahkan dalam program gebrakan 100 harinya, korupsi merupakan salah satu bidang yang diangkat oleh SBY dengan mengajak masyarakat agar mendukung program tersebut, sebab SBY menyadari bahwa tanpa adanya dukungan yang luas, maka
tidak mungkin upaya yang luhur itu akan dapat dicapai.
Memang kata korupsi sudah memasyarakat, dan seperti kata iklan: anak kecil aja tau, pada dasarnya bukan hanya persoalan nasional suatu negara, tetapi juga merupakan bagian dari permasalahan global, dan sejak dipublikasikannya panduan praktis kali pertama dalam menghadapi korupsi oleh the Centre for International Crime Prevention (CICP) pada tahun 1992, yang bekerjasama dengan Departemen Kehakiman Amerika Serikat, dunia telah menyaksikan adanya peningkatan kesadaran oleh pemerintah dan lembaga-lembaga internasional, yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu sehubungan dengan perluasan dan pengaruh negatif korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi-organisasi internasional, pemerintah dan sektor swasta telah menganggap korupsi sebagai penghalang yang serius terhadap
1
KPS Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jember
1
pemerintahan yang demokratis, kualitas pertumbuhan, dan stabilitas nasional dan internasional. Karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan yang efektif terhadap praktik-praktik korupsi tersebut. 2
B. PENGERTIAN KORUPSI Perdebatan mengenai pengertian korupsi sudah dilakukan secara meluas, namun demikian bagian dari kesulitan dalam menemukan pengertian yang universal asalah penamaan dari pengertian tersebut yang berbeda dari negara satu dan negara lainnya, dari dari budaya satu dan budaya lainnya. Kadang-kadang terdapat perbedaan pokok dalam negara yang sama. Dalam kaitan ini, sebuah survey yang dilakukan oleh the New South Wales Independent Commission Against Corruption tahun 1997 menemukan perbedaan yang tajam bahkan antara penagawai sektor publik di Australia. Untuk alasan ini, akhirnya banyak yang kembali kepada hukum dalam mendefinisikan korupsi. Para akademisi mempertimbangkan atau memikirkan suatu pengertian yang umum atau pengertian secara sosiologis sebagai pengertian yang berubah-ubah. Akhirnya, hanya menurut pengertian hukum dipandang sebagai pengertian yang tepat. Namun demikian, karena pengertian hukum juga berubah dari waktu ke waktu dan sangat terkait dengan konteks sosio-politik dan budaya, karena itu para akademisi juga cenderung berbeda juga secara signifikans. Dengan demikian, tidak ada definisi atau pengertian tentang korupsi yang dapat diterima secara universal, karena apa yang dimaksud dengan korupsi sangat bergantung dari sudut mana orang memandangnya. Pengertian dari sudut pandang hukum, kriminologi berbeda-beda di banyak Negara. Hal itu juga tergantung pada permasalahan politik yang terjadi. Ketika membicarakan mengenai Konvensi PBB terhadap korupsi yang dimulai pada awal tahun 2002, telah dikemukakan bahwa tidak ada pengertian korupsi yang menyeluruh karena tipe atau perbuatan korupsi itu sifatnya spesifik. Lagi pula, usulan atau kehendak negara-negara untuk mengkriminalisasikan korupsi terutama mencakup pelanggaran tertentu atau kelompok pelanggaran yang bergantung pada apakah tipe perbuatan yang dilakukan, apakah perbuatan itu melibatkan pejabat-pejabat publik, apakah antara penajabat 2
UN Anti-Corruption Policy, Global Programme Against Corruption, Draft UN Manual on Anti-Corruption Policy, Vienna, June 2001, hal. 2.
2
publik dan swasta, atau pejabat-pejabat asing, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan memperkaya diri secara tidak sah. Mengingat korupsi merupakan bagian dari kejahatan pada umumnya, sedangkan apa yang dimaksud dengan kejahatan juga masih belum ada pengertian yang seragam, karena sifatnya relatif, yaitu dari sudut mana orang melihatnya. Menurut Hoefnagels (1972: 72) apa yang dimaksud dengan kejahatan itu, merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak pengertian yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berasal dari bahasa seharihari (common parlance), tetapi mereka jarang sama dalam mengartikannya. Mengapa demikian?, karena bahasa sehari-hari tersebut tidak memberikan gambaran yang jelas dari kejahatan itu sendiri, tetapi hanya merupakan suatu ekspresi dalam melihat perbuatan tertentu. Dalam kaitan ini, Sahetapy (1992: 67) menulis bahwa pengertian atau makna kejahatan bisa saja tumpang tindih dengan pengertian kejahatan secara yuridis, atau bisa juga serupa dengan makna kejahatan secara kriminologis. Namun, yang jelas menurut Sahetapy makna dan ruang lingkup kejahatan secara yuridis tidak sama dan tidak serupa dengan makna serta ruang lingkup makna kejahatan secara kriminologis. Pandangan di atas, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sudarto (1983: 161) bahwa ada perbedaan pendapat dalam melihat kejahatan sebagai gejala masyarakat. Dalam hal ini Sudarto memberikan contoh, misalnya : orang tidak akan berbeda pendapat, bahwa penodongan itu suatu kejahatan, akan tetapi mengenai permintaan “uang hangus” oleh seorang pegawai bank yang terpaksa harus dituruti oleh seorang peminjam uang, yang disinyalir oleh Presiden Suharto sebagai hal yang harus dihapus, mungkin ada orang yang berpendapat, bahwa itu sesuatu yang sudah sewajarnya! Sehubungan dengan uraian di atas, J.E. Sahetapy dan Mardjono Reksodiputro menulis (1989: 2-3) : Kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabelitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku, baik aktif maupun pasif yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.
3
Kembali pada uraian mengenai pengertian korupsi, dalam United Nations Office on Drugs and Crime (http://www.unodc.org/unodc/en/corruption.html) dikemukakan, bahwa secara etimologi kata korupsi berasal dari dari bahasa Latin “corruptus”, dan secara konseptual, korupsi merupakan suatu bentuk perilaku yang bertentangan dengan etika, moral, tradisi, hukum dan nilai-nilai (kebaikan) yang diterima secara umum. Lebih lanjut dikemukakan, pengertian klasik yang diiikuti oleh Bank Dunia dan Transparency International, memandang bahwa korupsi dilakukan dengan menggunakan jabatan publik untuk memperoleh pendapatan pribadi secara tidak sah. Menyalahgunakan kekuasaan dan keuntungan pribadi, lagi pula perbuatan-perbuatan tersebut dapat terjadi baik dalam bidang publik maupun swasta dan sering dilakukan dalam bentuk kolusi dengan orang-perorangan baik dari sektor publik maupun swasta. 3 Program
Global
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
terhadap
Korupsi
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi dan melibatkan baik sektor publik maupun swasta. Meskipun demikian, terasa ada perbedaan
dari negara satu dan negara lainnya, bahwa korupsi cenderung meliputi
perbuatan-perbuatan sebagai berikut: konflik kepentingan; penggelapan; kecurangan; penyuapan; korupsi politik; nepotisne; dan pemerasan. Secara umum kita semua sependapat bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepentingan (keuntungan) pribadi yang menghampat kepentingan umum.
4
Perolehan itu mungkin diperoleh secara langsung ataupun secara
tidak langsung. Terkait dengan perolehan semacam itu, Dionysios Spinellis dalam bagian
3
Sehubungan dengan itu, Lebanon Anti-Corruption Initiative Report Tahun 1999 mengemukakan bahwa Lebanon mengikuti pengertian korupsi tersebut, yaitu: “Corruption is the behaviour of private individuals or public officials who deviate from set responsibilities and use secure private gains”. 4 Penggunaan istilah kewenangan publik membatasi korupsi pada sektor publik, akan tetapi karena korupsi juga dapat dilakukan oleh sektor swasta, maka banyak sarjana melihat kegunaan pengertian korupsi dalam pengertian yang lebih luas sehingga meliputi juga sektor swasta.
4
tulisannya mengenai Top hat criminality and white collar crime, 5 membedakan dua bentuk kejahatan itu. Pada white-collar criminals, umumnya berkaitan dengan kegiatan bisnis utamanya dalam sektor swasta, sedangkan top hat criminals berkaitan dengan pejabat publik yang memegang dan menggunakan kewenangan politik. Apa yang dilakukan oleh white-collar criminals, sifatnya tidak langsung dan bergantung pada sejauhmana posisi keuangan dan pengaruh mereka terhadap orang yang memegang kekuasaan tersebut. Sedangkan pada pejabat publik, sifatnya langsung, karena berkaitan dengan kedudukan politis yang melekat padanya. C. TIPE-TIPE KORUPSI Korupsi itu sendiri terwujud dalam tipe-tipe yang berbeda, dan biasanya meliputi sebagaimana tergambar di bawah ini. 1. Penyuapan (Bribery) Penyuapan meliputi janji, penawaran atau pemberian sesuatu keuntungan yang seharusnya tidak pantas untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan seorang pejabat publik. Penyuapan itu terjadi tidak hanya terhadap pejabat publik itu semata, tapi dapat juga meliputi anggota masyarakat yang melayani komisi pemerintah. Penyuapan itu dapat terdiri atas uang, saham, layanan seksual atau pemberian-pemberian lainnya, hadiah, hiburan, pekerjaan, janji, dan lain-lain. Keuntungan yang diperoleh oleh pejabat-pejabat korup itu dapat secara langsung atau tidak langsung. Dikatakan secara tidak langsung, apabila pemberian itu disampaikan melalui teman pejabat tersebut, keluarga, perkumpulan, dana kampanye, dan lainnya. Para penerima suap di sektor publik adalah para politisi, pembuat undang-undang, para penegak hukum, hakim, atau golongan lainnya dari pegawai negeri. Di samping itu, sebagaimana yang ditulis oleh Dionysios Spinellis, dalam bagian tulisannya mengenai Top hat criminality and white collar crime, membedakan dua bentuk kejahatan tersebut, yaitu white-collar criminals, umumnya, berkaitan dengan kegiatan
5
Dionysios Spinellis, Crime of Politicians in Office (or Top hat crimes), Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Di sampaikan oleh Barda Nawawi Arief, di Hotel Grasia, Semarang, 23-30 Nopember 1998, hal. 23. The white collar criminals in general are making business or exercise professions mainly in the private sector, the politicians are holding public offices and using political power. The power of the white collar criminals is indirect; it is based on their financial position and their influence with the persons in power. The power of the politicians direct; they exercise it.
5
bisnis utamanya dalam sektor swasta. Top hat criminals berkaitan dengan pejabat publik yang memegang dan menggunakan kewenangan politik. Apa yang dilakukan oleh whitecollar criminals, yang sifatnya tidak langsung dan bergantung pada sejauh mana posisi keuangan dan pengaruh mereka terhadap orang yang memegang kekuasaan tersebut. Sedangkan pada pejabat publik, sifatnya langsung karena berkaitan dengan kedudukan politis yang melekat padanya. 2. Penggelapan, pencurian dan perbuatan curang (embezzlement, theft and fraud) Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi pencurian harta kekayaan oleh orang kepercayaan dengan kewenangan dan pengawasan terhadap kekayaan pemerintah. Perbuatan-perbuatan itu dapat melibatkan pejabat-pejabat publik dan orang per seorangan secara pribadi. Sebagai contoh, pegawai pemerintah yang bertanggung jawab terhadap distribusi makanan untuk desa setempat, kemudian mencuri seporsi makanan dan menjualnya kepada pihak lain. Demikian juga, halnya dengan peralatan-peralatan medis yang dikirim dari airport ke rumah sakit setempat, yang dicuri dan dijual kepada apotek setempat. Seorang pejabat pemerintah mengajukan faktur palsu untuk perjalanan dinas. Penggelapan juga meliputi perubahan kekayaan pemerintah dan personalia untuk kepentingan pribadi. Dalam mempertimbangkan larangan hukum terhadap tipe korupsi itu, tantangannya penetapan larangan tersebut menjadi cukup luas yang meliputi setiap cara yang tidak jujur berupa penyelewengan kekayaan publik yang dilakukan atas kelihaian penjahatnya. Karena itu, dalam penjatuhan pidananya tidak hanya pencurian yang secara fisik kelihatan, tetapi juga menggunakan waktu dan pegawai pemerintah, fasilitas dan perlengkapan pemerintah yang bukan kewenangannya. 3. Pemerasan (Extortion) Perbuatan pemerasan meliputi pemaksaan seseorang untuk membayar uang atau menyediakan barang-barang berharga. Pemerasan bisa dilakukan di bawah ancaman fisik, kekerasan atau pengekangan. Sebagai contoh, seorang wanita yang sakit membutuhkan pemeriksaan dirinya ke dokter. Di rumah sakit, perawat mengatakan kepada suaminya bahwa dia (suami) harus membayar uang ekstra untuk mendapatkan dokter. Istrinya kemudian meninggal ketika dia berusaha mencari uang.
6
Di samping itu, ada pula yang disebut dengan uang semir (speed money) yang dibayarkan apabila petugas pemerintah lambat dalam memberikan pelayanan dan proses pelaksanaannya. 4. Memanfaatkan konflik kepentingan/mempengaruhi penawaran, perdagangan orang dalam (Exploiting a conflict of interest/influence peddling, insider trading) Melakukan transaksi, mempengaruhi penjualan, atau mendapatkan posisi atau kedudukan atau kepentingan komersial yang bertentangan dengan suatu peranan jabatan dan tugas yang dimiliki untuk maksud memperkaya diri secara melawan hukum. Sebagai contoh, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari informasi rahasia, seorang pejabat publik membeli tanah di daerah yang direncanakan akan dikembangkan untuk pembangunan. 5. Penawaran atau penerimaan persenan secara pelawan hukum, pemberian atau komisi ilegal (Offering or receiving of an unlawful gratuity, favour or illegal commission) Larangan tersebut ditujukan kepada para pejabat publik yang menerima sesuatu yang berharga atau bernilai sebagai pemberian ekstra
bagi pelaksanaan tugas resmi.
Sebagai contoh, setelah pengeluaran paspor atau dokumen lainnya penerima memberikan tawaran berupa “tip” atau “uang persenan” untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Di banyak negara, hal itu tidak dipandang sebagai suatu perbuatan korupsi. Namun demikian, praktik semacam itu merusak keseluruhan pelayanan publik dan dapat menimbulkan terjadinya pemerasan. 6. Favoritisme dan nepotisme Favoritisme dan nepotisme dapat diwujudkan berupa penempatan, penunjukkan, pelayanan berdasarkan hubungan keluarga, suku, agama, golongan, dan kelompokkelompok istimewa lainnya. Sebagai contoh, seorang pegawai publik menyediakan pelayanan yang luar biasa, komisi, pekerjaan dan pemberian sesuatu kepada kelompok politik, keluarga dan teman.
7
7. Sumbangan politik secara ilegal (Illegal Political Contribution) Clinard dan Yeager (1980: 157) menulis bahwa sumbangan yang diberikan itu, pada umumnya, untuk tujuan ekonomi, yaitu untuk menikmati jaminan birokrasi dan mempengaruhi politik sehingga akan berpengaruh pada peningkatan keuntungan korporasi yang lebih besar. Sebagai contoh (Jawa Pos, 15 Oktober 1996: 1; 13 Januari 2001: 1), yang menunjuk ke arah pemberian sumbangan, seperti yang diberitakan oleh tiga media massa terkenal Amerika Serikat, masing-masing The New York Time, Wall Street Journal, dan Washington Post, pada tanggal 7, 8, dan 9 Oktober 1996 yang telah mengungkap, pada tahun 1992, salah seorang konglomerat Indonesia, James Riady dari Lippo Group, menyumbang dana sebesar US$ 175.000 untuk kepentingan kampanye Bill Clinton yang saat itu bersaing dengan Bob Dole dari partai Republik. Karena itu, pada tanggal 11 Oktober 1996, Senator John McCain meminta Departemen Kehakiman mengusut kasus itu. Penyumbangan tersebut berdasarkan pengakuan Riady di Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada hari Jumat 12 Januari 2001, sudah berlangsung sejak tahun 1988 sampai tahun 1994, dan atas perbuatan itu Riady dijatuhi hukuman denda sebesar US$ 8.610.000 dan pidana kerja sosial selama 400 jam. 8. Pencucian Uang (Money laundering) Salah satu upaya strategis untuk memberantas korupsi, harus juga mencakup tindakan yang ditujukan pada pencegahan dan pengendalian pencucian uang hasil korupsi. Hubungan antara antara korupsi dan pencucian hasilnya bukan merupakan hal baru dan sudah disoroti pada beberapa kesempatan di masa lalu. Hubungan antara pencucian uang dan korupsi tidak hanya sekedar berkaitan dengan pencucian hasil korupsi, tetapi lebih jauh dari itu. Mengingat adanya hubungan yang erat antara korupsi dan pencucian uang, maka dunia internasional menghendaki bahwa dalam upaya melakukan strategi pemeberantasan korupsi yang komprehensip harus juga meliputi tindakan pencegahan dan pengendalian
8
pencucian uang hasil korupsi. Karena, dampak dari pencucian uang hasil korupsi itu tidak hanya mempengaruhi perusahaan swasta dan tenaga kerjanya tetapi juga seluruh negara. 6
C. KORUPSI DAN KEJAHATAN TERORGANISASI Konvensi PBB mengenai Kejahatan Terorganisasi Transnasional yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 15 November 2000 dan untuk penandatanganannya berlangsung dari tanggal 12 hingga 15 Desember 2000 di Palermo, Italy. Tujuan utama dari konvensi tersebut adalah perang terhadap kejahatan terorganisasi, dan di dalamnya mencakup beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penomena korupsi.
Berbagai konferensi internasional, seperti pada konferensi PBB mengenai kejahatan terorganisasi transnasional, yang diselenggarakan di Palermo, Itali, tanggal 12-15 Desember 2000, telah dibicarakan bahwa korupsi merupakan permasalahan yang komplek baik sosial, politik maupun ekonomi. Sebelumnya, pada konferensi para menteri mengenai kejahatan terorganisasi transnasional yang diselenggarakan di Naples, 21-23 November 1994 agenda item 5, dengan tema National Legislation and its Adequacy to Deal with the Various Forms of Organized Transnational Crime; Appropriate Guidelines for Legislative and Other Measures to be Taken at the National Level, antara lain dikemukakan bahwa korupsi merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi transnasional, karena itu perlu ada upaya-upaya bersama untuk menanggulanginya. Mengapa demikian, karena korupsai sangat membantu kegiatan-kegiatan kelompok penjahat terorganisasi. Sehubungan dengan itu, maka beberapa negara telah mengundangkan undang-undang khusus anti-korupsi, termasuk Indonesia dengan beberapa kali telah merubah undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi, karenanya wajar jika terdapat kesulitan dalam pengungkapannya. Bahkan dalam Kongres PBB ke-5 mengenai the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang diselenggarakan di Jenewa 6
Uraian mengenai hubungan antara korupsi dan pencucian uang ini, telah penulis bahas dalam M. Arief Amrullah, 2003, Money laundering, tindak pidana pencucian uang, cet.1, Bayumedia Publishing, Malang.
9
dari tanggal 1 hingga 12 September 1975. Pembicaraan yang dipokuskan pada kejahatan sebagai bisnis (crime as business), baik pada tataran nasional maupun transnasional, yaitu organized crime, white-collar crime dan korupsi, di samping penjahat-penjahat biasa yang luput dari pemantauan. Kejahatan korporasi dan kejahatan terorganisasi atau kejahatankejahatan sindikat mempunyai banyak kesamaan dan dapat melibatkan aparat penegak hukum dan pejabat politik. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat disebut sebagai invisible crime, karena sulit untuk mengungkapnya. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan kejahatan terorganisasi tersebut, maka yang perlu dikemukakan terlebih dahulu adalah istilah dari kejahatan terorganisasi (organized crime) itu sendiri. Istilah organized crime telah lama menjadi sumber kontroversi dan perdebatan, hal itu terjadi mungkin karena perbedaan dalam cara pendekatan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi. Suatu konsensus utama telah muncul meskipun atas beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebelum istilah tersebut
mungkin dianggap dapat diterapkan. Akan tetapi dalam Article 2 ayat 1 Proposal dan Contributions Received from Governments, dinyatakan
7
bahwa organized crime berarti
kegiatan-kegiatan yang bertujuan (melakukan perbuatan) dalam rangka (dalam kaitannya dengan) sebuah organisasi kejahatan. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan: Sebuah organisasi kejahatan (a criminal organization) berarti suatu kelompok (tiga atau lebih) orang dengan hubungan hirarki atau hubungan personal yang dapat bertahan lama untuk tujuan memperkaya diri atau pengawasan wilayah-wilayah atau pasar-pasar, baik di dalam maupun di luar negeri (internal or foreign) dengan cara melawan hukum seperti kekerasan, ancaman atau korupsi, kedua dalam memajukan aktivitas kejahatan itu supaya masuk ke dalam ekonomi yang sah. Para pengikut organisasi kejahatan dianggap sebagai kelompok orang untuk tujuan melakukan kegiatan kejahatan. Mereka biasanya menggunakan perusahaan untuk melakukan kejahatan, yakni menyediakan barang-barang gelap dan jasa, atau barangbarang legal yang telah diperoleh cara-cara yang haram, yaitu seperti mencuri atau perbuatan-perbuatan
curang
lainnya.
Kejahatan
terorganisasi
(organized
crime)
menampakkan yang sebenarnya dalam setiap perluasan ruang gerak pasar yang sah masuk 7
General Assembly, A/AC.254/5 19 December 1998.
10
menjadi bidang yang biasanya dilarang. Aktivitas kelompok kejahatan terorganisasi memerlukan tingkat kerjasama yang baik dan organisasi untuk menyediakan barang-barang haram dan jasa. Seperti dalam melakukan bisnis, di mana bisnis kejahatan memerlukan keterampilan sebagai pengusaha, dan kemampuan untuk koordinasi. Di samping melakukan kekerasan dan kecurangan adalah untuk memfasilitasi dalam mengadakan kegiatankegiatan lainnya. Penyebutan kelompok kejahatan terorganisasi tersebut, dalam Annex I UN Convention against Transnational Organized Crime,
8
telah diberi batasan sebagaimana
tercantum dalam Article 2 tentang Use of terms. Di mana dalam huruf (a) dinyatakan bahwa kelompok kejahatan terorganisasi berarti sebuah kelompok yang terstruktur (structured group)
9
dari tiga atau lebih orang, keberadaannya untuk periode wakrtu
tertentu dan bertindak bersama-sama (in concert) dengan tujuan melakukan satu atau lebih kejahatan-kejahatan yang berat
(serious crime)
10
atau melakukan pelanggaran
sebagaimana yang diatur dalam Convensi ini, dengan maksud untuk mendapatkan baik langsung atau tak langsung keuangan atau keuntungan material lainnya. Mengingat operasi kegiatan kejahatan terorganisasi tidak hanya dalam skala lokal nasional, tetapi juga dunia internasional, sehingga penyebutannya pun menjadi organisasi kejahatan transnasional (transnational criminal organization). Penggunaan instilah transnational untuk criminal organization tersebut pada umumnya digunakan untuk menunjuk kepada pergerakan informasi, uang, barang, orang, barang berwujud dan tak berwujud lainnya yang melintasi batas-batas negara. Dalam Konferenasi Tingkat Menteri Dunia mengenai Organized Transnational Crime yang diselenggarakan di Naples, 21-23 November 1994 telah dikemukakan, bahwa dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional menyadari sehubungan dengan 8
General Assembly, Report of the Ad Hoc Committee on the Elaboration of a Convention against Transnational Organized Crime on the work of its first to eleventh sessions, 2 November 2000, A/55/383. 9 Structured group shall mean a group that is not randomly formed for the immediate commission of an offence and that does not need to have formally defined roles for its members, continuity of its membership or a developed structure, Article 2 (c) UN Convention against Transnational Organized Crime. 10 Serious crime shall mean conduct constituting an offence punishable by a maximum deprivation of liberty of at least four years or a more serious penalty, Article 2 (b) UN Convention against Transnational Organized Crime.
11
meningkatnya sejumlah pergerakan politik, perubahan geopolitik dan perkembangan teknologi, sehingga menuntun negara-negara untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut , yaitu dalam upaya bagi perlindungan keamanan umat manusia. Kejahatan transnasional yang terorganisasi (organized transnational crime) sebagai bentuk kejahatan tradisional dalam dimensi baru, telah muncul sebagai salah satu ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Dengan kemampuan untuk memperluas kegiatannya dan sasaran keamanan dan ekonomi negara-negara, khususnya negera-negara sedang berkembang dan negara-negara dalam transisi, dan itu merupakan salah satu ancaman utama sehingga pemerintah harus menghadapinya agar supaya dapat menjamin stabilitas negara, keamanan rakyat, mengamankan seluruh kebutuhan masyarakat dan kelangsungan hidupnya, serta pembangunan ekonomi mereka lebih lanjut. Cara-cara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan tersebut, selain melakukan korupsi, yaitu berupa penyuapan terhadap aparat penegak hukum, juga melakukan kekerasan. Kekerasan digunakan untuk mengintimidasi atau melemahkan saingan bisnis atau bahkan pemerintah aparat penegak hukum yang mencoba menghalangi kegiatan organisasi penjahat transnasional. Di samping itu, kekerasan juga sebagai sarana untuk memelihara ketertiban internal dan disiplin para anggota organisasi. D. KORUPSI DAN ANCAMANNYA Korupsi sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi dapat menimbulkan ancaman, baik terhadap kedaulatan, masyarakat, individu, stabilitas nasional, nilai-nilai demokrasi, ekonomi nasional, lembaga-lembaga keuangan, demokratisasi dan kebebasan pribadi, pembangunan, dan terhadap regim global. Gambaran mengenai ancaman-ancaman tersebut adalah sebagai berikut. 1. Ancaman terhadap kedaulatan (the threat to sovereignty) Kejahatan transnasional, dengan segala bentuk dan manifestasinya, merambah pula ke dalam pelanggaran batas-batas nasional suatu negara. Apalagi dalam abad teknologi tinggi, perdagangan dan sistem keaungan global, maka batas-batas nasional telah
12
menjadi lebih rentan daripada sebelumnya. 11 Penyuapan-penyuapan tingkat tinggi tidak lagi harus dilakukan secara konvensional, karena seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi, transaksi pembayaran atau transfer dana dapat dilakukan melalui apa yang di Ameruka dikenal dengan SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Transfer Telecommunication). Ini berarti, penyuapan yang dilakukan oleh suatu korporasi atau pelaku kejahatan terorganisasi dapat dilakukan secara lintas batas, yaitu misalnya dengan mentransfer sejumlah dana ke rekening seorang pejabat di suatu negara. Untuk mencegah perbuatan seperti itu, telah ada konvensi yang mengatur mengenai pemberantasan penyuapan terhadap pejabat pemerintah asing dalam transaksi bisnis internasional.
12
Konvensi yang ditandatangani pada tanggal 17 Desember 1997 dan
berlaku efektif pada tanggal 5 Februari 1999. Pada awal tahun 2001, Argentina, Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Republik Cehnya (Czech), Denmark, Finlandia, Francis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Italia, Jepang, Republik Korea, Mexico, Belanda, Norwegia, Polandia, Republik Slowakia, Sepanyol, Swedia, Swis, Inggris, dan Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi itu. Sedangkan untuk negaranegara lainnya seperti Brasil, Portugal, Turki, Irlandia, Luxemburg, Slandia Baru, dan Cili, masih dalam proses ratifikasi. Negara-negara yang disebutkan di atas, tidak termasuk Indonesia. Namun demikian, jika memperhatikan tujuan utama dari Konvensi tersebut, yaitu menyediakan kerangka untuk mengkriminalisasikan korupsi dalam transaksi bisnis internasional, dan negaranegara yang ambil bagian dalam Konvensi telah berikrar untuk menghukum terdakwa yang melakukan penyuapan para pejabat negara-negara asing, demikian juga pejabat11
United Nations, Economic and Social Council, Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various Regions of the World, World Ministerial Conference on Organized Transnational Crime, Naples, 21-23 November 1994. 12 Global Programme Against Corruption, UN Anti-Corruption Policy, Dalam Draft United Nations Manual on Anti-Corruption Policy, Vienna, June 2001, hal. 72. Adapun yang dimaksud dengan penyuapan internasional adalah: the intentional offer, promise, or giving of any undue pecuniary or other advantage, whether direcly or through intermediaries, to a foreign public official, for that official or for a third party, in order that the the official act or refrain from acting in relation to the performance of official duties, in order to obtain or retain business or other improper advantage in the conduct of international businesses. Mengenai hal ini baca buku Kejahatan Korporasi yang ditulis oleh M. Arief Amrullah, Penerbit Bayumedia Bublishing, Malang, 2005, hal. 77-78.
13
pejabat di negara-negara yang tidak ambil bagian Konvensi, dengan maksud mendapatkan atau menguasai bisnis internasional, ini berarti Indonesia seharusnya juga meratifikasi Konvensi tersebut. Selanjutnya, OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) (1998: 20) pada dokumen tentang Revised Recommendation of the Council on Combating Bribery in International Business Transactions, yang diadopsi oleh Dewan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan pada tanggal 23 Mei 1997, pada bagian Criminalisation of Bribery of Foreign Public Officials, pada intinya telah merekomendasikan kepada negara-negara anggota untuk mengkriminalisasikan penyuapan terhadap pejabat publik asing yang berkaitan dengan transaksi bisnis internasional. 2. Ancaman terhadap Masyarakat (the threat to societies) Betapa tidak, jika korupsi sudah masuk ke dalam berbagai elemen pemerintah, mulai dari tingkat atas sampai kepada yang paling bawah, sudah dapat dibayangkan akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Karena, segala sesuatu akan berhasil jika ada uang. Artinya, dalam segala urusan mulai dari pengusuran KTP (Kartu Tanda Penduduk) sampai kepada mengurus izin usaha, masuk PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan lain sebagainya, harus pakai uang. Padahal dalam teori, pemerintah selaku pejabat publik wajib memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada masyarakat. Memang, ketika yang bersangkutan diangkat menjadi pejabat, sudah mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya. Apabila konsekuen dengan sumpah yang telah diucapkan, rasanya tidak mungkin akan melakukan perbuatan yang bertentangan hukum. Tapi kenyataanya, dana-dana bantuan untuk korban bencana alam pun, tidak luput dari pejarahan (dikorupsi). Ini berarti, para koruptor sudah tidak mempunyai rasa kemanusiaan. 3. Ancaman terhadap Individu (the threat to individuals) Korupsi yang dilakukan, baik oleh pejabat publik maupun swasta, sangat merugikan individu. Ambil contoh, kasus penyalahgunaan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), tidak hanya membebankan kepada masyarakat, tapi juga bayi yang masih
14
dalam kandungan pun sudah masuk dalam daftar sebagai calon penanggung utang. Padahal dia dan orang tuanya samasekali tidak mendapat manfaat dari dana itu. 4. Ancaman terhadap Stabilitas Nasional (the threat to national stability) Berdasarkan hasil sigi yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) tahun 1996 yang berpusat di Hongkong, bahwa Indonesia berada diurutan ketiga dari 12 negara di Asia yang tingkat korupsinya paling memprihatinkan. Penelitian yang mengambil sampel para pengusaha yang bekerja dan melakukan bisnisnya di 12 negara tersebut, adalah Singapura, Jepang, Kongkong, Malaysia, Korea Utara, Taiwan, India, Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Cina. Walaupun para pejabat Indonesia (pada masa pemenintahan Orde Baru) membantah hasil sigi tersebut. Dengan mengatakan, bahwa tidak ada korupsi di Indonesia. Selanjutnya, dalam Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Permukiman (Habitat) II yang berlangsung di Istambul, Turki, Indonesia masuk 10 negara korupsi tertinggi di antara lebih dari 50 negara. Korupsi yang banyak terjadi dalam transaksi bisnis di seluruh dunia, merupakan kekuatan demoralisasi dan penghalang bagi pelaksanaan strategi pembangunan yang progresif untuk perubahan sosial. 13 5. Ancaman terhadap Demokratisasi (the threat to democratization) Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, tanggal 13 November 1998. Dalam Pasal 2 dinyatakan: (1) Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara; (2) Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adapun sasaran dari Tap MPR No. XI/MPR/1998 tersebut, telah dinyatakan dalam Pasal 4-nya, bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negra, mantan penajabat 13
M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Malang, Bayumedia Bublishing, 2005, hal. 78-79.
15
negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta atau konglomerat. Bahkan dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75), tanggal 19 Mei 1999, menegaskan bahwa tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme itu tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara Negara, antarPenyelenggara Negara, melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para pengusaha. Menempatkan pihak pengusaha atau konglomerat sebagai sasaran tembak, karena seringkali terjadi hubungan erat antara penguasa dengan swasta atau konglomerat, yang berujung pada pemberian fasilitas yang tidak terbuka, yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya keterbukaan. 14 6. Ancaman terhadap Ekonomi Nasional (the threat to national economies) Uang yang diperoleh dari hasil korupsi cenderung berpengaruh buruk terhadap ekonomi yang sah dan dapat merusak upaya pembangunan dan usaha untuk menjamin keseimbangan ekonomi. 7. Ancaman terhadap Demokratisasi (the threat to democratization) Di samping yang telah dikemukakan di atas, kaitkan dengan pemilu (politik uang)
C. KEBIJAKAN MEMERANGI KORUPSI c.1 Instrumen Hukum Internasional Berdasarkan uraian di atas, baik yang terungkap dalam Draft United Nations Manual on Anti-Corruption Policy sebagai program global untuk memerangi korupsi maupun yang dikemukakan oleh para sarjana dan contoh-contoh yang memperkuat pernyataan tersebut. Pertanyaannya, bagaimana dengan upaya Indonesia dalam memerangi korupsi? Apabila mengacu pada Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), menunjukkan bahwa adanya tekad bangsa Indonesia untuk memerangi KKN. Hal itu dapat dengan jelas dilihat dalam bagian menimbang dari Tap MPR tersebut bahwa permasalahan 14
M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Malang, Bayumedia Bublishing, 2005, hal. 60-61.
16
KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan yang sangat luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemauan untuk memberantas KKN tersebut, sebenarnya pada tahun 1998, MPR telah menetapkannya sebagai salah satu agenda reformasi, yaitu melalui Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Implementasi dari kemauan politik itu, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari KKN (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2851), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874), dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150). Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi hingga sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal, karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dengan alasan tersebut maka dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4250).
2.1 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Adapun, bentuk-bentuk dari tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undangundang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, selain apa yang sudah lazim dikenal, seperti penyuapan dan bentuk-bentuk lainnya berupa pemberian janji. Dalam undang-undang tersebut telah pula diatur ketentuan yang sebelumnya belum dikenal, yaitu apa yang disebut dengan istilah Gratifikasi. Menurut
17
ketentuan Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terimplementasi dalam perundang-undangan tersebut, arahnya pada memidana si pelaku, baik penjara maupun denda atas tindak pidana korupsi yang telah dilakukan. Sifatnya, preventif dan represif. Akan tetapi, belum mengatur mengenai penggunaan uang hasil korupsi. Karena itu, sebagaimana dikemukakan dalam Draft United Nations Manual on Anti-Corruption Policy sebagai program global untuk memerangi korupsi bahwa suatu strategi yang komprehensif dalam memerangi korupsi harus meliputi tindakan-tindakan yang ditujukan pada pencegahan dan penanggulangan pencucian uang hasil korupsi. Hubungan antara korupsi dan pencucian uang hasil korupsi bukan merupakan hal baru tetapi telah berlangsung pada beberapa kejadian di masa lalu. Keterkaitan antara pencucian uang dan korupsi tidak hanya berkaitan dengan pencucian hasil korupsi, tetapi lebih dari itu. Sehubungn dengan itu, United Nations Convention against Corruption yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam resolusinya No. 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, dalam Pasal 23 mengenai Laundering of proceeds of crime, antara lain ditentukan bahwa setiap negara anggota harus menyetujui resolusi tersebut, terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya masing-masing, yaitu dengan mencantumkannya ke dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana apabila itu dilakukan dengan sengaja, di anataranya meliputi perbuatan-perbuatan : a. Menukaran atau menstranfer harta kekayaan, mengetahui bahwa harta kekayaan tersebut adalah hasil dari kejahatan dengan tujuan menyembunyikan atau
18
menyamarkan asal harta kekayaan yang diperoleh secara gelap tersebut atau membantu seseorang yang terlibat dalam suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menghindari tuntutan hukum atas perbuatan tersebut. b. Menyembunyikan atau menyamarkan keadaan yang sebenarnya, sumber, lokasi, penempatan, pergerakan atau kepemilikan, yang diketahui bahwa harta kekayaan tersebut adalah hasil dari kejahatan.
2.2 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003, maka keberadaan undang-undang tersebut jelas terkait dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang lainnya yang sejenis, yaitu dengan satu tujuan untuk mempersempit terjadinya tindak pidana korupsi. Karena itu, dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 dikemukakan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ini berarti, bahwa kehadiran Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sebagai upaya untuk membantu bekerjanya UndangUndang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal itu sesuai dengan bunyi Penjelasan Umum Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undangundang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang memidana tindak pidana asal (predicate crime) antara lain: Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
19