Membumikan Agenda Polhukam Pemerintahan Jokowi Arie Putra
Memberikan penilaian terhadap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK tentu bukan perkara yang mudah. Secara umum, pengamat akan dihadapkan ke empat isu pokok, diantaranya kemampuan pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan warisan pemerintahan sebelumnya, merealisasikan program pembangunan jangka panjang, mengatasi masalah-masalah jangka pendek-menengah, dan menyelesaikan ketegangan-ketegangan politik yang kerap mengganggu. Dalam seminar publik “Satu Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla: Tantangan dan Prospek” yang diadakan oleh Policy Research Network (PRN), salah satu sesi membahas isu politik, hukum, dan hak asasi manusia. Diskusi tersebut diisi oleh tiga orang pembicara yang berasal dari tiga lembaga yang berbeda, yaitu Philips Vermonte (CSIS), Ihsan Ali Fauzi (PUSAD Paramadina), dan Abdur Rozaki (IRE Yogya). Tiga isu pokok yang disinggung di atas merupakan titik fokus dari diskusi ini. Dalam menjaga stabilitas politik, Pemerintahan Jokowi-JK dianggap oleh banyak pengamat masih tergopoh-gopoh. Hal ini tidak lepas dari minimnya instrumen politik yang dimiliki oleh orang nomor satu di Indonesia ini. Berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, Joko Widodo tidak memiliki kendali penuh terhadap partai politik dan militer. Paling tidak, pemimpin sebelumnya memegang kendali penuh terhadap satu dari dua opsi tersebut. Sebagai pemegang pucuk pimpinan tertinggi di negara ini, minimnya instrumen politis ini menjadi kelemahan tersendiri bagi pemerintahan ini. Pertarungan dengan parlemen memang harus dihadapi dengan “sungguh-sungguh”. Hal ini tentunya tidak pernah dialami oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dengan legislatif lewat obrolan di belakang layar. Pemerintah Jokowi harus lebih banyak menghabiskan tenaga untuk bertarung secara nyata. Hal ini dapat kita lihat dari proses pengesahan APBN 2016 yang sangat berlarut-larut prosesnya. Jokowi harus menghabiskan banyak tenaga untuk meloloskan anggaran yang “disandera” partai politik. PDI-P sebagai partai pengusung juga belum terlalu all out memperjuangkan kepentingan pemerintah. Di tengah kegersangan politis tersebut, pemerintah Jokowi-JK tetap memiliki posisi tawar yang tinggi. Hal ini ditandai dengan masuknya dua partai oposisi ke lingkaran pemerintah. Setelah PAN menyatakan dukungan, Golkar juga memperlihatkan nada-nada yang sama. Pada 1 November 2015 lalu, elit Golkar menyatakan sikap dukungan terhadap pemerintah. Koalisi yang tiba-tiba dalam waktu satu tahun menjadi semakin besar menghadirkan berbagai pertanyaan. “Apakah Pemerintah akan semakin tersandera kepentingan partai?” Atau “Apakah posisi pemerintah semakin kuat untuk menjalankan sisa programnya di empat tahun sisa pemerintahan?” Dua pertanyaan ini barang kali dapat sedikit terjelaskan dengan meraba-raba bagaimana satu tahun awal pemerintahan Jokowi-JK berjalan.
Memperkuat Diri untuk Memperkuat Program Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 mengenai Desa dianggap oleh berbagai pengamat sebagai salah satu produk DPR 2009-2014 yang paling progresif. UU ini memberikan legitimasi unit desa dapat memiliki wewenang untuk mengelola sumber daya dan mempercepat pembangunannya. Namun, pelaksanaan UU tersebut masih mengalami berbagai kendala, mulai dari teknis hingga politis. Untuk masalah teknis, banyak desa belum mampu untuk membuat perencanaan pembangunannya secara lebih terarah. Tidak hanya masalah rencana pembangunan, data Susenas tahun 2012 memperlihatkan bahwa masih ada desa yang masih belum memiliki struktur desa, yaitu sekitar 8% dari jumlah total desa seluruh Indonesia. Selain itu, persoalan respon dari kepala daerah yang merupakan salah satu pemegang komando dari pelaksanaan UU ini juga kerap menjadi penghalang. Memang terdapat beberapa kepala daerah yang proaktif dalam menyiapkan raperda untuk merespon regulasi ini. Namun, banyak juga kepala daerah yang tidak mau tahu, bahkan tidak menginginkan UU ini untuk diterapkan. Di tingkat birokrasi daerah respon negatif sudah sangat biasa, pelaksanaan UU ini tentunya akan menambah pekerjaan rumah mereka menjadi semakin banyak. Persoalan-persoalan teknis ini membuat penyerapan dana desa yang sudah diturunkan oleh Kementerian Desa sebesar 80% masih belum sanggup untuk disentuh oleh pemerintah desa. Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang menyedihkan mengingat kurang dari dua bulan lagi tahun 2015 akan berakhir. Selain itu, masalah politis juga kerap menjadi faktor dari hadirnya persoalan-persoalan teknis tersebut. Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri masih belum jelas dalam membagi wewenang pelaksanaan UU ini. Walaupun Kementerian Desa sudah dimandatkan untuk menyelesaikan isu pemberdayaan dan Kemendagri diarahkan untuk membenahi persoalan pemerintahan, pembagian ini membuat pemerintah daerah semakin bingung untuk memahami batas-batasnya. Pemanfaatan dana desa juga menjadi semakin sulit untuk diejawantahkan. Hal ini tentunya tidak lepas dari pertarungan antara PDI-P yang mengisis pos Kemendagri dan PKB yang mengisi pos Kementerian Desa. Perebutan kepentingan ini tidak mampu sepenuhnya diatasi oleh Pemerintah Jokowi-JK sehingga solusi yang dihasilkan menjadikan penerima manfaat sebagai korban.
Supremasi Masyarakat Sipil? Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2015 mengenai keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial. Hal ini juga perlu dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja Pemerintah Jokowi-JK dalam meningkatkan pelaksanaan hak asasi manusia. Dalam peraturan ini, kepala daerah dapat mengajukan kepada presiden untuk menggunakan instrumen pertahanan (TNI) dalam konflik-konflik sosial yang terjadi. Hal ini tentunya merupakan sebuah krisis tersendiri di tingkat lokal. Penggunaan instrumen ini dapat berpotensi mememenangkan kepentingan tertentu.
Pemerintah tidak lagi menjadikan penguatan modal sosial dan dialog di masyarakat sebagai media utama dalam penyelesaian sengketa. Instrumen koersif yang sudah “dikandangkan” oleh gerakan reformasi dilepas kembali masuk ke gelanggang. Dalam jangka pendek, persoalan-persoalan memang dapat mereda dan bahkan dapat jaminan untuk mereda. Namun, persoalan ini tentunya akan memberikan dampak jangka panjang. Saat ini saja, provokasi dan krisis keberagaman di tingkat masyarakat saja masih terjadi atau Ihsan Ali Fauzi menyebutnya dengan istilah organized hypocrisy. Kebijakan ini tentunya akan membatasi ruang kebebasan bagi masyarakat untuk berinteraksi dalam menyelesaikan masalahnya. Dari berbagai hasil studi yang dilakukan PUSAD Paramadina, keterlibatan aparat keamanan dalam pelarangan dan konflik sektarian masih sangat besar. Mulai dari pembiaran terhadap ancaman yang diterima oleh kelompok minoritas, aktor negara juga ikut campur dalam penindakan terhadap keberagaman ajaran beragama. Berbagai kasus yang belakangan melibatkan Walikota Bogor dapat dianggap sebagai sebuah ketidaksiapan pemerintah di dalam mengelola keberagaman di masyarakat. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama sudah dimasukan menjadi salah satu prioritas di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tentunya, kehadiran RUU ini sangat rentan disusupi oleh kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan demokrasi. Satu tahun ini belum mampu digunakan oleh Pemerintahan Joko Widodo untuk menyelenggarakan hak asasi manusia yang lebih layak pada tingkat regulasi. Memilih instrumen kekuasaan dibandingkan dialog untuk menyelsaikan konflik di masyarakat dan ditambah lagi dengan intervensi aparat yang sudah terlalu jauh malah semakin dilegitimasi.
Peta Kekuatan Politik Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla Banyak pengamat menilai bahwa Pemerintahan Jokowi-JK sangat lemah posisi tawarnya di dalam pemerintahan karena mereka tidak sepenuhnya memiliki legitimasi terhadap suatu instrumen kekuasaan, seperti partai politik ataupun militer. Sejak masa kampanye saja, kompetitor Jokowi sudah melabelinya dengan “presiden boneka”. Jokowi dipandang hanya sebagai representasi dari kelompok kepentingan yang sudah memberikan dukungan terhadapnya. Di sisi lain, ada hal yang cukup meyakinkan di tengah kondisi tersebut. Jokowi-JK masih memiliki posisi tawar yang sangat kuat di dalam relasi antarlembaga tinggi. Hal ini terbukti dengan tidak adanya ketegangan politis yang berarti dari DPR ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan tiga kebijakan strategisnya, yaitu mencabut subsidi bahan bakar minyak, tetap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung, dan mengangkat panglima TNI dari unsur Angkatan Darat, yang harusnya merupakan jatah dari Angkatan Udara. Kekuatan pemerintah masih besar untuk menjalankan rencana-rencananya. Hal ini juga harus diperlihatkan dalam penyelesaian berbagai program-program jangka menengah, seperti kabut asap di Sumatera dan Kalimantan atau nilai tukar rupiah yang mengalami pelemahan. Untuk program jangka panjang, hasilnya memang belum dapat terlihat hari ini karena butuh waktu yang cukup lama. Namun, realisasi dari program tersebut memang perlu dikawal secara politis.
Empat Tahun Kedepan Peta kekuatan di pemerintahan akan segera berubah dengan bergabungnya Golkar dan PAN. Hal ini sebenarnya merupakan peluang pemerintah dalam menambah amunisi politik. Selain itu, ketergantungan Presiden terhadap partai pengusung juga menjadi semakin kecil. Presiden mendapatkan tenaga baru dalam bentuk kekuatan penyeimbang di dalam koalisi. Positioning presiden di dalam mengendalikan koalisi sangat menentukan berjalannya program-program pemerintah yang tertuang di dalam Nawacita, RPJMN, dan quick win. Di sisi lain, hal itu juga akan berpotensi menimbulkan masalah jika proyek-proyek pemerintah dihisap habis oleh partai-partai. Hal ini tidak dapat dihindari oleh rezim manapun yang sedang berkuasa. Ditambah lagi, sektor APBN dianggap lahan yang paling empuk untuk disantap di tengah harga-harga komoditas ekspor sedang terjun bebas. Solusi paling aktual dan sekaligus menjadi latihan politik yang heroik dan uji kekuatan bagi Presiden adalah menolak melakukan revisi UU KPK. Jika pembahasan sudah sempat dilakukan, UU tersebut akan berpotensi mengalami penggembosan dari dalam. KPK menjadi instrumen yang sangat dibutuhkan oleh presiden ketika koalisi semakin gemuk. Selain itu, lembaga ini juga menerima dukungan publik yang begitu luas hingga saat ini. Bukan berarti lembaga ini diisi oleh orang-orang yang sepenuhnya bersih, instrumen ini memang begitu dibutuhkan untuk merealisasikan program kerja Presiden empat tahun yang akan datang di tengah dukungan politik yang semakin besar. Lembaga ini masih dapat dijadikan sebagai senjata andalan bagi pemerintah di tengah keinginan partai politik untuk bagi-bagi kekuasaan. Untuk permasalahan perlindungan umat beragama dan hak asasi manusia, empat tahun kedepan sepertinya akan menghadapi banyak ujian. Hal ini tidak dianggap sebagai isu yang strategis di dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah lebih butuh kerja TNI daripada membuang-buang waktu untuk melakukan dialog dengan berbagai kelompok. UU Perlindungan Umat Beragama juga merupakan isu yang harus terus dikawal dalam empat tahun kedepan. Hal ini berpotensi memberi otoritas yang besar bagi negara untuk ikut campur terlalu jauh dalam mengurusi persoalan-persoalan sektarian lewat mekanisme koersif. Selain itu, hal ini juga berpotensi untuk melegitimasi tindakan sewenang-wenang negara terhadap kehidupan beragama yang sudah beberapa kali terjadi di Bogor. Empat tahun bukanlah waktu yang cukup untuk menyelesaikan semua masalah di negara ini. Namun paling tidak, waktu itu sudah sangat lebih dari cukup untuk memperlihatkan kekuasaan negara untuk melindungi kepentingan warga. Waktu itu sudah cukup untuk membuat warga paham bagaimana negara berjuang dan bertarung secara politis untuk membuat semua sumber daya yang terkonsentrasi menjadi lebih distributif, paling tidak sedikit lebih distributif. Empat tahun sisa pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla diharapkan memberi pelajaran bagi warga dan pengamat bahwa otonomi negara untuk memberdayakan warganya ternyata masih ada.
Arie Putra adalah Manajer Advokasi dan Riset (Research & Advocacy Manager) pada Center for Local Government Innovation (YIPD). Arie juga alumni Departemen Sosiologi FISIP UI. Arie bisa dihubungi melalui email:
[email protected] dan twitter: @arieptr. Ia mengelola blog pribadi yang bisa anda kunjungi: www.diariealog.com.