MEMBUMIKAN AKHLAK ISLAM MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA Kelompok 4 Dosen : Junaidi Idrus, S.Ag., M.Hum
STMIK AMIKOM YOGYAKARTA DISUSUN OLEH : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
TAUFIK SETIAWAN
(11.11.4634)
WIJDAN NANDIWARDHANA
(11.11.4680)
YUDHI AGUS TRIYONO
(11.11.4632)
SEPTININGTYAS
(11.11.4656)
DIDI ARTAFIANDI
(11.11.4643)
WAHYU DWI MUSTOFA
(11.11.4621)
MUAM MARUDIN
(11.11.4631) 11‐S1‐TI‐01
http://contoh.in
0
PENDAHULUAN Akhlak, sebuah hal yang menjadi tolok ukur seseorang disebut sebagai orang yang baik atau orang yang tidak baik. Akhlak menajdi hal yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia terutama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Yang mana nantinya juga akan merambah ke semua aspek kehidupan manusia. Tanpa memiliki Akhlak yang baik tidak mungkin seseorang dapat menemukan kebahagiaan dalam hidup. Semua hal akan menjadi kacau balau karena dengan memiliki akhlak yang tidak baik maka semua hal yang dilakukan tidak akan mendapat ridho Allah SWT. Sesuatu yang dimulai dengan baik akan berakhir baik, sesuatu yang dimulai dengan buruk akan berakhir dengan buruk pula. Globalisasi, sebuah era dimana batas‐batas antarnegara bahkan antarbudaya tidak lagi berarti. Era dimana informasi bisa bebas dan dengan cepat menyebar ke semua orang. Globalisasi banyak membawa perubahan di segala aspek kehidupan. Termasuk akhlak, globalisasi membawa nilai positif dan negatif bagi akhlak manusia. Walaupun bisa dibilang efek negatif yang ditimbulkan oleh era ini kepada akhlak jauh lebih besar ketimbang efek positifnya. Terlebih lagi, hanya orang orang tertentu yang bisa memanfaatkan adanya era ini dan menyerap efek positif yang ada. Islam sebagai sebuah agama juga mengajarkan tentang pentingnya memiliki akhlak yang baik atau yang disebut sebagai “Akhlakul Karimah”. Juga mengajarkan tentang bahaya‐ bahaya bagi orang yang mempunyai akhlak yang buruk atau yang disebut dengan “Alhlakul Mazmumah”. Sebenarnya secara umum semua agama pastilah mengajarkan kepada pemeluknya untuk mempunyai akhlak yang baik dan berlaku baik kepada siapapun, dimapun, kapanpun dan bagaimanapun. Kita sebagai seorang pemuda berpendidikan harus bisa mengetahui mengapa memiliki akhlak yang baik itu sangat penting bagi kedamaian dan ketentraman hidup kita. Kita harus tahu apa itu akhlak, apa saja contohnya, bagaimana cara mengimplementasikannya serta apa efeknya bagi kehidupan kita sendiri khususnya dan bagi kehidupan segala sesuatu di sekitar kita umumnya.
http://contoh.in
1
PENGERTIAN AKHLAK DAN ILMU AKHLAK A. PENGANTAR Akhlak dan ilmu akhlak merupakan kajian klasik dalam pemikiran keislaman. Keberadaannya tidak muncul begitu saja tetapi sudah mengejawantah dalam ranah kehidupan manusia. Sebagai sebuah ilmu, akhlak mencoba mencari dan menelusuri makna kebaikan, kebenaran, keikhlasan, kejujuran dan keadilan dalam ranah perbuatan manusia.
B. PENGERTIAN AKHLAK Dalam Al‐Qur’an Surah Al‐Qalam ayat 4 Allah bersabda : “Sesungguhnya Engkau (Muhammad SAW) berbudi pekerti yang agung”. Ada juga haidst yang berbunyi, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Dalam hadits ini Rasulullah SAW memposisikan dan menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai salah satu visi dan misi fundamental dalam risalah ajaran Islam. Artinya, secara komprehensif keseluruhan ajaran Islam akhlak menempati kedudukan sentral, istimewa dan sangat penting. Inilah yang termaktub dalam hadits tersebut yang diriwayatkan oleh Baihaqi. Dalam sabda lain, Rasulullah SAW menegaskan bahwa “yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah SWT dan keluhuran akhlak”. Selanjutnya “tidak ada sesuatu apapun yang lebih berat timbangannya daripada keluhuran akhlak”. Akhlak secara etimologi mengandung beberapa arti yaitu adat, kebiasaan, tabi’at, perangai dan agama. Sedangkan bentuk jamaknya akhlak adalah khuluq. Berakar dari kata khalaqa(menciptakan). Kemudian serumpun dengan kata khaliq(Pencipta), makhluk(yang diciptakan) dan khalq(penciptaan). Dalam KBBI, kata akhlak diterjemahkan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam bentuk jamak akhlak diartikan sebagai daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa melalui proses pemikiran dalam melahirkan tindakan. Dalam pemikiran Islam, akhlak pada hakikatnya adalah cerminan dalam jiwa manusia sebagai dorongan keimanan dan keyakinannya dalam melahirkan suatu perbuatan. Dengan demikian secara substansi akhlak sudah melekat dalam diri manusia yang diwujudkannya dalam etik perbuatan antar sesama manusia, hewan, dan Tuhannya. Maka, http://contoh.in
2
standarisasi dari kebenaran akhlak itu diukur sejauh mana perbuatan itu berbanding sejajar dengan dasar‐dasar agama dan akal manusia yang notabene kita sebut sebagai akhlak baik (akhlakul karimah) dan berbanding terbalik dengan nilai‐nilai agama dan akal jika akhlak yang dilahirkan dan diwujudkan menciderai makna akhlak itu sendiri yang kita sebut sebagai akhlak buruk (akhlakul mazmumah). Oleh karena itu, baik dan buruknya suatu perbuatan yang dilakukan manusia berdasar kepada sumber perbuatan yang dilakukan manusia berdasar kepada sumber nilai yaitu Al‐Qur’an, sunnah, Rasulullah SAW dan manusia sebagai pemberi nilai. Dalam pengertian etimologi ini dapat dipahami bahwa ketika sebuah masyarakat mulai mempersoalkan baik dan buruknya tingkah laku, maka penyimpangan moral dan akhlak akan semakin transparatif. Kita telah menyaksikan sejak jatuhnya era Orde Baru hingga era reformasi bergulir di Indonesia misalnya digegerkan persoalan penyimpangan moral, akhlak di berbagai lini kehidupan berbangsa bernegara dan bagaimana seharusnya bersikap dalam menegakkan kebaikan dan kebenaran dalam tataran kehidupan nyata. Begitu juga perjuangan para rasul Tuhan menjadi misi abadi untuk tegaknya moralitas umat dalam konsepnya yang lebih sempurna. Ada beberapa sedikit perbedaan penekanan berkenan dengan pengertian dan pemahaman akhlak dari perspektif para ahli ilmu sebagai berikut : Pertama, Ibnu Muskawaih, mendefinisikan akhlak sebagai berikut : akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mengajaknya untuk melakukan perbuatan‐perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran (akal) terlebih dahulu. Kedua, Imam Al‐Ghazali. Bagi Al‐Ghazali dalam memahami akhlak agak berbeda dengan Ibnu Maskawaih, akhlak adalah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berpikir lebih dahulu untuk menimbulkan suatu perbuatan. Ketiga, Ahmad Amin sebagaimana di tulis dalam karyanya “Kitab Akhlak” menyebutkan bahwa akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa bila kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itulah yang disebut dengan akhlak. Secara terminologis(istilah) ada beberapa definisi tentang akhlak. Sebagaimana yang dikemukakan berikut ini : Dalam asumsi Ibrahim Anis, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah berbagai macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran atau pun pertimbangan. Sedangkan bagi Abdul Karim Zaidan, akhal adalah nilai‐ nilai dan sifat‐sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya http://contoh.in
3
seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukannya atau meninggalkannya. Secara sederhana beberapa definisi baik secara bahasa atau pun istilah mengindikasikan kepada kita bahwa lahirnya perbuatan akhlak bukan atas dasar dorongan “orang lain” tetapi lebih kepada dorongan “diri sendiri”. Artinya, berbuat baik secara universal tidak membutuhkan kekuatan dari luar tetapi harus bersumber dari jiwa masing‐ masing manusia untuk mencapai ridho Allah SWT. Sebagai contoh dapat kita ilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seorang guru atau dosen dalam mengajar hanya mengharapkan hadiah atau pujian dari pihak intuisinya, setelah ada tim penilaian, maka perbuatan mengajar itu bukanlah perbuatan profesional dan loyalitas yang tinggi secara akademik. Karena dorongan mengajar itu bukan datang dari dalam jiwanya melainkan atas dasar ada imbalan yang di dapat jika berprestasi. Oleh karena itu, perbuatan atau akhlak itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Jika kita melirik dalam konteks pemahaman Al‐Qur’an, maka ada sedikit titik perbedaan yang sangat mendasar dalam memahami akhlak sebagai tataran pemikiran perilaku manusia. Akhlak sebagaimana tercantum dalam Al‐Qur’an adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW bahwa beliau “berada pada khuluq yang agung”. Maka teladan akhlak mulia itu, sebagaimana umat Islam sepenuhnya menyadari bahwa Al‐Qur’an memang menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang baik bagi kita berkenaan dengan akhlak mulia yang berasaskan kesadaran akan kehadiran Allah SWT dalam hidup dengan senantiasa berharap kepada‐Nya dan kepada kebahagiaan di hari kemudian. Sehingga dalam tataran selanjutnya Al‐Qur’an juga menyebutkan bahwa keteladanan yang baik serupa itu juga tersedia bagi umat manusia secara universal. Makna kebahasaan akhlak atau khuluq sudah mengisyaratkan kepada suatu bentuk pengertian yang mendasar, yang satu akar kata dengan “khalq”(penciptaan), “khaliq”(pencipta), dan “makhluk”(ciptaan). Oleh karena itu, istilah akhlak atau khuluq mengacu kepada pandangan dasar Islam bahwa manusia diciptakan dalam kebaikan, kesucian, kemuliaan, sebagai sebaik‐baik ciptaan‐Nya. Artinya, manusia mau tidak mau harus konsekwen memelihara nilai‐nilai mulia tersebut dengan penuh beriman kepada‐Nya secara vertikal dan secara horizontal berbuat baik kepada sesama manusia. Jika hukum “kausalitas” ini dilanggar maka dampaknya adalah manusia akan jatuh dan hina dalam pandangan Allah SWT menjadi serendah‐rendahnya makhluk.
http://contoh.in
4
Dengan demikian, berakhlak mulia adalah tindakan memenuhi kemestian kemanusiaan primordial yang suci, karena itu bersifat alamiah dan wajar. Memberikan rasa tenteram, aman sentosa sebagai unsur‐unsur kebahagiaan.
C. PENGERTIAN ILMU AKHLAK Secara bahasa ilmu akhlak merupakan segala macam ilmu yang ada kaitannya dengan akhlak. Artinya, dalam pengertian ini dapat kita pahami bahwa ilmu akhlak daya jangkauannya akan menjadi lebih luas, karena bersentuhan dengan ilmu‐ilmu lainnya. Seperti ilmu psikologi, ilmu logika, ilmu sosiologi, estetika dan ilmu filsafat. Yang kita ketahui sendiri bahwa ilmu filsafat itu adalah ilmu yang sangat fundamental dan mendasar dalam mengkaji ruang lingkup ilmu akhlak. Sebagaimana banyak di bicarakan oleh para filosof baik filosof Islam maupun filosof Barat. Untuk menjelaskan pengertian ilmu akhlak ini, agaknya penulis hanya memberikan satu pemikiran saja dalam arti karena sudah bisa merangkum berbagai pemikiran para ahli. Dalam hal ini penulis mengutip asumsi Ahmad Amin berikut ini : “Ilmu akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang sepatutnya diperbuat sebagian orang kepada lainnya dalam pergaulan, menjelaskan tujuan yang sepatutnya dituju manusia dan menunjukkan jalan apa yang selayaknya diperbuat. Dalam perkembanggannya, ilmu akhlak lazim juga disebut sebagai filsafat akhlak atau filsafat etika. Etika sendiri dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia. Sejauh berkaitan dengan norma. Artinya, etika merupakan refleksi ilmiah tentang tingkah laku manusia dari sudut norma‐norma atau dari sudut baik dan buruk. Tetapi tidak setiap refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia dikatakan suatu etika. Dalam konteks filsafat Yunani kuno etika sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika adalah ilmu, namun sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu empiris. Untuk memahami “makna” ilmu empiris ini dapat kita contohkan dengan perilaku korupsi. Artinya, etika tidak akan membatasi diri dengan menyororti korupsi sebagai suatu gejala faktual. Etika menyibukkan diri dengan segi normatif atau evaluatif. Misalnya etika mempertanyakan apakah korupsi dapat dibenarkan atau tidak? Bagaimana argumentasi mereka yang mendukung dan argumentasi mereka yang menolak korupsi? Apakah argumen‐ argumen mereka bisa dipertahankan. Tentu saja, penelusuran etika harus menyelidiki terlebih dahulu apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan korupsi itu. http://contoh.in
5
PENJERNIHAN ISTILAH A. MORAL Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Berasal dari bahasa Latin, “mos”(tunggal) dan “mores”(jamak). Secara harfiah artinya sama dengan etika yaitu adat kebiasaan. Kesamaan pengertian etimologi ini mengindikasikan substansi yang kuat terhadap perilaku manusia. Hanya saja, sudut pandang bahasa asalnya berbeda, etika berasal dari bahasa Yunani kuno sedangkan moral berasal dari bahasa Latin. Moral selalu dihubungkan dengan ajaran baik buruk yang diterima suatu masyarakat. Oleh karena itu, adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan Moral adalah yang mengatur hubungan dengan sesamanya, tetapi berlainan jenis atau yang menyangkut kehormatan tiap pribadi. Selain kata moral, kita juga mengenal kata “moralitas”. Secara harfiah artinya hampir sama dengan moral tetapi moralitas lebih terkesan abstrak. Misalnya, kita berbicara tentang moralitas suatu perbuatan manusia, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan ilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Jika kita analisa lebih mendalam moral sesungguhny lebih bersifat praktis dan khusus.
• Moral dan Agama Mengapa ajaran moral dalam suatu agama sangat penting? Agaknya, inilah pertanyaan sangat penting untuk kita kemukakan. Setidaknya ada beberapa alasan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, agama mempunyai hubungan yang erat dengan moral. Misalnya “mengapa kita tidak boleh melakukan perbuatan ini atau itu jangan dilakukan”, jawaban yang sering kita dapatkan adalah “agama melarangnya”, “itu melawan hukum Tuhan”. Kedua, agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi tuntutan bagi penganutnya. Hampir bisa kita pastikan bahwa setiap agama mengandung ajaran moral meskipun ada perbedaan yang mendasar, tetapi jika kita lihat seccara komprehensif perbedaan itu tidaklah terlalu substantif. Menurut Kees Berten pembicaraan tentang moral bukan “hak milik” atau monopoli orang yang beragama an sich. Artinya, konsep “baik” maupun “buruk” itu bukanlah mempunyai arti untuk orang yang beragama saja. Di sini Berten mengatakan http://contoh.in
6
lebih jauh bahwa dewasa ini tidak sedikit orang menganut suatu etika humanistis dan sekular, tanpa harus “berurusan” dengan agama sekalipun. Etika humanistis dan sekular tidak lagi mengikutsertakan acuan keagamaan.
• Moral dan Supremasi Hukum Immanuel Kant sebagai seorang filusuf mengungkapkan bahwa moral adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban manusia terhadap dirinya. Artinya, Kant menegaskan kepada kita bahwa moralitas itu bisa tercapai apabila kita mampu menaati hukum lahiriah bukan lantaran berdampak pada suatu pertimbangan keuntungan atau karena takut kepada aparat penegak hukum, melainkan manusia itu menyadari sendiri bahwa hukum itu merupakan kewajibannya secara substantif. Lebih jauh, Kant membedakan ajaran moral dalam dua bentuk : moralitas heterenom dan moralitas otonom. Kedua moralitas ini mempunyai titik tekanan yang berbeda dalam sudut pemikiran Kant dan implikasinya. Pertama, moralitas heteronom adalah suatu sikap dalam memandang kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan atas nama kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu hal yang berasal dari luar kehendak manusia. Contoh, karena ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai atau karena perasaan takut pada penguasa yang memberikan kewajiban. Moralitas ini menurut Kant akan berdampak pada hancurnya nilai‐nilai moral. Kedua, moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai suatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai sesuatu yang baik. Bagi Kant, dalam moralitas otonom penekanan nilai‐nilai moral bukan atas dasar “tujuan dan rasa takut” tetapi lebih kepada penilaian ia sendiri sebagai sebagai seuatu azas kemerdekaan diri. Moralitas ini mapu mencapai tingkat tertinggi suatu perbuatan atas dasar kebebasan berkehendak dan berbuat sebagai makhluk rasional. Jauh sebelum asumsi dan pemikiran Kant di atas, Al‐Qur’an sudah lebih dulu menjelaskan bagaimana urgensi dan vitalnya pembicaraan mengenai hukum dan moralitas kepada manusia sebagai berikut : Orang orang menyembah kepadakau, selain Allah, melainkan (mereka tentu berkata), jadilah kamu semua orang‐orang yang berketuhanan (rabbaniyyin), menurut kitab yang telah kamu ajarkan dan berdasarkan apa yang telah kamu pelajari.
http://contoh.in
7
Dari uraian di atas dapat kita tarik suatu pemikiran bahwa sebenarnya makna kata “hukum” dalam tinjauan tentang makna kata asalnya dalam bahasa Arab “hukum”, adalah lebih luas daripada yang biasa kita pahami dalam percakapan sehari‐hari. Dalam hal ini, pengertian hukum tidak lepas dari kedalaman dan keluasan makna perkataan Arab “hukm” dan “hikmah” yang mengarah pada pengertian “wisdom” (Inggris). Bahkan perkataan hukum itu sendiri digunakan dalam pengertian ajaran secara keseluruhan dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya.
B. ETIKA Dalam konteks keilmuan, istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Secara etimologi, Etika dalam bahasa Yunani kuno di sebut “ethos” yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak, etika dalam bahasa Yunani kuno disebut “ta etha” yaitu adat kebiasaan. Memahami istilah etika dalam konteks ini, maka etika adalah ilmu yang berkenaan dengan suatu hal yang biasa dilakukan atau adat kebiasaan masyarakat manusia. Kata etika sudah lazim kita dengar, baca dan ucapkan. Dalam pembicaraan mengenai etika, muncul juga istilah‐istilah lain yang dipahami secara umum. Dalam bahasa Indonesia, kata etika juga sering dipakai, misalnya kita mendengar istilah “etika profesi” etika kerja, etika bergaul dan sebagainya. Ada dua titik penekanan dalam melihat pemahaman konsep etika. Pertama, etika di pandang sebagai ilmu, yaitu ilmu pengetahuan tentang asas‐asas akhlak. Kedua, etika sebagai ilmu terapan, dalam tiga arti 1)ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk. 2)kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3)nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Secara filosofis, etika adalah bagian dari kajian filsafat. Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai konteks filsafat, etika mencari kebenaran yang sedalam‐dalamnya atau sampai kepada akar suatu persoalan kemanusiaan. Sedangkan etika dalam bentuk tugas tertentu, etika mencari standarisasi baik dan buruk tingkah laku manusia. Dengan demikian, ada orang yang berasumsi bahwa etika juga disebut sebagai filsafat kesusilaan. Pertanyaan kita adalah, mengapa ada etika, apa yang di cari oleh etika kalau sudah ada “institusi” agama yang menjelaskan kepada manusia?. Tujuan pertama dan utama dari etika bukanlah untuk memberi pedoman melainkan untuk tahu. Etika mencari dengan kemungkinan untuk keliru, dan jika keliru akan dicari lagi sampai menemukan kebenaran. Dasar tidak tahu, bukanalh merupakan nilai skeptis, tetapi suatu “keyakinan”, supaya jangan http://contoh.in
8
sampai ia mengatakan sebelumnya, bahwa ia telah tahu, tetapi sebenarnya belum tahu. Manusia dapat tahu, daripada itu mencari kepuasan dalam tahu. Oleh karena itu, etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis dan secara khusus etika bersifat umum.
C. HATI NURANI Secara sederhana hati nurani bisa kita pahami sebagai salah satu bentuk penghayatan baik atau buruk dalam perspektif tingkah laku manusia. Ia tidak berbicara sesuatu tentang yang umum tetapi lebih berorientasi kepada hal yang konkrit. Karenanya, hati nurani sangat berkaitan juga dengan seberapa jauh bentuk penghayatan kita dalam memaknai suatu kesadaran. Beberapa pemahaman tentang hati nurani : 1. Hati nurani personal dan adipersonal. 2. Hati nurani sebagai norma moral sbyektif. Mari kita jelaskan kedua makna di atas. Hati nurani personal dan adipersonal selalu berkaitan dengan kepribadian seseorang. Artinya, sesuatu yang sudah melekat dalam diri manusia yang akan berkembang dengan seluruh kepribadian manusia. Dengan demikian, hati nurani personal adalah hati nurani yang berbicara atas nama ia sendiri dan ia juga yang mampu memberikan penilaian terhadap suatu hal. Sedangkan hati nurani bersifat subyektif adalah melalui perasaan, kehendak dan rasio. Artinya ia merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Bahkan tidak satu orang pun untuk campur tangan dalam keputusan hati nurani seseorang. Artinya, tidak akan mungkin rasional jika seseorang dipaksa untuk berbuat yang bertentangan dengan hati nuraninya.
D. METAETIKA Dalam konteks pemikiran, metaetika dapat ditempatkan dalam ranah filsafat analitis. Filsafat analitis sendiri adalah suatu aliran pemikiran kefilsafatan yang sangat penting di abad ke‐20. Pemikiran ini menganggap bahwa analisis bahasa sebagai urgensi terpenting filsafat. Awal berkembang di Inggris abad ke‐20 dan George Moore adalah salah http://contoh.in
9
seorang penemunya. Perembangan pemikiran ini selanjutnya adalah di negara Amerika Serikat dan Australia. Secara kebahasan metaetika berasal dari bahasa Yunani, meta berarti “melebihi”, “melampaui”. Artinya secara implikatif makna yang terkandung di dalamnya mengindikasikan bagaimana ucapan‐ucapan manusia di moralitas. Seolah‐olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis yaitu pada taraf “bahasa etis” dengan mempelari logika‐logika khusus dari ucapan‐ucapan etis.
http://contoh.in
10
HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA A. ILMU JIWA Ilmu jiwa atau psikologi sangat berkatian dengan ilmu akhlak. Ilmu jiwa sasarannya mengungkapkan peranan dalam perilaku manusia. Dalam hal ini yaitu suara hati(dhamir), kemauan(iradah), daya(ingatan), hafalah dan pengertian serta kecenderungan‐ kecenderungan manusia. Semua hal diatas adalah cakupan dan ruang lingkup ilmu jiwa yang menggerakan manusia untuk berbuat sesuatu.
B. ILMU LOGIKA Secara filosofis ilmu logika termasuk hal fundamental dalam kaidah‐kaidah berfikir secara benar. Ilmu logika disebut juga ilmu mathiq yaitu pengetahuan yang menjelaskan tentang kaidah‐kaidah dan undang‐undang berpikir manusia secara benar. Ada 2 argumentasi keterkaitan antara ilmu akhlak dengan logika : 1. Sama‐sama sebagai penimbang. Ilmu akhlak bagaimana merumuskan aturan‐ aturan manusia berperilaku, sedangkan ilmu logika merumuskan bagimana manusia harus berpikir sesuai perilaku tersebut. 2. Sama‐sama membahas dan meneliti manusia dari segi kejiwaan. Ilmu akhlak memandang dari segi tingkah lakunya sedangkan ilmu logika melihat dari sisi berfikirnya.
C. ILMU ESTETIKA Estetika sangat berperan penting dalam perilaku manusia. Secara bahasa estetika dikatakan sebagai ilmu yang membicarakan tentang sesuatu keindahan. Keindahan dalam arti substansi maupun keindahan normatif. Keindahan substantif adalah keindahan yang berdasarkan perilaku yang paling dalam dalam kejiwaan manusia, sedangkan keindahan normatif adalah suatu keindahan lebih kepada “kulit” saja tetapi mengabaikan makna yang mendasar dalam perilaku manusia. Artinya, estetika lebih menekankan titik “kenikmatan” daripada sekitar menikmati objek sesuatu.
http://contoh.in
11
D. ILMU SOSIOLOGI Cakupan ilmu sosiologi lebih memfokuskan kepada nilai‐nilai sosial. Jika kita lihat secara bahasa bahwa sosiologi berasal dari dua padanan kata yaitu “socius” (kawan) dan “logos” (ilmu pengetahuan). Dalam pemahaman saya sebenarnya sosiologi suatu ilmu bagaimana seseorang mampu beradaptasi, bersosialisasi, dan membaur dalam bermasyarakat dengan prinsip‐prinsip kebersamaan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemikiran Ahmad Amin mengatakan bahwa antara ilmu akhlak dengan sosiologi sangat erat sekali dalam segi pemanfaatan. Artinya, perbuatan dan tindakan manusia yang ditimbulkan oleh kehendak dan kemauan tidak bisa lepas begitu saja dari unsur‐unsur kajian kehidupan bermasyarakat yang menjadi kajian ilmu sosiologi.
http://contoh.in
12
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU AKHLAK A. PERASAAN AKHLAK Secara bahasa istilah “perasaan” menekankan suatu kekuatan bagaimana seseorang dapat mengetahui suatu perilakunya apakah sudah berakhlak atau tidak. Argumentasinya barangkali sederhana saja bahwa perilaku atau tindakan itu pada saat‐saat tertentu dianggap tepat dan baik tetapi pada waktu lain bisa saja dianggap tidak tepat dan sebagainya.
B. MOTIVASI AKHLAK Kata motivasi di sini lebih tepat saya sebut sebagai daya pendorong (stimulant). Maksudnya suatu kekuatan yang menjadi sumber kelakuan akhlak(moral action). Setiap tindakan manusia pasti mempunyai pendorong. Hanya saja tindakan manusia, aspeknya bersifat konkret dalam dalam bentuk tingkah laku lahir manusia, tetapi “pendorong” tersembunyi dalam batin manusia tidak dapat di nalar oleh indra lahiriah.
C. UKURAN DAN TUJUAN AKHLAK Alat apa yang dipakai untuk mengukur atau mengatakan suatu perilaku itu bisa kita katakan baik atau buruk. Barangkali inilah pertanyaannya untuk menggali makna ukuran akhlak tersebut. Para ahli piker meletakkan sebagai alat penimbang perbuatan pada faktor yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Sebagaimana ulama juga berpendapat sebaliknya bahwa yang dapat mengukur atau menimbang perbuatan manusia adalah faktor‐faktor yang datang dari luar diri manusia. Jika kita persempit maknanya ada dua indicator penilaian yaitu akal dan budaya yang sudah berkembang dalam suatu masyarakat.
http://contoh.in
13
PERANAN AKHLAK DALAM DUNIA MODERN Dalam konteks pemikiran keIndonesiaan masalah akhlak (moral dan etika) ini terasa menjadi sangat penting dan mendesak serta relevan untuk diperbincangkan. Hal ini dapat kita tinjau dari berbagai perspektif pemikiran. Pertama, masyarakat Indonesia hidup dalam suatu komunitas masyarakat yang sangat pluralistik sehingga kesatuan tatanan normatif nyaris hilang di permukaan. Kita sering berhadapan dengan sekian banyak pandangan moralitas yang sering bertentangan satu sama lain. Sebuah moralitas yang ditawarkan oleh berbagai konsep dan paham pemikiran maupun kebiasaan yang muncul di mass media misalnya. Kedua, manusia pada zaman kini dihadapkan pada masa transformasi masyarakat yang luar biasa, suatu perubahan yang terjadi akibat hantaman gelombang modernisasi yang secara tidak terelakkan memunculkan rasionalisme, individualisme, sekularisme, materialisme, konsumerisme, pluralitas religius, dan sistem pendidikan yang telah mengubah budaya dan perilaku manusia banyak berubah. Ada tiga hal yang menonjol dalam kehidupan modern berkaitan dengan akhlak : Pertama, munculnya fenomena pluralisme moral. Buktinya adalah manusia hidup dalam era komunikasi. Artinya melalui “alat canggih” ini media komunikasi modern informasi bisa “memperkosa” dan “menjajah” sekat‐sekat rumah‐rumah kita sehingga dapat cepat menyebar dan terbuka di muka umum. Dalam hal ini perkembangan mutakhir dewasa ini adalah dunia internet. Dampaknya adalah suka atau tidak suka, setuju atau tidak, mau atau tidak mau kita “dipaksa” untuk introduction dan sebagai preface kehidupan kita dalam hal norma dan nilai dari masyarakat lain meskipun tidak selalu “seiring sejalan” dengan norma dan nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat kita sendiri. Kedua, munculnya fenomena masalah akhlak/etika baru yang tidak terduga sebelumnya. Fenomena ini juga disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara spesifik ilmu‐ilmu biomedis. Sebagai bahan pertanyaan kita adalah apa yang dapat kita pahami tentang manipulasi genetis (gen‐gen manusia), atau apa yang kita maksud dengan reproduksi artifisial dan sebagainya. Ketiga, fenomena dunia modern tampak semakin jelas sebagai gejala‐gejala etika yang bersifat universal. Artinya, dampak globalisasi tidak saja merupakan gejala bidang ekonomi tapi juga merambah bidang moral. Lebih penting adalah munculnya suatu kesadaran moral universal yang tidak teorganisir tetapi terlihat di mana‐mana. Oleh karena itu, kesadaran moral universal ini menyadarkan kita untuk menggali lebih dalam lagi tentang makna dan eksistensi etika itu sendiri. http://contoh.in
14