PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MEMBONGKAR KUBUR SUGIARTI SISWADI (SEBUAH KAJIAN NEW HISTORICISM)
TESIS Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)
Disusun oleh: Fairuzul Mumtaz (096322014)
Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
iv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERSEMBAHAN
Kepada: Ibu, Bapak, serta mertua Istriku Tikah Kumala Adik-adikku; Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah Faila Sufa Serta kepada guru-guruku.
vi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
Takdzimul ilmi wa ahlihi
vii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PENGANTAR
Adalah rasa syukur yang kali pertama saya dengungkan ketika merampungkan penulisan tesis ini. Alhamdulillah, puji kepada Tuhan YME dan sholawat kepada Nabi Muhammad Saw sebagai madinatul ilmi. Berbagai kemudahan teknis telah saya peroleh dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan serentetan ucapan terima kasih kepada; Keluarga saya selalu bertanya dan gelisah tentang kelulusan saya. Keluarga di Demak, Bapak H. Mas’ad dan Ibu Hj. As’adah; Keluarga di Cilacap Bapak Puryanto dan Ibu Karmi; Istriku Tikah Kumala; adik-adikku, Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah Faila Sufa, Aji Prasetyo, dan Rafi Mufti Wijaya. Kepada keluarga besar Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, yang memberi kesempatan bagi saya untuk menempuh studi di dalamnya. Terutama kepada para guru yang bersahabat, Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel; Dr. Celia Lowe, Dr. George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum; Dr. G. Budi Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; dan Dr. Budiawan. Begitu pula kepada para staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas Mulyadi yang selalu ramah. Kepada Mbak Katrin, secara khusus saya sampaikan rasa terima kasih atas kerelaan dan kesabaran dalam membimbing saya, serta memberikan berbagai dorongan, semangat dan masukan. Kepada keluarga besar Yayasan Indonesia Buku yang menyediakan data dan buku-buku untuk keperluan penulisan tesis ini. Khususnya Muhidin M. Dahlan yang banyak memberikan masukan pada awal penentuan tema. Kepada teman-teman seangkatan atas diskusi dan gosip-gosipnya; Abed, Agus, Mei, Rino, Probo, Leo, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud, Anes, Lusi, Eli, Titus. Tesis ini merupakan proses pendewasaan saya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Tentu saja bukan muara, perjalanan panjang masih harus ditempuh. Sebab itu, nama-nama yang saya sebut menjadi unsur penting dalam perjalanan selanjutnya. Terima kasih.
Salam, Fairuzul Mumtaz. viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Membongkar Kubur Sugiarti Siswadi (Sebuah Kajian New Historicism) Oleh: Fairuzul Mumtaz
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji karya-karya Sugiarti Siswadi yang tersebar di media massa dan buku antologi tunggal Sorga Dibumi. Media massa yang dimaksud adalah Harian Rakjat dan Api Kartini. Kedua media ini sangat berjasa bagi besarnya nama Sugiarti Siswadi. Untuk menganalisis karya-karya tersebut, penulis menggunakan pendekatan New Historicism. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain semasanya. Pendekatan New Historicism memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Asumsi dasar tersebut adalah; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain. Sementara data yang digunakan untuk melacak hubungan paralelitas dengan karyakarya Sugiarti Siswadi ada media massa Harian Ra’jat dan Api Kartini serta teks pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno. Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, representasi perjuangan kelas yang tertuang dalam karya-karya Sugiarti Siswadi terbagi menjadi empat kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dianggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Kedua, paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridologi serupa pada masanya ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karya-karyanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis. Kata Kunci: Sugiarti Siswadi, New Historicism
ix
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Resurrecting Sugiarti Siswadi (A New Historicism study) By: Fairuzul Mumtaz
Abstract This research aims to study Sugiarti Siswadi’s works published on the mass media and anthology book titled “Sorga Dibumi”. The medias referred on this thesis are Harian Ra’jat and Api Kartini. Both of them have significant role for gaining popularity for Sugiarti Siswadi. To analyse those works, the writer uses New Historicism Approach. This approach enables to track down the parallelism between Sugiarti’s works, the events that occurred at that time, and also her personal view concerning on that matter. New Historicism Approach has several basic assumptions that unite its initiators and its critics. Those are: 1) every expressive action is strongly related to materially cultural practice; 2) literature and non-literature texts circulate inseperably; 3) there is no any discourse, let it be a fiction or fact, which might gives access to absolute truth and cannot change or express any essence of humanity without other alternatives existed. While the data used to track down the parallelism on Sugiarti’s works are Harian Ra’jat and Api Kartini and also political speeches by D.N. Aidit and Sukarno. The results of this research suggests that, first, there are four representations of class struggle on Sugiarti’s works. They consist of labor class, farmer class, political party partisan class, and soldier class. In the labor class, Sugiarti illustrates the labor struggle in terms of inhumane slavery. Farmer class fights for their land by using unilateral movement through UUPA and UUPBH. Meanwhile, political party partisan class is mobilized to strengthen the party structure locally and nationally. Party cadres are considered as an important pillar to build up a party. The last class, the soldier class which physically moves their muscle in the course of Indonesian revolution. Second, the parallelism between Sugiarti’s works with the ideological text on her era are found with three focuses, which are land reform, women and children, and political party and the socialists ideals. Land reform is such a big issue during the revolution, it is kind of movement to redistribute the land evenly to farmer as part of production media. As a woman, Sugiarti provides a big space to discuss women issues. Gender awareness is very apparent in her works. Women’s life cannot be separated easily with the children because women are the one who bear them. Women and children go hand in hand on her works. She takes an active role in the party to struggle for her ideology. Her works match her party ideals perfectly. That is why sometimes her works reflect a hope that Indonesia someday will become a socialist country. Key words: Sugiarti Siswadi, New Historicism.
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR JUDUL ……………………………………………………………………… i LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………………….. ii LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………….. iii PERNYATAAN …………………………………………………………………..iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA…………. v PERSEMBAHAN …………………………………………………………………. vi MOTTO ……………………………………………………………………………… vii KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… viii ABSTRAK …………………………………………………………………………. ix ABSTRACT ………………………………………………………………………… x DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. xi BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 7 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….. 7 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 8 E. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………..8 F. Kerangka Teori ……………………………………………………….. 11 G. Metodologi Penelitian ……………………………………………………… 18 H. Sistematika Penyajian ………………………………………………………. 18 BAB II. SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH …………………. 20 A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965 …………………........21 B. Lekra dan Perjuangan Kelas …………………………………………. 39 C. Lekra dan Literatur Anak ………………………………………………. 45 D. Pengarang Perempuan Lekra …………………………………………….. 51 E. Tentang Sugiarti Siswadi ………………………………………………… 54 BAB III. REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS DALAM KARYA-KARYA SUGIARTI SISWADI ………………………… 62 A. Perjuangan Buruh: Melawan Perbudakan ……………………………..64 B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH …………….. 78 C. Perjuangan Massa Partai: Kisah-kisah Propaganda …………………… 99 D. Perjuangan Prajurit: Kerja Revolusi …………………………………..116 BAB IV. MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI DENGAN TEKS-TEKS BERIDELOGI SERUPA……………………….. 129 A. Landreform ……………………………………………………………..130 B. Perempuan dan Anak …………………………………………………..142 C. Partai dan Cita-cita Sosialis …………………………………………….. 160 D. Corak Karya Sugiarti Siswadi ………………………………………….. 169 xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V. PENUTUP …………………………………………………………………. 173 A. Kesimpulan ……………………………………………………………..173 B. Saran …………………………………………………………………….. 175 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………..177
xii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Karya sastra dinilai sebagai hasil kebudayaan manusia. Keterkaitan antara karya sastra, kebudayaan dan manusia yang (terus) memproduksi kebudayaan sekaligus direproduksi oleh kebudayaan adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Apa dan bagaimanapun bentuknya, sebuah karya sastra selalu merepresentasikan manusia baik di dalam ide, gagasan, nilai maupun historisitasnya. Sastra dan kesusastraan menjadi kompleks karena langsung bersentuhan dengan manusia dan ekspresinya dalam segala macam aspek kehidupannya, mulai dari kenyataannya yang fisikal, humanistik sampai yang paling sublim dan transendental, dalam caranya yang paling sederhana sampai yang paling rumit dan estetik. Dengan demikian, sastra memiliki ikatan ruang dan batin yang cukup erat dengan sejarah dan masyarakat, sehingga sastra mendapatkan nyawa dari keduanya. Hal inilah yang mula-mula dipandang oleh pendiri New Historicism, bahwa teks dan sosial historis sama-sama menghasilkan dampak sosial pada saat yang sama. Dalam perspektif ini, sastra turut serta ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya.1
1
Lihat artikel Melani Budianta, Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra. Dimuat di Jurnal Susastra Volume 2, No.3, tahun 2006. Hal 2.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Ketika karya sastra mengacu pada sejarah atau realita sehari-sehari, hal itu bukanlah sebagai latar belakang belaka. Ia memiliki misinya tersendiri. Dalam konteks ini, karya sastra mencoba menawarkan atau menyusun sejarah dalam versinya sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Budianta yang mengatakan bahwa, ―Dalam pandangan New Historicism, ―kenyataan sejarah‖ tidak lagi tunggal dan absolut, melainkan terdiri dari berbagai macam kisi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Dengan demikian, antara teks sastra dengan sejarah memiliki tali intertekstualitas (baik fiksi maupun faktual) yang diproduksi dalam kurun yang sama maupun berbeda.‖2 Melalui pandangan di atas, dapat dilihat bagaimana susah payah penulis dalam menghasilkan produk kebudayaan. Konteks sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya akan terlacak, sehingga sebuah karya menjadi lebih kaya. Misalnya dapat dilihat bagaimana pertarungan kuasa dan ideologi ketika sebuah karya mula-mula dilahirkan. Karya-karya yang dilingkupi pertarungan kuasa dan ideologi dapat ditemukan pada masa-masa kelam sebuah bangsa. Tak terkecuali Indonesia, masa kelam itu terjadi pada saat penjajahan Belanda dan Jepang. Pada waktu itu, Bangsa Indonesia mengalami keterpurukan dari berbagai sisi. Namun demikian, keterpurukan itu menjadi pengalaman besar yang mampu melahirkan karya-karya yang besar pula, yang kelak mewakili zamannya. Oleh karena itu, selayaknya, generasi ke depan tidak boleh melupakannya. Segalanya perjuangan di atas tinta musti pula diabadikan.
2
Ibid. Hal. 3.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
Pengalaman buruk sejarah Bangsa Indonesia, di bawah penjajahan Belanda dan Jepang kemudian melahirkan sebuah pemberontakan besar-besaran. Pemberontakan itu diawali pada 12 November 1926. Meski akhirnya gagal dengan berbagai sebab, pemberontakan yang mulanya dijadwalkan pada 12 Juni 1926 menjadi titik letup utama atas pemberontakan selanjutnya.3 Perjuangan yang dipelopori oleh PKI itu diabadikan dalam Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26 (Ultimus, 2010).4 Buku tersebut berisi 6 cerita pendek dan 10 puisi ditulis oleh 15 pengarang, 2 perempuan selebihnya laki-laki. Juga tak kalah menarik, sebuah lagu tercipta untuk menandai peristiwa tersebut. Para penulis dalam buku tersebut tentu tak memiliki keterlibatan secara langsung ketika konfrontasi itu terjadi. Rata-rata para penulis baru lahir beberapa tahun setelah peristuwa berlangsung, yakni lahir pada tahun 1930an. Meski berjarak, mampu membangkitkan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Dari keseluruhan isi buku, penulis tertarik dengan cerpen berjudul Sukaesih karya Sugiarti Siswadi. Cerita itu berkisah tentang perlawanan Haji Hasan yang menolak menyerahkan hasil kerja kerasnya pada Belanda dan berujung dengan kematian. Seorang perempuan yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa tergugah dan memilih jalan masuk dalam organisasi-organisasi kiri serta terlibat dalam pemberontakan 12 November 1926. Ia keluar masuk penjara dan berakhir di Digul. Keberadaan cerpen ini menambah lagi satu referensi tentang Digul dari perspektif sastra.
3
Pengantar Asep Samboja dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus. Hal vii 4 Sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Pembaharuan, Jakarta tahun 1961. Lihat Pamusuk Eneste, Bibliografi Sastra Indonesia, diterbitkan oleh Indonesia Tera, Magelang tahun 2001. Hal 7.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
Dari cerpen tersebut, penulis kemudian melacak karya-karya dengan pengarang yang sama. Alhasil, ditemukan 6 cerpen dalam kumpulan cerpen Sorga Dibumi (Lekra, 1960), 9 cerpen5 dan 3 puisi di Harian Rakjat, serta 1 cerpen dan 2 puisi di Majalah Api Kartini.6 Seluruh karyanya memiliki ciri karya-karya Lekra yang bersifat ―reportase‖ atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah, dan mengusung patriotisme, perjuangan kelas, penegasan sikap partai dan lain sebagainya.7 Imajinasi, keindahan bahasa dan kemampuan Sugiarti Siswadi dalam merekam peristiwa dan tokoh memberikan ruh pada laku sejarah yang didokumentasikannya. Buku berjudul Sorga Dibumi merupakan buku tipis dengan jumlah halaman 42 saja. Penerbitan buku tipis semacam ini mengingatkan orang pada awal berdirinya PKI. Buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai, terutama teori-teori untuk menopang jiwa partai. Poestaka Ketjil Marxis adalah nama untuk penerbitan ini. Kerja penerbit ini adalah melahirkan buku-buku berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis, tidak lebih dari 100 hlm, berisi teori dan panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya beberapa halaman yang berisi tentang PKI membela negara asing, selebihnya mengatakan bahwa
5
Hanya 6 yang berhasil dihimpun karena data koran tidak lengkap atau robek. Lihat juga di Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008. 6 Satu puisi menggunakan nama samaran, satu lagi dengan nama asli. 7 Lihat Lekra tak Membakar Buku. Disusun oleh Muhidin M Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis tidak demokratis, rakyatnya sengsara. Beranjak dari kesuksesan penerbitan ini, PKI kemudian mendirikan lembaga penerbitan baru bernama Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi ―mesin ilmiah‖ partai. Ratarata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI, Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis, Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx, dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan karyanya antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, S. Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi dan lain-lain.8 Sebagian besar penulis ini adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI. Setelah empat belas tahun menanamkan ideologinya, Lekra menemui masa panen. Barangkali ini menjadi masa panen paling panjang. Sejak berdirinya tahun 1950 hingga diadakannya Kongres Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) pada tahun 1964, Lekra mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah sehingga kehidupan Lekra menjadi kian makmur. Perjuangan itu menghasilkan kepercayaan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memberikan ruang selebar-
8
Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
lebarnya kepada Lekra untuk menghasilkan karya dan mempublikasikannya di koran milik PKI, yiatu Harian Rakjat. Kepercayaan yang diberikan itu tercermin pada apa yang dikatakan oleh D.N. Aidit, ―bahwa pekerdjaan politik adalah otaknja partai, sedang sastra dan seni adalah hatinja partai. Orang komunis adalah manusia jang mempunjai otak dan hati jang terbaik. Oleh karenanja kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerdja politik dengan kerdja kebudajaan. Kedua-duanja menjadi bagian dari kehangatan revolusioner sekarang maupun dimasa jang akan datang.‖9 Kepercayaan dan ruang yang lebar itu kemudian dimanfaatkan oleh kaderkader Lekra untuk berkarya lebih giat. Banyak nama-nama baru yang muncul sehingga Lekra juga semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selain itu, Lekra juga memiliki media propaganda sastra. Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan pertamanya adalah buku dua fiksi, masing-masing adalah Siti Djamilah karya Joebaar Ajoeb dan Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi. Teranglah, dua penulis ini menjadi penting. Nama Joobar Ajoeb masih sangat sering didengar hingga kini, tapi ke mana nama Sugiarti Siswadi? Apakah pegebluk 65 menguburnya? Enampuluh hari setelah pembantaian massal 65, buku-buku kecil terbitan PKI dan peranakannya juga ikut dibantai. Dilarang beredar, diberangus oleh pihak yang sama. Tercatat 67 judul buku hilang dalam waktu bersamaan. Juga sebuah upaya pembantaian sejarah.10
9
D.N. Aidit. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. Hal 67. Pelarang Buku; Menutup Jendela Dunia. Pelarang Buku dari Jaman ke Jaman. Dipublikasikan oleh Institute Sejarah Sosial Indonesia, 2010. 10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
7
Lima tahun setelah terbit, buku Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi, tepatnya 30 November 1965, menjadi buku terlarang oleh Pembantu Menteri P.D. dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Buku ini kembali dilarang oleh Tim Pelaksana / Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme / Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967. Dari data tersebut, penulis menganggap pentingnya peranan pengarang wanita Lekra ini. Namanya disejajarkan dengan penulis papan atas Lekra dan masuk dalam kepengurusan pusat Lekra, terpilih pada Kongres Nasional I Lekra, pada tanggal 24-29 Januari 1959 di Solo.11 Dari berbagai pembacaan literatur, penulis tak menemukan ulasan panjang mengenai pengarang perempuan ini beserta karya-karyanya. Seluruhnya seakan bungkam, bahkan teman seperjuangannya. Hanya sesekali namanya disebut sebagai pengarang perempuan. Penelitian ini berupaya membongkar kubur Sugiarti Siswadi melalui karya-karyanya.
B. Rumusan Masalah Masalah-masalah yang akan dijawab pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti Siswadi?
11
Lihat Lekra tak Membakar Buku susunan oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
2. Bagaimana hubungan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks berideologi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada masanya?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menggali karya-karya pengarang sastra Indonesia modern yang tenggelam, khususnya Sugiarti Siswadi. Pada tahun 1950-1965 karya-karyanya sering memenuhi media massa. Setelah peristiwa kemanusiaan 1965, namanya tak pernah lagi ke permukaan.
D. Manfaat Penelitian Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra, khususnya sejarah sastra dan kritik sastra. Bagi sejarah sastra hasil penelitian
ini
diharapkan
memberikan
sumbangan
untuk
mengungkap
perkembangan ideologi dalam kesusteraan Indonesia modern, khususnya sastra Indonesia masa penjajahan. Bagi kritik sastra, penelitian ini diharapkan memberikan model analisis dan penelitian terhadap karya sastra dengan sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu New Historicism. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan apresiasi sastra, terutama apresiasi terhadap sejarah sastra Indonesia dalam khasanah sastra Indonesia modern. Penelitian ini tidak hanya mengkaji teks sastra saja, melainkan juga kondisi sosial historis yang melingkupinya. Dengan demikian, penelitian juga bermanfaat bagi ilmu sejarah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika masa pergolakan politik 1950-1965.
E. Tinjauan Pustaka Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, banyak bermunculan penelitian yang mengungkap sisi yang gelap dan digelapkan oleh pemerintahan tersebut. Terutama sekali dalam bidang sastra, kita mengenal sebuah lembaga bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang ideologinya sealiran dengan PKI menjadi tumbal atas kekuasaan sebuah orde. Hal ini tentu saja menggemberikan, karena dapat kembali membuka lubang sastra Indonesia modern yang tertutup selama 30 tahun lebih. Berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, hingga kini, belum ada peneliti yang secara intens dan mendalam membahas karya-karya pengarang perempuan yang juga pimpinan pusat Lekra bernama Sugiarti Siswadi secara utuh. Sesekali penelitian dilakukan karena hanya nama dan karya Sugiarti Siswadi disebut dalam sebuah buku. Misalnya, dalam buku trilogi Lekra tak Membakar Buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri diterbitkan Merakesumba, Yogyakarta, 2008. Dari buku yang sama, Asep Samboja terinspirasi menulis esai lepas berjudul Cerpen-cerpen Sastrawan Lekra.12 Meski diberi judul demikian, namun Samboja cenderung mengalisa cerpen-cerpen Sugiarti Siswadi. Pilihan Samboja adalah karena Sugiarti Siswadi merupakan penyumbang cerpen terbanyak dalam 12
Lihat Asep Samboja Menulis; Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus. Terbit tahun 2011. Hal. 230 – 232.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri tersebut. Samboja berpendapat bahwa seluruh cerpen Sugiarti Siswadi semuanya menggunakan sudut pandang orang ketiga ―ke-dia-an‖. Pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam. Pendapat Samboja ini diperkuat dengan argumentasinya yang mengatakan bahawa sebagai pengarang, Sugiarti berperan layaknya dalang atau pendongeng. Sikap Sugiarti yang demikian dianggap gagal oleh Samboja. Pasalnya, sebagai dalang, Sugiarti tak dapat membedakan karakter suara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Dari sisi penggunaan bahasa, Samboja mengatakan bahwa bahasa yang digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, jika dikaitkan dengan konteks tahun 1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan cenderung santun. Oleh karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks. Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya. Penelitian lain dilakukan oleh Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum (2012), berjudul Prosa Lekra 1950–1965 Studi Tentang Karya Sastra, Sastrawan, dan Kedudukannya dalam Sejarah Sastra Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Taum mengungkap bahwa selama kurun waktu 1955–1965, periode di mana Lekra
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
hidup, jelas terlihat bahwa lingkungan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosialbudaya merupakan sebuah lingkungan yang penuh dengan dinamika dan pertarungan kepentingan. Membaca karya-karya Lekra yang pada masa itu, Taum berpendapat bahwa para pengarang masa itu telah berhasil merepresentasikan zaman pertarungan kepentingan itu terjadi. Suasana pada masa itu tetap terasa jika karyakarya itu dibaca saat ini. Oleh Taum, hal ini kemudian diartikan sebagai sebuah ―keterlibatan‖ antara karya sastra realitas yang melingkupinya pada kisaran 19501965. Keterlibatan itu tak hanya berkubang dalam persoalan-persoalan dalam negeri saja, Komunis Indonesia yang memiliki semangat antikolonialisme dan imperialisme ikut terlibat dalam perang dingin, dan mereka berdiri di pihak Timur untuk melawan Barat (AS dan Inggris). Laporan penelitian tersebut dibagi dalam lima bab. Pada Bab IV, Taum membahas tentang karya sastra, sastrawan, dan kedudukannya dalam sejarah sastra Indonesia. Sastrawan yang disebut adalah lima orang sastrawan Lekra, yakni Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sukanta, Sugiarti Siswadi, dan Pramoedya Ananta Toer. Dapat disimpulkan bahwa penelitian Taum lebih cenderung ke arah mengungkap ideologi lembaga (Lekra) dan bagaimana keterlibatan sastra dan pengarang dalam mendokumentasikan laku sejarah.
F. Kerangka Teori Bersifat lentur membuat sastra terus mengalami perkembangan baik dalam karya, teori maupun kritik sastra. Dalam perkembangan tersebut, terjadi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
pergeseran orientasi teori dan kritik sastra, yang bermula dari mimetik, pragmatik hingga ekspresif. Pengaruh pergeseran ini memuncak pada paruh abad ke-20. Pergeseran ini berlangsung secara terus-menerus saling melengkapi dan saling menentang selama beberapa abad. Dalam setiap pergeserakan tidak berlebihan jika kemudian dimaknai sebagai periodesasi teori sastra. Pada perkembangan selanjutnya, sastra lebih lentur dalam berhadapan dengan berbagai teori-teori multiinterdisipliner. Ia masuk dalam teori-teori yang seebenarnya bukan pada wilayahya. Hanya karena sifat lenturnya itulah, sastra dapat diterima dan menerima berbagai kemungkinan tersebut. Pertengahan abad ke-20, orientasi teori dan kritik sastra berbalik arah. Sastra menjadi suatu bidang yang otonom. Kondisi seperti ini menguntungkan bagi sastra karena ia mampu menempatkan diri di posisi mana saja dalam berbagai konteks. Hal ini dapat disikapi bukan sebagai suatu kemunduran, melainkan sebagai perkembangan dari pergeseran-pergeseran sehingga menghasilkan pengetahuan yang relatif baru atau paling tidak merupakan perkembangan dari yang sebelumnya telah ada. Lihat saja teori-teoti yang berjamur setelah strukturalisme. Silih berganti dan menampilkan dinamika yang menarik hingga awal abad 21. Yang berhasil menjadi tren tentu saja teori yang mutakhir. Namun kemutakhiran ini tidak serta-merta bebarengan di seluruh dunia, melainkan mengalami perpindahan tempat terlebih dahulu dan tentu saja interpretasinya pun menjadi beragam. Akan tetapi, dari seluruh teori-teori yang bermunculan, kecenderungan orientasi kritik berada pada teori yang melihat kaitan sastra dengan konteks (sosial/politik/ekonomi) yang yang mendasarinya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
Dari deskripsi singkat di atas, secara umum teori sastra mengikuti dua kecenderungan.
Pertama,
mengacu
pada
konsep-konsep
strukturalisme.
Pendekatan ini memiliki kecenderungan tekstual yang merespon dan mendobrak teori-teori objektif seperti new criticism, formalisme, strukturalisme. Teori-teori sejalan dengan teori dekonstruksi dan psikoanalisis Lacan. Kedua, mengacu pada kemutakhiran. Kelompok kedua ini tentu saja lebih luas dan menjadi tidak terbatas. Dalam pendekatan ini, sastra disejajarkan posisinya dalam berbagai dinamika budaya, sosial, ekonomi dan politik. Teori-teori kemutakhiran ini dapat dilihat neomarxis, teori postkolonial, new historiscism dan kajian budaya. Dari sekian teori yang berkembang, salah satu teori yang menarik untuk dibicarakan dalam konteks penelitian ini adalah teori New Historicism, teori sastra yang memandang sejajar antara karya sastra dan sejarah. Teori ini akan digunakan untuk membedah karya-karya Sugiarti Siswadi. Penelitian ini membutuhkan kajian yang luas daripada sekadar mengkaji teks yang menjadi objek penelitian saja. Apa yang digambarkan dalam teks-teks sastra karya Sugiarti Siswadi, yang akan menjadi objek penelitian, merupakan rekam jejak pada zamannya. Sehingga segala peristiwa yang melingkupinya sangat memberikan sumbangsih dalam kelahiran karya-karya penulis perempuan ini. Selain itu, pada masa revolusi, sastra merupakan salah satu jalur yang digunakan untuk mengukuhkan dan menyebarkan ideologi tertentu. Oleh karena itu, kajian yang dianggap paling tepat untuk penelitian ini adalah New Historicism (selanjutnya disingkat NH).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
NH yang menganggap penting masa lalu ini, mula-mula diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt pada 1982 ketika memberikan pengantar edisi jurnal Genre. Menurut Budianta, NH dimaksudkan untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance. NH menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya.13 Dengan deskripsi di atas, NH merupakan kritik sastra yang sangat heterogen. Sebab itulah, menurut Veeser (seperti dikutip dari Taum), NH tidak dapat diberikan batasan baku. Meski demikian, NH memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Taum merangkum asumsi dasar tersebut menjadi beberapa bagian. Yaitu; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain.14 Peter Barry, dengan sederhana mendefinisikan NH, “is that it is a method based on the parallel reading of the literary and nonliterary texts, usually of the same historycal periode. That is to say, New Historicism refuses (at least ostensibly) to „privilege‟ the literary texts: instead of a literary „foreground‟ and a historical 'background' it envisages and practises a mode of study in which literary and nonliterary texts are given equal weight and constantly inform or interrogate each other.”15
13
Ibid. Melani Budianta. Hal. 2. Dikutip dari Yosep Yapi Taum dalam ringkasan disertasinya berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism Atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra tahun 1966-1998. FIB UGM. 2013. Hal. 2. 15 Lihat dalam subbab New Historicism and Cultural Materialism dalam bukunya Beginning Theory. Manchester UK: UP. 1995. Hal. 172. 14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
Menurut Taum,16 kritik NH menekankan sastra sebagaai produk zaman, tempat, dan lingkungan penciptaannya, dan bukan sebagai sebuah karya genius yang terisolasi. Hal ini senada dengan pandangan Foucault yang mengatakan bahwa segala bentuk teks, termasuk diskursus akademis suatu zamannya, muncul di bawah model teoritis zamannya. Sastra tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari sejarah, sehingga terapung di udara seperti sebuah entitas yang terasing dan terpisah.17 Greenblatt sebagai pencetus teori ini juga memperkuatkan pandangan di atas dalam The Touch of the Real.18 Ia menegaskan bahwa dunia yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif, melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal (single realm) ini. Dalam kajian jaringan-jaringan tersebut, NH menekankan dimensi politis-ideologis produkproduk budaya. Sebuah produk budaya, dari sisi politik dan ideologi, tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Dalam hal ini, Budianta melihat bahwa kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan yang dilontarkan Michel Foucault. Foucault tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang negatif, melainkan suatu yang selalu menyelimuti setiap tindakan manusia satu dengan yang lainnya, demikian pula dalam penggunanan bahasa.19 Karya sastra, melalui bahasa sebagai mediumnya menghadirkan relasi kuasa dengan sendirinya, meski tanpa disadari oleh penulisnya. Relasi kuasa
16
. Ibid. Yosep Yapi Taum Hal. 3. Michel Foucault dalam Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Diterbitkan oleh Jalasutra. 2011. Hal 85. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3. 18 The Touch of the Real dalam The Greenblatt Readers dieditori oleh Michael Payne. USA: Blackwell Publishing. Hal. 32. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3. 19 Ibid. Hal. 4. 17
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
tersebut diwujudkan dalam bentuk wacana. Oleh sebab itu, karya sastra dapat bertindak lentur di dua posisi dalam wacana, mengukuhkan atau mendobrak. Posisi penulis sangat menentukan dalam hal ini. Selain sumbangan Foucault, NH juga mendapat disokong oleh Clifford Geertz dalam esainya Thick Description yang tersusun dalam buku The Interpretation of Cultures (1973).20 Geertz (via Greenbalt) mengatakan, NH “is sorting out the structures of signification – what Ryle called established codes, a somewhat misleading expression, for it makes the enterprise sound too much like that of the cipher clerk when it is much more like that of the literary critic – and determining their social ground and import.”21 Metode Geertz merupakan metode etnografi. Ia menggunakan metode ini untuk membongkar berbagai makna yang tersembunyi dalam praktik budaya secara rinci. Geertz,22 memandang perilaku manusia atas tindakan dalam praktik budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang simbolik. Oleh sebab itu, ia menginterpretasi metode antropologi seperti membedah karya sastra. Lebih lanjut, Budianta menjelaskan bahwa dalam kajiannya, NH menyandingkan teks sastra kanon, dengan teks yang marjinal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dalam suatu titik tertentu dalam sejarah—secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, NH cenderung memilih—nyaris secara random—hal-hal yang tampak remeh temeh dan tersisihkan dari sejarah— dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai, untuk menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.23 Teks-teks yang diremehkan dan tersingkir ini pulalah yang dibaca secara paralel dengan karya-karya Sugiarti Siswadi. Teks-teks yang dimaksud tidak 20
Ibid. Michael Payne. Ibid. 22 Ibid. Melani Budianta. Hal. 5. 23 Ibid. Melani Budianta. Hal. 6. 21
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
hanya teks sastra saja, melainkan lebih luas cakupannya. Akan tetapi, karena banyaknya teks yang beredar pada masa Sugiarti berkarya, penting kiranya diadakan pembatasan terhadap teks yang dimaksud. Pembatasan ini bertujuan agar pembahasan terhadap karya-karya Sugiarti lebih mendalam. Peneliti memilih pemberitaan di dua media massa, Harian Rakjat dan Api Kartini sebagai teks nonsastra yang disandingkan dengan karya-karya Sugiarti. Kedua media massa ini difungsikan untuk melihat konteks peristiwa apa saja yang terjadi sesuai dengan karya yang dibahas. Dengan demikian akan jelas bagaimana sudut pandang Sugiarti Siswadi dalam menyikapi suatu peristiwa tertentu. Selain itu, untuk mengetahui ideologi Sugiarti ditampilkan pula pidato politik D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI. Pemikiran-pemikiran Aidit teraplikasi dalam prinsip-prinsip Lekra yang menjadi referat dalam Konfernas Seni dan Sastra Revoluioner I. Meski peristiwa tersebut terbuka untuk umum (tidak hanya anggota Lekra saja), namun referat Aidit itu mencerminkan sikap dan tindakan Lekra. Untuk itu, sangat tepat untuk melihat kecenderungan ideologi Sugiarti Siswadi. Untuk lebih memperkaya pembahasan, ditambahkan pula pidato politik lainnya dari Sukarno. Sebab dalam beberapa pidato, Aidit kerap pula mengutip pidato Sukarno. G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan adalah pembacaan paralel (parallel reading) antara teks-teks sastra karya Sugiarti Siswadi dan teks-teks nonsastra pada masa revolusi di Indonesia, dilengkapi dengan latar belakang dan manifestasi perilaku serta pandangan pengarang pada masanya, dari tahun 1950 hingga 1965.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
Teks-teks nonsastra yang dijadikan sebagai sumber primer adalah berupa berita atau artikel di koran serta pidato-pidato politik. Banyaknya teks-teks yang ada, diperlukan pembatasan agar pembahasan lebih mendalam dan tearah. Batasan dilakukan hanya pada teks media massa Harian Rakjat dan Api Kartini serta teksteks politik D.N. Aidit dan Sukarno. Sumber skunder berupa majalah, hasil penelitian, narasi dan memoir yang berbentuk buku, peraturan hukum, keputusan politik, catatan lembaga, film, maupun informasi di dunia maya (internet) yang berkaintan dengan teks-teks sastra Sugiarti Siswadi. Data yang diperoleh adalah data kualitatif. Data tersebut dapat berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri keadaan, dari segala sesuatu dan segala sesuatu lainnya; bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bahkan bisa berupa peristiwaperistiwa yang terjadi dalam masyarakat.24
H. Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. BAB I Pendahuluan, meliputi a) latar belakang; b) rumusan masalah; c) tujuan peneleitian; d) manfaat penelitian; e) tinjauan pustaka f) kerangka teori; g) metode penelitian; h) sistematika penyajian. BAB II merupakan pembahasan tentang Lekra dan bagaimana peran aktif Sugiarti Siswadi dalam organisasi tersebut.
24
Lihat dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah Pandangan. Diterbitkan oleh UGM Press 2009. Hal. 18.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
BAB III merupakan pembahasan mengenai representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti Siswadi. BAB IV merupakan pembahasan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridelogi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada masanya. BAB V merupakan bagian penutup memuat
penutup,
terdiri
dari
simpulan dan saran. Bagian akhir pada penelitian ini dipaparkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH
Menjadari bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra…1 Tidak banyak pengarang perempuan dalam tubuh Lekra. Oleh karena itu, kehadirannya diperlu mendapat perhatian, meski Lekra sendiri tak pernah membedakan jenis kelamin dalam proses kreatif. Produktivitas dalam berkarya menjadi titik dispilin yang organisasi ini. Kedisiplinan inilah yang menjadikan Lekra mampu bertahan pada zamannya dan hanya tumbang oleh kekuasaan politik. Hanya yang aktif berkaryalah yang layak menduduki posisi penting dalam tubuh Lekra. Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana polemik yang terjadi dalam suasana perpolitikan di indonesia pada tahun 1950 – 1965. Melalui deskripsi ini, maka tampak jelas peran pengarang Lekra dalam menghadapi situasi politik, perseteruan kebudayaan dengan Manikebu, serta ideologi apa yang dipatuhi oleh para anggotanya. Bentuk-bentuk ideologi itulah yang kemudian dipegang oleh Sugiarti Siswadi untuk menampilkan perjuangan kelas bawah dalam karya-karyanya. Secara lebih detail, bab ini juga akan menggali potongan-potongan informasi tentang Sugiarti Siswadi serta beragam aktivitasnya dalam Lekra. Informasi tersebut disusun menjadi biografi singkat. 1
Konggres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berlangsung di Solo mengesahkan Mukadimah dan Peraturan Dasar Lekra pada 27 Januari 1959.
20
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
Sebagai pengarang perempuan dan menduduki posisi sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra, keberadaan Sugiarti tidak bisa diremehkan. Ia turut memberikan pemikiran-pemikirannya baik dalam bentuk karya maupun pidato politik. Bab ini juga akan melihat posisi Sugiarti bersama dengan pengarang perempuan lainnya. Hal ini untuk mengetahui peran Sugiarti sehingga ia layak diangkat dalam penelitian ini.
A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965 Kisaran tahun 1950 hingga 1965 merupakan tahun terjadinya peperangan besar dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Peperangan itu akan menentukan nasib sastrawan dan seniman akan kecenderungannya pada kelompok tertentu. Revolusioner atau kontrarevolusioner. Diganyang atau mengganyang. Keadaan demikian tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh percaturan politik pada masa itu. Politik menjadikan sastra dan seni sebagai alat propaganda dan untuk menarik simpatisan massa terhadap partai, sementara sebaliknya, sastra dan seni mendapatkan nafas atas uluran tangan sebuah partai. Maka merupakan keniscayaan jika keduanya menjadi partner yang ideal. Di sisi lain, kelompok tertentu dengan ideologi berbeda terus mengupayakan proses kreatifnya agar dapat bernapas dan mampu merebut pengaruh massa. Terjadilah polemik sastra. Dua kelompok beseberangan tersebut adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Dari peperangan kebudayaan itu lahirlah beberapa istilah sebagai jargon atas perjuangan mereka, ―Politik sebagai Panglima‖, ―Seni untuk Rakyat‖, ―Realisme Sosial‖, ―Seni untuk Seni‖, ―Humanisme Universal‖. Keseluruhan dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
jargon tersebut dijelaskan pada masing-masing sikap yang dirangkum dalam Mukadimah Lekra dan dan Manifes Kebudayaan. Mukadimah Lekra pertama kali dikeluarkan pada 17 Agustus 1950 dan sekaligus dinobatkan sebagai hari lahirannya. Dalam Mukadimah tersebut, terlihat jelas bahwa Lekra condong ke arah kiri dengan makmum terhadap ideologi yang diusung oleh Marxis serta Lenin dan menjadikan rakyat sebagai tujuan dalam berkarya. Tak heran, karena pendiri dan penyusun naskah awal Mukadimah tersebut adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Darta dan Njoto. Empat pendiri Lekra ini memperbolehkan siapa saja, baik seniman, sastrawan, pekerja kebudayaan, buruh dan tani untuk terlibat di dalamnya dan menjalankan misi bersama. Pemikiran dasar Lekra adalah memerdekaan rakyat dengan mengupayakan penuh hak-hak rakyat seperti pendidikan, berekspresi dan hidup yang layak. Lekra khawatir merosotnya kesadaran rakyat atas gerakan revolusi yang dianggap belum rampung. Bagi Lekra, revolusi yang memperjuangankan rakyat adalah sebuah keharusan. Jika revolusi menemui jalannya yang melenceng, korban yang paling sengsara adalah rakyat. Dengan demikian, beban revolusi bukan saja ada di pundak pemimpin revolusi, melainkan seluruh massa rakyat pekerja, sastrawan dan seniman serta pekerja kebudayaan. Sebagai lembaga kebudayaan, Lekra menggunakan mengusahakan segala jalur untuk menggerakkan roda revolusi. Begitu pula bidang sastra dan seni. Bukan sembarang sastra dan seni, melainkan yang mampu mendekat dan berdekatan dengan rakyat. Sebab itulah, ditulis jelas dalam Mukadimah,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
Tugas daripada Rakjat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaja bisa mengetjap kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh segolongan kejtil lapisan atasdan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan ketjil itu. Rakjat Indonesia harus berdjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu dan industri. Sembilan tahun kemudian, sikap ini dimatangkan pada revisi Mukadimah dalam Konggres Lekra di Solo tahun 1959. Bahwa rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya bisa dilakukan oleh Rakjat… Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada rakjat, adalah satu2nja jalan bagi seniman2, sardjana2, maupun pekerdja kebudajaan lainnya, untuk mencapai hasil2 jang tahan udji dan tahan waktu. Atas dasar di atas, Lekra membagi tugasnya dalam beberapa lembaga kreatif, yaitu 1) Lembaga Senirupa Indonesia (Lesrupa), 2) Lembaga Film Indonesia (LFI), 3) Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), 4) Lembaga Senidrama Indonesia (LSDI), 5) Lembaga Musik Indonesia (LMI), dan 6) Lembaga Senitari Indonesia. Keselurahan hasil kerja sastrawan dan seniman serta pekerja budaya lainnya didedikasikan sepenuhnya untuk rakyat. Sebab itulah, Lekra kemudian menelurkan konsep 1-5-1. Konsep ini merupakan simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan oleh Lekra yang merupakan ―jangkar tengah‖ sekaligus rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Konsep ini kemudian disebut sebagai asas kombinasi, yaitu (1) Politik adalah panglima; (5.1) Meluas dan Meninggi, (5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner, (5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa, (5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner; (1) Turun ke bawah. (Yuliantri dan Dahlan, 2008: 25).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
Asas kombinasi di atas merupakan upaya untuk mengembangkan tradisi riset dalam tubuh Lekra. D.N. Aidit dalam pidato di Solo mengatakan bahwa ―hanja dengan mengembangkan semangat riset dengan metode ‗tiga sama‘ (sama kerdja, sama makan dan sama tinggal dengan kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin) akan mendjamin suksesnja pembinaan sastra dan seni jang bersifat nasional, demokratis dan ilmiah… Djuga hanja dengan riset dan melakukan integrasi secara langsung di tengah2 massa akan mendjamin karja jang mendalam realistik, revolusioner, artistik, berkepribadian dan universil.‖2 Dalam pidato itu, D.N. Aidit juga menjabarkan tentang konsep kerja Lekra tersebut.3 Politik adalah Panglima, merupakan integrasi antara kerja politik dan kecakapan artistik. Dalam hal ini, upaya untuk memperjuangan rakyat melalui politik tidak mengesampingkan mutu artistik dari sebuah karya sastra dan seni. Dengan demikian, ada dua garis besar yang harus ditempuh kreator. Pertama, garis vertikal. Garis ini menuntut sastrawan dan seniman untuk mengetahui dan meguasai politik partai. Kedua, garis horizontal. Garis ini mengupayakan agar sastra dan seni menjadi ―sendjata jang ampuh di tangan rakjat‖.4 Letak pentingnya Politik adalah Panglima adalah untuk memberikan perlawanan terhadap musuh-musuh yang kontrarevolusiner. Aidit menegaskan, ―Kita tidak akan mengerti apa arti hakekat Manikebuisme dilapangan sastra dan 2
Lihat hal 53 dalam buku D.N. Aidit Tentang Sastra dan Seni. Diterbitkan di Jakarta oleh Jajasan Pembaruan tahun 1964. Buku ini terbitkan sebagai pegangan; tiga bahan pokok dalam pergerakan sastra dan seni Lekra, yaitu Dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional mengabdi pada buruh, tani dan pradjurit dan Kibarkan tinggi-tinggi pandji pertempuran dIbidang sastra dan seni revolusioner! Serta Hayo, bersama-sama Bung Karno kita binsa kebudayaan jang berkepribadian nasional! 3 Penjelasan mengenai konsep kerja 1-5-1 diterangkan dalam Resolusi KSSR I setelah diadakan pengkajian dan diskusi terhadap pidato D.N. Aidit sebagai referet. Lihat Harian Rakjat, 4 September 1964. 4 Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
seni tanpa mengerti kebangkrutan politik kaum sosialis kanan dan Masjumi serta kaum kontra-revolusioner lainnja. Kita akan menghadapi kesulitan mendjebol kebudajaan imperialis AS tanpa mengetahui hakekat politik gangster dan badjaklaut imperialisme AS dan politik klas buruh terhadap kepala imperialis jang paling djahat itu. Membongkar kebudajaan feodal jang menjebarkan kemaksiatan, ketahajulan, dll hanja mungkin berhasil djika kita mengenal hakekat hubungan agrarian didesa dan tahu politik PKI untuk membebaskan kaun tani.‖5 Selanjutnya, Aidit mendefinisikan Politik adalah Panglima dalam kerja kreatif Lekra ―…berarti mendjadikan untuk memimpin pemikiran kreatif dan pembajangan kreatif mengenai masalah2 seperti perdjuangan untuk kemerdekaan penuh dengan melikwidasi imperialisme, perdjuangan kaum tani untuk pelaksanaan UUPA dan UUPBH setjara konsekwen untuk menudju perubahan agrarian jang radikal, garis politik partai untuk mengkonsolidasikan front persatuan nasional dan lain2nja.‖6 Meluas dan Meninggi. Prinsip ini menuntun kepekaan sastrawan dan seniman Lekra terhadap massa dan artistik. Meluas berarti karya-karya yang dilahirkan mampu menjangkau massa, bahkan yang tak mengenyam pendidikan sekalipun. Hal ini mengharuskan bahwa hasil kreasi yang dilakukan sastrawan dan seniman dilakukan secara sadar untuk mendorong dan memobilsasi massa dalam bentuk yang tepat. Meninggi memiliki titik tumpu pada mutu karya secara artistik serta cara publikasi karya yang tepat. Keduanya harus berjalan bersamaan.
5 6
Ibid. Hal 53 – 54. Ibid. Hal 54.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
Aidit menegaskan bahwa ―Meluas dan meninggi adalah dua hal jang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua2nja diperlukan oleh praktek revolusioner… Kedua2nja diabdikan kepada perdjuangan revolusioner, kepada massa rakjat pekerdja. Oleh karena itu, kita harus tetap berpegang teguh pada pendirian atas dasar massa untuk massa, serta meninggi djuga atas dasar massa dan untuk massa.‖7 Secara lebih jauh, Aidit menggambarkan bagaimana luasnya wilayah Indonesia dan terdiri dari beragam budaya. Seluruhnya harus dalam jangkauan sastrawan dan seniman revolusioner. Ia kemudian menyarankan, ―meluas‖ dengan mendirikan sanggar-sanggar seni serbaguna di berbagai daerah. Bahkan, jika perlu ―satu desa satu sanggar‖. Tinggi Mutu Ideologi, Tinggi Mutu Artistik. Lekra berpandangan bahwa tidak ada seni yang berdiri secara independen. Bahkan tak hanya seni. Semuanya serba berpihak. Keberpihakan Lekra adalah kepada rakyat. Ideologi kerakyatan itulah yang menjadi tolak ukur aktivitas kebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu ideologi dalam berkarya. Mutu ideologi diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya.8 Bagi Aidit, ―Karja2 jang mutu ideologi dan mutu artistiknja tinggi hanja akan disambut baik oleh massa djika karja2 itu didukung oleh ideologi dan moral jang tinggi dari pentjipta-pentjiptanja.‖9
7
Ibid. Hal 55. Lekra Tak Membakar Buku. Hal 28. 9 Ibid. Hal 57. 8
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
27
Tradisi dan Kekinian Revolusioner menuntut sastrawan dan seniman untuk jauh lebih mengerti tentang tradisi rakyat yang sebenarnya dan tradisi feodal atau tradisi yang terpengaruh feodal. Mengetahui tradisi ini akan lebih mudah memudahkan untuk melihat persoalan kelas di masyarakat. Mula-mula, pemetaan ini harus dilakukan oleh pekerja budaya untuk kemudian dapat memadukan antara ―warisan dan pembaruan‖. Pembaruan tidak asal saja dilakukan. Aidit menyarankan untuk berhatihati, sebab pecinta tradisi bukanlah kelompok yang mudah diusik. ―… Sekali lagi harus selalu diingat: djangan gegabah memperbarui sesuatu jang lama jang disenangi massa. Sikap gegabah adalah bukan sikap sungguh2 jang harus mendjadi sikap seorang revolusioner dalam melakukan pembaruan. Memperbarui bukan asal memperbarui, tetapi justru harus dengan meneruskan tradisi dan bukan mengahantjurkannja.‖10 Kreativitas Individual dan Kearifan Massa. Lekra selalu mendorong warganya agar terus memproduksi karya-karya bermutu sebagai upaya meningkatan kreativitas. Selain itu, sebagai manusia yang berdampingan dalam kehidupan sosial sastrawan dan seniman revolusioner harus menjunjung tinggi kearifan massa. Sebab bagi Aidit, ―Sepandjang sejarah Rakjat adalah pentjipta agung, oleh karena itu mengabaikan kearifan massa hakekatnja sama artinja dengan mengingkari rakjat.‖11 Prinsip ini menekankan adanya kerja sama antara
10 11
Ibid. Hal 58. Ibid. Hal 58
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
pekerja budaya dengan massa rakyat pekerja, ―bekerdja kolektif dan menghargai pendapat kolektif‖.12 Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner. Realisme sosial adalah realism yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme sosial adalah militansi ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Bukan saja pada kapitalisme, melainkan juga bagaimana mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme internasional.13 Realisme sosial menjawab tuntutan zaman, bahwa apa yang sudah tidak lagi sesuai dengan masa kini perlu dirombak atau diperbarui dan bahkan menghadirkan sesuatu yang baru. Ia bergerak terus-menerus dan memperlihatkan kontradiksi-kontradiksi yang bekerja dalam masyarakat. Sebenarnya, Aidit tidak begitu sepakat dengan prinsip ini. Dalam pidatonya di Solo, ia menganggap akan lebih tepat jika diganti dengan realisme revolusioner dan romantik revolusioner. Menurutnya, realisme rovelusioner berarti ―berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenjataan. Setjara fundamentalis sikap revolusioner berarti selalu berfihak kepada jang baru dan sedang tumbuh untuk kehidupan lebih madju, lebih baik dan lebih indah…‖14 Sementara dalam romantisme revolusioner, Aidit menggambarkan sebagai ―suatu angan2 revolusioner jang berdiri tegak diatas dasar kenjataan2 tentang kontradiksi2 dalam kehidupan. Kita harus menggambarkan kehidupan tidak secara naturalis seperti potret, melainkan kegairahan revolusioner, kaja dan penuh tjita2…‖15
12
Ibid. Lekra Tak Membakar Buku. Hal 30. 14 Ibid. Hal 59 – 60. 15 Ibid. Hal 60. 13
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
29
Turun ke bawah atau biasa disingkat turba menjadi metode paling ampuh dalam melaksakan azas ―Politik adalah Panglima‖ dan 5 pedoman penciptaan. Metode turba sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari kehidupan rakyat secara langsung. Metode ini dijabarkan dalam ―tiga sama‖, yaitu bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. ―Tiga sama‖ adalah uasaha untuk menjaga solidaritas dan kolektivitas antara pekerja budaya dan rakyat dalam sebuah kerja bersama.16 Dengan demikian, sastrawan dan seniman Lekra tak semata berkarya dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data, turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra dan seni sebagai pisau. Dalam melaksanakan prinsip 1-5-1 di atas, sastrawan dan seniman Lekra tidak turun ke bawah dengan tangan kosong. Mereka harus membekali diri dengan senjata. D.N. Aidit, menjelaskan bawah, ―Turba seperti sudah saja katakan dimuka harus dengan sendjata Marxisme-Leninisme, sebab tanpa itu sama halnja dengan meraba-raba dalam gelap dan seperti seorang buta mentjari djarum di padang rumput, pati tidak akan mendapat apa jang ditjari.‖17 Dengan bekal senjata tersebut, seniman dan sastrawan yang turba diharapkan mampu menyerap dan melihat kontradiksi-kontradiksi sehingga dapat melihat persoalan rakyat dengan sudut pandang yang tepat. Dengan demikian,
16 17
Lekra Tak Membakar Buku. Hal 32. Ibid. Aidit, hal 60
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
karya-karya yang dihasilkan akan benar-benar mampu mengangkat persoalan rakyat ke permukaan dan memiliki tinggi mutu. Maka dengan gencarnya, Aidit selalu
meneriakkan
bahwa
penting
Marxisme-Leninisme.
Ia
kemudian
memunculkan jargon ―tahu marxis dan kenal keadaan‖. Ia berpendapat bahwa, ―Filsafat, ekonomi politik dan Sosialisme Marxis-Lenin mengadjarkan kita untuk bertitiktolak dari kenyataan objektif dan melihat segala sesuatu dalam perkembangannya, menunjukkan kepada kita tentang sumber2 dari eksploitasi atas manusia oleh manusia dan tentang perdjuangan klas sebagai lokomotif perkembangan masyarakat.‖18 Arief
Budiman19
(dalam
Samboja20)
mengatakan
bahwa
sejak
didengungkannya ―politik adalah panglima‖ oleh Lekra, pengertian sastra yang baik dan indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami oleh rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat mereka. Sejak kelahirannya, Lekra tumbuh dengan subur, bahkan mendominasi. Sebagai organisasi besar berhaluan kiri, Lekra banyak tak disukai. Lekra pun dianggap lawan oleh Manifes Kebudayaan (Manikebu). Namun, perseteruan dua kubu tersebut justru menjadikan iklim sastra Indonesia semakin panas. Dengan suasana yang cenderung panas itu, bahasa polemis sangat lazim digunakan oleh kedua kubu, misalnya melalui ―ganyang‖, ―kontrarevolusioner‖, dan lain
18
Ibid. Arif Budiman. 2006. Kebebasan, Negara dan Pembangunan. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute. 20 Asep Samboja. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960an. Jakarta: Bukupop. Hal 32. 19
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
sebagainya. Perdebatan di antara dua kelompok ini terasa sebagai debat politik dalam kebudayaan, di mana telah terjadi saling tuding. Keduanya berupaya untuk saling serang ganyang. Serangan terhadap Manikebu ditampilkan Harian Rakjat dalam upaya mendukung Lekra, ―… HR berdiri didepan dalam mengganjang musuh2 nasional dilapangan kebudajaan, dalam mengganjang musang2 berbulu ajam jang bersembunji misalnya dalam klik Manifes Kebudajaan. Dengan demikian ia menerangi djalan2 perjuangan pekerdja kebudajaan Rakyat Lekra.‖21 Upaya Lekra dalam mendesak Manikebu juga terus digalakkan. Hal ini terlihat dalam Seminar Pengadjaran Sastra yang dilangsungkan pada 5 – 8 September 1964. Seminar dengan tema ―Menegakkan Manipoli dibidang pengadjaran sastra‖ sudah langsung mengancam pihak yang besebrangan dengan ideologi manipol, yaitu Manikebu. Lebih jelas lagi, seminar tersebut menghasilkan sebuah dokumen penting untuk melihat bagaimana Lestra menyusun dan melihat raut dunia pengajaran sastra. Dokumen itu berkepala: ―Tegakkan Manipol dibidang Pengadjaran Sastra, madju terus mengganjang Manikebu‖. Keberadaan Manikebu mula-mula tak begitu merisaukan kelompok Lekra. Namun ternyata pendukung Manikebu berkembang semakin besar. Hal ini ditandai dengan Manikebu menyelenggarakan Konperensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Aula Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 1 - 7 Maret 1964 sebagai upaya untuk menggalang dukungan. Hasilnya, Angkatan
21
Harian Rakjat, 31 Januari 1964.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
32
Darat menjadi pendukung nomor wahid.22 Konferensi itu kemudian melahirkan Persatuan Karyawan Pengarang se-Indonesia (PKPI). (Penjelasan Manifes). Pada saat bersamaan Pimpinan Pusat Lekra mengadakan sidang di sekretariatnya. Hal ini dianggap Manikebu sebagai upaya membayang-bayangi konferensi yang diadakannya dan dilakukan secara sistematis untuk penjegalan yang bersifat politis terhadap mereka.23 Dengan posisi Lekra yang cukup kuat, Manikebu menolak adanya subordinasi kebudayaan, menentang konsep realisme sosial dan "politik sebagai panglima". Bagi Manikebu, konsep tersebut membuat manusia harus mengabdi kepada politik dan hanya akan menghasilkan karya-karya yang bermuatan propaganda semata. Asas hukum yang dipegang kuat oleh Lestra adalah seruan Presiden Sukarno dalam amanat TAVIP untuk terus mengganyang Manikebu karena kontrarevolusi. Manikebu dikubur oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964 sebagai puncak perdebatan budaya kedua kelompok tersebut.24 Menurut Presiden Sukarno, Manikebu dilarang karena sudah ada Manifesto Politik yang juga harus ditaati sebagai haluan politik kebudayaan negara. Oleh karena itu, keberadaan Manikebu dianggap sengaja dibentuk untuk menandingi Manifesto Politik atau
22
Alexander Supartono. 2000. Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyakarya, Jakarta. Dokumen ini diperoleh penulis dalam versi ebook atas nama Edi Cahyono. Hal 33. 23 Lihat dalam Hasil Penjelidikan Team Reseach Manifes Kebudajaan. 24 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 37 dan 128 - 129.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
leboh dikenal dengan Manipol. Selain itu, Manikebu dianggap melemahkan revolusi karena menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.25 Penguburan Manikebu menjadi satu kemenangan bagi Lekra. Aidit mengatakan bahwa, ―… Pelarangan terhadap Manikebu adalah salah satu bukti tentang kemenangan garis ‗seni untuk Rakjat‘ sebagai kekuatan front kebudajaan revolusioner.‖26 Akan tetapi, kemenangan itu hanya sementara saja. Keith Foulcher27 memandang Manikebu dalam posisi yang benar-benar politis, yaitu sebagai upaya pamer kekuasaan oleh Angkatan Darat (AD) yang anti-PKI dan gerakan kiri lainnya. Dukungan AD diselimuti dengan kain tebal sehingga tak nampak dari berbagai sisi. Tapi toh tetap tercium juga baunya. Foulcher menunjukkan hal ini dengan menyebut konseptor utama Manikebu, yaitu Wiratmo Soekito, orang yang secara sukarela bekerja pada badan intelijen militer. Dalam perseteruan ini, Manikebu menurukan tim research guna mempelajari serangan-serangan musuh yang mereka sebut sebagai kaum reaksi dan Manifes-phobi.28 Dalam laporan itu, Manikebu memaparkan berbagai tudingan yang dilakukan oleh Lekra terhadap mereka yang sudah dianalisa sedemikian rupa. Sejak kelahirannya, Manikebu sudah mengemban misi permusuhan. Mereka menempatkan diri dalam lingkaran manusia suci atau bahkan malaikat, yang harus memusnahkan iblis dalam jiwa manusia kotor dari kelompok yang 25
Lihat dalam "Duduk Soalnya manifes Kebudayaan". Tulisan H.B. Jassin 26 April 1966. Tidak Dipublikasikan. Dapat dijumpai di Pusat Dokumentasi HB Jassin. 26 Aidit, 1964. Hal 62. 27 Dalam bukunya Social Commitment in Literature and the Art: the Indonesian “Institute of People Culture” 1950 – 1960. Terbit tahun 1986 di Victoria, Monash University Press. Lihat juga dalam Alexander Supartono. Hal. 16. 28 Lihat Hasil Penjelidikan Team Research Manifes Kebudajaan: Manife-phobi, motif dan targetnya kekurang-matangan dalam Ideologi. Disusun di Jakarta, siang hari, 15 April 1964.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
beseberangan. Oleh sebab itu, dalam Pendjelasan Manifes Kebudajaan, mereka sudah menyerang terlebih dahulu. Dalam penjelasan pertama mengenai
Pantjasila sebagai Falsafah
Kebudajaan, Manikebu sudah merumuskan Pancasila alat untuk menyerang lawannya. Terutama sekali serangan pada Lekra yang berafiliasi kepada PKI, dalam bahasa Manikebu disebut ―propaganda‖, dalam artian kebudayaan sebagai alat propaganda. Hal ini dianggap sebagai ―pemerkosaan‖. Demikian umpamanja dibidang pentjiptaan karja2 kesenian dimana orang lebih mementingkan aspek propagandanja daripada aspek keseniannja, adalah tjontoh dari pelaksanaan sembojan The End justifes the Means— apabila orang mengemukakan apa jang bukan kesusasteraan sebagai kesusasteraan, apa jang bukan kesenian sebagai kesenian, apa jang bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan dsb. Perkosaan seperti itu bukanlah tjara insanijah, melainkan cara alamiah… Adapun bahaja bagi kebudajaan jang paling mengantjam datangnja dari wilajahnya sendiri, tetapi jang terang ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam ketjenderungan2 fetisj29 sebagai kesenderungan non-kreatif… Kesenian kreatif berlawanan dengan kesenian fetisj.30
Pada penjelasan kedua mengenai Manifes Kebudayaan dijabarkan tentang keyakinan Manikebu terhadap humanisme universal yang mererka dan anut. Manikebu meyakini bahwa ―kebudajaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional tetapi djuga menghajati nilai2 universal, bukan semata-mata temporal tetapi djuga mengajati nilai2 eternal.‖31 Selanjutnya, dengan tegas Manikebu mengibarkan
bendera
permusuhan.
Siapakah
musuh
mereka?
penjelasannya:
29
Tentang fetisj akan dibahas pada sikap politik Manikebu dalam Pendjelasan Manifes Kebudajaan. 30 Pendjelasan Manifes Kebudajaan. 1963. Hal 1 – 2. 31 Ibid. Hal 2.
Inilah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
Musuh kami bukanlah manusia, karena kami adalah anak manusia. Musuh kami adalah unsur2 jang membelenggu manusia, akan karenanya kami ingin membebaskan manusia dari rantai2 belenggu. Dalam perlawanan kami, terhadap musuh2 kami itu kami berpegang teguh pada pendirian dan pengertian bahwa sedjahat-djahatnja manusia namun ia tetap memantjarkan sinar-tjahaja Ilahi, sehingga konsekwensi kami ialah bahwa kami harus menjelamatkan sinar-tjahaja Ilahi tersebut.32 Dari kutipan di atas, secara politis dapat dilihat bahwa Manikebu dilahirkan bukan untuk menciptakan kebudayaan, tetapi sengaja untuk melawan ideologi kebudayaan yang sudah ada, yaitu Lekra. Dengan kemudian, bisa sangat dimaklumi jika Foulcher menempatkan Manikebu dalam wilayah yang sangat politis. Dengan penyataan di atas, maka karya-karya yang dihasilkan pun tercerabut
dari
ideologi
kerakyatan.
Mengarang
sebatas
imajinasi
dan
menempatkan sastra sebagai suatu karya yang agung. Ketika karya menjadi agung, maka penciptanya pun lebih agung, merasa sebagai malaikat suci yang turun ke dunia dengan misi menyelamatkan jiwa manusia. Sikap ini mendapat tanggapan keras dari D.N. Aidit33, bahwa Manikebu bukan hanya kelompok yang tidak melawan kebudayaan imperialis, tetapi merasa bangga jika berhasil menjiplak atau meniru kebudayaan tersebut. Hal ini dianggap Aidit sebagai kemerosotan moral dan ideologi. Menanggapi kesucian diri kelompok Manikebu, Aidit mengatakan: Dengan bantuan sastrawan2 dan seniman2 sewaannja didalamnegeri, antara lain mereka jang berkerumun disekitar Manikebu, Amerika Serikat menjebarkan ideologi reaksioner dibidang sastra dan seni, dengan etiket jang berganti2 dan bendera jang berubah-ubah, tetapi isinja tetap jang itu2 djuga. Mereka sebarkan teori humanisme universal, jang mengadjarkan 32 33
Ibid. Hal 3 1964. Hal 16 - 17.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
―tjinta pada sesama‖. Mereka mengadjarkan kemanusiaan jang abstrak, sekalipun maksud mereka kongkrit. Menurut kaum Manikebuis se-djelek2 manusia, misalnja Tengku Abdulrahman dan Lyndon Johnson masih bersinat ―tjahaya Ilahi‖ dalam dirinja, masih ada segi2 baiknja. Oleh karena itu, orang2 sematjam itu jangan dimusuhi, malahan harus diselamatkan. Demikianlah tjara mereka mengebiri Manipol agar Rakjat tidak mengenal dan tidak melawan musuh2nja. Kutipan di atas Aidit menunjukkan bagaimana Amerika menggerogoti kebudayaan Indonesia dengan menumpang Manikebu yang mengkhianati Manipol. Dalam pandangan komunis, manusia tidak dapat disamaratakan. Di dalam masyatakat ada sistem kelas yang tak bisa dihindari. Selanjutnya, sikap politik dan estetik Manikebu ditampakkan jelas dalam penjelasan ketiga, politisi dan estetisi. Yang cukup mengherankan dalam penjelasan ini adalah sikap politik dan estetik yang dimunculkan dengan terlebih dahulu membongkar realisme sosial dari sisi yang berbeda dari pemaknaan Lekra. Artinya, Manikebu tidak memiliki tumpuan dalam sikapnya. Manikebu melihat sisi cidera dalam tubuh realisme sosial lalu mengambil sisi yang beseberangan. Manikebu menjelaskan bahwa realisme sosial merupakan kelanjutan dari konsep Josef Stalin, lalu mempertentangkannya dengan konsep realisme sosial ala Maxim Gorki. ―… Dalam tahun 30-an dengan perkembangannja petisjisme modern dengan Stalin sebagai suatu fetisj, barang pujaan jang seakan mengandung kekuatan gaib, maka kebudajaan Rusia terantjam/amat mengerikan. Dengan Stalin maka metode kritik seni adalah deduktif, artinja konsepsinja telah ditetapkan lebih dahulu untuk menertibkan kehidupan kesenian dan kebudajaan. … Disitu sebenarnya Gorki telah menggariskan politik sastra jang berbeda dengan realisme sosial ala Stalin, karena pada hakikatnja Gorki telah menempuh politik sastra universal. Sesungguhnja politik sastranja itu bersumber dalam kebudajaan tidak sebagai suatu sektor politik, melainkan sebagai induknja kehidupan politik jang searah dengan garis manifes ini.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
37
Pada pendapat Manikebu terhadap Stalin, mereka dengan tegas menolak konsep realisme sosial. Lalu dari konsep Gorki, Manikebu terlihat menyamarkan maknanya sehingga apa dikonsepsikan oleh Gorki senafas dengan gerakan kebudayaan mereka. Dari mempertentangkan Stalin dan Gorki, Manikebu mengambil kesimpulan bahwa … faham politik di atas estetik jang merumuskan bahwa politik adalah primer dan estetik adalah sekunder, dilihat dari sudut kebudajaan dan kesenian adalah suatu utopia. Dengan melaksanakan seperti dalam kutipan di atas, Manikebu berpendapat hanya akan menghasilkan tipu daya dan kekecewaan belaka serta tidak memberikan tempat bagi pembentukan suatu estetika. Dari penjelasan maka terlihat bagaimana Manikebu sebenarnya memiliki misi politik dalam percaturan budaya pada masa itu. Alih-alih mereka menghindari ―politik adalah primer‖, tapi justru mereka telah masuk dalam lingkup politik sejak kelahirannya. Maka adalah sangat wajar, jika kemudian mereka menerjunkan tim untuk meneliti sejauh mana perkembangan Lekra dan serangan-serangan yang dilancarkan pada mereka. Hasilnya, delapan bulan setelah kelahirannya, mereka telah dapat mendeteksi serangan Lekra.34 Laporan dari team research Manikebu memiliki lima komponen. ―1) materi autentik dari serangan-serangan jang dilakukan oleh Manifesphobi sampai berapa jauh mereka berhasil membuktikan bahwa manifes menentang manipol; 2) materi autentik dari manifes jang membantah ―bukti2‖dan ―argumentasi-argumentasi‖ Manifes-phobi; 3) sampai berapa jauhkah Manifes-phobi djustru bertentangan dengan prinsip2 manipol 34
Lihat Hasil Penjelidikan Team Research Manifes Kebudajaan: Manife-phobi, motif dan targetnya kekurang-matangan dalam Ideologi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
sebagai pemantjaran Pantjasila; 4) apakah jang sebenarnya merupakan motif dan target Manifes-phobi; 5) apakah sebabnja manifes dapat survive dan apakah jang harus dikerdjakan oleh Slagorde Manifes.‖ Isi laporan tersebut tak lebih merupakan upaya menyerang kembali Lekra. Juga sebagai upaya untuk mengemis simpati dengan menunjukkan bagaimana serangan membabi buta menghantam Manikebu. Selain itu, riset ini dapat dilihat sebagai ketidakmampuan Manikebu dalam menyikapi serangan Lekra melalui media massa. Meski begitu, Manikebu mengaku bahwa seluruh aksi kebudayaannya ditujukan untuk menggiring masyarakat ke arah sosialisme Indonesia. Tujuan yang sama dengan Lekra, yaitu menuju garis sosialisme Indonesia. Maka kepertjajaan yang kami kumandangkan ialah bahwa manusia adalah machluk jang baik, dan karena itulah maka kami bertjita-tjita membangun suatu masjarakat jang kuat cenderung kearah masjarakat manusia jang baik itu, sesuai dengan garis2 sosialisme Indonesia. Tujuan yang sama dengan jalur yang berbeda mengakibatkan konflik di antara dua kubu kebudayaan ini. Akan tetapi, tujuan dalam kutipan di atas seolah hanya pernyataan retoris saja. Bagaimana karya sastrawan Manikebu dapat menuju ke arah sosialisme Indonesia jika karya-karya itu tak berideologi kerakyatan? Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik di antara dua kubu ini adalah konfilk politik dalam kebudayaan. Maka wajar jika perseteruan keduanya berakhir tak jelas dan mati bersamaan dengan gentingnya konflik politik di Indonesia. Berpuluh tahun kemudian setelah kematiannya, arwah Manikebu bergentayangan dengan mengembalikan tudingan-tudingan melalui buku Prahara
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
Budaya yang dieditori oleh Taufiq Ismail dan DS Moeljanto.35 Alexander Supartono,36 lebih menganggap peran dua penyusun tersebut sebagai editor, bukan kolektor dari dokumen kliping koran, majalah dan makalah kebudayaan pada tahun 1960an.37 Artinya, alih-alih ingin mengabarkan polemik kebudayaan pada saat itu, kedua orang yang menganggap dirinya sebagai editor itu justru membangkitkan sentimen para pembaca. Setelah peristiwa 65, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Lekra mengalami nasib yang sama, dilarang beredar, dilarang terbit, dilarang dibaca oleh siapapun. Kehancuran Lekra bersamaan dengan hancurnya PKI. Ia distigma sebagai PKI. Lebih sadisnya, tidak hanya karya yang menjadi sasaran, melainkan juga sastrawannya.38 Lekra terkena karma atas ideologi yang diusungnya sendiri. Peristiwa itu menyisakan trauma mendalam, bahkan untuk menyebut dirinya sebagai anggota kelompok. Banyak sastrawan Lekra yang tak berani bersuara, salah satunya adalah Sugiarti Siswadi. Ia memilih diam, hingga namanya menghilang.
B. Lekra dan Perjuangan Kelas Kata ―Rakyat‖ disebut dalam kalimat awal di Mukadimah Lekra. Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan Lekra adalah pada rakyat. Rakyat yang dimaksud adalah massa rakyat pekerja, masyarakat kelas bawah; tani, buruh, dan ditambahkan satu lagi oleh D.N. Aidit, yaitu prajurit. 35
Taufiq Ismail dan DS Mulyanto [ed]. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Jakarta: Mizan dan HU Republika. 36 Alexander Supartono. Hal 35. 37 Data-data dalam buku tersebut sebagian juga diambil dari laporan tim riset Manikebu. 38 Asep Samboja. 2010. Hal 33.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
Tiga tulisan Aidit dalam KSSR, seluruhnya mengacu kerja sastrawan dan seniman untuk mengabdi kepada massa rakyat pekerja. Masing-masing judul pidato itu adalah ―Dengan Sastra dan Seni Jang Berkepribadian Nasional Mengabdi Pada Buruh, Tani dan Pradjurit, Menjelesaikan Revolusi NasionalDemokratis dalam Menuju ke Sosialisme‖, ―Pengintegrasian Sastrawan dan Seniman dengan Massa Rakjat Pekerdja Merupakan Sjarat Mutlak dalam Melaksanakan Garis Politik jang Tepat dengan Penuangan dalam Bentuk Artistik jang Tingggi‖, dan ―Kibarkan Tinggi-Tinggi Pandji Pertempuran Dibidang Sastra dan Seni Revolusioner!‖. Dalam ketiga tulisan tersebut—dua sebagai teks pidato dan satunya sebagai lampiran jawaban atas pertanyaan peserta pada KSSR—Aidit menarik benang merah antara kerja yang harus dilakukan oleh sastrawan dan seniman dengan prinsip PKI. Tiga prinsip PKI yang dikemukakan oleh Soekarno adalah 1) berdaulat dibidang politik, 2) berdiri diatas kaki sendiri dibidang ekonomi, dan 3) berkperibadian dibidang kebudajaan.39 Pokok dari pembicaraan Aidit di atas adalah: 1. KSSR mempunyai arti politik yang besar bagi PKI; 2. Kepribadian adalah tanda kekreatifan; 3. Mendorong upaya sastrawan dan seniman untuk menciptakan karyakarya yang bersemangat revolusioner; 4. Mendorong mutu pribadi sastrawan dan seniman agar lebih baik daripada mutu kerjanya; 5. Mendorong sastrawan dan seniman untuk terus melakukan turba. Turba bukan pekerjaan musiman; 6. Menegaskan kembali bahwa massa rakyat pekerja sebagai sumber inspirasi dan sumber kreasi yang sesungguhnya; 7. Terus memperkuat persatuan sastrawan dan seniman dengan partai, klas buruh, rakyat pekerja dan nasion; 8. Pentingnya Marxisme-Leninisme dalam kerja sastra dan seniman; 39
Aidit, 1964. Hal 16.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
9. Memerangi kelompok yang kontrarevolusioner; 10. Merampung tugas-tugas Revolusi 1945 sampai ke akar-akarnya dalam perjuangan menuju sosialisme. Pokok pemikiran Aidit di atas sebagai pematangan atas kerja sastrawan dan seniman Lekra pasca-KSSR. Selanjutnya, kecondongan karya-karya yang dihasilkan Lekra dapat ditarik benang merah dengan pedoma Lekra nomor lima, yaitu realisme sosial. Yaitu realisme yang dasarkan pada tujuan sosialisme dengan bersandar pada Manipol. Pokok pandangan realisme sosial merupakan terusan dari filsafat materialisme yang diramu dari pandangan sosialisme ilmiah (materialisme, dialektik, historis). Dengan realisme sosial ini, kemampuan melihat kontradiksi dalam menghadapi kompleksitas masalah masyarakat membawa sastrawan dan seniman Lekra tak dikepung kebingungan. Kontradiksi yang dimaksud adalah kontradiksi struktural fundamental dalam kehidupan sosial antara kelas penghisap dan kelas terhisap, kelas penindas dan kelas tertindas, serta golongan-golongan yang terlibat di dalamnya. Realisme sosial mempertegas pemihakannya atas kelas paling dirugikan dalam struktur dialektik masyarakat.40 Syarat utama yang diperlukan oleh realisme sosial ialah tak hanya kepercayaan bahwa rakyat yang nyata bisa memenangkan sistem sosialisme, melainkan juga mampu menggali dan memberi analisa rasional bagaimana sistem dapat ini keluar sebagai pemenang di lapangan politik.41 Bicara realisme sosial, kita musti membayangkan kerja Maxim Gorki. Dalam percaturan kesusastraan Rusia, ia kerap diposisikan sebagai jembatan 40
Pramoedya Ananta Toer dalam makalah Realisme Sosial dan Sastra Indonesia: sebuah tinjauan sosial. Disampaikan dalam seminar Fakultas Sastra UI, 26 Januari 1963. Hal 31. Makalah ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Lentera Dipantara pada tahun 2004. 41 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 31.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
realisme yang berhenti pada kritik atas realitas-realitas yang lahir dari tangan seorang pekerja. Ia tak hanya menggambarkan protes, kesedihan, sedu dan sedan, tapi juga melukiskan ketegaran juang menghabisi yang lama dan membangun yang baru.42 Dari pandangan realisme sosial di atas, karya-karya Lekra menemukan bentuknya yang berintegrasi dengan massa rakyat pekerja. Hal ini terlihat dalam beragam tema yang digarap. Di antaranya adalah 1) perang rakyat Indonesia melawan pemerintah kolonial, 2) perlawanan terhadap feodalisme, 3) penderitaan rakyat jelata (kemiskinan), 4) perjuangan buruh, tani, nelayan, 5) antiimperialisme, antikolonialisme, anti-Amerika, 6) sengketa landreform (UUPA dan UUPBH), 7) prajurit yang prorakyat, 8) revolusi Indonesia, 9) propaganda partai, dan 10) wacana agama dan mistik. Setelah rangkaian tulisan Aidit di atas, KSSR yang diselenggarakan pada 27 Agustus sampai dengan 2 Agustus 1964 menghasilkan suatu resolusi. Baiklah dikutip kesepakatan peserta KSSR yang dimuat dalam Harian Rakyat 4 September 1964 dan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Jajasan Pembaruan pada Desember 1964, Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) jang diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 1964 sampai dengan 2 September 1964 di Djakarta, setelah mempeladjari dan mendiskusikan referat Kawan Ketua D.N. Aidit jang berjudul ―Dengan Sastra Dan Seni jang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani dan Pradjurit‖ dan setelah mendengarkan pandangan-pandangan para peserta; memutuskan menjetudjui sepenunja referet tersebut. Konfernas menginstruksikan kepada setiap sastrawan dan seniman Komunis serta mengadjak kepada sastrawan dan seniman revolusioner lainnja untuk mendjadikannja sebagai pegangan dan pedoman
42
Ibid. hal 121.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
dalam membina dan mengembangkan sastra dan seni jang berkepribadian buruh, tani dan pradjurit. Pokok dari pidato D.N Aidit selaku ketua partai, menekankan adanya pengabdian yang tinggi oleh sastrawan dan seniman kepada massa rakyat pekerja, dalam hal ini adalah buruh, tani, dan prajurit tanpa mengesampingkan profesi lainnya. Secara panjang lebar ia menjelaskan bagaimana pengabdian itu harus terus dipupuk. Jika diperhatikan dengan seksama, dalam teks pidatonya tersebut, Aidit
menuliskan
pengintegrasian
Rakyat
antara
dengan
sastrawan
―R‖ dan
besar. seniman
Ini
menegaskan
dengan
rakyat
bahwa sangat
diperhitungkan. Dikatakan demikian karena ―rakjat pekerdja sebagai pentjipta sedjarah, disamping arti manusia sebagai produk sedjarah‖.43 Untuk ituk azas ―Seni untuk Rakyat‖ dengan gigih terus dikibarkan guna meruntuhkan panji-panji reaksioner. Aidit mengharapakn adanya karya-karya yang dapat menggugah hati rakyat dan dapat dengan mudah dipahami oleh rakyat. Dengan demikian sastrawan dan seniman akan memiliki ―pendirian dan sikap jang tepat‖. Pendirian yang maksud adalah ―pendirian proletariat‖. Penekanan Aidit selanjutnya adalah pada sastra dan seni yang berkepribadian. Menurutnya, sastra dan seni yang berkepribadian adalah yang lahir dan mengakar ke dalam bumi Indonesia. Ia menuliskan, Jang kita maksudkan dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional adalah sastra dan seni yang lahir dari tradisi patriotisme revolusioner Rakyat Indonesia sendiri, jang mencerminkan tradisi dan adat-istiadat bangsa sendiri, bertema nasional dan melukiskan aspirasi-aspirasi nasional Rakyat Indonesia jang revolusioner.44
43 44
Ibid, hal 49 DN. Aidit. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. Hal 21.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
Dalam posisi ini, Aidit dengan gencar mengatakan di setiap sambutannya pada KSSR tersebut, bahwa hal-hal yang berasal dari Barat khususnya imperialis Amerika Serikat adalah musuh. Tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, melainkan juga bidang ilmu, film, musik dan lektur. Maka sastra dan seni harus tampil dengan kepribadian nasional kuat. Sebab, ―sastra dan seni yang kepribadiannya kuat tidak hanya tahan dan mempunyai kekebalan terhadap pengaruh merusak dari kebudayaan imperialis, tetapi lebih dari itu juga mempunyai kemampuan untuk secara aktif melawan dan mengalahkan kebudayaan imperialis.‖45 ―Oleh karena itu, sastra dan seni berkepribadian jang kita kehendaki adalah berwatak anti-imperialisme dan anti-penghisapan.‖46 Satu hal lagi yang juga musti diakrabi oleh sastrawan dan seniman adalah massa prajurit. Menurut Aidit, meskipun prajurit juga termasuk massa rakyat pekerja, tetapi ia memiliki peran yang berbeda. Mereka yang dalam aksi revolusi yang bertindak di garis depan dan memegang bedil. Maka sebagai, dihitung warga negara Indonesia, tidak tepat jika melakukan diskriminasi terhadap prajurit. Prajurit itu sebagaimana Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mempunyai ciri: 1) anti-fasis, demokratis, anti-imperialis, dan bercita-cita sosialisme; 2) alat untuk mengabdi perjuangan besar Nefo kontra Oldefo; dan 3) alat membela keutuhan wilayah dan kesatuan nasion Indonesia. Dengan ciri-ciri ini, Aidit berpendapat bahwa prajurit merupakan salah satu sasaran penting bagi kerja-kerja sastra dan seni revolusioner.47
45
Ibid. Ibid, hal 27. 47 Ibid, hal 30 – 31. 46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
C. Lekra dan Literatur Anak Lekra sebagai lembaga kebudayaan tak melupakan tugas untuk terus bergerak di garis depan revolusi. Di dunia sastra, masih banyak segi yang harus diurus, diberi arahan ideologisnya dan dituntaskan orientasinya agar tak menjadi momok bagi jalan revolusi Indonesia. Setelah membangun pondasi kebudayaan, tugas Lekra selanjutnya adalah memikirkan keberlanjutan pondasi kebudayaan tersebut. Maka ditempuh jalan melalui pengajaran sastra sebagai upaya penanaman ideologi revolusioner terhadap anak melalui sastra anak. Inilah satu hal penting yang tak diperhatikan oleh kelompok kebudayaan lain. Bagi Lekra, sastra anak adalah sastra yang bergerak sepenuhnya untuk menyuluh edukasi.48 Yang didapuk sebagai panglima untuk mengatur sikap dan strategi Lekra dalam ekspansinya terhadap sastra anak adalah Sugiarti Siswadi, anggota pimpinan pusat Lekra. Sugiarti Siswadi dalam presentasi pada Konfernas I Lestra di Medan, 22 – 25 Maret 1963, menganggap bahwa membicarakan literatur anak sama pentingnya dengan membicarakan edukasi sastra. Bahwa dengan membicarakan sastra anak, berarti menyadari tugas vital sastra dalam menyiapkan anak-anak menjadi manusia zamannya. Sastra memiliki peran besar dalam membantu anak dalam memahami realitas atau tidak memahaminya (memutarbalikkan) realitas zaman. Lekra sebagai lembaga kebudayaan harus memberikan perhatian terhadap sastra anak sebagai sesuatu hal yang pokok dan utama. Betapapun anak adalah gambaran masa depan. Jika anak tak diberikan watak yang tegas tentang apa yang
48
Lekra Tak Membakar Buku. Hal 187.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
dihadapinya, tujuan revolusi Indonesia tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu, perlu diadakan pembibitan ide, moral dan kecenderungan masa depan yang berpihak pada ideologi kerakyatan. Dan masa depan yang diyakini bisa mengantarkan Indonesia pada kejayaan adalah sosialisme. Pendidikan kanak2 adalah masalah jang pelik jang tidak dapat diselesaikan dengan tergesa2 namun jang harus sudah dimulai sedjak usia muda. Padanja harus harus kita berikan bekal untuk mendjadikannya manusia yang bersegi, memberikan padanja pandangan jang ilmiah, tjinta kerdja, tjinta Rakjat pekerdja, keagungan manusia, ja kebenaran dan kebesaran sosialisme. Ini adalah tuntutan yang tidak dapat dibantah lagi, apabila kita hendak membangun sosialisme Indonesia.49 Dalam mengajarkan kecintaan anak pada sosialisme, Sugiarti berpendapat, harus dibarengi dengan sikap menanamkan kebencian kepada semua yang antisosialisme. Baginya, ini bukanlah dosa, sebagaimana orang tua juga mengajarkan pada anak untuk membenci hal-hal seperti jorok, dusta, bohong, mencuri, berkhianat dan terlebih lagi, orang tua telah menanamkan kebencian anak pada penjajah. Sehingga anak pun sudah terbiasa menyanyikan ―Hantjur lebur Belanda kita gempur‖ dan ―Minggir njingkir pimpinan jang tjurang‖. 50 Nyanyian anak-anak itu barangkali hanyalah soal latah saja. Meski demikian, hal ini mengindikasikan bahwa anak juga memahami realitas zaman saat itu meski hanya secuil. Maka tugas sastrawan Lekra untuk memberikan pengetahuan lebih pada mereka, mengarahkan pengetahuan yang secuil menjadi gagasan yang ideologis, agar mereka dapat menyelami hakikat realitas. Lalu bagaimana kecintaan sosialisme diajarkan pada anak? Sugiarti menjabarkan:
49
Referat Sugiarti Siswadi dalam Konfernas I Lekra di Medan berjudul ―Literatur Kanak-kanak‖. Di muat Harian Rakjat, 18 Mei 1963. 50 Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
Pendeknja, literatur kanak2 kita harus konsekwen mendjundjung pantja tjinta (tjinta tanah air, kerdja manusia, perdamaian dan orang tua) jang diabdikan pada tjinta sosialisme. Literatur kanak2 kita harus berwatak sosialis.51 Dalam referatnya, Sugiarti juga membanding sastra anak sebelum dan sesudah revolusi. Pada masa awal revolusi, perhatian terhadap sastra anak nyaris tidak ada. Lalu pada masa surutnya revolusi, kira-kira tahun 1952 – 53, sastra anak mengalami bencana yang besar. Buku-buku komik imperialis Amerika dan Singapura menyerbu dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pusat penerbitannya ada di Bandung dan Medan. Yang menjadi soal kemudian bukanlah komiknya, melainkan konten di dalamnya. Dalam komik-komik impor itu, cerita-cerita yang disajikan melulu soal ―petualangan anarkisme, sensasi, superman, perkelahian, kebandit2an, science fiction jang sok ilmiah‖, sementara komik dalam negeri yang dalam usahanya menampilkan keperkasaan lokal justru dibelokkan. Dengan kondisi demikian, maka sikap Lekra adalah melawan tanpa ampun. Tentu sadja, bentuk tjeritera bergambarnja tidak kita tentang. Namun, memang dalam tjergamlah, terikat erat antara bentuk dan isi, makin djahat isinja, makin jelas bentuknja, makin mudahlah terpateri dalam sanubari kanak2 kita.52 Bencana besar itu tak hanya datang melalui komik saja, melainkan juga cerita silat murahan, cerita detektif dangkal dan cerita spionase picisan. Penyebaran buku-buku seperti dimulai dari Jakarta sebagai pusat penerbitannya. Buku-buku itu dianggap merusak moral karena di dalamnya terdapat bumbu-
51 52
Ibid. Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
bumbu yang bisa dikatakan sebagai American way of life, karena menuturkan tentang seks dan perang dingin. ―Tegasnja anti-komunis‖53 Bencana selanjutnya datang dari pengarang lokal yang menulis buku-buku yang menimbulkan ―rasa muak‖. Misalnya pada buku karya S. Sukardji dalam seri Si Pitak, khususnya dalam cerita Si Pitak dan Kerani Muda. Buku memang sudah tidak lagi mengangkat soal ―ndoro sinjo, bendoro, nonik, tuan besar, jongan dan babu‖. Akan tetapi, buku itu menyuguhkan pertentangan kelas, antara pribumi sebagai buruh dengan sosok kulit putih berkebangsaan Inggris yang tak punya dosa dan salah. Sosok londo itu digambarkan oleh penulis dengan sangat istimewa. Sugiarti lalu menuduh buku itu sebagai penyebar rasialisme dan mempertanyakan, ―apakah penulis ini tidak memahami kenyataan bahwa Indonesia sudah merdeka?‖, ―Apakah taufan besar yang melanda di hati sanubari kaumburuh tidak tertangkap oleh sang penulis?‖, dan ―Apakah kenyataan anak merdeka tidak menjinari hari si Pitak?54 Buku lainnya datang dari penulis bernama M. Balfas. Buku Suling Emas yang ditulisnya memang tidak mendapat kritik seperti buku-buku di atas. M. Balfas banyak menulis tentang keindahan Indonesia seperti yang dikagumi para turis. Menurut Sugiarti, buku semacam Suling Emas tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap revolusi Indonesia. Sugiarti tak melulu beranggapan negatif pada penyebaran sastra anak. Ia mencontohkan adanya majalah anak yang belum tersentuh oleh tangan-tangan kolonialisme model baru seperti dalam buku-buku di atas. Sebutlah majalah anak 53 54
Ibid. Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
―Kutilang‖ di bawah asuhan Rukiah Kertapati. Majalah ini dianggap paling layak untuk disebarluaskan dan menjadi acuhan bacaan anak. Majalah anak lainnya, menurut Sugiarti, ―belum dengan tegas memikul pantja tjita‖. Meski sudah berani menjadi majalah anak yang melawan Belanda, tetapi ―belum berani melawan penghisap besar dikota dan didesa. Tjinta perdamaian pun belum berani mengutjapkannya.‖55 Dari rangkaian pidatonya, Sugiarti Siswadi sangat menekankan satu hal, ―baik di dalam buku2 maupun dalam madjalah terasa betapa miskinnja kita akan buku2 ilmu dan tehnik. Kepada anak2 kita belum tjukup memberikan tjinta ilmu dan tjinta tehnik. Padahal menurut pendapat saja, pendidikan ke arah itu sangat mutlak penting untuk pembangunan manusia2 baru‖56 Pemikiran Sugiarti Siswadi di atas mendapat sambutan dari kawannya, Pramoedya Ananta Toer.57 Sedikit berbeda dengan Sugiarti, Pram menulis pengajaran sastra dalam lingkup yang lebih luas, terutama pengajaran sastra dalam lingkup pendidikan formal. Meski begitu, keduanya seakan saling melengkapi. Menurut Pram, pengajaran sastra telah mengalami ―pengkoboian‖ revolusi dalam sastra. Oleh sebab itu, pengajaran sastra yang menonjolkan sisi didaktik revolusi belum pernah ia temui. Dalam hal ini, tulisan Pram juga merupakan perlawanan atas usaha Manikebu dalam menguasai bidang pendidikan sastra. Selain itu, Pram menegaskan perlu adanya perlawanan pengajaran sastra versi
55
Ibid. Ibid. 57 Pramoedya Ananta Toer menulis tentang laporan singkat dalam konfernas I Lekra di Medan. Laporan ini berjudul ―Beberapa Hal Tentang Pengadjaran Sastra‖. Dimuat secara bersambung di Harian Rakyat, 1 Mei 1963 dan 11 Mei 1963. 56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
50
Teeuw yang Balai Pustaka sentrik, yang tidak memberikan sumbangan apa-apa terhadap revolusi Indonesia. Dalam rangka melawan dominasi tersebut, tawaran Pram sangat konkrit. Pertama, menulis sebanyak-banyak dan menyebarkan seluas-luasnya sebagai bahan pembelajaran. Kedua, mendekati dan membuka perbicangan dengan pengajar sastra pada secara perseorangan tentang sastra Indonesia sesuai yang dikehendaki revolusi, sesuai dengan perumusan manipol. Ketiga, melakukan research yang teratur, terkoordinir dan dengan pimpinan yang baik. Dari penelitian tersebut, juga perlu dipelajari kembali bahan-bahan pelajaran sastra yang digunakan dan melakukan penggalian terhadap bahan-bahan baru yang belum dikemukakan. Terutama sekali, perlu mengedepankan karya-karya tegas patriotik, progresif serta revolusioner tanpa meninggalkan kriteria penilaian yang sehat. Dalam pembicaraan sastra anak Indonesia kini, nama Lekra sebagai lembaga yang memikirkan nasib dan perkembangannya pada masa revolusi, tak pernah disebut. Pun demikian dengan Sugiarti Siswadi. Sastra anak Indonesia saat ini seakan terpotong sejarahnya tanpa melihat kilas balik. Padahal, dengan melakukan kilas balik, akan diketahui letak perkembangan atau kemunduran wacana sastra anak.58
58
Lihat dalam buku Sastra Anak karangan Burhan Nurgiyantoro terbitan UGM Press.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
D. Pengarang Perempuan Lekra Pada dekade 1950 – 65 penulis perempuan masih sangat langka. Dalam tubuh Lekra sendiri, penulis perempuan masih dapat dihitung dengan jari di satu tangan. Agak sulit menentukan apakah seorang penulis perempuan yang tulisannya dimuat di media massa, terutama Harian Rakjat adalah anggota Lekra. Pun demikian, jika dilacak dari majalah milik Gerwani, Api Kartini. Hal yang paling memungkinkan dilakukan untuk melacak penulis perempuan Lekra adalah dengan melihat pada pengurusan Lekra, baik pusat maupun lembaga-lembaga kreatifnya. Dari nama-nama perempuan yang diperoleh, lalu dilacak keberadaan tulisannya di media massa. Dari seluruh nama pengurus Lekra, hanya ditemukan tiga nama perempuan. Mereka adalah Dhalia, S. Rukiah Kertapati dan Sugiarti Siswadi Dari tiga penulis perempuan tersebut, dua terakhir yang bisa dilacak. Sementara nama Dhalia tak ditemukan karya dalam Harian Rakjat dan Api Kartini sebagai penulis. Penulis S. Rukiah Kertapati masih relatif mudah untuk dilacak. Nama aslinya adalah Siti Rukiah. Lahir di Purwakarta Jawa Barat 25 April 1927. Perkenalan awal dengan sastra dimulai dengan pertemuannya dengan pejuang revolusi dari kalangan seniman pada tahun 1946. Ia menulis sajak dan cerpen di berbagai media massa. Ketekunan dan kualitas karyanya membawanya menjadi sekretaris Pujangga Baru pimpinan Sutan Takdir Alasjahbana bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat Karta Miharja, Dodong Djiwapradja dan Harijadi S. Hardtowadojo. Bersama Sugiarti Siswadi, ia menjadi jurnalis di Majalah milik Gerwani, Api Kartini. Ia juga menjadi redaktur penerbit Yayasan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
Kebudayaan Sadar sekaligus mengelola majalah anak ―Kutilang‖. Pada Konggres I Lekra, ia diangkat sebagai pimpinan pusat Lekra dan menjadi anggota pada lembaga kreatif Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) Lekra.59 Sajak-sajak dan cerita pendek hasil karyanya di terbitkan dalam buku berjudul Tandus oleh Balai Pustaka pada tahun 1952. Sajak-sajaknya dalam buku itu memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN (1952). Roman pendeknya Kejatuhan dan Hati yang mulanya dimuat majalah Pujangga Baru, kemudian diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Balai Pustaka pada tahun 1950. Roman ini juga didaulat sebagai roman pertama yang ditulis oleh pengarang perempuan pascaperang dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang pada tahun 1992.60 Karya-karya yang lain adalah Si Rawun dan Kawan-kawannya (cerita anak, 1955), Teuku Hasan Johan Pahlawan (cerita anak, 1957), Taman Sajak si Kecil (cerita anak, 1959), Jaka Tingkit (cerita anak, 1962), Dongeng-Dongeng Kutilang (cerita anak, 1962), Kisah Perjalanan si Apin (cerita anak, tahun tak terlacak). Dari perjalanan kepengarangan S. Rukiah Kertapati, dapat dilihat kecenderungan minat yang nyaris sama dengan Sugiarti Siswadi. Dari kota yang sama, di organisasi kebudayaan yang sama dan duduk di pimpinan pusat, menjadi jurnalis di majalah yang sama, dan memiliki perhatian pada perkembangan bacaan (sastra) anak. Bukan hal yang mengherankan jika kemudian Sugiarti menyanjung
59
Lihat Lekra Tak Membakar Buku hal 525 dan 527. Lihat juga daftar seniman sastra di situs http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/sitirukiah.html 60 Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
majalah anak yang dipimpin oleh S. Rukiah Kertapati sebagai majalah anak paling layak dibaca.61 Nama lain—dalam kolom sastra Harian Rakjat, yang menyuarakan karyakarya Lekra—yang dapat dicurigai sebagai pengarang perempuan Lekra adalah Risa (1 Puisi), Ratnasih (1 puisi), Siti Romzah (1 Puisi), Toemini (1 puisi), S. Djin (Pena Sudjinah) (3 cerpen), Sulami62 (2 Cerpen), Sugiarti Djasman (1 cerpen), Siswa Patria (1 cerpen), S. Gita (4 cerpen), N. Rosa (1 cerpen), Rukmini (1 cerpen), P Shanty (1 cerpen), Lyn Suharti (1 cerpen), Mara. LP (1 cerpen).63 Dari pengarang perempuan yang menulis cerpen, Sugiarti Siswadi menjadi pengarang paling produktif dengan menyumbang 9 cerpen,64 bahkan jika dibandingkan dengan pengarang laki-laki. Dalam bidang puisi,65 nama Sugiarti tetap unggul bersama S. Rukiah Kertapati dengan menyumbangkan masingmasing 3 puisi. Maka kedua pengarang perempuan ini, didukung karya-karya mereka dalam bentuk buku, layak diperhitungkan sebagai pengarang papan atas Lekra. Pengarang perempuan pada masa itu, sebenarnya memiliki media massa yang khusus memuat karya perempuan, yaitu majalah Api Kartini. Majalah ini merupakan satu-satunya media milik Gerwani. Dari majalah tersebut, dengan
61
Sugiarti Siswadi akan dibahas pada subbab berikutnya. 62 Sulami adalah anggota Gerwani. Menjadi anggota PKI pada tahun 1946 ketika masih di AD. Ketiga Gerwis berdiri ia mendapat instruksi partai untuk ikut ambil bagian. Lihat hasil wawancara Saskia E. Wieringa dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan. Hal 219. 63 Kecurigaan pada beberapa nama hanya sebatas nama perempuan karena biografinya tak terlacak. Lihat daftar nama pengarang dalam Laporan dari Bawah: Sehimpun Cerpen Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965. Hal 552 – 556. 64 Dalam Laporan dari Bawah: Sehimpun Cerpen Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965 hanya disebutkan enam cerpen saja karena data cerpen tidak lengkap. Namun dalam penelitian sangat perlu disebutkan. 65 Lihat Gugur Merah: Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
mudah dapat dilacak keberadaan pengarang perempuan berideologi kiri yang pada masa itu, meski hanya muncul sesekali. Namun tak dapat dipastikan apakah mereka juga anggota Lekra atau bukan. Tak ada biografi singkat yang dituliskan dalam media massa pada waktu itu sehingga kesulitan dalam melacak aktivitas pengarang tersebut. Sayangnya, sebagai majalah tentu Api Kartini tidak dapat terbit setiap hari, melainkan sebulan sekali. Hal ini menjadi keterbatasan pengarang perempuan pada masa itu. Sugiarti Siswadi sebagai bagian dari Api Kartini hanya dimuat dua kali sepanjang majalah tersebut terbit. Maka Harian Rakjat menjadi alternatif lain meski harus bersaing dengan pengarang laki-laki.
E. Tentang Sugiarti Siswadi Setelah dengan perdebatan yang sengit, akhirnya, Konggres I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengesahkan Mukadimah dan Peraturan Dasar Lekra pada 27 Januari 1959 pukul 20.00 di Solo. Konggres ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perjalanan Lekra. Meski dinyatakan bukan organisasi underbouw PKI, Lekra mendapat fasilitas istimewa, baik lewat koran Harian Rakyat milik PKI yang menjadi corongnya maupun memperolah koneksi-koneksi jaringan kebudayaan di tingkat lokal maupun internasional.66 Penegasan Lekra bukan organisasi PKI—melainkan, meminjam istilah D.N. Aidit, sebagai ―keluarga komunis‖—ditegaskan dalam Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR). KSSR diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus – 2
66
Ibid, hal 63.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
September 1964 oleh PKI. Dari nama-nama yang memberikan sambutan pada KSSR tersebut, tak satupun dari mereka yang menyangkutpautkan kegiatan tersebut dengan PKI.67 Salah satu pemberi sambutan pada kesempatan itu adalah Sugiarti Siswadi. Ia menjelaskan tentang pentingnya pendidikan ideologi untuk bisa menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, pentingnya pengintegrasian diri dengan rakyat terutama kaum tani dan menyambut penulisan Revolusi Agustus yang menjadi tugas sastrawan-sastrawan pada masa itu.68 Setahun setelah kesuksesan KSSR pertama ini, diadakan peringatan ulang tahun KSSR I. Adalah Sugiarti Siswadi yang menjadi orang paling penting dalam perayaan tersebut. Seorang perempuan yang dipercaya wora-wiri mengurus segala keperluan. Ia menjadi ketua panitia dalam perhelatan akbar tersebut, dengan Hersri Setiawan sebagai sekretarisnya. Ia menuturkan, ―… Aku sendiri ngobrol dengan Sugiarti Siswadi, sambil duduk membalikbalik naskah kumpulan lagu-lagu rakyat Betawi dan daerah-daerah… Sugiarti Siswadi, yang berdiri di sisi kursiku, seorang perempuan penulis kiri terkemuka, di samping S. Rukiah Kertapati, ketika ketua panitia ulang tahun ke-1 KSSR (Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner), dan aku sekretaris panitia itu.‖69 Meski kalimat Hersri di atas agak membingungkan antara Sugiarti Siswadi atau S. Rukiah Kertapatih yang menjadi ketua, namun ia kembali menegaskan di halaman yang cukup jauh dengan, ―… Di tengah panasnya udara politik yang hamil tua, juga karena untuk aklimatisasi, aku ditugasi ketua Ulang Tahun I KSSR
67
Ibid, hal 59 – 65. Ibid, hal 60. 69 Lihat Memoar Pulau Buru. Hal. 143 68
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
(Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner), membantu pekerjaan ketua panitia, Sugiarti Siswadi.‖70 Ulang tahun I KSSR yang diselenggarakan oleh CCPKI tersebut akan diadakan pada 26 – 30 Agustus 1965 di hotel Duta Indonesia Jakarta.71 Pertemuan yang dibuka langsung oleh Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada 26 Agustus pukul 19.00 tersebut,72 mengundang sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman komunis dan progresif nonkomunis. Selain akan diadakan berbagai seminar, lomba paduan suara juga turut memeriahkan acara tersebut.73 Dalam perhelatan yang meriah itu, yang menjadi perhatian besar adalah paduan suara. Lomba paduan suara digelar secara besar-besaran dan diikuti oleh berbagai daerah di Indonesia. Sugiarti memberikan laporannya pada malam puncak Ulta I KSSR di Istora. Ia mengatakan bahwa ―lomba paduan suara setanah air yang baru pertama kali diorganisasi oleh CC PKI diikuti oleh 9 daerah dengan 12 regu paduan suara. Sedangkan dalam seminar sastra dan seni yang diadakan dalam rangka ultah telah diserahkan kepada CC PKI novel 9, drama 1, kritik sastra dan seni 24, cergam 9, dan 57 cetakan lagu. Pada tahun mendatang, seluruh kompetisinya akan ditambah, antara lain meliputi cerpen, foto, cerita anak-anak.‖74 Sebagai orang penting dalam perhelatan tersebut, Sugiarti Siswadi menjadi sangat perlu diperhatikan. Tak ayal jika ia juga ditunjuk sebagai anggota pusat Lekra. Nama-nama yang bisa disebut sejajar dengannya dalam pimpinan pusat 70
Ibid. hal 263. Harian Rakjat. Senin, 23 Agustus 1965 72 Harian Rakjat, Rabu, 25 Agustus 1965. 73 Lihat Harian Rakjat, Senin, 23 Agustus 1965. 74 Harian Rakjat, Selasa, 30 Agustus 1965. 71
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
Lekra adalah Affandi, Agam Wispi, Bachtiar Siagian, Basuki Resobowo, Boejoeng Saleh, Chrismanuputty, Dhalia, Hadi S, Haznan Rachman, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, H.R. Bandaharo, Joebar Ajoeb, Kotot Sukardi, Kurnia, K Iramanto, Martean Sagara, M.D. Hadi, M.S. Ashar, Njoto, Nurbakti, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Rumambi, Sumandjaja, Sudharnoto, Sudjadi, Sunito, S. Anantaguna, S. Rukiah Kertapati, Sutomo, Tan Sing Hwat, Tjak Bowo, Utama Ramelan, Z Trisno, Wakil Kalimantan, Wakil Sulawesi.75 Melihat anggota yang terakhir, ―Wakil Kalimantan, Wakil Sulawesi‖ mengindikasikan bahwa nama-nama sebanyak di atas yang duduk sebagai Anggota Pimpinan Pusat Lekra, merupakan wakil dari masing-masing daerah. Meski demikian, anggota yang tinggal di Jakarta lebih dominan. Hal ini sebagai upaya memudahkan kontrol dan koordinasi antara pusat dan daerah. Di antara nama-nama di atas, Sugiarti Siswadi yang cukup sulit ditelusuri. Dari buku-buku yang memuat karyanya, biografinya tak pernah ditulis sepanjang biografi penulis lainnya. Bahkan dalam bukunya sendiri, Sorga Dibumi, tak memberikan sumbangan informasi apapun tentang penulisnya. Sebagai contoh, buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora 26, identitas Sugiarti hanya dijelaskan dalam empat baris, ―Anggota Pimpinan Pusat Lekra yang terpilih dalam Kongres I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Solo pada tahun 1959. Tulisan-tulisan Sugiarti banyak dijumpai di koran Harian Rakyat, Api Kartini (organ Gerwani Pusat), Zaman Baru, dan lain-lain.‖
75
Lihat Lekra Tak Membakar Buku, hal 524 – 525.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
Begitu pula dengan dua buku yang disusun oleh Muhidin M Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri,76 identitas Sugiarti hanya disebutkan dalam dua baris saja, ―Sugiarti Siswadi, anggota Pimpinan Pusat Lekra yang terpilih saat konggres I Lekra pada 1959 di Solo.‖ Meski tak memberikan informasi lengkap mengenai identitas Sugiarti, kedua buku tersebut cukup banyak memberikan informasi tentang karya-karyanya. Dari buku trilogi Lekra tak Membakar Buku tersebut, paling tidak dapat memberikan informasi atas keterlibatan Sugiarti Siswadi dengan organisasi bergaris kiri dan revolusioner. Dalam pembicaraan penulis perempuan sastra Indonesia modern, namanya kerap kali disebut meski hanya sekadar nama lengkap dan tak pernah disebutkan biografinya, apalagi masuk dalam angkatan sastra manapun.77 Satu-satunya buku yang pernah diterbitkan atas namanya berjudul Sorga Dibumi, namun menjadi buku terlarang, sekaligus oleh dua lembaga.78 Dilihat dari namanya, Sugiarti Siswadi adalah nama Jawa. Abdul Kohar Ibrahim (AKI)79 menegaskan bahwa penulis perempuan ini adalah orang Solo. Ia dikenal dekat dengan seniman yang kini namanya disebut sebagai maestro keroncong, Gesang. Pasca 65, ia pindah ke Yogyakarta, dan meninggal pada
76
1) Gugur Merah, Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965; 2) Laporan dari Bawah, Sehimpun Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965. Kedua diterbitkan di Yogyakarta oleh Merakesumba. 77 Lihat Perkembangan Sastra Indonesia Modern dalam Persepektif Feminisme (Skripsi Andhika Budiadi, 2009); Bibliografi Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, 2001); Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Yudiono K.S, 2007). 78 30 November 1965 buku ini menjadi buku terlarang oleh Pembantu Mentri P.D. dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Buku ini kembali dilarang oleh Tim Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967. 79 Abdul Kohar Ibrahim, meninggal pada 4 Juni 2013. Ia menulis ratusan judul Nota Puitika. Pada nomor 211 – 220, ia menulis dan mengenang Sugiarti Siswadi dan Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo. Lihat pula puisi Nota Puitika 381 – 390.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
1983.80 Ia adalah penulis papan atas dalam tubuh Lekra dan turut menggawangi penerbitan majalah Api Kartini. Sebagai cerpenis, karyanya sering mengisi media massa, terutama Harian Rakyat. Sementara dalam Api Kartini ia lebih banyak berperan sebagai jurnalis. Ia pernah memakai nama pena, Damairia (dalam sebuah puisi) dan akronim S.S. (dalam sebuah saduran). Sebagai jurnalis Api Kartini, sebuah majalah perempuan milik Gerwani, Sugiarti Siswadi turut menyumbang tulisannya secara rutin. Namun, menurut Saskia,81 ia bukanlah anggota Gerwani. Keterangan berlainan yang diberikan oleh AKI, bahwa ia adalah seorang Gerwani. Hal ini juga diperkuat dengan pergaulannya dengan S. Rukiah dan Njoto dalam puisi AKI. Keterangan yang dihimpun oleh Saskia adalah pada tahun 1982, di mana pemerintahan Orde Baru masih berkuasa. Sehingga sangat wajar jika masih ada trauma yang tersimpan di dalam memori dan tak ingin mengakui dengan alasan keselamatan. Sementara informasi AKI, sebagai salah satu kader Lekra dan pernah bertemu langsung dalam Konggres Lekra di Solo, dapat dijadikan data paling mendekati yang benar. Sebagai anggota Lekra, karya-karya Sugiarti Siswadi tidak terlepas dari ideologi kelompok yang sudah dijelaskan di awal. Dengan kesamaan ideologi tersebut, karya-karya kecenderungan yang sama. Ciri-ciri umum cerpen Lekra: 1) ―reportase‖ atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah. Nyaris tak ada cerpen-cerpen yang bertendensi takhayul, hantu-hantuan, mempermainkan atau mengolok-olok atau merendahkan agama atau keyakinan
80
Lihat catatan kaki pada puisi Sugiarti Siswadi yang menggunakan nama samaran Damairia, Jurnal Perempuan No 48. Tahun 2006. Hal 156. 81 Saskia Eleonora Wieringa. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. Hal. 212 – 213.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
masyarakat, atau tema-tema abstrak dan ―aneh‖ lainnya yang jauh dari perhubungan kondisi riil masyarakat; 2) tema-tema yang umumnya diusung: patriotisme, pengadilan kaum tani melawan tuan tanah, penegasan sikap pada partai, dialektika melawan trengginasnya kekuatan kapitalisme internasional dan feodalisme, kesadaran persatuan rakyat, dan penghormatan atas perempuan. Sementara dalam hal puisi, ciri-ciri yang dapat ditemukan adalah: 1) respons cepat atas peristiwa penting sebagai ejawantah dari konsep: ―pentjerminan kongkrit jang menjeluruh dari kehidupan dan aspek subjektif dari realitet (kemampuan)‖; 2) puisi memikul tanggung jawab sosial dan tak boleh mengkhianati Rakyat, 3) tak boleh hanya berhenti pada klangenan dan tangisan cengeng, 4) puisi Lekra umumnya dideklamasikan (puisi pamflet). Karya-karya Sugiarti Siswadi, berdasarkan genre dan histori pemuatan karya, tampak betul perbedaannya. Cerpen-cerpen yang dalam media massa, Harian Rakyat dan Api Kartini, cenderung bertema buruh dan tani. Senafas dengan ideologi media yang memuatnya. Sementara dalam kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Sorga Dibumi, tema cerpen berkisar pada perjuangan melawan pemerintahan yang berkuasa dan penjajah serta upaya mengajak masyarakat pada kesadaran revolusioner progresif. Dan puisi-puisinya, merupakan wilayah ungkapan personal dan kewanitaanya. Sebagai pengarang, Sugiarti Siswadi telah menemukan gayanya sendiri. Hal ini disampaikan dalam review Ketua Lestra/Lekra Bakri Siregar atas antologi berjudul Api 26 yang dibukukan Jajasan Pembaruan. Bakri Siregar berpendapat bahwa, ―Sugiarti djuga dibawah prestasi jang pernah baik ditjapainja dalam
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
kumpulan ―Sorga Dibumi‖, disamping tjerpen2 lainnja. Tjerpen2 Sugiarti banjak, dan saja berpendapat, Sugiarti sudah sampai pada gaja sendiri, tapi gajanja ini tidak selamanya dapat dipertahankan.‖82
82
Harian Rakjat, 14 April 1961.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS DALAM KARYA-KARYA SUGIARTI SISWADI
Karya-karya Sugiarti Siswadi yang menjadi sumber penelitian ini terdapat pada empat sumber pokok, yaitu karya-karya yang dimuat dalam Harian Rakjat (berjumlah 12 karya), Api Kartini (berjumlah 4 karya), antologi cerpen Sorga Dibumi ( berjumlah 6 cerpen), dan antologi bersama Gelora Api 26 (satu puisi). Dari sebaran karya tersebut, tema yang diangkat cukup beragam. Beberapa di antara karya itu merepresentasikan dua tema sekaligus, misalnya tema perempuan dan anak. Keduanya terlibat dalam satu karya karena memiliki keterkaitan. Dua tema ini sekaligus menjadi tokoh dan mendominasi karya-karyanya. Tema-tema yang diangkat Sugiarti selanjutnya adalah partai diwakili oleh karya-karya berjudul Satu Mei Didesa, Orang Kedua, Belajar, dan Luka Lama Dileher. Buruh juga menjadi inspirasi dalam karya berjudul Budak Kecil, Sorga Dibumi, dan Jang pertama. Masalah petani dan tanah garapannya (landreform) juga muncul dalam karya berjudul Upacara Pemakaman, Dongeng-dongeng di Waktu Malam, dan Pengadilan Tani. Sesuai dengan masanya, revolusi turut memberi nafas pada karya berjudul Parak Siang, Orang-orang Sebatang Kara, dan Sukaesih. Tema selanjutnya yang menjadi garapan Sugiarti adalah agama, terdapat pada cerpen Sorga Dibumi, Dongeng-dongeng di Waktu Malam, Upacara Pemakaman, dan Jang Pertama.
62
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
Dari seluruh tema yang diangkat Sugiarti Siswadi dapat pula ditemukan dalam karya-karya pengarang Lekra lainnya. Yang menjadi pembedanya adalah bahwa Sugiarti kerap menggunakan tokoh perempuan dan anak dalam setiap karyanya. Ia sangat konsisten dengan pilihannya ini. Kekonsistenannya semakin terlihat saat tak ditemukan tema tentang kisah cinta dan keindahan alam yang kerap pula mewarnai karya-karya pengarang Lekra lainnya. Bahkan, ketika ia menulis puisi berjudul Kasih Bersemi, pembaca akan terkecoh karena bertutur tentang laki-perempuan yang mempercakapkan buruh. Ia tetap fokus dan patuh pada perjuangan kelas yang diusung Lembaga Kebudayaan Rakyat. Cerpen-cerpen Sugiarti Siswadi sebagian besar bernafas propaganda PKI yang mencerminkan pandangan partai terhadap kesusastraan, yaitu karya sastra sebagai alat perjuangan kaum tertindas. Cerpen-cerpen propaganda ini sarat dengan muatan ideologi. Pada bab ini, karya-karya Sugiarti akan dianalisis menggunakan pendekatan New Historicism. Teori mencari hubungan paralelitas karya-karya Sugiarti dengan teks-teks yang beredar pada masa itu. Teks yang dimaksud adalah pidato politik dan media massa, terutama Harian Rakyat dan Api Kartini. Dari paralelitas dengan pidato politik, akan terlihat bagaimana kecenderungan ideologi Sugiarti dan melalui media massa ia mengimplementasikan ideologi tersebut, sehingga diketahuilah bagaimana perjuangan kelas direpresentasikan dalam karyakaryanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
A. Perjuangan Buruh: Melawan Perbudakan Sepilihan
cerpen
Sugiarti
Siswadi
di
bawah
ini
adalah
yang
merepresentasikan buruh dari sudut pandang yang cukup berbeda. Jika cerpencerpen buruh dari penulis Lekra seringkali berbicara tentang tuntutan upah yang layak, Sugiarti memandangnya dari sisi keadilan dan kemanusiaan. Konflik-konflik yang dialami oleh kaum buruh umum dipicu oleh keinginan mereka memperoleh upah yang lebih tinggi untuk mencapai hidup sejahtera. Untuk memenangkan konflik ini, kaum buruh membentuk organisasi, misalnya SOBSI (Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), di bawah naungan PKI. Keinginan kaum buruh itu diabadikan dalam cerpen Delegasi karya K. Sunarjo,1 Kakitangan dan Pembela karya Siswa Patria,2 Setelah Dipecat karya S. End,3 Dekat Jam Empat karya Tjahjani,4, Batuk karya Tjak Wib.5 Dalam cerpen Delegasi, Pak Wikrama, seorang Mandor I sebuah perkebunan di Asahan, berjuang secara aktif melalui Sarbupri (salah satu dari tiga organisasi buruh yang berdiri di Asahan, yaitu Sarbupri, Perbupri, dan SBH). Pak Wikrama dan kaum buruh perkebunan memperoleh kemenangan melawan majikan perkebunan. Dalam cerpen Setelah Dipecat karya S. End diceritakan tentang Sachroni yang kehilangan pekerjaan. Meski demikian, ia merasa bahagia karena akan diikutkan dalam perundingan dengan mantan majikannya untuk membicarakan nasibnya dan 18 kawannya yang juga dipecat.
1
Lihat dalam buku Laporan dari Bawah, hal. 130 – 132. Idem. Hal. 394 – 398. 3 Idem. Hal. 360 – 362. 4 Idem. Hal. 498 – 501. 5 Idem. Hal. 504 – 506. 2
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
Cerpen Dekat Jam Empat karya Tjahjani menyuguhkan perselisihan dan perlawanan Djiman dkk. terhadap majikannya. Untuk menunjukkan solidaritas sesama kaum buruh, Djiman dkk. tidak bekerja tetapi Kusumo (majikan) tidak memberi izin libur kepada kaum buruh yang disebutnya sebagai ―monyetmonyet‖. Djiman dkk. tidak peduli ancaman pecat oleh Kusumo. Dalam cerpen Batuk karya Tjak Wib dikemukakan adanya solidaritas di antara sesama anggota organisasi buruh yang diterima oleh Pak Mul (buruh pabrik limun) yang sakit (batuk). Pak Mul dijenguk oleh seorang anggota serikat buruh dan mendapat sekadar bantuan (Rp 5.00) dari organisasi buruh tersebut. Manfaat organisasi buruh sangat besar bagi pencapaian tujuan perjuangan buruh. Melalui cerpencerpen yang bertema konflik kelas di kalangan kaum buruh diketahui bahwa kehidupan buruh sangat miskin dan untuk memperbaiki nasibnya mereka harus terlibat dalam konflik sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan nasib. Berbeda dengan cerpen-cerpen di atas, Sugiarti Siswadi memilih jalur lain dengan pengarang Lekra di atas. Ia merepresentasikan kehidupan kaum buruh bukan berangkat dari keluhan sehingga melahirkan pandangan-pandangan sinis dan penghujatan dari pengarang terhadap kaum kapitalis. Sugiarti melihat kaum buruh dari sisi kerja dan kemanusiaan. Dengan sudut pandang demikian, ia menampilkan sisi optimisme dalam kerja revolusi pengarang. Meski kisah-kisah yang dihadirkan tak berangkat dari jalanan atau pabrikpabrik, cerpen-cerpen Sugiarti menunjukkan sikap yang jelas, yaitu mengkritik dengan keras sistem perbudakan pada masa itu. Kritik tegas itu muncul dalam cerpen Budak Ketjil, Satu Mei Didesa, Sorga Dibumi, dan Jang pertama.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
66
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ―budak‖ memiliki makna anak (kanak-kanak) dan hamba atau jongos. Kata ini jelas lebih kasar daripada ―pembantu rumah tangga‖. Penggunaan kata ―hamba‖ biasanya dalam konteks keagamaan, yaitu sebagai bentuk penyerahan diri atau kepasrahan kepada Tuhan. Dalam tradisi masyarakat Arab jaman dulu, ―budak‖ menjadi semacam ―peliharaan‖, bisa diperlakukan semau tuannya, bahkan dijual sekalipun. Menjadi budak berarti hina, keji. Sementara dalam sistem kerja, mustinya digunakan kata buruh atau dalam rumah tangga biasa digunakan kata ―pembantu‖. Artinya, budak merupakan partner kerja di bawah kekuasaan tuan. Dengan digunakannya kata ―budak‖ dalam cerpen ini menunjukkan bahwa relasi yang terjalin tidak manusiawi mengingat jam kerja yang tidak menentu, bahkan tanpa upah (dalam Jang Pertama) dan 24 jam kerja (dalam Budak Ketjil). Terlebih lagi, dalam cerpen Budak Ketjil status budak diterapkan kepada si ―ketjil‖ atau anak di bawah umur. Moment munculnya cerpen ini sangat tepat, yaitu bersamaan dengan peringatan Hari Anak. Kisah dalam Budak Ketjil adalah gambaran tentang buruh yang lebih sederhana. Bukan tentang hiruk pikuk tuntutan upah dan pemogokan buruh pada sebuah pabrik di perkotaan, tapi jauh lebih sederhana daripada itu. Sugiarti menghadirkan Budak Kecil dalam kehidupan rumah tangga. Pada tanggal 1 Juni 1957, Harian Rakjat memberikan ruang yang luas untuk perayaan hari anak sedunia. Berbagai artikel dan puisi tentang anak dimuat dalam kolom khusus sehingga tak ada ruang untuk memuat cerpen. Baru seminggu kemudian, pada tanggal 8 Juni 1957, dimuatlah cerpen berjudul Budak Ketjil karya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
Sugiarti Siswadi. Di bawah judul cerpen ini, dituliskan kalimat pendek ―Persembahan Untuk Hari 1 Djuni‖. Dari kalimat pendek itu, dapat dilihat sebagai perhatian khusus pengarang terhadap anak melalui cerita pendek. Setahun sebelumnya, dengan mengangkat tema yang sama, Sugiarti memunculkan cerpen berjudul Sorga Dibumi.6 Cerpen ini lebih kompleks. Selain menampilkan hubungan tuan dengan budak, juga kekerasan dalam rumah tangga dan ajaran agama melalui sudut pandang anak. Seorang anak menyaksikan bagaimana seorang budak yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan karena harus bekerja keras, jika tidak bekerja akan dihukum sang majikan, yaitu orangtua si anak. Dan di suatu malam, anak juga menyaksikan ibunya dipukul oleh bapak karena menolak menjual perhiasaannya. Kedua cerpen yang merespon Hari Anak ini menyuguhkan pandangan bahwa antara tuan dan budak sama-sama memiliki kegelisahaan hidup di masa revolusi. Bedanya dengan pengarang Lekra lain, Sugiarti menampilkan budak (buruh) dalam kacamata anak. Kegelisahaan yang dirasakan Tuan (seorang perempuan) dalam Budak Ketjil adalah ia sadar bagaimana harus memperlakukan budaknya yang masih di bawah umur. Ia tak semena-mena dalam memberikan perintah kepada budaknya, tapi ia sendiri, dalam hatinya, mengalami pergolakan ketika melihat anak di bawah umur dipaksa bekerja sebagaimana orang dewasa. Cerpen ini berkisah tentang seorang anak kecil yang dipaksa kerja oleh orangtuanya karena tekanan ekonomi. Seorang perempuan yang dituju sebagai
6
Menurut keterangan Keith Foulcher, cerpen ini pertama kali dimuat di Zaman Baru, Juni 1956. Lalu dibukukan dalam bentuk antologi tunggal. Lihat dalam buku Social Commitment in Literature and the Art: The Indonesian Institute of People’s Culture 1950 – 1965. Monash University, 1986. Hal 85.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
juragan, mulanya tidak tega melihat seorang anak kecil dipaksa bekerja sebagai budak, pembantu rumah tangga. Ia menolak. Baginya, anak seusia itu seharus menghabiskan waktunya untuk bermain, bukan bekerja. Selain itu, perempuan itu membutuhkan orang yang punya tenaga lebih besar dan siap bekerja. Namun, atas paksaan sang ibu, perempuan itu menerima juga. Sebab katanya, kalau anak itu tidak diterimanya, ia akan bekerja pada juragan lainnya. Anak kecil direpresentasikan sebagai bujang, buruh dalam rumah tangga. Dari bangun tidur hingga bangun lagi, ia harus bergelut dengan setumpuk pekerjaan. Dari sedikit deskripsi di atas, cerpen ini memiliki tema konflik kelas antara bujang dan tuannya. Bujang kecil itu harus berjuang dengan caranya sendiri atas ketidaadilan yang diterimanya. Atas ketidakadilan tersebut, si bujang kecil melakukan perlawanan yang kecil pula. Perlawanan pertama dilakukan ketika majikan mula-mula menolak paksaan orangtuanya. Lihat kutipan berikut. ―… sebetulnya saya agak kecewa juga, sebab dahulu kabarnya si pelamar itu sudah besar. Rupanya berkainpun belum pandai.‖ Emaknya terpekur, tetapi anaknya mendongakkan kepalanya sedikit suatu pertanda akan kegembiraan hatinya. Perlawanan kedua dilakukan dengan menangis dan membuang nasi sisa makan ke dinding. Seperti sedang mengibarkan bendera permusuhan. Lihat kutipan berikut. Pada hari-hari pertama, kerap hampir hilang sabarku. Tidak lain yang nampak pada airmuka budak kecil itu hanyalah permusuhan. Kelihatan sekali hasratnya mau memberontak, tetapi tidak bisa. Berontaknya hanya dilahirkan kepada benda yang tidak bernyawa. Pernah sedang makan, nasinya disebar-sebarkan ke dinding dengan airmata berlinang. Sekejap bangkit amarahku, anak ini tidak membalas guna.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
Perlawanan ketiga dilakukannya dengan pakaiannya yang tidak selayaknya sebagai bujang. Ketika majikan kedatangan tamu-tamu taman lamanya, bujang itu melayani mereka dengan memakai gaun. Kawan-kawan yang lama tidak berkunjung ke rumahku, selalu berkata: ―Wah gadis zus ini sudah besar betul!‖ Mereka mengira dia anakku. Dia bergaun menyajikan minuman. Waktu itu saya tidak dapat menguji diriku sendiri, apakah suatu penghinaan atau suatu penghargaan, ketika mereka terkejut mendengar jawabku, ―Bukan, dia bujangku?‖ Meski begitu, cerpen Budak Ketjil ini kemudian membalikkan faktanya sendiri. Majikan yang tadinya terpaksa menerima karena paksaan orangtua budak kecil itu, melepaskannya. Melepas bukan karena ketidakbecusan sang budak dalam bekerja, melainkan karena ia cukup memahami bagaimana peran anak seusia budak kecil itu. Ketika dalam kemarahannya menghadapi budak kecil itu, si majikan selalu teringat bahwa ia masih kecil dan tak berdaya. Kutipan berikut ini menunjukkan keprihatinan si majikan dalam menghadapi budak kecilnya. Entahlah apa yang berkecamuk dalam hatinya. Bermusuh, benci, sedih, dan segan-segan. Matanya pudar dan tidak ada cahaya hidup. Dia memakai kain yang agak kendor dipakainya, dan baju kebaya longgar. Rambutnya yang sejumput itu disanggul sebesar kemiri di tengah kepalanya. Kalau dia, ya, andaikata bergaun dan rambutnya dipotong pendek-pendek, dia masih pantas bermain loncat tali di tanah lapang di depanku. Tetapi anak sekecil itu sudah bongkok dengan kewajiban-kewajiban mengurus adiknya, dan apa hari ini dia direnggut dari rumah kediamannya, diserahkan mentahmentah, mengabdi kepada orang yang akan memerintahnya dari pagi sampai dia mapan tidur. Aku lirik airmukanya, sayu hatiku. Saya tidak dapat menerima anak itu. Saya membutuhkan pembantu rumah tangga yang dapat bekerja keras. Meski Sugiarti melalui cerpen di atas mencoba ikut serta merayakan hari anak sedunia, ia dan penulis lainnya cenderung keluar dari isu besar pada masa itu. 1 Juni 1957, isu besar yang diangkat adalah upaya menyelamatkan anak dari
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
bahaya bom atom. Isu ini disampaikan oleh Gerwani dalam halaman depan Harian Rakyat berjudul ―Hidup 1 Djuni; Seruan DPP Gerwani‖.7 Dalam seruan itu, DPP Gerwani menjelaskan bahwa perayaan 1 Juni dalam ketegangan internasional dengan adanya persiapan perang dan percobaan peledakan nuklir di beberapa bagian dunia. Diharapkan, melalui perayaan hari anak sedunia, sebagai alat protes terhadap semua bentuk persiapan perang dan terutama terhadap percobaanpercobaan bom atom dan hidrogen yang meracuni atmosfer. Dari seruan itu, hanya satu artikel saja yang mengungkapkan bahaya dari bom atom terhadap anak. Artikel yang berjudul ―Hindarkan anak2 dari bentjana bom atom!‖ tak jelas ditulis oleh siapa. Namun di bawah atikel tersebut tertulis ―ibu satudjuni‖. Artikel itu menjelaskan tentang bahaya bom yang tak pilih-pilih korban, termasuk ibu yang sedang mengandung, anak, dan orang-orang yang masih suci lainnya. Dengan hanya satu tema tulisan yang memuat tentang bahaya nuklir terhadap anak (khususnya di Indonesia), tema ini tidak begitu dianggap sebagai tema besar. Bahaya nuklir memang menjadi pembicaraan internasional pada masa itu, akan tetapi, di wilayah Indonesia masih ada masalah yang lebih mendesak untuk segera diselesaikan, terutama hubungannya dengan revolusi Indonesia. Salah satu persoalan mendesak tersebut adalah ekploitasi terhadap anak. Anak dalam usia bermain dipaksa bekerja oleh orangtuanya karena desakan ekonomi. Meski begitu, Sugiarti juga memiliki perhatian khusus pada bahaya nuklir ini. Hal ini dapat dilihat memiliki dalam cerpen Sugiarti lainnya berjudul Putri
7
Harian Rakjat, 1 Djuni 1957.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
yang Beradu. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang dulu menjadi dokter ketika bom atom Amerika meledak di Nagasaki. Perempuan ini terkena dampak radiasi seberapa tahun kemudian. Ia mengalami kebutaan dan usianya tak lama lagi. Perempuan yang bernama Emily itu ingin mengangkat seorang anak perempuan yang jadi yatim piatu akibat bom atom. Suaminya menyetujui. Sebab ia sering kesepian ditinggalkan suami bekerja di luar negeri. Judul cerpen ini diambil dari dongeng anak-anak Jepang dengan judul yang sama. Dari dua cerpen di atas, agaknya Sugiarti menganggap bahwa tema anak dan bom atom merupakan tema besar. Sehingga ia merespon dengan cerpen yang berbeda. Cerpen Putri yang Beradu, meski juga mengangkat sisi anak, namun tema bom atom lebih mendominasi. Bom atom (senjata nuklir) merupakan jenis senjata paling berbahaya ketika Perang Dunia (PD) II. Senjata ini mampu melakukan pembunuhan masal dalam satu kali ―klik‖. Karena sifat kejamnya itu, senjata ini banyak menuai protes. Pada tahun 1957-59, terjadi respon penolakan besar-besaran terhadap senjata nuklir di halaman depan Harian Rakjat. Sarjana Amerika, Linus Pauling,8 menggambarkan bahwa dalam satu kali percobaan peledakan bom atom sama dengan mendukung lahirnya lima belas ribu bayi lahir dalam keadaan cacat. Selain itu, bom atom dapat menyebabkan catat genetika selama berabad-abad. ―Pertjobaan2 sendjata atom sampai sekarang sudah menjebabkan sedjuta peristiwa kanker dan 110.000 peristiwa leukemia,‖ kata sarjana itu.
8
Harian Rakjat, 3 Djuli 1959.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
Di Jakarta, pada 6 Agustus 1959,9 digelar pula aksi besar-besaran dalam menuntut pelarangan senjata nuklir. Aksi ini digelar sebagai upaya memperingati 14 tahun silam jatuhnya bom di Hirosima, dan tiga hari kemudian bom yang sama jenisnya jatuh di Nagasaki. Peristiwa ini mengakibatkan jatuh korban ratusan ribu jiwa. Komandan Kodam ―Merdeka‖ Overste Moesjid10 mengutuk penggunaan bom atom dalam perang, khususnya pada masa itu, PD II. Dalam ceramah umumnya di hadapan mahasiswa Universitas Sulawesi Utara Tengah, Manado, ia menegaskan bahwa bom nuklir, hidrogen dan senjata-senjata konvensional lainnya adalah identik dengan kematian, bahkan identik dengan kebiadaban. Dari peringatan besar tersebut, Sugiarti mengambil hal sederhana dengan membuat cerpen yang berkisah tentang efek buruk dari bom atom hingga mengakibatkan kebutaan dan kematian. Dalam pembacaan peneliti, tema ini tidak ditemukan dalam karya pengarang Lekra lainnya, terutama yang dimuat dalam Harian Rakjat. Selain senjata nuklir, PD II juga mengakibatkan kesengsaraan rakyat Indonesia, terutama saat pendudukan Jepang. Di Indonesia, Jepang membangun sarana prasarana perang dan memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja keras tanpa upah. Hal ini biasa disebut dengan romusha. Salah satunya adalah pembangunan landasan pesawat terbang. Hal ini digambarkan oleh Sugiarti Siswadi dalam cerpennya berjudul Jang Pertama.
9
Harian Rakjat, 6 Agustus 1959. Harian Rakjat, 28 Djuli 1959.
10
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
Cerpen Jang Pertama memang tak langsung menyinggung soal hiruk pikuk PD II, tetapi dari konten jelas memperlihatkan kerja romusha sebagai akibat PD II. Cerpen tentang romusha ini mengisahkan pembunuhan pertama para budak kepada tuannya. Tuan dalam cerpen ini diwakili oleh kelompok penjajah Jepang, dan budaknya adalah rakyat Indonesia. Dikisahkan bahwa nyaris setiap hari, ada saja penduduk desa yang meninggal dunia. Biasanya dimulai dengan kaki bengkak. Tak ada yang berduka cita sebab memang banyak yang mengalami nasib sama, tak tahu lagi kepada siapa meminta belas kasihan. Kematian Wongso membuka jalan cerita. Istri yang masih gemuk di saat yang lain kurus, meronta-ronta. Meski ia dianggap beruntung karena ditinggali sepetak sawah, itu tak akan mencukupi kehidupannya. Ia harus merawat delapan anaknya. Kesedihan itu belum lagi mau pergi. Di tahun-tahun suram itu, mereka harus mengahadapi kerja paksa, romusha. Selama sepekan penuh janda Wongso harus mengirim anak sulungnya, yang belum genap lima belas tahun, berbaris bersama penduduk lainnya ke sebuah lapangan, meratakan tanah, membangun pondamen, menggali dan lain sebagai untuk sebuah lapangan terbang. Mereka berangkat dari pukul 04.00 - 20.00, tanpa upah. Konflik baru muncul pada hari ke lima romusha. Karmin, anak sulung janda itu, pulang dengan dipanggul keranda, seluruh tubuhnya berlumur darah. Janda Wongso kembali meronta-ronta, mengutuki Jepang, mengutuki orang-orang yang tak mau membela anaknya. Siapa yang berani melawan Jepang? Perlawanan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
selalu terhenti diujung tenggorokan. Janda itu kalap. Namun, diam-diam para buruh itu menyusun rencana, balas dendam! Di hari terakhir romusha, para buruh sudah siap dengan segelintir rencana, tentu tidak matang. Selebihnya, pintar-pintar improvisasi. Saat gelap langit mulai memenuhi bakal lapangan terbang itu, seorang buruh memancing serdadu Jepang masuk ke dalam gua galian mereka. Tiga tikus sekaligus masuk dalam perangkap. Lalu digebuglah tikus yang menggerogoti kehidupan rakyat Indonesia itu. Dendam terbalas. Ketiga mampus. Pembunuhan terhadap serdadu Jepang dalam cerpen di atas adalah pembunuhan pertama yang dilakukan oleh buruh pekerja romusha. Terjadi pada tahun 1944, di mana Jepang sedang sangat giat-giatnya melaksanakan praktik penjajahan di Indonesia. Cerpen yang tergabung dalam antologi cerpen Surga Dibumi ini menjadi gambaran pemberontakan awal kaum buruh kepada bangsa kolonial, Jepang. Pada masa itu belum terbentuk organisasi atau serikat yang membela hak buruh. Atas satu dorongan, mereka bergerak tanpa komando. Dari tahun yang disebutkan, 1944, pengarang ingin memperjelas bahwa yang ditulisnya merupakan hasil dari turba sehingga peristiwa tersebut yang benarbenar terjadi tapi tidak terekspos oleh media. Peneliti juga tak menemukan paralelitas teks cerpen ini dengan teks lainnya. Namun demikian, bisa dilihat motivasi penulisan cerpen Jang Pertama tersebut. Pada tahun 1960, romusha yang pada tahun 1943, mulai kembali ke
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
Indonesia, terutama romusha dari Muangthai dan Malaya. Hal ini nampak jelas dalam laporan Harian Rakjat.11 Dalam laporan tersebut, segerombolan bekas romusha itu,12 tiga di antaranya berhasil diwawancarai. Yang pertama adalah Abd. Wahab (Bogor) 13. Ia mengatakan ada 600 orang yang dikirim ke Muangthai. Ia sendiri diciduk di tengah jalan dan dikirim ke kamp yang ada di Kramat untuk selanjutnya didistribusikan ke Muangthai. Ia mengutarakan bagaimana perlakuan kejam Jepang kepada 600 orang Indonesia. Dalam satu hari, mereka hanya mendapat satu mangkuk nasi saja, tetapi tenaganya diperas sepanjang hari. Baginya, nasib mereka lebih buruk dari binatang kerbau. Kerbau masih diberi makan dan istirahat yang cukup sebelum bekerja, tapi mereka, pakaian pun hanya tinggal celana dalam saja. Jika dingin datang di malam hari, keesokannya, paling tidak ada 15 orang yang berak darah atau lebih tragis lagi mati. Yang mati dikumpulkan dalam satu liang tanpa batu nisan. Pengakuan lain datang dari Rochmani (Demak).14 Peristiwanya sama, ia diciduk, bahkan saat mencari obat untuk ibunya yang sedang sakit. Ia diberangkatkan ke Muangthai dengan kapal pada tahun 1943. Satu kapal yang berangkat itu hanya sebagian kecilnya, karena sebelumnya telah banyak juga dikirim. Dalam pidato Kepala Romsuha, ia dan kawan-kawannya hanya akan dibawa ke Palembang, tapi ternyata bohong. Kemudi kapal berbelok ke Muangthai melalui Singapura. Ia tak percaya mendapat perlakuan buruk dari Jepang. Sebab 11
Lihat interview yang dilakukan oleh Harian Rakjat berjudul ―Lagi Fakta Kekedjaman Djepang‖. Dimuat berturut-turut 9, 10, 11 Agustus 1960. 12 14 kepala keluarga dan 4 lainnya bujang dari berbagai daerah di Jawa. 13 Harian Rakjat, 9 Agustus 1960. 14 Harian Rakjat, 10 Agustus 1960.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
mulanya, Jepang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia dari Belanda melalui radio yang ia dengar. Tapi ternyata hanya kebohongan, ―yang benar ialah sama2 mendjadjah kita malahan lebih kedjam.‖ Wawancara selanjutnya dengan Umar (Kebumen).15 Ketika gerombolan romusha sampai di tanah Muangthai, mereka digiring melalui hutan yang lebat. Di jalan, satu persatu mulai tercabut nyawanya. Setiap enam jam sekali mereka dibariskan dihitung satu persatu. Jika ada jumlah kurang karena lari, serdadu Nippon memukuli romusha sekenanya. Perlakuan Jepang kepada penduduk setempat juga tak kalah kejamnya. Mereka merampas seluruh harta kekayaan seperti yang terjadi di Indonesia. Dari ketiga korban romusha di atas, siasat perlawanan mereka untuk lepas dari tangan Jepang adalah lari. Itu pun perlu nasib baik. Jika tidak, mereka juga menemui ajal. Lari tidak lari, hasilnya sama saja. Hanya menunggu mati. Tetapi lari lebih memungkinkan untuk data melanjutkan hidup. Pelarian mereka akan sampai ke hutan, lalu sedadu Nippon akan mencari mereka bersama penduduk setempat. Ketika mereka tak menemukan apa-apa dan Nippon sudah kembali ke kamp, penduduk setempat akan kembali ke hutan mencari para pelarian untuk disembunyikan. Mereka dikasih makan hingga sehat kembali. Jika sudah sehat, orang Indonesia diperbolehkan keluar rumah untuk membantu pekerjaan warga setempat, bahkan, menikah. Seperti Rochmani yang telah menikah dengan wanita setempat. Satu keuntungan bagi orang Indonesia adalah wajah mereka tak jauh berbeda dengan warga Muangthai. Ini menjadi satu kesulitan bagi Nippon.
15
Harian Rakjat, 11 Agustus 1960.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
Gambaran romusha di atas, diduga menginspirasi Sugiarti Siswadi untuk menuliskan cerpen Jang Pertama sebagai upaya untuk mengingat kembali kekejaman Jepang atas kembalinya bekas romusha. Hanya bedanya, Sugiarti membidik praktik penjajahan melalui romusha di Jawa. Dugaan paling kuat adalah sikap berontak romusha pada Nippon tanpa senjata tapi dengan caranya masing-masing. Jika romusha di Muangthai lari sebagai senjata, hal itu tidak mungkin dilakukan di Indonesia karena Jepang mengerahkan tenaga romusha di Indonesia bergilir setiap kampung. Jika lari, maka cukup didatangi saja rumahnya dan dihabisi keluarganya. Maka jalan yang ditempuh oleh romusha di Indonesia adalah membunuh serdadu Jepang dan bungkam. Sikap bungkam romusha ini yang menjadikan berita terbunuhnya tiga serdadu Jepang tak diekspos oleh media. Dugaan lainnya adalah kesamaan kehidupan romusha. Harta penduduk penduduk disita habis dan setiap hari, ada saja orang yang mati, entah karena penyakit ataupun kelaparan. Pelarian di Muangthai sebelum ditemukan oleh penduduk setempat, mereka bertahan hidup dengan memakan apa saja yang ada di hutan, terutama dedaunan. Hal ini terjadi di Muangthai, juga di Indonesia dalam cerpen Jang pertama, meski bukan pelarian tetapi sudah kehabisan bahan makan karena dirampas oleh serdadu Jepang. Bahkan untuk sekadar pakaian saja, mereka hanya menggunakan sepotong karung goni, seperti yang dituturkan oleh Abd Wahab, ―Kalau sdr tanja soal pakaian? Djangan ditanya lagi, semuanja tidak ada jg lajak manusia—tjukup dengan tjawat jang dibikin dari karung atau bagor. Kalau sudah hawa dingin datang ditengah malam, menggigillah seluruh
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
tubuh dengan perut kosong, paginja tahu2 ada jg mati atau jang masih mudjur tjuma buang kotoran berupa darah, ya darah sekali lagi darah‖16 Sugiarti pun mengatakan, ―Mayat-mayat hidup dan kerangka yang menyeringai memenuhi jalanan, dengan berkain goni (karung) membawa tempurung, mengorek-ngorek parit kecil, membongkar tanah, siapa tahu ada rejeki bersembunyi.‖ Atau bisa dibayangkan kematian yang setiap hari terjadi dalam Jang Pertama, Kalau orang meninggalkan desa untuk seminggu dua minggu, maka ia akan menemui perubahan. Entah tetangganya kiri, atau yang kanan, kerabat jauh atau kenalan lama, tetapi terang, paling sedikit dua orang meninggal dalam waktu seminggu. ―Pak Kromo telah meninggal. Hari Kamis.‖ ―Mbok Dipo telah meninggal. Hari Jum‘at.‖ ―Sinem telah meninggal. Hari Minggu.‖ ―Yu Siti hampir meninggal. Kaki duanya bengkak.‖ Dalam cerpen Jang Pertama, Sugiarti menampilkan kekhasannya dengan menggunakan tokoh anak sebagai titik balik dari perlawanan romusha. Melalui sakit yang diderita anak, sang ibu yang sakit hati memberondong romusha dengan cercaaan karena tak ada yang membela anaknya saat dianiaya. Dari cercaan itulah, romusha bangkit dan melakukan perlawanan.
B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH Pokok dalam subbab ini adalah tanah, yang melahirkan pertentangan kelas. Sengketa tanah menjadi masalah utama dalam bahasan cerpen-cerpen yang terpilih dalam subbab ini. Kenapa persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah di daerah
16
Harian Rakjat, 9 Agustus 1960.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
pedesaan dianggap layak untuk diperhatikan? M.M. Billah dkk17 mengemukakan beberapa alasan yang dirangkum dari beberapa pendapat. Pertama, telah diketahui secara umum bahwa penduduk Jawa berkembang dengan cepat. Di segi lain areal tanah pertanian nyaris tidak bertambah, ataupun pertambahan itu jauh lebih sedikit daripada pertambahan penduduk. Hal ini menimbulkan banyak akibat, salah satu diantaranya adalah makin kecilnya pemilikan dan proses penyempitan pemilikan itu pun berkelanjutan. Terjadilah kemudian suatu cara yang dipergunakan oleh masyarakat pedesaan untuk bereaksi terhadap gejala, yang oleh Geertz disebut dengan shared poverty (Geertz, 1956). Kedua, pengaruh perekonomian uang yang mulai merembes ke daerah pedesaan disusuli oleh berbagai akibat dalam hubungan sosial. Di samping itu, lewat proses jual-beli dan sewa-menyewa tanah terjadilah pula di satu pihak proses pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah di tangan beberapa orang, sedang di pihak lain makin banyak orang yang tidak memiliki dan atau menguasai tanah lagi. Hal ini sudah terjadi sebelum perang. (Ranneft, 1923) Ketiga, masalah dan penguasaan tanah di daerah pedesaan ternyata menjadi salah satu sumber ketegangan sosial dan politik di daerah pedesaan, bahkan menurut beberapa penulis masalah ini menjadi akar dari pertentangan-pertentangan sosial-politik di tingkat nasional. Puncak ketegangan di tingkat nasional tersebut lebih terasa saat-saat sekitar diundangkannya UUPA oleh pemerintah. Suhu ketegangan itu terus meningkat dan akhirnya meledak menjadi peristiwa berdarah di dalam sejarah republik ini (Lyon, 1970)18
Sebab-sebab di atas menjadikan adanya pengisapan tuan tanah terhadap penggarap tanah dengan sistim yang sama sekali tidak adil. Sebab itulah berita tentang tani nyaris setiap hari muncul dalam lembaran koran Harian Rakjat, bahkan secara khusus diberi rubrik spesial untuk petani dengan nama Ruang Gerakan Tani. Sejak munculnya wacana landreform akhir tahun 1959 dan penetapan UUPA dan UUPBH pada 1960, kaum tani memiliki posisi yang amat 17
M.M. Billah bersama Loehoer Widjajanto dan Aries Kristyanto menulis artikel berjudul Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah). Lihat dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang disunting oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. Diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Obor, 1984. 18 Ibid. Hal 250 - 251.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
80
terhormat. Tak ayal jika kemudian karya-karya sastrawan Lekra turut mengkapanyekan tuntutan terhadap tanah yang merata, bahwa petani harus memiliki tanah sendiri. Melalui landreform, D.N. Aidit19 menjelaskan konsepnya mengenai peranan penting kaum tani dalam Revolusi Indonesia. Kaum tani adalah mayoritas dari seluruh penduduk Indonesia dan sebagai tenaga produktif yang paling menentukan dan paling penting dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan. Konsep Aidit ini tidak terlepas dari Kongres 1954 yang menyatakan bahwa ―Revolusi Indonesia terutama sekali adalah revolusi agrarian‖. Artinya, PKI telah menciptakan suatu perumusan yang membuka kemungkinan bahwa sampai saat tertentu partai bisa meningkatkan perjuangan dari reformasi petani dasar ke tingkat strategi yang lebih besar. Dalam masa satu dasawarsa perumusan ini menjadi kenyataan, PKI melancarkan ofensif besar-besaran di tingkat desa di bawah semboyan ―tanah untuk penggarap‖.20 Karena merasa frustasi atas lambannya pelaksanaan UUPA dan UUPBH, PKI dan organisasi-organisasi massanya, terutama Barisan Tani Indonesia (BTI) memobilisasi kaum tani untuk melakukan apa yang disebut sebagai ―Aksi Sepihak‖. Akan tetapi, PKI dan BTI mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan hanya sekadar merespon apa yang dilakukan tuan tanah dan perusahaan-
19
Pandangan D.N. Aidit tentang revolusi dikemukakan dalam buku Revolusi Indonesia, Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja (kumpulan kuliah D.N. Aidit yang disampaikan pada Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora, September-November 1964, di Jakarta). 20 Rex Mortimer, 1974, hal. 276. Dikutip dari Mematahkan Pewarisan Ingatan karya Budiawan 2004, hal 120.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
perusahaan perkebunan, yaitu ―memprovokasi‖ dan menghalangi pelaksanaan program redistribusi tanah.21 Menurut Sean Reardon,22 Aksi Sepihak biasanya dilaksanakan oleh BTI (Barisan Tani Indonesia). Aksi sepihak dilakukan dengan beramai-ramai mendatangi tanah atau sawah dan langsung menggarap tanah tersebut secara paksa, yaitu tanpa izin dan tanpa diketahui pemiliknya. Seringkali, tanah yang menjadi sasaran ini dimiliki oleh tuan tanah yang Muslim dan santri atau AD. Aksi Sepihak merupakan suatu cara untuk memberi tekanan kepada birokrasi yang lambat, karena ada banyak orang di birokrasi yang lebih suka status quo. Dalam analisa Reardon,23 Aksi Sepihak menjadi faktor yang paling penting di tingkat lokal dan menyebabkan konflik-konflik yang dianggap konflik kelas atau konflik golongan. Aksi Sepihak ini menjadi salah satu strategi PKI yang paling menakutkan dan membuat marah musuh-musuh PKI karena merugikan ―golongan atas‖. Konflik kelas ini tak hanya terjadi secara vertikal, antara tuan tanah dan buruh tani, melainkan juga horizontal antara buruh tani derngan buruh tani. Buruh tani yang besebrangan dengan aksi PKI dan BTI ini sudah terlalu nyaman bekerja pada tuannya sehingga merasa ketakutan jika pemilik berikutnya tak memberinya kesempatan bekerja di tanah yang sama. Tak hanya itu, konflik yang muncul atas sengketa tanah ini juga kerap dianggap sebagai sebagai konflik agama, yaitu konflik di antara santri dan abangan. Misalnya di Kediri, Jawa Timur, terjadi benturan antara Nadhatul Ulama dan PKI. Kedua kelompok ini 21
Ibid. Lihat dalam hasil penelitiannya berjudul Peristiwa 65/66 (Pembunuhan Massal PKI), Universitas Muhammadiyah Malang kerja sama dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies. Tahun 2002. Hal 4. 23 Ibid. 22
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
saling bermusuhan. Konflik ini menjadi runcing pada tahun enam puluhan melalui Aksi Sepihak atau landreform. Serangan balasan oleh tuan tanah Muslim pada tahun 1963-64 menjadi semakin keras dan dipenuhi dengan kebencian. Dalam persoalan ini, lembaga yang berafiliasi PKI tak lepas tangan. Lekra juga menerjunkan anggotanya untuk secara khusus menyaksikan dan menyerap aspirasi kaum tani ke dalam sebuah karya sastra. Dengan metode turba, sastrawan dan seniman Lekra mencermati berbagai persoalan tani di berbagai daerah. Persoalan yang mengemuka umumnya berkisar tentang persengketaan tanah yang merupakan imbas dari disahkannya UUPA dan UUPBH. Dalam sengkata tanah tersebut, terjadi tarik-menarik antara tuantanah feodal dan tani miskin. Dari turba tersebut, lahirlah cerpen-cerpen yang mengangkat tema di atas, seperti cerpen Boyolali karya Amarzan Ismail Hamid, cerpen Paman karya L.S. Retno, cerpen Lelaki itu Datang Lagi karya L.S. Retno, cerpen Ketika Padi Mulai Menguning karya T.B. Darwin Effendie, cerpen Tetap Bertahan karya Sesongko, cerpen Pak Guru karya Marapisingga. Selain tema besar ini, tema perempuan tani juga menarik untuk diperhatikan. Tema ini diwakili oleh cerpen Dua Kemenangan karya Dwijono dan cerpen Bibi Kerti karya Putu Oka. Sementara Sugiarti Siswadi memposisikan cerpennya dalam dua tema tersebut, yaitu pada cerpen Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Satu sisi ia sebagai sastrawan revolusioner, di sisi lain ia sebagai perempuan. Keduanya nampak dalam dua cerpen tersebut yang menyoroti sengketa tanah di daerah Klaten dan Ketaon, Boyolali.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
Di Klaten, pada Juli 1964, banyak terjadi aksi sepihak para petani merebut tanahnya kembali dari tangan tuan tanah. Gerakan ini dipicu oleh UUPA dan UUPBH. Seorang petani mengadu kepada pengadilan bahwa tanah miliknya telah dirampas secara beramai-ramai oleh para petani petani penggarap. Namun yang terjadi di pengadilan justru hal yang terbalik. Peristiwa tersebut digambarkan oleh Sugiarti Siswadi dalam cerpen Pengadilan Tani, dimuat di Harian Ra’jat pada 12 Juli 1965. Cerpen ini berkisah tentang pemilik tanah bernama Sanusi, melaporkan 130 petani yang bekerja padanya telah merampas kekayaannya. Namun sial bagi Sanusi, apa yang dituduhkannya para petani berbalik padanya. 130 petani itu justru membongkar kejahatannya, bagi hasil yang merugikan petani, memalsukan surat tanah, menjadi rentenir dan lain sebagainya. Pada akhir persidangan, hakim membebaskan para petani dan berbalik mendakwa Sanusi. Gerakan kesadaran para petani tersebut dipicu oleh Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI), yang merupakan organisasi di bawah PKI. Bermula dari kedatangan Mas Darmo ke rumah Mbok Karti. Rumah perempuan itu tak ada isinya, tak ada yang bisa dimakan, dan nyaris bunuh diri. Kepada lelaki ketua BTI, Mas Darmo, Mbok Karti memberikan penjelasan bahwa dirinya berhutang pada Sanusi dengan menggadaikan sawahnya. Sanusi memberikan syarat mertelu, dibagi tiga. 2 untuk sanusi, satu untuk penggarap, dan masih ditambah angsuran hutang tiap kali panen. Sudah bertahun-tahun hutang tak lunas, kira-kira 20 tahun. Mas Darmo yang lebih berpendidikan mencoba mengkalkulasikan jumlah pinjaman dan jumlah pembayaran tiap kali panen. Hasilnya, hutang Mbok Karti
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
sudah lunas 12 tahun yang lalu dan justru Sanusi berbalik hutang padanya. Lalu Mas menantang, beranikah Mbok Karti merebut sawahnya kembali? Bersama dengan petani lainnya, Mbok Karti berani mendatangi pengadilan atas tuduhan nyolong padi Sanusi. Seorang pemuda lainnya bernama Sanusi, untuk membedakan dua Sanusi, dipakai Sanusi R.I. untuk penggarap dan Sanusi
D.I. untuk tuan tunah.
Pembedaan ini tentu memiliki arti tersendiri. Sanusi R.I. dimaksudkan sebagai sanusi yang nasionalis, sementara Sanusi D.I. sebagai tuan tanah yang merujuk pada pemborantakan Darul Islam. Sebagai pemuda terpelajar, Sanusi R.I. menjelaskan dengan gagah, bahwa tanah yang dimiliki Sanusi sudah melebihi kapasitas, yaitu dua puluh lima belas hektar dan sudah seharusnya dilaporkan kepada panitia landerform, tetapi Sanusi tidak melakukannya.
Dengan alasan
yang sama pula, petani lainnya,
Kromosentono menuduh Sanusi tidak menjalankan perintah Bung Karno, dan harus dilawan dengan hukuman yang ditentukan oleh Pak Presiden. Melihat keterangan dalam cerpen tersebut, ―…Sukro sudah mati, Pak, sepuluh tahun yang lalu, tahun 1954,‖ diduga peristiwa dalam cerpen ini terjadi pada tahun 1964, dan dituliskan tahun 1965. Kejadian dalam cerpen ini merupakan tindakan sepihak para petani dalam merebut haknya. Peristiwa aksi sepihak ini marak terjadi pada tahun 1964. Di halaman depan, Harian Ra’jat melangsir berita pada 1 Juli 1964 dengan judul Aksi Sepihak Kaum Tani Karena Lambatnja Pelaksanaan Landreform, Instruksi Pd. Presiden Tepat, Tempuh Musjawarah. Di kantor berita Antara, menteri Astrawinata menjelaskan di depan para wartawan,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
bahwa aksi sepihak yang dilakukan oleh kaum tani bisa dimengerti. Ia menjelaskan bahwa aksi tersebut terjadi di beberapa daerah karena lambatnya pelaksanaan landreform.24 Ia juga menyetujui instruksi Presiden untuk mengadakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah ini. Penyebab lain terjadinya aksi sepihak ini karena kaum tani tidak sabar dengan pelaksanaan landreform. Macetnya pelaksanaan landreform disebabkan beberapa panitia landreform sendiri memiliki tanah yang harus dikenakan aturanaturan dan undang-undang yang berlaku, seperti UUPA dan UUPBH. Dalam berita tersebut, dilampirkan juga instruksi Presiden berjudul ―Setiap Petani Penggarap Harus Memiliki Tanah‖.25 Presiden Sukarno menjelaskan dalam Amanat Pembangunan yang disampaikan pada 28 Agustus 1959, bahwa beberapa hal tentang industrialisasi Indonesia yang tidak mungkin bergantung pada pasar global. Untuk itu, masyarakat Indonesia perlu hidup mandiri. Salah satu cara yang ditempuh kemudian adalah setiap petani penggarap harus memiliki tanah sendiri. Cerpen Sugiarti Siswadi ini, selain menyampaikan persoalan rakyat, juga mendukung instruksi presiden di atas. Tanah merupakan masalah pokok bagi petani, oleh karena itu negara maupun partai dan organisasi yang memperjuangkan kelas bawah harus memikirkannya dengan serius. Jalan yang ditepuh Presiden Sukarno untuk melepaskan petani dari cengkraman tuan tanah adalah landreform demi kehidupan rakyat yang makmur dan adil. Seluruhnya telah diatur dalam UUPA dan UUPBH. 24
Lihat berita di Harian Ra’jat, Jumat 18 September 1964 - Di NTB Panitia Landreform Kemasukan Tuantanah; Kamis, 3 September 1964, Tuntutan Rakyat Riau: Nasakomkan Panitia Landreform Riau! Selain, dua berita ini masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang sama dari berbagai daerah. 25 Lihat lampiran, Presiden Sukarno: Tiap Petani Penggarap Harus Memiliki Tanah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
Presiden Soekarno menekankan pada rakyat Indonesia akan arti penting landreform ini. Ia mengemukakan bahwa landreform tidak identik dengan tuntutan PKI.26 Landreform banyak dilakukan di negara-negara yang nonkomunis, seperti Pakistan, Mesir, dan Iran. Presiden Soekarno juga mengemukakan pandangan PBB bahwa keburukan-keburukan tata pertanahan di dunia telah menjadikan kaum tani kecil dan buruh tani mengalami keterpurukan ekonomi. DN. Aidit27 mengemukakan bahwa landreform yang dilaksanakan secara radikal akan turut membantu petani dalam untuk bebas secara radikal pula dari cengkraman feodal. Aidit menguraikan pendapatnya seperti berikut ini. … berarti membebaskan kaum tani dari rasa takut karena kekuasaan sewenang-wenang dari penguasa-penguasa feodal. Untuk ini kaum tani harus mempunjai miliktanah garapannja sendiri. Dengan demikian mereka bisa bebas dari pologoro, tidak lagi harus bekerdja rodi untuk tuantanah, tidak perlu lagi takut karena belum membajar sewatanah, tidak perlu lagi takut karena belum dapat mengangsur hutangnya jang sudah puluhan tahun tidak pernah lunas. Hanja djika kaum tani telah mendjadi tuan atas tanahnja sendiri maka akan lahir kegembiraan untuk meningkatkan produksi dan ini berarti mereka dengan sukarela melaksanakan sebagian dari azas ―mentjiptakan ekonomi jang beridi diatas kaki sendiri‖. Tindakan yang dikenal sebagai aksi sepihak itu, banyak diperbincangkan dalam Harian Rakjat selama kurun Juli 1964. Ada kemiripan peristiwa dalam cerpen tersebut dengan aksi sepihak di terjadi di Klaten. Meski nama-nama yang disebutkan dalam cerpen tersebut tidak sama dengan yang nama-nama yang disebutkan dalam berita, hal ini kiranya wajar karena cerpen sebagai karya sastra mengandung imaji rekaan dari pengarangnya yang berangkat dan pengamatan di lapangan. Artinya, wilayah estetika juga tidak ditinggalkan di samping mengejar
26 27
Di Bawah Bendera Revolusi, hal 420. Revolusi Indonesia, Hal 56
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
fungsi praktis karya sastra. Meski demikian, alur cerita dalam cerpen tersebut mirip dengan berita yang dilansir oleh Harian Rakjat. Demikian pula dengan tahun peristiwa itu terjadi, 1964. Secara runut, Harian Rakjat menyiarkannya dari tanggal 2 juli hingga 14 juli 1964.28 Pada 12 Juli 1965 cerpen ini dimuat, berarti setahun setelah peristiwa tersebut. Agaknya pemuatan cerpen ini dimaksudkan untuk memperingati peristiwa tersebut. Dugaan kemiripan ini dikuatkan lagi dengan kedekatan kota asal pengarang, Solo, dengan tempat terjadinya peristiwa aksi sepihak, Klaten. Selain itu, pada bulan sebelumnya, tepat pada Kamis, 30 April 1964, Harian Rakjat29 memuat ulasan panjang mengenai sengketa tanah di Klaten ini. Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa aksi sepihak tersebut sebelumnya telah melalui prosedur yang jelas, yaitu musyawarah. Pihak petani bersama BTI sebelumnya telah melapor kepada kelurahan, kecamatan dan selanjutnya kepada Panitia Landreform, tetapi mengalami kebuntuhan sehingga jalur satu-satunya yang dapat ditempuh adalah aksi sepihak. Dalam berita tersebut, Klaten menjadi pelopor atas terjadinya aksi sepihak di berbagai daerah di Indonesia. Terutama sekali di Kecamatan Wonosari. Tak
28
Selasa, 7 Djuli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (I): Aksi Bebas Gadai di Wedi Manang Mutlak. Berita kedua tidak berhasil penulis dapatkan. Dari keterangan berita, persidangan dilaksanakan mulai 2 juli 1964. Data yang didapatkan mulai dari berita persidangan ketiga. Kamis, 9 Juli 1964 - Berita Dari Ruang Pengadilan Klaten (III): Semua Jalan Telah Ditempuh, Tapi Gagal; Jumat, 10 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (IV): Tuantanah Mengaku Menolak Berunding - Bagaimana Tuantanah Melakukan Tindakan Sepihak; Sabtu, 11 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (V): Lurah yang Aktif Lansanakan UUPA/UUPBH Diskros; Senin, 13 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (VI): Tanah-Tanah Kembali Kepada Pemilik/Penggarap; Selasa, 14 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (VII): Jaksa Hartono SH; Aksi Kaum Tani Ditujukan Agar UUPBH Dilaksanakan; Rabu, 15 Djuli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten (VIII); Panitia Landreform Djogonalan Belum Pernah Bersidang. 29 Lihat lampiran, Harian Rakjat, Kamis, 30 April 1964. Kaum Tani Merebut Kembali Tanahnya Secara Sefihak, laporan wartawan Antara dari daerah Klaten
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
disangka sebelumnya bahwa dari gerombolan tani di kota tersebut di pelopori oleh petani wanita, yaitu Karti, nama yang sama digunakan Sugiarti Siswadi dalam cerpen Pengadilan Tani ini. Karti, ibu beranak lima, ditinggal suaminya merantau ke Banjarmasin dan hanya meninggalkan tanah 1 patok (1 Ha). Sementara kondisi tanah tersebut dalam penguasaan tuan tanah yang berinisial D. Mulanya tanah tersebut hanya disewakan selama 5 tahun. Tetapi tuan tanah tak mau mengembalikan ketika masanya telah habis. Alih-alih ingin mengambil tanahnya kembali, Karti justru dilaporkan ke polisi oleh D, dengan tuduhan hendak merampas tanah bersama petani lainnya. Lalu terjadilah Pengadilan Tani. Selain Harian Rakjat, koran Ibu Kota lainnya yang gencar menyuarakan aksi sepihak ini adalah Duta Masjarakat dan Bintang Timur.30 Dengan demikian, kasus ini sebenarnya telah menjadi kasus nasional. Meski aksi sepihak ini dilaporkan sebagai aksi kriminal, namun DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia menganggapnya sebagai aksi yang demokratis dan tidak melanggar hukum.31 Mereka menganggap bahwa aksi sepihak yang dilakukan kaum tani itu ―secara konsekwen melaksanakan landreform—bagian mutlak revolusi Indonesia—dan melaksanakan undang-undang negara UUPA dan UUPBH. Dari perlaksanaan UUPA dan UUPBH itu, di Boyolali terjadi peristiwa yang lebih mengerikan. Pada November 1964, pelaksanaan undang-udang tersebut telah memakan korban sebanyak 3 jiwa. Tiga petani ditembak mati karena berjuang mempertahankan haknya. Mereka adalah Djumari, Partodikromo, dan
30
Lihat Harian Rakjat, Sabtu 27 Juni 1964 - Pers Ibukota Terus Membicarakan Aksi Sepihak Kaum Tani. 31 Harian Rakjat, Kamis, 25 Juni 1964 - DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia: Aksi Sepihak Demokratis dan Tidak Melanggar Hukum.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
Sonowirejo. Kematian mereka telah mengundang pejuang revolusioner pada masa itu untuk turut bersuara. Tidak terkecuali Sugiarti Siswadi, ia menyuarakan bentuk keprihatinannya dalam Upacara Pemakaman. Cerpen Upacara Pemakaman berkisah tentang kesetiakawanan para petani ketika ada petani yang dihukum mati. Para petani dari berbagai daerah mengusung keranda berisi mayat, mendatangi alun-alun di tengah kota dengan membawa bendera berwarna merah. Petani yang hanya tinggal bangkainya di dalam keranda itu dijatuhi hukum mati tanpa alasan yang jelas. Dalam deskripsi cerpen, hanya dijelas bahwa petani itu mencoba mempertahankan tanahnya sendiri sehingga mendapatkan hukuman tersebut. Hukuman dijatuhkan tanpa melihat latar belakang bahwa petani itu, dulu juga ikut andil berjuang melawan Belanda dan D.I. serta menyelamatkan geliryawan dan aktif dalam kegiatan revolusi. Dari segi peristiwa, cerpen Upacara Pemakaman ini ditemukan adanya kesamaan dengan cerpen Boyolali yang ditulis oleh Amarzan Ismail Hamid. Dengan judul yang sama Amarzan juga menuliskannya dalam bentuk puisi, reportase dan cerita bersambung. Dalam bentuk puisi juga dilakukan oleh Putu Oka dengan judul Mereka Matahari.32 Cerpen Boyolali mengangkat tema sengketa tanah, mendeskripsikan tentang perlawanan kaum tani di Ketaon (Boyolali) terhadap tuan tanah. Tiga petani mati dalam perlawanan tersebut dan petani yang lain melakukan protes keras atas nasib yang diderita kawannya.
32
Lihat Harian Rakjat, Minggu, 13 Desember 1964; Kamis, 7 Djanuari 1965; Minggu, 6 Juni 1965
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
Kesimpulan sederhana adalah kedua pengarang ini melakukan turun ke bawah (Turba) secara bersamaan dan menuliskan dengan sudut pandang berbeda. Keduanya bertitik tolak dari pemahaman dan pandangan terhadap realitas, misalnya dengan menulis tanggal peristiwa gugurnya tiga orang petani (18 November 1964). Di samping itu, pengarang juga mendeskripsikan data kepemilikan tanah dan menganalisanya sesuai dengan UUPBH. Dari ketiga pengarang di atas (Sugiarti Siswadi, Amarzan Ismail Hamid dan Putu Oka), dapat dirasakan nada yang sama dari karya mereka yang mengakar pada satu persoalan, penembakan tiga petani di Ketaon. Kesamaan tersebut dapat ditemukan pada penggambaran tiga petani yang mati sebagai pahlawan. Amarzan menggunakan diksi ―teladan‖ untuk menggambarkan sikap kepahlawanan mereka. ―Bojolali!/kembali teladan indah/dinukilkan dalam sejarah/barisan tani/dan pahit bagai empedu/angin menjampaikan kabar berita kekota dan desa Nusantara‖. Bahwa memang orang disebut sebagai pahlawan selain untuk dikenang jasanya, juga untuk diteladani kaum berikutnya. Kabar tentang mereka akan menyebar dengan cepat menjadi pengobar semangat bagi yang lain. Putu Oka menggunakan diksi ―matahari‖ untuk mengungkapkan kekagumannya pada tiga petani tertembak itu. “o, mereka matahari revolusi/o, mereka kaum tani barisan masadepan”. Sementara Sugiarti tak menggunakan simbol karena bentuknya yang prosa. Bentuk ini lebih memudahkan pengarang untuk mendeskripsikan latar belakang kenapa ia menyebut tiga petani tertembak mati itu sebagai pahlawan. Sugiarti menjelaskan bahwa mereka dulu adalah juga penjuang revolusi, baik ketika kekuasaan kolonial Belanda maupun ketika
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
pemberontakan D.I. Kemudian ketika ketiga petani itu dijatuhi hukuman mati tanpa melihat jasa mereka terhadap revolusi merupakan tindakan yang gegabah. Didadanya tidak disematkan bintang, tetapi dimata kita merekalah gugur sebagai pahlawan. Kita semuanya masih ingat, dahulu pada awal revolusi, mereka telah mengasah golok dan meruncingkan granggang, mereka bertempur, dan mengibarkan sang Merah Putih diatap pabrik disana itu. Mereka merebut pabrik itu; apakah mereka akan ikut menikmati hasil pabrik, itu tidak mereka persoalkan. Ketika Belanda sekali lagi mencoba memasuki daerah ini, dengan ganas memuntahkan peluru dijalan besar disana itu, mereka membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan menerima, menyelamatkan dan memberi makan prajurit-prajurit kita, gerilya-gerilya kita. Ketika D.I. mengganas disini, bersama dengan prajurit-prajurit yang adalah anak-anaknya sendiri, sekali lagi mereka mengasah golok dan mengusir D.I. Halaman hidupnya bersih, bersih. Halaman hidup pahlawan! Dengan melihat kerja mereka saat revolusi, Sugiarti menganugerahi mereka
dengan
kata
―pahlawan‖
yang
mereka
sendiri
tak
pernah
mengharapakannya. ―Saudara-saudara dari tempat-tempat yang jauh memerlukan menghadiri upacara pemakaman pahlawan-pahlawan kita, pahlawan orang-orang tani. Pahlawan-pahlawan Rakyat. Pahlawan-pahlawan kemerdekaan. Pahlawanpahlawan Revolusi.‖
Pahlawan-pahlawan itu lantas dikuburkan dengan layak di sebuah desa. Inilah sebuah upacara atas kematian petani yang jauh lebih riuah dari kematian seorang jenderal. Petani-petani itu layak mendapatkannya karena mereka adalah juga pahlawan. Perbedaan yang kentara dari ketiga pengarang di atas adalah penuturan Sugiarti yang memberikan titik balik dari para tentara yang mulanya menjaga dan mengawal barisan tani tersebut. Para tentara yang mulanya sangat patuh terhadap pimpinannya, telah berbalik memihak kepada para petani. ―Disela-sela barisan nampak seragan-seragam hijau. Prajurit muda yang menolak menangkap kaum
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
tani ikut mengantar orang-orang yang telah menghidupi mereka, melindungi mereka waktu perang gerilya dan telah kembali, telah direbutnya setelah kemerdekaan tunai dibayar dengan darahnya…‖ Selain itu, Sugiarti juga menampilkan tokoh perempuan dan anak. Meski keduanya tak diberi porsi yang dominan, tetapi cukup menggambarkan bagaimana posisi perempuan dan anak pada masa peristiwa tersebut terjadi. Mereka juga turun ke lapangan, mengahdapi rasa khawatir dan takut terhadap pengawalpengawal bersenjata. Namun, dengan lagaknya seperti seorang pahlawan, anak kecil pun paham bagaimana menyikapi bedil yang bisa melesatkan pelurunya kapan saja. ―Mbok,‖ kecil tinggi suara seorang anak laki-laki: ―Itulah orang-orang yang nanti menembaki kita? Aku tak takut, mbok, betul-betul tidak takut. Kalau ada apa-apa, mbok pegang Minem saja.‖ Isu tentang pembunuhan tiga petani ini telah berhasil menyedot perhatian publik. Berbagai media massa, baik lokal maupun nasional meliput berbagai peristiwa yang berkaitan dengan pembunuhan tiga petani ini. Bahkan, secara khusus,
Lekra
menerjunkan
pengarang-pengarangnya
untuk
turba
dan
menyikapinya melalui karya sastra. Harian Rakjat memberitakan peristiwa ini termasuk paling belakang. Sebelumnya, koran Bintang Timur memberitakannya dengan gencar. Namun pemberitaan tersebut ditentang atau tidak dibenarkan oleh koran milik BPS (Badan Penjebar Sukarnoisme). Ketika kebenaran di lapangan berpihak pada Bintang Timur, Harian Rakjat memasukkan peristiwa matinya tiga perani tersebut dalam Editorial, yang berarti bahwa peristiwa ini dianggap cukup penting.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
Ketika ―Bintang Timur‖ memberitakan bahwa ada 3 orang petani mati tertembak di Kataon—sebuah laporan jurnalistik yang mungkin harus dihargai sebagai laporan jurnalistik terbaik dalam melaksanakan Manipol buat tahun ini—koran-koran klub reaksioner ―BPS‖ mengamuk-amuk secara tak terkendali.33 Meskipun demikian, editorial ini terkesan memojokkan pihak BPS yang dianggap kalah dan bertolak dari pendirian seperti yang digariskan Tavip. Dalam berbagai kasus, BPS memang terlihat berseberangan dengan koran kiri tersebut. ―Dalam sengketa antara kaum tani dan tuan tanah, koran-koran BPS berpihak pada tuan tanah. Dalam perjuangan antara pemuda Indonesia melawan USIS, korankoran BPS menyalahkan pemuda dan dengan demikian membela USIS.‖34 Hal ini bukan tidak beralasan. Apa yang dilakukan oleh Harian Rakjat terhadap koran-koran kanan tersebut merupakan serangan balik atas tuduhan yang mereka lontarkan, bahwa petani-petani yang ditembak mati itu merupakan petani pemberontak. Menurut laporan Amarzan, dengan membuat isu demikian, terbektuklah opini masyarakat bahwa kaum tani itu memang layak mati. Namun dengan diturunkannya sastrawan dan seniman untuk memberikan kesaksian atas peristiwa tersebut, fakta kemudian terbalik.35 Dengan terbuktinya pembunuhan atas tiga petani Ketaon itu, tanggal 17 Desember 1964, BTI mendelegasikan Wakil Ketua Umum DPP BTI Hartojo, Wakil Sekretaris Umum DPP BTI Abdullah, Wakil Ketua DPD BTI Jateng Alimin, petani Ketaon Semulan dan petani Kartowiredjo yang langsung menyaksikan terjadinya penembakan. Kunjungan mereka ke Departemen
33
Lihat Harian Rakjat, Kamis, 10 Desember 1964. Ibid. 35 Lihat cerita bersambung Amarzan, Bojolali. Harian Rakjat, Minggu, 6 Juni 1965. 34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
Kepolisian diterima langsung oleh menteri Pangak Brigjen. Pol. Sutjipto Danukusumo yang didampingi oleh Brigjen. Pol. Sukahar.36 Hartojo selalu ketua delegasi menyatakan kepada Menteri Pangak, bahwa penembakan terhadap kaum tani dalam ―Peristiwa Ketaon‖ dimaksudkan oleh kaum reaksi untuk mengadudomba AK dengan kaum tani dan merusak keadaan ―tertib sivil‖.37
Selain itu, Hartojo juga mengungkapkan agar segala persoalan dapat diselesaikan secara musyawarah dan konsultasi seperti yang sedang dilakukannya. Selanjutnya, ia meminta agar para petani yang ditahan supaya lekas dikeluarkan dari penjara. Setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh Hartojo, Menteri Pangak menyampaikan bahwa para penembak akan ditindak dengan menjatuhkan mereka ke meja hijau dan kepada para petani akan secepatnya diproses agar bisa lekas dipulangkan. Dengan posisi yang kuat ini, ketika ulang tahun ke-19 BTI di Sragen, BTI tampil kembali dihadapan publik yang jumlah sangat besar, yaitu 50.000 orang. Mereka datang dari berbagai tempat, ada yang berjalan kaki hingga 50 kilometer. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari Ngawi yang jumlahnya tak bisa dianggap kecil.38 Beragam peristiwa di atas, banyak menjadi perhatian masyarakat umum, terutama sastrawan dan seniman Lekra. Namun ada peristiwa yang luput dari pandangan Lekra meski juga turut menggelisahkan masyarakat. Yaitu persoalan hama tikus yang mengganggu hasil produksi petani kisaran tahun 1964.
36
Lihat Harian Rakjat, DJum'at, 18 Desember 1964. ibid 38 Lihat Harian Rakjat, Senin, 21 Desember 1964. 37
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
Tahun 1964 adalah tahun paling santer dengan isu pengganyangan oleh kaum revolusioner. Tak hanya imperialis Amerika dan Malaysia saja, melainkan juga tikus kena imbasnya. Peristiwa hama tikus menyerang sawah nyaris di seluruh wilayah di Indonesia, terjadi mulai tahun 1962 – 1964. BTI pada tahun 1962 sudah menggalakkan ―Gerakan Menggayang Tikus‖. Gerakan berhasil di berbagai kota. Namun, pada tahun 1964, terjadi lagi peristiwa yang sama. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa kota yang tingkat kepercayaannya pada takhayul sangat tinggi. Gerakan-gerakan kaum tani yang diorganisasi oleh BTI pada tahun 1962, dengan menggalang kerjasama yang luas terutama di kalangan kaum tani sendiri, meperoleh hasil-hasil yang berarti, sehingga di banyak daerah hama tikus tidak lagi merupakan gangguan besar dan panen bahan pangan di daerah-daerah tersebut lebih baik dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi di samping itu, di beberapa daerah, terutama di daerahdaerah yang dalam tahun 1962 kurang aktif mengganyang tikus, akrena lemahnya organisasi dan masih tebalnya takhayul di kalangan tani, hama tikus masih tetap merupakan gangguan besar dan banyak merugikan kaum tani.39
Hama tikus ini menjadi isu besar dalam negeri. Oleh karenanya, BTI langsung sigap dengan menggalakkan kembali ―Gerakan Menggayang Tikus‖. Beberapa daerah yang bisa disebut adalah Jawa, Bali, Sumatra Selatan dan Lampung. Gerakan ini tak bisa dianggap remeh. Tak tanggung-tanggung, gerakan ini juga menyeret orang-orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar. Konfernas I BTI dengan bangga menyambut, menyatakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya terhadap Presiden Sukarno yang pada Amanat Pembukaan Konfernas I BTI di Istana Negara telah berkenan menjadi pelindung Gerakan Mengganyang tikus dan mendukung penuh pengangkatan Menko/Ketua CC PKI D.N. Aidit sebagai Komandan Komando Pusat Gerakan Mengganyang Tikus. Dengan suara bulat 39
Harian Rakjat, Kamis, 17 September 1964.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
konfernas menyetujui dan mengangkat Ketua Umum DPP BTI Asmu sebagai Kepala Staf dari Komando tersebut. Dengan pengaruh ketiga orang tersebut, gerakan ini bergerak dengan cepat hingga ke desa-desa terpencil.40 Konfernas BTI tersebut berlangsung di Jakarta pada tanggal 8 - 12 September 1964. Beberapa hal yang menjadi resolusi dalam konfernas tersebut adalah: 1. Menginstruksikan kepada Badan-badan Pimpinan BTI di semua tingkat untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya membentuk ―Komando Gerakan Mengganyang Tikus‖ dengan susunan-pimpinan sesuai dengan pimpinan Komando Pusat Gerakan Mengganyang Tikus. Calon-calon Komando Daerah Tingkat I supaya segera diajukan kepada Komando Pusat Gerakan Mengganyang Tikus d/a DPP-BTI, Jl. Mardani-Rawasari, Jakarta, untuk secepat-cepatnya disahkan dan diangkat oleh Komando Pusat, dan segera diberi wewenang untuk mensahkan dan mengangkat Komando-komando Gerakan Mengganyang Tikus Daerah Tingkat II di daerahnya. Demikian Seterusnya. 2. Mengajak kaum tani supaya mengorganisasi diri dalam "Gerakan Mengganyang Tikus". Di desa-desa supaya sedera diorganisasi kelompok-kelompok "Gerakan Mengganyang Tikus" yang terdiri dari 10 - 15 anggota laki-laki atau wanita saja, ataupun campuran lelaki dan wanita. Gerakan mengganyang tikus secara masaal, serentak dan bergelombang ini supaya dilakukan setiap bulan selama 3 hari berturutturut pada tanggal 17, 18 dan 19 setiap bulan. Untuk daerah-daerah Jawa, Bali, Sumatra Selatan dan Lampung dimulai bulan Oktober 1964 yang akan datang, sedang untuk daerah-daerah lainnya dimulai bulan November 1964.41 Peristiwa yang nyaris sama juga terjadi di perkotaan, Jakarta. Di Ibu Kota tersebut ada Gerakan 1001, di mana hama tikus tidak hanya menyerbu 40
Tepat sebulan kemudian, BTI mengeluarkan pengumuman tentang ―Petundjuk Kerdja Komando Gerakan Mangganjang Tikus‖. Pengumuman tersebut merupakan penjelasan setelah disahkannya Komando Daerah. Selain itu diterangkan pula penjelasan-penjelasan dari Komando Pusat D.N. Aidit tentang ―Gerakan Mengganyang Tikus‖. Penjelasan tersebut adalah petunjuk kerja yang belum dijelaskan pada Konfernas I BTI, misalya. "pengganyangan tikus dilakukan siang atau malam saja". Selain itu, dipaparkan pula Organisasi Komando Gerakan Mengganyang Tikus (Komando Germet) dari tingkatan pusat hingga paling bawah. Gerakan ini dilakukan secara serius, dengan adanya laporan hasil Gerakan Mengganyang Tikus dan wajib disampaikan pada tanggal 20 setiap bulannya. Lihat Harian Rakjat, 17 Oktober 1964. 41 ibid
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
persawahan, melainkan juga tanaman-tanaman di pot dan kaleng dari berbagai jenis tanaman. Hama tikus tersebut, menurut Hartojo SW ketua DPP BTI Jakarta Raya, telah merugikan sekitat 286.000 orang. Sejauh pembacaan yang dilakukan, peneliti tidak menemukan tema penggayangan tikus dalam karya-karya sastrawan Lekra di lembar kebudayaan Harian Rakjat. Satu-satunya sastrawan Lekra yang menulis tentang tema ini adalah Sugiarti Siswadi dengan judul cerpen Dongeng-dongeng di Waktu Malam. Cerpen ini mempertentangkan mitos yang berlaku di pantai selatan dengan agama. Dalam suasana malam, serombongan bapak-bapak berkumpul. Lalu saling cerita. Dimulai dari Pak Karto, ia menceritakan tentang Kiai Darmo yang sehabis menjalankan sholat Isya‘, gelisah sepanjang malam. Kiai itu tafakkur saja di dalam suraunya. Lalu muncullah suara yang lebut disertai bau wangi dan kemenyan. Suara itu datang dari jauh. Kiai mengejarnya hingga ke luar dusun. Ternyata itu suara seorang putri. Seorang putri yang bertaring kemudian diketahui adalah Nyai Roro Kidul itu menjelaskan maksudnya kepada Kiai, bahwa tikus-tikus yang menyerbu sawah dan tanaman padi mereka adalah binatang tak berdosa. Lalu kenapa binatang itu dibunuh? ―Binatang sebagai makhluk yang diciptakan telah diberi hak dan wewenang, kewajiban dan hukuman, telah ditentukan bagaimana cara hidupnya, cara makannya, bagaimana cara ia mengembangkan keturunannya dan lain-lain.‖ Maka tikus yang memang sudah digariskan seperti justru malah dibunuh? Putri itu lantas memberikan perintah kepada Kiai untuk mengharamkan penduduk dusun membunuh tikus. Kiai itu tunduk, melaksanakan perintah sang Putri.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
Cerita tersebut kemudian dibalik oleh tuturan dari Darmo. Ketika ia sedang jaga padi yang sedang bunting, ia tertidur dan dibangunkan oleh seorang perempuan. Putri itu menyuruh Darmo mengikutinya, tapi ditolak. Putri itu kemudian berbicara dan memerintah Darmo dan seluruh warga untuk tidak lagi membunuh tikus yang memang hanya menjalankan tugasnya. Tapi dasar Darmo keras
kepala,
ia
menolak
lagi.
Justru
sikapnya
makin
meninggi.
Ia
mempersetankan omongan putri itu. Bahwa ia juga diberi kewajiban dan wewenang. Kewajiban memberi nafkah keluarganya dan wewenang untuk membunuh tikus itu yang mengambil jatah keluarganya. ―Siapa cinta tikus, boleh membunuh anaknya, siapa mencintai anaknya harus membunuh tikus.‖ Ada dua hal yang dapat disimpulkan dalam cerpen di atas. Pertama, agama tidak memihak pada rakyat miskin. Di tengah serangan hama dan susahnya mencari penghidupan bagi keluarga, agama yang tunduk pada mitos itu justru melarang rakyat untuk membasmi hama tikus. Kedua, pengarang menampilkan ―putri yang bertaring‖. Mitos tentang Nyai Roro Kidul yang dipatuhi oleh masyarakat di pantai selatan biasanya dilukiskan dengan ayu dan selalu memakai pakaian keraton. Pelukisan ―putri yang bertaring‖ seolah ingin mematahkan mitos, bahwa Nyai Roro Kidul adalah makhluk yang mengerikan dan tak perlu digubris. Cerpen ini mengajak kepada rakyat untuk berpikir sebagai massa rakyat pekerja, mengesampingkan nilai-nilai takhayul dan menghormati rasio. Cerpen yang dimuat di Harian Rakjat pada 15 Maret 1964 ini cukup berbeda dengan karya-karya Sugiarti lainnya. Umumnya, ia menampilkan tokoh anak dan perempuan yang memiliki kesadaran kerakyatan. Pada cerpen ini, tokoh-
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
tokoh yang hadir adalah bapak-bapak dan perempuan yang digambarkan sebagai Nyai Roro Kidul bukanlah tokoh manusia.
C. Perjuangan Massa Partai: Kisah-kisah Propaganda Atas kesadaran bahwa kesusasteraan merupakan sebuah alat perjuangan kelas, PKI menjadikannya bagian yang penting. Sastra dianggap mampu memobilisasi massa karena sebagai jenis khusus produksi di mana wacana ideologis—digambarkan sebagai sistem yang merupakan representasi mental pengalaman hidup—menjadi wacana sastra secara khusus. Hal ini dikatakan oleh kritikus Marxisme asal Inggris, Terry Eagleton. Ia berusaha mengekspos ideologis teks motivasi dan untuk menerapkan kritik sastra ke arah politik yang diinginkan. Tidak hanya melihat teks sebagai produk dari kesadaran individu, kritikus Marxis menganggap sebuah karya sebagai produk dari sebuah ideologi khusus untuk periode sejarah tertentu. Seperti pada gambaran dasar dari tindakan sosial dan lembaga-lembaga dan pada representasi perjuangan kelas.42 Sebagai alat perjuangan, sastra musti dekat dengan objeknya (rakyat). Sebab itulah bahasa yang digunakan relatif verbal dan mudah ditangkap. Selain itu, metode penulisan dengan sistem riset turun ke bawah dikenal ampuh karena langsung bersentuhan dengan objek dan dikembalikan lagi kepada objeknya. Dengan demikian, pengarang dapat menggiring kesadaran objeknya kepada titik yang diinginkan.
42
Lihat Terry Eagleton dalam Marxisme dan Kritik Sastra. Diterbitkan oleh Penerbit Sumbu Yogyakarta. 2002: 10. Diterjemahkan oleh Roza Muliati dkk.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
100
Cerpen-cerpen yang masuk dalam kategori partai merupakan cerpen yang menjadi propaganda agar rakyat memiliki kesadaran revolusioner dan bergabung bersama PKI. Tujuan paling pokok dari cerpen-cerpen ini adalah untuk memberikan pengertian tentang perjuangan kepada para ahli waris partai, kader partai. Untuk itu, tugas sastrawan dan seniman adalah membuat karya yang dapat dengan mudah dipahami oleh kader partai, mengingat bahwa sastrawan dan seniman
adalah
―juru
bicara
massa
melewati
bahasa
artistik
hendak
menyampaikan suatu konsepsi, suatu ekspresi, pemikiran dalam pembayangan artistik dari massa kepada massa.‖43 Dengan demikian, titik tekan dari pemikiran Aidit di atas adalah bahwa sastrawan dan seniman harus bergaul akrab dengan massa partai, kader. Jika kader tidak paham mengenai gerakan revolusioner, hal itu bukan karena kesalahan kader itu sendiri, melainkan sastrawan dan seniman perlu memikirkan ulang karya mereka agar lebih ―berbunyi‖ di kalangan massa. Sebagai pencipta, sastrawan dan seniman revolusioner tidak hanya menyampaikan dengan gamblang apa yang terjadi dalam masyarakat, melainkan seperti seolah sebuah riset dengan gaya penyampaian arstistik (sastra dan seni). Harus mengumpulkan data, menganalisanya sehingga dapat memunculkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat membantu persoalan rakyat. Apa yang dideskripsikan di atas sudah menjadi kegiatan wajib setiap sastrawan dan seniman Lekra. Tidak terkecuali dengan Sugiarti Siswadi. Untuk memenuhi kewajibannya itu, ia menulis cerpen-cerpen berjudul Belajar, Satu Mei
43
Aidit, 1964, 52
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
Didesa, Orang Kedua, dan Luka Lama Dileher. Tokoh-tokoh dalam keempat cerpen memiliki hirarki antartokoh. Selalu digambarkan ada tokoh yang tidak tahu dan ada tokoh kader partai yang serba tahu sehingga memberikan pembelajaran kepada yang tidak tahu. Dalam cerpen Belajar, tokoh Mas Marto memberi pengertian kepada Mangun yang bodoh. Cerpen Satu Mei Didesa terdapat tokoh Ayah Marto banyak memberikan pengalamannya sebagai buruh perkebunan kepada generasi muda partai ketika sedang latihan persiapan peringatan 1 Mei keesokan harinya. Cerpen Orang Kedua, yang menjadi tokoh sentral adalah Hasan. Tokoh ini kurang percaya diri, namun atas dorongan dari orang pertama, Asnawi, ia berani tampil memimpin massa partai. Lalu pada cerpen Luka Lama Dileher, tokoh yang lebih muda mampu menyadarkan tokoh tua bernama Djojo yang sudah lama sakitsakitan. Atas saran tokoh muda itu, Djojo akhirnya kembali turun ke jalan atas nama partai dengan memobilisasi buruh perkebunan. Melalui cerpen-cerpen ini, Sugiarti jelas menampilkan ideologi dan kebesaran Partai Komunis Indonesia. Pada cerpen Belajar misalnya, ia menekankan bahwa orang-orang yang berada di garis kader partai harus senantiasa belajar. Tidak seperti Mangun karena kebodohannya menjadi banyak merepotkan Mas Marto. Sebaliknya, kader yang berpengetahuan memberi pencerahan pada yang tidak tahu. Pada titik ini, Sugiarti dengan sederhana menyuguhkan kisah yang sederhana pula. Penyebaran ideologi partai tidak dilukiskannya pada sebuah lapangan yang luas dengan ribuan orang, lalu datang seorang tokoh memberi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
ceramah, seperti dalam Hikayat Kadirun karya Semaoen. Sugiarti mengambil sisi yang lembut dalam interaksi antarkader partai. Sederhana kisah itu seperti ketika seorang anak bertanya pada bapaknya tentang sputnik. Karjo nama anak itu dan Mangun adalah bapaknya. Pertanyaan itu muncul ketika mereka sedang makan bersama. Mangun kaget, gelagapan tak bisa menjawab. Untung sang istri datang menyelamatkan dengan memerintah anaknya untuk segera habiskan makanannya. Tapi mangun tak puas sampai di situ. Sembari makan, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Ia memang pernah mendengarkan kata itu, tapi tak pernah memperhatikan dengan benar. Ya, ia ingat ketika ada suatu obrolan di rumah Mas Marto. Maka ia pun berniat menemui Mas Marto untuk mencari jawabannya. Mas Marto menjelaskan bahwa sebagai kader, tidak mendengarkan ceramah sekali saja, itu merupakan kerugian besar. ―Orang buta huruf yang ingin mengerti tetapi tidak mau belajar, bisa mengganggu orang lain, Pak.‖ Kata Mas Marto. Lalu Mas Marto memberinya sebuah koran untuk dibaca dan ditinggal pergi. Mangun tak pergi, ia hanya membolak-balik koran itu saja. Ia tahu caranya melihat koran dengan tidak terbalik, lihat gambarnya. Ketika Mas Marto kembali, ia belum juga pulang. Terpaksa Mas Marto menjelaskan lebih rinci. Lalu pahamlah ia. Sejak itu, Mangun belajar lebih banyak lagi. Cerpen yang dimuat Harian Rakjat, 31 Oktober 1959 ini menggambarkan relasi antarsesama kader partai, di mana keduanya saling memberikan informasi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
103
yang dibutuhkan. Selain itu, menekankan arti penting mengetahui kabar-kabar dari berbagai perkembangan dan kemajuan negara komunis lainnya agar dapat dijadikan sebagai pembelajaran. Mengenai hubungan antarkader partai dalam cerpen ini memiliki hubungan pararelitas dengan yang dimaksudkan oleh D.N. Aidit dengan ―bergaul akrab‖. Maksudnya, keduanya harus memiliki tingkat saling apresiasi yang tinggi. Oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi seniman dan sastrawan revolusioiner selain harus meningkatkan pengabdian atas dasar lebih setia kepada massa dan tetap setia kepada sesama. Sebaliknya kader-kader revolusioner yang bukan seniman harus juga berusaha keras untuk meningkatkan daya apresiasinya, sehingga lebih mudah menangkap bahasa artistik. Dengan demikian ada usaha saling pendekatan dan saling mengerti, sehingga tercapai saling bantu yang lebih efektif.44 Tokoh Mangun yang buta huruf dalam cerpen ini juga tak luput dari pandangan Aidit. Bagaimanapun massa merupakan tulang punggung sebuah partai. Kualitas massa menentukan kualitas partai. Aidit tak ingin memiliki yang bodoh, buta huruf dan buta ilmu, sehingga hal ini betul-betul menjadi perhatiannya. Plan 4 tahun partai akan mengubah berjuta-juta rakyat yang buta huruf menjadi pandai membaca dan menulis, dari buta ilmu jadi memiliki pengetahuan, dari suasana desa yang sepi menjadi bergolak dengan memiliki sanggar-sanggar untuk kegiatan sanggar dan seni.45
Mengenai isu yang dibawa dalam cerpen di atas, yaitu sputnik, pada tahun 1959, Uni soviet memaksimalkan perannya sebagai negara yang memiliki pemahaman sains tertinggi. Sputnik, pesawat angkasa dijadikan sebagai ukurannya. Penerbangan pesawat angkasa ini menjadi kebanggan tak hanya negara 44 45
Aidit, 1960, hal 52. Aidit, 1964, hal 66.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
Uni Soviet, melainkan negara-negara yang memiliki basis komunis lainnya. PKI demikian pula, dalam korannya, Harian Rakjat¸ PKI mengabarkan perkembangan penerbangan angkasa secara bertahap. Berita yang dilacak mulai pada tanggal 6 Januari 1959, Roket Matahari Suvjet Terus Meluntjur Sesuai Rentjana, dalam berita itu disebutkan pula jadwal penerbangan. Tanggal 2 Januari roket diluncurkan, ―Djam 03.10 - melalui Sumatera Selatan pada jarak 110.000 KM, Djam 09.00 - 284.000 KM dari bumi. Tanggal 4, Djam 03.00 - 336.600 KM dari bumi, Djam 05.59 Telah melampaui bulan: 7.500 KM dari bulan dan 370.000 KM dari bumi, Djam 12.00 - 422.000 KM dari bumi dan 60.000 KM dari bulan, Djam 19.00 - 474.000 KM dari bumi, Djam 22.00 - 510.000 KM dari bumi dan 180 KM dari pusat bukan.‖ Dan pada tanggal 7 Januari 1959, tersiar kabar di harian tersebut bahwa roket tersebut telah mengelilingi matahari. Setelah kesuksesan penerbangan ini, Soviet terus mengembangkan ekspansinya ke luar angkasa. Tak hanya bulan dan matahari, melainkan planetplanet lainnya. 5 Oktober 1959, Harian Rakjat mengabarkan bahwa, Penerbangan Antarplanit Diambang Pintu: Sovjet Luntjurkan Stasiun. Hal ini kemudian menimbulkan prediksi-prediksi spekulatif, seperti yang diungkapkan oleh ilmuwan Soviet, Prof. Sjaronov dalam artikelnya di Majalah Sovjet Kultura. Ia mengatakan bahwa ―sudah pasti dikemudian hari manusia akan menempati planit2 jang lain, jika kalau tidak seluruh planit, paling sedikit sebagian besar dari planit tsbt.‖46
46
Harian Rakjat, 14 Djanuari 1959.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
Ia menambahkan bahwa jika tim penyelidikan planet berhasil mendarat di bulan, akan banyak roket-roket yang lebih canggih akan mengikuti. Hal ini bukan merupakan kemustakhilan jika kelak manusia akan menghuni planet-planet lainnya. Bagi Prof. Sjaronov hal ini bukanlah angan-angan belaka. Sebagai contoh, ia menggambarkan bahwa pada abad pertengahan orang-orang bicara tentang kota-kota modern dan pusat-pusat industri. Pada zaman tersebut merupakan hal yang tidak mungkin dicapai, namun bisa dilihat hasilnya saat ini. Contoh lain ia menggambarkan tentang kesunyian dan kesenyepan yang ada di Antartika, tapi kini daerah itu menjadi penuh dengan bangunan-bangunan modern. Beberapa hari setelah penerbangan itu, Soviet mengumumkan dna mencari dukungan dari berbagai negara dengan cara menggelar pameran. Tanggal 29 Januari 1959, akan digelar ―Pameran Sputnik dan Roket di Djakarta‖. Pameran tersebut diadakan di Gedung Pertemuan Umum dan akan berlangsung selama 10 hari. Dalam pameran tersebut tak hanya ada roket dan sputnik saja, tetapi juga hasil perkembangan ekonomi dan kebudayaan Moskow yang merupakan hasil kerja pemerintah Moskow selama 40 tahun, sejak berdirinya kekuasaan soviet pada 1917. Bentuk-bentuk yang dipamerkan berupa potret, model dan maket.47 Dengan berhasilnya penerbangan angkasa, menurut Harian Rakjat, negara imperialis seperti Amerika Serikat mengaku tunduk. Ilmuan AS merasa takjub dengan yang dilakukan oleh Soviet selama tahun 1959. Para politisi dan ilmuan AS mengaku bahwa untuk bisa melakukan apa yang dimulai oleh Soviet, mereka membutuhkan waktu paling tidak dua tahun lagi untuk bisa melakukan hal yang
47
Harian Rakjat, 26 Djanuari 1959.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
106
sama. Dengan demikian, ―Para sardjana dan politisi AS kini betul2 menginsjafi, bahwa AS kalah‖.48 Melalui cerpen Belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh Mangun menjadi objek dari penyadaran pengetahuan oleh Mas Marto. Bahwa menjadi orang kecil tidak menutup kemungkinan untuk tahu banyak hal. Peristiwa semacam ini juga dapat dilihat dalam cerpen Satu Mei Didesa. Lain cerpen lain pula tokohnya. Kali ini yang menjadi subjek serba tahu adalah Ayah Marto. Sebagai orang yang berpengalaman, ia menularkan pengalamannya kepada generasinya, pada suatu malam. Ayah Marto bersama beberapa kader sedang latihan menyanyi di sebuah pondopo untuk persiapan acara 1 Mei keesokan harinya. Mereka belajar bernyanyi lagu tentang buruh. Tak peduli buta huruf dan cacat nada, mereka belajar nyanyi. Keseluruhan yang hadir adalah buruh, dari berbagai pabrik atau kebun. Awal hingga akhir, cerpen ini hanya berkisah tentang suasana yang terjadi ketika latihan. Penekanannya adalah pada sikap mereka yang tak lagi membedabedakan apa kerja mereka. Yang jelas mereka adalah senasib. Penekanan ini disampaikan melalui tokoh Ayah Marto. Sebagai seorang yang tua dan banyak memiliki pengalaman buruh, ia bercerita kepada yang hadir ketika waktu istirahat. Ia terharu dengan sikap anak muda yang bersatu seperti malam itu. Dulu, ketika ia masih jadi buruh, tak ada yang dapat memperjuangkan kaumnya. Kebanyakan masih berpikir tentang nasibnya sendiri. Satu sama lain tak dapat menolong. Apa
48
Harian Rakjat, 6 Djanuari 1959.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
yang kini dan nanti dinikmati ―adalah berkat jasa Sarekat Buruh saudara, yang dijiwai oleh 1 Mei‖. Cerpen ini nyaris tidak memiliki alur, hanya merupakan reportose pengarang dalam upaya menyambut Hari Buruh Internasional. Meski cerpen ini berbicara soal buruh, tapi tidak ada pertentangan kelas. Oleh sebab itu, cerpen ini tergolong sebagai propaganda untuk kader partai. 1 Mei merupakan Hari Raya bagi kaum buruh karena dianggap sebagai ―hari kemenangan dan solidarited kaum buruh‖.49 Diperingati secara besar-besaran dan di berbagai tempat, bahkan dirayakan secara internasional. Sebagai partai yang pengabdikan diri kepada kaum buruh, PKI tak luput untuk ikut merayakan Hari Raya tersebut. Dari tahun ke tahun terus diperingati bahkan menjadi headline pada koran Harian Rakjat. Harian Rakjat dalam memperingati 1 Mei terdapat tulisan besar ―1 Mei 1964‖ disertai dengan gambar dunia (globe) dan kepalan dua tangan palu, salah satunya memegang palu. Sementara judul headline tertulis besar, Perkuat Persatuan Klas Buruh dan Persatuan Nasional untuk Memenangkan Offensif Manipolis Sepenuhnya. Ada dua isu besar yang yang disampaikan pada perayaan hari buruh itu, yang pertama adalah ―ganjang kesulitan ekonomi‖ dan kedua ―ganjang Malaysia‖.50 Mei tahun 1964, menjadi perayaan yang paling meriah di antara tahuntahun sebelumnya sebab dipersiapkan dengan matang. Selain itu, digunakan juga
49 50
Harian Rakjat, Rabu, 8 April 1964. Harian Rakjat, Djum'at 30 April 1964
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
108
sebagai moment untuk menyambut Konferensi Buruh Asia-Afrika yang diadakan pada tahun yang sama.51 Setahun kemudian, pada 30 April 1965, sehari sebelum perayaan Hari Buruh, gambar serupa muncul kembali di halaman paling depan koran Harian Rakjat. Bedanya, kali ini tak hanya kepalan tangan melainkan seorang pribumi dengan tangan kanan memegang palu dan tangan kirinya mencekik seorang yang kerdil yang disimbolkan sebagai kaum imperialis. Tak hanya itu, satu halaman utama diisi penuh dengan laporan-laporan tentang buruh. Judul headline yang tertulis besar adalah Klas Buruh Indonesia Harus Memahami sedalam-dalamnya Tentang Berdikari dalam Ekonomi! Isinya untuk mengajak kaum buruh untuk memahami kemandirian dalam ekonomi dan pengelolaan produksi. Pada edisi 30 April 1965, Harian Rakjat, membuat lembaran ekstra dalam rangka memperingati hari buruh. Lembaran itu lebih banyak mengungkap tentang sejarah hari buruh dunia. Dikatakan bahwa, ―Pada tahun 1976, negeri-negeri kapitalis utama di dunia telah meningalkan tingkatannya yang lama, tingkat persaingan bebas, dan memasuki tingkatnya yang baru, tingkat monopoli atau imperialisme. Munculnya imperialisme menandakan suatu periode sejarah berakhirnya tingkat kapitalisme yang mengandung unsur-unsur progresif dan dimulainya tingkat kapitalisme yang menjurus ke bentuk-bentuk reaksi yang paling jahat. Periode itu pun dicirii juga oleh menajamnya perjuangan kelas dan berkembangnya pergerakan buruh di semua negeri kapitalis utama.‖52
Tuan tanah bernama Otto von Bismarck, pada tahun 1878, menjalan politik licik dengan mengadudomba kelas buruh. Ia mendukung salah satu gerakan buruh untuk menghancurkan gerkan buruh revolusioner. Politik Bismarck ini ditiru oleh 51 52
Harian Rakjat, 8 April 1964. Harian Rakjat, Djum'at, 30 April 1965.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
109
taun tanah lainnya dan terjadilah perjuangan kelas yang sengit. Ketika kapitalisme Inggris menemui masa keemasannya pada kisaran tahun 1850-1875, kaum buruh juga berbanding lurus, kekuatan buruh semakin kuat dan terbentuklah TUC Inggris (Gabungan Serikat Buruh Inggris) tahun 1968. Delapan tahun kemudian, anggota serikat itu berlipat empat kali. Namun jumlah itu menurun ketika terjadi krisis ekonomi dunia pada tahun 1873. Melihat kenyataan tersebut, sayap kiri gerakan tersebut yang pelopori oleh Tom Mann, Ben Tillet dan John Burns melakukan pemogokan kaum buruh bersejarah. Gerakan ini juga melibatkan Eleanor Aveling, putri Karl Marx sebagai sekretaris. Pada periode yang sama, terjadi juga di Amerika Serikat, bahkan lebih kejam. Hal ini memicu perang saudara. Pemogokan buruh dengan mengadakan pembakaran besar-besaran pada tahun 1877 menjadi pemogokan yang penting dalam sejarah Amerika. Gerakan ini terus menjalar dari New York, California, Canada sampai Teluk Mexico. Pers tak lagi menyebutnya sebagai pemogokan buruh, melainkan revolusi. Pemogokan lainnya yang tak kalah terkenal adalah pemogokan buruh tambang batu bara di Pensylvania. Pemogokan pertama kali itu berlangsung sangat lama dari Desember 1874 sampai Juni 1875. Meski akhirnya tumbang oleh kekuatan militer pemerintah, namun gerakan ini merupakan landasan penting bagi terbentuknya United Mine Worker (Persatuan Buruh Tambang). Puncak kesengitan perjuangan kelas ini adalah pemogokan umum menuntut delapan jam kerja sehari pada 1 Mei 1886. Pemogokan bersejarah ini dicetuskan oleh AFL (Federasi Buruh Amerika). Gerakan ini tak mulus, banyak
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
110
korban jiwa berjatuhan dan pimpinan gerakan berakhir di tiang gantungan pada 11 November 1887. Mereka adalah Perons, Spies, Fischer, dan Engel. Sementara pimpinan lainnya, Neebe, Schwab, dan Fileden dihukum penjara untuk waktu yang lama. Selain itu, AFL harus berhadapan dengan musuh dari kelasnya yang kuat adalah Knights of Labour, yang menganggap bahwa kaum kapitalis bukanlah musuh. Meski begitu, gerakan 1 Mei yang diikuti oleh 350.000 buruh di Chicago itu berhasil. 185.000 buruh bangunan mendapatkan tuntutannya. Setelahnya, lahir gerakan dan sarekat buruh lainnya. Pada Konggres Internasionale II tanggal 14 Juli 1889 di Paris, menerima usulan delegasi Perancis dan Amerika untuk menjadikan 1 Mei sebagai hari internasional bagi kaum buruh di seluruh dunia. Di Indonesia, 1 Mei untuk pertama kalinya dirayakan di Surabaya tahun 1918 oleh anggota Angkatan Laut Hindia Belanda yang berorganisasi di bawah ISDV (organisasi pertama di Indonesia yang berdasarkan Marxisme). Selanjutnya, berdasarkan keputusan Presiden No. 24/1953, 1 Mei tidak hanya menjadi hari besar kaum buruh, tetapi diakui sebagai hari besar umum, hari besar Nasional.53 PKI sebagai pengabdi kaum buruh, secara konsisten dan nyaris tiap hari dalam Harian Rakjat menyuarakan kesejahteraan buruh, tapi pada Hari Raya Buruh tersebut, dijadikan sebagai moment untuk lebih menggalakkan tuntutan mereka. Tak hanya gegap gempita perayaan 1 Mei oleh PKI, tapi juga diadakan aksi dan dilancarkannya berbagai tuntutan untuk kesejahteraan buruh dan upaya nasionalisasi perusahaan asing. Seperti pada pascaperayaan 1 Mei 1961, tepatnya
53
Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
111
3 Mei, buruh bersama-sama menuntut pengambilalihan modal Belanda di perusahaan campuran.54 Melalui kedua cerpen di atas, bisa dilihat bahwa konflik yang terjadi dalam cerpen sangat datar. Hal ini tidak terlepas dari upaya propaganda yang lebih berisi tentang seruan atau pemberian pengertian tentang misi dari partai. Secara konsisten, Sugiarti juga menampilkan hal serupa dalam kedua cerpennya yang berjudul Luka Lama di Leher dan Orang Kedua. Dalam cerpen Luka Lama di Leher, seorang lelaki, Djojo namanya, menderita penyakit di lehernya. Sudah ia bawa berobat ke mana-mana tapi tak juga sembuh. Penyakitnya itu sangat menyiksa. Jika datang rasa sakitnya, kerjanya hanya marah-marah pada bininya. Sang istri selalu menyarankannya untuk istirahat, sementara baginya, saran itu seperti racun. Di tengah keributan rumah tangga itu, datanglah seorang pemuda. Djojo sebagai orang tua merasa senang didatangi anak muda, itu artinya masih ada yang peduli padanya. Ya, seluruh temannya sudah berusaha membantu untuk kembuhkannya, tapi tetap nihil. Pemuda itu datang bukan membawa obat, tetapi hanya mengajak Djojo berpikir dengan cara yang lain. Obat yang tepat bagi Djojo sebenarnya adalah bekerja. Ia tak boleh punya waktu terlalu luang untuk berpikir. Bertindak adalah obat paling tepat. Begitu ungkap pemuda itu. Enam bulan kemudian, pemuda itu mendapat surat dari istri Djojo. Katanya, suaminya sudah sembuh dan tidak kumat-kumat lagi. Di pegunungan, ia telah menjadi fungsionaris Sarekat Buruh Perkebunan. Dengan begitu, ia banyak
54
Harian Rakjat, 3 Mei 1961.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
112
menyelesaikan berbagai persoalan buruh di sana. Mereka mengucapakan terima kasih pada pemuda itu. Cerpen yang dimuat pada 31 Djuli 1961 ini merupakan simbolisasi dari sikap seorang kader partai. Jika ia berdiri tegak dengan sikapnya yang memihak kepada kaum proletar, penyakit akibat siksaan Jepang itu akan hilang pula. Akibat siksaan itu, sang tokoh mengalami penyakit saraf yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, selain hanya marah-marah. Luka itu hanya sembuh dengan bekerja. Hal ini memiliki pararelitas dengan kisah yang disampaikan oleh Aidit dalam upayanya menjawab pandangan-pandangan peserta KSSR. ―… Orang yang mempunyai sikap yang tidak tepat, misalnya, yang di satu pihak lebih memilih jalan proletariat tetapi di pihak lain masih belum mau melepaskan diri sepenuhnya dari kelas borjuis kecilnya yang lama, dalam saat-saat yang menentukan orang demikian bisa menjadi bingung, dan kalau bingungnya keterlaluan ia bisa diserang penyakit syaraf. Sebaliknya saya mengenal beberapa kawan, yang karena penyakit TBC hanya tinggal satu paru-parunya, tapi sikapnya kuat, tidak pernah ragu tentang jalan proletariat dan jalan revolusi yang sudah dipilhnya; dalam saat-saat yang menentukan semangatnya malah menjadi lebih tinggi dari biasa, kegembiraannya bertambah dan dia jauh dari penyakit syaraf. Sudah tentu tidak semua kawan yang kena sakit syaraf disebabkan karena sikap kelasnya tidak teguh. Saya hanya ingin mengemukakan bahwa soal sikap sangat penting bagi seseorang yang mau berhasil dalam perjuangan revolusioner.‖55 Sikap yang ditunjukkan oleh Aidit di atas dimiliki oleh tokoh dalam cerpen Luka Lama di Leher karya Sugiarti Siswadi ini. Si tokoh utama mengatakan, ―Istirahat, istirahat, betapa benciku mendengar kata-kata itu. Bosan aku.‖ Kalimat tokoh tersebut mengindikasikan bahwa ia menginginkan sesuatu yang lebih berguna, dalam artian tenaga dan energinya terpakai untuk kehidupan kaum proletar. Di sini lain, ia memiliki kesadaran bahwa, 55
Aidit, 1964, hal 86 – 87.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
113
―Kalau kubaca koran-koran kanan, dan aku dibakar oleh asasinasinya, aku tidak bisa apa-apa, aku mau ngamuk saja. Tahu kau Nak, apa obat yang tepat bagiku? Beri aku bedil, aku datangi seorang-orang yang jahat-jahat itu, aku tembak kepalanya, dan boleh setelah itu aku ditembaknya, aku mati tetapi tidak mati konyol.‖
Keinginan si tokoh tersebut terjawab sudah. Ia ditugaskan di perkebunan karet dan menyatu dengan rakyat dan para buruh. Hasilnya, istri si tokoh mengirimkan surat kepada pemuda yang mendatanginya suatu malam itu dan menjelaskan, bahwa suaminya telah sehat lantaran bekerja kembali. Berbeda dengan cerpen Luka Lama di Leher, cerpen Orang Kedua lebih masuk ke dalam struktur partai. Cerpen ini berupaya memberikan kesempatan kepada kader yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memimpin namun belum diberi tempat. Bahwa generasi tua mestinya diganti dengan generasi yang masih segar. Cerpen Orang Kedua ini mengisahkan tentang kader partai yang hanya selalu menjadi orang kedua. Adalah Hasan, lelaki nomor dua itu. Bukan orang tak percaya padanya, melainkan ia sendiri yang memilih jadi nomor dua, wakil Asmawi. Malam yang gelap, mendadak Asmawi sakit keras dan harus dilarikan ke rumah sakit. Asmawi buru-buru memanggil Hasan untuk merampungkan segala tugasnya. Apalagi keesokan harinya bakal ada kongres partai. Hasan kelabakan. Mulanya menolak, tapi apa boleh buat. Hanya dialah yang dipercaya oleh Asmawi. Setelah menerima tampuk kepemimpinan partai, Asmawi segera dilarikan ke rumah sakit. Saat itulah Hasan bingung bukan kepalang. Ia ragu dengan kemampuannya, ragu dengan dirinya, ragu dengan kepercayaan kader
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
114
partai lainnya. Semalaman suntuk ia berpikir. Apa yang akan ia sampaikan esok hari? Bagaimana jika gagal? Bagaimana jika tak ada yang percaya? Bagaimana bagaimana bagaimana? Keraguan itu terus merasukinya. Ia merasa tidak siap. Paginya, Hasan kesiangan. Reso, pembantu umum, membangunkannya. Ia tergeragap. Buru-buru berangkat. Keraguannya semalam kembali membayang, apalagi kini ia kesiangan. Keraguannya bertambah. Meski begitu, acara tetap dilangsungkan. Dan tibalah baginya untuk memberikan sambutan. Seluruhnya khidmat mendengarkan. Acara sukses! Selepas acara, seluruh anggota dikumpulkan. Evaluasi, katanya. Ia mulai dengan dirinya. Seluruh kesalahannya, meski tak disadari oleh anggota lainnya, ia beberkan. Lalu satu persatu anggota diberi kesempatan berbicara. Setiap anggota mengevaluasi dirinya masing-masing, tak seperti biasanya yang saling menyalahkan. Kini, setelah sekian lama bergabung dengan partai, seluruh anggota merasa bersatu dan terharu. Kepemimpinan di bawah orang kedua, Hasan, dianggap berhasil. Kesiapan seseorang harus dimulai dari sekarang. Bukankah selalu ada pengalaman pertama pada setiap hal? Cerpen yang bicara soal kepemimpinan ini menjadi satu-satunya cerpen yang dimuat dua kali, Harian Rakjat pada 25 Juli 1959 dan dalam kumpulan cerpen Sorga Dibumi. Bahwa pemimpin bukan satu-satunya yang paling memiliki kekuasaan dalam sebuah organisasi/partai, tetapi sikap menganggap penting pada setiap orang yang terlibat, bahkan tukang suruh-suruh sekalipun, menjadi bagian yang ahrus diperhatikan. Dengan demikian, sebuah organisasi/partai akan saling membutuhkan. Begitulah pesan singkat dari cerpen di atas.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
115
Sikap yang demikian juga disampaikan oleh DN. Aidit, ―… Massa memerlukan petunjuk-petunjuk dari pemimpin, tapi petunjukpetunjuk yang dibikin berdasarkan pengelaman-pengalaman mereka sendiri. Dengan petunjuk-petunjuk itu massa akan berpraktek lebih baik lagi, dan praktek yang lebih baik itu harus disimpulkan oleh pimpinan, dan atas dasar kesimpulan-kesimpulan itu kemudian dibikin petunjuk-petunjuk yang lebih baik, demikian seterusnya‖56 Hal di atas, oleh Sugiarti Siswadi disampaikan oleh pemimpin ―orang pertama‖ bernama Asmawi. Ia memberikan petunjuk kepada pemimpin ―orang kedua‖ bernama Hasan untuk memimpin jalannya acara. Petunjuk itu disampaikan ketika Asmawi sedang sakit dan harus menjalani operasi. Lihat kutipan berikut. ―San,‖ kata Asnawi lembut, ―kata Pak Mantri aku mesti dioperasi. Jangan terkejut, banyak orang dioperasi, bukan aku saja. Mungkin lama aku baru bisa sembuh lagi. Sepeninggalku, kaulah yang mengambil oper semua pekerjaan. Itu dimap sudah aku kumpulkan apa-apa yang harus lekas-lekas diselesaikan. Saya harap kau bisa ambil oper dengan cepat, walau kutahu kau akan menolak.‖ Petunjuk berikutnya, dilakukan oleh Hasan sebagai pemimpin ―orang kedua‖. Ia memberikan petunjuk kepada seluruh anggota untuk adakan evaluasi ketika akhir acara. Hal ini membuat seluruh anggota sadar bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain, dan sebuah organisasi/partai bukan hanya kepentingan pemimpin semata. Lebih lanjut, Aidit mengatakan, ―… Oleh karena itu sama sekali keliru jika ada pemimpin partai kita yang berfikir bahwa partai maju hanya karena dirinya semata-mata… Masingmasing pemimpin harus berfikir, bahwa partai atau ormas mungkin akan lebih cepat kemajuannya jika yang memimpinnya kawan lain. Menganggap diri sebagai pemimpin yang tak tergantikan adalah takhayul dan meremehkan peranan massa.‖57
56 57
Aidit, 1964, hal 82. Ibid.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
116
Aidit dan Sugiarti sama-sama menekankan bahwa antara kader dan partai harus saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan partai dan tuntutan kadernya yang dirumuskan dalam misi partai. Tanpa kerja sama keduanya, tujuan besar revolusi tidak akan pernah tercapai.
D. Perjuangan Prajurit: Kerja Revolusi Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam masa revolusi, tani, buruh dan prajurit menjadi bagian kesatuan dalam menjalankan roda revolusi. Kata revolusi mengasosiasikan tentang perkara yang sengit dan penuh konflik. Begitu pula yang digambarkan Sugiarti Siswadi dalam cerpen-cerpennya yang merepresentasikan perjuangan revolusi. Beberapa cerpen itu hanya ditemukan dalam kumpulan cerpennya, Sorga Dibumi. Hal ini mengingat bahwa sebelum dilaksanakan KSSR, prajurit tidak menjadi perhatian, bahkan dianggap tidak prorakyat. Namun jika melihat dari sisi lain, para prajurit adalah juga kaum tani, buruh dan massa pekerja lainnya yang menenteng senapan. Mereka sama-sama massa pekerja meski dengan alat dan pekerjaan yang berbeda. Alasan mengenai kenapa sebelumnya prajurit tidak menjadi bagian dari kerja sastra dan seni, diterangkan oleh D.N. Aidit bahwa, ―…mengingat adanya dua aspek dalam kekuasaan politik atau kekuasaan RI sekarang ini, yaitu aspek antirakyat dan aspek prorakyat. Padahal justru karena alasan ini, sastra dan seni revolusioner harus juga ditujukan kepada prajurit. Kalau tidak, sastra dan seni kita tidak mengembangkan aspek prorakyat. Dijadikannya prajurit sebagai objek kerja sastra dan seni revolusioner sebetulnya justru membantu usaha mendorong dan memperkuat aspek prorakyat dalam kekuasaan politik sekarang untuk mengalahkan dan mengusir aspek antirakyat‖
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
117
Di bagian yang lain, hal tak kalah penting sebagai penopang jalannya revolusi adalah kader partai. Merekalah yang kelak akan meneruskan perjuangan yang telah dimulai. Aidit dalam referetnya pada sidang KSSR menekankan pentingnya kader revolusioner. ―…bahwa praktis sasaran pengabdian sekarang adalah kepada kader-kader revolusioner. Kader-kader adalah pencerminan massa, karena mereka adalah inti, tulang punggung dan juru bicara perasaan dan fikiran massa yang mereka pimpin, mengenal perasaan dan fikiran kader pada hakikatnya mengenal perasaan dan fikiran massa sampai batas-batas tertentu atau sepenuhnya sudah terkristalisasi. Oleh karena itu, sastrawan dan seniman revolusioner harus berusaha lebih sungguh-sungguh untuk bergaul lebih mesra dengan kader-kader revolusioner dari pusat sampai basis, hingga lebih mengenal sasaran pengabdian kerjanya.‖58
Ada tiga cerpen dari Sugiarti yang memiliki paralelitas dengan pernyataan D.N. Aidit di atas, bahwa prajurit juga merupakan unsur penting dalam sebeuah revolusi. Revolusi membutuhkan alat atau senjata, dan bahkan pemegang senjata itu sendiri, yaitu prajurit. Jika rakyat dan prajurit dimobilisasi dalam satu tujuan, bukan hal mustahil tujuan revolusi akan tercapai. Cerpen-cerpen yang merepresentasikan perjuangan prajurit tersebut adalah Parak Siang, Orang-orang Sebatang Kara dan Soekaesih. Cerpen Parak Siang menceritakan tentang kesadaran seorang feodal, anak seorang bupati, bernama Aris. Sebagai anak pamongpraja, ia memiliki kekuasaan tak terbatas di daerahnya. Tak ada yang berani melawannya. Tak ayal jika kemudian ia banyak terlibat dengan berbagai kegiatan kriminal, seperti judi. Memiliki berbagai fasilitas dan sangat dimanjakan orangtuanya, Aris dengan
58
Aidit, 1964, Hal. 51.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
118
seenaknya menggauli wanita-wanita yang ia sukai, setelah ditinggal begitu saja. Selirnya ada di mana-mana meski ia belum menikah. Hingga suatu saat, Aris bertemu dengan Rini, anak gadis seorang pegawai rendahan. Bagi orangtua pada masa itu, jika putri dilamar oleh orang kaya dan terpandang tentu menjadi kebanggan tertentu. Namun hal ini sempat ditolak oleh kakaknya Rini, si Perempuan. Perempuan itu sadar dan tahu betul bagaimana kelakuan Aris. Namun orangtua yang sudah terlanjur diliputi kebanggan karena anaknya dilamar seorang bangsawan, membantah seluruh tuduhan anak perempuannya yang sudah besar itu. Baginya, seorang lelaki akan dapat dikontrol jika ia sudah menikah. Namun nyatanya yang terjadi di luar dugaan orangtuanya. Seperti gadis lainnya, Rini diperlakukan tak adil dan semena-mena. Sebagai suami, Aris masih saja menggoda perempuan lain. Selirnya bertambah banyak. Hingga datang masa revolusi, orangtua Aris bangkrut dan ia menjadi sebatangkara. Belum lagi ia ditimpa musibah kena penyakit rajasinga. Penyakit itu menular pada istri dan anaknya. Bayinya yang cacat yang sanggup hidup seminggu, sementara Rini yang kandungannya diserang kuman-kuman masih sanggup menderita berbulan-bulan meski akhirnya kalah juga. Ia mati dengan merana. Suatu hari, datanglah Aris kepada kakak iparnya dalam keadaan tak berdaya. Perempuan itu nyaris tak mau menerimanya. Tapi bagaimana pun, lelaki itu pernah jadi suami adiknya. Aris dipersilakan masuk. Ketegangan sempat terjadi, tapi Aris tak sesombong dulu lagi. Ia banyak menunduk. Tak lama berselang, Aris mengungkapkan maksudnya. Bahwa ia sekarang telah sadar dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
119
berada di pihak revolusioner. Ia berterima kasih kepada perang, kepada revolusi yang telah mengubahnya menjadi manusia yang berbeda. Dalam jalannya revolusi, Aris mendapat jatah untuk memasang ranjau, mungkin yang paling berbahaya. Kedatangannya adalah untuk meminta restu kepada kakak iparnya. Jika parak siang ia tak juga kelihatan, berarti ia telah pergi untuk selama-lamanya. Dengan perubahan Aris, Perempuan itu menjadi sedih dan memaafkan segala khilafnya di masa lalu. Ia merestui perjalanan revolusi adik iparnya. Setelahnya, Aris pamit. Keesokan harinya, di pagu hari, terdengar ledakan yang dahsyat. Si Perempuan menanti-nanti daik iparnya tapi tak juga terlihat batang hidungnya. Dengan adanya cerpen Parak Siang ini, tema yang diangkat pengarang Sugiarti Siswadi menjadi beragam, sesuai dengan nafas perjuangan Lekra dan PKI. Perlawanan revolusi Indonesia menghadapi dua musuh, musuh pertama dari luar yang berupa imperialis, dan kedua adalah kaum feodal. Cerpen ini memiliki hubungan pararelitas dengan yang dikatakan oleh D.N. Aidit,59 bahwa ―kebudayaan ‗cara hidup Amerika Serikat‘ (American way of life) berjalin dengan kemaksiatan feodal dalam wujud 5 M (Maling, Melacur, Mainjudi, Madat, dan Minum mabuk-mabukan). Oleh karena itu, melawan agresi kebudayaan imperialis AS harus disatukan dengan kemaksiatan kaum feodal, kaum komprador, dan kaum kapitalis birokrat.‖ Tokoh Aris pada cerpen di atas kiranya mewakili apa yang dikatakan oleh Aidit sebagai ―kaum feodal, kaum komprador, dan kaum kapitalis birokrat‖. Ia
59
Aidit, 1964. Hal 38
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
120
adalah seorang birokrat sebagai anak seorang bupati, yang menjalankan budaya feodal, dan menjadi komprador bagi imperialisme untuk menindas bangsanya sendiri. Selain sifat dasar Aris itu, sebagai seorang birokrat ia juga melakukan 5M. Sepertinya pada umumnya ditemukan dalam cerpen Sugiarti, bahwa setelah memandang miring terhadap persoalan yang ingin disampaikan, ia mempertemukan tokohnya dengan suatu pencerahan yang membuat si tokoh berubah sedemikian rupa. Begitu pula yang terjadi pada Aris dalam cerpen di atas. Setelah mengalami berbagai musibah dalam hidupnya, Aris kemudian bertaubat dan memilih jalur dengan bergabung bersama pasukan revolusioner. Sementara tokoh yang mulanya menentang Aris, yaitu kakak iparnya menjadi berubah pendirian pula, bahwa Aris yang dulu telah berubah dan mau ―merangkul‖nya sebagai adik ipar. Pada masa revolusi, tak hanya Aris dan tokoh-tokoh lainnya dalam cerpen Parak Siang saja yang menderita. Jauh di perbatasan, Orang-orang Sebatang Kara menggantungkan nasib pada prajurit. Prajurit menjadi tumpuhan terakhir sebelum akhir menempuh hidupnya masing-masing. Prajurit-prajurit itulah yang berjagajaga di perbatasan untuk menghalau serangan dan melindungi rakyat. Lihatlah dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara. Cerpen ini menggambarkan kondisi Indonesia ketika Perang Dunia II. Orang-orang meninggalkan hartanya mencari tempat berlindung yang lebih aman. Di suatu tempat, banyak orang berbondong-bondong antri masuk ke wilayah tersebut. Tak sedikit dari mereka yang terpisah dengan sanak keluarganya. Wajar jika wajah mereka terlihat sayu dan kusam.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
121
Berjagalah tentara pribumi di beberapa titik, mendata dan mengamankan mereka ke pengungsian yang layak. Para tentara itu meski masih muda, tapi mereka ―orang belum pernah mendengar bahwa anak-anak kecil itu pernah menjadi pengecut‖. Mereka ada di barisan depan melawan penjajah, dan barisan depan menyelamatkan penduduk sipil. Mereka juga kehilangan keluarganya, tapi gerak revolusi tak boleh berhenti. Terus mengabdi pada negara. Di antara para pengungsi itu ada seorang perempuan muda. Ia membawa anak kecil. Semalam, ketika ia tidur dengan menekuk tubuhnya, dirasanya kakinya diraba oleh anak kecil itu. Lalu ia memeluknya. Anak kecil yang malang, entah ke mana orangtuanya. Dan si antara antrian, anak kecil itu kembali padanya. Orangorang tahu, kemarin, perempuan itu menangis habis-habisan memeluk anaknya yang mati. Dua tahun kemudian, perempuan itu kembali ke kota asalnya karena Belanda telah pergi. Ia dan anak kecil itu hidup berdua, merekalah sebatang kara. Cerpen di atas masuk dalam antologi cerpen Sorga Dibumi, menempati urutan paling bawah. Melalui cerita tersebut, bisa dilihat paralelitasnya dengan kadaan darurat perang pada tahun 1957. 14 Mei 1957, Presiden/Panglima Tertinggi Sukarno mengeluarkan Perintah Harian yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan darurat perang (Staat van Beleg). Tiga hari kemudian 14 Mei 1957, D.N. Aidit menulis artikel pendek menanggapi perintah tersebut. Artikel tersebut dimaksudkan untuk memberikan pegangan kepada rakyat dalam mengahadapi pelaksanaan berlakunya keadaan darurat perang di seluruh wilayah Indonesia. ia memperingatkan bahwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
122
ada kemungkinan penyalahgunaan keadaan darurat perang tersebut oleh kaum reaksiner, birokrat, koruptor, penggelap dan elemen-elemen fasis untuk kepentingan dirinya yang dapat merugikan rakyat.60 Ditandaskan pula bahwa usaha-usaha jahat tersebut hanya dapat digagalkan jika ada kontrol aktif dari rakyat. Selanjutnya, Aidit menyerukan pentingnya kerjasama antara rakyat pekerja dan angkatan perang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. ―Mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas maka saya menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama kepada rakyat pekerja supaya dengan sekuat tenaga mengusahakan adanya kerjasama dan saling bantu antara rakyat dan Angkatan Perang serta aparat negara pada umumnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang positif dari pengumuman keadaan darurat perang oleh Presiden/Panglima Tertinggi Sukarno…‖61 ―Hidup kerjasama dan saling bantu antara rakyat dengan perwira-perwira, bitara-bintara dan para bawahan Angkatan Perang dalam melaksanakan Perintah Harian Panglima Tertinggi, dalam mengutuhkan kembali Republik Indonesia dan dalam mematahkan semua kegiatan subversif asing!‖62
Kondisi darurat perang sangat terasa dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara di atas. Hal ini dilukiskan dengan oleh Sugiarti dengan orang-orang berbondong-bondong menyerbu tempat yang lebih aman dan meninggalkan segala harta bendanya, bahkan di antara mereka kehilangan sanka familinya, termasuk tokoh perempuan yang menjadi sentral dalam cerita tersebut. Tampak jelas pula, bagaimana kerja sama yang antara rakyat dengan prajurit. Di satu sisi, rakyat rela menjadi prajurit tanpa keahlian yang memadai,
60
Aidit, 1960, hal 150 – 157. Aidit, 1960, hal 153. 62 Ibid. 61
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
123
bahkan di usia remaja, di sisi lain prajurit membantu rakyat pengungsi dan memberikan mereka kebutuhan sehari-hari. Dalam tulisan yang lain, Aidit juga mengharuskan adanya persatuan rakyat dan
prajurit—yang
disebut
persatian
dwitunggal—dalam
melaksanakan
perjuangan revolusi. ―Persatuan dwitunggal, yaitu rakyat dan tentara, dalam bentuk-betuk badan-badan kerja sama pemuda-militer, buruh-militer, tani-militer, wanita-militer, dll.‖63 Meski prajurit menjadi sosok pahlawan dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara, namun Sugiarti memperlihatkan perhatiannya pada sosok perempuan yang disebutnya sebagai ―sebatang kara‖. Tokoh perempuanlah yang lebih mendepatkan tempat dalam cerpennya tersebut. Sikap ini pula yang ditunjukkan Sugiarti dalam cerpen Soekaesih. Cerpen Soekaesih berkisah tentang seorang perempuan yang hatinya terbakar karena melihat penyiksaan sadis terhadap Haji Hasan yang dianggap memberontak di Cimereme, Periangan Timur. Bersama keluarganya, darah Haji Hasan membanjiri tanah. Pasal yang sebenarnya ialah Haji Hasan tak mau menyerahkan hasil panennya kepada perampok Belanda. Untuk memberikan perlajaran kepada rakyat, Belanda membunuh mereka. Barang kali itu berhasil, tapi di sisi lain, seorang wanita justru bergejolak dan mulai mengobarkan api perlawanan. Ia memang tak seperti umumnya penduduk.
63
Aidit, 1960, hal 409.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
124
Perempuan yang baru saja minta cerai pada suaminya itu, masuk ke dalam sebuah organisasi. Mula-mula ia jadi anggota Sarekat Fatimah, tapi kemudian keluar karena hanya membicarakan soal akhirat dan surga. Ditunggu-tunggu rapat yang memperjuangkan rakyat, tapi tak pernah diselenggarakan. Dengan tekat yang bulat, ia berangkat ke Jakarta. Berkat bantuan temannya, seorang buruh kereta api, ia menjadi anggota Sarekat Rakyat Merah. Sarekat ini menjawab segala kegelisahannya tentang mengabdi kepada rakyat. Ia puas. Lalu berkat ketekunannya dalam berorganisasi, ia berhasil masuk dalam lingkaran PKI. Ia makin bangga memanggul bendera merah palu arit. Tahun demi tahun perlawanan semakin menghebat, malam menjelang tahun 1926 bersejarah, pimpinan PKI memerintahkan pemberontakan di seluruh Indonesia. ―Pemberontakan tak bisa disuruh dan tak bisa ditahan. Jika sudah dimulai, Partai harus berada di barisan terdepan, memimpin perlawanan.‖ Malam menjelang 12 November, ribuan rakyat akan menyerbu penjara Glodok. Tapi naas, rencana itu rupanya tercium oleh reserse Belanda. Pagi-pagi buta, di seluruh Jakarta diadakan penangkapan umum. Banyak anggota partai tertangkap. Sukaesih berhasil lolos, namun tak lama kemudian ia ditangkap. Namun ia tetap santai. Sebelum ditangkap, ia sempat minta ijin untuk mandi. Penangkapan Sukaesih tak gratis, pemerintah Belanda menghadiahkan ƒ500 bagi yang berhasil menangkapnya. Soekaesih sebulan mendekam di Hopbiro, dipindahkan ke Glodok setengah tahun, lalu ke Digul. Di Digul ia semakin matang, menggagas kembali pembebasan Indonesia dari tangan penjajah. Perjuangannya membuahkan berhasil.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
Ketika Natal tahun 1925, PKI mengadakan pertemuan singkat di Prambanan, Yogyakarta. Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang mahapenting, bahwa perlu adanya pemberontakan, kaum tani harus dipersenjatai dan serdadu ditarik ke dalam pemberontakan ini. Hasil dari pertemuan ini disebut Keputusan Rambanan. Pemberontakan ini mulanya diagendakan pada 12 Juni 1926, namun karena berbagai sebab baru meletus lima bulan setelahnya, yaitu 12 November 1926. Ada berbagai sebab yang menjadikan pemberontakan ini gagal; 1) tidak ada kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu; 2) banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat; 3 sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda.64 Peristiwa ini selalu diperingati. Misalnya pada hari Kamis, 12 November 1964, PKI memperingati sebagai upaya mengenang pahlawan mereka. Pada malam peringatan tersebut, Sekretaris I Comite PKI, Njoto, mengajak kaum komunis untuk ―mengobarkan semangat yang gegap gempita dari perjuangan 26 November‖. Selain itu, ia juga kaum komunis untuk belajar dengan rendah hati atas peristiwa tersebut.65 Pada tahun-tahun sebelumnya, misalanya pada tahun 1954, sebuah tulisan tentang pemberontakan 12 November menggambarkan bagaimana sebuah bangsa melahirkan dan dihidupi oleh para pahlawan. Pahlawan menjadi contoh, menjadi 64
Lihat Pengantar Asep Samboja dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus. 65 Lihat Harian Rakjat, 13 November 1964.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
126
penarik, menjadi pegangan terutama di saat-saat sebuah mengalami kehidupan yang sulit. Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa menurut Julius Fucik, kaum komunis sangat mencintai hidup, mencitai kemerdekaan, menjadi kerja mencipta, mencintai perdamaian dan rakyat. Dalam rangka memenuhi hal tersebut, ―berarti mengerahkan semakin banyak tenaga-tenaga dari rakyat dan dari seluruh umat manusia‖, karena komunis membuat segala yang bisa diperbuat agar umat manusia berjalan maju menuju hari kemudian yang berbahagia.‖66 Bentuk peringatan lain yang dilakukan adalah penerbitan buku dengan tema dan latar belakang persuitiwa tersebut. Para penulis Lekra kemudian membuat sebuah antologi berjudul Api 26, yang berisi cerpen dan puisi, salah satunya adalah karya Sugiarti Siswadi yang telah dideskripsikan di atas. Tokoh yang diabadikan oleh Sugiarti Siswadi ini, bukanlah tokoh karangan. Nama Sukaesih sudah sangat akrab di kalangan kaum revolusioner. Saskia E. Wieringa67 menuliskan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Soekaesih dan kawan-kawan, merupakan gerakan yang dilakukan oleh wanita PKI. Sudah seharusnya mereka tidak diam di rumah dan menunggu di siksa. Wanita PKI juga harus turun dalam perjuangan, jika tidak mereka akan tersingkir oleh lelaki dan kaum kapitalis. Perempuan Sarekat Rakyat (SR), sayap ―merah‖ dari Sarekat Islam (SI) meliputi ribuan anggota termasuk dua tokoh SR, Raden Soekaesih dan Munapsiah.68 Sekalipun sumber-sumber tentang seksi perempuan PKI sangat langka, dapat diperkirakan banyak di antara mereka kemudian bergabung ke dalam PKI. Dalam konggres PKI pada tahun 1924, satu hari penuh digunakan untuk mendiskusikan masalah gerakan perempuan, peran 66
Harian Rakjat, Djum'at, 19 November 195 Lihat buku Pernghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI ditulis oleh Saskia E. Wieringa. Galang Press, Yogyakarta, 2010. 68 Lihat juga Harian Rakjat, 18 Mei 1960. 67
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
127
perempuan dalam perjuangan melawan kapitalisme dan kolonialisme. Dalam konggres, Raden Soekaesih dan Munapisah dilaporkan menyatakan kepada hadirin, perempuan jika tidak berjuang bagi hak-hak mereka, itu berarti ―mereka akan disingkirkan oleh kaum laki-laki dan kaum kapitalis,‖ dan lalu, kaum perempuan akhirnya menjadi ―matahari dalam rumah tangganya‖ tetapi pada saat ini menjadi alat di tangan kaum kapitalis. Kaum perempuan telah berjuang secara mandiri pada zaman Majapahit. Kini terdapat perempuan pelacur, itu bukan kesalahan perempuan tapi kesalahan kapitalis… (mereka menyerukan)… atas nama perempuan berjuang melawan kapitalisme dan imperialisme. …. Jumlah perempuan serta kegiatan mereka dalam pemberontakan 19271927, tidaklah jelas. Kaum perempuan di Ciamis dilaporkan sebagai ―sangat militan dan gigih‖.69 Soekaesih dan Munapsiah dipenjara dan dibuang ke kamp konsentrasi Digul. Raden Soekaesih yang tersohor dengan visi yang mengilhami kaum perempuan Indonesia, dijatuhi hukuman berat, dituduh melanggar pasal 156 Hukum Pidana yang bersifat karet (dikatakan ―dalam sifat kelas atas pendudukan pribumi merasa terhina dengan masalah kawin paksa‖) (Munster & Philippo-Raden Soekaesih, tanpa tahun: 6)70
Menyikapi peran penting perempuan dalam revolusi Indonesia, Harian Rakjat banyak memberikan ruang untuk kaum perempuan, dengan diberikan kolom khusus untuk perempuan, yaitu Ruang Perempuan. Dalam sebuah berita dikabarkan pula, bahwa ―Revolusi Tanpa Perempuan adalah Pintjang‖. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pangau Laksamana Madya Udara Omar Dhani dalam acara penutupan pelatihan sukarelawati Pesatuan Istri AURI (PIA), di Lubang Buaya Halim Perdana Kusumah. Selain itu, ia juga berpesan untuk meningkatkan
69
Lihat juga Harian Rakjat, 11 November 1959 Soekaesih keturunan priyayi, putri asisten wedana, ketika masih sangat muda dikawinkan dengan laki-laki jauh lebih tua. Ia tak dapat menerimanya, cerai dengan suaminya maupun dengan keluarganya sendiri. Kemudian ia kawin dengan seorang Belanda, setelah dibebaskan dari Digul ia pindah ke negeri Belanda. Memoarnya diterbitkan oleh D van Munster sebagai protes terhadap ―polisi negara‖ Belanda yang dibentuk di Indonesia. memoarnya membenarkan bahwa politik raga merupakan wacana pokok bagi perempuan yang bergabung dengan organisasi sosialis ketika itu. Lihat Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI ditulis oleh Saskia E. Wieringa. Galang Press, Yogyakarta, 2010. 70
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
128
kewaspadaan ―terhadap subversif dan bentuk-bentuk lain yang bersifat destruktif dalam revolusi kita‖71
71
Lihat Harian Rakjat, Sabtu, 26 September 1964.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI DENGAN TEKS-TEKS BERIDEOLOGI SERUPA
Bab ini berupaya menelusuri paralelitas karya-karyanya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain dengan menggunakan teori New Historicism. Dengan demikian akan terlihat kontribusi Sugiarti tentang wacana yang berkembang pada masanya. Beberapa tema yang menjadi pokok bahasan dalam karya Sugiarti adalah landreform, perempuan dan anak serta partai. Keselurahan tema tersebut menjadi sarana bercerita untuk mengungkapkan ideologinya yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dengan fokus pada tema tersebut akan terlihat bagaimana peran Sugiarti Siswadi sebagai pengarang dalam tubuh Lekra dan keaktifannya dalam berbagai kegiatan politik. Dalam melacak paralelitas karya-karya Sugiarti dengan teks lainnya, peneliti membatasinya hanya pada media massa Harian Rakjat dan Api Kartini untuk melihat konteks peristiwa dalam teks. Media massa juga digunakan untuk melacak karyakarya serupa sastrawan Lekra lainnya sebagai teks yang memiliki paralelitas dengan karya-karya Sugiarti. Seluruh karya-karya sastrawan Lekra telah dibukukan oleh Muhidin M. Dahlan dan Dwi Roma Aria Yuliantri dengan judul Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965 (2008) dan Gugur Merah: Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965 (2008). Kedua buku inilah
129
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
130
yang digunakan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti dengan karya-karya sastrawan Lekra lainnya. Selain itu, digunakan pula pidato-pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno untuk memperdalam pembahasan. Setelah melakukan pembacaan terhadap karya-karya sastrawan Lekra, ditemukan tiga hal besar yang mendominasi dan memiliki hubungan paralel dengan karya-karya Sugiarti Siswadi. Ketiganya adalah landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis.
A. Landreform Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (UUPA Pasal 2 Ayat 1).
Landreform merupakan upaya yang bertujuan untuk merombak dan mengubah sistem agraria dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan pertanian dan dengan demikian akan turut mendorong pembangunan desa. Upaya ini telah dilakukan berabad-abad lalu di Romawi. Ella H Tuma (via Georinto) menulis, bahwa sekira tahun 133 Sebelum Masehi, kakak beradik Tiberius Gracchus dan Gaius Gracchus, mengusulkan kepada Senat Romawi untuk membuat undang-undang yang membatasi kepemilikan tanah pertanian yang luas. Namun naas nasib keduanya. Mereka berhadapan dengan maut karena gagasan itu mendapat tentangan dari para tuan tanah.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
131
Meski demikian, gagasan mereka merupakan tonggak penting yang menjadi peristiwa besar untuk mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat miskin.1 Gagasan kakak beradik inilah yang kemudian disebut oleh Lenin sebagai landreform. Melalui Lenin, gagasan ini kemudian meluas ke berbagai negara di belahan dunia dengan berbagai kepentingan. Baik politik, sosial, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan.2 Tujuan hanya satu, mengangkat kaum miskin dari keterpurukan ekonomi. Sebaran pemikiran Lenin itu sampai juga di Indonesia. Sebagai negara agraria, Indonesia menjadi wilayah subur untuk mengembangkan gagasan landreform. Perwujudan dari gagasan tersebut kemudian tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) pada tahun 1960. Undang-undang ini memicu lahirnya gerakan-gerakan merebut tanah dari tuan tanah di berbagai daerah yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam pelaksanaannya, landreform disebut sebagai Aksi Sepihak. Aksi ini merupakan respon dari lambatnya pemerintah dalam menjalankan undang-undang tersebut. Menurut Erfan Faryadi, pembaruan sistem agraria merupakan kata kunci pada dekade 1950-1960-an di berbagai negara. Semua badan internasional dan semua perdebatan di sekitar pembangunan, membahas dan memperdebatkan soal ini; dan hampir semua negara mau tidak mau mencoba menyelenggarakan program tersebut,
1
Georitno, Landreform Sebuah Gagasan Besar Manusia, Majalah Bumi Bhakti Adhiguna, Nomor 2 Tahun 1 Juni 1991, Jakarta, hlm. 7. 2 A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia suatu Perbandingan. Mandar Maju; Bandung. 1987. Hlm 58.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
132
baik itu pada tingkat kebijakan, operasionalisasi, ataupun hanya sebagai retorika. Salah satu dorongan dijalankannya pembaruan agraria pada saat itu terutama karena adanya persaingan dan pertentangan di antara kubu negara-negara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan demikian perdebatan di seputar pembaruan agraria ini sebenarnya diwarnai juga oleh aspek ideologis.3 Pelaksanaan dari program di atas tentu berbeda di setiap negara. Seluruhnya tergantung pada sistem ekonomi politik dan rezim yang berkuasa pada saat itu. Perbedaan rezim membawa ragam model dan pola pelaksanaan maupun capaian program tersebut. Efek dari program ini baru bisa dilihat ketika dunia memasuki masa developmentalisme (masa pembangunan) sekitaran tahun 1960-1970. Pada tahuntahun ini mulai nampak tentang ide dasar pemburuan agraria dengan menjalankan lendreform atau redistribusi tanah secara menyeluruh. Sebagai sebuah partai politik, PKI sadar betul bahwa isu-isu tentang tanah menjadi isu paling diminati oleh rakyat. Bagaimana tidak, rakyat dijanjikan dengan sepetak tanah garapan yang akan mensejahterakan hidupnya. Maka landreform atau redistribusi tanah menjadi agenda besar politik pada masa itu. Namun, yang pantut disayangkan adalah pelaksanaannya tersebut penuh dengan emosi. Tak jarang terjadi bentrokan dan mengakibatkan korban jiwa. Di pihak yang lain, ada yang mengambil
3
Lihat dalam makalah Erfan Faryadi (Sekjen Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BPKPA) yang berjudul ―Konsep dan Arti Pentingnya Land Reform dalam Agenda Reformasi‖. Hlm 4. Makalah ini disampaikan untuk diskusi buku Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten (19591965) karangan Prof. Dr. Soegijanto Padmo, pada tanggal 12 September 2000, di Auditorium Fakultas Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Diskusi ini diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan Budaya, Media Presindo, BKMS Fakultas Sastra UGM, dan Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA).
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
133
keuntungan dengan memanfaatkan isu bentrokan tersebut dan memobilisasinya menjadi isu tentang kelas, agama dan ras di berbagai desa di Indonesia. Dua sebab yang bisa dicatat ketika terjadinya aksi sepihak ini adalah inflasi yang luar biasa tinggi dan kondisi kemiskinan yang terus meningkat.4 Jika melihat lebih jauh lagi, tuntutan terhadap pelaksanaan UUPA merupakan upaya untuk membatalkan peraturan tentang tanah dari perundang-undangan kolonial, seperti Undang-undang Agraria 1870, Dekrit Agraria 1870, dan berbagai deklarasi mengenai tanah, air dan sumber daya alam. Undang-undang ini dihentikan praktiknya pada tahun 1945, pascaproklamasi kemerdekaan. Hampir seluruh pendiri bangsa menyadari, bahwa UU Agraria 1870 tidak bisa dipergunakan untuk bangsa yang membebaskan diri dari penjajahan.5 UUPA merupakan perombakan total dari sistem agraria warisan penjajahan Belanda. Hak milik perorangan atas tanah bagi mereka yang berkewarganegaraan Indonesia diakui, akan tetapi persaingan bebas dalam hal penjualan dan pengalihan tanah tidak diizinkan. Atas dasar prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, undang-undang ini menggariskan bahwa penggunaan dan penjualan tanah perlu memperoleh persetujuan masyarakat seperti yang diwakili oleh administrasi kota atau desa.6 UUPA juga mencakup prinsip dasar berikut. 4
Lihat penelitian Sean Reardon berjudul Peristiwa 65/66 (Pembunuhan Massal PKI), 2002. Hlm iii. Ia mengungkapkan ketegangan di tingkat lokal sebelum terjadinya pembantaian 1965. 5 Lihat dalam Kronik Agraria Indonesia, Sejarah UUPA, Konflik, Penguasaan dan Pemilikan, BPN dan sertifikasi serta Pemikiran Agraria. Diterbitkan oleh TIM dari STPN, Sains Sejogyo Institute dan Institute Sejarah Sosial Indonesia. 2011. Hlm 10. 6 Lihat makalah Erfan Faryadi, hal 3.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
134
1. Tanah pertanian adalah untuk petani penggarap. 2. Hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah khusus untuk warga negara Indonesia. 3. Pemilikan guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain. 4. Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat.7 Dalam praktiknya, UUPA kemudian lebih dikenal dengan gerakan landreform, dimulai dengan anggapan bahwa negara tidak harus bertindak sebagai pemilik tanah mana pun, tetapi negara harus mempunyai wewenang untuk mengendalikan dan penggunaan yang efektif dari semua tanah, air, dan angkasa dalam wilayah negara.8 Atas dasar anggapan di atas, rakyat dengan inisiatif sendiri ataupun dilindungi payung hukum melakukan gerakan pembagian tanah atau landreform pascaproklamasi kemerdekaan. Misalnya pada tahun 1947, masyarakat Ngandagan atas inisiatif Kepala Desa Soemotirto melakukan pembagian tanah dengan memperkuat sistem pembagian tradisional. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat Vorstenlanden, Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1948. Atas dukungan Undang-undang Darurat No. 13 tahun 1948, rakyat (petani) merebut tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kira-kira 40 perusahaan gula milik Belanda.9 7
Selo Soemardjan, Land Reform di Indonesia, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, disunting oleh Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Yayasan Obor, 1984, halaman 106-107. 8 Kronik Agraria Indonesia, hlm 14. 9 Ibid. Hlm 10.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
135
Pada konteks ini, tak hanya undang-undang yang dijadikan dasar gerakan landreform. Kata-kata Paduka Jang Mulia Soekarno juga menjadi mantra dalam usaha rakyat merebut tanah yang menjadi hak mereka dengan kata kunci revolusi. Misalnya sebagai berikut. ―Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan puhun tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat Indonesia.‖10 Atau bisa dikutip dari pidato Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1965, ―Kita memiliki sumber daya alam yang kaya, bangsa kita rajin, tetapi sebegitu jauh, hasil kerja mereka dilahap oleh tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tukang catut, setan desa, dan lain-lain…. Saya sudah sangat bersabar, saya telah memperlihatkan kesabaran seorang ayah. Namun kesabaran saya ada batasnya—apalagi kesabaran rakyat! Saya telah memberikan kesempatan yang cukup untuk melaksanakan landreform—bahkan saya telah menunda batas waktunya—dan, jika perlu, saya mau memperpanjangnya setahun lagi.‖
Kalimat-kalimat Sukarno yang lancar diucapkan itu juga lancar digunakan rakyat untuk menggebuk para tuan tanah yang bandel terhadap UUPA. Pihak-pihak yang menentangnya dengan mudah dituduh sebagai antirevolusi, kaum imperialis, dan lain sebagainya. Tuduhan inilah yang membuat orang-orang takut karena akibatnya akan berakhir dengan ancaman kehilangan nyawa. Peristiwa-peristiwa di berbagai daerah yang berkaitan dengan gerakan landreform telah diuraikan pada bab sebelumnya, melalui liputan media massa milik PKI, Harian Rakjat. Tak hanya itu, seniman dan sastrawan sebagai roda penggerak 10
Buku merah Lahirnya Panca Sila, hlm 143-145.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
136
revolusi memperlihatkan perannya dengan menampilkan peristiwa tersebut dalam karya mereka. Demikian pula dengan Sugiarti Siswadi. Merespon landreform, Sugiarti menampilkan dua peristiwa penting yang terjadi di Jawa Tengah, Klaten dan Boyolali. Masing-masing dalam cerpen berjudul Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Cerpen yang dimuat di Harian Rakjat itu merepresentasikan peristiwa yang terjadi antara tahun 1964 hingga 1965. Keduanya telah menjadi isu besar pada masa itu. Hal ini terlihat dari maraknya pemberitaan di media massa, terutama Harian Rakjat, dan karya sastrawan Lekra yang mengangkat isu tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sastrawan yang menggarap isu tersebut, yaitu Sugiarti Siswadi dan Amarzan Ismail Hamid. Masingmasing dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam kedua cerpen di atas, Sugiarti memang tak banyak menyebut kata kunci landreform, tetapi bisa dibaca bahwa peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan akibat dari gerakan landreform atau aksi sepihak. Dalam Pengadilan Tani misalnya, kata landreform hanya muncul sekali saja. Itu pun dengan maksud menyebut ―Panitia Landreform‖. Penyebutan tersebut sebagai penguat bahwa Sanusi sebagai tokoh antagonis telah melanggar UUPA. Sepanjang pembacaan peneliti, penggunaan diksi oleh Sugiarti cenderung menghindari diksi-diksi yang biasa digunakan oleh kebanyakan intelektual pada masa itu, seperti Sukarno dan D.N. Aidit (lihat pada Bab III). Misalnya untuk menyebut ―penghisapan dari modal-asing‖, ―tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tukang catut, setan desa,‖ dan lain sebagainya, Sugiarti cukup menyebut satu kata yang dianggap
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
137
mampu mewakili keseluruhannya serta akrab di telinga rakyat, yaitu ―maling‖. Kata ―maling‖ disebut sebanyak 19 kali dalam cerpen Pengadilan Tani. Dengan pilihan yang demikian, ada upaya mendekatkan karyanya dengan rakyat. Bahkan, untuk menyebut UUPA dan UUPBH, Sugiarti menggunakan istilah ―perintah Bung Karno‖. Sebab dalam konteks ini, Bung Karno dengan keras menyuarakan adanya gerakan landreform sebagai salah satu pilar revolusi. ―Dua tahun telah lampau, Pak, sudah empat kali panen, dan sudah empat kali dia mengisap keringat saya. Dari maro, hamba hanya dapat mertelu. Tetapi, karena manusia tidak selamanya takut, tidak selamanya berjiwa pengecut, maka panen yang akhir ini, saya kerjakan apa yang harus saya kerjakan. Sanusi yang tidak menjalankan perintah Bung Karno harus dilawan dengan hukuman yang ditentukan oleh Pak Presiden....‖ ―Perintah Bung Karno‖ memang menjadi lebih praktis ketimbang harus menjelaskan pelanggaran yang dilakukan oleh Sanusi dengan rentetan kalimat yang lebih panjang. Dengan kalimat tersebut, seolah-olah orang sudah mafhum sesuai dengan konteksnya. Bisa jadi, ―Perintah Bung Karno‖ juga dijadikan dalih dalam penghakiman masal untuk perkara lainnya. Bentuk penghakiman yang paling sederhana namun memberikan kesan yang sangat negatif adalah dengan menyebut orang-orang seperti Sanusi sebagai ―Belanda‖. Belanda seolah menjadi bahan makian untuk menyebut seseorang yang keras kepala. Dalam bahasa Jawa, dikenal istilah ―londo‖ untuk menyebut orang Belanda dan sekaligus juga berfungsi sebagai ungkapan makian. ―Begini Pak,‖ jawab Kromosentono berani. ―Sudah dua tahun yang lalu hamba berunding. Setiap mau menggarap sawahnya, hamba berunding, supaya Sanusi rakus itu suka menjalankan aturan pemerintah, ialah maro. Tetapi dia kepala
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
138
batu Pak, seperti Belanda Pak, seperti Tengku Pak. Apakah kita selamanya mesti berunding dengan maling? Apakah bapak-bapak mesti berunding dulu dengan maling? He, maling maukah kau kubawa ke bui? Apakah dulu kita berunding sama Belanda: ―He Belanda, diam-diamlah saya tembak biar kena kepalamu? Tidak Pak. Berunding sudah lama, sudah dua tahun, dia tetap membandel, karenanya sekarang saya berunding dengan tindakan. Masih untung Pak, saya tetap sabar, coba tidak.‖ Kutipan di atas menunjukkan bahwa tuan tanah yang dimaksud tidak hanya keras kepala seperti Belanda, yang main rampas terhadap kehidupan rakyat pribumi, tetapi juga menyamakan mereka dengan maling. Setelah tanah dirampas, keringat pun dihisap, pembagian hasil panen tak berimbang. Cerpen lainnya dengan tema yang sama adalah Upacara Pemakaman. Dalam cerpen ini, kata kunci yang ditemukan adalah petani sebagai pahlawan. Tanah sebagai sumber pokok kehidupan kaum tani telah merenggut tiga nyawa petani. Selain itu, ketika masih hidup, ketiga petani tersebut juga ikut mengangkat senjata dalam konfrontasi dengan pemberontak D.I. Sebab itulah, ketiganya dianggap sebagai pahlawan. Dengan cerpen Pengadilan Tani, cerpen kedua ini cara ungkapnya tak jauh berbeda, baik cara menampilkan konflik maupun pemilihan diksinya. Hanya peristiwa yang berbeda membuat kedua cerpen ini memiliki napas yang berlainan. Jika Pengadilan Tani adalah hasil kerja BTI, Upacara Pemakaman lebih cenderung mengangkat hasil mobilisasi ―partai merah‖ dengan mendeskripsikan kain berwarna merah yang dibawa oleh para demonstran.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
139
Kedua cerpen Sugiarti yang telah dibahas di atas, memiliki hubungan paralelitas dengan karya sastrawan Lekra lainnya. Selain yang telah disebut sebelumnya, yaitu Amarzan Ismail Hamid (cerpen Boyolali11), L.S. Retno (cerpen Paman12 dan Lelaki Itu Datang Lagi13), T.B. Darwin Effendie (cerpen Ketika Padi Mulai Menguning14), Sesongko (cerpen Tetap Bertahan15), serta Marapisingga (cerpen Pak Guru16). Hadirnya cerpen-cerpen di atas memiliki hubungan paralel dengan dua cerpen Sugiarti yang telah dibahas sebelumnya, Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Tema landreform menjadi kunci paralelitasnya. Yang paling dekat dengan cerpen Upacara Pemakaman adalah cerpen Boyolali. Keduanya sama-sama berbicara tentang peristiwa demonstrasi yang terjadi di Boyolali, Jawa Tengah akibat dari meninggalnya tiga sosok petani. Tak hanya peristiwanya saja, bahkan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpennya pun memiliki kesamaan. Misalnya Parto. Dalam Upacara Pemakaman dituliskan, ―Bohong. Uak Parto… bukan… tidak pernah maling…‖ Sementara dalam Boyolali dituliskan ‖Bagi kami, Nak, Jumeri, Sono, dan Parto tidak pernah mati. Setiap butir nasi yang kami makan dituai dari cucuran keringat dan darah mereka!‖ Diksi pada kalimat terakhir ini juga memiliki kemiripan dengan kalimat, ―bahwa sekepal nasi itu bukan hanya keringat kaum tani tapi juga darahnya, darahnya sendiri.‖ 11
Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Hlm. 50 – 51. Ibid. Hlm 146 – 154. 13 Ibid. Hlm 155 – 161. 14 Ibid. Hlm 494 – 496. 15 Ibid. Hlm 380 – 387. 16 Ibid. Hlm 220 – 222. 12
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
140
Boyolali yang ditulis Amarzan Ismail Hamid, diketahui bahwa nama lengkap dari tiga petani yang ditembak mati itu, ialah Djumari, Partodikromo dan Sonowirejo.17 Selain itu, Amarzan juga menulis dalam bentuk reportase.18 Dalam tulisannya yang berjudul Laporan dari Bojolali tersebut, diketahuilah bahwa konflik terjadi antara petani dengan tuan tanah yang bernama Wirjodiredjo. Tuan tanah itu berhasil menguasai tanah 26 patok tanah di Ketaon. 3,75 hektar dari 2 patok tanahnya dikerjakan oleh 13 orang kaum tani dengan sistem bagi hasil. Tanah selebihnya disewakan kepada pabrik gula ―Tjolomadu‖. Sistem bagi hasil yang terjadi adalah 1:2. 1 untuk petani dan 2 untuk tuan tanah. Hal ini merupakan pelanggaran UUPBH, yang mengatur pembagian hasil sekurang-kurangnya 1:1. Dalam reportasenya, Amarzan kemudian menjelaskan bagaimana tuan tanah itu bisa menguasai tanah yang sekian banyaknya. Pembacaan yang lebih detail, kedua cerpen ini tidak begitu menganggap penting alur cerita karena pokokya ada pada perlawanan petani. Keduanya menunjukkan sikap yang jelas dan sama-sama menampilkan; (1) penembakan terhadap kaum tani, (2) ketidakpatuhan tuan tanah pada UUPA dan UUPBH, (3) revolusi dengan landreform, (4) kesetiakawanan para petani, dan (5) protes pada sikap tuan tanah yang melakukan pengisapan dan penindasan. Tema serupa namun dengan peristiwa yang berbeda tampak dalam cerpen Paman karya L.S. Retno. Adalah Umi dan saudaranya sebagai narator yang memakai
17 18
Lihat Harian Rakjat, Minggu, 13 Desember 1964. Harian Rakjat, Kamis, 7 Djanuari 1965.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
141
sudut pandang ―aku‖, berjuang membela kaum tani, melawan tuan tanah yang merupakan pamannya, yang juga adalah ayah Umi sendiri. Ayah Umi menguasai tanah di desanya dengan luas melampaui batas. Cerpen ini memberi pengertian bahwa perjuangan pelaksanaan UUPA dan UUPBH tak pandang bulu. Hubungan bapakanak-keponakan tak boleh jadi halangan. Kepentingan rakyat adalah nomor satu. Begitulah jalannya revolusi. Cerpen tersebut tak berhenti pada titik ini, L.S. Retno melanjutkan perjuangan Umi dalam Lelaki itu Datang Lagi. Berbeda dengan cerpen sebelumnya, cerpen ini dibubuhi dengan kisah cinta yang terjadi antara Bungaintan dan Biran di tanah perkebunan. Keduanya menjalin kisah kasih, akan tetapi bukan kisah romantis yang disuguhkan, melainkan perjuangan membela kaum tani. Dengan sudut pandang berbeda, T.B. Darwin Effendi hadir melalui cerpen Ketika Padi Menguning. Tema yang diangkat tetap sama, yaitu landreform. Namun peristiwa yang dihadirkan tak seperti cerpen-cerpen sebelumnya. Ia mengangkat sudut pandang golongan tuan tanah dan tengkulak. Tentu saja, dalam cerpen ini dimunculkan pikiran licik dua golongan tersebut. Namun pada akhirnya, rakyat tampil sebagai pemenang. Tak luput pula, kritik terhadap kaum agamawan, yaitu haji. Dalam masyarakat Indonesia, pelaksanaan ibadah haji menunjukkan kelas sosial. Dengan berhaji, berarti seseorang merupakan orang yang kaya. Kekayaan itu sebagian berupa penguasaan tanah yang berlebihan. Atas penguasaan tersebut, rakyat melawan. Peristiwa ini dihadirkan oleh Sesongko dengan cerpen Tetap Bertahan. Cerpen ini juga menjadi kritik terhadap kiai-kiai di Jawa yang memiliki pondok pesantren. Pondok pesantren
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
142
cenderung membutuhkan tanah luas karena untuk menampung para santri yang jumlahnya juga tak sedikit. Hal ini yang kelak dimanfaatkan sebagai isu agama dalam pembantaian
PKI.
Kaum
komunis
dibantai
karena
dianggap
mengancam
keberlangsungan pesantren dan kekayaan pribadi seorang kiai karena tuntutan pelaksanaan landreform. Seperti halnya cerpen lainnya, akhir dari alur cerita memihak pada rakyat.
B. Perempuan dan Anak Wanita19 Oleh Damaira20 Kami bukan lagi Bunga pajangan Yang layu dalam jambangan Cantik dalam menurut Indah dalam menyerah Molek tidak menentang Ke neraka mesti ngikut Ke sorga hanya menumpang Kami bukan juga Bunga tercampak Dalam hidup terinjak-injak Penjual keringat murah Buruh separuh harga Tiada perlindungan Tiada persamaan 19
Lihat buku Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI ditulis oleh Saskia E. Wieringa. Galang Press, Yogyakarta, 2010. Hal 212 – 213. 20 Puisi Damaira (Sugiarti Siswadi) di atas dimuat pertama kali di majalah Api Kartini, Maret 1959, halaman 2. Dalam buku Saskia Wieringa puisi ini dimuat dua kali dalam kesempatan yang berbeda. Versi yang lain diambil dari Contemporary Progressive Indonesian Poetry, terbitan Lekra tahun 1962, halaman 65, tanpa judul, kata-katanya sama, hanya 4 stanza (kelompok baris) pertama digabung menjadi dua, satu dengan dua, tiga dengan empat, sehingga total jumlah stanzanya jadi tiga bukan lima.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
143
Sarat dimuati beban Kami telah berseru Dari balik dinding pingitan Dari dendam pemaduan Dari perdagangan dilorong malam Dari kesumat kawin paksaan ―Kami Manusia!‖
Berbicara mengenai perempuan, seringkali mengarah pada kesetaraan gender. Apalagi pada masa-masa di mana laki-laki masih sangat mendominasi. Kesetaraan ini pun kerap muncul dalam karya-karya penulis perempuan pada masa revolusi. Menurut Chambert-Loir,21 di luar konteks organisasi perempuan, pada masa ini, dikenal empat penulis karena produktivitasnya, yaitu S. Rukiah, NH Dini, Suwarsih Sjojopuspito dan Sugiarti Siswadi. Secara umum, para penulis perempuan pada
masa
ini
telah
menyadari
feminisme
meski
tidak
sepenuhnya
mengaplikasikannya dalam karya mereka. Loir mengatakan, dari keempat pengarang perempuan di atas, karya Sugiarti kurang memiliki nilai sastra tetapi kuat dalam napas politik. Hal ini mudah dipahami karena ideologi Sugiarti berhaluan kiri dan oleh karenanya lebih mengutamakan substansi sebagai fungsi praktisnya. Sebenarnya begitu pula S. Rukiah, yang keduanya sama-sama duduk dalam redaksi Api Kartini. Bagi peneliti, karya keduanya memang memiliki kecenderungan yang mirip, namun S. Rukiah lebih banyak memproduksi karya yang memiliki tema yang lebih umum dan cenderung menghindari tema revolusi. Hal ini didukung pula oleh
21
Henri Chambert-Loir dalam artikelnya berjudul ―Les femmes et l'écriture : La littérature féminine indonésienne‖. Dimuat dalam Archipel. Volume 13, 1977. Hlm. 267-282.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
144
keterlibatannya dalam gerakan kiri kurang begitu kuat. Oleh karena itu, karya-karya S. Rukiah lebih dilirik oleh Balai Pustaka dan namanya lebih tersohor daripada sahabatnya, Sugiarti. Sementara itu, Sugiarti memiliki keberpihakan yang jelas pada ideologi kiri. Hal inilah yang kemudian mengecoh Loir dengan menduga bahwa S. Rukiah dan Sugiarti merupakan perempuan yang sama, bahwa Sugiarti Siswadi merupakan nama samaran dari S. Rukiah. Kesamaan keduanya adalah pada nasib mereka yang dikebiri Orde Baru. Melalui majalah Api Kartini, Sugiarti banyak melakukan aktivitas jurnalisme dan menulis. Ia juga tergabung dalam susunan redaksi majalah tersebut. Pada masa Sugiarti produktif sebagai pengarang, revolusi memang menyedot perhatian banyak kalangan pada perubahan di segala bidang, utamanya perubahan dengan cara kekerasan. Hal ini kemudian mengesampingkan pihak-pihak yang cenderung dianggap lemah. Pihak yang berdiri pada posisi ini adalah perempuan dan anak. Tak banyak yang memberi perhatian kepada pihak ini. Pembahasan mengenai perempuan dan anak seolah menjadi bagian terpisah dari organisasi yang berafiliasi dengan PKI ini. Seolah-olah wilayah perempuan hanya mendapat porsi di sayap lain, yaitu Gerwani. Padahal beberapa anggota Lekra adalah perempuan. Bahkan, dari jumlah yang hanya beberapa itu menduduki posisi penting. Salah satunya adalah Sugiarti Siswadi. Oleh sebab itu, jarang ditemukan tulisan tentang peran penting perempuan dalam tubuh Lekra. Kondisi seperti ini berbeda dengan Sugiarti Siswadi. Nyaris seluruh karyanya, terutama cerpen, memiliki keberpihakan terhadap perempuan dan anak. Tentang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
145
tokoh-tokoh perempuan, Sugiarti mencitrakannya sebagai seseorang yang berwibawa, tegas, dan penuh kasih sayang seperti dalam puisi yang dikutip pada awal subbab ini. Pencitraan ini sangat jelas dalam puisi Wanita. Puisi ini merupakan karangan Sugiarti Siswadi dengan nama samaran. Hanya dalam karya puisi ini, ia menggunakan nama samaran. Selanjutnya, ia lebih senang menggunakan nama Sugiarti Siswadi. Puisi ini menunjukkan sikap tegas Sugiarti tentang pandangannya mengenai perempuan. Bahwa ia menentang budaya patriarki yang meletakkan perempuan sebagai subordinasi. Ia menolak budaya Jawa yang dalam konteks keagamaan memberi tempat kepada perempuan sebagai ekornya laki-laki. Terlihat jelas dalam larik ke nereka mesti ngikut, ke surga hanya menumpang. Larik ini bisa dibandingkan dengan ungkapan Jawa, swarga nunut neraka katut, (perempuan) ke surga menumpang ke neraka ikut terbawa (laki-laki). Kesadaran gender ini, dalam pandangan Sugiarti telah membuat kami (perempuan) telah berseru, bahwa kami manusia! Dengan menegaskan bahwa perempuan adalah manusia, makna yang ingin disampaikan adalah kesetaraan. Tak ada lagi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Tak ada lagi anggapan bahwa perempuan adalah bunga yang menjadi korban pemaduan, perdagangan dilorong malam, dan korban kawin paksaan. Lebih tegas lagi, pada 1 Mei 1965, Api Kartini memuat puisi Sugiarti berjudul Kebebasan. Berikut puisinya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
146
Kebebasan22 Kebebasan telah mengubah wajah dunia Dirajainya otak, hati dan kepribadian Disingkapnya kabut digunung, dilembah, dipantai, Diladang, dipabrik, dikota-kota Dan dihati kami, wanita. Kini kami bukan lagi Hanya melahirkan prajurit pekerja Kami adalah prajurit pekerja Bukan lagi hanya isteri pahlawan rakjat Kami adalah pahlawan rakjat Dan jika nanti benteng zaman tua sudah hancur Perkasa berdiri kubu pekerja dipersada tanahairku Kami bukan lagi hanya penabur bunga Membaca doa dan meratapi kehilangan Kami adalah sebahagian anggota pasukan yang terdepan
Secara keseluruhan, puisi Sugiarti di atas memberikan energi kepada para perempuan untuk tak hanya menjadi perempuan yang melahirkan prajurit pekerja, isteri pahlawan rakjat, dan penabur bunga. Ia mendorong perempuan untuk maju ke barisan pasukan yang terdepan menjadi prajurit pekerja, menjadi pahlawan rakyat. Kesetaraan gender pun diungkapkan oleh Sugiarti dalam puisi berjudul Kasih Bersemi. Isi puisi ini terkesan melenceng dari judulnya. Kisah kasih hanya sebagai sandaran awal sebagai penggambaran penyair terhadap konteks percakapan antara laki-laki dan perempuan. Perhatikan kutipan puisi berikut ini. 22
Menurut Saskia E. Wieringa, puisi ini juga dimuat dalam Contemporary Progressive Indonesian Poetry, hlm. 66. Dimuat secara berurutan dua halaman dengan puisi berjudul Wanita. Kedua puisi ini memiliki luapan energi yang bisa dianggap sama.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
147
,,Pipimu merah jambu, adik” ,,Ya, dipulas hangat matari komune rakyat” ,,Tanganmu kuat dan coklat, abang,” ,,Ya, diganggang tanur tinggi pabrik Wuhan.” ,,Berapa pikul kol kaupanen adik” ,,Regu kerjaku, abang, regu pilihan.” ,,Betapa ton baja, kautuang, abang?” ,,Tahun depan aku bakal jadi pekerja teladan.”
Kutipan puisi Kasih Bersemi ini merupakan cerita tentang produksi sebagai titik tumpunya, bukan kisah kasihnya. Hanya puisi ini dari keseluruhan karya Sugiarti yang dipoles dengan kisah sejoli. Tapi nyatanya justru melenceng dan kembali pada garis ideologinya. Lebih dari itu, kisah antara laki-laki dan perempuan ini menjadi upaya penyair untuk mengedepankan pandangannya tentang kesetaraan. Bahwa ketika laki-laki bekerja, pun demikian dengan perempuan. Laki-laki berjuang, demikian pula dengan perempuan. Kerja merupakan bagian dari perjuangan revolusi. Representasi kerja sebagai bentuk perjuangan yang dilakukan pula oleh kaum perempuan yang dilukiskan Sugiarti di atas memiliki hubungan paralel dengan puisi Lagu Juang Wanita Sejati karya Ratnasih.23 Puisi ini menyerukan ―semangat banteng merah‖ dalam ―bekerja, belajar pada massa‖ untuk mencapai hari esok. Selain puisi di atas, peneliti tidak menemukan karya yang serupa. Sedikit perhatian perempuan tentang kaumnya sendiri membuat puisi-puisi bertema tentang
23
Gugur Merah. Hlm. 586 – 587.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
148
kerja dan perjuangan perempuan menjadi ciri tertentu pengarang perempuan Lekra. Kebanyakan pengarang perempuan Lekra larut dalam tema-tema besar revolusi. Kesadaran pengarang perempuan Lekra terhadap rakyat menarik simpati pengarang laki-laki. Misalnya ditunjukkan oleh D.N. Aidit dalam puisi Ziarah ke Makam Usani.24 Aidit mengapresiasi sikap Usani memiliki kecintaan, melakukan pembelaan, dan kesetiaan terhadap kaum buruh dan tani yang ia wujudkan dalam kehidupan sehari-harinya. Apresiasi yang serupa juga di sampaikan oleh Koe Iramanto kepada Aminah Djamil dalam puisinya yang berjudul Aminahdjamil.25 Kesadaran perempuan tersebut dapat dilihat dalam isu tentang kesetaraan gender yang memang marak dibicarakan pada masa itu. Misalnya dengan menjadi isu pokok pada Kongres Gerwis/Gerwani. Kongres pertama tahun 1951, bertema sekitar permasalahan perdamaian, hak-hak anak dan wanita.26 Kongres kedua tahun pada 1954, bertema tentang hak-hak wanita dan anak-anak, kemerdekaan dan perdamaian. Para perempuan ini menuntut adanya perdamaian dengan antiimperialisme, mengutuk keras percobaan nuklir, menumpas gerakan Darul Islam, yang antikomunis dan meneror masyarakat di desa-desa, khususnya di Jawa Barat.27 Hasil Kongres II ini tak hanya bisa dinikmati oleh kalangan anggota saja, melainkan disebarluaskan ke berbagai daerah dengan sasaran perempuan pada umumnya. Tujuannya untuk menggemukkan anggota agar dapat menjadi gerakan
24
Ibid. 297 – 298. Ibid. 426. 26 Harian Rakjat, 1 Desember 1952. 27 Harian Rakjat, 27 Maret 1954. 25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
149
perempuan yang tak dipandang sepele. Tujuan itu pun tak sulit dicapai dengan sosialisasi ide dan program secara intensif oleh kader. Jumlah anggota kemudian membengkak mencapai satu juta pada akhir 1955.28 Dari jumlah yang banyak itu, kemudian dibentuk kepengurusan cabang untuk lebih mendorong kesadaran perempuan akan haknya. Isu perkawinan menjadi perhatian utama. Sebab masih banyak ditemukan perempuan yang menikah belum pada usia yang matang. Bukan tak mendapat kendala, justru ide-ide Gerwani ini berbenturan dengan ideologi (agama dan budaya), pekerjaan rumah tangga, dan berbagai kendala teknis lainnya. Untuk itu, Api Kartini menyediakan ruang-ruang untuk berbagi wacana dan memberikan tips-tips dalam mengatasinya, bahkan sampai pada menyediakan menu makan dan membuat pakaian untuk keluarga. Didukung pula oleh Harian Rakjat dengan memberi ruang khusus bernama ―Ruangan Wanita‖. Berlanjut pada Kongres III pada tahun 1957, Gerwani menyoroti persoalan hak yang sama bagi perempuan dalam perkawinan, hukum adat serta perburuhan. Tak luput pula dibicarakan tentang pelayanan sosial, seperti sekolahan, penitipan anak, layanan kesehatan, larangan film porno, pencabutan IGO/B, masalah pedesaan yang menyangkut bagi hasil dan riba, pajak tinggi, dan kenaikan harga bahan pokok, pembasmian gerombolan subversif seperti Darul Islam, dan menuntut agar percobaan nuklir semata-mata demi tujuan perdamaian.29 Masalah yang sama juga tak jauh berbeda dibicarakan pada Kongres IV pada tahun 1961. Bedanya, pada tahun ini,
28 29
Harian Rakjat, 22 Juni 1956. Harian Rakjat, 8 Januari 1958.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
150
politik lebih berperan dalam tubuh Gerwani, terutama dukungan mereka terhadap kebijakan Sukarno. Dari keseluruhan isu yang mengemuka, nyaris seluruhnya digarap oleh Sugiarti Siswadi. Artinya, sebagai pengarang perempuan Lekra, ia juga paham tentang isu-isu perempuan di luar konteksnya sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra. Peran yang cukup berbeda dengan deretan pengarang perempuan lain pada masanya. Selain isu perempuan, Sugiarti juga menunjukkan minatnya dalam berbagai isu yang mengemuka pada masa itu sebagai konsekuensinya menjadi anggota Lekra. Minatnya itu ditunjukkan misalnya dalam cerpen Putri yang Beradu (tentang perdamaian, nuklir, dan peran istri dalam rumah tangga yang sekaligus juga seorang perawat), Budak Kecil (buruh anak/perempuan, perempuan aktivis sosial, dan kemiskinan), Satu Mei Didesa (buruh), Kepada Sahabat Asia-Afrika (puisi tentang peran dan perjuangan Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika), Yang Kesepian (antiimperialis, anti-Amerika, kenakalan anak, kenakalan istri, budaya pop, dan pendidikan), Sorga Dibumi (budaya patriarki, korupsi, agama, dan perburuhan), Rumah yang Kesembilan (penggusuran dan keadilan), serta Soekaesih (perempuan yang maju ke barisan depan sebagai prajurit pekerja, pahlawan rakyat). Untuk mendapat gambaran tentang karya Sugiarti yang memiliki pararelitas dengan karya-karya sastrawan lainnya, berikut dibahas satu karya yang berjudul Kepada Sahabat Asia-Afrika. Puisi sangat penting karena menandai pemikiran internasional Sugiarti, terutama dalam perdamaian dunia. Tema Asia-Afrika begitu
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
151
diminati oleh banyak sastrawan Lekra karena di dalamnya negara-negara itu bersatu melawan satu musuh. Amerika menjadi musuh utama bagi rakyat Asia-Afrika yang terjajah. Benni Cung mengatakan dalam puisi ―Hancurkan musuh utama: / Amerika! // Merdeka /atau mati / hancurkan Amerika!‖30 Lebih dahsyat lagi Benni Cung menggunakan diksi ―sungguh busuk air comberan‖, ―perampok‖, ―bobrok‖, dan ―kebusukan yang paling busuk‖ untuk mengutuk musuh utama itu.31 Dalam puisi di atas, diungkapkan kesadaran negara-negara Asia-Afrika yang memiliki semangat perlawanan dan menjadi ‖tanda zaman‖ untuk menandai bahwa ‖penjajahan telah silam‖. Mereka bersama-sama mengutuk Amerika sebagai ‖setan dunia‖ atau penjahat perang. Amerika menunjukkan kekejamannya dengan menebarkan racun dan mengebom rakyat Vietnam dan Kongo. Dari Vietnam, H.R. Bandhaharo merepresentasikan gerakan melawan imperialisme yang diusung oleh rakyat dalam puisi Hidup dan Mati.32 Perlawanan itu akhirnya melahirkan pahlawan rakyat yang berani. Ialah Trio, seorang nasionaliskomunis-Budhis yang menjalani siksaan di tiang gantungan imperialis tanpa rasa takut. Meski mendapat berbagai siksaan, Van Troi tak juga mau menyerah. Baginya, ―keganasan imperialis tak mampu menutupi kejernihan pikiran dan hatinya‖. Pada bait selanjutnya, Bandaharo mengecam Amerika dengan kata-kata yang keras, ―setan dunia / musuh manusia / enyahlah dari muka bumi!‖. Apresiasi serupa terhadap 30
Puisi Yankee Go Home! dalam Gugur Merah, 240. Tunggu hari Akhirmu Yankee. Ibid. 837 – 838. 32 Ibid. 392 – 393. 31
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
152
pahlawan rakyat Vietnam disampikan pula oleh Sartono. Namun kali ini pada Tran Van Dang dalam puisi In Memoriam Tran Van Dang.33 senyum kepercayaan yang menyungging dibibir, mesra berani dan harga diri putra tanahair senyum Vietnam, keberanian Vietnam membawa dendam menghantam musuh Amerika dan boneka bumiputera
Puisi-puisi di atas merupakan ekspresi dari semangat kebangkitan Asia-Afrika. Para sastrawan Lekra menunjukkan kesetiakawanan terhadap bangsa lain karena memiliki musuh yang sama, yaitu Amerika. F.L. Risakota menunjukkan dalam puisi Setia kawan Kami34. Puisi ini mengobarkan api optimisme bangsa-bangsa AsiaAfrika, bahwa perjuangan ini dilakukan secara bersama-sama. Senada dengan puisi ini, Bumi Membara karya Budhi Santosa Djajadisastra35 mengemukakan hal yang serupa. Bahwa imprealisme telah berhadapan dengan gerakan perlawanan di muka bumi, tidak terkecuali di Indonesia dan Vietnam. Puisi-puisi lain dari sastrawan Lekra yang memberikan semangat optimisme Asia-Afrika sekaligus hujatan kepada Amerika adalah Dari Daerah Dimana Darah Pernah Tumpah karya S.W. Kuncahjo,36 Percikan Api Kemerdekaan karya M.A.
33
Ibid. 746 Ibid. Hlm 342. 35 Ibid. hlm 257. 36 Ibid. Hlm 716-717. 34
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
153
Simandjuntak37. Diksi yang digunakan pun memiliki kemiripan, yaitu ―setan dunia imperialis Amerika Serikat‖. Berbeda dengan puisi-puisi di atas, penggunaan diksi dalam puisi Sahabat Asia-Afrika karya Sugiarti Siswadi cenderung lirih namun tak mengurangi ketegasannya. Sama-sama memiliki potensi sebagai puisi pamflet atau puisi demonstrasi. Bahkan, jargon ―setan dunia‖ yang digunakan oleh semua penyair di atas, tak masuk dalam puisi Sugiarti ini. Kata-kata hujatan pun tak muncul. Hal ini bukan berarti Sugiarti tak memahami konteks, melainkan ia memiliki penafsiran dan sudut pandang serta cara penyampaian yang berbeda sebagaimana dalam karyakaryanya yang lain. Perbedaan yang dimunculkan Sugiarti tersebut adalah ia masuk ke dalam ruangan Konferensi Asia-Afrika dan memasuki lorong-lorong hati para peserta konferensi dengan menyebut mereka sebagai keluarga dan sahabat. Sahabat, hari ini kita duduk mengitari meja, dalam pertemuan keluarga, dilehermu kukalungkan bunga-bunga, diharumi dengan wangi persahabatan yang kami petik dalam perihnya perjuangan, dari taman tanah airku. Kami suguhkan minuman manis-manis, dan kasih manis-manis. Kita saling berjabatan, dan mata mesra berpandangan.
37
Ibid. Hlm 502-505.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
154
Pemandangan dalam kutipan di atas, sekiranya dapat disaksikan dalam ruang sidang konferensi. Sugiarti menggambarkan isi ruangan yang penuh kehangatan layaknya sebuah keluarga. Tak luput pula ia hadirkan suguhan dan berbagai ornamen dalam ruangan tersebut. Yang lebih penting dari gambaran visual tersebut adalah ―kita saling berjabatan, / dan mata mesra berpandangan‖. Dua baris inilah yang menjadi titik poin pada baris ini. Jika dalam puisi sastrawan Lekra lainnya mendengungkan masalah internasional yang perlu mendapatkan perlawanan, Sugiarti dengan lirih mengatakan bahwa masalah imperialisme adalah ―masalah keluarga‖ dan perlu dipecahkan dalam konferensi tersebut. Masalah ini dianggap sangat penting sehingga perlu mengumpulkan seluruh anggota keluarga, sebab pertaruhannya begitu besar. Besar yang kita pertaruhkan, sahabat, ia bernama Kemanusiaan, ia bernama Kemerdekaan, ia bernama Kebebasan, ia bernama Harga Diri, Kesejahteraan, Perdamaian, ja, ia adalah segala! cita-cita terbaik manusia.
Lalu muncullah perhatian Sugiarti yang juga seringkali muncul dalam karyanya yang lain, ialah persoalan anak. Berikut kutipannya. Kepada anak-anak yang lahir hari-hari ini, dan besok pagi, dibesarkan dalam dunia baru yang datang, kita telah menyanjikan matahari kehidupan, yang cemerlang dalam sejuta cahaya, dan abadi!!!
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
155
Pada bait di atas, terasa benar perbedaan sudut pandang Sugiarti dengan kawan-kawannya. Jika yang lain mengungkapkan gerakan perlawanan hari ini, ia masih saja memikirkan generasinya kelak, yaitu anak-anak. Bahwa yang diperjuangkan bukan saja rakyat saat ini, melainkan juga rakyat di masa mendatang. Tentu saja maksud dari puisi-puisi sebelumnya juga demikian, namun sudut pandang yang berbeda menghasilakn daya ungkap yang berbeda pula. Perjuangan itu sudah begitu kuat dan rapat. Maka bagi sugiarti, Tiada satu kuasa memisahkan kita, karena kita dilahirkan dan di besarkan, dari satu api!!!! Perhatian Sugiarti terhadap perjuangan revolusi dan perempuan memang sangat besar, akan tetapi hal ini tidak menyurutkan perhatiannya kepada anak-anak seperti terlihat dalam puisi di atas. Ia berada dalam posisi terdepan dalam memperjuangkan nasib anak. Terlihat jelas dalam pidatonya saat Konfernas I Lekra di Medan dengan judul ―Literatur Kanak-kanak‖. Ia menekankan pentingnya literatur anak yang dapat disejajarkan dengan pendidikan sastra, serta menanamkan kecintaan anak pada sosialisme. Oleh sebab itu, Sugiarti menulis cerpen Jang Kesepian, dengan memberi porsi lebih besar terhadap kemunculan tokoh anak yang banyak terpengaruh oleh budaya pop dari Amerika. Keprihatinannya terhadap buruh anak ia tuangkan dalam cerpen Budak Kecil, serta nasib seorang anak ketika terjadi perang dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara. Lebih dari itu, Sugiarti kerap memunculkan tokoh anak yang berada di tengahtengah ketegangan politik dan sadar terhadap perjuangan orang dewasa. Hal ini
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
156
merupakan aplikasi dari pidatonya yang menekankan pemahaman anak pada sosialisme. Anak yang dimaksud oleh Sugiarti bukanlah yang duduk di bangku sekolah formal. Anak-anak itu adalah anak petani dan buruh, anak-anak rakyat kecil. Sasaran terhadap pelajar/mahasiswa banyak disuarakan oleh sastrawan lain seperti Pramoedya Ananta Toer. Pandangan Sugiarti tentang anak dapat dilihat pada Bab II, subbab Lekra dan Literatur Anak. Pendapat Sugiarti mewakili suara Lekra dalam menyikapi berbagai kasus tentang anak karena telah menjadi resolusi pada Konfernas I Lekra. Pandangan Sugiarti tersebut pernah pula diungkapkan oleh Aidit dalam pidatonya saat KSSR tahun 1964. Perbedaannya dengan isi pidato Sugiarti di Medan hanya pada objeknya saja. Ia mengganti rakjat dengan anak. Bahwa kecintaan dan kebencian yang dimaksud oleh Aidit memang selayaknya diterapkan pada anak sejak usia dini. Tak hanya retorika di atas mimbar, Sugiarti mengimplementasikannya dalam karyakaryanya. Untuk dipaparkan
menguatkan
beberapa
pandangan-pandangan
kutipan
yang
Sugiarti
merepresentasikan
Siswadi,
berikut
perhatiannya
kepada
perempuan dan anak. ―Tetapi anak sekecil itu sudah bongkok dengan kewajiban-kewajiban mengurus adiknya, dan apa hari ini dia direnggut dari rumah kediamannya, diserahkan mentah-mentah, mengabdi kepada orang yang akan memerintahnya dari pagi sampai dia mapan tidur. Aku lirik airmukanya, sayu hatiku. Saya tidak dapat menerima anak itu. Saya membutuhkan pembantu rumah tangga yang dapat bekerja keras. Keluargaku besar dan anak-anak masih kecil. Kerap pula saya tinggalkan pergi memenuhi kewajiban sosialku.‖ (Budak Kecil)
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
157
Kutipan di atas merupakan pandangan Sugiarti tentang buruh anak. Kondisi masyarakat dalam keterpurukan ekonomi menuntut anggota keluarganya untuk memeras keringat yang dapat menghasilkan uang. Tak terkecuali anak di bawah umur. Perburuhan anak ini menjadi bentuk keprihatinan Sugiarti sebagai pengarang perempuan. Sebaliknya, anak yang tak diajarkan bekerja akan tenggelam dalam pergaulan ―koboy‖, gaya hidup Amerika. Sugiarti menunjukkannya dalam kutipan berikut. Kerja! Yah, mengapa orang mesti kerja seperti ibunya, yah mengapa seperti ibunya itu bisa dinamakan kerja? Seperti juga petualangannya. Masyarakat tidak bisa menghargainya, menghormatinya, karena seperti petualangannya, sikap hidup ibunya cari nafkah bukanlah kerja. Kerja sejati yang berhak mendapat penghargaan masyarakat. Tidak pernah ia dengar orang menggerutu dan menyumpah-nyumpah buruh pabrik sepatu, atau buruh becak, atau petani, atau buruh kereta api, atau nelayan, tidak. Tetapi kerja semacam ibunya lakukan, dan semacam ia lakukan dikutuk, dilihat sebelah mata karena itu bukanlah kerja. (Jang Kesepian)
Dapatlah dibayangkan, bagaimana Sugiarti mencoba mewujudkan harapannya tentang menanamkan kecintaan seorang anak kepada sosialisme. Tokoh Jono dalam cerpen tersebut sangat kecewa dan terpukul karena pekerjaan ibunya sebagai model fotografi yang cenderung mengikuti budaya pop Amerika. Selain itu, Sugiarti juga mengkritik sistem pendidikan yang cenderung menyudutkan anak didiknya karena kurang bisa mengikuti pelajaran yang diberikan. Untuk memberikan deskripsi terhadap sosialisme yang lebih mendalam, Sugiarti menempatkan tokoh anak dalam peristiwa revolusi. Perhatikan kutipan berikut. ―Mbok,‖ kecil tinggi suara seorang anak laki-laki: ―Itulah orang-orang yang nanti menembaki kita? Aku tak takut, mbok, betul-betul tidak takut. Kalau ada
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
158
apa-apa, mbok pegang Minem saja.‖ Pahlawan cilik ini melemparkan segala kebijaksanaan, berhenti, menahan langkah emaknya ia tudingkan telunjuknya yang kurus kearah pengawal-pengawal bersenjata. ―Tidak Min, tidak. Kita tidak merampok, tidak mencuri. Hanya maling yang ditembaki. (Upacara Pemakaman)
Hasil dari penanaman ideologi sosialis di atas diperlihatkan oleh Sugiarti dalam cerpen Sorga Dibumi. Surga yang dimaksud dalam cerpen tersebut adalah terciptanya masyarakat sosialis sebagaimana cita-cita PKI. Berikut kutipannya. Sekarang, saya tidak hanya berdoa saja, tetapi saya dan semua anak kecil yang dulu berdoa di sudut-sudut gelap di tempat tidurnya karena takut azab neraka, berbuat. Berbuat, berjuang, untuk terciptanya sorga. (Sorga Dibumi) Kutipan-kutipan di atas memiliki paralelitas dengan puisi S. Rukiah Kertapati tentang makna kerja dan revolusi bagi anak, meski dalam genre yang berbeda (puisi dan cerpen). Puisi itu berujul Anak Buruh38. Misalnya yang tampak dalam kutipan dari cerpen Budak Ketjil dan Upacara Pemakaman, gambaran yang didapat adalah walaupun hidup dengan kerja keras tetapi buruh dan tani tetap miskin. Penggambaran semacam ini adalah ironisme yang lumrah dalam karya sastrawan Lekra bertema kehidupan buruh dan rakyat jelata. Gambaran lain yang menunjukkan paralelitas karya kedua pengarang perempuan ini adalah upaya merasakan dan bersimpati terhadap kesengsaraan rakyat, perjuangan kelas, perhatian kepada anak, memberikan pemahaman akan arti kerja, serta harapan kehidupan yang lebih baik. Kertapati menggunakan anak buruh sebagai aku lirik sarana penyampai pesan. Ia mengerti betul pekerjaan dan derita orangtuanya.
38
Ibid. Hlm 648.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
159
ayahku menjadi buruh setiap hari mengeluh kerja berat meras keringat mencari upah o, tahankan lelah! ibuku jual sayuran payah berjalan seharian membawa bayam, labu, kangkung, kacang, lombok, terong dan jagung bantu ayah cari uang o, lupa diri banting tulang! apabila malam datang ayah terlentang dua-dua merenung untung dua-dua merasa payah o, mulialah ibu dan ayah! kini ayah menderita ibu pedih sengsara
tampaklah dalam kutipan di atas bahwa kesejahteraan keluarga buruh masih menjadi impian. Hidup tetap menderita meski kerja telah keras. Narasi yang lugas dan bersahaja dari seorang anak tersebut, kiranya mampu dipahami oleh semua usia, baik tua, muda maupun anak-anak. Hal ini dimaksudkan memberikan pemahaman kepada anak-anak bahwa kehidupan yang susah ini mestilah juga dijalani dengan prihatin, bukan sekadar bermain. Masa revolusi menuntut mereka untuk demikian. Dengan laku prihatin dan memahami arti kerja yang telah dilakukan oleh orangtua, seorang anak akan dapat memahami kondisi zamannya yang membutuhkan peran sertanya untuk turun membantu perjuangan. tapi o, ibu dan ayah tunggulah di hari esok! siaplah di hari esok!
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
160
Kesadaran anak seperti kutipan di atas, dapat pula ditemukan dalam kutipan cerpen Sorga Dibumi. Bahwa seorang anak telah memahami kondisi orangtua dan zamannya lalu ia tergerak untuk terjun dalam gerakan revolusi. Selain itu, pemahaman ini akan dapat menghindarkan anak dari pergaulan dengan gaya hidup Amerika seperti dalam kutipan cerpen Jang Kesepian. Dengan demikian, bait berikut menjadikan puisi tersebut memperoleh nuansa revolusioner yang khas dalam tradisi Lekra seperti terdapat dalam kutipan Upacara Pemakaman: kembangkan dada serta dunia bakarlah api menyala-nyala aku bangkit merampasmu kemenangan di tanganmu! esok menang! esok menang!
C. Partai dan Cita-cita Sosialis Meski Lekra adalah kerja kebudayaan, namun afiliasinya dengan PKI membuka ruang lebar untuk ditafsirkan sebagai pekerja partai. Tugas sastrawan Lekra adalah memproduksi karya sastra yang senada dengan realisme sosial dengan panduan kombinasi 1-5-1. Lebih lanjut, Sugiarti menambahkan bahwa yang bisa mengantarkan bangsa Indonesia menuju kejayaan adalah sosialisme yang didasarkan pada Manipol. Pernyataan Sugiarti ini senada dengan AD/ART PKI, Tujuan PKI dalam tingkat sekarang ialah mencapai sistem Demokrasi Rakyat di Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan Sosialisme dan kemudian Komunisme di Indonesia. Sistem Demokrasi Rakyat ialah sistem pemerintahan Gotong-Royong dari Rakyat, oleh Rakyat, dan untuk Rakyat, sedangkan Sosialisme ialah sistem masyarakat tanpa pengisapan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
161
atas manusia oleh manusia dan Komunisme ialah sistem masyarakat adil dan makmur sebagai tingkatan yang lebih tinggi dan kelanjutan daripada Sosialisme.39 Pada masa awal kebangkitan kedua PKI, suhu politik di Indonesia memanas. Kondisi politik inilah yang menghasilkan prinsip politik sebagai panglima. Pertarungan politik dengan retorika saling menggayang sudah menjadi hiasan seharihari di media massa. Pada pemilu pertama di Indonesia tahun 1955, pertarungan politik diikuti oleh 29 partai. Setelah pemilu dilaksanakan, keluarlah para pemenangnya. Yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Empat partai ini yang menduduki posisi paling atas, meksi tak ada partai yang menang secara dominan. Dengan demikian, keterwakilan dalam parlemen menjadi variatif. Yang lebih menarik daripada pemilu saat itu adalah bukan saja soal siapa pemenangnya, melainkan merupakan upaya mewujudkan cita-cita partai. Dengan adanya wacana yang demikian, maka gerak partai tak hanya terlihat ketika menjelang pemilu. Partai-partai berebut simpati rakyat dengan beragam agenda. Demikian pula dengan PKI. PKI sebagai partai yang menduduki nomor empat, melakukan berbagai strategi untuk menarik simpati masyarakat. Untuk lebih dekat dengan rakyat, PKI memilih jalan kebudayaan. Jalan inilah yang diyakini mampu meningkatkan perolehan suara dalam pemilu. Kebudayaan yang dimaksud adalah yang berkepribadian nasional, mengabdi buruh, tani dan prajurit, serta menyelesaikan revolusi nasional-demokratis dalam menuju ke sosialisme.40 39 40
Dikutip dari http://www.marxists.org/indonesia/indones/KongresPKIke7/KonstitusiPKI.htm Lihat pidato Aidit 1964, hlm 16.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
162
Dalam pidatonya, Aidit menjelaskan tentang peranan kebudayaan dalam politik serta peranan politik dalam kemajuan kebudayaan. Keduanya saling terikat. Lihat dalam kutipan berikut. ―bahwa pekerdjaan politik adalah otaknja partai, sedang sastra dan seni adalah hatinja partai. Orang komunis adalah manusia jang mempunjai otak dan hati jang terbaik. Oleh karenanja kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerdja politik dengan kerdja kebudajaan. Kedua-duanja menjadi bagian dari kehangatan revolusioner sekarang maupun dimasa jang akan datang.‖41 Kerja budaya di atas menjadi sarana politik untuk mewujudkan cita-cita partai tentang negara sosialis. Cara yang ditawarkan oleh Aidit adalah dengan mendidik rakyat untuk mencintai massa pekerja dan sekaligus membenci kaum imperialis, tuan tanah dan reaksioner. Humanisme kita harus mendidik Rakjat tidak hanja untuk mentjintai, tetapi djuga sekaligus untuk membentji, jaitu mentjintai sesama massa Rakjat dan sebaliknja membentji kaum imperialis, kaum tuantanah dan kaum reaksioner lainnja, mentjintai perdjuangan revolusioner untuk merampungkan tugas-tugas perdjuangan menudju ke-Sosialisme dan sekaligus membentji kontrarevolusioner jang menghalang-halangi terlaksananja tugas tersebut serta berkehendak memepertahankan sistim penghisapan imperialis dan feodal yang ada.42 Berbeda dengan Sugiarti, cara ini diterjemahkan sebagai pendidikan anak usia dini. Sejak kecil, anak mesti diajarkan untuk mencintai massa pekerja. Sebab itulah, Sugiarti kerap menempatkan tokoh anak dalam karya-karyanya. Lebih jauh lagi, negara sosialis yang dicita-citakan oleh PKI ditafsirkan oleh Sugiarti sebagai surga. Dalam terminologi agama, surga adalah tujuan akhir dari pengabdian pemeluk suatu
41 42
D.N. Aidit. 1964. Hlm 67. Ibid. Hlm 17.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
163
agama. Maka diartikan bahwa bagi anggota PKI, negara sosialis adalah tujuan akhir mereka sebagaimana termaktub dalam AD/ART mereka. Tak mengherankan jika kemudian Sugiarti menampilkan karya berjudul Sorga Dibumi. Hal menarik dari karya ini adalah penggambaran tentang surga. Tokoh anak dalam cerpen ini mengimajinasikan surga selayaknya doktrin agama, tetapi gambaran surga itu berkebalikan ketika ia telah dewasa. Negara sosialis adalah surga yang dimaksud. Oleh sebab itu, tokoh anak yang telah dewasa itu bekerja dan berjuang untuk terwujudnya surga di bumi. Sekarang, saya tidak hanya berdoa saja, tetapi saya dan semua anak kecil yang dulu berdoa di sudut-sudut gelap di tempat tidurnya karena takut azab neraka, berbuat. Berbuat, berjuang, untuk terciptanya sorga. (Sorga Dibumi) Cara lain yang ditawarkan olah Aidit dalam rangka mewujudkan ―surga‖ adalah dengan menuliskan sejarah perjuangan rakyat Indonesia. Misalnya tentang pemberontakan 1926, tanah pembuangan Digul, pemberontakan ―Zeven Provincien‖, Revolusi Agustus 1945, pembasmian PRRI-Permesta, Penghancuran DI-TII, pembebasan Irian Barat dan berbagai tema lainnya yang mampu membangkitkan perjuangan revolusi. Aidit berharap agar, Penulisan sedjarah perdjuangan jang memaparkan tradisi2 revolusioner Rakjat Indonesia harus tjepat disusun dan dipublikasikan setjara luas untuk lebih membangkitkan kebanggaan nasional dan meningkatkan perdjuangan revolusioner Rakjat Indonesia. Harapan Aidit ini direspon oleh sejumlah sastrawan dengan menerbitkan Api 26. Dalam buku tersebut, Sugiarti menyumbangkan cerpen berjudul Soekaesih. Cerpen ini memuat kisah paling pilu di antara cerpen-cerpen Sugiarti yang lainnya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
164
Adalah sebait tentang Haji Hasan yang menjadi korban pembunuhan. Darahnya belum juga kering, lalu disusul dengan darah Saerun dan Usin. Lebih keji lagi tentang kekejaman Kolonial Belanda dalam memperlakukan tahanan mereka, yaitu Soekaesih. Ia perempuan yang sangat gigih berjuang di bawah naungan PKI. Ia menjadi prajurit di barisan depan. Meski mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, Soekaesih tetap pada pendiriannya. Ia pun berpindah-pindah penjara dengan penyiksaan yang berbeda-beda. Namun inilah katanya, Sukaesih dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Beberapa lamanya vonis pun jatuhlah. Soekaesih dipindahkan ke penjara Glodok. Satu setengah tahun Soekaesih makan hati berulam jantung di sana: ―Aku mesti berlawan, mesti berlawan.‖ Hatinya menggelegak, tetapi badannya semakin habis. (Soekaesih) Meski perjuangan Soekaesih dan para sahabat gagal dalam pemberontakan 1926, namun yang ingin disampaikan adalah seperti amanat Aidit, untuk menumbuhkan semangat dan kebanggaan terhadap Indonesia, bahwa mereka memiliki pahlawan yang patut dicatat. Untuk itu, Sugiarti menulis, Ia dan banyak lagi Soekaesih-Soekaesih tidak hanya mempunyai hari kemarinnya yang gilang-gemilang, ia mempunyai hari sekarangnya yang tidak bercacat, dan ia menjanjikan hari-hari esoknya. Soekaesih-Soekaesih ini dapat bangga kepada seluruh hidupnya, kemarin, sekarang dan esok, dan seluruh Rakyat Indonesia wajib bangga kepada wanita-wanita begini. Sejarah tidak akan melupakan perintis-perintis kemerdekaan ini dan kemerdekaan berterimakasih kepada mereka. (Soekaesih) Dua cerpen Sugiarti di atas merupakan contoh dalam upaya partai mengambil simpati rakyat agar bergabung dan berjuang bersama PKI. Upaya lain yang dilakukan oleh PKI adalah dengan menguatkan kader-kadernya. Sebab partai tanpa kader
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
165
merupakan bangunan tanpa penyangga. Kader merupakan hal penting dalam sebuah partai. Penguatan kader dapat dibaca dalam cerpen Sugiarti berjudul Orang Kedua. Cerpen Orang Kedua memberikan kesempatan kepada kader untuk memimpin partai di tingkat cabang. Bahwa perlu memberikan pengalaman kepada kader yang memang telah dianggap mampu. Selain cerpen ini, penguatan kader partai juga bisa dilihat dari Belajar. Cerpen ini menyampaikan pesan tentang pentingnya saling memberikan informasi dan pengetahuan. Selain itu, juga untuk memberikan contoh perjuangan kaum komunis di negara lain, seperti Soviet, yang telah berhasil menerapkan sistem sosialis pada masa itu. Apa yang tergambar dalam cerpen-cerpen di atas merupakan upaya Sugiarti dalam berperan menarik simpati masyarakat dan menguatkan kader di dalam partai. Dari seluruh upaya tersebut, tujuan terbesarnya adalah menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis. Tujuan sebagai negara sosialis ini memiliki paralelitas dengan karya-karya sastrawan Lekra lainnya. Salah satunya dalam Danau Tigi Merah Darah karya Abdul Kohar Ibrahim.43 Cerpen ini berbicara tentang perjuangan merebut Irian Barat. Menolak segala bentuk penjajahan, sebab akan menjadi sumber penderitaan rakyat. Pesan yang sama juga disampaikan oleh Nooe Djaman dalam cerpen Ida dan Baju Prajurit.44 “Ida, aku bersumpah akan terus menghancurkan penjajah dari bumi kita ini...‖ begitu kata tokoh Harun kepada Ida.
43 44
Laporan dari Bawah. Hlm. 16 – 18. Ibid. Hlm. 225.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
166
Menciptakan masyarakat sosialis tidak hanya dengan tindakan melawan penjajahan dari luar, tetapi juga dari dalam untuk melawan kaum-kaum penindas dan pengisap rakyat. Sukarno mengatakan, Oleh karena itu, kami menamakan Revolusi kami suatu Revolusi sosialis, karena kami tidak ingin mempunyai suatu sistim kapitalis di Indonesia. Tidak, kami mengingini suatu sistim sosialis di Indonesia, suatu sistim tanpa penindasan manusia oleh manusia. Dan ia adalah juga suatu Revolusi kebudayaan, karena kami ingin membangun suatu kebudajaan Indonesia tanpa sesuatu tjorak imperialis atau kapitalis atau arsitokratis didalamnja. Saja ulangi lagi, ia adalah suatu Revolusi multi-kompleks, suatu Revolusi banjak muka.45
Sesuai dengan definisi sosialis di atas, lahir pula cerpen-cerpen yang merepresentasikannya. Selain cerpen-cerpen yang menghujat pada antikolonialisme, antiimperialisme, usaha kelas tertindas untuk menghapuskan pengisapan bisa juga muncul dalam cerpen yang bertema pertentangan kelas. Indikasi adanya harapan yang akan tercapai dari berbagai perjuangan seperti yang digambarkan dalam cerpen-cerpen di atas adalah kemenangan-kemenangan yang diraih kaum tani, buruh, dan kaum tertindas lainnya. Dengan demikian, cita-cita partai juga hampir tercapai. Dari segi cita-cita mencapai masyarakat sosialis, harapan-harapan tersebut adalah representasi utopia masyarakat sosialis di dalam karya sastra. Dengan demikian, secara implisit, cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah sastra yang berperan dalam rangka membangun harapan akan tercapainya masyarakat sosialis Indonesia. Beberapa kutipan yang dapat menunjukkan arah sosialis dan memiliki
45
Lihat dalam pidato berjudul Fadjar Kemenangan Menjingsing tahun 1962, hlm. 5.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
167
hubungan paralelitas dengan karya Sugiarti Siswadi dapat ditunjukkan dalam kutipankutipan berikut. Sering Saman mendengar kata sosialisme, dalam pendengaran pidato-pidato Presiden atau lain-lain pimpinan, maupun dalam surat kabar, tetapi tak pernah ia memikirkan bagaimana mewujudkan bersama-sama dengan semua temantemannya. Ia kini ingin mengerti banyak, ingin mendapat jawaban beribu pertanyaan yang timbul tenggelam dalam pikirannya. Saman kini mengetahui dimana ia berdiri dan dengan girang bersama jutaan teman ia berdiri meneruskan langkah yang tak pernah patah, dengan penuh harapan. (Kemana Arah karya S. Djin).46
Kutipan di atas merupakan pemahaman tokoh Saman terhadap pergolakan politik pada revolusi. Melalui propaganda partai, ia telah memahami arah perjuangan bangsa indonesia dan ia telah meyakininya sebagai kebenaran karena ia tak hanya sendirian, ia berada dibarisan orang-orang banyak. Cerpen ini merupakan pembelajaran bagi kader sebagaimana ditunjukkan Sugiarti dalam cerpen Belajar dan Orang Kedua. Kader yang dimaksud adalah kader-kader dari PKI. PKI dianggap sebagai partai yang mengakomodir harapan sosialis, sebagaimana dikemukakan dalam cerpen Subang karya Ira, ―Orang-orang yang percaya bahwa bumi ini kelak akan menjadi milik kaum pekerja‖. Dengan adanya anggapan tersebut, rakyat menjadi berharap kepada PKI, seperti diuangkapkan dalam cerpen Menyambut Kongres Nasional Ke-VI PKI karya L.S. Retno. Kepada Partai Komunis Indonesia yang selalu mereka cintai, mereka memasrahkan suatu harapan supaya Partai bisa memperjuangkan sepenuhnya segala tuntutan itu kepada pemerintah. Keyakinan akan kepercayaan kepada 46
Laporan dari Bawah. Hlm. 330 – 331.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
168
Partai tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab mereka juga tahu, hanya PKI lah yang dengan sepenuh tenaga memperjuangkan nasib mereka.47 Pak Wirjo dalam cerpen ‖Pak Wirjo Komunis Tua‖ karya Zein D. Datu48 mengatakan, ―di bawah panji-panji Komunisme semuanya itu akan menjadi nyata karena gerakan Komunisme menjamin kelangsungan hidup yang baik.‖ Perjuangan PKI untuk mendorong terwujudnya masyarakat sosialis. Bukan merupakan janji-janji kosong belaka. Hal ini diungkapkan oleh Kebangunan di Kota Bengawan karya Namikakanda. ‖Kami kaum komunis tidak boleh membohong. Kami harus berkata tentang kenyataan yang sewajarnya.‖ Orang tua itu bercerita dengan sederhana. Tapi dalam kesederhanaannya itu tersirat kebenaran yang sewajarnya. Apa yang telah kudengar dari mulut orang tua itu memberi kesan yang sangat mendalam dalam jiwaku. Kesan bahwa kecintaan rakyat pada P.K.I? Mengapa tidak Masjumi? ‖Bukankah Pedan daerah Islam?‖ ‖Pedan memang daerah Islam. Saya sendiri seorang haji.‖ Mendengar jawabannya itu aku menjadi geli. Dengan secara bergurau aku bertanya: ‖Masih bersholat lima waktu?‖ ‖Mengapa tidak? Itu adalah keyakinanku terhadap Tuhan Yang Maha Esa.‖ ‖Mengapa pilih P.K.I. Mengapa tidak Masjumi?‖ ‖Itu ada sebabnya Nak.‖ ‖Mengapa?‖ ‖P.K.I. memperjuangkan tanah untuk kami. Kau tahu, buat kami tanah adalah jiwa kami. Dan P.K.I. adalah otak kami.‖ ‖Masjumi?‖ ‖Ia menentang tuntutan kami.‖ ‖Kata orang P.K.I. adalah brandal,‖ aku ketawa. ‖Mana bisa brandal. Kaum komunis adalah manusia yang tinggi martabatnya.‖ Ia mengucapkan kata-katanya dengan penuh keyakinan. ‖Martabat yang bagaimana?‖
47 48
Ibid. Hlm 170. Ibid. hlm 323.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
169
‖Orang komunis tidak boleh menempeleng istrinya, apalagi berpoligami. Melacur dan berjudi pun tidak boleh.‖ ‖Kalau melanggar bagaimana?‖ ‖P.K.I. bukan tempat bagi orang-orang yang rusak martabat mereka.‖ Paralelitas mengenai pandangan komunis terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga tertuang dalam cerpen Belajar karya Sugiarti, ―Sekarang belum, sebab belum ada jaminan bahwa manusia akan bisa hidup terus diangkasa sana. Sarjana Soviet tidak akan gegabah melempar orang keangkasa luar, sebab bagi Soviet, manusia adalah sangat berharga.‖ Representasi cita-cita (sosialisme) dalam cerpen-cerpen di atas disampaikan secara tersurat dalam rangka penggambaran kebesaran PKI. Cerpen-cerpen dengan tema partai dan cita-cita sosialis menunjukkan bahwa PKI merupakan jalan bagi rakyat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan akhir perjuangannya (sosialisme). Citacita itu telah digantungkan setinggi mungkin, sebagaimana Sugiarti mengatakannya dalam cerpen Belajar, ―Bulan purnama terang benderang, dan semua melihat kelangit. Disana, ya dibagian bulan yang ayu cemerlang itu tertancap sudah lambang palu-arit, hadiah dari Lunik II.‖ Dan ―Wah, kalau dilihat pake keker, barangkali nampak itu palu arit dibulan.‖
D. Corak Karya Sugiarti Siswadi Setelah menganalisis seluruh karya Sugiarti Siswadi, dapatlah ditarik kesimpulan tentang corak karyanya. Ideologi Sugiarti sebagai anggota Lekra kental
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
170
betul suasana dalam karya-karya. Hal ini ia tunjukkan dengan memuliakan massa rakyat pekerja dalam setiap karyanya. Massa rakyat pekerja yang terdiri dari buruh, tani, prajurit dan kader partai mendapat posisi paling atas sebagai tokoh hero dalam karya Sugiarti Siswadi. Pujipujian terhadap mereka sangat intens dimunculkan, nyaris di seluruh karyanya. Melalui karya-karyanya, Sugiarti mengingatkan bahwa petani dan buruh bukanlah bagian kecil meski adalah rakyat kecil. Sebagai negara agraris, petani mestinya diberi tempat terhormat selayaknya dalam karya-karya yang ia ciptakan. Para petani adalah pahlawan revolusi. Pembicaraan tentang massa pekerja rakyat dalam karya perempuan kelahiran Solo ini cenderung merepresentasikan tema kemanusiaan dan keadilan. Meski demikian, Sugiarti tak selalu menampilkan deskripsi yang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ia banyak menafsirkan realitas dengan ketajaman pandangannya. Oleh sebab itu, dalam persoalan buruh, ia tak selalu menghadirkan konflik demonstrasi dengan isu kenaikan upah. Untuk isu ini, ia akan menarik ceritanya dari keriuhan jalanan dan pabrik serta intens di dalam sebuah rumah untuk melihat kesengsaraan sebuah keluarga akibat upah yang tak layak. Dengan demikian, ia dapat melancarkan kritiknya tentang kemanusiaan dan keadilan dengan cara yang sederhana namun mengena. Dengan cara yang sederhana ini, untuk beberapa cerpen Sugiarti berakhir dengan antiklimaks dan datar. Sementara dari sisi tokoh, Sugiarti sangat tegas dalam memberikan karakter yang berbeda antara protagonis dan antagonis. Hal ini berimbas pada konflik yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
171
dihadirkan menjadi cukup kuat dan memang perlu diangkat dalam cerpennya. Meski demikian, Sugiarti seperti tak ingin terjebak dengan gaya cerita yang memperburuk karakter dan nasib protagonis hingga akhir cerita. Baginya, protagonis dan antagonis bukan persoalan menang atau kalah, tetapi bagaimana membuat kedua tokoh ini menjadi sepihak. Begitulah memang tujuan penyebaran ideologi, bukan membunuh lawan melainkan mengajaknya bergabung. Dalam menyampaikan ideologi itu, Sugiarti tak lepas dari kulturnya sebagai orang Jawa. Hal ini justru memperkuat karyanya karena Jawa dikenal dengan filosofinya yang kuat. Selain itu, sesekali diksi dengan Bahasa Jawa muncul sebagai gambaran realitas yang ia tangkap di lapangan. Dengan
demikian,
cerita-cerita
Sugiarti
terkesan
lebih
halus
dalam
hal
penyampainnya. Dari sisi yang beseberangan, tokoh-tokoh protagonis direpresentasikan sebagai kawanan yang sangat solid. Rasa setia kawan menjadi hiasan di setiap karya Sugiarti Siswadi, baik secara vertikal antara elit politik PKI dengan massa pekerja, atau horizontal massa pekerja dengan sesamanya. Tokoh-tokoh ini tak pernah dibuat bertentangan, selalu satu suara karena satu musuhnya yang jelas. Dalam deskripsi, Sugiarti memang tak suka memanjang-manjangkan kalimat. Apa yang perlu disampaikan hanya itu yang ia sampaikan. Bahkan, ia seperti tak suka bermain dengan deskripsi alam untuk menggambarkan suasana yang detail. Ia lantang bicara pada persoalan yang akan dibicarakan sehingga memberikan kesan tidak bertele-tele.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
172
Ciri-ciri karya di atas, barangkali kerap ditemukan pula dalam perlbagai cerpen karya anggota Lekra lainnya. Politik sebagai panglima yang menjadi ideologi utama bagi kelompok ini begitu kental. Namun, yang tampak jelas berbeda dengan karya-karya anggota lainnya adalah bahwa Sugiarti menjadi satu-satunya dalam lingkarannya yang intens menggarap tema perempuan dan anak. Perempuan mendapat porsi cukup besar dalam karya Sugiarti Siswadi. Selain ia adalah seorang perempuan, kesadaran terhadap gender telah ia terapkan dalam karyanya. Melalui tokoh perempuan, ia menyampaikan bahwa perempuan bukan makhluk lemah, melainkan dapat juga berdiri sejajar dengan lelaki dalam memperjuangkan revolusi dan berbagai lini kehidupan lainnya. Keterkaitan antara perempuan dan anak memang sulit dipisahkan. Ketika Sugiarti memberi ruang cukup lebar kepada perempuan, perhatiannya kepada anak juga tidak luput. Dalam posisi ini, ia juga memunculkan rasa keibuannya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V PENUTUP
Peristiwa politik 1965/66 menyisakan banyak tanda tanya dari berbagai pihak, sebab kebenaran sejarah belum terungkap secara keseluruhan. Di antara pertanyaannya itu adalah tentang hilangnya korban dan stigmatisasi anggota PKI yang masih membekas hingga kini. Sementara korban selamat dibungkam haknya sebagai manusia merdeka. Berangkat dari kegelisahan ini, penulis mengangkat nama Sugiarti Siswadi yang namanya hilang begitu saja pascaperistiwa kemanusiaan tersebut. Ia masih selamat hingga prahara itu berakhir, namun namanya tak lagi muncul ke permukaan sebagai seorang sastrawan. Kondisi ini sangat berkebalikan ketika ia masih aktif di Lekra sebagai anggota pimpinan pusat. Penelitian ini mencoba mengangkat kembali nama Sugiarti Siswadi yang telah dilupakan akibat peristiwa politik tersebut. Dengan menggunakan pendekatan New Historicism, peneliti melacak teks-teks sastra dan nonsastra, terutama media massa Harian Rakjat dan Api Kartini serta pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno, untuk mengetahui aktivitas, peran, serta ideologi Sugiarti Siswadi.
A. Kesimpulan Untuk melacak jejak Sugiarti Siswadi, penulis melihat kembali karya-karya yang ditinggalkannya. Melalui karyanya, penulis menggunakan dua pertanyaan
173
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
174
untuk menjawab peran Sugiarti Siswadi pada masanya. Pertanyaan itu adalah bagaimana representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti Siswadi dan bagaimana paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridelogi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada masanya. Pada pertanyaan pertama, penulis menemukan perjuangan kelas yang tertuang dalam karya Sugiarti terbagi menjadi 4 kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dinggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi untuk menjawab pertanyaan kedua ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karyakaryanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
175
ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis.
B. Saran Penelitian ini menggunakan teori New Historicism untuk melihat paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan berbagai taks lainnya, baik sastra maupun nonsastra, yang terkait dengan isu-isu yang berkembang pada masanya. Dengan demikian didapatlah pandangan mengenai peran dan keterlibatan Sugiarti dalam berbagai aktivitas seni, sastra dan politik, terutama sekali peran aktifnya dengan Lekra. Sugiarti aktif menyumbang berbagai karangan berupa cerpen dan puisi ke media massa, terutama Harian Rakjat dan Api Kartini. Penulis sadar, bahwa penelitian masih jauh dari sempurna Dari berbagai sisi, penelitian ini masih memungkinkan untuk lebih diperdalam dan disempurnakan lagi. Untuk itu, beberapa saran yang perlu disampaikan dalam kesempatan ini adalah 1) mengumpulkan lebih banyak lagi data, terutama tentang sosok diri Sugiarti Siswadi; 2) menggali lebih banyak lagi nama-nama serupa yang tenggelam pascaperistiwa 1965/66; dan 3) teori fenimisme dapat diterapkan dalam karya-karya Sugiarti Siswadi untuk melihat wacana gender pada masanya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Aidit, D.N. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. . 1960. Sepilihan Tulisan Aidit (Jilid II). Jakarta; Jajasan Pembaruan. Barry, Peter. 1995. New Historicism and Cultural Materialism dalam bukunya Beginning Theory. Manchester UK: UP. Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism, an Introduction to Theory and Practice. New Jersey: Prentice Hall. Budiadi, Andhika. 2009. Perkembangan Sastra Indonensia dalam Perspektif Feminisme. Bandung: Universitas Padjajaran. Skripsi. Budianta, Melani “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra.” Dimuat di Jurnal Susastra. Tahun 2006. Volume 2, No.3. . 2002. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme,” Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia.
Budiawan. 2004.Mematahkan Pewarisan Ingatan karya Jakarta: Elsam.
Budiman, Arif. 2006. Kebebasan, Negara dan Pembangunan. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute.
Burhan, Nurgiyantoro. 2010. Sastra Anak. Yogyakarta: UGM Press.
Dahlan, Muhidin M dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merakesumba.
176
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
. 2008. Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba. . 2008. Gugur Merah: Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965. Yogyakarta: Merakesumba. Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Yogyakarta: Penerbit Sumbu.
Eneste, Pamusuk. 2001. Bibliogarfi Sastra Indonesia. Magelang: IndonesiaTera.
Foulcher, Keith. 1986. Social Commitment in Literature and the Art: the Indonesian “Institute of People Culture” 1950 – 1960. Victoria: Monash University Press.
Georitno, Landreform Sebuah Gagasan Besar Manusia, Majalah Bumi Bhakti Adhiguna, Nomor 2 Tahun 1 Juni 1991, Jakarta, hal. 7.
KOWANI. 1978. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Samboja, Asep. 2011. Asep Samboja Menulis Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus. . (pengantar) dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus. Hal vii . 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960an. Jakarta: Bukupop. Hamid, Chalik (Peny.). 2010. Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora Api 26. Bandung: Ultimus. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah Pandangan. Yogyakarta: UGM Press.
177
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Ismail, Taufiq dan DS Mulyanto (ed). 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Jakarta: Mizan dan HU Republika.
K.S, Yudiono. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. Loir, Henri Chambert dalam artikelnya berjudul “Les femmes et l'écriture : La littérature féminine indonésienne”. Dimuat dalam Archipel. Volume 13, 1977. Hlm 267-282.
Nurhadi. 2006. Peran Diskursif Karya Sastra dan Media. Dimuat dalam Jurnal Diksi FBS UNY. Artikel nomor 44 Edisi Januari 2006.
Parlindungan, A.P. 1987. Landreform di Indonesia suatu Perbandingan. Bandung: Mandar Maju.
Payne, Michael (ed.). 2005. The Greenblatt Reader. USA: Blackwell Publishing.
Reardon, Sean. 2002. Peristiwa 65/66 (Pembunuhan Massal PKI). Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak diterbitkan (hasil penelitian).
Setiawan, Hersri. 2004. Memoar Pulau Buru. Magelang: IndonesiaTera.
Siwadi, Sugiarti. 1964. Sorga Dibumi. Jakarta: Lekra.
Suratmin, Dkk. 1991. Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia (Sebuah Tinjauan Awal). Yogyakarta : Eja Publisher.
Sukarno. 1945. Lahirnya Panca Sila. Pidato Pertama Pancasila disampaikan Bung Karno di depan Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, tanggal 1 Juni 1945.
. 1962. Fadjar Kemenangan Menjingsing.
178
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
. Di Bawah Bendera Re.volusi Jilid I. Supartono, Alexander. 2000. Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyakarya, Jakarta. Dokumen ini diperoleh penulis dalam versi ebook atas nama Edi Cahyono. TIM. 2011. Kronik Agraria Indonesia, Sejarah UUPA, Konflik, Penguasaan dan Pemilikan, BPN dan sertifikasi serta Pemikiran Agraria. Jakarta: STPN, Sains Sejogyo Institute dan Institute Sejarah Sosial Indonesia. Tjondronegoro, Sediono M.P dan Gunawan Wiradi (peny). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor. Wieringa, Saskia Eleonora. 2010. Pengahncuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press.
Sumber Online Pelarang Buku; Menutup Jendela Dunia. Pelarang Buku dari Jaman ke Jaman. Dipublikasikan oleh Institute Sejarah Sosial Indonesia, 2010. Dikutip dari https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku. tulisan ini merupakan laporan dari Pameran Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia Pameran Pelarangan Buku di Indonesia dari Jaman ke Jaman, 14 - 17 Maret 2010 di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Diakses pada 15 Juli 2014. Seniman Sastra Siti Rukiah. http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/sitirukiah.html. diakses pada 15 Juli 2014. Abdul Kohar Ibrahim. Nota Puitika 211 – 220 dan Nota Puitika 381 – 390. Dikutip dari https://aumg61.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=8tr0ef054jie4#6477619897. Pada 15 Juli 2014.
179
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
AD-ART (Konstitusi PKI. Diakses dari http://www.marxists.org/indonesia/indones/KongresPKIke7/KonstitusiPKI.htm pada diakses pada 15 Juli 2014.
Sumber Klipping Mukadimah dan Peraturan Dasar Lekra pada 27 Januari 1959, Konggres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Solo. Hasil Penjelidikan Team Research Manifes Kebudajaan: Manife-phobi, motif dan targetnya kekurang-matangan dalam Ideologi. Disusun di Jakarta, siang hari, 15 April 1964. “Duduk Soalnya Manifes Kebudayaan”. Tulisan H.B. Jassin 26 April 1966. Tidak Dipublikasikan. Dapat dijumpai di Pusat Dokumentasi HB Jassin.
Pramoedya Ananta Toer dalam makalah Realisme Sosial dan Sastra Indonesia: sebuah tinjauan sosial. Disampaikan dalam seminar Fakultas Sastra UI, 26 Januari 1963. Hal 31. Makalah ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Lentera Dipantara pada tahun 2004.
Revolusi Indonesia, Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja (kumpulan kuliah D.N. Aidit yang disampaikan pada Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora, September-November 1964, di Jakarta).
Makalah Erfan Faryadi (Sekjen Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) yang berjudul “Konsep dan Arti Pentingnya Land Reform dalam Agenda Reformasi”. Hlm 4. Makalah ini disampaikan untuk diskusi buku Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten (1959-1965) karangan Prof. Dr. Soegijanto Padmo, pada tanggal 12 September 2000, di Auditorium Fakultas Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Diskusi ini diselenggarakan oleh Yayasan
180
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pengembangan Budaya, Media Presindo, BKMS Fakultas Sastra UGM, dan Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA).
Sumber Media Massa Cetak Harian Rakjat, 4 September 1964 Harian Rakjat, 31 Januari 1964 Harian Rakjat, 23 Agustus 1965 Harian Rakjat, 25 Agustus 1965 Harian Rakjat, 23 Agustus 1965 Harian Rakjat, 30 Agustus 1965 Harian Rakjat, 18 Mei 1963 Harian Rakyat, 1,11 Mei 1963 Harian Rakjat, 14 April 1961 Harian Rakjat, 1 Djuni 1957 Harian Rakjat, 3 Djuli 1959 Harian Rakjat, 6 Agustus 1959 Harian Rakjat, 28 Djuli 1959 Harian Rakjat, 9 Agustus 1960 Harian Rakjat, 10 Agustus 1960 Harian Rakjat, 11 Agustus 1960 Harian Rakjat, 9 Agustus 1960 Harian Ra’jat, 18 September 1964 Harian Ra’jat, 3 September 1964 Harian Rakjat, 7 Djuli 1964 Harian Rakjat, 9 Juli 1964 Harian Rakjat, 10 Juli 1964 Harian Rakjat, 11 Juli 1964 Harian Rakjat, 13 Juli 1964 Harian Rakjat, 14 Juli 1964 Harian Rakjat, 15 Djuli 1964 Harian Rakjat, 30 April 1964 Harian Rakjat, 27 Juni 1964 Harian Rakjat, 25 Juni 1964 Harian Rakjat, 13 Desember 1964 Harian Rakjat, 7 Djanuari 1965 Harian Rakjat, 6 Juni 1965 Harian Rakjat, 13 Desember 1964 Harian Rakjat, 7 Djanuari 1965 Harian Rakjat, 10 Desember 1964 Harian Rakjat, 6 Juni 1965 Harian Rakjat, 18 Desember 1964 Harian Rakjat, 21 Desember 1964 Harian Rakjat, 17 September 1964 Harian Rakjat, 17 Oktober 1964
181
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Harian Rakjat, 14 Djanuari 1959 Harian Rakjat, 26 Djanuari 1959 Harian Rakjat, 6 Djanuari 1959 Harian Rakjat, 8 April 1964 Harian Rakjat, 30 April 1964 Harian Rakjat, 8 April 1964 Harian Rakjat, 30 April 1965 Harian Rakjat, 3 Mei 1961 Harian Rakjat, 13 November 1964 Harian Rakjat, 19 November 1954 Harian Rakjat, 18 Mei 1960 Harian Rakjat, 11 November 1959 Harian Rakjat, 26 September 1964 Harian Rakjat, 1 Desember 1952 Harian Rakjat, 27 Maret 1954 Harian Rakjat, 22 Juni 1956 Harian Rakjat, 8 Januari 1958 Api Kartini, Juli 1960 Api Kartini, Mei 1960 Api Kartini, Juni 1960 Api Kartini, Mei 1965 Api Kartini, Mei 1959 Api Kartini, November 1960 Api Kartini, Desember 1960 Jurnal Perempuan. No 48. 2006.
182
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Presiden Sukarno: Tiap Petani Penggarap Harus Memiliki Tanah
Industrialisasi dengan memperluas dan memperketat industri negara sebagai tulang punggung dan memimpin perkembangan ekonomi negara. Industrialisasi Indonesia hanya dapat didasarkan atas kekuatan dalam negeri, sebab: a. Adalah tidak mungkin kita merencanakan atau mencari pasar luar negeri, karena sebagai negara muda tidak mungkin Indonesia mampu bersaing dengan industri luar negeri yang sudah mempunyai tradisi dan pengalaman yang lama. Sebab itu kita harus berani bersandarkan pada dasar dalam negeri, yaitu pada kemampuan rakyat membelinya, di mana 60% - 70% terdiri dari kaum tani. Sebab itu dalam masalah industrialisasi Indonesia, adalah tidak mungkin kalau dayabeli rakyat tidak dinaikkan. b. Disamping cukup pembelinya, industri memerlukan pula bahan mentah (raw material) dan tenaga. Bahan Mentah hanya terdapat dari dua sumber, ialah hasil tambang atau sumber-sumber alam lainnya dan pertanian. Dalam sektor pertanian nampak sekali belum mendapat perhatian semestinya. Hal itu tercermin dalam Anggaran Belanja Negara ataupun dalam sektor prekreditan. Pun ada satu soal pokok yang mesti diperhatikan, bahwa dalam soal agraris kita belum mendapat kemajuan yang sewajarnya. Sebab industrialisasi Indonesia tidak mungkin berpisahan dengan masalah agraris. Jelasnya, industrialisasi tidak mungkin terlaksana dengan tidak ada pemecahan soal-soal agraris, yang membuka kemungkinan untuk menaikkan... (tulisan rusak).
*** Penentuan yang adil terhadap penguasaan tanah pertanian. Tanah pertanian hanya ada dua:
183
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
a. Pertanian Rakyat, maupun sendiri-sendiri atau bersama-sama. b. Pertanian Negara Tiap petani (dalam arti yang mengerjakan sendiri) harus memiliki tanah yang sesuai dengan tingkatan hidup dan kemajuan teknik dalam waktu itu. Tiaptiap akhir plan ini... (kertas rusak). Pemilik tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri dalam batas waktu yang tertentu dijadikan: -
pertanian Negara,
-
dikerjakan sendiri,
-
dijadikan pertanian rakyat (sebagai masa peralihan diadakan kontrak kolektif dengan para penggarap). Dengan keterangan sebagai di atas ini maka pembatasan maximum
pemilikan tanah pertanian, selalu disesuaikan tiap-tiap akhir jaarplan: a. taraf hidup dalam waktu itu; b. kemajuan productivitiet; c. tebal tipisnya petani dalam suatu daerah. Pemilikan atas tanah bukan tanah pertanian (perhewanan atau perikanan dan lain-lain sejenisnya) disesuaikan dengan pendirian bahwa itu sangat perlu untuk lainnya (untuk tempat tinggal dan pabrik-pabrik) dengan sendirinya dibatasi sesuai dengan keperluan.
*** Dikehendaki adanya pimpinan yang berani bertindak dengan tegas serta berani mengubah tradisi-tradisi, terutama cara berfikir di alam kolonial dan dapat percaya pada diri sendiri. Idee demokrasi terpimpin hendaknya selekas mungkin direaliseer. Ide tersebut adalah suatu jalan guna mencegah penyalahgunaan yang terus menerus dan jalan yang dapat menyelamatkan keadaan untuk selekas-lekasnya menuju ke cita-cita rakyat sebagai telah diamanatkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Walaupun Indonesia berlainan ideologi misalnya dengan R.R.T. (Indonesia Pancasila, R.R.T. Komunis), tetapi dengan pimpinan tegas, seperti termaktub
184
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalam demokrasi terpimpin dan pembangunan terpimpin, maka indonesia akan mencapai cita-citanya. Kita perlu untuk mencapai tujuan itu mendidik kader-kader Pancasila, untuk melaksanakan tujuan itu dengan tegas.
(disalin dari Amanat Pembangunan Presiden, 28/8 - 1959)
185