Membentuk budaya kerja professional dengan audit integritas untuk mencegah skandal korporasi BUMN Joko Sutopo Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email :
[email protected]
Abstract SOE as a public company has faced internal and external challenges. Given that the values and norms are always different among companies, so until now it is difficult to find a common definition of integrity, especially at the level of the actor and shared values. Thus the concept of a culture of integrity and integrity are often used interchangeably which leads to a different understanding of the value and consistency of actions and measures regarding the integral integrity. This paper uses a qualitative method with descriptive and analytical approaches to explain the issues related to governance and gives conclusion of the matter. This paper proposes a major design problem solving related to corporate governance and the future direction of research for the interest balance between high officials of the company with other stakeholders. Keywords: Corporate governance, a culture of integrity, ethical behavior Abstrak BUMN sebagai perusahaan publik seringkali menghadapi tantangan internal dan eksternal. Mengingat bahwa nilai-nilai dan norma-norma selalu berbeda antar individu, maka sampai saat ini sangt sulit untuk menemukan kesamaan definisi mengenai integritas terutama pada tingkat persepsi actor dan nilai bersama. Dengan demikian konsep integritas dan budaya integritas seringkali tertukar yang mengarah pada pemahaman berbeda pada nilai dan konsistensi tindakan maupun upaya integral mengenai integritas. Makalah ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitik untuk memaparkan permasalahan terkait tata kelola dan mengambil kesimpulan umum dari masalah tersebut. Makalah ini mengusulkan desain utama terkait penyelesaian masalah tata kelola korporasi dan arahan Penelitian masa depan untuk menyeimbangkan kepentingan antara pejabat tinggi perusahaan dengan pemangku kepentingan lainnya. Kata kunci: Corporate governance, budaya integritas, perilaku etis
perusahaan ini harus berjuang memperbaiki praktek integritas di kalangan pemimpinnya. Dari sisi eksternal, perusahaan ini harus mampu mengambil keputusan yang tepat untuk
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BUMN sebagai perusahaan publik seringkali menghadapi tantangan internal dan eksternal. Dari sisi internal, 87
menghadapi tantangan persaingan dan juga tuntutan pemangku kepentingan eksternal. Makalah ini bertujuan menggambarkan pelaksanaan nilai integritas yang terjadi pada perusahaan BUMN. Banyak Penelitian terkait dengan tata kelola dan budaya manajerial yang mempengaruhi nilainilai integritas perusahaan. Beberapa Penelitian bahkan memperluas ke arah nilai-nilai pribadi direksi dan persepsi integritas di kalangan manajemen. Budaya organisasi menjadi determinan penting bagi pengambilan keputusan etis. Budaya organisasi juga berpengaruh terhadap cara mengambil keputusan yang etis. Hubungan langsung muncul antara budaya organisasi dan perilaku etis karena budaya organisasi adalah sekumpulan sifat moral bagi organisasi (Sims, 1992). Trevino (1986) mendalilkan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan meningkatnya perilaku etis. Hal yang sama juga diindikasikan oleh Hunt dan Vittel (1992) bahwa pengambilan keputusan yang etis dipengaruhi oleh kesadaran terhadap perilaku etis, respon positif yang diharapkan dari karyawan akan meningkat.
Terdapat kasus seorang direktur BUMN yang menghadapi permasalahan tantangan kepatuhan publik yang mengharuskan untuk melakukan transparansi terkait permasalahan hukum dan perilaku etis yang didorong oleh kebutuhan untuk harga diri yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan budaya integritas seluruh tim manajemen. Hal ini mempengaruhi reputasi perusahaan dan mayoritas tim yang membuat pengambilan keputusan menjadi sub-optimal. Hal ini menunjukkan bahwa ada nilai-nilai pribadi direksi yang membentuk budaya integritas di kalangan eksekutif puncak. Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola kepemerintahan tidak bebas nilai dan perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk mengamati tantangan utama BUMN dalam menghadapi isu penyimpangan integritas dan transparansi. Penelitian Hariandja & Hardiwati (2002) terkait budaya ialah pada kesediaan penguasa untuk menyebarkan praktik integritas ke dalam budaya kerja dan membentuk pergaulan berbasis integritas. Kebalikan dari integritas ialah disintegritas yang merupakan gambaran mengenai pandangan berbeda mengenai nilai kerja dan peluang oportunistik diambil oleh penguasa. Mengingat bahwa nilai-nilai dan norma-norma selalu berbeda antar individu, maka sampai saat ini sangt sulit untuk menemukan kesamaan definisi mengenai integritas terutama pada tingkat persepsi actor dan nilai bersama. Dengan demikian konsep integritas dan budaya integritas seringkali tertukar yang mengarah pada pemahaman berbeda pada nilai dan konsistensi tindakan maupun upaya integral mengenai integritas.
Namun pertanyaanya bagaimana perusahaan mengelola nilai-nilai yang membentuk sistem tata kelola perusahaan untuk membentuk budaya integritas? Selain itu apakah nilai itu dapat dipertahankan pada perusahaan dengan tingkat turnover karyawan yang tinggi yang menyebabkan kekosongan posisi jabatan. Bagaimana kepentingan jajaran eksekutif dan direksi dapat diimplementasikan dan dipenuhi secara wajah sesuai dengan harapan pemangku kepentingan, mitra bisnis, dan masyarakat.
88
Untuk itulah makalah ini mengusulkan pentingnya audit integritas pejabat perusahaan. Istilah ini merupakan landasan yang menawarkan kesempatan kepada korporasi agar lebih peduli dengan tingkat pergantian kepemimpinan dan pengisian pejabat baru yang seringkali membawa bencana seperti terjadi di Enron, Lehman Brothers dan Arthur Andersen dimana petinggi perusahaan seringkali digantikan oleh pejabat baru yang tidak memiliki standar integritas lebih baik dari pendiri perusahaan tersebut.
2.2. Sosial budaya Faktor kedua yang memiliki dampak yang berbeda pada etika tata kelola perusahaan adalah konteks sosio-budaya di mana perusahaan beroperasi. Etika tata kelola perusahaan ditentukan oleh mekanisme formal, seperti hukum perusahaan dan kode tata kelola perusahaan, dan norma-norma sosial, praktik, dan harapan yang berlaku di mana perusahaan beroperasi. Dalam analisis di atas etika tata kelola perusahaan di berbagai daerah dan negara, menjadi jelas bahwa faktorfaktor seperti nilai-nilai budaya, praktik sosial, dan harapan masyarakat memberikan tekanan pada bagaimana perusahaan melakukan bisnis mereka dan juga pada bagaimana mereka memandang peran dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat.
2. LANDASAN TEORI 2.1. Budaya integritas Penelitian Adair (2007) mendefinisikan integritas sebagai gambaran seseorang yang jujur dan dapat dipercaya, bisa diandalkan untuk menjaga dan tidak memiliki standar ganda dan tidak kompromi pada pelanggaran regulasi. Definisi integritas ini kemudian diperluas oleh Aisah (2010) dengan memasukkan komponen kompetensi inti yang menangkap beberapa aspek penting dari integritas. Dalam metaanalisis dalam literatur integritas, Susanto (2013) menambahkan beberapa atribut integritas yaitu keutuhan, keaslian, konsistensi tindakan, konsistensi dalam kesulitan, dan nilainilai pribadi pemimpin.
Hal ini membentuk kontrol informal atas kinerja perusahaan yang memperkuat dimensi etika tata kelola perusahaan dalam wacana global corporate governance. Penelitian Suryono Prastiwi (2011) menunjukkan ada model tentatif yang menggambarkan langkah menuju praktek etika tata kelola perusahaan terutama di tingkat orientasi dan konvergensi global yang mempengaruhi kepatuhan eksekutif terhadap pemegang saham atau etika pemangku kepentingan tata kelola perusahaan. Hal ini menjelaskan bahwa pemegang saham dan dewan pengawas eksternal sangat mempengaruhi orientasi dan pengembangan perusahaan yang memiliki dampak terbesar pada orientasi etika dan tata kelola perusahaan. Penelitian Sutojo & Aldridge (2005) menunjukkan bahwa terdapat peran korporasi dalam masyarakat, konteks sosial-budaya, dan bentuk kepemilikan yang menggam-
Penelitian Caroline (2007) menunjukkan bahwa Integritas bervariasi tergantung pada nilai-nilai yang dominan pada pejabat perusahaan dalam menafsirkan sistem nilai yang berbeda dari lingkungan kerja. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara makna integritas dari sisi perusahaan dan makna integritas dari sisi masyarakat umum.
89
barkan pelaksanaan tata kelola perusahaan yang diinformasikan dari transparansi peran dan tanggung jawab korporasi dalam masyarakat. Ketika perusahaan publik memiliki kepentingan keuangan dan modal keuangan korporasi, terdapat aspek etika yang harus diungkapkan oleh perusahaan.
kepentingan penciptaan nilai bagi pemegang saham sambil perusahaan berfokus secara efisien untuk menguntungkan semua pemangku kepentingan lainnya secara tidak langsung. Dengan demikian, dari perspektif etika, tata kelola perusahaan dapat mengandung benturan kepentingan yang saling bertentangan terkait upaya maksimalisasi efisiensi perusahaan dan juga menciptakan nilai bagi pemegang saham dengan jumlah saham terbesar sehingga dapat merugikan pemegang saham minoritas.
2.3. Kepemilikan perusahaan Faktor ketiga yang membentuk etika tata kelola perusahaan adalah bentuk-bentuk kepemilikan perusahaan. Dari gambaran diatas, jelas bahwa setiap kali BUMN mengambil peran kepemilikan aktif dalam perekonomian, akan terdapat tujuan sosial dan politik ke dalam domain perusahaan yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan perusahaan. Juga, kepemilikan korporasi terkonsentrasi bisa mempengaruhi etika tata kelola perusahaan hingga tingkat kontrol terhadap pelaksanaan tata kelola perusahaan.
2.4. Etika dalam tata kelola korporasi Penelitian Limberg, et al (2010) menunjukkan bahwa perusahaan merupakan kendaraan untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham sehingga menjadi lembaga ekonomi yang mengandalkan kerja sama dan kontribusi dari berbagai pihak yang kepentingannya harus diakui. Perusahaan menjadi interkoneksi kepentingan yang bersifat deskriptif, instrumental, dan normatif yang membentuk komitmen etis (atau normatif) perusahaan untuk melayani pemangku kepentingan. Berdasarkan perspektif deskriptif, perusahaan hidup dari kontribusi dan kolaborasi dari berbagai kelompok pemangku kepentingan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan tersebut. Namun, permasalahannya, apakah perusahaan telah mengakui dan memastikan kontribusi optimal dari dan bekerja sama dengan mereka baik dengan pertimbangan normatif maupun instrumental yang memenuhi kepentingan kontributor mereka. Secara instrumental (atau strategis) pendekatan ini menyiratkan bahwa kepentingan pemangku kepentingan selalu dihormati
Fadhilah (2014) mendefinisikan tata kelola perusahaan sebagai "cara-cara di mana investor memastikan diri mendapatkan pengembalian investasi mereka melalui prosedur dan aturan yang dapat mereka kendalikan. Hal ini menunjukkan bahwa investor memiliki kekuatan lebih besar baik melalui pengaruh undang-undangan secara politik, maupun undang-undang secara hukum yang membentuk kepentingan mereka. Gabungan antara kekuatan politik dan hukum tersebut menghasilkan perspektif etika, dimana pemegang saham mengharapkan bahwa BUMN dimana mereka berinvestasi harus mengembangkan tata kelola yang tepat secara etis yang berfokus pada
90
dalam mengejar tujuan perusahaan, misalnya, mengejar nilai pemegang saham. Kepentingan pemangku kepentingan sehingga diberikan prioritas sejauh berkontribusi terhadap pencapaian tujuan perusahaan.
Yaitu masalah yang di bahas dengan cara memaparkan, menafsirkan, menulis objek yang diteliti dengan melalui kegiatan mengumpulkan data dan menyusun data mengolah data kemudian dianalisis serta diambil kesimpulan umum dari masalah yang dibahas.
Dari sisi normatif (atau intrinsik) perusahaan menghadapi hubungan kewajiban etis antara perusahaan dan pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengakui adanya kebutuhan faktual atau keharusan strategis untuk mengenali atau menghormati pemangku kepentingan dan memiliki kewajiban memperbaiki pelaksanaan pengendalian perusahaan agar korporasi dapat diatur, baik secara eksternal dan internal, dengan cara yang memenuhi kepentingan baik rekan dan mitra bisnis mereka.
Penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik-kualitatif dengan metode penelitian kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan atas pertimbangan bahwa data yang hendak dicara adalah menggambarkan menyinggung mengenai upaya yang sebaiknya dilakukan dewan direksi untuk mengatasi perilaku tidak etis terutama pada Budaya integritas, kepemilikan perusahaan yang dilakukan oleh direksi yang bisa melemahkan tata kelola pemerintahan dan berdampak negatif pada operasional pengambilan keputusan BUMN.
Secara teoritis, tata kelola pemerintahan perusahaan dapat dinilai dalam kategori evaluatif etika seperti adil atau tidak adil, bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab, dan etis atau tidak etis. Fakta bahwa etika tidak selalu ditangani secara eksplisit dalam hukum perusahaan atau dalam kode tata kelola perusahaan, maka selalu ada dimensi etis yang tidak seimbang dari sisi perusahaan maupun sisi pemangku kepentingan luar. Untuk memahami hal ini dapat dilihat dari praktek tata kelola beretika yang sering diwujudkan oleh perusahaan tersebut.
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dimensi etika tata kelola perusahaan dapat diwujudkan pada dua tingkat. Yang pertama ialah pada orientasi etika dasar tata kelola perusahaan. Orientasi etika ini tata kelola perusahaan atau disebut kode etika tata kelola perusahaan ialah upaya perusahaan untuk mengelola urusan etika agar menjadi budaya kerja dan integritas kinerja. Meskipun perusahaan telah memiliki kode etik yang kuat. Namun, terdapat kecenderungan pada perusahaan dengan tingkat perpindahan kerja tinggi (turn over tinggi), mereka menghadapi risiko bahwa karyawan baru memiliki budaya etika yang berlainan dengan budaya perusahaan yang mereka masuki. Dengan demikian, etika perusahaan dihadapkan pada risiko kebocoran integritas terutama pada manajer dan eksekutif mereka.
3. METODOLOGI PENELITIAN Metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitik yang dipakai dalam penelitian ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sugiyono,(2012:3) adalah metode kualitatif untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna.
91
Untuk menangani hal ini banyak perusahaan mengembangkan system Etika Tata Kelola Perusahaan yang mengacu pada nilai-nilai etika yang mendukung dan membimbing perusahaan pada tingkat peraturan dan sistem nilai prioritas yang harus dilaksanakan secara individual dan tim kerja. Dengan demikian apa yang harus diberikan prioritas ialah upaya
perusahaan dalam menjaga hubungan dan komitmen bersama untuk mencapai tujuan yang diartikulasikan secara terbuka dan eksplisit, atau nilai-nilai yang mendasari dan membimbing mereka untuk meningkatkan budaya integritas dengan cara yang jelas, dan mampu mengatasi kontradiksi internal dan benturan kepentingan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Nilai-nilai integritas perusahaan
Tatakelola BUMN
Budaya kerja professional
Harapan pemangku kepentingan
Audit budaya integritas
KepemilikanMasyarakat
Gambar 1. Pemetaan konsep pembentukan budaya kerja professional yang diusulkan Transparansi perilaku Harapan masyarakat Kepatuhan regulasi dalam makalah ini etis
Gambar 2. Desain pencegahan penyimpangan integritas dan ketidakstransparanan yang diusulkan dalam makalah ini
Untuk mencapai hal itu, perusahaan biasanya telah memiliki peraturan atau persyaratan yang terkait dengan tata kelola yang menyampaikan persepsi peran, tanggung jawab, tujuan, dan kewajiban perusahaan dalam lingkungan mereka. Perusahaan harus mampu mengidentifikasi pihak-pihak dan
landasan nilai etika serta budaya integritas yang harus mereka bangun. Perusahaan harus memiliki fondasi dan nilai-nilai membimbing untuk dimasukkan ke dalam sistem tata kelola tersebut.
92
Hal ini membutuhkan kemampuan mengartikulasikan aktivitas tanggung jawab etis dan kewajiban manajer dan eksekutif dalam memahami pola nilainilai etika yang terkait dengan tanggung jawab dan kewajiban mereka. Bahkan dalam kasus dimana sistem nilai telah secara eksplisit diartikulasikan, perusahaan dihadapkan pada tantangan sistem nilai yang dianut seringkali berubah drastis akibat banyak manajer dan karyawan utama mereka berpindah kerja yang mengakibatkan terjadi degradasi system nilai dan budaya integritas tim. Hal ini juga terjadi di perusahaan kelas dunia seperti Enron, World com, Lehman Brothers, dan juga Arthur Andersen corporation. Perusahaan-perusahaan itu memiliki system nilai dan budaya integritas yang tinggi. Namun dikarenakan mereka lemah dalam menahan karyawan lama mereka dan membiarkan posisi strategis diisi oleh karyawan baru yang memiliki oportunisme tinggi, maka posisi strategis itu memberikan peluang kecurangan tingkat tinggi yang melibatkan jajaran eksekutif yang mencurangi konsumen, pemerintah, masyarakat, dan terutama investor yang percaya kepada mereka.
karyawan tetap jangka panjang sehingga harus menyesuaikan diri dengan harapan kode sukarela tata kelola perusahaan; bahkan, beberapa karyawan dapat dengan sengaja mengambil langkahlangkah untuk menghindari pertanggungjawaban korporasi terkait budaya integritas dan tanggung jawab mengingat bukan mereka yang membuat aturan dan regulasi tersebut. Dengan demikian, perusahaan dengan tingkat turnover tinggi akan mudah lalai dalam menjalankan tanggungjawab korporasi karena dianggap regulasi yang berlaku bagi mereka bukan dari mereka. Dengan kata lain tingkat turnover yang tinggi memberikan gambaran potensi risiko makin tinggi yang mana tidak dapat ditangani dengan peraturan atau persyaratan dari sistem tata kelola internal, namun dibutuhkan pengawasan eksternal yang seringkali tidak jarang memunculkan kontradiksi antara sistem nilai yang dianut dan sistem nilai yang mengintai implisit dalam peraturan atau rekomendasi dari sistem tata kelola internal. Siapa yang bertanggungjawab bila sistem nilai dari tata kelola perusahaan dibuat oleh manajer lama dan kemudian resign/pindah ke tempat lain yang kemudian dijalankan oleh manajer baru yang merasa tidak membuat peraturan tersebut? Tentunya secara eksplisit, system nilai dan peraturan itu adalah tanggungjawab manajer lama dan manajer baru sama sekali bersih dari tanggungjawab etis dari sistem nilai tersebut. Selain itu, manajer baru dapat dengan segera mengganti aturan tersebut karena tidak sesuai dengan tujuan dan kepentingan yang sedang diprioritaskan oleh tim manajemen baru. Hal ini tercermin dari banyak praktek birokrasi
Pergantian pejabat perusahaan yang terlalu cepat dapat mengganggu proses adopsi etika pada tingkat perusahaan yang kemungkinan berdampak pada manajemen etika atau strategi tanggung jawab perusahaan dan Program budaya integritas. Perusahaan dengan turnover tinggi bahkan akan kesulitan mengedukasi karyawan baru terkait dengan mengatur etika mereka untuk berbagai alasan: mereka mungkin, masih dalam tahap awal masa kerja sehingga sulit untuk dipaksa oleh hukum untuk melakukannya; mereka mungkin bukan
93
dimana setiap pergantian pemerintahan politik selalu diikuti dengan peluncuran paket-paket kebijakan baru dan kebijkan lama lalu dihapuskan.
perusahaan mengidentifikasi mematuhi nilai-nilai etika, standar, aturan dalam interaksinya dengan pemangku kepentingan internal eksternal perusahaan.
Lalu bagaimana tingkat turn over dapat mempengaruhi kinerja korporasi dan akhirnya system nilai tata kelola tersebut. Mengingat hal ini berkaitan dengan kewajiban dan kendali kinerja, maka perusahaan dihadapkan pada risiko makin tinggi pada praktik akuntansi, manajemen risiko, dan pelaporan perusahaan. Setidaknya dapat mempekerjakan mitra Audit dan menimbulkan masalah etika sehingga dibutuhkan pengawasan regulator untuk berpikir ulang rotasi partner audit yang mana membutuhkan perubahan regulasi. Selain itu, meskipun independensi auditor mungkin tidak terganggu oleh penyediaan layanan non-audit, ini tampaknya menyebabkan masalah etika karena investor menganggap bahwa independensi mereka terganggu.
dan atau para dan
Perusahaan dengan tingkat turn over tinggi akan menghadapi tantangan dalam membuang-buang waktu yang berharga dalam proses pencarian karyawan, seleksi karyawan, dan akhirnya proses pertanggungjawaban karyawan. Dewan direksi dapat menggunakan penelitian mengenai tingkat keberesan manajerial dalam mengelola karyawan mereka terutama pada karyawan tingkat pejabat perusahaan dan juga untuk kembali fokus tentang isu-isu yang resonan dengan daya retensi perusahaan mereka dalam mempertahankan karyawan yang loyalitas kerja tinggi dan mampu mengkonfirmasi bahwa nilai-nilai operatif etika dan integritas telah sesuai dengan dominasi batin etis karyawan daripada hanya kepatuhan “muka manis” atau istilahnya window dressing laporan tahunan.
Pada tingkat tata kelola perusahaan eksternal, perusahaan dengan tingkat turnover karyawan yang tinggi memiliki risiko ketidakkompakkan tim kerja yang mengakibatkan proyek-proyek jangka panjang mereka menjadi terbengkalai dan terabaikan. Hal ini berdampak pada tingkat eksternal tata kelola perusahaan dan kemampuan mereka secara kompak memberikan kontribusi terhadap pembangunan masyarakat. Pada tingkat internal perusahaan, perusahaan dengan turnover tinggi hanya berfokus pada masalah birokrasi pengangkatan dan pemberhentian pejabat bukan pada upaya membenahi nilai-nilai dan standar etika yang dilembagakan di perusahaan. Ini berkaitan dengan sistem arah dan kontrol yang diimplementasikan dalam perusahaan untuk memastikan bahwa
Konsistensi perilaku dan keseimbangan nilai dari sisi pemegang saham maupun dari sisi dewan direksi menjadi tantangan dalam menghadirkan budaya integritas dalam perusahaan. Selain itu, tantangan ini makin kompleks ketika perusahaan itu harus membahas masalah eksternal seperti mengambil alih perusahaan lain, mendirikan operasi di negara lain, yang seringkali memiliki variasi sudut pandang dan perbedaan nilai kelompok baik antara dewan direksi dengan manajemen dan juga pendapat dari pihak eksternal seperti auditor dan regulator. Hal ini memunculkan perdebatan tidak pernah selesai untuk memperoleh titik temu
94
perspektif nilai-nilai organisasi, nilainilai etika, dan juga budaya integritas diantara kelompok luas tersebut.
manusia yang memfasilitasi pemahaman tentang realitas dan perilaku yang sesuai ketentuan dan kebijakan perusahaan.
Penelitian Susanto, A. (2013) menunjukkan bahwa pada skala nilainilai pribadi, terdapat kecenderungan bahwa loyalitas, kepercayaan, kasih sayang berkebalikan dengan harga diri, kekuasaan, prestise, ambisi, dan agresi. Namun, Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa nilai-nilai kewirausahaan inovasi, risiko, dan kreativitas berada pada posisi netral terhadap motivasi dan pengalaman kerja. Dengan demikian, makin lama pengalaman kerja, makin tinggi loyalitas, kepercayaan, kasih sayang dan makin besar pula kekuasaan, prestise, ambisi. Sebaliknya, makin panjang pengalaman kerja, makin kecil inovasi, risiko, dan kreativitas yang membentuk nilai-nilai eksekutif. Penelitian tersebut memiliki pola yang konsisten dari kelompok nilai di dalam dan antar populasi manajerial.
Pada tingkat pertama budaya integritas terkait dengan keadaan individu didorong oleh kebutuhan fisiologis dasar dan kebutuhan kekuasaan. Pada tahap kedua, individu berusaha menjaga reputasi dan mulai masuk dalam kehidupan sosial yang mana disebut sebagai kompetensi dan kinerja. Pada tahap ketiga individu harus mampu meyakinkan masyarakat dan lingkungan sekitar mereka bahwa mereka memiliki visi yang selalu dipraktekkan secara konsisten. Pada tahapan ketiga ini, kompetensi pribadi telah berkembang menjadi kesadaran strategis visioner dari pejabat perusahaan itu. Dengan demikian, pejabat perusahaan yang telah melewati seluruh tiga tahapan itu dianggap telah mampu mengembangkan budaya integrits dan mampu mempertahankan visi integritas mereka ke dalam kinerja korporasi.
4.1. Membangun Budaya integritas
Selain berkaitan dengan visi dan konsistensi tindakan, integritas juga berkaitan dengan kompetensi dan ketegasan yang merupakan jaminan dan konfirmasi bahwa pejabat perusahaan akan mempertahankan kinerja masa depan mereka seolah mereka diawasi oleh semua pihak.
Permasalahan lainnya ialah konsep integritas seringkali sulit diukur secara empiris dikarenakan individu memiliki persepsi yang berbeda mengenai pencapaian nilai-nilai dan konsistensi nilai prioritas individu yang mempengaruhi persepsi mereka tentang realitas. Oleh karena itu, nilai-nilai dapat dianggap keadaan emosional yang mendalam dan keyakinan yang berorientasi pada kebutuhan individu yang mendasari berdasarkan budaya kerja. Dengan melihat pelaksanaan integritas di tempat kerja, maka dapat lebih mudah untuk diukur. Dengan demikian, budaya integritas dianggap sebagai hirarki nilai-nilai yang diatur berbasis perkembangan psikologis
Penelitian Aisah (2010) mengkonfirmasi bahwa integritas memiliki dampak terbesar pada kinerja pribadi pejabat perusahaan namun bukan anggota dewan direksi. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa integritas berpengaruh pada kinerja pejabat perusahaan. Oleh karena itu, integritas merupakan area yang penting untuk penelitian karena dewan direksi percaya bahwa pengawasan yang lebih besar 95
dapat menimbulkan integritas dan arah kepemimpinan.
seringkali kepemimpinan bukan sebagai kemam-puan pemimpin untuk menegakkan integritas, namun sebagai kemampuan untuk menarik pengikut sebanyak-banyaknya.
Warren Buffet, seorang pengamat investasi menyatakan integritas adalah yang paling penting dari tiga kualitas yang ia cari di setiap karyawan baru: integritas, kecerdasan dan motivasi intrinsik yang tinggi. Tanpa integritas di muka, maka kecerdasan dan motivasi intrinsic tidak penting. Dengan pentingnya integritas relatif terhadap kualitas pribadi lainnya, perusahaan harus mempromosikan integritas atas dasar kinerja dan motivasi intrinsic dalam pengangkatan pejabat perusahaan. Selain itu, integritas menjadi gambaran kapasitas dalam mengelola kepemimpinan tim dan pengawasan yang mempengaruhi budaya organisasi.
Dengan demikian budaya integritas sulit diterapkan bila hanya mengandalkan kemampuan untuk melaksanakan visi dan menciptakan nilai bagi organisasi serta pusat ke organisasi. Namun, budaya integritas harus dipahami dari definisi integritas yang diterapkan di tempat kerja dengan basis budaya kerja dan system kerja. Namun, integritas menghadapi tantangan masalah keagenan yang muncul dalam pembentukan perpanjangan anak perusahaan. Ketika integritas tinggi dibutuhkan, maka pejabat perusahaan dapat berseberangan dengan dewan direksi terkait peran mereka sebagai agen dari kedua organisasi dan masyarakat. Hal ini tidak biasa untuk perusahaan yang harus mampu mengedepankan sifat kompetitif. Dengan demikian, mencari keberlanjutan keuangan terhadap pengambilan risiko yang wajar dapat mengaburkan penilaian dewan direksi terkait tujuan sosial dan etika perilaku pejabat perusahaan.
Adopsi integritas ke dalam budaya kerja membentuk budaya integritas yang penting dalam makalah ini. Perusahaan yang telah menerapkan budaya integritas memiliki kepemimpinan tim yang tersistematis yang mana ditandai oleh kepemimpinan system dan bukan kepemimpinan individu. Dewan direksi harus mengaktifkan system agar dapat memilih pejabat dengan integritas tinggi dan mampu mecegah disintegritas/pelanggaran eksekutif pada regulasi hukum dan kode etik.
4.2. Audit integritas
Dalam prakteknya, nilai-nilai dan integritas seorang pemimpin atau kepemimpinan tim dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidakmudahan antar kelompok pemangku kepentingan perusahaan yang lebih luas jika mereka cukup berbeda dari nilai-nilai dan norma-norma pemangku kepentingan. Penelitian Caroline (2007) menunjukkan bahwa integritas seringkali menjadi indicator penilaian dewan direksi dalam memilih pejabat perusahaan. Namun,
Audit integritas merupakan konsep yang rumit dan membutuhkan upaya Penelitian lebih lanjut. Meskipun telah banyak Penelitian membahas mengenai audit manajemen maupun audit kinerja, namun masih sedikit yang mengangkat mengenai audit integritas. Selain itu apa saja komponen dari audit ini yang dianggap paling sesuai untuk perusahaan publik seperti BUMN. Dengan mendasarkan pada instrument Penelitian diusulkan oleh Susanto (2013) maka 96
dapat diperoleh beberapa komponen dari audit integritas, yaitu:
Pada musim gugur 2005, Lehman Brothers ini tidak lagi layak secara finansial dan efektif di ambang kehancuran. Harga itu dibayar untuk keputusan sebelumnya oleh direksi yang gagal untuk mencapai implementasi penuh audit integritas dan lebih mengedepankan kesuksesan bisnis yang menjadikan posisi strategis korporasi jatuh ke anggota dewan direksi yang baru terpilih untuk menambah keuntungan keuangan kertas kosong daripada integritas kewajiban hukum mereka untuk mengatasi likuidasi kreditkredit yang mereka jamin di pasar reposisi.
a. Kemampuan staf dalam organisasi untuk menjadi lebih sadar hukum atas kewajiban mereka kepada karyawan di level di bawahnya; b. Kepedulian pejabat perusahaan atas hak keanggotaan dari karyawan mereka dan juga mendorong hak suara penuh dari asosiasi karyawan mereka pada Rapat Umum Tahunan; c. Kesiapan pejabat perusahaan untuk menghapus praktik inklusif (mengistimewakan diri sendiri) pada perusahaan di masa kondisi krisis; d. Kesiapan pejabat perusahaan untuk mengumpulkan opini dan pendapat bertentangan dari karyawan level dibawah mereka dan mengelola opini berseberangan itu untuk melengkapi rencana tahunan korporasi.
Tantangan audit integritas sungguh rumit. Hasil Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa masing-masing sektor memiliki diskrit teori sendiri yang mendasari suatu perilaku oportunistik dapat muncul tak terduga dan menjadi risiko kecurangan korporasi. Hal ini makin Nampak jelas pada perusahaan global. Meskipun pemilik modal dapat bertindak dalam kepentingan pemegang saham, namun terdapat masalah dalam pemisahan kepemilikan dan kontrol. Masalah terletak pada mengapa seorang manajer senior, sebagai agen dari pemegang saham mengambil keuntungan dan menjual reputasi tanpa bertanggung jawab ketika menghabiskan uang orang lain. Meskipun telah terdapat prosedur dan regulasi tata kelola perusahaan, masih terdapat masalah keagenan yang mendominasi. Dikarenakan lemahnya audit perilaku para pejabat perusahaan. Masalah ini telah lama menjadi tantangan bagi perusahaan yang ingin menegakkan budaya integritas tata kelola dan mendorong perilaku pejabat perusahaan agar mampu memegang tanggung jawab. Hal ini diilustrasikan oleh kasus
Meskipun telah banyak perusahaan dan dewan direksi yang mulai menerapkan audit integritas ini, namun masih sedikit yang mampu mengukur manfaatnya dalam jangka panjang. Misalnya pada audit integritas Lehman Brothers, terdapat kendala pada bagaimana dewan direksi mampu mendorong seluruh pejabat perusahaan untuk mengungkapkan tingkat risiko dihadapi korporasi yang mengakibatkan perusahaan itu bangkrut dan menghanguskan 5000 trilliun dollar modal asset mereka. Selain itu, dengan masih banyaknya krisis global, maka menjadi pertanya bahwa perusahaan menghadapi krisis multi dimensi yang mengarah pada kebijakan inklusif di tempat, yang mengganggu pelaksanan audit integritas pejabat perusahaan dalam fungsi kepemerintahan maupun fungsi fasilitas mewah diterima pejabat perusahaan.
97
Enron di mana dewan direksi dinilai telah gagal dalam tugas fidusia kepada sejumlah besar pemegang saham kecil yang akhirnya kehilangan banyak tabungan hidup mereka. Oleh karena itu akan diusulkan adanya audit integritas yang memberikan perhatian pada masalah keagenan yang melayani para pemangku kepentingan untuk bertindak atas dasar penegakkan budaya integritas. Meskipun konsep ini sangat optimis dan lazim dibahas dalam literatur namun terdapat kendala dalam mengidentifikasi pokok agensi yang harus bertindak menegakkan budaya tersebut. Dengan demikian, terdapat pertanyaan lebih lanjut seperti transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan audit integritas tersebut.
haan pada tahun 2001-2006, kasus ini harus dilihat sebagai salah satu yang perlu divalidasi secara lebih mendalam. Hal ini penting untuk bahan diskusi tentang kemungkinan mengurangi tingkat risiko krisis pasca-Obama berhenti menjadi presiden AS dan terdapat potensi krisis baru dimunculkan oleh perusahaan skala global. Dengan demikian praktek tata kelola lama sudah tidak tepat lagi hanya mengandalkan pada audit keuangan dan audit manajemen, namun perlu diperluas ke audit integritas dan audit budaya integritas yang penting di berbagai sektor. Dengan perusahaan bertumbuh dan mengangani kontrak yang lebih besar, mereka menghadapi tekanan untuk melakukan kecurangan dalam banyak hal mulai dari pemalsuan laporan tahunan hingga risiko pergantian pejabat perusahaan yang tidak kompeten dengan bonus makin tinggi. Jenis-jenis perilaku ini menghasilkan tingkat risiko integritas yang berdampak pada masa depan kebangkrutan perusahaan global. Dengan demikian, perusahaan yang terlambat dalam memeriksa dan menciptakan sistem formal yang dapat menangani monitoring, evaluasi, dan perkembangan integritas diantara pejabat perusahaan mereka akan menghadapi permasalahan audit integritas yang membuat mereka kurang fleksibel dan kurang responsif terhadap persyaratan akuntabilitas tampaknya bergerak menjauh dari masyarakat mereka layani.
Untuk itu auditor budaya integritas harus mampu mengidentifikasi dua masalah untuk mengeksplorasi tingkat kenyamanan dan perilaku inklusifitas dilaksanakan oleh pejabat perusahaan. Tingkat kemewahan pejabat perusahaan menawarkan konteks yang penting untuk diperiksa. Perilaku bermewahmewahan menjadi indicator bahwa pejabat perusahaan bertindak dan memiliki perspektif yang tidak terdeteksi oleh auditor independen. Dalam hal ini dewan direksi harus mampu merekam perilaku pejabat perusahaan dan melakukan analisis termasuk observasi partisipatif bersama dalam konsekuensi fasilitas perusahaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi pejabat perusahaan. Hal ini membutuhkan analisis retrospektif yang ketat dalam mengukur tingkat penggunaan asset perusahaan demi kepentingan pejabat perusahaan.
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin telah berkontribusi terhadap hambatan budaya integritas, dewan direksi dan pemangku kepentingan harus mengangkat direktur
Belajar dari kegagalan organisasi yang mengakibatkan kebangkrutan perusa-
98
independen untuk meningkatkan respon tanggungjawab dan meningkatkan kualitas pengawasan sambil mengurangi kemungkinan konflik kepentingan yang merusak integritas pejabat perusahaan. Meskipun telah ada pengawasan, namun masih memungkinkan pejabat perusahaan untuk memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan pemegang saham dikarenakan dewan direksi tidak mengamati praktek bermewah-mewah (budaya inklusifitas) dilakukan oleh para direktur mereka. Oleh karena itu penegakan kode etik dan pencegahan masalah etika menjadi indicator bahwa perusahaan berkinerja buruk lebih mungkin untuk memelihara eksekutif puncak yang bermewah-mewah namun memiliki riwayat perusahaan yang penuh dengan demonstrasi karaywan mereka menuntut kenaikan gaji dan kenaikan fasilitas kesejahteraan buruh.
dan mampu mecegah disintegritas/pelanggaran eksekutif pada regulasi hukum dan kode etik. Dewan direksi berpoteni menghadapi risiko makin besar ketika mereka mengijinkan karyawan untuk berperilaku kreatif dan melakukan kewirausahaan dan negosiasi dengan lingkungan sekitar tanpa budaya integritas ditanamkan lebih dulu. Artinya, ketika tingkat integritas karyawan makin tinggi maka dapat menurunkan risiko internal yang membuat perusahaan harus memperketat kontrol atau perusahaan harus mencari karyawan yang patuh dan loyal. Hal ini menujukkan ada kontradiksi dihadapi perusahaan yang mempekerjakan individu berisiko, terutama jika perusahaan tidak mungkin selamanya dipimpin dan dikontrol oleh pejabat yang sama.
5. KESIMPULAN
Untuk mencapai hal itu, perusahaan biasanya telah memiliki peraturan atau persyaratan yang terkait dengan tata kelola yang menyampaikan persepsi peran, tanggung jawab, tujuan, dan kewajiban perusahaan dalam lingkungan mereka. Perusahaan harus mampu mengidentifikasi pihak-pihak dan landasan nilai etika serta budaya integritas yang harus mereka bangun. Perusahaan harus memiliki fondasi dan nilai-nilai membimbing untuk dimasukkan ke dalam sistem tata kelola tersebut.
Berdasarkan pada analisis dan pembahasan diatas disimpulkan bahwa : Budaya integritas sulit diterapkan bila hanya mengandalkan kemampuan untuk melaksanakan visi dan menciptakan nilai bagi organisasi serta pusat ke organisasi. Namun, budaya integritas harus dipahami dari definisi integritas yang diterapkan di tempat kerja dengan basis budaya kerja dan system kerja. Adopsi integritas ke dalam budaya kerja membentuk budaya integritas yang penting dalam makalah ini. Perusahaan yang telah menerapkan budaya integritas memiliki kepemimpinan tim yang tersistematis yang mana ditandai oleh kepemimpinan system dan bukan kepemimpinan individu. Dewan direksi harus mengaktifkan system agar dapat memilih pejabat dengan integritas tinggi
Daftar pustaka Adair, J. (2007). Cara Menumbuhkan Pemimpin. Gramedia Pustaka Utama. Aisah, S. (2010). Pengaruh Pengendalian Intern, Kepatuhan dan
99
Integritas Manajemen Terhadap Perilaku Etis Karyawan Dalam Sistem Penggajian.
organizations. Journal of Business Ethics, 11, 651-662 Suryono, H., & Prastiwi, A. (2011). Pengaruh Karakteristik Perusahaan Dan Corporate Governance (CG) Terhadap Praktik Pengungkapan Sustainability Report (SR)(Studi Pada Perusahaan–Perusahaan yang Listed (Go-Public) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 20072009). Makalah Simposium Nasional Akuntansi XII Aceh.
Caroline, R. A. (2007). Hubungan antara Persepsi Karyawan terhadap Gaya Kepemimpinan Partisipatif Atasan dengan Integritas Kerja pada Karyawan pada PT." X. Fadhilah, R. (2014). Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Tax Avoidance (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI 2009-2011). Jurnal Akuntansi, 2(1). Hariandja, M. T. E., & Hardiwati, Y. (2002). Manajemen sumber daya manusia. Grasindo.
Susanto, A. (2013). Hubungan antara Persepsi User terhadap Integritas dengan Trust pada Karyawan Outsourcing. CALYPTRA: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(2).
Hunt, S. D. & Vitell, S. J. (1986). The general theory of marketing ethics. Journal of Macromarketing, 6, 5-16
Susanto, I. S. (1999). Kejahatan Korporasi Di Indonesia: Produk Kebijakan Rezim Orde Baru.
Limberg, G., Iwan, R., Moeliono, M., Indriatmoko, Y., Mulyana, A., & Utomo, N. A. (2010). Bukan hanya laba: prinsip-prinsip bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. CIFOR.
Sutojo, S., & Aldridge, E. J. (2005). Good corporate governance: Tata kelola perusahaan yang sehat. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka. Trevino, L. K. Butterfield, K. D. & McCabe, D. L. (1995). Contextual influences on ethicsrelated outcomes in organizations : Rethinking ethical climate and ethical culture.Annual Academy of Management Meeting.
Nuswandari, C. (2009). Pengaruh Corporate Governance Perception Index Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 16(2). Sims, R. R. (1992). Linking groupthink to unethical behavior in
100