PUDARNYA
KEBENARAN ;
Membela Kekristenan terhadap Tantangan Postmodernisme
DOUGLAS GROOTHUIS
Penerbit Momentum 2003
Copyright © momentum.or.id
PUDARNYA KEBENARAN: Membela Kekristenan terhadap Tantangan Postmodernisme Oleh: Douglas Groothuis Penerjemah: Irwan Tjulianto Editor: Hendry Ongkowidjojo Tata Letak: Djeffry Desain Sampul: Ricky Setiawan Editor Umum: Solomon Yo Originally published by InterVarsity Press as Truth Decay by Douglas Groothuis © 2000 by Douglas Groothuis Translated and printed by permission of InterVarsity Press P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515, USA Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature) Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Copyright © 2000 Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail:
[email protected]
Perpustakaan LRII: Katalog dalam Terbitan (KDT) Groothuis, Douglas R., 1957Pudarnya kebenaran: membela kekristenan terhadap tantangan postmodernisme/Douglas Groothius, Terj. oleh Irwan Tjulianto – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2003. xviii + 304 hlm.; 15,5 cm. ISBN 979-8131-34-7 1. Kebenaran (Teologi Kristen) 2. Postmodernisme – Aspek religius – Kekristenan. 2003
230.01––dc21
Cetakan pertama: Mei 2003 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Copyright © momentum.or.id
Daftar Isi ;
Prakata Penerbit
ix
Pendahuluan
xi
1. Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
1
2. Dari Modernisme Menuju Postmodernisme
17
3. Pandangan Alkitabiah tentang Kebenaran
47
4. Kebenaran tentang Kebenaran
73
5. Tantangan Postmodernis terhadap Teologi
103
6. Postmodernisme dan Apologetika: Bahaya-bahaya yang Perlu Dihindari
133
7. Apologetika terhadap Orang Postmodern
157
8. Etika Tanpa Realitas, Ala Postmodernis
185
9. Ras, Gender, dan Postmodernisme
211
10. Keindahan yang Sebenarnya: Tantangan terhadap Postmodernisme
243
11. Titik yang Tetap di dalam Satu Dunia Postmodern
269
Apendiks: Televisi: Agen Pemudaran Kebenaran
289
Copyright © momentum.or.id
Prakata Penerbit ;
S
ebuah kunjungan ke sejumlah toko buku terkemuka akan mempertemukan kita dengan buku-buku filsafat bertema postmodern, yang sebagian besar di antaranya baru ditulis atau diterjemahkan beberapa tahun belakangan ini. Maraknya buku-buku ini merupakan salah satu indikator dari mulai populer dan mulai banyaknya peminat postmodern di negara kita. Tetapi ini juga berarti sudah waktunya bagi kita untuk berwaspada, karena orangorang Kristen di Indonesia tampaknya belum cukup diperlengkapi untuk berhadapan dengan tantangan Postmodern. Di antara sekian banyak buku dengan tema ini yang hadir di Indonesia, buku yang membahas Postmodern dari sudut pandang iman Kristen, masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Dan sebagian besar orang Kristen mungkin sama sekali asing dengan istilah filsafat postmodern, atau bahkan dengan istilah filsafat itu sendiri, meskipun mereka tanpa sadar sedang menjalani hari-hari mereka di bawah pengaruh nyata postmodernitas. Apa yang sedang dipertaruhkan bukanlah hal yang remeh atau tidak berharga. Harta berharga yang sedang dipertaruhkan itu tidak lain daripada kebenaran itu sendiri. Bukan sekadar mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi apakah kebenaran itu memang ada atau tidak! Oleh sebab itu sangat penting bagi kita untuk mulai melihat letak masalah yang ada, bagaimana kita menjawab tantangan-tantangan yang mereka ajukan, dan yang terpenting, bagaimana kita dapat semakin teguh dan menghargai kebenaran yang Tuhan nyatakan kepada kita, dan mulai menggumulkan bagaimana kita bisa menerapkan kebenaran itu dalam hidup kita.
Copyright © momentum.or.id
x
PUDARNYA KEBENARAN
Buku ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan ini. Buku ini menunjukkan bagaimana pandangan Alkitab akan kebenaran berbeda dengan pandangan postmodern, sehingga pihak-pihak yang mencoba untuk mendamaikan atau menggabungkan keduanya, tidak bisa tidak berakhir dengan pemudaran kebenaran Kristen. Buku ini juga menunjukkan lobang-lobang yang ada di dalam pandangan Postmodern tentang kebenaran, dan bagaimana Alkitab memberikan alternatif yang jauh lebih baik. Kiranya buku ini boleh menjadi berkat bagi kekristenan di Indonesia."
Mei 2003 Penerbit Momentum
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan PERMASALAHAN KEBENARAN & INTEGRITAS ;
A
ristoteles memulai karya besarnya Metaphysics dengan menuliskan bahwa “manusia sesuai naturnya berhasrat untuk mengetahui.” Berabadabad kemudian, sastrawan dan penulis drama T.S. Eliot mencatat, “Umat manusia tidak bisa menampung banyak realitas.” 1 Dan anehnya, kedua pernyataan itu benar. Dari ketegangan dan polaritas yang terlalu manusiawi ini lahirlah paradoks pencarian akan kebenaran sekaligus pelarian dari kebenaran yang terus-menerus terjadi. Kebenaran merupakan hal yang mengecilkan hati dan sukar; tetapi kebenaran juga merupakan hal terbaik di dalam dunia. Tetapi toh kita selalu bersikap ambivalen terhadap kebenaran. Kita mencaricari kebenaran … dan kita takut terhadapnya. Sisi baik diri kita ingin mengejar kebenaran ke mana pun kebenaran itu membawa kita; sisi gelap kita melawan ketika kebenaran mulai membawa kita ke tempat yang tidak kita inginkan. Biarlah kebenaran terkutuk jika kebenaran itu akan mengutuk kita! Kita ingin melayani kebenaran tetapi sekaligus dilayani olehnya. Seperti itulah kondisi kita setelah kejatuhan. Rasul Paulus sangat mengenal hal ini. Di dalam kitab Roma dia berbicara tentang pengetahuan kita akan kebenaran Allah yang tak terhindarkan dan juga pelarian kita darinya: Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah me1
T.S. Eliot, Murder in the Cathedral (New York: Harcourt, Brace & World, 1963), hlm.
69.
Copyright © momentum.or.id
xii
PUDARNYA KEBENARAN nyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. (Rm. 1:18-20)
Hal yang mendasari perpecahan yang mendalam di dalam keberadaan kita, peperangan di dalam batin kita ini, bukanlah sekadar pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang kita anggap benar atau salah – “Apakah saya seorang manusia yang baik atau jahat?” – tetapi menyangkut pandangan kita tentang natur dari kebenaran. Apakah kebenaran secara tidak terpisahkan berkaitan dengan realitas objektif, ataukah kebenaran merupakan satu hal yang lebih lentur, bisa berubah-ubah dan beradaptasi dengan keadaan? Apakah kita yang mengkonstruksi kebenaran – baik secara individual maupun sebagai suatu budaya – ataukah kita menerima kebenaran sebagai suatu karunia, betapapun tidak mengenakkannya hal ini? Bisakah bahasa menangkap realitas-realitas yang ada di luar bahasa ataukah bahasa hanya bisa mengacu kembali kepada dirinya sendiri seperti suatu permainan solitaire linguistik?
Kebenaran dan Integritas Kedua hal ini bukanlah permainan filosofis yang diperuntukkan khusus bagi kaum intelektual atau pihak lain yang sedang bosan. Kedua hal ini menyangkut kejujuran dan integritas pribadi. Bagaimana saya seharusnya mengorientasikan diri pada kebenaran? Bisakah saya menemukan kebenaran dan hidup di dalamnya? Bisakah saya mengikuti tuntutan-tuntutannya dan bersuka di dalam manfaat-manfaatnya? Kata-kata Ludwig Wittgenstein ini harus terus menggema dalam benak kita: Tak seorang pun bisa membicarakan kebenaran; jika dia masih belum menguasai dirinya sendiri. Dia tidak bisa membicarakannya; – tetapi bukan karena dia tidak cukup pandai. Kebenaran hanya bisa dikatakan oleh seseorang yang telah berada di dalamnya; bukan oleh seseorang yang masih hidup di dalam kesalahan dan hanya sekali-kali keluar dari kesalahan kepada kebenaran. 2
Di sini sang filsuf tidak memberi tahu kita apa kebenaran itu, tetapi dia menggarisbawahi nilainya yang tak terukur bagi orang-orang yang meng2 Ludwig Wittgenstein, Culture and Value, diterjemahkan Peter Winch (Chicago: University of Chicago Press, 1984), hlm. 35e. Penempatan tanda baca yang tidak lazim pada kalimat pertama memang terdapat di dalam edisi terjemahan.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xiii
idamkan integritas, untuk berbicara dan hidup dengan benar. 3 Maka, jika pemahaman yang benar tentang kebenaran tengah mengalami pemudaran (pelapukan, decay), kita harus waspada, dan juga tergerak untuk memutarbalikkan keadaan ini. Di dalam jurnalnya, Søren Kierkegaard muda yang saat itu menjadi seorang siswa, dengan rasa ingin tahu mengenai apa yang merupakan panggilan Allah bagi dirinya, membuat perenungan yang tersohor tentang hubungan antara dirinya dengan kebenaran: Ada hal yang kurang dalam hidup saya, dan hal ini pastilah berkaitan dengan kebutuhan saya untuk memahami apa yang harus saya lakukan, bukan apa yang harus saya ketahui – kecuali, tentu saja, bahwa pengetahuan dalam jumlah tertentu merupakan prasyarat bagi setiap tindakan. Saya perlu memahami tujuan saya di dalam hidup ini, untuk melihat apa yang Allah inginkan untuk saya lakukan, dan ini berarti saya harus menemukan kebenaran yang benar bagi saya, saya harus menemukan Ide yang deminya saya hidup dan mati. 4
Kierkegaard kemudian hari menemukan kebenaran yang baginya dia bisa mendedikasikan hidupnya yang singkat namun produktif itu: penjelasan dan penerapan iman Kristen melalui sejumlah besar literatur yang rumit. Dia memahami ide “kebenaran yang benar bagi diri saya” sebagai apa yang mengikat relung hatinya yang terdalam, bukan dalam arti bahwa dia bisa mengutak-atiknya agar sesuai dengan kesenangannya sendiri. Dia mencari dan akhirnya menemukan “sesuatu yang menjangkau akar terdalam eksistensi saya, dimana saya menjadi terhubung dengan yang ilahi dan berpegang teguh kepadanya, meskipun seluruh dunia ini hancur berantakan.” 5 Tidakkah kita seharusnya melakukan hal yang sama? Tidakkah seharusnya kita seperti Daud yang “melakukan kehendak Allah pada zamannya” (Kisah Para Rasul 13:36)?
3
Pandangan-pandangan Wittgenstein tentang kebenaran mungkin berubah seiring berjalannya waktu, dan apa yang menjadi pandangan akhirnya merupakan perkara yang diperdebatkan kaum intelektual dengan hangat, yang sayangnya tidak bisa kita bicarakan di sini. 4 Søren Kierkegaard, “An Entry from the Journal of the Young Kierkegaard,” di dalam Louis Pojman, Classics of Philosophy, vol. 11, Modern and Contemporary (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 902; penekanan terdapat dalam naskah asli. Studi yang mendalam dan simpatik atas pandangan Søren Kierkegaard tentang iman dan akal, lihat C. Stephen Evans, Faith Beyond Reason: A Kierkegaardian Account (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1998). Sejumlah komentar kritis mengenai apologetika Kierkegaard akan diberikan dalam bab 7. 5 Kierkegaard, “Entry from the Journal,” hlm. 902.
Copyright © momentum.or.id
xiv
PUDARNYA KEBENARAN
Lebih dari 150 tahun setelah perenungan Søren muda ini, sejumlah pihak menyatakan bahwa seluruh dunia modern telah hancur berantakan dan bahwa kita tidak memegang apa pun yang pasti, yang objektif, yang mutlak, dan yang universal. Tidak ada titik acuan akhir yang tetap, tidak ada jangkar yang kukuh bagi jiwa. Kita telah masuk ke dalam postmodern; cara pemikiran kaum modern tentang kebenaran menjadi mustahil. Postmodernisme, dalam pemahaman yang luas, telah menyingkirkan Kebenaran dan menggantikannya dengan kebenaran-kebenaran. Sejumlah pihak melihatnya sebagai upaya yang memerdekakan, bahkan bagi sebagian orang Kristen. Saya melihatnya sebagai kabar buruk – baik secara filosofis, etis, apologetis maupun teologis. Dan tujuan buku ini adalah untuk menunjukkan mengapa demikian.
Kebenaran, Hasrat, dan Kerendahan Hati Saya tidak melibatkan diri dalam topik ini tanpa hasrat. Sejak bertobat dengan menerima iman Kristen pada tahun 1976 setelah tahun pertama saya di perguruan tinggi, saya telah dengan giat memerhatikan pembelaan bagi kebenaran Kristen di dalam budaya kontemporer. Sebagai seorang mahasiswa, seorang pendeta kampus, seorang penulis, dan seorang guru besar bidang filsafat, saya telah berusaha semampu saya untuk memahami rasionalitas kekristenan beserta berbagai implikasinya dan untuk menyebarkannya kepada gereja dan dunia yang tidak percaya. Maka, saya memberikan perhatian yang besar kepada postmodernisme, suatu filsafat – atau lebih tepat, sekumpulan filsafat – yang berupaya secara radikal untuk melakukan konseptualisasi ulang terhadap ide-ide tradisional mengenai kebenaran dan rasionalitas. Postmodernis sangat membenci arogansi dan dogmatisme, tetapi dalam menghindarinya mereka biasanya masuk ke dalam kesalahan sebaliknya yang setara, yaitu toleransi yang murahan dan relativisme. Namun demikian, keyakinan akan objektivitas kebenaran dan pentingnya hal itu terhadap seluruh kehidupan tidak mesti menimbulkan sikap arogan atau dogmatisme yang kaku dan irasional. Meskipun terdapat keyakinan kuat yang mendasari buku ini, saya akan mencoba secara singkat membedakan dua pernyataan yang ada agar saya tidak disalah mengerti. Menyatakan adanya kebenarankebenaran yang objektif, mutlak, dan universal itu merupakan satu hal. Tetapi menyatakan bahwa seseorang menguasai kebenaran-kebenaran yang
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xv
objektif, mutlak, dan universal ini, atau menyatakan bahwa dia tidak lagi memiliki hal lain untuk dipelajari dan dirinya tidak memerlukan koreksi lagi, merupakan hal yang sangat berbeda. Saya akan membela yang pertama, tetapi (karena tidak mahatahu) saya takkan berpura-pura menjadi yang kedua. Sebenarnya, justru keyakinan terhadap kebenaran yang melampaui pemikiran dan budaya yang dimiliki seseoranglah, yang memungkinkan dia untuk dikritik dan direkonstruksi oleh realitas. Karena itu, kita bisa diselaraskan kembali oleh kebenaran dan dengan kebenaran. Pembedaan yang tidak bisa lagi ditawar-tawar ini seharusnya menghasilkan kerendahan hati, dan bukannya arogansi; suatu pencarian bagi kepastian yang masuk akal melalui dialog, bukannya dogmatisme melalui penegasan dan penolakan yang tidak dipikirkan. Komentar Richard John Neuhaus harus dijadikan vitamin bagi pemikir Kristen, termasuk saya sendiri, yang bisa tergoda oleh visi-visi tentang keagungan intelektual. Hanya sedikit hal yang begitu berkontribusi terhadap ketidakpercayaan dunia modern dan postmodern seperti kepura-puraan orang Kristen bahwa mereka mengetahui lebih banyak dari yang sebenarnya.… Jika orang-orang Kristen menunjukkan lebih banyak kesabaran intelektual, kerendahan hati, rasa ingin tahu, dan semangat bertualang, maka akan terdapat lebih sedikit orang ateis di dunia ini, baik itu dari jenis rasionalis maupun postmodern. 6
Blaise Pascal, seorang jenius sejati dan apologet yang luar biasa, menggemakan keprihatinan mengenai cara memegang kebenaran secara salah ini: Kita membuat berhala dari kebenaran itu sendiri, karena kebenaran tanpa kasih bukanlah Allah, melainkan sebuah patung diri-Nya dan suatu berhala yang tidak boleh kita kasihi atau sembah. Kita bahkan lebih-lebih tidak boleh mengasihi atau menyembah kebalikannya, yaitu ketidakbenaran. 7
Dengan nasihat-nasihat ini dalam pikiran, marilah kita menginvestigasi kondisi-kondisi pemudaran kebenaran di dalam dunia postmodern.
6
Richard John Neuhaus, “Encountered by the Truth,” First Things, Oktober 1998, hlm. 83. James Sire menunjukkan kutipan ini kepada saya. Lebih lanjut mengenai kerendahan hati dan apologetika, lihat Douglas Groothuis, “Apologetics, Truth, and Humility,” di dalam Christianity That Counts: Being a Christian in a Non-Christian World (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1994), hlm. 63-65. 7 Blaise Pascal, Pensees, diedit oleh Alban Krailsheimer (New York: Penguin, 1966), 926/582; hlm. 318.
Copyright © momentum.or.id
xvi
PUDARNYA KEBENARAN
Pudarnya Kebenaran: Sekilas Pandang Pudarnya Kebenaran ditulis oleh seorang Kristen dan ditujukan terutama bagi orang-orang Kristen, tetapi juga diperuntukkan bagi semua orang yang prihatin terhadap natur kebenaran dan implikasinya di dalam postmodernitas. Meskipun saya menulisnya dari wawasan dunia Kristen, kritik saya terhadap postmodernisme bukanlah sekadar mengutip teks-teks Alkitab sebagai pembuktian. Sebaliknya, tujuan saya adalah untuk menyajikan secara adil ide-ide kaum postmodernis di dalam kaitannya dengan apa yang saya anggap sebagai perspektif yang alkitabiah dan logis. Saya berharap banyak orang non-Kristen yang akan membaca dan mendapatkan manfaat dari buku ini. Karena sejumlah pemikir Kristen memiliki pandangan yang cukup mendukung postmodernisme dan sejumlah pemikir non-Kristen tak begitu mendukung, saya berharap dapat memicu perdebatan rasional mengenai (1) nilai postmodernisme bagi orang-orang Kristen, dan (2) kebenaran kekristenan di dalam kaitannya dengan pihak-pihak yang menentang kekristenan, baik itu kaum modernis maupun postmodernis. Bab satu membahas bagaimana postmodernisme mencoba mengubah secara radikal – dan dengan demikian membahayakan – pemahaman yang alkitabiah tentang kebenaran. Hal ini diilustrasikan dari banyak aspek budaya kita. Bab dua memerhatikan perbedaan krusial antara pramodernitas, modernitas, dan postmodernitas sebagai kondisi budaya dan historis, demikian juga perbedaan antara modernisme dan postmodernisme sebagai filsafat. Bab tiga membicarakan pandangan alkitabiah yang mendasar tentang kebenaran dalam kaitannya dengan keberatan-keberatan kaum postmodernis, memberikan delapan ciri penentu yang sering diabaikan atau dikesampingkan saat ini. Bab empat menyajikan suatu argumentasi filosofis bagi “pandangan korespondensi dari kebenaran” – suatu klaim bahwa pernyataan yang benar merupakan pernyataan yang sesuai atau cocok dengan realitas yang dideskripsikannya – melawan alternatif-alternatif postmodernis. Meskipun bab ini mungkin merupakan bab yang paling filosofis, saya mendorong semua pembaca untuk memberikan perhatian yang ketat, karena banyak hal yang bersandar pada hasil bahasan ini. Bab lima memerhatikan bagaimana ide-ide dari kaum postmodernis telah mempengaruhi teologi Kristen – khususnya di dalam karya Alister McGrath dan Stanley Grenz – dan apa yang perlu dilakukan untuk membalikkan pengaruh postmodernis agar bisa menyajikan penjelasan yang akurat secara alkitabiah mengenai
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xvii
iman kita. Pada bab enam, saya menelaah strategi-strategi William Willimon, Philip Kenneson, dan Lesslie Newbigin – para apologet yang saya yakini, dengan tidak bijak telah memasukkan tema-tema postmodern ke dalam pembelaan mereka bagi iman Kristen. Saya memberikan apa yang saya yakini sebagai suatu pendekatan yang lebih solid dan lebih utuh bagi apologetika dalam bab tujuh, mengargumentasikan bahwa terdapat sumber daya intelektual yang kaya bagi pembelaan kekristenan, yang benar dan rasional (bahkan di zaman postmodern ini). Bab delapan mengkritik berbagai versi etika kaum postmodernis, khususnya yang ditawarkan oleh Richard Rorty dan Michel Foucault, dan menunjukkan cacat yang serius dalam versi-versi ini, khususnya jika dibandingkan dengan etika Kristen. Etika tanpa pengetahuan akan realitas yang objektif tidak akan tercapai. Meskipun kaum postmodern sering mengklaim bahwa filsafat mereka merupakan cara terbaik untuk mengatasi stereotipstereotip rasial dan gender, yang didasarkan pada asumsi-asumsi kaum modernis, saya menolak pandangan ini dalam bab sembilan dan memberikan satu alternatif Kristen yang menghormati semua manusia yang diciptakan dalam gambar Allah dan yang dapat mengalami penebusan. Bab sepuluh menyangkal keyakinan kaum postmodernis bahwa seni tak bisa dievaluasi secara objektif; selanjutnya bab ini memberikan pandangan bahwa seni – baik yang Kristen maupun non-Kristen – bisa menyampaikan keindahan yang objektif dan bahwa seni merupakan karunia yang baik dari Allah. Bab sebelas menawarkan suatu refleksi Pascalian mengenai “titik yang tetap di dalam dunia postmodern,” di mana saya mendorong para pembaca untuk mewujudkan kebenaran di dalam konteks postmodern melalui integritas intelektual, konfrontasi yang dilandasi kasih, pengajaran dan khotbah yang benar, ibadah yang benar, penginjilan yang bijak dan penemuan kembali doktrin alkitabiah mengenai panggilan Kristen. Bab apendiks, “Televisi: Agen Pemudaran Kebenaran,” berargumentasi bahwa televisi telah menguatkan tema-tema sentral dari postmodernisme dan karenanya televisi seharusnya ditolak oleh pihak-pihak yang merasa khawatir terhadap pemudaran kebenaran ini. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada David Werther, James Sire, dan Andy LePeau atas komentar-komentar mereka yang mendalam dan bijak terhadap keseluruhan naskah tulisan ini. Ucapan terima kasih khusus saya tujukan kepada Rebecca Merrill Groothuis, istri saya, untuk kontri-
Copyright © momentum.or.id
xviii
PUDARNYA KEBENARAN
businya yang tidak ternilai dalam setiap bab. Dia memiliki cara yang luar biasa untuk memperjelas dan memperbaiki pemikiran dan penulisan saya. Tentu saja semua kesalahan dan ketidaktepatan ungkapan yang terjadi adalah tanggung jawab saya pribadi. Saya juga harus berterima kasih kepada T-Bone Burnett untuk frasa pintarnya “pudarnya kebenaran” (Truth Decay) yang merupakan salah satu judul rekaman musiknya."
Copyright © momentum.or.id
1 KEBENARAN DALAM ANCAMAN BAHAYA ;
S
ebuah peribahasa Rusia berbunyi “satu kata yang benar mengalahkan bobot seluruh dunia.” Demi kebenaran yang didasarkan pada peribahasa ini, penulis Rusia Aleksandr Solzhenitsyn melancarkan kampanye yang penuh dengan penderitaan selama beberapa dekade, dengan keyakinan bahwa rezim komunis takkan bisa selamanya menolak, menekan, atau menyangkali realitas-realitas yang bersaksi menentangnya. Setelah menemukan Allah saat berada di dalam tahanan Gulag, dan melawan semua tantangan yang ada, Solzhenitsyn mempertaruhkan hidupnya dengan harapan kebenaran akan menang dan bahwa panggilan dirinya akan dibuktikan – bahkan di hadapan ideologi komunis yang terlindung kuat, propaganda yang gencar, penindasan yang sistematik, dan teror. Meskipun buku sejarah ditulis ulang, orang-orang yang berkeyakinan lain dibungkam, dan orang banyak bisa disesatkan, kebenaran itu sendiri akan tetap berdiri kukuh dan tegak. Kebenaran tak bisa ditundukkan pada kesalahan. Dan Solzhenitsyn, di bawah pimpinan Allah, merupakan nabi bagi kebenaran. Pada tanggal 4 Juli 1776, para penulis Deklarasi Kemerdekaan menyuarakan “Deklarasi Bersama Tiga Belas Negara Bagian Amerika Serikat,” yang memproklamasikan, “Kami percaya kebenaran-kebenaran berikut ini benar pada dirinya sendiri; bahwa Manusia diciptakan setara; bahwa mereka diberkahi oleh Penciptanya dengan Hak-hak tertentu yang tak bisa dihilangkan: bahwa di antara Hak-hak tersebut terdapat Hak untuk Hidup, Merdeka, dan mengejar Kebahagiaan.”
Copyright © momentum.or.id
2
PUDARNYA KEBENARAN
Thomas Jefferson, penulis utama Deklarasi tersebut bersama John Hancock dan penandatangan lainnya, menandaskan hal ini dengan berpegang pada presaposisi bahwa kebenaran bersifat objektif dan bisa diketahui, bahwa kebenaran didasarkan pada “hukum alam dan Allah yang empunya alam,” dan bahwa hal ini mendukung posisi mereka melawan Inggris Raya. Bagi para pendiri [Amerika Serikat], kebenaran bukanlah hal yang bisa dimanipulasi demi mendapatkan kemenangan politik. Kebenaran-kebenaran “yang benar pada dirinya sendiri” harus diakui, dihormati, dan ditaati; mereka tidak diciptakan dan tak bisa dibuyarkan oleh kekuatan politik atau militer mana pun. Kebenaran-kebenaran ini sajalah yang memberikan dasar yang kuat untuk menyatakan identitas dari bangsa yang merdeka. Hampir dua ratus tahun setelah berdirinya Amerika Serikat, seorang reformator moral berseru kepada bangsanya agar setia pada ide-ide yang membangun negaranya itu. Pada tanggal 28 Agustus 1963, di hadapan lebih dari dua ratus ribu orang yang berkumpul di antara Washington Monument dan Lincoln Memorial, Martin Luther King, Jr. menjelaskan tujuan dari acara yang bersejarah itu: Dalam satu pengertian kita datang ke ibu kota negara untuk mencairkan sebuah cek. Ketika para pendiri republik kita ini menuliskan Konstitusi dan Deklarasi Kemerdekaan yang luar biasa, mereka menandatangani surat perjanjian yang merupakan warisan bagi setiap orang Amerika. Surat ini merupakan janji bahwa setiap orang akan dijamin hak-haknya yang tidak bisa dihilangkan atas kehidupan, kemerdekaan, dan pencapaian kebahagiaan. 1
Tetapi, King meratapi, sudah “jelas pada hari ini bahwa sejauh menyangkut warna kulit para penduduknya, Amerika telah melanggar surat perjanjian ini.” Meskipun demikian, pemimpin hak-hak sipil ini dengan bersemangat menuturkan, “Saya memiliki satu impian bahwa suatu hari nanti bangsa ini akan bangkit dan menghidupi makna sesungguhnya dari kredonya: ‘kami berpegang pada kebenaran-kebenaran yang benar pada dirinya sendiri bahwa semua manusia diciptakan setara,’” 2 dan bahwa suatu hari nanti “semua anak Allah, orang-orang kulit hitam dan kulit putih, Yahudi dan kafir, Protestan dan Katolik, akan sanggup bergandengan tangan dan menyanyikan kata-kata dari lagu rohani kaum negro yang sudah lama, 1
Martin Luther King, Jr., “I Have a Dream,” di dalam The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories, diedit oleh William J. Bennett (New York: Simon & Schuster, 1993), hlm. 573. 2 Ibid.
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
3
‘akhirnya bebas! akhirnya bebas! puji syukur kepada Allah Mahakuasa, kita akhirnya bebas!’” 3 Keterampilan pidato King seharusnya tidak mengaburkan asumsiasumsi filosofis yang mendasari seruannya yang gigih dan jelas. Acuan moralnya berasal dari keyakinannya bahwa ide bangsa Amerika yang terdalam, meskipun diimplementasikan secara tidak sempurna, merupakan realitas moral yang benar dan lebih besar dari bangsa Amerika itu sendiri. Harapannya dihidupkan oleh keyakinan bahwa keadilan yang lebih besar bisa dicapai melalui perjuangan bagi mereka yang tertindas, pertobatan mereka yang menindas, dan pemeliharaan Allah Yang Mahakuasa. Kebenaran akan menang pada akhirnya – meskipun menghadapi geraman anjing polisi, semburan air dari mobil pemadam kebakaran, pengeboman terhadap gerejagereja orang kulit hitam, dan keengganan politis untuk memberikan pengakuan terhadap hak dan kepribadian seutuhnya bagi warga Amerika berkulit hitam. Selama ribuan tahun, kepercayaan yang teguh akan kebenaran telah memanggil para filsuf, nabi, reformator, dan bahkan sejumlah politisi untuk menantang konvensi dan menolak otoritas yang tidak sesuai dengan hukum, baik yang sekuler maupun gerejawi. Ketika di Diet of Worms pada tahun 1521, Profesor Martin Luther menegaskan doktrin pembenaran hanya oleh iman yang baru ditemukan kembali – kebenaran yang akan menghidupkan dan mendorong Reformasi – dia mengonfrontasi pemegang kekuasaan negara dan gereja dengan mengatakan, “Di sinilah saya bediri. Saya tidak bisa melakukan hal yang lain. Kiranya Allah menolong saya.” Frasa, “mengatakan kebenaran dengan penuh kuasa,” yang begitu sering diucapkan oleh kaum idealis dan aktivis dari berbagai golongan, didasarkan pada keyakinan bahwa kebenaran bukan milik seseorang, dan ia hanya bisa ditolak dengan taruhan kebinasaan mereka yang menolaknya, dan memiliki dinamika yang bahkan lebih hebat dari yang mungkin ditimbulkan oleh kesalahan lain apa pun. Apakah itu kita lihat di dalam Socrates yang memilih menanggung hukuman mati yang dijatuhkan negara daripada harus menarik kembali ajaran-ajarannya, atau melihat Gandhi yang berdiri bagi kemerdekaan bangsa India tanpa senjata apa pun dalam melawan angkatan bersenjata kerajaaan Inggris, atau kita mengingat perjuangan kaum sufragis Amerika bagi hak-hak kaum perempuan dalam pemungutan suara 3
Ibid., hlm. 576.
Copyright © momentum.or.id
4
PUDARNYA KEBENARAN
di dalam masyarakat yang didominasi kaum pria, itulah para pahlawan yang sampai saat ini didefinisikan dan dihormati karena keyakinan mereka akan kebenaran dan kesediaan mereka untuk menanggung semua derita demi kebenaran.
Kebenaran dalam Pemudaran Meskipun dikelilingi oleh begitu banyak saksi, filsuf Amerika Richard Rorty memberikan pendapat yang berbeda. Mengikuti pahlawannya, John Dewey, dia menyatakan bahwa kebenaran merupakan jalan bagi seseorang untuk meloloskan diri. 4 Rorty dan serombongan besar akademisi di bidang filsafat, sejarah, psikologi, hukum, sosiologi, antropologi, dan bahkan teologi, telah meninggalkan pandangan klasik akan kebenaran yang merupakan jantung dari contoh-contoh yang diberikan di atas. Sebagai gantinya, mereka menganut konsep kebenaran yang merendahkan setiap pengertian akan perikebenaran yang mutlak, objektif, dan universal. Menurut mereka, ide tentang kebenaran objektif harus ditinggalkan bersama dengan semua sisasisa modernisme, yang dianggap sebagai upaya menyesatkan dari Abad Pencerahan, yang ingin mendapatkan kepastian objektif bagi perkara-perkara filosofis, ilmiah, dan moral. Bagi mereka, kita saat ini berada dalam era postmodern dan telah meninggalkan semua usaha yang hebat itu di belakang, demi mendapatkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana. Bagi para pemikir postmodern ini, ide tentang kebenaran telah memudar dan terpecah-pecah. Kebenaran bukan lagi hal yang bisa diketahui oleh siapa pun yang melakukan studi dan penyelidikan. Kebenaran bukan hal yang berada di atas dan melampaui diri kita, sesuatu yang bisa disampaikan lintas budaya dan lintas waktu. Kebenaran tak terpisahkan dari pengkondisian budaya, psikologi, ras, dan gender kita. Pada akhirnya, kebenaran hanyalah apa yang kita buat, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, dan tidak lebih dari itu. Kebenaran telah terurai menjadi begitu banyak “kebenaran,” yang setara satu sama lain tetapi tidak saling berkaitan; tak ada skema yang menyeluruh dan rasional. Seorang penarikh postmodernisme, Walter Truett Anderson, menjelaskan demikian: 4
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (New York: Princeton University Press, 1979), hlm. 176; lihat juga Stephen Louthan, “On Religion: A Discussion with Richard Rorty, Alvin Plantinga and Nicholas Wolterstorff,” Christian Scholars Review 26, no.2 (1996): 177-83.
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
5
Postmodernitas menantang pandangan bahwa semua kebenaran adalah utuh dan tidak terbagi-bagi, sama bagi semua orang di mana pun dan kapan pun – seperti disampaikan Isaiah Berlin. Pandangan yang lebih baru ini menganggap bahwa setiap kebenaran dikonstruksi secara sosial, bersifat kontingen, tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan-kebutuhan khusus dan pilihanpilihan dari masyarakat tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Ide ini memiliki banyak implikasi – ia tak membiarkan satu pun nilai, budaya, keyakinan, atau kebenaran kekal yang tidak tersentuh sama sekali. 5
Seperti bunyi stiker mobil, “Saya telah menyerah dengan realitas. Sekarang saya menginginkan fantasi yang indah.” Atau pertimbangkan jawaban yang sering dipakai jika menyangkut keyakinan agama dan keputusan moral “Terserah ....” Apati, dan bukannya kegentaran (angst) yang menyertai pemudaran kebenaran saat ini. Tetapi pemudaran kebenaran bukan hanya terjadi di lingkungan akademi, di mana para guru besar yang terisolasi dan eksentrik mengemukakan teori-teori yang aneh di hadapan para kolega dan siswa mereka. Pemudaran ini terjadi di semua bagian budaya postmodern, lebih banyak dianut daripada diargumentasikan, lebih banyak diudarakan daripada disimpan dalam pikiran. Pemudaran kebenaran mendominasi MTV (dan sebagian besar program televisi), film, buku-buku terlaris, dan lagu-lagu populer. Pemudaran kebenaran bahkan telah secara perlahan merembes ke dalam berbagai gereja, seminari, dan perguruan tinggi Kristen. Selama perdebatan yang cukup panas mengenai natur kebenaran pada suatu konferensi postmodernisme di mana saya berbicara, seorang pria yang mengajar filsafat di satu perguruan tinggi Kristen berkata bahwa pengetahuan yang objektif adalah mustahil dan dia menolak klaim bahwa ide-ide kita bisa berkoresponden dengan realitas eksternal. Saat saya bertanya kepadanya apakah hukum gravitasi akan benar jika tak ada seorang pun manusia di bumi, ia menjawab, “Tidak. Kebenaran terbatas pada bahasa kita.” Philip Kenneson, profesor di sebuah perguruan tinggi Kristen, juga berkata bahwa “tak ada yang disebut kebenaran objektif, dan itu merupakan hal yang baik.” 6 William Willimon, seorang penulis dan gembala, menulis di majalah Christianity Today bahwa “orang-orang Kristen yang menegaskan kebenar5 Walter Truett Anderson, The Future of the Self: Inventing the Postmodern Person (New York: Jeremy P. Tarcher/Putnam, 1997), hlm. 27. 6 Philip Kenneson, “There Is No Such Things as Objective Truth, and It’s a Good Thing Too,” di dalam Christian Apologetics in the Postmodern World, diedit oleh Timothy R. Phillips dan Dennis L. Okholm (Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press, 1995), hlm. 155-72. Pandangan Kenneson akan dikritik pada bab 6 buku ini.
Copyright © momentum.or.id
6
PUDARNYA KEBENARAN
an ‘objektif’ mengenai Yesus tengah membuat kesalahan yang taktis,” karena “Yesus tidak datang ke tengah-tengah kita untuk menyatakan serangkaian proposisi yang harus kita teguhkan.” 7 Sejumlah pendukung pertumbuhan-gereja menasihatkan agar gereja mengurangi penekanan mereka atas kebenaran objektif dari doktrin Kristen, karena orang-orang postmodern memiliki perhatian yang kecil untuk itu dan hanya tertarik dengan berbagai kebutuhan yang mereka rasakan. Banyak pihak memberi masukan bahwa orang-orang dari Generasi X hanya bisa dicapai dengan pendekatan relasional dan nonkognitif. Seorang penulis menasihatkan bahwa karena bagi generasi X “metode linear bukan lagi merupakan metode studi utama,” maka studi Alkitab harus meniadakan penekanan pada “metode induktif yang bergerak dari observasi menuju interpretasi dan aplikasi.” Meskipun penulis ini tidak menganut pandangan kebenaran postmodern, dia menerima sensibilitas postmodern akan ketidaksabaran intelektual dan pragmatisme, yang turut berperan bagi pemudaran kebenaran di dalam gereja. 8 Pemudaran seperti ini jelas terlihat dalam berbagai jajak pendapat yang telah menunjukkan bahwa sejumlah besar orang yang mengaku sebagai kaum Injili, ternyata tidak mempercayai kebenaran mutlak atau supremasi Kristus, dan tidak lagi memiliki orientasi Kerajaan di dalam kehidupan mereka. Studi baru-baru ini mengklaim bahwa lebih dari separuh kaum Injili setuju bahwa “Tujuan hidup adalah untuk menikmati dan mendapatkan pemenuhan diri.” 9 Seorang wanita yang saya kenal mencengangkan wanitawanita Kristen lain yang tengah makan siang bersamanya karena ia berkata bahwa misi hidupnya adalah untuk menemukan kebenaran dan menerapkannya dalam hidup. Jelas ini merupakan pemikiran yang sama sekali baru bagi teman-temannya itu.
7
William. H. Willimon, “Jesus’ Peculiar Truth,” Christianity Today, 4 Maret 1996, hlm. 21. Willimon tidak melihat dirinya seorang postmodern, melainkan seorang postliberal. Akan tetapi pandangan-pandangannya secara substansial sesuai dengan tema-tema postmodern, yang akan kita lihat dalam bab 6. 8 Jimmy Long, Generating Hope: A Strategy for Reaching the Postmodern Generation (Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press, 1997), hlm. 150. 9 George Barna, dikutip di dalam Jimmy Long, Generating Hope: A Strategy for Reaching the Postmodern Generation (Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press, 1997), hlm. 21.
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
7
Memahami Pemudaran Kebenaran Pemudaran kebenaran merupakan kondisi budaya di mana ide tentang kebenaran yang mutlak, objektif, dan universal dipandang tidak bisa lagi dipercayai, dihina secara terang-terangan, atau bahkan tidak lagi dianggap serius. Alasan bagi pemudaran kebenaran bersifat filosofis dan sosiologis, berakar baik di dalam dunia intelektual maupun di dalam dunia budaya hidup sehari-hari. Kedua dunia ini saling menguatkan. Budaya postmodern – dengan pluralisme, relativisme, informasi yang berlebihan, tingginya mobilitas, kebingungan identitas, konsumerisme, dan lain-lain yang terus meningkat – membuat filsafat postmodern tampak lebih bisa dipercaya. Akan tetapi, sekadar hidup di dalam konteks budaya postmodern tidak otomatis membuat seseorang menjadi seorang postmodernis dalam hal kebenaran, bagaimanapun menggodanya hal tersebut. Kebenaran itu sendiri tidak memudar. Di dalam kata-kata Nabi Yesaya, “Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya” (Yes. 40:8). Senada dengan itu, Yesus menegaskan, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Mat. 24:35). Tetapi pemahaman manusia akan kebenaran di dalam dunia yang telah jatuh ini bisa saja melonggar dan tergelincir. “Kebenaran tersandung di tempat umum,” ratap Yesaya (Yes. 59:14). Yeremia juga menyatakan kepada bangsa Israel yang murtad, “Ketulusan (truth) mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka” (Yer. 7:28). Solzhenitsyn memperingatkan di dalam pidato profetisnya pada pembukaan tahun ajaran 1978 di Harvard, “Kebenaran akan hilang dari kita segera setelah konsentrasi mulai melonggar, sementara memberikan ilusi bahwa kita tetap mengejarnya.” 10 Atau seperti nasihat Amsal, “Belilah kebenaran dan jangan menjualnya” (Ams. 23:23). Ketika Pontius Pilatus menginterogasi Yesus, Yesus menyatakan, “Setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yoh. 18:37). Mendengar ini Pilatus menjawab, “Apakah kebenaran itu?” dan segera meninggalkan Yesus untuk berbicara kepada orang-orang Yahudi yang menginginkan Yesus disalib (ay. 38). Seperti tulisan filsuf Francis Bacon, “‘Apakah kebenaran itu?’ olok Pilatus; dan ia tidak tinggal diam untuk me-
10
Aleksandr I. Solzhenitsyn, A World Split Apart (New York: Harper & Row, 1978), hlm. 1.
Copyright © momentum.or.id
8
PUDARNYA KEBENARAN
nunggu jawabannya.” 11 Meskipun tak ada catatan tentang jawaban Yesus, orang-orang Kristen menegaskan bahwa Pilatus tengah menatap wajah Kebenaran itu sendiri, karena Yesus sebelumnya telah menyatakan kepada Tomas, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Hal ini memunculkan pertanyaan tentang natur kebenaran. Apa artinya saat kita berkata bahwa suatu pernyataan, filsafat, atau agama adalah benar? Pertanyaan ini telah menjadi topik yang banyak diperdebatkan dalam lingkungan kaum postmodernis, dimana pandangan tradisional mengenai kebenaran sebagai hal yang objektif dan yang bisa diketahui tak lagi diterima. Bahkan di luar diskusi akademis, masyarakat masih sesinis Pilatus. “Apakah kebenaran itu?” mereka berkata sambil tersenyum menyindir, tanpa menunggu jawabannya. Jika kita tidak jelas mengenai apakah maksudnya bahwa sesuatu adalah benar, maka setiap klaim religius atau moral akan kebenaran – baik itu Kristen atau yang lainnya – akan membingungkan dan bukannya memberikan kejelasan. Sebelum mencoba menentukan klaim-klaim mana saja yang benar, kita perlu memahami natur kebenaran itu sendiri. Seperti yang dikatakan Francis Schaeffer, kita perlu membedakan isi kebenaran (pernyataan apa yang benar) dari konsep kebenaran (apakah kebenaran itu), karena pandangan kita mengenai kebenaran itu akan membentuk segala hal tentang diri kita. 12 Teolog Injili, Carl F.H. Henry berkata: Di sepanjang sejarah sangat jarang terjadi bahwa agama dipaksa untuk menghadapi berbagai problema yang serius mengenai kebenaran dan perkataan. Di masa silam, peran kata-kata dan natur kebenaran tak pernah menjadi begitu berkabut dan tak terdefinisikan seperti saat ini. Hanya jika kita mengakui bahwa kebenaran mengenai kebenaran … pada saat ini sedang diragukan, dan bahwa ketidakpastian ini membuat kata-kata dianggap tak dapat menjadi pembawa kebenaran Allah dan penilaian moral, barulah kita bisa mengukur kedalaman krisis yang ada saat ini. Saat kebenaran dan perkataan merupakan sistem wacana yang diterima, maka semua penyimpangan bisa ditantang atas nama kebenaran. Tetapi, pada saat ini, natur kebenaran dan bahkan peran perkataan pun dipersengketakan. 13
Problema postmodern muncul karena mereka menerima pandangan kebenaran yang tidak benar dan sangat berbahaya. Adalah satu hal jika kita mempercayai suatu ketidakbenaran, yaitu kita percaya pada apa yang sebe11
Francis Bacon, “Of Truth,” di dalam Francis Bacon: A Selection of His Works, diedit oleh Sidney Warhaft (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965), hlm. 47. 12 Francis A. Schaeffer, The God Who Is There, edisi ulang tahun ke-30 (Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press, 1998), hlm. 175. 13 Carl F. H. Henry, God, Revelation, and Authority (Waco, Tex.: Word, 1976), 1:24.
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
9
narnya salah, tetapi masih percaya bahwa kebenaran bereksistensi dan bisa diketahui. Jika seseorang percaya, misalnya, bahwa Yesus tidak pernah mengklaim diri-Nya Allah yang berinkarnasi, maka bukti historis bisa diberikan untuk menolak klaim ini. Tetapi berbeda sekali jika kita percaya bahwa kebenaran itu sendiri hanya merupakan perkara keyakinan pribadi dan kebiasaan sosial, sehingga kebenaran mengenai Yesus tergantung pada apa pandangan kita tentang-Nya. Dalam kasus ini, tidak ada bukti atau argumentasi yang dapat mengubah kepercayaan seseorang. Dalam hal ini, argumentasi harus diarahkan pada natur kebenaran itu sendiri. Meskipun “kebutuhan akan kebenaran lebih sakral daripada kebutuhan akan hal yang lain,” 14 seperti ungkapan Simone, makanan bagi jiwa ini sering kali ditinggalkan dan digantikan dengan hasrat terhadap ilah-ilah lain yang lebih rendah. C.S. Lewis menangkap permasalahan ini di dalam bukunya Screwtape Letter, dimana setan senior bernama Screwtape, mengajari setan yang lebih rendah kedudukannya bernama Wormwood, dalam seni tipu-menipu. Pemahaman yang diberikan Lewis ini merupakan peringatan terhadap apa yang akan datang. Daripada memakai berbagai argumentasi logis untuk membuat orang tidak mengikuti Yesus, Wormwood dinasihati untuk menjauhkan pikiran orang Kristen dari penalaran yang benar, yang akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Karena, sebagaimana diperhatikan Screwtape, Semenjak kecil, mangsamu itu sudah terbiasa untuk memiliki lusinan filsafat yang tidak selaras, yang menari-nari di dalam benaknya. Dia tidak memikirkan doktrin-doktrin terutama sebagai hal yang “benar” atau “salah,” melainkan sebagai hal yang “akademis” atau “praktis,” “kuno” atau “kontemporer,” “sesuai adat” atau “kasar.” Jargon, dan bukannya argumentasi, merupakan sarana terbaikmu untuk menjauhkan orang itu dari gereja. 15
Argumentasi menggeser pikiran manusia “ke wilayah Musuh kita,” dan dengan “melakukan argumentasi, kamu membangkitkan penalaran mangsamu; dan sekali hal itu bangkit, siapa yang bisa meramalkan hasilnya?” Wormwood harus memastikan agar mangsanya menghindari “kebiasaan fatal memerhatikan isu-isu universal, yang dapat membuatnya mengabaikan arus pengalaman indrawi yang langsung.” 16 Dari sudut pandang setan, memerhatikan “isu-isu universal,” yaitu perkara-perkara kebenaran objektif 14
Simone Weil, The Need for Roots (Boston: Beacon, 1953), hlm. 37. C.S. Lewis, The Screwtape Letters, edisi revisi (New York: Macmillan, 1961), hlm. 8. 16 Ibid. 15
Copyright © momentum.or.id
10
PUDARNYA KEBENARAN
dan kekal itu, terlalu berbahaya. Memerhatikan “kehidupan yang riil,” yaitu penceburan tanpa pikir panjang ke dalam hal-hal yang langsung, jauh lebih aman, dan jauh lebih postmodern. Hanya saja jangan terlalu banyak memikirkan apa makna dari kata “riil” itu. 17 Pemudaran kebenaran menjangkau ke semua klaim kebenaran religius, termasuk klaim-klaim Kristen, karena suatu kepercayaan yang sakral mengklaim bahwa mereka merepresentasikan realitas yang ultimat, baik itu Tao, Brahman, Nirwana, Allah atau Trinitas. 18 Pemudaran kebenaran juga mempengaruhi setiap bidang kehidupan lain, mulai dari politik sampai seni, hukum, dan sejarah. Jika ide tentang kebenaran objektif kehilangan kehormatan, maka politik tidak lebih dari manipulasi citra dan perdagangan kekuasaan. Seperti dikatakan Robert Bork, “Intelek kehilangan nilai lebihnya ketika ia tak lagi mencari kebenaran dan berpaling pada pengejaran tujuantujuan politis.” 19 Konsensus sosial dan gotong royong menjadi tidak relevan dan mustahil jika masing-masing kelompok – yang terbagi dalam ras, etnis, dan orientasi seksual – berjuang mendapatkan kekuasaan dengan mengklaim otoritas yang tidak bisa ditantang, yang didasarkan pada kekhususan budaya mereka: “Ini masalah orang kulit hitam, kamu tidak akan mengerti” atau “Ini urusan wanita; pria tidak akan paham.” Jika hukum tidak didasarkan pada tatanan moral yang bertransendensi terhadap setiap hukum kriminal atau konstitusi, maka hukum akan menjadi satu set keputusan yang bisa diubah-ubah dan bersifat arbitrer. Jika tidak ada fakta-fakta objektif yang bisa dipahami dari masa silam, maka sejarah tidak bisa dibedakan dari novel, dan biografi juga tidak bisa dibedakan dari mitos. Sejarah menjadi alat bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, yang menuliskan kembali masa lalu berdasarkan pilihan-pilihan mereka sendiri, tanpa kelompok luar mungkin memberikan kritik yang rasional. Jika tak ada keindahan di luar mata yang memandangnya, maka seni hanya menjadi alat pengaruh sosial, kekuatan politik, dan ekspresi pribadi; kategori ketidaksenonohan hanya akan seusang ide tentang keindahan itu sendiri.
17
Ibid. Mengenai perbedaan-perbedaan di antara agama utama di dunia, lihat Harold A. Netland, Dissonant Voices: Religious Pluralism and the Question of Truth (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1991; Vancouver, B.C.: Regent College Publishing, 1997). 19 Robert Bork, Slouching Towards Gomorrah: Modern Liberalism and American Decline (New York: HarperCollins, 1996), hlm. 259. 18
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
11
Unsur-unsur dari pemudaran kebenaran yang saling terkait ini menjadi sumber tenaga bagi perang-perang budaya yang mengepung era postmodern. Sebagaimana perang antarbangsa terjadi setelah runtuhnya diplomasi, dan perang saudara terjadi setelah runtuhnya norma-norma hukum yang disepakati, maka perang-perang budaya terjadi setelah runtuhnya pemahaman akan kebenaran yang selama ini diterima, yaitu kebenaran sebagai hal yang objektif dan bisa diketahui melalui penyelidikan dan kepercayaan yang rasional. Ketika perdebatan yang rasional tidak bisa mencapai pengetahuan akan kebenaran, maka semua hal yang ada hanyalah rancangan untuk mencapai kekuasaan – baik dasar tujuannya itu bersifat rasial, seksual, atau religius. Penduduk menjadi orang-orang suku dengan begitu sedikit kepedulian akan kepentingan umum. Pepatah “mengatakan kebenaran dengan penuh kuasa” diubah menjadi “mobilisasi kekuatan kita untuk menumbangkan kekuatan pihak lain.”
Asam-asam dari Pemudaran Kebenaran Faktor-faktor apakah yang mendorong pemudaran kebenaran? Mengapa banyak orang menganut sudut pandang postmodern yang mendefinisi ulang kebenaran secara radikal. Orang tidak memutuskan untuk membuang suatu tradisi kuno dan bertahan lama tanpa alasan. Isu-isu ini akan dibicarakan di sepanjang sisa buku ini. 1. Visi abad Pencerahan yang mau memakai kekuatan akal manusia di dalam mengejar pengetahuan universal dan penguasaan teknis atas dunia ini telah gagal. Ideologi kemajuan tidak menepati janji-janji manisnya. Modernisme telah dikalahkan postmodernisme, yang menurut Jean-François Lyotard, dicirikan oleh “ketidakpercayaan pada metanarasi,” 20 apakah itu suatu usaha dari pandangan Marxis, demokrasi, religius, atau ilmiah, untuk menjelaskan realitas secara definitif dan untuk menguasainya. Metanarasi harus memberikan tempat bagi narasi lokal, perspektif situasional dan eksistensi yang dibatasi oleh budaya. Pretensi kosmis harus ditolak, seperti juga pengharapan naif akan kemajuan melalui teknologi, atau melalui bentuk pemerintahan yang ideal.
20
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1979), hlm. xxiv.
Copyright © momentum.or.id
12
PUDARNYA KEBENARAN
Menurut kritik arsitektur Charles Jencks, modernisme diluluhlantakkan di St. Louis pada tanggal 15 Juli 1972, pukul 15:32 sore, yaitu ketika dinamit menghancurkan proyek perumahan Pruitt-Igoe. Ini bukanlah serangan teroris, melainkan perbuatan yang disengaja, yang menandakan gagalnya suatu visi yang agung. Proyek perumahan yang besar itu merupakan upaya untuk menciptakan situasi kehidupan yang berfungsi secara sempurna melalui perencanaan yang rasional. Akan tetapi, proyek ini menjadi sasaran tindakan vandalisme yang tak henti-hentinya, dan akhirnya dinyatakan tidak layak huni. 21 Bagi Jencks dan yang lain, penghancuran proyek perumahan ini, berikut peledakan banyak bangunan modern di tahun 1970-an, berfungsi sebagai perumpamaan bagi lenyapnya modernisme dan undangan bagi postmodernisme, baik dalam filsafat maupun arsitektur. “‘Kematian’ arsitektur modern dan ideologi kemajuannya, yang memberikan solusi teknis bagi masalah-masalah sosial, terlihat oleh semua orang dengan begitu jelasnya.” 22 2. Situasi sosial dari masyarakat yang hidup di lingkungan kosmopolitan yang dipenuhi media, menyebabkan wawasan dunia yang tunggal tak dimungkinkan. Ide menemukan kebenaran objektif di tengah-tengah zaman informasi/Internet merupakan ilusi utopis dan harus ditinggalkan. Meski bukan seorang kritikus postmodernisme, Neil Postman telah menggambarkan situasi postmodern dengan sangat baik: Ikatan antara informasi dengan tujuan manusia telah terputus, artinya, informasi tampil secara tanpa pandang bulu, tidak diarahkan pada tujuan tertentu dalam jumlah yang banyak dan dengan tingkat kecepatan yang tinggi, dan terpisah dari teori, makna, dan tujuan. 23
Di dalam kondisi padat informasi seperti ini, bagaimana orang bisa memilah yang benar dari yang salah, yang remeh dari yang penting, dan mengkonstruksi metanarasi yang bisa dibenarkan? 3. Keragaman perspektif religius dan filosofis yang tersedia bagi orang banyak pada saat ini membuat ide tentang satu agama atau filsafat yang benar secara mutlak, tak bisa diterima. Ada banyak cara untuk mengetahui dan ada banyak perspektif yang bisa dianut. Maka agama-agama tradisional 21 Stephen Connor, Postmodern Culture, edisi 2 (Cambridge, Mass.: Blackwell, 1997), halm. 78. 22 Charles Jencks, What is Post-Modernism? edisi 4 (Langham, Mass.: National Book Network, 1996), hlm. 30. 23 Neil Postman, Technology: The Surrender of Culture to Technology (New York: Knopf, 1992), hlm. 70.
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
13
harus memperlonggar genggaman dogmatis mereka dan memberikan tempat bagi begitu banyak ragam spiritualitas, yang beberapa di antaranya merupakan tiruan dari beberapa tradisi religius. Laporan utama Utne Reader yang berjudul “God with a Million Faces,” menyurvei peta religius postmodern di Amerika dan menyimpulkan bahwa menyintesiskan agama merupakan cara terbaik untuk menangani keragaman religius dan berbagai kebutuhan individual seseorang. Penulis artikel ini mengutip pernyataan penjajak pendapat Kristen George Barna bahwa terdapat “persepsi baru tentang agama: pandangan akan bentuk iman yang dipersonalisasikan dan disesuaikan, yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi, meminimalkan aturan dan hal-hal absolut, dan memiliki sedikit kesamaan dengan bentuk ‘murni’ dari setiap agama utama dunia.” 24 Dalam zaman yang toleran ini, orang bebas untuk menciptakan imannya sendiri, karena “pencarian pribadi merupakan tindakan yang kreatif, dan apa yang dikatakannya mengenai hasrat dan kerinduan manusia, memiliki keautentikan yang setara” dengan apa yang dikatakan oleh agama-agama yang telah mapan. 25 Spiritualitas lebih menyerupai barang konsumen dan bukannya masalah fakta, argumentasi, dan kebenaran. Pluralisme postmodern juga mengobarkan tantangan religius bagi bertambahnya pernikahan antara orang-orang yang berbeda agama di Amerika Serikat. 26 Dalam satu penerbangan, saya berbicara panjang lebar dengan seorang pria yang memberi tahu saya bahwa ia dan istrinya yang beragama Hindu dari India Timur telah berpartisipasi di dalam dua upacara pernikahan – upacara Hindu bagi istrinya dan upacara Metodis bagi dirinya sendiri. Permasalahan menyangkut bagaimana mengajar dua orang anak mereka dalam hal agama belum terpecahkan, meskipun sang suami ini berharap bahwa suatu kombinasi dari kedua iman ini bisa tercapai. 4. Lingkungan kita yang kosmopolitan dan pluralistis tidak mengizinkan identitas pribadi yang tetap, atau satu jalan terbaik untuk hidup. Identitas haruslah cair dan fleksibel, agar bisa sesuai dengan ciri-ciri budaya postmodern. Tak ada kebenaran final tentang bagaimana manusia seharusnya menjadi, demikian argumentasi Walter Truett Anderson; kita hanya perlu bereksperimen, beradaptasi, dan menyesuaikan diri. 27 Lihat misalnya simbol 24
Jeremiah Creedon, “God with a Million Faces,” Utne Reader, Juli-Agustus 1998, hlm.
46. 25
Ibid., hlm. 48. Jerry Adler, “A Matter of Faith,” Newsweek, 15 Desember 1997, hlm. 49-54. 27 Lihat Anderson, Future of the Self. 26
Copyright © momentum.or.id
14
PUDARNYA KEBENARAN
dalam dunia pop, Madonna, yang melakukan perubahan citra sebagai jalan hidupnya – hidup yang sangat makmur – selama lima belas tahun. David Wells melihat bahwa “dalam banyak hal, dia (Madonna) merupakan personifikasi sempurna dari realitas postmodern: … sebuah persona yang diciptakan sendiri, yang mengalami perubahan terus-menerus demi persona itu sendiri. Di dalam dunianya, setiap hal adalah cair dan terbuka. Semua batasan dan ketabuan tidak ada lagi” karena baginya “tidak ada struktur-struktur makna yang bertransenden terhadap pilihan pribadi” – atau, bisa kita tambahkan, yang bertransenden terhadap strategi pemasaran. 28 5. Bahasa merupakan ciptaan manusia yang kontingen. Bahasa tidak bisa merepresentasikan satu pun realitas yang diketahui secara objektif. Penanda (signifier) tak bisa berhubungan dengan realitas yang ditandakan (signified). Selain itu, bahasa menciptakan perasaan kita akan realitas; bahasa tidak bisa mendeskripsikan realitas yang terpisah dari bahasa itu sendiri. Dalam terminologi Ludwig Wittgenstein, kebenaran terisap ke dalam beragam “permainan bahasa” yang tidak bisa didamaikan, yang tidak memiliki otoritas yang lebih tinggi. Terkadang kita mungkin menganggap bahasa memiliki potensi untuk menyampaikan realitas, tetapi postmodernis ingin membebaskan kita dari salah anggapan seperti ini. Berdasarkan pandangannya tentang kebenaran dan kekuasaan, Friedrich Nietzsche merupakan postmodernis awal, sekalipun ia hidup sebelum postmodern. Di dalam satu esainya ia mengatakan: Jika demikian apakah kebenaran itu? sepasukan metafora, metonim, dan antropomorfisme – pendek kata, keseluruhan hubungan manusia yang telah ditingkatkan mutunya, diubahkan, dan diperindah secara puitis dan retoris, dan yang setelah dipakai untuk waktu yang lama, menjadi kuat, kanonis, dan wajib bagi satu masyarakat: kebenaran merupakan ilusi di mana orang telah lupa bahwa ia sebenarnya hanya ilusi; yaitu metafora yang telah usang dan tanpa kekuatan daya tarik; koin yang telah kehilangan gambar cetakannya dan sekarang tampak seperti kepingan logam, bukan koin lagi. 29
6. Teks-teks yang tertulis tidak memiliki sebuah makna atau nilai kebenaran tertentu, tunggal, dan yang bisa diketahui. Dokumen buatan manusia menolak interpretasi definitif dan harus dibebaskan dari penjara objektivitas. Sebagai dekonstruksionis pertama, Jacques Derrida tersohor dengan 28
David Wells, God in the Wasteland: The Reality of Truth in a World of Fading Dreams (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1994), hlm. 48. 29 Friedrich Nietzsche, “Truth and the Extra-moral Sense,” di dalam The Portable Nietzsche, diedit oleh Walter Kauffman (New York: Viking, 1968), hlm. 46-47.
Copyright © momentum.or.id
Kebenaran dalam Ancaman Bahaya
15
ucapannya, “Tak ada apa pun di luar teks,” dan setiap teks bisa didekonstruksikan untuk menunjukkan bahwa naturnya secara ultimat bersifat ambigu. 30 Makna yang dimaksudkan penulis tidak dapat membatasi makna dari teks tertentu. Makna yang ada sama banyaknya dengan jumlah pembacanya, dan tak seorang pembaca pun yang interpretasinya dapat lebih dibenarkan dibandingkan dengan pembaca lain. Apakah para dekonstruksionis sendiri ingin dibaca dengan cara seperti itu merupakan perkara yang lain. 7. Mengikuti tema-tema dalam karya Nietzsche, Michel Foucault, dan para pengikutnya berargumentasi bahwa apa yang didefinisikan sebagai “kebenaran” bukan dihasilkan dari bukti yang bisa diuji kebenarannya atau logika yang benar, melainkan dihasilkan dari hubungan-hubungan kekuasaan yang berkedok netral dalam memaksakan keteraturan. Netralitas dan objektivitas merupakan hal yang mustahil dalam sains, politik, atau upayaupaya lainnya. Semua klaim pengetahuan menudungi sistem yang sangat halus dari hubungan-hubungan kekuasaan dan transaksi-transaksi yang ada di mana-mana. Sebagaimana dikatakan Foucault di dalam sebuah wawancara: Saya berpendapat bahwa daripada mencoba untuk menemukan apa itu kebenaran, yang dipertentangkan dengan kesalahan, akan lebih menarik untuk mengikuti program yang diletakkan oleh Nietzsche: mengapa di dalam masyarakat kita, ‘kebenaran sejati’ diberikan nilai ini, dan dengan demikian menempatkan kita secara mutlak di bawah tindasannya. 31
Filsuf modern Francis Bacon mengklaim bahwa “pengetahuan merupakan kekuasaan.” Maksudnya, kesadaran seseorang akan kebenaran alam akan membuatnya dapat menguasai alam. Foucault sebaliknya menganggap pengetahuan sebagai fungsi kekuasaan dan tak bisa dipisahkan darinya. Jika Bacon percaya bahwa pengetahuan menghasilkan kekuasaan, Foucault membalikkan susunan itu: kekuasaan menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan, dan kekuasaan menjelaskan natur dari hal yang dianggap sebagai pengetahuan itu. 32 30 Jacques Derrida, Of Grammatology (Baltimore: John Hopkins University Press, 1976), hlm. 158. 31 Michel Foucault, “Strategies of Power,” di dalam The Truth About Truth: Deconfusing and Re-constructing the Postmodern World, diedit oleh Walter Truett Anderson (New York: G.P. Putnam’s Sons, 1995), hlm. 45. 32 Untuk studi atas ide-ide Bacon mengenai alam di dalam hubungannya dengan ide-ide Blaise Pascal, lihat Douglas Groothuis, “Bacon and Pascal on Mastery over Nature,” Research in Philosophy and Technology 14 (1994): 191-203.
Copyright © momentum.or.id
16
PUDARNYA KEBENARAN
Hal ini kadang dipahami dalam arti bahwa budaya-budaya yang dominan harus selalu memberikan jalan bagi budaya-budaya yang tertindas, bahwa yang tidak berkuasa harus didengarkan tanpa kritikan karena mereka telah dipinggirkan dengan sewenang-wenang. John Leo melaporkan bahwa meskipun buku yang ditulis oleh pemenang Penghargaan Nobel Rigoberta Menchu, yang terbit tahun 1983, I, Rigoberta Menchu, telah didapatkan penuh dengan kesalahan dan bahan-bahan yang meragukan, sejumlah akademisi telah mengabaikan kritik tersebut karena buku ini mendukung hakhak masyarakat asli yang tak berdaya di Dunia Ketiga. Leo mengomentari, “Kaum tertindas tidak pernah boleh dianalisis atau dikritik oleh para guru besar yang mewakili budaya Barat yang menindas.” Ia menyimpulkan: Budaya kampus kita memberikan lebih banyak penekanan pada suara, narasi, dan kisah daripada kepada kebenaran. Semakin banyak guru besar menerima ide postmodern bahwa tak ada yang disebut kebenaran, hanya ada retorika. Hasilnya adalah kaburnya perbedaan antara sejarah dan karya sastra, fakta dan fiksi, kejujuran dan ketidakjujuran. 33
Ketujuh klaim di atas berisi sejumlah pemahaman yang benar. Misalnya, hubungan kekuasaan sosial dan pribadi memang cenderung mendefinisikan apa yang dianggap orang banyak sebagai hal yang benar atau salah; akan tetapi hubungan-hubungan ini tidak menentukan realitas objektif apa yang benar atau salah. Meski demikian, konklusi-konklusi yang diambil oleh kaum postmodern dari klaim-klaim ini bukan saja menyerang ide kebenaran Kristen, tetapi juga memiliki cacat yang serius secara intelektual, yang akan saya buktikan di dalam bab-bab berikutnya."
33 John Leo, “Nobel Prize for Fiction?” U.S. News and World Report, 25 Januari 1999, hlm. 17. Leo mengulas tanggapan-tanggapan terhadap David Stoll, Rigoberta Menchu and the Story of All Poor Guatemalans (Boulder, Colo.: Westview, 1999).
Copyright © momentum.or.id