PENGARUH POSTMODERNISME TERHADAP PENDIDIKAN Siti Saudah Abstract
The existence of Postmodernism is something that attracts for both academics and others that creates pros and cons. This is due to era of openness to look at new different things and reject the tendency of apathy and obedience to an authority, order, or new rules. Although there are pros and cons, this paper will
discuss some of the existing problems: (1) the effect of
postmodernist on pedagogy, (2) the effect of postmodernist philosophy on education, and (3) the effect of postmodernist on the curriculum 2013. The analysis of the problem is done by using descriptive method and interpretation. The discussions of the problems above are as follows: (a) students should be assisted in seeing the ideas and intuition, (b) education should be understood as socialization media (c) the educators must be able to work together with parents, (d) educational institutions should encourage students to engage with reality and life. (e) students should be assisted to see that the knowledge is associated with values, culture and something that can change (f) educators should be directly involved in society. (g) education is not only as school’s responsibility but also society’s responsibility either in formal or informal form.
Keywords: postmodernism, education, pedagogy, curriculum 2013
A. PENDAHULUAN Dewasa ini pembahasan tentang postmodernisme selalu saja menjadi sesuatu yang menarik perhatian baik bagi kalangan akademisi maupun kalangan lainnya. Dan tak jarang pula pembahasan mengenai postmodernisme kemudian melahirkan anggapan atau sikap pro dan kontra diantara para penentang dan pendukungnya. Dalam bukunya Postmodernisme: tantangan bagi Filsafat, I Bambang Sugiaharto mencatat bahwa pada satu sisi, poatmodernisme seringkali dipandang oleh banyak orang dengan cara yang sinis (Sugiarto:1996:16). Ia hanya dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong, atau hanya sekedar refleksi yang bersifat reaksioner atas pelbagai perubahan sosial budaya yang sedang berlangsung. Bahkan dalam kamus The Modern-Day 1
Dictionary of Received Ideas dijelaskan bahwa postmodernisme adalah sebuah kata yang sama sekali tidak memiliki arti. Namun pada sisi lain yang diametrik, postmodernisme malah mampu memikat perhatian masyarakat luas bahkan sampai keluar dari dunia akademis. Kenyataan ini menunjukkan betapa postmodernisme dianggap memiliki kemampuan untuk mengatasi atau paling tidak menjadi solusi alternative atas berbagai krisis dan perubahan sosial budaya (Sugiharto, 1995:15), termasuk dalam bidang pendidikan tentunya. Terlepas dari suka atau tidak, sadar atau tidak, kita semua akan memasuki era pemikiran spektakuler yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia di bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain, sebagai dampak dan pengaruh globalisasi. Sebagaimana halnya dengan globalisasi tersebut, arus pemikiran postmodernisme juga sekaligus membawa sisi-sisi positif dan negatifnya. Masalahnya sekarang adalah apakah umat beragama akan tenggelam dalam arus negatifnya, menjadi korban, ataukah sebaliknya akan menjadi pengendali dan pengambil manfaat yang sebesar-besarnya. Peran dan tugas pendidikan dalam era postmodernisme bersifat antipasi, prefentifprotektif, dan rehabilitasi terhadap masalah-masalah yang kompleks yang timbul dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih, misalnya; pola budaya individualistis, hedonistis, konsumeristis, permissive (serba boleh) dan bahkan chauvinistis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan). Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dominan dan bahkan yang terdepan dalam rangka proses pembangunan suatu bangsa. Menjadi kunci utama atau titik perhatian utama bagi setiap komponen masyarakat yang berkompoten terhadap pendidikan tersebut. Untuk lebih proaktif melakukan langkah-langkah dan upaya strategis pendidikan di masa depan, baik melalui jalan formal, non-formal maupun informal. Tulisan ini bertujuan untuk membahas postmodernisme dalam kaitannya dengan pendidikan, namun demikian penulis tidak ingin terjebak untuk bersikap secara pro dan kontra seperti di atas. Yang ingin penulis lihat dan jelaskan adalah pengaruh postmodernisme (filosofy) terhadap pendidikan: pedagogi, filsafat pendidikan dan kurikulum 2013.
2
B. PEMBAHASAN 1. Sekilas tentang Postmodernisme Apa sebenarnya yang dimaksud dengan postmodernisme? Untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah perkara yang mudah, bahkan merupakan sesuatu hal yang sangat rumit. Postmodernisme sulit untuk didefinisikan karena ia merupakan sebuah tema yang terkait dan dipergunakan dalam banyak bidang, seperti seni, arsitektur, musik, film, susastra, sosiologi, komunikasi, mode, teknologi, geografi dan filsafat. Bahkan karena keterkaitan dan penggunaan dalam banyak bidang ini pula ( Bertens, 1996:3) menyebut postmodernisme sebagai sebuah tema yang menjengkelkan. Selain kesulitan dalam mendudukkan definisi postmodernisme secara tepat, kesulitan lain yang juga dijumpai adalah kesulitan dalam usaha untuk memposisikannya dalam periode waktu tertentu karena ketidakjelasan kapan postmodernisme dimulai. Menurut (Sugiarto, 1996:24) terma postmodernisme muncul untuk pertama kalinya dalam bidang seni. Terma ini dipakai oleh Federico de Onis tahun 1930-an dalam karyanya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana. Terma ini dipergunakan untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Lalu pada tahun 1947, Toynbee juga menggunakan terma postmodernisme dalam bukunya A Study of History. Sementara Stanley J. Grenz dengan penjelasan yang agak berbeda menyebutkan bahwa postmodernisme baru lahir 15 juli 1972 yang ditandai dengan peledakan rumah berarsitektur modern di Pruitt-Igoe, St. Louis, Missouri. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme. (Grenz, 1996:25). Dalam bidang filsafat, istilah postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge yang dalam edisi Inggris terbit pada tahun 1984 dan sejak itu menjadi rujukan utama dalam diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat saat ini.(Sugiarto, 1996:26-27) Penting untuk diketahui bahwa postmodernisme filosofis awalnya muncul sebagai bentuk respon terhadap modernisme yang dianggap telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Meski demikian, dalam perkembangannya, postmodernisme filosofis tidak merepresentasikan suatu pandangan yang seragam. Sugiharto memaparkan bahwa keragaman bentuk postmodernisme dapat dimasukkan ke dalam tiga kategori. Meski demikian, kategori ini tidak dapat dilihat secara ketat karena hanya 3
merupakan alat bantu untuk melihat aneka gerakan secara lebih jernih dan global. Pertama, pemikiran-pemikiran yang berusaha merefisi kemodernan untuk kembali ke pola berpikir pramodern. Beberapa tokohnya: F. Capra,J. Lovelock, Garry Zukav, dan Prigonio. Kedua, Pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah dekonstruksi. Beberapa tokohnya misalnya Derrida, Foulcault, Vattimo, Lyotard. Ketiga, semua pemikiran yang hendak merefisi postmodernisme, tidak dengan menolak modernisme secara total, namun dengan memperbaharui premis-premisnya saja. Kelompok ini ditokohi oleh David Ray Griffin, J. Cobb Jr., David Bohm, dan Frederick Ferre. Kelompok lain yang juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ketiga ini adalah pemikiran-pemikiran yang disatu sisi masih melihat pentingnya gambaran dunia, bahkan metafisikanya juga, disisi lain sadar pula akan relatifitasnya akibat karakter linguistik dan historiknya. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse, Rorty dan Apel (Sugiarto, 1996:30-31). Satu filsuf terkenal lainnya yakni Jurgen Habermas tampaknya juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ketiga. Meskipun secara eksplisit ia menolak postmodernisme dan hanya meneruskan proyek modernitas dan tidak, namun pandangan-pandangannya memiliki elemen-elemen postmodern yang jelas. Menurut Habermas dalam (Hardiman, 2003:162) modernitas yang berlangsung di zamannya adalah suatu modernitas yang terdistorsi. Ada sebuah konsep normatif mengenai modernitas yang kemudian secara factual disimpangkan oleh tendensi-tendensi historis tertentu, yakni kapitalisme sehingga modernitas saat ini adalah modernitas kapitalis. Habermas ingin mempertahankan isi normative modernitas, yaitu rasionalisasi kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian dengan rasio komunikatif. Kalau rasionalisasi berjalan sesuai dengan isi normatifnya, modernisasi akan menjamin integrasi kebudayaan, masyarakat, dan sosialisasi. 2. Pandangan Pokok Postmodernisme Banyak pemikiran atau pandangan yang telah diungkap oleh para postmodernis yang berkaitan dengan banyak permasalahan. Namun dalam kesempatan ini hanya beberapa diantaranya saja yang akan kami ungkap, Yakni yang berkaitan erat dengan masalah pendidikan nantinya. Beberapa pandangan dimaksud adalah realitas (reality), perubahan dan perbedaan (change and difference), metafisika (metaphysics), diri (the self), penelitian (inquiry), dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan (forms of scholarship).
4
a. Realitas (reality) Menurut (Grenz, 1996: 69) cara pandang modern beranggapan bahwa realitas terstruktur dan rasio manusia dapat mengetahui struktur hukum-hukum alam. Postmodernisme menolak pola pemikiran yang demikian. Postmodernisme telah melenyapkan konsep tentang dunia yang objektif. Lenyapnya konsep tentang dunia objektif ini adalah hasil penolakan para postmodernis terhadap pandangan realis dan mengadopsi pandangan non-realis. Dalam pandangan para postmodernis, realitas bersifat lebih kompleks daripada apa yang diimajinasikan oleh manusia. Oleh karenanya, realitas merupakan bagian dari kreasi manusia. Manusia membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, prasangka dan tradisi budaya yang dimilikinya. Meskipun demikian, realitas bukan sama sekali hanya hasil dari konstruksi manusia. Sebagai contoh, pengetahuan adalah hasil interaksi antara ide manusia tentang dunia dan pengalamannya mengenai dunia. Tentu saja, semua pengalaman dipengarui oleh berbagai konsep yang dimiliki manusia. Manusia melihat segala sesuatu melalui lensa budaya. Namun pengaruh ini tidak dapat terlalu dikontrol karena realitas memaksa manusia untuk memodifikasi idenya. Manusia berpikir dunia adalah datar, misalnya, namun manusia pada akhirnya diharusnya untuk mengubah pikirannya tersebut. Konsekuensi dari cara pandang di atas adalah sulitnya untuk membedakan antara fakta dengan nilai karena semua pernyataan faktual merefleksikan nilai-nilai yang disajikannya. Sebaliknya semua keyakinan nilai dikondisikan oleh asumsi-asumsi faktual. b. Perubahan dan perbedaan (change and difference) Sebagai kelanjutan dari cara pandang terhadap realitas yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan maka realitaspun mengalami perubahan sesuai dengan waktu sebagai mana yang terjadi pada kebudayaan. Perubahan yang terjadi tentu saja akan berbeda, antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Para postmodernis tidak lagi menerima keabsahan cita-cita sebuah dunia tunggal yang integral. Mereka lebih menghargai perbedaan daripada keseragaman, lebih menghormati hal-hal yang bersifat lokal dan partikular daripada yang universal. Bagi para postmodernis pengetahuan tidak bersifat eternal dan universal (Grenz, 1996:81). Ada kepentingan-kepentingan abadi dan kerangka kerja-kerangka kerja tentatif yang mengarah kepada suatu kontinuitas. Sementara itu ada pula beberapa komunalitas dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya dan mungkin
5
melintasi keseluruhan ras manusia. Penyangkalan menolak ide tentang fondasi yang pasti, yang universal atas realitas. Menurut para postmodernis manusia harus berhati-hati dengan generalisasi, karena ia dapat memperdaya. Di belakang sebuah formulasi umum seperti “semua manusia adalah rasional” atau “manusia mengikuti kesenangan” terdapat suatu diversitas yang besar dari berbagai realitas dan interpretasi. Manusia harus mencoba untuk lebih sadar atas ini, dan juga lebih sering mengubah klaim-klaim dengan kata-kata seperti “sebagian (some)”, “banyak (many)”, “sebagian besar (most)”, “kadang-kadang (sometimes)”, “sering (often)”. c. Metafisika (metaphysics) Postmodernisme seringkali di pandang oleh para pendukungnya sebagai faham yang menolak metafisika, ontologi, epistemologi dan sebagainya. Ini didasarkan kepada pandangan postmodernisme, yang menolak suatu realitas dan metode penelitian yang pasti atau yang universal. Namun, karena manusia hidup dalam suatu dunia yang berubah dan terfragmentasi maka mereka membutuhkan berbagai stabilitas yang dapat ditemuakan. Dan usaha untuk menemukan berbagai stabilitas ini, seperti penelitian kedalam pola-pola umum intelektual, moral, dan yang lainnya merupakan bentuk metafisika. Sebuah ironi dari pergerakan postmodernis adalah bahwa ia terkait erat dengan apa yang kita dapat sebut sebagai suatu kodrat umum mengenai realitas. Dan hal ini mengarahkan kepada suatu kebangkitan kembali metafisika. Para postmodernis percaya bahwa mereka telah meletakkan sebuah akhir bagi metafisika. Namun faktanya tulisan-tulisan mereka dipenuhi oleh asumsi-asumsi umum mengenai kebudayaan, kodrat manusia, nilai-nilai, penelitian yang terkait dengan metafisika. d. Diri (the self) Postmodernisme mempertanyakan ide mengenai suatu diri atau subjek yang universal, tidak berubah, dan disatukan yang memiliki pengetahuan lengkap dan kontrol atas apa yang ia pikir, katakan, dan kerjakan. Postmodernisme memperlihatkan bahwa diri dipengaruhi oleh kebudayaan disekelilingnya, berubah bersama kebudayaan tersebut, dan difragmentasikan seperti kebudayaan tersebut sebenarnya bukan diri yang berpikir, berkata, dan bertindak, namum kebudayaanlah yang berpikir, berkata, dan bertindak melalui diri. Dan meskipun diri dibatasi,
6
dikondisikan, dan bergantung pada kebudayaan disekelilingnya, ia tetap memiliki signifikansi, identitas, atau kapasitas. Dengan nada yang serupa (Grenz,1996:137) mengutip penjelasan Heidegger yang menyatakan bahwa manusia bukanlah subjek yang berpikir atau subjek yang hanya berpikir dengan pikiran. Sebaliknya manusia adalah makhluk-makhluk yang ada di dalam dunia (beingsin-the-world) yang terperangkap dalam sebuah jaringan social. Individu-individu dipersatukan dan dapat dikarakteristikkan seperti komunitaskomunitas, dan mereka memiliki kapasitas yang dapat dipertimbangkan bagi pengetahuan diri, ekspresi diri, dan regulasi diri. Tidak ada dasar untuk terlalu menekankan pentingnya kebudayaan atau komunitas kebudayaan dan mengabaikan individu-individu. e. Penelitian (inquiry) Pemahaman
yang berubah mengenai realitas, telah mengubah pemahaman manusia
mengenai pengetahuan dan bagaimana memperolehnya. Pengetahuan bukan lagi menara objektivitas di tengah lautan relativitas budaya. Bahkan wacana pengetahuan tidak mungkin keluar dari partisipasi manusia dalam dunia yang hendak diketahuinya (Grenz, 1996: 87-88). Postmodernisme mengharuskan adanya perubahan besar dalam konsepsi mengenai penelitian sebagai sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi harus melihat kepada dirinya sendiri untuk menemukan suatu realitas. Lebih dari itu, mmanusia terlibat dalam suatu proses interaktif dari kreasi pengetahuan. Manusia sedang mengembangkan suatu pemahaman kerja mengenai realitas dan kehidupan, satu hal yang cocok dengan tujuannya. Karena tujuan dan konteks berbeda dari satu individu ke individu lainnya dan dari satu kelompok ke kelompok lainnya maka apa yang dapat dicapai merupakan bagian yang bersifat otobiografis yang merefleksikan naratif personal atau posisi partikular individu di dalam dunia. Pengetahuan bersifat lebih ambigu dan tidak stabil dari apa yang telah kita pikirkan selama ini. Ia merujuk kepada bebagai probabilitas yang lebih daripada sekedar kepastiankepastian. Secara konstan, ia juga berubah sebagaimana setiap individu atau kelompok yang memberikan interpretasi kepadanya. Dan menurut para postmodernis, bahasa cocok dengan permainan kosntan dari interpretasi ini. Karenanya, pengetahuan adalah bentuk aktivitas berbahasa. Kata-kata dalam bahasa tidak terkait dengan konsep-konsep atau referensi-referensi yang pasti. Kata-kata bergantung kepada artinya dalam satu system keseluruhan dari kata-kata
7
dalam mana ia dilekatkan, suatu system yang berubah berdasarkan waktu dan berbeda dari satu komunitas dengan komunitas lainnya. f. Bentuk-bentuk Ilmu Pengetahuan Ciri khas postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu. Meskipun posmodernisme bentuknya bermacam-macam, mereka sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat dipergunakan untuk mengukur, menilai, atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup tertentu (Silverman, 1996: 7). Ciri khas ini juga berlaku bagi ilmu pengetahuan. Tidak ada hegemoni satu tradisi ilmu pengetahuan yang lainnya. Pencarian personal dari individu-individu seringkali tidak dicermati dengan cukup serius. Padahal setiap manusia secara konstan sedang mempertanyakan, mengamati, berteori dan mencoba untuk memahami kehidupan. Demokrasi yang radikal dari postmodernisme mengarahkan pada hal ini. Setiap individu harus dilihat sebagai pusat dari suatu ilmu pengetahuan. 3. Pengaruh Praktis Postmodernisme terhadap Pendidikan Setelah di atas telah diuraikan sebagian dari pandangan pokok postmodernisme, yakni mengenai realitas, perubahan dan perbedaan, metafisika, diri, penelitian, dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan, maka pada bagian ini akan dijelaskan implikasi atau pengaruh praktis dari pandangan-pandangan tersebut ketika diaplikasikan dalam pendidikan, khususnya dalam pedagogi dan filsafat pendidikan. a. Pengaruh Postmodernisme terhadap Pedagogi Pedagogi
agar dapat memenuhi persyaratan landasan konsep dan fungsinya sudah
barang tentu membutuhkan landasan yang berasal dari filsafat atau setidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat. Dalam hal ini landasan filosofis dimaksud adalah pandangan dari kaum postmodernis seperti telah diuraikan sebelumnya. Pedagogi atau juga sering disebut dengan ilmu pendidikan adalah ilmu yang membahas pelbagai massalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Pedagogi selain bercorak teoritis juga bersifat praktis. Untuk yang bersifat teoritis diuraikanlah hal-hal yang bersifat normatif, yakni menunjukkan kepada standar nilai tertentu. Sementara yang bersifat praktis menunjukkan bagaimana pendidikan itu harus dilaksanakan (Bernadib,1997:7). 8
Ketika landasan folosofis dari pandangan postmodernisme diaplikasikan ke dalam pendagogi, ada banyak implikasi atau pengaruh praktis yang dapat dihasilkan. Secara ringkas, sebagian dari pengaruh tersebut dapat dilihat dalam poin-poin berikut: 1) Peserta didik harus dibantu untuk melihat bagaimana berbagai ide dan institusi yang ada sebenarnya telah disesuaikan dengan berbagai nilai dan kepentingan manusia. Misalnya, sebuah buku mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan dan latar belakang pengarangnya, atau bagaimana acara TV mempromosikan gaya hidup yang menguntungkan perusahaan komersial, atau bagaimana kurikulum pendidikan merefleksikan nilai-nilai dari berbagai sektor masyarakat. 2) Pendidikan harus dipahami sebagai sebuah wadah sosialisasi bagi peserta didik sekaligus sebagai wadah untuk penanaman perasaan kewarganegaraan. Pendidikan harus mengarah kepada apa yang dianggap benar oleh masyarakat di mana peserta didik hidup agar mereka dapat berperan sebagai warga dalam masyarakat tersebut. Peserta didik harus dibantu untuk menemukan pijakan dasar bagi kehidupannya. 3) Pendidik harus mau dan mampu untuk bekerjasama dengan peserta didik (dan orang tua) dalam suatu cara dialogis untuk mengidentifikasi pelbagai pandangan yang merupakan suatu kombinasi yang tepat dari elemen-elemen lama dan baru. 4) Lembaga pendidikan harus mendorong dan membantu peserta didik untuk terlibat dalam peneorian umum mengenai realitas dan kehidupan. Postmodernis menekankan bahwa perhatian-perhatian konkrit, lokal adalah penting dan harus diaplikasikan dalam pendidikan. Sementara studi-studi di lembaga pendidikan seringkali terlalu abstrak dan kurang relevan. Pembelajaran seharusnya mengkombnasikan yang konkrit dan yang umum. 5) Salah satu hal yang juga penting dalam pendidikan adalah takanan pada sifat demokratis dan dialogis. Pendidikan harus semakin maju, berkaitan dengan pendidik dan peserta yang belajar bersama tidak dengan gaya top-down. Dalam beberapa mata pelajaran, seperti dalam sains dan matematika, seorang pendidik mungkin lebih banyak tahu daripada peserta didik di kelas, berbeda dengan masalah seperti nilai-nilai dan kehidupan keluarga. 6) Pendidik harus membantu peserta didik untuk belajar bagaimana caranya belajar, seperti dalam mempergunakan teknologi tertentu. Satu keuntungan dari cara ini adalah peserta didik secara lebih aktif terlibat dalam menentukan apa yang mereka pelajari dan mengapa harus
9
dipelajari? serta mampu untuk memberikan ekspresi bagi kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan khususnya. 7) Penting juga untuk dicatat bahwa tidaklah memadai hanya memberikan peserta didik kemampuan-kemampuan pembelajaran dan kemudian melepaskan mereka karena sebagian besar anak membutuhkan dorongan dan bantuan yang terus menerus untuk mempelajari apa yang mereka butuhkan bagi kehidupan dunia saat ini. 8) Untuk membuat pendidikan menjadi demokratis bukanlah dengan jalan membongkar semua struktur dan harapan yang ada, namun lebih baik mencoba untuk mengkreasi berbagai struktur yang memberikan dukungan kepada didik dan mengizinkan mereka untuk memberikan masukan yang signifikan dan memiliki kontrol yang optimal atas pembelajaran mereka. Pentingnya sebuah pendekatan demokratis tidak dalam artian bahwa struktur dan isi tidak dibutuhkan, namun bahwa peserta didik (dan pendidik) harus mempunyai suatu kata tentang bagaimana pembelajaran mereka distrukturkan dan apa isi yang dibuat bagi mereka. Dari beberapa poin
di atas tampak jelas bahwa pandangan posmodernisme dapat
berpengaruh praktis terhadap pedagogi. Misalnya, menjelaskan bahwa para peserta didik harus dibantu untuk melihat bagaimana pelbagai ide dan institusi yang ada sebenarnya telah disesuaikan dengan pelbagai nilai dan kepentingan manusia. Hal ini membuktikan bahwa adanya implikasi narlangsung dari pandangan para posmodernis bahwa manusia membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, prasangka dan tradisi budaya yang dimilikinya. Salah satu makna pendidikan adalah serangkaian tindakan yang disengaja. Karenanya, dalam pendidikan perlu diketahui tujuan yang ingin dicapai (Bernadib,2002:5). Dan akan terasa aneh bahkan sia-sia ketika pendidikan dan semua aspeknya diselenggarakan tanpa tujuan atau adanya sesuatu dibalik penyelenggaraannya. b. Pengaruh Postmodernisme terhadap Filsafat Pendidikan Selain berpengaruh praktis bagi pedagogi, pandangan para postmodernis juga memiliki pengaruh praktis bagi filsafat pendidikan seperti tertera pada beberapa poin berikut: 1) Peserta didik harus dibantu untuk melihat bahwa pengetahuan terkait dengan nilai, terkait dengan budaya dan dapat berubah. Pada saat yang sama, mereka harus dibantu untuk mengidentifikasi komunitas dan komunalitas yang memberikan stabilitas dan arah hidup mereka. Dan salah satu cara untuk mencapai tujuan di atas adalah dengan mempelajari beragam bentuk ilmu pengetahuan, seperti antirasis, feminis, individual dan sebagainya. 10
Dengan cara ini
peserta didik akan melihat bahwa teori perlu disesuaikan dengan
berbagai kebutuhan kelompok dan individu yang beragam. Sesungguhnya, eksplorasi terhadap adanya berbagai kategori yang berbeda dari manusia merupakan bagian penting dari studi-studi pendidikan. 2) Ruang kelas filsafat pendidikan, seperti ruang kelas sekolah, seharusnya juga bersifat demokratis dan dialogis. berbagai energi dari peserta didik akan dilibatkan. Satu hal yang sering agak mengejutkan adalah bagaimana ketika para pendidik yang mendukung demokrasi bagi pendidikan namun kemudian tidak mempraktikkannya. Padahal bila seorang pendidik percaya kepada sebuah pendekatan demokratis maka ia seharusnya melakukannya agar peserta didiknya memahami apa yang ia maksudkan dan mereka diberikan kesempatan untuk mengembangkan suatu pedagogi demokratis yang pada gilirannya dapat mereka lakukan di sekolah. 3) Untuk mengadopsi suatu pendekatan yang demokratis dan dialogis maka diperlukan suatu pemikiran ulang yang fundamental atas kodrat filsafat dan kerja intelektual secara umum. Para pendidik seharusnya tidak memandang penelitiannya sebagai sesuatu yang dapat diadakan secara terpisah dalam pikiran atau dalam studi, dan kemudian mempergunakannya sebagai kunci untuk membuka rahasia-rahasia pendidikan dan kehidupan. 4) Tugas sebagai pendidik bukan untuk membuat peserta didik dengan pengetahuannya tentang sejarah filsafat dan berbagai jargon teknisnya, namun untuk membantu peserta melihat bahwa mereka bergulat dengan isu-isu yang sama seperti yang dihadapi pendidik dan untuk membuat peserta didik mampu untuk memasuki percakapan dengan para filsuf, kuno dan modern, dan para teorisi lainnya. 5) Pendidik harus berbicara mengenai teori dan praktik karena hal itu merupakan cara yang paling efektif untuk memberikan kontribusi bagi pendidikan, yang merupakan tanggung jawabnya. Orang-orang yang mengkhususkan dirinya kepada teori atau kepada praktik dapat memberikan kontribusi, namun secara normal mereka akan memberikan kontribusi yang lebih besar jika mereka melakukan keduanya
11
c. Pengaruh Postmodernisme terhadap kurikulum 2013
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang baru dan sebagai pengganti kurikulum 2006 yaitu KTSP. Kurikulum ini sering disebut dengan kurikulum berbasis karakter dan merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pada pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, dimana siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam proses berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun dan sikap disiplin yang tinggi. Dengan adanya Kurikulum 2013 diharapkan mampu merubah paradigma pendidikan menjadi lebih baik. Pelaksanaan kurikulum 2013 sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, meskipun sudah dilakukan pengakajian selama dua tahun dalam pelaksanaannya. Sebenarnya penyusunan sudah direncanakan dengan matang untuk mengikuti arus pendidikan di negara maju. Hanya saja setiap guru masih belum terbiasa dengan kurikulum 2013 sehingga banyak yang menganggap belum ada kesiapan. Sehingga Kurikulum 2013 dianggap tidak jelas dan gagal oleh beberapa kalangan. Lebih lanjut Kurniawan dalam kompasiana (2014) mengatakan “Kurikulum 2013 diciptakan untuk menjawab tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional”. Postmodernisme berpandangan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya dibebankan pada sekolah saja namun harus disebarkan melalui kerja-kerja, sejalan dengan Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi. Postmodern merupakan masa keterbukaan untuk melihat hal-hal baru, yang berbeda sambil menolak kecenderungan apatis dan ketaatan pada suatu otoritas, tatanan, atau kaidah baru. Postmodernisme juga mengkritisi dalam dunia pendidikan, yang dipertanyakannya kualitas institusi pendidikan dalam memberikan transformasi nilai dan pengetahuan. Pendidikan dewasa ini tidak lagi diartikan sebagai satu-satunya sumber atau pusat transformasi nilai dan pengetahuan dan guru bukan dianggap sebagai satu-satunya sumber ilmu 12
pengetahuan yang selalu diakui kebenarannya dalam membangun dan mencerdaskan bangsa. Peran pendidikan selain tanggung jawab sekolah juga harus melibatkan masyarakat, baik berupa pendidikan formal maupun informal. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia. Kurikulum 2013 sudah membuktikan adanya postmodernisme di dunia pendidikan Indonesia. Kehadiran posmodernisme di bidang pendidikan memberikan warna baru dan memberikan pesan kritis atas anggapan atau tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya. Lebih lanjut Kurniawan (2014) mengatakan: “Peralihan kewenangan secara penuh ini mencitrakan sebuah demokrasi pendidikan. Artinya, masyarakat dan sekolah berkepentingan dan bertanggungjawab secara optimal atas kemajuan sebuah penyelenggaraan pendidikan. Melalui persiapan bidang pendidikan yang baik, maka komponen kurikulum dan pengangkatan guru misalnya akan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, sesuai dengan kesiapan sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Prinsip ini jelas menuntut kesiapan SDM agar penentuan kurikulum berbasiskan kompentensi dapat diwujudkan dan dihasilkan secara optimal” C. KESIMPULAN Pandangan postmodernisme yang dibahas di atas (realitas, perubahan dan perbedaan, metafisika, diri, penelitian, dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan) punya implikasi atau pengaruh praktis yang menjanjikan bila nantinya dapat diterapkan dalam pendidikan. Dari beberapa poin di atas kelihatan jelas bahwa pandangan postmodernisme dapat berpengaruh praktis terhadap pedagogi. Peserta didik harus dibantu untuk melihat bagaimana berbagai ide dan institusi yang ada sebenarnya telah disesuaikan dengan berbagai nilai dan kepentingan manusia. Poin ini merupakan implikasi langsung dari pandangan postmodernis bahwa manusia membentuk realitas sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, prasangka dan tradisi budaya yang dimilikinya. Hal ini semakin terasa benar ketika melihat makna pendidikan secara luas. Salah satu makna pendidikan adalah serangkaian tindakan yang disengaja. Karenanya, dalam pendidikan perlu diketahui tujuan yang ingin dicapai. Postmodernisme berpandangan bahwa tugas mencerdaskan manusia /pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah saja namun juga melibatkan peran masyarakat 13
luas dalam pendidikan. Sehingga adanya kurikulum 2013 merupakan bentuk nyata kehadiran postmodernisme, meskipun pelaksanaannya masih terkesan membingungkan dan sarat dengan pro dan kontra hal ini semata-mata disebabkan karena kurangnya kesiapan dari setiap unsur yang terlibat. Pelaksanaan kurikulum ini merupakan sesuatu yang baru, jadi masih perlu untuk terus disosialisasikan dan bekerjasama antara pihak sekolah, orang tua wali, dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Barnadib, Imam . 1997. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset. _____________. 2002. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Bertens, Hans. 1996. The Idea of the Postmodrn: A History, New York: Routledge. Grenz, Stanley J. 1996. “A Primer on Postmodernism”, atau A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme, Wilson Suwanto (penerjemah), Yogyakarta: Yayasan Andi. Hardiman, F. Budi. 2003 Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius. Silverman, Hugh J. 1996. “Modernism and Postmodernism”, dalam the Encyclopedia of Philosophy Supplement, Donald M. Bochert (editor in chief), New York: Simon & Schuster Macmillan. Sugiharto, I Bambang. 1996. Postmodernisme: tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. http://www.ed.uiuc.edu/EPS/PES-Yearbook/93_docs/Beck.HTM di akses 12 Januari 2015. http://politik.kompasiana.com/2014/12/20/postmodernisme-kurikulum-2013-698031.html akses 4 Maret 2015.
14
di