==========================================================================
Membayangkan Indonesia Baru Indonesia in New Wave Konferensi Kajian Komunikasi, Budaya, dan Media Conference on Communication, Culture, and Media Studies Yogyakarta, 10-11 Desember 2014 ==========================================================================
i
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan
Membayangkan Indonesia Baru 1. Komunikasi
2. Budaya
3. Media
Membayangkan Indonesia Baru Penulis: Pemakalah Konferensi CCCMS 2014 Penyunting/Editor: Muzayin Nazaruddin Rancang Sampul Zarkoni Tata Letak Aldila Rahmawa, Ali Minanto, Diyah Astuti Foto Sampul Zaki Habibi
Penerbit: Program Studi Ilmu komunikasi UII JI. Kaliurang Km,14,5 , Besi, Sleman Yogyakarta 55584 Telp./Faks: 0274-898444 ext 3267 e-mail:
[email protected]
Cetakan I, Desember 2014 iv+ 943; 21 X 29,7 Cm ISBN : 978-602-71722-0-3
ii
PENGANTAR Menilik Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir, sama-sama kita saksikan pergulatan yang makin kompleks dalam berbagai ranah kehidupan. Demokratisasi dan keterbukaan kian menjadi semangat utama, tetapi praktik-praktik kekerasan sektarian maupun oligarki kekuasaan juga masih terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Begitu juga pertumbuhan ekonomi yang tampaknya meyakinkan, namun tidak sedikit rakyat yang masih kesulitan mengakses kebutuhan dasar mereka. Tahun 2014 menjadi penanda penting dalam kompleksitas tersebut. Bukan saja karena tahun ini menandai perubahan kepemimpinan nasional, tetapi juga berbagai gagasan dan inisiatif yang mewarnai sepanjang proses menuju, saat, dan setelah pergulatan ini amat beragam dan patut menjadi sorotan tersendiri. Tidak terkecuali dalam konteks komunikasi, budaya, dan media secara khusus. Berangkat dari semangat tersebut, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar Conference on Communication, Culture, and Media Studies (CCCMS) 2014. CCCMS 2014 mengundang berbagai gagasan dalam ranah kajian komunikasi, budaya, dan media untuk mendiskusikan situasi kekinian Indonesia yang berada dalam gelombang baru ini, Indonesia in new wave. Ada pun sasaran dari CCCMS 2014 adalah akademisi, peneliti, mahasiswa, aktivis, dan praktisi di bidang komunikasi, media, dan budaya Indonesia yang sedang dalam pergulatan antara polarisasi aspirasi dan sentralisasi sumber daya dalam bidang komunikasi, budaya, dan media berhadapan dengan berbagai inisiatif kreatif dalam semangat alternatif berbasis komunitas dan berskala global. Mendialogkan kompleksitas dan keragaman itulah yang menjadi semangat konferensi ini. Konferensi ini diselenggarakan dengan mekanisme call for papers yang cukup ketat, yang diawali dengan tahapan call for abstract Panitia CCCMS 2014 menerima 274 abstrak. Setelah melalui proses review, maka diputuskan ada 128 abstrak yang diterima. Para penulis yang abstraknya lolos review kemudian diminta mengirimkan makalah lengkap. Makalah lengkap inilah yang kemudian dipresentasikan dalam konferensi CCCMS 2014. Ada 12 tema yang diulas dalam tulisan para pemakalah, yakni: Komunikasi Politik Ekonomi Politik Media Massa; Kebijakan dan Etika Komunikasi; Komunikasi Pemberdayaan Volunterisme; Media Publik dan Media Komunitas; Opini dan Ruang Publik; Media Baru Budaya Digital; Budaya Populer dan Subkultur; Pemuda dan Media Kreatif; Media Representasi; Audiens Media; Sejarah Media dan Memori Kolektif; dan Literasi Media.
dan dan dan dan
Yogyakarta, Desember, 2014
R. Narayana Ketua Panitia
iii
iv
DAFTAR ISI
1
DAFTAR ISI
TOPIK 1: KOMUNIKASI POLITIK DAN EKONOMI POLITIK MEDIA 6 POLITICAL MARKETING PEMILIHAN PRABAWO-HATTA TAHUN 2014 7 MEDIA & JURNALISME POLITIK: KONGLOMERASI EKONOMI-POLITIK MEDIA DALAM LANSKAP POLITIK KONTEMPORER 19 KOMUNIKASI POLITIK AKTIVIS PARTAI POLITIK ISLAM INDONESIA 28 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KREDIBILITAS IKLAN NASDEM DI KALANGAN PEMILIH PEMULA PEMILU LEGISLATIF 2014 34 KOMUNIKASI SIMBOLIK SEBAGAI IMPLIKASI TRANSFORMATIF MASYARAKAT CYBERDEMOCRACY DI INDONESIA 47 EKSPRESI PERGERAKAN SOSIAL INDONESIA: ANALISIS FITUR KOMUNIKASI DAN PESAN KEKERASAN-NONKEKERASAN DALAM ONLINE ORMAS BIDANG LINGKUNGAN, PEREMPUAN & ANAK, DAN PERBURUHAN 57 RELASI MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK PADA PILPRES 2014 DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA 73 TOPIK 2: KEBIJAKAN DAN ETIKA KOMUNIKASI 80 ESENSI PENGALAMAN PROFESIONAL WARTAWAN MEDIA LOKAL 81 MAKNA PAGAR API BAGI WARTAWAN PENULIS ADVERTORIAL SURAT KABAR DI BANDUNG 87 MENIMBANG INKLUSIVITAS KEBIJAKAN PENYIARAN INDONESIA 97 MODEL KOMUNIKASI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGANAN KONFLIK ANTAR WARGA DI KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA 106 WIKILEAKS: TANTANGAN JURNALISME INTERNASIONAL 116 KEBIJAKAN KOMUNIKASI DALAM KONSTELASI POLITIK PEMERINTAHAN BARU DI INDONESIA 121 RELASI PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL: STUDI KASUS PADA FESTIVAL FILM INDIE-PEKAN FILM YOGYAKARTA DAN FESTIVAL FILM PELAJAR JOGJA (FFPJ) 129 KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF JURNALIS DI DAERAH KONFLIK (STUDI KASUS PEMBATASAN AKSES JURNALIS ASING DI PAPUA) 141 KEMERDEKAAN PERS SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM 149 CITY BRANDING SEBAGAI KEBIJAKAN KOMUNIKASI(LESSON LEARNED KEBIJAKAN CITY BRANDING PEMERINTAH KOTA SURAKARTA) 158 KEBANGKITAN LOKALISME DAN PROBLEM KEBIJAKAN DAN REGULASI MEDIA: SEBUAH TINJAUAN PUSTAKA 168
1
TOPIK 3: KOMUNIKASI PEMBERDAYAAN DAN VOLUNTERISME 181 TINJAUAN VOLUNTERISME POLITIK MELALUI MEDIA SOSIAL (STUDI KASUS PENETAPAN RUU PILKADA 2014) 182 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT URBAN (MISKIN PERKOTAAN) PT SARI HUSADA YOGYAKARTA MELALUI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) RUMAH SRIKANDI 191 PERAN MEDIA SOSIAL FACEBOOK DALAM MEMBERDAYAKAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT CIMANGGU CILACAP (KASUS WACANA PEMEKARAN KABUPATEN CILACAP) 201 STRATEGI COMMUNITY RELATIONS SEBAGAI PROSES KONSTRUKSI IDENTITAS PONDOK PESANTREN DI LINGKUNGAN MASYARAKAT 210 MOTIF PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY BERBASIS PEMBERDAYAAN TERHADAP NARAPIDANA DI LAPAS SUKAMISKIN BANDUNG 216 AKTUALISASI DIRI KELOMPOK DISABILITAS (STUDI MENGENAI PENGELOLAAN PESAN KOMUNIKASI KARTUNET.OR.ID SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN DISABILITAS TUNANETRA) 226 KOLABORASI DAN KETERLIBATAN AKTIF WARGA DESA DALAM PROGRAM PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI DESA BERBASIS WEBSITE DI DESA CITALI KECAMATAN PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT 233 PROSES KOMUNIKASI DALAM KEGIATAN TRANSFER PENGETAHUAN LOKAL MANYONGKET PADA MASYARAKAT PANDAI SIKEK 243 KOMUNIKASI PEMBERDAYAAN DAN EVALUASI KEGIATAN KAMPANYE SOSIAL PEMAKAIAN KONDOM PADA PEREMPUAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI RESOSIALISASI SUNAN KUNING, SEMARANG 251 TOPIK 4: MEDIA PUBLIK DAN MEDIA KOMUNITAS 262 PEMBENTUKAN SIKAP PEDULI LINGKUNGAN MELALUI KOMUNITAS VIRTUAL (STUDI KASUS: KOMUNITAS @idberkebun) 264 TVRI DAN PENYEDIAAN RUANG PUBLIK 271 MENYUARAKAN ANAK MELALUI RADIO KOMUNITAS ANAK 279 TRANSFORMASI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RRI/TVRI: CAPAIAN DAN KENDALA 289 PERAN JARINGAN MEDIA KOMUNITAS DALAM MENDORONG PARTISIPASI RADIO KOMUNITAS PADA PEMBANGUNAN 296 PENGGUNAAN RADIO SIARAN SEBAGAI MEDIA SOSIALISASI DAN EDUKASI KESEHATAN IBU DAN ANAK DI JAWA BARAT 304 KONSTRUKSI MEDIA RADIO DALAM BUDAYA HIDUP SEHAT MASYARAKAT KABUPETAN GARUT (STUDI KASUS ACARA BIANGLALA PAGI DI RADIO REKS FM) 316 MEMPERLUAS PARTISIPASI DEMOKRATIS MASYARAKAT DALAM LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO TELEVISI REPUBLIK INDONESIA (LPP RTRI) 324 TOPIK 5: OPINI DAN RUANG PUBLIK OPINI DAN RUANG PUBLIK DALAM MEDIA BARU KONSTRUKSI RUANG PUBLIK SEBAGAI IDENTITAS KOTA (STUDI KASUS CITY BRANDING DI TUBAN JAWA TIMUR)
2
332 334 343
COMPETENCE COMMUNICATION OPINION LEADER IN THE SETTLEMENT OF ‘SARA’ THE ISSUE OF CONFLICT IN SOUTH SULAWESI RUANG PUBLIK VIRTUAL: RUANG YANG DIPEREBUTKAN
355 360
TOPIK 6: MEDIA BARU DAN BUDAYA DIGITAL 368 ISU IDEALISME DARI MEDIA BARU ZOHIB UNTUK MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA 370 MEDIA SOSIAL DAN FANATISME PADA GRUP BAND KOREA 378 SELF DISCLOSURE DAN NARSISTIC PENGGUNA MEDIA SOSIAL DI INDONESIA 388 FENOMENA HADIRNYA MEDIA SOSIAL DALAM KEMENANGAN JOKO WIDODO – JUSUF KALLA DI PILPRES 2014 395 MOTIVASI AKTIVISME SOSIAL MELALUI PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL: STUDI KASUS PADA PENGURUS ASOSIASI IBU MENYUSUI INDONESIA (AIMI) 403 SOCIAL MEDIA CAPTOLOGY: AKTOR SOSIAL DI ERA DIGITAL 414 MEREVISI JURNALISME SEBAGAI PROFESI DI ERA DIGITAL: TELAAH PENGARUH TEKNOLOGI MEDIA BARU DALAM PRAKTIK JURNALISTIK DI INDONESIA 421 KOMUNIKASI ORGANISASI DALAM MEDIA BARU: PELUANG DAN TANTANGAN PUBLIC RELATIONS ORGANISASI BERKOMUNIKASI DAN MEMBERIKAN PELAYANAN INFORMASI KEPADA PUBLIK DALAM MEDIA BARU 433 CYBERCULTURE DAN DIGITALISASI MASYARAKAT MENELAAH KOMPASIANA SEBAGAI ETALASE WARGA BIASA 440 JURNALISME LINGKUNGAN DI MEDIA ONLINE (MENEROPONG BERITA LINGKUNGAN PADA SITUS MONGABAY.CO.ID) 449 UTILIZATION OF NEW MEDIA IN IMPROVING FARMER’S SELF SUFFICENCY CENTRE IN SOUTH SULAWESI AND CENTRAL SULAWESI 459 #RIDEALONG: THE DEVELOPMENT OF TWITTER BASED COMMUNITY IN INDONESIA 466 MEMAHAMI PANGGUNG DEPAN DAN PANGGUNG BELAKANG PENGGUNA MEDIA SOSIAL 471 MEDIA SOSIAL DAN PENGELOLAAN INFORMASI BENCANA ASAP DI PROVINSI RIAU 478 KONSUMSI, FOOD BLOG DAN DIGITALISASI MAKANAN 486 KONTRIBUSI (TEKNOLOGI) INTERNET DALAM MENGGOLKAN GERAKAN JURNALISME RAKYAT (WARGA) DI INDONESIA: ANALISIS KOMPARATIF PADA SITUS KOMPASIANA (KELOMPOK KOMPAS GRAMEDIA), PEWARTA INDONESIA (KELOMPOK PPWI), DAN KABAR INDONESIA (KELOMPOK HOKI) 494 MENYUARAKAN KAMPUNG, DIRIUHNYA KOTA: KAMPUNGNESIA, PROYEK KREATIF DOKUMENTASI KAMPUNG KOTA 503 TOPIK 7: BUDAYA POPULER DAN SUBKULTUR 510 KOMODIFIKASI PARKOUR: ANALISIS SEMIOTIKA MELALUI PENDEKATAN EKONOMIPOLITIK TERHADAP ACARA “RED BULL ART OF MOTION” 512 PERAN IDENTITAS ETNIS DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA MAHASISWA PENDATANG DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 521 TETAP NYUNDA DI PULAU SUMATERA: STRATEGI KOMUNIKASI DAN ADAPTASI SOSIAL TUKANG KIRIDIT MIGRAN ASAL TASIKMALAYA DI KOTA PEKANBARU 528
3
PERLAWANAN TANDA PADA KOMUNITAS SUBKULTUR (KAJIAN HIBRIDITAS PADA KOMUNITAS WARIA SANTRI PONDOK PESANTREN WARIA “SENIN-KAMIS” YOGYAKARTA) 539 ALL YOU CAN COPY: REKOMODIFIKASI DALAM BUDAYA MENGOPI VIDEO DI WARNET 548 TANTANGAN PENELITIAN GAMES ONLINE DI INDONESIA 560 KONFLIK ANTARKELOMPOK DALAM BUDAYA KOLEKTIVISTIK (KAJIAN FACENEGOTIATION THEORY DALAM KASUS KONFLIK ANTARSUPORTER) 567 KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA: MODEL KOMUNIKASI ANTAR MASYARAKAT PELA, IMPLIKASINYA BAGI PENGELOLAAN KONFLIK ANTAR MASYARAKAT (KASUS MALUKU) 578 GAME DAN BUDAYA DIGITAL (STUDI PADA HAY DAY) 589 LOCALIZING THE GLOBAL AND GLOBALIZING THE LOCALIZED-GLOBAL: REMIXING GLOBAL POP MUSIC AMONG INDONESIAN YOUTUBE USERS 595 KOMUNIKASI ANTARBUDAYA HINDU DAN ISLAM LOKAL DALAM UPACARA PERANG TOPAT DI PURA LINGSAR KECAMATAN NARMADA 602 TOPIK 8: ANAK MUDA DAN MEDIA KREATIF 608 FILM DAN PEMANFAATAN TAMAN FILM SEBAGAI MEDIA KREATIF SINEAS MUDA KOTA BANDUNG 610 FILM INDIE PENDEK DAN ANAK MUDA: MELIHAT FILM INDIE PENDEK SEBAGAI MEDIA EKSPRESI ANAK MUDA DALAM MENYUARAKAN ISU LOKAL DI KOTA PALU 619 UPAYA PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN KESENIAN KHAS KARAWANG (TOPENG BANJET) MELALUI FILM PENDEK 627 MEME COMIC INDONESIA: GATRA KELAKAR KRITIK SOSIAL 635 TRANSFORMASI ASPEK STORYTELLING KE DALAM DIGITAL STORYTELLING PADA WAYANG BEBER DIGITAL 642 SINEMA DIGITAL “BANDUNG PURBA” SEBAGAI TAYANGAN EDUKASI ALTERNATIF DENGAN PENDEKATAN IMMERSIVE DISPLAY UNTUK REMAJA AWAL USIA 12-15 TAHUN 653 REPRESENTASI KOMUNIKASI KREATIF ANAK MUDA MELALUI MEDIA VIDEO JOKOWI-JK PRESIDEN KITA – OWL CITY 665 TOPIK 9: MEDIA DAN REPRESENTASI 673 PEMBERITAAN ISIS DAN DAMPAKNYA TERHADAP DAKWAH ISLAM (STUDI DI KOTA BANDUNG JAWA BARAT) 675 BENTUK ESKPLOITASI PEKERJA ANAK DI INDUSTRI SINETRON INDONESIA 682 PESAN SEKS DAN SEKSUALITAS DALAM KOMUNIKASI TERMEDIASI TEKNOLOGI 693 WAJAH TAYANGAN TELEVISI DI INDONESIA 704 WACANA PEREMPUAN TIONGHOA DALAM NOVEL INDONESIA PASKA REFORMASI (DISCOURSE ANALYSIS IDENTITAS PEREMPUAN TIONGHOA DALAM NOVEL DIMSUM TERAKHIR KARYA CLARA NG) 714 KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ANGGOTA HIZBUT TAHRIR INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS SOSIAL 726 CITRA IDENTITAS ORANG MAKEANG: MEDIA DAN LITERATUR SEBAGAI WAHANA REPRESENTASI 734
4
CITRA MALUKU DALAM KONSTRUKSI PEMBERITAAN MEDIA NASIONAL REPRESENTASI PENCAK SILAT DALAM PERFILMAN INDONESIA REPRESENTASI IDENTITAS KEBUDAYAAN LOKAL MELALUI MEDIA SOSIAL (SEBUAH TELAAH PADA GRUP FACEBOOK KOTAGEDE YOGYAKARTA)
744 753 763
TOPIK 10: AUDIENS MEDIA 775 PERSEPSI ANAK PADA ACARA TV 777 PERSEPSI AUDIENS TEHADAP KARAKTER MASKULIN HAJI MUHIDIN DALAM SINETRON TUKANG BUBUR NAIK HAJI THE SERIES 788 PEREMPUAN, DIFABEL DAN PENONTON FILM: ANALISIS RESEPSI FILM YANG TIDAK DIBICARAKAN KETIKA MEMBICARAKAN CINTA KARYA MOULY SURYA 795 APA YANG DITONTON ANAK-ANAK DI TELEVISI? Studi Analisis Isi Muatan Nilai Negatif Pada Acara Televisi Yang Banyak Di Tonton Anak-Anak 807 REKONSTRUKSI PENONTON FILM INDONESIA: KETEGANGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PENGHIBURAN (1940-2010) 819 TOPIK 11: SEJARAH MEDIA DAN MEMORI KOLEKTIF 830 ASHADI SIREGAR: PEMIKIRANNYA TENTANG MEDIA DI ERA ORDE BARU DAN UPAYA PENDOKUMENTASIAN MEMORI KOLEKTIF 832 SEJARAH MEDIA DI INDONESIA SEBUAH KERANGKA KERJA TEORETIS 839 COMMERCIAL RADIO IN INDONESIA: The Almost Forgotten Industry 845 memori kolektif sejarah kota surabaya dalam facebook group 851 TOPIK 12: LITERASI MEDIA 865 KEGIATAN PENDIDIKAN MEDIA YANG BERKESINAMBUNGAN DI KELOMPOK PKK RW II GEDAWANG SEMARANG 867 SPEKTRUM RASIONAL DAN KULTURAL PADA KONSEPSI LITERASI MEDIA 875 LITERASI MEDIA PADA ANAK DALAM KONTEKS KELUARGA PRAKTIK LITERASI MEDIA (TV DAN GADGET) DI DUA KELUARGA FULLTIME MOTHER DAN PART-TIME MOTHER 882 PERILAKU PENCARIAN INFORMASI KADILAO’ MASYARAKAT SUKU BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI 889 PARODI DAN LITERASI: DISKURSUS LITERASI POLITIK DALAM POSRONDA.NET 896 PENGENDALIAN DAMPAK MEDIA SECARA KULTURAL MELALUI PEMBERDAYAAN PKK SEBAGAI AGEN MEDIA LITERACY 903 TOPIK 13: KOMUNIKASI PEMASARAN 909 Personal branding Presiden dan wakil presiden ri terpilih 2014 – 2019 911 STRATEGI PENCITRAAN UNIVERSITAS MELALUI PENDEKATAN MAHASISWA SEBAGAI AGEN MULTIKULTUR 918 GELOMBANG BARU KOMUNIKASI PEMASARAN DI MEDIA SOSIAL: SHOUTOUT FOR SHOUTOUT PADA AKUN INSTAGRAM DI ERA PEMASARAN 3.0 927 JOKO WIDODO AS INDONESIA’S NATION BRAND ICON 938
5
PERAN JARINGAN MEDIA KOMUNITAS DALAM MENDORONG PARTISIPASI RADIO KOMUNITAS PADA PEMBANGUNAN Nurul Purnamasari Budi Guntoro Subejo Sekolah Pascasarjana UGM Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta
[email protected] ;
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRAK Media massa dapat menjadi penentu keberhasilan pembangunan, karena merupakan alat penyampai informasi kepada khalayak yang luas dan dapat mendorong partisipasi masyarakat. Idealnya masyarakat yang terpapar informasi dengan konten positif akan dapat berpartisipasi lebih banyak pada kegiatan pembangunan di sekitarnya. Namun faktanya media massa di Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomis dan politis. Pada saat yang hampir bersamaan media komunitas muncul sebagai bentuk demokratisasi bermedia di Indonesia, termasuk untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan peran dan fungsi media massa yang ideal. Media komunitas berkembang sebagai media alternatif yang kontennya memberikan nilai informasi dan edukasi bagi masyarakat. Dalam perkembangannya, kajian mengenai media komunitas didominasi oleh perkembangan radio komunitas. Di hampir semua wilayah yang terdapat radio komunitas, pegiatnya berkumpul membentuk sebuah asosiasi atau jaringan di tingkat kabupaten hingga nasional, yang muncul dari solidaritas pada kepentingan yang sama. Penelitian ini menganalisis peran jaringan media komunitas yang dikembangkan Jaringan Media Komunitas Gunungkidul (JMKGK) di Kabupaten Gunungkidul. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Informasi yang bersifat angka menjadi pelengkap data untuk mendukung penjelasan pada hal-hal tertentu. Hasilnya menunjukkan bahwa jaringan media komunitas merupakan organisasi bentukan modal sosial yang mendorong anggotanya, dalam hal ini radio komunitas, dapat menjadi pendukung utama pembangunan mulai dari kelompok terkecil agar memberi efek domino pada partisipasi pembangunan di tingkat yang lebih tinggi. Keberadaan JMKGK di Kabupaten Gunungkidul menjadi salah satu pendorong agar radio komunitas mampu mengolah beragam isu menjadi konten siaran dan supaya posisi radio komunitas semakin kuat sebagai institusi lokal. Kata kunci: peran, jaringan media komunitas, partisipasi, radio komunitas, pembangunan
Pendahuluan Media komunitas telah berkembang di berbagai negara sebagai media alternatif yang kontennya lebih memberikan nilai informasi dan edukasi bagi masyarakat. Kehadiran media komunitas menjadi salah satu jawaban bagi kebutuhan informasi, khususnya di daerah-daerah yang tidak terjangkau pelayanan jaringan media massa mainstream. Media komunitas menjadi perwujudan karakterisitik masyarakat setempat, menjadi alat menuangkan kreativitas dan ekspresi budaya lokal, dan membuka akses pada informasi yang selama ini tidak ramah pada masyarakat marjinal. Janowitz (dalam Jankowski, 2002) menuturkan jika media massa lokal berperan besar dalam mengikat kohesivitas sosial komunitas setempat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas sosial. Adanya media massa yang dekat dengan masyarakat sangat memungkinkan terwujudnya perubahan sosial. Namun dalam praktiknya, ada pihak-pihak yang menganggap keberadaan media komunitas merupakan bentuk
296
perlawanan rakyat kepada pemerintah. Dalam perkembangannya, hal ini pun terjadi di Indonesia. Senyatanya masyarakat bukan ingin melawan negara, melainkan rakyat hanya menyadarkan pada pemerintah jika mereka pun memiliki hak preogratif dalam menentukan konten media dan penggunaan frekuensi yang sebenarnya merupakan ranah publik (public sphere). Secara khusus, penelitian mengenai media komunitas didominasi oleh perkembangan radio komunitas yang memang lebih mudah dimanfaatkan baik oleh pengelolanya maupun oleh khalayaknya, serta lebih murah biaya pengelolaannya. Tabing (dalam Pandjaitan,1999) dengan tegas menyatakan bahwa radio komunitas mendorong terjadinya interaksi antar sesama anggota masyarakat secara dinamis dan proaktif sebagai satu kesatuan komunitas. Warga komunitas-lah yang paling berhak menentukan nasib radio komunitas, bagaimana pemanfaatannya, isu apa saja yang menjadi fokus siaran, dan sumbersumber pendanaan untuk menyokong operasionalisasi radio komunitas. Pada tahun 1988 kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan pada hidupnya radio komunitas membentuk AMARC (Assosiation Mondiale des Radiodiffusieurs Communautaires, anonim Bahasa Prancis yang berarti Asosiasi Radio Komunitas Seluruh Dunia). Organisasi ini mendorong radio komunitas di seluruh dunia agar berperan aktif dan menjadi bagian dari perubahan sosial. Media komunitas yang terikat dalam suatu asosiasi atau organisasi kelompok akan memiliki konsistensi keterlibatan dalam pembangunan karena lebih, terorganisir dan pencapaian tujuannya akan lebih cepat dan nyata dirasakan oleh masyarakat dan pemilik kebijakan (pemerintah). Media komunitas di Indonesia mulai terorganisir dalam organisasi kelompok pada tahun 2004 dengan lahirnya organisasi bertitel Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Organisasi tersebut memayungi keberadaan dan aktivitas radio komunitas di nusantara, memastikan radio komunitas mendapatkan hak untuk memanfaatkan kanal frekuensi seperti yang tertuang dalam UU Penyiaran, serta bertujuan untuk memastikan agar media komunitas tidak melenceng dari misi utama yaitu sebagai media yang lebih berpihak pada kebutuhan masyarakat lokal. DIY sebagai salah satu propinsi yang menjadi barometer demokrasi bermedia komunitas yang memiliki puluhan radio komunitas yang menempati kanal frekuensi khusus radio komunitas. Berdasarkan data Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) hingga pertengahan 2013 tercatat ada 35 radio komunitas yang aktif dan tersebar di empat kabupaten dan Kota Yogyakarta. Dalam dinamika organisasi, dorongan untuk membentuk organisasi serupa di tiap kabupaten semakin kuat untuk menjaga kesinambungan isu kewilayahan. Ide jejaring berdasarkan kewilayahan yang lebih sempit ditangkap oleh pegiat radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul. Pada tahun 2009 para pegiat radio komunitas di Gunungkidul mendorong terbentuknya jaringan media komunitas berbasis kewilayahan kabupaten yang memiliki visi membuka keran informasi dengan melibatkan banyak pihak, sehingga dapat memecah kebuntuan komunikasi yang dialami media komunitas dengan lembaga-lembaga pendukung pembangunan, khususnya dengan institusi pemerintah di tingkat Kabupaten. Perkembangan media komunitas di Gunungkidul berawal dari berdirinya beberapa radio komunitas di Kecamatan Karangmojo, Ngawen, Semanu, Playen, Wonosari, Rongkop, dan Patuk pada rentang tahun 2002 hingga 2009. Akhir tahun 2009, lima radio komunitas mengikatkan diri dalam sebuah organisasi yang bernama Jaringan Media Komunitas Gunungkidul (JMKGK). Tujuan utama terbentuknya JMKGK adalah sebagai organisasi yang ingin memfasilitiasi komunikasi untuk memastikan kebijakan di Gunungkidul benar-benar sampai di tangan masyarakat. Organisasi ini diinisiasi oleh para pegiat radio komunitas, memiliki visi-misi yang diemban untuk mentransmisikan informasi dari berbagai sumber kepada warga komunitasnya. Berbagai sosialisasi kebijakan pembangunan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul terasa lebih cepat tersebar melalui JMKGK dan posisi masyarakat sudah berubah subjek yang terlibat aktif untuk mengawal pembangunan di Gunungkidul. Terbentuknya JMKGK merujuk pada adanya keterkaitan antara perubahan sosial masyarakat dengan pemanfaatan media massa sebagai mitra strategis dalam pembangunan. Sejalan dengan gagasan Rahmadi (dalam Sayoga, 1994), sebagai negara yang sedang membangun, pada hakikatnya peran media massa adalah turut menyelenggarakan social engineering yang bersifat integralistik dalam rangka menumbuhkan motivasi masyarakat untuk mencapai sasaran pembangunan. Media komunitas harus memiliki kesadaran bahwa masih ada kebutuhan besar yang harus diperhatikan, yaitu menggali mengapa program pembangunan tertentu masih berjalan atau mengapa harus ada program pembangunan yang baru. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah media komunitas merupakan bentukan modal sosial yang hidup dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang masih erat dengan nilai-nilai lokalitas dan tradisional.
297
Kerangka Teori Paradigma Development Support Communication (DSC) Perkembangan media komunitas khususnya di daerah pedesaaan (rural) dan pinggiran (sub urban) didorong oleh kebutuhan masyarakat akan isi atau konten media yang bernuansa lokal dan budaya. Schramm meyakini jika media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu terutama yang tinggal di pedesaan, terutama di negara berkembang (Rogers and Hart, 2002). Radio komunitas dan media komunitas yang lain diorganisir oleh masyarakat, berelasi dengan lembagalembaga lokal, serta mengakomodir isu-isu lokal yang berkembang dalam komunitas masyarakat yang bersangkutan. Paradigma development communication (DC) pernah popular di tahun 1980an, yang secara optimal memberikan dukungan pada terjadinya perubahan sosial yang bersifat top down. Paradigma DC menggambarkan kekuasaan pemerintah memanfaatkan media massa sebagai sarana berkomunikasi kepada rakyatnya untuk kepentingan propaganda dan memaksa masyarakat untuk tunduk pada setiap kebijakannya. Pemerintah merasa perlu memanfaatkan media massa sebagai alat social marketing untuk mengkampanyekan program-program pembangunan dan ‘memaksa’ masyarakat ambil bagian dalam program pembangunan tersebut. Di Indonesia, paradigma DC yang berkembang di tahun 1980-an dimanfaatkan pemerintah Orde Baru dengan menempatkan media massa sebagai alat propaganda pembangunan. Pada tahap selanjutnya tren di bidang komunikasi pembangunan ditandai dengan munculnya paradigma baru yang dikenal dengan sebutan development support communication (DSC). Paradigma ini secara lebih spesifik menempatkan media massa sebagai pihak yang mampu bekerjasama dan menyatu dengan masyarakat (Melkote, 2001). Tabel 1. Perbedaan Paradigma DC dan DSC
Aspect Structure
Paradigm Level
Development Communication (DC) Hubungan bersifat top-down, otoriter, relasi kuasa subyek-obyek. Paradigma dominan cenderung mengacu perubahan sosial yang terjadi di luar lingkungan (externally directed social change). Nasional dan internasional.
Media
Media massa mainstream (televisi, radio, koran).
Effects
Menciptakan iklim menerima dan penerima manfaat dari ide-ide dan inovasi yang berasal dari luar lingkungan.
Development Support Communication (DSC) Hubungan horizontal, terjadi sharing pengetahuan antar warga, relasi kuasa bersifat subyek-subyek (setara). Paradigma partisipatoris pada kearifan lokal menjadi alat kontrol dalam pemenuhan kebutuhan. Masyarakat lokal. Media massa lokal/komunitas (video, radio media tradisional/folk media, komunikasi kelompok dan individu). Menciptakan iklim saling memahami antar warga.
Paradigma DC dan DSC memiliki perbedaan dalam beberapa aspek. Paradigma DC menitikberatkan pada upaya memodernkan masyarakat, dimana media massa menjadi alat untuk memvisualisasikan bentuk-bentuk modernisasi di negara maju. Sedangkan dalam banyak penelitian akademis, DSC merujuk pada pendekatan partisipatoris (bottom-up) yang bertentangan dengan perspektif top-down yang dikembangkan paradigma DC. Lahirnya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi pijakan bagi seluruh rakyat untuk merasakan keterbukaan bermedia dengan keragaman yang tidak pernah ditemui di masa Orde Baru. Masyarakat menjadi bebas memilih media yang semakin beragam. Pada satu titik, media massa pun telah mampu merepresentasikan diri sebagai ruang publik yang turut menentukan dinamika sosial, politik, dan budaya di tingkat lokal sekaligus global (Sudibyo, 2004). Paradigma DSC dapat menjadi pedoman bagi munculnya media komunitas sebagai media alternatif dalam penyebaran informasi yang bersifat lokal. Ide dasar DSC adalah ketika (kelompok) masyarakat telah mencapai kemandirian diharapkan muncul strategi komunikasi yang partisipatif. DSC sangat mendukung keterbukaan dan kesetaraan komunikasi dalam masyarakat, sehingga kehadiran radio komunitas menjadi wujud bahwa informasi bersumber dan dimiliki oleh semua anggota komunitas, bukan orang-orang tertentu.
298
Modal Sosial Modal sosial telah memainkan peran utama dalam berbagai sendi kehidupan seperti peningkatan kesejahteraan ekonomi, partisipasi politik, tata pemerintahan yang baik, kualitas kesehatan dan pendidikan (Jordan dkk, 2010). Penelitian ini mengacu pada pendapat Alfitri (2011), bahwa jaringan media komunitas terbaca sebagai bentukan modal sosial yang mendorong proses perubahan dan upaya pencapaian tujuan media komunitas berdasar pada nilai dan unsur utama yang menjadi bagian dari modal sosial, yaitu: 1. Partisipasi dalam jaringan, kekuatan modal sosial tergantung pada kapasitas kelompok masyarakat dalam membangun organisasi dan jaringannya, serta melibatkan diri dalam jaringan hubungan sosial. 2. Resiprocity, modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan (saling menolong) antar individu atau antar kelompok dalam suatu kelompok besar. 3. Kepercayaan (trust), berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Pada tingkatan institusi sosial, trust akan bersumber dari karakteristik sistem yang memberi nilai tinggi pada tanggung jawab sosial setiap anggota kelompok. 4. Norma sosial, norma sosial biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan. Aturan kolektif biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota kelompok dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. 5. Nilai sosial, merupakan ide yang turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat, memiliki kandungan konsekuensi yang ambivalen. Modal sosial yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi nilai yang tercipa pada suatu kelompok masyarakat. 6. Tindakan proaktif, menjadi salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk berpartisipasi sekaligus mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam kegiatan masyarakat. Keenam hal tersebut merupakan modal penting dalam penentuan tujuan saat terbentuknya jaringan media komunitas, terutama dalam menentukan posisi tawar dengan lembaga pendukung pembangunan (pemerintah dan non pemerintah) dan berbagi peran dalam pembangunan. Tugas setiap anggota media komunitas diyakini akan lebih terukur dengan adanya organisasi yang mendorong keterbukaan komunikasi dan jalinan relasi dengan berbagai pihak. Media komunitas menjadi pengemban misi sosial agar terjadi perwujudan karakterisitik masyarakat setempat, menjadi alat menuangkan kreativitas dan ekspresi budaya lokal, dan membuka akses pada informasi yang selama ini tidak ramah pada masyarakat marjinal.
Metode Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (1995) dalam model analisis deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan menekankan pada angka. Penelitian ini juga mengacu pendapat Miles dan Huberman (1992) yang menyatakan hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat disusun dalam alur cerita yang nyata dan bermakna, sehingga akan berfokus pada upaya untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa keterlibatan jaringan media komunitas menjadi sangat penting dalam komunikasi pembangunan. Dalam penelitian ini memilih lokasi di Kabupaten Gunungkidul. Dalam indeks pembangunan manusia (IPM) 2012, Kabupaten Kabupaten Gunungkidul tercatat sebagai daerah yang menduduki peringkat terbawah dari semua kabupaten dan kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi dalam perkembangan terkini pembangunan masyarakat mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Pertimbangan lain dalam pemilihan lokasi penelitian adalah adanya jaringan media komunitas berskala regional di Kabupaten Gunungkidul. Unit analisis dalam penelitian ini adalah jaringan media komunitas yang bernama Jaringan Media Komunitas Gunungkidul (JMKGK) dan radio komunitas anggota JMKGK.
Hasil dan Pembahasan
299
Jaringan Media Komunitas Sebagai Bentukan Modal Sosial Jaringan Media Komunitas Gunungkidul (JMKGK) terbentuk pada 29 September 2009 atas inisiasi lima radio komunitas yaitu Radio Komunitas Desa Kawasan Konservasi (Radekka), Radio Komunitas Intan, Radio Komunitas Suara Manunggal (RKSM), Radio Komunitas Mahardika, Radio Komunitas Agriculture Group (RAG). Dalam perjalanannya pada tahun 2010 Radio Komunitas Argosari Radioline bergabung dengan JMKGK. Tujuan pembentukan JMKGK adalah sebagai wadah pengembangan radio komunitas dan media komunitas di Kabupaten Gunungkidul. Enam radio komunitas dan satu website komunitas mampu menjamin sebaran informasi hingga menjangkau 70% wilayah Kabupaten Gunungkidul. JMKGK memiliki visi “Menjadi jejaring media tingkat kabupaten sebagai alat pengelolaan pengetahuan dan inovasi daerah.” Visi tersebut lahir dari kesamaan keprihatinan para pegiat radio komunitas pada kondisi wilayahnya dan muncul keinginan untuk menguatkan posisi media komunitas di ranah yang lebih luas dari sebatas desa dan kecamatan dimana radio komunitas tersebut berada. Sebagai sebuah organisasi JMKGK memiliki misi utama, yaitu: 1. Kerjasama antar anggota jaringan untuk meningkatkan kebermanfaatan media komunitas terkait isu lokalitas. 2. Saling tukar produk pengetahuan sebagai bagian dalam pengelolaan pengetahuan antar anggota jaringan. 3. Membangun relasi produktif kepada segenap stakeholder di Kabupaten Gunungkidul untuk mendorong lahirnya inovasi daerah. JMKGK berkembang dengan struktur organisasi yang tidak baku dan hierarkis. Walaupun ada seorang koordinator, tetapi kepemimpinan jaringan media komunitas ini bersifat kolektif. Sistem egaliter dianggap sebagai hal yang ideal untuk keluwesan ruang gerak anggota jaringan media komunitas. Sebagai organisasi yang terbentuk dari kesamaan cita-cita para anggotanya, JMKGK memiliki unsur-unsur pembentuk yang menjadi bagian dari modal sosial: 1. Kesukarelaan dan kebersamaan menjadi gambaran dari partisipasi dalam jaringan, merupakan prinsip yang hampir dimiliki oleh hampir semua media komunitas. Walau dalam siklus organisasi, keanggotaan JMKGK mengalami pasang surut, tetapi partisipasi dari masing-masing pegiat menunjukkan bahwa jaringan media komunitas ini sangat serius untuk menunjukkan komitmennya menjadikan media komunitas bersama JMKGK sebagai bagian dari pembangunan. 2. Pertukaran konten siaran sebagai wujud dari aspek reciprocity (resiprositas). Seluruh produk audio program siaran radio komunitas anggotanya tidak dimiliki secara eksklusif, melainkan terjadi pertukaran produk audio menjadi cara yang diyakini sebagai pertukaran informasi dan pengalaman antar komunitas. Selain itu, setiap program siaran dirangkum menjadi artikel dan dimuat dalam website www.gdhe.web.id beserta produk audionya. Tujuannya agar masyarakat Kabupaten Gunungkidul yang tidak berada dalam jangkauan siaran radio komunitas anggota JMKGK dapat mengakses informasi yang disiarkan kedua radio komunitas tersebut melalui internet. 3. Kepemimpinan kolektif diyakini sebagai sebuah kepercayaan (trust) yang terbangun antar anggota. Walaupun ada satu orang yang ditunjuk sebagai koordinator, tetapi seluruh kegiatan JMKGK menjadi tanggung jawab semua pegiatnya. 4. Komitmen dan konsisten menjadi norma sosial atau aturan tidak tertulis. Bagi para pegiat JMKGK, lunturnya komitmen untuk mewujudkan cita-cita menjadi media komunitas yang turut membangun Gunungkidul menjadi indikator ketidakseriusan untuk bekerja secara sukarela serta menyelewengkan visi dan misi. 5. Nilai sosial yang dianut adalah produktivitas dan kemauan belajar. Beragamnya latar belakang usia, pekerjaan, dan pendidikan para pegiat JMKGK menjadi sebuah fenomena positif dalam proses belajar antar generasi. Mempelajari hal baru dari berbagai sudut pandang pemahaman merupakan salah satu dinamika JMKGK sebagai organisasi. 6. Sebagai wujud dari aspek tindakan proaktif, masing-masing pegiat JMKGK didorong agar memiliki inisiatif untuk berelasi dan berpartisipasi dalam banyak kegiatan dengan berbagai lembaga. Hal ini bertujuan menarik perhatian banyak pihak agar dapat memanfaatkan keberadaan JMKGK untuk penyebarluasan informasi. Keenam hal tersebut merupakan penjabaran dari pengertian modal sosial yang disampaikan Fukuyama bahwa yang melihat modal sosial itu sebagai sesuatu traits (sifat) yang melekat (embedded) pada diri individu yang berupa tata nilai kehidupan dan aturan yang dianut dan dijalankan oleh individu yang memfasilitasi kerjasama yang baik (dalam Ancok, 2003). Dalam perjalanan JMKGK selama lima tahun, aspek-aspek tersebut benar-benar dijaga oleh para pegiatnya. Ada kemauan yang kuat dari masing-
300
masing pegiat (baik perorangan maupun kelembagaan) agar keswadayaan JMKGK dapat meluas dan merangkul lebih banyak media komunitas di Kabupaten Gunungkidul.
Partisipasi Radio Komunitas dalam Pembangunan Bukan hal mudah mewujudkan partisipasi dan menjadikannya sebuah kebiasaan dalam masyarakat pembangunan. Dalam paradigma development support communication (DSC), partisipasi masyarakat menjadi salah satu syarat keberhasilan pembangunan. Media massa mainstream yang memiliki ruang untuk membuka partisipasi masyarakat masih eksklusif digunakan oleh kelompok tertentu. Akibatnya masyarakat yang berada di tingkatan menengah ke bawah (grassroot) hanya mampu menjadi khalayak pasif. Radio komunitas yang tumbuh dari inisiatif masyarakat merupakan saluran untuk memperluas aspirasi dan partisipasi. Radio komunitas dapat menjadi alat pendukung komunikasi antara pemangku kebijakan dengan rakyatnya. Kemampuan radio komunitas menangkap isu-isu aktual dalam bidang pembangunan tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan masyarakat atau komunitasnya dalam memantik diskusi menjadi bahan olahan konten siaran. Vaneklasen dan Miller (dalam Handayani, 2006) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu (a) partisipasi simbolis, masyarakat duduk dalam lembaga resmi tanpa melalui proses pemilihan dan tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya; (b) partisipasi pasif, masyarakat diberi informasi atas apa yang sudah diputuskan dan apa yang sudah terjadi. Pengambil keputusan menyampaikan informasi tetapi tidak mendengarkan tanggapan dari masyarakat, sehingga informasi hanya berjalan satu arah; (c) partisipasi konsultatif, masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan. Hasil jawaban dianalisis pihak luar untuk identifikasi masalah dan cara pengatasan masalah tanpa memasukkan pandangan masyarakat; (d) partisipasi dengan insentif material, masyarakat menyediakan sumber daya tetapi tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sehingga masyarakat tidak memiliki keterikatan untuk meneruskan partisipasinya ketika masa pemberian insentif selesai; (e) partisipasi fungsional, masyarakat berpartisipasi karena ada permintaan dari lembaga eksternal untuk memenuhi tujuan. Kadang ada keputusan bersama tetapi biasanya terjadi setelah keputusan besar diambil; (f) partisipasi interaktif, masyarakat berpatisipasi dalam mengembangkan dan menganalisa rencana kerja. Partisipasi dilihat sebagai hak, bukan alat mencapai tujuan, prosesnya melibatkan metodologi dalam mencari perspektif yang berbeda dan menggunakan proses belajar yang terstruktur. Masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, sehingga ada keterikatan untuk mempertahankan tujuan dan institusi lokal menjadi semakin kuat; dan (g) pengorganisasian diri, masyarakat berpartisipasi merencanakan aksi secara mandiri. Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga eksternal untuk dukungan sumber daya dan saran teknis yang dibutuhkan, tetapi penggunaan bantuan sumber daya tetap berada dalam kontrol masyarakat. Jika merujuk pada pendapat tersebut, maka idealnya masyarakat dalam sebuah komunitas dapat berpartisipasi dan mengorganisasi secara mandiri. Pihak eksternal bukan sebagai “tokoh” utama pembangunan, melainkan masyarakat yang secara sadar mengoptimalkan sumber daya lokal. Radio komunitas sebagai representasi potensi lokal yang diharapkan dapat menampung partisipasi masyarakat, sehingga lahir ide-ide sederhana yang aplikatif untuk masyarakat setempat. Keberadaan JMKGK di Kabupaten Gunungkidul menjadi salah satu pendorong agar radio komunitas mampu mengolah beragam isu menjadi konten siaran agar posisi radio komunitas semakin kuat sebagai institusi lokal. Harapannya jika radio komunitas memiliki posisi tawar melalui ide-ide atau inovasi lokal, keberadaannya akan mendapat perhatian khusus dari lembaga-lembaga yang ada di sekitar mereka, sehingga misi JMKGK untuk mendorong lahirnya inovasi dari Gunungkidul dapat tercapai. JMKGK memfasilitasi pengembangan kapasitas radio komunitas agar pro-aktif pada pembangunan. Radio komunitas yang berhasil mengambangkan kapasitas dari sekedar radio siaran di wilayah yang kecil adalah Radekka yang berada di Desa Semoyo, Kecamatan Patuk, yang menjadi salah satu instrumen kampanye pengelolaan lingkungan hidup di Desa Semoyo. Radekka berperan besar dalam penerimaan penghargaan Kalpataru 2013 oleh salah satu pegiat Desa Kawasan Konservasi Semoyo (DKKS). Prestasi tersebut memotivasi radio komunitas lainnya untuk memperkuat kapasitas partisipasi dalam komunitas. Sementara itu di Argosari Radioline yang bertempat di Pasar Argosari dipilih menjadi media kampanye “Program Pasar Sehat” yang dicanangkan oleh WHO dan Kementerian Kesehatan. Partisipasi masyarakat atau komunitas dan radio komunitas, serta dorongan dari JMKGK merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Partisipasi radio komunitas muncul semakin kuat karena dukungan masyarakat dan kepercayaan JMKGK memfasilitasi relasi dengan pihak yang lebih luas.
301
Peran Jaringan Media Komunitas Sebagai sebuah organisasi, jaringan media komunitas memiliki peran dalam peningkatan kapasitas anggotanya. Para inisiator JMKGK berpikiran sederhana, bahwa dengan adanya sebuah forum yang menaungi radio komunitas di Kabupaten Gunungkidul, akan mempermudah komunikasi dan diskusi, serta terjadi pertukaran pengalaman atas sebuah kondisi. Keberlanjutan radio komunitas tidak dapat dilepaskan dari kualitas relasi yang dibangun, baik dari komunitas masyarakatnya sendiri maupun dari kelompok atau lembaga lain dari luar komunitasnya. Radio komunitas yang berkembang adalah ketika ia berelasi dengan banyak pihak, mampu menyerap informasi dan mengolahnya menjadi konten siaran yang bermanfaat. Selama ini di hampir semua lembaga penyiaran komunitas terjadi kesungkanan dan keengganan yang besar ketika akan membangun relasi dengan lembaga pemerintah. Alasannya adalah aparat di lembaga pemerintah meragukan keabsahan dan kredibilitas pegiat radio komunitas dalam menyiarkan informasi atau hasil wawancara. Berdasar pengalaman tersebut, JMKGK menyadari bahwa bagaimanapun ada lembaga pemerintah di tengah mereka dan sebagai bagian dari media massa radio komunitas harus terbuka untuk berelasi dengan siapa saja, termasuk dengan lembaga pemerintah di berbagai tingkatan walaupun berhadapan dengan birokrasi yang tidak sederhana. Keberadaan JMKGK telah banyak mengembangkan relasi radio komunitas, khususnya dengan pihak dari luar komunitas. Relasi yang dibangun radio komunitas dan banyak lembaga melalui JMKGK menjanjikan jangkauan yang lebih luas. Lembaga-lembaga yang berelasi dengan JMKGK, setidaknya dapat menjangkau dua wilayah radio komunitas dan khalayak yang mengakses siaran melalui layanan streaming. Ini sebuah keuntungan yang dirasakan oleh radio komunitas, JMKGK, dan lembaga-lembaga yang bekerjasama dengan mereka. JMKGK membantu membuka kebuntuan komunikasi antara para pegiat radio komunitas dengan instansi-instansi pemerintah di Kabupaten Gunungkidul. Kerjasama yang terjalin selama lima tahun merepresentasikan keberadaan radio komunitas dan JMKGK di Kabupaten Gunungkidul telah diakui oleh banyak lembaga pendukung pembangunan. Terbukanya komunikasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat diharapkan dapat mengharmoniskan sinergi kerja-kerja pembangunan di Kabupaten Gunungkidul. Jika dalam dekade pertama perjuangan radio komunitas adalah untuk mendapatkan jatah frekuensi dan proses legalitas. Sulitnya mengurus dokumen administrasi perijinan membutuhkan waktu yang sangat lama. Berbagai upaya advokasi yang dilakukan JRKI untuk menggugat sempitnya alokasi frekuensi untuk lembaga penyiaran komunitas. Kini pegiat radio komunitas sedang menanti turunnya amandemen UU Penyiaran yang diharapkan dapat memberikan alokasi frekuensi yang lebih besar. Sementara menanti harapan baru pada alokasi frekuensi untuk lembaga penyiaran komunitas, memasuki dalam dekade kedua ini merupakaan saatnya bagi radio komunitas dan jaringan media komunitas, termasuk JMKGK, untuk memperluas relasi ke berbagai pihak dan memperkuat posisi tawar, khususnya dalam kerjasama dengan instansi pemerintah. Keberadaan JMKGK di Kabupaten Gunungkidul menjadi salah satu pendorong agar radio komunitas mampu mengolah beragam isu menjadi konten siaran agar posisi radio komunitas semakin kuat sebagai institusi lokal. Harapannya jika radio komunitas memiliki posisi tawar melalui ideide atau inovasi lokal, akan mendapat perhatian khusus dari lembaga-lembaga yang ada di sekitar mereka, sehingga misi JMKGK untuk mendorong lahirnya inovasi dari Gunungkidul dapat tercapai. Jika merujuk pada diskursus yang diajukan Milan (2009) bahwa radio komunitas merupakan representasi dari ‘the voice of the voiceless’. Radio komunitas adalah wujud dari partisipasi media lokal dalam pembangunan di wilayahnya. Sedangkan JMKGK sebagai organisasi payung menjadi fasilitator yang memperbesar peran masing-masing radio komunitas dalam pembangunan dari tingkat yang paling kecil.
Kesimpulan Jaringan media komunitas memiliki komitmen menjadikan anggotanya sebagai pendukung utama komunikasi pembangunan di tingkat lokal (desa dan kecamatan) yang akan memberi efek domino pada keberhasilan pembangunan di tingkat yang lebih tinggi. Keberadaan jaringan media komunitas dapat memfasilitasi kebutuhan pengembangan kapasitas sumber daya untuk keberlanjutan dari keberadaan radio komunitas. Jaringan media komunitas berperan penting dalam pengembangan radio komunitas agar dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai media massa yaitu sebagai mitra strategis bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan wilayah dalam hal koordinasi, monitoring, dan mengelola ketika program kerjasmaa disiarkan melalui radio komunitas.
302
Secara ekonomis dan politis, dominasi media massa mainstream memang sulit untuk dapat disandingkan dengan media komunitas. Tetapi untuk penegakan idealisme peran media massa dalam pembangunan, media komunitas harus mampu mendorong diri menjadi mitra strategis banyak pihak mengingat kedekatannya dan keterbukannya pada masyarakat. Kemampuan radio komunitas menangkap isu-isu aktual dalam bidang pembangunan tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan masyarakat atau komunitasnya dalam memantik diskusi menjadi bahan olahan konten siaran. Radio komunitas adalah wujud dari partisipasi media lokal dalam pembangunan di wilayahnya, sedangkan jaringan media komunitas bertindak menjadi fasilitator yang memperbesar peran masing-masing radio komunitas dalam pembangunan dari tingkat yang paling kecil. Partisipasi masyarakat atau komunitas dan radio komunitas, serta dorongan dari jaringan media komunitas merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Partisipasi radio komunitas muncul semakin kuat karena dukungan masyarakat dan kepercayaan dari jaringan media komunitas menjadi jembatan untuk mengembangkan relasi radio komunitas dengan pihak yang lebih luas.
Daftar Pustaka Alfitri. (2011). Community Development: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ancok, D. (2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi, 13 Mei 2003. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Handayani, S. (2006). Pelibatan Masyarakat Marjinal dalam Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif. Solo: KOMPIP. Jankowski, N.W. (2002). Creating Community With Media: History, Theories and Scientific Investigation. The Changing Social Landscape. London: Sage Publication. Jordan, J.L., Anil, B. and Munasib, A. (2010). Community Development and Local Social Capital. Journal of Agricultural and Applied Economics, 42 (1),143–159. Southern Agricultural Economics Association. Melkote, S.R. and Steeves, H.L. (2001). Communication for Development in The Third World: Theory and Practice for Empowerment. 2nd Edition. New Delhi: Sage Publication. Milan, S. (2009) Four Steps to Community Media as a Development Tool. Development in Practice, 19, (4-5), 598-609. London: Routledge Publishing. Miles, M.B. dan Huberman, M.A. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Moleong, L.J. (1995). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Pandjaitan, H.IP. dan Tabing, L.N. (1999). Radio Pagar Hidup Otonomi Daerah. Jakarta: Internews Indonesia. Rogers, E.M. and Hart, W.B. (2002). The Histories of Intercultural, International, and Development Communication, dalam Handbook of International and Intercultural Communication, diedit oleh Gudykunst, W.B. and Mody, B., London: Sage Publication. Sayoga, B. (1994), Kontribusi Radio Siaran dalam Pembangunan. Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sudibyo, A. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS.
303