Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Oleh: Lee-Nah Hsu Manager UNDP South East Asia HIV and Development Programme
Makalah ini ditulis untuk memenuhi persyaratan dari Democratic Governance Fellowship Programme 2003 dan dipersembahkan pada Oslo Governance Centre di Norwegia pada 3 Nopember 2003.
Membangun Ketahanan HIV Regional UNDP South East Asia HIV and Development Programme
Februari 2004
i
Catatan tentang sampul Monolit, yang dibuat oleh Gustav Vigeland selama periode 1924 hingga 1925, tersusun oleh bentukbentuk tubuh manusia dalam bentuk relief, sendirian maupun dalam grup. Di bagian dasar tonggak itu terdapat tubuh-tubuh yang tampak statis, dan di atasnya, disusun melingkar ke atas, terdapat lebih banyak tubuh, hingga berjumlah total 121. Anak-anak duduk di puncaknya. Berbagai interpretasi dari Monolit ini telah diajukan: kebangkitan umat manusia, perjuangan untuk eksistensi, keinginan besar umat manusia terhadap bidang spiritual, melampaui kehidupan biasa serta pengulangan siklus. Tinggi tiangnya sedikit lebih dari 14 meter dan dipahat dari sebuah bongkah batu. Monolit ini terletak di Vigeland Park di Oslo, Norwedia. Sumber: http://go.to/vigeland
Hak Cipta © UNDP, UNAIDS 2004 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dicetak di Bangkok, Thailand. Hak Cipta milik United Nations Development Programme (UNDP) dan Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Semua hak cipta dilindungi Undang-undang. Penerbitan ini boleh dikutip, direproduksi atau diterjemahkan, sebagian atau keseluruhan, asalkan sumbernya diakui. Tulisan ini tidak boleh direproduksi untuk kegunaan komersial tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari UNDP.
Untuk informasi hubungi:
Lee-Nah Hsu, Manager Building Regional HIV Resilience UNDP South East Asia HIV and Development Programme
Alamat e-mail:
[email protected]
Foto sampul oleh:
Lise Bjerkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. ESCAP Library Cataloguing in Publication Data Building Dynamic Democratic Governance and HIV-Resilient Societies / Lee-Nah Hsu. Bangkok: UNDP, UNAIDS, 2004. Xi, 50 hal. (Building Regional HIV Resilience: UNDP South East Asia HIV and Development Programme.) Termasuk referensi bibliografis. ISBN: 974-91870-8-3 AIDS. 2. HIV. 3. Pengelolaan. 4. Aspek Pengembangan. 5. Afrika. 6. Asia.
Pandangan-pandangan yang diutarakan serta istilah yang digunakan dalam penerbitan ini tidak selalu mewakili pandangan maupun istilah dari negara-negara anggota UNDP Executive Board atau dari lembagalembaga system Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebutkan di sini. Penjelasan dan istilah yang digunakan serta presentasi materi tidaklah berarti pengutaraan opini apapun dari pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa menyangkut status legal dari negara, wilayah, kota atau daerah manapun, atau dari pemerintahnya, atau dari perbatasannya.
ii
KATA PENGANTAR AIDS adalah lebih dari sebuah penyakit, karena menyerang system pendukung kehidupan dari individu, keluarga, komunitas dan bangsa. AIDS menantang kebenaran yang sudah lazim dan ‘hidup berjalan seperti biasanya’ menjadi benar-benar tidak berarti. Kebijakan dan program satu dimensi yang tidak memperhatikan kerumitan manusia akan gagal saat menghadapi AIDS. Inilah apa yang membuat AIDS sangat sulit untuk dilawan, dan mengapa konsep ‘pengelolaan’ bisa sangat berguna ke arah strategi AIDS yang efektif, karena dalam intinya terdapat tanggapan-tanggapan yang berfokus pada orang, dengan semua kerumitannya. Ketahanan, pengelolaan demokratik dan mobilisasi sosial menjadi slogannya. Kita tahu bahwa ketiga hal itu adalah unsur-unsur penting dalam keberhasilan respon terhadap AIDS, namun sebagai kata-kata, ketiganya tampak agak kurang cocok untuk persoalan tersebut. Namun kami tidak mengalami kesulitan dalam mengenali respon-respon efektif terhadap AIDS bila kami melihatnya. Tanpa perkecualian, kami melihat dorongan dan kepemimpinan individu yang benar-benar peduli akan komunitas mereka. Kami melihat individu ini mendapatkan ruangan – atau diberikan ruangan – di mana mereka bisa beroperasi; mengukir sebuah lingkaran operasi publik dan kelembagaan. Kami melihat mereka mengumpulkan sumber daya dan mengerahkan sumber daya itu dengan bijak. Dan kami melihat mereka menciptakan suatu jaringan koneksi yang mencakup keseluruhan sektor dan grup. Dalam respon terbaik terhadap AIDS, kami juga melihat sebuah generasi baru para pemimpin yang sedang dipupuk, dan tongkat komando dihibahkan ke tangan mereka. Makalah yang diterbitkan di sini oleh Lee-Nah Hsu bersama dengan komentar Alex de Waal sangat membantu dalam menganalisa secara sistematis unsur-unsur komponen respon terhadap AIDS yang kuat, efektif dan tahan lama. Partisipasi, transparansi serta pemerintahan berdasarkan hukum diidentifikasikan sebagai syarat-syarat yang diperlukan untuk respon yang ulet, bersama dengan kepemimpinan, visi, ketepatan waktu serta pendekatan lintas sektoral dalam segala hal – di satu sisi, bidang-bidang yang berbeda dari pemerintahan dan di sisi lainnya, pemerintah, bisnis dan komunitas. Ketika epidemi HIV global pertama kali terkuak lebih dari 20 tahun lalu, sepertinya krisis itu tak akan berlangsung lama. Kini terbukti sebaliknya. AIDS adalah keadaan darurat yang pasti, keadaan darurat jangka panjang. Tak semua respon kita telah siap dengan realita bahwa kita merencanakan untuk jangka panjang. Tulisan ini akan membantu melindungi orientasi itu dengan menempatkan pengelolaan bagus serta ketahanan terhadap HIV sebagai agenda puncak. UNDP Oslo Democratic Governance Centre serta Research Fellow Dr. Lee-Nah Hsu, Manager UNDP South East Asia HIV and Development Programme, patut diberi selamat untuk membantu membuat hubungan antara HIV/AIDS dengan pengelolaannya. Ini adalah kerja yang mana pemilihan waktunya sangat baik dan saya yakin akan semakin penting untuk suatu respon global terhadap AIDS.
Dr. Peter Piot Executive Director Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)
iii
PRAKATA Oslo Governance Centre didirikan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yang befungsi sebagai pusat sumber daya tentang peran pengelolaan demokratik dalam proses pengembangan. Pengembangan bukanlah sekadar meningkatkan produk nasional bruto sebuah negara. Pengembangan manusia merupakan ukuran sekaligus obyektif dari pengembangan. Inilah sebab mengapa salah satu peran lembaga itu adalah memberi peluang bagi staf UNDP untuk meneliti dan memikirkan semua isu yang kemungkinan bisa memberikan sumbangan dalam satu atau lain cara ke arah pengembangan manusia yang berkesinambungan. Program kemitraan pengelolaan demokratik dirancang untuk memungkinkan anggota staf menghabiskan hingga dua bulan di Oslo untuk tujuan-tujuan memikirkan suatu kegiatan penting yang dijalankan di lapangan dan menuliskan makalah tentang hal itu guna menarik pelajaran yang diperoleh dan merekomendasikan cara-cara baru untuk menangani kegiatan tersebut. Meski sebagian besar dari pekerjaan yang dilakukan di bawah program kemitraan itu kemungkinan masuk ke dalam lini layanan yang berbeda dari praktik pengelolaan demokratik, para anggota staf didorong untuk melakukan penelitian tentang isu-isu yang melintasi kelima bidang praktik pengelolaan, kemiskinan, lingkungan dan energi, HIV/AIDS, dan pencegahan serta pemulihan krisis dari UNDP. Kemitraan penelitian pertama tentang praktik silang antara pengelolaan dan HIV diberikan pada Lee-Nah Hsu, Manager UNDP South East Asia HIV and Development Programme. Dalam meneliti dampak dari HIV/AIDS tentang pengelolaan demokratik, dan bagaimana pengelolaan itu bisa menjadi sebuah faktor dalam pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS dan dalam menangani pandemi itu, penting untuk meraih pengembangan berkelanjutan, terutama di negara-negara dengan tingkat prevalensi HIV yang tinggi. Dr. Hsu memberi sumbangan penting dalam hal ini. Makalahnya menunjukkan bahwa memperkenalkan praktik-praktik pengelolaan demokratik ke dalam pengembangan memang memudahkan pembangunan daya tahan suatu komunitas terhadap HIV. Dari sudut pandang seperti itu, isu pengelolaan bukanlah suatu kemewahan bagi negara-negara berkembang, namun sebagai sarana penunjang kehidupan serta kemakmuran bagi negara-negara berkembang. Oslo Governance Centre berharap bahwa makalah ini, yang telah diulas oleh para pakar pengelolaan dan AIDS, akan memicu pemikiran baru di atas mana bisa dibangun kebijakan serta program yang efektif dan berkesinambungan untuk menekan penyebaran HIV/AIDS. Jauh lebih banyak kerja dibutuhkan pada tingkat konseptual maupun operasional untuk menyelesaikan banyak isu teoretis dan praktis yang telah diungkit.
Georges Nzongola-Ntalaja Direktur Oslo Governance Centre Democratic Governance Group Bureau for Development Policy UNDP
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih mendalam atas peran dari orang-orang berikut ini yang memberi komentar dan panduan berharga dalam pengembangan makalah ini. Professor Georges Nzongola-Ntalaja, Direktur, UNDP Oslo Governance Centre Professor Archon Fung, Assistant Professor of Public Policy, A. Alfred Taubman Center for state and Local Government, Co-Director, Transparency Policy Project, John F. Kennedy School of Government, Harvard University Dr. Monica Sharma, HIV Practice Group Leader, UNDP Bureau of Development Planning Dr. Peter Piot, Executive Director, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS Mr. Alex de Waal, Justice Africa and Governance and AIDS Initiative Professor Heather Palmer, Professor of Health Policy and Management, Department of Health Policy and Management, School of Public Health, Harvard University Dr. Sigrun Mogedal, NORAD Senior Adviser dan UNAIDS Senior Policy Adviser Mr. Jacques du Guerny, Vice President, Scientific Committee of the CICRED Research Programme on the Inter-relationship between Population, Development and the Environment (PRIPODE) Mr. Philip Guest, Country Representative, Population Council Professor Peris Jones, Norwegian Human Rights Centre Ms. Inger Ultvedt, Human Rights Adviser, UNDP Oslo Governance Centre Ucapan terima kasih khusus diberikan pada Ms. Else Leona McClimans, Fellowship Coordinator, UNDP Oslo Governance Centre, dan semua penasihat Oslo Governance Centre, asisten penelitian serta staf untuk dukungan mereka yang tak kenal lelah; kepada Vincent Fung, Health and Information Technology Intern, Kanada, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, untuk menyiapkan data dalam Annex II serta angka-angka dan grafik yang digunakan dalam makalah ini. Penulis sangat berterima kasih pada tim UNDP South East Asia HIV and Development: Phimjai Kananurak dan Paveena Eakthanakit untuk dukungan tak kenal lelah mereka kepada Program ini yang memungkinkan terjalinnya kemitraan ini. Terima kasih pada Lise Bjerkan, intern UNDP South East Asia HIV and Development Programme pada 2001 dan kini Peneliti di Fafo, Institute for Applied International Studies, Norwegia, yang khusus berkunjung ke Vigeland Park untuk mengambil foto dari Monolit yang dipakai pada sampul penerbitan ini.
v
DAFTAR ISI Halaman
RINGKASAN ......................................................................................................................... vii PENDAHULUAN .....................................................................................................................12 A. Pengembangan manusia ..............................................................................................................12 B. Pengelolaan demokratik ..............................................................................................................13 C. Membangun sebuah masyarakat yang tahan terhadap HIV.........................................................15 D. Early Warning Rapid Response System......................................................................................17
I.
PRINSIP PENGELOLAAN DEMOKRATIK MEMUDAHKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT YANG TAHAN HIV................................19 A. Pengelolaan demokratik dan HIV – Apakah ada hubungannya? ................................................19 B. Menerapkan prinsip pengelolaan demokratik bisa memudahkan respon efektif terhadap HIV ..21 C. Mekanisme untuk membangun masyarakat yang tahan HIV ......................................................23
II.
MEMBANGUN KETAHANAN TERHADAP HIV MENINGKATKAN PENGELOLAAN DEMOKRATIK ......................................................................29 A. Epidemi HIV melemahkan pengelolaan demokratik...................................................................29 B. Mekanisme untuk membangun ketahanan terhadap HIV meningkatkan proses pengelolaan demokratik ..................................................................................................................................30 C. Pentingnya membangun ketahanan regional terhadap HIV ........................................................33
III.
EARLY WARNING RAPID RESPONSE SYSTEM: SEBUAH MEKANISME UNTUK MENINGKATKAN SINERGI ANTARA TATA PEMERINTAHAN DEMOKRATIS DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT YANG MEMILIKI KETAHANAN TERHADAP HIV...................................................37 A. Gambaran singkat Early Warning Rapid Response System........................................................37 B. Contoh penerapan Sistem ............................................................................................................39
IV. Endnote
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..............................................................43 ..........................................................................................................................45
Lampiran I Hubungan antara HIV/AIDS dan tata pemerintahan demokratis di Afrika :Komentar oleh Alex de Waal ...................................................................52 Lampiran II. Data sumber untuk Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Manusia (HPI), Indeks Pembangunan terkait Gender (GDI), Ketimpangan Pendapatan atau Konsumsi (Gini Index), dan Tingkat Kelaziman HIV........................................................................................................61
vi
RINGKASAN Pada 2002, Perserikatan Bangsa-bangsa merevisi proyeksi populasi dunianya setiap dua tahun sekali, untuk 2050 menurun dari 9,3 miliar, yang dilaporkan dua tahun sebelumnya, menjadi 8,9 miliar. Pengurangan 400 juta ini dihubungkan dengan jumlah proyeksi kematian terutama akibat AIDS dan defisit yang diakibatkan dalam kelahiran.1 Perubahan dalam scenario mortalitas ini mencerminkan kemunduran mengkhawatirkan dari pencapaian yang dilakukan dalam meningkatkan standar kehidupan dan usia hidup rakyat sebagai akibat dari beberapa dasawarsa investasi dalam pengembangan ekonomi dan manusia. Saat ini, pedalaman Sahara di Afrika adalah daerah yang terkena dampak terburuk dari pandemi AIDS, dengan hampir 30 juta orang tertular. Kawasan Asia dan Pasifik memiliki jumlah terbesar kedua penduduk dunia yang hidup dengan HIV – diperkirakan 7,4 juta pada Desember 20032, 1 juta diantaranya adalah penularan baru dalam tahun itu sendiri. Dua dasawarsa intervensi AIDS di Afrika telah menunjukkan bahwa, meski dengan upaya modifikasi perilaku-berisiko terfokus, pandemi HIV masih menjalar dengan cepat. Kenyataannya, beberapa negara dengan tingkat kesadaran HIV yang tinggi, seperti Afrika Selatan, juga memiliki tingkat prevalensi HIV tertinggi. Meski dengan beratnya pandemi yang telah berlangsung dua dasawarsa ini, respon terhadap HIV/AIDS – di luar lingkungan inisiatif kesehatan publik – masih tetap terbatas. Apakah respon terhadap HIV/AIDS masih di jalur yang benar? Menilik dari meningkatnya tingkat penjangkitan dan mortalitas dari HIV/AIDS secara global, jawabannya hampir negatif. Sayangnya, penelitian dan evaluasi program AIDS telah gagal untuk mempertimbangkan dampak pembangunan pada epidemi HIV serta dampak AIDS pada pembangunan. Kelalaian seperti itu bisa menyesatkan pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang tidak efektif tentang kebijakan, program dan alokasi sumber daya.3 Apakah ada orang yang bisa tidak khawatir bila dihadapkan dengan kehancuran yang diproyeksikan bisa terjadi akibat AIDS? Bisakah siapapun melepaskan pengembangan ekonomi dan manusia yang diraih dengan susah payah selama dua dasawarsa terakhir, yang memungkinkan mereka untuk menghapus AIDS? Bila tidak, apa yang dapat kita lakukan untuk menggunakan kebijaksanaan yang sudah ada untuk membangun ketahanan kita terhadap HIV/AIDS? Makalah ini menggagas prinsip bahwa pengelolaan demokratik harus diterapkan pada tingkat komunitas, nasional, regional dan internasional untuk membangun masyarakat yang tahan terhadap HIV yang bisa membuat sarana mereka sendiri untuk bangkit kembali dari kesulitan besar seperti HIV/AIDS. Meskipun tidak mungkin menjelaskan prinsip-prinsip pengelolaan demokratik dalam beberapa kata, penekanan termasuk hal berikut: (a) partisipasi, sensitivitas terhadap semua penyandang kepentingan (stakeholder) dan orientasi consensus; (b) pemerintahan berdasarkan hukum, transparansi serta akuntabilitas; dan (c) persamaan, ekuitas dan efisiensi. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip berikut: x
Prinsip pengelolaan demokratik membantu membangun ketahanan terhadap HIV, mengurangi kemiskinan dan bentuk-bentuk tertentu dari ketidaksamaan yang penting bagi prevalensi dan penyebaran HIV.
x
Suatu masyarakat yang tahan HIV berarti sebuah situasi dimana terdapat hak-hak asasi manusia dan keamanan; faktor-faktor ini, selanjutnya, memperkuat dasar untuk pengelolaan demokratik yang berkelanjutan.
vii
Meskipun pengelolaan demokratik adalah instrumen yang lazim dalam kerangka hak-hak kemanusiaan yang luas, sistem itu telah muncul hanya di tahun-tahun belakangan sebagai instrumen yang akan digunakan melawan penyebaran HIV/AIDS. Contohnya, UNDP South East Asia HIV and Development Programme (UNDP-SEAHIV)4 telah menerapkan pengelolaan demokratik dalam pekerjaannya sedapat mungkin. Meskipun kolaborasi UNDP-SEAHIV dengan Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan Cina baru dalam tahun kelimanya, bukti sudah muncul dari peran kritis yang dimainkan oleh pengelolaan baik dalam membangun ketahanan terhadap HIV di belahan dunia ini. Nilainya juga telah diakui di tingkat global. Pada 2003, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mendirikan Commission for HIV/AIDS and Governance di Afrika.5 Lebih banyak upaya ke arah ini sedang dikembangkan, namun di luar lingkup makalah ini untuk membeberkan semua itu. Makalah ini memberikan analisis dari beberapa keunggulan dan kelemahan dalam menerapkan prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan terhadap HIV. Tulisan ini menganalisa mekanisme untuk membangun ketahanan terhadap HIV yang juga membantu proses pengelolaan demokratik. Sebagai contoh, mekanisme yang membangun ketahanan terhadap HIV, yang selanjutnya membantu proses pengelolaan demokratik, meliputi hal berikut: x
Partisipasi dan sensitivitas;
x
Transparensi dan akuntabilitas;
x
Pemerintahan berdasarkan hukum.
Unsur-unsur yang menyolok dalam membangun ketahanan terhadap HIV adalah: x
Kepemimpinan dengan visi strategis;
x
Kelayakan dari respon;
x
Komitmen dari sektor-sektor multisektoral.
Istilah ‘multisektoral’ termasuk – selain dari sektor kesehatan – sektor pengembangan lain seperti pendidikan, keuangan, perencanaan, konstruksi, transportasi, agrikultur dan keadilan, semuanya saling dihubungkan dalam sebuah kemitraan tiga arah yang melibatkan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat serta bisnis swasta. Karena diperlukan 5-10 tahun sebelum gejala-gejala HIV muncul dan karena dampaknya adalah jangka panjang, membangun ketahanan terhadap HIV membutuhkan respon strategis jangka panjang.6 Pengelolaan baik dibutuhkan untuk memastikan komitmen multisektoral melalui sebuah pendekatan sistematis dengan visi jangka panjang dan mekanisme yang melindungi hak-hak asasi manusia. Satu faktor kritis untuk pengelolaan baik adalah kelayakan, misalnya, perspektif jangka panjang. Meski begitu, demokrasi dalam praktiknya, bila dihubungkan dengan siklus pemilihan untuk pejabat pemerintahan, cenderung mendukung solusi jangka pendek. Politisi cenderung mengkotak-kotakkan isu untuk hasil yang cepat. Mereka biasanya hanya memiliki sedikit insentif untuk jangka lebih panjang karena mereka harus menunjukkan hasil nyata dengan cepat kepada para pemilih untuk mendapatkan dan mempertahankan dukungan secara politis.
viii
Pengelolaan demokratik, selain melindungi hak-hak asasi manusia, bisa memudahkan suatu lingkungan yang memungkinkan untuk membangun masyarakat yang tahan terhadap HIV. Dalam mempromosikan ketahanan terhadap HIV, makalah ini mendukung pemikiran kritis untuk para pemimpin nasional, pembuat kebijakan, pengelola program dan donor. Seperti sudah dinyatakan sebelumnya, membangun ketahanan terhadap HIV melalui respon multisektoral yang mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan demokratik adalah sebuah proses jangka panjang. Namun pendekatan ini patut diikuti, karena bisa memberi kontribusi penting untuk melawan kecenderungan yang meluas dari pandemi HIV/AIDS. Pendekatan itu adalah pilihan penting yang tak boleh disepelekan. Di Asia Tenggara, UNDP memupuk kemitraan di antara pemerintah, masyarakat sipil, lembaga-lembaga penelitian dan organisasi antar pemerintah sebagai bagian dari sistem UNAIDS untuk membangun ketahanan terhadap HIV regional. Untuk mengatasi kelemahan itu sambil memanfaatkan kekuatan dari prinsip-prinsip pengelolaan demokratik, negara-negara Asia Tenggara telah mengembangkan strategi mereka sendiri; mereka telah menamakannya Sistem Respon Cepat Peringatan Dini (Early Warning Rapid Response System/EWRRS). Peringatan dini tak hanya memberi peluang untuk respon tepat dan pendekatan sistematis secara lokal, nasional, regional dan multisektoral, namun juga memungkinkan untuk menangani penyebab sosial ekonomi dan lingkungan dari kerentanan terhadap HIV, bukannya menangani hanya perilaku berisiko yang simptomatis. Gagasan untuk mengikutsertakan pengelolaan demokratik untuk memadukan ketahanan terhadap HIV dalam strategi HIV/AIDS bisa membawa dunia lebih dekat ke arah meraih dua dari Sasaran Pengembangan Milenium (Millenium Development Goals): x
Sasaran 6, yaitu untuk menghentikan dan mulai membalikkan penyebaran dari HIV/AIDS;
x
Sasaran 8, yaitu komitmen terhadap pengelolaan baik, pengembangan dan pengurangan kemiskikan secara nasional dan internasional. Rekomendasi
Karena HIV/AIDS mengancam masa depan manusia, rekomendasi berikut untuk tindakan pada berbagai tingkat bisa membantu membalikkan proses desentralisasi dengan mengikut-sertakan prinsip pengelolaan demokratik dalam respon terhadap HIV/AIDS:
Pada tingkat negara x
Mendukung dan mempromosikan prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan terhadap HIV Program AIDS pada tingkat nasional dan masyarakat – publik, non-pemerintah atau swasta – harus mengikutsertakan prinsip pengelolaan demokrati untuk meningkatkan efektifitas program tersebut dalam membangun ketahanan terhadap HIV. Mereka juga dapat melakukan hal ini dengan memastikan suatu proses perencanaan strategis participatory yang meliputi sektor-sektor pengembangan multiple; transparensi dalam memformulasikan keputusan pembuatan kebijakan tentang alokasi sumber daya yang adil, termasuk yang terkait dengan pengobatan anti-retrovirus; efisiensi dalam operasi; ketanggapan dalam pengantaran program; serta akuntabilitas untuk hasil-hasil sesuai dengan pemerintahan berdasarkan hukum. Prinsip-prinsip ini semuanya dimasukkan dalam sebuah Early Warning Rapid Response System yang berjalan, yang bisa menjadi contoh multisektoral yang berpotensi.
ix
Pada tingkat regional x Memperkuat kolaborasi dan koordinasi regional untuk mendukung respon negara Karena HIV tidak menghiraukan perbatasan saat menyebar, penting untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan, baik teknis maupun finansial, untuk membangun ketahanan terhadap HIV regional di daerah-daerah yang terkena dampak virus itu. Ini dapat dilakukan dengan memperkuat mekanisme pengelolaan demokratik regional, yang selanjutnya bisa memudahkan proses pengelolaan demokratik di tingkat negara. Oleh UNDP x
Memperkuat kemitraan untuk pengelolaan demokratik UNDP memiliki mandat untuk mempromosikan pengelolaan demokratik. Untuk tujuan ini, badan itu berada di posisi yang unik: kantornya di 136 negara bisa bermitra dengan negara-negara dalam menerapkan prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan tiap negara terhadap HIV. Upaya seperti itu akan mendukung Declaration of Commitment (Pernyatan Komitmen) yang dibuat di United Nations General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGASS) dan membantu dalam mencapai Millenium Development Goals.
Oleh para donor x
Memperluas kerangka dan lingkup bantuan untuk tindakan terhadap HIV Negara-negara donor harus bersikap proaktif dan memperluas kerangka bantuan mereka untuk HIV/AIDS melampaui fokus saat ini pada masalah kesehatan/medis, sehingga kerangka itu bisa menjadi sebuah kerangka pengembangan melalui mana dukungan bisa diberikan untuk tanggapan oleh berbagai sektor pengembangan, termasuk antara lain agrikultur, konstruksi, transport dan pertahanan, selain kepada sektor pendidikan dan kesehatan.
x
Mendukung respon regional dan antar negara Untuk menahan kemajuan pandemi tersebut, penting agar donor mendukung respon regional yang memberikan dimensi penting bagi program nasional yang mencoba menahan penyebaran HIV secara internasional.
x
Mempromosikan prinsip-prinsip pengelolaan demokratik Otoritas AIDS nasional harus mengkoordinir keragaman entitas yang menangani pendanaan HIV/AIDS dan mendirikan mekanisme pemantauan serta evaluasi yang konsisten, sehingga hasilnya bisa dibagi ke seluruh dewan. Ini akan meningkatkan respon programatik serta alokasi sumberdaya HIV/AIDS yang efektif dengan membantu strategi AIDS nasional, yang akan dihubungkan dengan rencana strategis pengurangan kemiskinan nasional.
Oleh para peneliti x
Mendengarkan orang dan komunitas untuk mempelajari bagaimana mereka menangani HIV/AIDS. Menciptakan kebijaksanaan orang untuk menghasilkan perangkat pendukung berbasis bukti.
x
Mengembangkan indicator untuk proses pengelolaan demokratik. Indicator transisi yang akan mengukur kemajuan kearah obyektif jangka panjang harus diikutsertakan untuk melawan praktik-praktik jangka pendek dari politisi yang khawatir tentang siklus electoral.
x
Menyempurnakan Early Warning Rapid Response System sambil memastikan penerapan prinsip pengelolaan demokratik dan kolaborasi multisektoral yang berguna dalam pendeteksian awal dari kejadian-kejadian yang bisa menandakan kondisi yang baik untuk penyebaran HIV/AIDS. Yang terutama, harus ditemukan cara-cara untuk mengurangi kelesuan dalam kelembagaan, sehingga memastikan bahwa peringatan bisa menghasilkan respon yang tepat waktu.
x
xi
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
PENDAHULUAN Pada September 2000, United Nations Millenium Summit mengadopsi Millenium Development Goals yang bersejarah itu. Seratus sembilan puluh satu Negara Anggota PBB berjanji untuk mencapai Tujuan itu pada 2015. Tujuan 6 ditujukan untuk menghentikan dan mulai membalikkan penyebaran HIV/AIDS. Tujuan 8 adalah komitmen untuk pengelolaan yang baik, pengembangan dan pengurangan kemiskinan secara nasional dan internasional.1 Tujuan 8 bukanlah sekadar tambahan. Mark Malloch Brown, Administrator UNDP, menyatakan bahwa satu dari kesimpulan penting dalam Millenium Summit adalah bahwa pengelolaan harus diperkuat untuk meraih semua Tujuan lainnya.2 Makalah ini didasarkan pada pengalaman dari UNDP South East Asia HIV and Development Programme (UNDPSEAHIV) dalam bekerja bersama negara-negara Asia Tenggara untuk menerapkan prinsipprinsip pengelolaan demokratik dalam membangun ketahanan terhadap HIV untuk rakyat di komunitas lokal, negara dan kawasan. Salah satu tujuan dari pendekatan gabungan ini adalah untuk memberikan sumbangan kepada solidaritas internasional dalam mencapai Millenium Development Goals menyangkut HIV/AIDS dan kemitraan pengembangan global. Pengalaman UNDP-SEAHIV mencerminkan keyakinan bahwa pengembangan hanya bisa berlanjut apabila rakyat yang terkena dampaknya turut serta dalam proses itu dan saat unsurunsur kemanusiaan turut dipertimbangkan. Makalah ini memberi analisis kekuatan dan kelemahan dalam menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan terhadap HIV. Makalah ini juga memberi analisis tentang mekanisme untuk membangun ketahanan terhadap HIV yang menyumbang pada proses pengelolaan demokratik. Beberapa konsep utama yang digunakan dalam makalah ini didefinisikan di bawah untuk menjelaskan relevansinya terhadap isu-isu HIV.
A.
Pengembangan manusia
Pengembangan manusia adalah proses memperluas pilihan rakyat untuk bisa hidup lama dan sehat, untuk memperoleh pengetahuan dan untuk memiliki akses ke sumber daya yang dibutuhkan untuk suatu standar kehidupan yang layak sambil melestarikan sumber daya itu bagi generasi berikutnya, melindungi keamanan pribadi serta meraih persamaan untuk semua orang, wanita dan pria.3 Ini berarti memberi pilihan-pilihan secara adil untuk orang yang hidup dengan HIV/AIDS, agar mereka bisa memperoleh prasarana untuk hidup selama mungkin serta sedapat mungkin bebas dari gejala-gejalanya. Ini juga berarti bahwa baik pria dan wanita harus memiliki akses ke informasi pencegahan dan perawatan HIV/AIDS sambil melindungi masa depan anak-anak mereka. Melindungi keamanan pribadi berarti menghormati HAM, mengurangi kemiskinan, menyelesaikan konflik dan memajukan pengelolaan demokratik. Faktor-faktor ini secara gabungan membantu mengurangi kerentanan terhadap HIV. Apa saja unsur-unsur penting dalam bereaksi secara efektif terhadap HIV/AIDS? Satu persyaratan utama untuk pengembangan manusia yang berkelanjutan yang dipromosikan oleh PBB adalah HAM. HAM bertindak sebagai platform untuk kontrol HIV. Ini berbeda secara mendasar dari strategi kesehatan publik yang digunakan melawan penyakit menular lainnya; strategi seperti ini meliputi pengucilan dan pemisahan. Ketika strategi kesehatan publik konvensional diterapkan pada orang yang terinfeksi HIV, pendekatan itu tak hanya melanggar HAM mereka namun juga memicu penyebaran epidemi tersebut. Rasa malu dan diskriminasi yang disebabkan oleh pemberian ‘cap’ serta pemisahan meningkatkan kerentanan orang terhadap HIV dan mengganggu kemampuan para professional kesehatan untuk membantu mereka yang paling membutuhkan.
12
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Dr. Jonathan Mann, Direktur pertama Global Programme on AIDS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sadar bahwa menjunjung HAM adalah penting dalam melawan HIV. Ia memperkenalkan dimensi HAM ke dalam respon HIV.4 Pendekatan berdasarkan hak asasi ini, yang disiapkan dalam International Conventions on Human Rights, menyediakan kerangka bagi para professional kesehatan publik untuk menangani penyebab mendasar dari infeksi HIV, bukan hanya gejala medis dari AIDS.5 Seperti dinyatakan oleh Mary Robinson, mantan United Nations High Commissioner for Human Rights, HIV/AIDS dianggap sebagai isu hakhak asasi manusia, namun sayangnya kita tidak cukup banyak mendengar tentang hal itu.6 Keamanan manusia berfokus pada keamanan rakyat dalam rumah, pekerjaan, komunitas dan lingkungan mereka. Konsep ini meliputi isu-isu ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, isu pribadi, komunitas dan keamanan politik.7 Bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS, keamanan seperti itu teramat penting untuk kelanjutan hidup berkesinambungan dengan penuh martabat dan kualitas hidup yang baik. Karenanya, definisi dari United Nations Commissions on Human Security bisa diterapkan ke dalam konteks HIV sebagai pelindung rakyat dari kerentanan HIV, membangun kekuatan serta aspirasi mereka, menciptakan sistem pengelolaan demokratik yang memberi pada orang dasar-dasar martabat, sumber mata pencaharian dan kelangsungan hidup.8 Tujuan dari keamanan manusia adalah mengembangkan kemampuan orang dan komunitas untuk membuat pilihan pintar mengenai kehidupan mereka, dan untuk mengakui orang sebagai peserta aktif dalam menentukan kemakmuran mereka sendiri.9 Pengembangan manusia berkelanjutan dan keamanan manusia adalah saling memperkuat. Commission on Human Security mendorong dua strategi yang saling berhubungan: perlindungan dan pemberdayaan. Perlindungan, melindungi orang dari bahaya atau melindungi mereka dari penularan HIV. Upaya-upaya gabungan dibutuhkan untuk mengembangkan norma-norma, prosedur dan lembaga yang secara sistematis menangani keamanan dan rasa ketidakamanan.10 Pemberdayaan, memungkinkan orang untuk mengembangkan potensi mereka sendiri dan menjadi peserta penuh dalam pembuatan keputusan tentang isu-isu yang mempengaruhi kehidupan individu mereka. Dalam konteks HIV/AIDS, pemberdayaan berarti menciptakan suatu lingkungan yang memudahkan di mana orang memiliki informasi yang dibutuhkan, sarana serta pilihan dalam membuat keputusan tentang kehidupan mereka dan dalam melindungi diri mereka sendiri dari HIV/AIDS. Pemberdayaan mengurangi ‘risiko manusia yang berbahaya’ diluar ‘pertumbuhan ekonomi dengan keadilan’.11 Pengelolaan demokratik bisa bertindak sebagai penjamin keamanan manusia, jadi mempromosikan ketahanan terhadap HIV untuk sebuah komunitas, negara dan kawasan; selain itu juga bisa melakukannya secara internasional. Apakah prinsip-prinsip pengelolaan demokratik yang bisa diterapkan dalam konteks HIV/AIDS?
B.
Pengelolaan demokratik
UNDP mendefinisikan pengelolaan sebagai penerapan dari otoritas politik, ekonomi dan administratif dalam pengelolaan urusan-urusan sebuah negara di semua tingkat. Pengelolaan terdiri dari mekanisme, prosedur dan lembaga yang rumit lewat mana rakyat dan grup-grup mengekspresikan minat mereka, menengahi perbedaan mereka dan menerapkan hak-hak legal serta kewajiban mereka. Pengelolaan baik memiliki banyak ciri, seperti participatory, transparan dan bertanggung jawab. Pengelolaan baik itu efektif dalam memanfaatkan sumber daya secara maksimal, bersifat adil dan mempromosikan perundang-undangan.12 Ada tiga pemain utama yang terlibat dalam pengelolaan yang baik: negara, masyarakat sipil dan sektor swasta.13 Demokrasi adalah sistem pemerintahan dimana keputusan bersama dan persamaan hak dijalankan di bawah kontrol umum.14 Demokrasi membutuhkan ‘orientasi rakyat’.15 Dalam masyarakat demokratik, rakyat memiliki kebebasan untuk berpartisipasi secara langsung
13
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
maupun tidak langsung melalui pemilihan wakil atau lembaga yang cocok untuk mengekspresikan keinginan mereka dalam keputusan kebijakan atau program yang mempengaruhi kehidupan mereka. Unsur kunci utama dari pengelolaan demokratik adalah partisipasi rakyat. Organisasi masyarakat sipil sering dibentuk oleh rakyat; organisasi tersebut adalah untuk rakyat dan dari rakyat,16 dan mitra penting dalam pengelolaan demokrtik. Pemeliharaan demokrasi perlu terus-menerus mempromosikan akses setara ke arah HAM dan kebebasan sipil untuk semua orang, serta memastikan perdamaian dan keamanan, kebebasan berekspresi serta berorganisasi, perlakuan yang adil dan manusiawi untuk rakyat, penduduk dan pendatang.17 Pengelolaan demokratik melibatkan diakuinya ketergantungan bersama serta perlunya negosiasi antara beberapa grup dan sudut pandang berbeda dalam mencapai solusi untuk masalah-masalah umum. Pengelolaan dan demokrasi yang baik dan saling memperkuat.18 Demokrasi berarti toleransi terhadap keberagaman dan tidak melakukan diskriminasi atau mencap orang lain sebagai bernoda, seperti yang dijamin oleh peraturan perundangan. Dalam sebuah masyarakat yang benar-benar demokratik, orang yang hidup dengan HIV/AIDS akan menikmati perdamaian dan keamanan seperti orang lainnya. Mereka bisa membentuk organisasi; mereka tak akan mengalami diskriminasi atau dianggap membawa aib; dan mereka akan diperlakukan secara adil dan manusiawi oleh negara. Sayangnya, perlakuan terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS di banyak masyarakat yang terlihat demokratik menunjukkan bahwa mereka masih jauh dari meraih status ini. Jadi, mungkin saja masyarakat demokratik yang ada saat ini masih sedang mengarah ke pencapaian pengelolaan demokratik penuh. Menurut Administrator UNDP, pengelolaan demokratik yang efektif jelas belum menjadi realitas.19 Pengelolaan demokratik adalah mata rantai yang hilang dalam membangun ketahanan terhadap ancaman transnasional yang berkembang seperti HIV/AIDS.20 Ini adalah satu dari banyak bidang dimana aspek-aspek yang saling memperkuat dari demokrasi dan pengelolaan itu menjadi relevan.21 Dalam menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan demokratik HIV/AIDS, dapat dilihat kecocokan dalam hal-hal berikut: x
Partisipasi, sensitivitas terhadap semua penyandang kepentingan dan orientasi consensus
Konsep-konsep ini membutuhkan mediasi antara beberapa kepentingan berbeda untuk mencapai consensus meluas tentang kepentingan terbaik sebuah grup. Semua pria dan wanita harus memiliki suara dalam pembuatan keputusan. Demokrasi mengakui kemampuan orang untuk memilih wakil-wakil mereka dan menanggalkan yang tak lagi mencerminkan aspirasi atau kepentingan rakyat. Dalam menerapkan prinsip ini ke HIV, kita bisa meneliti, misalnya, apakah dalam mengembangkan kebijakan HIV, para pembuat kebijakan telah mempertimbangkan secara adil suara pria dan wanita, dan dampak potensial yang mungkin ada dari kebijakan yang digagaskan pada mereka. Ini tidak bisa dibandingkan dengan demokrasi seperti yang dipraktikkan oleh negara atau kumpulan negara tertentu; sebaliknya pengelolaan demokratik didasarkan pada sekumpulan prinsip dan nilai inti yang memungkinkan rakyat kecil untuk berpartisipasi sekaligus melindungi mereka dari tindakantindakan subyektif dan tidak jelas terhadap kehidupan mereka oleh pemerintah atau kekuatan lainnya.22 x
Peraturan perundangan, transparansi dan akuntabilitas
Kerangka legal haruslah adil, menjunjung hak asasi manusia dan bisa dilaksanakan secara adil. Prosedur, lembaga dan informasi harus bisa diakses dan dimengerti oleh rakyat, agar mereka dapat memantau aspek-aspek tersebut. Para pembuat keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil bertangung jawab pada publik dan pada penyandang kepentingan kelembagaan dalam menerapkan undang-undang dan peraturan. Dalam menerapkan prinsip ini ke dalam konteks HIV, kita bisa mempertimbangkan apakah undang-
14
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
undang dan peraturan tentang HIV/AIDS saat ini memenuhi kondisi dan prinsip tersebut dalam penerapan dan penegakkannya. x
Ekualitas, ekuitas dan efisiensi
Semua pria dan wanita harus memiliki peluang untuk memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Lembaga dan prosedur mereka harus memanfaatkan sumber daya semaksimal mungkin untuk memberi hasil yang memenuhi kebutuhan rakyat. Contohnya, saat mempertimbangkan akses ke pengobatan untuk AIDS, apakah prinsip-prinsip ini telah diterapkan dengan benar? Prinsip-prinsip pengelolaan demokratik yang disebutkan di atas juga mendukung pengembangan manusia yang berkelanjutan. Pengelolaan demokratik adalah sebuah nilai, prosedur dan praktik.23 Pengelolaan itu bisa diterapkan secara universal untuk semua rakyat dan semua negara, dan praktiknya bisa membangun ketahanan terhadap HIV. Bentuk demokrasi yang dipilih masyarakat untuk dikembangkan bergantung pada sejarah serta kondisinya. Negara-negara akan secara otomatis mengikuti jalur-jalur berbeda ke arah demokrasi. Bagaimanapun juga, di semua negara, demokrasi membutuhkan suatu proses lebih mendalam dari pengembangan politik untuk menanamkan nilai-nilai demokratik dan budaya di semua bagian masyarakat – sebuah proses yang tak satu negara pun telah menyelesaikan secara formal.24
C.
Membangun sebuah masyarakat yang tahan terhadap HIV
Proses-proses pengembangan tidaklah bersikap netral terhadap HIV/AIDS. Dalam kata lain, ‘pengembangan’ tidak berarti menurunkan kesempatan untuk penyebaran infeksi HIV. Bentuk-bentuk pengembangan yang tidak berorientasikan rakyat atau yang mengorbankan pengembangan manusia untuk manfaat ekonomi sebenarnya meningkatkan kerentanan terhadap HIV, terutama bagi orang miskin, dan bahkan bisa memperburuk epidemi HIV. Misalnya, globalisasi dari ekonomi dunia telah menstimulasi pergerakan orang dan barang yang tak pernah terjadi sebelumnya, baik secara domestik maupun internasional. Mayoritas orang yang sedang berpindah mencari alternatif dan peluang untuk meningkatkan mata pencaharian mereka, untuk keluar dari kekurangan kronis, kejatuhan ekonomi yang tiba-tiba atau bencana alam.25 Yang lainnya terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka karena konflik atau pelanggaran HAM serius.26 Ketika orang menjauhi tempat tinggal dan budaya mereka, mereka memiliki akses lebih kecil ke arah jaringan sosial yang mendukung dan mungkin mendapat perlakuan berbeda. Banyak – bila bukan sebagian besar – kekurangan legalitas untuk berdiam di tempat ke mana mereka telah pindah. Semua kondisi ini meningkatkan kerentanan orang yang sedang berpindah. Jadi, perlu untuk membangun kemampuan mereka untuk berasimilasi dan melindungi nilai-nilai sosial mereka, kesehatan dan kemakmuran mereka, meski dengan kejutan akibat meninggalkan dasar-dasar budaya, sosial dan ekonomi mereka yang sebelumnya. Karenanya membangun ketahanan rakyat untuk berhadapan dengan masa-masa sulit merupakan tugas penting. Ketahanan rakyat terhadap HIV harus dipupuk untuk membuat orang merasa aman saat terjadi krisis. Ketahanan seperti itu harus dibangun untuk memungkinkan orang dan komunitas mengatasi dampak sosial dan ekonomi HIV yang menghancurkan dan untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan.27 Organisasi sosial dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial mendasar dari rakyat. Misalnya, akses ke pemilikan tanah, kredit, pendidikan dan perumahan, terutama bagi wanita miskin, merupakan kebutuhan amat penting. Suatu distribusi yang adil dari sumber daya adalah kunci ke arah keamanan mata pencaharian dan dapat meningkatkan kemampuan serta kreativitas rakyat sendiri. Saat ini, tiga perempat dari penduduk dunia tidak dilindungi oleh sebuah sistem keamanan sosial, dan mereka tak
15
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
memiliki kerja yang tetap. Langkah-langkah perlindungan sosial dan jaring pengaman sosial sering dianggap terlalu mewah untuk negara-negara berkembang, sesuatu yang harus dipertimbangkan, begitu negara itu telah menjadi ‘maju’. Namun, dihadapkan dengan AIDS, jaring pengaman sosial dan perlindungan menjadi syarat minimal untuk memastikan kelangsungan sebuah masyarakat di masa depan. Satu bentuk perlindungan yang perlu dibentuk oleh Negara, yang didukung oleh komunitas internasional, adalah sistem peringatan dini. Satu persyaratan lagi adalah dibentuknya langkah-langkah preventif untuk bencana alam serta krisis ekonomi atau finansial.28 Analisis dari mekanisme dalam membangun ketahanan terhadap HIV dari contoh beberapa negara dalam bagian I dan II makalah ini menunjukkan unsur-unsur umum berikut: x
Kepemimpinan dengan visi strategis. Seorang pemimpin yang memiliki visi strategis untuk membentuk upaya masyarakat melawan penyebaran HIV dan untuk memupuk kemitraan di antara bermacam sektor pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil, menonjol sebagai salah satu faktor utama dalam membangun ketahanan terhadap HIV. Visi ini mencerminkan pemahaman dari kerumitan historis, budaya dan sosial29 dari masyarakat yang terlibat.
x
Ketepatan waktu. Respon yang kuat sangat penting untuk membatasi penyebaran epidemi HIV. Pemilihan waktu dari respon pada tahap awal dari suatu epidemi nasional akan menguntungkan dalam mencegah penderitaan manusia, ekonomi dan sosial. Kepemimpinan juga bisa berperan penting dalam hal ini.
x
Partisipasi yang kuat dan efektif oleh masyarakat sipil. Hanya bila rakyat di tingkat akar rumput benar-benar terlibat dalam perencanaan, perancangan dan pelaksanaan respon, barulah hasil-hasil berkesinambungan yang bermanfaat bagi rakyat bisa tercapai. Masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam mengisi celah-celah dalam upaya pemerintah.
x
Respon sistem multisektoral. Istilah ‘multisektoral’ -selain dari sektor kesehatan, sektorsektor pengembangan lain seperti pendidikan, keuangan, perencanaan, konstruksi, transportasi, agrikultur dan kehakiman- termasuk sebuah kemitraan tiga arah yang melibatkan pemerintah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan bisnis swasta.
x
Transparansi dan akuntabilitas. Ketika informasi bisa diakses rakyat dan saat pemerintah, LSM, para donor, lembaga dan rakyat bertanggung jawab untuk konsekuensi dari tindakan atau tak adanya tindakan dari mereka, maka upaya-upaya efektif dan berkesinambungan bisa benar-benar direalisasikan.
x
Mekanisme-mekanisme yang saling memperkuat dalam membangun ketahanan terhadap HIV diperlihatkan dalam Gambar 1. Gambar 1. Mekanisme untuk membangun masyarakat yang tahan terhadap HIV30
16
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
D.
Early Warning Rapid Response System31
Mekanisme ini menunjuk pada sebuah kerangka yang digagaskan untuk memudahkan diperkenalkannya serta diterapkannya prinsip pengelolaan demokratik dalam membangun ketahanan terhadap HIV – Early Warning Rapid Response System (Sistem Respon Cepat Peringatan Dini). Sistem seperti ini bisa dirancang bersama oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS, orang di komunitas pedesaan, LSM, pemerintah, rekan-rekan sponsor dan peneliti UNAIDS untuk memungkinkan sebuah komunitas untuk: x
Mengidentifikasi aktifitas atau pemantauan utama yang berhubungan dengan pengembangan; misalnya, keputusan untuk membangun jalan melalui sebuah komunitas, atau mencatat bahwa jumlah anak-anak wanita yang keluar dari sekolah sedang meningkat, atau terjadinya kejadian alami seperti kekeringan atau banjir, semuanya mungkin menciptakan shock atau stres pada komunitas;
x
Menganalisa kemungkinan dampak pada kerentanan pribadi dan komunitas.
Begitu dampak-dampak negatif yang mungkin terjadi telah ditentukan, Sistem itu akan: x
Memberi peringatan pada rakyat atau lembaga yang terkait; misalnya, bisa melibatkan otoritas kesehatan nasional, para perencana pengembangan pemerintah dan koperasi agrikultur.
Begitu peringatan dini telah diterima, orang-orang atau lembaga itu bisa membuat keputusan untuk: x x
Memicu tindakan untuk mengembangkan respon yang layak dan menerapkan tindakan-tindakan ini dengan tujuan memperkuat ketahanan individu dan komunitas; Memantau dan mengevaluasi hasil-hasil dari setiap tindakan yang dipicu peringatan untuk menyempurnakan sistem melalui mekanisme feedback-nya, sehingga akan menjadi semakin efisien; ini juga akan memberi dampak memastikan akuntabilitas para pemain individu di dalam Sistem dan untuk setiap langkah yang mereka ambil.
Sistem ini meliputi prinsip-prinsip pengelolaan demokratik serta mekanisme untuk membangun ketahanan terhadap HIV: partisipasi rakyat terjadi dalam mengembangkan sistem itu serta dalam memantau tanda-tanda peringatan dan menganalisa ancaman potensial terhadap pengambil tindakan; proses-proses pembuatan keputusan yang trasnsparan, respon yang efisien dan tepat waktu serta akuntabilitas, semuanya ada karena sistem tersebut diciptakan dan dijalankan oleh orang yang akan mengambil manfaat dari hal itu. Karena tindakan-tindakan akan dipicu berdasarkan keinginan untuk memperbaiki ketahanan terhadap HIV dari orang-orang di dalam komunitas, peraturan perundang-undangan akan diikuti. Sistem membutuhkan akuntabilitas dari para pemimpin dan pemain di setiap tahap dalam lingkaran sistem. Selain itu, sistem membutuhkan sensitivitas dari para pembuat keputusan dan pemain. Sistem juga membutuhkan visi strategis dari para pemimpin untuk memprediksi kemungkinan hubungan antara pemberi stres dan shock terhadap sebuah komunitas dan kerentanannya. Rincian lebih banyak tentang sistem dan bagaimana sistem itu mencerminkan prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan terhadap HIV dibicarakan dalam bagian III. Secara ringkas, prinsip pengelolaan demokratik bisa digunakan untuk memeriksa aktivitas dan proses pengembangan untuk tujuan mengidentifikasi bentuk-bentuk pengembangan yang sesunggunya membangun masyarakat yang tegar. Dalam hal ini, prinsip pengelolaan demokratik bisa diperhitungkan oleh program-program dan respon terhadap HIV/AIDS sebagai panduan jaminan mutu untuk membangun ketahanan terhadap HIV. Prinsip pengelolaan demokratik bisa membentuk suatu alat penilai untuk alokasi sumber daya bagi
17
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
sebuah program HIV yang digagaskan. Namun, pengukuran untuk indikator pengelolaan demokratik masih belum dikembangkan. Saat ini, melalui UNDP Oslo Governance Centre serta banyak mitra lainnya di seluruh dunia, sedang disiapkan upaya-upaya untuk mengisi kekosongan ini.
18
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
I. PRINSIP PENGELOLAAN DEMOKRATIK MEMUDAHKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT YANG TAHAN HIV Selama lebih dari dua dasawarsa HIV/AIDS telah berakar dalam masyarakat. Meski upayaupaya gabungan oleh sektor kesehatan telah membuat kemajuan besar dalam meningkatkan kelangsungan hidup dari mereka yang terinfeksi, masih belum tampak adanya penangkal. Sayangnya, prevalensi penularan HIV baru terus menghantui sebagian besar negara berkembang. Dampak sosial ekonomi jangka panjang sangatlah besar. Pandemi HIV/AIDS menghilangkan kemajuan selama beberapa dasawarsa dalam mengurangi kemiskinan. Aktivitas pengembangan yang berfokus pada memaksimalkan manfaat ekonomi tanpa menempatkan kepentingan rakyat sebagai pusatnya hanya bisa menghasilkan kekayaan jangka pendek, dan melemahkan kemampuan berkelanjutan dari manfaat tersebut dalam bentuk biaya lebih besar yang berkaitan dengan HIV/AIDS di masa depan, baik manusia maupun ekonomi.32 Aspek-aspek dari masalah ini dibicarakan di bawah ini.
A.
Pengelolaan demokratik dan HIV – Apakah ada hubungannya?
Dilihat sekilas, kita mungkin bertanya-tanya adakah relevansi dalam mempertimbangkan pengelolaan sebagai suatu cara pencegahan HIV dan mengurangi dampak AIDS. Sebuah ulasan singkat secara global menunjukkan bahwa negara-negara yang telah mencapai tingkat lanjut dari pengembangan manusia dan telah mengembangkan suatu proses pengelolaan demokratik yang efektif diasosiasikan dengan prevalensi HIV yang lebih rendah.33 Gambar 2. Korelasi antara Indeks Pengembangan Manusia Glogal, Indeks Pengembangan Berkaitan Gender dan prevalensi HIV34
Prevalensi HIV Global & Indeks Pengembangan Manusia
Prevalensi HIV Global & Indeks Pengembangan Berkaitan Gender
40
40 35
30
HIV prevalence (%)
HIV prevalence (%)
35
25 20 15 10 5 0 0.20
30
25
20
15
10
5
0.30 Hsu, Lee-Nah 02 September 03
0.40
0.50
0.60
0.70
Human Development Index
0.80
0.90
1.00
0 0.20
0.30
Hsu, Lee-Nah 03 September 03
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
Gender-related Development Index
Kedua scattergram dalam gambar 2 memperlihatkan sebuah korelasi secara global antara Indeks Pengembangan Manusia (HDI) dan Indeks Pengembangan Berkaitan Gender (GDI), dan prevalensi HIV di negara-negara itu. Indeks Pengembangan Manusia adalah sebuah indeks gabungan yang mengukur pencapaian rata-rata dalam tiga dimensi mendasar dari pengembangan manusia: hidup yang panjang dan sehat, pengetahuan serta standar kehidupan yang layak. Indeks Pengembangan Berkaitan Gender menggunakan indikator pengembangan yang mirip dengan HDI namun berfokus pada membandingkan bagaimana kedua indeks itu berhubungan dengan wanita pria. GDI didasarkan pada ekspektasi panjang kehidupan saat lahir; tingkat melek huruf dewasa pada yang berusia 15 keatas; menggabungkan rasio pendaftaran bruto di SD, SLTP dan SMU; dan perkiraan penghasilan yang diperoleh, semuanya membandingkan wanita dan pria. Semakin maju sebuah negara dalam hal pengembangan manusia dan pengembangan yang berkaitan gender, semakin dekat indeks itu ke angka 1. Dalam kata lain, semakin dekat sebuah negara ke nol dalam hal kedua indeks ini,
19
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
semakin lebar perbedaannya dalam hal pengembangan manusia dan pengembangan berkaitan gender. Tampaknya tingkat rendah dari persamaan gender dan tingkat rendah dari pencapaian pengembangan manusia memiliki beberapa kaitan dengan tingginya prevalensi HIV, dengan beberapa pengecualian penting seperti ditunjukkan dalam gambar 2.35 Secara empiris, kita menemukan bahwa ketidak-adilan gender itu, pada tingkat pendaftaran sekolah dan pendapatan, memicu jenis ketidakadilan sosial yang menyumbang pada kerentanan wanita terhadap infeksi. Bagaimanapun juga, gambar ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan relevansi dari pengembangan dan gender terhadap kerentanan HIV. Data dan studi yang tersedia tidak menunjukkan adanya hubungan kausal. Dalam kasus ini, indeks gender terkena hambatan yang sama dengan HDI, karena diambil dari HDI. Yang diperiksa selanjutnya adalah korelasi global antara Gini Index, Human Poverty Index (HPI) dan prevalensi HIV (lihat gambar 3). Gini Index mengukur sejauh mana distribusi penghasilan (atau konsumsi) diantara individu atau rumah tangga dalam sebuah negara berdeviasi dari sebuah distribusi yang sangat seimbang. Nilai nol berarti ekualitas sempurna; nilai 100, inekualitas sempurna.36 HPI mencerminkan tidak hanya kemiskinan penghasilan namun juga indikator dari ketimpangan distribusi sumber daya, yang keduanya adalah faktor yang berdampak sangat buruk pada panjangnya usia, tingkat melek huruf dewasa, populasi dengan akses berkelanjutan ke sumber air yang lebih baik, dan anak-anak dengan berat tubuh dibawah rata-rata untuk kelompok usia mereka.37 Angka-angka ini hanyalah upaya untuk menarik korelasi secara kuantitatif, bila tidak adanya indikator kuantitatif yang baik untuk pengelolaan demokratik. Distribusi penghasilan dan sumber daya berhubungan dengan ekuitas, yang merupakan komponen dari pengelolaan demokratik. Sama seperti pengelolaan demokratik yang sempurna tidak terdapat dimanapun di dunia, distribusi sumber daya yang sempurna, bahkan ;pada apa yang disebut negara-negara maju, tidaklah ada. Namun, cara dimana inekuitas distribusi sumber daya terjadi bila ada HIV tercermin dalam jeda pada pengembangan ekonomi antara negara. Di sepanjang kisaran dari negara termiskin hingga terkaya, kaum miskin berupaya untuk mencoba mengakses sumber daya dan penghasilan; yang kaya menggunakan penghasilan dan sumber daya mereka untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Fenomena ini memiliki banyak dampak. Salah satunya, hal itu melanjutkan secara global perdagangan manusia dan perdagangan seks yang sangat menguntungkan. Pada tingkat individu di bawah kondisi inekuitas penghasilan dan sumber daya, seks sering digunakan untuk kekuasaan dan pengaruh di satu sisi, dan sebagai substitusi untuk uang disisi lainnya. Gambar 3. Korelasi antara Gini Index, Human Poverty Index dan Prevalensi HIV38
Prevalensi HIV global & Human Poverty Index
Prevalensi HIV global & Gini Index 40
40
35
30
HIV prevalence (%)
HIV prevalence (%)
35
25 20
15
30
25
20
15
10
10 5
5 0 20
0 0
20
10
Hsu, Lee-Nah 03 September 03
20
30
40
Human Poverty Index
50
60
70
30
Hsu, Lee-Nah 03 September 03
40
50
Gini Index
60
70
80
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Seperti disebutkan sebelumnya, aktivitas pengembangan yang terutama berfokus pada memaksimalkan manfaat ekonomi tanpa menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan demokratik dan tanpa mengkhawatirkan pengembangan manusia yang berkelanjutan dapat menghasilkan kekayaan jangka pendek, serta mengorbankan kesinambungan dalam bentuk keharusan membayar biaya, baik terhadap manusia maupun ekonomi akibat HIV/AIDS di masa depan. Jadi, pengembangan itu tertantang. Sebaliknya, proses pengelolaan demokratik menangani isu distribusi penghasilan dan sumber daya dan karena itu terkait dengan latar belakang ke arah kerentanan HIV yang mendorong individu untuk mengambil risiko yang dalam kondisi biasa tak akan mereka lakukan, bila saja lingkungan lebih menguntungkan untuk mata pencaharian mereka.39
B. Menerapkan prinsip pengelolaan demokratik bisa memudahkan respon efektif terhadap HIV
Pengelolaan demokratik bercirikan partisipasi penuh dari pemilih, peraturan perundangan, transparansi dan sensitivitas terhadap komunitas, ekuitas, efektivitas dan akuntabilitas. Unsurunsur ini saling memperkuat dan bisa menjadi alat efektif dalam mengurangi kerentanan HIV. Pengelolaan demokratik juga merupakan barang milik publik. Keputusan tentang kebijakan publik dalam suatu tatanan di mana sumber dayanya langka, seperti kebijakan menyediakan terapi anti-retrovirus, akan selalu melibatkan prioritisasi tentang bagaimana orang seharusnya mendistribusikan sumber daya di antara grup-grup penduduk yang berbeda. Orang memiliki pemahaman berbeda dari apa yang disebut baik. Agar sebuah proses pembuatan keputusan yang demokratik bisa direalisasikan sebagai barang publik, penting untuk menyebutkan kondisi yang diperlukan untuk sebuah keputusan atau pilihan yang dipertimbangkan. Untuk mencapai hal ini, orang yang bersangkutan perlu memiliki akses ke informasi akurat tentang konsekuensi dari beberapa pilihan kebijakan berbeda. Ini termasuk informasi yang diberikan oleh pakar relevan. Juga perlu untuk menyediakan cukup waktu untuk musyawarah, termasuk paparan terhadap sudut-sudut pandang berbeda.40 Penting untuk menunjukkan bahwa keputusan oleh suara mayoritas mungkin tidak seharusnya bebas kritikan. Sering ada keyakinan yang salah bahwa pemerintahan mayoritas adalah inti demokrasi. Masalah dengan mayoritarianisme adalah bahwa suatu mayoritas sederhana itu sendiri bisa melanggar prinsip ekualitas politik karena menghasilkan keputusan yang mungkin merugikan atau tidak adil dibanding mereka yang dalam posisi minoritas.41 Contoh berikut menggambarkan bahaya dari proses pembuatan keputusan mayoritarian di mana hasilnya benar-benar mendiskriminasikan grup-grup masyarakat yang paling rentan. Kerala State memiliki tingkat tertinggi pendidikan di India. Namun, para orang tua yang berpendidikan tinggi di Kerala telah menentang diterimanya anak-anak dari keluarga yang terjangkit HIV/AIDS ke sekolah-sekolah. Ini dilakukan meski para orang tua telah mendapatkan informasi yang jelas dan ilmiah bahwa menerima anak-anak yang terkena dampak AIDS tak akan membahayakan anak-anak sekolah lainnya. Otoritas pendidikan lokal menerima keputusan mayoritas itu, yaitu keputusan para orang tua yang berpendidikan tinggi itu. Ini adalah kasus di mana keputusan oleh permintaan khalayak ramai menghasilkan diskriminasi lebih jauh terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS atau para anggota keluarga mereka, sehingga melanggar hak-hak mereka.42
21
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Contoh ini menggambarkan prinsip penting dalam menempatkan pengawasan berimbang pada tempatnya untuk mencegah penindasan oleh mayoritas. Dalam situasi seperti itu, cabang resmi dari pemerintah bisa membalikkan keputusan dari system sekolah itu. Situasi seperti ini memperlihatkan pentingnya pengelolaan demokratik. Adalah suatu pelanggaran peraturan perundangan untuk mendiskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Bila prinsip-prinsip pengelolaan demokratik diterapkan, opini mayoritas dalam kasus Kerala tak akan bisa menentang digunakannya undang-undang anti diskriminasi. Barang publik adalah apa yang ditentukan sendiri oleh rakyat, berdasarkan prosedur musyawarah di mana semua pihak diperlakukan setara. Kita harus menekankan bahwa ekualitas adalah prinsip kritis dalam demokrasi. Sayang bahwa bahkan sampai saat ini, dalam masyarakat yang kelihatannya demokratik HAM sering tidak diterapkan yang menyebabkan para penyandang HIV/AIDS atau mereka yang diasosiasikan dengan penyakit itu tidak mendapat hak untuk menyuarakan keprihatinan mereka, atau pilihan mereka tidak benarbenar dimasukkan ke dalam pertimbangan. Kasus diatas memperlihatkan pentingnya proses pengelolaan demokratik bagi semua pemberi suara, termasuk penyandang HIV/AIDS. Berikut ini adalah beberapa poin utama untuk menjelaskan proses tersebut.
22
x
Peraturan perundangan merujuk tak hanya pada pengadopsian undang-undang, RUU dan peraturan namun juga pada jaminan bahwa pemberi suara benar-benar sadar akan hak-hak mereka dan cara dengan mana mereka dapat memperbaiki kehidupan mereka di dalam kerangka dan kebijakan yang legal. Peraturan perundangan mendorong dipahaminya hal-hal legal dan termasuk pengurangan segala bentuk diskriminasi, terutama yang berkaitan dengan para penyandang HIV/AIDS, kaum wanita, minoritas dan pekerja migran (baik domestik dan asing). Peraturan perundangan memberdayakan orang, terutama wanita untuk menyumbang pada pengurangan pelecehan, perdagangan manusia serta bentuk-bentuk lain dari perlakuan tidak wajar di dalam mana penyebaran HIV bisa tumbuh berkembang.
x
Transparansi membutuhkan akses ke informasi. Ini melibatkan jauh lebih banyak dari sekadar penyebaran informasi tentang pencegahan HIV. Informasi seperti itu harus mengikutsertakan penjelasan dari prosedur yang akan membantu orang dalam membangun keahlian hidup mereka serta membuat keputusan. Ini berarti bahwa orang akan mendapat akses ke informasi yang dibutuhkan untuk memandu pembuatan keputusan mereka sendiri karena hal itu berkaitan dengan cara mereka mencari penghasilan dan mengejar aspirasi kehidupan mereka.
x
Akuntabilitas berlaku bagi semua anggota masyarakat. Individu penyandang HIV/AIDS bertangung jawab untuk tidak menyebarkan penyakit itu dengan sengaja. Para penyandang HIV/AIDS juga bertangung jawab atas tindakan atau kurangnya tindakan mereka dalam menanggapi HIV/AIDS. Pemerintah bertangung jawab untuk menyediakan respon tepat waktu secara transparan dan memperlihatkan rasa hormat pada peraturan perundangan dalam hal HIV/AIDS. Komunitas, termasuk organisasi masyarakat sipil, bertangung-jawab untuk memberikan apa yang mereka gagaskan. Para donor dan organisasi internasional (baik pemerintah maupun LSM) juga bertangung-jawab untuk tidak menciptakan lebih banyak ketergantungan lewat brosur-brosur gratis, yang akan merusak perekonomian lokal, serta untuk tidak menciptakan sistem-sistem, peraturan dan prosedur paralel untuk pemberian beasiswa dan pinjaman yang dapat semakin melemahkan proses pengelolaan demokratik.43 Saat ini, ada situasi aneh di beberapa negara di mana pendanaan eksternal untuk HIV/AIDS sebenarnya melampaui pengeluaran publik. Jadi, pihak luar bisa memberi
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
pengaruh lebih besar terhadap kebijakan dan strategi AIDS nasional daripada pemerintah. Selain itu, sumber-sumber pendanaan seperti itu tak akan bisa dipertanggung-jawabkan ke rakyat di dalam negara sehubungan dengan konsekuensi keputusan atau kebijakan mereka. x
Kecepatan amat penting dalam menanggapi kebutuhan penyandang HIV/AIDS dan kebutuhan orang pada umumnya agar mengurangi kerentanan mereka terhadap HIV. Sebuah proses pengelolaan yang responsive mencerminkan kepemimpinan pada semua tingkat: individu, komunitas, subnasional, nasional, regional dan internasional.
C.
Mekanisme untuk membangun masyarakat yang tahan HIV
Dunia telah menanggapi HIV dalam berbagai cara. Beberapa respon ternyata tidak efektif melawan epidemi HIV, di mana respon lainnya membangun masyarakat yang tahan HIV. Studi kasus berikut memudahkan analisis dari berbagai mekanisme yang terlibat dalam membangun ketahanan terhadap HIV. Kasus Brasil Tanggapan nasional Brasil terhadap HIV telah memungkinkan masyarakat itu untuk hidup dengan HIV. Respon tersebut dimulai dalam sebuah pemerintah yang demokratik. Pada awal 1990an, Pemerintah Brasil mengakui ancaman dari HIV/AIDS dan membuat sebuah strategi AIDS nasional. Strategi itu membutuhkan pemberian pengobatan gratis; dimulainya sebuah kampanye media massa besar melalui acara TV jam tayang utama untuk menyebarkan pesanpesan pencegahan HIV; serta pembagian kondom gratis pada para pekerja seksual. Pada Maret 2002, Brasil mencatat total sebanyak 237.588 kasus AIDS, 110.651 diantaranya telah meninggal dan 125.000 sedang menjalani terapi anti-retrovirus (ART). Sekitar 10.000 hingga 15.000 orang di Brasil tertular setiap tahunnya.44 Keputusan Pemerintah Brasil itu adalah berani di saat tak satu pemerintahan pun mengambil tanggung jawab finansial untuk menutup biaya pengobatan HIV/AIDS. Pada saat itu, pengobatan anti-retrovirus (ARV) belum dikembangkan, jadi pengobatannya terutama untuk infeksi oportunistik dan dukungan yang memberi kelegaan lainnya. Menyangkut konotasi biaya potensial untuk negara itu, para pejabat Kementrian Kesehatan menyatakan bahwa adalah hak dari penduduk Brasil untuk memiliki akses ke pengobatan; karenanya, pemerintah sepatutnya menyediakan pengobatan gratis bagi rakyatnya.45 Akses ke pengobatan bebas di Brasil dimulai pada awal 1990an; program itu kemudian diperluas oleh Congressional Bill 9113, tertanggal 13November 1996. Bagian perundang-undangan itu menjamin akses bagi tiap pasien AIDS, bebas biaya langsung, ke semua pengobatan yang dibutuhkan untuk pengobatannya, termasuk protease inhibitor, berdasarkan kriteria pengobatan serta panduan yang ditentukan oleh Kementrian Kesehatan. Saat ini, kebijaksanaan pemerintah Brasil dalam menanggapi HIV/AIDS jelas terlihat pada biaya yang berhasil dicegah karena kebijakan AIDS nasional yang pintar dan terpusat pada rakyat ini.
23
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kebijakan Kementrian Kesehatan Brasil tentang perawatan penyandang HIV/AIDS termasuk: x
Penciptaan sebuah jaringan laboratorium untuk melacak infeksi ART dan oportunistik;
x
Pendirian layanan-layanan perawatan kesehatan;
x
Dukungan untuk membantu penyandang HIV/AIDS dalam membenahi diri mereka sendiri, serta dukungan untuk proyek-proyek yang dilakukan oleh LSM;
x
Penciptaan akses bebas dan universal untuk ARV melalui jaringan kesehatan publik.
Krisis AIDS telah sangat berperan dalam proses yang berpusat pada rakyat ini. Krisis itu memaksa negara untuk menggunakan kreativitas dalam menangani kesulitan finansial dan mengejar inisiatif yang mengubah Brasil menjadi sebuah ‘desainer kebijakan publik’ yang akan ditiru oleh negara-negara lain. Hal itu menjadikan Brasil sebagai pemimpin, bersama India, dalam gerakan untuk menantang hak paten industri farmasi, terutama dalam hal keadaan darurat kesehatan publik di dunia berkembang.46 Negara ini telah memperoleh tambahan manfaat sosial, ekonomi dan politik dalam menangani HIV/AIDS dengan bertanggung jawab, kompetensi dan respon yang manusiawi melalui solidaritas dalam perencanaannya.47 Kebijakan Brasil dalam menyediakan akses mudah untuk ART telah menghasilkan perubahan dalam tingkat tidak sehat dan kematian dari mereka yang tertular HIV. Akibatnya, Brasil telah menarik manfaat dari peningkatan hasil-hasil sosial dan ekonomi rakyatnya. Strategi Brasil ini mendukung perawatan di luar rumah sakit. Biaya rata-rata per hari untuk perawatan ‘rumah sakit harian’ ($47,02) atau perawatan pengobatan rumah ($11,31) adalah jauh lebih murah dari biaya opname biasa ($97,31).48 Meskipun menyediakan ART adalah tanggung jawab pemerintah federal, pengadaan obat untuk perawatan infeksi oportunistik diatur melalui proses penawaran publik yang didesentralisasi ke negara bagian dan kotamadya.49 Meski dengan meningkatnya jumlah pasien yang dirawat, biaya keseluruhan pengadaan obat ini dikurangi melalui negosiasi harga serta produksi domestik. Kebijakan memberikan ART menjamin kelangsungan hidup lebih lama untuk penyandang HIV/AIDS. Kebijakan ini meminimalkan dampak epidemi itu dengan memangkas hingga hampir setengahnya kematian akibat AIDS dari 12,2 kematian per 100.000 populasi pada 1995 menjadi 6,3 per 100.000 pada 1999.50 Pengobatan seperti itu mencegah lebih dari 60.000 kasus AIDS, 90.000 kematian dan 358.000 perawatan di rumah sakit berkaitan dengan AIDS dari 1996 hingga 2002.51 Faktor-faktor yang menyumbang efektifitas Brasil dalam menanggapi HIV/AIDS adalah sebagai berikut: x
Timing: sebuah respon awal intensif dari pemerintah;
x
Partisipasi yang kuat dan efektif dari masyarakat sipil;
x
Mobilisasi multisektoral;
x
Pendekatan pencegahan dan perawatan yang seimbang;
x
Dukungan sistematis terhadap HAM dalam semua strategi dan tindakan;52
x
Transparansi, termasuk akses ke informasi untuk rakyat.
24
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kasus Thailand
Gambar 4.
Epidemi HIV yang sudah ada dibanding yang mungkin di Thailand53
Inisiatif yang diambil oleh Pemerintah Thai mencerminkan prinsip yang konsisten dengan pengelolaan demokratik meskipun Thailand saat itu berada dibawah pemerintahan yang ditunjuk dan bukan yang dipilih secara demokratis. Upaya-upaya ini sebagian besar telah dilanjutkan oleh beberapa pemerintah berikutnya yang terpilih secara demokratis.
Kasus pertama AIDS dilaporkan di Thailand pada 1984. Saat itu diprediksi bahwa 10 persen dari populasi Thai akan meninggal akibat AIDS pada 2010. Setelah musyawarah publik dan perdebatan tentang pendekatan terbaik yang dapat diambil, pemerintah melancarkan sebuah kampanye promosi kondom nasional besar bagi pekerja seks untuk memperlambat kecenderungannya. Pemerintah juga menerapkan banyak langkah lainnya untuk memerangi HIV/AIDS. Saat ini penggunaan kondom di kalangan pekerja seks melebihi 90 persen. Respon keseluruhan di Thailand, termasuk perubahan perilaku, telah berkontribusi untuk mengurangi infeksi baru HIV dari 143.000 pada 1991 menjadi 29.000 pada 2001, dengan proyeksi penurunan lebih jauh hingga 18.000 pada 2005. Respon Thailand telah mencegah sekitar 2 juta infeksi HIV baru sejak 1993,54 seperti ditunjukkan dalam gambar 4. Apa saja mekanisme utama yang dikaitkan dengan penekanan epidemi HIV di Thailand? Berikut ini adalah analisis dari berbagai mekanisme yang digunakan negara itu untuk membangun ketahanan terhadap HIV: Kepemimpinan politik dan visi strategis55 Pada 1991, Perdana Menteri saat itu, Anand Panyarachun, khawatir tentang berkembangnya tingkat HIV di negara tersebut. Atas anjuran dari Mechai Viravidya, ketua sebuah LSM keluarga berencana dan AIDS, yang juga disebut ‘raja kondom Thailand’, Anand mendirikan National AIDS Prevention and Control Committee di kantor Perdana Menteri. Sejak saat itu, Pemerintah Thai telah meningkatkan alokasinya untuk pencegahan HIV dari anggaran nasional sebesar AS$2,6 juta pada 1990 menjadi $80 juta pada 1996. Tren peningkatan alokasi anggaran ini berlanjut hingga krisis keuangan 1997 yang menghancurkan. Transparansi. Meski HIV/AIDS adalah isu yang sulit untuk pemerintah, namun pemerintah mengikutsertakan praktik-praktik yang membantu mendorong epidemi tersebut: kerja seksual, penggunaan jarum suntik serta perdagangan anak-anak dan wanita. Mengakui fakta-fakta tersebut adalah langkah pertama dalam menemukan cara untuk mengurangi dampak akibat HIV melalui praktik-praktik ini. Keterbukaan pemerintah dalam menangani faktor-faktor yang menyumbang pada kerentanan orang terhadap HIV menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan agar program pencegahan HIV dapat diterapkan dengan berhasil. Mendorong penggunaan kondom dengan pembagian gratis di kawasan pelacuran resmi serta klinik
25
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
pemerintah memungkinkan tidak hanya peningkatan penggunaan kondom oleh populasi yang berisiko, namun juga menghasilkan penuruan actual dalam prevalensi HIV pada pekerja seks dari 50 persen pada 1991 hingga kurang dari 10 persen pada 2001.56 Keterlibatan multisektoral melalui partisipasi, akses ke informasi dan layanan. Thailand mengadopsi strategi multi level dan multi point untuk pencegahan HIV. Tidak hanya pemerintah yang dilibatkan, namun juga lebih dari 150 LSM, bisnis sektor swasta serta jaringan para penyandang HIV/AIDS. Secara bersama-sama, mereka berkolaborasi untuk mempromosikan penggunaan kondom dan pendidikan pencegahan HIV dalam cara-cara yang mudah diterima oleh masyarakat umum serta kaum muda. Sektor pendidikan dan keagamaan bekerja erat dengan orang-orang dalam komunitas.57 Masyarakat sipil membuat kontribusi penting dalam menjalankan respon nasional yang diperluas terhadap HIV/AIDS. Alokasi anggaran pemerintah bagi LSM untuk respon terhadap HIV/AIDS pada 1992 adalah AS$480.000; pada 1996 alokasi ini mencapai AS$3,2 juta. Sektor media massa mendukung kampanye peningkatan kesadaran di seluruh negeri melalui TV dan surat kabar. Para guru dan orang tua, kaum muda di sekolah serta pendidik kaum sebaya di tempat kerja dikerahkan untuk mencegah HIV. Thailand memobilisasi otoritas administrasi, kesehatan dan peradilan kriminal, pekerja di sektor kesehatan, pemilik dan pengelola bisnis seksual, serta para pekerja seks dan klien mereka.58 Partisipasi rakyatlah yang telah menyumbang pada respon efektif di Thailand. LSM telah menjadi mitra kuat dari Kementrian Kesehatan Publik dalam kewaspadaan berlanjut negara itu terhadap HIV. Seperti dinyatakan oleh salah satu Direktur dari National AIDS Programme di Thailand: “LSM adalah mitra sangat berharga bagi pemerintah dalam menanggapi HIV/AIDS. Ada saat-saat di mana pemerintah tak dapat melakukan tindakan tertentu karena berbagai alasan politik. Pemerintah bisa memberi dukungan pada LSM untuk melakukan aktivitas yang diperlukan seperti itu”.59 Melindungi hak-hak para penyandang HIV/AIDS. Pemerintah Thai mempraktikkan apa yang diajarkannya dengan menjunjung hak-hak para penyandang HIV/AIDS dan melindungi mereka terhadap diskriminasi. Pemerintah memblokir sebuah proposal perundang-undangan yang bisa saja membatasi hak-hak mereka, menghentikan kampanye pencegahan yang memberi label pada penyandang HIV/AIDS serta membuka larangan terhadap masuknya orang asing yang diketahui menyandang HIV/AIDS ke Thailand.60 Mendukung mata pencaharian rakyat dan memudahkan akses mereka terhadap perawatan. Mechai menggagaskan pendirian Positive Partnership Fund (Dana Kemitraan Positif) untuk orang yang hidup dengan dan terkena dampak HIV/AIDS. Dana ini memungkinkan orang seperti itu untuk mendapatkan cukup banyak uang untuk membeli pengobatan harian mereka (bernilai 40 baht atau sekitar $1). Dana ini telah terbukti efektif, dengan tingkat pembayaran kembali sebesar 95 persen.61 Ini adalah pendekatan inovatif pada tingkat individu dan menangani kebutuhan mendasar rakyat serta menciptakan akses ke arah pengobatan. Pemerintah melanjutkan upaya-upaya pencegahan dan akses pengobatan HIV dengan memberikan ARV untuk wanita hamil agar mengurangi penularan HIV ibu ke anak. Pemerintah selanjutnya memberi ARV pada para ibu yang positif HIV pasca melahirkan, yang memperpanjang usia mereka, sehingga secara tak langsung memperpanjang kehidupan dan kesehatan anak-anak yang baru dilahirkan. Timing. Upaya-upaya oleh pemerintah Thai dilakukan pada saat kritis dalam epidemi HIV Thailand dan hal ini membantu menahan laju epidemi itu.62 Ketepatan waktu adalah penting, seperti yang akan dibicarakan lebih jauh dalam bagian III. Namun sayangnya, pemerintahan Thai terlambat bereaksi terhadap penularan HIV melalui penggunaan narkoba suntikan. Karena penggunaan narkoba merupakan pelanggaran kriminal serius di Thailand, para pengguna narkoba ditangani oleh National Narcotics Control Board
26
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
(NNCB). Penegakkan hukum adalah pendekatan yang digunakan NNCB dalam menanggapi penggunaan narkoba. NNCB memisahkan kerja kendali narkoba dari respon pencegahan HIV, yang menjadi tanggung jawab Kementrian Kesehatan Publik. Koordinasi dan kolaborasi antara badan-badan pemerintah ini seharusnya ideal untuk mengharmoniskan pendekatan mereka, namun ada yang kurang. Ini terjadi meski ada permohonan verbal dari beberapa LSM utama, terutama Asian Harm Reduction Network. Situasi ini menyebabkan penularan HIV berlanjut di antara pengguna narkoba suntik, banyak diantaranya adalah kaum muda berusia 15-29 tahun. Kasus pengguna narkoba ini adalah contoh dari perlunya bagi negara-negara untuk memangkas batasan-batasan administratif guna meningkatkan kolaborasi multisektoral dalam menanggapi krisis HIV/AIDS. Ini juga mencerminkan perlunya berhubungan dengan orangorang yang bersangkutan dengan tidak membiarkan struktur birokratis menjadi alasan atau penghalang untuk melindungi kesehatan dan kebahagiaan rakyat. Perlu digunakan sebuah respon sistem yang melibatkan kolaborasi dari berbagai sektor, dalam hal ini NNCB, Kementrian Kesehatan Publik, kehakiman, pekerja sosial, LSM dan para pengguna narkoba itu sendiri. Situasi ini muncul bukan karena kemauan buruk atau kurangnya kekhawatiran. Dalam praktiknya, fokus demokrasi cenderung terarah pada proses elektoral di dalam sebuah struktur demokratik. Ini menghasilkan pengkotak-kotakan otoritas yang ditunjuk untuk urusan sektoral berbeda; jadi, bisa ada kekurangan respon terkoordinasi terhadap pengguna narkoba dalam hubungannya dengan HIV/AIDS. Selain itu, demokrasi yang dipraktikkan oleh banyak politisi cenderung berfokus pada solusi jangka lebih pendek karena perhatian besar yang diberikan pada siklus elektoral. Akibatnya, banyak politisi di seluruh dunia cenderung menangani isuisu dalam cara yang akan menghasilkan solusi cepat dan nyata; mereka kekurangan insentif untuk mencari solusi jangka panjang. Karenanya, penting untuk mempertimbangkan indikator (proses) perantara dari pengelolaan demokratik untuk memungkinkan mereka yang berpandangan jangka pendek untuk diingatkan tentang jangka panjang serta untuk terus menginformasikan para pemilih tentang kemajuan ke arah sasaran jangka panjang. P. Dasgupta, ekonom terkenal, dalam tanggapannya pada mereka yang menyarankan untuk berfokus pada ‘derita saat ini’, menyatakan: “Itu sama dengan meleset dari fokusnya. Masa kini adalah masa depan masa lalu. Lebih jauh lagi, masa depan memiliki kebiasaan mengerikan berupa menjadi masa kini”.63 Karena HIV memiliki dampak lebih panjang daripada epidemi lainnya, membangun ketahanan HIV membutuhkan visi strategis jangka panjang dengan respon yang terkait serta sebuah pendekatan system di mana dibutuhkan komitmen multisektoral dan kolaborasi lintas sektoral.64
27
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Sebagai ringkasan, studi kasus di Brasil dan Thailand menunjukkan beberapa mekanisme penting dalam membangun ketahanan terhadap HIV: x
Ketepatan waktu dari respon
x
Kepemimpinan dengan visi strategis
x
Partisipasi dari masyarakat sipil
x
Respon sistem multisektoral
x
Transparansi, termasuk akses ke informasi
x
Peraturan perundangan
Unsur-unsur dalam membangun ketahanan terhadap HIV, yang teridentifikasi sebagai konsisten dengan prinsip penglolaan demokratik adalah sebagai berikut: x
Partisipasi dan sensitivitas
x
Transparansi dan akuntabilitas
x
Peraturan perundangan
Mekanisme yang menonjol untuk membangun ketahanan terhadap HIV adalah: x
Kepemimpinan dengan visi strategis
x
Ketepatan waktu dari respon
x
Respon sistem multisektoral
Pemilihan waktu respon melibatkan jauh lebih banyak daripada sensitivitas sistem pengelolaan. Karenanya, perlu untuk menstimulasi beberapa pemikiran kritis pada para pemimpin nasional, pembuat kebijakan dan pengelola program dalam mempromosikan ketahanan terhadap HIV sambil membangun struktur pengelolaan demokratik. Membangun ketahanan HIV melalui respon multisektoral mengikuti prinsip pengelolaan demokratik adalah sebuah proses jangka panjang. Bagaimanapun juga, melakukan hal itu bisa membuat sumbangan amat penting bagi menghambat kecenderungan berkembangnya pandemi HIV/AIDS. Meski tampaknya tidak seperti sebuah arah tindakan yang akan memperoleh suara pemilih, mungkin tak ada pilihan lain kecuali mempertimbangkan opsi ini. Melakukan hal sebaliknya bisa membahayakan banyak kemajuan perkembangan di Asia dan Pasifik sejak Perang Dunia Kedua.
28
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
II.
MEMBANGUN KETAHANAN TERHADAP HIV MENINGKATKAN PENGELOLAAN DEMOKRATIK
Masyarakat yang tahan terhadap HIV bukanlah masyarakat yang bebas HIV. Sebaliknya, ini adalah masyarakat di mana orang diberdayakan untuk menanggapi HIV dan mengurangi dampaknya, sehingga mereka terus hidup dan memperkuat masyarakat itu serta membangun modal sosialnya.65 Membangun ketahanan terhadap HIV membutuhkan kepemimpinan dengan visi strategis, ketepatan waktu respon dan terobosan berbagai lintas sektor untuk mendapatkan respon sistem, selain partisipasi itu, serta prinsip akuntabilitas dan transparansi dari pengelolaan demokratik. Mekanisme ini telah menyumbang pada efektivitas respon dari Thailand dan Uganda, bahkan saat struktur pemerintahan otoriter sudah terbentuk. Bagian ini membicarakan bagaimana HIV merupakan ancaman bagi keamanan manusia dan bagaimana mekanisme yang membangun masyarakat yang tahan terhadap HIV tidak hanya mempromosikan perdamaian dan kemakmuran ekonomi, namun juga meningkatkan proses pengelolaan demokratik.
A.
Epidemi HIV melemahkan pengelolaan demokratik
Ketika prevalensi HIV itu tinggi di dalam sebuah masyarakat, hilangnya pegawai a akan biasa terjadi di sektor penting yang amat beragam seperti militer, layanan sipil, sektor swasta, sistem pendidikan dan agrikultur. Bila struktur pengelolaan dari sistem sosial terganggu, terbuka kemungkinan jatuhnya kelembagaan, yang akan melemahkan pengelolaan.66 Selain itu, karena masih belum ada obat untuk infeksi HIV, maka penyandang HIV serta keluarga mereka mungkin kehilangan ‘perasaan terhadap masa depan’ mereka karena dibayangbayangi oleh kematian, yang mempengaruhi keputusan mereka serta sikap terhadap kehidupan. Kurangnya perasaan terhadap masa depan ini mengubah penentuan prioritas orang dan mempengaruhi bagaimana mereka membuat pilihan tentang alokasi sumber daya dan tentang reaksi atau perilaku mereka. Bila seseorang tertular HIV dan belum ada sistem dukungan sosial, orang itu mungkin tidak bisa berpikir untuk jangka lebih panjang, namun akan berfokus hanya pada kebutuhan segera, mungkin berpikir “Saya toh sudah akan mati”. Dalam situasi seperti ini, kekangan dari hukum dan tata tertib mungkin terlihat kurang relevan bagi orang itu daripada yang seharusnya.67 AIDS dapat memaparkan titik-titik lemah suatu masyarakat, baik dalam sistem pemerintahan maupun dalam hubungan sosial antar rakyat. AIDS bisa menguak sisi buruk kemanusiaan. Para orang tua mengusir anak mereka setelah ketahuan tertular HIV. Banyak keluarga yang hancur saat salah satu dari pasangan terdiagnosa memiliki HIV.68 Komunitas runtuh ketika para penjaja makanan yang anggota keluarganya tertular HIV dipisahkan dari mereka ‘yang telah diperiksa dan tidak positif HIV’ dan diboikot tidak boleh menjual dagangan mereka. Para penyandang HIV/AIDS telah diusir dari keluarga mereka, desa tempat kediaman, serta tempat bekerja. HIV/AIDS, bila tidak ditanggapi dengan benar-benar, mengancam akan mengacaukan masyarakat, melemahkan keamanan sebuah negara,69 dan bisa melemahkan proses pengelolaan demokratik. Implikasi dari pengelolaan HIV bisa jadi hilangnya sumber daya manusia, pengalaman serta jaringan. Dalam hal finansial, semakin meningkatnya kebutuhan akan dana untuk menutupi biaya medis bisa mengubah proses pembuatan keputusan rasional untuk alokasi sumber daya. Mungkin ada distorsi pada struktur insentif ketika perspektif jangka panjang ditukar dengan
29
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
yang jangka pendek.70 Dampak jangka panjang dari hilangnya kelembagaan bukanlah kejutan tunggal bagi sistem. Bagi sebuah lembaga, hilangnya staf ahli, ingatan serta pengetahuan kelembagaan karena AIDS akan merupakan sebuah penghalang bagi sebuah lembaga untuk berinventasi dalam pengembangan kemampuan jangka panjang. Untuk dengan cepat mengisi lowongan akibat pegawai yang jatuh sakit karena AIDS, lembaga-lembaga mungkin memilih sebuah program pelatihan keahlian yang pendek dan terfokus bukannya membangun pengetahuan serta kemampuan jangka panjang. Sikap bertahan model krisis dari lembaga bisa mengurangi efektivitas dari sebuah sistem pengelolaan.71 Dalam sektor agrikultur serta industri, hilangnya penyaluran pengetahuan dari generasi ke generasi akibat HIV/AIDS bisa menghancurkan masyarakat dalam jangka panjang. Sebagian besar dari dasar pengetahuan seperti itu, yang secara tradisional diturunkan dari orang tua ke anak-anak, biasanya tak akan diberikan hingga anak mencapai usia matang. Sayangnya, karena kematian prematur dari orang tua akibat AIDS, banyak orang tua tidak memiliki waktu maupun kesempatan untuk mewariskan pengetahuan tradisional mereka, kebudayaan dan pelajaran berharga tentang kehidupan lainnya kepada anak-anak mereka. Beberapa anak baru akan dilahirkan atau terlalu muda untuk mengerti ketika satu atau kedua orang tua mereka meninggal. Bagi masyarakat luas, ketika sumber daya manusia dibebani oleh kehilangan akibat AIDS, lebih banyak orang juga dialihkan dari fungsi produktif normal mereka untuk menyediakan fungsi perawatan dan dukungan dalam sebuah rumah tangga, keluarga atau komunitas. Konsekuensinya akan berupa lebih sedikit sumber daya manusia yang tersedia pada umumnya serta lebih sedikit sukarelawan berpotensi pada khususnya. Kenyataan bahwa organisasi masyarakat sipil bergantung pada kepemimpinan pribadi dan individu yang berjaringan luas, yang kebanyakan diantaranya adalah sukarelawan, membuat mereka terutama rentan terhadap hilangnya staf utama.72 Masyarakat sipil adalah sebuah unsur penting dalam pengelolaan demokratik. Melemahnya dasar masyarakat sipil sebagai akibat dari HIV/AIDS, selanjutnya bisa menyumbang pada pelemahan lebih jauh dari proses pengelolaan demokratik apapun.
B.
Mekanisme untuk membangun ketahanan terhadap HIV meningkatkan proses pengelolaan demokratik
Ada beberapa contoh konkrit dari negara-negara yang telah merespon terhadap epidemi HIV dengan membangun ketahanan mereka. Mekanisme yang mereka gunakan untuk membangun ketahanan terhadap HIV meningkatkan proses pengelolaan demokratik mereka. Sebagai contoh, seperti dijelaskan sebelumnya, pemerintah Brasil mengakui ancaman dari HIV/AIDS dan menentukan strategi AIDS nasionalnya untuk membangun ketahanan terhadap HIV. Kebijakan ini telah membuktikan bahwa jutaan dolar yang dihabiskan dalam waktu singkat bisa menghemat miliaran dalam jangka panjang. Brasil telah menghemat AS$200 juta berupa biaya langsung dari apa yang harus dikeluarkannya untuk pengobatan dan perawatan di rumah sakit, bila orang-orang yang saat ini mengkonsumsi ARV tidak menggunakan ART. Selain ongkos langsung itu, penghematan Brasil juga termasuk berkurangnya tingkat kematian dan morbiditas serta penghematan sosial yang rumit: dengan para guru yang bisa terus mengajar, anak-anak yang terus tinggal bersama keluarga mereka serta pekerja yang tetap produktif.73 Satu contoh negara lagi di bawah ini menggambarkan mekanisme membangun ketahanan terhadap HIV serta relevansinya terhadap proses pengelolaan demokratik.
30
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kasus Uganda Diperkirakan bahwa hampir 2 juta penduduk Uganda dari total populasi 22 juta terinfeksi oleh HIV; 67.000 diantaranya adalah anak-anak. Telah ada kira-kira 500.000 kematian akibat AIDS, yang menghasilkan 1,7 juta yatim piatu. Saat ini, pengawasan penjaga kota telah menunjukkan penurungan sebanyak 50% dalam infeksi HIV. Contohnya, di sebuah klinik pra-persalinan di kota, tingkat HIV turun dari 29,5 persen pada 1992 menjadi 13,4 persen pada 1998, terutama diantara kaum muda pada grup usia 15-19 tahun. Antara 1989 dan 1993, jumlah usia dewasa muda yang aktif secara seksual tampaknya turun dari 69 persen menjadi 44 persen pada pria dan dari 74 persen menjadi 54 persen pada wanita.74 Respon terhadap HIV/AIDS di Uganda datang dari berbagai tingkat. Uganda memiliki seorang pemimpin yang memiliki visi yang bertindak dengan cara tepat waktu terhadap peringatan awal akan masalah HIV bagi populasinya. Ketika sebagian besar tentara Uganda yang dikirim ke Kuba untuk pelatihan ditemukan tertular HIV, pemimpin Uganda, saat menyadari bahwa ancaman yang bisa datang dari HIV terhadap masa depan, mulai berkampanye untuk pencegahan HIV pada akhir 1980-an. Uganda menjadi negara pertama di dunia di mana terdapat seorang Komisioner tingkat tinggi untuk AIDS guna mengembangkan strategi nasional lengkap serta memobilisasi berbagai sektor untuk melakukan tindakan.75 Keterbukaan dari kepemimpinan puncak negara itu dalam membicarakan HIV/AIDS, memungkinkan transparansi yang dibutuhkan oleh komunitas untuk mengambil tindakan. Keterbukaan seperti itu menyediakan lingkungan yang baik di dalam mana masyarakat sipil bisa bereaksi. Sebenarnya, sebagian besar dari upaya Uganda untuk merespon HIV/AIDS datang dari masyarakat sipil, termasuk dukungan dari organisasi keagamaan Muslim. Formasi dari grup-grup swa-dukung adalah penting, terutama untuk daerah pedesaan di mana layanan kesehatan sektor publik tak mampu menangani beban yang semakin bertambah dari pasien AIDS. Kepemimpinan individu, seperti yang terdapat pada pendiri The AIDS Service Organization (TASO) di Uganda, merupakan daya pendorong dalam menggerakkan komunitas untuk membantu diri sendiri serta saling mendukung. Prinsip-prinsip yang ditentukan oleh TASO pada saat awal epidemi digunakan sebagai panduan untuk membantu orang yang hidup dengan HIV/AIDS untuk berfungsi secara positif di dalam komunitas mereka. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut:76 x
Hak-hak mereka yang terinfeksi atau terkena dampak HIV/AIDS harus didukung secara emosional, medis dan secara sosial; tanggung jawab mereka untuk memupuk rasa percaya diri, harapan, respek terhadap kehidupan, respek terhadap serta perlindungan untuk komunitas mereka, merawat diri sendiri, perawatan dan dukungan bagi tanggungan;
x
Hak-hak sebuah komunitas untuk melindungi diri dari, serta tanggung-jawabnya untuk menahan penyebaran HIV; tanggung jawab komunitas untuk mendukung orang yang hidup dengan HIV/AIDS, sehingga mereka memiliki akses atas dukungan emosional serta layanan medis dan sosial dan dapat hidup secara bertanggung jawab dengan HIV/AIDS.
Prinsip-prinsip TASO mencerminkan baik hak-hak maupun pertanggungjawaban, yang sangat penting dalam proses pengelolaan demokratik di dalam sebuah komunitas. Penerapan dari prinsip-prinsip TASO adalah melalui pendidikan, konseling, dialog, pengakuan serta kebersamaan. Itu bukanlah melalui paksaan atau stigmatisasi. Sebuah proses konsultatif bersama para anggotanya memungkinkan dipertimbangkannya kekhawatiran semua orang dalam proses pembuatan keputusan.77 Upaya Uganda dalam membangun komunitas yang
31
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
tahan terhadap HIV juga memberi wanita yang terkena dampaknya suara yang kuat dalam masyarakat. Ketahanan itu tercermin dalam keputusan komunitas untuk memastikan bahwa para yatim, terutama yang wanita, bisa menerima pendidikan yang dibutuhkan untuk mencegah kerentanan di masa depan. Gerakan untuk membangun ketahanan terhadap HIV oleh rakyat dan untuk rakyat Uganda melibatkan kemitraan dengan LSM internasional dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Dukungan masyarakat sipil di tingkat lokal maupun nasional untuk mempengaruhi respon terhadap HIV/AIDS mencerminkan unsur-unsur proses pengelolaan demokratik. Mutu layanan serta peran kemitraan yang konstruktif dengan masyarakat sipil adalah kekuatan positif dalam kontrol serta partisipasi sosial. Melalui kegiatan yang melibatkan mereka, LSM memainkan peran besar dalam mendukung hak-hak para penyandang HIV/AIDS untuk mempercepat proses pemerintah, yang karenanya melengkapi upaya-upaya yang dilakukan pemerintah.78 Mulai 2002, UNDP, melalui Program Pengembangan Kepemimpinannya, telah berkolaborasi dengan negara tertentu dalam memobilisasi anggota pemerintahan, LSM, organisasi berbasis agama serta masyarakat sipil lainnya. Melalui workshop bersama orang-orang ini, Program itu bertujuan meningkatkan mutu kepemimpinan dan membuka dialog untuk menghadapi penyebab utama epidemi HIV, termasuk kemiskinan, gender dan dinamika kekuasaan, nilainilai budaya, seksualitas serta praktik seksual. Dengan menghubungkan upaya ini ke Community Capacity Enhancement Initiative-nya, UNDP menggabungkan kontribusi dari kepemimpinan dengan tindakan dalam komunitas.79 Sekali lagi, mekanisme dalam membangun ketahanan terhadap HIV yang konsisten dengan prinsip pengelolaan demokratik adalah sebagai berikut: x
Masyarakat sipil memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi
x
Transparansi
x
Pertanggungjawaban
x
Menjungjung hak-hak rakyat
Gambar 5. Dasar-dasar pengembangan manusia yang berkelanjutan
begitu pula mekanisme tambahan berikut: x
Kepemimpinan dengan visi strategis
x
Respon tepat waktu
x
Mobilisasi multisektor
Analisa di atas menunjukkan pentingnya keamanan manusia, pengelolaan demokratik dan membangun ketahanan terhadap HIV dalam proses pengembangan manusia berkelanjutan. Gambar 580 menunjukkan hubungan yang saling mendukung antara keamanan manusia, ketahanan terhadap HIV serta pengelolaan demokratik. Ketiganya adalah unsur penting untuk pengembangan manusia berkelanjutan.
32
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
C.
Pentingnya membangun ketahanan regional terhadap HIV
Ketika aktivitas semakin sering terjadi dalam skala global, orang menjadi semakin saling bergantung. Orang bergerak lebih banyak dari sebelumnya dan barang-barang diperdagangkan pada tingkat yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Perbedaan dalam tingkat pengembangan ekonomi di antara negara-negara tetangga dan antara daerah perkotaan dan pedesaan membentuk faktor-faktor ‘dorong dan tarik’ untuk pergerakan populasi secara domestik maupun internasional. Ketika orang bergerak ke daerah baru, begitu pula penyakitnya. Fenomena ini didemonstrasikan dengan jelas oleh epidemi dan penyebaran yang cepat dari Sindroma Pernapasan Sangat Akut (SARS) pada 2002-2003. Begitu pula, HIV tidak menghormati perbatasan nasional. Namun, sebagian besar respon terhadap HIV/AIDS berbeda untuk tiap negara; akibatnya proporsi besar dari mekanisme penularan aktual dan populasi tidaklah ditangani oleh respon seperti itu. Selain itu, fakta bahwa penularan HIV berhubungan dengan seksualitas manusia, perilaku seksual dan ketergantungan obat berarti bahwa penularannya tergantung pada aktivitas yang dianggap tabu dalam banyak masyarakat atau dianggap kriminal di masyarakat lainnya. Akibatnya, kebanyakan orang memilih untuk tidak mengacuhkan atau menolak untuk menangani isu-isu penting yang berhubungan dengan AIDS ini. Prinsip pengelolaan demokratik menuntut semua orang untuk ikut serta dan semua hak orang dihormati; karenanya, prinsip-prinsip ini penting untuk pencegahan HIV diantara para migran. Beberapa contoh dari negara-negara menggambarkan pentingnya pertimbangan regional dalam membangun ketahanan terhadap HIV. Di Botswana, pemerintah telah menjanjikan sejumlah besar sumber daya untuk melawan HIV/AIDS. Namun, pergerakan populasi berskala besar masuk dan keluar dari negara itu senantiasa terjadi. Karena banyak migran yang datang dari negara-negara tetangga, kecuali tetangga Botswana bereaksi dengan cara serupa, penyebaran infeksi HIV bisa jadi berlanjut, karena adanya pergerakan konstan penduduk melalui perbatasannya. Beberapa negara di sekeliling Republik Demokrasi Rakyat Lao yang keseluruhannya daratan memiliki tingkat prevalensi HIV yang tinggi, yaitu; Kamboja, Myanmar dan Thailand. Tingkat prevalensi HIV di propinsi Lao yang berbatasan dengan Myanmar dan Thailand lebih tinggi secara signifikan daripada tingkat nasionalnya. Namun, ini hanyalah sebagian dari kenyataannya. Republik Demokrasi Rakyat Lao merupakan sentra pergerakan populasi regional di Greater Mekong Subregion (GMS).81 Karenanya strategi yang diadopsi negara tersebut dalam menangani HIV memiliki dampak penting pada perkembangan epidemi tersebut di negara itu begitu pula di GMS. Pengalaman dari Greater Mekong Subregion. UNDP South East Asia HIV and Development Programme, yang didirikan pada 1999, membentuk kolaborasi dengan negaranegara anggota ASEAN untuk membangun ketahanan regional terhadap HIV. Langkah pertama adalah untuk menanyakan negara-negara yang ikut serta tentang apa yang mereka ingin untuk difokuskan oleh Program itu. Tiap negara mengidentifikasi prioritasnya. Setelah menilai prioritas negara itu, sebuah isu regional umum pun diidentifikasi: hubungan antara pergerakan populasi dan HIV. Bukannya mengadakan upacara untuk meluncurkan Program regional itu, negara-negara ini meminta UNDP untuk mendukung mereka dalam menentukan situasi tentang mobilitas populasi dan HIV diantara negara-negara ASEAN. Guna memastikan ‘kepemilikan’ dan menangkap kekhawatiran akan asal, titik-titik transit serta komunitas tuan rumah dari populasi yang bergerak, sebuah metode pemetaan dikembangkan untuk menilai kerentanan HIV di sepanjang rute-rute transit utama (baik darat maupun laut). Setelah tiap negara melakukan pemetaannya sendiri, hasilnya digabungkan untuk memberi gambaran regional.
33
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Latihan pemetaan itu adalah awal dari sebuah proses pengelolaan demokratik untuk kawasan itu. Kuncinya adalah bahwa orang dari komunitas sepanjang rute-rute transit utama adalah mereka yang mengumpulkan, menganalisa serta menerjemahkan data tersebut dan membuat gagasan untuk tindakan. Pemerintah pusat, propinsi dan wilayah mengirim staf untuk ikut serta dalam latihan pemetaan ini bersama komunitas lokal. Awalnya, perdebatan diadakan dan rekomendasi dibuat pada tingkat lokal. Para wakil dari tiap propinsi lalu mengirimkan hasilnya ke tingkat pusat dan akhirnya konsensus tentang temuan itu pun dicapai dan yang mencerminkan kekhawatiran pada semua tingkat. Pentingnya menghubungkan komunitas dengan pemerintah pusat dalam suatu komunikasi dua arah, seperti yang diperlihatkan oleh latihan pemetaan itu terbukti bernilai. Metode seperti itu berguna bukan hanya dalam hal mendapatkan gambaran realistik dari situasi saat ini namun juga dalam hal mengidentifikasi respon.82 Meskipun latihan itu dimulai oleh pemerintah pusat, ini merupakan proses musyawarah dari bawah ke atas. Solusi yang teridentifikasi di ‘miliki’ oleh komunitas lokal, yaitu oleh penduduk dan pejabat pemerintah lokal. Karena itu kemungkinan dari tindakan yang digagaskan untuk bisa dijalankan pun meningkat. Hasilnya juga lebih berkelanjutan. Ketika proses tersebut dimulai secara setempat, ada lebih sedikit hambatan sektoral dan ini akan memudahkan respon kolaboratif multisektoral. Sekolah Kehidupan Petani. Inisiatif ini dimulai dengan kemitraan antara UNDP dan FAO pada 2000. Tujuan eksperimen ini adalah untuk membantu para petani termiskin di Kamboja untuk merancang cara mereka sendiri dalam membangun ketahanan terhadap HIV. Dengan memanfaatkan pemikiran analitis para petani tentang tanaman mereka sehubungan dengan iklim, kondisi tanah dan serangga, mereka mengubah pemikiran analitis tentang ladang mereka menjadi menganalisa hubungan HIV dengan kehidupan mereka dan memikirkan apa yang mampu mereka lakukan, untuk mengurangi kerentanan mereka terhadap HIV dan membangun ketahanan mereka. Para petani, yang tadinya sangat miskin dengan hampir tak memiliki alternatif selain berutang dan menjual anak-anak perempuan mereka, mendirikan Sekolah Kehidupan Petani melalui mana mereka mendapatkan perasaan tentang masa depan yang lebih baik83 untuk diri mereka sendiri maupun anak-anak mereka. Ekspektasi untuk mencapai usia 40 hingga 50 tahun mendukung asumsi apapun yang dibuat oleh masyarakat luas, seperti tabungan untuk pensiun, mendidik anak, berharap untuk melihat anak-anak mereka memasuki usia dewasa, menghargai nilai pelatihan khusus bertahun-tahun dan merencanakan karir professional dan komersial, demikian menurut de Waal. “Ekspektasi ini merangsang proses perkembangan ekonomi dan pertumbuhan lembaga-lembaga yang rumit”.84 Kehancuran akibat HIV/AIDS serta pengurangan dalam ekspektasi kehidupan yang diakibatkannya mengancam akan mengubah semua asumsi ini. Namun, proses Sekolah Kehidupan Petani memberi alternatif bagi para petani termiskin guna membangun ketahanan mereka dan untuk mendapatkan kemungkinan untuk mempertimbangkan masa depan yang lebih baik.
34
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Saat ini, Sekolah Kehidupan Petani sedang diperluas keluar Asia hingga ke Afrika. Selain mengadaptasi sekolah ini untuk Zimbabwe, sebuah Sekolah Kehidupan Petani yunior sedang dirintis oleh FAO di Mozambique, di mana kaum muda harus mengambil alih peternakan dari para orang tua mereka yang tak aktif ataupun menghilang. Mereka kini membangun kehidupan yang cerah. Jaringan ASEAN untuk membangun ketahanan regional terhadap HIV. Pengelolaan pada tingkat regional sedang berkembang. ASEAN adalah sebuah struktur antarpemerintah yang berfungsi sebagai jaringan pemerintahan. Namun, proses membangun ketahanan terhadap HIV di kawasan tersebut telah membuat struktur antarpemerintahan ini secara bertahap berubah mengikuti alur proses pengelolaan demokratik yang dijelaskan di bawah. Inilah tempat dimana kolaborasi regional bisa berperan, bukan hanya dalam hal jenis dari epidemi HIV, namun juga dalam hal merangsang proses pengelolaan demokratik. Bagaimanakah perubahan ASEAN ke arah proses pengelolaan demokratik untuk menangani HIV/AIDS? Pada 1999, sistem PBB memulai sebuah upaya untuk menyatukan otoritas AIDS nasional, yang diwakili dalam ASEAN Task Force on AIDS, bersama LSM regional utama, guna menemukan cara untuk bereaksi terhadap pergerakan populasi yang berhubungan dengan kerentanan HIV di kawasan itu.85 Sponsor-sponsor UNAIDS memfasilitasi langkah-langkah yang dimulai ASEAN – sebuah proses konsultatif dengan LSM. Beberapa grup penyandang HIV/AIDS diakui sebagai mitra utama dalam pencarian respon yang efektif. Melalui sebuah upaya bersama dari sistem UNAIDS, dalam bentuk United Nations Regional Task Force on Mobility and HIV Vulnerability Reduction, pemerintah negara-negara ASEAN, LSM, jaringan penyandang HIV/AIDS, para sponsor UNAIDS dan organisasi donor utama bersama-sama mengembangkan sebuah strategi regional, melalui proses konsultatif, tentang mobilitas dan pengurangan kerentanan terhadap HIV untuk Greater Mekong Subregion.86 ASEAN Task Force on AIDS, dengan bantuan dari sistem Perserikatan Bangsa Bangsa, mengakui pentingnya partisipasi rakyat dalam mengembangkan respon efektif yang akan didukung oleh unsur-unsur mereka. Sebuah proses konsultatif dimulai di mana dalam tiap negara, LSM dan grup penyandang HIV/AIDS berpartisipasi dalam musyawarah serta merancang draft dari Deklarasi tentang HIV/AIDS yang diadopsi oleh para Kepala Negara dalam ASEAN Summit pada 2001.87 Munculnya proses pengelolaan demokratik regional memberi dampak menetes ke bawah secara bertahap hingga ke tingkat negara, dimana proses itu mulai merangsang evolusi dari proses pengelolaan demokratik pada tingkat nasional dan subnasional sehubungan dengan memformulasikan kebijakan dan strategi HIV serta programprogram responsive yang akan mencerminkan kebutuhan rakyat: dalam hal ini, mereka yang rentan terhadap infeksi serta para penyandang HIV/AIDS. Pengelolaan demokratik memiliki tempat dalam hubungan antarpemerintah:88 persamaan kedaulatan serta kerjasama internasional merupakan komponen penting dalam membangun perdamaian dunia. Namun mengupayakan perdamaian dunia membutuhkan penerapan prinsip-prinsip tersebut, sehingga semua negara memiliki suara yang sama serta kekuatan memilih yang sama, tanpa ada negara yang bisa memveto pendapat negara lainnya. Persamaan seperti itu berdampak tak hanya pada prosedur dan proses namun juga pada substansi dalam hubungan antar bangsa, dengan keikutsertaan masyarakat sipil dalam menyelesaikan masalah global dalam bentuk ekonomi, sosial, budaya dan kemanusiaan, termasuk HIV/AIDS.
35
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Sebuah contoh tepat dimana proses pengelolaan demokratik seperti itu bisa membantu pembangunan ketahanan regional terhadap HIV adalah isu para pekerja migran dan HIV. Para migran menyumbang pada perkembangan ekonomi serta kemakmuran negara yang ditempati. Seperti dinyatakan oleh anak perempuan Perdana Menteri Malaysia, Ms. Marina Mahathir, “Kebanggaan dari Menara Kembar di Kuala Lumpur dibangun dengan darah dan keringat para pekerja migran”.89 Namun, akses terhadap informasi dan layanan untuk pekerja migran membutuhkan upaya kolaboratif dari negara pengirim, transit maupun penerima. Prinsip pengelolaan demokratik, digabung dengan mekanisme membangun ketahanan regional terhadap HIV, dibutuhkan untuk akhirnya menciptakan sebuah lingkungan yang memungkinkan bagi penduduk dan migran dalam pencegahan, pengobatan dan perawatan HIV. ASEAN, bermitra dengan sistem PBB, LSM dan badan-badan masyarakat sipil lainnya serta lembaga penelitian dan beberapa negara donor, sedang bekerja bersama, melalui United Nations Regional Task Force on Mobility and HIV Vulnerability Reduction, untuk menghadapi tantangan seperti itu. Task Force ini mendorong koordinasi dan kolaborasi multisektoral antar sektor-sektor relevan untuk mencapai dampak yang diinginkan. Misalnya, tentang isu migran, koordinasi dan kolaborasi seperti itu perlu melibatkan selain otoritas AIDS nasional juga otoritas yang bertangung jawab untuk pekerja kontrak asing, entitas yang berhubungan dengan imigrasi, buruh dan kepegawaian, Kementrian Dalam Negeri serta Kementrian Luar Negeri dan perusahaan swasta serta LSM. Isu pergerakan populasi serta kerentanan terhadap HIV yang terkait bukanlah hanya di Asia Tenggara. Upaya kemitraan untuk koordinasi dan kolaborasi yang di realisasikan di Asia Tenggara bisa diterapkan di kawasa lain di dunia, dengan fasilitasi dari sistem PBB, karena mekanisme antarpemerintah juga terdapat di kawasan lainnya.
36
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
III.
EARLY WARNING RAPID RESPONSE SYSTEM: SEBUAH MEKANISME UNTUK MENINGKATKAN SINERGI ANTARA TATA PEMERINTAHAN DEMOKRATIS DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT YANG MEMILIKI KETAHANAN TERHADAP HIV
Terlepas dari pentingnya tata pemerintahan demokratis, pertimbangan mengenai isu HIV dan keputusan-keputusan pendanaan donor yang berkenaan dengan pandemik AIDS jarang mempertimbangkan tata pemerintahan. Kejutan-kejutan dari epidemi nasional dapat memperlemah proses tata pemerintahan demokratis dan menghasilkan dampak negatif. Belajar dari kaitan antara pembangunan ekonomi yang cepat dan penyebaran simultan HIV di kawasan ini, negara-negara Asia Tenggara memulai sebuah upaya bersama pada tahun 2000 untuk mengembangkan Early Warning Rapid Response System. Secara singkat, sistem ini menelaah paradigma pembangunan, dengan memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang mempengaruhi faktor-faktor latar yang kondusif meningkatkan atau mengurangi tingkat kerentanan terhadap HIV. Paradigma pembangunan yang berkembang ini melengkapi, bukannya menggantikan, pendekatan kesehatan. Elemen-elemen tata pemerintahan demokratis yang disebutkan sebelumnya, yaitu kepemimpinan strategis dengan visi, kesesuaian waktu, dan pendekatan sistem multisektoral, dimasukkan ke dalam desain sistem ini. Elemen kesesuaian waktu, respon serta koordinasi berbagai sektor untuk respon seringkali pada praktiknya lebih lemah untuk pembangunan ketahanan terhadap HIV, akibat visi para politisi yang bersifat jangka pendek. Walau Early Warning Rapid Response System menerapkan prinsip-prinsip kunci tata pemerintahan demokratis (partisipasi, transparansi, dan efisiensi di tingkat masyarakat, nasional, dan regional), implementasinya bergantung pada orang-orang yang terlibat di tiap level.
A.
Gambaran singkat Early Warning Rapid Response System90
Sistem ini berusaha menemukan cara-cara untuk menangkap informasi awal mengenai perubahan-perubahan dalam faktor-faktor sosial ekonomi yang membuat suatu kelompok dan lokasi tertentu menjadi rentan terhadap HIV. Dengan mengumpulkan dan menganalisa informasi semacam itu dan memberi peringatan peringatan yang sesuai kepada sektor serta kelompok-kelompok terkait, sistem ini ditujukan untuk memicu respon cepat melalui strategistrategi pembangunan, dengan tujuan mengurangi kerentanan dan membangun ketahanan. Sistem ini memungkinkan program AIDS nasional, pemerintah, sektor swasta, masyarakat madani, termasuk LSM dan orang-orang di dalam masyarakat, untuk bekerja sama dalam mengambil tindakan untuk membalikkan atau mengurangi dampak penyebab stress terhadap tingkat kerentanan HIV masyarakat.91 Penekanan diberikan pada tindakan; kita perlu memobilisasi tindakan sosial dan melakukan pengaturan-pengaturan sosial yang suportif, termasuk pembagian akses informasi dalam rangka menghilangkan akar penyebab masalah kesehatan, untuk memperingatkan orang di awal mengenai apa yang bisa bermasalah dan mengurangi dampak negatif dalam segi kesehatan dan sosial-ekonomi begitu terjadi suatu krisis.92 Sistem ini menciptakan sebuah lingkungan kondusif, yang memperkuat hubungan antara tata pemerintahan dan respon terhadap HIV. Sistem ini menghubungkan pemerintah pusat dengan anggota masyarakat serta menghubungkan berbagai sektor dan disiplin. Sistem dinamis ini yang sedang dikembangkan di Asia Tenggara, bersifat fleksibel dan dapat diterapkan di segala tingkatan serta di berbagai sektor. Tujuan mekanisme semacam ini adalah untuk merancang
37
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
pemikiran kreatif orang karena tiap kelompok manusia, tiap sektor, komunitas, negara, dan kawasan harus merancang responnya sendiri yang mencerminkan pandangan dan pertimbangan budaya, sejarah, dan kondisi setempat masing-masing dengan menggunakan model Early Warning Rapid Response System sebagai bingkai kerja. Perlu ditandaskan bahwa sistem ini juga dapat berguna di negara-negara yang memiliki tingkat penerimaan HIV/AIDS yang tinggi karena epidemi nasional terdiri dari sejumlah epidemi berbeda-beda, yang terus-menerus berubah. Dalam kasus semacam itu, sistem ini dapat digunakan untuk mengawasi perubahan dalam dinamika yang melatarinya dan melengkapi sistem pengamatan kesehatan dari sisi peringatan dini selain untuk memicu langkah-langkah responsif. Sistem ini menuntut untuk beroperasi dalam konteks proses tata pemerintahan demokratis. Hal ini penting karena orang-orang di tingkat pusat atau atas dalam sebuah masyarakat harus belajar kekhususan suatu situasi dari mereka yang berada di tingkat lokal. Karena orang-orang di posisi atas adalah orang luar bagi masyarakat akar rumput, mereka memiliki pengetahuan terbatas mengenai keadaan setempat. Orang-orang setempat yang menjalani kehidupan seharihari dalam situasi sulit memiliki pandangan pandangan-pandangan yang dibutuhkan kelompok pusat atau papan atas untuk menggulirkan respon efektif. Kombinasi aliran komunikasi dan kolaborasi dua arah antara pusat dan lokal adalah satu-satunya cara untuk memastikan implementasi rencana dan aksi program yang sesuai dan efektif. Early Warning Rapid Response System tidak sama dengan sistem peringatan kesehatan biasa. Nilai penting dan kontribusi relevan sistem pengawasan dan peringatan global yang dibuat oleh WHO untuk kondisi-kondisi darurat kesehatan ditunjukkan dalam kasus serangan SARS pada 2002-2003. Berkenaan dengan SARS, respon yang dilakukan bersifat multisektoral: imigrasi, hubungan luar negeri, industri transportasi dan sektor ekonomi, selain sektor kesehatan juga digerakkan. Yang mungkin dilakukan terhadap SARS seharusnya mungkin pula dilakukan terhadap HIV/AIDS; namun, SARS dan AIDS tidak dapat disamakan karena masalah ketepatan waktu respon. Dampak SARS bersifat seketika; penyebarannya yang cepat memicu orang dan lembaga-lembaga untuk segera menyadari bahwa krisis ini menimbulkan ancaman serius dan seketika terhadap kesehatan. Lembaga-lembaga dan induvidu dapat dimobilisasi untuk mengambil langkah-langkah dalam menanggapi sebuah krisis secara langsung. Sebaliknya, dampak HIV/AIDS bersifat jangka panjang. Meski HIV/AIDS mungkin menyebar dengan cepat, gejala-gejalanya baru terlihat setelah bertahun-tahun. Lembaga dan individu tidak dapat dimobilisasi dengan sedemikian mudah untuk mengambil tindakan-tindakan dalam menganggapi sebuah krisis yang akan terjadi di masa depan. Para kritikus telah mengajukan usulan untuk mengubah bingkai respon krisis HIV/AIDS menjadi respon manajemen bencana sepenuhnya. Dalam konteks ini, berlaku definisi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai sebuah bencana: suatu ‘gangguan serius terhadap fungsi sebuah masyarakat, yang menyebabkan kerugian manusia, material, atau lingkungan yang menyebar, yang melebihi kemampuan suatu masyarakat untuk menghadapinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri saja.’ Bingkai kerja manajemen bencana berikut ini pun diusulkan: mengakuinya secara resmi sebagai bencana; menegakkan langkah-langkah kebijakan yang sesuai; dan mengorganisir sistem manajemen yang sesuai untuk menangani bencana ini.93 Jika HIV/AIDS diakui secara resmi sebagai sebuah bencana, akan dibutuhkan langkah-langkah kebijakan yang sesuai serta organisasi sebuah sistem manajemen yang tepat untuk menangani bencana ini. Namun, kita perlu menyadari kelemahan bingkai kerja manajemen respon bencana karena dua alasan: (a) perkembangan HIV/AIDS melibatkan sebuah proses jangka panjang dan memiliki dampak jangka panjang: sistem manajemen bencana biasanya dirancang untuk kejadian-kejadian singkat dengan keterbatasan waktu dan terbatas secara geografis dengan asumsi bahwa bencana tersebut tidak akan bertahan selama berpuluh tahun, sehingga kerusakan yang ditimbulkannya dapat dibatasi, dan (b) asumsi adanya bantuan eksternal. Sebagaimana dikatakan oleh de Waal94, AIDS akan terus ada
38
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
bersama manusia dalam waktu yang lama. Berkenaan dengan HIV/AIDS, hal ini mungkin ada benarnya ketika kerusakan yang ditumbulkan sedemikian luas sampai-sampai negara-negara tidak lagi memiliki kemampuan untuk pulih. Selain itu, tanpa mobilisasi sumber daya internal untuk sebuah sistem respon, dukungan eksternal—meski tersedia—tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. AIDS membutuhkan sebuah respon pembangunan yang mempertimbangkan implikasi-implikasi jangka panjang bagi individu dan masyarakat. Salah satu kesulitan terbesar dalam pembangunan dan AIDS adalah jeda waktu. Dampak AIDS bersifat menyebar dan oleh karenanya tidak langsung dapat terlihat. Panjangnya durasi waktu yang dibutuhkan bagi sebuah krisis AIDS untuk mewujud pada individu dan institusi cenderung memperlemah pertanggungjawaban berbagai pihak. Para pemimpin dan institusi cenderung tidak memperhatikan peringatan-peringatan mengenai krisis masa depan atau tidak merespon suatu krisis hingga semuanya sudah terlambat. Tambahan lagi, orang cenderung selalu memiliki masalah-masalah mendesak yang lebih darurat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka tidak mendesak para pemimpin mereka untuk secara dini mengambil tindakan yang akan melemahkan dampak potensial HIV/AIDS: yaitu pertimbangan antara pengorbanan saat ini demi kebaikan di masa depan versus kebaikan di masa sekarang. HIV/AIDS menuntut sikap responsif dalam proses tata pemerintahan demokratis. Itulah sebabnya mengapa Early Warning Rapid Response System dikembangkan.
B.
Contoh penerapan Sistem
Sistem peringatan dini dapat ditemukan dalam ilmu pengetahuan alam dan fisika. Dengan menerapkan aspek peringatan dini terhadap epidemi HIV/AIDS, data yang tersedia menunjukkan bahwa aktivitas pembangunan dapat mempengaruhi tingkat kerentanan HIV di kalangan suatu kelompok atau kelompok-kelompok orang yang terpengaruh oleh aktivitas semacam itu. Kaitan antara pembangunan jalan dan kerentanan terhadap HIV Provinsi Guangxi di sudut barat daya Cina sepanjang Laut Cina Selatan berbatasan dengan Vietnam. Medannya yang diwarnai pegunungan membentuk sebuah rintangan alam bagi komunikasi dengan dunia luar. Dalam upaya merangsang pembangunan ekonominya, sebuah jaringan jalan dibangun untuk menghubungkan Guangxi dengan daerah Cina lainnya, dan menghubungkan Guangxi dengan negara luar—dengan Vietnam di selatan melalui Provinsi Yunnan, dengan Myanmar dan Thailand di sebalah barat. Pada 1996, provinsi Yunnan memiliki tingkat kelaziman HIV tertinggi di Cina. Gambar 6A menunjukkan distribusi kelaziman HIV di Guangxi tahun itu, yang menandai awal proses pembangunan dan perbaikan prasarana jalan. Garis-garis hitam mengindikasikan jaringan jalan. Namun pada 2000, ketika banyak bagian dari jaringan jalan pentingnya telah selesai dari pusat provinsi hingga ke perbatasannya, kita dapat melihat bahwa HIV menyebar ke seluruh provinsi seiring dengan jaringan jalan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 6B.
39
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Gambar 6. Pembangunan Jalan berhubungan dengan kerentanan terhadap HIV95
A
B
Distribusi Infeksi HIV di Guangxi, China (1996)
Distribusi Infeksi HIV di Guangxi, China (2000)
Sumber: Guangxi center for HIV/AIDS Prevention and Control
Ini memberi contoh kuat mengenai potensi yang mungkin dimiliki kegiatan pembangunan terhadap penyebaran epidemi HIV. Salah satu fungsi utama Early Warning Rapid Response System adalah menyatukan pembangunan ekonomi dan sektor-sektor perencanaan sejak dini dalam proses pengembangan ketahanan terhadap HIV. Sektor perencanaan membuat rencana prasarana beberapa tahun sebelum pembangunan jalan mulai dilaksanakan; kemudian, pembangunan jalan memerlukan waktu bertahun-tahun. Namun penyebaran informasi perencanaan semacam itu dari sektor perencanaan ke komunitas yang akan terpengaruh oleh pembangunan jalan itu akan memungkinkan orang-orang di tingkat lokal untuk memetik manfaat dari pengetahuan di muka - bagian peringatan dini dalam sistem ini. Dengan mendapatkan peringatan dini, orang memiliki waktu yang dibutuhkan untuk menganalisa berbagai dampak potensial; baik peluang maupun tekanan potensial. Analisa itu akan memungkinkan mereka menentukan apakah mereka perlu mengambil tindakan untuk mengurangi potensi kerentanan terhadap HIV dan merencanakan tindakan-tindakan mereka untuk memahami peluang-peluang yang terbuka bagi mereka. Ini adalah bagian respon dari sistem ini.
Aplikasi sistem oleh ASEAN Sebuah contoh mobilisasi oleh kawasan ASEAN, yang didasarkan pada konsep Early Warning Rapid Response System digambarkan di bawah ini. Belum lama ini, negara-negara anggota ASEAN sedang bekerja untuk menyelesaikan pembangunan atau peningkatan jaringan jalan raya kawasan ASEAN. Para negara anggota diberitahu mengenai kejadian Guangxi; di tempat pembangunan jalan yang menghubungkan titik-titik tingkat kelaziman HIV tinggi dan rendah, penyebaran HIV meningkat seiring dengan pembangunan rute-rute baru itu.96 Akibat dukungan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara ASEAN mengadopsi sebuah rekomendasi yang dikenal sebagai Rekomendasi Chiang Rai, di mana para kontraktor proyek pembangunan prasarana diharuskan menyertakan program pencegahan HIV bagi pekerja mereka dan masyarakat sekitar sebagai prasyarat untuk ikut serta dalam tender.97
40
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Sejumlah langkah dilakukan untuk memastikan bahwa Rekomendasi Chiang Rai diadopsi oleh seluruh negara yang dilintasi oleh Jalan Raya ASEAN. Sebuah strategi regional untuk mengurangi kerentanan HIV yang terkait dengan mobilitas terkait pembangunan diformulasikan secara bersama-sama setelah serangkaian konsultasi yang melibatkan LSM, pemerintah, lembaga riset, penderita HIV/AIDS, perwakilan ASEAN, dan badan-badan donor penting dengan difasilitasi oleh sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa.98 Proses konsultasi ini penting karena perspektif para migran berbeda, sebagaimana para penderita HIV/AIDS, yang sebagian di antara mereka adalah mantan pekerja kontrak di luar negeri. Selain itu, pandangan-pandangan pemerintah juga ditelaah dan dipertimbangkan. Salah satu isu yang diangkat adalah bagaimana mempraktikkan strategi-strategi yang diadopsi. Sekali lagi, bersama-sama dengan bantuan dari Bank pembangunan Asia, yang didukung oleh Swedia, sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa dan LSM, sebuah ‘perangkat’ dikembangkan untuk implementasi Rekomendasi Chiang Rai dan strategi regional.99 Gambar 7 menggambarkan mobilitas, yang dapat dipicu oleh peristiwa banjir atau kekeringan (alam) atau gejolak (buatan manusia), yang kesemuanya merupakan pemicu stress bagi masyarakat. Sebuah paradigma yang berorientasi pada pembangunan dapat digunakan untuk menelaah faktor-faktor ini, entah itu alami atau buatan manusia. Stress semacam itu dapat memicu pergerakan manusia keluar dari desa mereka dan memasuki kota besar di mana mereka akan mencari sumber pendapatan atau pekerjaan alternatif. Dalam proses itu, sebagian perempuan muda mungkin akhirnya jatuh ke perdagangan seks, sebuah aktivitas berisiko tinggi yang berpotensi untuk menghadapkan mereka terhadap infeksi HIV. Namun, paradigma berorientasi kesehatan yang ada di sebalah kanan dalam diagram ini memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang terkait dengan perilaku berisiko, seperti tidak mengenakan kondom ketika berhubungan seks, tapi tidak mempertimbangkan faktor-faktor penyebab yang membuat seorang individu berada dalam risiko infeksi HIV, seperti kemiskinan dan kurangnya pendidikan atau kemahiran bekerja yang dapat dijual. Gambar 7. The Early Warning Rapid Response System Model100
41
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Karena dihadapkan pada situasi semacam itu, upaya pendampingan berkelanjutan perlu dilakukan. Tambahan lagi, pengawasan terus-menerus dibutuhkan untuk menghasilkan peringatan dini serta mengkoordinasi respon cepat di tingkat lokal, negara, dan regional dalam ASEAN. Oleh karenanya, konsultasi multisektoral diselenggarakan pada Oktober 2003 di Thailand. Pada pertemuan itu, yang difasilitasi oleh UNDP dengan dukungan dari World Vision International, para pejabat pemerintah yang mewakili Kementerian Pembangunan, Pekerjaan Umum dan Transportasi, Otoritas AIDS Nasional—termasuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri—serta LSM yang bekerja secara aktif di tiap negara dalam bidang isu populasi bergerak dan HIV, merumuskan sebuah rencana aksi bersama untuk membangun ketahanan terhadap HIV di sepanjang Jaringan Jalan Raya ASEAN. Usulan rencana itu didukung pada 2003 Eleventh ASEAN Task Force on AIDS Meeting di Indonesia. Rencana itu akan diteruskan untuk diadopsi oleh Pertemuan Tingkat Tinggi Menteri-Menteri Kesehatan dan Transportasi ASEAN pada 2004.101 Yang sekarang dibutuhkan adalah sumber-sumber daya penting untuk mengimplementasikan komitmen bersejarah untuk bekerja sama dalam kawasan ASEAN ini, yang ditujukan untuk membangun ketahanan regional terhadap HIV. Kasus ASEAN menggambarkan bagaimana Early Warning Rapid Response System untuk pembangunan ketahanan terhadap HIV menelaah paradigma pembangunan, yang memusatkan perhatian pada akar-akar penyebab yang mempengaruhi kondisi-kondisi latar yang kondusif bagi peningkatan atau pengurangan kerentanan terhadap HIV. Paradigma ini melengkapi paradigma kesehatan. Gambar 7 menunjukkan kesalingterikatan kedua paradigma itu. Model ini didasarkan pada pandangan bahwa ‘kejutan’ atau ‘stressor’ akan menimbulkan dampak pada komunitas dan membawa ke suatu penyesuaian oleh komunitas tersebut. Sistem ini adalah sebuah upaya untuk mengembangkan sebuah mekanisme di mana informasi mengenai faktor-faktor sosial-ekonomi yang membuat suatu kelompok dan lokasi tertentu rentan terhadap HIV dapat secara cepat dikumpulkan dan dianalisa dengan peringatanperingatan sesuai yang diberikan, sehingga respon cepat melalui strategi dan aksi pembangunan dapat dilakukan oleh badan-badan implementasi pencegahan HIV, pemerintah, LSM, dan sektor swasta yang bekerja sama dengan orang-orang dalam masyarakat bersangkutan. Para peneliti dapat menjadi elemen penting dalam proses ini dengan merekam bukti kerentanan HIV yang dipicu pembangunan dan dengan mengidentifikasi respon efektif yang mengurangi kerentanan masyarakat terhadap HIV.
42
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
IV.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Mengingat dampaknya, prinsip-prinsip tata pemerintahan demokratis dalam menghadapi penyebaran epidemi HIV semakin terlihat penting bagi sistem tiap negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, kita masih perlu meneliti dan memperjelas lebih jauh bagaimana cara menerapkan tata pemerintahan demokratis dan bagaimana memastikan akuntabilitas tiap pemain kunci. Ini adalah sebuah proses evolusi; sebuah sistem tata pemerintahan demokratis tidak dapat diimplementasikan dalam semalam. Ini adalah sebuah proses yang harus terusmenerus ditelaah (diawasi dan dievaluasi) untuk memastikan bahwa proses tersebut sejalan dengan dinamika perubahan masyarakat dan epidemi yang harus dikendalikan. Tata pemerintahan demokratis adalah sebuah proses dinamis yang harus dibangun. Tiap negara harus bergerak dengan kecepatannya sendiri karena masing-masing memiliki cara berbedabeda dalam bekerja dan karena tidak ada yang bergerak dari titik yang sama, baik secara budaya maupun secara historis. Namun, budaya tata pemerintahan demokratis regional dapat mempermudah kecepatan implementasi suatu proses tata pemerintahan demokratis oleh negara-negara anggota suatu kawasan melalui tekanan dari sesama dan pertukaran pembelajaran bersama. Praktik tata pemerintahan demokratis memiliki keterbatasan-keterbatasan saat berhadapan dengan HIV/AIDS: bingkai kerja para politisi yang bersifat jangka pendek, yang didasarkan pada siklus pemilu dan pengotak-kotakan respon untuk mendapatkan hasil nyata secara cepat guna memuaskan para pendukung, bergerak berlawanan dengan mekanisme pengembangan daya tahan terhadap HIV. Pengembangan daya tahan terhadap HIV membutuhkan sudut pandang jangka panjang dengan respon dan langkah-langkah sistem multisektoral yang dilakukan tepat pada waktunya. Pembangunan sebuah masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap HIV dan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan demokratis akan menegakkan dan sekaligus juga menciptakan sinergi. Peningkatan tata kelola pemerintahan demokratis untuk membangun ketahan terhadap HIV dapat semakin mendekatkan dunia dalam mencapai dua dari Tujuan Pembangunan Milenium: Tujuan 6, yaitu menahan dan mulai menekan penyebaran HIV/AIDS, dan Tujuan 8, yaitu komitmen terhadap tata pemerintahan yang baik, pembangunan, dan pengurangan kemiskinan secara nasional serta internasional. Meski demikian, untuk membangun ketahanan terhadap HIV melalui lensa-lensa tata pemerintahan demokratis tidaklah bebas dari biaya, namun proses ini tidak membutuhkan sumber daya tambahan baru. Alih-alih, proses ini melibatkan reorientasi alokasi sumber-sumber daya yang telah ada. Rekomendasi Karena HIV/AIDS mengancam masa depan manusia, rekomendasi berikut untuk tindakan pada berbagai tingkat bisa membantu membalikkan proses desentralisasi dengan mengikutsertakan prinsip pengelolaan demokratik dalam respon terhadap HIV/AIDS:
Pada tingkat negara x
Mendukung dan mempromosikan prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan terhadap HIV Program AIDS pada tingkat nasional dan masyarakat – publik, non-pemerintah atau swasta – harus mengikutsertakan prinsip pengelolaan demokrati untuk meningkatkan efektifitas program tersebut dalam membangun ketahanan terhadap HIV. Mereka juga
43
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
dapat melakukan hal ini dengan memastikan suatu proses perencanaan strategis participatory yang meliputi sektor-sektor pengembangan multiple; transparensi dalam memformulasikan keputusan pembuatan kebijakan tentang alokasi sumber daya yang adil, termasuk yang terkait dengan pengobatan anti-retrovirus; efisiensi dalam operasi; ketanggapan dalam pengantaran program; serta akuntabilitas untuk hasil-hasil sesuai dengan pemerintahan berdasarkan hukum. Prinsip-prinsip ini semuanya dimasukkan dalam sebuah Early Warning Rapid Response System yang berjalan, yang bisa menjadi contoh multisektoral yang berpotensi. Pada tingkat regional x Memperkuat kolaborasi dan koordinasi regional untuk mendukung respon negara Karena HIV tidak menghiraukan perbatasan saat menyebar, penting untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan, baik teknis maupun finansial, untuk membangun ketahanan terhadap HIV regional di daerah-daerah yang terkena dampak virus itu. Ini dapat dilakukan dengan memperkuat mekanisme pengelolaan demokratik regional, yang selanjutnya bisa memudahkan proses pengelolaan demokratik di tingkat negara. Oleh UNDP x
Memperkuat kemitraan untuk pengelolaan demokratik UNDP memiliki mandat untuk mempromosikan pengelolaan demokratik. Untuk tujuan ini, badan itu berada di posisi yang unik: kantornya di 136 negara bisa bermitra dengan negara-negara dalam menerapkan prinsip pengelolaan demokratik untuk membangun ketahanan tiap negara terhadap HIV. Upaya seperti itu akan mendukung Declaration of Commitment (Pernyatan Komitmen) yang dibuat di United Nations General Assembly Special Session on HIV/AIDS (UNGASS) dan membantu dalam mencapai Millenium Development Goals.
Oleh para donor x
Memperluas kerangka dan lingkup bantuan untuk tindakan terhadap HIV Negara-negara donor harus bersikap proaktif dan memperluas kerangka bantuan mereka untuk HIV/AIDS melampaui fokus saat ini pada masalah kesehatan/medis, sehingga kerangka itu bisa menjadi sebuah kerangka pengembangan melalui mana dukungan bisa diberikan untuk tanggapan oleh berbagai sektor pengembangan, termasuk antara lain agrikultur, konstruksi, transport dan pertahanan, selain kepada sektor pendidikan dan kesehatan.
x
Mendukung respon regional dan antar negara Untuk menahan kemajuan pandemi tersebut, penting agar donor mendukung respon regional yang memberikan dimensi penting bagi program nasional yang mencoba menahan penyebaran HIV secara internasional.
x
Mempromosikan prinsip-prinsip pengelolaan demokratik Otoritas AIDS nasional harus mengkoordinir keragaman entitas yang menangani pendanaan HIV/AIDS dan mendirikan mekanisme pemantauan serta evaluasi yang konsisten, sehingga hasilnya bisa dibagi ke seluruh dewan. Ini akan meningkatkan respon programatik serta alokasi sumberdaya HIV/AIDS yang efektif dengan membantu strategi AIDS nasional, yang akan dihubungkan dengan rencana strategis pengurangan kemiskinan nasional.
44
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Oleh para peneliti x
Mendengarkan orang dan komunitas untuk mempelajari bagaimana mereka menangani HIV/AIDS. Menciptakan kebijaksanaan orang untuk menghasilkan perangkat pendukung berbasis bukti.
x
Mengembangkan indicator untuk proses pengelolaan demokratik. Indicator transisi yang akan mengukur kemajuan kearah obyektif jangka panjang harus diikutsertakan untuk melawan praktik-praktik jangka pendek dari politisi yang khawatir tentang siklus electoral.
x
Menyempurnakan Early Warning Rapid Response System sambil memastikan penerapan prinsip pengelolaan demokratik dan kolaborasi multisektoral yang berguna dalam pendeteksian awal dari kejadian-kejadian yang bisa menandakan kondisi yang baik untuk penyebaran HIV/AIDS. Yang terutama, harus ditemukan cara-cara untuk mengurangi kelesuan dalam kelembagaan, sehingga memastikan bahwa peringatan bisa menghasilkan respon yang tepat waktu.
Endnote 11
Pernyataan pers PBB, POP/850, 26 Februari 2003 Statistik dan ciri-ciri HIV/AIDS, akhir 2003, dalam Aids epidemic update, Desember 2003, UNAIDS dan Organisasi Kesehatan Dunia 3 Makalah strategi, Commission for HIV/AIDS and Governance for Africa, September 2003 4 Hsu, Lee-Nah, du Guerny, J., Governance and HIV/AIDS (12 November 1999), dalam Introducing Governance into HIV/AIDS Programmes: People’s Republic of China, Lao PDR and Viet Nam, Juni 2002, UNDP South East Asia HIV and Development Programme,
. 2
1
United Nations Millenium Development Goals, United Nations Millenium Summit, September 2000.
2
Brown, M.M., Administrator, UNDP, in the “Foreword” to the UNDP Human Development Report, 2003
3
UNDP definition of human development, Lihat UNDP Human Development Report, 2003
4
Personal work with Dr. J. Mann and his human rights advisers in the late 1980s and early 1990s at the Global Programme on AIDS, Who, Geneva
45
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
5
Patterson D., London, L., “International law, human rights and HIV/AIDS: Special theme – Global Public Health and International Law”, Bulletin of the World Health Organization, 2002, 80 (12), hal 965; HIV/AIDS and Human Rights, International Guidelines, UNAIDS, Office of High Commissioner for Human Rights, 2002.
6
Robinson, Mary, Voice of America News, 10 September 2003, Afrika
7
“Human security now”, Bab 1, Report of the Commission on Human Security, report outline, United Nations Commission on Human Security, 1 Mei 2003 8
Ibid
9
“Human security now”, op.cit
10
“Human security now”, op.cit
11
Ibid
1212
“Governance for sustainable development”, UNDP Policy Document 1999
13
“Governance for human development”, UNDP Strategy Paper, February 2000 in 14 October 2002 version, hal.10, internal
14
Beetham, D., Bab 1, “Defining and justifying democracy”, in Democracy and Human Rights, Polity Press, http://www.polity.co.uk, 2000, ISBN 0-7456-1108-7, hal 1-29
15
Campbell, H. Chapter 15, “Democracy, Human rights and peace in Africa”, pp 198-218, The State and Democracy in Africa, edited by Nzongola-Ntalaja and M.C. Lee, Trenton: Africa World Press, 1998
16
President Abraham Lincoln’speech, Gettysburg, Pennsylvania, 19 November 1863 Nzongola-Ntalaja, G., Chapter 1, “The State and democracy in Africa”, in The State and Democracy in Africa, edited by G.Nzongola-Ntalaja and M.C. Lee, African Association of Political Science, Trenton: Africa World Press, 1998, hal. 9-24
17
18
Good Governance, Division for Democratic Governance, Department for Democracy and Social Development, Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA), Juli 2002, hal 2-4
19
Brown, M.M., “Deepening democracy in a fragmented world”, in the “Foreword” to the UNDP Human Development Report, 2002, p.v, 2000
20
Ibid
21
African scholars redefined the concept of “good governance” to dissociate it from the World Bank’s definition. The aim of the scholars was to ensure democracy and popular participation; thus, at the workshop organized by OSSRIA, the participants agreed to settle for the term “democratic governance”. There could be good governance without democracy as in Uganda and Ghana. Thus, democratic governance implies, over and above technical efficiency and probity, regular interaction between government and civil society and free participantion by the letter though its institutions and popular
22
Brown, M.M., op.cit
23
Nzongola-Ntalaja, G.Chapter 1, “The State and democracy in Africa”, in The State and Democracy in Africa, 1998
24
Overview, “Deepening democracy in a fragmented world”, UNDP Human Development Report, 2002, hal. 4
46
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
25
Skeldon, R., Population Mobility and HIV Vulnerability in South East Asia: an assessment and analysis, Februari 2000, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hivdevelopment.org/publications/strategy.htm 26
Human Security Report, Bab 3, Mei 2003
27
Centre for Community Enterprise, the Community Resilience Project, 2000 and Hsu, Lee-Nah, du Guerny, J., Marco, M., Communities Facing the HIV/AIDS Challenge: from crisis to opportunities, from community vulnerability to community resilience, Juli 2002, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/crisis.htm
28
Economic insecurity-the power to choose among opportunities, Bab 5, Human Security Report, Mei 2003.
29
Hsu, Lee-Nah; du Guerny J., “Governance and HIV/AIDS” (12 November 1999), in Introducing Governance into HIV/AIDS Programmes: People’s Republic of China, Lao PDR and Viet Nam, Juni 2002, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hivdevelopment.org/publications/introducing-governance.htm. 30 Diagram design based on discussion with Ms. Monica Sharma, Leader of UNDP BDP/HIV Practice Group. 31
Early Warning Rapid Response System: HIV vulnerability caused by mobility related to development, Juli 2000. UNDP South Esat Asia HIV and Development Programme, http://www.hivdevelopment.org/publications/intriducing-governance.htm. 32
Hsu, Lee-Nah & du Guerny, J., “Governance and HIV/AIDS” (12 November 1999), in Introducing Governance into HIV/AIDS Programmes: People’s Republic of China, Lao PDR and Viet Nam, Juni 2002, hal.3
33
Ibid Hsu, Lee-Nah and Fung, V., Data taken from UNAIDS Global HIV/AIDS Tend Report, 2002 and Human Development Report, 2003 and Human Development Index (HDI), 2001. The data used to plot these two graphs are in annex II at the end of this paper
34
35
As listed in annex II, there are several countries where the GDI and HDI are low, but HIV prevalence is also low. These are the key outlier countries based on the data available.
36
Indicator tables, UNDP Human Development Report, 2003
37
Data dari UNESCO, WHO, UNICEF dan World Bank.
38
Plotted by using data from UNDP Human Development Report, 2003, Human Poverty Index (HPI) 1995-2001 data, UNAIDS and WHO Global Report on HIV/AIDS, 2002, World Development Indicators, 2003, World Bank
39
Lihat endnote 26
40
Beetham D., “Defining and Justifying democracy”, Domocracy and Human Rights, Polity Press, 2000, hal.11
41
Chistiano, T., Political Equality, in Majorities and Minorities, edited by Chapman. J.W. and Wertheismes A., New York, New York University Press, 1990, hal. 138-151.
42
Jayasree A.K., “What next, a school for positive children?” 1 September 2003, Kerala, India.
43
Mogendal, S. Cordination of national responses to HIV/AIDS: guiding principles for national authorities and their partners, October 2003, internal document of UNAIDS.
47
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
44
Teixeira P. R., Coordinator, Brazilian Programme of Sexual Transmissible Diseases and AIDS, National AIDS Drug Policy, Ministry of Health, Brazil, National STD/AIDS Programme, Juni 2001, hal. 72-74
45
The author’s personal communities with ministry of Health, Brazil in the early 1990s while working with the government on HIV/AIDS prevention and care, National Programme Planning.
46
Gomes, C. A., Head of the Association of Official Pharmaceutical Laboratories (ALFOB), in Brazil Imports Generic AIDS Drugs from India, China, Inter Press Services, M. Osava, Rio de Janeiro, 5 September 2003.
47
Teixeira P. R., Coordinator, Brazilian Programme of Sexually Transmissible Diseases and AIDS, National AIDS Drug Policy, Ministry of Health, Brazil, National STD/AIDS Programme, Juni 2001.
48
Ibid, hal 7.
49
Ibid, hal.12.
50
Ibid, hal.27
51
Teixeira, P. R., Victoria, M.A., and Barcarolo J. 25 Juni 2003, Bagian 1, Bab 2. “The Brazilian experience in providing universal access to antiretroviral therapy”, in Economics of AIDS and Access to HIV/AIDS Care in Developing Countries: Issues and Challenges, ANRS, hal. 69-88.
52
Ibid.,hal,.75
53
Brown, T. Director, East-West Center, University of Hawaii, United States, 2003
54
Statistics from the Ministry of Public Health, Thailand.
55
Panyarachun, A. “Leadership in fighting HIV/AIDS”, presentation at the South-East Asia Chiefs of Mission Conference on HIV/AIDS, Bangkok, Thailand, 30 Juni 2003
56
Statistics from the Ministry of Health, Thailand, 30 June 2003. Sermons based on Buddist Precepts: a response to HIV/AIDS, December 2000, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/sermons.htm
57
Our families, our friends: an action guide, January 2001, UNDP South East Asia HIV and Development Programme,http://www.hiv-development.org/publications/sermons.htm Mae Chan Workshop on Integrated Community Mobilization towards Effective Multisectoral HIV/AIDS Prevention and Care, May 2001, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/mae-chan-workshop.htm. 58
Panyarachun, A., op. cit., lihat juga endnote 55
59
Presentation by Dr. Taweesap Siraprapasiri to an AIDS meeting, 2002, Bangkok, Thailand.
60
Panyarachun, A., op. cit., lihat endnote 55, hal.5
61
Onnucha Hutasing, “Mechai calls on PM to lead war on AIDS: concern over unsafe sex among youths”, Bangkok Post, 8 Juli 2003.
62
D’Agnes T., “AIDS in Thailand”, in From Condoms to Cabbages: an authorized biography of Mechai Viravaidya, Post Books, 2001, ISBN: 974-228-009-6, hal. 339-352
63
Dasgupta, P., Human Well-being and the Natural Environment, Oxford University Press, 2001.
48
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
64
Hsu, Lee-Nah, du Guerny, J., Communities Facing the HIV/AIDS Challenge: from crisis to opportunities, from community vulnerability to community resilience, July 2002, http://www.hivdevelopment.org/publications/crisis.htm 65
Ibid., Social capital refers to the institutions, relationships and norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Increasing evidence shows that social cohesion is criticalfor societies to prosper economically and for development to be sustainable. Social capital is not just the sum of the institutions which underpin a society; it is the glue that holds them together.
66
De Waal, A., “Modelling the governance implications of the HIV/AIDS pandemic in Africa: First thoughts”, June 2002, from Justice Africa, http://www.justiceafrica.org/governance_implications.htm.
67
Ibid.
68
Paxton, S. “Positive women”, presentation on research at the Second Asia-Pacific Conference on Reproductive and Sexual Health, 6-10 October 2003, Bangkok, Thailand, Inter Press Service.
69
Hsu, Lee-Nah, HIV Subverts National Security, August 2001, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/subverts-security.htm.
70
de Waal, A., 2002. op.cit.
71
Ibid
72
Ibid.
73
Teixeira P.R., and others, op.cit., lihat footnote 44, hal. 80
74
“Reaching out, scaling up : Eight case studies of home and community care for and by people with HIV/AIDS”, UNAIDS Case Study, September 2001. 75 Personal communication with Dr. Steve Lwanga, the appointed Commissioner, while working at WHO, Geneva during the period 1989-1991. 76
“Partnership for home-based care in rural areas, Uganda”, in Reaching Out, Scaling Up, UNAIDS Best Practice Publications, halaman. 95, September 2001.
77
Personal communications with Noreen Kaliba, Founder of TASO when working with GPA, WHO in 1989.
78
Lihat endnote 76.
79
Based on UNDP’s work in Ethiopia, Ukraine, South Africa and Cambodia. Communication from UNDP BDP/HIV Practice Group, 12 November 2003
80
Designed by Lee-Nah Hsu.
81
du Guerny J., Chamberlain J.R., and Hsu, Lee-Nah, From AIDS Epidemics to an AIDS Pandemic: Is an HIV/AIDS hub building in South East Asia?, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, Agustus 2000, http://www.hivdevelopment.org/publications/epidemics%20Pandemic.htm. 82
The Impacts of Mapping Assessment on Population Movement and HIV Vulnerability in South East Asia, September 2001, UNDP South Esat Asia HIV and Development Programme, http://www.hivdevelopment.org/publications/mapping.htm 83
du Guerny, J., Hsu, Lee-Nah, Chhitna, S., The Development Stategy to Empower Rural Farmers and Prevent HIV, Januari 2002, http://www.hiv-development.org/publications/HESA.htm
49
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
84
de Waal, A., Introduction, in How Will HIV/AIDS Transform African Governance?, Januari 2003, http://www.justiceafrica.org/aids_african_governance2.htm
85
ASEAN Worshop on Population Movement and HIV Vulnerability, United Nations Development Programme South East Asia HIV and Development Programme, Juni 2000, http://www.hivdevelopment.org/publications/ASEAN_workshop.htm 86
Strategy on Mobility and HIV Vulnerability Reduction in the Greater Mekong Subregion 2002-2004, http://www.hiv-development.org/publications/strategy.htm.
87
du Guerny J., Hsu, Lee-Nah, Towards Borderless Strategies against HIV/AIDS, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, Mei 2002, http://www.hivdevelopment.org/publications/borderless-strategies.htm 88
Lee, R., “An international normative framework for democratization”, paper presented at the Fifth International Conference of New or Restored Democraticies, 10-12 September 2003, Ulaanbaatar, Mongolia.
89
Statement by Ms. M. Mahatir at a summit jointly organized by UNDP-SEAHIV, CARAM-Asia, Canadian Human Rights Foundaton and IOM, Genting Highlands, Malaysia, Regional Summit on PreDeparture, Post-Arrival and Reintegration Programmes for Migrant Workers, September 2001.
90
Guest, P., du Guerny, J., Hsu, Lee-Nah, From Early Warning to Development Sector Responses against HIV/AIDS Epidemics, Mei 2003, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/ewdsr.htm.
91
Guest, P., du Guerny, J., Hsu, Lee-Nah, From Early Warning to Development Sector Responses against HIV/AIDS Epidemics: A Summary of Two Early Warning Rapid Response System Workshops, 13-14 Juni 2002, Thailand and 16 Oktober 2002, China, Mei 2003, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/ewdsr.htm.
Early Warning Rapid Response System: HIV vulnerability caused by mobility related to development, Juli 2000, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, Juli 2000, http://www.hivdevelopment.org/publications/ewrs.htm 92
“Better health for human security”, Babr 6, Human Security Report, Mei 2003
93
Jacob, S., Reframing HIV and AIDS, by Health Systems Trust , South Africa, 14 November 2003.
94
de Waal A., 2003, op. cit
95
Guangxi Center for HIV/AIDS Prevention and Control.
96
Hsu, Lee-Nah, Building on Alliance with Transport Sector in HIV Vulnerability Reduction, Maret 2001, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hivdevelopment.org/publications/building.htm 97 du Guerny, J., Hsu, Lee-Nah, Towards borderless strategies against HIV/AIDS, May 2002, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hivdevelopment.org/publications/borderless-strategies.htm 98
Strategy on Mobility and HIV Vulnerabilty Reduction in the Greater Mekong Subregion, 2002-2004, September 2001.
99
ADB/UNDP-SEAHIV/WVI/Burnet Institute: Toolkit for HIV Prevention among Mobile Populations in the Greater Mekong Subregion, 2002, http://www.hiv-development.org/publications/tool-kit.htm.
50
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
100
Early Warning Rapig Response System: HIV vulnerability caused by mobility related to development, Juli 2000, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, Juli 2000, http://www.hiv-development.org/publications/ewrs.htm. Guest, P. , du Guerny, J., Hsu, Lee-Nah, From Early Warning to Development Sector Responses against HIV/AIDS Epidemics, Mei 2003, UNDP South East Asia HIV and Development Programme, http://www.hiv-development.org/publications/ewdsr.htm. 101
UN Wire, 15 Oktober 2003
51
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Lampiran I
Hubungan antara HIV/AIDS dan tata pemerintahan demokratis di Afrika :Komentar oleh Alex de Waal*
Pendahuluan Epidemi HIV/AIDS adalah tantangan terbesar bagi tata pemerintahan Afrika saat ini. Komentar ini berfokus pada dua elemen tantangan tersebut saja. Yang pertama mengenai pemahaman sifat tantangan publik yang ditimbulkan oleh HIV/AIDS. Ini pada prinsipnya merupakan pernyataan akademik dan metodologis. Yang kedua berfokus pada kesulitankesulitan besar yang akan kita hadapi dalam memastikan bahwa respon terhadap epidemi HIV/AIDS di Afrika konsisten dengan persyaratan teknis kebijakan kesehatan publik yang efektif dan mendukung tata pemerintahan demokratis. Sebuah studi menyeluruh mengenai hubungan-hubungan antara HIV/AIDS dengan tata pemerintahan demokratik sudah lama dinanti-nantikan dan usaha-usaha Dr. Lee-Nah Hsu untuk memulai ini sangatlah patut dipuji. Kasus yang didokumentasikannya di Cina merupakan pesan advokasi berbasis bukti yang kuat. Kerangka kerja analitis dari Early Warning and Rapid Response System terbilang bagus. Kalau saja analisa seperti itu 10 atau 15 tahun lalu sudah ada di Afrika, pasti kita sudah mempunyai perlengkapan yang bisa dipakai untuk mengantisipasi dan mencegah banyak aspek dari epidemi yang berkembang. Fokus dari komentar ini hampir sepenuhnya mengenai Afrika semata karena Afrika merupakan benua tempat komentator telah bekerja dan belajar. Diharapkan bahwa komentarkomentar ini tidak akan relevan dengan Asia – semoga epidemi HIV/AIDS Asia takkan pernah mencapai level yang terjadi di Afrika.
Sifat fraktal ancaman komunal HIV/AIDS Fakta bahwa epidemi HIV/AIDS menciptakan berbagai ancaman serius terhadap kinerja masyarakat sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kata-kata seperti ‘bencana’ dan ‘krisis’ lazim dipakai. Semua ini mengarahkan perhatian kita pada skala ancaman dan kebutuhan akan respon yang khusus. Namun kita mengalami kesulitan dalam merespon secara efektif, sebagian karena kita tidak memiliki bahasa dan model untuk memahami apa yang ditimbulkan oleh epidemi HIV/AIDS yang tidak dikendalikan terhadap masyarakat. Dalam sebuah makalah yang baru-baru ini diterbitkan berjudul Learning from HIV and AIDS1, penulis menyebutnya ‘bencana tanpa nama’. Setelah mengajukan konsep ‘kelaparan varian baru’ setahun lalu untuk berusaha menangkap dampak-dampak kombinasi HIV/AIDS dan *
Hubungan antara HIV/AIDS dengan tata pemerintahan demokratis di Afrika, komentar oleh Alex de Waal, Justice Africa, dan Governance and AIDS Initiative. Komentar ini disampaikan pada sebuah diskusi tanggal 3 November 2003 di Oslo Governance Centre dalam makalah Lee-Nah Hsu “Building Dynamic Democratic Governance and HIV-Resilient Societies”. Pandangan-pandangan yang ditunjukkan dan terminologi yang dipakai dalam komentar ini adalah milik komentator. Nama dan terminologi yang dipakai dan presentasi material tidak menyiratkan ekspresi opini PBB sama sekali, mengenai status resmi negara, teritori, kota, atau kawasan manapun, atau pihak berwenangnya, atau perbatasan-perbatasannya. Nama perusahaan dan produk komersil yang disebutkan tidak menyiratkan adanya dukungan dari PBB.
52
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
ketersediaan pangan, hal itu dikritik oleh sejumlah akademisi dan praktisi dengan alasan bahwa apa yang kala itu disaksikan terjadi di Afrika Selatan tidak serupa dengan bencanabencana kelaparan yang telah dikenal sebelumnya. Respon komentator terhadap kritik seperti itu adalah bahwa kata ‘kelaparan’ dipakai karena kata itu merupakan kata terkuat dalam leksikon bencana, dan memiliki karakter. Kalau saja komentator menyebut ‘krisis ketersediaan pangan varian baru’, tidak ada yang akan memahaminya. Masalah utama dengan pemakaian kata ‘kelaparan’ adalah karena kata itu tidak cukup kuat. Untuk memahami seberapa besar dampak yang bisa ditimbulkan oleh HIV/AIDS, kita perlu melihat studi ekologi manusia, terutama ekologi bencana di masa lalu. Harus dilakukan suatu pengamatan akan sifat fraktal HIV/AIDS: menunjukkan sejumlah fitur serupa di semua level, mulai dari sel sampai kolektivitas masyarakat di lokasi penyebaran. Khususnya, HIV menunjukkan sebuah kemampuan luar biasa untuk melakukan potong kompas terhadap berbagai tekanan evolusioner untuk pengurangan kadar mematikannya. Observasi tersebut dilakukan di semua level: sel, penderita individual dan populasi penderita. Menghindari jebakan yang menangkap patogen-patogen lain yang menular dan sangat mematikan, yaitu, mematikan si penderita dan dengan begitu membahayakan penyebaran selanjutnya. HIV memiliki tingkat mutasi yang luar biasa tinggi, bisa menggabung kembali untuk menciptakan turunan-turunan baru, dan menggunakan mekanisme pertahanan si penderita sebagai mekanismenya sendiri untuk melakukan replikasi – semua langkah yang memungkinkannya untuk meminimalkan potensi kekebalan si penderita. Selain itu, dengan menghentikan sistem kekebalan, HIV pada akhirnya membunuh penderita dengan menciptakan sebuah ekologi yang mendukung pengidapan dan perkembangan penyakitpenyakit lain. Terlebih lagi, kerena panjangnya periode antara saat terinfeksi dengan kematian, di mana saat itu virus mempunyai kesempatan untuk menulari individu-individu lain, HIV mampu mewujudkan penyesuaian evolusioner jangka panjang yang potensial dengan homosapien, tanpa kehilangan 100% kadar mematikannya. Di tingkat populasi, pada prinsipnya tidak ada alasan mengapa risiko mengidap HIV seumur hidup masing-masing individu tidak boleh mendekati 100%, dan dipertahankan pada level itu untuk selamanya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dicapai oleh patogen lain. Dalam berbagai sub-populasi tertentu, HIV mencapai level ‘jenuh’. Tingkat kekerapan 40% sesuai dengan estra risiko seumur hidup 80% (tingkat tepatnya tergantung pada usia penyebaran risiko mengidap). Karena itu, di sejumlah populasi umum di Afrika Selatan, tingkat jenuh sudah hampir tercapai. Untuk itu, salah satu mekanisme di mana HIV/AIDS bisa mencapai tingkat kejenuhan optimal populasi penderita adalah dengan memacu perubahan dalam populasi tersebut untuk menjadikan HIV/AIDS lebih lemah. Terlihat adanya kesadaran mengenai faktor-faktor sosioekonomi untuk epidemi AIDS, termasuk ketidaksetaraan dan rendahnya pendidikan. Salah satu dampak sekunder dari epidemi HIV/AIDS ini adalah untuk menyoroti semua ini, sehingga memacu kondisi-kondisi di mana HIV bisa memastikan penyebarannya. Pada level ini, sebuah perbedaan penting harus diperhatikan antara HIV/AIDS dan penderitaan demografis yang utama lainnya, termasuk penyakit menular lainnya, kelaparan dan perang. Sejarah menunjukkan bahwa semua krisis tersebut disertai efek-efek sekunder. Dengan begitu, kelaparan menimbulkan epidemi; perang menyebabkan kelaparan, dsb. Dalam hal ini, HIV/AIDS juga serupa: menciptakan kondisi untuk epidemi TBC yang terkait dan meningkatkan kerentanan terhadap krisis pangan. Meski demikian, ada perbedaan pentingnya. Berbagai kejutan sejarah yang normal telah berlalu dan dampak-dampak sekundernya juga demikian; pemulihan mungkin untuk dilakukan, seringkali dalam waktu singkat. Dengan HIV/AIDS, dampak-dampak sekundernya bersifat struktural dan jangka panjang. HIV/AIDS
53
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
menciptakan berbagai kondisi yang kontinyu untuk kerentanan terhadap penyakit-penyakti lain, kelaparan dan serangkaian patologi sosial lainnya. Terlebih lagi, dampak-dampak ini mungkin pada akhirnya bisa menciptakan sebuah ekologi sosial yang mendukung untuk mencapai dan mempertahankan titik jenuh HIV. Respon penderita kolektif terhadap HIV bisa mendukung penyebaran virus yang berkesinambungan. Elemen lain dalam gambaran fraktal adalah sifat rentan atau tidaknya masyarakat. ‘Paradigma Jaipur’ yang dikembangkan oleh Tony Barnett dan Alan Whiteside2 mengasumsikan bahwa kurangnya kohesi sosial merupakan komponen berbahaya di mana epidemi berkembang. Bagaimana’kohesi sosial’ terbentuk dan diukur? Kohesi dan ketiadaannya juga fraktal. Makalah Dr. Hsu menyertakan korelasi empiris yang berkesan antara kekerapan HIV dan ketidaksetaraan yang diukur dengan koefisien Gini. Kita juga mengetahui bahwa ketidaksetaraan gender dan ketidakseimbangan kekuatan yang ekstrim antara orang-orang dengan usia yang berbeda-beda, dan khususnya keduanya bersama-sama, merupakan faktor risiko. Ketidaksetaraan internasional juga kemungkinan menjadi sebuah faktor risiko. Hal ini mengarah pada sebuah agenda riset yang penting: memperbaki konsep-konsep ‘kohesi sosial’ yang relevan dengan epidemi. Selanjutnya, bagian-bagian yang penting dari agenda tata kelola untuk memerangi HIV/AIDS akan berada secara khusus untuk membidik elemenelemen kohesi sosial, mengidentifkasi apakah bisa diperkuat, dan terlebh lagi, mengidentifikasi bagaimana program-program pengelolaan dan pembangunan serta kebijakan bisa memperlemah kohesi sosial.
Demokrasi dan respon terhadap HIV/AIDS Menanggapi epidemi HIV/AIDS pada dasarnya merupakan suatu hal yang tergantung intenstas sumber daya dan secara teknis rumit. Tindakan itu menuntut banyak dana, sejumlah besar orang yang terampil dan berdedikasi, dan komitmen terhadap kebijakan publik selama satu dekade atau lebih. Merancang dan menerapkan berbagai program dan kebijakan dengan skala dan jangkauan yang dibutuhkan akan menjadi tindakan penyediaan layanan publik terbesar sepanjang sejarah di Afrika. Jika berhasil, penanganan yang lebih luas tidak hanya akan membuat jutaan orang tetap hidup dan sehat lebih lama, tetapi juga membantu mengurangi banyak dampak sekunder berbahaya dari mortalitas orang dewasa yang menyebar luas. Misalnya, dengan memperpanjang masa hidup orang-orang yang terampil bekerja, hal itu akan mempermudah mempertahankan institusi yang kompleks. Memperpanjang masa hidup orang tua akan mengurangi jumlah anak yang menjadi yatim-piatu akibat AIDS. Di dunia di mana pengobatan yang mampu mempertahankan masa hidup penderita HIV dan AIDS, menahan pengobatan itu hanya karena penderita kebetulan tinggal di negara miskin, bukanlah pilihan. Jika jutaan ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS) di Afrika ingin memiliki akses ke anti-retroviral treatment (ART) yang memperpanjang masa hidup ini, dan pendidikan AIDS program-program perawatan dan perbaikan ditingkatkan secara terukur, kemudian karena diperlukan maka akan ada pergeseran prioritas-prioritas kebijakan publik pemerintah negaranegara Afrika dan para rekanannya. Peningkatan program-program AIDS terutama perawatan, secara otomatis akan melibatkan pertukaran dan penurunan atau bahkan pengabaian berbagai prioritas publik lainnya. Perawatan AIDS memang disambut, tetapi untuk negara-negara miskin yang memiliki institusi-institusi yang lemah, program-program perawatan yang besar-besaran bukan sekedar subsidi yang sederhana dan bisa dimanipulasi. Maksud utamanya adalah memberikan respon secara efektif terhadap epidemi HIV/AIDS menuntut pilihan-pilihan kebijakan publik yang terutama, sukar dan kontroversial, di levellevel nasional dan internasional.
54
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Saat ini, sebagian keputusan-keputusan kebijakan publik yang terpenting untuk Afrika untuk dekade mendatang, atau bahkan kurun waktu yang lebih lama lagi, diambil melalui perdebatan publik yang minim. Tidak ada yang bisa menentang tindakan menyelamatkan hidup orang lain; dan jika ada yang mempertanyakan mengenai berbagai program yang bertujuan menyelamatkan hidup, akan dilabeli dengan sinisme, rasisme dan tidak menghargai nyawa manusia. Akan tetapi, mengenai bantuan kelaparan, kesederhanaan memikat kebutuhan kemanusiaan bisa menutupi kenyataan bahwa semua tindakan memiliki konsekuensi politis dan ekonomis, yang tidak seluruhnya positif. Itu merugikan baik terhadap dorongan kemanusiaan yang murni maupun terhadap tujuan kebijakan publik yang bertujuan untuk memastikan hasil terbaik, dengan tidak memiliki semua aspek dari opsi-opsi kebijakan yang diperdebatkan secara terbuka. Meski demikian, ini tidak terjadi saat ini – bukan karena adanya konspirasi atau intimidasi moral, tetapi terutama karena kecepatan pengambilan keputusan, dan kenyataan bahwa kita berada dalam teritori yang dikenal dengan sedikit sekali pengalaman di masa lalu yang bisa membimbing kita. Kurangnya perdebatan publik ini sungguh disayangkan. Agar pilihan-pilihan yang penting bisa diidentifikasi dan diambil, dan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan diterapkan dengan konsistensi dan akurasi yang cukup, dibutuhkan sebuah sistem politik yang sehat. Hanya sistem demokrasi yang bisa, di mana warga negara dan para stakeholder bisa secara terbuka membicarakan pro dan kontra dari berbagai tindakan yang berbeda, dan sampai pada suatu kesimpulan yang bisa diterima semua pihak. Satu pertanyaan penting yang perlu dibicarakan secara terbuka adalah: apa sumber dari berbagai sumber daya yang diperlukan untuk menghadapi epidemi HIV/AIDS? Pertanyaan ini harus diajukan baik mengenai sumber daya nasional maupun internasional, serta sumber daya finansial dan manusia. Para aktivis AIDS tentu saja lebih suka pendanan tambahan yang baru. Saat ini, kenyataannya adalah bahwa sebagian besar sumber daya baru itu diambil dari tempat lain. Pendanaan untuk HIV/AIDS meningkat ketika level bantuan pembangunan resmi (official development assistance/ODA) tidak meningkat. Setelah secara bertahap menurun selama sekitar satu dasawarsa, ODA global telah sedikit meningkat pada 2002. Secara global, itu hanya sedikit di bawah $60 miliar, di mana sekitar $20 miliar di antaranya dialirkan ke Afrika. Dana yang dihabiskan untuk program-program HIV/AIDS tidak bisa dihabiskan untuk pendidikan dan pengentasan kemiskinan – atau juga untuk kebutuhan kesehatan lainnya. Yang sama pentingnya dalam konteks negara-negara Afrika, orang-orang yang dipekerjakan dalam berbagai aktivitas AIDS tidak bisa dialokasikan untuk hal-hal lain. Suka atau tidak, sebuah keputusan tengah diambil untuk mencurahkan sumber-sumber daya untuk AIDS dengan mengorbankan prioritas-prioritas ekonomi dan sosial. Cukup mungkin bahwa selama satu dekade, pendanaan yang terkait dengan HIV/AIDS mungkin mewakili sepertiga atau bahkan setengah dari bantun yang diberikan ke Afrika. Permintaan untuk memperbanyak pendanaan AIDS telah didorong oleh sebuah kampanye yang kuat dan persuasif. Hal itu disambut baik, bukan hanya karena tujuannya mulia – memang benar-benar sesuatu yang dibutuhkan – tetapi juga karena itu merupakan sebuah contoh yang diperlukan dari potensi aksi warga negara dan dari koalisi-koalisi aktivis internasional. Meski demikian, penting juga bahwa pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik selama berpuluh tahun melakukan layanan publik yang didukung bantuan di Afrika diterapkan pada program-program dan kebijakan untuk HIV/AIDS. Ada kebutuhan untuk menerapkan praktik-praktik terbaik saat ini dalam mengembangkan agenda kebijakankebijakan AIDS, jika kita ingin menghindari banyaknya kesalahan yang bisa dihindarkan yang berarti bahwa sudah begitu banyak dana bantuan dari luar negeri yang salah digunakan di masa lalu. Misalnya, salah satu pelajaran terpenting yang didapat adalah di bidang harmonisasi kebijakan. Bantuan berfungsi maksimal jika bantuan itu merupakan bagian dari sebuah strategi keseluruhan, koheren, dan milik nasional, dirancang dalam kurun kerangka kerja jangka menengah dan panjang. Bantuan tersebut sangat tidak berfungsi maksimal jika
55
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
diberikan untuk proyek-proyek yang spesifik untuk masing-masing donor, didesain secara eksternal dan memiliki harmonisasi buruk, terekspos terhadap teknik-teknik pelaporan dan pembukuan yang rumit dan memberatkan. Untuk sejumlah alasan yang bisa dimengerti, banyak pendanaan untuk AIDS yang harus dicurahkan untuk beberapa pilot project dan program-program yang spesifik di sektor tertentu, dan sangat sukar untuk menerapkan pemantauan yang berbasis hasil. Namun, ini tidak berarti bahwa menyingkirkan tujuan untuk membuat bantuan menjadi lebih mudah, terharmonisasi dan terekspos terhadap akuntabilitas mutual. Salah satu dasar GAIN (Governance and AIDS Initiative) adalah untuk menyatukan para aktivis perawatan, yang telah mempelopori kampanye untuk ARV yang bisa diakses dan telah mencapai kemenangan yang mengagumkan, dengan para aktivis pemerintahan dan tata kelola. Para aktivis perawatan, yang berfokus proaktif pada tujuan untuk menjadikan ARV terjangkau dan bisa diakses, kini tengah menghadapi tantangan soal apa yang harus dilakukan, karena kini mereka telah menang. Para aktivis tata kelola dan demokrasi mungkin bisa menyumbangkan keterampilan dan pengalaman mereka, sembari juga mencari cara untuk membuat HIV/AIDS menjadi salah satu kepedulian mereka. Para aktivis AIDS juga lebih suka memprioritaskan pendanaan AIDS, tidak hanya di atas permintaan belanja lainnya, tetapi juga di atas berbagai kerangka kerja manajemen ekonomi makro yang mencakup pula batas pengeluaran. Segelintir aktivis adalah teman-teman dari lembaga-lembaga Bretton Woods dan berbagai hambatan finansial yang mereka dukung. Bahkan para aktivis yang mengakui bahwa ada dasar untuk disiplin fiskal yang cenderung pada pandangan bahwa HIV/AIDS semestinya dipandang sebagai kasus yang luar biasa, sebagaimana halnya dengan keadaan darurat nasional seperti kelaparan dan perang. Kesamaannya adalah, tentu saja, pada ketidakakuratannya, bukan karena HIV/AIDS bukan keadaan darurat, tetapi karena itu tidak bersifat sementara. Kasus moralnya persuasif: orang meninggal tanpa alasan; dana mungkin tersedia, jadi harus digunakan! Meski demikian, kita harus mendengarkan argumen dari pihak lain. Apakah problema potensial keluarbiasaan AIDS ini? Yang paling utama di antaranya adalah ancaman terhadap prioritas-prioritas sosial lainnya, termasuk pengentasan kemiskinan. Di antara dampak-dampak ekonomi epidemi HIV/AIDS adalah menurunnya tabungan dan investasi, dan naiknya pengeluaran, terutama untuk perawatan kesehatan. Ini membuat berbagai perekonomian yang terpengaruh AIDS lebih rentan terhadap tekanan yang berhubungan dengan inflasi, dan membutuhkan penanganan yang hati-hati. Dalam konteks ini, pengeluaran AIDS yang meningkat tajam berisiko menimbulkan inflasi. Ancaman ini paling terlihat di negara-negara termiskin yang ekonominya paling rendah. Kekhawatirannya adalah bahwa destabilisasi fiskal dan moneter bisa mengarah pada tabungan dan investasi yang berkurang dan dengan demikian menimbulkan kemunduran pengentasan kemiskinan. Mengingat pembangunan perekonomian itu perlu untuk membangun masyarakat yang mampu bertahan dan mengatasi AIDS, dan bahwa sumber daya-sumber daya nasional adalah yang terpenting dalam mendanai respon apapun terhadap HIV/AIDS, hal ini akan berarti tidak hanya sebuah hasil yang sangat tidak diinginkan tetapi juga sebuah kemunduran dalam usaha melawan HIV/AIDS. Masalah itu bercampur dengan daya serap terbatas di negara-negara tersebut dan kelangkaan personil terlatih yang diperlukan. Negara-negara seperti Mozambik dan Uganda sudah hampir setengah anggaran negaranya dibantu oleh dana internasional. Ini mungkin mendekati batas. Proporsi yang lebih tinggi secara politis tidak dikehendaki, karena hal itu mengurangi kepemilikan lokal atas berbagai kebijakan dan program serta mengintensifkan persaingan pencarian bayaran di antara para kandidat penerima dana. Sudah ada persaingan yang mengerikan dan counter-productive antara berbagai kementerian yang berbeda yang diperebutkan soal siapa yang akan menerima dana AIDS yang meningkat. Tingkat dependensi yang sangat tinggi juga secara ekonomis tidak efisien.
56
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Sedangkan soal sumber daya manusia, tidak ada negara di Afrika yang punya cukup SDM. Bahkan negara-negara yang paling banyak menerima donasi pun, seperti Afrika Selatan, mengalami kelangkaan keterampilan yang dibutuhkan. Hingga kini, para donor programprogram perawatan telah menemukan diri mereka menghadapi hambatan kapasitas yang serius. World Bank Multi-Country AIDS Programme telah memiliki tingkat implementasi yang mengecewakan, memaksa Bank Dunia mencari saluran-saluran alternatif untuk menggelar programnya. Saat ini, Bank Dunia mempersiapkan Treatment Acceleration Programme, yang bertujuan memakai organisasi-organisasi kemasyarakatan (civil society organization/CSO) dan berbagai asosiasi ODHA sebagai medium implementasi.
Ini layak diacungi jempol: semua orang ingin organisasi masyarakat madani dan para pengidap HIV/AIDS memiliki keterlibatan lebih besar lagi. Namun mengingat tingginya tingkat pendanaan yang terlibat, apakah kita akan melihat semua organisasi masyarakat madani di sebuah negara mengubah diri mereka menjadi organisasi-organisasi dukungan AIDS? Akankah semua masyarakat sipil nasional menjadi penyalur bagi perawatan antiretrovirus yang didanai internasional? Dalam sektor pemerintahan maupun non-pemerintahan, kita mungkin malah merusak program bagus di sektor lain dan memperlemah kebijakan yang baik dalam rangka mengimplementasikan program HIV/AIDS yang buruk. Tambahan lagi, uang yang dibelanjakan dengan buruk berpeluang lebih besar untuk menimbulkan inflasi. Keputusan-keputusan teramat sulit harus diambil. Mengingat rendahnya dan menurunnya kapasitas kebanyakan negara-negara Afrika, tujuan-tujuan bernilai yang tidak mungkin lagi dicapai perlu ditinggalkan. Penerapan prioritas kebijakan mungkin adalah tugas paling sulit yang harus dilakukan. Serangkaian isu terpisah namun serupa muncul di seputar penerapan prioritas perawatan. Akses perawatan universal adalah sebuah tujuan yang ingin dicapai oleh kita semua, dengan pemberian ARV (Anti Retro Viral) yang dialokasikan hanya berdasar kriteria medis. Namun, dalam kenyataannya, kita akan harus membuat pilihan-piihan sulit mengenai siapa yang harus mendapat prioritas. Sejumlah masalah yang luar biasa rumit mengenai kesetaraan pun muncul. Namun penanganan isu-isu ini dengan cara yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan akan menjadi sebuah tantangan bagi negara dengan pemerintahan terbaik sekalipun. Sistem konstitusi yang didasarkan pada supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia sebenarnya sangat tidak cocok dengan pengambilan keputusan soal hidup-mati. Liberalisme konstitusi berfungsi maksimal saat ketidaksepakatan antar warga negara relatif terbatas, dan mereka yang kalah di pengadilan atau dalam pemungutan suara tidak cukup terancam sehingga mereka akan mencoba melawan hasilnya dengan menggunakan cara-cara ekstra-legal. Malah, faktor keterbatasan dalam perselisihan mungkin merupakan prasyarat bagi berfungsinya konstitusionalisme liberal. Namun, ketika kita sampai pada urusan rasionalisasi hak untuk hidup, mereka yang kalah kemungkinan akan kecewa. Akankah kita melihat semacam pasar bebas politik, di mana mereka yang cukup berkuasa untuk memveto proses politik akan memperoleh akses perawatan istimewa? Atau akankah kita melihat pengakuan bahwa para perempuan miskin berusia muda memiliki hak untuk mendapat perawatan yang sama sebagaimana para pria paruh baya yang kaya? Kita berada dalam situasi di mana sebuah negara kecil dan miskin mungkin dihadapkan pada berbagai pilihan yang sama-sama sulit. Para pemerintahan tidak akan mampu memenuhi aspirasi rakyat mereka. Dalam sebuah latihan skenario kecil yang dilakukan oleh beberapa anggota GAIN dalam sebuah ‘Republik Ruvula’ khayalan yang dirancang seperti rata-rata negara Afrika Sub-Sahara, terlihat bahwa, bahkan dalam skenario terbaik yang diwarnai oleh kepemimpinan yang berkomitmen dan sumber daya berlimpah, kondisi terlebih dulu memburuk sebelum akhirnya membaik. Namun, selama bingkai waktu 10 tahun yang dibayangkan, meski penanganan epidemi HIV/AIDS merupakan faktor penentu utama
57
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
mengenai baik-buruknya kinerja sebuah negara, isu AIDS bukanlah masalah utama bagi para warga negara. Masalah seperti lapangan pekerjaan, korupsi, dan kejahatan biasanya menempati posisi lebih tinggi. Ini sangat mempersulit pemerintah, sebesar apapun komitmennya, untuk mempertahankan HIV/AIDS sebagai prioritas kebijakan publik seara konsisten selama dua siklus pemilu lima tahunan. Kita tidak boleh membiarkan HIV/AIDS terus menimbulkan kerusakan: ini pada akhirnya akan membawa pada kelumpuhan lembaga-lembaga dan kemiskinan yang semakin parah sampai-sampai negara yang kita kenal akan runtuh. Respon terhadap epidemi ini mungkin memerlukan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia lebih dari apa yang tersedia, dan upaya untuk melembagakan dan mengimplementasikan kebijakan serta program yang dibutuhkan mungkin memperlemah atau bahkan menghancurkan kemungkinan untuk mempertahankan tata pemerintahan dan pengurangan kemiskinan. Sebuah negara dan perekonomian yang besar mungkin dapat bertahan. Sebuah negara kecil mungkin tidak memiliki jalan untuk menghindari keruntuhan. Latihan model Bank Dunia belum lama ini mengenai dampak HIV/AIDS terhadap perekonomian Afrika Selatan, oleh Clive Bell dan rekan-rekannya, menegaskan hal ini. Ada perdebatan sengit yang menyelimuti model ini dan aplikasinya di Afrika Selatan, yang tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Alih-alih, kita perlu bertanya: kira-kira bagaimana hasilnya jika model ini diterapkan pada sebuah perekonomian yang jauh lebih kecil dan jauh lebih miskin seperti Zambia atau Malawi? Pilihan-pilihan kebijakan yang terbuka bagi Afrika Selatan untuk meredakan dampak epidemi ini mungkin tidak akan ditemui akibat kurangnya sumber daya dan lemahnya lembaga. Jika pemerintahan nasional dari sebuah negara yang terkena epidemi HIV/AIDS mengalami kesulitan hingga tak bisa berbuat apa-apa, apa yang bisa kita lakukan? Siapa yang memegang kedaulatan jika kedaulatan itu tak bisa dipertahankan? Siapa yang mengimplementasikan tata pemerintahan mendasar, termasuk penyediaan layanan publik? Masyarakat internasional telah menyiapkan cara-cara untuk mengarantina negara-negara gagal, dan sanksi bagi mereka yang nakal. Namun, langkah-langkah semacam itu dimungkinkan karena berdasarkan asumsi bahwa negara-negara tersebut dapat bangkit kembali bila kondisi-kondisinya tepat. Dengan adanya pertimbangan masalah HIV/AIDS, itu tidak berlaku lagi. Dampak AIDS yang tidak mungkin diputarbalikkan (setidaknya selama beberapa generasi) menciptakan sebuah konteks yang berbeda sepenuhnya. Haruskah kita mulai menelaah tantangan tata pemerintahan komunitas berkelanjutan, di samping penyerahan kekuasaan ke entitas-entitas regional seperti Uni Afrika? Setengah abad lalu, Kwame Nkrumah3 bersikukuh bahwa jika tiap wilayah kolonial ingin mencapai kemerdekaan terpisah sebagai negara merdeka, mereka akan menjadi terlalu kecil sehingga menjadi tidak layak. HIV/AIDS mengingatkan kita pada ucapan ini, sehingga membangkitkan kembali kebutuhan persatuan Afrika. Sebelum membahas isu-isu ini, kita sedikit menyimpang terlebih dahulu. Apa makna tata pemerintahan demokratis di Afrika? Dengan memahami karya seorang kolega di Justice Afrika, Aziz Rana, mungkin kita dapat mengidentifikasi tiga komponen dasar: kesejahteraan material, proseduralisme konstitusional, dan otonomi dari kendali eksternal. Semuanya terancam oleh HIV/AIDS. Jelaslah bahwa HIV/AIDS mengancam kemajuan material. Epidemi in juga merusak fungsi kelembagaan, dan oleh karenanya kemulusan dan keandalan operasional lembaga-lembaga demokrasi penting seperti parlemen, lembaga yudikatif, dan organisasi masyarakat madani. Namun, kewaspadaan khusus justru harus diterapkan pada poros ketiga: kebebasan dari kendali eksternal. Mengingat sejarah kolonial di Afrika, hal ini menjadi sorotan khusus. Bagi negara-negara kecil dan miskin, yang saat ini saja sudah sangat tergantung pada dana dari lembaga donor, sumber daya HIV/AIDS dan khususnya pendanaan untuk perawatan anti-retriviral mengancam menciptakan tingkat ketergantungan yang lebih tinggi lagi. Dapatkah sebuah negara yang menggantungkan diri pada kemurahan hati donor jangka panjang memaksakan kebijakannya terhadap pemberi bantuan? Dapatkah negara itu
58
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
menampik para donor? Tentu tidak. Botswana tidak dapat mengusir Merck. Demikian pula halnya, negara-negara yang kekurangan uang seperti Mozambique dan Tanzania tidak mampu menampik donor yang telah mengambil peran dalam pembagian kerja internasional, sebagai pemberi dana utama bagi perawatan anti-retroviral negara bersangkutan. Ini juga bukan sebuah kompromi jangka pendek, dalam hal di mana para pemerintahan Afrika di masa lalu menjelaskan penerimaan mereka terhadap bantuan kemanusiaan. Apapun hubungan yang terbangun antara donor dan penerima dalam 12-18 bulan berikutnya mungkin bertahan selama satu generasi. Ketergantungan berkepanjangan ini berarti menciutnya ruang bagi tata pemerintahan demokratis. Para pemilih tidak akan memiliki pengaruh dalam kegiatan paling penting di negara mereka. Dapatkan demokrasi bertahan dalam ketiadaan otonomi yang penting itu? Jelas, di sinilah terletak peran utama Perserikatan bangsa-Bangsa. Salah satu pelajaran utama dari pembangunan dan bantuan kemanusiaan adalah bahwa, bila diberikan dalam bentuk sebuah ‘sumbangan,’ ketidaknyamanan di pihak penerima karena digambarkan sebagai pihak yang menadahkan tangan menciptakan jejak-jejak ketidaksukaan dan kesedihan, yang pada waktunya akan menjadi seperti asam yang menggerogoti program bantuan itu. Program bantuan itu akan lebih solid bila terdapat mekanisme bagi kepemilikan lokal dan nasional, dan bila progam tersebut dipandang sebagai penjelmaan solidaritas. Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai wadah multilateralisme terhormat dan sebagai sebuah organisasi yang mewakili negara-negara anggota dari Afrika dan juga negara-negara kaya dari Barat, dapat memainkan peran bersejarah dalam menengahi ketergantungan menyedihkan yang akan dialami banyak negara Afrika. Alih-alih memusatkan energinya pada berbagai program dan proyek, peran unik Perserikatan Bangsa-Bangsa mungkin adalah menyediakan tata pemerintahan yang dapat diandalkan dan—dapat dikatakan—demokratis dalam respon terhadap epidemi HIV/AIDS. Jika pemerintahan nasional mulai gagal, akan ada jaring pengaman yang dapat menampung ‘kedaulatan’ tanpa tuan itu. Dalam konteks ini, pentingnya tata pemerintahan yang berlapis-lapis menjadi meningkat. Masyarakat akan berlanjut, dan tata pemerintahan serta penghidupan merekalah yang akan memberi dasar bagi masyarakat untuk terus berfungsi. Sementara itu, tingkat tata pemerintahan regional (African Union) dapat menyediakan suatu pengawasan politik yang benar-benar Afrika. Kita memang mudah tergoda untuk bertahan dengan pemerintahan nasional yang kita kenal, dan bertahan dengan harapan bahwa pemerintahan itu akan memperoleh cukup legitimasi dan efektivitas untuk mewujudkan tujuan, dibanding dengan berinvestasi pada pembangunan suatu lembaga regional untuk mengganti lembaga yang, secara halus, tidak efektif. Namun, pertanyaan-pertanyaan mengenai ukuran merupakan faktor penting: kita mungkin perlu menerima pentingnya persatuan Afrika, dengan menyadari bahwa benua ini mungkin akan lebih kuat daripada jika negara-negara di sana berdiri sendiri-sendiri.
Kesimpulan Identifikasi dilema dan pilihan-pilihan, pengambilan keputusan, penentuan prioritas kebijakan, dan implementasi kebijakan-kebijakan itu secara konsisten dan efektif selama suatu periode berkelanjutan membutuhkan sebuah konsensus demokratis yang mantap. Malah, suatu kontrak sosial baru dibutuhkan untuk era AIDS. Ini pada gilirannya membutuhkan pembahasan publik berpengetahuan dan pengambilan keputusan secara demokratis. Tanpa ini semua, kebijakan akan diterapkan secara paksa dan akan dipandang sebagai sebuah pemaksaan, dan oleh karenanya tidak akan dapat diimplementasikan secara tepat, dan akan mengalami kemunduran saat iklim politik berubah. Namun, mengingat luar biasanya rintangan-rintangan dalam fungsi lembaga-lembaga nasional, kita mungkin harus mengubah demokrasi itu sendiri untuk menyesuaikan diri dengan era AIDS.
59
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
1
George Ellison, Melissa Parker and Catherine Campbell (eds), Cambridge University Press 2003 AIDS in the 21st Century: Disease and Globalization, Macmillan Palgrave, 2002 3 Mkrumah: 1990-1972, Prime Minister 1952-60 and first President 1960-66 of Ghana, from Webster Collegiate Dictionary 2
60
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Lampiran II.
Data sumber untuk Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Kemiskinan Manusia (HPI), Indeks Pembangunan terkait Gender (GDI), Ketimpangan Pendapatan atau Konsumsi (Gini Index), dan Tingkat Kelaziman HIV
Kawasan
Negara
Peringkat HDI
HDI
Afrika
Angola
164
0.377
Benin
159
0.411
46.4
0.395
Botswana
125
0.614
43.6
0.611
63.0
38.8
Burkina Faso
173
0.330
58.6
0.317
48.2
6.5
Burundi
171
0.337
46.3
0.331
33.3
8.3
Cameroon
142
0.499
35.9
0.488
47.7
11.8
168
0.363
47.8
0.352
61.3
12.9
Chad
165
0.376
50.3
0.366
Comoros
134
0.528
31.5
0.521
Congo
140
0.502
32.0
0.496
7.2
Congo, Dem. Rep of the
167
0.363
42.9
0.353
4.9
0.376
Central Republic
Australia dan Selandia Baru
African
HPI
GDI
Gini
Tingkat Kelaziman HIV 5.5 3.6
3.6
Côte d’Ivoire
161
0.396
45.0
Djibouti
153
0.462
34.3
36.7
9.7
Equatorial Guinea
116
0.664
Eritrea
155
0.446
41.8
0.434
Ethiopia
169
0.359
56.0
0.347
52.7
6.4
Gabon
118
0.653
Gambia
151
0.463
45.8
0.457
47.8
1.6
Ghana
129
0.567
26.4
0.564
39.6
3.0
Guinea
157
0.425
Guinea-Bissau
166
0.373
47.8
0.353
47.0
2.8
Kenya
146
0.489
37.8
0.488
44.5
15.0
Lesotho
137
0.510
47.7
0.497
56.0
31.0
Săo Tamé and Principe
122
0.639
Seychelles
36
0.840
Australia
4
0.939
12.9
0.938
35.2
0.1
Selandia Baru
20
0.917
0.914
36.2
0.1
3.4 2.8
40.3
61
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kawasan
Negara
Peringkat HDI
HDI
Karibia
Antigua dan Barbuda
56
0.798
Bahamas
49
0.812
Bardados
27
0.888
Dominica
68
0.776
Republik Dominica
94
Haiti
Eropa
Gini
Tingkat Kelaziman HIV
3.5
2.5
0.885
1.2
0.737
13.9
0.727
150
0.467
41.6
0.462
Jamaica
78
0.757
9.3
0.750
Saint Kitts dan Nevis
51
0.808
Saint Lucia
71
0.775
80
0.755
Trinidad dan Tobago
54
0.802
Hong (SAR)
26
0.889
Kong,
dan
Cina
47.4
2.5 6.1
37.9
1.2
42.6
7.7
0.796
40.3
2.5
0.886
43.4
0.1
Jepang
9
0.932
11.1
0.926
24.9
0.1
Mongolia
117
0.661
19.1
0.659
44.0
0.1
Republik Korea
30
0.879
0.873
31.6
0.1
Albania
95
0.735
0.732
Armenia
100
0.729
0.727
37.9
0.2
Austria
16
0.929
0.924
30.5
0.2
Azerbaijan
89
0.744
36.5
0.1
Belarus
53
0.804
0.803
30.4
0.3
Belgia
6
0.937
0.931
25.0
0.2
66
0.777
Bulgaria
57
0.795
0.794
31.9
0.1
Croatia
47
0.818
0.814
29.0
0.1
Cyprus
25
0.891
0.886
Republik Czech
32
0.861
0.857
25.4
0.1
Denmark
11
0.930
0.928
24.7
0.2
Estonia
41
0.833
0.831
37.6
1.0
Finlandia
14
0.930
8.4
0.928
25.6
0.1
Perancis
17
0.925
10.8
0.923
32.7
0.3
Georgia
88
0.746
38.9
0.1
Jerman
18
0.921
0.924
38.2
0.1
Yunani
24
0.892
0.886
35.4
0.2
Hungaria
38
0.837
0.834
24.4
0.1
Bosnia Herzegovina
62
GDI
0.811
St. Vincent Grenadines
Asia Timur
HPI
dan
12.4
0.1
9.1
10.2
0.3
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kawasan
Amerika Latin
Negara
Peringkat HDI
HDI
HPI
GDI
Gini
Iceland
2
0.942
Ireland
12
0.930
15.3
0.923
35.9
0.1
Italia
21
0.916
12.2
0.910
36.0
0.4
Kazakhstan
76
0.765
0.763
31.2
0.1
Kyrgyzstan
102
0.727
29.9
0.1
Latvia
50
0.811
0.810
32.4
0.4
Lithuania
45
0.824
0.823
36.3
0.1
Luxembourg
15
0.930
0.920
30.8
0.2
Macedonia, TFYR
60
0.784
28.2
0.1
0.940
10.3
Tingkat Kelaziman HIV 0.2
Malta
33
0.856
0.844
Republik Moldova
108
0.700
0.697
36.2
0.2
Belanda
5
0.938
8.4
0.934
32.6
0.2
Norway
1
0.944
7.2
0.941
25.8
0.1
Poland
35
0.841
0.839
31.6
0.1
Portugal
23
0.896
0.892
38.5
0.5
Romania
72
0.773
0.771
30.3
0.1
Federasi Rusia
63
0.779
0.774
45.6
0.9
Slovakia
39
0.836
0.834
25.8
0.1
Slovenia
29
0.881
0.879
28.4
0.1
Spanyol
19
0.918
11.0
0.912
32.5
0.5
Swedia
3
0.941
6.5
0.940
25.0
0.1
Switzerland
10
0.932
0.927
33.1
0.5
Tajikistan
113
0.677
0.673
34.7
0.1
Turkmenistan
87
0.748
40.8
0.1
Ukraina
75
0.766
United Kingdom
13
0.930
Uzbekistan
101
Argentina
0.1
0.761
29.0
1.0
0.928
36.0
0.1
0.729
0.727
26.8
0.1
34
0.849
0.839
0.7
Belize
67
0.776
8.8
0.756
2.0
Bolivia
114
0.672
14.6
0.663
44.7
0.1
Brazil
65
0.777
11.4
0.770
60.7
0.7
Chili
43
0.831
4.1
0.821
57.5
0.3
Kolombia
64
0.779
8.2
0.774
57.1
0.4
0.824
45.9
14.8
Costa Rica
42
0.831
4.4
Kuba
52
0.779
5.0
Ecuador
97
0.832
11.9
0.6 0.1
0.716
43.7
0.3
63
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kawasan
Negara
Peringkat HDI
HDI
HPI
GDI
Gini
Tingkat Kelaziman HIV
El Savador
105
0.806
17.2
0.707
50.8
0.6
Grenada
93
0.731
Guatemala
119
0.719
22.9
0.638
55.8
1.0
Guyana
92
0.738
12.7
0.730
44.6
2.7
Honduras
115
0.652
19.9
0.656
59.0
1.6
Nexico
55
0.740
8.8
0.790
51.9
0.3
Nicaragua
121
0.643
24.3
0.636
60.3
0.2
Panama
59
0.788
7.8
0.781
48.5
1.5
Paraguay
84
0.751
10.3
0.739
57.7
Peru
82
0.752
11.4
0.734
46.2
Suriname
77
0.762
Uruguay
40
0.834
3.6
0.830
44.8
0.3
Venezuela
69
0.775
8.6
0.767
49.5
0.5
Afrika Utara
Algeria
107
0.704
22.6
0.687
35.3
0.1
dan
Bahrain
37
0.839
Timur Tengah
Cape Verde
103
0.727
20.1
0.719
Mesir
120
0.648
30.5
0.634
34.4
0.1
Iran, Republik Islam
106
0.719
16.4
0.702
43.0
0.1
0.900
35.5
0.1
7.5
0.729
36.4
0.1
0.829
0.3
Israel
22
0.905
Jordan
90
0.743
Kuwait
46
0.820
Lebanon
83
0.752
9.5
61
0.783
15.7
Morocco
126
0.606
35.2
0.590
Occupied Palestinian Territories
98
0.731
Oman
79
0.755
31.8
0.736
Qatar
44
0.826
Saudi Arabia
73
0.769
16.3
0.743
Sudan
138
0.503
32.2
0.483
Syrian Arab Republic
110
0.685
18.8
0.668
Tunisia
91
0.740
19.9
0.727
41.7
Turkey
96
0.734
12.4
0.726
40.0
0.1
United Arab Emirates
48
0.816
Yaman
148
0.470
33.4
0.2
Libyan Jamahiriya
64
0.4 1.2
Arab
0.813 0.737 0.2 39.5
0.1
0.1
2.6
0.802 41.0
0.424
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kawasan
Negara
Peringkat HDI
HDI
HPI
GDI
Gini
Tingkat Kelaziman HIV
Amerika Utara
Kanada
8
0.937
12.2
0.934
31.5
0.3
United State
7
0.937
15.8
0.935
40.8
0.6
Fiji
81
0.754
21.3
0.743
Papua New Guinea
132
0.548
37.0
0.544
Samoa
70
0.775
Solomon Island
123
0.632
Vanuatu
128
0.568
Bangladesh
139
0.502
Bhutan
136
0.511
India
127
0.590
33.1
Maldives
86
0.751
11.4
Nepal
143
0.499
41.9
0.479
36.7
0.5
Pakistan
144
0.499
40.2
0.469
33.0
0.1
Sri Lanka
99
0.730
18.3
0.726
34.4
0.1
Brunei Darussalam
31
0.872
Kamboja
130
0.556
42.8
0.551
40.4
2.7
Cina
104
0.721
14.2
0.718
40.3
0.1
Indonesia
112
0.682
17.9
0.677
30.3
0.1
Republik Demokasi Rakyat Laos
135
0.525
40.5
0.518
37.0
0.1
Malaysia
58
0.790
0.784
49.2
Myanmar
131
0.549
25.7
Filipina
85
0.751
14.8
0.748
46.1
0.0
Singapura
28
0.884
6.3
0.880
42.5
0.2
Thailand
74
0.768
12.9
0.766
43.2
1.8
Viet Nam
109
0.688
19.9
0.687
36.1
0.3
Madagascar
149
0.468
35.9
0.467
46.0
0.3
Malawi
162
0.387
47.0
0.378
50.3
15.0
Mali
172
0.337
55.1
0.327
50.5
1.7
Mauritania
154
0.454
48.6
0.445
37.3
Mauritius
62
0.779
11.1
0.770
Mozambique
170
0.356
50.3
0.341
Pasifik
Asia Selatan
Asia Tenggara
Afrika SubSahara
0.1 50.9
0.7
0.5
42.6
0.495
31.8
0.1 0.1
0.574
37.8
0.8 0.1
0.867
0.2
0.4 2.0
0.1 39.6
13.0
65
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Kawasan
Negara
Peringkat HDI
HDI
HPI
GDI
Gini
Tingkat Kelaziman HIV
Namibia
124
0.627
37.8
0.622
70.7
22.5
Niger
174
0.292
61.8
0.279
50.5
Nigeria
152
0.463
34.0
0.450
50.6
5.8
Rwanda
158
0.422
44.5
0.416
28.9
8.9
Senegal
156
0.430
44.5
0.420
41.3
0.5
Sierra Leone
175
0.275
62.9
7.0
Afrika Selatan
111
0.684
0.678
59.3
20.1
Swaziland
133
0.547
0.536
60.9
33.4
160
0.400
36.2
0.396
38.2
7.8
Togo
141
0.501
38.5
0.483
Uganda
147
0.489
36.6
0.483
37.4
5.0
Zambia
163
0.386
50.3
0.376
52.6
21.5
Zimbabwe
145
0.496
52.0
0.489
56.8
33.7
Tanzania, Republic of
United
31.7
6.0
Sumber: UNDP Human Development Report 2003, http://www.unaids.org/html/pub/Global-Reports/Bercelona/TableEstimateEnd2001_en_xls.htm, dan http://www.cia.gov/cia/publications/factbook/fields/2155.html
66
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV
Keragaman Grafik HPI, Gini, GDI, dan HDI Angka-angka ini menunjukkan bahwa, meski terdapat tingkat kemiskinan dan kesenjangan yang tinggi, negara-negara ini memiliki tingkat kelaziman HIV yang rendah. *Catatan: rasio HPI dan Gini Index menunjukkan bahwa keragaman ekstrim mendekati nol. HPI dan Kelaziman HIV > HPI 40 dan < 1% Kelaziman HIV HPI HIV Rasio 40,5 0,05 0,001 Republik Demokratik Rakyat Lao 42,6 0,009 0,0002 Bangladesh 40,2 0,10 0,002 Pakistan 44,5 0,50 0,001 Senegal Gini Index dan Kelaziman HIV > Gini 60 dan < 1% Kelaziman HIV Gini HIV Rasio 60,3 0,20 0,003 Nikaragua 60,7 0,70 0,012 Brasil Angka-angka ini menunjukkan bahwa, terlepas dari rendahnya tingkat pembangunan gender dan pembangunan manusia secara keseluruhan, negara-negara ini memiliki tingkat kelaziman HIV yang rendah. *Catatan: Rasio GDI dan HDI menunjukkan bahwa keragaman ekstrim mendekati nol. GDI dan Kelaziman HIV < GDI 0,5 dan < 1% Kelaziman HIV GDI HIV Rasio 0,495 0,1 0,182 Bangladesh 0,469 0,1 0,213 Pakistan 0,424 0,2 0,472 Yaman 0,467 0,3 0,642 Madagaskar 0,479 0,5 1,190 Nepal 0,420 0,5 1,190 Senegal HDI dan Kelaziman HIV < HDI 0,5 dan < 1% Kelaziman HIV HDI HIV Rasio 0,499 0,1 0,200 Pakistan 0,470 0,2 0,426 Yaman 0,468 0,3 0,641 Magadaskar 0,499 0,5 1,002 Nepal 0,430 0,5 1,163 Senegal
67
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa Program HIV dan Pembangunan Asia Tenggara http://www.hiv-development.org
DAFTAR TERBITAN SAMPUL
JUDUL Pertanian Afrika-Asia Melawan AIDS African-Asian Agriculture against AIDS http://www.hiv-development.org/publications/5A_id.htm
Membangun Pengelolaan yang Demokratis-dinamis dan Ketahanan Masyarakat Terhadap HIV Building Dynamic Democratic Governance and HIV-Resilient Societies http://www.hiv-development.org/publications/Oslo_Paper_id.htm Pedoman Farmers’ Life School Farmers’ Life School Manual http://www.hiv-development.org/publications/FLS_id.htm
Perpindahan Penduduk dan HIV/AIDS: Kasus Ruili, Yunnan, Cina Population Movement and HIV/AIDS: The case of Ruili, Yunnan, China http://www.hiv-development.org/publications/Ruili_Model_id.htm
Dari Peringatan Dini Menuju Tanggapan Sektor Pembangunan Menghadapi Wabah HIV/AIDS From Early Warning to Development Sector Responses against HIV/AIDS Epidemics http://www.hiv-development.org/publications/EWDSR_id.htm Tanggapan Multisektoral terhadap Kerentanan HIV pada Penduduk yang Berpindahpindah Tempat: Contoh-contoh dari Republik Rakyat Cina, Thailand dan Viet Nam Multisectoral Responses to Mobile Populations’ HIV Vulnerability: Examples from People’s Republic of China, Thailand and Viet Nam http://www.hiv-development.org/publications/Multisectora_id.htm HIV/AIDS dan Ancaman terhadap Ketersediaan Pangan: peran teknologi tepat daya (labour saving technology/LST) dalam rumah tangga petani Meeting the HIV/AIDS Challenge to Food Security: The role of labour-saving technologies in farm-households http://www.hiv-development.org/publications/meeting-challenge_id.htm Konsultasi Negara Cluster Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura Tentang Pengurangan Kerentana HIV Para Pekerja Migran: Pra-Keberangkatan, PascaKedatangan dan Reintegrasi Pekerja Yang Kembali Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore Cluster Country Consultation on Migrant Workers’ HIV Vulnerability Reduction: Pre-departure, post-arrival and returnee reintegration http://www.hiv-development.org/publications/BIMPS-Report_id.htm
TANGGAL ISBN 974-91418-5-7 April 2004
974-91870-8-3 Feburari 2004
974-91708-1-4 Januari 2004
974-91669-7-3 Agustus 2003
974-91330-6-4 Mei 2003
974-91165-8-5 Februari 2003
974-680-220-8 Desember 2002
974-680-221-6 September 2002
Masyarakat Menghadapi Tantangan HIV/AIDS: Dari Krisis ke Kesempatan Dari Kerentanan Masyarakat ke Ketangguhan Masyarakat Communities Facing the HIV/AIDS Challenge: From crisis to opportunities, from community vulnerability to community resilience http://www.hiv-development.org/publications/Crisis_id.htm Suatu Strategi Pembangunan Untuk Memberdayakan Para Petani Pedessaan dan Mencegah HIV A Development Strategy to Empower Rural Farmers and Prevent HIV http://www.hiv-development.org/publications/HESA_id.htm
Mobilitas Penduduk dan HIV/AIDS di Indonesia Population Mobility and HIV/AIDS in Indonesia http://www.hiv-development.org/publications/Indonesia_id.htm
Pergerakan Penduduk dan Kerentanan Terhadap HIV: Kaitan Brunei-IndonesiaMalaysia-Filipina Di Wilayah Pertumbuhan Asean Timur Assessing Population Movement & HIV Vulnerability: Brunei – Indonesia – Malaysia – Philippines linkages in the East ASEAN Growth Area http://www.hiv-development.org/publications/BIMP_id.htm Pengetahuan tentang HIV Para Pekerja Kontrak Dari Indonesia Di Luar Negeri: Jeda dalam informasi Indonesian Overseas Contract Workers’ HIV Knowledge: A gap in information http://www.hiv-development.org/publications/Contract%20Workers_id.htm
974-680-271-8 Juli 2002
974-680-200-3 Januari 2002
92-2-112631-5 November 2001
974-680-175-9 November 2000
974-680-173-2 September 2000
Pengembangan Kapasitas
Kemitraan Multisektoral
Advokasi Kebijakan
Pembangunan Ketahanan
UNDP adalah jaringan pembangunan global PBB yang mengadvokasi perubahan dan menghubungkan negara-negara ke pengetahuan, pengalaman dan sumber daya untuk membantu masyarakat membangun kehidupan yang lebih baik. Program HIV dan Pembangunan Asia Tenggara UNDP, United Nations Building, Rajdamnern Nok Avenue, Bangkok 10200, Thailand Tlp: +66-2-288-2165; Fax: +66-2-280-1852; Website: www.hiv-development.org
Pembangunan adalah proses memperbesar pilihan rakyat untuk menjalin kehidupan yang lebih panjang dan sehat, memiliki akses ke pengetahuan, dan untuk memiliki akses ke penghasilan dan aset; untuk menikmati taraf kehidupan yang layak.
ISBN: 974-91870-8-3