Membangun Dewan Komisaris yang Efektif Ronny Kusuma Muntoro Abstract The importance of good and effective Supervisory Boards (Dewan Komisaris) to improve Good Corporate Governance in Indonesia is increasingly being recognized. This paper provides a concise, normative summary of the most important factors in developing effective Supervisory Boards. It is based mostly on the experience of the author as a member of several supervisory boards, as well as board committees in both state owned and private enterprises. The paper discusses the role and tasks of supervisory boards, recruitment and orientation of board memebers, size and composition of the board, and board process. It ends the discussion with how supervisory boards should be organized to maintain its independent role as a supervisory, monitoring, and control body within a company. Keywords:effective supervisory boards; effective board of commissioners
Dewan komisaris memiliki peran yang penting dalam good corporate governance (GCG). Peran ini semakin penting setelah terjadinya beberapa white collar crime (Enron, Worldcom, dsb.)yang melibatkan pimpinan perusahaan pada jenjang tertinggi. Di Indonesia, peningkatan kebutuhan akan GCG semakin terasa setelah terjadinya krisis multi dimensi sejak 1997. Diduga bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis di Indonesia adalah lemahnya pengawas-an yang dilakukan terhadap direksi perusahaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dewan komisaris (Herwidayatmo, 2000). Bahkan, karena lemahnya peraturan yang ada pada waktu itu, misalnya karena tidak adanya ketentuan mengenai harus adanya anggota komisaris independen, dewan komisaris tidak saja kurang efektif dan kurang berdaya, melainkan juga turut berperan dalam pengambilan keputusan yang tidak selalu memperhatikan kepentingan perusahaan, pemegang saham (terutama pemegang saham minoritas), dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk masyarakat luas.
1
Tulisan ini akan membahas, secara ringkas, hal-hal pokok yang terkait dengan pembangunan dewan komisaris yang efektif, yang menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Tugas Dewan Komisaris Tugas utama dari dewan komisaris adalah mengawasi kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tersebut oleh direksi dalam menjalankan perusahaan serta meberi nasehat kepada direksi. Rincian dari tugas tersebut, biasanya dapat ditemukan pada anggaran dasar perusahaan. Kebijakan yang menjadi perhatian dewan komisaris adalah yang bersifat strategis dan penting. Tugas komisaris sering disebut sebagai business oversight karena menyangkut pemantauan terhadap kemampuan perusahaan
untuk
bertahan
hidup,
melakukan
kegiatan
bisnis,
dan
tumbuh/berkembang. Ada enam kewajiban utama yang harus dilakukan bersamasama oleh dewan direksi dan dewan komisaris, terutama pada perusahaan yang sudah terdaftar di bursa saham (Wallace and Zinklin, 2005): Review and adopt a strategic plan. Oversee the company’s business. Identify principal risks. Plan for senior management succession. Implement an investor relations program and an appropriate shareholder communication policy. Ensure that appropriate internal control exists, including proper Management Information System, and that compliance is achieved. Dewan komisaris diharapkan untuk menahan diri untuk tidak terlalu dalam melakukan intervensi pada hal-hal yang bersifat operasional. Dalam kenyataan-nya, hal ini tidak selalu mudah. Pertama, karena tidak selalu mudah untuk memisahkan antara kegiatan yang sifatnya operasional dan strategis. Kedua, karena tidak semua anggota dewan komisaris dapat menahan diri. Peran komisaris utama sangat penting dalam hal ini. Dalam melaksanakan tugas, masing-masing anggota dewan komisaris diharapkan untuk bersikap independen dan menaruh kepentingan 2
perusahaan dan para pemangku kepentingan lainnya diatas kepentingan pribadi atau golongan. Tugas lain, yang juga penting dan belakangan mendapatkan perhatian lebih besar, adalah melakukan oversight atas ketaatan perusahaan kepada undang-undang dan peraturan dan bahwa perusahaan berperilaku etis dan bermoral. Selain itu, semua anggota dewan komisaris diharap-kan untuk melaksanakan tugas-nya secara bertanggung jawab, prudent, kompeten, cermat, cerdas dan profesional. Rekrutmen dan Orientasi Rekrutmen dan orientasi adalah proses awal yang penting dalam mem-bangun komisaris yang efektif. Kedua proses ini, terutama rekrutmen, akan menentukan kesuksesan langkah-langkah berikutnya. Orientasi yang baik akan mempermudah anggota komisaris baru untuk segera “settled in” di perusaha-an dan segera nulai bekerja dengan baik. Rekrutmen anggota dewan komisaris adalah proses kunci awal yang sangat krusial dalam membangun dewan komisaris yang efektif (Vennat, 1995), karena keunggulan dewan komisaris merupakan akumulasi keunggulan kolektif dari setiap anggota dewan komisaris. Dengan demikian, tujuan rekrutmen anggota dewan komisaris adalah mendapat-kan anggota dewan yang fit dan proper sesuai dengan kebutuhan organisasi. Sebagaimana halnya semua upaya untuk memperoleh sumber daya manusia yang baik, ada tiga kriteria pokok yang selalu menjadi perhatian dari awal. Kriteria pokok pertama adalah kemampuan, kriteria pokok kedua adalah kemauan, dan kriteria pokok ketiga adalah sikap. Kemampuan mencakup (a) keahlian dalam bidang yang diharapkan, yang dibuktikan dengan pendidikan formal yang memadai dan/atau pengalaman yang cukup. (b) kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dengan baik, dan bekerjasama (teamwork),
(c)
kepemimpinan,
dan
(d)
kemampuan
negosiasi
dan
mempertahankan pendapat,
3
Kemauan adalah dorongan diri atau komitmen untuk menjalankan tugas dan kewajiban dengan sebaik mungkin. Komitmen diperlukan karena tugas seorang anggota dewan komisaris seringkali membutuhkan pengorbanan waktu yang tidak saja durasinya panjang, melainkan juga harus dilakukan pada waktu yang tepat, baik terjadwal maupun tidak terjadwal. Komitmen yang tinggi juga diperlukan untuk mempersiapkan diri secara memadai dalam menghadapi setiap pertemuan penting agar kehadir-annya membawa manfaat pada per-temuan tersebut. Komitmen ini lebih dibutuhkan pada saat perusahaan sedang menghadapi masalah dimana seorang anggota tertentu dinilai mempunyai kemampuan lebih untuk melakukan analisis dan membahas masalah terebut. Dalam hal demikian, anggota tersebut harus bekerja ekstra keras dan acapkali sendirian dibanding-kan anggota lainnya. Kemauannya untuk berkorban demi kinerja dewan komisaris secara keseluruhan men-cerminkan komitmen yang kuat dari anggota komisaris tersebut. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk lebih menjamin adanya komitmen, terutama dari segi waktu, oleh anggota komisaris adalah membatasi jumlah jabatan yang dimiliki oleh seorang anggota komisaris (Izma, 1999). Apabila jabatannya terlalu banyak, apalagi ada jabatan eksekutif, maka dapt diduga bahwa waktu yang dapat diluangkan okeh anggota komisaris tersebut akan sangat terbatas. Sikap yang positif terhadap perusaha-an dan terhadap tugasnya penting dimiliki oleh setiap anggota dewan komisaris. Sikap dasar positif ini diperlukan agar anggota komisaris selalu mengutamakan kepentingan perusahaan, menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab, jujur, dan memiliki integritas serta independensi yang tinggi. Tanpa sikap seperti ini, seorang aggota dewan komisaris dapat mudah menjadi bingung dan inkonsisten dalam ber-pendapat, dan yang lebih berbahaya lagi adalah dapat dengan mudah tergoda untuk tidak meng-utamakan kepentingan perusahaan. Sikap penting lainnya adalah sikap obyektif dan terbuka untuk mau mendengarkan pen-dapat orang lain dan mencernanya secara serius untuk mencari solusi terhadap masalah yang sedang dihadapi.
4
Untuk dapat melihat pemenuhan kriteria pokok tersebut di atas pada calon anggota komisaris, diperlukan fit and proper test yang melibatkan orang-orang yang sangat berpengalaman dan juga beberapa test psikologi yang memang dirancang untuk keperluan tersebut. Orientasi adalah proses perkenalan awal anggota dewan komisaris kepada perusahaan. Tanpa pemahaman men-dalam mengenai bidang usaha perusaha-an, proses bisnis yang dilakukan, pesaing perusahaan, key success factors serta hal-hal lain yang perlu diketahui oleh seorang anggota dewan komisaris, anggota tersebut tidak akan dapat men-jalankan tugasnya secara efektif. Proses orientasi bertujuan untuk membantu agar setiap anggota baru dapat dengan cepat memahami hal-hal pokok yang harus segera diketahui dan dipahami. Proses orientasi ini tidak saja terbatas pada pemberian informasi dan bahan-bahan relevan lainnya namun juga mencakup kegiatan-kegiatan seperti kunjungan paberik, kesempatan untuk berjumpa dengan pemangku jabatan penting di perusahaan maupun pejabatpejabat penting dan relevan diluar perusahaan, auditor perusahaan serta profesional terkait lainnya, dan kegiatan juga dapat berupa pelatihan yang dapat meningkat-kan kemampuan anggota komisaris untuk bekerja dengan lebih baik. Pada perusahaan di Indonesia, kegiatan orientasi ini sering terabaikan dan dengan demikian proses perkenalan anggota dewan komisaris baru kepada perusaha-an menjadi lebih lama dari yang sebenar-nya diperlukan. Langkah positif yang dapat dilakukan oleh perusahaan di Indonesia yang belum memiliki proses orientasi bagi anggota dewan komisaris yang terstruktur adalah segera mulai menstrukturkan proses tersebut dan memulainya dengan memiliki intial information kit yang memadai. Ukuran dan Komposisi Ukuran (size) adalah jumlah yang pas dari anggota dewan komisaris, termasuk ketuanya, untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Ukuran yang pas ini dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain, sebagai berikut:
5
a)
Ukuran dewan direksi;
b)
Industri dan jenis keahlian yang dibutuhkan;
c)
Overall risk yang dihadapi;
d)
Komite yang ada.
Mengapa menetapkan ukuran dewan komisaris harus memperhatikan ukuran dewan direksi? Jawaban atas pertanyaan ini akan jelas kalau kita bisa membayangkan proses diskusi dan negosiasi yang berlangsung dalam rapat penting antara dewan komisaris dan dewan direksi yang membahas suatu masalah strategis. Bayangkan pula bahwa dewan komisaris tidak sependapat dengan pandangan dewan direksi. Kalau jumlah anggota dewan komisaris lebih sedikit dari jumlah anggota dewan direksi, ada kemungkinan, dewan komisaris akan mengalami tekanan psikologis. Untuk memperkecil kemung-kinan ini, maka sebaiknya jumlah anggota dewan komisaris, paling tidak, sama dengan jumlah anggota dewan direksi. Jumlah anggota komisaris yang pas juga tergantung kepada industri dimana perusahaan berada karena akan turut menentukan jenis kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh dewan komisaris secara keseluruhan. Walaupun dewan komisaris dapat memanfaatkan jasa ahli dari luar perusahaan, kemampuan dewan komisaris untuk mendeteksi adanya masalah secara lebih dini akan jauh lebih tajam apabila ada anggota komisaris yang memang ahli dalam bidang terkait dengan masalah tersebut. Jumlah anggota komisaris dengan demikian ditentukan oleh jumlah jenis keahlian yang diperlukan dalam industri tersebut. Ukuran dewan komisaris juga ditentukan oleh resiko menyeluruh yang dihadapi perusahaan. Pola pikir bahwa: “Two heads is better than one,” yang berarti bahwa semakin banyak yang memikirkan dan memantau berbagai resiko yang dihadapi perusahaan, semakin besar kemungkinan perusahaan dapat meng-atasi ancaman yang dibawa oleh resiko tersebut berlaku dalam hal ini, walaupun tentunya dengan mempertimbangkan kendala yang ada dan kemampuan perusahaan. Pola pikir ini 6
sebenarnya juga berlaku dalam penetuan ukuran dewan direksi. Dengan demikian, overall risk yang dihadapi perusahaan turut menentukan ukuran dewan direksi dan dewan komisari. Dalam menjalankan GCG, tugas komisaris dilakukan melalui komite-komite sepert komite audit, komite remunerasi, komite manajemen resiko dan komite lainnya. Setiap komite terdiri dari seorang atau lebih anggota komisaris dan anggota lain yang bukan komisaris. Keanggautaan seorang anggota dewan komisaris di dalam komite-komite tersebut tentunya terbatas, karena beban pekerjaan yang dapat dipikulnya terbatas. Oleh karena itu, semakin banyak komite yang ada dalam struktur governance di suatu perusahaan, semakin banyak anggota komisaris yang dibutuhkan untuk mengisi keanggautaan komite-komite tersebut. Sebagai penutup pembahasan mengenai ukuran dewan komisaris, perlu diingatkan bahwa kemampuan manusia untuk berdiskusi dan bernegosiasi adalah terbatas. Ukuran dewan komisaris yang terlalu besar akan dapat membuat proses mencari kesepakatan dan proses mem-buat keputusan menjadi sulit, panjang dan berteletele. Keterbatasan ini perlu kita perhatikan pula dalam menentukan jumlah anggota dewan komisaris Komposisi merupakan kombinasi karakteristik yang diinginkan dari anggota dewan komisaris. Ada tiga karakteristik utama yang diperhatikan dalam melihat komposisi dewan komisaris, yaitu (a) kesenioran (atau kejunioran) dari anggota dewan komisaris, (b) jenis keahlian yang dimiliki, dan (c) komisaris independen versus komisaris non-independen. Walaupun tidak ada penelitian empiris yang mempelajari pengaruh komposisi kesenioran atau kejunioran anggota dewan komisaris terhadap kesuksesan pelaksanaan GCG, cukup logis dan intuitif untuk berpikir bahwa dewan komisaris akan lebih efektif apabila anggotanya terdiri dari beberapa anggota yang senior dan beberapa yang junior. Anggota yang senior diperlukan karena mereka dianggap sudah matang, sangat ber-pengalaman di bidang manajemen dan sudah memiliki 7
wisdom dalam berpikir dan mengambil keputusan. Namun, dewan komisaris yang angautanya semua senior akan kurang efektif, terutama apa-bila perusahaan berada dalam lingkungan yang sangat cepat berubah (turbelent environment). Kelemahan utama dari anggauta senior adalah kekurang pekaan terhadap perubahan lingkungan dan telah menurunnya kemau-an serta kemampuan untuk melakukan upaya perubahan agar perusahaan dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Anggota junior akan berdampak positif bagi dewan komisaris karena semangatnya,
kreatifitasnya,
keingin-tahuannya
yang
besar,
kepekaannya
terhadap
perubahan lingkungan, serta kemampuan analisis teknis yang berasal dari pemahaman mengenai alat analisis dan peralatan manajerial mutakhir. Namun dewan komisaris yang anggotanya kebanyakan masih junior juga tidak akan efektif. Antusiasme dan dinamisme yang melekat pada anggota yang berusia relatif muda, tanpa didampingi oleh anggota senior yang matang dengan pengalaman yang relatif panjang, akan menghasilkan perubahan yang arahnya tidak selalu jelas. Atau, sering dikatakan orang sebagai: “berubah demi perubahan.” Komposisi dewan komisaris juga ditentukan oleh ragam keahlian yang diinginkan dalam dewan komisaris. Walaupun pada umumnya bidang keuangan selalu diutamakan, bidang-bidang lain yang terkait dengan bidang usaha perusahaan perlu juga terwakili dalam dewan komisaris. Yang menjadi kekhawatiran adalah bahwa untuk memenuh semua bidang keahlian yang dibutuhkan, jumlah anggota komisaris menjadi terlalu besar. Perangkapan keahlian pada masing-masing anggota komisaris dapat menjadi pertimbangan utuk memperkecil jumlah anggota komisaris namun tetap memiliki bidang keahlian yang dibutuhkan untuk meng-atasi masalah tersebut. Hal lain yang harus dipertimbangkan ketika memilih anggota dewan komisaris, yang terkait dengan masalah komposisi dewan komisaris adalah adanya komisaris independen. Komisaris independen diperlukan untuk meningkat-kan independensi dewan komisaris terhadap kepentingan pemegang saham (mayoritas) dan benar8
benar menempat-kan kepentingan perusahaan di atas kepentingan lainnya. Sangat disayangkan apabila adanya komisaris independen dan penunjukannya hanyalah semata-mata untuk memenuhi peraturan/ketentu-an. Banyak kritikan ditujukan kepada proses rekrutmen komisaris independen (outside directors) yang dituduh sebagai proses “basa-basi” dan lebih mementing-kan “form over substance” (Pitt, 2005). Jumlah komisaris independen harus sebanding dengan jumlah komisaris yang “non-independen.” Apabila tidak, maka komisaris independen akan selalu kalah dalam perdebatan, apalagi kalau sampai terjadi pengambilan keputusan berdasar-kan pemungutan suara (voting). Pedoman Good Corporate Governance yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (2001), menyebut-kan bahwa paling tidak 20% angota dewan komisaris harus berasal dari luar perseroan. Walaupun pentingnya adanya direksi/komisaris independen dalam dewan direksi/komisaris diakui banyak pihak, dan secara intuitif benar, banyak juga yang berpendapat bahwa pada akhirnya, yang penting adalah kompetensi dan perilaku anggota tersebut (Leblanc, 2004)
Board Process Salah satu hal yang jarang dibahas dalam literatur namun sebenarnya sangat penting dan berpengaruh dalam menentukan efekrifitas dewan komisari adalah proses rapat, baik rapat internal antara anggota komisaris mapun eksternal dengan pihak dreksi maupun pihak lainnya (board process). Tulisan mengenai jalannya proses rapat jarang dijumpai karena sifatnya yang mudah diberi stempel “confidential.” Sangat kecil kemungkinan bahwa seorang peneliti dapat melakukan studi mengenai board process dengan melakukan observasi secara langsung. Proses rapat yang baik memberikan kesempatan pada semua pihak untuk mengemukakan pendapat-nya dan berdiskusi secara terbuka tanpa merasa adanya tekanan dari pihak lain. Proses yang baik ini seringkali tidak terjadi karena adanya seorang atau lebih komisaris yang mendonminasi jalannya rapat. Dominasi ini tidak selalu dilakukan oleh komisaris utama, namun tidak jarang seorang komisaris utama lupa,
9
bahwa dalam rapat, nilai suaranya sama dengan komisaris lainnya, dan bahwa tugasnya adalah memimpin rapat secara adil. Walaupun aturan memungkinkan agar seorang anggota komisars yang tidak menyetujui keputusan yang diambil anggota lainnya dapat memberikan dissenting oppinion, pada umumnya hal ini jarang dilakukan, karena ada ketakutan/kekhawatiran pada dampak di masa yang akan datang, antara lain ketakutan dianggap sebagai “not a team player, but rather an underinformed nuisance”( Thain, et al., 1994). Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa konsensus yang dihasilkan rapat adalah konsensus nyata (riel) dan bukan “konsensus” yang dipaksakan. Namun, kalau konsesnsus nyata tidak dapat dicapai, setiap anggota komisaris diharapkan untuk tetap ber-pegang pada prinsipnya masing-masing demi membela kepentingan perusahaan, daripada turut menyetujui suatu keputus-an yang jelas merugikan perusahaan. Syarat terpenting agar board process dapat berjalan dengan baik adalah kepemimpinan dari komisaris utama dan karakternnya yang non-bias. Merupakan hal yang membahayakan bagi suatu per-usahaan apabila seorang komisaris utama bersifat bias, dan lebih mementing-kan kepentingannya sendiri atau kelompok-nya daripada kepentingan ordganisasi. Dalam hal yang demikian, board process akan lebih menyerupai pemenuhan langkah-langkah formalitas, yang tujuan utamanya bukan mencari solusi terbaik bagi perusahaan, melainkan untuk memberi justifikasi bagi keputusan yang diambil, yang sebenarnya dari awal sudah diarahkan kesuatu arah tertentu. Orang Indonesia dengan budaya ketimurannya sangat rawan terhadap hal-hal demikian. Board process merupakan suatu proses pengambilan keputusan bersama. Hal yang buruk dapat terjadi dalam proses seperti itu apabila ada ketidak siapan para peserta rapat. Ketidak siapan ini dapat berasal dari anggota rapat yang tidak mau meluangkan waktu cukup untuk mempersiapkan diri dengan baik, atau dapat juga berasal dari luar anggota rapat, seperti pemberitahuan rapat secara mendadak, pemberian data dan informasi penting lainnya dengan waktu yang sangat terbatas untuk mempelajari bahan-bahan tersebut dengan baik, atau akibat hal-hal kecil namun dapat mempengaruhi jalannya rapat seperti kekurang nyamanan tempat 10
rapat. Untuk kesiapan rapat yang baik, peran sekretariat komisaris sangat penting. Masalah logistik dan teknis tidak dapat diabaikan dan disepelekan, karena salah satu taktik untuk “menggiring” jalannya rapat ke suatu arah tertentu adalah dengan mengurangi kemampuan peserta rapat untuk mempersiapkan diri secara memadai. Salah satu taktik lain untuk memperoleh keputusan rapat yang “diarahkan,” adalah membiarkan rapat berjalan berlarut-larut, dan bahkan membiarkan rapat untuk membicarakan hal-hal lain yang tidak relevan dan tidak penting, dan kemudian, ketika peserta rapat sudah mulai jenuh dan lelah, baru membicarakan agenda yang penting. Peran pimpinan rapat, dan seharusnya semua peserta rapat, untuk saling mengingatkan mengenai tujuan dan agenda rapat menjadi penting dalam hal terjadi proses seperti ini. Board process yang baik harus diakhiri dengan membacakan kesimplulan dan keputusan rapat. Sekretariat yang baik akan mempersiapkan notulensi dan berita acara rapat yang sedapat mungkin ditandatangani segera sebelum rapat dibubarkan. Hal ini untuk menghindari ketidak jelasan mengenai kesimpulan dan keputusan rapat bagi semua anggota rapat, dan dapat segera dijadikan dokumen formal untuk mengambil langkah-langkah yang diputuskan dalam rapat. Berita acara rapat, karena tertulis, bersifat mengikat dan dengan demikian tidak memberi peluang bagi peserta rapat untuk menyang-kal mengenai keterlibatannya dalam rapat dan dalam keputusan yang diambil. Board process yang baik diperlukan, baik untuk rapat internal antar anggota dewan komisaris maupun rapat eksternal antara dewan komisaris dengan dewan direksi atau dengan pihak eksternal lainnya. Dalam hal peserta rapat memiliki kepentingan yang berbeda, board proses merupakan proses negosiasi. Agar proses ini berakhir dengan hasil yang mengutamakan kepentingan organisasi, ada beberapa hal yang harus kita ingat: “1. Engaging in constructive conflict, 2. avoiding destructive conflict, 3. working together as a team, 4. knowing the appropriate level of strategic involvement, and 5.addressing decisions comprehensively.” (Grace Jr., 2002) 11
Hal-hal yang paling penting untuk dicamkan adalah butir 1, 2, dan 5. Penting untuk selalu dipertimbangkan bahwa, walaupun cara pandang dan pendapat boleh berbeda, konflik yang timbul harus diarahkan untuk menghasilkan hal yang positif bagi perusahaan. Untuk mencapai hal ini, seringkali, suatu permasalahan harus dilihat dan dianalisis secara komprehensif dan tidak sepotong-potong. Suatu nasehat mengenai bagaimana harus bersikap dalam board meeteing, yang sangat baik disampaikan oleh Matheson: “The board meeting is not a debating chamber with fors and againsts, winners and losers. The board is there to provide leadership by making the best possible decisions for the organisation. In fact, directors may be in breach of their duty of care if they act and make decisions in the interests of any other organisation or cause in which they may be involved, have an interest in, or are accountable to, at the expense of the organisation they govern. Likewise, they may not act and make decisions in their own interests at the expense of the organisation they govern.” (Matheson, 2005. hal 68.) Walaupun petuah ini dilontarkan dalam konteks directors dengan one-tier system, yang pemisahan anggotanya adalah antara executing dan non-executing directors, isi utamanya dapat secara tepat diterapkan dalam sistem di Indonesia yang merupakan two-tier system dimana ada dewan direksi dan dewan komisaris. Interaksi antara Komisaris dengan Direksi Hubungan ideal antara anggota dewan komisaris dan dewan direksi dapat dikatakan sebagai “mencari keseimbang-an antara menjaga hubungan dan menjaga jarak.” Yang dimaksud dengan menjaga hubungan adalah menjaga keterbukaan informasi dan komunikasi sehingga rencana, pengelolaan manajerial, dan masalah yang dihadapi direksi dalam menjalankan usaha dapat segera diketahui oleh anggota dewan komisaris. Menjaga jarak, dalam konteks ini, adalah menjaga agar hubungan yang terjalin antara komisaris dengan direksi tidak terlalu 12
dekat untuk menyebabkan anggota komisaris menjadi canggung (tidak nyaman) apabila komisaris harus memberi teguran atau hukuman kepada direksi. Mencari dan menjalankan kesesimbangan antara dua hal ini lebih mudah apabila hubungan yang terjalin dijaga untuk terap bersifat formal. Kesulitan akan muncul apabila hubungan ini berubah menjadi hubungan, atau lebih tepatnya, kedekatan pribadi. Kekurang berdayaan komisaris terhadap direksi seringkali berasal dari masalah ini. Berbeda dengan budaya barat dimana pihak-pihak yang berhubungan dapat dengan lebih mudah ,secara tegas, memisahkan antara hubungan formal dan hubungan pribadi, budaya timur sulit memisahkan kedua jenis hubungan ini.
Organisasi Dewan Komisaris Dewan komisaris dapat lebih efektif dan lancar bekerja apabila teroganisasi dengan baik. Dukungan dari sekretariat dewan komisaris yang, selain jumlahnya memadai, juga handal, adalah suatu keharusan mutlak. Selain itu, Dewan komisaris harus ditunjang oleh staf akhli yang berisi tenaga ahli dari berbagai bidang kompetensi yang dibutuhkan. Paling tidak, ada akhli keuangan, ahkli hukum, dan beberapa akhli yang relevan dengan bidang industri di mana perusahaan berada. Apabila perusahaan semakin besar dan kompleks, kecermatan analisis yang mempermudah proses pengambilan keputusan, dapat ditunjang dengan, selain adanya staf akhli, juga adanya komite-komite seperti komite audit, komite manajemen resiko dan komite remunerasi. Adanya komite-komite ini, selain sebagai wahana pengumpulan keahlian, juga berperan untuk memenuhi persyaratan untuk menjalankan GCG, terutama dalam kaitannya dengan pemer-olehan informasi dan analisis yang independen. Suatu hal yang sering terabaikan, namun sangat penting untuk memper-tahankan independensi dari komisaris, adalah dimilikinya anggaran yang memadai dan dikelola secara terpisah oleh dewan komisaris. Walaupun dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perusahaan, seringkali disebut bahwa segala kebutuhan pendanaan dewan komisaris ditanggung oleh perusahaan, dalam 13
praktek, tidak dilaku-kan pemisahan atas anggaran dewan komisaris, sehingga turunnya dana kebutuhan komisaris seringkali harus menunggu persetujuan dan tandatangan
direksi.
Bahkan
cek,
atau
perintah
transfer,
gaji
komisaris
ditandatangani oleh direksi perusahaan. Ini kurang baik bagi citra independensi komisaris. Hal yang seharusnya dilakukan adalah, apabila anggaran dewan komisaris telah men-dapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dana tersebut dapat segera dialirkan ke rekening spesifik milik dewan komisaris dan penggunaan-nya serta pertanggung-jawabannya dilakukan secara mandiri dan terpisah. Anggaran ini termasuk balas jasa dan fasilitas bagi dewan komisaris serta biaya konsultan dan pihak lainnya yang dibutuh-kan oleh dewan komisaris dan diperboleh-kan oleh aturan perusahaan. Suatu hal penting yang harus turut dibahas adalah kemampuan dewan komisaris sebagai organisasi untuk tumbuh dan berkembang. Kematangan dewan komisaris akan meningkat dengan berjalannya waktu dan terpupuknya pengalaman. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah upaya kongktret bagi setiap anggota komisaris untuk mengembangkan diri, baik melalui pelatihan-pelatihan, seminar, maupun pendidikan formal untuk menambah pengetahuannya. Tanpa adanya keinginan memajukan dirinya ini, seorang anggota komisaris, semakin lama, akan berkurang kontribusi dan manfaatnya bagi dewan komisaris dan perusahaan. Winning boards memiliki karakteristik untuk dapat terus menerus mengembangkan diri (Colin, 2005) Sistem Informasi Keuangan Untuk
dapat
melakukan
tugas
peng-awasannya
secara
efektif,
komisaris
memerlukan berbagai informasi yang dihasilkan perusahaan. Salah satu informasi yang menjadi kebutuhan utama dewan komisaris adalah laporan keuang-an, tidak saja tahunan, melainkan juga bulanan, kwartalan, dan semesteran. Informasi yang handal hanya dapat dihasilkan oleh sistem informasi yang handal pula. Oleh karena itu, salah satu tugas komisaris yang penting adalah mengawasi proses penyusunan laporan, terutama laporan keuangan. Tugas lain-nya yang juga penting adalah memantau proses pemeriksaan/audit terhadap laporan keuangan, baik oleh auditor internal, maupun auditor eksternal, agar dapat diyakini bahwa informasi keuangan 14
tersebut reliable dan non-bias. Mengingat pentingnya arti sistem informasi keuangan dan laporan yang dihasilkannya bagi dewan komisaris, dewan, dalam kaitan-nya dengan informasi keuangan sebaik-nya melaksanakan hal-hal berikut: 1.
Dewan komisaris memiliki sistem pemantauan yang efektif terhadap proses penyusunan laporan keuang-an agar dapat diyakinkan bahwa laporan keuangan yang disajikan memenuhi semua persyaratan baik yang berkaitan dengan aturan-aturan akuntansi bagi laporan keuangan yang ditujukan bagi berbagai pemang-ku kepentingan di luar perusahaan. Selain itu, sistem yang dimiiki perusahaan harus dapat menghasil-kan laporan manajerial yang diperlukan oleh pimpinan perusahaan, termasuk direksi dan komisaris untuk pengambilan keputusan. Tanggung jawab dari adanya sistem tersebut ada pada direksi perusahaan, namun dewan komisaris harus meyakini bahwa sistem tersebut memang ada dan berjalan dengan baik.
2.
Memiliki sistem, aturan-aturan, serta prosedur pelaksanaannya yang menjamin bahwa keputusan-keputus-an strategis yang akan diambil oleh direksi, harus terlebih dahulu diketahui atau disetujui oleh dewan komisaris. Sistem ini tidak saja memberkan informasi dalam bentuk ringkasan namun harus dapat memberikan informasi rinci bagi kepentingan analisis lebih lanjut oleh dewan komisaris apabila diperlukan. Termasuk dalam sistem imni adalah sistem kajian resiko terhadap tindakan yang akan diambil, atau tindakan yang gagal diambil oleh perusahaan.
3.
Memiliki sistem yang dapat memantau belanja strategis dan pengeluaran operasional yang penting dan besar. Untuk ini Grace, Jr. bahkan ber-pendapat sebagai berikut: “Effective business oversight requires an involved board, armed with information well beyond financial statements, exercising oversight and, ultimately control. A board with its own control system for oversight of capital expenditures that tracks and challenges signifcant variances and asks probing 15
questions that can uncover operating expenses that have been improperly booked as capital expenditures. It requires a board that has basic guidelines and control processes for monitoring cash and non cash payments to executives and related individuals to identify improper payments” (Grace Jr., 2002) Grace berpendapat bahwa dewan komisaris sebaiknya memiliki sistem informasi tersendiri dengan program-program aplikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dewan komisaris, terutama untuk memantau belanja modal yang memiliki variance yang signifikan. 4.
Menciptakan sistem dan prosedur yang menjamin bahwa dewan komisaris memilki akses kepada audit internal dan hasil temuan auditnya. Demikian juga terhadap auditor eksernal dan hasil auditnya. Hal ini biasanya dipenuhi dengan mem-bentuk komite audit yang menjadi aparat dewan komisaris, yang diperkuat dengan adanya audit committee charter.
Penutup Membangun dewan komisaris yang efektif harus dimulai dari awal, yaitu dari proses rekruitmennya. Proses penyesuai-an anggota dewan komisaris untuk segera dapat bekerja dengan baik dapat ditunjang dengan adanya orientasi yang terstruktur dan memadai. Ukuran dan komposisi dewan komisaris dapat membantu meningkatkan keefetifan kerja dewan komisaris. Ukuran yang tidak seimbang dengan jumlah direksi yang lebih banyak akan menyebabkan komisaris menghadapi kesulitan ketika bernegosiasi dengan dewan direksi. Komposisi keahlian dewan komisaris juga akan mempengaruhi ketajaman dan keluasan analisis untuk dapat melakukan pengambilan keputusan yang baik dan tepat waktu. Board process merupakan hal penting yang jarang dijumpai dalam literatur. Penyebab utamanya adalah karena penelitian yang dibutuhkan sulit dilakukan karena sifat kerahasiaan dari proses rapat dan pengambilan keputusan. Padahal, kunci utama pekerjaan komisaris adalah pada saat rapat-rapat tersebut dilaksanakan. Untuk menjaga indepen-densi dari komisaris, organisasi dewan komisaris harus diatur sedemikian rupa sehingga proses anggaran dan per-tanggungjawabannya dilakukan secara terpisah dan 16
mandiri. Agar dewan komisaris dapat bekerja dengan efektif, dewan harus ditunjang oleh staf kesekretariatan yang handal, staf akhli yang keakhliannya mencakup semua bidang industri di mana perusahaan berada, dan juga harus memiliki komite-komite, seperti komite audit, manajemen resiko dan remunerasi yang dapat mem-berikan masukan dan analisis yang independen. Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah sistem informasi keuangan yang memadai, yang dirancang sedemikian rupa, sehingga apabila diperlukan, dapat digunakan secara spesifik oleh dewan komisaris agar analisis keuangan yang perlu dilakukan dapat dilaksanakan secara lengkap dan mandiri. U
17
Daftar Pustaka Colin, Coulson-Thomas, “Creating a Winning Board: Differing Approaches of the Boards of successful and Struggling Companies,” Industrial and Commercial Training, 2005, Hal. 67. Grace Jr.,Stephen H., “Corporate Boards and Business Oversight,” The CPA Journal, Sep. 2002, Hal. 80. Hasses, Tony, “Executive Director Dilemas,” New Zealand Management, April, 1999, Hal. 66. Herwidayatmo, “Implementasi Good Corporate Governance untuk Perusahaan Publik di Indonesia,” Usahawan, Oktober, 2000, Hal. 25-32 Izma, Nazatul, “Answering the Helm,” Malaysian Business, Feb. 1999, Kuala Lumpur, Hal. 14. Komite Nasional Kebijakan Corpoate Governance, Pedoman Good Corporate Governance, 2001. Leblanc, Richard, “Preventing future Hollingers,” Ivey Business Journal Online, Sep/Oct 2004, Hal, B1. Manon, Vennat, “Building Better Boards”, Canadian Business review, Autumn, 1995, Hal. 21. Matheson, Doug, “Corporate Governance; Pouring Unction on Dysfunction – When Boards Don’t Jell; Dysfunctional Boards are not Uncommon. Nor are the Causes Hard to Identify. What Should the Chairman be Doing about It,” New Zealand Management, Auckland October 2005, Hal. 68. Pitt, Harvery, L., “The Changing Standards by Which Directors will be Judged,” St. John’s Law Review, Winter, 2005, Hal. 1. Thain, Donald, H., and David S. R. Leighton, “Effective Director Dissent,” Business Quarterly, Summer 1994, Hal. 34. Wallace, Peter, and Zinklin, John, Mastering Business in Asia: Corporate Governance, Hal. 115, John Wiley and Sons (Asia) Pte Ltd, Singapore, 2005
18