Badingkut 67/65
Perca Pertama
MEMASUKI FASE KETUJUH DINAMIKA METAMORFOSA DIRI Ahmad Dimyati PENDAHULUAN Metamorfosa pada serangga dan ikan berbeda satu dengan yang lain. Demikian juga antara metamorfosa pada ular dan cacing. Pada manusia jelas juga unik. Dalam kaitan ini, metamorfosa pada manusia yang aslinya dikaitkan dengan pengertian fisik biologis, bisa juga dikaitkan dengan pengertian psikologis dan mentalitas. Saya akan lebih menggunakan metamorfosa dalam pengertian metaforis, pengertian yang lebih simbolis. Metamorfosa diri secara utuh dalam kondisi dan situasi yang utuh pula. Bahan permenungan ini ditulis ketika saya sudah mengalami perjalanan hidup yang panjang: mengalami dinamika, romantika, dan dialektika metamorfosa yang berliku. Tulisan ini jadi tinjauan seseorang atas perjalanan hidupnya dengan kaca mata yang multi-facet ada faset kesan masa kecil, ada faset masa gejolak remaja, ada faset era pematangan dan pendewasaan serta tentunya semoga ada pula faset kearifan orang tua. Dalam konteks keterkaitan saya dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, tentu yang paling relevan adalah metamorfosa yang menyangkut perkembangan karier, yang dapat dibagi ke dalam enam fase, yaitu: 1. Fase Pra Karir 1951-1976, yaitu sejak lahir, dibesarkan dan memperoleh pendidikan sampai lulus sebagai Sarjana Pertanian. 2. Fase Awal Karir 1976-1994, meliputi masa honorer di Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Bogor sampai mengakhiri tugas sebagai Kepala Bidang Tata Operasional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Fase ini juga meliputi periode pendidikan S2 di IPB dan S3 di University of Nebraska, Lincoln, Nebraska USA. 3. Fase Pematangan Pengalaman Lapangan dan Wawasan 1995-1999, yaitu sejak menjabat Kepala Balai Pengkajian Teknologi Lembang sampai menyelesaikan tugas sebagai Kepala Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 4. Fase Penguatan Interaksi di Tingkat Nasional 1999-2005, yaitu sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura dan Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 5. Fase Puncak Pengabdian sebagai Birokrat 1995-2010, yaitu semasa menjabat Direktur Jenderal Hortikultura. 6. Fase Kembali ke Habitat Awal, yaitu dunia penelitian dan pengembangan yang sekaligus menjadi transisi ke fase metamorfosa berikutnya yang berlangsung sejak mengakhiri tugas sebagai Direktur Jenderal Hortikultura pada tanggal 1 November 2010 sampai besok, tanggal 31 Agustus 2016 atau 28 Dzulqa’idah 1437. Fase berikutnya adalah melepas status sebagai Pegawai Negeri Sipil menjadi pensiunan dan mengisi sisa hidup yang dianugerahkan Allah. Lima tahun yang lalu Allah seperti sudah memberikan isyarat-isyarat awal bagi arah pengisian masa depan itu. Sekarang isyarat itu sudah semakin menguat menjadi panggilan sejarah yang harus saya sambut.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
FASE PRA KARIR Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga pesantren. Ayahanda, K.H. Siradj memimpin Pesantren yang didirikan kakek, K.H. Muhammad Asy’ari, dengan dukungan dari mertuanya, Abah Encim Suriadiredja, asal Bogor yang mengasingkan diri dari ancaman penjajah Belanda, dan penyandang dana, K.H. Muhammad Hasan yang makamnya di Tasikmalaya. Jalur leluhur ayah adalah kombinasi antara ningrat Sunda yang menentang penjajah dan ulama yang menggelar pendidikan dan dakwah bagi masyarakat. Ibu saya, Hj Siti Khodijah anak dari H. Muhammad Utsman yang beristerikan Ny Saodah Afsari, yang memiliki leluhur dari jalur kerajaan Sumedang. Di antara bagian indah dari kenangan masa kecil adalah kenyataan bahwa saya adalah anak kampung yang sudah bisa baca Al Quran dan bisa baca huruf Latin ketika belum masuk sekolah. Barangkali bakat lancar membaca ini yang mendorong salah satu kepala sekolah dan beberapa guru memberi saya hadiah buku bacaan yang untuk anak seumur saya sudah termasuk buku bacaan sulit. Itu pula mungkin yang mendorong saya menjadi kutu buku sejak masa kecil, dengan obyek bacaan berupa novel, cerita bersambung, cerita pendek, serta puisi di koran, majalah, dan buku. Selain itu saya juga masih mengingat barangkali bakat kreativitas itu sudah ada sejak kecil. Ketika belum sekolah, masih teringat saya suka menggambar bus bertingkat, padahal waktu itu belum pernah melihat atau mendengar tentang mobil bertingkat, kecuali bis yang atapnya dipenuhi penumpang. Kreativitas dan keberanian bekerja di luar pakem yang kaku, membuat saya mampu mengimplementasikan konsep alokasi dana berbasis kinerja (1994), penelitian pemuliaan partisipatif (2000-2002), pertanian kota dan pengembangan agrobisnis berbasis pesantren (1996-1999), serta pengelolaan rantai asokan (20002009). Yang paling monumental adalah keberhasilan mendorong lahirnya Undang-undang No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, serta mendukung Pemerintah dalam mempertahankannya dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (2014). Pengalaman di beberapa tingkatan pendidikan yang berkesan dan masih teringat di antaranya: Di Sekolah Dasar mengalami perpindahan sekolah, karena terjadinya pemekaran sekolah untuk mengakomodasikan kepentingan anak-anak yang bertempat tinggal jauh dari sekolah lama. Orang tua memilih sekolah baru karena lokasinya tidak perlu melalui jalan besar, karena saya pernah mengalami kecelakaan lalu lintas kecil, tersenggol truk ketika sedang main kejar-kejaran di halaman sekolah dan lari ke jalan. Padahal di sekolah baru itu, saya harus belajar duduk di lantai. Di Sekolah Menengah Pertama pernah ikut mengangkut bata sumbangan untuk membangun gedung sekolah. Kalau tidak jalan kaki sejauh tiga kilometer, kendaraan yang saya pakai adalah truk pengangkut batu bata dan pasir, truk militer, dan bis yang pernah menjadi inspirasi saya menggambar. Ketika duduk di SMP Batujajar ini, saya berkeinginan menjadi sastrawan, tetapi kaka ipar saya almarhumah Ani Rohayani melarangnya, “Karena sastrawan tidak punya jaminan masa depan ekonomi yang baik....”, katanya. Di sekolah lanjutan atas, menyukai pelajaran bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Tetapi di kelas dua tetap memilih jurusan IPA, padahal tidak suka dengan pelajaran Aljabar. Pertemanan yang akrab juga terjadi mulai di tingkat SLA, yang berarti juga dimulanya masa puber awal. Bersekolah di tingkat SLA ini juga membawa pengalaman hidup indekos,
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
walaupun masih numpang di keluarga yang masih ada hubungan kekerabatan dan ternyata juga memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga istri saya. Memasuki perguruan tinggi juga berarti memasuki masa kehidupan lebih dewasa dengan segala tantangannya. Hanya setahun saya hidup berindekos di daerah Dago Simpang. Selanjutnya jarak Cangkorah-Bukit Dago ditempuh melalui kendaraan umum yang dalam keadaan lalu lintas waktu itu biasa menghabiskan waktu sekitar lima jam perjalananan pulang pergi. Melalui perjalanan dari terminal ke terminal ini pula, saya mengenal Rumah Makan Ampera yang masih dalam ukuran kecilnya. Di atas segalanya, di lingkungan keluarga, seperti di lingkungan pesantren pada umumnya, ajaran rendah hati lebih dikedepankan. Itu, antara lain diterapkan pada pakem tidak boleh banyak bicara di depan orang berilmu. Pakem ini tentu saja masih saya pakai dalam lingkungan tertentu, misalnya di tengah para ahli spiritual. Pakem “pengekangan diri” ini terbawa sampai ke masa kuliah. Di era ini saya lebih banyak baca dari pada teman-teman seangkatan pada umumnya, tetapi harus saya akui bahwa saya kurang gaul. Boleh dikatakan saya tidak suka bicara kecuali ketika berdiskusi atau berdebat dalam masalah agama. Di Mushalla Al Amanah Fakultas Pertanian Unpad yang sempit, saya bergairah berdiskusi tentang masalah-masalah khilafiah yang masih populer sampai sekarang. Di ruang kuliah saya pernah terlibat debat kusir dengan dosen pengajar tentang isu apakah agama itu budaya atau bukan. Kalau saja diskusi itu bisa diulangi sekarang, judulnya pasti sudah berubah menjadi bagaimana agama dan kebudayaan berkelindan dari masa ke masa. Sikap tidak banyak bicara di depan orang berilmu ini terbawa ke meja sidang ujian sarjana di Faperta Unpad. Ketika itu saya mendapat pertanyaan “salah” dari seorang dosen penguji yang kepiawaiannya saya kagumi. Pertanyaan sang idola itu adalah tentang aflatoksin, tetapi beliau menanyakannya dalam konteks kedelai. Saya jadi terkesima dengan pertanyaan yang keliru ini. Seharusnya saya menjawab dengan mengatakan bahwa aflatoksin tidak penting pada kasus kedelai, melainkan penting untuk kacang tanah. Benak saya waktu itu menyatakan kalau saya jawab demikian, tentu akan membuat sang dosen favorit saya itu dipermalukan di depan sidang. Oleh karena itu saya terdiam tidak menjawab pertanyaan tadi. Perhatian kepada hortikultura datang dari bimbingan di lapangan dan laboratorium mengenai penyakit CVPD pada jeruk dari Profesor Sulaiman Tirtawijaya yang hampir bisa dikatakan menjadi penelitian kedua setelah penelitian tesis saya pada keragaman genetik kedelai, dibawah bimbingan Dr. Agus Mubarokah dan Dr. Achmad Baihaki. Setelah saya lulus dan bekerja, Pak Agus meninggal. Sedangkan Pak Baihaki sampai beliau pensiun dan berstatus Profesor Emiritus, saya masih berkomunikasi. Banyak kesamaan pandangan saya dengan beliau, termasuk ketika saya menggagas demand-driving research, penelitian yang hasilnya untuk mendorong perubahan perilaku konsumen terhadap suatu produk, beliau juga berpikiran sama walaupun dengan istilah yang berbeda. Beruntung sebagai mahasiswa tingkat akhir di jurusan pemuliaan tanaman, saya bersama tiga teman mahasiswi ditugasi menulis notulen pada Simposium Pertama Perhimpunan Ilmu Pemuliaan di Lembang pada tahun 1976. Di simposium dan kongres itu selain berkenalan dan menyimak pandangan berbagai tokoh nasional di bidang pemuliaan, kami juga mendapat tawaran untuk melakukan penelitian tesis di lembaga-lembaga penelitian nasional. Saya mengambil
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
kesempatan di Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor dengan obyek plasma nutfah kedelai asal introduksi dari Asian Vegetable Research and Development Centre (AVRDC) yang sekarang sudah berubah menjadi CGIAR World Vegetable Centre. Pada kesempatan penelitian ini saya banyak berinteraksi dan dibantu oleh Bu Rodiah Sumarno, Ono Sutrisno, dan Lasimin Sumarsono serta juga dengan Pak Tateng Sutarman dan lain-lain.
FASE AWAL KARIR Sikap tidak gampang bicara lantang di depan orang berilmu ini tidak diterjemahkan menjadi keharusan bawahan tidak banyak bicara. Apalagi saya pernah tergugah oleh sikap Direktur Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Dr Rusli Hakim yang membela saya seorang anak muda berstatus honorer, dalam seminar terbuka, untuk selalu berpikiran terbuka kepada perbedaan pendapat dari orang lain walaupun berstatus di bawah kita. Bekerja di LP3 Bogor itu dimulai di Bagian Agronomi di Cimanggu di bawah pimpinan Dr Sundaru, ahli gulma. Pada awal karir yang singkat itu saya sempat terlibat dalam proses seleksi material keturunan hasil persilangan Pak Sumarno yang kemudian menghasilkan varietas kedelai Wilis yang masih dipakai sebagian petani sampai sekarang. Penantian pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil selama dua tahun cukup mengesalkan. Banyak teman lebih senior yang sudah menunggu lebih lama lagi. Kekesalan yang terobati karena IPB membuka program Sekolah Pasca Sarjana dan menerima banyak pegawai Badan Litbang dari berbagai lokasi masuk program tersebut. Alhamdulilah, pada awal 1979 banyak di antara kami yang mendadak diangkat sebagai PNS karena harus segera masuk SPS IPB. Saya diterima di Jurusan Ilmu Tanaman dengan minat bidang pemuliaan tanaman. Topik penelitian tesis master saya adalah genetika ketahanan keturunan persilangan kedelai terhadap penyakit karat. Pembimbing pada penulisan tesis adalah Prof Dr Edi Guhardja, Dr Amris Makmur dan Dr Zainuddin Harahap. Di fase ini, pengetahuan mengenai mekanisme genetika aditif, selain dominansi versus resesif yang dibahas di dalam genetika Mendel, sudah sering menjadi topik bahasan. Hal ini juga mempengaruhi pembahasan penemuan saya dalam penelitian tesis ini. Dengan jumlah populasi F2 yang besar maka analisis varian untuk mempelajari aditivitas dapat dilakukan, dan dibandingkan dengan kemungkinan kecocokannya dengan genetika Mendel melalui uji Chisquare. Di Sekolah Pasca Sarjana IPB, saya ingat tesis S2 saya hanya dikoreksi dua kata oleh pembimbing utama Prof Edi Guhardja. Menarik sekali, setelah sekian lama tidak bertemu Prof Edi Guhardja, kami bertemu di meja akad nikah di antara keponakan kami masing-masing sebagai saksi.
Setelah selesai dengan program pasca sarjana S2 di IPB, saya berkesempatan mengikuti pelatihan aspek teknis dan sosial ekonomi kedelai di University of Illinois, Urbana-Champaign Amerika Serikat selama tiga bulan. Pelatihan ini menguatkan pemahaman bahwa segala aspek teknis pengelolaan tanaman selalu berkaitan dengan aspek sosial maupun ekonominya. Dengan kata lain, aspek lingkungan setiap tanaman meliputi lingkungan biologis, sosial dan ekonomis.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Sebagai nilai tambah, pelatihan ini juga meningkatkan kefasihan bicara, tulis dan dengar bahasa Inggris, serta juga memperbaiki pemahaman saya akan budaya dan karakter masyarakat Amerika Serikat. Dengan demikian, pelatihan ini memperbaiki kesiapan saya dalam mengikuti program pendidikan S3 di sana selama Agustus 1983 sampai dengan Desember 1986. Saya kuliah di Department of Agronomy, Graduate College University of Nebraska, Lincoln dalam bidang studi Plant Breeding and Cytogenetics. Topik penelitian disertasinya adalah ketahanan dzuriat sorgum terhadap aphis hijau (Green bugs). Pengujian dilakukan di rumah kasa dan lapangan. Mempelajari ketahanan terhadap hama dan penyakit ini selain menambah pengalaman dalam studi genetika ketahanan terhadap penyakit juga membawa saya ke teoriteori ketahanan secara anatomis, morfologis, maupun fisiologis. Sebetulnya saya dapat melanjutkan ke kajian enzimologi maupun genetika molekuler yang sedang naik daun ketika itu. Tapi keinginan saya untuk memperpanjang masa pendidikan selama satu semester tidak dikabulkan, sehingga harus pulang tepat waktu, 40 bulan. Dengan pembimbing S3 yang menangani aspek entomologi saya sangat terkesan dengan kerendahan hatinya. Ketika saya sampaikan draft disertasi, beliau bertanya: “Bolehkah saya coret-coret di lembar kertasmu ketika saya memberi saran koreksi?" Namun yang berkaitan dengan perjalanan karier selanjutnya adalah kenyataan bahwa selama pendidikan di sana, saya tidak pernah lepas dari pelajaran teknis tanaman pangan dan hortikultura. Sehingga ketika saya harus bermetamorfosa ke bidang manajemen penelitian hortikultura, tidak merasa terlalu canggung lagi. Salah satu pelajaran yang saya ambil adalah pemuliaan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif dan pemuliaan hortikultura tingkat lanjut. Juga yang membuat saya merasa beruntung adalah kesertaan saya dalam mata kuliah manajemen organisasi pertanian yang sangat berkesan, antara lain karena mulai memperkenalkan mahasiswa pada participatory decision making dan pembinaan sumber daya manusia berbasis positive psychological reinforcement yang dipoplerkan oleh ahli manajemen sumber daya manusia di Eropa dan Amerika Serikat. Sekembalinya dari pendidikan di AS saya bertugas sebagai pemulia sorgum bersama Ir Sukarno Rusmarkam. Namun selang beberapa bulan kemudian saya dipindahkan ke tugas sebagai pemulia ubi-ubian, karena kepindahan peneliti ubi-ubian yang ada yaitu Dr Roberto Sunaryo ke Lembaga Penelitian Internasional Pertanian Tropis, CIAT. Di fase ini, saya banyak berinteraksi dengan Ketua Kelompok Peneliti Pemuliaan Dr Zainuddin Harahap, para pemulia senior seperti Dr Subandi, Dr Sumarno, Dr Ismu Sukamto dan lain-lain. Salah satu karakter kepemimpinan Dr Harahap adalah pembinaannya kepada para peneliti yunior dengan menggelar berbagai diskusi secara rutin serta membawa kami kunjungan ke obyek penelitian di lapangan. Dari waktu ke waktu kami diharuskan mempelajari sesuatu yang baru dari kepustakaan yang ada. Kerja sama dengan pihak lembaga asing awalnya melibatkan Asian Vegetable Research and Development Centre (AVRDC), International collaboration on Soybean (INTSOY), International Development Resource Collaboration (IDRC) Canada, dan International Collaboration on Sorghum and Millet (INTSORMIL). Di era kepemimpinan Dr Ibrahim Manwan, sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Dr Syarifuddin Karama sebagai Kepala Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, saya ditunjuk sebagai Kordinator Penelitian Ubi-ubian dan kemudian Kepala Bidang Tata
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Operasional Puslitbangtan. Jejaring perkenalan dan kemitraan pun bertambah luas. Dr Ibrahim Manwan adalah pimpinan lembaga yang tangguh dan ketekunannya dalam memeriksa proposal, naskah laporan, naskah makalah dan bahan tayangan presentasi mungkin harus jadi teladan bagi kita. Pihak lembaga atau proyek internasional yang bersinggungan berubah antara lain dengan masuknya kerja sama dengan Southeast Asian Program for Sweet Potato and Potato Reasearch and Development (SAPPRAD) dan Users’ Perspective on Research and Development (UPWARD) yang keduanya di bawah kordinasi International Center for Potato atau Centro Internationale de la Papa (CIP), serta kemudian dengan Cassava Biotechnology Network yang dikelola oleh Centro Internationale de Agricultura Tropical (CIAT). Pembelajaran terpenting yang dialami melalui berbagai kerja sama ini adalah berinteraksi dengan penelitian sosial, perspektif pengguna hasil penelitian, pendekatan partisipatif dalam penelitian dan penyebaran hasilnya, serta manajemen penelitian lintas disiplin lintas institusi yang lebih komprehensif. Kesertaan dalam berbagai kerja sama ini membuat saya lebih paham isu-isu sistem usaha tani sehingga dapat berkontribusi dalam perbaikan program penelitian lingkup Balitbangtan. Selama berinteraksi dengan berbagai lembaga dan program internasional itulah saya berkesempatan mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga internasional. Ketika saya sedang memikirkan tawaran ini, saya berkesempatan mengikuti kegiatan internasional di Miami, Florida pada salah satu bulan Ramadlan. Kebetulan sekali pengalaman itu memberikan saya perasaan bahwa salah satu kesulitan bekerja pada lembaga internasional adalah dalam melaksanakan kewajiban ibadah sebagai muslim. Mungkin terlalu berat untuk seorang muslim sejenis dan sekelas saya yang masih rendah. Maka mudahlah saya untuk membuat keputusan menolak tawaran itu.
FASE PEMATANGAN PENGALAMAN LAPANGAN DAN WAWASAN Sikap mau mendengarkan pendapat orang lain saya tajamkan dan perkuat ketika memimpin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lembang selama periode 1 April 1995-16 September 1999. Di BPTP Lembang saya harus bisa memulai perubahan status dari Balai Informasi Pertanian di bawah kendali Badan Pendidikan dan Pelatihan Pertanian menjadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di bawah kendali Badan Litbang Pertanian. Usaha tersebut harus dilakukan melalui berinteraksi dengan peneliti yang berasal dari unit Litbang yang berbeda dan penyuluh di dalam dan luar BPTP serta dengan pejabat struktural dan fungsional dari berbagai instansi vertikal dan horizontal yang berada di daerah. Lebih dari itu, juga dengan tokoh petani dan pelaku usaha lain yang bergerak di tingkat nasional dan daerah. Saya harus bersabar dan terampil dalam menyikapi berbagai tipe manusia dengan kebiasaan, corak kerja, etos kerja dan etika kerja yang beragam. Saya menggunakan ungkapan “Setiap orang harus dielus dengan bulu ayam yang berbeda”. Apalagi di era awal itu BPTP harus melaksanakan program pengkajian Sistem Usaha Tani berbasis Padi (SUTPA) dan kemudian peningkatan indeks pertanaman padi menjadi 300 % per tahun (IP 300). Konsolidasi internal organisasi harus dilaksanakan berbarengan dengan sosialisasi dan komunikasi eksternal yang ekstensif dan intensif. Namun, barangkali satu hikmah tersendiri bahwa program berat yang melibatkan pihak luar justru mempercepat proses konsolidasi internal.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
BPTP yang memiliki lingkup fungsi penelitian spesifik lokasi untuk semua kelompok komoditas pertanian, membuat perubahan orientasi saya dari tanaman pangan ke seluruh jenis komoditas pertanian termasuk hortikultura, perkebunan, peternakan bahkan pada saat itu juga perikanan. Sedikit pengalaman pendidikan pada tanaman hortikultura di fase para karier dan awal karier terasa bermanfaat ketika menangani jenis tanaman ini di BPTP Lembang. Hal itu juga seolah menyiapkan saya untuk masuk lebih dalam ke kelompok tanaman bernilai ekonomi tinggi ini dengan penugasan saya di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang. Apalagi Jawa Barat memiliki usaha hortikultura yang sangat penting dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Lebih khusus lagi, Lembang adalah lokasi pengusahaan tanaman sayuran dan florikultura dataran tinggi sekaligus daerah wisata yang terkenal. Tugas di BPTP Lembang, yang waktu itu meliputi wilayah DKI Jakarta dan Banten, tentu juga berarti pemahaman kondisi ekosistem yang beragam dalam ketinggian, jenis lahan, tipe iklim, dan profil topografinya. Bahkan lingkup kegiatan yang meliputi perikanan darat dan laut, mengharuskan saya memahami situasi dan kondisi ekosistem pantai dan laut juga. Penanganan semua jenis komoditas pertanian juga berarti interaksi dengan jenis pelaku usaha yang berbeda yang tentu saja dengan profil dan karakter yang berbeda pula. Petani dan pedagang tanaman hortikultura, ternak dan ikan umumnya memiliki jiwa kewirausahaan yang lebih kuat dibandingkan dengan pelaku usaha tanaman pangan. Hal itu ditandai dengan orientasi mereka ke inovasi teknologi dan usaha, keberanian mengambil risiko, serta kepiawaian menyikapi fluktuasi harga di pasar. Pengalaman konsolidasi internal di BPTP terutama dalam menghadapi aneka ragam perilaku manusia itu menjadi bekal dalam tugas selanjutnya sebagai Kepala Balitsa Lembang yang hanya berumur pendek, 16 September 1999-Juni 2000. Hasil pelatihan mengenai penerapan logical framework yang saya peroleh di Badan Litbang Pertanian dan di proyek SAPPRAD menjadi alat bantu yang penting dalam memperkuat proses konsolidasi di Balitsa sekaligus mengubah orientasi program yang berbasis disiplin penelitian menjadi berbasis komoditas. Juga di Balitsa saya berkesempatan mendorong perhatian lebih besar untuk tanaman sayuran asli Indonesia (indigenous vegetables). Lokasi Balitsa di lereng gunung Tangkubanparahu, dengan pemandangan sekitar yang penuh pertanaman sayuran dataran tinggi dengan manajemen lahan dan iklim yang sering tidak ramah lingkungan, menguatkan orientasi saya ke pertanian ramah lingkungan seperti Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) dan mempelajari lebih jauh jenis-jenis pertanian organik, pertanian rumah kasa dan rumah kaca, serta beragam teknologi tanpa media tanah seperti hidroponik dan aeroponik.
FASE PENGUATAN INTERAKSI DI TINGKAT NASIONAL Sejak Juni 2000, saya ditugaskan memimpin Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura dan Aneka Tanaman yang kemudian berganti nomenklatur pada 1 Februari 2001 menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura (Puslitbang Hortiikultura). Kepindahan ke Jakarta ini terjadi ketika Badan Litbang Pertanian dipimpin Dr Joko Budianto. Kepindahan ini juga seolah
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
memenuhi ramalan Dr Sutatwo Hadiwigeno, Kepala Badan dua periode sebelumnya yang sering menyebut saya sebagai “Kapus 2000”. Pada posisi ini, saya berkesempatan menginisiasi program pemuliaan partisipatif (participatory breeding) yang sebagaian konsepnya pernah saya bantu susun ketika SAPPRAD menerapkannya untuk ubi jalar. Bedanya dalam pemuliaan partisipatif ubi jalar, lembaga penelitian formal bekerja sama dengan kelompok-kelompok petani dalam melaksanakan pemuliaan ubi jalar, sedangkan pada pemuliaan partisipatif hortikultura Puslitbang Hortikultura bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan benih. Ada juga kerja sama pemuliaan partisipatif yang dilaksanakan dengan pemerintah daerah. Sebagai langkah lebih lanjut untuk memberdayakan pemuliaan partisipatif tersebut, saya juga menggagas pembentukan Konsorsium Perbenihan yang melibatkan para pejabat struktural dan fungsional terkait, serta para pelaku usaha perbenihan hortikultura. Sebagai Kepala Puslitbang Hortikultura saya juga menghidupkan kembali pemuliaan tanaman buah tahun seperti mangga, durian, dan rambutan. Memang harus diakui bahwa pemuliaan tanaman buah tahunan itu membutuhkan waktu lama untuk menuai keberhasilan, tetapi jangka waktu yang lama itu tidak akan tercapai kalau tidak pernah dimulai. Posisi ini juga memberi saya kesempatan mendorong penelitian tanaman hias tropis, yang meliputi terutama berbagai jenis anggrek, Heliconia dan juga bermacam spesies lain dari keluarga Gingiberaceae. Dari jabatan ini pula saya mulai mengenal dan memperkenalkan konsep pengelolaan rantai pasokan atau supply-chain management (SCM), Systems dynamics, dan soft systems methodology (SSM). Konsep SCM diperkenalkan melalui kerja sama dengan Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) dengan mitra di bawah pimpinan Prof. Elizabeth Wood, yang waktu itu bekerja untuk Department of Primary Industry, Queensland. Konsep ini lambat laun mendapat sambutan dari berbagai khalayak dan menjadi topik yang digarap oleh banyak pihak. Saya malah sangat senang bahwa dewasa ini bahkan Bank Indonesia melakukan konsep klaster agrobisnis dengan prinsip value chain management yang merupakan modifikasi dari SCM. Dari kajian tersebut BI juga melahirkan konsep Value Chain Financing. Metode systems dynamics juga sekarang menjadi salah satu alat dalam menganalisis dan menyusun kebijakan di Kementrian Pertanian. SSM beberapa kali menjadi bahan pembelajaran di Pendidikan dan Pelathan Kepemimpinan Tingkat I yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara. Langkah strategis yang saya lakukan ketika memegang posisi ini adalah menggagas perubahan UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang dimulai dari aspek perbenihan. Gagasan ini sempat dituangkan ke dalam buku kecil Strategi Nasional Perbenihan yang penulisannya dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Teknologi Dr. Syarifuddin Karama, dan saya bertugas menjadi pimpinan Tim Kecil yang menyusun draf buku kecil tersebut. Kurangnya dukungan politik terhadap implementasi kandungan buku tersebut kemudian mendorong saya menyusun Undang-undang No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, ketika saya memasuki era metamorfosa berikutnya. Banyak pembelajaran yang saya petik di era ini dan tentu masih melekat erat karena relatif lebih dekat jarak waktunya. Di era ini saya memahami lebih dalam mengenai politik birokrasi dan bagaimana hubungan dunia politik dengan dunia birokrasi, baik politik tinggi maupun politik Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
praktis. Oleh karena itu, saya juga harus mengambil sikap yang tepat terhadap berbagai pihak dengan kecenderungan politik yang berbeda. Kenyataan bahwa Menteri adalah jabatan kenegaraan yang bernuansa politik, harus memimpin birokrasi yang seyogyanya harus netral secara politik, membuat kita harus mengembangkan sikap dan perilaku yang tepat dalam melayani kebijakan Menteri. Tentu saja saya berusaha agar tidak terjebak ke dalam keterkaitan dengan salah satu pihak tetapi juga tidak dirugikan oleh sikap lugas tersebut. Salah satu kelemahan orang Indonesia, termasuk para pejabatnya adalah kurang berani berbicara di forum internasional. Namun saya sejak awal berusaha meningkatkan keberanian berkomunikasi dan berinteraksi secara positif di forum yang menuntut sikap dan perilaku yang khusus ini. Latar belakang kemampuan berbahasa Inggris dan pengalaman interaksi dengan pas peneliti asing selama terlibat dalam kerja sama internasional, membuat saya semakin berani berbicara di forum internasional. Dr. P. Batugal, waktu menjadi koordinator SAPPRAD, dan juga Dr. G. Molina ketika menjadi koordinator INIBAP, pernah mengatakan langsung pada saya bahwa saya termasuk orang Indonesia yang berani berdiskusi di forum antar bangsa. Untuk mengatasi kekurangan dalam berbicara di forum internasional ini, bangsa Indonesia meningkatkan daya belinya di pasar dan toko di luar negeri.
FASE PUNCAK PENGABDIAN SEBAGAI BIROKRAT Saya menganggap ini sebagai periode puncak pengabdian sebagai birokrat, karena tidak ada jabatan lebih tinggi di tingkat birokrasi yang mungkin saya capai. Saya dilantik dan diberhentikan sebagai Direktur Jenderal Hortikultura pada usia yang pas untuk menjabat selama satu periode. Dengan kesadaran akan hal ini, maka saya berusaha agar fase ini terisi dengan sebaik-baiknya. Selama lima periode perubahan fungsi saya mengumpulkan beragam modal kompetensi dalam mengelola fungsi birokrasi. Saya berani menyatakan di antara modal kuat saya adalah kemauan dan kemampuan mendengar pendapat pihak lain, pengalaman menerapkan participatory decision making, pengalaman mengembangkan sikap politik birokrasi yang netral, Mengoreksi kebiasaan pejabat yang selalu mementingkaan kebiajakn sendiri dari pada kebijakan pendahulunya, saya berusaha melanjutkan sebagian dari kebijakan Dr. Sumarno pejabat Dirjen Hortikultura sebelumnya. Dengan senang hati saya menerima estafet kebijakan pengembangan kawasan dan penerapan GAP ke dalam program Ditjen Hortikultura yang saya pimpin. Namun pada tahun berikutnya, melalui proses diskusi dengan staf dan stakeholders dalam sesi participatory decision making, saya tambahkan penerapan manajemen rantai pasokan, pengembangan kelembagaan horizontal dan vertikal, pelayanan terpadu, serta peningkatan konsumsi melalui promosi dan sosialisasi. Dengan demikian lahirlah program yang saya sebut sebagai Enam Pilar Pembangunan Hortikultura. Sebagai Dirjen Hortikultura, banyak juga berinteraksi dengan pihak asing. Saya hadir di berbagai forum internasional seperti Simposium dan Kongres International Society for Horticulture Sciences (ISHS) di Seoul, Korea dan Lisabon, Portugal. Saya juga hadir pada sidang Advisory Council ISHS di Maroko, serta memimpin delegasi Indonesia pada the First Governing Body Meeting International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA) di
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Madrid, Spanyol. Dalam pertemuan ini, bahkan saya dipilih menjadi pimpinan sidang kelompok yang membahas anggaran dasar lembaga kerja sama internasional tersebut. Menyadari butuhnya perwakilan masyarakat dalam penyusunan kebijakan dan program pembangunan hortikultura nasional, serta untuk mengangkat posisi sosial politik hortikultura, saya berinisiatif membentuk Dewan Hortikultura Nasional melalui satu kongres di Hotel Bidakara, Jakarta. Saya bertekad membentuk dewan tersebut secara demokratis, dengan menentukan formatur pendiri secara pemilihan dari peserta kongres yang mewakili kelompokkelompok pelaku usaha dan profesional. Perwakilan dari Pemerintah pun hanya seorang yaitu saya sendiri tanpa hak veto. Banyak yang berkomentar bahwa langkah itu terlalu berani. Mungkin mekanisme demokratis ini memang masih sulit untuk karakter masyarakat hortikultura yang masih berjalan tidak teratur. Melalui beberapa sesi, formatur tidak berhasil menentukan susunan pengurus DHN, sehingga akhirnya saya menyarankan agar struktur tersebut ditentukan sambil personalianya diambil dari para formatur sendiri, kecuali untuk Ketua Umum agar dicari tokoh nasional yang memiliki posisi strategis. Saran ini diterima, saya sendiri duduk sebagai penasihat bersama dengan Tatang Hadinata, sedangkan sebagai Ketua Umum disepakati Dr Ishartanto yang waktu itu menjabat Ketua Komisi III DPR RI. Pembentukan DHN dan penunjukan Dr Ishartanto ternyata membawa berkah. Ketika mengupayakan terbentuknya Undang-undang yang mengatur pembangunan hortikultura nasional, saya minta DHN yang mengusulkan ke DPR untuk menjadikan usulan itu sebagai inisiatif DPR, karena kalau melalui inisiatif pemerintah tentu akan memakan waktu jauh lebih lama. Saya menugaskan satu perusahaan konsultan menyelenggarakan proses penyusunan naskah akademis undang-undang hortikultura. Suatu Kamis pagi akhir November 2009, sehari setelah menerima naskah akademis yang baru diselesaikan, saya membuka koran Republika di kantor dan melihat pengumuman DPR tentang Prolegnas. Segera saya kontak para anggota DHN untuk bertemu hari itu juga untuk membahasnya. Hari Senin berikutnya, usulan itu dibahas oleh Komisi IV untuk didaftarkan ke Badan Legislatif DPR agar masuk program legislatif nasional tahun 2009-2010. Setelah melalui pembahasan yang panjang pada tanggal 26 Oktober 2010, sidang Paripurna DPR RI mengesahkan RUU tentang Hortikultura untuk diajukan kepada Presiden RI untuk ditetapkan sebagai Undang-undang Negara RI. Hal itu terjadi beberapa hari sebelum saya diberhentikan sebagai Dirjen Hortikultura pada tanggal 1 November 2010. Selanjutnya pada 24 November 2010 itu juga, Presiden menandatangani UU No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Menghasilkan Undang-undang dalam waktu setahun itu merupakan prestasi tersendiri. Namun sebenarnya jalan yang ditempuh tidaklah sesederhana itu. Ketika naskah akademis disusun, Ditjen Hortikultura juga mulai menyiapkan draf kasar yang memuat isu-isu yang perlu diatur dengan rancangan muatannya. Draf itulah yang diserahkan secara tidak resmi ke DPR Komisi IV untuk dijadikan acuan, setelah ada penunjukan resmi Komisi IV sebagai Panitia Kerja penyusunan Undang-undang hortikultura. Berdasarkaan permintaan dari DPR kepada Presiden, Menteri Pertanian bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ditunjuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan dengan DPR. Tentu saja Dirjen Hortikultura otomatis ditugaskan untuk mewakili Menteri Pertanian dalam pembahasan sehari-hari didampingi oleh Kepala Biro Hukum serta Sekretaris Ditjen dan jajaran Direktur lingkup Ditjen Hortikultura.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Tidak kalah pentingnya dalam proses itu adalah sosialisasi dan dengar pendapat draf RUU kepada berbagai lapisan masyarakat hortikultura baik di Jakarta maupun di daerah. Setelah draf agak lebih matang melalui pembahasan internal DPR yang mengundang saya sebagai nara sumber, pembahasan dilakukan secara internal Pemerintah yang melibatkan beberapa Kementrian di luar Kementrian Pertanian. Namun yang paling penting sebetulnya adalah sosialisasi dan implementasi Undang-undang tersebut. Sosialisasi harus dilaksanakan secepatnya, implementasi harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan terasa manfaatnya. Tentu tidak banyak yang dapat saya lakukan untuk fase sosialisasi dan implementasi ini. Namun sesedikit atau sekecil apapun kesempatan untuk mendukung sosialisasi dan implementasi itu, tetap harus saya manfaatkan. Ternyata setelah berhenti sebagai Dirjen Hortikultura pun, tugas mengawal UU Hortikultura datang juga. Saya diminta membantu Pemerintah sebagai saksi ahli dalam uji materi UU No 13 Tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi. Sidang di MK itu terjadi karena gugatan oleh Perhimpunan Perbenihan Hortikultura Indonesia (HORTINDO) dan beberapa petani yang menyatakan diri sebagai pihak terkait terhadap Pasal 100 ayat 2 dan Pasal 131. Tadinya saya dengar Pemerintah akan berpihak kepada mereka sehingga saya bersedia membantu mereka. Namun setelah saya cek ke Direktur Perbenihan Ditjen Hortikultura, ternyata Pemerintah berniat mempertahankan kedua pasal tersebut. Jadi balik saya duduk sebagai Tim Ahli Pemerintah. Alhamdulillah perjuangan kami berhasil. Salah satu dampak tambahan dari kedudukan sebagai Tim Ahli itu adalah tumbuhnya kembali hubungan saya dengan para pelaku usaha perbenihan hortikultura nasional. Sebagai insan Litbang yang ditugaskan di luar lembaga induknya, saya cenderung tetap sebagai manajer yang berkarakter peneliti, bahkan dalam persoalan tertentu tetap berkarakter sebagai pemulia tanaman. Hal ini antara lain saya ekspresikan ketika menjadi penjaga gawang terakhir penyusunan draf Keputusan Menteri Pertanian tentang Pelepasan Varietas Hortikultura. Saya bersikap kritis terhadap draf yang disiapkan Tim Penilai dan Pelepasan Varietas Tanaman Hortikultura. Namun beberapa gagasan yang sempat saya sampaikan, tidak dapat direalisasikan karena keterbatasan waktu , kesiapan staf, maupun ketersediaan anggaran. Misalnya, gagasan untuk memperluas tanaman manggis dan durian yang dapat berbuah di luar musim. Sebenarnya gagasan ini akan mudah direalisasikan kalau dilakukan perbanyakan dan perluasan beberapa varietas manggis yang terbukti berbuah di luar musim, seperti di Tanggamus, Lampung. Gagasan lain adalah pengembangan durian multivarietas, yaitu pengembangan banyak varietas durian lokal yang disukai konsumen sebagai durian unggulan untuk membendung laju impor durian dari Thailand dan Malaysia. Lebih penting lagi, sebagai insan Litbang yang berada di luar saya berkesempatan melihat dan mendukung Badan Litbang dari sisi luar tersebut, sebagai pengguna dari invensi dan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian.
KEMBALI KE HABITAT AWAL YANG SEDANG BERMATAMORFOSE JUGA
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Tanggal 1 November 2010 saya resmi kembali menjadi peneliti dari Badan Litbang Pertanian, khususnya Kelompok Peneliti Analisis Kebijakan dari Puslitbang Hortikultura. Tadinya saya pernah berpikir untuk menjadi widyaiswara atau dosen perguruan tinggi atau jadi pengusaha. Metamorfosa kembali menjadi peneliti seperti memutar jarum jam terbalik. Namun waktu untuk pertimbangan yang mendalam tidak cukup, akhirnya saya memutuskan untuk kembali mengabdi di Badan Litbang Pertanian. Kembali ke rumah setelah mengembara cukup lama, tentu rasa penasaran yang pertama adalah untuk melihat keadaan rumah. Sudah terjadi banyak perubahan di lingkungan Puslitbang Hortikultura maupun Badan Litbang Pertanian. Langkah pertama adalah melakuan kajian diseminasi yang menelaah diseminasi inovasi pada empat komoditas pertanian yaitu kedelai, kelapa, kentang dan sapi. Mungkin karena pengambilan sampel peserta yang dihadirkan atau karena masalah lain, tapaknya hasil diskusi dengan para pemegang kepentingan cenderung mengindikasikan bahwa Badan Litbangtan masih harus memperbaiki mekanisme dan metodis diseminasi dengan baik. Badan Litbang perlu lebih mengenal dunia usaha agar dunia usaha lebih mengenal Badan Litbangtan. Kiprah saya mendorong Balitbangtan lebih dekat dengan dunia usaha antara lain membantu proses ditandatanganinya kerja sama Balitbangtan dengan Asosiasi Perbenihan Indonesia (ASBENINDO). Namun dalam pertemuan terakhir dengan ASBENINDO, masih dipertanyakan tentang tindak lanjut yang nyata dari kesepakatan tersebut. Melimpahnya dana APBN untuk Badan Litbang dan unit-unitnya adalah fenomena yang saya saksikan pada kurun waktu ini, walaupun di ujungnya sering terjadi terjadi pemotongan yang mengharuskan refocusing dan reprioritisasi kegiatan. Saya sempat mengungkapkan bahwa melimpahnya dana yang diikuti dengan mudahnya pemenuhan usulan kegiatan dengan proposal yang kurang kredibel dapat menghambat kemajuan Balitbangtan. Padahal periode ini telah dicanangkan sebagai periode untuk menciptakan Second Curve Growth atau pertumbuhan kurva kedua yang merupakan lompatan terobosan dalam perkembangan invensi, inovasi dan networking Balitbangtan. Dalam sisa waktu lima tahun yang saya isi untuk berinteraksi secara internal Puslitbang Hortikultura, Badan Litbangtan dan secara eksternal dengan berbagai pihak lain, terasa bahwa isu politik birokrasi masih sangat relevan dalam melihat dan menganalisis apa yang sedang terjadi. Proses politik birokrasi ini dipengaruhi oleh faktor hubungan kerja pejabat politik dengan pejabat profesional birokrasi serta persaingan dan kolaborasi di antara para birokrat sendiri. Pengalaman saya yang banyak berinteraksi dengan para pejabat politik itu, memungkinkan saya memahami situasi dan kondisi dengan lebah tajam. Dalam periode ini, saya berkesempatan berinteraksi dengan berbagai stakeholders yang sudah lama maupun yang baru saya kenal. Interaksi ini selalu membawa berkah, khususnya bagi saya yang akan segera memasuki pensiun. Paling tidak saya memperoleh banyak mitra yang dapat diajak berdiskusi tentang dunia kehidupan di luar lembaga pemerintahan dan terutama memahami sikap dan perilaku dunia luar terhadap lembaga pemerintahan dewasa ini. Ragam stakeholders yang saya sempat berinteraksi meliputi: Pelaku usaha tani yang sudah lama tetapi memerlukan bantuan untuk perluasan usaha, diversifikasi usaha, atau mengatasi masalah tertentu dari usahanya.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Pelaku usaha tani baru yang memerlukan bimbingan dan arahan dalam melakukan usahanya. Mahasiswa tingkat akhir atau alumni baru lulus yang memerlukan bantuan atau bimbingan dalam menentukan arah perjalanan studi, karier, atau usahanya. Peneliti atau pengamat yang memerlukan pengalaman, wawasan, pengetahuan dan pandangan mengenai isu-isu tertentu yang berkembang di dunia usaha dan masyarakat luas. Beberapa fungsi semi profesional yang diberikan kepada saya selama lima tahun di Puslitbang Hortikultura adalah:
Melakukan kajian analisis kebijakan dan membahasnya dengan berbagai stakeholders terkait. Salah satu kegiatan yang saya ikuti adalah meninjau dan menganalisis serta merevisi kebijakan tentang pengaturan impor produk hortikultura. Kebijakan yang dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan Peraturan Menteri Pertanian itu cukup membuat heboh dengan tertahannya sejumlah besar beberapa produk hortikultura asal impor di Pelabuhan Tanjung Perak dan melambungnya harga beberapa komoditas hortikultura terutama bawang putih, bawang merah dan cabai. Setelah beberapa kali perubahan akhirnya kebijakan itu berwujud tidak perlunya Rekomendasi Impor Produk Hortikultura untuk bawang putih, dan ditentukannya harga referensi untuk cabai dan bawang merah. Melakukan penelaahan dan pembahasan atas usulan penelitian dan diseminasi hasilnya di tingkat Puslitbanghorti dan Balit lingkup Puslitbanghorti serta melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan di Puslit, Balit lingkup Puslitbanghorti, serta khusus untuk kegiatan Taman Sains Pertanian dan Taman Teknologi Pertanian lingkup Balitbangtan, menjembatani hubungan Puslitbanghorti dan Balitbangtan dengan dunia usaha melalui kontak pribadi dan institusi.
Isu-isu yang hangat dan berkembang di sektor pertanian, khususnya dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan fungsi Balitbangtan antara lain adalah: Fluktuasi harga pangan terutama cabai dan bawang merah yang terjadi karena tidak seimbangnya pasokan dan permintaan antara bulan-bulan panen raya dan tidak ada panen. Daya saing sebagian besar produk nasional di pasar domestik dan luar negeri rendah karena pasokan yang tidak terjamin, kualitas yang tidak konsisten, dan harga yang lebih tinggi dari pesaingnya. Dengan kondisi pasokan, kualitas dan harga produk seperti itu, maka dampak partisipasi Indonesia di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN dikhawatirkan akan lebih membuka pasar dalam negeri untuk produk-produk negara ASEAN yang lain. Tingkat jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) pada pemuda, khususnya alumni perguruan tinggi pertanian, masih rendah sehingga tidak tersedia cukup pelaku usaha yang berkiprah di dunia agribisnis. Peraturan perundang-undangan, ketersediaan infrastruktur dan sistem informasi, maupun kesiapan teknologi inovatif menyebabkan lambannya laju investasi di sektor pertanian khususnya hortikultura.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Laju adopsi dan adaptasi inovasi Balitbangtan oleh para pelaku usaha pertanian juga cenderung lamban karena berbagai faktor internal dan eksternal yang belum kondusif. Hal ini sedang terus menerus diperbaiki dengan berbagai program Balitbangtan, Kementerian Pertanian maupun Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Fase keenam ini juga fase yang lebih bebas bagi saya untuk berinteraksi dengan para pelaku usaha yang ketika memegang jabatan struktural, hal itu berlangsung lebih kaku. Para pelaku usaha itu juga merasa lebih santai dan bebas, karena tidak ada protokoler dan kerikuhan yang menghambat. Mungkin yang masih menjadi hambatan adalah tidak adanya fasilitas pertemuan peneliti dengan pengusaha yang terlindungi dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Saya bayangkan Balitbangtan akan dapat mendorong interaksi positif para peneliti dengan pelaku usaha apabila disediakan ruang dan fasilitas pertemuan berbentuk kafe atau restoran yang dikelola oleh Koperasi Karyawan secara profesional. Peneliti yang melayani pelaku usaha di sana harus mendapat surat tugas resmi yang tidak mengurangi penilaian disiplin atau tunjangan kinerjanya. Pelembagaan hubungan Balitbangtan dangan dunia usaha, terutama harus duperkuat dengan pola pembinaan sumber daya manusianya. SDM Balitbangtan harus sejak awal dibekali dengan kapasitas dan kompetensi untuk bersinergi dengan pelaku usaha dengan tetap berada pada koridor peraturan perundangan yang ada. Saya berpikiran bahwa untuk mendorong pengembangan karir peneliti sesuuai dengan bakat dan kompetensinya, sejak awal harus diberikan opsi skenarion karir yang ditargetkan untuk: a) jadi ahli peneliti utama (Profesor Riset), b) jadil pelaku usaha di tengah perjalanan karir, dan c) jadi pejabat struktural di bidang penelitian dan pengembangan. Upaya untuk menjadikan Balitbangtan sebuah organisasi yang mendukung pembangunan pertanian yang inovatif baik dari segi teknologi, kelembagaan, kebijakan, dan pembiayaan, memerlukan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang prima. Proses pengumpulan, penyimpanan, diseminasi dan pemanfaatan pengetahuan harus dikelola dengan prinsip efektivitas dan efisiensi di segala tahapan. Hal itu dillakukan baik untuk pengetahuan individual maupun pengetahuan kolektif, serta baik untuk pengetahuan yang ekspresinya kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Balitbangtan perlu memberdayakan kompetensi knowledge management yang ada dan terus mengembangkannya untuk kemajuan masa depan.
DARI MASJID KE MASJID, DARI MAJELIS KE MASELIS DI SETIAP FASE Masjid tentu harus menjadi pusat pembinaan mental setiap muslim. Bagi saya masjid pertama yang membentuk pribadi saya adalah masjid Al Bidayah yang telah didirikan sejak sebelum kelahiran saya sendiri. Mesjid ini mengalami metamorfosa bentuk dan metamorfosa fungsi yang cukup signifikan. Metamorfosa fungsi yang signifikan terjadi dengan berdirinya Sekolah Persiapan IAIN pada tahun 1971. Al Bidayah yang tadinya berbentuk majelis ta’lim sepekan sekali mengawali metamorfosanya melalui diversifikasi ke bentuk pendidikan gabungan antara pendidikan agama dan umum. Adalah sikap visioner ayahanda K.H. Siradj yang mengawali diversifikasi ini ke pendidikan umum tingkat sekolah lanjutan atas. Ini pilihan yang tepat karena sudah ada dua orang sarjana pendidikan, seorang jebolan pesantren dan beberapa calon sarjana
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
dalam lingkungan anak cucu beliau, yang juga memiliki jaringan mitra yang luas di bidang pendidikan umum maupun agama. Saya masih di tingkat pertama Fakultas Pertanian Unpad ketika SPIAIN didirikan. Lucunya saya malah diberi tugas mengajar bacaan Al Quran, dengan ilmu tajwidnya. Saya diberi tugas itu, mungkin karena tidak ada pelajaran lain yang bisa saya berikan. Selain karena saya sudah mendapat ilmu qiraat dari seorang ahli qiraat ustad Alwi Alaydrus yang kebetulan mondok di Al Bidayah untuk riyadlah di bidang tasawuf. Beberapa teman lulusan SMA Negeri Cimahi (sekarang SMA Negeri I Cimahi) ikut menjadi pengajar di sekolah ini setelah SP IAIN kemudian berubah menjadi SMA Al Bidayah. Selanjutnya diversifikasi berlanjut terus dengan didirikannya Madrasah ‘Aliyah, Madrasah Tsnawiyah dan Raudlatul Athfal, di samping dihidupkannya kembali madrasah diniyah sore hari untuk murid-murid Sekolah Dasar. Dewasa ini pengelolaan berbagai lembaga pendidikan itu sudah ditangani ooleh generasi anak dan keponakan saya, kecuali majelis ta’lim mingguan yang ditangani adik-adik saya. Ketika memasuki pendidikan di perguruan tinggi, maka masjid-masjid kampus mulai mewarnai kehidupan banyak mahasiswa muslim yang serius termasuk saya pribadi. Masjid Salman ITB, Masjid Unpad, Masjid IKIP merupakan beberapa masjid yang populer di Bandung. Gema suara dakwah di masjid-masjid itu umumnya adalah gema pembaharuan dengan tema “kembali ke Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW”. Saya menyimak semua gema dakwah tadi denngaan bekal modal keyakinan yang sudah ditanamkan di masa kecil walaupun dengan kekuatan ilmu yang kurang memadai. Khusus untuk lingkup Fakultas Pertanian Unpad di Bukit Dago Utara, Musholla Al Amanah yang kecil merupakan tempat saya banyak menghabiskan waktu di luar waktu pembelajaran di kampus. Di mushallah kecilinilah saya banyak berdiskusi dengan beberapa teman dengan bermacam latar belakang mengenai isu-isu akidah dan ibadah, baik yang terkait maupun yang tidak terkait dengan masalah pertanian yang dibahas di dalam kuliah. Ketika aktif bekerja di lingkup Puslitbang Tanaman Pangan, saya merupakan Pengurus Masjid Nurul Ilmi di kantor dan Pengurus Mushalla al I’tisham dan Masjid Al I’tisham di tempat tinggal. Perpindahan domisili ke Jalan Bangbarung Raya, Bantarjati melibatkan saya ke dalam kegiatan di masjid Ar Rahman, Bantarjati walaupun tidak sempat menjadi pengurusnya. Selama pelaksanaan belajar di AS, saya punya pengalaman bertemu, berinteraksi dan belajar bersama para muslimin dari berbagai negara dengan berbagai aliran. Yang jelas tegas alirannya adalah dari Arab Saudi, yang berbeda dengan Suriah dan Turki, dua aliran dari dari Irak, dari Iran, dari Pakistan dan tentu saja dari Malaysia di samping dari Amerika Serikat sendiri yang waktu itu diwakili oleh warga negara AS berkulit hitam. Yang menarik adalah pengajian di antara kaum muslimin asal Indonesia sendiri, yang kebetulan juga sangat beragam karena latar belakang dan interaksi kultural yang berbeda. Tidak lupa juga saya menyebut interaksi dengan kalangan nonmuslim dengan beragam aliran pemikiran dan sikap hidup. Tapi yangbtidak kalah pentingnya adalah kesempatan belajar bahasa Al Quran dengan pengajar orang yang asli berbicara bahasa Arab dan cukup terdidik dalam aspek agamanya. Yang cukup signifikan adalah keterlibatan di Masjid Raya Palapa Baitussalam kompleks Palapa Pasarminggu ketika saya pindah ke Jakarta sejak tahun 2005 sampai sekarang. Saya sempat menjadi Pengurus Masjid yang dinamis dan dialektis tersebut selama periode 2009-2012 serta dalam kurun waktu Mei-Agustus 2016. Keinginan sebagian pihak pengurus dan jamaah masjid
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
terbut untuk mendirikan Sekolah Dasar Islam Terpadu mendapat tentangan sama gigihnya dari sebagian pengurus dan jamaah yang lain. Dinamika dan dialektika ini masih berlangsung sampai saat tulisan ini dibuat. Selain pengajian di kalangan kampus dan masjid tempat tinggal, saya juga sekali-kali ikut dalam pengajian khusus, seperti pengajian kelompok Hizbut Tahrir, Kajian Kopi Pagi Pasarminggu, kelompok thariqah Naqshabandi Nazimiah Jakarta, kelompok thariqah Syadziliyah di Jakarta dan Pekalongan, kelompok pengajian para pejabat dan calon pejabat lingkungan di bawah bimbingan grup tarbiah Jakarta. Juga tidak kalah pentingnya diskusi pembelajaran Al Quran, hadits, fiqih, tasawuf dan aspek-aspek lainnya di milis, facebook, whatsap, dan media sosial lainnya. Yang terselengara secara rutin setiap Ahad 35 hari sekali adalah pengajian di rumah sendiri yang pada periode ini terutama berfokus pada kajian atas pembahasan kumpulan 40 Hadits yang dikumpukan oleh Imam Nawawi, di bawah bimbingan Habib Ahmad Al Habsyi. Secara keseluruhan saya berinteraksi dengan berbagai golongan masyarakat muslimin dengan aliran pemikiran tradisional, modernis, liberal dan tasawuf. Dari pembelajaran di berbagai lingkaran ini, muncul pemikiran untuk penyatuan sikap dan langkah umat Islam melalui kesamaan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah walaupun dengan sikap dan cara yang berbeda. Kesamaan rasa cinta inilah yang dapat memberi jalan ke arah kesatuan umat Islam, bukan kesatuan dalam metode dan hasil penerapan metode tersebut. Lebih dari itu, umat Islam harus membuka jalan bagi berbagai cara pandang dan sikap untuk mengembangkan diri dalam mewujudkan umat berakhlak mulia, beradab utama, serta berusaha menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia dan bagi alam semesta. Dewasa ini kesamaan persepsi ini harus dikembangkan dalam rangka pengelolaan keragaman umat dalam keragaman pandangan, pengalaman, wawasan, kapasitas, kompetensi dan fungsi di masyarakat. Dalam lingkungan yang beragam tapi terbuka untuk berbagai aliran pemikiran itu, saya ingin hidup dan berkontribusi melalui kapasitas, kompetensi dan fungsi yang saya miliki untuk kemajuan peradaban umat melalui cara dan kiprah yang beradab pula. Secara spesifik, saya ingin berkiprah dalam usaha integrasi ilmu pengetahuan secara umum ke dalam konsep dan praktek beragama, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan manusia. Saya ingin jadi anak yang lahir di pesantren yang kembali ke dunia pesantren dengan tema khsus integrasi sains ke dalam kehidupan beragama, menjadikan sains dan agama sebagai alat perbaikan peradaban manusia. Dengan demikian, pesantren akan menjadi wahana perubahan kebudayaan yang berbudaya, dan wahana perbaikan peradaban dengan cara yang beradab.
PARTISIPASI DALAM ORGANISASI KEMASYARAKATAN Sepanjang perjalanan hidup, saya ikut menjadi anggota atau pengurus beberapa organisasi kemasyarakatan, dengan atau tanpa anda resmi keanggotaan seperti kartu anggota dan lainlain. Keluarga saya umumnya adalah anggota atau pengurus organisasi Nahdlatul ‘Ulama dan/atau organisasi underbouwnya. Namun organisasi pertama yang secara resmi saya jadi anggota adalah Pelajar Islam Indonesia yang diketuai kakak saya sendiri. Ini terjadi semasa saya di Sekolah Lanjutan Pertama. Pengalaman menarik dari masa keanggotaan itu adalah ketika mengikuti pelatihan dasar (basic training) di Cimahi. Kami melakukan camping di salah satu
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
sekolah dan mengadakan acara api unggun sampai larut malam. Kagetnya, ketika pagi-pagi bangun, matahari sudah terbit cukup tinggi, hampir waktu dluha. Orgnisasi berikutnya yang diikuti dan malah menjadi Ketua Pengurus Anak Cabang, adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama (IPNU). Saya yakin, kedudukan ini diperoleh karena kedudukan orang tua dan keluarga yang cukup terpandang di lingkungan NU. Saya sedang pada tahap mengikuti pendidikan lanjutan tingkat atas ketika itu. Saya ingat salah seorang teman sekelas yang latar belakang ke-NU-annya tergolong lemah, tapi tergolong sangat cerdas di sekolahnya, sempat bertanya secara kritis: “Mau dibawa ke mana organisasi kita ini?”. Selama berstatus mahasiswa, malah saya tidak ikut ke salah satu organisasi itu. Sehingga network saya tidak begitu kuat di antara sesama mahasiswa dengan kesamaan ideologi. Namun anehnya, ketika sudah lulus dan bekerja, banyak teman alumni HMI atau PMII yang mengira bahkan menyebut saya alumni organisasi mereka. Hal itu barangkali yang membuat saya mudah diikutkan menjadi Pengurus Lembaga Pengembangan Pertanian NU ketika menjabat Kepala BPTP Lembang. Sebelumnya saya ditunjuk sebagai Ketua Bidang Litbang Pengurus Wilayah Jawa Barat Himpunan Kerukunan Tani Indoonesia (HKTI) yang ketika itu Ketua Umumnya di tingkat Nasional adalah Ir Siswono Yudohusodo. Kedekatan saya dengan LPPNU berlanjut ketika sudah menjadi Kepala Puslitbanghorti dan berdomisili di Bogor saya diminta menjadi Penasehat LPPNU Pusat yang dipimpin oleh Drs Imam Khurmain. Bahkan selepas berhenti sebagai Dirjen Hortikutura saya diminta duduk sebagai Ketua Pengurus Pusat organisasi itu, ketika NU dipimpin oleh KH Said Aqil Siradj pada periode pertama. Kedudukan saya di LPPNU itu menyebabkan saya diikutkan pula, atas dorongan KH Said Aqil Siradj tanpa sepengetahuan saya sendiri, menjadi Pengurus HKTI di bawah pimpinan Dr Oesman Sapta. Selanjutnya Dr Oesman Sapta mendudukkan saya sebagai Ketua Komite Tetap Litbang Pangan di Dewan Pengurus Pusat Kamar Dagang dan Indutri (KADIN) Indonesi di bawah pimpinan Suryo Bambang Sulisto dengan Wakil Ketua Umum bidang Pangan dan Agribisnis Franky Wijaya, yang juga pemilik dan pimpinan PT Sinar Mas. Secara singkat, kesertaan saya dalam berbagai organisasi kemasyarakatan memberi saya pemahaman lebih dalam mengenai pengambilan kebijakan dan penunjukan jabatan pemerintahan di Pusat dan Daerah.
LESSONS LEARNED DARI PERJALANAN KARIR DAN HIDUP Saya ingin merumuskan dan merangkum berbagai muatan pembelajaran yang sudah diperoleh selama 40 tahun perjalanan karier, dan 65 tahun perjalanan hidup ke dalam butir-butir di bawah ini. 1.
Manusia merupakan makhluk yang memiliki kesempurnaan komponen penyusun makhluk hidup. Sempurna secara anatomis, sempurna secara fisiologis, sempurna secara psikologis, serta sempurna secara spiritualitas. Metamorfosa pada diri manusia menyangkut perubahan pada semua komponennya, perubahan dengan arah positif dan negatif dengan besaran beragam antara satu orang dan yang lainnya. Pada umur 65 tahun menurut kalender matahari atau 67 tahun menurut kalender bulan, seseorang pasti sudah mengalami deteriorasi secara fisik anatomis maupun fisiologis, tetapi seharusnya dia semakin matang secara psikologis dan spiritualitas. Saya ingin, dengan kematangan
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9.
10.
11.
Perca Pertama
mental psikologis dan spiritualitas itu, menyumbangkan segala kapasitas kompetensi saya kepada pemajuan masyarakat, bangsa dan negara. Minat untuk mengembangkan karir merupakan gabungan antara kapasitas pribadi dan kesempatan yang ada. Nasehat dan petunjuk bisa bermanfaat untuk mempertimbangkan kesempatan terbaik dari segala yang tampak. Pembelokan jalan karir dapat terjadi disetiap fase perkembangan. Di Indonesia sebagai negara tropis, perlu dikembangkan secara sistematis pertanian tropis dengan memanfaatkan keragaman sumber daya genetik pada keragaman lahan dan iklim tropis secara optimal. Interaksi yang paling efektif dan efisien dari sumber daya genetik, lahan dan iklim ini harus dikelola dengan teknologi khas Indonesia untuk menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan bangsa Indonesia dengan kultur yang beragam. Untuk keperluan tersebut, perlu dikembangkan teknologi inovatif melalui penelitian dan pengembangan yang relevan dengan kebutuhan serta mendorong dan mengarahkan dunia usaha di ekosistem tropis. Selain penelitian yang diarahkan oleh perilaku konsumen sehingga bersifat demand driven research juga perlu penelitian yang dapat mengarahkan perilaku konsumen yanitu demand driving research. Perjalanan karir peneliti harus dibuat peta jalan jangka panjang dengan memperhatikan kapasitas diri dan target hidup masing-masing. Ke depan perlu menggunakan DNA mapping techniques untuk mengkaji kapasitas diri yang akurat. Mungkin dapat dibuat opsi pengembangan karier peneliti untuk menjadi Ahli Peneliti Utama (Professor Riset), peneliti dengan kompetensi jabatan struktural, dan peneliti yang di tengah perjalanan karirnya berpindah profesi menjadi dosen, penyuluh, widyaiswara, atau bahkan pengusaha. Di setiap fase karir, apapun skenario yang ditempuh, tentu diselenggarakan pelatihan penjenjangan karir yang sesuai dengan skenario dan jenjang masing-masing. Pelatihan ini harus diselenggarakan dengan serius oleh penyelenggaranya dan diikuti dengan serius pula oleh para pesertanya. Integrasi sains ke dalam agama harus diinternalisasikan ke dalam diri setiap individu untuk kemudian menjadi jiwa bagi kapasitas kelompok maupun organisasi. Saya memiliki segudang pengalaman dan pengamatan buntunya beberapa gagasan yang baik selama berada di dunia penelitian maupun di dunia birokrasi. Wacana untuk membuat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengenai pembangunan jangka panjang mungkin dapat mendukung keberlanjutan gagasan-gagasan unggul tadi. Selain itu, serah terima jabatan struktural harus menjamin keberlanjutan program mengikuti road map jangka panjang dari setiap institusi dan atau, dalam kasus litbang pertanian, untuk setiap komoditas. Dalam proses serah terima atau alih tugas itu harus dirancang ada periode overlapping untuk menjamin estafet yang mulus di antara dua pejabat. Sejauh mungkin proses alih tugas tidak dipengaruhi oleh unsur politik kekuasaan. Knowledge Management mesti menjadi salah satu alat untuk memandu pengembangan sumber daya manusia, penyusunan program penelitian dan penyebaran hasilnya, serta berbagai program terkait lainnya.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
PERUMUSAN GAGASAN MUTAKHIR Pada usia senja ini, rasanya semua pengalaman hidup itu harus dirumuskan menjadi satu gagasan mutakhir yang sebagian perlu diteladankan pelaksanaannya kepada masyarakat, dan sebagian lagi diserahkan kepada generasi penerus untuk disempurnakan dan diimplementasikan. Rumusan gagasan itu bersoko pada gagasan besar integrasi sains ke dalam agama (Islam), atau reintegrasi sains ke dalam Islam. Saya lebih suka menggunakan ungkapan reintegrasi dengan anggapan bahwa awalnya Islam mengintegrasikan sains ke dalam dirinya. Rasulullah berdakwah dengan prinsip ilmiah yang ajeg, sekaligus mendorong kehidupan manusia yang lebih ilmiah. Namun masa hidup Rasulullah dan masa risalahnya tidak cukup untuk mengurai seluruh ilmu yang dianugerahkan Allah kepada beliau. Yang sempat beliau sampaikan adalah apa yang dapat dimengerti oleh kaum yang beriman pada waktu itu sekaligus menjadi bahan telaahan bagi kaum beriman pada generasi selanjutnya. Adalah tugas kita sebagai penerus kaum beriman mempelajari terus Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW sekaligus dengan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keduanya. Al Quran dan Sunnah Rasul harus dipelajari dan ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, dengan berbagai metode yang sahih tetapi terus mengalami pengembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kasus pelaksanaan salat dan ibadah lain menyambut gerhana matahari dan gerhana bulan saya anggap merupakan teladan yang diberikan Rasulullah untuk beribadah sepenuh hati dan jiwa dengan tingkat ilmu pengetahuan kolektif yang dimiliki pada kurun waktu bersangkutan. Ke depan kalau ada ramalan adanya ancaman bencana alam, umat Islam dianjurkan shalat dan ibadah lain yang cara dan kriterianya disepakati oleh para ulama dan cendekiawan muslimin. Gagasan ini akan segera diimplementasikan dalam keseharian dari sisa umur yang tersedia melalui kegiatan sebagai berikut:
Penyelenggaraan Taman Tadarus Al Quran dan Sunnah yang secara bertahap akan meliputi pembelajaran qiraat Hafash, tahfizh, digitalisasi, sejarah, mushtholah hadits, tafsir serta perumusan implementasinya. Saya adalah salah satu peserta pembelajarannya, bukan gurunya. Taman bacaan yang sekaligus merupakan taman belajar bersama. Di dalamnya akan disediakan buku-buku mengenai berbagai aspek agama maupun ilmu yang dapat dipelajari baik secara individual maupun secara kelompok. Kebun pemuliaan dan/atau budidaya tanaman hortikultura di Banjaran, Kabupaten Bandung, serta Pangauban dan Rendeh, Kabupaten Bandung Barat yang sebagian keuntungannya digunakan untuk membiayai Taman Tadarus dan Taman Bacaan serta kegiatan pendidikan integrasi sains ke dalam agama Islam, kalau perlu sampai ke tingkat perguruan tinggi.
TENTANG KEPUSTAKAAN Tulisan ini tidak mengutip pustaka secara langsung, tapi kandungan di dalamnya merupakan gabungan antara pengalaman dan hasil bacaan. Yang dicantumkan di bawah ini adalah daftar bahan bacaan yang kiranya akan menjadi sebagian di antara garapan saya di sisa umur yang ada. Buku-buku tersebut juga merupakan sebagian modal awal dari sejumlah buku yang mengisi Taman Bacaan saya.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
BAHAN BACAAN LEBIH LANJUT Abdul Halim, Samir dkk. 2015. Ensiklopedia Sains Islami. Jiid 1-9. Cetakan Pertama. Kamill Pustaka. Tangerang. Adonis, 2007. Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam. Jilid 1-4. Cetakan 1. LkiS. Yogyakarta. Armstrong, Karen. 2002. Islam, A Short History. Phoenix. London. 192 pp. Azad, M.A.K. 2006. S.A. Latif (Editor). Basic Concepts of the Quran. Islamic Book Trust. Kuala Lumpur. 118 pp. Azami, M.M. 2000. Studies inn Early Hadits Literature. Islamic Book Trust. Kuala Lumpur. 305 pp. Aziz, A.A.A.A. (tanppa tahun). 100 Kisah Nyata Mimpi Melihat Nabi. Turos Kahzanah Pustaka Islam. Jakarta. Azzam, Abd al Rahman. 2010. The Eeternal Message of Muhammad. Islamic Book Trus. Kuala Lumpur. 250 pp. Bakar, Osman. 2006. Classification of Knowledge in Islam. A Studybin Islamic Philosophies of Science. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) and International Islamic University Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur. 312 pp. Bakar, Osman. 2008. Tawhid and Science. Islamic Perspectives on Religion and Science. Second Edition. Arah Publication. Kuala Lumpur. 316 pp. Collins, F.S. 2007. The Language of God. A Scientist Presents Evidence for Belief. Free Press. New York. 305 pp. Ghazali, A.M., L. Asysyaukanie, U. Abshar-Abdalla. 2009. Metodologi Studi Al Quran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 176 halaman. Al-Hasan, M.A. 2007. Mahbubah (Penerjemah). Thariqul Izzah. Pengantar Ilmu-ilmu Al Quran. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor. 250 halaman. Al Hasanain, M.S. (Penerjemah). 2016. Rahasia Al Fatihah. Tuntas Memahami Makna Surah Pembuka Berdasarkan Kitab-kitab Klasik Terpercaya. Qalam. Jakarta. 260 halaman. Hazleton, Lesley. 2013. The First Muslim, The Story of Muhammad. Atlantic Books, London. 320 pp. Iqbal, Muzaffar. 2009. The Making of Islamic Science. Islamic Book Trust. Kuala Lumpur. 290 pp. Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran, 2014. Tafsir Al Quran Tematik. Jilid 1-9. Cetakan Pertama. Kamil Pustaka. Tangerang. Latif, Mukhtar. Orientasi ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016
Badingkut 67/65
Perca Pertama
Masood, Ehsan. 2009. Science and Islam, A History. Accompanies The Major BBC Series. Icon Books, London, Toronto. 240 pp. Mir, Mustansir. 2011. The Coherence in the Quran. A Study of Islahi’s Concept of Nazm in Tadabbur-i Qur^an. Islamic Book Trust. Kuala Lumpur. 125 pp. El Naggar, Zaghloul. Selekta dari Tafsir Ayat-ayat Kosmos dalam Al Quran al Karim. Jilid 1-3. Shorouk International Bookshop. Kairo, Mesir. Newberg, A. And M. Waldman. 2013. Born to Believe, Gen Iman dalam Otak. Mizan, Kronik Zaman Baru. Bandung. 484 hal. Osho. 2013. It’s All About Change. Osho Media International. New York, Zurich, Mumbai. 158 pp. Pasiak,Taufiq. 2012. Tuhan dalam Otak Manusia. Mewujudkan Kesehatan Spiritual Berdasarkan Neurosains. Mizan Kronik Zaman Baru. Bandung. Shihab, M.Q. 2011. Dia di Mana-mana. “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena. Cetakan 11. Penerbit Lentera Hati. Jakarta. 400 hal. Tim Baitul Kilmah. 2014. Ensiklopedia Pengetahuan Al Quran dan Hadits. Dilengkapi Asbabun Nuzul, Asbabul Wurud, dan Penjelasan Tema. Jilid 1-7. Cetakan Kedua. Kamil Pustaka. Tangerang. Widanarko, Budi; D. Danardono, P. Wiryono; dan H. Purwoko (Editor). 2004. Menelusuri Jejak Capra Menemukan Integrasi Sains, Filsafat dan Agama. Penerbit Kanisius, Yogyakarta dan Progam Magister Lingkungan dan Perkotaan, Unika Soegijapranata, Semarang. 285 hal.
Seminar Akhir Tugas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, 30 Agustus 2016