Memaknai Pertetanggaan, Studi pada Orang yang Tinggal pada Perumahan dengan Konsep Town House di Yogyakart Wenty Marina Minza Ichlas Nanang Afandi Ferdiansah Daulay Eprika Adityani
ABSTRACT In collectivistic-interdependence societies such as Indonesia, pattern and orientation of neighbor relations is more social communal-based community benefit than social exchange-based material benefit. At first glance the social communalbased community still visible in Yogyakarta, especially in the context of people's lives with a settlement that is formed naturally (village). But in the context of the settlement were not naturally like housing with the one gate system, as there has been a shift in the pattern and orientation towards social exchange relationships based material benefit. The characteristics of people who live in one gate system settlements is a decisive determinant of the shift in question. This study tried to find out how neighbor relation of people who living in one gate system settlements. Key word : Neighbor Relation, One Gate System Settlements.
ABSTRAK Pada masyarakat kolektivistik-interdependensi seperti Indonesia, pola dan orientasi relasi pertetanggaan lebih mengarah ke social communal yang berbasis keuntungan komunitas dibanding social exchange yang berbasis keuntungan material. Sepintas pola dan orientasi tersebut masih jamak terlihat di Yogyakarta,
terlebih
pada
konteks
kehidupan
masyarakat
dengan
pemukiman yang terbentuk secara alamiah. Namun pada konteks pemukiman yang tidak alamiah seperti perumahan sistem satu pintu, seolah telah terjadi pergeseran pola dan orientasi relasi ke arah social exchange yang berbasis keuntungan material. Karakteristik orang-orang yang tinggal di pemukiman dengan sistem satu pintu menjadi determinan penentu pergeseran yang dimaksud.
Penelitian
ini
mencoba
menemukan
bagaimana
relasi
pertetanggaan pada orang Yogyakarta yang tinggal di perumahan dengan sistem satu pintu. 1
Kata kunci : Relasi Pertetanggan, Perumahan Sistem Satu Pintu .
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk relasi sosial adalah relasi antar tetangga. Pada masyarakat kolektivistik-interdependen seperti Indonesia, relasi sosial berbasis orientasi komunitas merupakan salah satu ciri yang menonjol. Bresnahan, dkk (dalam Sundararajan, 2015) menyebutkan bahwa pada budaya kolektivistikinterdependen, relasi antar individu yang terbangun lebih berorentasi keuntungan komunitas. Gambrel dan Clanci (2003) menyebut pada masyarakat kolektivis lebih memiliki hubungan yang erat antar individunya serta pendapat dan keyakinannya berfokus pada suatu kelompok atau komunitas. Hal serupa juga disampaikan oleh Clark & Mills (1982) bahwa relasi berbasis keuntungan komunitas adalah pola relasi yang dibangun oleh individu yang berbasis pada norma dan orientasi sosial (transaksi tidak berwujud materi) dan fokus pada bagaimana individu bertanggung jawab terhadap individu lainnya. Le, dkk (2012) menyebut pada masyarakat dengan orientasi komunitas, relasi dijalin karena adanya kepedulian akan kesejahteraan orang lain. Fiske (1992) menyebut kondisi tersebut sebagai model communal sharing yaitu model hubungan yang beradasarkan pada konsepsi suatu kelompok yang setara dan tidak dibeda-bedakan, artinya antar individu dalam suatu kelompok atau masyarakat tidak membeda-bedakan identitas tertentu satu sama lain dan fokus pada kebersamaan. Kondisi-kondisi yang disebutkan itu, juga terlihat pada konteks pertetanggan di Indonesia, bahwa pola relasi yang terbina lebih berorientasi keuntungan komunitas. Namun, pola relasi antar tetangga yang berbasis keuntungan komunitas sepertinya sudah mulai ditinggalkan. Saat ini, seolah terjadi pergeseran pola dan orientasi relasi antar tetangga dari orientasi komunal yang berbasis keuntungan komunitas menjadi orientasi pertukaran (exchange) yang berbasis keuntungan materi, terlebih pada masyarakat perkotaan yang lebih modern. Fiske (1992) menyebut pola relasi tersebut disebut model market pricing, yaitu model di mana individu hanya menjalin hubungan atau relasi dengan orang lain dengan orientasi aspek-aspek seperti upah, harga saham, komisi, sewa, suku bunga, serta hal-hal lain yang memberi keuntungan material bagi individu. 2
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Yogyakarta juga menunjukkan gejala yang demikian. Keragaman, penetrasi, dan mobilitas orang-orang yang hidup di kota tersebut tak pelak menciptakan relasi pertetanggaan yang dinamis. Gejala pergeseran dari relasi berbasis komunitas ke relasi berbasis exchange juga tampak terjadi. Sepintas, pola relasi pertetanggan di Yogyakarta terlihat masih sangat berorientasi komunal. Beberapa kelompok masyarakat masih berupaya untuk menjaga keguyuban mereka dengan aktivitas-aktivitas sosial yang menuntut mereka untuk keep on touch, namun pola-pola sedemikian hanya terlihat pada kawasan pemukiman warga yang tumbuh dan terbentuk secara alamiah (perkampungan). Dugaan tentang terjadinya pergeseran pola dan orientasi relasi pertetanggan lebih potensial terjadi pada pemukiman warga yang tidak terbentuk secara alamiah, seperti kompleks perumahan dengan sistem satu pintu. Sebagaimana layaknya kota besar yang terus tumbuh dan berkembang, Yogyakarta juga dituntut untuk menyediakan pemukiman bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya. Salah satu pilihan pemukiman yang ditawarkan adalah perumahan dengan sistem satu pintu. Beberapa karakteristik penghuni perumahan dengan sistem satu pintu, seperti dihuni oleh para pekerja yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dibanding di rumah, berpenghasilan relatif tinggi, gaya hidup yang lebih modern, dan status kependudukan mereka sebagai pendatang (kemungkinan bukan warga Yogya asli), menjadikan pemukiman tipe ini sangat potensial untuk diduga lebih berorentasi exchange dibanding komunal dalam membangun relasi pertetanggan. Keller (dalam Schwirian, 1983) menyebut faktor sosial, seperti karakteristik individu yang terlibat, kondisi demografis tempat relasi berlangsung, sistem interaksi yang terjadi, bagaimana pola berbagi yang terjadi, dan simbol-simbol yang digunakan menjadi penentu pola dan kualitas relasi pertetanggan. Sementara Galster (2001) & Power, dkk (2004) menyebut pola dan kualitas relasi antar tetangga ditentukan oleh faktorfaktor seperti kondisi lingkungan (aspek topografi), jarak fisik antar tetangga, ketersediaan alat transportasi, tipe bangunan yang ada, infrastruktur (jalan), aspek demografi (usia penduduk, SES, etnisitas, pergerakan populasi), keberadaan dan kualitas layanan publik, pola interaksi pertemanan dan keluarga yang terbina, komunitas-komunitas
yang
ada
(formal
dan
informal),
sentimen-sentimen
kedaerahan, dan kondisi politik. Penelitian ini mencoba menemukan bagaimana relasi pertetanggan orangorang yang tinggal di perumahan dengan sistem satu pintu di Yogyakarta. Pola dan orientasi relasi pertetanggan orang yang tinggal di perumahan dengan sistem satu pintu (dengan segala karakteristiknya) dalam konteks Yogyakarta (dengan segala
3
keunikanya) merupakan suatu kombinasi yang menarik dan menawarkan sebuah kekhasan tersendiri untuk dianalisis dan dikaji.
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini ialah bagaimana relasi pertetanggan orang yang tinggal di perumahan dengan sistem satu pintu.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana relasi pertetanggan pada orang yang tinggal di perumahan dengan sistem satu pintu di Yogyakarta.
KAJIAN TEORITIK Relasi Pertetanggan Ada beberapa defenisi relasi pertetanggaan. Rounavaara & Kouvo (2009) menyebut relasi pertetanggan sebagai interaksi aktual dan teramati yang terjadi antar tetangga. Kemudian Buonfino & Hilder (2006) yang mendefinisikan pertetanggaan sebagai relasi sosial yang terjadi antar individu yang tinggal dalam lokasi yang berdekatan. Selanjutnya Harper (2013) yang menyebut relasi pertetanggaan sebagai komunitas sosial yang hidup berdekatan dan di dalamnya terjadi pertemanan antar anggotanya. Lalu Scridon (2012) yang mengemukakan relasi pertetanggaan sebagai kondisi kooperatif yang terjadi antar anggota dalam suatu komunitas sosial (komunitas tetangga). Sementara Berk (2005) menyebut relasi pertetanggaan sebagai interaksi antar individu yang hidup berdekatan dalam suatu wilayah tertentu yang berimplikasi pada terbentuknya komunitas sosial. Gardner (dalam Greenfield & Reyes, 2014) mengemukakan
relasi
pertetanggaan sebagai interaksi antar manusia yang terjadi secara spontan, yang menghasilkan rasa keterikatan, struktur dan tujuan yang relatif sama, pertemanan, senda gurau, dan wadah untuk mengekspresikan diri.
Kemudian Schuck &
Rosenbuam (2006) yang menyebut relasi pertetanggaan secara umum didefenisikan sebagai unit spasial yang di dalamnya berlangsung interaksi sosial “face-to-face” yang kemudian menghasilkan nilai-nilai dan aturan yang disepakati bersama oleh masing-masing anggotanya.
4
Ada banyak faktor yang menentukan kualitas, pola, dan dinamika relasi pertetanggaan. Keller (dalam Schwirian, 1983) menyebut ada dua faktor yang menentukan kualitas relasi pertetanggan, yaitu : 1. Faktor kondisi fisik lingkungan, yang disebut dengan faktor alami, dan 2. Faktor kondisi sosial yang terjadi, yang disebut dengan faktor sosial, seperti karakteristik individu yang terlibat, kondisi demografis tempat relasi berlangsung, sistem interaksi yang terjadi, bagaimana pola berbagi yang terjadi, dan simbol-simbol yang digunakan. Selanjutnya, Johnston, dkk (2007) menyebut relasi pertetanggaan ditentukan oleh faktor ekonomi lokal, kebijakan publik yang berlaku, serta perubahan kondisi sosial-budaya. Power, dkk (dalam Rounavaara, dkk, 2009) menyebut ketika relasi pertetanggaan dikaji maka perlu mempertimbangkan beberapa faktor penentu, yaitu : kondisi lingkungan (aspek topografi), jarak fisik antar tetangga, ketersediaan alat transportasi, tipe bangunan yang ada, infrastruktur (jalan), aspek demografi (usia penduduk, SES, etnisitas, pergerakan populasi), keberadaan dan kualitas layanan publik, pola interaksi pertemanan dan keluarga yang terbina, komunitas-komunitas yang ada (formal dan informal), sentimen-sentimen kedaerahan, dan kondisi politik. Cheshire, dkk (2013) menyimpukan bahwa percampuran sosial (social mix), gentrifikasi (aktivitas masuknya penduduk kaya ke lingkungan penduduk miskin), dan densifikasi (aktivitas pembukaan lahan pemukiman baru disekitar pemukinan lama) merupakan faktor-faktor aktual yang menentukan pola dan kualitas relasi antar pertetanggaan. Social Exchange Theory dan Communal Theory Kedua teori ini relevan digunakan ketika dinamika dan orientasi relasi pertetanggaan akan dianalisis. Berk (2005) menggunakan teori ini ketika hendak menemukan perbedaan orientasi pertetanggan antara masyarakat kolektivistik dengan individualistik. Asumsi dasar social exchange theory (Thibaut & Kelley, dalam Lange, dkk 2012) adalah bahwa relasi yang dibina oleh individu berbasis pertukaran atau transaksi (lebih kepada materi) dan menggunakan pertimbangan yang rasional (untung-rugi). Sementara communal theory berasumsi bahwa relasi yang dibangun oleh individu berbasis norma dan orientasi sosial (transaksi tidak berwujud materi) dan fokus pada bagaimana individu bertanggung jawab terhadap individu lainnya (Clark & Mills, dalam Lange, dkk 2012). Hubungan dimana ada percampuran antara communal relationship dan exchange relationship disebut dengan Exploitative relationship (Clark & Mills, dalam Lange, dkk 2012).
Need to Belong Theory 5
Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana relasi antar individu dapat terjadi. Secara alamiah, di manapun individu itu berada atau bertempat tinggal, dorongan untuk berhubungan dengan individu lain akan selalu ada. Menurut
penggagas teori ini, Baumeister dan Leary’s (1995) individu membutuhkan kedekatan dengan individu lain dan terikat dengan lingkungan sosialnya. Teori ini mengungkapkan bahwa secara alami individu akan selalu berusaha menjaga agar terhubung dengan kelompok, karena hal tersebut memberikan rasa aman, dan juga untuk menjaga keberlangsungan kehidupannya. Adanya kebutuhan untuk tetap terhubung merupakan dorongan alami yang dimiliki oleh individu untuk mengembangkan dan menjaga relasi interpersonal dengan orang lain secara positif dan bertahan lama.
Untuk memenuhi dorongan alami tersebut, individu
membutuhkan interaksi dengan kelompok yang terjadi secara konstan dan reguler. Interaksi ini perlu berlangsung dengan intensitas yang tinggi, stabil, dan berlangsung secara terus menerus agar kesejahteraan individu dapat terpenuhi. Perumahan Sistem Satu Pintu (One Gate Settlements)
Blakely & Snyder (1997) menyebut perumahan system satu pintu sebagai pemukiman dengan akses terbatas atau pemukiman yang bersifat privat. Sistem keamanan dibentuk sedemikian rupa, biasanya dikelilingi pembatas (dinding atau pagar), akses keluar dan masuk yang ketat untuk membatasi akses dari warga non-perumahan. Sementara Blandy & Lister (2003) mengemukakan perumahan sistem satu pintu adalah pemukiman yang akses nya terbatas bagi masyarakat umum, seringkali menggunakan CCTV atau petugas keamanan (satpam), dan biasanya terdapat aturan internal tentang seharusnya bersikap dan berperilaku.
bagaimana warga pemukiman
Karakteristik perumahan system satu
pintu pada umumnya yaitu: 1. ada penghalang fisik untuk menghalangi akses dan pergerakan, 2. privatisasi ruang publik dan pengontrolan atasnya, 3. privatisasi pelayanan publik, seperti sistem kebersihan dan sistem keamanan (Mc Mullen, 2005).
METODE PENELITIAN Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan 6
mendeskripsikan bagaimana pengalaman relasi pertetanggan pada orang yang tinggal di perumahan dengan sistem satu pintu di Yogyakarta. Pemaknaan terhadap pengalaman yang dialami oleh individu merupakan hal penting dalam penelitian ini untuk memperoleh pemahaman terhadap hal yang sedang diteliti, sehingga metode kualitatif menjadi tepat untuk digunakan dalam penelitian kali ini (Creswell, 2014). Penelitian dilakukan pada tiga perumahan sistem satu pintu yang ada di Yogyakarta, yaitu : perumahan Sun Citra Garden, perumahan Ayodya Citra 2, dan perumahan Casa Grande. Wawancara sebagai metode pengumpul data utama, dilakukan pada 7 informan yang tinggal di perumahan tersebut, dengan rincian 2 informan di perumahan Sun Citra Garden, 3 informan di perumahan Ayodya Citra, dan 2 informan di perumahan Casa Grande. Sementara Observasi dilakukan pada perumahan Ayodya Citra 2. Data hasil wawancara yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah analisis data yang dikemukakan oleh Creswell (2014) yang menjabarkan langkah-langkah analisis data yakni melalui mengolah dan mempersiapkan data, kemudian membaca data secara keseluruhan untuk mencoba menemukan gagasan secara keseluruhan dari data, selanjutnya adalah menganalisis lebih detail dengan meng-coding data tersebut yakni dengan melakukan kategorisasi dan memberikan label khusus, kemudian menyimpulkan tema yang menjadi hasil utama dari penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sekilas Perumahan Sun Citra Garden, Ayodya Citra 2, dan Casa Grande Perumahan Sun Citra Garden berlokasi di jalan Laksda. Adi Sutjipto KM. 7 (Fly Over Janti) Yogyakarta. Kawasan ini didesain dengan konsep smart gate system 24 hour security control dan CCTV. Terdapat 150 unit rumah di perumahan ini dengan kisaran harga 5 milyar / unitnya. Sementara perumahan Ayodya Citra 2 berlokasi di jalan Raya Tajem, Sleman, DIY. Perumahan ini didesain dengan sistem cluster yang mandiri, artinya cluster hunian tersebut dapat mengelola secara swadaya dan mandiri lingkungan perumahannya. Misalnya: pengelolaan satpam, sampah, arisan dapat berlangsung dengan baik. Agar dapat mandiri maka jumlah unit dalam satu cluster perumahan minimal setingkat wilayah 1 RT (rukun tetangga) dan atau kelipatannya. Terdapat 122 unit rumah di perumahan ini dengan kisaran harga 500 juta / unit. Yang terakhir adalah perumahan Casa Grande yang berlokasi di Pugeran, Maguwoharjo, Depok, Sleman, DIY. Perumahan ini adalah real estate perumahan 7
mewah dan eksklusif di Yogyakarta, dengan tipe rumah yang relatif sama yakni tipe 195 dengan beberapa konsep desain bernuansa spanyol dan pendekatan minimalis. Harga satu unit rumah di perumahan ini berkisar 4,5 milyar.
Social Communal dengan Metode yang Berbeda Orientasi relasi pertetanggaan yang terbina di perumahan sistem satu pintu masih berupa relasi social communal berbasis keuntungan komunitas dan belum berubah pada relasi social exchange yang berbasis keuntungan materi. “hubungan di sini baik sekali, Alhamdulillah kita semua guyub di sini… kompak…kompak
ya
bahasa
jawanya
guyub
rukun…”(WDY,
warga
perumahan Sun Citra Garden). “kita di sini saling membantu..misal ada tetangga yang sakit kita bantu s amasama…kalo ada tetangga yang nitip anaknya juga saya ngk apa-apa…saya juga kadang-kadang beliin pulsa listrik buat tetangga kalo pulsanya habis trus dia lagi di luar kota…”(BD, warga perumahan Ayodya Citra 2) “kalo ada yang sakit…kita tetap datang…kita tetap peduli..meski beda RT tetap didatangi…semua datang…ngasih support apalah isitilahnya itu… berbagi rasalah..”(MD, warga perumahan Ayodya Citra 2). Hal tersebut tampaknya tak dapat dilepaskan dari karakteristik demografi informan yang tinggal di perumahan tersebut. 7 warga yang digunakan sebagai informan adalah warga negara Indonesia yang sebelumnya pernah tinggal pada pemukiman non perumahan sistem satu pintu, sehingga kebiasaan-kebiasaan mereka sewaktu tinggal di pemukiman tersebut terbawa ketika mereka tinggal di perumahan sistem satu pintu. Hal ini tampak sejalan dengan teori Determinan Geografis yang
dikemukakan
oleh
Huntington (dalam
Lewis,
2011)
yang
menyebutkan bahwa kebiasaan-kebiasaan dan karakter-karakter manusia dalam suatu budaya dibentuk oleh kondisi geografis tempat manusia tersebut tinggal. Ada kecenderungan manusia akan memelihara kebiasaan mereka meski berada di tempat yang berbeda (diunduh dari http://www.geocurrents.info, pada tanggal 3 Mei 2014). Warga perumahan sistem satu pintu di Yogyakarta adalah warga Indonesia yang telah terbiasa hidup dalam sistem masyarakat kolektif-interdependen. Sistem kemasyarakatan itu tampaknya telah terinternalisasi dalam diri masing-masing
8
informan sehingga meskipun mereka tinggal pada perumahan sistem satu pintu, namun pola dan orientasi relasi yang mereka kembangkan tetap social communal. Meski berorientasi social communal, namun metode yang digunakan oleh warga perumahan sistem satu pintu untuk tetap terhubung berubah mengikuti perkembangan zaman. Warga perumahan sistem satu pintu lebih banyak berhubungan menggunakan media komunikasi berbasis IT, seperti Whatsapp (WA) dibanding bertemu langsung (face to face communication). “kita lebih banyak komunikasi lewat WA mas…kebanyakan komunikasinya gitu..kalo untuk ketemu langsung biasanya kalo ada kegiatan bari bisa kumpul…”(FHR, warga perumahan Sun Citra Garden) “sekarang ngerumpinya via WA atau via apakah…jadi gak harus kumpul gitu…misal bahas bazar…ngobrolnya di grup WA terus…”(NG, warga perumahan Ayodya Citra 2). Fenomena penggunaan media komunikasi berbasis IT adalah sesuatu yang jamak ditemukan pada zaman sekarang. Fenomena ini lazim disebut sebagai Computer Mediated Communication (CMC). Walther & Bazarova (2008) menyebut sistem Computer Mediated Communication telah menjadi bagian komunikasi interpersonal yang tak terpisahkan, terus berkembang, dan akan selalu terjaga pada era digital seperti sekarang ini.
Upaya untuk Tetap Terhubung Meski sulit, namun upaya informan untuk tetap terhubung, terlebih secara face to face (FtF) dengan tetangganya tetap ada. “Kalo kita kan kebetulan ada kelompok pengajian…kita punya perkumpulan sholehah di masjid kampus UGM…jadi tiap selasa ibu-ibu di sini pengajian di masjid kampus” (BD, warga perumahan Ayodya Citra 2) “habis lebaran kita halal bi halal..silaturahmi…saling mengunjungi…eh gak saling mengunjungi tapi ada tempat kumpulnya di aula itu..”(MD, warga perumahan Ayodya Citra 2)
9
“iya ada arisan ibu-ibu…sebulan sekali..arisan RT…kalo bapak-bapak arisan RW…syawalan itu pasti ada…acara tahunan kayak tujuh belasan juga ada”.. (NG, warga perumahan Ayodya Citra 2). “waktu idul qurban warga kumpul di masjid komplek…penyembelihannya di belakang club house…di belakang kolam renang…”(AA, warga perumahan casa Grande) Adanya upaya dari informan untuk tetap terhubung dengan tetangga mereka sejalan dengan teori need to belong yang dikemukakan oleh Baumeister dan
Leary’s (1995). Tetap terhubung dengan individu lain adalah kebutuhan mendasar yang dimiliki oleh tiap individu. Hal inilah yang mendorong terciptanya relasi sosial antar individu. Bahkan Baumeister dan Leary’s (1995) menyebutkan bahwa kesejahteraan individu sangat ditentukan oleh interaksi yang berlangsung dengan intensitas yang tinggi, stabil, dan berlangsung secara terus menerus. Perumahan sistem satu pintu tidak dapat mengubah dorongan alamiah informan yang tinggal di dalamnya untuk tetap terhubung dengan tetangga mereka.
KESIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa orientasi relasi pertetanggaan yang terbina pada perumahan sistem satu pintu masih berupa relasi social communal yang berbasis keuntungan komunitas. Adapun hal yang mengalami perubahan adalah pada metode komunikasi yang kini lebih banyak menggunakan teknologi informasi sebagai medianya atau lazim disebut dengan Computer Mediated Communication (CMC). Adanya upaya yang dilakukan beberapa informan untuk tetap terhubung dengan tetangga dan komunitas perumahan mereka mengindikasikan bahwa dorongan alamiah untuk tetap terhubung akan selalu ada meskipun situasi dan kondisi tidak mengakomodir.
10
DAFTAR PUSTAKA Andersen, M.L. and Taylor, H.F. (2009). Sociology: The Essentials. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Baumeister, R.F., & Leary, M.R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal attachments
as
a
fundamental
human
emotion. Psychological
Bulletin, 117, 497-529. Buonfino, A & Hilder, P (2006) Neighbouring in Contemporary Britain. Joseph Rowntree Foundation Berk, M.G (2005)
The Concept of Neighbourhood in Contemporary Residental
Environments : An Investigation of Occupant’s Perception. Munich Personal RePEc Archive. Cheshire, L., Fitzgerald, R., Clarke, A & Raymond, S (2013) Neighbourly Problems in Neighbourhood Context: Understanding How Neighbourhoods Influence the Prevalence of Neighbourly Problems and Complaints. Paper Presented to the session ‘How much do Urban Neighbourhoods Matter in a Networked Globalised Space?. RC21 Conference. Berlin, Germany. Creswell, J. W. (2014). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dadkhah, A., & Harizuka S. (1999). Pattern of Social Interaction in Societies of the AsiaPacific Region. The Journal of Social Psychology, 139(6), 730-735. Fiske, A.P. (1992). The Four Elementary Forms of Sociality: Framework for a Unified Theory of Social Relations. American Psychological Association, 99(4), 689-723. Gambrel, P.A., & Cianci, R. (2003). Maslow’s Hierarchy of Needs: Does It Apply In Collectivist Culture. The Journal of Applied Management and Entrepreneurship, 8(2), 143. Greenfield, E.A & Reyes, L (2014) Continuity and Change in Relationships with Neighbors: Implications for Psychological Well-Being in Middle and Later Life. Journals of Gerontology, Series B, Psychological Sciences and Social Sciences. Harper,
D
(2013)
Neighbourhood
:
Online
Etimology
www.etimomline.com, pada tanggal 16 Maret 2015.
11
Dictionary.
Diunduh
dari
Ho, D. Y. (1998). Interpersonal relationships and relationship dominance: An analysis based on methodological relationism. Asian Journal of Social Psychology, 1(1), 1–16. Johnston, R., Poulsen, M., Forrest, J. (2007) The Geography of Ethnic Residential Segregation: A Comparative Study of Five Countries. Annals of the Association of American Geographers, 97,( 4), 713-738 Lange, V., Kruglanski, A. & Higgins, T (2012) Handbook of Social Psychology. Sage Publication. Mollenhorst, G., Volker, B & Schutjens (2009) Neighbour Relations in The Netherlands : A Decade of Evidence. Royal Dutch Geographical Society KNAG. Rahmawati, I. (2015). Korelasi Kepuasan Menghuni dan karakteristik Tempat Tinggal. Studi Meta
Analisis.
Atrium-Jurnal
Arsitektur,
1(2).
Retrieved
from
http://library.ukdw.ac.id/atrium/index.php/atrium/article/view/14 Rounavaara, H & Kouvo, A (2009) Neighbour Relation in Contemporary Society. A Survey of Ideas and a Blueprint for a Framework for Investigation. A Paper Presented in The ISA Housing Assets, Housing People Conference in Glasgow, 1-4th September 2009. Seidel, J. V. (1998). Qualitative data analysis. (Originally published as Qualitative Data Analysis in The Ethnograph v5.0: A Users Guide, Appendix E, 1998, Colorado Springs, CO: Qualis Research. Diunduh pada tanggal 18 April 2016. Scridon, I (2012) Neighbourhood Relationship Between German Ethnic Groups from Romania. Case Study : The Zipsers from Viseu de Sus, Maramures County. Journal of Settlements and Spatial Planing, 3, (1 ),51-56 Schwirian, K.P (1983) Models of Neighbourhood Change. Annual Review of Sociology, 9, 83-102 Schuck, A & Rosenbuam, D (2006) Promoting Safe and Healthy Neighborhoods: What Research Tells Us about Intervention. The Aspen Institute. Sheppard, B. H., & Sherman, D. M. (1998). The Grammars of Trust: A Model and General Implications.
The
Academy
of
Management
Review,
23(3),
422.
http://doi.org/10.2307/259287 Tashakkori, A & Teddlie, C (2010) Handbook of Mixed Methods in Social & Behavioral Research. Sage Publication, Inc. 12
Walther, J. B., & Bazarova, N. (2008). Validation and application of electronic propinquity theory to computer-mediated communication in groups. Communication Research, 35, 622–645.
13