Memahami Politik Adopsi Hasil Penelitian sebagai Strategi Pengembangan KPH: Studi Literatur dan Pengalaman Empiris1 Hariadi Kartodihardjo2 Whether you live to be 50 or 100 makes no difference, if you made no difference in the world.” ― Jarod Kintz
Pendahuluan Sejak tahun 2001, International Development Research Centre (IDRC) yang bermarkas di Canada, telah melakukan evaluasi tentang bagaimana penelitian mereka dari waktu ke waktu mempengaruhi proses terjadinya kebijakan publik (Mably, 2006). Evaluasi itu diarahkan untuk memetakan pengetahuan yang dihasilkan dan cara mentransforma-sikannya menjadi kebijakan. Penelitian itu berusaha mempelajari bagaimana saluran ide untuk keputusan-keputusan dalam pembuatan kebijakan dan bagaimana pengambil keputusan mendapatkan akses ke ide-ide yang mereka butuhkan (Carden 2005). Dalam hal ini, secara umum telah diakui bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dengan pembuatan/evaluasi kebijakan tidak linier. Artinya keberadaan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian itu tidak secara langsung dapat diadopsi untuk pembuatan/evaluasi kebijakan. Pengetahuan yang diperoleh IDRC tersebut sangat penting digunakan untuk melakukan evaluasi dan pengembangan kebijakan kehutanan—termasuk pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)—karena cukup banyak pengetahuan dan kebijakan baru dalam pembangunan kehutanan yang perlu diadopsi oleh Pemerintah Daerah. Peneliti atau analis kebijakan harus mengetahui masalah dalam pembuatan kebijakan dan strategi mengatasinya. Seorang analis kebijakan harus faham narasi kebijakan yang digunakan, aktor-aktor yang mendukung atau menolaknya, serta kepentingan-kepentingan dibaliknya. Ia harus sadar bahwa dalam proses kebijakan itu ia menjadi bagian dari kepentingan-kepentingan dan aktor-aktor yang saling berkontestasi untuk mencapai tujuannya. Sementara itu, keberhasilan pembangunan KPH itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian masalah-masalah yang terkait dengan kawasan hutan, integrasi pembangunan kehutanan di wilayah KPH, hubungan KPH dan pemegang izin, pengembangan sumberdaya manusia, pendanaan KPH, maupun evaluasi kebijakan dan pembentukan peraturan baru untuk mendukung pengembangan KPH. Dalam hal ini, KPH hanya instrumen agar pelaksanaan pembangunan KPH mewujudkan pengelola di lapangan/tapak, sehingga terjadinya akses terbuka maupun pembiaran-pembiaran pelanggaran di lapangan dapat diminimalkan. Selebihnya, persoa1
Naskah ini disusun sebagai materi diskusi dalam acara Ekspose Hasil Penelitian, Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, 19 September 2013 dengan tema: "Tantangan dan Isu Terkini pembangunan Kehutanan: Konsep Pembangunan Kehutanan (KPH) di Lingkup Akademisi”. Kecuali disebutkan lain, materi ini diambil dari draft buku “Pengantar Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam: Narasi—Aktor—Politik—Jaringan, Bab VII, oleh Hariadi Kartodihardjo.
2
Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan, IPB, Ketua Program Studi Sekolah Pascasarjana, IPB dan Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional.
1
lan-persoalan pengelo-laan hutan pada umumnya harus dapat diselesaikan oleh berbagai otoritas yang lebih luas dan tidak terbatas pada upaya membangun KPH tersebut. Naskah ringkas ini menjelaskan konsep adopsi ilmu pengetahuan dan hasil penelitian dalam pembuatan kebijakan—tidak terbatas untuk pengembangan KPH—serta berbagai langkah dan upaya penyelesaian masalah-masalah kehutanan yang akhir-akhir ini sedang berjalan dan berpengaruh terhadap pengelolaan hutan secara keseluruhan.
Asumsi mengenai Proses terjadinya Kebijakan Evaluasi IDRC di atas antara lain mencakup tinjauan pustaka (Neilson 2001) dan suatu kerangka kerja konseptual (Lindquist 2001). Dalam tinjauan literaturnya, Neilson menelusuri beberapa cara proses pembuatan kebijakan berlangsung selama 30 tahun terakhir. Hasil Neilson ini mempunyai peran penting untuk mengetahui interaksi antara peneliti dan pembuat kebijakan dalam berbagai model, sebagai berikut (Neilson, 2001): Teori Dua Komunitas (Two community theory): Dalam model ini, para peneliti dan para pembuat kebijakan hidup dalam dunia yang berbeda, menghadapi insentif dan sumber motivasi yang berbeda, memiliki nilai-nilai yang berbeda, dan karena itu menentukan masalah-masalah dan solusi secara berbeda. Meningkatkan komunikasi antara kedua komunitas tersebut tidak menjamin hasil kebijakan membaik, apabila penelitian yang dihasilkan tidak relevan atau berguna bagi para pembuat kebijakan. Proses Linier Pembuatan Kebijakan (Linear policy process): Model ini mengikuti urutan langkah rasional, mulai dari identifikasi masalah sampai menentukan semua pilihan kebijakan, keputusan atas pilihan terbaik, implementasi kebijakan, serta evaluasi. Peneliti terlibat dengan menyajikan bukti-bukti untuk mendukung berbagai alternatif kebijakan. Model ini dikritik sebagai tidak dinamis dan tidak mewakili proses pembuatan kebijakan yang terjadi. Proses Bertahap Pembuatan Kebijakan (Incremental policy process): Sebuah modifikasi dari model linier yangmana terdapat langkah perubahan kebijakan secara tidak signifikan, dalam rangka mengurangi ketidakpastian, konflik dan kompleksitas. Model ini tidak sesuai untuk situasi krisis, namun banyak digunakan. Peneliti dan inovasinya cenderung dikesampingkan, faktor-faktor eksternal seperti persepsi masyarakat yang mempengaruhi pembuatan kebijakan tidak diperhitungkan. Proses Kebijakan Interaktif (Interactive policy process): Model yang menggam-barkan reformasi kebijakan sebagai suatu proses, di mana pihak yang berkepentingan dapat memberikan tekanan untuk perubahan di banyak aspek, pembuat kebijakan menanggapi berbagai pengaruh eksternal maupun situasi politiknya. Para pembuat kebijakan memerlukan hasil-hasil penelitian, namun model ini masih berfokus pada elit pembuat kebijakan. Jaringan Kebijakan (Policy network): Dalam model ini, hasil kebijakan publik berasal dari konflik, tawar-menawar, dan pembentukan koalisi di antara sejumlah besar kelompok masyarakat yang terorganisir untuk melindungi atau mengajukan kepen-tingan tertentu bagi kepentingan anggota mereka. Berbagai jenis jaringan yang ada (jaringan individu, jaringan isu, komunitas epistemis, komunitas kebijakan, koalisi advokasi) dengan karakteristik mereka yang berbeda. Para pembuat kebijakan sering merupakan bagian dari jaringan, bersama dengan para peneliti dan kelompok advokasi, beberapa di antaranya dapat berasal dari LSM. Penelitian mengenai jaringan menjadi lebih relevan bagi para pembuat kebijakan, adanya jaringan memberi potensi lebih besar untuk mempengaruhi kebijakan. Namun, jaringan hanya bertindak sebagai rute untuk mempengaruhi politik, bukan sebagai sumber pengaruh politik. Jaringan-jaringan tersebut lebih efektif sebagai sumber pengetahuan dan berbagi informasi dan bukan sebagai tempat pembuatan kebijakan berlangsung. 2
Model Agenda-Setting (Multiple Streams): Model ini melihat mengapa isu kebijakan dapat masuk ke dalam atau ditolak dari agenda salah satu dari tiga aliran proses kebijakan, yaitu fase penetapan masalah kebijakan, fase penetapan kebijakan (atau solusi), dan aliran politik. Dapat atau tidaknya ide mengenai masalah dan solusi secara politik berdasarkan “kelayakan teknis dan nilai yang terkandung di dalamnya" dari solusi yang ditawarkan. Sebuah keahlian bermanuver untuk meng-goal-kan kebijakan akan bertindak dari kepentingan diri sendiri yang disesuai dengan keyakinan atau nilai-nilai yang dianutnya dan dengan keahlian koneksi yang dipunyainya serta keuletan, merupakan syarat untuk mendorong masalah dan solusi untuk dapat menjadi agenda dengan mengambil manfaat dari “jendela kebijakan” atau kesempatan yang tersedia. Narasi Kebijakan (Policy narrative): Narasi kebijakan adalah 'cerita' yang menye-derhanakan masalah yang sangat kompleks dan proses, dan pernyataan tentang kejadian khusus yang telah memperoleh pengakuan dari pandangan konvensional di dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah "tragedy of the common” atau “hutan gundul penyebab banjir” sebagai narasi untuk menjelaskan kerusakan sumberdaya alam. Para pembuat kebijakan sering mendasarkan kebijakan dari narasi itu, kadang-kadang mengabaikan bukti bahwa mereka tidak seluruhnya benar. Jaringan tertentu, peneliti dan masyarakat dapat menggunakan narasi kebijakan untuk mempertahankan kepentingannya, penetapan metode penelitian atau analisis yang terkait dengan kepentingan mereka. Narasi dikritik karena digunakan sebagai dasar adanya 'blueprint' solusi asing (negara maju) atas negara berkembang dan mengurangi peran serta keahlian kelompok-kelompok adat dan lokal dalam proses penetapan kebijakan. Peneliti harus menyadari posisi mereka atas digunakannya atau dihilangkannya narasi kebijakan tertentu dan konsekuensinya, baik bagi pembuat kebijakan maupun masyarakat luas. Model Transfer Kebijakan (Policy transfer model): Transfer kebijakan mengacu pada suatu proses dimana kebijakan yang dikembangkan diambil dari tempat lain. Replikasi privatisasi BUMN dari Inggris dan Amerika Serikat untuk negara berkembang dalam 1980-an adalah contohnya. Organisasi-organisasi internasional, think tank, peneliti dan konsultan sering melakukan peran sebagai agen transfer kebijakan. Kecenderungan yang terjadi baik ke arah negara maju ke negara maju atau negara manju ke negara berkembang dan secara umum membuka kesempatan bagi lebih banyak riset dan belajar dari kebijakan negara maju ke negara berkembang.
Hasil Penelitian dan Kebijakan Tidak satupun dari model di atas dapat menjadi penjelas sepenuhnya dari pengalaman proses terjadinya kebijakan serta peran para peneliti dan hasil penelitiannya. Namun, semua menyumbang pemahaman bahwa proses terjadinya kebijakan merupakan proses yang rumit. Mably (2006) menarik pelajaran tersebut dengan menggunakan dokumen-dokumen proses evaluasi dari Fred Carden3, sebagai berikut: Konteks 1. Tidak ada "praktek terbaik" atau alat perencanaan tunggal ketika melakukan penelitian untuk mempengaruhi kebijakan publik. Yang penting adalah diketahuinya sejumlah faktor yang harus dapat bekerja sama untuk menghasilkan pengaruh atau tidak menghasilkan pengaruh sama sekali. Hal ini penting bagi para peneliti untuk menelaah bagaimana faktor-faktor itu berkembang dari waktu ke waktu dalam rangka membangun strategi mempengaruhi kebijakan secara efektif. Faktor-faktor itu antara lain meliputi stabilitas struktur kebijakan—antara lain mencakup kekuatan narasi kebijakan, kapasitas pembuat kebijakan untuk dapat menggunakan 3
Secara lengkap dokumen ini yaitu: Carden, Fred (2005-1); Carden, Fred (2005-2); Carden, Fred and Stephanie Neilson (2005).
3
penelitian, jenis struktur pemerintahan (sentralisasi vs desentralisasi), tekanan eksternal, serta desain proyek penelitian. Di luar semua itu, hubungan antara peneliti dengan pengambil keputusan secara umum sangat penting untuk menumbuhkan pengaruh; Internal dan Eksternal 2. Analisis IDRC yang mengidentifikasi lima model berbeda di atas, masing-masing mencerminkan perbedaan kondisi internal yang berpengaruh terhadap tingkat penerimaan hasil penelitian yang berbeda dalam proses terbentuknya kebijakan, serta strategi integrasi peneliti ke dalam proses pengambilan keputusan. Setiap model memberi informasi kepada peneliti mengenai jenis upaya yang diperlukan; 3. Kondisi eksternal, seperti situasi politik negara atau keadaan lembaga pengambil keputusannya, lebih sulit untuk dikelola meskipun dapat berpengaruh. Misalnya, ketidak-stabilan Pemerintah dalam membuat kebijakan atau peraturan-perun-dangan, atau kurangnya kapasitas pembuat kebijakan di lembaga pengambil kepu-tusan untuk menggunakan data penelitian. Kondisi demikian dapat mengakibatkan hasil penelitian tidak digunakan sama sekali; Peran Jaringan 4. Jaringan dapat menjadi platform untuk tindakan yang memfasilitasi pengembangan aliansi baru, peluang kebijakan berubah (policy space), cara negosiasi, dan akhirnya cara yang efektif untuk mempengaruhi kebijakan. Dalam jaringan, ide-ide dipertukarkan lintas lembaga dan pembuat kebijakan dapat mudah menggunakan hasil penelitian jika tergabung dalam jaringan; 5. Jaringan membantu memperkuat kapasitas peneliti, keterampilan dan posisinya di suatu daerah. Penelitian dapat menjadi lebih relevan dengan kebijakan dan komunikasi dari temuan penelitian untuk kebijakan cenderung lebih efektif. Dalam jaringan, negara-negara kecil dapat memanfaatkan pengalaman menggunakan penelitian untuk kebijakan dari negara-negara yang lebih besar; Rasa Memiliki 6. ‘Rasa memiliki’ hasil penelitian oleh pembuat kebijakan mendorong penyerapan penelitian dan meningkatkan efektivitas pengaruh penelitian itu terhadap isi kebijakan. Hal ini dapat timbul karena adanya rasa percaya atau pengakuan diri bahwa hasil penelitiannya digunakan; Kapasitas Peneliti dan Anggaran 7. Membangun kapasitas penelitian memerlukan waktu lama dan membutuhkan ketekunan. Dukungan untuk sebuah proyek penelitian tunggal tidak dapat berharap untuk berbuah banyak—biasanya justru terperangkap pada administrasi proyek itu. Sebaliknya, dari waktu ke waktu, melalui beberapa proyek penelitian yang dapat saling menguatkan satu sama lain, para peneliti dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan, perubahan peran mereka, permintaan masukan dari pihak lain kepada mereka meningkat, dan diharapkan dengan bertambahnya kapasitas, mereka dapat terlibat akitif dalam jaringan dan pembuat kebijakan; 8. Para peneliti secara rutin mengalami kesulitan untuk dapat berkomunikasi dan menyebarkan temuan mereka kepada para pembuat kebijakan dalam format dan bahasa yang mudah. Para peneliti diharapkan mempunyai kemampuan lebih dari sekedar meneliti. Mereka diharapkan memahami efektivitas kemasan komunikasi, menyebarkan karya mereka dalam format yang sesuai, memahami kebijakan dan proses pengambilan keputusan, serta membangun komunikasi dan strategi advokasi. Singkatnya, peneliti diharapkan menjadi “interprener kebijakan”. Ini membutuhkan dorongan baru dalam pengembangan kapasitas para peneliti dan anggaran penelitian seharusnya tersedia untuk mendukung kegiatan ini, sebagai bagian dari proyek penelitian.
Politik Adopsi Pengetahuan 4
Mably (2006) juga melakukan analisis terhadap program Reseach and Policy in Development (RAPID) oleh Overseas Development Institute (ODI) dan Global Development Network’s Bridging Research and Policy. Mereka telah melakukan penelitian teoritis dan praktis selama enam tahun yang dilakukan oleh Young (2005) dan mengembangkan kerangka kerja analitis untuk membongkar berbagai faktor kompleks yang dapat meningkatkan pengaruh penelitian terhadap kebijakan. Sebuah tinjauan literatur telah dilakukan oleh deVibe et al. (2002) dan diikuti sintesis konseptual oleh Crewe dan Young (2002) serta pengujian kerangka kerja dalam proyek-proyek penelitian— dari 50 studi kasus—dan kegiatan praktis dan dipublikasikan dalam Court dan Young (2003; 2004). Dalam kerangka analisis RAPID, pertanyaannya, "Bagaimana hasil penelitian digunakan untuk pembuatan kebijakan?" diganti dengan pertanyaan "Mengapa beberapa ide yang beredar di jaringan penelitian/kebijakan diambil dan digunakan, sementara yang lain diabaikan dan menghilang? Ini mencerminkan kenyataan bahwa daripada linear, proses satu arah, ada proses dua arah antara penelitian, kebijakan dan praktek, yang dibentuk oleh beberapa hubungan dan sumber pengetahuan. Dalam kerangka RAPID, diuraikan tentang berbagai faktor yang saling terkait, yang menentukan apakah bukti berbasis penelitian secara politik digunakan oleh pembuat kebijakan berdasarkan saluran komunikasi yang tersedia (Gambar 1). Tiga faktor tersebut adalah: politik, bukti/pengetahuan, dan penghubung antara kebi-jakan dan penelitian, yang semuanya dikondisikan oleh dimensi keempat yaitu pengaruh eksternal, seperti konteks sosial-ekonomi, pengaruh lembaga donor ataupun kebijakan nasional dan internasional yang lebih luas. PENGARUH EKSTERNAL Sosial-ekonomi, budaya, kebijakan internasional, donor, dll
Kredibilitas bukti—tingkat tantangan menerima pendapat, pendekatan riset dan metodologi, kredibilitas peneliti, kesederhanaan pesan, komunikasi, dll.
Konteks politik—poltik, struktur ekonomi dan kepentingan, sistem inovasi, tekanan institusi, perbedaan budaya, preferensi thd perubahan, dll.
POLITIK
BUKTI/PENGETAHUAN Hubungan kebijakanide/informasi baru— jaringan, hubungan, power, narasi, kepercayaan, PENGHUBUNG penggunaan pengetahuan, dll.
Gambar 1. Kerangka Kerja RAPID (Court dan Young, 2003) 1. Konteks politik: meliputi derajat kebebasan politik di suatu negara, tingkat kontestasi, kekuatan dan kepentingan pribadi, tekanan lembaga, sikap dan insentif diantara para pejabat, keleluasaan mereka bergerak dan menjadi inovatif, serta hubungan-hubungan kekuasaan; 2. Bukti/pengetahuan: harus topikal relevan dan kredibel. Menggunakan bukti ini, penelitian menyajikan solusi yang layak terhadap masalah yang ada, sebaiknya diuji-coba untuk membuktikan kegunaannya. Komunikasi dengan para pembuat kebi-jakan harus bersifat interaktif dengan menggunakan pesan penelitian yang dikemas dalam cara yang menarik dan dimengerti; 3. Hubungan: Keterlibatan peneliti/pembawa pengaruh dalam jaringan dengan pembuat kebijakan, seperti para pembuat kebijakan atau koalisi advokasi dapat menciptakan kepercayaan, 5
legitimasi dan keterbukaan. Penerjemah dan komuni-kator antara penelitian dan kebijakan, seperti media, juga berperan penting dalam membangun hubungan; 4. Pengaruh eksternal: ini berkisar dari dampak kebijakan dan proses seperti liberalisasi atau demokratisasi internasional, sikap lembaga donor dan prioritas yang dapat mempengaruhi kegunaan proyek penelitian bagi penerima manfaat.
Cara Berfikir Pembuat Kebijakan Pembuat kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor kelembagan dan politik. Tetapi cara mereka berpikir dan bertindak sebagai individu juga mempengaruhi keputusan yang mereka buat dan mencerminkan kembali sikap lembaganya. Masalah yang relevan yang mungkin mempengaruhi bagaimana pembuat kebijakan berperilaku—dan khususnya mengenai bagaimana mereka menanggapi ide-ide baru—termasuk pendidikan, sikap, kepercayaan, ide-ide yang berlaku, kurangnya waktu dan kepribadian. Substansi pada bagian ini diambil dari Court dan Cotterell (2004) yang menghimpun beberapa literatur ilmu kebijakan yang tampaknya berguna dalam memahami cara berpikir para pembuat kebijakan. Model rasional individu pembuatan kebijakan mungkin adalah model yang paling sistematis dan sering diasumsikan dan mendasari banyak literatur awal pengambilan keputusan dan kebijakan (Schlager, 1999).Ini adalah gagasan seseorang secara otonom memaksimalkan pilihan rasionalnya dari sekian alternatif yang tersedia dan dirancang untuk mengejar kepentingan dirinya. Model individu biasanya dikaitkan dengan pengambilan keputusan atau linier model yang rasional dalam proses terjadinya kebijakan (Marinetto, 1999), dimana pembuatan kebijakan dianggap terlatih dalam memilih segenap alternatif, dengan maksud agar tindakan yang dilakukan kemungkinan besar membawa hasil yang diinginkan. Kesulitan utama menerapkan teori pilihan rasional untuk pembuatan kebijakan tersebut adalah asumsi-asumsi dasarnya hampir tidak pernah terpenuhi. Seperti Herbert Simon (1957) menunjukkan, proses terjadinya kebijakan ditandai dengan ketidakpastian, ambiguitas dan kompleksitas dan pelaku kebijakan individu tidak memiliki informasi yang sempurna mengenai masalah dan alternatif atau mempunyai kelemahan dalam mempertimbangkan informasi yang ada. Thompson (1967) dikutip dalam Hall (1996) mengidentifikasi masalah pengambilan keputusan akan melibatkan dua dimensi utama yaitu: (a) keyakinan tentang sebab-akibat atau hubungan antara masalah dan solusi, dan (b) preferensi tentang hasil (outcome) yang mungkin.Kuncinya adalah tingkat kepastian tentang masa lalu dan tingkat ambiguitas atau konsensus organisasi di masa yang akan datang. Dimana tujuan yang jelas dengan hubungan sebab dan akibat yang jelas, pengambilan keputusan cenderung mendapat hasil seperti yang diharapkan. Dalam hal ini, kebijakan bagaimanapun ditandai dengan ketidakpastian. Pengambil keputusan juga menampilkan rasionalitas terbatasi (bounded rationality)—yaitu berniat untuk bersikap rasional tetapi rentan terhadap salah pilih karena informasi yang tidak jelas atau tidak lengkap (Ostrom, 1999). Dalam kasus tersebut, informasi (jumlah dan jenis) merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas keputusan dan strategi terhadap hasil yang diinginkan. Kuncinya adalah mendefinisikan masalah harus dapat ditangani secara teliti dan memilih solusi perlu hati-hati. Penetapan kebijakan biasanya dilaksanakan dengan kondisi kurang terlatih dalam menentukan dan memecahkan masalah dan proses itu lebih merupakan upaya untuk memahami kenyataan yang hanya sebagian diketahui (Zahariadis, 1999). Karena pembuat kebijakan tidak dapat menangani secara bersamaan semua masalah yang dihadapi mereka, mereka terlibat dalam definisi masalah secara selektif dan pengaturan agenda berdasarkan arti penting yang dirasakan yang ditentukan oleh kombinasi preferensi dan konteks politik (Benar et al, 1999 ). Kingdon mencatat bahwa apakah isu-isu yang dibingkai sebagai masalah potensial atau aktual tergantung pada nilai6
nilai dan keyakinan pembuat kebijakan, pada cara pembuat kebijakan mengkategorikan masalah, dan bobot relatif yang diberikan kepada masalah melalui perbandingan dengan konteks politik yang mendasarinya (Zahariadis , 1999). Psikologi politik juga telah menekankan pemrosesan pengambilan keputusan kebijakan lebih didasarkan pada informasi selektif atau dipilih. Isu-isu paling luas adalah 'ketersediaan' dan 'keterwakilan' informasi. Seringkali informasi yang tersedia bagi pembuat kebijakan didasarkan pada niat mereka sendiri, rencana yang telah ditetapkan dan pengalaman di masa lalu (Stein, 1988), sehingga tidak mencerminkan ketersediaan informasi dari wakil-wakil yang ada. Masalah lain adalah bahwa pada umumnya tidak akurat hasil perbandingan dan kenyataannya, orang cenderung melebih-lebihkan kesamaan antara satu peristiwa dan peristiwa lainnya (Stein, 1988). Semua itu menyiratkan bahwa para pembuat kebijakan lebih memilih untuk belajar dari pengalaman daripada mengambil informasi yang baru, misalnya dari hasil penelitian, sehingga persoalannya bukan karena kurangnya informasi. Ada banyak literatur bahwa isu-isu kerangka kebijakan resisten atau menolak informasi yang menentang dasar keyakinan inti (policy narrative). Rein dan Schon mengemukakan argumen bahwa narasi kebijakan mencerminkan “frame” yangmana pembuat kebijakan gunakan untuk memilih, mengatur dan menginterpretasikan informasi (Rein dan Schon, 1991). Dalam hal ini, analisis diskursus berusaha untuk memahami interaksi kekuasaan dan pengetahuan untuk memberikan wawasan dalam mempengaruhi cara berpikir para pembuat kebijakan dan bagaimana, dalam konteks sosial dan historis tertentu, cerita diciptakan dan dikatakan serta ideide tertentu dan narasi kebijakan didatang untuk mendapatkan kekuasaan atas orang lain ( Brock et al, 2001). Sabatier mendefinisikan sistem kepercayaan sebagai “seperangkat nilai-nilai dasar, asumsi kausal, dan masalah-masalah persepsi” yang mempengaruhi bagaimana individu memperoleh, memasukkan dan menggunakan informasi (Sabatier, 1998, dikutip dalam Schlager, 1999). Dalam Gambar 2 dinyatakan beberapa faktor kunci yang mempengaruhi sikap pembuat kebijakan. Otoritas yang lebih tinggi Peraturan perundangan Epistemic community Pihak-pihak yang mengalami dampak kebijakan
Gambar 2.
Pengambilan keputusan terjadinya kebijakan
Narasi kebijakan yang digunakan selama ini Informasi hasil penelitian Informasi atau advokasi dari media atau interest groups
Kondisi sosialekonomi-politik saat keputusan diambil Delapan faktor yang menentukan pembuatan kebijakan mengambil keputusan
Tanpa ideologi dan sistem kepercayaan, tidak ada individu yang dapat mengorganisir dan menafsirkan sejumlah besar informasi relevan dan berpotensi memecahkan masalah yang sedang dihadapi (Stein, 1988). Sementara Roe (1991) menyebutkan bahwa narasi kebijakan akan 7
cenderung bertahan dan terus memandu pembuatan kebijakan, terutama karena narasi itu mereproduksi narasi-narasi sederhana sebagai respon yang baik untuk informasi yang overload dan dapat membantu menghindari keputusan yang sulit. Implikasinya adalah bahwa penelitian akan memiliki dampak yang lebih besar jika cocok dalam kisaran apa yang dapat dilihat sebagai 'nasihat yang baik'. Ide-ide baru harus sesuai dalam narasi yang ada dan secara sederhana dan meyakinkan untuk menggantikan mereka. Bukti-bukti yang dapat megkounter tidak akan dianggap serius kecuali berhasil terlibat dengan pembuat kebijakan dalam kerangka pemikiran mereka— atau mampu memberi tekanan yang cukup untuk mengubah kerangka kerja konseptual mereka. Perubahan kebijakan terjadi tidak hanya melalui tindakan individu, tetapi pada umumnya sebagai akibat dari tindakan kolektif (Schlager, 1999). Pengambilan keputusan melakukan tindakan lebih dari sekedar menentukan masalah kerangka atau alternatif untuk diperhatikan dan memberikan aturan dan norma-norma prosedural untuk pengambilan keputusan. Mereka juga mempengaruhi pilihan substantif. Tidak selamanya pandangan yang menjadi keputusan kelompok dan mencerminkan rata-rata respon individu, hasil studi menunjukkan pengambilan keputusan kelompok dapat mempengaruhi keputusan individu. Juga ditemukan bahwa diskusi kelompok dapat mempengaruhi kesediaan pengambil kebijakan untuk mendukung strategi berisiko—lihat diskusi berisiko (Stoner, 1961) dan 'individu Groupthink' (Janis, 1982).
Pelaksanaan Kebijakan Pelaksanaan kebijakan merupakan salah satu bidang utama yang diidentifikasi dalam lingkup proses terjadinya kebijakan. Pembahasan isu-isu pelaksanaan kebijakan menjadi bagian terpisah karena orang cenderung meremehkan atas kepentingannya. Bagian ini berfokus pada isu-isu implementasi yang terkait, yang dapat mempengaruhi hasil penelitian bagi kebijakan. Ini termasuk insentif kelembagaan dan tekanan, akuntabilitas, peran tingkat bawah/pelaksana (street level beaurocrats) dan ruang untuk manuver serta otonomi (politik dan administratif). Isu-isu tersebut penting karena orang cenderung meremehkannya dalam diskusi proses terjadinya kebijakan. Mengapa implementasi penting? Lipsky (1980) telah memeriksa apa yang terjadi pada titik di mana kebijakan diterjemahkan ke dalam praktek, dalam berbagai pelayanan birokrasi. Dia berpendapat bahwa implementasi kebijakan pada akhirnya bermuara pada orang-orang yang benar-benar menerapkannya, yaitu praktisi atau birokrat tingkat bawah (street level bureaucracy)—termasuk sumberdaya manusia dan birokrasi di KPH. Maka, tidak cukup penelitian bagaimana mempengaruhi perumusan kebijakan tanpa memperhatikan kebijakan dalam prakteknya. Lipsky mencatat kontroversi street-level birokrat karena mereka harus diperhatikan apabila kebijakan akan diubah karena kedekatan interaksi mereka pihak-pihak yang dilayani (Lipsky, 1980). Dalam rangka melihat “apa yang kebijakan dapat lakukan”, penelitian harus mampu melihat situasi birokrat “tingkat jalanan” tersebut. Hal penting adalah isu-isu insentif dan kendala yang dialami birokrat yang benar-benar harus menerapkan kebijakan—mereka dapat memberikan pengaruh yang sangat besar pada apa yang sebenarnya terjadi ketika kebijakan baru dijalankan. Misalnya, dalam sejumlah kasus yang ditelaah, perubahan di lapangan berdasarkan penelitian setempat sering sudah terjadi sebelum perubahan kebijakan formal (Court dan Young, 2003). Apa pentingnya kelembagaan? Struktur kelembagaan membatasi atau memandu perilaku dan memberikan kesempatan bagi perubahan kebijakan dan aksi sosial/ politik. Aturan organisasi, norma dan prosedur yang berlaku dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan dan ruang lingkup untuk kesalahan individu dalam suatu organisasi dan untuk membimbing mereka ke arah pencapaian tujuan operasional. Dengan demikian kelembagaan tidak hanya bertindak untuk membatasi perilaku. Kelembagan juga dapat memberikan insentif. Bukti menunjukkan bahwa budaya politik dan administrasi tidak mempengaruhi serapan hasil penelitian (Trostle et al, 1999). 8
Dari sudut pandang yang dipertanyakan adalah: Apa insentif kelembagaan dan tekanan yang menyebabkan pemanfaatan hasil penelitian? Awalnya, disoroti beberapa karakteristik kunci yang tampaknya juga mempengaruhi penyerapan hasil penelitian: 1. Rekrutmen pegawai: Telah dicatat bahwa hubungan antara penelitian dan kebijakan adalah yang terkuat di negara-negara di mana pegawai negeri senior telah memiliki pengalaman penelitian. 2. Insentif: Seperti yang ditunjukkan melalui banyak tulisan, insentif dapat efektif pada tingkat individu dan sistem (Frenk, 1992). Salah satu isu kunci adalah apakah suatu organisasi memiliki insentif untuk belajar? Apakah mendukung inovasi organisasi? Yaitu organisasi yang individu di dalamnya berpikiran terbuka dan menganggap penting beradaptasi dengan ide-ide baru dari dunia luar. Apakah ada hubungan yang baik dalam lembaga dimana pelajaran dapat dibagi dan ditindaklanjuti? Apakah sistem penghargaan mendorong penggunaan penelitian dalam meningkatkan implementasi? Apakah ada panduan yang jelas dari atas mengenai tujuan organisasi? Kogan dan Henkel (1983) menunjukkan bahwa kesediaan para pejabat untuk melakukan analisis kebijakan adalah penting. 3. Struktur karir pembuat kebijakan: Ada sebuah diskusi yang menarik tentang implikasi dari struktur karir pegawai untuk masalah menjembatani penelitian dan kebijakan. Hanney et al mencatat bahwa mobilitas pembuat kebijakan mungkin menyebabkan pemanfaatan penelitian menjadi tidak efektif (Hannay et al, 2003). 4. Akuntabilitas: Bukti di tingkat makro dan mikro menunjukkan akuntabilitas merupakan isu utama. Percobaan kelompok yang terkontrol dalam ilmu perilaku telah meneliti hubungan antara akuntabilitas dan penggunaan informasi dalam pengambilan keputusan sebagai berikut (Huber dan Seiser, 2001): 1. Para pembuat kebijakan membutuhkan keterampilan dan pengalaman, baik untuk menghimpun maupun menginterpretasikan hasil penelitian, serta untuk meng-gunakan temuan di dalam praktek pembuatan kebijakan. Grindle menekankan kapasitas lembaga birokrasi untuk berhasil mengelola program, termasuk peningkatan keahlian, personel, dukungan politik (elit), sumber daya dll (Grindle, 1980) 2. Apakah organisasi memiliki struktur yang cukup fleksibel untuk memungkinkan pengembangan kelompok atau unit baru, yang akan berlaku efektif dalam melihat perubahan kebijakan? Apakah lingkungan kelembagaan mengizinkan restrukturisasi yang diperlukan? 3. Adakah sumber daya dalam organisasi, atau sumberdaya dapat dikumpulkan, untuk mendukung cara kerja baru. 4. Adakah mekanisme khusus jika diperlukan. Apakah ada unit penelitian kebijakan di dalam lembaga itu: a. Ada unit analisis kebijakan atau think-tank dalam pembuatan kebijakan untuk lembaga? b. Bagaimana posisi dan kewenangan mereka? c. Apa dampaknya dibandingkan dengan lembaga eksternal? (Thompson dan Yessian, 1992) d. Apakah ada mekanisme tertentu yang mengarah pada penggabungan penelitian instrumen kebijakan. 5. Selain masalah organisasi, literatur juga menyoroti beberapa isu kebijakan tertentu yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan penelitian oleh organisasi pelaksana: 9
a. Apa manfaat perubahan yang dilakukan berdasarkan hasil penelitian? Potensi keuntungan dalam jangka panjang atau manfaat langsung dan nyata. b. Mirip dengan perumusan kebijakan, kontestasi juga dapat terjadi selama pelaksanaan kebijakan, terutama jika birokrat menentang arah kebijakan baru. Apakah ada konsensus umum dalam organisasi tentang perubahan yang dibutuhkan? Apakah pengambil keputusan memerankan perilaku pencari konsensus? c. Penerimaan atau ditolak oleh praktisi mungkin karena berbagai alasan karena ada masalah nyata dengan pelaksanaan kebijakan baru (Grindle, 1980). Ada juga kendala sangat praktis—seperti waktu dan kurangnya akses terhadap informasi. Pembuat kebijakan juga beroperasi dalam pengaturan organisasi dan situasional yang memberlakukan batasan praktis dalam hal waktu yang tersedia untuk mengakses informasi, mengolah dan merumuskan kebijakan. d. Grindle juga menekankan pentingnya tingkat perubahan perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan temuan penelitian baru.
Saran bagi Peneliti-Akademisi-Praktisi Kualitas bukti, argumen dan bagaimana hal itu dikomunikasikan, serta hubungan antara penelitiakademisi-pemikir dan pembuat kebijakan sangat penting. Meskipun banyak diantara mereka tidak secara eksplisit tertarik mengubah, memperbaiki atau membentuk kebijakan publik, sebaliknya cenderung lebih tertarik pada insentif akademik, penghargaan publikasi akademik, ketimbang pengaruh—terutama bagi peneliti dan akadamisi—hasil kerjanya bagi kebijakan. Banyak hasil penelitian “di langit” tidak memiliki tujuan kebijakan secara langsung. Akibatnya ada kesenjangan antara kebutuhan untuk mendapatkan informasi yang berguna secara cepat bagi para pembuat kebijakan, dalam lingkungan masalah kebijakan yang berubah dengan cepat. Rekomendasi bagi para peneliti-akademisi-praktisi meliputi (Court dan Young, 2003): • MEMAHAMI KONTEKS. Mereka harus faham akan peranannya yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Hal ini tidak hanya mempengaruhi penelitian apa yang harus dilakukan, tetapi juga bagaimana melakukannya, dan bagaimana mengkomuni-kasikan hasilnya. Mereka yang bertujuan mempengaruhi proses terbentuknya kebijakan publik pertama-tama harus melihat konteks politik di mana mereka bekerja. Siapa pembuat kebijakan? Apakah ada permintaan pembuat kebijakan akan informasi bagi terbentuknya kebijakan? Adakah sumber/kekuatan yang berla-wanan? Adakah peluang dan waktu untuk memberi input ke dalam proses formal? • KENALI PELAKU. Berbagai pengaruh sedang memperluas misinya di banyak negara berkembang, dengan titik masuk baru ke dalam proses kebijakan. Ini berarti penting bagi para penelitiakademisi-praktisi untuk menilai sifat dari komunitas kebijakan yang lebih luas. Peneliti yang bekerja pada isu kebijakan perlu menyadari aktor yang berbeda dalam komunitas kebijakan, posisi mereka di dalamnya dan pengaruh relatif mereka. • MENANGGAPI PERMINTAAN. Perlu langkah dengan isu-isu kebijakan saat ini, dan siap untuk memanfaatkan kesempatan yang diberikan secara mendadak. Pembuat kebijakan mungkin tiba-tiba akan mencari analisis yang sudah 'di laci' atau yang dibutuhkan secara cepat. Dengan demikian, peneliti juga harus fokus pada isu-isu yang penting bagi masyarakat—bahkan bukan prioritas saat ini. PELAJARAN DARI KASUS. Berbagai kasus menunjukkan bahwa studi tunggal tidak mungkin memiliki dampak yang banyak, tetapi program kerja jangka panjang dapat membantu menciptakan permintaan atau membantu menciptakan “policy space”. Berbagai kasus menunjukkan bagaimana hasil penelitian dapat membantu mengubah narasi kebijakan. Tetapi dari berbagai kasus juga menunjukkan bahwa hal itu sering memakan waktu lama. 10
• PRAKTIS: Rekomendasi berdasarkan penelitian harus operasional, tidak “di langit”. Interaksi dengan pembuat kebijakan dalam proses penelitian dapat membantu memastikan topik dan kebutuhan praktis untuk kebijakan publik. Interaksi dengan masyarakat adat/lokal (seperti penelitian partisipatif) dapat membantu memastikan topik dan langkah kerja yang relevan di lapangan. Masalah utama yang muncul dari penelitian adalah menentukan masalah subyek penelitian sehingga solusinya tepat. • MEMBANGUN KREDIBILITAS. Sebuah reputasi untuk penelitian yang ketat dalam jangka panjang lebih penting daripada kredibilitas ilmiah pada bagian tertentu dari penelitian. Bukti yang lemah secara relatif dapat memiliki dampak besar bagi “policy space” yang datang mendadak, terutama apabila individu peneliti-akademisi-praktisi dan/atau lembaganya mempunyai reputasi terhormat. • LEGITIMASI MENINGKATKAN DAMPAK: Bukti, argumen dan saran kebijakan berbasis penelitian yang didukung oleh masyarakat yang akan terpengaruh oleh kebijakan, akan dihargai dengan bobot lebih besar oleh para pembuat kebijakan daripada hanya bukti saja. • KOMUNIKASI NYATA: Cara mengkomunikasikan hasil penelitian sangat penting. 'Seeing is believing'—mendemonstrasikan manfaat sebenarnya dari pilihan kebijakan melalui penelitian terbukti sangat efektif. Singkat, jelas, dokumen bebas-jargon lebih efektif daripada makalah format akademis. Dialog interaktif lebih baik dari komunikasi satu arah. Gunakan jaringan dengan baik dan media untuk menyebarkan berita. Cari dan tumbuhkan 'juara' di kalangan pembuat kebijakan yang akan menyampaikan bukti, dan siapa yang akan mengamankan kredibilitasnya di kalangan pembuat kebijakan lainnya. • MEMBANGUN JARINGAN. Jaringan formal dan informal adalah komponen penting dari proses terbentuknya kebijakan. Siapa saja yang ingin mempengaruhi proses terbentuknya kebijakan perlu terlibat dengan penentu kebijakan atau jaringan tidak resmi, cari aktor yang berpikiran serupa untuk bekerja sama dengan dan kemudian berusaha untuk mempengaruhi proses penetapan agenda kebijakan. ODI dalam publikasi Malby (2006) melalui hasil kajiannya menegaskan bahwa hasil penelitian lebih mungkin untuk berkontribusi dalam proses terbentuknya kebijakan, apabila: 1. Hasil penelitian sesuai dalam batas-batas politik dan kelembagaan dan tekanan bagi pembuat kebijakan. Hasil penelitian itu sejalan dengan asumsi-asumsi mereka. Juga dapat memberikan tekanan yang cukup untuk membuat mereka berfikir; 2. Bukti yang kredibel dan meyakinkan, memberikan solusi praktis untuk masalah kebijakan yang sedang dibicarakan dan dikemas sehingga menarik minat para pembuat kebijakan; 3. Peneliti dan pembuat kebijakan berbagi jaringan yang sama, saling percaya dan berkomunikasi secara efektif ". RAPID juga merekomendasikan bagaimana peneliti dapat meningkatkan peluang mereka memiliki pengaruh pada proses terjadinya kebijakan di dalam konteks, bukti, hubungan dan pengaruh eksternal (Court dan Young 2004). Dalam pandangannya para peneliti harus: 1. Mengembangkan pemahaman secara rinci tentang proses pembuatan kebijakan, sifat bukti yang mereka harus miliki, atau berharap untuk mendapatkannya, serta rincian semua pemangku kepentingan lain yang terlibat dalam bidang kebijakan; 2. Mengembangkan strategi keseluruhan untuk pekerjaan mereka—mengidentifikasi pendukung politik dan lawannya, mengawasi apa yang terjadi di luar dan bereaksi terhadap terbukanya peluang pembentukan kebijakan, memastikan bukti yang kredibel dan praktis berguna, serta membangun koalisi dengan kelompok-kelompok dengan visi yang sama; 3. Jadilah kewirausahaan—mengenal dan bekerja dengan pembuat kebijakan, membangun program penelitian jangka panjang yang kredibel, berkomunikasi secara efektif, gunakan 11
pendekatan partisipatif, mengidentifikasi networkers kunci dan penghubung serta menggunakan jaringan informal (shadow networks). Sementara itu Garrett dan Islam (1998) juga menegaskan adanya beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh peneliti atau lembaga penelitian agar hasil penelitiannya lebih menjadi perhatian dan digunakan dalam penetapan kebijakan, yaitu: 1. Mengetahui informasi yang sedang dibutuhkan oleh pengambil keputusan. Salah satu caranya adalah mempunyai kedekatan dengan proses-proses pengambilan keputusan; 2. Memahami proses terbentuknya kebijakan, sehingga mengetahui jaringan dan aktor-aktor penting serta narasi-narasi kebijakan yang mereka bawa; 3. Berhasil mempromosikan hasil-hasil penelitian kepada aktor-aktor kunci yang sedang memikirkan adanya kebijakan baru atau mengubah kebijakan yang ada; 4. Mempunyai dan menjalankan strategi komunikasi hasil-hasil penelitiannya secara efektif; 5. Dapat memilih topik dan pertanyaan penelitian yang spesifik dan menarik sebagai argumen perubahan kebijakan.
Implikasi bagi Penelitian dan Pengembangan KPH Pada dasarnya membangunan KPH adalah membangun institusi/kelembagaan yang pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki perilaku pengelola hutan dalam memecahkan segala persoalan menuju pengelolaan hutan lestari. Berdasarkan pendekatan seperti itu, membangun KPH adalah melakukan perubahan nilai-nilai (values) bahwa dalam pengelolaan hutan, bukan lagi sebagian besar diserahkan pada pemegang izin, namun Pemerintah/Pemda mempunyai tanggungjawab sebagaimana tanggungjawab hak menguasai negara (HMN) terhadap sumberdaya alam. Oleh karena itu, baik dalam pelaksanaan pembangunan KPH, dukungan terhadap pelaksanaannya itu, maupun kerja nyata di lapangan, memerlukan pemahaman, sekurang-kurangnya terhadap hal-hal sebagai berikut: 1. Kerangka peraturan dan pembangunan fisik untuk KPH (kantor, kendaraan, dana, sumberdaya manusia, dll) diwujudkan dalam kerangka membangun insentif maupun prasyarat agar KPH mampu menjalankan fungsinya, serta memastikan bahwa segala bentuk peraturan dan pembangunan fisik itu dimaksudkan agar KPH dapat beroperasi dalam jangka panjang. Masalah adanya resistensi pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan KPH harus menjadi pertimbangan utama dalam hal ini. Strategi komunikasi sangat penting dan memainkan peran utama—karena pada tahap ini pada dasarnya harus terjadi transfer nilai-nilai (values). Ini artinya perlu memahami kepentingan aktor-aktor, jaringan maupun “narasi kebijakan” yang sedang digunakan, berkomunikasi dengan “bahasa” yang tepat, sebagaimana diuraikan di atas; 2. Kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan, penyusunan Rencana Jangka Panjang, pengembangan usaha, dll adalah perangkat kerja KPH yang memerlukan inovasi dan penggunaan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi dimana KPH itu berada. Dukungan terhadap berbagai kegiatan tersebut—terutama inovasi yang sedang dan akan dikembangkan—perlu dilaksanakan dalam kerangka proses “implementasi kebijakan” sebagaimana telah diuraikan di atas. Itu artinya perlu dilaksanakan dengan memahami sekaligus memperbaiki nilai-nilai (values) yang dianut dan menjadi kebiasaan “street level” birokrat sebagaimana diuraikan di atas; 3. Terwujudnya harmoni hubungan-hubungan antara KPH dan pemegang izin, masyarakat adat/lokal, lembaga Pemerintah/Pemda/LSM/Perguruan Tinggi, merupakan prasyarat sekaligus insentif bagaimana KPH mendapat legitimasi dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam hal ini mengenal jaringan, sumberdaya, kepentingan maupun “narasi kebijakan” yangmana di lapangan cenderung sedang berkontestasi satu sama lain, menjadi kebutuhan yang tidak dapat 12
dielakkan. Tujuan mengenail berbagai “variable” tersebut adalah agar diketahui “policy space” atau besar-kecilnya peluang untuk mewujudkan hubungan yang harmonis dengan mengedepankan kepentingan masing-masing pihak. Sebagaimana diuraikan di atas, jaringan bukan tempat mengambil keputusan (secara legal/formal), namun jaringan bermanfaat sebagai sumber informasi serta penyesuaian-penyesuaian langkah yang dapat disepakati bersama untuk mendapat legitimasi. Pada akhirnya, terhadap masa depan KPH, akan sangat tergantung pengetahuan-pengetahuan baru dari hasil-hasil penelitian terhadap masalah-masalah yang tepat dan benar dalam membangun KPH sebagai bentuk institusi/kelembagaan dan bukan dianggap sebagai pembangunan fisik belaka. Dalam hal ini, kata kuncinya adalah “dapat ditemukannya masalah-masalah yang tepat dan benar. Sebab, kebijakan KPH yang hanya menjawab masalah-masalah yang keliru, tidak akan membawa manfaat. Sementara itu, berbagai penelitian institusi/kelembagaan maupun politik adopsi hasil penelitian terhadap proses terjadinya kebijakan masih sangat terbatas. Ini adalah tantangan utama bagi para peneliti/akademisi/praktisi, bukan hanya untuk pengembangan KPH, tetapi juga untuk pembangunan kehutanan yang lebih luas ●
Pustaka Referensi utama yang digunakan dalam naskah ini: 1. Carden, Fred, 2005-2. Capacities, Contexts, Conditions: the influence of IDRCsupported research on policy processes. Ottawa, March 2005, URL: http://www.idrc.ca/uploads/ user-S/11315653011 Highlight_5.pdf 2. Court, J,Lin Cotterrell, 2004. What Political and Institutional Context Issues Matter for Bridging Research and Policy? A Literature Review and Discussion of Data Collection Approaches. Overseas Development Institute 111 Westminster Bridge Road London SE1 7JD, UK 3. Court, Julius, John Young, 2003. Bridging Research and Policy: Insight from 50 Case Studies, ODI, London, August 2003, URL: http://www.odi.org.uk/RAPID/Publications/Documents/ WP213.pdf 4. Crewe, Emma, John Young, 2002. Bridging Research and Policy: Context, Evidence and Links, ODI Working Paper 173, London, June 2002, URL: http://www.odi.org.uk/RAPID/ Publications/Documents/ wp173.pdf 5. de Vibe, Maja, Ingie Hovland and John Young (2002) “Bridging Research and Policy: An Annotated Bibliography”, ODI Working Paper 174, London, September 2002, URL: http://www.odi.org.uk/RAPID/ Publications/Documents/wp174.pdf 6. Garrett, James L and Yasir Islam, 1998. Policy Reseach and the Policy Process: Do the Twin Ever Meet? GateKeeper Series No 74. International Institute for Environment and Development (IIED). Washington D.C. 7. Mably, Paul, 2006. Evidence Based Advocacy: NGO Research Capacities and Policy Influence in the Field of International Trade. IDRC-CRDI. Canada. 8. Neilson, Stephanie, 2001. IDRC-Supported Research and its Influence on Public Policy: Knowledge Utilization and Public Policy Processes: A Literature Review, IDRC Evaluation Unit, Ottawa, December 2001, URL: http://www.idrc.ca/uploads/user-S/10468843590 litreview_final1.doc Referensi dalam referensi utama yang penting untuk mendalami materi naskah ini: 1. Brock, Cornwall, Gaventa, 2001. Power, Knowledge and Political Spaces in the Framing of Poverty Policy", IDS Working Paper Series 143, Institute of Development Studies, Sussex. p.5 2. Carden, Fred, 2005-1. Making the most of research: the influence of IDRC-supported research on policy processes. Paper presented at a conference organized by Secretariat for Institutional Support for Economic Research in Afreica (SISERA), Dakar, Jan 28-29, 2005
13
3. Carden, Fred, Stephanie Neilson, 2005. Confluence and influence: Building policy capacities in research networks, in Global Knowledge Networks and International Development: Bridges across boundaries, Diane Stone and Simon Maxwell, eds., London and New York 4. Court, Julius, John Young, 2004. Bridging Research and Policy in International Development: An Analytical and Practical Framework, RAPID Briefing Paper 1, ODI, London, October 2004, URL: http://www.odi.org.uk/RAPID/Publications/Documents/rapid_bp1_web.pdf 5. Frenk, J, 1992. Balancing relevance and excellence: organizational responses to link research with decision-making Social Science and Medicine, 35:1397-1404. 6. Grindle, M. S., (ed.), 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton: Princeton University Press. 7. Hanney, Gonzalez-Block, Buxton, Kogan, 2003. The utilisation of health research in policymaking: concepts, examples and methods of assessment, Health Research Policy and Systems 2003 1:2. 8. Huber, Seiser, 2001. Accounting and Convincing: The Effect of Two Types of Justification on the Decision Process, Journal of Behavioural Decision Making, vol. 14, pp. 69-85. p.69 9. Janis, I, 1982. Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes, 2nd edn, Houghton Mifflin, Boston. p.43 10. Kogan, M, Henkel, M. 2000. Future directions for higher education policy. Getting inside: policy reception of research In: The Institutional Basis of Higher Education Research (Edited by Teichler U) Dordrecht, Kluwer, 25-43. 11. Kingdon, J.W. 1984. Agendas, Alternatives, and Public Policies. New York: Harpers Collins. 12. Lindquist, Evert, 2001. Discerning Policy Influence: Framework for a Strategic Evaluation of IDRCSupported Research, IDRC Evaluation Unit, Ottawa. 13. Lipsky, M, 1980. Street-level Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Services, Russell Sage Foundation, New York. 14. Marinetto, 1999. Studies of the Policy Process - A Case Analysis Prentice Hall Europe, Hertfordshire. p.271. 15. Rein, Schon, 1991. Frame-Reflective Policy Discourse, p.263 in Social Sciences and Modern States National Experiences and Theoretical Crossroads, P. Wagner et al., eds., Cambridge University Press, Cambridge, pp. 262-289. 16. Roe, E, 1991. Development Narratives - Or Making the Best of Blueprint Development, World Development, vol. 19, no. 4, pp. 287-300. 17. Schlager, E, 1999. A Comparison of Frameworks, Theories and Models of Policy Processes, in Theories of the Policy Process, P. A. Sabatier, ed., Westview Press, Colorado and Oxford, pp. 233-260. 18. Stein, 1988. Building Politics into Psychology: The Misperceptions of Threat, Political Psychology, vol. 9, p.252 19. Trostle J, Bronfman M, Langer A, 1999. How do researchers influence decision-makers? Case studies of Mexican policies. Health Policy Plan 14: 103–114. 20. Young, John, 2005. Bridging research and policy: the RAPID Approach, Overseas Development Institute, London, paper presented at a conference organized by Secretariat for Institutional Support for Economic Research in Africa (SISERA), Dakar, Jan 28-29, 2005, URL: http://www.idrc.ca/uploads/userS/11085709621 Bridging_Research_and_Policy .pdf 21. Zahariadis, N, 1999. Ambiguity, Time, and Multiple Streams, in Theories of the Policy Process, P. A. Sabatier, ed., Westview Press, Colorado and Oxford, p.75
ooo
14