arsitektur.net
2011 vol. 5 no. 2
Memahami Gagasan Primitive Future Bagi Sou Fujimoto, seorang arsitek muda Jepang, alam selalu hadir dan menjadi bagian dari lingkungan dimana kita berpijak. Manusia membuat segala sesuatu untuk mempermudah, mempercepat, dan membantu dirinya untuk terus menjadi menjadi hal yang asing bagi sekitar, termasuk di dalamnya produk arsitektur. Dalam setiap karyanya Sou Fujimoto memiliki keinginan meleburkan hal itu dan menyeimbangkannya. Karya-karya Sou Fujimoto dikenal sebagai ‘extension of pure white cube’ dan tampil dalam abstraksinya yang selalu minimalis. Setiap karyanya mengandung makna yang berbeda dan menginginkan manusia untuk memiliki pengalaman di dalamnya. Ia percaya sebuah produk arsitektur dapat menyembuhkan kepekaan manusia akan lingkungan. Karyanya merupakan eksperimen yang diarahkan ke arah pemulihan hubungan manusia bersama, dan pemulihan hubungan primitif antara masyarakat dan alam. Lahir, besar dan tinggal di Jepang, segala bentuk budaya di dalamnya secara kental mengalir dalam pikiran dan gagasannya untuk arsitektur kekinian. Masa depan yang begitu kritis, alam yang tersingkir karena intervensi benda-benda dari permasalahan yang disadarinya. Sou Fujimoto berprinsip bahwa arsitektur didasarkan pada kesederhanaan budaya Jepang, tapi memerlukan kompleksitas pada saat yang sama, seperti kombinasi yang baik antara alam dan halhal buatan. Karena alam sangat kompleks dan hal-hal buatan didasarkan pada kesederhanaan, ia ingin membuat sesuatu yang demikian
Gambar 1. Contoh karya Sou Fujimoto membaurkan inside-outside
proyeknya selalu mempertanyakan bagaimana sebuah arsitektur berhubungan dengan alam? Karyanya sebagian besar terlihat putih dan abstrak dengan sedikit tambahan material lain dan hadir sebagai sebuah komposisi dengan keabstrakan ruangnya yang mengingatkan pada pernyataan Mies Van de Rohe ‘less is more’, yakni sebuah komposisi yang dapat dievaluasi dari kecantikan yang minimal.
Salah satu pemikiran Sou adalah primitive future, yang dapat diartikan sebagai hal mendasar yang melatar-belakangi terciptanya hal yang akan datang. Primitive future merupakan sebuah frasa atau gabungan kata yang kontradiktif. Di satu sisi berarti sesuatu yang terlampaui dan di sisi lain menunjukkan sesuatu untuk masa depan. Primitive memiliki arti dan pemahaman yang lebih dalam dibanding sekedar melihatnya sebagai sesuatu yang telah terlampaui dan terdahulu, kata tersebut memaknai suatu hal yang mendasar dan yang paling esensial terkandung di dalamnya. 24
arsitektur.net
2011 vol. 5 no. 2
Bagi Sou Fujimoto Jepang memiliki istilah Engawa yang mendekati istilah ambang. Suatu ambang ini tidaklah menjadi luar dan dalam bagi tempat dimana kita berpijak. Ini bukan outside dan juga bukan inside. Ambang yang tidak di luar dan tidak pula di dalam. Hal ini diinterpretasikan kembali oleh Sou dalam karyakaryanya yang baru. Terkadang ‘engawa’ atau ‘ambang’ ini sengaja diciptakan dan diperluas seperti taman ruang yang menjadi suatu bentuk pemahaman yang tercipta dari inside-outside. Konsep akan primitive future kemudian dimatangkan dengan cara memperlakukannya sebagai inside-outside, tidak berbatas dan dimana manusia merasakan keduanya dan tidak menyadari perasaan berbeda antara luar dan dalam. Arsitektur dapat menciptakan interior sekaligus eksterior yang seimbang. Saat penciptaan interior, saat itu pula eksterior terbentuk. Ketertarikannya untuk meleburkan interior dan eksterior secara bersamaan membuat suatu konsep yang diistilahkannya sebagai ‘in between’. ORDOS #100 Saat melihat karya ini maka seakan-akan dibenak kita bertanya, apa yang terjadi dengan ruang-ruang yang berbeda mulai menyatu dalam sebuah keseluruhan penggunanya apakah berarti pengguna berhak menentukan dan menginterpretasi ruang macam apa yang dibutuhkan baru kemudian menerjemahkan kualitas ruang dan fungsinya? Lalu, untuk mendukung terciptanya spatial relationship, gunanya namun mengundang pengguna untuk melakukan improvisasi dari ruang tersebut sehingga menjadi lebih nyaman? Dalam ordos, Sou menciptakan sebuah tempat primordial untuk tinggal sebelum sebuah istilah ‘rumah’ menjadi sebuah ‘rumah’; sebuah lingkungan yang alamiah hamparan keterhubungan. Desain Sou memiliki karakteristik sebuah ruang bertempat tinggal dan juga taman, menjadi terbuka dan tertutup, menjadi interior dalam eksterior dan eksterior dalam interior, keberlanjutan dan tidak berlanjut, hal yang domestik namun juga urban. Untuk menciptakan sebuah tempat dimana terlahir banyak kesamaan antimonies serta frasa yang kontradiktif, maka lahirlah telescopic vessel dengan banyak bukaan pada dinding.
Gambar 2. Denah dan Perspektif Ordos #100
Dalam denah terlihat posisi dinding seperti spiral dan memiliki lubang terbuka bukaannya dan menjadi manifestasi dari sebuah gradasi, dimana di dalamnya tercipta ruang yang berhubungan. Diantara dinding-dinding tersebut, beragam ruang dan taman melebur menjadi satu dan pada akhirnya melahirkan kekayaan akan inside dan outside itu sendiri.
25
arsitektur.net
2011 vol. 5 no. 2
Pada Ordos, bentuk bukan menjadi suatu hal utama, ini menjadi timbal balik atas upaya yang berusaha diintervensi di dalamnya. Terlahir beragam posibilitas yang akan mengakomodasi perasaan manusia akan luar dan dalam. Konektivitas dalam sebuah hubungan yang mendasar berusaha diciptakan dalam karya ini. Kesederhanaan dalam bentuk luar menutupi kerumitan geometri yang tercipta, menjadi konsekuensi akan posibilitas yang dihadirkan. Dalam melihat metode yang dipergunakan Sou, berbagai metode penghilangan batas ruang diciptakan untuk memenuhi segala idealismenya akan inside-outside, ambang, serta in between. Eksperimen lanjutan terhadap metode tersebut perlu memperhatikan kata kunci yang dipakai serta memperhatikan tidak hanya objek namun keterhubungannya, inside-outside, dan telescopic vessel. Seni Paper Tole menjadi salah satu upaya mempelajari lebih lanjut metode ini. Seni tersebut memiliki metode menyusun ‘obyek’ tunggal dua dimensi hingga dapat menjadi sebuah gambar yang cantik dalam rupa tiga dimensi dan dengan demikian mengeksplorasi berbagai kata kunci di atas.
Gambar 3. Contoh kerajinan Paper Tole
Kreasi Paper Tole dapat dilakukan dengan cara memotong, mengembos, menempel dan menumpuk bagian-bagian kertas bergambar dua dimensi itu dengan teknik tertentu hingga akhirnya dapat membentuk kesan tiga dimensi. Dengan berubahnya penampilan gambar, dari dua dimensi menjadi tiga dimensi, gambar yang dihasilkan lewat seni paper tole akan terlihat lebih hidup, tanpa paper tole cenderung hanya dinikmati dari sisi muka/depan disebabkan adanya keterbatasan bidang. Dalam eksperimen lanjutan ini, aplikasi pengaburan batas ruang pada ordos dan beberapa karya Sou Fujimoto ditampilkan melalui berbagai metode-metode yang akan saya eksplorasi melalui teknik-teknik paper art ini. Sou Fujimoto menghadirkan ordos bukan hanya sebagai sekedar rumah pada umumnya, namun ia kembali ke alam di mana rumah bukan menjadi suatu hal yang asing untuk sekelilingnya. Ordos menghilangkan batas sehingga tercipta aliran yang paper tole berusaha melakukan cara ditumpuk agar dalam keterhubungannya ada sifat-sifat bagiannya yang tenggelam dan muncul sehingga menghadirkan satu harmonisasi tiga dimensi. Paper Tole terkadang memiliki batasan antar bagian yang tercipta, padahal sebisa mungkin ambiguitas itu hilang dan tak terasa lagi jejaknya. Melalui metode Sou Fujimoto dan konsep kerja Paper Tole, saya akan bereksperimen untuk membuat suatu kolase yang dapat memanipulasi pandangan.
Tujuan utama eksperimen ini adalah menghadirkan sebuah benda yang terdiri dari tiap-tiap bagian yang saling bersinggungan sehingga menghasilkan sebuah ilusi mata. Apabila ordos menyajikan sebuah hunian dengan pengalaman ruang 26
arsitektur.net
2011 vol. 5 no. 2
di dalamnya yang begitu cair dan ambigu, proyek ini menghadirkan pengalaman ambiguitas dengan komposisi-komposisi yang menipu. Dalam proyek ini, material yang dipakai adalah kaca karena bersifat transparan dan menghilangkan batas ketika bersinggungan. Sifat ini dibutuhkan untuk membuat pengalaman ‘insideoutside’ tercipta dalam keambiguan. Peletakan kaca diatur sedemikian rupa dan iharapkan memberikan pengalaman visual yang berbeda dari tiap-tiap sudut pandang mata terhadap benda tersebut. Beberapa keping kaca disusun sedemikian rupa sehingga terlihat seperti bujur sangkar yang membentuk kolase dari atas. Saat mata melihat dengan sudut pandang lurus ke depan tercipta bentuk lain antara bagian depan dan samping. Ternyata, benda yang semula kubus kini tersingkap bentuk aslinya yang sama sekali bukan kubus. Pengalaman ini terjadi karena batas asli susunan keping kaca menjadi bersatu dengan batas lainnya dan saling berkaitan memanipulasi bentuk yang ada. Sudut pandang yang berbeda-beda ternyata juga memberikan pengalaman visual akan posibilitas bentuk yang berbeda. Eksperimen tersebut kemudian dilanjutkan dengan membuat suatu komposisi kaca yang di dalamnya diletakkan beberapa benda yang berbeda warna dengan posisi yang berbeda-beda. Lalu dengan sudut tegak lurus diatas, manusia sebagai subjek menunjuk objek-objek kecil di dalamnya ini dengan
Gambar 6. Komposisi kaca sebagai eksperimen lanjutan
‘pilih dan tunjuk sebuah kotak kecil yang berwarna coklat yang terletak di dalamnya dengan jari tanpa terkena kaca.’
Gambar 7. Ambiguitas yang dihasilkan dari eksperimen komposisi kaca.
Komposisi yang dilakukan pada tiap model yang ada menghadirkan bentukbentuk yang menonjol, lebih menonjol, dan cekung. Material kaca membuat mata dapat menembusnya dan melihat hingga ke permukaan di belakangnya. Perintah di atas dimaksudkan agar setelah merasakan pengalaman visual, keambiguan akan inside-outside dapat diuji dengan kehadiran benda lain di dalamnya. Kaca yang transparan membuat benda-benda di dalamnya terlihat jelas baik ketika berada pada sebuah naungan kaca di atasnya maupun tidak. Perintah ini menginginkan manusia untuk memilih benda di dalam (inside) yang letaknya tidak terhalang kaca atau dapat dikatakan berada di luar (outside). 27
arsitektur.net
2011 vol. 5 no. 2
Terdapat variabel lain yang sangat berpengaruh dalam permainan ilusi mata dari sebuah kolase kaca ini. Hubungan antar potongan kaca sulit sekali untuk disatukan dengan suatu perekat sehingga sambungan yang tidak sempurna akan mempengaruhi performa kejernihan kaca tersebut. Bayangan yang terjadi tentunya tidak dapat membohongi mata akan batas-batas asli yang kemudian terungkap melalui sinar ataupun cahaya yang mengenai benda ini awalnya berusaha dileburkan. Proyek ini menjadi sebuah eksperimen untuk mengeksplorasi gagasan Sou Fujimoto tentang ‘di dalam dan di luar’ dan ‘alam dan kepalsuan’ yang terbalik dan konvergen. Permukaan bagian dalam berlubang, transparan, kontinu dengan bagian luar bentuk keping persegi berikutnya memberikan pengalaman visual serta keambiguan ruang yang dihadirkan dengan pengalaman akan sentuhan pada benda di dalam kolase ini, baik yang berada di dalam maupun di luar serta memanipulasi mata.
Gambar 8. Ambigu, ilusi, dan manipulasi dalam kolase
Intisari metode Fujimoto terdapat pada prinsip untuk dapat melibatkan alam dalam tiap karyanya sehingga dibutuhkan sifat inside-outside yang bergerak bersamaan. Dalam harmonisasi gerak tersebut tercipta suatu objek yang terdiri dari berbagai hubungan yang saling terkait. Keambiguan, ilusi, dan manipulasi bermain bersama di dalamnya, seperti terlihat pada kolase Paper Tole yang hadir sebagai bentuk aplikasi lain dari metode ini. Dengan teknik yang sama yakni layering, material diganti dengan material kaca yang lebih memungkinkan transparansi hadir dan membawa ambiguitas yang dapat dialami oleh manusia sebagai penikmat. Glass Collage menjadi suatu komposisi yang memiliki hubungan tiap-tiap elemen yang menciptakan inside-outside; dan In Between. Kolase ini menghadirkan kualitas ruang yang terdapat dalam ordos namun dengan sebuah pengalaman visual dimana sudut pandang menjadi penentu titik keambiguan dan meleburkan inside-outside yang terjadi. Pengalaman visual dan ambiguitas yang terjadi diperkuat dengan pengalaman sensorik saat harus menebak posisi suatu benda di antara jajaran keping kaca ini. Berdasarkan prinsip topologycal transformation yang bermakna sebagai sebuah 28
arsitektur.net
2011 vol. 5 no. 2
proses pembentukan form melalui proses deformasi yang secara menerus (continuous) dan berkali-kali (multiple), tiap keping kaca pada eksperimen yang perubahannya secara runut. Proses continuous & multiple terjadi dan mengkaburkan perubahan dan perpindahannya. Benda yang berbeda dan terpisah berusaha digabungkan dengan topologycal transformation sehingga menjadi suatu komposisi yang ‘dikaburkan’. Terdapat keambiguan dalam memahami kapan suatu kubus kayu di dalam jajaran kaca-kaca ini menjadi sebuah relationship yang saling membelakangi atau sebaliknya. Hal ini dipengaruhi pula atas perbedaan persepsi sebagai proses mendapatkan suatu informasi melalui keadaan sekitar manusia tersebut. Manusia memiliki kecenderungan untuk melihat suatu bentuk dan menyederhanakannya menjadi bentuk-bentuk yang sering dikenalinya atau mendekati suatu bentuk lain. Lewat suatu persepsi dan sudut pandang tertentu, suatu bentuk komposisi dapat terlihat mendekati benda lain padahal sama sekali berbeda jika dilihat secara tunggal dan dengan sudut pandang yang lain. Referensi [1] Ordos #100 (Online), (http://www.archdaily.com/10986/ordos-100-9-soufujimoto, diakses 29 April 2011) [2] Paper Tole (Online), (http://www.papertole.com, diakses 5 Mei 2011) [3] Sou Fujimoto Architect (Online), (http://www.kmpfurniture.com/designer-news/ sou-fujimoto–less-is-more–architecture_170.html, diakses 1 Mei 2011)
29