MEMAHAMI “FENOMENOLOGI” KESADARAN INTERSUBJECTIF ALFRED SCHÜTZ
Rini Sudarmanti* Communications is like a bond of our human social life. Without it, our life such losing its soul. Phenomenologist, Alfred Schutz offers an alternative solution to recognize and analyze social communication phenomenon. Inspired by Husserl and Weber ideas, Schutz then nourished social act thought. He emphasized the meaning, structure, and essences of life subjectively toward person who goes through, feels, and works by himself. According to this theory, one could not make generalization due to the fact that every human is uniquely different. Di Indonesia saat ini, perspektif subjektif fenomenologi banyak mewarnai berbagai kajian ilmu sosial untuk menelaah berbagai fenomena yang dirasakan sulit untuk dikupas dengan hanya mengandalkan perspektif objektif. Fenomena sosial dipandang sebagai sesuatu yang sangat kompleks dan memiliki keunikkan tersendiri yang tidak mungkin generalisasikan. Oleh karena itu suatu fenomena sosial perlu untuk dianalisa secara menyeluruh (holistik) sesuai dengan konteks yang melingkupinya. Pada intinya fenomenologi yang berada pada rentang perspektif subjektif ini berusaha menelaah sesuatu berdasarkan orang yang mengalami dan merasakannya sendiri. Untuk itu apa yang menjadi titik berat dari fenomenologi ini adalah bagaimana berbagai pengetahuan itu dimaknai berdasarkan “kesadaran” dari orang-orang itu sendiri yang mengalaminya. Tentu saja karena berdasarkan sudut pandang masing-masing individu, maka keunikan tiap-tiap manusia itu menentukan maknanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu “makna” ini tidak mungkin untuk digeneralisasi.
*
Rini Sudarmanti, lahir di Bogor, 13 Februari 1973. Menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam bidang Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung. Saat ini sedang menyelesaikan studi S3 dalam bidang yang sama di Universitas Padjadjaran, Bandung. Bekerja sebagai dosen luar biasa Universitas Paramadina, Jakarta.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.4 No. 2, Maret 2006: 144-157
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
Weber, Husserl, dan Kesadaran Intersubyektif Schűtz Salah satu tokoh fenomenologi yang cukup terkenal adalah Alfred Schütz. Ia lahir di Wina ibukota Austria pada tahun 1899 dan wafat di New York tahun 1959. Ia adalah seorang ahli dalam dua bidang sekaligus. Ia seorang banker yang handal sekaligus sebagai filsuf fenomenologi. Edmund Husserl menggambarkannya sebagai a banker by day and a philosopher by night. Ia belajar di Universitas Wina mendalami ilmu hukum dari seorang ahli hukum, Hans Kelsen dan dari seorang ahli ekonomi Ludwig von Mises, salah seorang kritikus Max Weber. Secara intelektual Schütz tertarik dengan pemikiran Weber dan ia berusaha menjernihkan dan mengembangkan pemikiran Weber ini dengan menggabungkannya dengan mengagas fenomenologis Edmund Husserl yang ia kenal secara pribadi. Pada jaman Nazi Jerman, ia dan keluarganya hijrah ke New York dan kembali bekerja di bidang perbankan, sekaligus sebagai pengamat ekonomi.
Selain itu ia aktif menuangkan gagasannya
sambil mengajar di New School for Social Research and Business. (disarikan dari Campbell, 1994: 233) Alfred Schütz berangkat dari pemikirian kritisnya terhadap pendapat tindakan sosial Max Weber (1864-1920), seorang sosiolog Jerman yang merupakan satu dari tiga orang teoritis klasik, Emile Durkheim dan Karl Marx. Weber dianggap Schütz kurang mampu menjelaskan realitas sosial. Weber dapat dikatakan sebagai pencetus intrepretivisme dalam dunia ilmu sosial. Weber menekankan pentingnya hal yang subjektif di dalam menganalisis sosiologi. Weber seperti dikutip oleh Giddens (1986;177) mengatakan : Dalam makna yang digunakan oleh kata yang sangat bersifat mempunyai dua arti, di sini, maka sosiologi harus diartikan seperti mengacu kepada ilmu pengetahuan yang berurusan dengan sosiologi sendiri, dengan pengertian yang bersifat tafsiran tentang tindakan sosial dan dengan demikian disertai pula dengan sebab musabab dari jalannya tindakan sosial beserta akibat-akibatnya. Tindakan sosial
145
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 144-157
atau perilaku sosial ialah tindakan atau perilaku, dimana arti subjektif yang terlibat, berkaitan dengan pribadi orang lain atau dengan golongan lain. Ada dua makna, dimana arti tindakan dapat dianalisis;dianalisis dalam acuan kepada arti konkrit yang dimiliki oleh tindakan bagi tiap orang pelaku tertentu, ataupun dalam kaitan dengan suatu jenis ideal dari arti subjektif dari pihak seorang pelaku. Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Menurut Weber, suatu tindakan manusia itu akan bermakna sosial berdasarkan makna subjektifnya bagi individu.
Artinya
suatu tindakan itu dilakukan manusia karena memang disengaja untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu menurut Weber, “manusia itu adalah individu yang berpikir, dan aktif melakukan tindakan-tindakan sosial yang bermakna tidak saja bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi individu-individu lainnya” (Mulyana, 2003:60) Namun konsep Weber ini dianggap Schütz menggambarkan seolah-olah manusia itu adalah mahluk yang terisolasi. Suatu tindakan itu hanya dapat dimengerti oleh mereka yang terlibat di dalam tindakan tersebut. Pemahaman ini seolah mengabaikan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang menggerakkan manusia, seperti emosi, gagasan, maksud, motif, perasaan, tekad dan sebagainya. Selain
konsep
Weber
sebagai
titik
berangkat
pemikirannya,
pemikiran fenemenologi Schütz ini juga bertolak dari gagasan Edmund Husserl, seorang ahli matematika yang beralih menjadi seorang filsuf. Husserl merasakan bahwa pandangan empirik kurang lengkap untuk mengungkapkan suatu fenomena. Menurutnya, fenomenologi itu adalah studi untuk mengetahui makna dalam pemikiran manusia dalam dunia kehidupan keseharian (lebenswelt). Untuk mengetahuinya, Husserl menawarkan metodenya epoche, yaitu melakukan kontemplasi dengan menarik diri dari berbagai pengaruh sekitar sehingga mampu memperoleh esensi dari
146
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
kehidupan itu. Disini kesadaran manusia memegang peranan penting dimana melibatkan kemampuan persepsi manusia terhadap suatu objek sehingga diperoleh pemahaman tentang bagaimana dunia keseharian itu terbentuk. Pengalaman-pengalaman manusia dalam mempersepsi objek ini kemudian berakumulasi dalam diri manusia yang mengalaminya. Schütz mengungkapkan dunia sosial keseharian sebagai suatu yang intersubjektif. Dunia yang manusia alami sebenarnya secara keseluruhan tidak akan pernah bersifat pribadi sepenuhnya, bahkan di dalam kesadarannya sekalipun, manusia akan selalui menemukan bukti adanya kesadaran yang juga dialami manusia lainnya. Pengalaman yang dialami seseorang itu tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Schütz mendukung pemikiran Husserl yang menyatakan bahwa proses
pemahaman
dan
pemberian
makna
tehadap
pengalaman-
pengalaman itu dilakukan melalui refleksi tingkah laku. Pemahaman makna tindakan sosial diperoleh dengan memutar dan menyeleksi kembali rekaman-rekaman pengalaman tindakan sosial yang berakumulasi dalam diri manusia sebagai persediaan pengetahuan (stock of knowledge). Kemudian kita dapat menyeleksi unsur-unsur pengalaman yang memungkinkan kita untuk melihat tindakan kita sendiri sebagai bermakna. Begitu luasnya dunia intersubjektif manusia dan tidak selamanya pula setiap diri manusia dapat melulu mempunyai akses untuk masuk ke dalam dunia subjektif diri orang lain. Tidak selamanya pula manusia mampu memaknai dan memahami tindakan orang lain. Hal ini dapat dipahami ketika berhadapan dengan fenomena mengapa kesalahpahaman antara manusia sering terjadi di dunia ini meski keadaan fisik, atau rambut sama hitam warnanya. Dunia sosial yang kita jalani ini telah terima sebagai pregiven world, atau sudah diterima sebagaimana adanya ini sungguh unik dan menggelitik serta mengundang banyak pertanyaan. Dunia sosial kita tidaklah homogen. Ia terbentuk dari struktur yang berbeda-beda (multiform structure). Realitas sosial yang dibentuknya pun
147
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 144-157
beragam (multiple realities). Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk menginterpretasi atau memaknai mengapa orang bertindak sebagaimana terlihat dengan menganalisa lebih jauh struktur dunia sosial
kita. Oleh
karena itu studi fenomenologi yang berangkat dari pemikiran Schütz ini adalah untuk mengetahui bagaimana kita dapat menginterpretasi tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sesuatu yang bermakna dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna tindakan bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. Dalam pandangan Schütz, situasi fenomenologis, yakni konteks ruang, waktu dan historis secara unik menempatkan individu. Pertama, Schütz melihat hubungan sosial manusia, bukan pada tindakan manusia sebagai suatu sistem sosial, tetapi sebagai pelaku sosial (aktor). Schütz menelaah kehidupan sosial manusia dari pengalaman sosial seseorang bersama atau yang melibatkan orang lain. Disini ia menekankan pada dunia intersubjektif yang dibangun manusia dalam dunia sosialnya. Kedua Schütz menekankan
pada
adanya
the
reciprocity
of
perspectives.
Schütz
menjelaskan bahwa aktor sosial umumnya berasumsi bahwa dunia sosial ini dipahami orang lain dengan cara yang sama sebagaimana ia memahami dirinya sendiri. Selanjutnya Schütz memperkenalkan konsep multiple realities yang menggambarkan bahwa realita di dunia ini bukan hanya dalam realitas kehidupan sosial, tetapi juga termasuk realitas fantasi, realitas mimpi dan sebagainya. (disarikan dari Cuff, 1981; 124-125) Jadi dengan demikian realitas itu bukanlah hanya seperti yang kita lihat saja, tapi realitas lain yang menurut pandangan individu masing-masing, dan itu dapat saja realitas yang maya, yang kita tidak mungkin dapat melihatnya dengan indera manusia. Apa Guna Stock of Knowledge bagi Manusia ? Persediaan pengetahuan (stock of knowledge) yang ada dalam benak kesadaran manusia ini dipahami Schütz seperti layaknya kumpulan resep-resep (receipts) yang memberikan tuntunan bagi manusia dalam
148
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
berperilaku dalam suatu komunitas dengan kesadaran intersubjektif yang sama antar anggota masyarakat tersebut. Resep inilah yang memberikan kita pengetahuan misalnya dalam bagaimana menjawab telepon, bagaimana berbicara atau bersopan snatun dengan orang yang lebih tua atau bertingkah laku untuk hal lainnya. Pilihan tuntunan inilah yang menggiring seseorang untuk berperilaku sebagaimana dimaksud sehingga mencapai pertukaran makna yang sama. Semakin banyak pertukaran makna sehingga daerah bermakna sama semakin luas, maka akan semakin lancarlah proses komunikasi yang dilakukan. Sementara itu persediaan pengetahuan (stock of knowledge) sebagaimana
dimaksud
Schütz
terdiri
dari
dua
kategori.
Kategori
pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kesadaran yang terjadi begitu saja dalam keseharian kehidupan manusia. Kategori pengetahuan kedua disebut Schütz sebagai pengkhasan (typication). Kesadaran manusia di dalam melakukan pemilahan-pemilahan dengan mengkategorisasikan pengalamanpengalaman yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya, yang terdiri dari mitos, pengetahuan budaya dan common sense. Berdasarkan
karakterisitik
dunia
sosial
demikian,
intersubjektivitas
berlangsung dalam berbagai macam hubungan dengan orang lain, termasuk orang-orang (terdekat) yang berbagi ruang dan waktu dengan kita (dalam komunikasi tatap-muka), yang hidup sejaman dengan kita tetapi tidak kita kenal (pembaca, pendengar atau pemirsa lain yang tak pernah kita temui), mereka yang telah mendahului kita sebelum kita lahir, dan mereka yang akan datang setelah kita mati). (Disarikan dari Mulyana, 2003;62) Jadi dari pemikiran Alfred Schutz ini dapatlah dipahami mengapa manusia dapat melakukan pengendalian arus refleksi pengalaman tindakan sosial tersebut menjadi sebuah jalinan tindakan sosial yang terpilah-pilah untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Manusia dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi sosial dengan merujuk pada pengalaman-pengalaman subjektifnya itu. Bila seseorang mampu menentukan tipikasi yang tepat,
149
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 144-157
maka hal itu akan sangat membantunya dalam menentukan tindakantindakan yang diperlukan untuk menyesuaikan dan berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Untuk itu individu perlu terlebih dahulu mampu mendefinisikan situasi dimana ia berada dan mampu menetapkan atau memutuskan dalam situasi apa, apa masalah-masalahnya, sehingga ia dapat menentukan tipikasi tindakan yang dibutuhkan untuk berusaha meraih tujuan atau harapan yang diinginkannya. Motif-Motif Intersubyektif Manusia Pengalaman subjektif manusia yang dialami manusia itu ada yang mengalir terjadi begitu saja tanpa direncanakan sebagaimana adanya, dan ada yang digerakkan oleh motif tertentu berdasarkan stok pengetahuan sebelumnya, tergantung pada situasi dimana seseorang berada (actual biographical). Pengalaman subjektif manusia ini juga bukan berarti mendominasi segalanya. Ia saling berhubungan sebab akibat dengan dunia objektif manusia sebagai suatu sistem life plan manusia yang terintegrasi dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu. Life plan ini menggerakkan serangkaian motif.
Pertama motivational relevancy yang menimbulkan
emosi atau tindakan untuk memperhatikan sesuatu, berpikir, berperilaku seperti yang terlihat. Motif ini situasional sifatnya dan bisa terjadi begitu saja atau bahkan tanpa kita disadari. Motif motivational relevancy ini dapat berkembang lebih lanjut menjadi thematic relevancy yang menggerakkan manusia untuk memenuhi knowledge acquaintance-nya. Pengalaman subjektif yang dicarinya itu memiliki satu tema pengetahuan yang berantai. Selanjutnya di dalam memaknai realitas sosial, manusia berusaha untuk mengelaborasi stock of knowledge aktual yang dimilikinya dengan mencari relevansi antara resep-resep pengetahuan yang dimilikinya dengan situasi dan kondisi di hadapannya (interpretational relevancy).
Selain itu
adapula motif yang melihat dari orientasinya untuk melakukan suatu tindakan sosial, yaitu in order to motives berorientasi pada masa depan dan because
150
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
motives yang merujuk kepada pengalaman masa lalu (preconstituted knowledge). Schütz juga menjelaskan bahwa dalam hubungan sosial manusia tentulah tidak terlepas dari dorongan atau motif yang menyertai suatu tindakan manusia. Dalam kesadaran intersubjektifnya, manusia melakukan pertukaran motif (the reciprocity of motives) melalui proses taking the role of other yakni membayangkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan memandang segala sesuau melalui perspektif orang lain. Berkenaan dengan motif ini, Schütz menjelaskan dua jenis diantaranya sebagai in order motives dan because motives. Motif pertama merupakan tujuan yang digambarkan sebagai maksud, rencana, harapan, minat, dan sebagainya, yang diinginkan aktor dan karena itu, berorientasi ke masa depan. Motif jenis kedua merujuk kepada pengalaman masa lalu manusia dan tertanamkan pengetahuannya itu (preconstituted knowledge) dan berorientasi pada masa lalu. (disarikan dari Mulyana, 2003; 81) Penjelasan motif inilah yang dapat menjelaskan mengapa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Schütz melihat pentingnya komunikasi diantara manusia dengan menggunakan lambang bahasa untuk menggiring kesadaran manusia memahami tindakan manusia dunia sosial. Manusia melakukan proses tipikasi (perlambangan) dengan melihat objek dunia sosial sebagai suatu pengalaman sehingga menjadi pengetahuan, sementara kata-kata dan kategorisasi merekonstruksi atau membangun balok-balok dinding dunia sosial itu.
Kesadaran manusia akan pengetahuan dunia sosialnya akan
membantunya dalam memprediksi dan menganalisa reaksi orang lain. Lambang atau tanda yang digunakan sebagai bahasa oleh manusia haruslah yang telah dipahami dan dimengerti bersama. Schütz menyebut masyarakat yang mempunyai kesepakatan tanda bahasa dalam proses komunikasi tersebut sebagai masyarakat linguistik. Sementara makna bersama yang dipertukarkan itu disebut sebagai common sense. Sebagai ilustrasi, kita membicarakan tentang kata “jangan”. Dalam bahasa Indonesia kita memaknai kata ini sebagai “tidak boleh”. Pada suatu
151
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 144-157
jamuan makan di mana sang tuan rumah berasal dari keturunan suku Jawa dan sebagian besar tamu berasal dari suku daerah yang berbeda, “jangan” dapat dimaknai lain. Sang tuan rumah mencampuradukkan bahasa daerahnya dengan bahasa Indonesia sewaktu mempersilakan tamu-tamunya makan. “Monggo, jangan kangkung itu dimakan”, dengan bangganya ia berkata. Mendengar hal itu, sang tamu jadi salah tingkah, dan terheran-heran. “Kok tidak boleh dimakan?” Hasilnya, tidak ada seorang dari tamunya yang mengambil sayur kangkung ke atas piring mereka. Kejadian ini menunjukkan bahwa ternyata bahasa yang kita gunakan membentuk konseptualisasi realita yang berbeda. Makna “jangan” dalam bahasa Indonesia berbeda dengan “jangan” dalam bahasa Jawa yang berarti kategori tipikasi sayur. Kata “jangan” dapat saja dimaknai bersama, tetapi bila dipandang dari konteks dunia sosial budaya berbeda, “jangan” akan dimaknai berbeda. Bila seorang tamu tidak mempunyai kesadaran pengalaman sosial yang sama dengan sang tuan rumah berkenaan dengan kata “jangan”, boleh jadi kesalahpahaman itu ada.
Namun bila ada
kesadaran pengalaman yang sama mengenai “jangan” yang direfleksi ketika sang tuan rumah menyebutkan kata “jangan”, maka tamu tersebut akan mampu memaknainya sesuai dengan yang dimaksud. memberikan
sedikit
gambaran
mengenai
Illustrasi ini dapat
kesadaran
intersubjektif.
Kesadaran tidak akan pernah bersifat pribadi sepenuhnya, selalu adanya kesadaran yang juga dialami manusia lainnya. Semakin luas daerah kesadaran intersubjektif, semakin baik proses komunikasi dan interaksi yang terjadi. Schütz juga meyakini bahwa ada perbedaan antara realita kehidupan sehari-hari dan realita ilmiah. Perbedaan ini menimbulkan penggunaan konsep-konsep bahasa common sense bermakna yang dipertukarkan seperti bertingkat-tingkat abstraksinya. Konsep-konsep yang berkenaan dengan apa yang umum diketahui orang atau kata-kata yang dipergunakan sehari-hari disebut Schütz constructs of the first degree
152
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
(konstruk derajat pertama). Sementara konsep-konsep yang lebih tinggi abstraksinya untuk keperluan ilmiah digolongkan sebagai constructs of the second degree (konstruk derajat kedua). (disarikan dari Cuff, 1981; 126 dan Mulyana, 2003 ; 172) Untuk menjelaskan objek yang dipahami berbentuk sebagai anjing, dalam komunitas orang Indonesia disebut “anjing”, komunitas orang Inggris, Amerika atau Australia digunakan kata “dog”, sementara orang Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur menyebutnya dengan kata “asu”. Sebutan ini termasuk dalam kategori common sense konstruk bahasa tingkat pertama terlepas apakah itu jenis anjing herder, pudel atau dobberman. Namun bila diggunakan kata animal dalam bahasa Inggris, atau hewan dalam bahasa Indonesia untuk menghimpunan semua jenis objek berbentuk anjing dan lainnya merupakan contoh dari kontruk derajat kedua. Manusia dalam Masyarakat Manusia tidak akan lepas dari kelompok sosialnya. Kesadaran yang dialaminya berkaitan dengan tindakan sosial kelompoknya.
Kesadaran
sosial intersubjektif dimana makna atas sesuatu didasarkan pada makna bersama. Dengan demikian, kebersaman manusia di dalam kelompok sosial menuntunnya untuk selalu melakukan kesadaran untuk memahami orang lain sehingga memperoleh makna yang dapat dimengerti dan dipahami bersama.
Anggota-anggota kelompok yang masing-masing memiliki ego
sendiri tersebut dikatakan disebut Schütz sebagai consociates. Kemampuan untuk memperoleh kesamaan makna concociatesnya menentukan apakah seseorang itu dapat diterima atau tidak sebagai anggota suatu kelompok sosial. Semakin luas daerah kesadaran intersubjektif concociates, semakin banyak kesamaan makna diantara concociates kelompok dan semakin kuat pula ikatan di antara mereka. Kesadaran
manusia
sebagai
mahluk
sosial
menimbulkan
konsekuensi bahwa kesadaran yang berlaku disini adalah kesadaran sosial sebagaimana dimaksud Schütz berlangsung dalam dua cara : pertama,
153
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 144-157
kesadaran yang mengandaikan begitu saja apa adanya dan kegiatankegiatan orang lain sebagai sesuatu yang dialami bersama. Hal ini terlihat dari dari tindakan-tindakan sosial seseorang yang memperhitungkan reaksireaksi orang lain. Begitu juga dari pengetahuan-pengetahuan berdasarkan pengalaman tindakan sosial yang mereka andaikan mengenai situasi itu dan seterusnya. Kedua, kesadaran yang menggunakan tipikasi-tipikasi yang diciptakan dan dikomunikasikan oleh kelompok dalam dunia bersama ini, dunia yang secara historis telah ada. (disarikan dari Campbell, 1994 : 242243) Sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas linguistik. Kesadaran sehari-hari adalah kesadaran sosial atau kesadaran yang diwariskan secara sosial turun temurun dengan menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol. Dunia kehidupan individu merupakan sebuah dunia intersubjektif dengan makna-makna bersama sehingga terbina rasa kesatuan dalam kelompok. Kelompok ini milik kita, bukan hanya milikku. Kita mengandaikan begitu saja bahwa kita saling memahami satu sama lain, melihat dunia ini dengan cara yang sama dan bertindak di dalam menyatakan yang sama. Berdasarkan hubungan manusia dalam masyarakat ini Schütz membedakan dua tipe hubungan yaitu we relationships dan they relationships. Dalam hubungan we, manusia dihadapkan pada kelompok sosial dimana anggota-anggotanya dapat saling memahami dan mempunyai tipikasi yang sama. Biasanya dalam kelompok kecil. Hubungan diantara mereka erat dan terbina rasa saling memiliki. Mereka menyatu atas dasar sukarela. Kita hidup dalam suatu komunitas masyarakat yang digambarkan dalam we relationship ini. Sedangkan they relationship adalah hubungan dimana seseorang tidak mampu secara spontan begitu saja bergabung dalam suatu komunitas.
Hubungan mereka terjadi di dalam suatu
lingkungan kelompok sosial yang lebih luas dan kompleks. Untuk itu bila ingin bergabung di dalam kelompok tesrebut, setiap orang dituntut untuk mengikuti alur kehidupan dan kesadaran intersubjektif para anggota kelompok yang berlaku di dalamnya. Ia harus dapat mempelajari
154
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan yang dialami dalam kelompok sehingga dapat bergabung di kelompok tersebut. Implikasi Fenomenologi dalam Kajian Ilmu Komunikasi Meskipun pemikiran Schütz masih dalam tataran abstrak, tapi setidaknya ia mampu menghantar kita untuk memahami kompleksitas dunia kehidupan manusia yang selalu melibatkan komunikasi. Komunikasi memang menyertai setiap ruang gerak kegiatan manusia. Sementara apa serta bagaimana komunikasi itu dilakukan sangat ditentukan oleh norma dan budaya komunitas dimana konteks komunikasi itu dilakukan. Setiap diri manusia yang berbeda satu sama lain membawa kekhasannya
masing-masing
ketika
berkomunikasi
sehingga
membedakannya dengan yang lainnya. Tak salah bila dikatakan komuikasi menentukan dan menggambarkan identitas diri seseorang. Oleh karena itu kajian tetang komunikasi itu merupakan suatu hal yang selalu menarik untuk dikaji. Sementara mengkaji kegiatan komunikasi yang unik itu dirasakan kurang memadai dengan hanya mengandalkan penghitungan inferensial berdasarkan perspektif empirik yang bersifat objektif. Tidak selamanya suatu stimulus akan menghasilkan suatu efek sedemikian rupa seperti yang dimaksud. Kerapkali kesalahpahaman itu ada dan menjadi permasalahan yang terus menjadi-jadi. Perspektif fenomenologi membuka cakrawala para ahli untuk menelaah
suatu
fenomena
khas
masing-masing
individu
dalam
menggunakan stimulus berupa simbol dan tanda pesan yang dipertukarkan dalam suatu interaksi. Kajian fenomenologi akan berusaha berlayar dalam arus kesadaran intersubjektif manusia untuk menjawab apa makna, struktur, esensi dari kehidupan bagi seseorang atau suatu kelompok tertentu secara holistik. Kajian ini besar manfaatnya akan membuka khazanah pemahaman bagi setiap orang bahwa masing-masing diri manusia itu tidaklah sama. Perbedaan itu akan selalu ada, tergantung dari bagaimana seseorang itu memaknai sesuatu dari sudut pandang subjektif dirinya sendiri yang tidak
155
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 2, Maret 2006: 144-157
akan pernah sama dengan yang lainnya. Oleh karena itu setiap pendapat sebagai pemaknaan seseorang atas sesuatu itu tidak akan dapat digeneralisasi karena unik sifatnya. Pemahaman akan perbedaan itu akan membantu kita memaknai ada apa dengan dunia kehidupan kita yang terlihat selalu begitu berwarna, sehingga kerusuhan dan keresahan yang terjadi karena kesalahpahaman dapat dieliminasi.
156
Rini Sudarmanti “Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubyektif Alfred Schűtz”
Daftar Pustaka Anderson, James A. 1987. Communication Research. USA : The McGraw Hill ________________1996. Communication Theory : Epistemological Foundations. The New York : Guilford Press. Bakker, J.I. (Hans). 1994. The Life World, Grief and Individual Uniqueness : “Social Definition in Dilthey, Windelband, Rikert, Weber, Simmel and Schutz. From : http://www.uoguelph.ca/~vincent/hbakker/life_world.htm Campbell,Tom.1994.Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius Cuff, E.C., & G.C.F.Payne.1981. Perspective in Sociology. London : George Allen & Unwin Griffin E.M. 2000. A First Look at Communication Theory. USA ; The MacGraw-Hill Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. USA : Wadsworth Publising Company Miller,
Katherine.. 2002. Perspectives, Processes, dan Communications. USA : Wadsworth Publising Company.
Contex
Theories
Mulyana, Deddy. 2004.Komunikasi Efektif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya _____________ 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya _____________ 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosda Karya Wilson, T.D. 2002. Alfred Schutz, Phenomenology and Research Methodology for Information Behavior Research. From : http://informationr.net/tdw/publ/papers/schutz02.html Zeitlin, Irivng M. 1998. Memahami Kembali Sosiologi Kontemporer. Universitas Gajah Mada
Yogyakarta :
157